dampak konsentrasi industri terhadap kinerja dan ... · menganalisis perubahan lingkungan eksternal...
TRANSCRIPT
DAMPAK KONSENTRASI INDUSTRI TERHADAP KINERJA
DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI INDUSTRI
BROILER INDONESIA
ANNA FITRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Dampak
Konsentrasi Industri terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Masyarakat di
Industri Broiler Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi
Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Anna Fitriani
NRP. H363090111
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN
ANNA FITRIANI. Dampak Konsentrasi Industri terhadap Kinerja dan Kesejahteraan
Masyarakat di Industri Broiler Indonesia. Dibimbing oleh HENY K. DARYANTO,
RITA NURMALINA dan SRI HERY SUSILOWATI.
Hampir semua segmen industri menjadi lebih terkonsentrasi dari waktu ke
waktu. Perhatian utama sehubungan dengan konsentrasi adalah, hal ini bisa
mengurangi tingkat persaingan di industri dan menghasilkan kekuatan pasar. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak konsentrasi industri terhadap
kinerja dan kesejahteraan produsen dan konsumen di industri broiler Indonesia.
Secara spesifik, tujuan penelitian ini dirinci sebagai berikut ; (1) menganalisis
dampak konsentrasi industri terhadap kinerja (performance) industri broiler; (2)
menganalisis perubahan lingkungan eksternal terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja
industri broiler; (3) menganalisis perubahan kesejahteraan masyarakat akibat
perubahan tingkat konsentrasi; dan (4) merumuskan kebijakan yang dapat
mensejahterakan masyarakat sekaligus memajukan industri broiler.
Data yang digunakan adalah data panel seluruh perusahaan broiler dari 2009
sampai 2011 di delapan provinsi di Indonesia. Data dianalisis dengan pendekatan
ekonometrika dengan model persamaan simultan. Parameter diestimasi dengan
metode two stage least squares (2SLS) dan selanjutnya dilakukan simulasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi yang meningkat akan
meningkatkan integrasi vertikal. Perilaku Integrasi vertikal selanjutnya berdampak
kepada efisiensi dan kekuatan pasar. Konsentrasi dan integrasi vertikal dapat
mengurangi persaingan dan akan menguntungkan perusahaan melalui harga broiler
dan tingkat keuntungan yang meningkat. Harga dan tingkat keuntungan yang
meningkat akan semakin meningkatkan kekuatan pasar. Sehingga secara tidak
langsung peningkatan konsentrasi berdampak terhadap peningkatan kekuatan pasar.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan permintaan akan menurunkan
tingkat konsentrasi. Perluasan penyebaran produksi akan terjadi dan meningkatkan
persaingan. Selanjutnya, kenaikan konsentrasi industri sampai pada taraf 20 persen
akan semakin meningkatkan efisiensi dan kekuatan pasar. Dari sisi produsen masih
diuntungkan dengan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja, namun kekuatan pasar
makin mendorong kenaikan harga produk sehingga konsumen dirugikan. Jika dilihat
dari persentase kenaikannya, maka efek kenaikan kekuatan pasar lebih besar dari
efek kenaikan efisiensi. Artinya secara keseluruhan atau agregat, kenaikan
konsentrasi lebih lanjut akan menurunkan kesejahteraan rakyat.
Implikasi kebijakan: perkembangan industri ayam broiler harus didukung
dengan meningkatnya permintaan akan produk peternakan melalui peningkatan daya
beli dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein asal ternak. Untuk itu
pemerintah harus menciptakan iklim usaha bersaing yang sehat dan kondusif. Selain
itu efisiensi usaha peternakan rakyat perlu ditingkatkan melalui kebijakan yang lebih
terfokus pada penggunaan teknologi bibit dan pakan bermutu serta penggunaan
kandang modern. Penanganan jangka panjang ketersediaan bahan baku sangat
penting agar peternak rakyat dapat berkompetisi.
Kata kunci : efisiensi, konsentrasi industri, kekuatan pasar, model ekonometrika
simultan
SUMMARY
ANNA FITRIANI. Impact of Industry Concentration on Performance and Social
Welfare in Indonesian Broiler Industry. Supervised by HENY K. DARYANTO,
RITA NURMALINA and SRI HERY SUSILOWATI.
Almost all segments in industry become more concentrated from time to time.
The main concern with concentration is, it can reduce competition and result in
market power. The aims of this study is to analyze the impact of industry
concentration on the performance and social welfare of producer and consumer in
Indonesian broiler industry. Specifically, the objectives of this study are detailed as
follows; (1) to analyze the impact of industry concentration on the performance of
industry; (2) to analyze the impact of changes in the external factors on the structure,
conduct and performance of broiler industry; (3) to analyze changes in the welfare of
producers and consumers as a result of changes in the level of concentration; and (4)
to formulate policies that can promote people’s welfare as well as the broiler
industry.
The data used is panel data across the broilers company from 2009 to 2011 in
eight provinces in Indonesia. Data were analyzed with an econometric approach with
simultaneous equation model. Parameters was estimated by two stage least squares
method (2SLS) and then performed the simulation.
The results showed that increasing in concentration will increase the vertical
integration. Vertical integration behaviour then impact on efficiency and market
power. Concentration and vertical integration can reduce competition and will
benefit the company through broiler prices and increase profit levels. Prices and
profit levels increased will further increase the power of the market. Thus increasing
concentrations indirectly resulted in increased market power.
The simulation results indicate that the increase in demand will lower
concentration levels. Expansion of production will occur and increase competition.
Furthermore, the increase in concentration of the industry to the extent of 20 per cent
will further increase efficiency and market power. The producers still benefit from
the efficiency and labor productivity, but increasing in market power pushing up the
price of the product so that consumers are loss. When viewed from the percentage
increase, the effect on increasing in market power is greater than the effect on
increasing in efficiency. This means that in whole or aggregate, increase in
concentration further lowers social welfare of the people.
Policy implications: The development of broiler chicken industry should be
supported by the increasing demand for livestock products through increased
purchasing power and public awareness of the importance of proteins from animal.
Therefore, the government should create a competitive and conducive business
climate. In addition, the efficiency of breeding efforts of the people needs to be
improved through policies that are more focused on the use of quality seed and feed
technology and the use of modern cage. Handling the long-term availability of raw
materials is very important so that farmers can compete.
Keywords : efficiency, industry concentration, market power, simultaneous
econometric model
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAMPAK KONSENTRASI INDUSTRI TERHADAP KINERJA
DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI INDUSTRI
BROILER INDONESIA
ANNA FITRIANI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Arief Daryanto, MEc
Dr Ir Lukytawati Anggraini, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof (R) Dr Ir Tjeppy D Sudjana, MSc
Dr Ir Sri Mulatsih, MSc Agr
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga
disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi dengan judul “Dampak Konsentrasi Industri
terhadap Kinerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Industri Broiler Indonesia”
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Disertasi ini dapat terselesaikan atas bantuan dan kerjasama dari berbagai
pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan
kepada Dr Ir Heny K Daryanto, MEc selaku ketua komisi pembimbing serta Prof Dr
Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr Ir Sri Hery Susilowati, MS selaku anggota komisi
pembimbing yang telah memberi bimbingan, arahan dan masukan selama proses
penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada :
1. Tim penguji prelim 2 (Dr Ir Sri Hartoyo, MS, Dr Ir Anna Fariyanti, MS dan Dr
Mety Ekayani, SHut MEc) atas koreksi dan masukannya.
2. Tim penguji ujian tertutup (Dr Ir Arief Daryanto, MEc, Dr Ir Lukytawati
Anggraini, MS, Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Dr Mety Ekayani, SHut, MSc) atas
koreksi dan masukannya.
3. Tim penguji ujian terbuka (Prof (R) Dr Ir Tjeppy D Sudjana, MSc, Dr Ir Sri
Mulatsih, MSc Agr, Prof Dr Ir Nachrowi, MSc dan Dr Sahara, SP MSi) atas
koreksi dan masukannya.
4. Kasie Pengolahan Statistik Peternakan, Badan Pusat Statistik beserta staf atas
bantuan data penelitian.
5. Rektor Universitas Jambi dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi
yang telah memberikan izin belajar di Sekolah Pascasarjana IPB.
6. Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dan Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian IPB serta seluruh staf pengajar yang telah memberikan
bimbingan selama perkuliahan maupun dalam penyelesaian disertasi ini.
7. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB serta
seluruh staf civitas akademika yang telah membantu kelancaran studi.
8. Rekan-rekan EPN IPB angkatan 2009 dan semua pihak yang telah membantu
terlaksananya penelitian dan penyusunan disertasi ini.
Rasa hormat dan terima kasih kepada kedua orang tua (Ayahanda H M Noer
Mong dan Ibunda Hj Kartini) atas do’a dan restunya. Tidak lupa suami tercinta
(Saiful Helmi Pohan) serta anak-anakku tersayang (Imam, Aulia, Fajar dan Fathur)
atas dukungan, kerjasama dan pengertiannya selama penulis menempuh masa
pendidikan di IPB. Kakak dan adik-adik serta keluarga besar tercinta atas dorongan
dan bantuan do’a selama ini. Semoga disertasi ini dapat memberikan kebanggaan dan
semangat bagi keluarga. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Namun inilah karya maksimal yang dapat dipersembahkan, dengan
harapan semoga karya ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Anna Fitriani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Kebaruan (Novelty) Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Literatur Mengenai Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar
Tinjauan tentang Industri Broiler, Produksi dan Konsumsinya
Industri Broiler
Perkembangan Industri Pakan dan Pembibitan Ayam Broiler
Produksi
Konsumsi
Sistem Kemitraan dalam Industri Broiler
Struktur Industri Broiler Indonesia
Dampak Konsentrasi terhadap Efisiensi dan Kekuatan Pasar
Dampak Konsentrasi terhadap Produktivitas dan Kesejahteraan
Tinjauan Studi Terdahulu
Tinjauan Penelitian Mengenai Konsentrasi Industri
Tinjauan Penelitian Mengenai Structure Conduct Performance
xii
xii
xiii
1
1
5
9
10
11
12
12
20
20
21
25
27
28
31
33
36
38
38
42
3. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teoritis
Teori Permintaan Input dan Penawaran Output
Teori Permintaan Output
Analisis Organisasi Industri
Analisis Structure Conduct Performance (SCP)
Deskriptif Struktur Pasar (Structure)
Deskriptif Perilaku Pasar (Conduct)
Deskriptif Kinerja Pasar (Performance)
45
45
45
46
48
50
51
57
64
Konsep Efisiensi dan Kesejahteraan
Kerangka Pemikiran Konseptual
Hipotesis Penelitian
4. METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Spesifikasi Model
Definisi Operasional Variabel
Estimasi Model
Model
67
70
73
73
73
74
75
79
81
Elastisitas
Prosedur Analisis
Identifikasi Model
Metode Pendugaan Model
Validasi Model
Simulasi Faktor-faktor Eksternal
Perhitungan Perubahan Kesejahteraan
5. GAMBARAN UMUM KELEMBAGAAN INDUSTRI BROILER DI
INDONESIA
Profil Pasar Daging Ayam Broiler di Indonesia
Perkembangan Industri Broiler Indonesia
Performans Usaha Rakyat
Performans Perusahaan Ayam Broiler
Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Secara Deskriptif
Konsentrasi Industri dan Persaingan Tidak Sehat
6. STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI BROILER DI
INDONESIA
Hasil Pendugaan Struktur, Perilaku dan Kinerja di Industri Broiler
Komponen Kondisi Dasar Industri Broiler di Indonesia
Komponen Struktur Industri Broiler di Indonesia
Komponen Perilaku Industri Broiler di Indonesia
Komponen Kinerja Industri Broiler di Indonesia
Hubungan antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler
Indonesia
9. DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP STRUKTUR,
PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI BROILER INDONESIA
Validasi Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler
Simulasi Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap Industri
Broiler
Dampak Peningkatan Permintaan Daging Ayam Broiler
Dampak Peningkatan Penawaran Daging Ayam Broiler
Dampak Peningkatan Harga Daging Ayam Broiler
Dampak Peningkatan Harga Pakan
Dampak Peningkatan Harga Bibit DOC
Analisis Kesejahteraan Sosial
Rumusan Kebijakan Pengembangan Usaha Broiler
KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN
Kesimpulan
Implikasi Kebijakan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRANTIAN
LITIAN
89
90
90
91
91
92
93
94
94
97
97
100
103
107
113
114
114
117
119
121
129
132
132
133
134
135
137
138
139
142
144
149
149
149
150
151
157
DAFTAR TABEL
1. Taksonomi dasar dari Struktur Pasar
2. Kinerja produksi usaha peternakan Ayam Broiler di Indonesia, 1980-
2010
3. Konsumsi beberapa jenis daging ternak, 2007-2011(ribu ton)
4. Prediksi tingkat keuntungan berdasarkan Struktur Pasar
5. Jenis dan pengelompokkan variabel dalam penelitian
6. Perbandingan masing-masing komponen Struktur, Perilaku dan
Kinerja di Industri Broiler (2009-2011) secara deskriptif
7. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Kondisi Dasar di
Industri Broiler
8. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Struktur Industri
Broiler
9. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Industri
Broiler
10. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Industri
Broiler
11. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Industri
Broiler (lanjutan)
12. Hasil Validasi Model Ekonometrika menggunakan kriteria RMSPE
dan U-theil
13. Dampak perubahan faktor eksternal terhadap Industri Broiler
14. Dampak peningkatan rasio konsentrasi pada beberapa tingkatan
terhadap kesejahteraan masyarakat
15. Perhitungan surplus produsen dan surplus konsumen sehubungan
dengan peningkatan konsentrasi industri
16. Implikasi kebijakan pemerintah di dalam memperbaiki Struktur,
Perilaku dan Kinerja Industri Broiler sehubungan dengan simulasi
18
26
27
66
88
106
115
117
120
122
126
133
134
142
143
148
DAFTAR GAMBAR
1. Grafik laju pertumbuhan PDB, sektor pertanian dan subsektor
peternakan di Indonesia, 2005-2013 (dalam persen)
2. Grafik perkembangan konsumsi daging dan telur nasional (ribu ton),
2006-2010
3. Grafik perkembangan harga rata-rata daging ayam di tingkat
konsumen di tiga kota besar, 2005-2013
4. Model hubungan saling pengaruh mempengaruhi dari Structure
Conduct Performance-SCP
5. Bagan analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja
6. Pangsa pasar untuk Pakan dan DOC pada 2007
1
2
6
17
19
25
7. Grafik perkembangan produksi daging beberapa jenis ternak di
Indonesia, 2006-2013 (ribu ton)
8. Hubungan kemitraan di Industri Broiler Indonesia
9. Perbandingan kurva konsentrasi
10. Derivasi Gini Index dari kurva Lorenz
11. Kurva Skala Ekonomi
12. Penetapan harga oleh perusahaan monopoli dan bersaing
13. Surplus Produsen
14. Surplus Konsumen
15. Kerangka pemikiran penelitian Dampak Konsentrasi Industri
terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen di Industri Broiler
16. Diagram keterkaitan variabel dalam SCP Broiler
17. Kurva Lorenz di Industri Broiler Jawa Barat
18. Pangsa pasar tujuh perusahaan broiler terbesar pada 2003 dan 2012
19. Perkembangan rasio konsentrasi dan hambatan masuk di Industri
Broiler Indonesia
20. Perkembangan produksi dan harga rata-rata broiler di Indonesia
21. Hubungan antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler
22. Dampak peningkatan permintaan terhadap SCP Industri Broiler
23. Dampak peningkatan penawaran terhadap SCP Industri Broiler
24. Dampak peningkatan harga daging Ayam Broiler terhadap SCP
Industri Broiler
25. Dampak peningkatan harga pakan terhadap SCP Industri Broiler
26. Dampak peningkatan harga bibit terhadap SCP Industri Broiler
26
29
32
54
56
58
68
69
72
89
104
108
109
109
129
135
136
137
138
140
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil pendugaan model Ekonometrika Simultan Struktur, Perilaku
dan Kinerja Industri Broiler Indonesia
2. Hasil Validasi model Ekonometrika Simultan Struktur, Perilaku dan
Kinerja Industri Broiler Indonesia
3. Hasil simulasi faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi Struktur,
Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Indonesia
4. Hasil simulasi perubahan tingkat konsentrasi Industri terhadap
Indikator Kesejahteraan Masyarakat
5. Sintax Program SAS untuk Estimasi
6. Sintax Program SAS untuk Simulasi
158
164
167
172
180
184
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agribisnis peternakan memegang peranan yang sangat strategis dan mampu
membangun pertumbuhan ekonomi, baik di tingkat perdesaan maupun perkotaan.
Secara makro, sektor peternakan mampu berkontribusi yang cukup besar terhadap
pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), ketahanan pangan, peningkatan
rata-rata pendapatan penduduk nasional dan penciptaan lapangan pekerjaan.
PDB sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya terus mengalami peningkatan.
PDB sub sektor peternakan diperkirakan mencapai Rp. 43.9 trilyun (atas dasar
harga konstan 2000) pada tahun 2013 yang secara konsisten meningkat dari tahun
2005-2013 dengan laju pertumbuhan sebesar 3.7 persen per tahun (BPS, 2013a).
Hal ini memang masih dibawah rata-rata laju pertumbuhan nasional yang
mencapai 5.9 persen, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata laju
pertumbuhan sektor pertanian (Gambar 1). PDB sub sektor peternakan
memberikan kontribusi 12.9 persen terhadap PDB sektor pertanian, dimana share
sektor pertanian terhadap PDB nasional sebesar 12.3 persen.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013.
Gambar 1. Grafik laju pertumbuhan PDB nasional, sektor pertanian dan subsektor
peternakan di Indonesia (dalam persen), 2005-2013
Sektor peternakan sebagai penghasil sumber protein hewani juga
berkontribusi dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
SDM yang berkualitas merupakan faktor penentu dalam upaya meningkatkan
produktivitas dan daya saing bangsa. Sektor peternakan juga memiliki prospek
yang baik untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh karakteristik produk yang
dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa pada
saat krisis ekonomi (1997-2000), daya beli masyarakat menurun. Hal ini berakibat
pada terjadinya penurunan trend konsumsi daging dan telur. Pada periode setelah
2
krisis (2001-2003) laju pertumbuhan konsumsi daging dan telur hingga tahun
2010 terus meningkat (Gambar 2).
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011
Gambar 2. Grafik perkembangan konsumsi daging dan telur nasional (000 ton),
2006-2010
Pemulihan konsumsi produk ternak relatif cepat. Konsumsi hasil-hasil
peternakan totalnya mencapai 6.7 juta ton di tahun 2010, mengalami peningkatan
sebesar 0.62 dari tahun sebelumnya (Ditjen Peternakan dan Keswan, 2011).
Komoditas dan produk peternakan terus meningkat dikarenakan adanya
pertambahan penduduk, pertumbuhan pendapatan, semakin banyaknya penduduk
kelas menengah, meningkatnya urbanisasi, semakin besarnya harapan hidup dan
penduduk usia tua. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk serta
kesadaran akan gizi masyarakat yang meningkat di tahun-tahun mendatang, akan
memacu peningkatan konsumsi produk peternakan. Hal ini merupakan peluang
bagi pengembangan sektor peternakan.
Sensus Pertanian 2013 mencatat bahwa jumlah rumah tangga usaha
pertanian terbanyak di Indonesia adalah di sub sektor tanaman pangan dan sub
sektor peternakan. Jumlah rumah tangga usaha pertanian sub sektor tanaman
pangan adalah sebanyak 17.73 juta rumah tangga dan jumlah rumah tangga (RT)
usaha pertanian sub sektor peternakan adalah sebanyak 12.97 juta rumah tangga.
Hal ini mengalami kenaikan sebesar 131.6 persen jika dibandingkan dengan
jumlah RT peternak hasil sensus tahun 2003. Sementara dalam hal produksi
daging, totalnya mencapai 2.82 juta ton di tahun 2013 (angka sementara),
mengalami peningkatan sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya. Kontribusi
terbesar produksi daging adalah daging ayam ras pedaging atau broiler (52%),
sapi dan kerbau (21%), ayam buras (10%), babi (8%) serta domba dan kambing
(4%). Adapun total produksi telur pada 2013, sebesar 1.7 juta ton, mengalami
peningkatan sebesar 5.6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Kontribusi terbesar produksi telur adalah telur ayam ras (72%), itik (16%) dan
ayam buras (12%). Untuk susu, total produksinya mencapai 0.98 juta ton yang
berasal dari sapi perah dan mengalami peningkatan sebesar 2.3 persen dari tahun
sebelumnya (BPS, 2013b).
3
Perkembangan ekonomi dan arus global telah mendorong masyarakat
mengkonsumsi daging, telur, dan susu lebih banyak. Peluang ini dimanfaatkan
perusahaan multinasional dengan memasukkan produk (susu dan daging), inovasi
(industri ayam ras, industri pengolahan susu), dan bibit (ayam ras, babi, dan sapi).
Kondisi ini menyebabkan perkembangan industri peternakan sangat bergantung
pada impor bibit dan bakalan (ayam ras 100 persen, feeder cattle 450 000
ekor/tahun), bahan baku pakan (bungkil kedelai, jagung, tepung ikan dan Meat
Bone Meal atau tepung tulang), maupun teknologi pengolahan dan pemasaran.
Namun, pertumbuhan yang pesat dalam bisnis peternakan sejauh ini lebih banyak
dinikmati oleh perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) berskala besar.
Digerakkan oleh adanya keuntungan skala ekonomi (economies of scale) dan
globalisasi sistem rantai nilai, MNCs semakin mendominasi sektor agribisnis di
seluruh rantai nilai, dari hulu sampai hilir. Hal ini telah meninggalkan pasar-pasar
tradisional dimana para petani atau peternak skala kecil menjual ke pasar dan
pedagang lokal (Daryanto, 2009).
Salah satu industri peternakan yang perkembangannya sangat pesat adalah
industri perunggasan. Industri perunggasan Indonesia kini telah mencapai
swasembada daging unggas, meskipun dalam beberapa hal seperti pasokan bahan
baku pakan, bibit ayam dan obat masih impor. Komoditas perunggasan berfungsi
sebagai penyedia bahan pangan protein hewani yang harganya relatif lebih murah
dibandingkan dengan harga daging sapi sehingga terjangkau oleh masyarakat luas.
Namun demikian, komoditas ternak unggas masih banyak mengalami
permasalahan dan hambatan baik secara makro maupun mikro. Beberapa
diantaranya yang memerlukan perhatian serius dari para pemangku kepentingan di
peternakan unggas adalah bahan baku pakan yang masih impor dan belum
bebasnya Indonesia dari penyakit yang sangat merugikan secara sosial ekonomis,
khususnya Avian Influenza (AI).
Industri perunggasan di Indonesia sepanjang 2008 lalu menunjukkan kinerja
yang cukup bagus. Bahkan dalam tahun 2009 ketika krisis global dan ketika
terjadi penurunan daya beli, justru mendorong substitusi pangan ke produk
unggas, sehingga industri perunggasan mampu bertahan. Produk unggas yang
tetap bertahan di tengah krisis adalah ayam dan telur (ICN, 2009). Peternakan
ayam broiler menjadi lini terdepan sebagai pabrik penghasil daging unggas.
Selanjutnya peternakan ayam broiler mulai banyak melakukan pengembangan di
beberapa daerah dan didukung oleh sarana dan prasarana yang lain. Ayam
pedaging (broiler) adalah ayam ras yang mampu tumbuh cepat sehingga dapat
menghasilkan daging dalam waktu relatif singkat. Dengan bantuan ilmu
pengetahuan untuk memanipulasi genetik ayam, kini ayam broiler telah mampu
dipasarkan atau dikonsumsi pada umur pemeliharaan sekitar 4 - 5 minggu
(Murtidjo, 2003).
Secara umum, industri perunggasan, khususnya industri ayam broiler, sering
dianggap sebagai panutan bagi industrialisasi pertanian. Industri ayam broiler
merupakan salah satu industri pertanian yang paling terintegrasi. Industri ini telah
mendominasi area persaingan di dalam pasar daging selama 30 tahun terakhir,
memperluas pangsa pasar secara dramatis karena meningkatnya efisiensi,
mempertahankan harga yang lebih rendah dibandingkan pesaingnya dan
meningkatkan penawaran produk serta variasinya. Secara keseluruhan, integrasi
vertikal di industri perunggasan dan ketergantungan pada kontrak produksi
4
dengan peternak mandiri tidak diragukan lagi difasilitasi efisiensi industri dan
tanggap terhadap konsumen, menjadikannya pesaing yang tangguh di pasar
daging secara global (Tsolouhas dan Vukina, 2001).
Seperti halnya di negara maju dewasa ini, industri broiler di Indonesia
sepenuhnya terintegrasi secara vertikal, mulai dari pembibitan dan penetasan,
mesin pembuatan pakan, divisi transportasi dan pabrik pengolahan. Tahap
finishing produksi diatur hampir seluruhnya melalui kontrak dengan peternak.
Sebagian besar nilai tambah dalam pengolahan adalah alasan utama mengapa
prosesor menjadi koordinator dari industri, sehingga akhirnya skala ekonomi yang
signifikan dalam pengolahan telah menyebabkan konsentrasi industri yang
signifikan pula.
Sistem perdagangan global telah mengalami transformasi yang sangat nyata.
Negara-negara maju tetap memberikan tingkat subsidi pertanian yang cukup
tinggi yang dibarengi pula dengan subsidi ekspor. Hal ini merupakan insentif
nyata bagi produsen di negara-negara tersebut sehingga terjadi kelebihan produksi
yang membanjiri pasar dunia. Sementara negara sedang berkembang masih
menghadapi persoalan usaha tani skala kecil, keterbatasan teknologi, dukungan
keuangan, infrastruktur dan lain-lain yang menyebabkan sebagian besar negara
sedang berkembang belum bisa melepaskan diri dari masalah kemiskinan,
pengangguran, ketahanan pangan, dan keterbelakangan kehidupan masyarakat
desa. Kedua hal tersebut menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
perdagangan komoditi pertanian di pasar global yang diikuti oleh konsentrasi
industri di tangan sejumlah perusahaan multi nasional (MNCs), praktek kartel
dan/atau integrasi horisontal dan integrasi vertikal, praktek dumping yang bersifat
predatory, bentuk perjanjian tertutup dan tying in, serta berbagai praktek unfair
business yang lain (Iwantono, 2007)
Hal serupa juga terjadi dalam skala yang lebih kecil di kebanyakan negara
termasuk Indonesia. Untuk itu sangat diperlukan kebijakan persaingan yang
memungkinkan pasar dapat bekerja secara sehat. Kompetisi merupakan elemen
penting (critical element) bagi price-oriented market economy. Tanpa persaingan
yang fair, ekonomi menjadi tidak produktif, industri bekerja secara tidak efisien,
mendorong konsentrasi ekonomi yang diikuti oleh abuse of dominant position,
kehilangan daya inovasi dan kreativitas.
Konsentrasi industri dalam produk-produk pertanian AS ditunjukkan oleh
perkembangan sebagai berikut : Beef Packers dengan CR-4 83.5 persen (CR-4
adalah rasio konsentrasi relatif dari 4 perusahaan terhadap total 100 persen
industri), Pork Packers dengan CR-4 64 persen, Broilers dengan CR-4 56 persen,
Flour Milling dengan CR-4 63 persen dan Soybean Crushing dengan CR-4 71
persen (Iwantono, 2007). Kesemuanya merupakan pasar oligopoli. Semakin
terkonsentrasi suatu industri, maka perbedaan antara yang dibayar konsumen dan
diterima produsen untuk produksi barang mereka semakin besar (Daryanto, 2009).
Sebagaimana industri pangan yang semakin maju, dan didorong oleh
permintaan konsumen, maka koordinasi vertikal, sebagai strategi bisnis menjadi
sangat penting sekarang karena hal ini memungkinkan petani dan industri pangan
untuk mengatur dan menyesuaikan produksi mereka berdasarkan kebutuhan pasar.
Hal ini dipercaya bahwa integrasi vertikal dan kontrak sistemnya pada akhirnya
menyebabkan perubahan, dimana secara konsisten terjadi peningkatan kualitas,
produk lebih beragam dan lebih banyak pilihan produk bagi konsumen.
5
Williamson (1974) dalam Bhuyan (2005), berpendapat bahwa integrasi vertikal
menciptakan efisiensi dengan mengurangi biaya transaksi terkait dengan
pertukaran (market exchange). Perusahaan terintegrasi akan mampu mengurangi
inefisiensi alokatif dengan melakukan diversifikasi resiko, memastikan penawaran
atau pasar, menangkap peluang atau skala ekonomis, menginternalkan
eksternalitas di produksi, penentuan harga dan keputusan pasar (Klein et al.
1978).
Meskipun begitu ada anggapan bahwa apapun bentuk koordinasi, khususnya
integrasi vertikal, bisa meningkatkan kekuatan pasar (market power) dan pada
akhirnya mempengaruhi kinerja pasar. Sementara itu, peningkatan market power
akan menghasilkan welfare loss yang tinggi. Namun apakah integrasi vertikal
dapat meningkatkan kekuatan pasar, hal ini masih menjadi perdebatan dalam
literatur Industrial Organization (Carlton dan Perloff, 2000). Sebaliknya the
Chicago School berpendapat bahwa integrasi vertikal tidak dapat memindahkan
kekuatan pasar dari satu level ke level lainnya (Bhuyan, 2005).
Ada dua area utama dimana welfare loss mungkin terjadi di industri.
Welfare loss mungkin terjadi karena produsen sangat terkonsentrasi dan
membayar kepada individu yang memelihara tanaman/ternak dengan sangat
rendah, atau ini juga dapat muncul karena perusahaan di pasar produk akhir
misalnya, memiliki kekuatan pasar yang besar dan membebankan ke konsumen
lebih besar. Kerugian disisi produksi dapat muncul jika dipasar tersebut terdapat
sejumlah kecil pembeli yang sulit untuk dapat membuat situasi pembelian yang
kompetitif. Kerugian di sisi konsumen dapat muncul jika terdapat sejumlah kecil
penjual dan kurangnya kompetisi menyebabkan peningkatan harga yang dibayar
konsumen (Whitley, 2001)
Perumusan Masalah
Kebutuhan daging ayam broiler cenderung meningkat setiap tahunnya.
Peningkatan kebutuhan ini sejalan dengan situasi perekonomian Indonesia yang
terus bertumbuh. Konsumsi ayam ras pada tahun 2013 mencapai 2.2 miliar ekor.
Jumlah tersebut naik 15.79 persen dibandingkan konsumsi ayam ras sepanjang
2012 sebanyak 1.9 juta miliar ekor. Konsumsi daging ayam ras meningkat
lantaran pendapatan penduduk juga cenderung naik. Masyarakat yang semula
tidak mengkonsumsi ayam, karena pendapatan naik mampu membeli daging
ayam. Tingginya permintaan berdampak pada harga daging ayam broiler di
pasaran. Harga daging ayam broiler pada rentang waktu 2013 berkisar Rp 28 000
hingga Rp 30 000 per kilogram. Harga tersebut naik 15-17 persen dibandingkan
harga tahun sebelumnya yang berada di kisaran Rp 24 000 hingga Rp 26 000 per
kilogram (Kontan, 2013). Perkembangan harga daging ayam broiler yang
meningkat dari waktu ke waktu terlihat pada Gambar 3 dimana di tiga kota besar,
yaitu DKI Jakarta, Semarang dan Surabaya, harga rata-rata daging ayam broiler
terjadi peningkatan antara 12 sampai 16 persen antara tahun 2005- 2013
(Kemendag, 2013).
6
Sumber : Kementerian Perdagangan, diolah Pusat Data dan Informasi Pertanian,
2013
Gambar 3. Grafik perkembangan harga rata-rata daging ayam di tingkat konsumen
di tiga kota besar, 2005-2013
Perubahan struktur pertanian di Indonesia mendapat perhatian lebih
terutama mengenai berkurangnya persaingan di dalam berbagai pasar produk
pertanian, termasuk pasar ayam broiler. Dua perhatian utama dalam industri ayam
broiler adalah integrasi (koordinasi) dan konsentrasi – dimana sejumlah kecil
perusahaan mengontrol sebagian besar penjualan. Konsentrasi industri adalah
situasi yang memperlihatkan derajat penguasaan pasar. Konsentrasi ini ditambah
dengan restrukturisasi terjadi baik melalui penggantian ternak yang ada dengan
lebih sedikit, lebih besar, yang lebih efisien, atau melalui reorganisasi dan
konsolidasi aset perusahaan yang ada ke konfigurasi yang lebih efisien, atau
keduanya. Menurut Weng (2012), konsentrasi dan restrukturisasi dalam industri
broiler bisa memiliki dua dampak; pertama, industri terkonsentrasi tinggi berarti
memiliki kekuatan pasar yang tinggi pula, akibatnya kesejahteraan sosial akan
menurun. Kedua, restrukturisasi industri dapat meningkatkan efisiensi biaya, yang
akan meningkatkan kesejahteraan sosial.
Peningkatan konsentrasi industri terjadi melalui merger, akuisisi, investasi,
dan sarana lainnya. Dalam jangka panjang, skala ekonomi, tingkat diferensiasi
produk, dan kebutuhan modal absolut untuk masuk adalah faktor penting
pembentuk konsentrasi. Sedangkan kenaikan konsentrasi secara positif berkorelasi
dengan kekuatan pasar – kemampuan perusahaan yang signifikan untuk
mempengaruhi harga atau kuantitas di pasar – konsentrasi dapat menyebabkan
efisiensi biaya atau inefisiensi biaya atau biaya netral. Ada atau tiadanya efek
efisiensi yang mampu mengimbangi atau memperkuat efek kekuatan pasar sangat
penting untuk kinerja sistem pangan. Dengan demikian, konsentrasi dapat
berdampak tidak hanya pada konsumen (sejauh bahwa tabungan atau inefisiensi
biaya yang diteruskan kepada mereka), tetapi juga pada daya saing internasional
dan profitabilitas perusahaan pengolahan makanan domestik (Lopez dan Lirón-
España, 2005).
7
Beberapa studi mengenai industri perunggasan menegaskan bahwa struktur
industri perunggasan sekarang ini mengarah ke oligopolistik (Agustina, 2009;
Fitriani, 2006; dan Yusdja et al, 2004). Hal ini ditunjukkan dengan adanya (1) dari
sekitar 40 produsen ayam broiler di Indonesia, 16 perusahaan diantaranya
termasuk kategori skala besar. Enam belas perusahaan skala besar itu menguasai
75 persen pangsa pasar industri produksi broiler (Kontan, 2013), (2) perusahaan
peternakan skala besar seperti Japfa Comfeed, Charoen Phokpand, Malindo,
Sierad Produce, Cheil Jedang dan lain-lain melakukan integrasi vertikal.
Permasalahan pokok yang dihadapi oleh sektor industri dewasa ini adalah
rapuhnya sendi-sendi ekonomi sebagai akibat berkembangnya industri yang
sangat tergantung pada bahan baku impor dan sangat sedikit menyentuh
perekonomian masyarakat luas. Kondisi yang menjadikan terkonsentrasinya
modal pada sekelompok kecil masyarakat telah menimbulkan kesenjangan yang
lebar. Usaha-usaha skala besar ini terintegrasi dari hulu ke hilir. Semestinya
dimasa depan, tumbuh majunya industri nasional harus dibarengi dengan
pemberian manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia,
tanpa merongrong kedaulatan bangsa dan mengorbankan kepentingan nasional
(Kuncoro, 2007)
Industri broiler di Indonesia sebagaimana juga di negara maju dimulai dari
usaha hobi di halaman rumah, yang kemudian berkembang menjadi usaha
komersil walaupun dalam ukuran usaha rakyat. Selanjutnya karena perkembangan
ekonomi, terjadi peningkatan investasi dan teknologi yang mendorong perubahan
struktur industri dari usaha rakyat menjadi suatu industri yang mencakup
perkembangan semua perangkat atau komponen industri dalam skala besar.
Dalam kurun waktu 20 tahun, sejak dimulai pada 1975 hingga 1995, peternakan
ayam broiler rakyat telah berkembang menjadi salah satu industri nasional yang
sangat penting, sekalipun hampir seluruh komponen industri dibangun secara
padat modal (Yusdja et al, 2004).
Ada anggapan bahwa perkembangan industri broiler yang relatif cepat itu
menyembunyikan suatu kegagalan kebijakan pemerintah yang sesungguhnya
menginginkan struktur industri yang sangat berbeda dengan yang eksis sekarang.
Selama masa itu, pemerintah sudah berjuang keras untuk menciptakan struktur
industri broiler dalam bentuk usaha rakyat dengan membangun pilar-pilar industri
padat modal seperti industri pakan, industri pembibitan dan pengolahan (Yusdja et
al, 2004).
Hampir semua segmen industri menjadi lebih terkonsentrasi dari waktu ke
waktu. Perhatian utama sehubungan dengan konsentrasi adalah, hal ini bisa
mengurangi tingkat persaingan di pasar hasil pertanian dan produk pangan dan
menghasilkan kekuatan pasar (sebagai contoh, kemampuan perusahaan
mempengaruhi harga-harga), menempatkan pada posisi yang kurang
menguntungkan pada beberapa segmen penduduk, misalnya produsen atau
konsumen. Namun, konsentrasi bisa juga menghasilkan efisiensi, dimana terjadi
penghematan biaya yang diteruskan kepada konsumen melalui harga eceran yang
rendah, yang pada gilirannya dapat menghasilkan permintaan tambahan untuk
komoditas dan menguntungkan petani. Namun, lembaga yang ahli dan pemerhati
masalah industri umumnya sepakat bahwa konsentrasi kemungkinan akan
meningkat di masa depan, berpotensi meningkatkan kekhawatiran tentang
kekuatan pasar dan manipulasi harga komoditas dan pangan (Shields, 2010).
8
Menurut Yusdja et al. (2004), kegiatan pada usaha broiler ini patut diduga
telah terjadi praktek monopoli dalam bentuk kartel, atau paling tidak peternak
rakyat menghadapi masalah ganda yaitu struktur pasar yang oligopolistik pada
pasar input dan struktur yang oligopsonistik pada pasar output. Disamping itu isu
adanya integrasi vertikal yang disertai integrasi horisontal telah menyebabkan
peternak rakyat berada pada posisi rebut tawar yang lemah. Peternak rakyat
banyak yang mengeluh dengan adanya integrasi vertikal ini. Dalam hal ini
peternak akan menghadapi masalah ganda yaitu masalah pada pasar input dan
sekaligus masalah pada pasar output. Peternak akan sebagai price taker pada pasar
input dan terpaksa harus membayar harga input yang terkadang tidak rasional. Hal
ini antara lain disebabkan oleh : (1) integrasi vertikal yang dijalankan adalah
integrasi vertikal yang semu, sehingga tujuan utama integrasi vertikal adalah
mencapai efisiensi tertinggi tidak tercapai. Hal ini disebabkan perusahaan
peternakan terbagi dalam unit-unit industri yang terpisah yang pada masing-
masing unit perusahaan terdapat margin pemasaran, sehingga peternak rakyat
menghadapi margin ganda dan (2) struktur perusahaan peternakan yang
melakukan integrasi vertikal adalah perusahaan yang oligopolistik, yang bagi
perusahaan akan lebih menguntungkan melakukan kesepakatan-kesepakatan
bisnis dari pada melakukan perang harga. Sementara itu pada sisi pasar output
peternak unggas rakyat menghadapi masalah : (1) pangsa produksi yang dikuasai
baik secara individu maupun kelompok sangatlah kecil dibandingkan pangsa
produksi perusahaan peternakan, (2) tidak ada perbedaan segmentasi dan tujuan
pasar, dan (3) peternak unggas rakyat juga menghadapi struktur pasar yang
oligopsonistik terutama dalam berhadapan dengan inti.
Adapun kajian yang dilakukan pada industri broiler dipandang sangat
relevan, mengingat sekitar 60-70 persen kegiatan industri ayam pedaging nasional
dilakukan secara kemitraan antara integrator dan peternak plasma. Yang menjadi
persoalan mendasar saat ini adalah bagaimana industri perunggasan Indonesia bisa
menjadi efisien kalau isu monopoli masih saja mengkhawatirkan para peternak
mandiri. Cara pandang yang salah terhadap keberadaan integrator di satu sisi dan
peternakan rakyat di sisi lain mungkin harus diperbaiki terutama dalam melihat
secara objektif penyebab terjadinya disparitas dalam input dan output.
Sampai saat ini, penelitian mengenai organisasi industri masih menjadi
topik yang tetap diminati seiring dengan dinamika perkembangan industri terkini
baik dari sisi permintaan maupun dari sisi perkembangan teknologi. Fokus
penelitian seputar konsentrasi industri telah lama menjadi perhatian sehubungan
dengan dikeluarkannya UU Anti Monopoli, dimana disatu sisi konsentrasi yang
tinggi dapat menghasilkan industri yang efisien, yang dapat memberi manfaat bagi
kesejahteraan sosial, namun disisi lain, konsentrasi tinggi juga dapat
menghasilkan kekuatan pasar yang dapat menurunkan kesejahteraan sosial.
Barangkali masih diperlukan campur tangan pemerintah lebih jauh agar
struktur industri perunggasan nasional lebih mengarah kepada pola jaringan
agribisnis yang optimal dengan lebih banyak menggerakkan peternakan rakyat
untuk menguasai usaha dari hulu ke hilir. Upaya pemerintah diperlukan juga
dalam menangani faktor sensitif industri perunggasan seperti jaminan harga bibit
dan harga pakan yang relatif stabil. Dengan demikian ke depan, industri
perunggasan nasional perlu ditata kembali dengan melibatkan semua kelembagaan
pemerintah dan swasta terkait. Strategi jangka panjang dengan mendorong
9
terciptanya keseimbangan struktur dan kekuatan subsistem agribisnis hilir
diperlukan terutama menghadapi derasnya arus masuk produk unggas impor yang
dihasilkan dengan biaya produksi demikian rendah di negara-negara maju.
Keragaman perkembangan industri dicerminkan oleh kondisi internalnya,
terutama dalam kaitannya dengan berbagai indikator kinerja. Keragaman
perkembangan tersebut kemudian mempengaruhi respon industri terhadap
masukan dan fasilitas, baik yang datang dari pihak luar industri maupun strategi
usaha yang dilakukan industri itu sendiri. Beberapa industri memiliki kemampuan
untuk memberi respon yang lebih baik dibandingkan yang lain, dan industri yang
berada pada kelompok ini dapat diidentifikasi sebagai industri yang memiliki
kemampuan usaha yang tinggi. Di lain pihak tantangan terbesar yang saat ini
masih dihadapi oleh industri di Indonesia adalah untuk dapat mewujudkan industri
sebagai badan usaha yang tangguh, yang mampu berusaha secara efisien dan ikut
dalam misi memberdayakan ekonomi rakyat. Hal tersebut dapat diartikan sebagai
tantangan untuk meningkatkan kinerja industri. Dalam kerangka pemikiran teori
organisasi ekonomi dan ekonomi kelembagaan, perilaku usaha (business conduct/
business behavior/ business strategy) yang kemudian mempengaruhi kinerja
(businesss performance). Kinerja itu sendiri pada gilirannya akan membangun
struktur industri.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah industri broiler dalam negeri yang
relatif terkonsentrasi tersebut memiliki kekuatan pasar (market power)? Seberapa
besar dalam mempengaruhi kinerja industri broiler domestik dan implikasinya
terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen? Serta rumusan kebijakan seperti
apa yang dapat mensejahterakan masyarakat sekaligus memajukan industri
broiler? Secara empiris peneliti mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas
menggunakan perangkat analisis Empirical Industrial Organization (EIO).
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak konsentrasi
industri terhadap kinerja dan kesejahteraan masyarakat di industri broiler
Indonesia. Secara spesifik, tujuan penelitian ini dirinci sebagai berikut:
1. Menganalisis dampak konsentrasi industri terhadap kinerja (performance)
industri broiler
2. Menganalisis perubahan lingkungan eksternal terhadap struktur, perilaku
dan kinerja industri broiler
3. Menganalisis perubahan kesejahteraan baik ditingkat produsen maupun
konsumen dan kesejahteraan masyarakat umumnya akibat perubahan tingkat
konsentrasi di industri broiler
4. Merumuskan kebijakan yang dapat mensejahterakan masyarakat sekaligus
memajukan industri broiler
Hasil penelitian dimaksudkan dapat bermanfaat untuk memperkaya ilmu
pengetahuan sekaligus mampu menjawab tantangan industri dalam perspektif
global maupun bagi kepentingan pemerintah dan para stake holder di industri
broiler, khususnya adalah:
1. Sebagai masukan bagi pemerintah, yaitu dalam memprediksi dan
mengevaluasi efek dari kebijakan baru dalam industri serta mampu
10
mengidentifikasi praktek anti persaingan seperti kolusi, penetapan harga dan
perilaku saling menghancurkan sehingga dapat menjadi masukan untuk
merumuskan kebijakan pengembangan industri broiler dimasa datang
2. Pelaku usaha, dapat meningkatkan strategi mereka, pengambilan keputusan
dan tingkat keuntungan serta memanfaatkan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan industri yang harmonis dan sejalan dengan
tujuan memajukan kesejahteraan masyarakat
3. Pengembangan konsep analisis struktur, perilaku dan kinerja dalam
memperkaya khasanah model analisis ekonomi pasar.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Kegiatan penelitian ini diawali oleh suatu diskusi mengenai struktur dan
perilaku usaha industri dalam kelembagaan usaha ayam broiler di Indonesia.
Kemudian disusun model analisa empirik mengenai struktur, perilaku dan kinerja
industri. Unit analisis yaitu perusahaan budidaya ayam broiler (berbadan hukum)
yang menghasilkan sepenuhnya atau sebagian ayam broiler hidup atau untuk
olahan selanjutnya. Kebijakan-kebijakan pemerintah lebih difokuskan pada
kebijakan yang berkenaan dengan industri dan kelembagaan usaha ayam broiler.
Industri broiler tanah air terdiri dari perusahaan budidaya ternak ayam
broiler yang didukung oleh industri pakan, pembibitan, obat-obatan dan peralatan
untuk memenuhi konsumsi rumah tangga dan industri pengolahan daging ayam
broiler. Industri ini berkembang pesat sejak 1980-an dan mulai dilakukan
penghimpunan data dan informasinya sejak 1994. Namun dikarenakan sistem
penyimpanan data sebelum tahun 2000 belum terkomputerisasi seperti sekarang
sehingga pada penelitian ini penggunaan data time series tidak dapat menjadi
solusi. Adapun penelitian ini menggunakan data sekunder yang merupakan data
panel industri broiler dari tahun 2009 sampai 2011 di delapan propinsi di
Indonesia dari Badan Pusat Statistik. Pemilihan propinsi berdasarkan jumlah
perusahaan broiler terbesar yang tersebar di empat pulau yaitu Sumatera, Jawa,
Kalimantan dan Sulawesi. Data yang dihimpun diantaranya harga pakan, harga
bibit, volume pakan, jumlah perusahaan budidaya ayam broiler, jumlah tenaga
kerja, produksi dan konsumsi daging ayam broiler, nilai penjualan, serta biaya-
biaya produksi. Fokus analisis ada dua yaitu di level perusahaan dan level
industri, sehingga menggunakan data agregat dari industri.
Analisis dibatasi hanya pada aspek pasar budidaya di industri broiler, tanpa
membahas lebih lanjut secara mendalam tentang aspek pasar atau tataniaga bahan
baku dan industri pengolahan daging ayam broiler agar lebih fokus, sehingga
perhitungan indeks integrasi vertikal hanya bisa menggunakan rasio nilai tambah
terhadap penjualan. Perkembangan industri ayam broiler dianalisis menggunakan
pendekatan model Struktur-Perilaku-Kinerja. Sebagai faktor eksternal yang
merupakan kondisi dasar industri didekati melalui variabel produksi dan konsumsi
ayam broiler. Sementara untuk kondisi struktur industri didekati melalui variabel
jumlah perusahaan, konsentrasi dan hambatan masuk pasar. Kondisi perilaku
industri didekati melalui variabel integrasi vertikal dan pangsa biaya pakan serta
pangsa biaya produksi dan biaya lainnya sebagai persamaan identitas. Kemudian
untuk kondisi kinerja industri didekati melalui variabel harga produk, efisiensi,
11
produktivitas, tingkat keuntungan, kekuatan pasar dan ketimpangan produksi.
Model yang dibangun kemudian divalidasi untuk simulasi faktor-faktor internal
dan eksternal, dengan tujuan untuk melihat dampak dari perubahan faktor-faktor
tersebut terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri serta sejauh mana
pengaruh perubahan konsentrasi terhadap perubahan surplus produsen dan surplus
konsumen.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah: (1) tidak memasukkan struktur biaya
bibit ayam sehari (DOC) di dalam model. Mengingat adanya keterbatasan
ketersediaan data DOC, hanya variabel jumlah produksi dan harga saja yang dapat
dimasukkan dalam model. Selain itu pangsa DOC dalam biaya produksi daging
ayam relatif rendah, yaitu hanya sekitar 13 persen; (2) tidak membahas kinerja
kemitraan ayam broiler Indonesia secara lebih detail; dan (3) tidak membahas
aspek perdagangan internasional, walaupun aspek ini cukup besar pengaruhnya
terhadap perkembangan industri dan performance agribisnis ayam broiler di
Indonesia.
Kebaruan (Novelty) Penelitian
Penelitian dan kajian mengenai konsentrasi industri dan dampaknya
terhadap kinerja dan kesejahteraan di sektor peternakan telah cukup banyak
dilakukan di luar negeri. Namun di dalam negeri, penelitian yang berkenaan
dengan konsentrasi industri masih sangat sedikit terutama di industri broiler.
Konsentrasi sebagai salah satu komponen struktur pasar sangat menentukan dalam
persaingan antar pelaku pasar yang nantinya berdampak terhadap kinerja pasar.
Kinerja pasar selanjutnya akan berdampak terhadap daya saing produk dan
kesejahteraan masyarakat di industri tersebut.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian organisasi industri
yang sudah ada. Penelitian ini mencoba memperluas cakupan dampak konsentrasi
melalui model yang secara eksplisit mempertimbangkan hambatan masuk sebagai
komponen struktur (structure) industri. Selanjutnya melihat dampak konsentrasi
industri selaku komponen struktur terhadap strategi dan perilaku (conduct)
diantaranya integrasi vertikal dan strategi penggunaan biaya. Selanjutnya melihat
dampak dari konsentrasi industri dan strategi yang menyertainya terhadap kinerja
(performance) industri yaitu harga, efisiensi, produktivitas, tingkat keuntungan,
kekuatan pasar dan ketimpangan. Hal ini dianalisis melalui penggunaan analisis
simultan dengan menggunakan pendekatan Structure-Conduct-Performance.
Hal lain yang berbeda dari penelitian ini adalah pertama, pertimbangan
simultan dari perubahan permintaan, penawaran dan konsentrasi, yang
menunjukkan efek dinamis dari konsentrasi. Tentunya ini dapat dicapai dengan
memperluas model saat ini sehingga konsentrasi yang berinteraksi dengan
perubahan faktor eksternal, atau melalui persamaan konsentrasi yang menjelaskan
dalam hal efisiensi, produktivitas dan variabel kinerja lainnya; kedua, belum ada
penelitian yang secara komprehensif menganalisis dampak konsentrasi terhadap
beberapa variabel kinerja sekaligus khususnya melihat dampak konsentrasi
industri terhadap ketimpangan dan kesejahteraan masyarakat di industri broiler
Indonesia saat ini.
12
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Literatur Mengenai Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar
Sub bab ini merujuk model analisis dari teori terdahulu mengenai Struktur,
Perilaku dan Kinerja Pasar (Structure, Conduct and Performance-SCP) yang telah
dibukukan dalam puluhan tahun hingga sekarang. Ada beberapa kerangka dan
perspektif yang dikemukakan yaitu; “Harvard Tradition”, “Chicago-UCLA
School”, “Contestable Market”, “Game Theory”, “Strategic Behavior” dan
perspektif ”New-Harvard Tradition”.
Model Perspektif ”Harvard Tradition” atau Aliran Strukturalis
Menurut Bain (1959), untuk mengukur struktur pasar digunakan aspek
strategis sebagai berikut :
1. Derajat konsentrasi penjual, digambarkan dengan jumlah dan distribusi
penjual dalam pasar
2. Derajat konsentrasi pembeli, digambarkan dengan jumlah dan distribusi
pembeli dalam pasar
3. Derajat diferensiasi produk, jumlah output dari berbagai penjual yang sulit
dibedakan oleh pembeli
4. Kondisi masuk pasar yang dapat dijelaskan dengan mudah atau sulitnya
masuk pasar terutama bagi pendatang baru.
Sedangkan untuk mengukur kinerja (performance), digunakan indikator
sebagai berikut :
1. Ketinggian harga jual dengan biaya rata-rata produksi
2. Efisiensi produksi dipengaruhi oleh skala usaha perusahaan seperti
kesesuaian produksi dengan kapasitas produksi
3. Jumlah biaya promosi per biaya produksi
4. Karakter produk termasuk rancangan, kualitas produk dan macam-macam
produk dalam pasar
5. Tingkat progresif perusahaan dan industri dalam mengembangkan produk dan
teknik produksi dan perbandingan biaya.
Struktur pasar merupakan elemen strategis yang relatif permanen dari
lingkungan perusahaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku dan
kinerja di dalam pasar (Koch, 1980). Struktur pasar merupakan bahasan penting
untuk mengetahui perilaku dan kinerja suatu industri. Struktur pasar merupakan
atribut pasar yang mempengaruhi sifat persaingan. Elemen struktur pasar adalah
pangsa pasar (market share), konsentrasi (concentration) dan hambatan masuk
(barriers to entry). Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka akan semakin tinggi
hambatan masuk dalam suatu industri. Konsentrasi industri (Concentration Ratio-
CR4), dikatakan tinggi jika nilai konsentrasi penjualan dari empat perusahaan
terbesar melebihi 70 persen dari total penjualan.
Ditinjau dari sisi deskripsi perilaku pasar (conduct), berbagai ukuran bisa
dipakai sesuai perkembangan teori seperti; teori harga, diskriminasi harga,
potongan harga, jaminan kualitas, strategis menghadapi pesaing dengan bekerja
sama (cooperative strategy) dan strategi tidak bekerjasama (noncooperative
13
strategy), integrasi vertikal, dan restriksi vertikal. Sementara itu, kinerja pasar
(performance) biasanya diukur dengan dua cara yaitu; pertama, dengan tingkat
pengembalian modal (rate of return-ROR), yaitu keuntungan dari uang yang
diinvestasikan. Kedua, harga dikurangi biaya marginal (price-cost margin),
namun ada juga harga dikurangi biaya rata-rata (price-cost average).
Menurut Tirole (1989), pada mulanya pokok pembahasan dalam Organisasi
Industri adalah bahasan tentang ekonomi industri yang menekankan perilaku
perusahaan dan industri, terutama dalam pengendalian keseluruhan pasarnya.
Studi organisasi industri adalah studi tentang fungsi pasar yang menjadi konsep
penelitian diperkuat dengan teori Ekonomi Mikro. Pegembangan Teori Organisasi
dilakukan oleh Bain dan Mason (1959), yang terkenal dengan "Harvard
Tradition"nya telah mengembangkan paradigma yang terkenal dengan (Structure-
Conduct- Performance-SCP).
Sedangkan menurut Koch (1980), konsep dasar yang penting dalam
paradigma SCP adalah perusahaan selalu berusaha untuk mencari keuntungan
dengan berupaya menguasai pangsa pasar (market share) sebesar-besarnya. Oleh
karenanya, Bain dan Mason berhipotesis bahwa terdapat hubungan langsung
antara struktur, perilaku dan kinerja pasar. Paradigma SCP adalah mengupayakan
model tradisional yang dibutuhkan untuk merumuskan jawaban atas sejumlah
pertanyaan substantif terutama perilaku perusahaan yang terdapat di pasar dan
kondisi dasar dari pasar menentukan struktur, struktur menentukan perilaku,
perilaku menentukan kinerja, dan paradigma SCP memperluas bahasannya dalam
hubungan struktur pasar, perilaku dan kinerja ke Oligopoli.
Paradigma ini menjelaskan adanya hubungan struktur dengan kinerja pasar
yang dihasilkan melalui perilaku-perilaku tertentu dari perusahaan yang ada. Oleh
sebab itu, dapat dikatakan bahwa kinerja suatu industri merupakan fungsi dari
struktur yang terjadi. Hal ini dapat dilihat melalui persamaan berikut :
P = f (S)
dimana : P = Performance (kinerja)
S = Structure (struktur)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa elemen dari struktur pasar
adalah tingkat konsentrasi dan hambatan masuk atau entry barriers. Oleh sebab
itu, variabel-variabel yang membentuk struktur pasar tersebut juga akan
mempengaruhi kinerja yang dihasilkan oleh pasar tersebut melalui perilaku
tertentu dari perusahaan yang ada di pasar. Persamaan tadi dapat diubah menjadi :
P = f (CR, EB)
dimana : CR = Variabel pengukur tingkat konsentrasi
EB = Entry Barriers atau hambatan masuk
Dalam pandangan tradisional, konsentrasi yang tinggi dalam suatu industri
akan mendorong terciptanya tingkat kolusi yang tinggi diantara perusahaan yang
ada di dalamnya, sehingga membuat industri tersebut cenderung memiliki struktur
pasar monopoli. Hal ini akan berdampak pada pembentukan harga yang tinggi,
apalagi jika didukung dengan biaya produksi yang tetap, maka keuntungan yang
diperoleh dari perusahaan-perusahaan tersebut akan meningkat. Tingkat
14
keuntungan ini dapat dijadikan proksi penilaian kinerja suatu perusahan atau suatu
industri. Para penganut aliran strukturalis percaya bahwa dalam mencapai kinerja
industri yang baik, perlu campur tangan pemerintah untuk menjaga kestabilan
iklim kompetisi. Dengan kata lain, aliran ini mengatakan bahwa kinerja yang
dianggap baik adalah kinerja yang dihasilkan oleh struktur pasar persaingan
sempurna.
Model Perspektif “Chicago- UCLA School”
Menurut Shepherd (1997), paradigma SCP memberikan satu pendekatan
yang penting dalam pengkajian pasar pada dunia nyata (real world) tetapi tidak
hanya satu pendekatan dalam pengkajian organisasi industri. Perspektif “Chicago-
UCLA School” mempunyai model tentang teori harga yang digunakan sebagai
peralatan analisis pasar. Menurut pandangan ini arah pengaruh atau penyebab dari
diagram SCP adalah berkebalikan, dimana kinerja pasarlah yang mempengaruhi
perilaku pasar, dan perilaku pasar yang mempengaruhi struktur pasar. Setiap
perusahaan mempunyai tingkat efisiensi relatif yang menjadi penentu yang nyata
bagi posisi perusahaan dalam struktur dan perilaku pasar. Pandangan ini
dipelopori oleh Stigler (1980), sebagai reaksi dari pandangan yang diberikan
kaum strukturalis yang diperoleh Bain. Menurut pandangan ini, kinerja
perusahaan akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam strategi harga, strategi
produksi, dan strategi promosi. Perilaku inilah yang akan mempengaruhi struktur
pasar. Sehingga persamaan yang diciptakan menurut pandangan ini adalah sebagai
berikut.
Struktur = f (kinerja)
Berbeda dengan kaum strukturalis, pengikut pandangan “Chicago- UCLA
School” ini mengatakan bahwa campur tangan pemerintahlah yang menyebabkan
perilaku anti kompetisi. Oleh sebab itu, pandangan ini lebih meyakini bahwa
dengan lepas tangannya pemerintah dan membiarkan perekonomian menurut
mekanisme pasar, akan lebih bisa mengatasi distorsi yang terdapat dalam pasar
tersebut. Perusahaan yang efisien atau yang inovatif dapat menarik konsumen
melalui harga yang lebih murah dan produk yang lebih baik, sehingga dapat
menghasilkan laba yang lebih tinggi dan juga market share yang lebih besar.
Model ini menganut mazhab ekonomi klasik yang mengandalkan mekanisme
pasar dan tidak cocok dipakai untuk menjelaskan perkembangan industri broiler
Indonesia dimana dari tahun 1960 sampai tahun 1990 ada peranan Pemerintah
dalam mengatur perkembangan industri broiler.
Model Perspektif “Contestable Market”
Menurut Baumol (1982), terdapat pandangan atau versi lain yang
menekankan bahwa laba yang berlebihan akan menarik perusahaan-perusahaan
baru untuk masuk pasar terutama dengan biaya masuk (entry) yang rendah
menyebutnya dengan Contestable Market yaitu struktur pasar tertentu yang tidak
cukup hanya mendasarkan pada kinerja. Dengan perkataan lain, terdapat
pandangan entry secara contestability sebagai penentu atau keputusan dari luar
15
untuk memasuki pasar yang tidak ada hubungannya dengan struktur internal
pasar. Pandangan ini dikembangkan sebagai kebebasan masuk pasar
“Contestability atau Free Entry School”. Aliran tersebut mengatakan bahwa entry
mempengaruhi langsung kinerja pasar. Model ini juga menganut mazhab ekonomi
klasik dan cukup sederhana serta mengandalkan mekanisme pasar, sehingga tidak
cocok dipakai untuk menjelaskan perkembangan industri broiler Indonesia.
Model dan Perspektif “Game Theory”
Disamping tiga aliran di atas terdapat aliran baru sebagai alternatif teori
tentang organisasi industri (New Industrial Organization Theory). Aliran dalam
organisasi industri (New Industrial Organization School) menentukan analisis
abstrak dan keadaan dua perusahaan dengan pengembangan teori permainan
(Game Theory), khusus untuk perilaku perusahaan kategori oligopoli non-
kooperatif (noncooperative oligopoly). Ada dua kategori model dalam pendekatan
teori permainan oligopoli non-kooperatif (Game Theory) yaitu :
1. Model oligopoli dalam periode tunggal antara lain perspektif menurut Nash
Equilibrium, The Cournot Model, The Betrand Model, The Stachelberg
Leader-Follower Model, dan Comparison of The Major Model.
2. Model oligopoli dalam berbagai periode, yaitu model dilema tahanan ”Single-
Period Prisoners-Dilemma Game”, dilema tahanan ”Infinitely Repeat
Prisoners-Dilemma Game”, dan type of Equilibria in Multiple Games.
Semua kategori dari model teori permainan ini memberikan hasil (out come)
yang sangat tergantung pada asumsi sekaligus menjadi kelemahan teori ini. Lima
asumsi kuat yang dipakai dalam permainan (game) pada non-kooperatif oligopoli
(non-cooperative oligopoly) ini adalah :
1. Konsumen bertindak sebagai pengambil harga (price takers)
2. Semua perusahaan menghasilkan produk sejenis (homogenous)
3. Tidak ada pendatang baru dalam industri, jumlah perusahan tetap (no entry)
4. Perusahaan secara kolektif memiliki kekuatan pasar, mereka dapat
menetapkan harga diatas biaya marginal,
5. Masing-masing perusahaan hanya menetapkan harga atau jumlah out put
tertentu (not advertising or other variabels)
Teori permainan (game theory) menganalisa interaksi secara rasional,
keputusan dari perusahaan secara individual tidak mungkin diramal. Model dari
perilaku kooperatif (cooperative) dan non-kooperatif (noncooperative oligopoly)
dapat dilihat dari strategi permainan seperti penetapan jumlah output, harga, atau
tingkat advertensi. Permainan Oligopolistik memiliki tiga elemen umum yaitu :
1. Ada dua atau lebih perusahaan dalam permainan (players)
2. Masing-masing perusahaan berusaha memaksimumkan keuntungan (pay off)
3. Masing-masing perusahaan mewaspadai tindakan perusahaan lain yang dapat
mempengaruhi keuntungan perusahaannya (profit).
Beberapa model oligopoli dibedakan atas tindakan yang dilakukan
perusahan seperti penetapan harga atau output. Jika keputusan perusahaan
menetapkan harga, maka berikutnya adalah menetapkan waktu permainan, apakah
satu periode atau banyak periode permainan. Ada tiga model yang terkenal dalam
oligopoli yaitu Cournot, Betrand, dan model Stachelberg. Jika perusahaan
menetapkan output maka asumsi yang dipakai adalah model Cournot dan
16
Stachelberg, sedangkan jika perusahaan menetapkan harga dipakai asumsi dari
model Betrand. Semua perusahaan bertindak dalam waktu bersamaan dalam
model Cournot dan Betrand dimana satu perusahaan menetapkan tingkat output
sebelum perusahaan lain menetapkan output. Perbedaan tindakan dalam
perusahaan bermaksud agar titik keseimbangan yang dicapai berbeda pada
masing-masing model. Bersamaan dengan itu, beberapa pasar hanya bermain
dalam satu periode sementara yang lain bermain dalam banyak periode.
Permainan satu periode dapat dijelaskan bahwa pertemuan hanya berlangsung
dalam satu kali pertemuan misalnya dalam satu pekan raya tertentu, perusahaan
menetapkan harga atau output pada hari itu saja dan tidak memiliki kesempatan
menyelidiki prilaku perusahaan saingannya dan tindakan perusahaan saingannya
dimasa yang akan datang (Single-Period Oligopoly Models).
Model dalam permainan banyak periode, analisa yang digunakan adalah
masing-masing perusahaan memiliki kesempatan untuk saling menyelidiki
perilaku pesaingnya dari hari ke hari sepanjang tahun. Kemungkinan yang terjadi
adalah masing-masing perusahaan bersaing secara berulang-ulang dan melakukan
berbagai penyesuaian atas tindakan pesaingnya (Multiperiod Games). Model ini
sangat tergantung kepada asumsi yang dibuat dan belum cocok digunakan untuk
menjelaskan perkembangan industri broiler Indonesia dimana sulitnya
mendapatkan reaksi atau perilaku perusahaan besar di industri broiler sehubungan
dengan kerahasiaan strategi.
Model dan Perspektif “Strategic Behavior” dari Martin
Menurut Martin (1993), pengembangan kerangka pemikiran organisasi
industri terus dilakukan yaitu terdapat hubungan kausal yang sangat sederhana
dalam model linear. Dengan model yang dikembangkan tersebut dimasukkan ke
dalam hubungan saling pengaruh mempengaruhi antara struktur, perilaku dan
kinerja, yang terdapat dalam dunia nyata. Model ini digambarkan pada Gambar 4,
dan masih terkait dengan ekonomi industri yaitu melihat kebijakan perusahaan
dalam industri. Pada pola pandangan organisasi industri (Main Stream), menurut
pemikiran dan pengalaman bisnis yang ada, mengasumsikan bahwa setiap struktur
pasar cenderung mempengaruhi bagaimana perusahaan bertingkah laku dan
bagaimana hasil kinerja yang diperoleh perusahaan tersebut. Dalam model
tersebut, struktur dan perilaku keduanya ditentukan oleh sebagian keadaan dasar
yaitu keadaan permintaan dan sebagian lagi oleh teknologi. Struktur
mempengaruhi perilaku, tetapi perilaku melalui strategi (Strategic Behavior) juga
mempengaruhi struktur dan perilaku saling berhubungan untuk menentukan
kinerja perusahaan.
17
Sumber : Martin, 1993
Gambar 4. Model hubungan saling pengaruh mempengaruhi dari Structure
Conduct Performance-SCP
Model yang dikembangkan Martin (1993), tidak dapat dipakai sebagai
model acuan dalam menjelaskan mekanisme perkembangan pasar broiler
Indonesia karena model ini memiliki penekanan pada strategi dan bahwa variabel
permintaan konsumen dan variabel teknologi dipasang secara berhadap-hadapan,
sehingga sulitnya improvisasi untuk pengembangan model lebih lanjut.
Model dan Perspektif ”New-Harvard Tradition”
Menurut Carlton dan Perloff (2000), ada dua pendekatan model dalam studi
pasar; pertama, pendekatan struktur, perilaku dan kinerja (structure, conduct and
performance-SCP), model ini biasa digunakan untuk mendeskripsikan pasar.
Kedua, adalah model teori harga dari teori ekonomi mikro untuk menjelaskan
perilaku dan struktur pasar. Pendekatan model SCP New-Harvard Tradition,
dimana masing-masing komponen saling berinteraktif, misalnya kinerja pasar
tergantung pada perilaku pasar, perilaku tergantung pada struktur pasar yaitu
faktor yang menentukan persaingan, selanjutnya struktur pasar tergantung pada
kondisi dasar yaitu permintaan dan produksi meliputi elastisitas permintaan,
barang pengganti, musim, tingkat pertumbuhan ekonomi, lokasi, jumlah order,
metode perbelanjaan dan teknologi, bahan baku, keseragaman produk, ketahanan
barang, lokasi, skala ekonomi dan skop ekonomi. Sebaliknya kondisi dasar
mempengaruhi struktur pasar, struktur mempengaruhi perilaku dan perilaku
18
mempengaruhi kinerja, ketiga komponen ini dan kondisi dasar dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah.
Menurut teori, struktur pasar (structure) dapat dijelaskan; bila terdapat
banyak pembeli dan penjual dan tidak ada batasan untuk masuk dan keluar pasar,
pasar ini disebut pasar persaingan (competition). Ketika satu perusahaan penjual
dan banyak pembeli dan tidak ada perusahaan baru yang dapat masuk pasar
sebagai penjual, pasar ini disebut monopoli (monopoly). Sebaliknya jika hanya
ada satu perusahaan yang membeli kepada banyak penjual, disebut monopsoni
(monopsony). Jika penjual dapat mempengaruhi harga walaupun terdapat
persaingan dalam pasar, maka struktur pasar ini disebut oligopolistik atau
persaingan monopolistik (monopolistic competitions). Jika terdapat sedikit
perusahaan penjual dalam pasar dengan hambatan masuk dan keluar pasar cukup
besar bagi perusahaan lain disebut oligopoli (oligopoly). Berikut ini ditampilkan
Tabel 1 mengenai taksonomi dasar dari struktur pasar.
Pada pasar persaingan, baik sipenjual maupun sipembeli, kecil sekali
kemungkinan untuk dapat mempengaruhi harga pasar, di sini perusahaan sebagai
pengambil harga (price takers). Pasar persaingan lebih disukai konsumen karena
lebih menguntungkan. Sebaliknya pada pasar monopoli, perusahaan memiliki
kekuatan dalam menetapkan harga diatas harga pasar persaingan (price setter),
pasar ini menguntungkan perusahaan namun merugikan konsumen.
Tabel 1. Taksonomi dasar dari Struktur Pasar
Struktur pasar
Penjual Pembeli
Hambatan
masuk
Jumlah
perusahaan
Hambatan
masuk
Jumlah
perusahaan
Pasar persaingan Tidak ada Banyak Tidak ada Banyak
Monopoli Ada Satu Tidak ada Banyak
Monopsoni Tidak ada Banyak Ada Satu
Oligopoli Ada Beberapa Tidak ada Banyak
Oligopsoni Tidak ada Banyak Ada Beberapa
Monopolistik Tidak ada Banyak Tidak ada Banyak
Sumber : Carlton dan Perloff, 2000
Pada sisi perilaku (conduct), perusahaan melakukan berbagai upaya untuk
mewujudkan tujuannya dengan; melakukan promosi, riset dan pengembangan,
penetapan harga, taktik yang legal, pilihan produk, kolusi, merjer dan sistem
kontrak. Tindakan yang diambil perusahaan umumnya untuk menurunkan tingkat
persaingan di pasar seperti menetapkan harga atau membatasi jumlah barang yang
dijual bahkan tindakan yang lebih kompleks dari itu yang dikenal dengan tindakan
strategis perusahaan (strategic behavioral). Sementara itu kinerja (performance),
yang didefinisikan sebagai kesuksesan pasar dalam menghasilkan keuntungan
bagi konsumen, misalnya kinerja pasar dikatakan bagus jika perusahaan mampu
menetapkan harga mendekati biaya marginalnya.
Ketiga komponen yaitu struktur, perilaku, kinerja dan kondisi dasar
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah baik secara langsung maupun tidak
langsung meningkatkan atau menurunkan kesejahteraan produsen dan konsumen.
Beberapa tindakan pemerintah berkaitan dengan aturan (regulation) yaitu; anti
19
monopoli, pembatasan masuk atau keluar pasar, pemberlakuan pajak atau subsidi,
insentif investasi, insentif tenaga kerja dan kebijakan ekonomi makro (Carlton dan
Perloff, 2000). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 5.
Sumber : Carlton dan Perloff, 2000
Gambar 5. Bagan analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja
Model yang dikembangkan Carlton dan Perloff (2000), bertitik tolak pada
mazhab ”Harvard Tradition”, sudah memiliki ketajaman spesifik jika diterapkan
sebagai model dalam mengungkap perkembangan industri broiler Indonesia
Kondisi Dasar (Basic Condition)
- Elastisitas Permintaan
- Teknologi
- Substitusi
- Tingkat Pertumbuhan
- Musim/trend
- Bahan baku
- Lokasi
- Skala dan Skop Ekonomi
Struktur (Structure)
- Jumlah Pembeli dan Penjual
- Hambatan Masuk Pasar
- Diferensiasi Produk
- Integrasi Vertikal
- Diversifikasi
Perilaku (Conduct)
- Promosi/Iklan
- Riset dan Pengembangan
- Perilaku Harga
- Pilihan Lokasi Investasi
- Taktik Legal
- Pilihan Produk
- Kerjasama (Collusion)
- Merjer dan Sistem Kontrak
Kinerja (Performance)
- Harga
- Efisiensi
- Pemerataan
- Kualitas Produk
- Kemajuan bidang tehnik
- Keuntungan
Kebijakan Pemerintah
- Regulasi
- Anti Monopoli
- Batasan Masuk Pasar
- Pajak dan Subsidi
- Insentif Investasi
- Insentif Tenaga Kerja
- Kebijakan Makroekonomi
20
karena memasukkan spesifiknya peranan pemerintah dalam perkembangan
industri.
Tinjauan tentang Industri Ayam Broiler, Produksi dan Konsumsinya
Industri Ayam Broiler
Salah satu komoditas peternakan yang berpotensi untuk dikembangkan di
Indonesia adalah ayam ras pedaging (broiler). Ayam broiler merupakan jenis ras
unggulan hasil persilangan dari ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi,
terutama dalam memproduksi daging. Industri ayam broiler memiliki daya saing
atau keunggulan komparatif dalam pengusahaannya. Pengusahaan ayam broiler
untuk pemenuhan kebutuhan domestik, secara ekonomis adalah efisien dalam
pemanfaatan sumberdaya dalam negeri (Siregar dan Rusastra, 2002).
Ayam ras, yang dikenal sekarang dengan istilah Ayam broiler asal mulanya
diimpor dari luar negeri. Impor anak ayam dalam umur sehari atau disebut Day
Old Chick (DOC) dalam bentuk DOC komersial (DOC Final Stock/DOC FS).
Final Stock yaitu jenis ayam yang tidak untuk dikembang biakkan lagi, hanya
dipelihara dalam satu siklus produksi. Sekarang ini Indonesia telah mampu
memproduksi Parent Stock (PS), yaitu indukan ayam yang akan menghasilkan
telur yang harus ditetaskan menjadi anak ayam atau day old chick (DOC).
Sesekali Impor bibit PS juga kerap terjadi apabila produksi dalam negeri tidak
mencukupi. DOC broiler (ayam pedaging) dahulunya dipelihara sampai panen
selama 8 minggu, namun sekarang ini akibat kemajuan teknologi pemuliaan
ternak, ayam broiler sudah dapat dipanen pada umur pemeliharaan 4-5 minggu.
Ayam ras komersial merupakan hasil kemajuan teknologi pemuliaan ternak
(animal breeding), baik melalui persilangan beberapa bangsa ayam atau galur
murni (pure breed/line). Ayam jenis ini memiliki karakteristik yaitu produktivitas
tinggi, tahan penyakit dan memiliki sifat-sifat unggul.
Sebenarnya ayam broiler ini baru populer di Indonesia sejak tahun 1980-an,
walaupun galur murninya sudah diketahui pada tahun 1960-an ketika peternak
mulai memeliharanya. Sebelumnya ayam yang dipotong adalah ayam petelur
seperti ayam white leghorn jengger tunggal. Tidak heran bila pada saat itu banyak
orang yang antipati terhadap daging ayam ras sebab ada perbedaan yang sangat
mencolok antara daging ayam ras broiler dan ayam ras petelur, terutama pada
struktur pelemakan didalam serat-serat dagingnya. Antipati masyarakat yang saat
itu sudah terbiasa dengan ayam kampung terus berkembang hingga pemasaran
ayam broiler semakin sulit. Pada akhir periode 1980-an pemerintah
mencanangkan penggalakan konsumsi daging ayam untuk menggantikan
konsumsi daging ruminansia yang saat itu semakin sulit keberadaannya. Kondisi
pun berbalik kini banyak peternakan ayam broiler bangkit. Dari sinilah ayam
broiler komersial atau ayam broiler final stock mulai dikenal dan secara perlahan
mulai diterima orang (Rasyaf, 1993). Perkembangan yang pesat dari ayam ras pedaging ini juga merupakan upaya
penanganan untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat terhadap daging ayam.
Dengan tumbuh pesatnya industri perunggasan, maka tumbuh spesialisasi industri
yaitu pembibitan (animal breeder), penetasan (hatchery), pemotongan/
21
pemrosesan ayam pedaging, telur tetas, telur konsumsi, pakan ternak, obat-obatan
hewan, sarana produksi dan sebagainya (ICN, 2009).
Ada empat pola usaha ternak (budidaya) ayam ras pedaging (broiler) dan
petelur, yakni: (1) usaha ternak ayam ras menyediakan sendiri seluruh
sapronaknya baik langsung maupun melalui perusahaan afiliasi, (2) usaha ternak
ayam menyediakan sendiri sebagian sapronaknya, misalnya usaha ternak
menghasilkan sendiri pakan ayam ras tetapi tidak menyediakan Day Old Chick
(DOC) atau sebaliknya, (3) usaha ternak yang membeli sendiri seluruh
sapronaknya langsung dari pabrik, dan (4) usaha ternak ayam ras yang membeli
seluruh sapronaknya melalui poultry shop. Dari empat pola usaha ini, pola satu
dan dua mempunyai peluang yang lebih baik dalam berbagai kondisi pasar.
Sedangkan usaha ternak pola empat berada pada posisi bersaing yang lemah dan
sangat peka terhadap perubahan harga sapronak. Dalam keadaan harga sapronak
naik, sedangkan harga produk ayam ras tidak naik, maka usaha ternak pola
keempat ini akan sangat menderita (Alim, 1996).
Perkembangan Industri Pakan dan Pembibitan Ayam Broiler
Industri broiler nasional terdiri atas beberapa segmen kegiatan yang satu
sama lain memiliki ketergantungan yang sangat besar karena menyangkut
kebutuhan biologis. Segmen pertama adalah budidaya, kemudian segmen pabrik
pakan, pembibitan, farmasi, industri rumah potong, dan selanjutnya pengemasan.
Menurut Nesheim (1979), urutan segmen produksi terintegrasi berada dalam satu
unit perusahaan, bahkan juga berada dalam satu lokasi perusahaan. Transfer
output intermediate sangat hemat dalam biaya angkutan, kemasan, resiko
kematian/ kerusakan dalam perjalanan, resiko penghematan tenaga kerja, dan
tidak ada margin keuntungan pada setiap segmen. Dengan demikian struktur
produksi vertikal semacam itu memberikan hasil akhir yang lebih efisien
dibandingkan jika segmen tersebut berserakan, baik menurut perusahaan maupun
berdasarkan lokasi perusahaan.
Peternakan ayam potong serta penghasil pakan dan DOC sebagian besar
merupakan perusahaan besar yang sudah menggunakan teknologi modern.
Sebagian besar industri peternakan ayam komersial di Indonesia merupakan
Penanaman Modal Asing (PMA) yang mendominasi pasar, dengan menguasai
sekitar 70-80 persen pasar. Sejumlah perusahaan asing tersebut diantaranya
Charoen Popkhand yang berpusat di Thailand, Cheil Jedang dari Korea, Sierad
berasal dari Malaysia dan lain-lain. Produsen besar tersebut umumnya terintegrasi
dengan industri pakan ternak, industri pembibitan serta industri pengolahan hasil
ternak (Indonesian Commercial Newsletter, 2009).
Dayasaing produk perunggasan dinilai merupakan tantangan yang cukup
kuat bagi perkembangan industri perunggasan, terlebih jika dikaitkan dengan
pasar global. Komponen terbesar untuk memperoleh produk yang berdayasaing
terletak pada aspek pakan, dimana pada usaha budidaya ayam broiler, biaya pakan
menempati porsi terbesar atau mencapai 70-80 persen dari total biaya produksi.
Bukti empiris menunjukkan bahwa lemahnya kinerja penyediaan bahan baku
pakan menjadi salah satu kendala dalam menghasilkan produk unggas yang
berdayasaing. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan bahan baku utama pakan
unggas yang sebagian besar terdiri dari jagung, dimana impor jagung untuk
22
kebutuhan pakan unggas terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada akhir tahun
2004 impor jagung mencapai 1.7 juta ton (Litbang Pertanian, 2004).
Produksi pakan nasional jelas berhubungan dengan permintaan akan produk
ayam broiler. Produksi pakan nasional meningkat sepanjang periode 2004-2008
dengan pertumbuhan sebesar 8 persen dari 5.98 juta ton di 2004 menjadi 8.15 juta
ton di 2008. Jumlah pabrik pakan skala besar meningkat dari 56 pabrik (2004)
menjadi 61 pabrik di 2008 yang tersebar di delapan provinsi, yaitu Sumatera Utara
9 pabrik, Sumatera Barat 1 pabrik, Lampung 4 pabrik, Banten 12 pabrik, DKI
Jakarta 4 pabrik. Di Jawa Barat terdapat 8 pabrik, Jawa Tengah 3 pabrik, 16
pabrik di Jawa Timur, Kalimantan Selatan 1 pabrik dan Sulawesi Selatan 3
pabrik. Kapasitas produksi dari seluruh pabrik pakan di tahun 2008 sebesar
12 juta ton per tahun (BPS, 2009a)
Sementara untuk bibit ayam broiler, berdasarkan data Ditjen Peternakan,
produksi pembibitan ayam ras pedaging (broiler) dalam periode lima tahun pada
2004-2008 mengalami peningkatan. Kondisi perunggasan tidak terlepas dari
berapa suplai DOC FS yang diproduksi oleh para pembibit. Produksi bibit ayam
ras (Day Old Chick Final Stock/DOC FS) broiler pada triwulan pertama tahun
2008 tercatat naik menjadi 26.8 juta ekor per minggu atau terjadi peningkatan
sebesar 16.5 persen dari 23 juta ekor per minggu pada periode yang sama tahun
sebelumnya. Kenaikan produksi DOC FS broiler, didukung oleh laporan
populasi, produksi dan distribusi yang disampaikan oleh para pembibit. Kenaikan
produksi di triwulan pertama ini disebabkan karena efek samping dari faktor
bisnis pada triwulan keempat tahun 2007, antara lain penjualan DOC yang tidak
optimal, penundaan/pengurangan setting HE (harga ekspor) dan aborsi
disetter/hatcher pada triwulan keempat tahun 2007 untuk peningkatan harga.
Kejadian seperti ini terjadi hampir di setiap tahun (ICN, 2009).
Di Indonesia terdapat 12 perusahaan pembibitan ayam Grand Parent Stock
(GPS) atau bibit ayam nenek yang masih memiliki ketergantungan impor 100
persen bibit GPS dari luar negeri. Data Direktorat Jenderal Peternakan (2012)
menunjukkan impor GPS unggas dalam lima tahun terakhir terus melonjak.
Rinciannya yakni, pada 2007 dilakukan impor bibit GPS sebanyak 361 460 ekor,
tahun 2008 sebanyak 370 036 ekor, lalu di tahun 2009 mengimpor bibit GPS
sebanyak 404 774 ekor dan di 2010 sebanyak 402 414 ekor. Sedangkan di tahun
2011, hingga bulan November telah diimpor bibit GPS sekitar 480 ribu ekor.
Sementara untuk pembibitan ayam Parent Stock (PS), Indonesia memiliki 39
perusahaan pembibitan baik petelur dan pedaging yang juga tersebar di delapan
propinsi sebagaimana industri pakan. Indukan ayam (Parent Stock) tersebut
nantinya akan menghasilkan telur yang harus ditetaskan menjadi anak ayam atau
day old chick (DOC). Impor bibit PS juga kerap terjadi apabila produksi dalam
negeri tidak mencukupi. Kenyataan sulitnya membangun industri bibit unggas
dikarenakan industri ini merupakan industri yang padat teknologi dan padat
modal. Khususnya untuk pembibitan GPS, butuh investasi besar sekali karena
teknologinya tinggi.
Indonesia memiliki corak perkembangan industri broiler yang banyak
didorong oleh pengaruh kebijaksanaan pemerintah. Sebelum tahun 1970, seluruh
rangkaian produksi berada dalam satu unit usaha tetapi dalam ukuran skala kecil
yakni usaha rakyat. Tetapi kemudian perkembangan industri broiler tumbuh
menurut segmen-segmen tersendiri, segmen pertama yaitu perusahaan pakan yang
23
menghasilkan pakan untuk perusahaan pembibitan dan perusahaan budidaya.
Kemudian segmen perusahaan pembibitan yang menghasilkan bibit untuk
perusahaan peternakan. Sehingga apa yang dimaksud dengan peternakan adalah
terbatas pada budidaya itu sendiri. Akibatnya konsumen hasil akhir harus
membayar mahal biaya-biaya ekonomi yang ditimbulkannya.
Kemudian setelah tahun 1990 ada kecenderungan industri nasional
membentuk integrasi vertikal, tetapi baru dalam bentuk kesatuan finansial yang
terdiri atas beberapa perusahaan yang tidak terintegrasi baik dalam satu
perusahaan, apalagi dalam satu lokasi. Saat ini terdapat beberapa grup yang
memiliki 5 sampai 7 perusahaan yang keseluruhannya merupakan segmen-segmen
agribisnis unggas. Menurut informasi dari Poultry Indonesia (1997) bahwa
beberapa perusahaan broiler skala besar melakukan integrasi secara vertikal dalam
satu kesatuan finansial meskipun dalam bentuk anak-anak perusahaan. Bahkan
beberapa diantaranya melakukan integrasi secara sempurna dari hulu sampai ke
hilir.
Secara nasional usaha semacam ini tidak efisien karena hanya
menguntungkan bagi pemilik modal tetapi biaya produksi menjadi lebih tinggi
dan menjadi beban bagi konsumen. Dalam sistem peternakan yang terintegrasi,
semestinya keuntungan perusahaan diperoleh dari pengolahan lebih lanjut (further
processing), bukan dari pemeliharaan ayam. Ukuran pemeliharaan ayam per
peternaknya menjadi semakin besar (Djarsanto, 1997 dalam Yusdja et al, 2004)
menyatakan bahwa masing-masing sub-sistem dalam industri peternakan mau
menang sendiri, tidak mau berpadu. Keadaan ini sama sekali tidak memberikan
dampak positif terhadap penurunan biaya, malah meningkat. Dengan kata lain
harga output tidak berubah antara sebelum dan sesudah integrasi. Seharusnya,
dengan integrasi, harga output akan lebih rendah.
Menurut Hasibuan (1993), perilaku integrasi dapat dibagi menjadi dua yakni
integrasi horizontal dan integrasi vertikal. Integrasi horizontal adalah
penggabungan dari beberapa perusahaan yang memiliki proses produksi yang
sama dan produk yang dihasilkan juga serupa. Sedangkan integrasi vertikal adalah
penggabungan beberapa perusahaan yang memiliki kelanjutan proses produksi.
Berbeda dengan integrasi horizontal, perusahaan-perusahaan yang melakukan
integrasi vertikal tidak akan menghasilkan produk yang serupa. Dalam konsep
integrasi vertikal, terdapat perusahaan yang proses produksinya lebih awal (bagian
hulu/upstream) dan ada perusahaan yang memiliki tahapan produksi sampai
dengan barang-barang jadi (bagian hilir/downstream). Dengan demikian integrasi
vertikal terjadi antara perusahaan-perusahaan yang memiliki kelanjutan proses
produksi baik yang di hulu maupun yang di hilir.
Integrasi vertikal didefinisikan sebagai orang atau bisnis yang memiliki dua
tahap yang berdekatan dalam sistem produksi dan pemasaran. Sebagai contoh,
seorang prosesor yang memiliki tanaman dan lahan akan terintegrasi secara
vertikal. Demikian pula, koperasi produsen memiliki dan mengoperasikan pabrik
pengolahan dikatakan terintegrasi secara vertikal (Hayenga et al, 2000). Strategi
integrasi vertikal banyak dilakukan oleh perusahaan untuk memenangkan
persaingan. Di sisi lain integrasi vertikal juga dapat menghilangkan persaingan.
Bila salah satu perusahaan dalam jaring vertikal memiliki struktur
kompetitif dimana perusahaan ini menjual produknya dengan harga yang sama
dengan biaya marjinalnya maka integrasi vertikal tidak akan meningkatkan laba
24
perusahaan monopoli. Hal ini dikarenakan sektor kompetitif tersebut tidak
menimbulkan eksternalitas terhadap sektor yang kompetitif karena pada sektor ini
margin antara harga dengan biaya produksinya nol untuk perusahaan yang
kompetitif (Tirole, 1998). Dengan integrasi vertikal maka perusahaan dapat
mencapai monopoli pada satu level. Integrasi vertikal dapat melakukan penekanan
harga agar kompetitornya keluar dari industri tersebut. Perusahaan yang
melakukan integrasi vertikal dapat melakukan pemotongan harga (price cutting)
sehingga perusahaan pesaingnya hanya mampu menjual produknya sebesar biaya
bahan mentahnya saja.
Perusahaan yang melakukan integrasi vertikal juga dapat membatasi laba
pada satu level sehingga bisa menjual produknya dengan harga yang lebih murah
dibandingkan pesaingnya pada level produksi selanjutnya. Integrasi vertikal juga
dilakukan untuk mendapatkan monopoli power secara penuh, misalkan saja
perusahaan monopoli pada level upstream akan melakukan integrasi dengan
pembeli tunggal. Alasan yang melatarbelakangi tindakan ini adalah karena
persaingan sempurna mengganggu laba monopoli dan monopoli power dari
perusahaan monopoli (Tirole, 1998).
Studi pertama mengenai integrasi vertikal dilakukan oleh Levy (1984).
Penelitian yang dilakukannya meliputi 38 industri pada level klasifikasi industri 3
digit selama tiga tahun berturut-turut. Integrasi vertikal diukur dengan rasio nilai
tambah terhadap penjualan industri tersebut. Jika sebuah perusahaan
memproduksi semua input yang dibutuhkannya sendiri maka rasio nilai tambah
terhadap penjualan adalah satu. Semakin besar nilai rasio tersebut maka tingkat
integrasi vertikal dalam industri tersebut semakin besar.
Jika dilihat dari jumlah baik itu perusahaan yang non-integrasi dan peternak
kecil, sekarang ini bisnis ayam broiler di Indonesia terdiri dari jumlah pemain
yang sangat besar. Namun, perusahaan yang beroperasi secara integrasi hanya
sedikit dan semakin mendominasi, diantaranya PT. Charoen Pokphand Indonesia
(CPIN) dan PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), yang memiliki jalur bisnis
mulai dari pembibitan DOC, pabrik pakan dan pengolahan. Peternak biasanya
membeli DOC dan pakan kepada perusahaan integrasi ini. Beberapa pemain yang
tidak terintegrasi hanya memiliki bisnis di pembibitan atau di pembuatan pakan
saja. Dalam segmen pakan ternak, di 2007 Charoen Pokphand (CPIN) menguasai
pangsa pasar terbesar sebesar 33.6 persen, diikuti oleh Japfa Comfeed (JPFA)
dengan 28.7 persen, Sierad Produce (SIPD) dengan 7 persen pangsa pasar dan
Malindo Feedmill (MAIN) dengan 3.65 persen. Begitu juga untuk segmen bisnis
DOC (Antaranews, 2007).
25
Sumber : MAIN, 2009 yang dikutip Antaranews, 2009
Gambar 6. Pangsa pasar untuk Pakan dan DOC pada 2007 di Indonesia
Produksi
Sejak diintroduksikan pada pertengahan tahun 1970-an, usaha ayam broiler
ini berkembang pesat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Populasi ayam
broiler meningkat dengan laju pertumbuhan 35.61 persen per tahun pada periode
1980-1989. Krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1999 memberikan pukulan
berat terhadap usaha ternak ini sehingga pertumbuhan populasinya turun drastis
menjadi hanya 2.10 persen per tahun pada periode 1990-1999. Seiring dengan
pemulihan ekonomi, populasi ayam broiler kembali meningkat dengan laju 9.07
persen per tahun pada periode 2000-2010.
Produksi daging ayam broiler berbanding lurus dengan jumlah populasinya.
Produksi daging ayam broiler meningkat dengan laju pertumbuhan 20.70 persen
per tahun pada periode 1980-1989. Laju pertumbuhan produksi daging ayam
broiler turun drastis menjadi 3.31 persen per tahun pada periode 1990-1999.
Sekali lagi, turunnya pertumbuhan produksi daging ayam broiler di periode ini
adalah akibat dari krisis ekonomi 1997-1999. Pada periode 2000-2010, produksi
daging ayam broiler kembali meningkat dengan laju pertumbuhan 9.5 persen per
tahun. Rata-rata produksi daging ayam broiler pada periode 2000-2010 telah
mencapai 849 008 ton per tahun.
Pesatnya laju pertumbuhan peternakan ayam broiler telah menjadikan
daging ayam broiler sebagai jenis daging yang paling banyak dihasilkan di
26
Indonesia. Sejak dekade 1990-an, produksi daging ayam broiler (rata-rata 412 639
ton per tahun) telah melampaui produksi daging sapi (rata-rata 316 535 ton per
tahun). Produksi daging ayam broiler juga telah melebihi total produksi daging
unggas lainnya. Dengan pertumbuhan yang akseleratif, dominasi daging ayam
broiler terus meningkat, tidak saja pasokannya lebih melimpah, harga daging
ayam broiler juga lebih murah dari semua jenis daging lainnya sehingga daging
ayam menjadi sumber utama protein hewani bagi rakyat Indonesia.
Tabel 2. Kinerja produksi usaha peternakan Ayam Broiler di Indonesia, 1980-
2010
Uraian 1980-1989 1990-1999 2000-2010
Populasi
a. Rata-rata (ekor) 166 744 286 510 988 500 828 124 000
b. Pertumbuhan (%) 35.61 2.10 9.07
c. Koefisien variasi (%) 11.22 32.72 18.35
Produksi
a. Rata-rata (ton) 136 236 412 639 849 008
b. Pertumbuhan (%) 20.70 3.31 9.5
c. Koefisen variasi (%) 4.04 31.12 25.38
Sumber : BPS, statistik berbagai tahun, diolah
Grafik pada Gambar 7 menunjukkan perkembangan produksi daging
beberapa jenis ternak diantaranya daging sapi, daging kambing dan domba serta
daging ayam ras. Terlihat bahwa trend perkembangan produksi daging ayam
broiler menunjukkan peningkatan yang cukup pesat dibandingkan ternak
ruminansia besar (sapi) dan ternak ruminansia kecil (kambing dan domba).
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 7. Perkembangan produksi daging beberapa jenis ternak di Indonesia,
2006-2013
27
Konsumsi
Komoditas unggas (lebih dari 90 persen adalah kontribusi dari ayam ras)
menduduki komoditas pertama untuk konsumsi daging di Indonesia yakni sebesar
56 persen. Meskipun demikian, sampai dengan akhir tahun 2004, konsumsi
daging ayam ras dan telur di Indonesia juga masih rendah dibandingkan dengan
beberapa negara Asean lainnya. Kenyataan bahwa telah terjadi pertambahan
penduduk, peningkatan pendapatan, urbanisasi, perubahan gaya hidup, serta
peningkatan kesadaran akan gizi seimbang dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa memicu terjadinya lonjakan permintaan produk daging ayam dan telur
setiap tahun. Selama periode 1985-2003, konsumsi produk daging ayam dan telur
meningkat dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 5.31 persen dan 4.25
persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar dalam negeri untuk
pengembangan industri perunggasan masih cukup menjanjikan (Litbang
Pertanian, 2004).
Tabel 3. Konsumsi beberapa jenis daging ternak, 2007-2010 (ribu ton)
No. Jenis Tahun Growth (%)
2009-2010 2007 2008 2009 2010
1 Sapi 94.77 82.27 77.28 87.21 12.85
2 Kerbau 11.28 - 3.24 4.04 24.69
3 Kambing 58.67 11.43 5.78 5.70 -1.38
4 Babi 773.95 47.99 43.50 50.14 15.26
5 Ayam Broiler 927.39 868.39 705.68 835.07 18.34
6 Ayam Kampung - - 115.92 143.06 23.41
7 Unggas lainnya 11.28 11.43 9.95 11.41 14.67
8 Daging lainnya 11.28 11.43 9.95 7.60 -23.62
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011
Berdasarkan data konsumsi daging ayam nasional, terlihat bahwa konsumsi
per kapita penduduk untuk daging ayam masih rendah, sekitar 6 kg/kapita/tahun
(BPS, 2011). Meskipun hal ini masih tergantung pada daya beli masyarakat,
namun pertumbuhan permintaan mempunyai korelasi positif dengan pertumbuhan
penduduk.
Sebenarnya industri broiler masih memiliki peluang besar untuk
berkembang mengingat masih rendahnya jumlah konsumsi daging ayam nasional.
Beberapa faktor pendukung lainnya yang meningkatkan permintaan akan produk
daging ayam broiler adalah terutama karena penduduk Indonesia sebagian besar
muslim, relatif lebih rendahnya harga daging ayam dibandingkan daging sapi, dan
adanya keyakinan bahwa daging putih lebih sehat dari daging merah. Dari segi
potensi dan kebutuhan terhadap protein hewani, ayam ras pedaging dan petelur
memiliki prospek yang baik. Kemampuan ayam ras dalam mengkonversi protein
kasar dari pakan ke protein yang dapat dimakan (edible protein) dalam bentuk
daging adalah tertinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya, yakni sebesar 23
persen (Litbang Pertanian, 2004).
28
Sistem Kemitraan dalam Industri Broiler
Tingkat pertumbuhan dalam ukuran usaha dan penerapan teknologi baru
telah menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam pengembangan modal
kapital di industri broiler. Hal ini, sejalan dengan tingginya fluktuasi harga broiler,
menjadikan produksi broiler suatu bisnis yang dapat beresiko tinggi bagi peternak.
Perusahaan pakan, salah satu diantara yang berkepentingan dalam pertumbuhan
industri broiler karena pakan merupakan biaya terbesar di usaha broiler, telah
menetapkan kontrak produksi sebagai mekanisme untuk memperluas jaringan
konsumen sehingga mengurangi tingkat resiko yang dihadapi peternak (Dicks,
2010).
Secara umum, dibidang peternakan terdapat berbagai masalah yang dihadapi
misalnya rendahnya kepemilikan modal, peralatan yang masih sederhana dan
terbatas, kurangnya industri pengolahan dan sulitnya aspek pemasaran, yang
membuat peternak tidak mampu menghasilkan produk yang bernilai dan berdaya
saing tinggi. Oleh karena itu, peternak memerlukan bantuan dan perlindungan dari
banyak pihak, utamanya pemerintah dan swasta dalam menyelesaikan masalah
tersebut. Untuk memberdayakan peternak dalam posisi tawar yang baik dapat
dilakukan antara lain dengan membentuk kelembagaan yang merupakan
organisasi kerjasama dan kemitraan. Salah satu upaya strategis yang telah
dilakukan untuk membantu peternak khususnya dalam proses produksi dan
pemasaran yaitu dengan sistem contract farming.
Menurut pengamatan Balitbang Deptan RI, dilapangan menunjukkan bahwa
usaha peternakan ayam ras pedaging banyak dilakukan dalam bentuk pola-pola
kemitraan, meskipun ada juga yang dilakukan secara mandiri. Beberapa pola
kemitraan yang berlangsung adalah pola kemitraan inti-plasma, poultry shop,
contract farming dan sewa kandang (Anonymous, 2007). Gambar 8 menunjukkan
hubungan kemitraan yang ada di Indonesia.
Sistem pertanian kontrak (contract farming) di usaha broiler merupakan satu
mekanisme kelembagaan kontrak yang memperkuat posisi tawar-menawar
peternak dengan cara mengkaitkannya secara langsung atau pun tidak langsung
dengan badan usaha yang secara ekonomi relatif lebih kuat. Melalui kontrak,
peternak ayam broiler dapat beralih dari usaha tradisional/subsisten ke produksi
yang bernilai tinggi dan berorientasi ekspor. Hal ini tidak hanya berpotensi
meningkatkan penghasilan peternak yang ikut dalam kontrak tetapi juga
mempunyai efek berlipat ganda (multiplier effects) bagi perekonomian di
perdesaan maupun perekonomian dalam skala yang lebih luas.
Contract farming sebagai sistem produksi dan pemasaran berskala
menengah, dilakukan dengan tujuan mengurangi biaya transaksi. Di Indonesia
secara umum dikenal empat tipe kontrak/kemitraan, yaitu: (1) tipe kemitraan inti
plasma yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra
dimana kelompok mitra bertindak sebagai plasma inti. Perusahaan mitra membina
kelompok mitra dalam hal a) penyediaan dan penyiapan lahan (kandang), b)
pemberian saprodi (sapronak), c) pemberian bimbingan teknis manajemen usaha
dan produksi, d) perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi, e)
pembiayaan, dan f) bantuan lain seperti efisiensi dan produktifitas usaha; (2) tipe
sub kontrak, yaitu hubungan kemitraan antar kelompok mitra dengan perusahaan
mitra dimana kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan oleh
29
perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya; dan (3) tipe dagang umum,
yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra,
dimana kelompok mitra memasok kebutuhan perusahaan mitra sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan; serta (4) pola kerjasama operasional, yaitu kelompok
mitra menyediakan modal dan atau sarana untuk mengusahakan/budidaya
(Daryanto, 2007).
Sumber : Jamhari (2005) dalam Iwamoto dan Hartono (2009)
Gambar 8. Hubungan kemitraan di Industri Broiler Indonesia
Berdasarkan tipe contract farming yang diuraikan di atas, tersirat bahwa
kerjasama antar peternak dengan pihak perusahaan dapat terjalin secara baik bila
terdapat saling ketergantungan yang saling menguntungkan. Contract farming
memungkinkan adanya dukungan yang lebih luas serta dapat mengatasi masalah-
masalah yang berkaitan dengan minimnya informasi. Selain itu contract farming
juga mengurangi resiko bagi peternak. Mereka memiliki kepastian bahwa produk
yang dihasilkannya akan dibeli. Dalam jangka panjang mereka juga memperoleh
manfaat yaitu peluang kemitraan di masa depan serta akses terhadap program-
program pemerintah.
Jika dilihat dari pihak perusahaan, terdapat beberapa manfaat dengan adanya
sistem contract farming dengan peternak kecil. Manfaat yang paling penting
adalah mereka memperoleh akses untuk mendapatkan buruh dan kandang yang
lebih murah untuk menumbuhkan produk peternakan yang bernilai tinggi.
Large Poultry
Companies (LPC)
Contract
Farmer
Poultry Shops/
Independent
Subsidiary
of LPC
Contract
Farmer
Independent
Farmer Broker
Slaughters/Retailers
Consumers
Input flow
Output flow
flow
30
Perusahaan dapat ikut serta dalam pasar dimana biasanya mereka tidak
diikutsertakan dan meminimalisir biaya dengan tidak membeli kandang sendiri
atau secara langsung menyewa buruh. Pasokan bahan mentah dapat terjaga
dengan batasan yang rasional dan memiliki kendali terhadap dasar produksi dan
perlakuan pasca panen. Selain itu perusahaan juga memiliki kendali terhadap
kualitas produk dan memiliki kesempatan memperoleh dan memperkenalkan jenis
bibit ternak baru serta peningkatan kemungkinan pemenuhan kebutuhan
konsumen secara spesifik (Key dan Runsten, 1999 dalam Daryanto, 2007).
Meskipun begitu, beberapa permasalahan sering terjadi baik dari pihak
peternak maupun pihak perusahaan. Terdapat banyak peternak yang belum
mampu menghasilkan produk yang diinginkan perusahaan. Peternak tidak mampu
mengembalikan pinjaman input dan kredit akibat kegagalan produksi, deduksi
finansial atau tidak adanya jaminan harga dari pihak industri pengolahan dan tidak
jarang melanggar kontrak dengan menjual hasil produksinya pada pesaing
perusahaan sponsor (inti). Selain itu terdapat pula keprihatinan bahwa contract
farming lebih berminat terhadap peternak berskala besar sehingga dengan
demikian peternal kecil kurang dilibatkan dalam proses pengembangannya lebih
lanjut. Kecemasan-kecemasan lainnya ialah adanya kemungkinan bahwa peternak
kecil akan “terperangkap” dalam suatu kontrak dan perilaku negatif perusahaan-
perusahaan multinasional di negara-negara berkembang.
Menurut Daryanto (2007), untuk posisi perusahaan, mencari peternak kecil
yang layak dan memilih peternak kecil yang lebih baik memerlukan biaya
transaksi yang cukup tinggi. Hal tersebut membatasi perusahaan untuk terhubung
dengan peternak kecil. Perusahaan sulit mempertahankan dan mengawasi kualitas
peternak karena jumlah peternak kecil yang begitu banyak. Kehadiran dari
lembaga-lembaga pelengkap, seperti organisasi peternak kecil, sangat penting
sekali sebagai mediasi antara peternak dengan perusahaan.
Sementara itu, menurut Tambunan dan Bakce (2010), kinerja implementasi
program industri hulu-hilir belum menunjukkan tanda-tanda bahwa; 1) proses
industrialisasi akan menggelinding secara kontinu; 2) berhasil mengindustrialisasi
ekonomi; tetapi 3) industri besar selalu ingin membesarkan korporasinya sendiri
dengan self sufficiency concept dan bukan out-sourcing. Artinya, dengan alasan
apapun, segala kebutuhan – dari pengadaan input hingga penyaluran atau
distribusi output – ditangani sendiri oleh usaha yang bersangkutan. Proses
pertumbuhan usaha besar seperti inilah yang membuat usaha besar membangun
posisi monopoli di pasar output atau monopsonis di pasar input.
Kekeliruan mendasar penerapan konsep hulu-hilir ini ada pada konsep
strategi industri yang bukan market driven concept. Dalam hal ini, perencanaan
industri hulu-hilir seolah-olah dapat mensubstitusi peranan mekanisme pasar. Ada
beberapa ciri industri seperti ini yaitu pertama, kebanyakan industri yang terpilih
adalah industri yang berskala besar milik swasta atau pemerintah yang tengah
dikembangkan, tetapi kurang merespon kekuatan ekonomi (produksi dan
konsumsi) lokal dimana industri berada. Kedua, industri ini menikmati berbagai
jenis subsidi dan fasilitas, sehingga tidak berhasil membangun azas kekuatan
kompetisi. Ketiga, pemerintah sendiri memiliki berbagai kepentingan politik dan
pribadi pada industri hulu (Tambunan dan Bakce, 2010).
31
Struktur Industri Broiler Indonesia
Sistem perdagangan global telah mengalami transformasi yang sangat nyata.
Negara-negara maju tetap memberikan tingkat subsidi pertanian yang cukup
tinggi yang dibarengi pula dengan subsidi ekspor. Hal ini merupakan insentif
nyata bagi produsen di negara-negara tersebut sehingga terjadi kelebihan produksi
yang membanjiri pasar dunia. Sementara negara sedang berkembang masih
menghadapi persoalan usaha tani skala kecil, keterbatasan teknologi, dukungan
keuangan, infrastruktur dan lain-lain yang menyebabkan sebagian besar negara
sedang berkembang belum bisa melepaskan diri dari masalah kemiskinan,
pengangguran, ketahanan pangan, dan keterbelakangan kehidupan masyarakat
desa. Kedua hal tersebut menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
perdagangan komoditi pertanian dipasar global yang diikuti oleh konsentrasi
industri di tangan sejumlah perusahaan multi nasional (MNCs), praktek kartel
dan/atau integrasi horisontal dan integrasi vertikal, praktek dumping yang bersifat
predatory, bentuk perjanjian tertutup dan tying in, serta berbagai praktek unfair
business yang lain (Iwantono, 2007).
Struktur pasar dapat digambarkan dengan mempertimbangkan (baik
bersama-sama atau secara terpisah) jumlah perusahaan, tingkat diferensiasi
produk, kondisi entri, dan derajat integrasi. Ukuran yang paling sering digunakan
adalah konsentrasi pasar. Istilah konsentrasi atau derajat tingkat konsentrasi
mengacu pada kepemilikan atau kontrol proporsi yang besar dari beberapa
kumpulan atau aktivitas sumber daya ekonomi. Itu menunjukkan sejauh mana
produksi barang atau jasa tertentu terbatas pada beberapa perusahaan besar.
Semakin sedikit jumlah perusahaan dan/atau lebih yang berbeda ukuran mereka,
maka lebih terkonsentrasi (dan kurang bersaing) pasar tersebut. Peningkatan
konsentrasi pasar berkaitan dengan economies of scale dan technical efficiency
improvements, yang mana dapat mendorong harga output turun dan meningkatkan
harga input bahan baku utama dan meningkatkan output (Stiegert dan Carton,
1998).
Konsentrasi industri adalah situasi yang memperlihatkan derajat penguasaan
pasar oleh perusahaan-perusahaan di industri yang berada di dalam pasar.
Penggunaan ukuran ini mudah dipahami. Perbedaan jumlah dan ukuran distribusi
dari perusahaan merupakan faktor kunci untuk membedakan secara teori model
pasar persaingan sempurna, oligopoli, monopoli dan pasar persaingan
monopolistik. Konsentrasi pasar mudah diestimasi sejak ada data publikasi jumlah
dan ukuran distribusi dari perusahaan yang secara umum tersedia (Ferguson,
1988).
Konsentrasi menyiratkan derajat tingkat dari kekuatan pasar
(Suvanichwong, 1977 dalam Sayaka, 2003). Kekuatan pasar adalah kemampuan
suatu perusahaan untuk mempengaruhi dengan kuat kuantitas dan harga di pasar.
Ini juga merupakan pangsa (share) perusahaan dari total penerimaan output
industri yang bervariasi dari 0 sampai 100 persen. Suatu perusahaan dengan
pangsa pasar kurang dari 10 persen dapat dikatakan tidak memiliki kekuatan
pasar. Kekuatan pasar muncul jika pangsa perusahaan mencapai 15 persen dan
dapat dikatakan monopoli jika mencapai 25 sampai 30 persen (Sheperd, 1997).
Sementara itu, pangsa pasar mempunyai hubungan yang positif dengan
32
profitabilitas, dimana pangsa pasar yang semakin meningkat juga akan
meningkatkan profitabilitas.
Informasi tentang karakteristik struktural pasar dapat diperoleh dari kurva
konsentrasi (Ferguson, 1988). Perusahaan yang digolongkan dalam urutan ukuran
dari yang terbesar ke terkecil dan kemudian di plot terhadap hasil kumulatif
mereka. Sehingga untuk pasar A (gambar 9) kurva konsentrasi menunjukkan
bahwa penawaran perusahaan terbesar sekitar 60 persen dari pasar dan tiga
perusahaan terbesar sekitar 90 persen dari pasar. Pasar B mengandung sejumlah
besar perusahaan dan kurang terkonsentrasi. Dibandingkan dengan B, C memiliki
lebih banyak perusahaan tetapi lebih terkonsentrasi di tingkat empat perusahaan.
Sumber : Ferguson, 1988
Gambar 9. Perbandingan Kurva Konsentrasi
Jika membandingkan dengan industri ayam broiler di Amerika Serikat,
kondisi Indonesia masih sangat jauh. AS adalah negara produsen daging ayam
potong terbesar di dunia yang menguasai hampir 40 persen pasar dunia, diikuti
saingannya Brazil. Sejarah industri perunggasan AS sudah dimulai lebih dari
seratusan tahun yang lalu, sedangkan industri perunggasan Indonesia baru berusia
kurang lebih setengah abad. Pada tahun 2002, produksi daging ayam potong
(broiler) AS telah mencapai 14.76 juta metrik ton, sedangkan Indonesia baru
mencapai 857 ribu metrik ton (hanya sekitar 6 persen dari produksi AS) (WATT
Poultry USA, 2002). Dalam perjalanannya industri perunggasan AS dibangun
berdasarkan konsepsi integrasi vertikal, dimana mulai proses produksi
(pembibitan, industri pakan, budidaya) hingga industri hilirnya (pemotongan,
pengolahan dan pemasaran) berada pada satu komando keputusan manajemen.
Faktor yang mendorong tumbuh dan berkembangnya konsep integrasi adalah
industri pakan ternak lebih menginginkan terciptanya jaminan pemasaran produk
dan pelayanan, kompetisi harga untuk melakukan retensi keuntungan,
keseragaman input dan output untuk lebih mampu mengelola resiko (risk
management), dan pengembangan kontrak-kontrak untuk membatasi modal sesuai
kebutuhan.
100
Pan
gsa
pas
ar k
um
ula
tif
(%)
A B
C
0 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah perusahaan diperingkat dari terbesar ke terkecil
33
Gambaran industri perunggasan AS saat ini jauh berbeda dibandingkan
dengan dahulu. Industri telah melakukan konsolidasi produksi dengan membeli,
mengakuisisi atau menggabungkan perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan
yang mendominasi pasar saat ini adalah perusahaan super-integrasi yang memiliki
pabrik pengolahan, pabrik pakan, perusahaan truk, pelayanan kesehatan hewan,
dan pabrik pengolahan limbah (rendering plant). Perusahaan-perusahaan tersebut
melakukan investasi besar pada teknologi untuk pengolahan lanjutan (further
processing). Selain itu juga sangat aktif mencari pasar luar negeri dan melakukan
perbaikan nutrisi, genetik dan praktek manajemen. Pada 2007, konsentrasi industri
ayam broiler AS yang ditunjukkan oleh CR-4, (yaitu rasio konsentrasi relatif dari
empat perusahaan terbesar terhadap total 100 persen industri) adalah 56 persen
(Iwantono, 2007).
Dampak Konsentrasi terhadap Efisiensi dan Kekuatan Pasar
Konsentrasi di berbagai industri menjadi perhatian ketika kekuatan pasar
menjadi penghalang bagi beroperasinya pasar secara efisien. Dengan segera,
sebuah perusahaan yang dominan menguasai pasar dapat meningkatkan harga
yang dikenakan ke konsumen tanpa khawatir dilemahkan oleh pesaing.
Perusahaan dengan kekuatan pasar juga akan mampu menekan harga di tingkat
supplier, mengurangi keuntungan yang diterima supplier dan mendistorsi insentif
mereka untuk berproduksi. Akan tetapi konsentrasi industri juga dapat
mempunyai manfaat ekonomi yang positif diantaranya economies of scale dan
efek-efek lainnya (King, 2001).
Menurut King (2001), ada beberapa manfaat ekonomi sehubungan dengan
konsentrasi, yaitu:
a. Konsentrasi secara negatif dapat mempengaruhi efisiensi pasar.
Pasar dikatakan efisien adalah bertemunya sejumlah pembeli dan penjual
dimana transaksi yang terjadi akan menguntungkan kedua belah pihak. Ketika
konsolidasi industri mengurangi jumlah pembeli atau penjual sejauh yang tersisa
dari pasar yang terkonsentrasi, pembeli atau penjual yang tersisa ini dapat
mengambil keuntungan dari kekuatan pasar. Mereka dapat menggunakan
kekuatan pasar ini untuk membatasi perdagangan pada beberapa pertukaran yang
saling menguntungkan, mendistorsi harga yang menguntungkan mereka.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan yang membatasi outputnya untuk
menaikkan harga di atas harga pasar bersaing dapat mendorong keluar beberapa
pembeli dari pasar tersebut. Perusahaan bisa saja menjual ke beberapa pembeli
dengan harga murah dan tetap mendatangkan profit yang secara potensial
menguntungkan pembeli dan penjual. Namun perusahaan menolak untuk
memperluas pasar, lebih suka mempertahankan harga tinggi pada pembeli yang
tersisa.
Contoh berbeda lainnya, konsentrasi yang terjadi di pembeli pada pasar
input, dapat saja menurunkan harga yang mereka bayarkan ke supplier. Tanpa ada
tekanan dari pembeli saingan yang mampu menawarkan harga yang lebih tinggi,
supplier mesti menerima harga rendah untuk produk mereka. Dampaknya, harga
rendah akan mengurangi penawaran industri dan memaksa produsen beralih ke
industri lain atau mengurangi output pada tingkatan yang lebih efisien. Akhirnya,
34
distorsi harga dari kekuatan pasar akan menghilangkan beberapa manfaat dari
transaksi. Ketiadaan persaingan yang ketat dapat mengurangi tekanan bagi
produsen dalam penggunaan sumber daya secara efisien. Sebagai hasilnya,
kekuatan pasar yang muncul dari konsentrasi industri dapat meningkatkan biaya
produksi serta mengurangi efisiensi ekonomi secara agregat.
b. Konsentrasi menimbulkan kekhawatiran tentang pasar yang adil
(fairness).
Distorsi harga membuat pasar menjadi tidak efisien. Kekuatan pasar yang
disebabkan oleh konsentrasi dapat merealokasikan manfaat dari transaksi pasar.
Tentu saja, pembeli dan penjual yang terpaksa keluar dari pasar oleh distorsi harga
ini harus kehilangan peluang mencari keuntungan, sehingga nilai ekonomis pasar
secara total turun. Namun kekuatan pasar juga mendistribusikan kembali
keuntungan ekonomis dari transaksi yang berlangsung. Perusahaan dengan
kekuatan pasar yang besar akan mendapatkan bagian (share) yang lebih besar dari
keuntungan ekonomis pasar dan biasanya konsumen yang menanggung beban,
membayar harga yang lebih tinggi untuk barang dengan kualitas rendah.
c. Konsentrasi industri dapat memiliki efek positif.
Meski terjadi penurunan potensi untuk persaingan, kadangkala pasar lebih
efisien dengan jumlah penjual yang sedikit. Misalnya, beberapa industri ditandai
dengan skala ekonomi, dimana biaya rata-rata produksi turun sejalan dengan
peningkatan kuantitas. Dengan kata lain, lebih efisien bagi sejumlah kecil
perusahaan memproduksi output yang banyak dibanding banyak perusahaan
memproduksi output yang sedikit (share yang kecil dari total output di pasar).
d. Kekuatan pasar dapat memancing munculnya pesaing baru.
Keterbatasan dari kekuatan pasar di suatu industri adalah kemungkinan
masuknya pesaing baru yang potensial. Distorsi pasar dan inefisiensi pasar dapat
menjadi insentif bagi pemain (pendatang) baru untuk masuk ke pasar, memenuhi
permintaan dengan lebih efisien. Ancaman pendatang ini dapat menegakkan
disiplin pasar, melindungi perusahaan yang terkonsentrasi dari menetapkan harga
tinggi disebabkan persaingan yang mereka hadapi. Selain itu, pasar bagi produk
baru dapat muncul dalam jangka panjang, menawarkan produk substitusi untuk
produk sebelumnya yang ditawarkan oleh industri yang terkonsentrasi tanpa
persaingan.
Konsolidasi agribisnis akan menurunkan margin pemasaran jika dampak
ukuran ekonomi berlaku dan akan meningkatkan margin pemasaran jika dampak
kekuatan pasar berlaku. Apakah dimensi ukuran ekonomi menguntungkan
masyarakat atau dimensi kekuatan pasar yang merugikan masyarakat akan bersifat
lebih dominan di masyarakat tidak dapat dijawab dengan alasan teoritis.
Selanjutnya, masuknya pemain baru dan pengembangan produk substitusi
menjadi penting sebagai penghalang munculnya kekuatan pasar. Kesimpulannya
penentuan penyebab yang mendasari sehubungan dengan konsentrasi dapat saja
terjadi dengan syarat, analisis kasus per kasus. Untungnya, sejumlah besar studi
empiris telah membahas masalah ini dalam beberapa tahun terakhir (Weng, 2012).
Literatur teoritis di area ini dimulai dengan Williamson (1968) yang pertama
kali memodelkan tradeoff antara kekuatan pasar dan efisiensi biaya dan
menurunkan rumus keseimbangan parsial sederhana untuk menghitung rata-rata
35
pengurangan biaya yang diperlukan untuk menetralisir inefisiensi alokasi pasca
kenaikan konsolidasi harga output. Williamson berpendapat bahwa jika harga
pasca - konsolidasi (integrasi) menurun, kesejahteraan sosial akan meningkat
dengan meyakinkan. Hal ini karena, ketika harga turun, jumlah total output yang
diminta akan meningkat, dan surplus konsumen pasti akan meningkat. Di sisi lain,
karena perusahaan konsolidasi menghasilkan lebih banyak output dengan biaya
rata-rata yang lebih rendah (yaitu karena merger dengan menggabungkan dapat
menggeser turun biaya rata-rata perusahaan dan fungsi biaya marjinal),
perusahaan-perusahaan non - merger menghasilkan sedikit dengan biaya rata-rata
yang lebih rendah (pada perusahaan non – merger, biaya dan biaya marjinal rata-
rata fungsi tidak bergeser, perubahan ini hanya sepanjang kurva biaya rata-rata).
Akibatnya, biaya rata-rata industri akan menurun, dan produksi industri secara
keseluruhan akan meningkat, yang akibatnya meningkatkan surplus produsen.
Dalam kasus kenaikan harga pasca - merger, hasilnya ambigu.
Model tradeoff kesejahteraan-efisiensi berlaku paling mudah untuk kasus
dua perusahaan yang bergabung menjadi monopoli. Analisis mengakui bahwa
dalam kasus kurva permintaan yang relatif elastis, keuntungan efisiensi dari biaya
- mengurangi merger (terhadap monopoli) bisa dengan mudah lebih besar
daripada kerugian bobot mati tambahan dari harga monopoli pasca-merger.
Williamson memberikan dasar teoritis inti yang masih digunakan saat ini untuk
memperhitungkan efisiensi dalam analisis merger horisontal (Bhuyan, 2005).
Efisiensi pasar tergantung dari level (tingkat) persaingan pasar, bukan dari
jumlah pesaingnya. Konsentrasi pasar tidak selalu menyiratkan kekuatan pasar.
Kehadiran hanya beberapa penjual dan pembeli di dalam pasar tidak berarti bahwa
perilaku peserta pasar tersebut tidak kompetitif. Di sisi lain, keberadaan banyak
perusahaan tidak selalu menyiratkan kompetisi yang memadai. Jika pasar sangat
tersegmentasi (misalnya, secara geografis), banyak perusahaan masing-masing
mampu memiliki banyak sekali kekuatan pasar di tiap segmen yang mereka
kuasai. Dan sementara efisiensi pasar dan keadilan mungkin terabaikan ketika
konsolidasi industri menjadi terkonsentrasi, ini bisa menjadi jawaban yang tepat
untuk menyadari skala ekonomi atau mengimbangi penurunan permintaan.
Studi yang paling komprehensif dari peternakan dan industri perunggasan
menunjukkan beberapa kabar baik dan kabar buruk bagi masyarakat. Kabar
baiknya adalah bahwa keuntungan pengurangan biaya konsentrasi jauh
membayangi efek kekuatan pasar sehingga margin pemasaran dikurangi dengan
konsentrasi (Azzam, 1997; Schroeter dan Adam, 1998 untuk daging babi dan
daging sapi; Persaud (2000) untuk unggas, daging sapi, dan babi). Dengan
menggunakan data tahunan 1970-1992, Azzam (1997) menemukan bahwa efek
efisiensi biaya konsentrasi dua kali efek kekuatan pasar dalam industri daging sapi
kemasan AS. Kabar buruk bagi peternak adalah bahwa manfaat dari margin
pemasaran yang lebih rendah dilewatkan ke konsumen daripada peternak.
Perusahaan agribisnis membayar apa yang diperlukan bagi peternak untuk
memelihara ternaknya, dalam jangka panjang lima tahun atau lebih sesuai rata-
rata harga dan biaya produksi termasuk keuntungan yang wajar pada peternakan
komersial yang dikelola secara kompeten.
Berdasarkan hasil temuan di beberapa industri pertanian, kantor akuntan
publik (Government Accountability Office, GAO) menyimpulkan bahwa
pernyataan di beberapa literatur ekonomi tidak cukup kuat mengenai konsentrasi
36
dimana dikatakan bahwa “konsentrasi di beberapa segmen pengolahan dari daging
sapi, daging babi atau sektor susu, atau sektor ritel secara keseluruhan telah
berpengaruh terhadap harga komoditi pertanian atau harga ritelnya”. GAO
menyimpulkan bahwa sebagian besar penelitian yang ada sebelumnya tidak
menemukan bukti adanya kekuatan pasar, atau dampak efisiensi yang lebih besar
dibandingkan dampak kekuatan pasar dari konsentrasi. Untuk penelitian yang
menemukan bahwa konsentrasi mempengaruhi, lembaga tersebut menyimpulkan
bahwa manfaat dari efisiensi (harga rendah yang menguntungkan semua pelaku
pasar) lebih besar dari efek kekuatan pasar. Namun, lembaga tersebut menyatakan
bahwa secara umum para ahli setuju bahwa konsentrasi kemungkinan akan
meningkat di masa datang, dan berpotensi meningkatkan kekhawatiran lebih besar
tentang kekuatan pasar dan manipulasi komoditas atau harga pangan (Shields,
2010).
Masalah konsentrasi menginspirasi kesenjangan yang besar antara retorika
dan kenyataan. Tony Smith, seorang profesor filsafat di Iowa State University,
dalam makalahnya pada konferensi 1986 : “Apakah Ada Kewajiban Moral untuk
Menyelamatkan Usaha Pertanian Keluarga?” menyatakan bahwa "sektor
kompetitif terjepit di antara dua sektor oligopolistik pasti akan mengalami hal
yang kurang beruntung dari perdagangan." Pernyataannya cacat. Secara pasti,
teori ekonomi memprediksi bahwa jika (1) pasokan input, (2) pertanian, dan (3)
sektor pemasaran mulai kompetisi sempurna dan kemudian (1) dan (3) menjadi
monopoli, maka sektor pertanian (2) akan mengalami harga rendah, pendapatan,
dan tingkat pengembalian relatif terhadap sektor pasokan dan pemasaran produk
input. Namun, jika sumber daya dari sektor pertanian yang mobile, maka buruh
tani, manajemen, dan modal setelah melakukan penyesuaian insentif akan
memperoleh tingkat pengembalian yang sebanding dengan sektor lain (Tweeten,
1989).
Namun, bukti empiris menunjukkan bahwa sumber daya pertanian memang
sangat mobile dalam jangka panjang 5 tahun atau lebih setelah guncangan harga.
Sumber daya pertanian tidak sangat mobile dalam jangka pendek hingga lima
tahun. Oleh karena itu petani mengalami periode tahunan dan siklus pendapatan
dan tingkat pengembalian yang rendah. Siklus tahunan dan ketidakstabilan
merupakan hasil dari cuaca, kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan dalam
dan luar negeri, dan dari ekspektasi outlook yang tidak sempurna dan bukan dari
persaingan tidak sempurna di sektor agribisnis swasta. Stephen Koontz, seorang
ekonom yang telah mengabdikan karir nya untuk mempelajari struktur industri,
menyimpulkan bahwa "Konsentrasi di Agribisnis bukanlah penyebab dari harga
rendah dan profitabilitas di bidang pertanian" (Tweeten 1989).
Dampak Konsentrasi Industri terhadap Produktivitas dan Kesejahteraan.
Konsentrasi industri dapat mempengaruhi surplus produsen dengan cara
berikut. Pertama, di pasar output, perusahaan pengolahan ayam pedaging bisa
memiliki kekuatan oligopoli yang lebih tinggi untuk mengisi harga yang lebih
tinggi kepada konsumen. Kedua, di pasar input, perusahaan pengolahan ayam
pedaging bisa memiliki kekuatan oligopsoni yang lebih tinggi untuk mendapatkan
ayam hidup dengan harga yang lebih rendah, yang mana, kompensasi rendah
untuk material. Ketiga, perusahaan besar akan memiliki insentif yang lebih tinggi
37
dan lebih banyak dana untuk penelitian dan pengembangan dalam perbaikan
teknologi yang berpotensi menurunkan biaya marjinal (Weng, 2012)
Fokus eksklusif pada kerugian kesejahteraan dari persaingan tidak sempurna
telah melahirkan beberapa penelitian di dalam pasar pengadaan dan prakteknya di
industri pengolahan makanan. Sejumlah studi telah meneliti kemungkinan teoritis
bahwa kerugian kesejahteraan jangka pendek dengan meningkatnya konsentrasi
dapat diimbangi oleh keuntungan kesejahteraan jangka panjang (Scherer, 1999;
Whitley, 2001). Alasan klasik untuk pengaruh konsentrasi adalah teori "creative
destruction" Schumpeter yang menunjukkan bahwa pasar yang kompetitif sangat
cocok untuk alokasi sumber daya jangka pendek, tetapi perusahaan besar di pasar
yang terkonsentrasi adalah sumber jangka panjang dari ekspansi output. Yaitu,
keuntungan tambahan dari menaikkan harga di atas biaya marjinal sebagai sumber
daya untuk inovasi (Gopinath et al, 2002). Namun, menurut catatan Cohen dan
Levin (1989), konsentrasi pasar merupakan salah satu inovasi, sementara yang
lain seperti struktur permintaan, peluang teknologi dan kondisi kesesuaian sama-
sama penting.
Efek produktivitas adalah positif dan menunjukkan signifikan dari
meningkatnya konsentrasi (Gopinath et al, 2002). Kesejahteraan total dapat
meningkat ketika kenaikan konsentrasi yang disertai dengan pertumbuhan
produktivitas. Mengingat kemungkinan meningkatnya output dan harga yang
lebih rendah sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi, surplus konsumen dapat
meningkat dalam second best welfare nya. yaitu, konsumen lebih baik dari
sebelumnya meskipun mereka masih jauh dari ekuilibrium kompetitif sebenarnya
berkaitan dengan kesejahteraan produsen, pendapatan dan harga bervariasi
berbanding terbalik mengingat sifat inelastis dari permintaan. Namun, jelas
mereka tidak akan menggunakan produk atau memulai proses inovasi kecuali
menguntungkan.
Hubungan produktivitas-konsentrasi industri secara spesifik diatas tunduk
pada masalah endogeinity dan problem spesifikasi. Pertama terdapat kasus
kausalitas terbalik (reverse causality), sebagai contoh inovasi mempengaruhi
price-cost margin. Beberapa peneliti tidak setuju dengan ini. Misalnya, Baldwin
dan Scott (1987), mengulang Schumpeter, yang berpendapat bahwa inovasi skala
besar mungkin tidak menarik kecuali semacam asuransi tersedia untuk pengusaha
potensial. Yaitu, asuransi terhadap kegagalan inovasi adalah kemampuan untuk
terlibat dalam strategi harga, dan dengan demikian kekuatan monopoli dalam
pasar produk yang ada mungkin menjadi prasyarat untuk inovasi. Kedua, semua
pertumbuhan produktivitas tidak diperhitungkan oleh konsentrasi. Sebagaimana
Cohen dan Levin (1989) mencatat, struktur permintaan, peluang teknologi dan
ketersediaan faktor-faktor tambahan yang mempengaruhi tingkat inovasi dalam
industri.
Perbedaan permintaan cenderung kurang penting daripada faktor-faktor
seperti penelitian dan pengembangan (R&D). Ketika R&D masuk hitungan
(menciptakan produk baru dan/atau proses bersifat internal untuk perusahaan atau
industri) pertumbuhan riil dalam harga-harga faktor seperti biaya tenaga kerja
dapat menangkap aktivitas termasuk learning by doing. Peningkatan riil dalam
harga barang intermediate dan barang modal baru cenderung mencerminkan out-
sourcing dari teknologi.
38
Produktivitas digunakan untuk mengukur efisiensi pada penggunaan input.
Produktivitas tenaga kerja tersebut pada dasarnya menandakan perubahan pada
teknologi, efisiensi teknis dan alokatif, serta utilisasi kapasitas produksi. Menurut
Jayanthakumaran (2002) menyatakan bahwa konsentrasi industri diduga memiliki
hubungan negatif dengan produktivitas. Hal ini dikarenakan apabila semakin
rendah rasio konsentrasi suatu industri maka semakin besar persaingan yang
terjadi pada industri tersebut. Dengan meningkatnya persaingan maka perusahaan
akan cenderung terdorong untuk bertindak efisiensi dengan berupaya menurunkan
biaya produksi dan meningkatkan teknologi. Sedangkan pertumbuhan output
berdampak pada meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Hubungan tersebut
dibuktikan oleh Verdoorn pada tahun 1949, yang kemudian dikenal dengan
“Verdoorn’s Law”. Metode utama dibelakang hubungan tersebut adalah perluasan
output akan menciptakan skala ekonomis, dimana skala ekonomis merupakan
salah satu keuntungan utama dalam suatu usaha. Hal ini dikarenakan skala
ekonomis akan menciptakan kesempatan yang lebih baik untuk berspesialisasi,
berproduksi dengan skala besar dan meningkatkan efisiensi. Oleh karena itu,
pertumbuhan output akan berdampak positif pada produktivitas tenaga kerja.
Tinjauan Studi Terdahulu
Tinjauan Penelitian Mengenai Konsentrasi Industri
Ward (1987) mencoba menguji hipotesis bahwa terdapat hubungan antara
produktivitas total faktor (TFP) dengan konsentrasi industri di industri
pengemasan daging AS. Jika hubungan produktivitas – konsentrasi ini positif,
maka konsentrasi dapat menjadi sumber welfare gain daripada welfare loss.
Menggunakan pendekatan model Solow dalam mengestimasi TFP dan data rasio
konsentrasi berdasarkan yang didapat dari sensus industri manufaktur,
dimasukkan ke dalam persamaan TFP. Ward menemukan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan baik positif maupun negatif antara TFP dan konsentrasi
di industri penegemasan daging selama periode 25 tahun (1958-1982).
Pada penelitiannya, Azzam (1997) menggunakan kerangka Appelbaum
untuk mengukur kekuatan pasar dalam oligopoli homogen sebagai kerangka kerja
untuk memisahkan kekuatan relatif atau dampak kekuatan pasar dan dampak
efisiensi yang terkait dengan konsentrasi yang lebih tinggi di pasar input. Data
tahun 1970-1992 dari industri pengemasan daging sapi AS digunakan untuk
ilustrasi dari aplikasi model empirik. Hasil menunjukkan bahwa sementara pasar
daging sapi telah menanggung biaya karena konsentrasi pembeli meningkat,
namun manfaat yang didapat darinya cukup besar untuk mengimbangi biaya. Hal
ini mewakili satu konfirmasi empirik dari pemikiran panjang yang ada mengenai
trade-off antara kekuatan pasar dan efisiensi biaya dari peningkatan konsentrasi.
Keterbatasan utama tentang model dan hasil penelitian ada dua, pertama, karena
model ini diterapkan pada data agregat, sedikit yang diketahui bagaimana hasil
dipengaruhi oleh agregasi tersebut. Panel data set akan menjadi lebih tepat.
Kedua, sedikit yang diketahui tentang bagaimana kesimpulan ini dipengaruhi oleh
adanya persamaan pangsa dan tidak adanya persamaan struktural yang
menjelaskan konsentrasi.
39
Stiegert dan Carton (1998) secara umum mengevaluasi trade-off antara
kekuatan pasar-efisiensi biaya di industri penggilingan gandum di AS. Secara
khusus, mengevaluasi peran peningkatan konsentrasi sebagai sumber potensial
dari rendahnya biaya marjinal di industri. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa
efek marjinal dari konsentrasi membuktikan secara statistik signifikan dan negatif,
yang mana mencerminkan bahwa peningkatan konsentrasi lebih berkaitan dengan
peningkatan efisiensi dibanding menghasilkan kekuatan pasar. Hasil menunjukkan
bahwa peningkatan konsentrasi menyebabkan pengurangan sekitar $0.65 di marjin
pemasaran dari waktu ke waktu.
King (2001) menguji sebab dan akibat dari konsentrasi industri dan
dampaknya terhadap efisiensi pasar di industri bioteknologi pertanian. Dalam
beberapa kasus, konsentrasi merealisasikan skala ekonomi, dimana dapat
memperbaiki efisiensi pasar dengan menekan biaya produksi. Perlindungan
terhadap hak kekayaan intelektual adalah satu kesatuan dengan pasar bioteknologi
pertanian, merangsang R&D, investasi, dan pengembangan pasar barang
substitusi. Hak kekayaan intelektual memberi perusahaan kemampuan untuk
lisensi inovasi mereka dan sementara tetap mempertahankan kontrol atas pasar.
Dari sepuluh perusahaan dengan aktivitas terbesar dilibatkan dalam 186 dari 382
observasi di sampel ini, mengindikasikan bahwa beberapa konsolidasi telah terjadi
di industri ini. Monsanto (dengan 37 transaksi) sukses menanam saham 60 persen
di De Kalb Genetics (dengan 11 transaksi) pada 1998, Empresas La Moderna
(dengan 16 transaksi) bergabung dengan DNA Plant Technology (aktif meneliti
mengenai jalur distribusi melalui Bionova); perusahaan Aventis yang dibentuk
dari kombinasi Agr Evo dan Rhone-Poulenc; dan satu perusahaan baru bernama
Syngenta yang dibentuk ketika Novartis dan AstraZeneca melakukan divestasi
dan menggabungkan unit pertanian mereka. Perkembangan ini lebih lanjut
meningkatkan konsentrasi dari strategi persekutuan ini.
Tostao dan Chung (2005) meneliti mengenai konsentrasi di industri
pengolahan daging sapi di Amerika Serikat dengan tujuan pertama, memisahkan
dampak kekuatan pasar dari efisiensi biaya sebagai akibat dari peningkatan
konsentrasi industri di pasar pengadaan ternak sapi dan di pasar retail daging sapi.
Kedua, menggunakan beberapa alternatif yang spesifik untuk permintaan output
di pasar ritel dengan menggunakan analisis sensitivitas. Trade-off industri yang
disebabkan oleh peningkatan konsentrasi di industri pengolahan daging sapi akan
diestimasi dengan asumsi perilaku memaksimumkan keuntungan dari tiga pemain
utama yaitu retailer, prosesor dan penyalur bahan baku (raw material). Model
oligopoli bilateral digunakan pada penelitian ini untuk mengukur dampak dari
peningkatan konsentrasi pada kekuatan pasar dan efisiensi biaya. Aplikasi empiris
menggunakan data tahunan dari industri perdagangan daging sapi, antara tahun
1970 sampai 1996. Selanjutnya data diestimasi menggunakan Non Linear three-
stage least square (N3SLS). Secara spesifik, estimasi model mencakup enam
persamaan : persamaan harga, persamaan permintaan ritel, persamaan penawaran
ternak sapi dan persamaan permintaan input untuk tenaga kerja, kapital dan
pengemasan. Hasilnya, dampak oligopoli dan oligopsoni power karena
peningkatan konsentrasi secara statistik signifikan pada taraf lima persen. Nilai
estimasi kekuatan pasar dalam mempengaruhi pasar pengadaan ternak di dapat
angka 1.8 yaitu dua kali lipat dari nilai estimasi dampak kekuatan pasar di pasar
output yaitu 0.9. Dengan demikian, peternak tampaknya menderita kerugian yang
40
lebih besar ketika konsentrasi di industri pengolahan daging sapi meningkat. Nilai
estimasi keuntungan efisiensi biaya dari peningkatan konsentrasi adalah -3.76.
Harga bersih (net price) adalah -1.09. Dengan demikian, model monopoli bilateral
ini menunjukkan bahwa peningkatan konsolidasi di industri pengemasan daging
sapi menghasilkan penurunan yang signifikan pada harga daging sapi di tingkat
eceran.
Gopinath et al. (2002) meneliti hubungan antara produktivitas-konsentrasi
industri di industri pangan AS. Gopinath et al. berusaha mengidentifikasi level
kritis dari konsentrasi industri hingga sampai mana hubungan ini akan
menyebabkan pertumbuhan produktivitas menjadi negatif. Dampak kesejahteraan
dari peningkatan konsentrasi-pertumbuhan produktivitas dan deadweight loss-
dihitung dengan menggunakan data dari National Bureau of Economic Research
(NBER) dan US Department of Commerce (USDC) periode 1964-1992 dan
diestimasi secara simultan untuk TFP Growth dan konsentrasi. Konsisten dengan
penelitian sebelumnya, mereka menemukan bahwa hubungan produktivitas-
konsentrasi industri memiliki bentuk U-terbalik. Level kritis dari konsentrasi
(rasio) dimana hubungan antara nilai TFP Growth dan konsentrasi menjadi
negatif, muncul di angka 62.3, meningkat 24 persen dari level dasar. Berdasarkan
skenario kedua, estimasi welfare loss dan pemetaan manfaat bersih dari
peningkatan konsentrasi didapatkan bahwa deadweight loss sebesar $7.8 Milyar
dapat dikurangi sebesar $2.8 Milyar dari peningkatan konsentrasi sebesar 18
persen dari level dasar. Dengan demikian, kesejahteraan total meningkat dan
konsumen menjadi better-off berdasarkan skenario kedua.
Kim et al. (2002) meneliti pengaruh dari peningkatan level konsentrasi
pasar di industri pupuk nitrogen AS. Data tahunan produksi pupuk nitrogen dan
kepemilikan kapasitas masing-masing pabrik dari Otoritas Valley Tennessee
mulai periode 1976-1995 dan dari International Fertilizer Development Center
mulai periode 1996-2000. Harga gas alam untuk rumah tangga, energi industri,
penggunaan komersial dan industri di estimasi menggunakan SUR (Seemingly
Unrelated Regression). Hasil empiris menggunakan data periode 1976-2000,
mengindikasikan bahwa untuk industri pupuk nitrogen, efek kekuatan pasar lebih
besar daripada efek efisiensi biaya sebesar 55 persen. Hasilnya sesuai harapan
karena biaya produksi pupuk nitrogen selain biaya untuk gas alam dihitung sekitar
30 persen atau kurang dari total biaya produksi untuk pupuk nitrogen. Hasil ini
memiliki implikasi bahwa petani membayar harga pupuk nitrogen secara
signifikan lebih tinggi daripada apa yang petani harus bayar jika industri pupuk
nitrogen dioperasikan di bawah kondisi persaingan sempurna.
Efek kekuatan pasar yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan
dominan adalah rente ekonomi di pertanian yang wajib dibayar, sehingga
berdampak pada harga pupuk nitrogen yang lebih tinggi, sehingga mengurangi
pendapatan bersih pertanian dari tingkat yang mungkin sebaliknya jika ada di
kondisi pasar persaingan sempurna. Di samping itu, efek dari pasar yang kuat di
industri pupuk nitrogen AS memiliki implikasi bagi stabilitas baik pasokan dan
harga pupuk nitrogen untuk petani. Jika perusahaan dominan tidak menaikkan
harga pupuk nitrogen yang cukup dalam menanggapi kenaikan harga gas alam,
keuntungan perusahaan dominan akan menurun, yang akan menyebabkan
berkurangnya produksi pupuk nitrogen, dan dengan demikian juga menciptakan
potensi ketidakstabilan yang lebih besar dalam pasokan pasar pupuk nitrogen.
41
Bhuyan (2005) menggunakan pendekatan NEIO (New Empirical Industrial
Organization) dalam mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan
pasar diantaranya Index Forward Vertical Integration (FVI), rasio konsentrasi
(CR4), iklan (ADVT), intensitas kapital (KINT), dummy variabel (REG),
permintaan untuk output industri makanan (DEMFLUC), rasio impor tehadap
penjualan (IMPOR) dan proporsi dari total penjualan industri (INTRA).
Menggunakan analisis perilaku memaksimumkan keuntungan dari perusahaan,
Bhuyan menggunakan Lerner Index untuk kekuatan pasar sebagai variabel
endogennya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun integrasi
menunjukkan arah besaran yang positif terhadap kekuatan pasar, namun koefisien
estimasi menunjukkan secara statistik tidak signifikan. Sehubungan dengan
dampak konsentrasi pasar di industri pangan terhadap kekuatan pasar
memperlihatkan bahwa kekuatan pasar akan meningkat jika industri semakin
terkonsentrasi. Temuan ini mendukung a priori dari pernyataan sebelumnya dan
didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa konsentrasi tinggi akan
meningkatkan kekuatan pasar.
Periklanan (ADVT) memiliki dampak positif dan signifikan sesuai harapan.
Dengan demikian, tingginya konsentrasi pasar dan periklanan di industri pangan
akan meningkatkan kekuatan pasar dan akibatnya akan berdampak merugikan
dalam efisiensi alokatif di industri pangan. Variabel intensitas kapital secara nyata
berdampak negatif terhadap kekuatan pasar, sementara variabel DEMFLUC
(fluktuasi permintaan) menunjukkan bahwa jika fluktuasi demand tinggi maka hal
itu berdampak negatif secara nyata pada industri sehubungan dengan kemampuan
mendorong kekuatan pasar di pasar produk akhir. Untuk variabel IMPORT (rasio
impor terhadap penjualan) tanda sesuai harapan namun secara statistik tidak
signifikan, sementara variabel INTRA (proporsi total penjualan industri) negatif
tetapi tidak signifikan secara statistik.
Lopez dan Lirón-España (2005) menganalisis dampak dari konsentrasi pada
harga output melalui elastisitas konsentrasi didasarkan pada model ekonometrik
keseimbangan industri yang diterapkan pada 35 industri pengolahan makanan di
AS. Hasil empiris menunjukkan bahwa, peningkatan konsentrasi industri
menyebabkan efisiensi biaya sebagai dampak economies of size dalam industri
pengolahan makanan. Pada saat yang sama, mereka juga mengarah pada
peningkatan kekuatan pasar. Namun, di 37 persen dari industri, pengaruh
konsentrasi terhadap harga adalah positif dan signifikan secara statistik, seperti
yang diharapkan konvensional. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata,
peningkatan konsentrasi industri di pasar menyebabkan penurunan harga.
Untungnya, hal ini terjadi di lebih dari dua-pertiga dari industri yang dianalisis.
Sebaliknya berlaku untuk industri yang sangat terkonsentrasi, di mana kenaikan
lebih lanjut dalam konsentrasi menyebabkan kenaikan harga.
Ji dan Chung (2010) menggunakan pendekatan NEIO namun dengan model
dinamis yang secara bersamaan digunakan untuk mengukur tingkat oligopoli,
kekuatan oligopsoni, dan efisiensi biaya di industri pengemasan daging sapi di
AS. Kekuatan oligopsoni di estimasi dengan dua dampak yaitu, kekuatan pasar di
pasar pengadaan ternak dan kekuatan pasar di pasokan daging. Selanjutnya,
dihitung perubahan dari dampak konsentrasi terhadap kekuatan pasar dan efisiensi
biaya di industri. Untuk estimasi digunakan persamaan simultan, menggunakan
data bulanan dari 1990-2006. Hasil empiris mengungkapkan adanya kekuatan
42
pasar baik di pasar ritel daging sapi dan pasar pengadaan ternak di dua dekade
terakhir. Kekuatan pasar oligopsoni sedikit lebih besar dan kurang stabil
dibandingkan kekuatan pasar oligopoli, namun perbedaan magnitude antara
oligopoli dan oligopsoni adalah kecil untuk seluruh periode sampel. Sebagai
tambahan, peningkatan lebih lanjut dalam konsentrasi akan memperluas kekuatan
pasar baik di pasar oligopoli dan oligopsoni. Hasil juga menunjukkan bahwa
pengaruh efisiensi biaya dari peningkatan konsentrasi di industri pengemasan
daging jauh lebih besar dari pengaruh kekuatan pasar di model statik, namun
sedikit lebih besar di model dinamik. Hasil ini berarti bahwa pengaruh efisiensi
biaya melebihi pengaruh kekuatan pasar.
Tinjauan Studi Terdahulu Mengenai Structure Conduct Performance
Acharya (1998) menggunakan pendekatan Structure Conduct Performance
(SCP) dalam meneliti keterkaitan antara sektor on farm dan off farm yang
dihubungkan oleh sebuah sistem pemasaran produk pertanian di India. Sistem
pemasaran diyakini memegang peranan penting dalam menentukan harga yang
merupakan sinyal bagi produsen dan konsumen, dan kemudian kinerja sistem ini
sangat ditentukan oleh perilaku dan struktur pasar itu sendiri. Variabel-variabel
yang diteliti adalah pengukuran regulasi, infrastruktur sistem pemasaran, harga
yang ditetapkan oleh pemerintah, agen-agen dalam pasar, ekspor-impor dan
kebijakan ekonomi makro. Hasil yang didapatkan adalah keseluruhan variabel
yang diteliti berpengaruh nyata terhadap dinamika pasar produk pertanian.
Karakteristik struktural pasar produk pertanian menunjukkan dominasi lembaga-
lembaga yang terorganisasi atas lembaga-lembaga yang tidak terorganisasi dengan
konsekuensi timbulnya potensi terciptanya praktek monopoli atau oligopoli. Saran
sebagai hasil dari penelitian ini adalah perlunya meningkatkan linkages antara
petani dengan sektor ritel, pembangunan infrastruktur di pedesaan dan perlunya
perhatian pada proses grading dan pengontrolan kualitas untuk meningkatkan
kinerja pasar.
Viaenne dan Gellynck (1995) menggunakan SCP untuk mengevaluasi
pertumbuhan dan situasi di industri makanan di Eropa, terutama perusahaan-
perusahaan yang berada di Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis. Penelitian ini
menggunakan variabel konsentrasi industri dan intensitas penggunaan tenaga
kerja sebagai indikator struktur, nilai tambah dan investasi sebagai indikator
perilaku, serta produktivitas, tingkat pertumbuhan dan profitabilitas sebagai
indikator kinerja. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan variabel-variabel
didalam structure, conduct, performance. Hasil penelitian menunjukkan Perancis
memiliki struktur industri yang paling terintegrasi dibandingkan dengan negara
yang lain, sementara Inggris dan Jerman mengalami pertumbuhan yang negatif.
Namun Belanda dan Jerman memiliki tingkat profitabilitas yang tertinggi di
antara negara yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pasar makanan Eropa
sangat ditentukan oleh keterkaitan struktur usaha, perilaku dan kinerja dalam
industri tersebut.
Vlachvei dan Oustapassidis (1998) melakukan penelitian untuk membuat
hipotesis mengenai hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja pada industri
makanan di Yunani. Penelitian bertujuan untuk mengestimasi parameter tingkat
profitabilitas yang dipengaruhi oleh konsentrasi industri dan iklan pada 38
43
manufaktur dalam industri pangan dengan menggunakan metode estimasi 3SLS.
Indikator struktur diwakili oleh indeks konsentrasi perusahaan, indikator perilaku
diwakili oleh rasio antara pengiklanan dengan total penjualan, dan tingkat
profitabilitas sebagai indikator kinerja. Hasil yang didapatkan adalah bahwa
intensitas pemasangan iklan dan ekspor berpengaruh nyata dalam meningkatkan
tingkat profitabilitas. Selanjutnya kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh tingkat
konsentrasi perusahaan, dan pada sebelumnya konsentrasi tersebut sangat
dipengaruhi oleh economies of scale perusahaan yang bersangkutan. Hubungan
antara pemasangan iklan dan tingkat konsentrasi menunjukan bahwa perusahaan
yang memiliki pangsa produk yang besar lebih efektif untuk menggunakan media
periklanan dibandingkan dengan perusahaan dengan pangsa yang kecil.
Sayaka (2003) menganalisis struktur pasar, perilaku dan kinerja industri
benih jagung di provinsi Jawa Timur, menggunakan data primer dan sekunder.
Data primer dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan
swasta serta distributor benih jagung. Dimensi dari struktur pasar adalah derajat
konsentrasi penjual dan pembeli, diferensiasi produk, barriers to entry and exit
serta pengetahuan pasar. Perilaku pasar dievaluasi menggunakan pendekatan
kelembagaan dan fungsional. Kinerja pasar mencakup efisiensi teknis, efisiensi
harga dan progressiveness. Analisis deskriptif dan statistik digunakan untuk
menentukan struktur, perilaku dan kinerja dari industri. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa struktur industri benih jagung di Jawa Timur adalah
sangat oligopolistik. Tiga perusahaan multinasional mendominasi industri.
Investasi yang besar dan terus menerus penemuan varietas baru merupakan
hambatan masuk yang dominan di industri benih jagung meskipun laba tinggi
mencegah produsen meninggalkan industri. Iklan dan jasa servis konsumen
merupakan faktor utama pilihan konsumen terhadap benih. Produsen benih
mendapat laba tinggi disamping resiko dari produk yang banyak tidak terjual. Di
tingkat pedagang besar, pasar benih jagung adalah sangat oligopolistik yang
ditandai dengan konsentrasi lebih dari 40 persen. Disisi lain pedagang pengecer
relatif kompetitif. Pedagang besar membeli dan menjual benih pada harga yang
lebih rendah dan mendapat laba yang lebih tinggi dibanding pedagang pengecer.
Secara umum, pasar benih jagung tidak efisien.
Selanjutnya Hakobyan (2004) meneliti jaringan pemasaran susu sapi di
Armenia, menggunakan analisis structure-conduct-performance. Analisis
terkonsentrasi pada rantai pemasaran yaitu koperasi dan pengolah (pabrik susu).
SCP digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang menentukan daya saing dari
suatu pasar, meneliti perilaku dari perusahaan dan menaksir sukses dari suatu
industri dalam pencapaian tujuan. Penelitian menggunakan data dan informasi
dari dokumen internal USDA Marketing Assistance Project (USDA-MAP),
wawancara personal dan data publikasi. Indikator structure diwakili oleh struktur
kepemilikan, ukuran distribusi dan konsentrasi, serta integrasi dan kerjasama.
Conduct diwakili oleh aktivitas pemasaran, kebijakan harga dan kebijakan produk.
Sementara performance dilihat dari pendapatan peternak, pencapaian dan problem
yang dihadapi. Adapun masing-masing komponen di dalam SCP dibahas secara
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa masalah utama yang
menghalangi peningkatan lebih lanjut dari pabrik susu adalah ketiadaan modal
untuk modernisasi dari peralatan yang ketinggalan zaman dan mutu dari susu
mentah. Problem banyak terdapat di area pemasaran, diantaranya yang utama
44
menghambat kemajuan dari susu yang dipasarkan koperasi adalah rendahnya
harga susu mentah serta ketiadaan ransum dan bibit berkualitas tinggi.
Resende (2005) meneliti keterkaitan hubungan SCP dalam konteks industri
manufaktur di Brazil tahun 1996. Untuk tujuan itu, digunakan suatu sistem
dengan empat persamaan yaitu konsentrasi, iklan, R&D, dan tingkat keuntungan
yang diestimasi menggunakan model persamaan simultan. Sebagai tambahan
untuk explanatory variabel, diproksi dari barriers to entry dan kondisi-kondisi
permintaan, juga memasukkan variabel skema insentif dan praktek organisatoris.
Dari hasil penelitian mengindikasikan suatu peran penting untuk variabel yang
berhubungan dengan barriers to entry dalam mempengaruhi struktur pasar,
terdapat efek non linear dan penting dari konsentrasi periklanan, terdapat dampak
relevan dari firm-size terhadap penggunaan R&D dan akhirnya terdapat dampak
positif yang signifikan dari konsentrasi terhadap tingkat keuntungan dan hasil
yang sama dengan sebelumnya pada negara maju.
Kardiman (2011) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis
struktur, perilaku dan kinerja pasar minyak sawit dan produk industri sawit
Malaysia dan implikasinya terhadap pengembangan industri kelapa sawit
Indonesia. Analisis SCP digunakan dengan menggabungkan model Martin yang
sudah dimodifikasi dan model perbandingan hirarki. Data yang digunakan
merupakan data sekunder time series dari tahun 1960 sampai 2008. Menurut
pendekatan SCP, kinerja suatu industri (keberhasilan industri dalam memberikan
manfaat kepada konsumen) tergantung pada perilaku perusahaan, yang pada
gilirannya, struktur (faktor yang menentukan daya saing pasar) dan rencana
strategis tergantung pada pemerintahan yang baik yang diberdayakan dalam
model ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara institusional, industri sawit
Malaysia diatur secara profesional dan memiliki fokus yang jelas bahwa komoditi
sawit adalah komoditi komersial penuh (full commercial). Untuk mampu bersaing
di pasar internasional maka prinsip efektifitas, efisensi dan profitabilitas amat
diperhatikan secara seksama, bahkan struktur pasar industri minyak sawit dan
produk sawit dalam negeri Malaysia adalah oligopoli kuat dengan konsentrasi
CR4 mendekati 90 persen.
Terakhir, Setiawan (2012) meneliti struktur pasar, kekakuan harga, dan
kinerja serta hubungannya di industri makanan dan minuman di Indonesia.
Penelitian menggunakan dua kerangka utama, SCP dan NEIO, menggunakan data
publikasi tingkat perusahaan dari 59 sub sektor industri makanan dan minuman
yang bersumber dari survei manufaktur dari Badan Pusat Statistik selama periode
1995-2006. Metode ekonometrik dan Data Envelopment Analysis (DEA)
digunakan untuk menganalisis tujuan keseluruhan. Hasil empiris menunjukkan
bahwa konsentrasi industri menyatu dengan nilai yang sama di seluruh subsektor
dalam jangka panjang. Tujuh tahun setelah pengenalan Hukum Persaingan pada
1999, konsentrasi industri dan price-cost margin masih tinggi. Konsentrasi
industri memiliki efek positif pada price-cost margin. Selain menghentikan tren
kenaikan price-cost margin, pengenalan Hukum Persaingan mengurangi pengaruh
konsentrasi industri pada price-cost margin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan simultan antara konsentrasi industri, kekakuan harga, efisiensi
teknis, dan price-cost margin.
45
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teoritis
Teori Permintaan Faktor Produksi dan Penawaran Output
Teori produksi bertumpu pada fungsi produksi, yaitu suatu fungsi yang
menggambarkan hubungan teknis antara faktor-faktor produksi (input) dan hasil
produksinya (output). Fungsi produksi dapat menggambarkan teknologi yang
digunakan oleh suatu perusahaan, suatu industri, atau suatu perekonomian secara
keseluruhan. Produksi adalah kegiatan transformasi dari dua atau lebih input
(sumberdaya) menjadi satu atau lebih produk. Transformasi sebagai upaya
mengubah dengan cara mengkombinasikan sejumlah input menjadi bentuk dan
fungsi yang berbeda. Konsep dari fungsi produksi adalah total produktivitas atau
output dengan menggunakan variasi jumlah input dalam proses produksi
(Snodgrass dan Wallace, 1980). Input variabel dalam proses produksi komoditi
ayam broiler antara lain adalah tenaga kerja, pakan, bibit, obat-obatan dan yang
lainnya, yang dapat dibeli sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Sedangkan
faktor input tetap adalah faktor- faktor yang lain yang tidak diperoleh dalam
jangka waktu satu analisis seperti kandang, peralatan, infrastruktur dan layanan
penyuluhan atau juga faktor eksogen yang tidak bisa dikendalikan seperti cuaca
(Sadoulet dan De Janvry, 1995).
Perusahaan adalah satu unit teknis dimana output dihasilkan, karena itu
perusahaan adalah suatu bentuk kelembagaan, bisa perorangan atau dalam bentuk
sekumpulan orang sebagai pemiliknya (Henderson dan Quant, 1980). Perusahaan
melakukan proses produksi, yakni melakukan pengaturan penggunaan input dalam
rangka menghasilkan output. Pengelola perusahaan membuat keputusan tentang
berapa seharusnya dan bagaimana output dihasilkan sehubungan dengan tingkat
keuntungan yang akan diperoleh.
Industri merupakan kumpulan perusahaan yang menghasilkan output
sejenis. Kumpulan usaha ternak ayam broiler merupakan suatu industri dan output
yang dihasilkan adalah daging ayam. Faktor produksi utama dari industri ayam
broiler adalah pakan. Karena di satu sisi pakan merupakan input bagi usaha ayam
broiler dan di sisi lain pakan merupakan output dari industri pakan, maka
permintaan input pakan merupakan permintaan turunan (derived demand) dari
usaha broiler. Oleh sebab itu fungsi permintaan pakan dapat didefinisikan sebagai
fungsi dari harga pakan, input lain dan harga daging ayam broiler. Penurunannya
akan dijelaskan pada bagian berikut ini.
Untuk menyederhanakan persoalan, dimisalkan bahwa pada tingkat
teknologi tertentu, fungsi produksi daging broiler dapat dirumuskan sebagai
berikut :
QS
B = Q
S
B (Q
P,Q
F) .................................................................................. (1)
dimana : QS
B = produksi daging broiler,
QP
= volume penggunaan pakan
QF
= jumlah penggunaan input lainnya.
46
Jika diketahui bahwa harga faktor produksi pakan dan faktor-faktor produksi
lainnya masing-masing adalah PP dan PF, maka persamaan biaya total dapat
dirumuskan sebagai berikut :
C = PP*Q
P + P
F* Q
F + C
0 ..................................................................... ... (2)
dimana C adalah biaya total dan C0 adalah biaya tetap.
Keuntungan adalah merupakan selisih antara penerimaan dan biaya-biaya.
Dengan demikian maka fungsi keuntungan usaha ternak ayam broiler dapat
dirumuskan sebagai berikut (Herderson dan Quandt, 1980) :
π = PB* Q
S
B (Q
P,Q
F) – (P
P*Q
P + P
F* Q
F + C
0) ........................................... (3)
dimana adalah keuntungan PB
= harga per unit daging broiler. Dengan
memaksimumkan fungsi keuntungan di atas dan bila second order condition
dapat dipenuhi, maka keadaan keseimbangan pada usaha ayam broiler adalah
sebagai berikut :
PP
= PB
* QP' ............................................................................................... (4)
PF
= PB
* QF' ............................................................................................... (5)
dimana PB, PP dan PF
merupakan peubah eksogen, QP
dan QF
merupakan peubah
endogen. Dengan demikian fungsi permintaan input usaha ayam broiler adalah :
Permintaan pakan : QD
P = Q
D
PB (P
B, P
P, P
F) ........................................... (6)
Permintaan input lain QD
F = Q
D
FP (P
B,P
P,P
F) ............................................. (7)
Dengan mensubstitusi persamaan (6) dan (7) ke dalam persamaan (1), maka
fungsi penawaran daging ayam broiler dari usaha ternak ayam broiler dapat
dirumuskan sebagai berikut :
QS
B = Q
S
B (P
B, P
P, P
F )................................................................................. (8)
Dari persamaan (8) diketahui penawaran daging ayam broiler merupakan fungsi
dari harga daging ayam broiler.
Akan tetapi penawaran suatu komoditi bukan hanya ditentukan oleh harga
komoditi tersebut dan harga-harga faktor produksi. Beberapa peubah penting lain
yang mempengaruhi penawaran komoditi adalah harga komoditi lain, kebijakan
pemerintah, tingkat teknologi, pajak, subsidi, dan keadaan alam. Teori penawaran
bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran.
Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa adalah jumlah komoditi yang
ditawarkan kepada konsumen pada suatu pasar dan pada tingkat harga serta waktu
tertentu (Henderson dan Quandt, 1980).
Teori Permintaan Output
Permintaan suatu komoditi adalah jumlah komoditi yang dibeli konsumen
dengan harga, tempat dan waktu tertentu. Permintaan akan komoditi tertentu
dipengaruhi oleh banyak faktor secara simultan (Koutsoyiannis, 1977). Antara
47
harga dan jumlah komoditi yang diminta atau yang ingin dibeli oleh konsumen,
terdapat hubungan yang negatif, dalam arti jika harganya semakin tinggi maka
jumlah komoditi yang diminta atau yang ingin dibeli akan semakin sedikit, dan
demikian pula pada keadaan sebaliknya.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan suatu komoditi
antara lain adalah : harga komoditi tersebut, harga komoditi substitusi, pendapatan
konsumen, selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, kesejahteraan
konsumen, kredit, dan kebijaksanaan pemerintah. Dalam pasar persaingan
sempurna, perubahan harga komoditi ceteris paribus akan menyebabkan
perubahan jumlah komoditi yang diminta atau terjadinya pergerakan (movement)
sepanjang kurva permintaan. Sedangkan perubahan harga yang disebabkan faktor-
faktor (selain harga komoditi tersebut) akan mengakibatkan kurva permintaan
mengalami pergeseran (shift).
Pada hakekatnya permintaan konsumen terhadap suatu jenis barang
mencerminkan posisi keseimbangan konsumsi yang telah mempertimbangkan
berbagai tujuan untuk mencapai utilitas maksimum dengan jumlah anggaran
belanja (pendapatan) yang tertentu. Seorang konsumen dikatakan berada dalam
posisi keseimbangan apabila pendapatannya telah dialokasikan pada pembelian
barang-barang yang memberikan utilitas maksimum. Dengan demikian titik tolak
teori permintaan adalah fungsi utilitas dimana fungsi permintaan dapat diturunkan
dari fungsi utilitas.
Bila diasumsikan kepuasan konsumen dapat dipenuhi dengan
mengkonsumsi daging ayam broiler (B) dan barang lainnya (J), fungsi utilitas
(kepuasan) konsumen (U) adalah :
U = U (B, J) ................................................................................................ (9)
Jika PB dan PF masing-masing adalah harga daging ayam broiler dan harga barang
lainnya per unit, kendala pendapatan dari konsumen pada tingkat pendapatan
tertentu (misalnya Y0) adalah :
Y0 = PB * B + PJ * J ................................................................................. (10)
Untuk memaksimumkan fungsi utilitas dengan fungsi kendala pendapatan, kedua
persamaan terlebih dahulu diformulasikan dalam bentuk fungsi Lagrange seperti
berikut :
£ = U (B, J) + λ (Y0 – PB * B + PJ * J) ..................................................... (11)
dimana : λ = shadow price dari pendapatan.
Selanjutnya, dengan memaksimumkan fungsi utilitas dengan syarat turunan
parsial pertamanya terhadap B, J dan λ harus sama dengan nol, dan menyelesaikan
persamaannya, maka diperoleh persamaan sebagai berikut :
λ = UB/PB = UJ/PJ, atau UB/UJ = PB/PJ ..................................................... (12)
dimana : UB = utilitas marjinal terhadap konsumsi daging ayam broiler
UF = utilitas marjinal terhadap konsumsi barang lainnya.
Persamaan (12) dikenal sebagai Equimarginal Principle dari teori
pemaksimuman utilitas yang berarti konsumen akan berada pada posisi
keseimbangan jika rasio antara utilitas marjinal dan harga masing-masing barang
yang dikonsumsi adalah sama dan harus sama dengan utilitas marjinal
48
pendapatan. Jadi fungsi permintaan terhadap suatu barang konsumsi, dalam hal ini
adalah daging broiler dapat dirumuskan sebagai berikut :
QD
B = f ( PB, Ps, Y0 ) ........................................................................... … (13)
dimana PB, PS, Y0 masing-masing adalah harga barang tersebut, harga barang
substitusi, dan pendapatan konsumen (Henderson dan Quandt, 1980).
Analisis Organisasi Industri
Azas fundamental dalam menganalisa organisasi industri adalah mengenai
apa yang masyarakat inginkan dari produsen barang dan jasa adalah performans
yang bagus (Scherer dan Ross, 1990). Kajian terhadap perilaku suatu lembaga
ekonomi sangat tergantung pada konsep pemikiran ekonomi yang mendasarinya.
Saat ini terdapat dua aliran pemikiran besar yang mewarnai hampir setiap kajian
ekonomi mikro modern (Spechler, 1990), yaitu pendekatan neo-klasik dan
pendekatan ekonomi kelembagaan (institusional). Pendekatan neo-klasik
menekankan pada asumsi-asumsi dasar yang telah mapan dan berbagai perangkat
teori yang telah lengkap dan mantap, terutama dalam menjelaskan berbagai
perilaku perusahaan, perilaku konsumen, perilaku pasar, dan hal-hal yang
berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat; sebagai hasil dari proses berbagai
kajian yang panjang. Neo-klasik mendasari pemikiran tentang perilaku ekonomi
pada beberapa perspektif dasar yaitu : (a) adanya keseimbangan pasar bersaing
sempurna dan ketidaksempurnaan pasar hanya merupakan pengecualian, (b)
faktor (produksi) mendapat imbalan sesuai dengan nilai dan kontribusi
marjinalnya terhadap produksi, hal yang dapat mempengaruhi kondisi tersebut
umumnya diabaikan, (c) selera diasumsikan tetap dan universal, (d) faktor
organisasi dan manajemen diabaikan, (e) pengaruh politis dan sosial dianggap
minimal, dan (f) masalah pemerataan ditangani secara terpisah dari efisiensi.
Dilain pihak pendekatan ekonomi kelembagaan justru berusaha untuk
mendalami hal-hal yang dinilai sebagai kelemahan dalam pendekatan neo-klasik.
Berangkat dari pemikiran Thorstein Veblen (1857-1929), dan dalam pengaruh
pemikiran beberapa guru ekonomi dan sosiolog Eropa, seperti Gustav Schmoller
(1839-1917), Max Weber (1864-1920) dan Werner Sombart (1883-1941);
pemikiran ekonomi kelembagaan justru berkembang di Amerika, walaupun salah
satu penulis kelembagaan terkemuka, yaitu John Kenneth Galbraith (1908-2006)
menolak untuk dikatakan sebagai “orang kelembagaan”. Meskipun beberapa
bentuk mekanisme kajian yang dilakukan mungkin juga menggunakan teknik
yang dikembangkan oleh neo-klasik, perspektif ekonomi kelembagaan yang
dikembangkan para pemikir di atas menegaskan pentingnya beberapa hal yang
tidak terdapat pada pendekatan neo-klasik (Spechler, 1990).
Pertama, fokus kajian ekonomi kelembagaan ditujukan pada lembaga atau
organisasi sebagai unit analisa. Dalam hal ini yang dimaksud kelembagaan adalah
pengaturan-pengaturan sosial tentang hubungan antar individu dan kelompok.
Ekonomi kelembagaan menempatkan norma, peraturan, kesepakatan dan berbagai
bentuk serupa; yang kemudian tercermin dalam bentuk struktur hak (property
rights) dan hal-hal yang diakui bersama (common denominator), sebagai faktor
penentu dalam pengambilan keputusan ekonomi. Perbedaan unsur kelembagaan
tersebut akan membedakan kriteria pencapaian tujuan suatu kegiatan ekonomi.
49
Hal berbeda dengan pendekatan neo-klasik yang umumnya memandang
rasionalitas dari pencapaian keuntungan maksimum dan kriteria hedonistik
lainnya. Kedua, kegiatan ekonomi dipandang sebagai suatu proses evolusi yang
berkelanjutan menuju pencapaian tujuan tertentu (bukan sekedar hanya mencari
keseimbangan), dan tujuan tersebut bukan hanya keuntungan maksimum. Kondisi
lembaga pada tahap berikut ditentukan oleh kemampuan lembaga yang
bersangkutan beradaptasi dengan perkembangan kondisi lingkungan. Ketiga,
setiap lembaga dan aktivitas ekonomi dapat memiliki tujuan yang berbeda atau
memiliki beberapa tujuan. Dan keempat, ekonomi kelembagaan menekankan
pentingnya memperhatikan berbagai orientasi normatif (sosial, politik, dan
sebagainya) yang dapat mempengaruhi tujuan atau perilaku suatu kegiatan
ekonomi.
Bagian penting dari penelitian di organisasi industri adalah berkaitan dengan
memahami faktor-faktor penentu kekuatan pasar dan struktur pasar, dan dengan
mengevaluasi implikasinya terhadap kesejahteraan masyarakat. Model khas di
organisasi industri memperlakukan fitur permintaan, teknologi, dan kelembagaan
yang diberikan dan studi bagaimana faktor-faktor eksogen menentukan struktur
pasar secara endogen dan keuntungan perusahaan. Misalkan saja, penggunaan
metode Empirical Industrial Organization bermanfaat untuk menentukan harga
atau output, untuk mengantisipasi respon pesaing, untuk mengevaluasi dampak
dari merger, untuk memprediksi dampak dari memperkenalkan produk baru di
pasar, atau untuk mengukur manfaat dari diskriminasi harga (Aguirregabiria,
2012).
Industrial Organization (IO) mempelajari interaksi strategis perusahaan di
pasar, dan implikasinya terhadap keuntungan perusahaan dan kesejahteraan
konsumen. Kekuatan pasar dan struktur pasar adalah konsep utama dalam IO.
Kekuatan pasar (atau kekuatan monopoli) adalah kemampuan suatu perusahaan,
atau kelompok perusahaan, untuk mendapatkan keuntungan yang luar biasa, untuk
mendapatkan sewa melebihi yang dibutuhkan untuk membayar upah seluruh input
dengan harga pasar. Struktur pasar adalah deskripsi dari jumlah perusahaan di
pasar dengan masing-masing saham/bagiannya di pasar. Pasar monopoli
merupakan ekstrem struktur pasar dimana satu perusahaan mengkonsentrasi total
output di pasar. Pasar ekstrim yang lain kita kenal dengan struktur pasar atomist
dimana output industri dibagi bersama oleh sejumlah besar perusahaan yang
sangat kecil. Antara dua pasar ekstrem ini, kita mempunyai spektrum
kemungkinan struktur pasar oligopoli. Kekuatan pasar dan struktur pasar
tergantung pada permintaan, teknologi perusahaan, konsentrasi dan regulasi dalam
industri.
Struktur pasar merupakan elemen strategis yang relatif permanen dari
lingkungan perusahaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku dan
kinerja di dalam pasar (Koch, 1980). Struktur pasar merupakan bahasan penting
untuk mengetahui perilaku dan kinerja suatu industri. Struktur pasar merupakan
atribut pasar yang mempengaruhi sifat persaingan. Elemen struktur pasar adalah
pangsa pasar (market share), konsentrasi (concentration) dan hambatan masuk
(barriers to entry). Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka akan semakin tinggi
hambatan masuk dalam suatu industri. Konsentrasi industri (Concentration Ratio-
CR4), dikatakan tinggi jika nilai konsentrasi penjualan dari empat perusahaan
terbesar melebihi 70 persen dari total penjualan.
50
Analisis Structure-Conduct-Performance (SCP)
Paradigma Structure-Conduct-Performance (SCP) merupakan salah satu
kerangka pemikiran dalam menganalisis ekonomi lembaga dan kelembagaan dari
organisasi industri. Paradigma tersebut digunakan untuk menjelaskan hubungan
antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar. Ada beberapa pandangan mengenai
metodologi SCP, salah satunya adalah pandangan tradisional yang juga disebut
dengan pandangan strukturalis. Pandangan ini menyatakan bahwa suatu struktur
pasar dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu tingkat konsentrasi dan faktor
eksternal yaitu tingkat hambatan masuk (Entry Barriers). Selain itu, struktur juga
dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya seperti, tingkat permintaan dan
kebijakan pemerintah. Struktur tersebut kemudian akan mempengaruhi perilaku
yang terbentuk yang kemudian akan mempengaruhi kinerja industri tersebut
(Martin, 1993).
Sementara menurut pendekatan model SCP New-Harvard Tradition, dimana
masing-masing komponen saling berinteraktif, misalnya kinerja pasar tergantung
pada perilaku pasar, perilaku tergantung pada struktur pasar yaitu faktor yang
menentukan persaingan, selanjutnya struktur pasar tergantung pada kondisi dasar
yaitu permintaan dan produksi meliputi elastisitas permintaan, barang pengganti,
musim, tingkat pertumbuhan ekonomi, lokasi, jumlah order, metode perbelanjaan
dan teknologi, bahan baku, keseragaman produk, ketahanan barang, lokasi, skala
ekonomi dan skop ekonomi. Sebaliknya kondisi dasar mempengaruhi struktur
pasar, struktur mempengaruhi perilaku dan perilaku mempengaruhi kinerja, ketiga
komponen ini dan kondisi dasar dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah (Carlton
dan Perloff, 2000).
Menurut pemikiran dan pengalaman bisnis yang ada (Main Stream),
mengasumsikan bahwa setiap struktur pasar cenderung mempengaruhi bagaimana
perusahaan bertingkah laku dan bagaimana kinerja yang diperoleh perusahaan
tersebut. Struktur mempengaruhi perilaku, dimana semakin rendah konsentrasi
maka semakin kompetitif perilaku perusahaan. Perilaku mempengaruhi kinerja,
dimana semakin kompetitif perilaku maka kekuatan pasar semakin kecil (artinya
semakin besar efisiensi sosial). Struktur mempengaruhi kinerja, dimana
penurunan konsentrasi pasar kearah penguasaan pasar yang lebih rendah. Hal ini
menyiratkan bahwa secara langsung dan tidak langsung struktur mempengaruhi
kinerja.
Semakin kecil penguasaan pasar (market share), semakin besar tekanan
bersaing perusahaan tersebut. Ini berarti bahwa kekuatan pasar (market power)
yang dimiliki perusahaan untuk menentukan harga dan output semakin berkurang.
Dengan berkurangnya kemampuan perusahaan untuk menentukan harga dan
output akan berdampak pada menurunnya tingkat keuntungan yang diterima
perusahaan. Oleh karena itu rasio konsentrasi akan berhubungan positif dengan
price-cost margin. Perbedaan tingkatan konsentrasi industri ini akan membedakan
perilaku industri yang diamati, dan perbedaan perilaku industri yang terjadi akan
membedakan kinerja pasar yang dihasilkan oleh industri yang bersangkutan
(Teguh, 2010)
Penelitian ini diawali dengan membahas secara deskriptif jumlah produsen
baik usaha rakyat dan perusahaan broiler di tingkat industri, tingkat konsentrasi
produsen broiler dari empat perusahaan terbesar (CR4), hambatan masuk pasar
51
sebagai struktur pasar (structure) industri broiler. Selain itu juga membahas upaya
pemerintah dan perusahaan baik nyata maupun tidak nyata melakukan integrasi
vertikal, kolusi, penetapan harga input dan sistem kontrak dari sisi perilaku
(conduct). Bahasan berikutnya adalah kinerja yang diukur dengan harga produsen,
efisiensi, produktivitas, tingkat keuntungan dan kekuatan pasar (performance).
Penelitian deskriptif ini memakai kerangka alur berfikir menurut Carlton dan
Perloff (2000).
Deskriptif Struktur Pasar (Structure)
Struktur disini mengacu pada struktur pasar yang digambarkan sebagian
besar oleh konsentrasi penguasaan pasar didalam pasar tersebut. Istilah
konsentrasi atau derajat tingkat konsentrasi mengacu pada kepemilikan atau
kontrol proporsi yang besar dari beberapa kumpulan atau aktivitas sumber daya
ekonomi. Secara kuantitatif, kita mengukur struktur industri berdasarkan rasio
konsentrasi. CR diduga dipengaruhi oleh faktor teknis, variabel perilaku dan
kinerja. Yang termasuk faktor teknis adalah skala ekonomis, yang diproksi dari
biaya produksi (Strickland & Weises, 1976).
Struktur sering diartikan sebagai bentuk atau susunan komponen pada suatu
bentuk. Dalam konteks ekonomi, struktur merupakan sifat permintaan dan
penawaran barang dan jasa yang dipengaruhi oleh jenis barang yang dihasilkan,
jumlah dan ukuran distribusi penjual (perusahaan), jumlah pembeli dan penjual,
regulasi, tingkat hambatan masuk, diferensiasi produk, dan sebagainya dalam
suatu industri (Scherer, 1980). Struktur juga dapat menggambarkan tingkat
kekuatan pasar melalui tingkat konsentrasinya. Semakin tinggi tingkat
konsentrasinya menandakan struktur pasar yang mendekati monopoli. Seperti
yang telah dijelaskan dalam teori ekonomi, struktur pasar monopoli memiliki
kekuatan pasar yang tinggi. Oleh sebab itu, tingkat konsentrasi yang tinggi
menggambarkan semakin tingginya kekuatan pasar.
Struktur pasar merupakan elemen strategis yang relatif permanen dari
lingkungan perusahaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku dan
kinerja di dalam pasar (Koch, 1980). Struktur pasar merupakan bahasan penting
untuk mengetahui perilaku dan kinerja suatu industri. Struktur pasar merupakan
atribut pasar yang mempengaruhi sifat persaingan. Elemen struktur pasar adalah
jumlah penjual (perusahaan), konsentrasi (concentration) dan hambatan masuk
(barriers to entry). Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka akan semakin tinggi
hambatan masuk dalam suatu industri.
a. Konsentrasi
Konsentrasi merupakan jumlah dan ukuran distribusi perusahaan. Kecil dan
besarnya perusahaan mempengaruhi peningkatan konsentrasi penjual. Terdapat
dua alasan pembenaran yang sering digunakan dalam menjelaskan hubungan
positif antara konsentrasi penjual dan kekuatan pasar (Church dan Ware, 2000),
yaitu : 1) Meningkatnya derajat konsentrasi akan meningkatkan kemampuan
penjual untuk mengatasi persaingan dan mengkoordinasikan perilaku harga; 2)
Teori oligopoli pun mengatakan adanya hubungan positif antara kekuatan pasar
dan konsentrasi penjual. Selanjutnya Bain (1959), mengemukakan tiga
hipotesanya mengenai hubungan tingkat konsentrasi terhadap profit atau tingkat
52
keuntungan, yaitu : 1. Konsentrasi menimbulkan kolusi 2. Kolusi akan
menciptakan profit jika hambatan masuk tinggi 3. Efek ini terjadi pada
perusahaan-perusahaan besar.
Secara teori atau prakteknya, karakter, intensitas dan efektivitas dari
kompetisi antar perusahaan akan dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat
konsentrasi (Bain, 1968). Tingkat konsentrasi dapat dihitung dengan berbagai
cara, dua diantaranya adalah dengan rasio konsentrasi atau concentration ratio
(CR) dan Herfindhal-Hirschman Index (HHI).
Rasio Konsentrasi
Rasio konsentrasi merupakan cara yang umum dalam menjelaskan struktur
industri (Utton, 1970). Rasio konsentrasi merupakan jumlah pangsa pasar dari
perusahaan m terbesar. Contohnya, CR4 menggambarkan rasio konsentrasi dari
empat perusahaan terbesar. Semakin tinggi tingkat konsentrasi, maka struktur
akan semakin terkonsentrasi atau dengan kata lain semakin mengarah ke
monopoli. Adapun mekanisme perhitungannya adalah sebagai berikut.
m
CRm = ∑ Si
i
dimana :
CRm = Rasio konsentrasi m perusahaan terbesar
Si = Pangsa pasar perusahaan i
Dari perhitungan di atas, dapat kita ketahui bahwa perhitungan rasio
konsentrasi adalah dengan menggabungkan pangsa pasar sejumlah perusahaan
yang terdapat dalam suatu industri. Adapun perhitungan pangsa pasar suatu
perusahaan dapat dilakukan dengan cara berikut :
Xi
Si = n
∑ Xi
i=
dimana :
Si = Pangsa pasar
n = Jumlah pemain dalam pasar
Xi = Output atau value added aset perusahaan i
Berdasarkan persamaan di atas dapat diketahui bahwa dalam menghitung
pangsa pasar dapat dilakukan dengan cara membagi jumlah output yang
dihasilkan perusahaan i dengan jumlah output yang dihasilkan dalam suatu
industri dimana perusahaan itu bergerak. Namun, dalam perhitungan dengan
metode CR ini, memiliki beberapa kelemahan, seperti :
1. CR tidak memberikan informasi mengenai masuknya pesaing ke dalam
industri
2. CR tidak menjelaskan distribusi perusahaan secara menyeluruh
53
3. CR tidak memberikan informasi tentang perubahan posisi dan rangking
perusahaan yang ada dalam industri, mengabaikan tingkat persaingan diantara
perusahaan-perusahaan di pasar tersebut.
Meski begitu, banyak pengamat ekonomi dalam studi organisasi industri
sepakat bahwa rasio konsentrasi merupakan indeks dari struktur pasar. Sering
dihipotesakan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi maka semakin besar pula
kemungkinan adanya kekuatan pasar di dalam industri tersebut. Kondisi ini juga
menunjukkan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kolusi. Konsentrasi
dikatakan tinggi jika nilai konsentrasi penjualan dari empat perusahaan terbesar
melebihi 70 persen dari total penjualan atau menggunakan jumlah kuadratik dari
prosentase penjualan empat atau delapan besar perusahaan (market share) dalam
industri.
Penguasaan pasar (market share) adalah indikator utama dari posisi suatu
perusahaan dalam pasar. Semakin kecil market share, semakin besar tekanan
bersaing perusahaan tersebut. Ini juga merupakan indikator langsung dari derajat
tingkat oligopoli (Sheperd, 1997). Jika banyaknya penjual di pasar hanya satu,
maka disebut monopoli. Jika banyaknya penjual ada beberapa, maka disebut
oligopoli. Rasio konsentrasi dari beberapa perusahaan besar menentukan
horisontalnya market power dari perusahaan besar di dalam pasar.
Herfindhal-Hirschman Index (HHI)
Selain dengan CR, tingkat konsentrasi juga dapat dihitung dengan
menggunakan HHI. Berbeda dengan CR, dalam HHI semua perusahaan
dimasukkan dalam perhitungan tingkat konsentrasi suatu industri. Dengan kata
lain, Herfindhal-Hirschman Index (HHI) merupakan penjumlahan kuadrat
sederhana dari pangsa pasar untuk semua perusahaan dalam suatu industri.
Adapun mekanisme perhitungannya adalah :
n
HHI = ∑ Si2
dimana :
n = Jumlah seluruh perusahaan dalam suatu industri
S = Pangsa pasar
HHI bernilai antara 0 sampai 1. Semakin mendekati satu, maka struktur
industri akan semakin terkonsentrasi.
Kurva Lorenz dan Indeks Gini
Pendekatan lain untuk melihat konsentrasi industri adalah dengan
menggunakan pemetaan Kurva Lorenz dan penghitungan Indeks Gini (Adelaja et
al. 1998, Wang 2004). Kurva Lorenz dan Indeks Gini dipergunakan untuk
mengukur dan membandingkan inequality dari perusahaan-perusahaan di dalam
industri. Kurva Lorenz dan Indeks Gini mengindikasikan tingkat kompetisi dalam
suatu pasar dengan mengukur inequality dalam distribusi ukuran dari perusahaan-
perusahaan (Hart dan Prais, 1956 dalam Carlton dan Perloff, 2000).
Indeks Gini adalah ukuran statistik yang diperoleh dari Kurva Lorenz, yang
terkait dengan pangsa kumulatif dari total nilai suatu variabel (output, pendapatan,
jumlah pekerja) terhadap angka atau persentase dari perusahaan-perusahaan yang
54
n
i=1
ada dalam suatu industri yang diurutkan meningkat sesuai ukurannya. Jika kurva
berbentuk lurus, seluruh perusahaan memiliki ukuran yang sama, dan industri
dapat dipandang sebagai completely unconcentrated, mengindikasikan tingkat
kompetisi yang tinggi di pasar. Secara umum, perusahaan-perusahaan tidak
mempunyai ukuran yang sama dalam suatu industri, dan semakin besar deviasi
dari garis diagonal terhadap Kurva Lorenz, semakin besar inequality dari ukuran
perusahaan dan semakin besar konsentrasi pasar. Sebaliknya, semakin dekat
kepada garis diagonal, semakin terdistribusi dan perusahaan-perusahaan semakin
tidak terkonsentrasi.
Kurva Lorenz mengilustrasikan teoritis mengenai distribusi penguasaan
input oleh beberapa perusahaan industri. Terlihat sekitar 40 persen perusahaan
industri menguasai sekitar 15 persen output pasar. Bila kurva lorenz semakin
mendekati diagonal distribusi output semakin merata. Sebaliknya semakin
menjauhi diagonal semakin tidak merata. Selanjutnya melihat keadaan konsentrasi
dengan menggunakan Indeks Gini.
Sumber : Ferguson, 1988
Gambar 10. Derivasi Indeks Gini dari kurva Lorenz
Indikator Ketimpangan Indeks Gini
Indeks Gini, yang sering disebut juga dengan Gini Ratio, Gini Coefficient,
dan Gini’s Concentration Ratio, dikembangkan oleh Gini Corrado pada tahun
1912 untuk menjelaskan distribusi pendapatan. Indeks Gini diturunkan dari kurva
Lorenz, dihitung sebagai rasio antara area A (area antara kurva Lorenz dan garis
distribusi merata sempurna) dengan area A+B (area antara merata sempurna dan
ketimpangan sempurna). Indeks Gini berkisar antara nol (merata sempurna) dan
satu (ketimpangan sempurna) yang berarti semakin besar Indeks Gini semakin
timpang pendapatan. Indeks Gini dihitung dengan formula yang dimodifikasi
sebagai berikut (BPS, 2009b) :
GI = 1 – Σ fpi * (Fci + Fci-1)
0 100
B
A
C
Cu
mu
lati
ve
per
cen
tag
e o
f o
utp
ut
Cumulative percentage of firm (from the smallest)
55
dimana : GI = Gini Index
fpi = frekuensi perusahaan dalam kelas output ke-i
Fci = frekuensi kumulatif dari total output dalam kelas pendapatan ke-i
Fci-1 = frekuensi kumulatif dari total output dalam kelas pendapatan ke-
(i-1).
b. Hambatan Masuk
Hambatan masuk merupakan kondisi di mana terdapat halangan-halangan
untuk masuk dan atau untuk keluar suatu industri. Jika tidak terdapat halangan
untuk masuk atau keluar, maka akan sulit bagi perusahaan yang sudah berdiri
untuk mempertahankan harga di atas biaya marginal dan mendapatkan
keuntungan (Church dan Ware, 2000).
Terdapat dua bentuk hambatan masuk, yaitu Economic Entry Barrier atau
natural dan Non-Economic Entry Barrier atau artifisial. Maksud dari natural
adalah hambatan masuk yang dapat dijelaskan dengan teori ekonomi, sedangkan
artifisial adalah hambatan yang tidak dapat dijelaskan dengan teori ekonomi, namun dengan teori lain seperti teori politik, sosial budaya, dan lain-lain di luar
teori ekonomi. Economic Entry Barriers dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
Economic of Scale, Absolute Cost Advantage/Capital Requirement, dan
Differentiated Product. Sedangkan Non-Economic Entry Barrier terdiri dari
peraturan pemerintah dalam proses pembangunan, hak paten, dan lisensi.
c. Skala Ekonomi
Skala ekonomi (Economics Of Scale) merupakan keadaan dimana
perusahaan dapat menghasilkan jumlah output yang banyak dengan biaya yang
lebih murah. Dengan kata lain, jika suatu perusahaan menambah jumlah produksi,
maka biaya akan menurun, sehingga biaya produksi per unit akan lebih murah.
Jika yang berlaku sebaliknya, dimana jika Average Cost (AC) lebih kecil dari
Marginal Cost (MC) maka kondisi tersebut dikatakan sebagai diseconomies of
scale. Sedangkan, jika biaya rata-rata sama dengan biaya marginal maka kondisi
tersebut dikatakan constant return to scale atau mencapai MES (Minimum
Efficiency of Scale). Dapat dikatakan jika MES semakin besar, maka hambatan
masuk industri juga akan menjadi besar karena entry cost yang tinggi bagi pemain
baru. Bila suatu perusahaan memiliki skala ekonomis, biaya rata-rata akan turun
ketika output meningkat. Secara sederhana dapat digambarkan dalam bentuk
matematis, dengan mengasumsikan C sebagai Constant Marginal Cost, dan C0
sebagai biaya tetap. Maka persamaan yang diperoleh adalah sebagai berikut :
C (q) = C0 + Cq
dimana biaya rata-rata adalah :
AC(q) = C + C0
q
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dilihat bahwa AC (Average Cost)
menurun seiring peningkatan output. Memproduksi dengan skala besar akan
mengakibatkan biaya tetap yang besar akan menekan AC dan membuat AC
mendekati MC. Jika C0 kecil maka penurunan AC seiring peningkatan output
56
tidak begitu besar. Namun, jika C0 besar, AC akan menurun lebih cepat seiring
peningkatan output. Oleh karena itu, skala ekonomis akan lebih berperan jika
biaya tetap yang besar. Dalam teori ekonomi mikro, skala ekonomis bila dilihat
dengan FC (Functional Coefficient), yaitu :
FC = AC = 1 + C0
MC q
Jika FC lebih besar dari satu, maka AC akan lebih besar daripada MC, dan
ini dikatakan sebagai skala ekonomis. Sebaliknya, jika FC lebih kecil dari satu,
mengakibatkan AC naik seiring peningkatan output, maka dapat disebut sebagai
skala non-ekonomis. Sedangkan, jika FC sama dengan satu, menandakan bahwa
AC sama dengan MC, dan ini dikatakan sebagai skala konstan, di mana AC
berada di titik terendah. Para ekonom sering menyebutkan kondisi tersebut
sebagai MES (Minimum Efficiency of Scale) (Carlton dan Perloff, 2000).
Economies of Scale dapat juga ditunjukkan melalui kurva biaya (AC) dalam
jangka panjang seperti Gambar 11. Kurva ini dapat memberikan penjelasan
adanya hambatan masuk dalam pasar. Bandingkan antara pendatang baru
(Entrance) dengan pemain lama (Incumbant). Pemain lama lebih memiliki
keuntungan dibandingkan dengan pemain baru. Hal tersebut terjadi karena pemain
lama sudah terlebih dahulu berada di pasar. Ini menandakan mereka lebih
memiliki banyak pengalaman dalam melakukan produksi.
Sumber : Carlton dan Perloff, 2000
Gambar 11. Kurva skala ekonomi
Pada gambar di atas, Incumbant dapat diilustrasikan dengan AC2. Dengan
mengasumsikan bahwa AC berhubungan dengan harga, maka perubahan AC
tercermin pada perubahan harga. Jika AC menurun, maka harga juga akan turun.
Bagi pemain baru, mereka akan berfikir untuk memasuki pasar ini. Jika mereka
ingin bersaing dengan pemain lama, maka pemain baru harus berusaha untuk
memproduksi barangnya pada level Q2. Sedangkan, pemain lama untuk memasuki
level produksi ini butuh melewati suatu proses pembelajaran, seperti melewati Q1
terlebih dahulu. Untuk pemain baru, mereka baru dapat memproduksi pada level
57
AC1, sehingga harga yang ditawarkan mereka akhirnya menjadi mahal dengan
tingkat produksi yang lebih sedikit. Hal ini dapat mendatangkan kerugian bagi
pemain baru. Akhirnya, pemain baru akan cenderung tidak memasuki pasar. Hal
inilah yang dinamakan hambatan masuk.
Deskriptif Perilaku Pasar (Conduct)
Paradigma SCP tradisional menyatakan bahwa struktur pasar akan
mempengaruhi perilaku perusahaan dalam membuat keputusan untuk
berkompetisi atau berkolusi. Pandangan ini meyakini bahwa tingkat konsentrasi
yang tinggi akan mendorong perusahaan melakukan kolusi yang pada gilirannya
akan menunjukkan kinerja yang dicapai. Menurut paradigma ini, perusahaan-
perusahaan yang melakukan kartel akan menjadikan perusahaan-perusahaan
dalam industri tersebut memiliki keuntungan yang di atas normal. Dengan kata
lain, paradigma ini meyakini bahwa pasar akan berfungsi dengan baik jika terjadi
persaingan didalamnya. Sebaliknya, kinerja akan menjadi buruk jika dalam pasar
perusahaan-perusahaan melakukan kolusi.
Sementara perilaku pasar mencerminkan perilaku dari penjual dan pembeli
di pasar, dengan bersaing atau kolusi, yang mencakup kebijakan penetapan harga
dan prakteknya, strategi periklanan, pengeluaran untuk penelitian dan
pengembangan, investasi dan taktik legal (Scherer dan Ross, 1990). Format lain
dari conduct meliputi kolusi dengan pesaing dan strategi melawan pesaing,
sebagai contoh adanya koordinasi dan penyesuaian harga dari perusahaan yang
bersaing dan taktik saling menghancurkan (Sheperd, 1997).
Perilaku ini mempengaruhi kinerja perusahaan dalam industri tersebut yang
tercermin dalam harga produk, efisiensi produktif dan alokatifnya, pemerataan
(equity), kemajuan teknis, laba dan pertumbuhannya (Carlton and Perloff, 2000).
Perubahan kinerja tersebut tentu logisnya dalam kerangka pikir struktur-perilaku-
kinerja harus bermula dari perilaku yang juga logisnya harus didahului perubahan
struktur. Perubahan itu bisa berasal dari luar sebagai external forces atau
exogenous variable dan dari dalam sebagai audit internal (endogenous variable).
Menurut Hasibuan (1993), perilaku didefinisikan sebagai pola tanggapan
dan penyesuaian suatu industri di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Industri
yang satu dengan industri yang lain memiliki perbedaan perilaku, salah satu
penyebabnya adalah struktur yang dimiliki oleh industri tersebut. Perilaku terlihat
menarik untuk dibahas jika suatu perusahaan berada pada suatu industri yang
terdapat dalam struktur pasar yang tidak sempurna. Struktur pasar yang sempurna
menyebabkan perusahaan tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga pasar.
a. Persaingan dan Kolusi
Menurut pandangan strukturalis, struktur pasar akan mempengaruhi perilaku
perusahaan dalam membuat keputusan untuk berkompetisi atau berkolusi.
Pandangan ini juga meyakini bahwa tingkat konsentrasi yang tinggi
memungkinkan adanya praktek kolusi yang pada akhirnya akan menunjukkan
kinerja yang dihasilkan akibat perilaku ini. Menurut paradigma ini, pasar akan
berfungsi dengan baik, jika didalamnya terdapat persaingan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kolusi dapat membuat kinerja suatu perusahaan menjadi buruk.
Terkadang, tanpa dorongan untuk bersaing, membuat kualitas pelayanan menjadi
buruk. Harga dan tingkat kualitas tidak terlalu diperhatikan, yang menjadi
58
perhatian adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Sebagai akibatnya, dengan harga yang tinggi mengakibatkan industri tersebut
mendapatkan keuntungan diatas normal.
Perbandingan antara penetapan harga dibawah pasar monopoli dengan pasar
bersaing, dengan baik diterangkan oleh Nicholson (2000). Diasumsikan bahwa
biaya rata-rata total (AC) adalah tetap untuk suatu periode tertentu. Gambar 12
menunjukkan bahwa pasar bersaing menentukan harga keseimbangan dengan
menyamakan biaya rata-rata total dengan kurva permintaan (D), perpotongan di
titik E. Di sisi lain, monopoli menetapkan harga di titik B. Harga monopoli (P**)
lebih tinggi dibanding harga dari pasar bersaing (P*) dan perbedaan ini sama
dengan BA. Output dari monopolis adalah OQ**, yang mana lebih rendah dari
pasar bersaing (OQ*). Pengeluaran konsumen dan input produktif senilai
AEQ*Q** dialokasikan kedalam produksi barang lain. Surplus konsumen yang
sama dengan P**BAP* ditransfer menjadi laba monopoli. Segitiga ABE
merupakan welfare loss dari konsumen sehubungan dengan monopoli.
Sumber : Nicholson, 2000
Gambar 12. Penetapan harga oleh perusahaan monopoli dan bersaing
Perilaku perusahaan di dalam pasar dapat terlihat melalui sikap kooperatif
dan non-kooperatif. Perusahaan yang bersikap non-kooperatif akan bertindak atas
diri sendiri tanpa melakukan perjanjian secara eksplisit atau implisit terhadap
perusahaan lain. Hal ini akan mengakibatkan timbulnya perang harga. Sedangkan
perusahaan yang bersikap kooperatif lebih memilih untuk meminimalkan
persaingan melalui perjanjian yang disepakati bersama atau lebih dikenal dengan
istilah kolusi. Istilah ini menunjukkan suatu situasi dimana perusahaan atau lebih
bekerja sama menentukan harga atau output, membagi pasar di antara mereka,
atau membuat bisnis lain secara bersama-sama. Sesungguhnya oligopolis yang
berkolusi dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan bersamanya dengan
mempertimbangkan saling ketergantungan mereka, mereka akan menghasilkan
output dan tingkat harga yang cenderung bersifat monopoli. Begitu juga dengan
59
tingkat keuntungan yang dirasakan, juga mengarah kepada keuntungan monopoli.
Meskipun banyak oligopolis yang gembira karena mendapatkan keuntungan yang
besar, dalam kenyataannya akan menghadapi rintangan-rintangan yang
menghalangi kolusi yang efektif. Adapun rintangan-rintangan yang terjadi antara
lain:
1. Kolusi merupakan hal yang ilegal.
2. Kemungkinan terjadinya kecurangan di antara perusahaan-perusahaan yang
melakukan kolusi. Di saat perusahaan menemukan peluang untuk
mendapatkan keuntungan yang lebih besar, maka semakin tinggi hasrat
mereka untuk melanggar perjanjian yang telah disepakati. Salah satu bentuk
kecurangan yang sering terjadi adalah dengan memproduksi jumlah output di
luar kuota yang terdapat dalam kesepakatan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keuntungan yang lebih besar
merupakan insentif utama bagi perusahaan yang berada dalam pasar oligopoli
untuk melakukan kolusi dan menghindari persaingan. Mereka akan berkolusi jika
mereka berada pada kondisi yang lebih baik dibandingkan jika mereka
menentukan harga sendiri-sendiri. Terlebih lagi jika mereka menganggap bahwa
ketergantungan mereka terhadap pesaing merupakan hambatan mereka untuk
menentukan harga sendiri. Pada sisi lain, ada perusahaan yang menganggap faktor
saling ketergantungan ini dapat dijadikan senjata untuk melakukan kompetisi dan
membuat pesaingnya keluar dari pasar. Istilah kolusi menunjukkan suatu keadaan
di mana dua atau lebih perusahaan bersama-sama menentukan harga atau output
mereka atau membentuk suatu kesepakatan dalam melakukan tindak bisnis
mereka yang pada akhirnya akan memunculkan kartel dalam perekonomian.
Faktor-Faktor Terbentuknya Kolusi
Selain ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar, faktor pemicu
adanya kolusi adalah:
1. Konsentrasi dan jumlah perusahaan. Semakin tinggi tingkat konsentrasi,
semakin tinggi kekuatan pasar yang dimiliki suatu perusahaan maka semakin
besar kemungkinan untuk terjadinya kolusi di antara mereka. Semakin sedikit
pemimpin perusahaan maka akan semakin kuat kendali yang dapat dilakukan
terhadap strategi yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang
melakukan kesekapatan tersebut. Oleh karena itu, kolusi akan lebih stabil dan
akhirnya akan menuju ke monopoli
2. Persaingan non-harga. Persaingan non-harga merupakan substitusi dari
persaingan harga yang dapat digunakan untuk merebut pangsa pasar pesaing.
Namun butuh biaya yang tidak sedikit untuk melakukannya, sehingga jika
dilakukan dengan kolusi dan kerjasama akan lebih baik
3. Lamanya pengalaman (Long industry experience,). Industri-industri yang
sudah berada lama dalam pasar pada umunya sudah saling mengenal
karakteristik masing-masing dan mengalami situasi secara bersama-sama.
Oleh karena itu menjadi lebih mudah dan memungkinkan bagi mereka untuk
melakukan kolusi.
Terdapat perkembangan yang pesat pada model yang dirancang untuk
memperkirakan tingkat perilaku non-kompetitif dalam suatu industri tertentu.
Appelbaum (1972) dalam Cornejo dan Spielman (2002), memberikan model
ekonometrik awal yang mampu menguji dan memberi parameter tingkat kekuatan
60
monopoli dalam industri tunggal. Model oligopoli berasumsi bahwa perilaku
perusahaan yang saling bergantung dalam industri tertentu, dan memberikan
perkiraan perilaku price-taking dan variasi dugaan dalam pilihan produksi
perusahaan. Dalam pendekatan variasi dugaan, perusahaan yang diduga secara
simultan dan independen memilih tingkat output mereka diberi keyakinan mereka
tentang reaksi saingan mereka, untuk pilihan output mereka. Perkiraan variasi
dugaan, dinyatakan sebagai elastisitas (variasi dugaan perusahaan dikalikan
dengan pangsa pasar/market share), menentukan tingkat perubahan output industri
berdasarkan perubahan dalam tingkat output perusahaan.
Bentuk-Bentuk Kolusi
Berdasarkan sistematika struktur pasar, kartel masuk dalam struktur pasar
oligopoli yang kolusif (Koutsoyiannis, 1979). Kartel merupakan persetujuan
penggabungan usaha secara terbuka dan formal. Persoalan yang diangkat dari
kartel ini adalah bagaimana perusahaan-perusahaan yang bergabung itu bersama-
sama menentukan tingkat harga yang berlaku dan jumlah produksi yang akan
dihasilkan untuk mencapai laba maksimum. Terdapat dua wujud kerjasama, yaitu
penentuan tingkat harga dan pembagian pangsa pasar. Sehingga, terdapat dua
kemungkinan yang dapat ditempuh, pertama adalah membiarkan tiap perusahaan
berproduksi sesuai kemampuan dan menjualnya ke pasar pada tingkat harga yang
telah disepakati bersama. Kedua, menentukan kuota masing-masing perusahaan
dalam bentuk jumlah output atau dapat pula dalam bentuk pembatasan daerah
penjualan.
Terjadinya kartel pada industri perunggasan di satu sisi menyebabkan
pertumbuhan yang cepat pada semua subsistem agribisnis termasuk subsistem
budidaya, namun terbatas pada anggota kartel, dan di sisi yang lain telah
menyebabkan banyak pengusaha dan peternak rakyat yang tidak tergabung dalam
kartel mengalami kerugian dan gulung tikar. Kartel adalah bentuk konsentrasi
usaha yang berdasarkan atas perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud akan mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran
suatu barang dan jasa. Dengan sifatnya seperti itu di Indonesia, berdasarkan UU
No. 5 Tahun 1999 kartel termasuk ke dalam monopoli dan dapat menimbulkan
persaingan yang tidak sehat.
Kerjasama Tersembunyi
Kerjasama tersembunyi (Tacit Collusion) merupakan persetujuan penetapan
harga yang dilakukan secara diam-diam. Dalam Tacit Collusion terdapat
kesepakatan antara perusahaan untuk melakukan kolusi. Namun dalam bentuk
yang tidak tampak atau tidak berkolusi langsung atau tidak menandatangani
persetujuan. Contohnya adalah adanya price leadership dimana ada satu leading
firm yang merupakan price leader. Melalui media massa membuat pengumuman
atau artikel yang mengindikasikan bahwa perlu diadakan kenaikan harga sehingga
pelaku usaha lain tahu kalau mereka harus meningkatkan harga. Tindakan
pemimpin harga ini dikatakan sebagai price signaling yang biasa diikuti oleh
pemain follower untuk menghindari terjadinya perang harga yang dapat
merugikan mereka. Syarat stabilnya price leadership di dalam pasar adalah:
1. Tingkat konsentrasi yang tinggi dan tingkat pangsa pasar yang hampir sama
61
2. Hambatan masuk yang tinggi sehingga kemampuan perusahaan-perusahaan
pemimpin dalam menentukan harga
3. Jenis barang tidak harus homogen, namun terdiferensiasi dengan subsitusi
yang dekat. Hal ini untuk menjamin bahwa di antara mereka harus terjadi
interdependence yang kuat.
4. Kurva permintaan harus inelastis. Hal ini untuk menjamin bahwa restriksi
jumlah output yang dilakukan mendatangkan keuntungan
5. Kondisi biaya masing-masing perusahaan setidaknya harus sama sehingga
ketika terjadi penetapan harga, keuntungan yang diperoleh perusahaan-
perusahaan tersebut akan sama pula.
Asosiasi Perdagangan
Asosiasi perdagangan dikategorikan sebagai bentuk kolusi karena dalam
asosiasi perdagangan biasanya perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam
asosiasi tersebut bersama-sama menentukan jumlah produksi dan distribusi yang
dapat memaksimalkan keuntungan mereka, baik secara individu maupun
kelompok.
b. Integrasi Vertikal sebagai Metode Koordinasi
Salah satu strategi yang sekarang banyak digunakan perusahaan-perusahaan
besar di industri adalah integrasi vertikal. Integrasi vertikal dapat menimbulkan
ekonomisasi dan berdampak anti persaingan. Perusahaan-perusahaan besar yang
melakukan integrasi vertikal akan semakin memperbesar pangsa pasarnya
sehingga efisiensi atau penghematan akan mudah diperoleh. Terciptanya suatu
hambatan masuk bagi perusahaan-perusahaan baru menyebabkan kondisi pasar
semakin mendekati monopoli. Dalam sistem pasar, integrasi vertikal akan
berlangsung dengan baik apabila dapat menyebabkan penghematan teknis (Jaya,
2004).
Menurut Mulyaningsih dan Karseno (2002), integrasi vertikal memiliki tiga
pola yaitu pertama, perusahaan di hilir yang bersifat monopoli melakukan
integrasi vertikal dengan perusahan di hulu yang kompetitif. Pola tersebut akan
mendorong perluasan penggunaan input oleh perusahaan monopoli sehingga akan
menghasilkan output dalam jumlah yang lebih banyak dengan harga yang lebih
rendah. Kedua, perusahaan di hilir yang kompetitif melakukan integrasi vertikal
dengan perusahaan di hulu yang bersifat monopoli. Bentuk integrasi seperti ini
juga akan menurunkan harga output akhir karena perusahaan monopoli akan
menetapkan biaya marjinal dan harga produknya sehingga akan menurunkan
margin antara harga monopoli dengan biaya marginalnya. Ketiga, bentuk integrasi
vertikal yang terakhir adalah perusahaan di hulu yang bersifat monopoli
melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan di hilir yang juga monopoli yang
menjadi pembeli inputnya. Bentuk integrasi vertikal seperti ini akan
meningkatkan harga produk akhir. Hal ini dikarenakan monopolisasi pasar oleh
perusahaan di hilir karena dapat memperoleh input melalui perusahaan di hulu
yang juga bersifat monopoli dan terintegrasi secara vertikal dengannya.
Suatu perusahaan akan melakukan integrasi vertikal apabila manfaat yang
diperolehnya jauh lebih besar daripada biaya-biaya yang mungkin akan
dihadapinya (Bhuyan, 2005). Terdapat enam manfaat dari integrasi vertikal,
antara lain:
62
1. Integrasi untuk Mengurangi Biaya Transaksi. Biaya transaksi merupakan
sejumlah biaya yang timbul akibat semakin kompleksnya proses produksi yang
dialami oleh suatu perusahaan.
2. Integrasi untuk Menjaga Keterjaminan Pasokan. Integrasi vertikal dapat
mereduksi permasalahan yang terkait dengan keberadaan pasokan bahan baku
sehingga menjadi lebih mudah bertukar informasi di dalam perusahaan
daripada antar perusahaan.
3. Integrasi untuk Menghindari Eksternalitas. Dengan melakukan integrasi
vertikal, perusahaan dapat melakukan koreksi terhadap hal-hal yang
menyebabkan kegagalan strategi melalui internalisasi eksternalitas.
4. Integrasi untuk Menghindari Intervensi Pemerintah. Perusahaan melakukan
integrasi vertikal untuk menghindari kontrol harga yang dilakukan pemerintah
dengan menjual produknya kepada perusahaan yang terintegrasi dengannya
dengan harga yang lebih tinggi daripada harga yang ditetapkan pemerintah. Hal
yang sama juga dilakukan perusahaan untuk menghindari pajak.
5. Integrasi untuk Meningkatkan Keuntungan Monopoli. Strategi integrasi vertikal
pada jangka panjang akan mengarah pada perubahan struktur pasar menjadi
monopoli atau struktur pasar persaingan tidak sempurna lainnya.
6. Integrasi untuk Mengeliminasi Kekuatan Pasar. Jika integrasi vertikal dilakukan
untuk meningkatkan keuntungan monopoli, maka di lain pihak integrasi
vertikal juga dapat mereduksi atau mengeliminasi kekuatan monopoli tersebut.
Ada beberapa metode pengukuran integrasi vertikal, diantaranya menurut
Jaya (2004):
a. Rasio Nilai Tambah Terhadap Penjualan
Secara sederhana, tingkat integrasi vertikal dapat dihitung dengan
menggunakan rasio antara nilai tambah terhadap jumlah output atau penjualan.
Nilai tambah didefinisikan sebagai pendapatan penjualan dikurangi pengeluaran
untuk bahan bakar, bahan baku dan listrik. Secara rasional, pengukuran tersebut
menjelaskan bahwa setiap perusahaan akan berusaha meningkatkan partisipasinya
dalam berbagai tingkatan proses produksi, transaksi dalam suatu perusahaan akan
berpindah ke perusahaan lain dan nilai tambah dari output atau penjualan akan
meningkat. Ketika membandingkan derajat integrasi vertikal dari beberapa
perusahaan, rasio integrasi dapat berbeda walaupun jumlah integrasi fisik yang
dihitung sama. Perbedaan ini disebabkan oleh satu perusahaan mendapatkan
keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lain, di mana
keuntungan merupakan bagian dari nilai tambah.
b. Rasio Inventory Terhadap Penjualan
Semakin besar jumlah tahapan proses produksi yang dilakukan oleh suatu
perusahaan maka akan semakin besar pula tingkat penyimpanan (inventory).
Apabila perusahaan berusaha mendapatkan manfaat dari integrasi vertikal dengan
cara berhemat pada tingkat penyimpanannya maka indeks ini tidak dapat
digunakan.
c. Pengukuran Backward Integration: Pembelian Antar Perusahaan
Untuk mengukur tingkat integrasi vertikal ke hulu (Backward Vertical
Integration) dapat digunakan rasio pembelian input antar perusahaan pada tahap
ini dengan total nilai input yang digunakan. Indeks ini menunjukkan bahwa
63
perusahaan harus mempercayakan pada pasar untuk memasok inputnya dalam
proses produksi.
d. Pengukuran Forward Integration: Transfer Output Antar Perusahaan
Tingkat integrasi vertikal ke hilir (Forward Vertical Integration) dapat
dihitung dengan menggunakan rasio antara transfer output antar perusahaan
terhadap total output. Rasio ini mengindikasikan perusahaan untuk tergantung
pada pasar dalam menjual outputnya pada tahap ini.
Perusahaan berintegrasi juga untuk mendapatkan keuntungan dari
spesialisasi tugas. Artinya, biaya yang lebih rendah dan efisiensi yang lebih tinggi
dengan memiliki spesialis di bidang masing-masing sistem manajemen, informasi,
pemasaran, keuangan, dan kegiatan perbankan. Dengan masing-masing tujuan,
anggota keluarga dalam usaha rumah tangga melakukan setiap tugas-tugas ini
akan melakukannya dengan sangat tidak efisien. Pembiayaan penelitian dan
pengembangan yang mahal, iklan di media nasional, menghadapi resiko,
memenuhi peraturan pemerintah (misalnya keamanan dan kualitas pangan,
lingkungan), dan mendapatkan akses ke pasar modal ventura nasional juga alasan
untuk menurunkan biaya per unit dengan memperluas ukuran melalui konsolidasi
atau integrasi. Kadang-kadang, perusahaan memanfaatkan kontrak produksi dan
pemasaran dari konsolidasi untuk mencapai economies of size (Tweeten, 1989).
Peternakan berkonsolidasi (integrasi) untuk alasan yang sama bahwa
agribisnis dan memang semua industri terintegrasi. Alasan-alasan ini meliputi
ketersediaan bahan baku input yang besar, mahal, modal teknologi yang
terpisahkan, yang dapat mengurangi biaya per unit output. Biaya per unit
dikurangi, namun, hanya dapat terjadi jika modal tersebut tersebar di banyak unit
output.
Manfaat Strategi Integrasi Vertikal:
1. Dapat menciptakan penghematan biaya kalau volume kebutuhan bahan baku
yang diperlukan cukup besar sehingga cukup ekonomis kalau di produksi
sendiri.
2. Akan mampu memberikan konstribusi laba yang diharapkan karena
memberikan keamanan supply bahan baku utama yang dibutuhkan
perusahaan dan perusahaan tidak mengalami kesulitan menguasai teknologi
yang diperlukan.
3. Integrasi ke belakang akan memberikan keunggulan bersaing atas dasar
differensiasi jika integrasi tersebut mampu meningkatkan kualitas produk
akhir dan pelayanan kepada konsumen.
Kelemahan Strategi Integrasi Vertikal:
1. Adanya beban kelebihan kapasitas akibat tidak meratanya skala pabrik.
2. Koordinasi yang tidak jalan akan menaikkan biaya dan menghilangkan
sinergi.
3. Proses kadaluarsa
4. Menghalangi keluar pasar yang sudah kurang menguntungkan.
5. Kehilangan akses informasi dari supplier maupun dari distributor.
64
Deskriptif Kinerja Pasar (Performance)
Kinerja merupakan hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku
industri di mana hasilnya pada umumnya terlibat melalui tingkat keuntungan atau
besarnya penguasaan pasar, dan efisiensi.
Kekuatan pasar
Pada dasarnya, usaha untuk mengukur tingkat kekuatan pasar dilakukan
pertama kali oleh Lerner pada tahun 1934. Menurutnya, perusahaan akan memilih
tingkat output ketika marginal cost (MC) sama dengan marginal revenue (MR)
untuk memaksimumkan tingkat keuntungan. Jadi tingkat keuntungan maksimum
dapat dicapai pada saat:
MC = MR
Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1998), dalam pasar persaingan sempurna,
pendapatan marjinal terdiri dari dua komponen, yaitu:
1. Memproduksi tambahan satu unit output dan menjualnya pada tingkat harga
(P) akan menambah penerimaan sebesar (1) (P) = P
2. Menjual tambahan satu unit output, perusahaan harus menurunkan tingkat
harga (ΔP/ΔQ) sehingga mengurangi penerimaan terhadap keseluruhan
output yang terjual sebesar Q (ΔP/ΔQ) sehingga marginal revenue pada pasar
persaingan tidak sempurna adalah:
ΔP Q ΔP
MR = P + Q = P 1 +
ΔQ P ΔQ
= P 1 - 1
η
Elastisitas permintaan barang terhadap harga (η) menggambarkan persentase
perubahan permintaan akibat adanya kenaikan harga sebesar 1 persen. Dimana
elastisitas permintaan barang, η = (P/Q) (ΔQ/ΔP), sehingga persamaan diatas
merupakan kebalikan dari elastisitas permintaan barang terhadap harga (1/η).
Berdasarkan model tersebut, maka perusahaan pada persaingan tidak
sempurna akan memiliki tingkat output ketika marginal cost sama dengan
marginal revenue untuk memaksimumkan tingkat keuntungan.
MR = P 1 - 1 = MC
η
Kerugian yang diderita masyarakat pada persaingan tidak sempurna
dikarenakan perusahaan membatasi output, dimana tingkat harga dinaikkan
melebihi marginal cost. Dengan demikian pengukuran tingkat kekuatan pasar
(market power) adalah melihat sejauh mana perusahaan dapat meningkatkan harga
diatas marginal cost. Persamaan diatas kemudian dapat ditulis kembali sebagai:
65
(P – MC) = 1
P η
Persamaan tersebut disebut dengan indeks Lerner (L). Sisi kiri menunjukkan
kekuatan pasar (market power) suatu perusahaan, yang dihitung melalui
perbedaan tingkat harga dan marginal cost, dibagi dengan harga. Nilai indeks
Lerner berada antara 0 dan 1, dimana pada pasar yang kompetitif indeks Lerner
akan bernilai 0 atau dengan kata lain tingkat harga sama dengan marginal cost.
Semakin besar indeks Lerner, semakin besar pula kekuatan pasar suatu
perusahaan. Indeks Lerner juga memperlihatkan hubungan negatif antara
elastisitas permintaan dengan marginal cost. Dengan kata lain, semakin tinggi
elastisitas permintaan suatu barang, maka kekuatan pasar suatu perusahaan akan
semakin kecil.
Data marginal cost dalam dunia nyata sulit di dapat. Untuk mengatasinya,
maka diasumsikan industri bersifat Constant Return to Scale (CRTS) sehingga
dalam jangka panjang marginal cost sama dengan avarage cost (Martin, 1994).
Indeks Lerner ini kemudian menjadi:
L = P - AVC
P
Efisiensi
Efisiensi secara statis maupun secara dinamis dapat menggambarkan kinerja
dari suatu pasar. Efisiensi statis dapat diartikan sebagai tingkat di mana suatu
perusahaan dapat menghasilkan tingkat output dengan biaya minimum.
Sedangkan secara dinamis, efisiensi dapat dilihat dari tingkat technical progress. Lebih detailnya akan dijelaskan dalam bagian konsep efisiensi dan kesejahteraan.
Produktivitas
Gopinath et al. (2002) melakukan studi empiris dengan menggunakan
fungsi produksi dan fungsi biaya sebagai titik awal menderivasi pertumbuhan
produktivitas faktor total (TFP growth) sebagai fungsi dari konsentrasi industri
dan faktor-faktor lainnya. Spesifikasi awal hubungan produktivitas-konsentrasi
industri mengambil bentuk berikut:
dtfpit β0 β1crit β2crsqit εit
dimana huruf kecil t dan i menunjukkan waktu dan industri, masing-masing, dtfpit
merupakan tingkat pertumbuhan tahunan dari TFP, cr adalah tingkat pertumbuhan
tahunan dari konsentrasi, dan crsq adalah kuadrat dari tingkat pertumbuhan
tahunan dari konsentrasi.
Tingkat Keuntungan
Tingkat keuntungan (Profitability) dengan persaingan perusahaan hanya
diperbolehkan untuk mendapatkan tingkat pengembalian di atas normal.
Keuntungan monopoli adalah keuntungan yang terdapat di atas keuntungan
normal, sehingga mendorong perusahaan untuk meningkatkan kekuatan pasar.
Semakin dekat harga dengan biaya marginal, maka akan semakin baik kinerja
suatu perusahaan. Hubungan antara harga, p, dan biaya marginal, mc, akan
66
keberadaan dan kuatnya keuntungan ekonomi tergantung pada struktur pasar
(tabel 1) di industri yang kompetitif terdiri dari perusahaan yang identik dengan
bebas masuk, harga sama dengan biaya marjinal jangka pendek, keuntungan
jangka pendek, πSR, yang positif atau negatif, dan keuntungan jangka panjang, πLR
adalah nol. Bahkan jika perusahaan sebagai price taker (persaingan), keuntungan
setiap perusahaan sama dengan nol dalam jangka panjang hanya jika setiap
perusahaan memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan input yang sama.
Jika beberapa perusahaan memiliki biaya yang lebih rendah daripada yang lain,
keuntungan mereka tidak akan terkikis sepenuhnya oleh entry. Free entry
menjamin hanya itu keuntungan perusahaan yang paling menguntungkan untuk
masuk (perusahaan marjinal) sama dengan nol dalam jangka panjang (Carlton dan
Perloff, 2000).
Di pasar monopoli atau oligopoli, harga diatas biaya marjinal, keuntungan
dalam jangka pendek adalah positif atau negatif, dan jangka panjang keuntungan
bisa nol atau positif. Dalam persaingan monopolistik, harga diatas biaya marjinal
dan entry mendorong laba jangka panjang menjadi nol.
Berdasarkan pada hubungan yang diringkas dalam Tabel 4, dua kesimpulan
penting dapat ditarik. Pertama, menguji apakah jangka panjang keuntungan positif
adalah akibat free entry, bukan dari (sempurnanya) persaingan. Free entry
menjamin bahwa keuntungan jangka panjang sama dengan nol, tapi bukan harga
yang sama dengan biaya marjinal. Perusahaan dalam industri persaingan
monopolistik bisa mendapatkan keuntungan nol meskipun harga diatas biaya
marjinal. Untuk menentukan apakah harga melebihi biaya marjinal, kita harus
memeriksa data harga, bukan data keuntungan. Kedua, keuntungan jangka pendek
mengungkapkan sedikit tentang tingkat persaingan dalam suatu industri karena,
dalam semua struktur pasar, keuntungan jangka pendek dapat bersifat positif atau
negatif.
Tabel 4. Prediksi tingkat keuntungan berdasarkan struktur pasar
p - MC πSR πLR
Competition η + or - 0
Monopolistic Competition + + or - 0
Monopoly + + or - + or 0
Oligopoly + + or - + or 0
p = harga, MC = biaya marjinal (jangka pendek), πSR = keuntungan jangka pendek, πLR = keuntungan jangka
panjang
Sumber : Carlton dan Perloff, 2000
Misalnya, oligopoli dengan empat perusahaan dapat menetapkan harga yang
berbeda dari satu dengan lainnya di dua perusahaan. Secara umum, akan terlihat
nantinya bahwa margin harga-biaya dan keuntungan bervariasi sesuai dengan
jumlah pesaing dan ukuran hambatan masuk. Hal ini merupakan generalisasi yang
menjadi landasan bagi pendekatan Structure-Conduct-Performance.
Monopoli alamiah dapat terjadi bahkan jika biaya rata-rata tidak turun
sejalan dengan peningkatan output. Sebagai contoh, jika kurva biaya rata-rata
yang berbentuk U mencapai minimum pada output 100, mungkin yang paling
efisien untuk satu perusahaan adalah memproduksi output ke 101 meskipun biaya
rata-rata meningkat pada output tersebut. Oleh karena itu, skala ekonomi
67
merupakan syarat kecukupan tetapi bukan kondisi utama yang diperlukan untuk
monopoli alamiah. Dalam melakukan analisa organisasi industri terdapat empat
cara untuk mengamati hubungan atau keterkaitan antara struktur, perilaku dan
kinerja Hasibuan (1993). Keempat cara tersebut terdiri dari; pertama, hanya
memperhatikan hubungan antara struktur dengan kinerja tanpa terlalu
memperhatikan perilaku, kedua, menelaah kaitan antara struktur dengan perilaku,
kemudian mengamati kinerja industri. Ketiga, menelaah hubungan antara kinerja
dan perilaku, kemudian mengaitkannya dengan struktur. Keempat, tidak
mengamati kinerja sama sekali karena dianggap sudah terjawab dari menelaah
hubungan antara perilaku dan struktur. Dalam melakukan penelitian ini, penulis
menggunakan studi literatur, analisa deskriptif dan menggunakan model
ekonometrika. Berdasarkan kerangka pikir SCP, maka model yang digunakan
adalah model yang menggambarkan hubungan antara kinerja suatu industri
dengan struktur industri itu sendiri dan membahas tentang strategi secara lebih
luas.
Konsep Efisiensi dan Kesejahteraan
Dalam perekonomian, para pelaku pasar dikelompokkan menjadi produsen
dan konsumen. Adanya intervensi pemerintah melalui suatu kebijakan dapat
berpengaruh pada pelaku pasar tersebut, yang dampaknya bisa positif bisa
negatif, sehingga akan mempengaruhi kesejahteraannya. Untuk mengukur
perubahan kesejahteraan pelaku pasar akibat adanya suatu kebijakan menurut
Krugman dan Obsfeld (2003), adalah dengan melihat perubahan surplus produsen
dan surplus konsumen. Ellis (1992), menyatakan bahwa surplus produsen dan
surplus konsumen merupakan alat praktis untuk mengukur perubahan
kesejahteraan yang timbul akibat dari pemberlakuan suatu kebijakan pemerintah.
Surplus produsen merupakan ukuran keuntungan yang diperoleh produsen
karena perbedaan antara harga yang diterima secara aktual dengan harga dimana
produsen bersedia menjual produknya pada tingkat penjualan tertentu (Sugiarto et
al, 2005). Misalnya, bila produsen ayam broiler bersedia menjual produknya
dengan harga Rp.6 000.- per kilogram, namun ternyata harga di pasar sebesar
Rp.8 000.- per kilogram, maka produsen tersebut dikatakan meraih surplus
produsen sebesar Rp. 2 000.- dari penjualan satu unit produknya. Secara
konseptual surplus produsen dapat dijelaskan pada Gambar 13.
Penawaran produsen untuk suatu komoditi ditunjukkan dengan kurva S,
dimana sumbu vertikal adalah harga per unit dan sumbu horizontal adalah jumlah
unit komoditi. Kurva S berslope positif, artinya semakin tinggi harga komoditi,
semakin banyak produk yang ditawarkan. Secara teoritis, dalam jangka pendek
kurva penawaran merupakan kurva marginal cost (MC) yang terletak di atas
kurva average variable cost (AVC) (Sugiarto, et al. 2005). Area di bawah kurva
penawaran merupakan total variable cost (TVC), ketika beroperasi pada titik
tertentu. Jika dijumlahkan seluruh MC untuk memproduksi sejumlah output
(misalnya Q1), maka hasilnya sama dengan TVC untuk berproduksi sebanyak Q1
(Ellis, 1992). Pada Gambar 13a keseimbangan pasar pada titik A, dimana harga
pasar per unit sebesar P1 dan jumlah yang ditawarkan sebanyak Q1 unit, sehingga
penerimaan produsen sebesar P1*Q1 yaitu seluas daerah P1AQ10.
68
Sumber : Ellis (1992).
Gambar 13. Surplus Produsen
Total penerimaan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu area di bawah
kurva penawaran (area b) yang mewakili TVC untuk memproduksi sebanyak Q1
dan area di atas kurva penawaran tetapi di bawah garis harga keseimbangan (area
a), yang merupakan keuntungan yang diperoleh dengan menjual produk sebanyak
Q1 pada harga P1. Keuntungan tersebut adalah surplus produsen yang merupakan
profit ditambah dengan biaya tetap yang harus dibayarkan untuk faktor produksi
tetap. Jadi surplus produsen merupakan area di atas kurva penawaran dan di
bawah garis harga keseimbangan (Just, et al. 1982).
Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyebabkan bergesernya
titik keseimbangan (misalnya dari titik A ke titik B pada Gambar 13b), maka
harga keseimbangan meningkat dari P1 menjadi P2 per unit dan jumlah penawaran
meningkat dari Q1 menjadi Q2. Kebijakan ini menyebabkan surplus produsen
meningkat sebesar luas area c + e. Perubahan surplus produsen seluas area c + e
itu terdiri dari dua komponen yaitu luas area segi empat (area c) dan luas area
segitiga (area e). Luas area c diperoleh dari perkalian antara besarnya perubahan
harga dengan jumlah produksi sebelum adanya perubahan (Q1), sedangkan luas
area e merupakan setengah dari jumlah perkalian antara besarnya perubahan harga
dengan perubahan jumlah produksi.
Surplus konsumen merupakan konsep yang mirip dengan surplus produsen.
Surplus konsumen menunjukkan keuntungan yang diperoleh konsumen, karena
membeli suatu produk (Sugiarto et al, 2005). Keuntungan diperoleh karena
adanya perbedaan antara harga yang dibayar secara aktual oleh konsumen dengan
harga yang bersedia dibayarnya (willingness to pay). Misalnya, jika konsumen
sanggup membayar satu kilogram ayam broiler dengan harga Rp. 10 000.- per
kilogram, namun ternyata di pasar dapat dibeli dengan harga aktual sebesar Rp.
8 000,- per kilogram, maka konsumen dikatakan memperoleh surplus sebesar Rp.
2 000.- dari setiap kilogram ayam broiler yang dibelinya. Konsep surplus
konsumen dapat dijelaskan dengan menggunakan Gambar 14.
69
Sumber: Ellis, 1992 (dimodifikasi)
Gambar 14. Surplus Konsumen
Dari Gambar 14 terlihat, kurva D menunjukkan permintaan pasar terhadap
suatu produk. Kurva D berslope negatif yang berarti semakin rendah harga
produk, semakin banyak permintaan konsumen dan sebaliknya. Misalnya titik
keseimbangan terjadi di titik A pada kurva permintaan (Gambar 14a), dimana
jumlah yang diminta sebanyak Q1 dengan harga P1. Jumlah yang dibayar
konsumen untuk mendapat Q1 sebesar P1Q1 (yaitu seluas area d + e). Secara
umum, jumlah yang dibayarkan konsumen seluas daerah di bawah kurva
permintaan yang dibatasi oleh garis harga keseimbangan pasar dan jumlah yang
diminta pada harga tersebut. Untuk memperoleh produk sebanyak Q2, konsumen
bersedia membayar P2 per unit, sehingga jumlah total yang bersedia dibayar
sebesar P2*Q2, namun secara aktual konsumen membayar sesuai dengan harga
pasar yaitu sebesar P1 per unit atau secara keseluruhan hanya sebesar P1*Q2. Oleh
karena itu, maka konsumen akan mendapat keuntungan sebesar (P2-P1) per unit,
sehingga secara total mendapat keuntungan sebesar (P2-P1)*Q2 atau sebesar luas
area b. Luas area b disebut sebagai surplus konsumen yang diperoleh sebagai
akibat dari adanya perbedaan antara harga yang bersedia dibayar untuk
memperoleh barang sebanyak Q2 dengan harga aktual yang dibayar konsumen.
Generalisasi dapat dilakukan dengan mengacu pada setiap harga yang
berada di atas harga pasar. Ketika harga sebesar P3 per unit, konsumen tidak
bersedia membeli atau jumlah yang diminta sama dengan nol. Kemudian,
konsumen baru bersedia membeli untuk jumlah yang lebih banyak, ketika harga
secara berturut-turut menurun dari P3 ke arah harga keseimbangan P1. Oleh karena
itu, total surplus konsumen yang diperoleh jika titik keseimbangan terjadi pada
titik A adalah sebesar area a + b + c. Hal ini menunjukkan bahwa surplus
konsumen merupakan area di bawah kurva permintaan dan di atas garis harga
keseimbangan (Just et al, 1982). Area ini mewakili perbedaan antara jumlah uang
70
yang bersedia dibayar oleh konsumen untuk memperoleh Q1, dengan jumlah
aktual yang dibayar konsumen.
Jika suatu kebijakan menyebabkan harga keseimbangan meningkat dari P1
menjadi P2 (Gambar 14b), sehingga tercapai titik keseimbangan baru pada titik B,
maka jumlah yang diminta konsumen sebanyak Q2. Dalam hal ini, konsumen
merasa dirugikan (kesejahteraannya menurun), karena mendapat jumlah lebih
sedikit dengan harga lebih mahal, dibandingkan dengan sebelum adanya
kebijakan tersebut. Besarnya perubahan kesejahteraan konsumen dapat diukur
dengan melihat perubahan surplus konsumen. Berdasarkan Gambar 14b, kenaikan
harga telah menurunkan surplus konsumen sebesar luas area b + c, dimana surplus
konsumen setelah adanya kebijakan berkurang menjadi hanya sebesar luas area a.
Berdasarkan teori ekonomi, para pelaku pasar dikelompokkan menjadi
produsen dan konsumen, dimana suatu kebijakan baru dapat berpengaruh pada
kedua pelaku pasar tersebut. Pemberlakuan suatu kebijakan dapat memberikan
keuntungan atau kerugian bagi pelaku pasar, sehingga akan mempengaruhi
kesejahteraannya. Menurut Krugman dan Obsfeld (2004), cara mengukur
perubahan kesejahteraan pelaku pasar (social welfare) akibat adanya kebijakan
baru adalah dengan melihat perubahan surplus produsen (producer surplus) dan
surplus konsumen (consumer surplus).
Kerangka Pemikiran Konseptual
Kerangka konseptual ini pertama-tama dilandasi oleh dua hal yaitu:
Pertama, adalah komitmen bahwa pengembangan usaha ayam broiler diutamakan
bagi usaha rakyat. Pemerintah berniat mempertahankan komitmen tersebut sejak
awal usaha ayam broiler mulai berkembang pada tahun 1976 hingga sekarang.
Namun setelah krisis ekonomi membuat semuanya serba salah. Pemerintah dalam
kurun waktu 30 tahun telah menerapkan berbagai kebijaksanaan untuk
menegakkan komitmen tersebut, namun yang terjadi adalah sebaliknya, yakni
industri usaha broiler justru menjadi ladang bagi usaha swasta (Yusdja dan
Pasandaran, 1998).
Sehubungan dengan kebijakan di industri broiler, terakhir pemerintah
mengeluarkan Keppres 22/1990 dan SK Menteri Pertanian No. 314/Mentan/1996.
Kedua peraturan ini merupakan fondasi kebijaksanaan pemerintah dalam
membangun model-model pengembangan usaha rakyat dan usaha swasta sejak
tahun 1990. Dua hal utama yang dicantumkan dalam kedua peraturan tersebut
adalah bahwa batasan skala usaha rakyat ditingkatkan dari 5 ribu ekor menjadi 15
ribu ekor, dan pengusaha swasta diizinkan masuk ke dalam sektor budidaya
dengan skala usaha yang bebas tetapi ia harus memenuhi dua hal yakni pertama
tujuan produksi untuk ekspor dan kedua harus melibatkan peternak rakyat dalam
bentuk kemitraan.
Kedua, adalah bahwa Indonesia suka atau tidak suka, siap atau tidak siap
akan menghadapi pasar bebas dunia (Globalisasi ekonomi). Pasar bebas
mempunyai arti bahwa Indonesia harus membuka diri bagi masuknya produksi
dunia, demikian juga sebaliknya. Kebijakan penetapan tarif dan non-tarif bagi
produk impor tidak bisa dilakukan untuk memproteksi produksi dalam negeri.
Salah satu cara yang legal bagi menghambat masuknya produk dunia dan
71
mendorong produksi dalam negeri memasuki pasar dunia adalah dengan
meningkatkan daya saing dengan memanfaatkan keunggulan komparatif sebesar-
besarnya.
Kedua dasar diatas yakni Komitmen Usaha Rakyat dan Pasar Bebas akan
sulit berjalan seiring, karena pertentangan-pertentangan yang ada di dalam kedua
dasar tersebut. Suatu kajian yang menyeluruh pada semua elemen struktur industri
broiler sangat diperlukan untuk menjawab bagaimana sebenarnya struktur industri
broiler itu sendiri (Gambar 15).
Peningkatan konsentrasi di industri menimbulkan kekhawatiran tentang
dampak potensial terhadap kekuatan pasar. Namun, seperti yang ditunjukkan
dalam tulisan awal Williamson (1974) itu, mungkin ada tradeoff antara kekuatan
pasar yang meningkat dan dampak ekonomi yang dihasilkan dari peningkatan
konsentrasi (yang timbul dari merger atau kombinasi lainnya). Untuk kasus
industri broiler, jika dampak dari kekuatan pasar mendominasi, konsentrasi
mungkin meningkatkan keuntungan industri dan margin dan petani/peternak
terpaksa harus membayar lebih tinggi dari harga di pasar kompetitif untuk input
broiler. Di sisi lain, jika efisiensi (dengan pengurangan biaya-biaya) memiliki efek
yang lebih besar daripada efek kekuatan pasar, konsentrasi mungkin bermanfaat
bagi masyarakat keseluruhan. Penelitian ini mencoba memperluas cakupan
dampak konsentrasi melalui model yang secara eksplisit terhadap kekuatan pasar,
efisiensi dan produktivitas (kesejahteraan) melalui penggunaan analisis simultan
dengan menggunakan pendekatan Structure-Conduct-Performance.
Paradigma Structure-Conduct-Performance (SCP) merupakan salah satu
kerangka analisa yang dipakai dalam melakukan analisa organisasi industri.
Paradigma tersebut digunakan untuk menjelaskan hubungan antara struktur,
perilaku, dan kinerja suatu industri dalam pasar. Ada beberapa pandangan
mengenai metodologi SCP, salah satunya adalah pandangan atau perspektif New-
Harvard Tradition. Pendekatan model SCP New-Harvard Tradition, dimana
masing-masing komponen saling berinteraktif, misalnya kinerja pasar tergantung
pada perilaku pasar, perilaku tergantung pada struktur pasar yaitu faktor yang
menentukan persaingan, selanjutnya struktur pasar tergantung pada kondisi dasar
yaitu permintaan dan produksi. Struktur tersebut kemudian akan mempengaruhi
perilaku yang terbentuk yang kemudian akan mempengaruhi kinerja industri
tersebut.
Welfare loss mungkin terjadi karena produsen sangat terkonsentrasi dan
membayar kepada individu yang memelihara tanaman/ternak dengan sangat
rendah, atau ini juga dapat muncul karena perusahaan di pasar produk akhir
misalnya, memiliki kekuatan pasar yang besar dan membebankan ke konsumen
lebih besar. Kerugian disisi produksi dapat muncul jika dipasar tersebut terdapat
sejumlah kecil pembeli yang sulit untuk dapat membuat situasi pembelian yang
kompetitif. Kerugian di sisi konsumen dapat muncul jika terdapat sejumlah kecil
penjual dan kurangnya kompetisi menyebabkan peningkatan harga yang dibayar
konsumen (Weng, 2012)
Dimasa yang akan datang, lingkungan ekonomi internasional akan semakin
kompetitif. Bisnis perunggasan nasional akan bersaing ketat dengan bisnis
perunggasan negara lain baik pasar di domestik Indonesia maupun di pasar negara
lain. Perusahaan yang bersifat hanya mencari rente (rent seeking); yang
berlindung dibawah perlindungan pemerintah dan mengandalkan praktek
72
oligopoli/monopoli akan terkikis. Hanya perusahaan yang berperilaku kompetisi
menuju keuntungan optimal yang akan mampu bertahan dalam lingkungan bisnis
yang semakin kompetitif.
Pembangunan industri peternakan merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Ketiga komponen manajerial tersebut
perlu bersinergi satu dengan lainnya untuk membangun kelembagaan yang
terstruktur baik guna mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber daya yang
dimiliki dalam pengembangan agribisnis perunggasan. Akhirnya dibutuhkan
rekomendasi kebijakan yang dapat mensejahterakan masyarakat sekaligus
memajukan industri broiler.
74
Gambar 15. Kerangka pemikiran penelitian Dampak Konsentrasi Industri terhadap Kesejahteraan Produsen
dan Konsumen di Industri Broiler
Globalisasi Ekonomi Komitmen Usaha Rakyat
Perkembangan Industri
Broiler Nasional
Analisis SCP
Industri Broiler
Struktur - Jumlah perusahaan
- Konsentrasi
- Hambatan masuk
Kinerja
- Harga jual
- Biaya per unit
- Produktivitas TK
- Tingkat Keuntungan
- Kekuatan pasar
- Ketimpangan/GAP
Kondisi Dasar - Permintaan
- Penawaran
- Harga eceran
Perilaku - Integrasi vertikal
- Share biaya
terhadap produksi
Government
Intervention
Rekomendasi Kebijakan
Pembangunan Industri Broiler
Kinerja dan Kesejahteraan
di Industri Broiler
73
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka peneliti mencoba merumuskan
hipotesa untuk diuji kebenarannya yaitu bahwa peningkatan konsentrasi di
industri broiler Indonesia secara langsung atau tidak langsung berdampak
terhadap kinerja industri dan tingkat kesejahteraan pada masyarakat, dimana:
Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka semakin besar tingkat efisiensi di
industri yang terjadi sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh semakin
besar
Semakin besar tingkat keuntungan yang diperoleh maka kekuatan pasar
semakin besar sehingga harga jual dan harga eceran daging ayam broiler
akan semakin tinggi
Perubahan lingkungan eksternal dan konsentrasi yang meningkat akan
berdampak positif terhadap kesejahteraan produsen perusahaan besar
sehingga menyebabkan ketimpangan semakin besar
4 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini sebagian besar adalah
data sekunder namun pengambilan data primer hanya bersifat konfirmasi terhadap
realita kelembagaan industri broiler nasional. Data primer usaha peternakan rakyat
didapat dari survei beberapa daerah sentra industri broiler di propinsi Jawa Barat.
Data sekunder merupakan data panel industri broiler dari tahun 2009 sampai 2011
berdasarkan Laporan Tahunan Perusahaan Peternakan Unggas. Penentuan sampel
berdasarkan propinsi sentra broiler di Indonesia yang memenuhi seluruh variabel
dari penelitian (BPS, 2011). Adapun propinsi yang memenuhi persyaratan ada
delapan yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.
Perusahaan peternakan ayam broiler yang dicakup adalah semua usaha
peternakan ayam broiler yang berbadan hukum/badan usaha (PT/PN, CV, Firma,
Koperasi dan Yayasan), dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu
tempat tertentu untuk tujuan komersial/memperoleh keuntungan yang meliputi
kegiatan budidaya unggas. Budidaya Unggas adalah kegiatan pemeliharaan
unggas dengan tujuan utama pembesaran/penggemukan ternak. Unggas yang
diteliti adalah ayam ras pedaging (broiler). Data yang dikumpulkan mencakup
perkembangan jumlah perusahaan broiler dan produksinya, perkembangan jumlah
perusahaan pakan ayam ras dan produksinya, penggunaan bahan baku dan tenaga
kerja, harga output dan input, volume dan nilai penjualan pada masing-masing
perusahaan di industri. Sumber data perusahaan ini diperoleh dari Badan Pusat
Statistik sub bagian Statistik Peternakan. Untuk kelengkapan data lainnya
diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Departemen
Perdagangan dan sumber terkait lainnya.
74
Spesifikasi Model
Penelitian ini mencoba memperluas cakupan dampak konsentrasi melalui
model yang secara eksplisit terhadap harga jual, efisiensi, produktivitas, kekuatan
pasar dan ketimpangan melalui penggunaan analisis simultan dengan
menggunakan pendekatan Structure-Conduct-Performance. Model merupakan
abstraksi atau penyederhanaan dari fenomena yang terjadi. Dengan
penyederhanaan itu, idealnya yang ditampilkan adalah komponen-komponen
utama dari fenomena nyata yang diamati, sehingga dapat dilakukan estimasi
secara akurat. Salah satu model pendekatan kuantitatif yang sering dipakai untuk
menganalisis masalah ekonomi adalah model ekonometrika (Hallam, 1990).
Pembentukan model (model building) dimulai dari identikasi masalah aktual
yang terjadi. Kemudian dipilih metode pendekatan masalah yang digunakan
dalam hal ini adalah pendekatan model ekonometrika. Melalui pendekatan ini,
langkah-langkah yang ditempuh adalah spesifikasi atau perumusan model,
identifikasi dan metode pendugaan model.
Selanjutnya melakukan evaluasi hasil untuk menentukan apakah parameter-
parameter yang diduga bermakna dilihat dari kriteria ekonomi dan memuaskan
dilihat dari kriteria statistika dan ekonometrika. Langkah selanjutnya adalah
penerapan model dalam bentuk simulasi kebijakan dan peramalan. Tahapan
pembentukan model ini merupakan suatu proses berulang (iteratif) sampai
diperoleh suatu model yang lebih sahih yang bisa menangkap permasalahan yang
ada.
Model ekonometrika adalah suatu model statistika yang menghubungkan
peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena ekonomi yang mencakup unsur
stokastik (Intriligator et al., 1996). Selanjutnya dikatakan suatu model yang baik
harus dapat memenuhi kriteria ekonomi, statistika dan ekonometrika
(Koutsoyiannis, 1977).
Model ekonometrika dalam penelitian ini dikembangkan untuk membangun
model persaingan oligopolistik di industri broiler terhadap kesejahteraan
masyarakat. Pada dasarnya tidak ada teori umum mengenai oligopoli, namun
terdapat model-model untuk menggambarkan beberapa kategori khusus oligopoli
(Jaya, 2004). Oleh karena itu, dengan memadukan kerangka teoritis pada Bab 3
dan kenyataan yang ada yang menggambarkan bahwa ada keterkaitan diantara
komponen-komponen dalam model persaingan oligopolistik terhadap tingkat
kesejahteraan yang sedang dikaji, seperti ditunjukkan oleh peubah endogenous
pada suatu komponen relevan sebagai peubah explanatory pada komponen
lainnya, sehingga model keterkaitan ini merupakan sebuah sistem persamaan
simultan.
Paradigma Structure-Conduct-Performance (SCP) merupakan salah satu
kerangka pemikiran dalam menganalisis ekonomi lembaga dan kelembagaan dari
organisasi industri. Paradigma tersebut digunakan untuk menjelaskan hubungan
antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar (Carlton dan Perloff, 2000). Struktur
mempengaruhi perilaku, dimana semakin rendah konsentrasi maka semakin
kompetitif perilaku perusahaan. Perilaku mempengaruhi kinerja, dimana semakin
kompetitif perilaku maka kekuatan pasar semakin kecil (artinya semakin besar
efisiensi sosial). Struktur mempengaruhi kinerja, dimana penurunan konsentrasi
75
pasar kearah penguasaan pasar yang lebih rendah. Hal ini menyiratkan bahwa
secara langsung dan tidak langsung struktur mempengaruhi kinerja.
Definisi Operasional Variabel
Spesifikasi model dalam penelitian ini dibagi atas empat komponen yaitu
kondisi dasar (basic condition), struktur (structure), perilaku (conduct) dan kinerja
(performance). Penjelasan atau definisi dari masing-masing variabel beserta cara
perhitungan dan satuan ukurannya akan dijelaskan dibawah ini. Variabel yang
diukur dalam unit nilai (seperti PDRB, produksi, konsumsi dan sejenisnya)
agregasi dilakukan dengan penjumlahan untuk masing-masing propinsi. Variabel
yang diukur dalam unit rasio atau indeks (seperti rasio konsentrasi, integrasi
vertikal, hambatan masuk pasar dan sejenisnya) merupakan data agregasi
perusahaan di propinsi. Sementara untuk data perhitungan (pangsa biaya, tingkat
keuntungan, produktivitas dan sejenisnya) merupakan data rata-rata perusahaan di
masing-masing propinsi. Data harga ditingkat produsen telah diriilkan
menggunakan Indeks Harga Produsen tahun dasar 2000 dan data harga ditingkat
konsumen telah diriilkan menggunakan Indeks Harga Konsumen dengan tahun
dasar 2000. Komponen kondisi dasar terdiri dari produksi daging broiler
domestik, konsumsi daging broiler domestik dan harga eceran broiler.
Produksi daging broiler domestik (PDAB)
Berdasarkan definisi dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan, produksi daging adalah karkas hasil pemotongan ternak dan ditambah
dengan edible offal (bagian yang dapat dimakan) selama waktu tertentu dan
wilayah tertentu termasuk rusak, diperdagangkan, dikonsumsi dan diberikan
kepada orang lain. Satuan yang dipakai adalah satuan baku yang lazim dipakai
untuk penjualan daging ayam broiler secara eceran yaitu kilogram (kg)
Konsumsi daging broiler domestik (DEMB)
Konsumsi daging adalah suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan
dan kepuasan secara langsung akan produk daging ayam broiler selama waktu
tertentu dan wilayah tertentu, dikonsumsi sendiri, keluarga dan orang lain. Satuan
yang digunakan adalah satuan baku yang lazim dipakai untuk pembelian daging
ayam broiler secara eceran yaitu kilogram (kg).
Harga eceran broiler (HDABR)
Menurut definisi dari Badan Pusat Statistik, harga konsumen/eceran adalah
transaksi antara penjual dan pembeli secara eceran di pasar setempat untuk tiap
jenis barang yang dibeli dengan tujuan untuk dikonsumsi sendiri dan bukan untuk
dijual kepada pihak lain. Satuan yang dipakai adalah satuan baku yang lazim
dipakai untuk pembelian daging ayam broiler secara eceran yaitu rupiah per
kilogram (Rp/kg).
Komponen struktur terdiri dari jumlah perusahaan, konsentrasi dan
hambatan masuk. Ada dua metode yang umum digunakan untuk mengukur
konsentrasi industri yaitu Rasio Konsentrasi dan Indeks Herfindahl-Hirschman
76
(Carlton dan Perloff, 2000). Namun dikarenakan keterbatasan data dimana tidak
seratus persen perusahaan berbadan hukum yang melaporkan kegiatan
produksinya, maka metode yang digunakan untuk mengukur rasio konsentrasi
adalah dengan menggunakan CR4.
Jumlah perusahaan broiler (JPAB)
Berdasarkan definisi dari Badan Pusat Statistik, jumlah perusahaan
budidaya ayam broiler adalah semua perusahaan yang berbadan hukum/badan
usaha (PT/PN, CV, Firma, Koperasi dan Yayasan), dijalankan secara teratur dan
terus menerus pada suatu tempat tertentu untuk tujuan komersial/memperoleh
keuntungan yang meliputi kegiatan budidaya ayam pedaging (broiler). Jumlah
perusahaan dinyatakan dalam unit.
Rasio Konsentrasi (RCON)
Konsentrasi industri merupakan salah satu variabel penting untuk melihat
struktur pasar yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku suatu perusahaan.
Seperti hipotesa yang dikemukakan oleh Bain, perilaku kolusi dapat terjadi jika
tingkat konsentrasi yang terjadi tinggi. Dengan adanya tingkat konsentrasi yang
tinggi juga akan menyebabkan tingkat keuntungan yang diperoleh oleh suatu
perusahaan akan menjadi tinggi. Untuk mengukur tingkat konsentrasi, maka
penulis menggunakan perhitungan rasio konsentrasi (Concentration Ratio, CR)
dengan menggunakan empat perusahaan terbesar dalam perhitungannya. Rasio
konsentrasi merupakan persentase dari pangsa pasar terbesar dimiliki oleh m
perusahaan dalam suatu industri, di mana m adalah jumlah spesifik dari
perusahaan, umumnya 4, namun kadangkala lebih banyak atau lebih sedikit dari
jumlah itu. Rasio konsentrasi sering dinyatakan sebagai CRm, misalnya, CR4.
Adapun mekanisme perhitungannya adalah sebagai berikut.
CR m = s 1 + s 2 + s 3 + s ... ... + s m
dimana CR m = Rasio konsentrasi m perusahaan terbesar
si = pangsa pasar dari perusahaan ke- i.
Jika CR4 mendekati nol, nilai ini mengindikasikan sebuah industri yang
bersaing sempurna dimana empat perusahaan terbesar tidak memiliki pangsa pasar
yang signifikan. Secara umum, jika nilai CR4 kurang dari 40 (yang menunjukkan
bahwa empat perusahaan terbesar memiliki pangsa pasar kurang dari 40 persen),
maka industri ini dinilai sangat kompetitif, dengan sejumlah perusahaan lain
yang bersaing, namun tidak ada satupun yang memiliki share lebih besar. Disisi
lain, jika nilai CR1 lebih besar dari 90, maka dapat dikatakan perusahaan
menguasai lebih dari 90 persen pasar yang secara efektif disebut monopoli.
Menurut Jaya (2004), gabungan empat perusahaan terbesar yang memiliki
rasio konsentrasi di atas 60 persen dikatakan memiliki struktur pasar yang bersifat
ologopoli ketat, dimana kesepakatan diantara mereka untuk menetapkan harga
relatif lebih mudah. Sementara gabungan empat perusahaan terbesar yang
memiliki rasio konsentrasi di bawah 40 persen memiliki struktur pasar yang
bersifat ologopoli longgar, dimana kesepakatan diantara mereka untuk
77
menetapkan harga sangat sulit dilakukan. Untuk industri yang memiliki rasio
konsentrasi antara 40-60 persen disebut sebagai industri yang memiliki struktur
pasar yang bersifat oligopoli sedang, artinya kesepakatan mereka untuk
menetapkan harga mungkin saja terjadi jika kerjasama yang dilakukan diantara
mereka sangat baik.
Hambatan Masuk (MESH)
Salah satu proksi yang dapat digunakan untuk mengukur entry barriers
adalah MES (Minimum Efficiency Scale). Variabel ini merupakan kondisi dimana
penambahan output yang diproduksi menyebabkan penurunan biaya produksi
pada jangka panjang. Perhitungan MES yang dilakukan adalah:
MES = Rata-rata output 4 perusahaan terbesar (50% Output Industri)
Output total
Angka 50 persen dalam persamaan di atas bukanlah angka mutlak. Angka ini
dapat saja melebihi 50 persen jika struktur pasar dalam keadaan natural
monopoly. Hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri ditandai oleh nilai
MES yang lebih besar dari 10 persen. Tingginya nilai MES dapat menjadi
penghalang bagi perusahaan baru yang akan masuk ke dalam pasar industri
broiler.
Sementara itu, untuk menganalisis komponen perilaku diwakili oleh
variabel integrasi vertikal dan perilaku biaya pakan sebagai komponen input
utama.
Integrasi vertikal (INTG)
Secara sederhana, tingkat integrasi vertikal dapat dihitung dengan
menggunakan rasio antara nilai tambah terhadap jumlah output atau penjualan.
Nilai tambah didefinisikan sebagai pendapatan penjualan dikurangi pengeluaran
untuk bahan bakar, bahan baku pakan dan listrik. Adapun pengukurannya sebagai
berikut:
INTG = Nilai penjualan – (biaya bahan baku + bahan bakar + listrik)
Output
Secara rasional, pengukuran tersebut menjelaskan bahwa setiap perusahaan
akan berusaha meningkatkan partisipasinya dalam berbagai tingkatan proses
produksi, transaksi dalam suatu perusahaan akan berpindah ke perusahaan lain
dan nilai tambah dari output atau penjualan akan meningkat. Ketika
membandingkan derajat integrasi vertikal dari beberapa perusahaan, rasio
integrasi dapat berbeda walaupun jumlah integrasi fisik yang dihitung sama.
Perbedaan ini disebabkan oleh satu perusahaan mendapatkan keuntungan yang
lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lain, di mana keuntungan merupakan
bagian dari nilai tambah.
78
Pangsa biaya pakan (SCPK)
Pangsa biaya pakan merupakan persentase bagian pengeluaran biaya pakan
terhadap biaya keseluruhan dari kegiatan produksi budidaya ayam broiler. Adapun
perhitungannya sebagai berikut:
SCPK = Total biaya pakan x 100%
Total biaya keseluruhan
Sebagai variabel kinerja industri yang diestimasi dalam penelitian ini yaitu
harga jual, biaya per unit, produktivitas tenaga kerja, kekuatan pasar dan
ketimpangan output.
Harga jual (HABPR)
Harga jual disini adalah harga ayam broiler di tingkat produsen yaitu
perusahaan, dimana perhitungannya didapatkan dengan membagi nilai penjualan
broiler dibagi dengan jumlah output broiler yang dihasilkan.
HABPR = Nilai penjualan
Output
Biaya per unit (COSU)
Biaya per unit menunjukkan efisiensi dari biaya, dimana perhitungannya
dengan membagi total biaya produksi terhadap total nilai penjualan.
COSU = Total biaya produksi
Total nilai penjualan
Tingkat keuntungan (PROF)
Tingkat keuntungan (profitability) dihitung berdasarkan selisih dari total
penerimaan dikurangi total biaya. Namun pada penelitian ini dikarenakan
keterbatasan data sehingga tidak dapat menghitung tingkat keuntungan
(profitabilitas) sebenarnya dengan memasukkan biaya penyusutan dari barang-
barang modal.
PROF = Total penerimaan – total biaya x 100%
Total biaya
Produktivitas Tenaga Kerja (PDTK)
Pada dasarnya untuk perhitungan produktivitas tenaga kerja sulit untuk
dinyatakan secara kuantitatif. Penggunaan rata-rata nilai tambah per pekerja
belum sepenuhnya mencerminkan produktivitas karena adanya faktor lain dalam
produksi seperti modal dan teknologi. Menurut Phan (2004) terdapat tiga
pengukuran yang dapat digunakan untuk menghitung produktivitas tenaga kerja,
yaitu : 1) Output per tenaga kerja; 2) Output per jam kerja; 3) Nilai tambah per
tenaga kerja.
79
Perhitungan produktivitas tenaga kerja (PDTK) pada penelitian ini
dilakukan dengan berdasarkan pada perhitungan yang dilakukan Jayanthakumaran
(1999) yaitu membagi nilai tambah pada harga konstan dengan jumlah tenaga
kerja pada sektor industri. Produktivitas tenaga kerja selanjutnya dapat
dirumuskan sebagai berikut:
PDTKi = VAi
Li
dimana : VAi = Nilai tambah industri i
Li = Tenaga kerja industri i
Kekuatan Pasar (MPWR)
Kekuatan pasar (market power) dihitung menggunakan indeks Lerner yang
telah dimodifikasi (Martin, 1994) sebagai berikut:
L = P - AVC
P
Nilai indeks Lerner berada antara 0 dan 1, dimana pada pasar yang
kompetitif indeks Lerner akan bernilai 0 atau dengan kata lain tingkat harga sama
dengan biaya rata-rata. Semakin besar indeks Lerner, semakin besar pula kekuatan
pasar suatu perusahaan.
Ketimpangan struktur produksi (GAP)
Tujuan dimasukkannya variabel ketimpangan sebagai komponen kinerja
dalam penelitian ini adalah sebagai indikator keberhasilan bagi industri dalam
menyelaraskan antara tujuan memajukan industri dan mensejahterakan peternak.
Usaha broiler ini awalnya oleh pemerintah ditujukan untuk pengembangan usaha
rakyat, namun seiring waktu dan perkembangan teknologi pemeliharaan unggas
yang modern menyebabkan usaha rakyat tidak dapat mengimbangi perkembangan
usaha besar. Kebijakan pemerintah melalui kerjasama kontrak antara perusahaan
besar yang umumnya terintegrasi vertikal dengan peternak rakyat sekiranya dapat
mengurangi ketimpangan ini. Ketimpangan output dihitung sebagai rasio jumlah
output perusahaan besar terhadap jumlah output usaha rakyat di industri ayam
broiler. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
GAP = Jumlah output perusahaan besar
Jumlah output usaha rakyat
Estimasi Model
Hubungan antara tingkat konsentrasi dengan harga
Menurut pandangan tradisional, konsentrasi yang tinggi dalam suatu industri
akan mendorong terciptanya tingkat kolusi yang tinggi diantara perusahaan yang
ada di dalamnya, sehingga membuat industri tersebut cenderung memiliki struktur
80
pasar monopoli. Hal ini akan berdampak pada pembentukan harga yang tinggi,
apalagi jika didukung dengan biaya produksi yang tetap, maka keuntungan yang
diperoleh dari perusahaan-perusahaan tersebut akan meningkat.
Hubungan antara tingkat konsentrasi dengan efisiensi
Konsentrasi industri dapat memiliki efek positif terhadap efisiensi yaitu
industri ditandai dengan skala ekonomi, dimana biaya rata-rata produksi turun
sejalan dengan peningkatan kuantitas. Namun ketika konsolidasi industri
mengurangi jumlah penjual sejauh yang tersisa dari pasar yang terkonsentrasi,
penjual yang tersisa ini dapat mengambil keuntungan dari kekuatan pasar. Mereka
dapat menggunakan kekuatan pasar ini untuk membatasi perdagangan pada
beberapa pertukaran yang saling menguntungkan, mendistorsi harga yang
menguntungkan mereka.
Hubungan antara konsentrasi dengan tingkat keuntungan
Encau dan Jacquemin (1980), menemukan hubungan antara price-cost
margin (PCM) dengan perhitungan tingkat konsentrasi untuk suatu model
oligopoli baik secara statis maupun dinamis. Dalam seluruh penelitian yang
mereka lakukan ditemukan bahwa PCM memiliki hubungan yang positif dengan
perhitungan tingkat konsentrasi dan berhubungan negatif dengan elastisitas
permintaan. Studi lainnya yang dilakukan oleh Waterson (1984) menunjukkan
hubungan antara PCM dengan tingkat konsentrasi. Waterson menunjukkan bahwa
adanya hubungan yang positif antara tingkat konsentrasi dengan PCM. Dapat
disimpulkan, bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi maka akan semakin tinggi
kekuatan pasar yang akhirnya akan membuat semakin tingginya tingkat
keuntungan suatu perusahaan.
Hubungan antara tingkat konsentrasi dengan produktivitas
Hubungan konsentrasi dan produktivitas adalah positif dan menunjukkan
signifikan dari meningkatnya konsentrasi. Perusahaan besar di pasar yang
terkonsentrasi adalah sumber jangka panjang dari ekspansi output. Yaitu,
keuntungan tambahan dari menaikkan harga di atas biaya marjinal sebagai sumber
daya untuk inovasi sehingga produktivitas meningkat (Gopinath et al, 2002).
Sedangkan menurut Jayanthakumaran (2002), konsentrasi industri diduga
memiliki hubungan negatif dengan produktivitas. Hal ini dikarenakan apabila
semakin rendah rasio konsentrasi suatu industri maka semakin besar persaingan
yang terjadi pada industri tersebut. Dengan meningkatnya persaingan maka
perusahaan akan cenderung terdorong untuk bertindak efisiensi dengan berupaya
menurunkan biaya produksi dan meningkatkan teknologi. Sedangkan
pertumbuhan output berdampak pada meningkatnya produktivitas tenaga kerja.
Hubungan tersebut dibuktikan oleh Verdoorn pada tahun 1949, yang kemudian
dikenal dengan “Verdoorn’s Law”. Metode utama dibelakang hubungan tersebut
adalah perluasan output akan menciptakan skala ekonomis, dimana skala
ekonomis merupakan salah satu keuntungan utama dalam suatu usaha. Hal ini
dikarenakan skala ekonomis akan menciptakan kesempatan yang lebih baik untuk
berspesialisasi, berproduksi dengan skala besar dan meningkatkan efisiensi. Oleh
81
karena itu, pertumbuhan output akan berdampak positif pada produktivitas tenaga
kerja.
Hubungan antara tingkat konsentrasi dan kekuatan pasar
Semakin besar penguasaan pasar (market share), semakin kecil tekanan
bersaing perusahaan tersebut. Ini berarti bahwa kekuatan pasar (market power)
yang dimiliki perusahaan untuk menentukan harga dan output semakin besar.
Dengan meningkatnya kemampuan perusahaan untuk menentukan harga dan
output akan berdampak pada meningkatnya tingkat keuntungan yang diterima
perusahaan. Oleh karena itu rasio konsentrasi akan berhubungan positif dengan
price-cost margin.
Hubungan antara tingkat konsentrasi dan ketimpangan
Semakin terdistribusi ukuran perusahaan maka perusahaan-perusahaan
tersebut semakin tidak terkonsentrasi. Sebaliknya semakin besar inequality
(ketimpangan) dari ukuran perusahaan maka semakin besar pula konsentrasi
pasar.
Model
Spesifikasi model ekonometrika dalam penelitian ini dibagi atas empat
komponen yaitu kondisi dasar (basic condition), struktur industri dan perilaku
industri. Ketiga komponen ini menjadi variabel yang ikut menentukan komponen
kinerja industry. Melihat hubungan antara masing-masing variabel independen
terhadap variabel dependen menggunakan koefisien yang ada. Jika koefisien pada
variabel independen positif, menunjukkan hubungan yang searah dengan variabel
dependen, sedangkan jika koefisien dari variabel independennya negatif,
menunjukkan hubungan yang berlawanan arah dengan variabel dependennya.
Dibawah ini adalah penjabaran model SCP dengan persamaan masing-masing
komponen sebagai berikut:
Komponen Kondisi Dasar Industri Broiler
Produksi Daging Ayam Broiler Domestik (PDAB)
Produksi daging ayam broiler domestik diduga dipengaruhi oleh harga riil
daging ayam, harga input dan jumlah produksi broiler perusahaan. McConnell dan
Brue (1990) menyebutkan hukum penawaran bersifat positif yaitu ketika harga
meningkat jumlah barang yang ditawarkan meningkat dan ketika harga turun
jumlah barang yang ditawarkan menurun. Persamaannya dapat dirumuskan
sebagai berikut:
PDAB = a0 + a1HDABR + a2JPAB + a3HPKNR + a4PRODF + a5YEAR +
u1........................................................................................................ (1)
Hipotesis : a1, a2, a4 >0; a3 <0
dimana : PDAB = Produksi broiler domestik (000 kg/th)
HDABR = Harga riil broiler (Rp/kg)
JPAB = Jumlah perusahaan broiler (unit)
HPKNR = Harga riil pakan broiler (Rp/kg)
PRODF = Produksi broiler perusahaan (000 kg/th)
82
YEAR = Tahun
Konsumsi Daging Ayam Broiler Domestik (DEMB)
Sukirno (1995) menyatakan bahwa teori permintaan menerangkan tentang
ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Besarnya permintaan
masyarakat atas suatu barang ditentukan oleh banyak faktor yaitu: (1) harga
barang itu sendiri, (2) harga barang lain, (3) pendapatan rumah tangga dan
masyarakat, (4) distribusi pendapatan dalam masyarakat, (5) selera masyarakat,
(6) jumlah penduduk, dan (7) ramalan akan keadaan dimasa yang akan datang,
sehingga permintaan daging ayam broiler diduga dipengaruhi oleh harga daging
ayam broiler, harga daging sapi dan harga ikan sebagai substitusinya, harga telur
sebagai komplementernya dan pendapatan daerah. Persamaannya dapat
dirumuskan sebagai berikut:
DEMB = b0 + b1HDABR + b2HDSPR + b3HDIKR + b4HTARR + b5PDRB +
b6YEAR + u2 .................................................................................... (2)
Hipotesis : b1, b4 <0; b2, b3, b5 >0
dimana : DEMB = Konsumsi broiler domestik (000 kg/th)
HDABR = Harga riil broiler (Rp/kg)
HDSPR = Harga riil daging sapi (Rp/kg)
HDIKR = Harga riil ikan (Rp/kg)
HTARR = Harga riil telur ayam ras (Rp/kg)
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto (Milyar Rp)
YEAR = Tahun
Harga Eceran Daging Ayam Broiler Domestik (HDABR)
Pada pasar persaingan sempurna, harga ditentukan berdasarkan kekuatan
penawaran dan permintaan suatu produk. Namun pada pasar oligopoli, harga
dapat ditentukan oleh kekuatan pasar yang dimiliki perusahaan. Efek kekuatan
pasar yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan dominan adalah rente
ekonomi di pertanian yang wajib dibayar, sehingga berdampak pada harga eceran
yang lebih tinggi, sehingga mengurangi pendapatan bersih pertanian dari tingkat
yang mungkin sebaliknya jika ada di kondisi pasar persaingan sempurna. Di
samping itu, efek dari pasar yang kuat di industri dapat memiliki implikasi bagi
stabilitas baik pasokan maupun harga (Kim et al, 2002). Adapun persamaannya
dapat dirumuskan sebagai berikut:
HDABR = c0 + c1MPWR + c2HPKNR + c3DEMB + c4PRODF + c5HBBTR
+ c6YEAR + u3 ............................................................................... (3)
Hipotesis : c4 <0; c1, c2, c3, c5 >0
dimana: HDABR = Harga riil broiler (Rp/kg)
MPWR = Kekuatan pasar (Indeks)
HPKNR = Harga riil pakan (Rp/kg)
DEMB = Konsumsi broiler domestik (000 kg/th)
PRODF = Produksi broiler perusahaan (000 kg/th)
HBBTR = Harga riil bibit DOC (Rp/ekor)
YEAR = Tahun
83
Komponen Struktur Industri
Struktur disini mengacu pada struktur pasar yang digambarkan sebagian
besar oleh konsentrasi penguasaan pasar didalam pasar tersebut. Termasuk dalam
komponen struktur industri diantaranya jumlah perusahaan dalam industri,
konsentrasi dan hambatan masuk industri.
Pada hipotesis awal menyatakan bahwa struktur pasar merupakan exogenous
explanatory variabel. Namun kenyataannya, struktur pasar (konsentrasi) itu
sendiri mempengaruhi perilaku perusahaan (dan selanjutnya kinerja perusahaan).
Karena itu entry dan exit dari perusahaan di industri mencerminkan bagaimana
kolusi atau kompetitifnya perusahaan. Entry dan exit, pada gilirannya,
mempengaruhi konsentrasi pasar. Di pihak lain, baik konsentrasi maupun
penguasaan pasar ditentukan secara endogen, masing-masing mempengaruhi yang
lain. Bain (1959), mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasinya
maka akan semakin tinggi tingkat hambatan masuk ke dalam suatu pasar,
sehingga pasar tersebut akan memiliki kinerja yang buruk karena mendekati
monopoli, dimana pada struktur pasar ini, persaingan hampir tidak ada.
Namun korelasi antara konsentrasi dan kekuatan pasar tidaklah selalu
positif. Sebagai contoh, semakin kolusif suatu industri, harga dan kekuatan pasar
semakin tinggi. Namun pada waktu yang sama, tingginya harga dan tingkat
keuntungan dapat menarik pemain baru sehingga tingkat konsentrasi dapat
menurun.
Jumlah Perusahaan di Industri Broiler (JPAB)
Jumlah perusahaan dalam industri merupakan fungsi dari harga output,
tingkat keuntungan, dan investasi awal. Peningkatan harga dan tingkat keuntungan
akan menarik investor baru membuka pabrik, sementara nilai investasi awal yang
kecil akan menarik minat investor baru untuk memasuki industri. Selain itu,
Nicholson (2000) menyatakan bahwa jumlah perusahaan ditentukan oleh
permintaan pasar, sehingga persamaan jumlah perusahaan di industri dapat
dirumuskan sebagai berikut:
JPAB = d0
+ d1RHDAB + d
2DEMB + d
3PROF + d
4DINV + u
4 ...................... (4)
Hipotesis : d1, d
2, d
3 >0; d
4 <0
dimana: JPAB = Jumlah perusahaan broiler (unit)
RHDAB = Rasio harga broiler terhadap pakan
DEMB = Konsumsi broiler domestik (000 kg/th)
PROF = Tingkat keuntungan (%)
DINV = Penambahan investasi (milyar Rp)
Konsentrasi Industri Broiler (RCON)
Rasio konsentrasi dalam kajian ini menggunakan perhitungan CR4.
Konsentrasi diduga dipengaruhi oleh faktor teknis, variabel perilaku dan kinerja
industri. Termasuk faktor teknis adalah skala ekonomis, yang dapat di proksi dari
biaya produksi (Strickland dan Weises, 1976). Selain itu, entry dan exit, pada
gilirannya akan mempengaruhi konsentrasi pasar. Persamaannya dapat
dirumuskan sebagai berikut:
RCON = e0 + e1PDAB + e2DEMB + e3INTG + e4MESH + e5PDTK + u5
….. (5)
84
Hipotesis : e1, e3, e4, e5 >0; e2
<0
dimana: RCON = Konsentrasi industri (%)
PDAB = Produksi broiler domestik (000 kg/th)
DEMB = Konsumsi broiler domestik (000 kg/th)
INTG = Integrasi vertikal (Rasio)
MESH = Hambatan masuk (%)
PDTK = Produktivitas tenaga kerja
Hambatan Masuk Industri (MESH)
Hambatan masuk industri diduga dipengaruhi oleh konsentrasi, integrasi
vertikal, faktor teknis dan kekuatan pasar. Kekuatan pasar yang besar akan
menciptakan hambatan masuk yang besar pula. Faktor teknis atau skala ekonomis
dapat di proksi dari biaya produksi.
Integrasi vertikal dapat juga menghambat persaingan karena dapat
meningkatkan biaya yang harus ditanggung pesaing untuk mengakses bahan baku
atau jalur distribusi yang dibutuhkan untuk menjual produknya. Selain itu
integrasi vertikal juga dapat mengurangi ketersediaan bahan baku dan
meningkatkan modal yang dibutuhkan untuk masuk ke pasar. Atau dengan kata
lain integrasi vertikal dapat menimbulkan hambatan untuk masuk ke sebuah pasar.
Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
MESH = f0 + flRCON + f2COSU + f3MPWR + f4INTG + u6.............................. (6)
Hipotesis : f1, f2, f3, f4 >0
dimana : MESH = Hambatan masuk industri (%)
RCON = Konsentrasi industri (%)
COSU = Biaya per unit
MPWR = Kekuatan pasar (Indeks)
INTG = Integrasi vertikal (Rasio)
Komponen Perilaku Industri
Perilaku pasar adalah bagaimana peserta pasar yaitu produsen, konsumen
dan lembaga pemasaran menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan
pembelian yang terjadi (Prasetyo, 2007). Perilaku pasar tidak selamanya konstan,
selalu akan mengalami perubahan. Perilaku industri berkaitan dengan alokasi
penggunaan kapital sebagai dampak dari struktur industri. Conduct (perilaku)
mengacu pada pola perilaku dari perusahaan dalam mengadopsi atau
menyesuaikan diri dalam pasar dimana mereka menjual produk (Carlton dan
Perloff, 2000).
Integrasi Vertikal (INTG)
Stigler (1951) berpendapat bahwa tingkat konsentrasi pasar berkorelasi
positif dengan integrasi vertikal, sebagaimana dengan tingkat pertumbuhan
permintaan di suatu industri. Secara positif, Integrasi vertikal mampu menurunkan
efek negatif dari struktur pasar monopoli yang ada pada setiap tahap produksi dan
distribusi. Integrasi vertikal dapat membatasi margin ganda sehingga konsumen
dapat diuntungkan karena bisa mendapatkan produk dengan harga yang lebih
murah. Perusahaan juga diuntungkan dengan strategi ini melalui pemanfaatan
85
efisiensi teknis dan efisiensi biaya transaksi sehingga laba total yang didapatkan
akan lebih besar dibandingkan bila mereka harus membeli bahan baku dari
perusahaan lain atau mendistribusikan produknya lewat perusahaan lain.
Persamaan integrasi vertikal dapat dirumuskan sebagai berikut:
INTG = g0+ g1JPIK + g2PDAB + g3PDTK + g4RCON + u7.......................... (7)
Hipotesis : g2, g4 > 0; g1, g3 < 0
dimana: INTG = Integrasi vertikal
JPIK = Jumlah perusahaan pakan (unit)
PDAB = Produksi broiler domestik (000 kg/th)
PDTK = Produktivitas tenaga kerja
RCON = Konsentrasi industri (%)
Pangsa Biaya Pakan dalam Produksi (SCPK)
Pakan merupakan input terbesar yang digunakan dalam proses produksi
ayam broiler dimana ayam umur sehari (DOC) diberi makan selama pemeliharaan
35-40 hari. Kebutuhan biaya pakan mencakup 70-80 persen dari total biaya
produksi keseluruhan. Adapun pangsa biaya pakan diduga dipengaruhi oleh harga
pakan itu sendiri dan biaya lainnya, permintaan daging broiler dan integrasi
vertikal. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
SCPK = h0+ h1HPKNR + h2INTG + h3SCOT + h4DEMB + h5JPAB +
u8........................................................................................................ (8)
Hipotesis : h1, h4, h5 > 0; h2, h3 < 0
dimana: SCPK = Pangsa biaya pakan (%)
HPKNR = Harga riil pakan (Rp/kg)
INTG = Integrasi vertikal
SCOT = Pangsa biaya lainnya (%)
DEMB = Konsumsi broiler domestik (000 kg/th)
JPAB = Jumlah perusahaan broiler (unit)
Pangsa Biaya Produksi (SCPR)
Pangsa biaya produksi merupakan persamaan identitas yang merupakan
penjumlahan pangsa biaya pakan, pangsa biaya tenaga kerja dan operasional.
Persamaan identitasnya adalah sebagai berikut:
SCPR = SCPK + SCLB + SCOP.......................................................................... (9)
Pangsa Biaya Lainnya (SCOT)
Pangsa biaya lainnya didapat dengan mengurangi pangsa biaya total
terhadap pangsa biaya produksi. Persamaan identitasnya adalah sebagai berikut:
SCOT = 100 – SCPR ......................................................................................... (10)
Komponen Kinerja Industri
Kinerja industri broiler mencakup harga jual, biaya per unit (efisiensi dari
sisi biaya), produktivitas, tingkat keuntungan, kekuatan pasar dan ketimpangan
86
struktur produksi. Perusahaan yang mampu berproduksi dengan biaya lebih
rendah akan memiliki daya saing lebih tinggi sehingga kemampuan penguasaan
pasar akan lebih besar (Sheperd, 1997). Efisiensi dalam biaya akan memberikan
nilai tambah lebih tinggi tetapi juga akan terkait dengan harga output. Persamaan
struktural pada komponen kinerja sebagai berikut:
Harga Jual Broiler Perusahaan (HABPR)
Harga jual daging ayam broiler (output) sangat dipengaruhi oleh gejolak
harga bahan baku (Rusastra et al, 1990), sehingga persamaan harga jual diduga
dipengaruhi selain oleh kekuatan permintaan dan penawaran, gejolak harga bahan
baku, juga oleh struktur pasar. Hasil penelitian Kim et al, (2002) didapatkan hasil
bahwa pengaruh dari peningkatan level konsentrasi akan meningkatkan harga
pupuk nitrogen secara signifikan lebih tinggi dibandingkan jika pasar beroperasi
di bawah kondisi persaingan sempurna. Sementara penelitian Lopez dan Liron-
Espana (2005) di industri pengolahan makanan menunjukkan bahwa rata-rata,
peningkatan konsentrasi industri di pasar menyebabkan penurunan harga.
Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
HABPR = k0 + k1RCON + k2DEMB + k3HPKNR + k4HBBTR + k5INTG +
k6YEAR + u9................................................................................... (11)
Hipotesis : k2, k3, k4 >0; k5 <0; 0 > k1 > 0
dimana: HABPR = Harga jual broiler perusahaan (Rp/kg)
RCON = Konsentrasi industri (CR4)
DEMB = Konsumsi broiler domestik (000 kg/th)
HPKNR = Harga riil pakan broiler (Rp/kg)
HBBTR = Harga riil bibit DOC (Rp/kg)
INTG = Rasio Integrasi vertikal
Biaya per Unit (COSU)
Keinginan perusahaan untuk memaksimalkan laba akan menghasilkan
pilihan alokasi sumber daya ekonomi pada batas kemungkinan produksi, yang
efisien secara ekonomi (Nicholson, 2000). Hasil penelitian Stiegert dan Carton
(1998) membuktikan bahwa efek marjinal dari konsentrasi secara statistik
signifikan dan negatif, yang mana mencerminkan bahwa peningkatan konsentrasi
lebih berkaitan dengan peningkatan efisiensi dibanding menghasilkan kekuatan
pasar. Biaya per unit di duga dipengaruhi diantaranya integrasi dan produktivitas.
COSU = l0+ l1JPES + l2PRODF + l3INTG + l4PDTK + l5RCON + u10........... (12)
Hipotesis : l1, l2, l3, l4, l5 < 0
dimana: COSU = Biaya per unit
JPES = Jumlah perusahaan pesaing (unit)
PRODF = Produksi broiler perusahaan (000 kg/th)
INTG = Rasio Integrasi vertikal
PDTK = Produktivitas tenaga kerja
RCON = Konsentrasi industri (%)
Produktivitas Tenaga Kerja (PDTK)
Efek produktivitas adalah positif dan menunjukkan signifikan dari
meningkatnya konsentrasi (Gopinath et al, 2002). Sebagaimana yang dikatakan
Cohen dan Levin (1989) bahwa konsentrasi pasar merupakan sumber inovasi,
87
selain struktur permintaan, dan kondisi kesesuaian penggunaan teknologi juga
penting. Namun menurut Jayanthakumaran (2002), konsentrasi industri diduga
memiliki hubungan negatif dengan produktivitas. Persamaannya dapat
dirumuskan sebagai berikut:
PDTK = m0 + m1WAGR + m2RHDAB + m3RCON + m4INTG + m5YEAR +
u11 .................................................................................................... (13)
Hipotesis : m1, m2, m4 > 0; 0 > m3 > 0
dimana: PDTK = Produktivitas tenaga kerja
RHDAB = Rasio harga broiler terhadap pakan
RCON = Konsentrasi industri (%)
INTG = Rasio Integrasi vertikal
YEAR = Tahun
Tingkat Keuntungan (PROF)
Salah satu indikator keberhasilan perusahaan adalah tingkat keuntungan
(profitabilitas), dimana tingkat keuntungan diduga dipengaruhi oleh konsentrasi
dan kekuatan pasar. Semakin kecil penguasaan pasar (market share), semakin
besar tekanan bersaing perusahaan tersebut. Ini berarti bahwa kekuatan pasar yang
dimiliki perusahaan untuk menentukan harga dan output semakin berkurang.
Dengan berkurangnya kemampuan perusahaan untuk menentukan harga dan
output akan berdampak pada menurunnya tingkat keuntungan yang diterima
perusahaan.
PROF = n0 + n1SCOP + n2JPES + n3RCON + n4PDTK + n5GAP + u12.......... (14)
Hipotesis : n3, n4, n5 > 0; n1, n2 < 0
dimana: PROF = Tingkat keuntungan (%)
SCOP = Pangsa biaya operasional (%)
JPES = Jumlah perusahaan pesaing (unit)
RCON = Konsentrasi industri (%)
PDTK = Produktivitas tenaga kerja
GAP = Kesenjangan produksi
Kekuatan Pasar (MPWR)
Kekuatan pasar diukur menggunakan indeks Lerner. Indeks ini bertujuan
untuk melihat sejauh mana kemampuan suatu perusahaan untuk meningkatkan
tingkat harga di atas biaya marginal. Indeks Lerner juga memperlihatkan
hubungan negatif antara elastisitas permintaan dengan marginal cost.
Industri dengan konsentrasi yang lebih rendah memiliki kekuatan pasar
yang kecil (Suvanichwong, 1977 dalam Sayaka, 2003), dan dari waktu ke waktu
kekuatan pasar suatu perusahaan dapat berubah-ubah tergantung pangsa pasarnya
(Sheperd, 1997). Adapun persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
MPWR = o0+ o1HDABR + o2RCON + o3PDTK + o4COSU + o5JPES + u13..(15)
Hipotesis : o1, o2, o3 > 0; o4, o5 < 0
dimana: MPWR = Kekuatan pasar (Indeks)
HDABR = Harga riil broiler (Rp/kg)
RCON = Konsentrasi industri (%)
PDTK = Produktivitas tenaga kerja
COSU = Biaya per unit
88
JPES = Jumlah perusahaan pesaing (unit)
Ketimpangan/kesenjangan Output
Semakin terkonsentrasi suatu industri maka semakin besar inequality.
Kesenjangan diduga dipengaruhi oleh:
GAP = p0 + p1RCON + p2PDTK + p3RHDAB + p4YEAR + u14 ................ (16)
Hipotesis : p1, p2, p3 > 0
dimana: GAP = Kesenjangan produksi
RCON = Konsentrasi industri (%)
PDTK = Produktivitas tenaga kerja
RHDAB = Rasio harga broiler terhadap pakan
YEAR = Tahun
Keterangan lebih jelas mengenai jenis dan pengelompokkan variabel dalam
penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis dan pengelompokkan variabel dalam penelitian
No. Variabel Keterangan Satuan Kelompok
1. PDAB = Produksi Daging Ayam Domestik 000 kg/th K.dasar
2. DEMB = Konsumsi Daging Ayam Broiler 000 kg/th K.dasar
3. HDABR = Harga Eceran Broiler Rp/kg K.dasar
4. JPAB = Jumlah Perusahaan di Industri unit Struktur
5. RCON = Rasio Konsentrasi Industri CR-4 Struktur
6. MESH = Hambatan Masuk Industri Rasio Struktur
7. INTG = Integrasi Vertikal Rasio Perilaku
8. SCPK = Pangsa Biaya Pakan dalam Produksi % Perilaku
9. SCLB = Pangsa Biaya Tenaga Kerja % Perilaku
10. SCPR = Pangsa Biaya Produksi % Perilaku
11. SCOT = Pangsa Biaya Lainnya % Perilaku
12. HABPR = Harga Broiler Perusahaan Rp/kg Kinerja
13. PROF = Tingkat Keuntungan % Kinerja
14. COSU = Biaya per Unit Rp/kg Kinerja
15. PDTK = Produktivitas Tenaga Kerja Rasio Kinerja
16. MPWR = Kekuatan Pasar Indeks Kinerja
17. GAP = Kesenjangan Produksi Rasio Kinerja
18. PRODF = Produksi Daging Broiler Perusahaan 000 kg/th Eksternal
19. HPKNR = Harga Riil Pakan Rp/kg Eksternal
20. PDRB = Produk Domestik Regional Bruto Milyar Rp Eksternal
21. DINV = Penambahan Investasi Milyar Rp Eksternal
22. WAGR = Upah Rata-rata Juta Rp Eksternal
23. HDSPR = Harga Riil Daging Sapi Rp/kg Eksternal
24. HDIKR = Harga Riil Daging Ikan Rp/kg Eksternal
25. HTARR = Harga Riil Telur Ayam Ras Rp/kg Eksternal
26. JPES = Jumlah Perusahaan Pesaing Unit Eksternal
27. RHDAB = Rasio harga broiler terhadap pakan Rasio Eksternal
28. YEAR = Tahun Trend
Sehubungan dengan model yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat
skema keterkaitan hubungan dari Structure, Conduct dan Performance di Industri
Broiler Indonesia.
89
Elastisitas
Konsep elastisitas digunakan untuk mendapatkan ukuran kuantitatif respon
suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk model yang
dinamis, dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang (Gujarati,
1995). Dikarenakan model persamaan dalam penelitian ini bukan model yang
dinamis (tidak melibatkan peubah tenggang waktu/lagged variable sebagai
peubah penjelas/explanatory variable), elastisitas yang dapat diukur hanya
elastisitas jangka pendek, sehingga hanya mampu menginformasikan respon
dalam jangka pendek.
Elastisitas jangka pendek (E-SR) dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
E-SR= δYt/ δXt* Xt/Yt ............................................................................. (17)
dimana :
X = rata-rata peubah eksogen
Y = rata-rata peubah endogen
Ukuran-ukuran elastisitas populer digunakan pada analisis permintaan yang
mengacu pada teori tingkah laku konsumen. Menurut Koutsoyiannis (1977), ada
90
tiga elastisitas yang penting dalam teori tersebut, yaitu : (a) elastisitas harga (ep),
(b) elastisitas pendapatan (ey), dan (c) elastisitas silang (exy).
Nilai elastisitas tersebut dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
ep= δQx/δPx* P/Q ................................................................................... (18)
ey= δQx/δY * Y/Q ................................................................................... (19)
exy= δQx/δPy* Py/Qx ............................................................................... (20)
dimana :
Qx= rata-rata jumlah barang X yang diminta
Y = rata-rata jumlah pendapatan konsumen
Px= rata-rata harga barang X
Py= rata-rata harga barang Y
Nilai elastisitas harga diantara 0 – 1 (inelastis) merupakan barang-barang
kebutuhan pokok, sedangkan yang bernilai antara 1 - ∞ merupakan barang
mewah. Barang-barang yang mempunyai barang substitusi biasanya lebih elastis.
Nilai elastisitas pendapatan yang bernilai positif untuk barang normal,
bernilai nol untuk barang netral dan bernilai negatif untuk barang inferior.
Sementara dari nilai elastisitas silang dapat diklasifikasikan apakah suatu barang
berhubungan sebagai substitusi atau komplemen. Jika tanda elastisitas silang
positif maka barang X merupakan barang substitusi terhadap barang Y dan jika
bertanda negatif maka barang X bersifat komplemen terhadap barang Y.
Prosedur Analisis
Identifikasi Model
Identifikasi model ditentukan berdasarkan order condition sebagai syarat
keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyianis
(1977), untuk mengidentifikasi model persamaan struktural berdasarkan order
condition digunakan rumusan (K – M) > (G – 1), dimana: K = Total peubah
endogen dan peubah predetermined dalam model
M = Jumlah peubah endogen dan eksogen dalam satu persamaan
G = Jumlah seluruh persamaan
Dengan ketentuan sebagai berikut :
(K – M) > (G – 1) : persamaan teridentifikasi secara berlebih
(overidentified),dapat diestimasi dengan metode 2SLS
atau 3SLS
(K – M) = (G – 1) : persamaan teridentifikasi secara tepat (exactly
identified),dapat diestimasi dengan metode OLS
(K – M) < (G – 1) : persamaan tidak teridentifikasi (unidentified)
Sistem persamaan simultan pada penelitian ini dibangun dari 16 persamaan
yang terdiri dari 14 persamaan struktural dan 2 persamaan identitas. Dengan G =
16, K = 16 + 12 = 28, dan Mmaks = 6, maka (K – M) = 28 – 6 = 24 dan (G – 1) =
16 – 1 = 15 yang berarti (K – M) ≥ (G – 1) atau persamaan over identified. Hasil
identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau
overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu
persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan tersebut tidak
91
teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu
sekaligus syarat cukup yang ditentukan oleh rank condition yang menyatakan
suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk
membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G – 1) dari parameter
struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut (Koutsoyiannis,
1977).
Metode Pendugaan Model
Sehubungan dengan menjawab tujuan pertama dan kedua, apabila hasil
identifikasi model menunjukkan bahwa seluruh persamaan teridentifikasi secara
berlebih (overidentified) maka metode estimasi yang dapat digunakan adalah
2SLS (Two Stages Least Squares) (Pindick dan Rubinfeld, 1998a). Penerapan
metode 2SLS ini dengan pertimbangan jumlah sampel terbatas. Selain itu metode
ini dapat menghasilkan estimasi yang konsisten, lebih sederhana dan lebih
mudah.Untuk mengetahui apakah pengaruh secara bersama-sama dari peubah
penjelas signifikan atau tidak, maka dilakukan pengujian dengan menggunakan uji
F. Sedangkan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya pengaruh secara sendiri-
sendiri dari masing-masing peubah penjelas terhadap peubah endogennya diuji
dengan menggunakan uji t pada tingkat signifikansi tertentu.
Validasi Model
Validasi model dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang
dirumuskan itu cukup layak atau valid untuk digunakan dalam menganalisis suatu
tujuan. Kriteria yang biasa digunakan dalam menilai layak atau valid tidaknya
suatu model ekonometrik diantaranya adalah root mean square error (RMSE),
root mean squares percent error (RMSPE) dan Theil inequality coefficient (U)
(Pindick dan Rubinfeld, 1998), yang dapat ditulis masing-masing sebagai berikut:
dimana, Yts adalah nilai Yt simulasi/prediksi, Yt
a adalah nilai Yt aktual dan T
adalah jumlah observasi dalam simulasi.
dimana U dapat didekomposisi menjadi :
----- Σ (Yts – Yt
a)2 = (Y
s – Y
a)2 + (σs – σa)
2 + 2(1 – ρ)σsσa
1
N
92
dimana Ys dan Y
a adalah rata-rata untuk nilai prediksi dan nilai aktual, σs dan σa
adalah standar deviasi untuk nilai prediksi dan nilai aktual, ρ adalah koefisien
korelasi. Proporsi dari U (proportions of inequality) dapat dinyatakan sebagai
berikut:
dimana, UM
adalah proporsi bias yang menjelaskan seberapa jauh rata-rata nilai
prediksi menyimpang dari rata-rata nilai aktual dan nilai UM
yang diharapkan
adalah yang mendekati nol; US adalah proporsi varians yang menjelaskan
seberapa jauh variasi nilai prediksi menyimpang dari nilai variasi nilai aktual dan
nilai US yang diharapkan adalah yang mendekati nol; U
C adalah proporsi
kovarians yang mengukur kesalahan peramalan yang tidak sistematis
(unsystematic error). Distribusi ketimpangan (U) yang ideal atas ketiga sumber
tersebut adalah UM
= US = U
C = 1 (Pyndick dan Rubinfeld, 1998b).
Simulasi Faktor-faktor Eksternal
Simulasi dampak kebijakan bertujuan untuk mengetahui dampak suatu
perubahan faktor eksternal terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri. Ada 5
perubahan faktor eksternal yang disimulasikan dalam kajian ini yaitu: (1)
perubahan potensi pasar melalui perubahan peningkatan penawaran (supply)
broiler (PDAB) 10 persen; (2) peningkatan permintaan (demand) broiler (DEMB)
15 persen; (3) peningkatan dan penurunan harga daging ayam broiler (HDABR)
10 persen; (4) peningkatan harga input pakan (HPKNR) 10 persen; dan (5)
peningkatan harga input bibit (HBBTR) 10 persen.
Peningkatan permintaan daging ayam broiler sebesar 15 persen. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah
penduduk, tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat menyebabkan
peningkatan yang signifikan dalam permintaan daging ayam broiler. Data terakhir
menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan konsumsi daging sekitar 16 persen.
Peningkatan penawaran daging ayam broiler sebesar 10 persen. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan semakin meningkatnya teknologi
dan inovasi di industri perunggasan menyebabkan peningkatan dalam penawaran.
Data laju pertumbuhan produksi ayam broiler dari 2000-2010 menunjukkan
bahwa laju pertumbuhan produksi daging ayam broiler sebesar 9,5 persen.
Peningkatan harga output ayam broiler sebesar 10 persen. Berdasarkan
trend data harga output memperlihatkan fluktuasi harga mengingat produk dari
93
industri ini yang merupakan komoditi hidup (live bird). Penyebab harga turun
dikarenakan wabah penyakit atau harga meningkat disaat-saat permintaan
meningkat pada hari raya keagamaan. Namun ada dugaan para ahli dan pemerhati
masalah industri bahwa konsentrasi industri akan meningkat dari waktu ke waktu
dan berdampak pada kenaikan harga. Data terakhir menunjukkan laju peningkatan
harga output 6-9 persen.
Peningkatan harga input sebesar 10 persen. Adapun komponen input baik
itu pakan maupun bibit sebagian besar masih impor sehingga mudah sekali terjadi
gejolak harga bahan baku. Hal ini biasanya diakibatkan pasokan yang berkurang
atau berkenaan dengan kebijakan pemerintah. Data terakhir menunjukkan laju
peningkatan harga input sebesar 5-7 persen.
Perhitungan Perubahan Kesejahteraan
Indikator yang digunakan untuk mengukur perubahan kesejahteraan
masyarakat akibat perubahan konsentrasi dan kekuatan pasar di industri broiler
adalah surplus produsen dan surplus konsumen. Untuk itu dilakukan simulasi
perubahan konsentrasi industri pada berbagai tingkatan yaitu peningkatan
konsentrasi sebesar 5 sampai 20 persen. Kemudian dari hasil simulasi dilakukan
perhitungan selisih dari nilai prediksi dan nilai aktual untuk variabel-variabel yang
mewakili surplus produsen dan surplus konsumen. Analisis perubahan surplus
dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Sinaga, 1989):
1. Surplus Produsen
SP = QSb (Hb – Hs) ± 0.5 (QSb – QSs) (Hb – Hs)
2. Surplus Konsumen
SK = QDb (Hb – Hs) ± 0.5 (QDb – QDs) (Hb – Hs)
dimana :
SP = surplus produsen H = Harga
SK = surplus konsumen b = dasar
QS = jumlah penawaran s = skenario
QD = jumlah permintaan
Selain menggunakan perhitungan surplus konsumen dan surplus produsen
seperti yang tertera diatas, perubahan kesejahteraan dapat dilihat dari peningkatan
nilai simulasi dari perubahan konsentrasi. Suatu alokasi sumber-sumber daya yang
memaksimalkan nilai surplus produsen dan surplus konsumen adalah alokasi yang
efisien. Kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek, namun
para ekonom biasanya memusatkan hanya pada tiga aspek pokok yaitu efisiensi,
kemajuan teknologi dan keseimbangan dalam distribusi (Jaya, 2004). Variabel
endogen yang mewakili surplus produsen adalah efisiensi, tingkat keuntungan dan
kekuatan pasar, sementara variabel endogen yang mewakili surplus konsumen
adalah harga produk dan tingkat konsumsi. Sementara produktivitas tenaga kerja
mewakili inovasi dan ketimpangan mewakili pemerataan hasil-hasil sebagai
kesejahteraan sosial dalam jangka panjang.
94
94
5 GAMBARAN UMUM KELEMBAGAAN INDUSTRI BROILER
INDONESIA
Profil pasar daging ayam broiler di Indonesia
Ayam broiler adalah ternak introduksi yang baru dikembangkan di
Indonesia pada pertengahan tahun 1970-an dan datanya baru tersedia dalam
dokumen resmi sejak tahun 1984. Bibit ayam ini dipasok oleh perusahaan
multinasional. Usaha ternak ayam broiler adalah usaha intensif. Ternak ayam
dipelihara dalam kandang, diberi pakan buatan pabrik dan dirawat penuh waktu.
Usaha ini pada umumnya merupakan usaha komersil, terspesialisasi dan sumber
pendapatan utama bagi peternak bersangkutan.
Pada skala nasional, perkembangan ayam ras broiler (pedaging) meningkat
dari tahun ke tahun. Selama periode 2000-2010, jumlah produksi daging dan
populasi ayam broiler di Indonesia rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9.5
persen dan 9.07 persen per tahun. Rata-rata produksi daging ayam broiler pada
periode 2000-2010 telah mencapai 849 008 ton per tahun (Statistik Peternakan,
2011). Meningkatnya produksi daging dan populasi ayam ras selanjutnya
berdampak terhadap kenaikan permintaan pakan ayam ras. Permintaan pakan
yang meningkat tersebut harus diikuti oleh adanya peningkatan produksi pakan.
Produksi pakan nasional meningkat sepanjang periode 2004-2008 dengan
pertumbuhan sebesar 8 persen dari 5.98 juta ton di 2004 menjadi 8.15 juta ton di
2008. Jumlah pabrik pakan skala besar meningkat dari 56 pabrik (2004) menjadi
61 pabrik di 2008 yang tersebar di sepuluh provinsi, yaitu Sumatera Utara 9
pabrik, Sumatera Barat 1 pabrik, Lampung 4 pabrik, Banten 12 pabrik, DKI
Jakarta 4 pabrik. Di Jawa Barat terdapat 8 pabrik, Jawa Tengah 3 pabrik, 16
pabrik di Jawa Timur, Kalimantan Selatan 1 pabrik dan Sulawesi Selatan 3
pabrik. Kapasitas produksi dari seluruh pabrik pakan di tahun 2008 sebesar
12 juta ton per tahun (BPS, 2009a)
Salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia adalah
kemampuan menghasilkan sendiri bahan baku pakan. Hampir seluruh bahan baku
pakan dapat dihasilkan di Indonesia. Selama ini pemanfaatan bahan baku
tergantung pada impor, sehingga fungsinya sebagai industri biologis dalam
meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dalam negeri sangat rendah. Jagung
merupakan komponen utama didalam pembuatan pakan ayam ras, diikuti oleh
bungkil kedele dan tepung ikan.
Pemanfaatan jagung untuk pakan dibagi dalam dua kelompok, yaitu untuk
ruminansia dan bukan ruminansia. Umumnya ternak ruminansia memanfaatkan
limbah jagung berupa jerami jagung atau tanaman jagung muda (umur 60 hari)
sebagai hijauan. Jagung biji hampir seluruhnya dimanfaatkan untuk pakan ternak
bukan ruminansia (ayam, babi dan itik) dan sedikit untuk pakan sapi perah. Dalam
ransum, jagung dimanfaatkan sebagai sumber energi yang diukur dengan istilah
energi metabolis. Walaupun jagung juga mengandung protein hampir 9 persen,
pertimbangan pemakaian jagung pada ransum adalah untuk sumber energi.
Apabila energi dalam jagung kurang mencukupi, misalnya untuk pakan broiler, ke
dalam ransum sering ditambahkan minyak agar energi ransum sesuai dengan
95
kebutuhan ternak. Kontribusi energi jagung adalah dari patinya yang mudah
dicerna.
Pemakaian jagung dalam ransum ditentukan oleh berbagai faktor, antara
lain jenis ransum, kandungan gizi yang dikehendaki, alternatif bahan baku lain
yang tersedia, dan harga. Namun demikian, jagung di Indonesia merupakan bahan
baku utama ransum ayam, puyuh, itik, dan kadang-kadang babi. Pemakaian
jagung untuk pakan ikan, serta ayam kampung, itik, dan babi yang dipelihara
secara tradisional masih sangat sedikit. Pemakaian jagung dalam ransum broiler
biasanya lebih tinggi dibanding ayam petelur karena broiler membutuhkan energi
yang lebih tinggi
Hal ini menyebabkan industri pakan ternak masih harus mengimpor jagung
sebagai salah satu bahan baku, dikarenakan tingkat kebutuhannya di dalam negeri
yang tinggi. Apalagi kontribusi penggunaan jagung sebagai bahan baku pakan
ternak diperkirakan sekitar 50-51 persen. Pada 2011 kebutuhan jagung seluruh
pabrik pakan ternak di tanah air berkisar 1 255 000 ton, naik sebesar 4.24 persen
dari tahun sebelumnya (Neraca Bahan Makanan, 2012). Sementara kebutuhan
jagung nasional pada 2011 sebesar 20 918 000 ton dengan produksi sebesar
17 643 000 ton, turun sebesar 3.74 persen dari tahun sebelumnya, sehingga
dibutuhkan impor jagung sebesar 3 305 000 ton, naik 85.57 persen dari tahun
sebelumnya (BPS, 2012).
Penggunaan bungkil kedele sebagai sumber protein bagi ayam broiler juga
sebagian besar masih impor dikarenakan didalam negeri stoknya masih bersaing
dengan kedelai sebagai kebutuhan pangan bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Selain itu, jenis bahan baku pakan ternak lain yang juga diperkirakan masih
mengandalkan pasokan impor adalah tepung ikan. Hampir seluruh pasokan tepung
ikan yang ada di Indonesia saat ini adalah impor. Hal yang ironis dimana
Indonesia sebagai negara penghasil produk hasil laut terbesar, negara kita justru
mengimpor tepung ikan dari negara lain. Jenis tepung ikan yang berasal dari
dalam negeri dinilai kurang kompetitif dibandingkan impor.
Daya simpan untuk menghindari variasi suplai dan harga pakan di kalangan
produsen masih rendah, sehubungan masih sedikitnya tersedia silo penyimpanan
dan pengeringan jagung di sentra-sentra produksi jagung. Penyimpanan sederhana
yang terlalu lama di tingkat petani atau pengumpul akan meningkatkan kandungan
aflatoksin pada jagung yang menurunkan kualitas komoditi tersebut. Setidaknya
24 jam setelah panen, jagung sudah bisa dikirim ke pabrik pakan. Kebanyakan
penanaman jagung dilakukan pada lahan kering yang mengandalkan dukungan
curah hujan sehingga biasanya saat musim tanam dilakukan serempak pada saat
musim hujan. Biasanya berlangsung pada bulan Februari - Maret sehingga panen
akan berlangsung hampir bersamaan.
Pergeseran usaha rakyat ke wilayah produksi butir-butiran tidak hanya
terjadi dalam wilayah propinsi tetapi juga antar propinsi. Hasil penelitian dan data
BPS memperlihatkan dalam periode 1976 sampai tahun 1985, usaha rakyat
terkonsentrasi di wilayah Jabotabek. Namun setelah tahun 1986 sampai sekarang,
sebagian besar usaha rakyat bergeser ke wilayah sentra produksi butir-butiran.
Pergeseran usaha rakyat antar propinsi terjadi dari Jawa Barat ke Jawa Timur,
Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan terakhir ke Lampung. Menurut sensus BPS
(2003), usaha broiler dalam bentuk usaha rakyat hanya berkembang di delapan
propinsi, diantaranya Jawa Barat (35 persen), Jawa Timur (22 persen), Jawa
96
Tengah (8 persen), Sumatera Utara (6 persen), serta sisanya di Riau, Bali,
Lampung dan Sulawesi Selatan (masing-masing 3 persen). Sementara dari data
produksi jagung BPS (2004), produksi jagung terpusat di Jawa Timur (37 persen),
Jawa Tengah (16 persen), Lampung (11 persen), Sumatera Utara (6 persen) dan
Sulawesi Selatan (6 persen). Dari informasi ini terlihat bahwa dari 30 propinsi di
Indonesia, usaha rakyat hanya terdapat pada delapan propinsi dimana seluruhnya
berada dalam wilayah penghasil butir-butiran pakan ternak.
Kenyataan bahwa akhir-akhir ini perusahaan lebih banyak membeli bahan
baku pakan (raw material) didalam negeri, tidak terlepas dari peran pemerintah
yang telah mengeluarkan kebijakan bagi industri pakan untuk lebih banyak
membeli jagung dan bungkil kedele di dalam negeri. Pemerintah mewajibkan
importir membeli bungkil kedele dalam negeri dengan rasio impor 40 dibanding
60 persen. Pada tahun 2000, industri pakan mulai menunjukkan pertumbuhan
setelah produksi pakan turun hingga 60 persen akibat krisis ekonomi. Industri
pakan memfokuskan pengadaan jagung dari dalam negeri meskipun impor jagung
masih dilakukan untuk menutupi kekurangan pasokan. Upaya industri pakan
untuk memperoleh jagung dalam negeri antara lain dilakukan dengan membuka
ladang jagung sendiri dengan menggunakan benih hibrida, membuka pabrik pakan
baru di daerah sentra produksi jagung sehingga memungkinkan berhubungan
langsung dengan petani, dan membuka serta membangun fasilitas pengeringan
dan pergudangan (silo) skala besar di daerah sentra produksi.
Sebagaimana diinginkan kemandirian pangan atau swasembada, begitu pula
dalam penyediaan pakan, juga tengah diupayakan dengan keras kemandirian
pakan. Ketergantungan pakan ternak terhadap komoditi impor perlahan-lahan
turun. Ketersediaan bahan baku pakan lokal seperti jagung, semakin meringankan
beban produksi pakan ternak. Disamping itu, sedang digali potensi bahan baku
pakan ternak yang menjadi unggulan. Salah satu industri pakan terkemuka di
Lampung, beberapa tahun terakhir ini mengganti bungkil kedele sebagai sumber
protein dengan minyak kasar (mentah) kelapa atau kopra (coconut oil) dan
minyak kasar (mentah) kelapa sawit (crude palm oil). Kandungan energi CPO
mencapai 7 800 kkal, namun, persentasenya pada ransum paling tinggi hanya
4 persen karena pemakaian yang lebih tinggi akan menyulitkan dalam mencampur
pakan atau dapat menurunkan kualitas pellet yang dihasilkan. Mungkin dalam
waktu yang tidak terlalu lama, limbah sawit yang melimpah akan termanfaatkan
dengan baik sebagai bahan baku pakan ternak.
Sementara itu, Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dalam komponen
biaya input untuk tenaga kerja yang relatif lebih murah dibandingkan negara lain
di Asean. Potensi dalam mengembangkan produksi jagung nasional juga dapat
mengurangi ketergantungan impor dan menurunkan biaya produksi, sehingga
mampu meningkatkan skala usaha yang optimal. Integrasi secara vertikal juga
sudah mulai terlaksana dengan menerapkan pola-pola kemitraan, dimana peternak
sudah banyak bergabung dengan perusahaan inti sehingga jumlah pemeliharaan
ayam juga semakin meningkat. Faktor yang masih menjadi kendala di lapang
adalah iklim usaha yang kurang kondusif. Permasalahan keamanan, sistim
perbankan, serta tata ruang yang masih belum jelas sering menjadi penghambat
dalam mengembangkan usaha peternakan unggas. Infrastruktur yang kurang
memadai seperti tersedianya jalan yang memadai, kelayakan pelabuhan, maupun
97
ketersediaan air juga dapat menciptakan permasalahan yang rumit bagi peternak
disamping permasalahan ekonomi biaya tinggi akibat berbagai pungutan.
Perkembangan Industri Broiler Indonesia
Mencermati perkembangan industri broiler di Indonesia, kegiatan ekonomi
dalam bisnis ini diselenggarakan oleh dua golongan penguasaan yaitu peternakan
rakyat dan perusahaan peternakan. Dalam perkembangan usahanya kedua
golongan tersebut kerap mengalami permasalahan. Peternak rakyat yang biasanya
berskala kecil sering menghadapi permasalahan seperti rendahnya kepemilikan
modal, peralatan yang masih sederhana dan teknologi terbatas serta sulitnya aspek
pemasaran. Bagi perusahaan besar, investasi yang dibutuhkan sangat besar dan
resiko yang dihadapi juga besar. Untuk menjaga kuantitas, kualitas, waktu
penyaluran yang tepat dan kontinuitas, perusahaan besar pada umumnya membina
suatu kerjasama dengan peternak rakyat melalui sistem kontrak (contract
farming). Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa usaha budidaya ayam ras
pedaging banyak dilakukan dalam bentuk pola-pola kemitraan, meskipun ada juga
yang melakukan secara mandiri. Beberapa pola kemitraan yang berlangsung
adalah pola kemitraan inti-plasma, poultry shop, contract farming, dan sewa
kandang.
Contract farming sebagai sistem produksi dan pemasaran berskala
menengah, dilakukan dengan tujuan mengurangi biaya transaksi. Sementara jika
dilihat dari pihak perusahaan, terdapat beberapa manfaat dengan adanya sistem
contract farming dengan peternak kecil. Manfaat yang paling penting adalah
mereka memperoleh akses untuk mendapatkan buruh dan kandang yang lebih
murah untuk menumbuhkan produk peternakan yang bernilai tinggi. Perusahaan
dapat ikut serta dalam pasar di mana biasanya mereka tidak diikutsertakan dan
meminimalisir biaya dengan tidak membeli kandang sendiri atau secara langsung
menyewa buruh. Pasokan bahan mentah dapat terjaga dengan batasan yang
rasional dan memiliki kendali terhadap dasar produksi dan perlakuan pasca panen.
Selain itu perusahaan juga memiliki kendali terhadap kualitas produk dan
memiliki kesempatan memperoleh dan memperkenalkan jenis bibit ternak baru
serta peningkatan kemungkinan pemenuhan kebutuhan konsumen secara spesifik
(Key dan Runsten, 1999 dalam Daryanto, 2007). Selanjutnya akan diuraikan
sekilas mengenai perkembangan usaha rakyat dan perusahaan ayam broiler.
Performans Usaha Rakyat
Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No.472/Kpts/TN/330/6/96
tentang petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras,
menyatakan bahwa usaha peternakan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
peternakan rakyat, pengusaha kecil peternakan, dan pengusaha peternakan.
Peternakan rakyat yaitu usaha peternakan ayam yang jumlahnya tidak melebihi
15 000 ekor ayam pedaging per siklus. Usaha kecil adalah usaha budidaya ayam
ras yang jumlahnya tidak melebihi 65 000 per siklus. Perusahaan peternakan
adalah perusahaan budidaya ayam pedaging yang jumlahnya lebih besar dari
65 000 ekor per siklus (Suharno, 2002).
98
Pertumbuhan ukuran lahan dan pengenalan teknologi baru menghasilkan pra
syarat modal yang meningkat secara signifikan bagi peternak broiler. Ini, bersama
dengan variasi yang tinggi dalam harga broiler, membuat produksi broiler menjadi
bisnis yang sangat berisiko bagi peternak. Perusahaan pakan, menjadi yang
penting dalam pertumbuhan industri karena pakan merupakan biaya terbesar
dalam tumbuh kembang broiler, dengan sistem kontrak produksi yang ditetapkan
sebagai mekanisme untuk memperbesar basis pelanggan sekaligus mengurangi
risiko keuangan yang dihadapi oleh peternak.
Sejumlah produsen besar telah mengembangkan pola kemitraan dengan
menjalin kerjasama dengan perternakan rakyat. Umumnya kemitraan di Indonesia
memiliki konsep contract farming antara produsen pakan ternak besar dengan
para peternakan rakyat. Konsep kemitraan secara umum yaitu dimana seorang
peternak memelihara ayam untuk sebuah perusahaan yang terintegrasi secara
vertikal. Ada dua pihak yang terlibat dalam kemitraan, yakni peternak dan
perusahaan.
Kontrak produksi mendorong ekspansi di industri broiler. Sebagian
perusahaan besar dalam menanggapi permintaan konsumen agar seragam dan
kualitas bisa diprediksi, perusahaan pakannya membangun pabrik pengolahan dan
penetasan, dan menjadi apa yang saat ini disebut sebagai integrator. Integrator
adalah perusahaan yang memiliki penetasan sendiri, pabrik pengolahan dan pabrik
pakan, dan kontrak dengan peternak mandiri yang meningkatkan produksi broiler
pada berat yang disukai pasar. Ketika salah satu perusahaan mensinkronisasikan
berbagai tahap dalam produksi dan pemasaran sistem, istilah yang umum
digunakan oleh para ekonom adalah "koordinasi vertikal." Satu tingkat lebih
tinggi dari koordinasi vertikal sering disebut sebagai "integrasi vertikal," diwakili
oleh kepemilikan umum dari tahapan yang berbeda dalam rantai produksi (Dicks,
2010).
Pabrik pengolahan memerlukan modal investasi yang besar serta
terjaminnya pasokan broiler, sehingga pengolahan mandiri dan pemasaran daging
bukan menjadi alternatif untuk pembudidaya. Karena integrator harus bersaing
tidak hanya di antara mereka sendiri tetapi dengan prosesor dari jenis daging
lainnya baik domestik maupun internasional sehingga hanya sedikit fleksibilitas
dalam menetapkan harga. Kurangnya fleksibilitas dalam menetapkan harga
meminimalkan margin keuntungan dan memaksa integrator mengandalkan
pasokan besar untuk memaksimalkan pengembalian investasi melalui
maksimalisasi penjualan. Kenyataan ini merupakan alasan untuk insentif produksi
bagi peternak.
Paling sedikit ada tiga model sistem contract farming. Model pertama,
peternak menerima harga tertentu per ekor ayam yang dipeliharanya. Dalam
model ini, harga pasar tidak berpengaruh pada penerimaannya. Model kedua, para
peternak mitra menerima persentase tertentu dari total penerimaan setelah
dikurangi dengan biaya produksi. Dalam model pertama dan kedua, perusahaan
biasanya menentukan kualitas standar tertentu (a fixed performance standard).
Dalam model ketiga, perusahaan menggunakan sistem “two part piece-rate
tournament”. Dalam model ini, peternak akan menerima bonus jika kualitas
standarnya di atas rata-rata yang ditentukan dan menerima pinalti jika kualitas
ayam yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar.
99
Perusahaan besar yang terintegrasi tesebut menyiapkan dana awal untuk
membuka usaha peternakan rakyat, memberi fasilitas pemeliharaan dan sapronak
(sarana produksi peternakan) seperti bibit DOC, pakan, obatan-obatan, vitamin.
Sedangkan tugas sebagai peternak adalah mengusahakan agar anak ayam (DOC)
tetap sehat dan panen tepat waktu. Produsen besar umumnya menjanjikan insentif
jika konsumsi pakan atau feed convertion ratio (FCR) memenuhi standar
perusahaan umumnya sekitar 1 persen atau akan mendapatkan 30 persen dari
selisih harga kontrak dengan harga pasar.
Setelah ayam yang dipelihara berusia 35 hari dan siap dijual, peternak baru
mendapat hasilnya. Untuk pola kemitraan ternak ayam ini, bagi hasilnya meliputi
dua bentuk. Pertama, setelah panen, peternak mendapat upah sekitar Rp 500 per
ekornya. Kedua, peternak menerima upah dari selisih perhitungan antara jumlah
modal yang diberikan dan hasil penjualan ayam. Dalam pola kemitraan ini,
perusahaan akan menjamin harga minimum ayam siap jual, artinya bila harga
ayam di pasar jatuh, peternak tidak akan dirugikan karena produksi ayam akan
dibeli perusahaan inti dengan harga dasar yang telah disepakati.
Pembayaran bervariasi antara peternak dan ditentukan oleh kinerja relatif
mereka. Kontrak yang khas ini menghitung biaya pertumbuhan rata-rata (merujuk
pada biaya penyesuaian), untuk ternak disesuaikan pada saat yang sama oleh
peternak di wilayah yang sama. Kinerja seorang peternak individu kemudian
dihitung sebagai perbedaan antara biaya penyesuaian yang sebenarnya dan rata-
rata ini. Peternak yang biayanya di bawah rata-rata menerima pembayaran yang
lebih tinggi, sementara mereka dengan biaya yang lebih tinggi menerima
pembayaran yang lebih rendah, tunduk pada ketetapan, sehingga mendorong
efisiensi operasi.
Dua risiko utama yang dihadapi pelaku di industri adalah pemasaran
(misalnya harga) dan risiko produksi. Risiko pemasaran muncul dari volatilitas
harga, membuat prediksi biaya atau pendapatan menjadi sulit. Risiko produksi
mencerminkan ketidakpastian mengenai produktivitas input dan dampak dari
faktor-faktor eksogen untuk produksi (misalnya cuaca, hama dan penyakit).
Produksi dapat lebih rendah karena faktor regional, seperti kondisi cuaca ekstrim
atau epidemi, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh keterampilan manajemen
beternak serta faktor tak terduga, seperti kerusakan pada sistem pendingin atau
pemanas di kandang ayam tertentu.
Vukina dan Leegomonchai ( 2006 ) menemukan bukti risiko terus-bertahan
di industri sama seperti bukti bahwa konsentrasi integrator lokal yang relevan
terjadi. Secara khusus, peternak di lokasi dengan sedikit integrator membangun
sedikit kandang pada investasi awal mereka, dan orang-orang di lokasi dengan
hanya satu atau dua integrator membuat lebih sedikit peningkatan yang signifikan
untuk kandang mereka. Akhirnya, mereka menemukan bahwa perbaikan ini
sedikit banyak menyebabkan peningkatan kas bersih yang mengalir ke peternak di
pasar dengan integrator tunggal dibandingkan dengan pasar lainnya. Dengan
demikian, konsentrasi integrator, dengan meningkatkan risiko terus-bertahan,
mempengaruhi keputusan investasi peternak dan hasilnya.
MacDonald dan Key (2012) menemukan hal yang kecil tapi bermakna
secara ekonomi sebagai dampak dari jumlah integrator terhadap kompensasi yang
diterima peternak produsen broiler di Amerika pada 2007. Peternak yang
menghadapi integrator tunggal dibayar 7-8 persen lebih sedikit secara rata-rata,
100
dibandingkan peternak yang menghadapi empat atau lebih integrator. Temuan ini
diperkuat untuk kontrol di tingkat kompensasi lokal untuk operasi dan fitur
kontrak, faktor yang juga terbukti mempengaruhi kompensasi kontrak dan
bervariasi di seluruh peternak. Meskipun mereka mencirikan dampak kompetisi
yang kecil dari harga integrator, perbedaan sederhana dalam pendapatan dapat
diterjemahkan ke dalam perbedaan substansial dalam laba bersih seluruh operasi.
Usaha budidaya yang saat ini banyak dilakukan adalah melalui sistem
kemitraan dan komersial farm dengan pengadaan sarana input (bibit, pakan, obat
dan vaksin) yang dilakukan oleh pihak inti atau perusahaan. Hasil panen dibeli
oleh pihak perusahaan melalui sistem kontrak berdasarkan kesepakatan. Industri
pascapanen menghasilkan produk seperti chicken nugget, sosis ayam, corned
chicken, roasted chicken, smoke chicken, chicken burger, dan lain-lain. Industri
ini hanya dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan menggunakan teknologi
yang sangat maju, dimana sebagian besar produk tersebut diserap oleh konsumen
dalam negeri, namun ada juga yang diekspor. Industri obat hewan juga
dilaksanakan oleh beberapa perusahaan di Indonesia, dimana sebagian besar
masih tergantung pada inovasi teknologi dan produk impor.
Indonesia telah mempunyai pengalaman lebih 30 tahun dalam membina
usaha ternak rakyat, namun perkembangannya mengalami stagnasi dan tetap
bermasalah. Peternak ayam rakyat dalam 25 tahun terakhir telah berkembang silih
berganti. Peternak rakyat yang kemarin telah jatuh pailit, sedangkan yang ada
sekarang tidak berkembang. Maka salah jika ada dugaan peternak rakyat yang ada
sekarang sudah berpengalaman 25 tahun dan mereka sekarang sudah mapan.
Peternak rakyat yang ada sekarang adalah peternak baru. Peternak rakyat, karena
mereka memiliki kemampuan modal yang rendah, tidak akan pernah menjadi
mapan secara sendiri-sendiri. Mereka hanya bisa menjadi mapan, jika mereka
bersatu dalam suatu organisasi yang mampu menghilangkan semua titik lemah
usaha kecil.
Saran didalam penerapan sistem kontrak, ada beberapa permasalahan yang
harus menjadi perhatian bagi semua pemangku kebijakan di industri broiler
terutama dalam melakukan pemberdayaan peternak rakyat. Permasalahan tersebut
antara lain terdapat kecenderungan perusahaan lebih berminat terhadap peternak
yang relatif berskala besar sehingga dengan demikian peternak kecil tidak
dilibatkan dalam proses pengembangannya lebih lanjut. Untuk meningkatkan
efisiensi dalam berusaha ternak, para peternak rakyat skala kecil disarankan untuk
bergabung dalam kelompok pemeliharaan atau bergabung dalam usaha bersama
(koperasi). Kunci keberhasilan dalam sistem kontrak antara lain adalah adanya
saling kepercayaan (trust), keterbukaan dan adanya modal sosial (kelembagaan)
yang kuat diantara perusahaan dan para peternak mitranya.
Performans Perusahaan Ayam Broiler
Perusahaan peternakan menurut Keputusan Menteri Pertanian No 362 tahun
1990 adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada
suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu, untuk tujuan komersial yang
meliputi kegiatan yang menghasilkan ternak serta usaha penggemukan suatu jenis
ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkan tiap jenis
ternaknya tidak melebihi dari jumlah yang ditetapkan untuk tiap jenis peternakan
rakyat.
101
Jika dilihat dari jumlah baik itu perusahaan yang terintegrasi, non-integrasi
dan peternak kecil, bisnis ayam broiler di Indonesia saat ini terdiri dari jumlah
pemain yang sangat besar. Namun, perusahaan yang beroperasi secara integrasi
hanya sedikit dan semakin mendominasi, diantaranya CPIN dan JPFA, yang
memiliki jalur bisnis mulai dari pembibitan DOC, pabrik pakan dan pengolahan.
Peternak biasanya membeli DOC dan pakan kepada perusahaan integrasi ini.
Beberapa pemain yang tidak terintegrasi hanya memiliki bisnis di pembibitan atau
di pembuatan pakan saja.
Charoen Popkhand Indonesia Tbk
Charoen Popkhand Indonesia Tbk (CPIN) didirikan pada tahun 1972 dan
bergerak dalam industri pakan ternak, peternakan dan pengolahan daging ayam.
Perusahaan merupakan PMA (Penanaman Modal Asing) dengan pemegang saham
terdiri dari PT. Central Proteinaprima, Royal Bank of Canada (Asia) Ltd., UBS
AG Singapura dan publik. Pada 2006 CPIN dan anak perusahaan CP Jaya Farm
membeli 100 persen saham PT. Centralavian Pertiwi. Centralavian Pertiwi
bergerak dalam bidang pembibitan DOC parent stock yang berlokasi di Subang,
Bogor dan Lampung. Transaksi ini untuk memperkuat posisi CP di bidang
agribisnis. Sementara itu, pengolahan daging ayam dilakukan oleh anak
perusahaan Charoen Pokphand Group yaitu PT. Primafood International. Seluruh
produk olahan ayam ini dikemas dan dipasarkan dengan merk Fiesta.
Saat ini CPIN memiliki 8 pabrik pakan ternak yang tersebar di Medan,
Bandar Lampung, Ancol (Jakarta), Balaraja, Semarang, Krian (Sidoarjo),
Sepanjang (Sidoarjo), dan Makassar. CPI juga memiliki empat pabrik pengolahan
daging (Rumah Potong Ayam), yakni di Cikande, Salatiga, Medan dan Surabaya.
Hingga saat ini total kapasitas produksi pakan ternak CPIN sekitar 4 juta
ton/tahun, yang diproduksi dari 7 pabrik. PT Charoen Phokphand membangun
industri pembibitan Daily Old Chicken (DOC) dengan total kapasitas produksi
DOC sekitar 607 juta ekor per tahun. Adapun total kapasitas produksi ayam
potong 105 ribu ton/tahun. Pangsa pasar CPIN di pasar modern diklaim 72 persen
dan di pasar tradisional 91 persen.
Sistem kemitraan di Grup CPIN yang dibangun mulai 1987 lebih kepada
penetapan harga kontrak. Skala usaha plasma minimal 5 000 ekor/peternak, plus
agunan sekitar 10 persen dari nilai sapronak dan surat perjanjian. Dengan pola
semacam itu, CPIN telah merektut ribuan peternak yang tersebar di Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan NTB.
Japfa Comfeed
Japfa Comfeed (JC) berdiri pada 1971 dan bergerak dalam bidang industri
pakan ternak. Saat ini pemegang saham JC terdiri dari Pacific Focus
Enterprises, Ltd., JP Morgan Chase Bank, Coutts Bank Von Ernst, Ltd., Rangi
Management Ltd., BNP Paribas Private Bank Singapore dan publik dengan
kepemilikan masing-masing kurang dari lima persen.
JC adalah salah satu perusahaan agrobisnis terintegrasi di Indonesia, saat ini
industri pakan ternak memiliki total kapasitas produksi 1.73 juta ton per tahun.
Sementara itu, peternakan bibit ayam yang dikelola oleh anak perusahaan, PT
Multibreeder Adirama Tbk, usaha aquakultur yang dikelola anak perusahaan, PT
102
Suri Tani Pemuka. Lokasi pabrik pakan ternak dan peternakan tersebar di
Lampung, Cirebon (Jawa Barat), Sidoarjo (Jawa Timur) dan Tangerang.
Cheil Jedang Feed Indonesia
CJ Feed Indonesia merupakan anak perusahaan Cheil Jedang dari Korea
Selatan yang mulai berbisnis di Indonesia pada 1989. CJFI mengoperasikan 2
perusahaan pakan (feed mill) yaitu PT. CJ Superfeed yang berdiri pada 1996 dan
PT. CJ Feed Jombang yang berdiri pada 2004. Pabrik pakan ternak ini masing-
masing berlokasi di Serang, Banten dan Jombang, Jawa Timur dengan total
kapasitas produksi 750 000 ton per tahun. Pakan ternak yang diproduksi CJ Feed
terdiri dari pakan broiler, layer, breeder, babi, puyuh, konsentrat dan udang untuk
melayani permintaan pelanggan yang berada di wilayah Jawa Barat, Jabodetabek,
Sumatera dan Kalimantan. Produk pakan ternak yang diproduksi CJS
menggunakan merk Superfeed.
Pada 1997 PT Cheil Jedang Feed Indonesia yang bergerak dalam industri
pakan ternak ayam yang diproduksi menggunakan merk Superfeed, mendirikan
PT. Super Unggas Jaya (PT. SUJ). PT. SUJ bergerak dalam industri peternakan
yang memproduksi DOC dengan kapasitas 20 juta ekor per tahun. Peternakan ini
berlokasi di Tutur, Jawa Timur. Produk DOC ini menggunakan merk Superchicks.
SUJ melakukan ekspansi dengan membangun lagi 9 unit peternakan ayam di
berbagai daerah termasuk Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Sehingga kini total
produksi DOCnya mencapai 54 juta ekor per tahun. CJ Feed menerapkan sistem
kemitraan dengan skala usaha peternak mitra minimal 4 000 ekor/peternak.
Syarat lainnya, tak jauh beda dengan produsen lain, saat ini peternak plasmanya
kini baru ada di Banten dan Jabar.
Malindo Feedmill
Pada awalnya bernama PT. Gymtech Feedmill Indonesia yang berdiri sejak
1998, kemudian nama perusahaan berubah menjadi Malindo Feedmill. Malindo
merupakan salah satu perusahaan milik keluarga Lau dari Malaysia yang
memperoleh pengarahan teknis perternakan ayam dan pakan ternak dari
perusahaan teratas di negara itu yaitu Leong Hup Holding Berhard dan Emivest
Bhd. Leong Hup Holding memiliki pangsa pasar mencapai 30 persen untuk
industri DOC di Malaysia. Sedangkan Emivest berpengalaman sebagai
perusahaan pakan ternak selama 15 tahun.
Malindo bergerak di bidang produksi dan penjualan pakan ternak dengan
kapasitas produksi 438 ribu ton per tahun. Malindo juga mengoperasikan
pembibitan dan distribusi DOC ras pedaging dan petelur. Melalui anak
perusahaannya, PT Bibit Indonesia mampu menguasai 6 persen pangsa pasar di
Indonesia. Saat ini, kapasitas produksinya mencapai 100 juta DOC per tahun.
Malindo membangun peternakan berkapasitas 18 juta DOC per tahun di
Pasuruan, Surabaya terdiri dari 2 area pembibitan dan satu area penetasan yang
mulai berproduksi pada pertengahan 2007. Pada pertengahan 2008, MF telah
membangun pabrik pakan ternak berkasitas 360 ribu ton per tahun berlokasi di
Kawasan Industri Modern Cikande, Banten.
103
Sierad Produce Tbk
Sierad Produce didirikan pada 1985 dengan nama PT Betara Darma Ekspor
Impor, merupakan hasil penggabungan dari empat perusahaan pada tahun 2001,
yaitu PT Anwar Sierad Tbk, PT Sierad Produce Tbk, PT Sierad Feedmill dan PT
Sierad Grains. Sierad Produce bergerak dalam bidang peternakan ayam bibit
induk untuk menghasilkan ayam niaga, pemotongan ayam dan pengolahan ayam
terpadu dengan cold storage. Selain itu SP juga bergerak dalam industri pakan
ternak, industri pengeringan jagung dan industri obata-obatan dan vitamin hewan.
Peternakan dan pabrik pengolahan tersebar di Tangerang, Bogor, Sukabumi,
Lampung dan Sidoarjo. Saat ini SP merupakan salah satu produsen pakan ternak
terbesar di Asia Tenggara.
Perusahaan yang berawal dari penjual telur eceran di pasar Jatinegara,
Jakarta Timur. Kemudian berkembang membangun Rumah Potong Ayam yang
terletak di jabaon, Jawa Barat ini merupakan yang terbesar di Indonesia, yang
memiliki kapasitas produksi 8 000 ekor per jam. Produk olahan ayam yang
dihasilkan dikemas dengan merk Delfarm.
Tahun 2009 SP membangun tiga pabrik baru di Magelang, Jawa Tengah.
Dengan tambahan pabrik baru tersebut SP peningkatan produksi ayam ternak
sebesar 420 ribu per minggu menjadi 2 juta per minggu. Sementara ayam petelur
diharapkan bisa mencapai 300 ribu per pekan. Pangsa pasar SP tercatat sebesar 7
persen untuk peternakan ayam berusia sehari (DOC) dan 7 persen untuk pasar
pakan ternak. Saat ini kapasitas produksi DOC sekitar 1.6 juta ekor per minggu.
Hingga saat ini Sierad Produce, misalnya telah mejalin kemitraan dengan
sekitar 1 000 peternakan rakyat yang tersebar di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Dari produksi DOC sebanyak 1.5 juta ekor per minggu, sekitar
900 ribu ekor yang diserap peternak mitra, sisanya dijual kepada peternak
mandiri. Sierad akan meningkatkan program kemitraan, dengan demikian semakin
banyak DOC yang terserap peternak mitra, sehingga akan meningkatkan utilisasi
produksi pakan ternaknya yang kini akan 55 persen.
Sementara itu, dalam memenuhi kebutuhan ayam potong di pasaran, pihak
asosiasi bersama dengan perusahaan peternakan serta pedagang ayam, selalu
mengkontrol jumlah populasi ayam yang disesuaikan dengan kemampuan daya
serap pasar agar harganya dapat stabil. Agar populasi ayam dapat dipantau adalah
dengan cara melakukan kontrol terhadap jumlah ayam berumur sehari (DOC)
yang dipasok oleh perusahaan peternakan untuk diternakkan.
Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler secara Deskriptif
Salah satu kesalahan kebijakan pada masa lalu adalah mendorong
pertumbuhan investasi pabrik pakan, baik PMDN maupun PMA dengan
mengambil lokasi Jawa Barat. Kebijaksanaan ini telah mendorong pertumbuhan
usaha rakyat di Jawa Barat pula. Padahal Jawa Barat bukanlah wilayah penghasil
butir-butiran pakan ternak yang utama seperti jagung, kedele, kacang tanah, dan
sebagainya. Namun diakui bahwa Jawa Barat sangat dekat dengan wilayah
konsumsi utama yaitu Jakarta. Pengalaman dalam beberapa tahun terakhir
memperlihatkan, bahwa peternak rakyat yang berlokasi di wilayah sentra produksi
bahan baku pakan tidak begitu terusik dengan masalah harga pakan dibandingkan
dengan peternak rakyat di Jawa Barat.
104
Pada 2010, data produksi broiler yang dihasilkan dari perusahaan
peternakan di Jawa Barat adalah 3 072 100 ekor dimana dihasilkan dari 37
perusahaan berbadan hukum. Sementara dari 132 usaha rakyat, dihasilkan
produksi broiler sebesar 1 408 301 (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2010).
Artinya usaha rakyat mengambil porsi sebesar 31.43 persen dari keseluruhan
produksi ayam broiler di Jawa Barat.
Berdasarkan data primer berupa data produksi ayam broiler di tingkat usaha
rakyat dan data survei perusahaan dari Badan Pusat Statistik, maka didapatkan
distribusi produksi ayam broiler di propinsi Jawa Barat. Distribusi produksi
tersebut berbentuk kurva yang dikenal dengan Kurva Lorenz. Kurva Lorenz
dipergunakan untuk mengukur dan membandingkan inequality dari perusahaan-
perusahaan di dalam industri. Selain itu dapat dihitung indeks Gini yang
mencerminkan ketimpangan di industri. Kurva Lorenz dan Indeks Gini
mengindikasikan tingkat kompetisi dalam suatu pasar dengan mengukur
inequality dalam distribusi ukuran dari perusahaan-perusahaan (Hart dan Prais,
1956 dalam Carlton dan Perloff, 2000).
Indeks Gini (koefisien Gini) adalah ukuran statistik yang diperoleh dari
Kurva Lorenz, yang terkait dengan pangsa kumulatif dari total nilai suatu variabel
(output, pendapatan, jumlah pekerja) terhadap angka atau persentase dari
perusahaan-perusahaan yang ada dalam suatu industri yang diurutkan meningkat
sesuai ukurannya. Jika kurva berbentuk lurus, seluruh perusahaan memiliki
ukuran yang sama, dan industri dapat dipandang sebagai completely
unconcentrated, mengindikasikan tingkat kompetisi yang tinggi di pasar.
Secara umum, distribusi dari produksi daging ayam broiler di propinsi Jawa
Barat kurang merata dimana terlihat bahwa kurva Lorenz menunjukkan deviasi
yang cukup besar terhadap garis diagonal. Artinya output terdistribusi kurang
merata dan industri ini dapat dipandang sebagai industri yang terkonsentrasi.
Gambar 17. Kurva Lorenz di industri broiler Jawa Barat tahun 2010
Perhitungan koefisien gini diperoleh angka sebesar 0.58 yang artinya
terdapat ketimpangan yang cukup besar di dalam distribusi output industri broiler.
Terlihat bahwa sekitar 78 persen usaha rakyat hanya menguasai output sebesar 31
persen dari keseluruhan produksi di industri broiler.
105
Berdasarkan kondisi peternakan unggas rakyat saat ini maka perlu adanya
upaya yang konkret dalam mengatasi distribusi ketimpangan ini. Tujuan awal
pemerintah mengembangkan usaha broiler ini adalah untuk mensejahterakan
peternak pada tingkatan usaha rakyat. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan
efisiensi usaha peternakan rakyat melalui kebijakan yang lebih terfokus pada
penggunaan teknologi bibit dan pakan bermutu serta penggunaan kandang
modern. Profesionalisme penyuluh peternakan juga perlu ditingkatkan. Hal ini
dimaksudkan agar para peternak lebih dapat menggunakan teknik budidaya ternak
dengan baik sehingga tingkat efisiensi usahaternak broiler dapat ditingkatkan.
Penyuluh tidak hanya sebagai petugas transfer teknologi namun juga sebagai
pendamping bagi peternak dalam proses produksi dan sebagai penghubung
peternak kepada pemerintah dan pelaku usaha besar.
Hingga kini industri broiler di dalam negeri masih didominasi oleh investor
asing. Produsen besar tersebut umumnya terintegrasi dengan industri pakan ternak
dan pengolahan produk ternak. Peternakan rakyat yang jumlahnya lebih banyak
dari pabrikan besar tersebut kini mulai tersingkir. Padahal sebelumnya peternakan
rakyat inilah yang sebelumnya menguasai pasar, namun kini menjadi
terpinggirkan. Hal ini disebabkan karena peternakan rakyat belum menggunakan
teknologi modern yang membutuhkan investasi besar.
Sebaran industri peternakan ayam berskala besar saat ini tersebar di
Indonesia terdapat di lima belas provinsi. Dikarenakan keterbatasan data maka
pada penelitian ini hanya delapan propinsi yang diteliti, berdasarkan produksi
daging ayam broiler terbesar di Indonesia. Selain itu juga berdasarkan
kelengkapan data, yaitu Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Barat (Sumbar), Jawa
Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), Banten, Kalimantan
Timur (Kaltim) dan Sulawesi Selatan (Sulsel). Jawa Barat tercatat sebagai
wilayah terbesar yang memproduksi daging ayam broiler dimana pada 2010
produksi daging ayam broiler sebesar 4 480 401 ekor. Sementara di wilayah Jawa
Timur dikenal sebagai sentra industri pakan ternak, demikian juga industri broiler
cukup besar di wilayah ini.
Berdasarkan data yang dihimpun dalam survei tahunan industri perunggasan
dari Badan Pusat Statistik, dikhususkan untuk industri broiler, dapat
diinformasikan beberapa data sehubungan dengan komponen Struktur, Perilaku
dan Kinerja Industri Broiler di Indonesia (Tabel 5).
Berdasarkan perbandingan pada tabel terlihat bahwa Jawa Barat merupakan
wilayah terbesar yang memproduksi daging ayam broiler dengan jumlah
perusahaan yang terbesar juga yaitu dengan 43 perusahaan (2011). Produksi yang
tinggi ini terkait dengan permintaan yang tinggi akan daging ayam broiler,
mengingat jumlah penduduk propinsi Jawa Barat merupakan yang tertinggi di
Indonesia. Sementara hambatan masuk terendah berada di Jawa Timur. Hal ini
diduga berkaitan dengan mudahnya memperoleh bahan baku pakan dimana Jawa
Timur merupakan sentra industri pakan ternak sebagaimana yang sudah
diungkapkan sebelumnya.
Berdasarkan pengamatan data di delapan propinsi, terdapat tiga propinsi
yang memiliki tingkat konsentrasi tinggi yaitu Sumatera Barat (75.75),
Kalimantan Timur (79.60) dan Sulawesi Selatan (83.76). Berdasarkan teori, nilai
konsentrasi penjualan empat perusahaan terbesar dikategorikan oligopoli apabila
konsentrasi industri mencapai 40 persen dan dikategorikan monopoli apabila
106
konsentrasi industri diatas 80 persen. Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka
akan semakin tinggi hambatan masuk dalam suatu industri. Konsentrasi industri
(Concentration Ratio- CR4), dikatakan tinggi jika nilai konsentrasi penjualan dari
empat perusahaan terbesar melebihi 70 persen dari total penjualan (Koch, 1980).
Ketiga propinsi ini juga memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk
melakukan integrasi vertikal di industri.
Tabel 6. Perbandingan masing-masing komponen Struktur, Perilaku dan Kinerja
di Industri Broiler (2009-2011) secara deskriptif
Indikator Terendah Tertinggi
Jumlah perusahaan di industri Sumatera Utara Jawa Barat
Produksi daging ayam broiler Sulawesi Selatan Jawa Barat
Konsumsi daging ayam broiler Sumatera Barat Jawa Barat
Hambatan masuk Jawa Timur Jawa Tengah
Harga daging ayam broiler Sumatera Utara Sumatera Barat
Konsentrasi industri (CR-4) Jawa Timur Sulawesi Selatan
Integrasi vertikal Sumatera Utara Sumatera Barat
Efisiensi biaya Sumatera Utara Sumatera Barat
Produktivitas tenaga kerja Banten Sumatera Barat
Tingkat keuntungan Sumatera Utara Kaltim, Sumbar
Kekuatan pasar Sumatera Utara Sumatera Barat
Sumber : BPS, 2011, diolah
Indeks integrasi tertinggi ada pada propinsi Sumatera Barat yaitu 16.32.
Hubungan searah antara konsentrasi dan integrasi terhadap kekuatan pasar dapat
dilihat disini dimana kekuatan pasar tertinggi ada pada propinsi Sumatera Barat
(0.71), diikuti oleh Sulawesi Selatan (0.62). Meskipun tingkat konsentrasi tidak
selalu mencerminkan kekuatan pasar, hal ini bisa dilihat di propinsi Kalimantan
Timur dimana secara rata-rata tingkat konsentrasi di tiga tahun berturut-turut
adalah 79.60 dan kekuatan pasar 0.54. Namun jika dilihat trendnya, tingkat
konsentrasi di Kalimantan Timur pada 2009 sebesar 77.24 persen dan memiliki
kekuatan pasar 0.53. Selanjutnya di tahun 2011 tingkat konsentrasi meningkat
menjadi 83.5 persen dan kekuatan pasar melonjak drastis menjadi 0.7. Hal ini bisa
jadi disebabkan karena masuknya pemain baru dengan strategi integrasi yang
mampu mengalahkan pesaing-pesaingnya. Ini terlihat dari meningkatnya indeks
integrasi vertikal di Kalimantan Timur pada tahun 2010 sebesar 7.75 menjadi
12.53 di tahun 2011.
Selanjutnya dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara integrasi vertikal
dan efisiensi dimana integrasi vertikal yang meningkat akan meningkatkan
efisiensi biaya. Perusahaan yang mampu berproduksi secara efisien dapat
mengalahkan pesaing-pesaingnya sehingga memiliki dampak anti-persaingan
pada harga dan output. Sementara jika dilihat hubungan antara kekuatan pasar dan
tingkat keuntungan terdapat korelasi positif, dimana peningkatan kekuatan pasar
akan meningkatkan tingkat keuntungan, begitu juga sebaliknya. Tingkat
107
keuntungan tertinggi perusahaan broiler ada di propinsi Kalimantan Timur dan
Sumatera Barat.
Industri yang memiliki konsentrasi yang tinggi artinya struktur pasarnya
mendekati struktur oligopoli dan monopoli, dimana ada beberapa perusahaan
tertentu yang menguasai pasar. Sedangkan dalam industri yang terkonsentrasi
rendah, peran pelaku usaha tidak ada yang dominan sehingga tingkat persaingan
menjadi lebih tinggi dibandingkan industri yang terkonsentrasi tinggi. Tingkat
konsentrasi di industri broiler dari tahun 2009-2011 di delapan propinsi di
Indonesia cukup bervariasi. Ada propinsi yang memiliki tingkat konsentrasi yang
sangat tinggi yaitu 86.26 (Sulsel-2011), dilain pihak ada propinsi yang memiliki
tingkat konsentrasi sedang yaitu 45.13 (Jateng-2009).
Tingkat konsentrasi juga berhubungan dengan jumlah perusahaan, dimana
umumnya apabila jumlah perusahaan banyak, maka tingkat konsentrasi rendah.
Namun hal ini tidak selalu demikian. Kehadiran hanya beberapa penjual atau
produsen di dalam pasar tidak berarti bahwa perilaku peserta pasar tersebut tidak
kompetitif. Propinsi Jawa Barat memiliki jumlah perusahaan broiler terbesar
dengan tingkat konsentrasi berkisar 53.05 persen dan jumlah perusahaan terbesar
kedua adalah Jatim dengan tingkat konsentrasi sebesar 48.31 persen. Hal ini
mengingat Jawa Timur sebagai sentra pakan ternak unggas sehingga struktur
pasarnya lebih bersaing dibandingkan Jawa Barat. Hal ini juga terlihat dari indeks
integrasi vertikal, dimana di Jawa Timur indeks integrasi rata-rata 6.24 dan di
Jawa Barat rata-rata 8.50. Hal ini membuktikan bahwa tidak selalu jumlah
perusahaan yang besar di industri dapat membuat situasi persaingan menjadi lebih
kompetitif. Banyak hal yang dapat membuat situasi menjadi lebih kompetitif atau
monopoli, diantaranya struktur pasar input di hulu (upstream) atau struktur pasar
pengolahannya di hilir (downstream).
Konsentrasi industri dan persaingan tidak sehat
Usaha peternakan ayam broiler adalah usaha peternakan yang paling
progresif, motor penggeraknya adalah perusahaan besar produsen bibit ayam
sehari (Day Old Chick, DOC) dan pakan yang merupakan inti dari teknologi
tinggi yang membuat industri ini terus berkembang amat pesat. Dapat dikatakan,
revolusi peternakan sudah berlangsung pada industri ayam broiler. Secara
intrinsik cabang-cabang usaha industri ini memiliki skala ekonomi (economies of
scale) dari ekonomi cakupan usaha (economies of scope) yang amat besar
sehingga perusahaan yang berkembang cenderung berskala besar dan terintegrasi
antar cabang usaha (konglomerasi). Oleh karena itulah usaha peternakan ayam
broiler didominasi oleh perusahaan besar. Selain itu, perusahaan berskala besar
dan terintegrasi telah menyebabkan struktur industri cenderung terkonsentrasi
tinggi sehingga rentan terhadap praktek persaingan tidak sehat.
Selama dekade ini, industri broiler di Indonesia semakin terkonsentrasi. Hal
ini terlihat dari meningkatnya CR-4 di tahun 2003 sebesar 50.26 persen, menjadi
54.81 persen di tahun 2012. Tujuh perusahaan dari sekitar 956 perusahaan broiler
di tahun 2003 menguasai 53.52 persen, dan sekarang di 2012 meningkat dari
sejumlah 184 perusahaan broiler yang tersebar di seluruh tanah air, tujuh
perusahaan tersebut menguasai sekitar 60.32 persen. Maka dapat diprediksi,
108
penguasaan pasar oleh perusahaan-perusahaan besar tersebut pada 2025 mencapai
70 persen.
Sumber : Badan Pusat Statistik (2013), diolah
Gambar 18. Pangsa pasar tujuh perusahaan broiler terbesar pada 2003 dan 2012
(dalam persen)
Semakin terintegrasi suatu perusahaan maka semakin baik posisinya dalam
bisnis sebagai hasil dari usaha yang efisien, lebih terdiversifikasi menyangkut
resiko usaha dan tingginya barriers to entry. Selain itu, kenaikan konsentrasi
secara positif berkorelasi dengan kekuatan pasar – kemampuan perusahaan yang
signifikan untuk mempengaruhi harga atau kuantitas di pasar. Konsentrasi dapat
menyebabkan efisiensi biaya atau inefisiensi biaya atau biaya netral. Ada atau
tiadanya efek efisiensi yang mampu mengimbangi atau memperkuat efek
kekuatan pasar sangat penting untuk kinerja sistem pangan. Dengan demikian,
konsentrasi dapat berdampak tidak hanya pada konsumen (sejauh bahwa tabungan
atau inefisiensi biaya yang diteruskan kepada mereka), tetapi juga pada daya saing
internasional dan profitabilitas perusahaan pengolahan makanan domestik (Lopez
dan Lirón-España, 2005)
Hasil perhitungan rasio konsentrasi industri broiler di Indonesia mengalami
peningkatan yang pelan namun pasti dimana pada 2003 CR-4 mencapai 50.26
persen dan pada 2012 meningkat menjadi 54.81 persen. Sementara hambatan
masuk industri (barriers to entry) juga cenderung meningkat dimana pada 2003
nilai MES mencapai 12.5 persen sementara di 2012 menjadi 13.7 persen (Gambar
19).
Bila dilihat dari rata-rata rasio konsentrasi, hambatan masuk dan market
power di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa struktur pasar broiler di
Indonesia cenderung mengarah ke pasar oligopoli atau monopoli (Sheperd, 1997).
Selain itu lanjut Sheperd, market power muncul jika pangsa perusahaan mencapai
15 persen dan dapat dikatakan monopoli jika mencapai 25 sampai 30 persen.
109
956 1067
1464
1867 1974 1956
129 138 151 159 184
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Hambatan Masuk
Rasio Konsentrasi
Jumlah Perusahaan
Sumber : Badan Pusat Statistik (2013), diolah
Gambar 19. Perkembangan rasio konsentrasi dan hambatan masuk di industri
broiler Indonesia
Perhatian utama sehubungan dengan konsentrasi adalah, hal ini bisa
mengurangi tingkat persaingan di pasar hasil pertanian dan produk pangan dan
menghasilkan kekuatan pasar (sebagai contoh, kemampuan perusahaan
mempengaruhi harga-harga), menempatkan pada posisi yang kurang
menguntungkan pada beberapa segmen penduduk, misalnya produsen atau
konsumen. Namun, konsentrasi bisa juga menghasilkan efisiensi, dimana terjadi
penghematan biaya yang diteruskan kepada konsumen melalui harga eceran yang
rendah, yang pada gilirannya dapat menghasilkan permintaan tambahan untuk
komoditas dan menguntungkan petani. Namun, lembaga ahli dan pemerhati
masalah industri umumnya sepakat bahwa konsentrasi kemungkinan akan
meningkat di masa depan, berpotensi meningkatkan kekhawatiran tentang
kekuatan pasar dan manipulasi harga komoditas dan pangan (Shields, 2010). Hal
ini dapat diindikasikan oleh perkembangan harga daging ayam yang meningkat
seiring peningkatan produksi ayam broiler dari waktu ke waktu (Gambar 20)
Sumber : Departemen Perdagangan, diolah Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2013
Gambar 20. Perkembangan produksi dan harga rata-rata broiler di Indonesia,
1998-2012
110
Peningkatan konsentrasi industri dapat terjadi melalui merger, akuisisi,
investasi, dan sarana lainnya. Dengan konsentrasi industri yang makin meningkat
dan tercapainya skala ekonomis, seyogianya efisiensi biaya meningkat dan harga
produk dapat turun, permintaan produk meningkat yang selanjutnya kesejahteraan
masyarakat akan meningkat pula. Namun kenyataannya harga daging ayam
broiler terus mengalami peningkatan. Hal ini diduga telah terjadi distorsi pasar
akibat struktur pasar yang oligopoli, namun untuk itu diperlukan data-data yang
lebih detil sehubungan dengan perilaku industri tersebut.
Berdasarkan pengamatan, sampai dengan tahun 2012, empat perusahaan
rangking atas adalah CPIN, Japfa, Patriot dan Cheil Jedang. Penghasil DOC,
pakan ternak, obat-obatan hanya ditangan sejumlah kecil perusahaan besar yang
sebagian diantaranya adalah perusahaan asing. Perusahaan ini selain
memproduksi dan mendistribusikan sarana produksi, mereka juga sekaligus
menampung hasil produksi peternak. Mereka juga memiliki slaughtering house
dan peternakan ayam sendiri (ranch). Mereka bahkan memiliki hubungan kuat
dengan pemakai daging ayam seperti restoran ayam goreng, termasuk industri
retail seperti supermarket dan hypermarket.
Konsentrasi empat perusahaan juga dapat dikaitkan dengan keuntungan
perusahaan. Suatu hasil penelitian yang diungkapkan oleh Jaya (2004) bahwa
terdapat koefisien sekitar 10 dengan tingkat keterpengaruhan yang lebih rendah.
Korelasi ini mencerminkan peranan kelompok oligopoli dalam menetapkan
keuntungan semua perusahaan yang ada di pasar. Bahkan konsentrasi 100 persen
menaikkan angka keuntungan hanya 10 persen saja. Salah satu penafsiran yang
mungkin yaitu bahwa konsentrasi bukanlah sumber utama kekuatan pasar, tapi
hanya merupakan jumlah deskriptif, yaitu jumlah pangsa dari perusahaan-
perusahaan terkemuka. Tiap-tiap perusahaan ini mencari keuntungan yang besar
atas dasar pangsa pasar masing-masing. Dapat juga kebalikannya, dimana strategi
penetapan harga secara bersama-sama yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan oligopolis masih bisa menjadi kekuatan yang utama dalam meraih
keuntungan.
Pada masa lalu integrasi horisontal dalam kartel baik kartel terang-terangan
maupun maupun yang sifatnya konspirasi diam-diam banyak terjadi. Kini sejak
dikeluarkannya Undang-Undang Anti Praktek Bisnis Tidak Sehat praktek
konspirasi horisontal telah jauh berkurang. Namun demikian persekongkolan
horisontal secara diam-diam tentu sulit dideteksi. Sering dirasakan indikasinya,
misalnya pada industri pakan ternak harga cenderung hampir sama (Iwantono,
2007).
Pada tanggal 5 Maret 1999 telah disahkan Undang-Undang No 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pertimbangan dikeluarkannya undang-undang ini antara lain bahwa setiap orang
yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan
wajar. Sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada
pelaku usaha tertentu. Tujuan pokok dari pembentukan undang-undang ini adalah:
(a) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (b)
Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama
bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; (c)
111
Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan (d) Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam
kegiatan ekonomi.
Esensi dari Undang-Undang No 5 Tahun 1999 :
1. Pelarangan terhadap Praktek monopoli yaitu pemusatan kekuatan ekonomi
pada satu atau lebih pelaku ekonomi, dimana mereka dapat mengontrol
produksi dan atau pemasaran barang dan jasa tertentu dengan cara-cara unfair
business competition dan berpotensi merugikan kepentingan publik.
2. Pelarangan terhadap perjanjian maupun tindakan kartel horisontal diantara para
pelaku usaha dalam bentuk pengaturan harga secara bersama-sama, pembagian
wilayah pasar, penciptaan barrier to entry, boycot dan tindakan unfair yang
merugikan konsumen maupun sesama pelaku bisnis yang lain.
3. Integrasi vertikal yang menimbulkan persaingan tidak sehat misalnya dengan
melakukan kontrol produksi dan atau pemasaran, penciptaan barrier to entry
perlakuan diskriminasi yang dapat merugikan baik konsumen maupun pelaku
usaha lain.
4. Perjanjian tertutup antar pelaku usaha yang mengatur misalnya harga jual
kembali, larangan untuk tidak menjual atau keharusan menjual kepada
pengusaha tertentu, atau penentuan persyaratan penjualan kembali yang dapat
menimbulkan persaingan tidak sehat.
5. Pelarangan terhadap penyalah gunaan posisi dominan.
6. Persekongkolan dan konspirasi dalam pelaksanaan tender
7. Pelarangan terhadap tindakan-tindakan yang bersifat predatory, terutama
predatory pricing.
8. Diskriminasi baik diskriminasi harga maupun diskriminasi perlakuan.
Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk Commission
for the Supervision of Business Competition (Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
KPPU) merupakan lembaga independen yang bebas dari pengaruh pemerintah
maupun pihak lain. Komisi memiliki 2 tugas pokok yaitu: 1) Kegiatan litigasi,
memeriksa, menuntut dan memutus perkara persaingan usaha tidak sehat; 2)
Memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah terhadap kebijakan
pemerintah yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU merupakan kuasi badan peradilan tingkat pertama untuk kasus-kasus
persaingan usaha tidak sehat. Putusan KPPU dapat di banding di Pengadilan
Negeri hingga kasasi di Mahkamah Agung. KPPU tengah melakukan kajian
mengenai beberapa struktur pasar di Indonesia yang diduga melakukan konspirasi
atau persekongkolan secara diam-diam. Undang-undang anti monopoli di
Indonesia tidak melarang struktur pasar yang monopsoni atau posisi dominan,
sepanjang mereka tidak melakukan abuse terhadap posisi tersebut melalui
tindakan yang dikategorikan “unfair business practice”. Pembuktian semacam itu
tentu tidak mudah.
Penjual/produsen agar mampu mempengaruhi harga dan agar daya tawar
menawarnya jadi bertambah, mereka harus bergabung, paling tidak dalam
pemasaran hasil produksi, antara lain melalui koperasi. Peternakan berkonsolidasi
untuk alasan yang sama bahwa agribisnis dan memang semua industri
berkonsolidasi. Alasan-alasan ini meliputi ketersediaan modal teknologi yang
besar dan mahal, yang akan mampu mengurangi biaya per unit output. Perusahaan
berkonsolidasi juga untuk mendapatkan keuntungan dari spesialisasi tugas.
112
Artinya, biaya yang lebih rendah dan efisiensi yang lebih tinggi dengan memiliki
spesialis di bidang masing-masing sistem manajemen, informasi, pemasaran,
keuangan, dan kegiatan kerah biru. Dengan masing-masing tujuan anggota
keluarga dalam perusahaan keluarga melakukan setiap tugas-tugas ini tidak akan
melakukannya dengan sangat efisien. Pembiayaan penelitian dan pengembangan
yang mahal, iklan di media nasional, menghadapi resiko, memenuhi peraturan
pemerintah (misalnya keamanan dan kualitas pangan, lingkungan), dan
mendapatkan akses ke pasar modal ventura nasional juga alasan untuk
menurunkan biaya per unit dengan memperluas ukuran melalui pertumbuhan
perusahaan atau konsolidasi.
Kadang-kadang, perusahaan memanfaatkan produksi dan pemasaran melalui
sistem kontrak daripada konsolidasi untuk mencapai economies of size. Koontz
dalam Tweeten (1989) menyatakan bahwa "Saya berpendapat bahwa sedikit
kontrak produksi telah muncul karena kekuasaan. Ini telah muncul untuk
menghasilkan produk yang lebih konsisten dengan sistem pengolahan murah dan
konsumen inginkan." Singkatnya, peternakan berkonsolidasi untuk mencapai
ukuran lahan yang ekonomis yang timbul dari teknologi dan bukan dari tekanan
(atau respon terhadap) konsentrasi agribisnis. Bahkan dalam kasus yang sangat
tidak mungkin bahwa sektor agribisnis kurang terkonsentrasi akan menaikkan
harga komoditas pertanian, peternakan keluarga belum tentu lebih baik nasibnya.
Manfaat dari harga yang lebih tinggi akan berdampak pada tawaran harga tanah
yang lebih tinggi dan akan membuat sulitnya masuk bagi beberapa operator
pertanian potensial. Harga komoditas yang lebih tinggi juga akan membawa lebih
banyak mesin, menggusur peternakan melalui konsolidasi.
Pasar input dan pemasaran hasil pertanian dalam banyak kasus adalah
oligopoli (beberapa penjual) atau oligopsoni (beberapa pembeli). Meskipun tidak
mungkin untuk menyimpulkan secara a priori bahwa oligopoli akan lebih atau
kurang efisien atau membayar lebih atau kurang untuk output pertanian daripada
banyak atau sedikitnya jumlah perusahaan, yang dapat mengaburkan struktur
pasar, kasus yang baik dapat disimpulkan bahwa oligopoli akan melahirkan
diferensiasi produk yang luas dan perbaikan teknologi. Pengeluaran besar untuk
iklan makanan dan mungkin menjadi salah satu alasan mengapa masalah gizi saat
ini menjadi kronis karena penduduk lebih banyak makan terlalu banyak daripada
yang terlalu sedikit (Tweeten, 1989). Meskipun terlalu banyak makan tidak
diinginkan secara sosial, hal itu memberikan keuntungan bagi petani dan peternak
sebagai produsen.
Permasalahan diatas hendaknya mendorong pengambil kebijakan untuk
lebih memperhatikan faktor kompetisi terkait kinerja pasar ayam broiler saat ini.
Selain tantangan yang dihadapi Indonesia berupa pasar global yang salah satunya
adalah pengaruh dari APEC, di mana ada 54 komoditi yang bebas bisa masuk ke
setiap negara. Namun, dari sekian banyak produk tersebut tidak satu pun yang
dimiliki oleh Indonesia, karena produk tersebut menganut komoditi ramah
lingkungan yang belum diterapkan di Indonesia sehingga mau tidak mau
Indonesia harus bekerja keras.
Mengingat kompleksnya faktor-faktor yang menentukan tingkat harga ayam
broiler dan daya saing produk, maka peningkatan stabilitas harga ayam broiler dan
daya saing harus dilakukan dengan pendekatan yang holistik (menyeluruh),
komprehensif dan terintegrasi, tidak parsial dan tidak egosektoral. Industri ayam
113
broiler saat ini, sekitar 85 persen komoditas ayam ras masih diperdagangkan
dalam bentuk hidup, sedangkan sekitar 15 persen diperdagangkan sebagai ayam
potong (slaughtered birds), chilled dan processed. Ke depan, permintaan
konsumen tidak hanya mengevaluasi produk berdasarkan atribut utama yaitu jenis
dan harga, namun akan menuntut atribut yang lebih rinci lagi seperti atribut
keamanan produk, nutrisi, nilai, pengepakan, lingkungan, dan kemanusiaan.
Bila berbagai masalah terkait perkembangan industri broiler tersebut tidak
ditangani, maka bukan tidak mungkin di masa yang akan datang daya saing
industri broiler di Indonesia akan merosot dan kalah bersaing dengan komoditas
dan produk olahan ayam yang berasal dari negara-negara tetangga. Terlebih,
sebentar lagi akan memasuki pasar tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN yang
membuat persaingan makin ketat dan tidak terelakkan dengan negara-negara
tetangga yang juga penghasil produk perunggasan. Sebaiknya dalam menghadapi
pasar global, perdagangan ayam hidup diarahkan kepada karkas dan daging beku,
bahan pakan impor secara bertahap disubsitusi menggunakan bahan lokal, adanya
perbaikan sistem logistik dan distribusi ayam hidup ke ayam beku yang ASUH
(Aman, Sehat, Utuh dan Halal) serta orientasi produk ke arah ekspor.
6 STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI BROILER DI
INDONESIA
Secara umum hasil pendugaan model analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja
Industri Broiler di Indonesia cukup baik jika dilihat dari kriteria ekonomi, statistik
dan ekonometrik. Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa hampir sebanyak
71.43 persen (10 persamaan) dari 14 persamaan struktural mempunyai nilai
koefisien determinasi (R2) berkisar 0.7013 – 0.9846. Artinya secara umum
kemampuan peubah-peubah penjelas untuk menjelaskan variasi nilai peubah
endogennya cukup tinggi. Sebaliknya peubah-peubah penjelas pada persamaan
jumlah perusahaan broiler, pangsa biaya pakan, produktivitas tenaga kerja dan
ketimpangan produksi belum mampu menjelaskan keragaman nilai peubah
endogennya secara baik, yaitu masih dibawah 70.0 persen. Arah dan besaran nilai
parameter dugaan semua peubah penjelas sesuai harapan, meskipun hasil uji t-
statistik menunjukkan masih ada beberapa peubah penjelas yang berpengaruh
tidak nyata pada taraf uji 15 persen.
Hasil pendugaan juga menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara
komponen struktur (structure), perilaku (conduct) dan kinerja (performance) di
industri broiler Indonesia. Perilaku integrasi vertikal dapat meningkatkan
konsentrasi industri (komponen struktur) atau sebaliknya dan dapat menciptakan
hambatan masuk. Selanjutnya integrasi vertikal berdampak terhadap
berkurangnya biaya per unit (komponen kinerja) yang artinya terjadi peningkatan
efisiensi di industri. Efisiensi berhubungan positif dengan kekuatan pasar
(komponen kinerja) dimana semakin efisien perusahaan maka pangsa pasarnya
makin besar sehingga kekuatan pasarnya semakin besar. Namun integrasi vertikal
114
berhubungan positif dengan harga dan harga yang meningkat akan meningkatkan
keuntungan. Tingkat keuntungan dan harga yang meningkat akan semakin
meningkatkan kekuatan pasar. Sehingga secara tidak langsung peningkatan
konsentrasi akibat meningkatnya integrasi berdampak terhadap peningkatan
kekuatan pasar.
Hasil Pendugaan Struktur, Perilaku dan Kinerja di Industri Broiler
Hasil pengolahan data analisis struktur, perilaku dan kinerja industri broiler
dapat dilihat selengkapnya di lampiran.
Komponen kondisi dasar industri broiler di Indonesia
Carlton dan Perloff (2000) menyatakan bahwa di dalam model pendekatan
SCP, New-Harvard Tradition, di mana masing-masing komponen berinteraksi
satu sama lain, misalnya, kinerja pasar tergantung pada perilaku pasar, perilaku
tergantung pada struktur pasar yang merupakan faktor yang menentukan
persaingan, selanjutnya struktur pasar tergantung pada kondisi dasar yaitu
permintaan dan produksi yang meliputi elastisitas permintaan, barang substitusi,
musim, tingkat pertumbuhan, lokasi, jumlah pesanan, metode belanja dan
teknologi, bahan baku, keseragaman produk, daya tahan barang, lokasi, skala
ekonomi dan lingkup ekonomi. Kebalikannya, kondisi dasar yang mempengaruhi
struktur pasar, struktur mempengaruhi perilaku dan kemudian perilaku
mempengaruhi kinerja, ketiga komponen ini dan kondisi dasar dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah.
Hasil pendugaan pada persamaan produksi daging ayam broiler domestik
menunjukkan bahwa semua peubah penjelas memberikan arah dan besaran nilai
parameter dugaan sesuai harapan dan mampu menerangkan secara baik (96.50
persen) keragaman nilai peubah endogennya kecuali harga input pakan. Hal ini
bisa dipahami karena meskipun harga input pakan naik misalnya, perusahaan
tetap melanjutkan produksi mengingat produk ayam broiler merupakan komoditi
hidup (live bird) yang harus terus dilanjutkan proses produksinya. Kandang yang
sudah terisi DOC sesuai kapasitas produksinya tetap membutuhkan asupan
makanan (pakan) yang didalam proses produksi ayam broiler, pakan merupakan
komponen pengeluaran terbesar yaitu berkisar antara 70-80 persen.
Selanjutnya, produksi daging ayam broiler dipengaruhi secara signifikan
oleh harga eceran ayam broiler, jumlah perusahaan broiler dan produksi broiler
yang dihasilkan perusahaan. Harga eceran broiler berhubungan positif dengan
produksi broiler domestik dimana harga eceran yang meningkat akan mendorong
produsen untuk meningkatkan produksinya dengan harapan akan mendapatkan
keuntungan lebih atas selisih harga dan biaya produksi. Hal ini sesuai hukum
penawaran yang bersifat positif dimana ketika harga meningkat jumlah barang
yang ditawarkan meningkat dan ketika harga turun jumlah barang yang
ditawarkan menurun McConnell dan Brue (1990). Peningkatan jumlah perusahaan
broiler dan produksinya akan signifikan meningkatkan produksi broiler domestik.
Hal ini mengingat sebagian besar (65 persen) produksi broiler domestik dihasilkan
115
oleh perusahaan. Sementara trend menunjukkan produksi daging ayam broiler
meningkat namun tidak signifikan selama periode penelitian 2009-2011.
Tabel 7. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi dasar di industri
broiler
No Variabel Lambang Koefisien Pr > | t | Elastisitas
Produksi Daging Ayam Broiler Domestik (PDAB)
1. Konstanta Intercept -330317 0.0620 -
2. Harga eceran broiler HDABR 8.509662 0.0833 1.3584
3. Jumlah perusahaan broiler JPAB 7355.853 <.0001 0.7909
4. Harga input pakan HPKNR 28.88879 0.1414 1.2143
5. Produksi broiler perusahaan PRODF 0.274686 0.0001 0.6276
6. Trend YEAR 8665.535 0.2872 -
R2 0.9650 DW 0.8380
Konsumsi Daging Ayam Broiler Domestik (DEMB)
1. Konstanta Intercept -191177 0.0189 -
2. Harga eceran broiler HDABR -2.83943 0.1002 -0.3447
3. Harga eceran d.sapi HDSPR 2.706981 0.1674 0.9105
4. Harga eceran ikan HDIKR 20.7128 <.0001 2.4249
5. Harga eceran telur ayam HTARR -22.2648 0.0013 -1.6883
6. P. Domestik Reg. Bruto PDRB 0.667227 <.0001 0.7806
7. Trend YEAR 22782.38 0.0006 -
R2 0.9846 DW 0.9833
Harga Eceran Broiler Domestik (HDABR)
1. Konstanta Intercept 30165.41 <.0001 -
2. Kekuatan pasar MPWR 2250.7 0.3816 0.0656
3. Harga input pakan HPKNR -3.01791 0.0002 -0.7947
4. Konsumsi broiler domestik DEMB 0.028552 0.3039 0.2305
5. Prod. broiler perusahaan PRODF -0.02393 0.1839 -0.3425
6. Harga bibit DOC HBBTR 0.586888 0.1009 0.1116
7. Trend YEAR -638.258 0.0940 -
R2 0.7029 DW 1.3933
Produksi daging ayam domestik dalam jangka pendek sangat respon
terhadap perubahan peubah-peubah penjelasnya terutama harga input dan
outputnya. Artinya, kebijakan perbaikan harga output maupun harga input
produksi ayam broiler domestik sangat efektif dalam mendorong produksi daging
ayam broiler domestik.
Konsumsi daging ayam broiler akan mengalami peningkatan yang
signifikan apabila terjadi peningkatan harga daging ikan dan tingkat pendapatan
domestik. Sebaliknya semakin tinggi harga daging ayam broiler dan harga telur
akan menurunkan secara signifikan konsumsi daging ayam broiler. Harga daging
sapi yang meningkat juga akan meningkatkan konsumsi ayam broiler, meskipun
116
tidak signifikan. Hal ini menunjukkan hubungan substitusi antara daging sapi dan
daging ikan dengan daging ayam, dan hubungan yang komplementer antara telur
dan daging ayam. Sementara trend menunjukkan konsumsi daging ayam broiler
meningkat signifikan selama periode 2009-2011 di kawasan ini. Hal ini terbukti
bahwa konsumsi daging ayam broiler cepat pulih setelah berlalunya krisis di
tahun 2008 dan dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya protein hewani demi menunjang kualitas sumber daya manusia.
Sejalan dengan temuan Priyanti et al. (1998) dan Ilham et al (2002) bahwa daging
sapi dan ikan merupakan barang substitusi bagi daging ayam, sementara telur
merupakan barang komplementer.
Tingkat pendapatan berhubungan positif dengan konsumsi broiler dan
signifikan. Dengan meningkatnya pendapatan maka terjadi trend diversifikasi
konsumsi pangan menuju produksi komoditas bernilai tinggi (high-value
production), pola pengeluaran makanan bergeser dari biji-bijian dan makanan
pokok ke sayur-mayur, buah, daging (sapi dan unggas), susu, telur dan ikan.
Permintaan makanan yang ready-to-cook dan ready-to-eat yang terbuat dari
daging ayam dan telur juga semakin meningkat, terutama di daerah perkotaan
(Daryanto, 2014). Hal ini didukung hasil perhitungan elastisitas permintaan
terhadap harga pada penelitian ini didapatkan angka -0.3447 yang artinya
permintaan daging ayam broiler kurang respon (in elastis) terhadap perubahan
harga, dimana apabila terjadi kenaikan harga daging ayam broiler sebesar 1 persen
maka akan menurunkan permintaan daging ayam broiler kurang dari 1 persen. Hal
ini menunjukkan kalau daging ayam broiler sudah menjadi kebutuhan pokok
masyarakat perkotaan saat ini.
Selanjutnya, permintaan daging ayam baik dalam jangka pendek sangat
respon terhadap perubahan harga ikan dan telur, namun kurang respon terhadap
perubahan harga daging sapi dan PDRB. Hal ini mengingat sudah semakin
tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani
dalam rangka mencerdaskan bangsa. Berbeda sedikit dengan hasil penelitian
Kariyasa dan Sinaga (2003), dalam jangka pendek dan jangka panjang permintaan
daging ayam hanya respon terhadap perubahan harga daging ayam itu sendiri,
harga telur dan pendapatan per kapita. Menurut Kariyasa dan Sinaga, daging ayam
merupakan barang normal dan bagi sebagian besar masyarakat masih termasuk
barang mewah. Begitu juga hasil penelitian Ilham et al. (2002) menginformasikan
bahwa daging ayam merupakan barang normal tapi belum termasuk barang
mewah.
Pada persamaan harga eceran daging broiler domestik, semua peubah
penjelas juga memberikan arah dan besaran nilai parameter dugaan sesuai harapan
dan mampu menjelaskan keragaman nilai peubah endogennya sekitar 70.29
persen kecuali peubah harga input pakan. Harga input semestinya berhubungan
positif dengan harga outputnya seperti hubungan antara peubah harga input bibit
dan harga eceran broiler. Namun seperti sebelumnya dijelaskan pada persamaan
produksi, maka hal ini bisa terjadi mengingat salah satu yang menentukan harga
output produk pertanian adalah gejolak harga bahan baku (Rusastra et al. 1990).
Sementara itu, dalam jangka pendek harga eceran daging ayam domestik
kurang respon terhadap perubahan semua peubah penjelas. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Kariyasa dan Sinaga (2003). Artinya, bagi peternak ayam atau
produsen daging ayam broiler domestik jangan ragu untuk meningkatkan produksi
117
karena tidak banyak berdampak terhadap turunnya harga daging ayam broiler
domestik. Demikian juga peternak tidak akan banyak menikmati adanya
perbedaan harga pada waktu permintaan normal dibanding ketika terjadi
peningkatan permintaan seperti pada hari raya Idul Fitri dan tahun baru.
Komponen struktur industri broiler di Indonesia
Struktur disini mengacu pada struktur pasar yang digambarkan sebagian
besar oleh konsentrasi penguasaan pasar didalam industri tersebut. Yang termasuk
dalam komponen struktur industri diantaranya jumlah perusahaan di industri,
konsentrasi industri, dan hambatan masuk industri (Tabel 8).
Tabel 8. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi struktur industri broiler
No Variabel Lambang Koefisien Pr > | t | Elastisitas
Jumlah Perusahaan Ayam Broiler (JPAB)
1. Konstanta Intercept -27.7055 0.0059 -
2. Rasio harga broiler/pakan RHDAB 3.540493 0.0351 1.7012
3. Konsumsi broiler domestik DEMB 0.000124 <.0001 1.4863
4. Tingkat keuntungan PROF 0.020373 0.1117 0.3968
5. Penambahan investasi DINV -0.42565 0.2254 -0.1241
R2 0.6929 DW 1.0176
Konsentrasi industri (RCON)
1. Konstanta Intercept 46.04805 <.0001 -
2. Produksi broiler domestik PDAB 0.000031 0.1711 0.0513
3. Konsumsi broiler domestik DEMB -0.0001 0.0031 -0.2134
4. Integrasi vertikal INTG 1.959208 0.0057 0.2889
5. Hambatan masuk MESH 0.716522 0.1414 0.1922
6. Produktivitas tenker PDTK -0.0143 0.0894 -0.0519
R2 0.8449 DW 1.4618
Hambatan Masuk Industri (MESH)
1. Konstanta Intercept -54.9558 0.0613 -
2. Konsentrasi industri RCON 0.16701 0.0307 0.6227
3. Biaya per unit COSU 58.33768 0.0420 1.9088
4. Kekuatan pasar MPWR 43.07141 0.1106 1.2346
5. Integrasi vertikal INTG 0.866149 0.0212 0.4762
R2 0.7013 DW 1.9554
Jumlah perusahaan di industri mengindikasikan tingkat persaingan dan
dipengaruhi secara signifikan oleh harga output, permintaan daging ayam broiler
dan tingkat keuntungan. Meningkatnya rasio harga daging ayam broiler terhadap
harga pakan akan meningkatkan secara signifikan jumlah perusahaan di industri.
Hal ini mengindikasikan adanya kemudahan dalam ”entry and exit” suatu
perusahaan dalam industri broiler dimana adanya tingkat keuntungan yang normal
dikarenakan naiknya harga dan permintaan yang meningkat akan menarik
118
investasi baru dalam industri. Namun peubah penambahan investasi tidak
memberikan dampak yang signifikan, meskipun tandanya sesuai harapan.
Investasi di usaha ayam ras pedaging (broiler) masih lebih kecil jika dibandingkan
dengan usaha ayam ras petelur. Selain itu umur pemeliharaan yang singkat (36 –
45 hari) pada ayam pedaging menyebabkan modal cepat kembali.
Jika dilihat dari nilai elastisitas, dalam jangka pendek, peubah-peubah
endogen yang merupakan komponen struktur, cukup respon terhadap perubahan
peubah-peubah penjelasnya. Hal ini terlihat pada peubah jumlah perusahaan di
industri yang sangat respon terhadap perubahan peubah harga output dan
permintaan daging broiler. Hal ini mengingat bahwa usaha broiler merupakan
usaha yang memiliki prospek sangat baik kedepannya, merupakan usaha yang
cukup mudah dan bisa diusahakan oleh siapa saja dengan tingkat pengembalian
modal yang cukup cepat jika dibandingkan dengan usaha unggas
lainnya.Sementara itu, hasil pendugaan pada persamaan konsentrasi industri
menunjukkan bahwa semua peubah penjelas memberikan arah dan besaran nilai
parameter dugaan sesuai harapan dan mampu menerangkan secara baik (84.49
persen) keragaman nilai peubah endogennya. Konsentrasi industri dipengaruhi
secara signifikan oleh peubah-peubah penjelasnya kecuali peubah produksi broiler
domestik, namun tandanya sesuai harapan. Konsentrasi industri memiliki
hubungan positif dengan peubah integrasi vertikal dan hambatan masuk. Artinya
semakin meningkat integrasi vertikal di perusahaan maka konsentrasi industri
semakin meningkat pula. Hal ini berhubungan dengan makin tingginya efisiensi
usaha terkait dengan adanya integrasi ini sehingga perusahaan besar yang
berintegrasi dapat dengan mudah meningkatkan pangsa pasarnya akibat
menurunnya tingkat persaingan sehingga tingkat konsentrasi akan meningkat.
Selanjutnya, konsentrasi industri berhubungan negatif dengan tingkat
konsumsi broiler dan produktivitas tenaga kerja. Konsentrasi atau derajat tingkat
konsentrasi mengacu pada kepemilikan atau kontrol proporsi yang besar dari
beberapa kumpulan atau aktivitas sumber daya ekonomi. Itu menunjukkan sejauh
mana produksi barang atau jasa tertentu terbatas pada beberapa perusahaan besar.
Meningkatnya permintaan daging ayam broiler akan direspon oleh usaha broiler
baik itu usaha rakyat utamanya lagi perusahaan besar. Semakin sedikit jumlah
perusahaan dan/atau lebih yang berbeda ukuran mereka, maka lebih terkonsentrasi
(dan kurang bersaing) pasar tersebut. Semakin banyak jumlah perusahaan dalam
industri maka penyebaran produksi akan semakin luas sehingga dapat
menurunkan rasio konsentrasi. Peningkatan jumlah perusahaan dalam industri
disebabkan oleh meningkatnya permintaan sehingga peningkatan permintaan akan
signifikan menurunkan rasio konsentrasi.
Konsentrasi industri dapat dikaitkan dengan perusahaan yang relatif lebih
sukses dan tingkat efisiensi yang meningkat dan mencapai skala ekonomis
(Demsetz,1974), dan perusahaan besar dengan pangsa pasar yang lebih aman bisa
lebih mungkin untuk berinovasi karena mereka akan lebih baik dalam menangkap
proses hasil (Schumpeter, 1947). Dari sudut pandang ini, konsentrasi dapat
berkontribusi lebih besar pada inovasi, produktivitas dan tingkat pertumbuhan
yang cepat. Di sisi lain, konsentrasi industri bisa juga (meski tidak harus)
menghasilkan penyalahgunaan kekuatan pasar, melemahkan motivasi untuk
inovasi (karena kurangnya kompetisi dari saingan), mencegah pendatang baru dan
melanggengkan keuntungan monopoli (Baumol, 1982; Scherer, 1980).
119
Selanjutnya, perusahaan yang lebih besar belum tentu lebih inovatif dari pada
yang lebih kecil dan kurangnya kompetisi juga bisa mencegah inovasi dan
ekspansi setelah skala tertentu tercapai. Kondisi ini dikombinasikan dengan
hambatan masuk untuk perusahaan baru pada akhirnya bisa mengurangi
kesejahteraan bersih meskipun manfaat awalnya ada di skala industri.
Selanjutnya, hambatan masuk merupakan kondisi di mana terdapat
halangan-halangan untuk masuk dan atau untuk keluar suatu industri. Jika tidak
terdapat halangan untuk masuk atau keluar, maka akan sulit bagi perusahaan yang
sudah berdiri untuk mempertahankan harga di atas biaya marginal dan
mendapatkan keuntungan (Church dan Ware, 2000).
Apabila dilihat dari hasil estimasi, hambatan masuk dipengaruhi secara
positif dan signifikan oleh konsentrasi industri, integrasi vertikal, efisiensi biaya
dan kekuatan pasar. Tingkat konsentrasi yang tinggi menunjukkan bahwa
sejumlah besar produksi barang atau jasa tertentu terbatas pada beberapa
perusahaan besar. Hal ini menyebabkan sulitnya bagi perusahaan dengan modal
pas-pasan untuk dapat bersaing. Selain itu beberapa perusahaan besar di industri
broiler melakukan integrasi dari hulu hingga ke hilir. Integrasi vertikal dapat
mendorong penggunaan biaya yang lebih efisien dikarenakan perusahaan
menyediakan sendiri input produksi dan menampung output produksi sendiri
sehingga sulit bagi investor yang ingin masuk dapat bersaing. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh (George et al. 1992), meskipun integrasi vertikal mungkin akan
mengurangi biaya terhadap transaksi di pasar, integrasi semacam ini dapat saja
memunculkan perusahaan yang memiliki kekuatan pasar yang sangat besar
dengan menciptakan hambatan masuk. Biaya per unit yang besar dapat menjadi
hambatan untuk masuk industri karena industri tergolong tidak efisien, bisa jadi
akibat biaya transaksi tinggi atau biaya lainnya.
Kemudian jika dilihat dari nilai elastisitas, dalam jangka pendek, hambatan
masuk industri sangat respon terhadap perubahan peubah biaya per unit dan
kekuatan pasar. Kekuatan pasar cenderung mengurangi tingkat efisiensi.
Ketiadaan persaingan yang ketat dapat mengurangi tekanan bagi produsen dalam
penggunaan sumber daya secara efisien. Sebagai hasilnya, kekuatan pasar yang
muncul dari konsentrasi industri dapat meningkatkan biaya produksi serta
mengurangi efisiensi ekonomi secara agregat.
Komponen perilaku industri broiler di Indonesia
Perilaku industri adalah bagaimana peserta pasar yaitu produsen, konsumen
dan lembaga pemasaran menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan
pembelian yang terjadi (Prasetyo, 2007). Perilaku industri tidak selamanya
konstan, selalu akan mengalami perubahan. Conduct (perilaku) mengacu pada
pola perilaku dari perusahaan dalam mengadopsi atau menyesuaikan diri dalam
pasar dimana mereka menjual produk (Carlton dan Perloff, 2000). Perilaku
merupakan strategi perusahaan dalam menghadapi persaingan yang mencakup
alokasi sumber daya finansial terutama berkaitan dengan biaya produksi dan
integrasi vertikal. Adapun komponen perilaku dalam penelitian ini mencakup
integrasi vertikal dan pangsa biaya pakan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 9.
120
Tabel 9. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku industri broiler
No Variabel Lambang Koefisien Pr > | t | Elastisitas
Integrasi Vertikal (INTG)
1. Konstanta Intercept -3.22855 0.3599 -
2. Jumlah perusahaan pakan JPIK -0.23841 0.4153 -0.0554
3. Produksi broiler domestik PDAB 4.026E-6 0.3870 0.0452
4. Produktivitas tenaga kerja PDTK 0.006182 0.0102 0.1522
5. Konsentrasi industri RCON 0.177627 0.0015 1.2045
R2 0.7716 DW 1.1089
Pangsa Biaya Penggunaan Pakan (SCPK)
1. Konstanta Intercept 50.37712 0.0031 -
2. Harga riil pakan HPKNR 0.008418 0.0174 0.4676
3. Integrasi vertikal INTG -0.93963 0.0147 -0.1106
4. Pangsa biaya lainnya SCOT -1.18332 0.0311 -0.0550
5. Konsumsi broiler domestik DEMB 0.00003 0.1846 0.0511
6. Jumlah perusahaan broiler JPAB 0.074885 0.6459 0.0106
R2 0.6550 DW 2.2484
Integrasi vertikal didefinisikan sebagai orang atau bisnis yang memiliki dua
tahap yang berdekatan dalam sistem produksi dan pemasaran. Sebagai contoh,
seorang prosesor yang memiliki tanaman dan lahan akan terintegrasi secara
vertikal. Demikian pula, koperasi produsen memiliki dan mengoperasikan pabrik
pengolahan dikatakan terintegrasi secara vertikal (Hayenga et al. 2000). Strategi
integrasi vertikal banyak dilakukan oleh perusahaan untuk memenangkan
persaingan. Di sisi lain integrasi vertikal juga dapat menghilangkan persaingan.
Hasil pendugaan pada persamaan integrasi vertikal menunjukkan bahwa semua
peubah penjelas memberikan arah dan besaran nilai parameter dugaan sesuai
harapan dan mampu menerangkan secara baik (77.16 persen) keragaman nilai
peubah endogennya. Pada persamaan integrasi vertikal ini, peubah konsentrasi
industri dan produktivitas tenaga kerja menunjukkan hubungan positif yang
signifikan sampai pada taraf 5 persen. Artinya, peningkatan konsentrasi industri
dan produktivitas tenaga kerja akan meningkatkan integrasi vertikal. Hal ini
mudah dilakukan oleh industri yang terkonsentasi tinggi untuk mengurangi
tingkat persaingan di industri melalui integrasi vertikal. Strategi integrasi vertikal
banyak dilakukan oleh perusahaan untuk memenangkan persaingan (Hayenga et
al. 2000). Dengan integrasi vertikal, perusahaan dapat menghilangkan persaingan
baik di hulu maupun di hilir. Hal inilah yang menyebabkan peubah jumlah
perusahaan pakan berhubungan negatif dengan integrasi. Selain itu, perusahaan
makin kuat posisinya di industri terkait efisiensi, sehingga produktivitas tenaga
kerja akan meningkatkan integrasi.
Komponen berikutnya dari perilaku adalah pangsa biaya pakan. Pada usaha
budidaya ayam broiler, biaya pakan menempati porsi terbesar atau mencapai 70-
80 persen dari total biaya produksi. Produksi pakan nasional jelas berhubungan
121
dengan permintaan akan produk ayam broiler. Produksi pakan nasional meningkat
sepanjang periode 2004-2008 dengan pertumbuhan sebesar 8 persen dari 5.98 juta
ton di 2004 menjadi 8.15 juta ton di 2008.
Perilaku produksi seperti ini jelas akan berpengaruh terhadap alokasi
sumber daya finansial terutama berkaitan dengan biaya produksi. Pangsa biaya
pakan lebih dipengaruhi oleh harga pakan, pangsa biaya lainnya dan integrasi
vertikal dibanding perubahan jumlah perusahaan dan permintaan ayam broiler.
Peningkatan harga pakan akan meningkatkan secara signifikan pangsa biaya
pakan dan sebaliknya jika pangsa biaya lainnya meningkat maka pangsa biaya
pakan akan mengalami penurunan secara signifikan. Harga pakan yang meningkat
akan meningkatkan pangsa biaya pakan, hal ini dikarenakan input pakan
merupakan input utama dalam produksi ayam broiler. Sementara integrasi
vertikal berhubungan negatif dengan pangsa biaya pakan. Integrasi vertikal dapat
mendorong biaya produksi menjadi rendah dikarenakan perusahaan broiler
memiliki hubungan dengan perusahaan di sektor hulu yaitu pabrik pakan,
sehingga pangsa biaya pakan menjadi lebih rendah.
Jika dilihat dari nilai elastisitas, dalam jangka pendek, peubah-peubah
endogen yang merupakan komponen perilaku, kurang respon terhadap perubahan
peubah-peubah penjelasnya. Hanya peubah integrasi vertikal yang sangat respon
terhadap perubahan peubah biaya per unit. Hal ini tentunya apabila terjadi gejolak
harga bahan baku pakan di pasaran, yang akan diuntungkan adalah perusahaan
yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Komponen kinerja industri broiler di Indonesia
Kinerja industri broiler mencakup harga jual, biaya per unit dan
produktivitas tenaga kerja pada Tabel 10. Sementara tingkat keuntungan,
kekuatan pasar dan ketimpangan struktur produksi pada Tabel 11.
Penetapan harga dalam pasar broiler menggunakan pendekatan biaya
produksi dimana harga broiler ditentukan oleh biaya ditambah margin untuk
perusahaan. Makin tinggi biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk suatu barang
maka makin tinggi harga yang ditetapkan oleh perusahaan tersebut. Didalam
usaha broiler, pakan menempati urutan pertama dalam penggunaan input, diikuti
oleh bibit DOC, tenaga kerja, peralatan dan obat-obatan. Dari hasil estimasi
faktor-faktor yang mempengaruhi harga jual broiler perusahaan terlihat bahwa
harga input pakan dan bibit DOC berhubungan positif namun tidak signifikan
terhadap harga jual.
Harga pakan dan bibit DOC yang rendah akan mendorong perusahaan untuk
membeli bibit lebih banyak sehingga jumlah pemeliharaan lebih banyak dengan
harapan biaya lebih efisien dan selanjutnya dapat menjual harga broiler dengan
lebih murah. Bibit ayam yang lebih banyak tentu membutuhkan lebih banyak
asupan makanan (pakan) sehingga meningkatkan permintaan pakan. Permintaan
pakan yang tinggi akan menyebabkan harga pakan naik. Permintaan pakan yang
tinggi tidak dapat serta merta dipenuhi oleh perusahaan pakan mengingat
kapasitas produksi dari feed mill sudah tertentu dan untuk menambah kapasitas
mesin dibutuhkan waktu dan modal yang besar. Selain itu industri pakan
Indonesia masih membutuhkan bahan baku impor dalam komposisi input pakan
diantaranya bungkil kedele dan tepung ikan. Hal inilah yang menyebabkan harga
122
input pakan melonjak naik dan selanjutnya diikuti oleh kenaikan harga jual
broiler.
Tabel 10. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri broiler
No Variabel Lambang Koefisien Pr > | t | Elastisitas
Harga Jual Broiler Perusahaan (HABPR)
1. Konstanta Intercept 3228.563 0.4779 -
2. Konsentrasi industri RCON 11.95296 0.8485 0.0605
3. Konsumsi broiler domestik DEMB 0.013509 0.0162 0.1458
4. Harga input pakan HPKNR 0.390864 0.5739 0.1376
5. Harga input bibit HBBTR 0.16468 0.6747 0.0419
6. Integrasi vertikal INTG 591.4382 0.0013 0.4411
7. Trend YEAR -532.249 0.1799 -
R2 0.7664 DW 1.2017
Biaya per Unit (COSU)
1. Konstanta Intercept 0.683887 0.0001 -
2. Jumlah perusahaan pesaing JPES -0.00106 0.5233 -0.0196
3. Prod. Broiler perusahaan PRODF 3.123E-7 0.1261 0.1346
4. Integrasi vertikal INTG -0.0256 0.0061 -0.4302
5. Produktivitas tenker PDTK -0.00009 0.3485 -0.0372
6. Konsentrasi industri RCON 0.001048 0.6672 0.1194
R2 0.8485 DW 1.9982
Produktivitas Tenaga Kerja (PDTK)
1. Konstanta Intercept -1740.2 0.0582 -
2. Upah riil WAGR 0.002445 0.0984 7.9585
3. Rasio harga broiler/pakan RHDAB 64.66432 0.1098 1.5239
4. Konsentrasi industri RCON -1.39919 0.7757 -0.3855
5. Integrasi vertikal INTG 46.50949 0.0136 1.8896
6. Trend YEAR -275.275 0.0683 -
R2 0.6244 DW 1.9173
Permintaan barang atau jasa yang meningkat akan meningkatkan harga
barang tersebut dan sebaliknya produksi barang dan jasa yang meningkat akan
menurunkan harga barang atau jasa tersebut, ceteris paribus. Permintaan atau
tingkat konsumsi yang meningkat dari ayam broiler akan mendorong harga jual
meningkat secara signifikan sehubungan dengan makin tingginya kesadaran
masyarakat akan pentingnya protein hewani dalam mencerdaskan bangsa.
Konsentrasi industri berhubungan positif dengan harga jual broiler
perusahaan meskipun tidak signifikan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
Lopez dan Lirón-España (2005) di 35 industri pengolahan makanan di Amerika
Serikat. Hasilnya menunjukkan, di hampir 50 persen industri, peningkatan
konsentrasi industri di pasar menyebabkan penurunan harga, meskipun efek
konsentrasi signifikan secara statistik hanya 20 persen dari industri yang
dianalisis. Pada 43 persen dari industri, dampak dari konsentrasi pada harga
123
output secara statistik tidak terlihat. Namun, di 37 persen dari industri, pengaruh
konsentrasi terhadap harga adalah positif dan signifikan secara statistik, seperti
yang diharapkan konvensional. Sebaliknya berlaku untuk industri yang sangat
terkonsentrasi, dimana kenaikan lebih lanjut dalam konsentrasi menyebabkan
kenaikan harga. Merujuk pada hasil penelitian Tostao dan Chung (2005), bahwa
peningkatan konsentrasi dan konsolidasi (termasuk didalamnya integrasi) di
industri pengemasan daging sapi menghasilkan penurunan yang signifikan pada
harga.
Namun dari hasil estimasi SCP di industri broiler, integrasi vertikal
memiliki memiliki hubungan positif dan sangat signifikan dengan harga jual
perusahaan, dimana apabila integrasi vertikal meningkat maka harga jual ikut
meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa integrasi vertikal yang dijalankan di
industri broiler merupakan integrasi semu, dimana semestinya dengan integrasi,
usaha menjadi lebih efisien dan harga produk menjadi rendah. Hal ini disebabkan
karena perusahaan peternakan terbagi dalam unit-unit industri yang terpisah yang
pada masing-masing unit perusahaan terdapat margin pemasaran. Kemudian juga
struktur perusahaan peternakan yang melakukan integrasi vertikal adalah
perusahaan yang oligopolistik, yang bagi perusahaan akan lebih menguntungkan
melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis dari pada melakukan perang harga
(Yusdja et al. 2004).
Alasan masuk akal lainnya seperti yang diungkapkan Dicks (2010) dalam
penelitiannya di industri unggas bahwa koordinasi vertikal memungkinkan
integrator untuk mengelola kelebihan kapasitas untuk mengelola harga. Integrator
dapat meminimalkan efek pada produsen dengan meningkatkan waktu antara
pengumpulan dan pengiriman ayam atau mengurangi jumlah ternak per tahun. Hal
ini dilakukan untuk mempertahankan tingkat pasokan yang dapat mengurangi
harga ke tingkat yang tidak berkelanjutan bahkan dalam jangka pendek. Karena
sifat elastis dari penawaran dan permintaan, pengurangan pasokan akan
memberikan hasil yang lebih disukai untuk industri daripada menjaga pasokan
dengan harga yang lebih rendah.
Sama seperti persamaan harga eceran, dalam jangka pendek harga jual
broiler perusahaan kurang respon terhadap perubahan semua peubah penjelas.
Artinya, bagi perusahaan daging ayam broiler jangan ragu untuk meningkatkan
produksi karena tidak banyak berdampak terhadap turunnya harga daging ayam
broiler ditingkat perusahaan. Kondisi dimana permintaan yang semakin
meningkat akan memberikan keuntungan bagi segmen produsen budidaya dan
konsumen akhir, dimana demand creates supply akan menjadikan usaha menjadi
efisien dan dampak akhirnya harga produk menjadi rendah. Secara agregat, pada
rentang waktu penelitian ini harga jual produk ayam broiler perusahaan secara riil
mengalami penurunan namun tidak signifikan. Sedikit agak berbeda dengan
persamaan harga eceran dimana trend menunjukkan penurunan harga eceran
secara signifikan, maka hal ini mengindikasikan bahwa perubahan faktor-faktor
penentu harga sangat berpengaruh pada usaha rakyat sementara di tingkat
perusahaan tidak begitu berpengaruh. Kecenderungan utama di pasar oligopoli
adalah adanya persamaan harga dan ciri-ciri produk yang sama pada semua
perusahaan. Persamaan harga dalam oligopoli ketat hanyalah satu sisi dari
kecenderungan yang mendasar (Jaya, 2004).
124
Kinerja berikutnya adalah biaya per unit. Biaya per unit menunjukkan
efisiensi dari segi biaya dan sangat signifikan dipengaruhi oleh integrasi vertikal.
Integrasi vertikal dapat mengurangi marjin pemasaran sehingga biaya di luar
produksi daging ayam broiler dapat ditekan. Williamson (1974) dalam Bhuyan
(2005), berpendapat bahwa integrasi vertikal menciptakan efisiensi dengan
mengurangi biaya transaksi terkait dengan pertukaran (market exchange).
Ditambahkan oleh Klein et al. (1978), perusahaan terintegrasi akan mampu
mengurangi inefisiensi alokatif dengan melakukan diversifikasi resiko,
memastikan penawaran atau pasar, menangkap peluang atau skala ekonomis,
menginternalkan eksternalitas di produksi, penentuan harga dan keputusan pasar.
Selanjutnya peubah yang signifikan mempengaruhi biaya per unit pada taraf
15 persen adalah produksi broiler perusahaan. Produksi broiler perusahaan
berhubungan positif dengan biaya per unit, yang artinya produksi perusahaan
meningkat maka biaya per unit ikut meningkat. Struktur industri broiler yang
dicirikan dengan mudahnya entry and exit sehubungan dengan tingkat permintaan
yang tinggi dan tingkat keuntungan normal akan menarik minat investor untuk
masuk industri menyebabkan meningkatnya jumlah perusahaan, yang selanjutnya
meningkatkan permintaan input, harga-harga input juga naik sehingga biaya
produksi ikut naik. Hal ini seperti yang disampaikan Gopinath et al. (2002)
bahwasanya suatu industri dengan kondisi keseimbangan simetris dengan bebas
masuk dan keluar adalah bahwa tingkat rata-rata pertumbuhan dalam pengurangan
biaya dalam industri berbanding terbalik dengan jumlah perusahaan. Jumlah
produksi perusahaan terkait dengan jumlah perusahaan. Sementara tingkat rata-
rata pertumbuhan dalam pengurangan biaya berhubungan secara langsung dengan
aktivitas inovasi (penciptaan) dan pengetahuan. Inovasi dapat diwakilkan oleh
peubah produktivitas tenaga kerja dalam jangka pendek, sehingga secara langsung
produktivitas tenaga kerja akan mempengaruhi biaya per unit.
Produktivitas digunakan untuk mengukur efisiensi pada penggunaan input.
Produktivitas tenaga kerja tersebut pada dasarnya menandakan perubahan pada
teknologi, efisiensi teknis dan alokatif, serta utilisasi kapasitas produksi.
Perhitungan produktivitas tenaga kerja (PDTK) pada penelitian ini dilakukan
dengan berdasarkan pada perhitungan yang dilakukan Jayanthakumaran (1999)
yaitu membagi nilai tambah pada harga konstan dengan jumlah tenaga kerja pada
sektor industri. Produktivitas tenaga kerja dapat mewakili tingkat inovasi, baik
jenis produk maupun prosesnya.
Hasil pendugaan pada persamaan produktivitas tenaga kerja menunjukkan
bahwa semua peubah penjelas memberikan arah dan besaran nilai parameter
dugaan sesuai harapan dan mampu menerangkan secara cukup baik (62.44 persen)
keragaman nilai peubah endogennya. Upah yang meningkat, harga output yang
meningkat dan integrasi vertikal yang meningkat, akan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja secara signifikan sampai pada taraf 15 persen. Integrasi
vertikal menciptakan efisiensi yang selanjutnya akan meningkatkan keuntungan
usaha. Keuntungan usaha dapat menjadi sumber pertumbuhan untuk berinovasi.
Hasil analisis terlihat bahwa konsentrasi memiliki hubungan negatif dengan
produktivitas tenaga kerja, meskipun tidak signifikan. Alasan tradisional untuk
pengaruh konsentrasi pada inovasi adalah "creative destruction" Schumpeter
yang menunjukkan bahwa pasar yang kompetitif adalah sangat cocok untuk
alokasi sumber daya statis, tetapi perusahaan besar di pasar yang terkonsentrasi
125
adalah sumber ekspansi jangka panjang dari output. Artinya, keuntungan
tambahan dari meningkatnya harga atas biaya marjinal menyediakan sumber daya
untuk inovasi. Namun, seperti Cohen dan Levin (1989) mencatat, konsentrasi
pasar merupakan salah satu sumber inovasi, sementara yang lain seperti kondisi
struktur permintaan, peluang teknologi dan kondisi kesesuaian sama-sama
penting.
Sejalan dengan pendapat Jayanthakumaran (2002), bahwa konsentrasi
industri diduga memiliki hubungan negatif dengan produktivitas. Hal ini
dikarenakan apabila semakin rendah rasio konsentrasi suatu industri maka
semakin besar persaingan yang terjadi pada industri tersebut. Dengan
meningkatnya persaingan maka perusahaan akan cenderung terdorong untuk
bertindak efisiensi dengan berupaya menurunkan biaya produksi dan
meningkatkan teknologi. Sedangkan pertumbuhan output berdampak pada
meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Hubungan tersebut dibuktikan oleh
Verdoorn pada tahun 1949, yang kemudian dikenal dengan “Verdoorn’s Law”.
Metode utama dibelakang hubungan tersebut adalah perluasan output akan
menciptakan skala ekonomis, dimana skala ekonomis merupakan salah satu
keuntungan utama dalam suatu usaha. Hal ini dikarenakan skala ekonomis akan
menciptakan kesempatan yang lebih baik untuk berspesialisasi, berproduksi
dengan skala besar dan meningkatkan efisiensi. Oleh karena itu, pertumbuhan
output akan berdampak positif pada produktivitas tenaga kerja.
Kemudian jika dilihat dari nilai elastisitas, dalam jangka pendek,
produktivitas tenaga kerja sangat respon terhadap perubahan peubah upah, harga
eceran broiler dan integrasi vertikal. Sementara itu sejalan dengan tingkat harga
broiler, tingkat produktivitas tenaga kerja makin menurun selama rentang waktu
penelitian ini.
Selanjutnya akan dibahas hasil pendugaan kinerja berikutnya yaitu tingkat
keuntungan, kekuatan pasar dan ketimpangan produksi (Tabel 11). Profitabilitas
menunjukkan tingkat keuntungan per unit dan merupakan persentase selisih harga
dan biaya per unit produksi terhadap biaya. Tingkat keuntungan akan meningkat
signifikan jika produktivitas tenaga kerja semakin besar. Sementara itu,
peningkatan pangsa biaya operasional usaha, akan menurunkan tingkat
keuntungan. Artinya perusahaan yang dapat menekan biaya operasional sekecil
mungkin akan memperoleh keuntungan yang lebih besar dikarenakan selisih
antara harga broiler dan biaya menjadi lebih besar sehingga tingkat keuntungan
makin besar (Riordan dan Salop, 1995).
Angka keuntungan yang tinggi dapat mencerminkan tingginya efisiensi
perusahaan. Dapat juga disebabkan oleh adanya daya inovasi produk yang lebih
baik. Efisiensi dan inovasi bersama-sama dengan kekuatan pasar adalah
kombinasi yang solid bagi perusahaan untuk mendapatkan tingkat keuntungan
yang tinggi (Jaya, 2004). Penguasaan pasar dapat dilihat dari porsi volume
produksi perusahaan terhadap produksi suatu kawasan. Perbedaan ini belum
mengindikasikan keuntungan riil perusahaan karena jika dilihat juga dari sisi
volume produksi maka keuntungan total perusahaan skala besar akan lebih tinggi.
Hal ini diduga karena perusahaan skala besar dengan kemampuan modal lebih
kuat dalam menghadapi persaingan akan cenderung untuk mengejar keuntungan
total dengan menjual ouput dengan harga lebih rendah untuk mendorong
peningkatan volume penjualan.
126
Ternyata pada penelitian ini, konsentrasi berhubungan positif dengan
profitabilitas namun tidak signifikan. Berdasarkan hasil penelitian Resende (2005)
dan Sheperd (1997) terdapat hubungan positif antara konsentrasi dan
profitabilitas. Semakin besar penguasaan pasar (market share), semakin kecil
tekanan bersaing perusahaan tersebut. Ini berarti bahwa kekuatan pasar yang
dimiliki perusahaan untuk menentukan harga dan output semakin bertambah.
Dengan bertambahnya kemampuan perusahaan untuk menentukan harga dan
output akan berdampak pada meningkatnya tingkat keuntungan yang diterima
perusahaan.
Tabel 11. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri broiler
(lanjutan)
No Variabel Lambang Koefisien Pr > | t | Elastisitas
Tingkat Keuntungan (PROF)
1. Konstanta Intercept -71.3947 0.7237 -
2. Pangsa biaya operasional SCOP -26.1857 0.0190 -0.9502
3. Jumlah perusahaan pesaing JPES -0.32166 0.9100 -0.0151
4. Konsentrasi industri RCON 1.655753 0.6672 0.4776
5. Produktivitas tenker PDTK 0.912869 0.0030 0.9557
6. Ketimpangan produksi GAP 83.70797 0.0585 0.8577
R2 0.7569 DW 2.9150
Kekuatan Pasar (MPWR)
1. Konstanta Intercept 0.900537 <.0001 -
2. Harga riil broiler HDABR 8.844E-6 0.0136 0.3040
3. Konsentrasi industri RCON 0.000379 0.5105 0.0493
4. Produktivitas tenker PDTK -0.00008 0.0253 -0.0378
5. Biaya per unit COSU -1.02181 <.0001 -1.1700
6. Jumlah perusahaan pesaing JPES -0.00008 0.8443 -0.0017
R2 0.9767 DW 2.4484
Ketimpangan Struktur Produksi (GAP)
1. Konstanta Intercept -4.50166 0.0024 -
2. Konsentrasi industri RCON 0.069869 0.0001 1.9669
3. Produktivitas tenker PDTK -0.00014 0.8705 -0.0143
4. Rasio harga broiler/pakan RHDAB 0.38968 0.0389 0.9383
5. Trend YEAR 0.128658 0.5399 -
R2 0.6992 DW 1.2388
Kinerja selanjutnya dari perusahaan dalam industri broiler dapat dilihat dari
kekuatan pasar (market power) dengan menghitung Lerner Index. Kekuatan pasar
adalah kemampuan suatu perusahaan untuk mempengaruhi dengan kuat kuantitas
dan harga di pasar. Kekuatan pasar muncul jika pangsa perusahaan mencapai 15
persen dan dapat dikatakan monopoli jika mencapai 25 sampai 30 persen
(Sheperd, 1997). Dalam pandangan tradisional, konsentrasi yang tinggi dalam
suatu industri akan mendorong terciptanya tingkat kolusi yang tinggi diantara
127
perusahaan yang ada di dalamnya, sehingga membuat industri tersebut cenderung
memiliki struktur pasar monopoli. Hal ini akan berdampak pada pembentukan
harga yang tinggi, apalagi jika didukung dengan biaya produksi yang tetap, maka
keuntungan yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan tersebut akan meningkat.
Hasil pendugaan pada persamaan kekuatan pasar menunjukkan terdapat
hubungan positif antara kekuatan pasar dan harga eceran broiler. Kondisi ini
menyiratkan terdapat kekuatan monopoli pada pasar ayam broiler dimana
perusahaan memiliki kekuatan dalam menetapkan harga diatas harga pasar
persaingan (price setter). Pada kondisi pasar seperti ini akan sangat
menguntungkan perusahaan (produsen) namun merugikan konsumen (Carlton dan
Perloff, 2000).
Kekuatan pasar suatu industri akan meningkat signifikan dengan
menurunnya biaya per unit output. Ini artinya perusahaan yang mampu
meminimalisasi biaya produksi akan mampu mengalahkan pesaing-pesaingnya
dan meningkatkan penguasaan pasar. Perusahaan yang mampu berproduksi
dengan biaya lebih rendah akan memiliki daya saing lebih tinggi sehingga
kemampuan penguasaan pasar akan lebih besar (Sheperd, 1997). Berdasarkan
hasil penelitian Lopez dan Lirón-España (2005) didapatkan bahwa peningkatan
konsentrasi industri menyebabkan efisiensi biaya sebagai dampak economies of
size dalam industri pengolahan makanan di Amerika Serikat. Namun pada saat
yang sama, mereka juga mengarah pada peningkatan kekuatan pasar, sehingga
secara tidak langsung kekuatan pasar yang meningkat akan meningkatkan
efisiensi biaya.
Produktivitas tenaga kerja berhubungan negatif dengan kekuatan pasar,
yang artinya bahwa peningkatan produktivitas dapat menurunkan kekuatan pasar.
Produktivitas tenaga kerja tersebut pada dasarnya menandakan perubahan pada
teknologi, efisiensi teknis dan alokatif, serta utilisasi kapasitas produksi.
Produktivitas yang tinggi akan meningkatkan persaingan sehingga kekuatan pasar
akan menurun. Hal ini dibuktikan oleh Gopinath et al. (2002) dalam penelitiannya
yang mengidentifikasi tingkat kritis konsentrasi atau kekuatan pasar dan
hubungannya dengan pertumbuhan produktivitas menjadi negatif. Teori "Creative
Destruction" oleh Schumpeter yang menunjukkan bahwa pasar yang kompetitif
adalah sangat cocok untuk alokasi sumber daya statis, tetapi perusahaan besar di
pasar yang terkonsentrasi adalah sumber ekspansi jangka panjang dari output.
Artinya, keuntungan tambahan dari meningkatnya harga atas biaya marjinal
menyediakan sumber daya untuk inovasi teknologi. Inovasi ini dapat menjadi
trade-off bagi kekuatan pasar. Gopinath et al. melakukan analisis estimasi
simultan untuk pertumbuhan produktivitas dan konsentrasi. Mereka menemukan
bahwa hubungan konsentrasi - produktivitas industri memiliki bentuk U-terbalik.
Terdapat titik kritis di mana hubungan antara pertumbuhan produktivitas dan
konsentrasi atau kekuatan pasar ternyata negatif, pada saat konsentrasi meningkat
menjadi 62.3, meningkat 24% dari level awal.
Hubungan konsentrasi industri dan produktivitas sebagaimana ditentukan di
atas, secara spesifik tunduk pada masalah endogenitas dan spesifikasi. Pertama,
untuk kasus kausalitas terbalik, yaitu, inovasi mempengaruhi price-cost margin
(Demsetz, 1973). Beberapa penulis memilih tidak setuju. Sebagai contoh,
Baldwin dan Scott (1987), merujuk kepada Schumpeter, menyatakan bahwa
inovasi berskala besar mungkin tidak menarik kecuali ada beberapa jenis asuransi
128
yang tersedia untuk pengusaha yang potensial. Artinya, ada jaminan terhadap
kegagalan dari suatu inovasi sehubungan dengan kemampuannya untuk terlibat
dalam strategi harga, dan memiliki kekuatan monopoli produk yang ada di pasar
mungkin menjadi prasyarat untuk inovasi (Gopinath et al. 2002).
Mengingat keterbatasan dari kekuatan pasar di suatu industri adalah
kemungkinan masuknya pesaing baru yang potensial. Distorsi pasar dan
inefisiensi pasar dapat menjadi insentif bagi pemain (pendatang) baru untuk
masuk ke pasar, memenuhi permintaan dengan lebih efisien. Ancaman pendatang
ini dapat menegakkan disiplin pasar, melindungi perusahaan yang terkonsentrasi
dari menetapkan harga tinggi disebabkan persaingan yang mereka hadapi. Sebagai
tambahan, pasar bagi produk baru dapat muncul dalam jangka panjang,
menawarkan produk substitusi untuk produk sebelumnya yang ditawarkan oleh
industri yang terkonsentrasi tanpa persaingan.
Selanjutnya sehubungan dengan dampak konsentrasi pasar di industri
pangan terhadap kekuatan pasar memperlihatkan bahwa kekuatan pasar akan
meningkat jika industri semakin terkonsentrasi, meskipun tidak signifikan.
Temuan ini mendukung a priori dari pernyataan sebelumnya dan didukung oleh
penelitian sebelumnya bahwa konsentrasi tinggi akan meningkatkan kekuatan
pasar.
Jumlah perusahaan pesaing berhubungan negatif dengan kekuatan pasar,
begitu pula hubungannya dengan biaya per unit, meskipun tidak signifikan. Hal
ini menunjukkan bahwa efisiensi pasar tergantung dari level (tingkat) persaingan
pasar, bukan dari jumlah pesaingnya. Konsentrasi pasar tidak selalu menyiratkan
kekuatan pasar. Kehadiran hanya beberapa penjual dan pembeli di dalam pasar
tidak berarti bahwa perilaku peserta pasar tersebut tidak kompetitif. Di sisi lain,
keberadaan banyak perusahaan tidak selalu menyiratkan kompetisi yang memadai.
Jika pasar sangat tersegmentasi (misalnya, secara geografis), banyak perusahaan
masing-masing mampu memiliki banyak sekali kekuatan pasar di tiap segmen
yang mereka kuasai. Dan sementara efisiensi pasar dan keadilan mungkin
terabaikan ketika konsolidasi industri menjadikan industri terkonsentrasi.
Kinerja selanjutnya adalah ketimpangan struktur produksi. Ketimpangan
produksi merupakan indikator keberhasilan bagi industri dalam menyelaraskan
antara tujuan memajukan industri dan mensejahterakan peternak. Ketimpangan
dipengaruhi secara positif oleh konsentrasi dan rasio harga broiler terhadap
inputnya. Artinya, semakin tinggi konsentrasi industri maka ketimpangan semakin
besar, begitu juga semakin besar rasio harga output terhadap input (marjin
keuntungan) perusahaan maka semakin besar ketimpangan. Sementara itu,
produktivitas tenaga kerja berhubungan negatif dengan ketimpangan yang artinya
semakin tinggi produktivitas tenaga kerja maka ketimpangan semakin kecil. Hal
ini dapat menjadi isyarat bahwa pertumbuhan inovasi teknologi di usaha broiler
dapat menjadi sumber pertumbuhan bagi usaha rakyat dalam meningkatkan
efisiensi teknis dan alokatif, serta utilisasi kapasitas produksi.
Sementara jika dilihat dari elastisitasnya, dalam jangka pendek, peubah
kekuatan pasar sangat respon terhadap perubahan biaya per unit dan peubah
ketimpangan produksi sangat respon terhadap perubahan konsentrasi industri. Hal
ini tidak salah jika banyak ahli ekonomi dan pemerhati industri yang
mengkhawatirkan peningkatan konsentrasi akan berdampak kepada kekuatan
pasar dan pada akhirnya mempengaruhi kinerja pasar.
129
Hubungan antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Indonesia.
Berdasarkan arah dan besaran pengaruh antara berbagai variabel pada
masing-masing persamaan maka secara umum dapat dinyatakan bahwa terdapat
keterkaitan erat antara struktur, perilaku dan kinerja di industri broiler. Perilaku
dan kinerja industri broiler dipengaruhi oleh struktur industri dan sebaliknya
perubahan struktur industri secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh
perilaku dan kinerja industri seperti terlihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Hubungan antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler.
Gambar 21 menunjukkan bahwa struktur industri berupa konsentrasi
industri akan mempengaruhi strategi diantaranya integrasi dan startegi
penggunaan kapital (pangsa biaya pakan) perusahaan ayam broiler dan
selanjutnya mempengaruhi efisiensi biaya dan tingkat keuntungan yang diterima
perusahaan. Perusahaan yang mampu berproduksi secara efisien akan bertahan di
industri dan yang tidak mampu akan tersingkir. Strategi perusahaan dengan
melakukan integrasi vertikal juga akan memperkuat posisi perusahaan baik di
pasar input maupun di pasar output. Selanjutnya integrasi vertikal berdampak
terhadap berkurangnya biaya per unit (komponen kinerja) yang artinya terjadi
peningkatan efisiensi di industri. Efisiensi berhubungan positif dengan kekuatan
pasar (komponen kinerja) dimana semakin efisien perusahaan maka pangsa
pasarnya makin besar sehingga kekuatan pasarnya semakin besar. Namun
integrasi vertikal berhubungan positif dengan harga dan harga yang meningkat
130
akan meningkatkan keuntungan. Tingkat keuntungan dan harga yang meningkat
akan semakin meningkatkan kekuatan pasar. Kekuatan pasar yang meningkat
akan berdampak terhadap berkurangnya persaingan sehingga akan
menguntungkan perusahaan yang terintegrasi melalui harga broiler dan tingkat
keuntungan yang meningkat. Sehingga secara tidak langsung peningkatan
konsentrasi akibat meningkatnya integrasi berdampak terhadap peningkatan
kekuatan pasar.
Konsentrasi berhubungan positif dan signifikan dengan variabel kinerja
diantaranya harga jual dan ketimpangan produksi. Sementara itu konsentrasi juga
berhubungan positif namun tidak signifikan diantaranya dengan tingkat
keuntungan dan kekuatan pasar. Banyak pengamat ekonomi dalam studi
organisasi industri sepakat bahwa konsentrasi merupakan indeks dari struktur
pasar, sehingga sering dihipotesakan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi
maka semakin besar pula kemungkinan adanya kekuatan pasar di dalam industri
tersebut. Kondisi ini juga menunjukkan semakin tinggi kemungkinan terjadinya
kolusi.
Integrasi vertikal dapat menimbulkan ekonomisasi dan berdampak
antipersaingan. Perusahaan-perusahaan besar yang melakukan integrasi vertikal
akan semakin memperbesar pangsa pasarnya sehingga efisiensi atau penghematan
akan mudah diperoleh. Terciptanya suatu hambatan masuk bagi perusahaan-
perusahaan baru menyebabkan kondisi pasar semakin mendekati monopoli.
Dalam sistem pasar, integrasi vertikal akan berlangsung dengan baik apabila dapat
menyebabkan penghematan teknis (Jaya, 2004).
Perusahaan terintegrasi dapat bertindak sebagai price maker dan
menentukan tingkat keuntungan yang diinginkan. Hal inilah yang dikhawatirkan
di dalam perkembangan industri broiler tanah air, dimana strategi integrasi selain
dapat meningkatkan efisiensi namun dapat menciptakan suatu hambatan masuk
bagi perusahaan-perusahaan baru sehingga kondisi pasar semakin mendekati
monopoli. Mengutip pernyataan Bhuyan (2005) bahwa mengevaluasi ketiadaan
persaingan dan manfaat efisiensi dari integrasi vertikal sangat kompleks karena
integrasi vertikal dapat secara berkesinambungan (simultan) memiliki manfaat
efisiensi dan dampak tanpa persaingan pada harga dan output. Oleh karena itu,
manfaat dan kerugian bagi kinerja ekonomi dapat berjalan secara simultan dan
peneliti tidak dapat menganalisanya secara terpisah-pisah.
Industri dengan struktur pasar oligopoli yang dicirikan oleh beberapa
perusahaan menguasai sebagian besar pangsa pasar, dapat menetapkan harga yang
berbeda dari satu dengan lainnya di dua perusahaan. Secara umum, akan terlihat
bahwa margin harga-biaya dan keuntungan bervariasi sesuai dengan jumlah
pesaing dan ukuran hambatan masuk. Tingkat keuntungan yang tinggi akan
menarik investor untuk masuk, hambatan masuk turun sehingga jumlah
perusahaan meningkat. Hal ini terlihat pada rentang penelitian ini, jumlah
perusahaan meningkat, hambatan masuk turun dan tingkat keuntungan juga turun.
Selanjutnya di pasar oligopoli, harga diatas biaya marjinal, keuntungan dalam
jangka pendek adalah positif atau negatif, dan jangka panjang keuntungan bisa nol
atau positif (Carlton dan Perloff, 2000). Hal ini merupakan generalisasi yang
menjadi landasan bagi pendekatan Structure-Conduct-Performance.
Meskipun industri mengarah kepada efisiensi, yang menarik di industri
broiler Indonesia adalah, karena adanya peraturan perijinan apabila pengusahaan
131
diatas 65 ribu ekor per siklus (dikategorikan perusahaan peternakan menurut
Suharno, 2002) maka harus didaftarkan TDP dan SITU di pemerintah pusat.
Sementara apabila dibawah jumlah tersebut maka cukup ijin dari pemerintah
daerah. Maka untuk menghindari hal tersebut, perusahaan-perusahaan skala besar
yang terintegrasi dan memiliki kekuatan pasar ini telah membagi-bagi usaha
broiler nya menjadi usaha-usaha kecil agar tidak menyimpang dari peraturan
tersebut.
Sekarang ini, jika dilihat dari jumlah baik itu perusahaan yang non-integrasi
dan peternak kecil, bisnis ayam broiler di Indonesia terdiri dari jumlah pemain
yang sangat besar. Namun, perusahaan yang beroperasi secara integrasi hanya
sedikit dan semakin mendominasi, diantaranya PT. Charoen Pokphand Indonesia
(CPIN) dan PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), yang merupakan
perusahaan asing. Perusahaan ini selain memproduksi dan mendistribusikan
sarana produksi, mereka juga sekaligus menampung hasil produksi peternak.
Mereka juga memiliki slaughtering house dan peternakan ayam sendiri (ranch).
Mereka bahkan memiliki hubungan kuat dengan pemakai daging ayam seperti
restoran ayam goreng, termasuk industri retail seperti supermarket dan
hypermarket.
Pada masa lalu integrasi horisontal dalam kartel baik kartel terang-terangan
maupun maupun yang sifatnya konspirasi diam-diam banyak terjadi. Kini sejak
dikeluarkannya Undang-Undang Anti Praktek Bisnis Tidak Sehat praktek
konspirasi horisontal telah jauh berkurang. Namun demikian persekongkolan
horisontal secara diam-diam tentu sulit dideteksi. Sering dirasakan indikasinya,
misalnya pada industri pakan ternak harga cenderung hampir sama (Iwantono,
2007).
Komisi Pengawas Persaingan Usaha tengah melakukan kajian mengenai
struktur pasar demikian ini. Undang-undang anti monopoli di Indonesia tidak
melarang struktur pasar yang monopsoni atau posisi dominan, sepanjang mereka
tidak melakukan abuse terhadap posisi tersebut melalui tindakan yang
dikategorikan “unfair business practice”. Namun pembuktian semacam itu tentu
tidak mudah.
Unsur kunci dalam investigasi kartel adalah pembuktian adanya
kesepakatan/perjanjian tersebut. Dalam literatur persaingan usaha, untuk
membuktikan adanya suatu persekongkolan harus ada dua jenis bukti yaitu bukti
langsung dan bukti tidak langsung. Bukti langsung, berupa bukti yang dapat
diamati dan menunjukkan adanya suatu perjanjian di antara pelaku usaha yang
bersaing dan substansi dari kesepakatan. Sedangkan bukti tidak langsung berupa
bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan. Bukti tidak
langsung merupakan pembuktian terhadap dugaan atas pemberlakuan suatu
perjanjian. Bukti tidak langsung dapat berupa bukti komunikasi dan bukti
ekonomi.
7 DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN EKSTERNAL TERHADAP
STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI BROILER.
132
Validasi Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler
Evaluasi terhadap daya prediksi suatu model (model validation) sangat
diperlukan untuk mengetahui kualitas model dalam memprediksi perilaku data
aktual yang digunakan dalam suatu model. Kriteria yang sering digunakan untuk
menguji daya prediksi model adalah Root Mean Squares Percent Error (RMSPE)
dan Mean Squares Error (MSE) serta Theil’s inequality coefficient (U), dimana
U-theil ini dapat dikomposisi menjadi proporsi bias (Um), proporsi regresi (Ur)
dan proporsi distribusi (Ud). Kriteria RMSPE yang merupakan nilai kedekatan
variabel endogen hasil pendugaan terhadap nilai aktual selama periode
pengamatan sebelum dilakukan simulasi. Sedangkan untuk melihat kedekatan
garis regresi yang terestimasi dengan data aktualnya digunakan coefficient of
determination (R2).
Pada dasarnya jika nilai RMSPE dan U-theil semakin kecil dan nilai R2
semakin besar, kondisi tersebut mencerminkan pendugaan model yang semakin
baik. Menurut Sitepu dan Sinaga (2006), bahwa model yang baik akan
menghasilkan koefisien U-theil mendekati nol, sebaliknya jika mendekati satu
model dianggap kurang dapat menjelaskan data yang sebenarnya. Nilai koefisien
U-theil (U) berkisar antara 0 – 1. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna,
namun sebaliknya jika U = 1 maka pendugaan model tidak sempurna.
Suatu model pada hakekatnya adalah suatu representasi dari dunia nyata
yang disederhanakan, dimana model yang baik adalah model yang mampu
menjelaskan fenomena tersebut. Oleh karena itu, kriteria yang digunakan dalam
validasi model pada penelitian ini pada dasarnya mengukur sejauh mana besaran
hasil dugaan model mendekati besaran yang sebenarnya atau mendekati nilai
aktual yang dinyatakan dalam besaran error atau kesalahan. Hasil validasi dapat
dilihat pada Tabel 12.
Validasi model ekonometrika struktur, perilaku dan kinerja perusahaan
ayam broiler menggunakan kriteria RMSPE dan U-theil beserta dekomposisinya
secara umum menunjukkan bahwa model layak digunakan untuk simulasi. Hasil
validasi menunjukkan bahwa sebagian besar (71.43 persen) persamaan memiliki
nilai RMSPE kecil dari 50 persen dan sebagian kecil (28.57 persen) memiliki
RMSPE yang lebih besar dari 50 persen. Hal ini berarti, berdasarkan nilai
RMSPE-nya model yang dibangun cukup baik karena sebagian besar mengalami
penyimpangan kurang dari 50 persen dari nilai aktualnya.
Kelayakan model juga didukung dengan nilai U-theil yang sebagian besar
mendekati nilai 0 dimana sebagian besar (85.71 persen) memiliki nilai kecil dari
0.3 dan hanya 2 persamaan (14.29 persen) yang memiliki nilai besar dari 0.3 yaitu
pada persamaan produktivitas tenaga kerja (PDTK) dan tingkat keuntungan
(PROF). Nilai U-theil yang besar pada persamaan tingkat keuntungan diduga
terkait perhitungan variabel tingkat keuntungan yang belum mencerminkan
tingkat keuntungan yang sebenarnya (keuntungan bersih). Tingkat keuntungan
merupakan persentase selisih harga dan biaya per unit produksi terhadap biaya.
Biaya disini mencakup biaya bahan baku, listrik, bahan bakar, obat-obatan dan
biaya-biaya operasional lainnya, sementara tidak memperhitungkan biaya
penyusutan baik barang maupun modal. Nilai U-theil yang berkisar antara 0 dan
133
1 menunjukkan bahwa model mendekati sempurna jika mendekati 0 dan semakin
tidak sempurna jika mendekati 1. Kelayakan model juga diperkuat dengan hasil
dekomposisi U-Theil (Lampiran) dimana bias proporsi (UM), bias varian (UR)
dan bias kovarian (US) sebagian besar mendekati 0 dan sebaliknya nilai kovarian
(UD) dan nilai kovarian (UC) mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa bias
model akan semakin kecil dan nilai hasil prediksi mendekati nilai yang
sebenarnya.
Tabel 12. Hasil validasi model ekonometrika menggunakan kriteria RMSPE, R-
Square dan U-theil.
No. Peubah
RMS%
Error
Bias
(UM)
Regresi
(UR)
Dist.
(UD)
Koef.
U
1. Produksi Broiler Domestik 237.4 0.00 0.03 0.97 0.21
2. Konsumsi Broiler Domestik 13.11 0.00 0.00 1.00 0.03
3. Harga Eceran Broiler 6.42 0.00 0.01 0.99 0.03
4. Jumlah Perusahaan Broiler 216.9 0.00 0.07 0.93 0.27
5. Konsentrasi Industri 15.33 0.00 0.04 0.96 0.07
6. Hambatan Masuk 17.91 0.00 0.00 1.00 0.10
7. Integrasi Vertikal 43.70 0.00 0.05 0.95 0.17
8. Pangsa Biaya Pakan 6.93 0.00 0.00 1.00 0.03
9. Harga Jual Perusahaan 19.84 0.00 0.02 0.98 0.09
10. Biaya per Unit 29.98 0.00 0.03 0.97 0.10
11. Produktivitas Tenaga Kerja 255.2 0.00 0.04 0.96 0.33
12. Tingkat Keuntungan 242.4 0.00 0.20 0.80 0.41
13. Kekuatan Pasar 26.49 0.00 0.03 0.97 0.11
14. Ketimpangan produksi 31.44 0.00 0.00 1.00 0.17
Berdasarkan hasil validasi model dengan menggunakan berbagai indikator
di atas maka secara umum dapat dinyatakan bahwa model struktur, perilaku dan
kinerja industri ayam broiler ini layak digunakan dalam simulasi. Pada penelitian
ini, simulasi yang dilakukan adalah perubahan faktor eksternal yang akan
mempengaruhi struktur, perilaku dan kinerja industri broiler, yaitu:
1. Peningkatan sebesar 15 persen permintaan daging ayam broiler (DEMB)
2. Peningkatan sebesar10 persen penawaran daging ayam broiler (PDAB)
3. Peningkatan sebesar 10 persen harga eceran daging ayam broiler (HDABR)
4. Peningkatan sebesar 10 persen harga bahan baku pakan (HPKNR)
5. Peningkatan sebesar 10 persen harga bibit (HBBTR).
Simulasi dampak perubahan faktor eksternal terhadap industri broiler
Untuk mengetahui dampak perubahan faktor eksternal terhadap
perkembangan industri broiler di Indonesia maka dilihat dari perubahan terhadap
model yang dibangun terutama terhadap peubah endogen. Hal ini dapat
berdampak positif maupun negatif terhadap masing-masing peubah endogen.
134
Dengan dilakukan simulasi dapat diketahui arah dan besaran perubahan dari suatu
peubah endogen dalam sistem kinerja industri broiler di Indonesia, yang
diakibatkan oleh adanya perubahan faktor eksternal. Evaluasi kebijakan dapat
dilakukan dengan membandingkan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan
tersebut dengan beberapa kebijakan alternatif lainnya.
Tabel 13. Dampak perubahan faktor eksternal terhadap industri broiler
Variabel Nilai Perubahan (%)
Dasar Sim 1 Sim 2 Sim 3 Sim 4 Sim 5
Harga konsumen 16702.7 3.32 0.05 10.00 -7.63 1.03 Jumlah perusahaan 11.2500 13.60 1.20 3.57 -2.10 -1.72 Produksi broiler 104635 15.27 10.00 16.41 0.12 0.04 Konsumsi broiler 134843 15.00 -0.02 -3.52 2.68 -0.36 Konsentrasi industri 63.1971 -4.92 0.56 4.49 -3.15 -0.50 Hambatan masuk 16.9496 -3.44 0.82 8.60 -5.91 0.03 Integrasi vertikal 9.3196 -6.95 1.53 8.26 -5.06 -0.80 Pangsa biaya pakan 79.1746 -9.17 0.85 5.75 -29.19 -0.29 Harga produsen 12495.3 -1.18 0.71 3.40 -0.65 -0.02 Biaya per unit 0.5546 2.83 -0.67 -3.52 2.13 0.34 Produktivitas tenker 229.4 -11.25 2.66 13.86 -8.37 -1.35 Tingkat keuntungan 219.1 -21.22 3.74 22.82 -14.70 -2.33 Kekuatan pasar 0.4858 -2.00 0.84 6.96 -4.53 0.04 Ketimpangan 2.2450 -9.50 1.08 8.66 -6.05 -0.94 Ket : Simulasi 1 : Kenaikan permintaan daging ayam broiler 15 persen
Simulasi 2 : Kenaikan penawaran daging ayam broiler 10 persen
Simulasi 3 : Kenaikan harga eceran daging ayam broiler 10 persen
Simulasi 4 : Kenaikan harga input pakan ayam broiler 10 persen
Simulasi 5 : Kenaikan harga input bibit DOC broiler 10 persen
1. Dampak peningkatan permintaan daging ayam broiler
Dampak peningkatan permintaan akan menggeser harga dan output
keseimbangan sehingga untuk mempertahankan kinerjanya, perusahaan ayam
broiler akan melakukan perubahan dalam struktur dan strategi usaha seperti
terlihat pada Gambar 22. Peningkatan permintaan akan menggeser kurva
permintaan ke kanan atas sehingga terjadi peningkatan harga (HDABR) dan
output keseimbangan (PDAB). Peningkatan harga output akan menarik investor
baru untuk masuk ke industri sehingga jumlah perusahaan di industri meningkat
(JPAB). Di pasar input, dengan meningkatnya jumlah perusahaan akan
berdampak pada meningkatnya permintaan terhadap input terutama pakan,
sehingga harga pakan akan naik. Peningkatan harga pakan akan berdampak pada
alokasi penggunaan kapital dimana perusahaan mengurangi penggunaan pakan
yang harganya mahal (bungkil kedele dan tepung ikan) dan meningkatkan
penggunaan bahan baku lokal (jagung atau bahan baku pakan lokal alternatif yang
harganya lebih murah) sehingga pangsa biaya pakan dapat dikurangi (SCPK) dan
dapat bersaing di pasar.
135
-30
-20
-10
0
10
20
3.32
13.6 15.27
-4.92 -3.44 -6.95 -9.17
-1.18
2.83
-11.25
-21.22
-2
-9.5
Perubahan (%)
Gambar 22. Grafik dampak peningkatan permintaan (dalam %) terhadap struktur,
perilaku dan kinerja Industri Broiler Indonesia
Semakin banyak jumlah perusahaan dalam industri maka penyebaran
produksi akan semakin luas sehingga dapat menurunkan rasio konsentrasi
(RCON). Hal ini menyebabkan hambatan masuk industri (MESH) dan integrasi
vertikal (INTG) turun. Integrasi vertikal di perusahaan besar turun berdampak
pada menurunnya produktivitas tenaga kerja (PDTK) sehingga secara total biaya
produksi (COSU) meningkat. Produktivitas yang turun disertai peningkatan biaya
menyebabkan tingkat keuntungan (PROF) menurun. Selanjutnya kekuatan pasar
(MPWR) turun. Selain meningkatnya jumlah perusahaan, peningkatan permintaan
menyebabkan penyebaran produksi menjadi semakin luas sehingga tingkat
ketimpangan (GAP) antara usaha rakyat dan perusahaan semakin kecil.
Berdasarkan hasil simulasi peningkatan permintaan, terlihat bahwa upaya
menurunkan tingkat konsentrasi dan kekuatan pasar dapat dilakukan dengan
meningkatkan permintaan akan produk. Perluasan penyebaran produksi akan
terjadi dan meningkatkan persaingan. Keterbatasan dari kekuatan pasar di suatu
industri adalah kemungkinan masuknya pesaing baru yang potensial. Distorsi
pasar dan inefisiensi pasar dapat menjadi insentif bagi pemain (pendatang) baru
untuk masuk ke pasar, memenuhi permintaan dengan lebih efisien. Ancaman
pendatang ini dapat menegakkan disiplin pasar, melindungi perusahaan yang
terkonsentrasi dari menetapkan harga tinggi disebabkan persaingan yang mereka
hadapi. Selain itu, pasar bagi produk baru dapat muncul dalam jangka panjang,
menawarkan produk substitusi untuk produk sebelumnya yang ditawarkan oleh
industri yang terkonsentrasi tanpa persaingan (King, 2001).
2. Dampak peningkatan penawaran daging ayam broiler
Perubahan penawaran pasar sebagaimana halnya dengan perubahan
permintaan akan menyebabkan terjadinya pergeseran dalam harga dan output
keseimbangan sehingga juga akan berpengaruh terhadap struktur, perilaku dan
kinerja industri broiler seperti terlihat pada Gambar 23. Peningkatan penawaran
dapat terjadi akibat meningkatnya jumlah perusahaan dalam industri atau salah
satu pesaing meningkatkan produksinya dan akan menggeser kurva penawaran ke
kanan. Pergeseran kurva ini akan menyebabkan turunnya harga keseimbangan.
Namun dengan kondisi struktur pasar broiler yang oligopoli disertai permintaan
136
produk yang inelastis menyebabkan harga ditetapkan tinggi karena tidak akan
banyak berdampak pada menurunnya tingkat permintaan. Harga akan menarik
investor baru untuk masuk sehingga jumlah perusahaan (JPAB) meningkat.
Meningkatnya jumlah perusahaan berdampak pada meningkatnya permintaan
input di pasar input terutama pakan sehingga harga pakan akan naik. Peningkatan
harga pakan berdampak terhadap alokasi penggunaan kapital dimana pakan
sebagai komponen utama menyebabkan pangsa biaya pakan (SCPK) meningkat.
-1
0
1
2
3
4
HD
AB
R
JPA
B
DEM
B
RC
ON
MES
H
INTG
SCP
K
HA
BP
R
CO
SU
PD
TK
PR
OF
MP
WR
GA
P
0.05
1.2
-0.02
0.56 0.82 1.53
0.85 0.71
-0.67
2.66
3.74
0.84 1.08
Perubahan (%)
Gambar 23. Grafik dampak peningkatan penawaran (dalam %) terhadap struktur,
perilaku dan kinerja Industri Broiler Indonesia
Persaingan yang meningkat di industri akan memacu perusahaan bertindak
efisien melalui integrasi vertikal dan meningkatkan inovasi sehingga produktivitas
tenaga kerja (PDTK) meningkat. Meningkatnya integrasi dan produktivitas
berdampak kepada meningkatnya konsentrasi industri (RCON) dan selanjutnya
hambatan masuk industri (MESH) meningkat. Dengan meningkatnya harga
broiler, bagi perusahaan broiler yang terintegrasi ini mendapatkan keuntungan
(PROF) yang cukup tinggi. Meningkatnya keuntungan menyebabkan kekuatan
pasar (MPWR) semakin meningkat sehingga ketimpangan (GAP) menjadi
semakin besar.
Integrasi vertikal dapat menimbulkan ekonomisasi dan berdampak anti
persaingan. Perusahaan-perusahaan besar yang melakukan integrasi vertikal akan
semakin memperbesar pangsa pasarnya sehingga efisiensi atau penghematan akan
mudah diperoleh. Terciptanya suatu hambatan masuk bagi perusahaan-perusahaan
baru menyebabkan kondisi pasar semakin mendekati monopoli (Jaya, 2004).
Apabila dicermati dari hasil simulasi ini, dapat disimpulkan bahwa bentuk
integrasi di industri broiler merupakan bentuk ketiga (monopoli hulu sampai hilir)
menurut Mulyaningsih dan Karseno (2002), dimana bentuk integrasi vertikal
seperti ini adalah perusahaan di hulu yang bersifat monopoli melakukan integrasi
vertikal dengan perusahaan di hilir yang juga monopoli yang menjadi pembeli
inputnya. Bentuk integrasi vertikal seperti ini akan meningkatkan harga produk
akhir. Hal ini dikarenakan monopolisasi pasar oleh perusahaan di hilir karena
dapat memperoleh input melalui perusahaan di hulu yang juga bersifat monopoli
dan terintegrasi secara vertikal dengannya.
Semakin tinggi hambatan masuk maka akan semakin tinggi keuntungan
yang diperoleh. Hal ini disebabkan oleh tingkat output yang meningkat seiring
137
dengan penurunan biaya produksi pada jangka panjang. Hal ini dapat menjadikan
hambatan masuk bagi pemain baru yang disebabkan mereka sulit untuk bersaing
dengan pemain lama yang lebih dapat mengetahui bagaimana cara memproduksi
dengan biaya yang rendah. Oleh sebab itu, meningkatnya hambatan masuk akan
meningkatkan kekuatan pasar sehingga ketimpangan semakin besar.
3. Dampak peningkatan harga daging ayam broiler
Perubahan dalam struktur, perilaku dan kinerja industri broiler akibat
perubahan harga daging ayam broiler dapat dilihat pada Gambar 24. Peningkatan
harga broiler akan menarik minat investor baru untuk masuk ke dalam industri
sehingga jumlah perusahaan meningkat cukup tinggi (JPAB) dan tentu berdampak
pada meningkatnya produksi daging ayam broiler domestik (PDAB).
Meningkatnya jumlah perusahaan berdampak pada meningkatnya permintaan
input di pasar input terutama pakan sehingga harga pakan akan naik. Peningkatan
harga pakan berdampak terhadap alokasi penggunaan kapital dimana pakan
sebagai komponen utama menyebabkan pangsa biaya pakan (SCPK) meningkat.
Gambar 24. Grafik dampak peningkatan harga broiler (dalam %) terhadap
struktur, perilaku dan kinerja Industri Broiler Indonesia
Persaingan yang meningkat di industri akan memacu perusahaan bertindak
efisien melalui integrasi vertikal dan meningkatkan inovasi sehingga produktivitas
tenaga kerja (PDTK) meningkat. Meningkatnya integrasi dan produktivitas
berdampak kepada meningkatnya konsentrasi industri (RCON) dan selanjutnya
hambatan masuk industri (MESH) meningkat. Dengan meningkatnya harga
broiler, bagi perusahaan broiler yang terintegrasi ini mendapatkan keuntungan
(PROF) yang cukup tinggi. Meningkatnya keuntungan menyebabkan kekuatan
pasar (MPWR) semakin meningkat sehingga ketimpangan (GAP) menjadi
semakin besar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Daryanto (2009) bahwa
semakin terkonsentrasi suatu industri, maka perbedaan antara yang dibayar
konsumen dan diterima produsen untuk produksi barang mereka semakin besar.
Meningkatnya derajat konsentrasi akan meningkatkan kemampuan penjual
untuk mengatasi persaingan dan mengkoordinasikan perilaku harga (Church dan
Ware, 2000). Hal ini terlihat pada harga jual perusahaan (HABPR) yang
138
ditetapkan tinggi. Perusahaan terintegrasi bergerak cepat dengan meningkatkan
suplai bahan baku pakan dan bibit. Perusahaan yang telah mencapai skala
ekonomis yang tinggi akan menerima keuntungan (PROF) yang tinggi pula.
Namun peningkatan harga broiler ini berdampak pada turunnya permintaan
(DEMB) sehingga yang paling merasakan dampak penurunan permintaan ini
adalah perusahaan yang tidak terintegrasi dengan diseconomies of scale dimana
biaya produksi yang dikeluarkan besar namun hasil yang didapatkan tidak
seimbang. Bain (1956), mengemukakan tiga hipotesanya mengenai hubungan
tingkat konsentrasi terhadap profit atau tingkat keuntungan, yaitu:
(1) Konsentrasi menimbulkan kolusi; (2) Kolusi akan menciptakan profit jika
hambatan masuk tinggi; (3) Efek ini terjadi pada perusahaan-perusahaan besar.
4. Dampak perubahan kenaikan harga pakan
Bisnis perunggasan merupakan suatu kegiatan usaha yang sangat sensitif
terhadap biaya input dan harga outputnya (cost- and output price-senstitive).
Biaya pakan ternak misalnya, dalam industri perunggasan memiliki kontribusi
yang sangat besar sekitar 70 sampai 80 persen dari biaya produksi secara
keseluruhan. Peningkatan harga input terutama bahan baku utama yaitu pakan
akan mempengaruhi strategi perusahaan dalam menghasilkan output daging ayam
broiler.
Gambar 25. Grafik dampak peningkatan harga bahan baku pakan (dalam %)
terhadap struktur, perilaku dan kinerja Industri Broiler Indonesia
Perubahan dalam struktur, perilaku dan kinerja industri broiler akibat
perubahan harga bahan baku pakan dapat dilihat pada Gambar 25. Jika harga
pakan naik maka biaya produksi juga naik sehingga akan mendorong beberapa
perusahaan keluar dari industri dan beralih ke industri lainnya sehingga jumlah
perusahaan broiler (JPAB) turun. Kondisi ini menyebabkan persaingan meningkat
di industri ini mengingat pakan adalah komponen terbesar dalam penggunaan
input di usaha ini. Persaingan menyebabkan konsentrasi dan hambatan masuk
industri turun. Konsentrasi turun berdampak terhadap integrasi vertikal.
Peningkatan harga pakan mendorong perusahaan melakukan penyesuaian dalam
biaya dengan mengurangi penggunaan input sehingga pangsa biaya pakan (SCPK)
139
turun. Produktivitas tenaga kerja (PDTK) menurun dan secara umum peningkatan
biaya berdampak pada tingkat keuntungan (PROF) yang turun. Tingkat
keuntungan yang turun berdampak pada turunnya kekuatan pasar (MPWR).
Kekuatan pasar turun berdampak terhadap tingkat persaingan yang meningkat
sehingga ketimpangan (GAP) menurun.
Ayam broiler merupakan ternak penghasil daging yang sangat efisien dalam
mengubah pakan yang dikonsumsi menjadi daging, sehingga meskipun harga
pakan cukup tinggi perusahaan tetap mengusahakan ayam ini. Selain itu,
meskipun harga input pakan meningkat, namun di dalam struktur industri ayam
broiler tidak dapat langsung serta merta dengan mengurangi produksi atau
menutup usahanya karena di dalam industri ini dibutuhkan modal yang tidak
sedikit sehingga perusahaan tetap berproduksi.
Jika perusahaan dominan tidak menaikkan harga broiler yang cukup dalam
menanggapi kenaikan harga pakan, keuntungan perusahaan dominan akan
menurun, yang akan menyebabkan berkurangnya produksi daging ayam broiler,
dan dengan demikian juga menciptakan potensi ketidakstabilan yang lebih besar
dalam pasokan pasar daging ayam broiler (Weng, 2012). Ketersediaan pakan
yang berkualitas dan murah menjadi prasyarat bagi tumbuhnya industri
peternakan yang maju. Pakan yang murah akan membuat peternak mampu
meningkatkan skala usaha dan keuntungan per satuan, sedangkan pakan yang
berkualitas akan meningkatkan konversi pakan sehingga proses pemberian pakan
menjadi lebih efisien.
5. Dampak perubahan peningkatan harga bibit DOC
Perubahan dalam struktur, perilaku dan kinerja industri broiler akibat
perubahan harga bibit DOC dapat dilihat pada Gambar 26. Peningkatan harga
bibit dapat terjadi karena berkurangnya penawaran bibit DOC dari industri
pembibitan. Peningkatan harga bibit akan mendorong keluar beberapa perusahaan
untuk beralih ke usaha lainnya sehingga jumlah perusahaan turun. Peningkatan
biaya per unit (COSU) mendorong terjadinya kenaikan harga output (HDABR),
mengingat struktur permintaan produk yang inelastis. Peningkatan harga broiler
inilah yang diduga akan memancing perusahaan yang ada untuk meningkatkan
produksinya dengan harapan harga tetap tinggi dan hal ini terindikasi dari
meningkatnya produksi domestik (PDAB). Peningkatan produksi yang bersamaan
akan meningkatkan persaingan, sehingga konsentrasi menurun. Tingkat
konsentrasi turun berdampak pada turunnya integrasi vertikal dan mengakibatkan
turunnya keuntungan (PROF) ditingkat perusahaan sehingga kekuatan pasar
(MPWR) perusahaan turun. Harga ditingkat eceran yang meningkat berdampak
terhadap turunnya ketimpangan (GAP) di tingkat industri.
140
Gambar 26. Dampak peningkatan harga bibit DOC (dalam %) terhadap struktur,
perilaku dan kinerja Industri Broiler Indonesia
Saat ini kenaikan harga dipicu oleh tingginya harga pakan dan DOC (Day
Old Chicken/ayam umur sehari) akibat pelemahan nilai rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat. Hal itu membuat biaya yang harus peternak keluarkan untuk
memelihara ayam ras, mulai dari DOC hingga panen meningkat. Untuk
mendapatkan marjin keuntungan yang wajar, peternak tentu saja harus menaikkan
harga ayam ras yang dijualnya. Namun kenaikan harga ayam ras di tingkat
konsumen tidak serta merta memberikan keuntungan yang menarik bagi peternak.
Mengingat kompleksnya faktor-faktor yang menentukan tingkat harga ayam
ras dan daya saing, maka peningkatan stabilitas harga ayam ras dan daya saing
harus dilakukan. Implikasi ekonomi dari volatilitas harga input yang tinggi
menuntut para peternak baik skala kecil dan besar untuk selalu melaksanakan
upaya cost-saving (efisiensi biaya). Para peternak yang berhasil melaksanakan
cost-saving, maka mereka dapat memperoleh kesempatan lebih besar untuk
meningkatkan pangsa pasarnya (Daryanto, 2014). Selain itu tidak kalah
pentingnya, dalam jangka panjang peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui
perbaikan teknologi dan inovasi di usaha broiler dapat meningkatkan efisiensi dan
tingkat keuntungan sehingga makin meningkatkan pangsa pasar.
Dampak peningkatan harga input bahan baku ini juga dapat dijadikan
sebagai acuan bagi pemerintah dalam pengembangan industri broiler. Peningkatan
harga input yang relatif lebih banyak negatifnya dibanding peningkatan harga
output terutama bagi perusahaan skala kecil dan perkembangan industri broiler
tanah air. Harga pakan yang relatif mahal dan sangat tergantung pada impor
karena ketidaksesuaian lahan seharusnya mendorong pemerintah untuk
mendorong kegiatan riset dan pengembangan bahan baku penyusun pakan
alternatif. Bahan baku alternatif ini sebaiknya berasal dari bahan baku lokal tetapi
memiliki ketersediaan yang berkelanjutan sehingga mampu mendorong
peningkatan efisiensi biaya dan harga jual broiler dapat lebih bersaing. Kondisi ini
tidak hanya akan mendorong peningkatan produksi industri tetapi juga mampu
meningkatkan permintaan pakan oleh usaha peternakan dan permintaan produk
asal ternak oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil simulasi diatas, terlihat bahwa peningkatan permintaan
yang diikuti dengan peningkatan penawaran atau permintaan akan menciptakan
penawaran (demand creates supply) merupakan faktor positif pendorong
141
perkembangan industri broiler. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan untuk
mengembangkan industri broiler oleh pemerintah akan lebih efektif dengan
mendorong terjadinya peningkatan permintaan dibanding hanya dengan
mendorong peningkatan produksi atau industri. Penawaran produk-produk
peternakan akan meningkat dengan meningkatnya jumlah usaha peternakan dan
perkembangan usaha peternakan didorong oleh meningkatnya permintaan akan
produk-produk peternakan. Kondisi ini dapat tercapai jika daya beli dan
kesejahteraan masyarakat serta kesadaran akan pentingnya protein hewani di
tingkat masyarakat meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor konsumen
produk hasil ternak menjadi faktor penting dalam pengembangan industri
peternakan karena permintaan akan produk yang tinggi akan mendorong
masuknya pelaku baru dalam industri peternakan sehingga industri menjadi lebih
bersaing dan efisien.
Namun yang perlu diperhatikan bahwa peningkatan produksi ini akan
semakin meningkatkan konsentasi. Adapun kenaikan konsentrasi secara positif
berkorelasi dengan tingkat keuntungan. Konsentrasi dapat menyebabkan efisiensi
biaya atau inefisiensi biaya atau biaya netral. Ketiadaan persaingan yang ketat
dapat mengurangi tekanan bagi produsen dalam penggunaan sumber daya secara
efisien. Sebagai hasilnya, kekuatan pasar yang muncul dari konsentrasi industri
dapat meningkatkan biaya produksi serta mengurangi efisiensi ekonomi secara
agregat. Ada atau tiadanya efek efisiensi yang mampu mengimbangi atau
memperkuat efek kekuatan pasar sangat penting untuk kinerja sistem pangan.
Dengan demikian, konsentrasi dapat berdampak tidak hanya pada konsumen
(sejauh bahwa tabungan atau inefisiensi biaya yang diteruskan kepada mereka),
tetapi juga pada daya saing internasional dan profitabilitas perusahaan (Lopez dan
Lirón-España, 2005).
Hal ini perlu kiranya menjadi perhatian oleh pemerintah, sehingga
disamping perlunya upaya mendorong konsumsi produk pangan hewani ini,
pemerintah juga harus menciptakan iklim usaha bersaing yang sehat dan kondusif.
Untuk itu sangat diperlukan kebijakan persaingan usaha yang memungkinkan
pasar dapat bekerja secara sehat. Kompetisi merupakan elemen penting (critical
elemen) bagi price-oriented market economy. Tanpa persaingan yang fair,
ekonomi menjadi tidak produktif, industri bekerja secara tidak efisien, mendorong
konsentrasi ekonomi yang diikuti oleh abuse of dominant position, kehilangan
daya inovasi dan kreativitas.
Program kemitraan antara perusahaan dengan peternak merupakan salah
satu upaya yang harus terus dikembangkan selain mengembangkan usaha
peternakan yang terintegrasi (business integration). Integrasi vertikal yang terjadi
saat ini masih jauh dari sempurna. Pada sisi lain integrasi semu ini dapat
cenderung tumbuh membentuk monopoli atau oligopoli. Thailand negara Asia
yang sudah maju dalam industri broilernya, telah sejak semula membangun secara
terintegrasi, tetapi terjerumus kedalam bentuk monopoli (Panayotou, 1989 dalam
Yusdja et al, 2000). Sekalipun integrasi tidak saja merupakan suatu keharusan,
tetapi memang harus begitu, namun tidak harus disertai watak monopoli.
Analisis Kesejahteraan Sosial
Peningkatan konsentrasi industri menimbulkan kekhawatiran tentang
dampak potensial terhadap kekuatan pasar. Namun, seperti yang ditunjukkan
142
dalam makalah awal Williamson, mungkin ada tradeoff antara peningkatan
kekuatan pasar dan efisiensi yang dihasilkan dari peningkatan konsentrasi (baik
melalui merger (integrasi horisontal, integrasi vertikal atau kombinasi keduanya).
Untuk kasus industri broiler, jika dampak kekuatan pasar bersifat lebih dominan,
konsentrasi di industri dapat meningkatkan keuntungan industri dan margin,
sementara konsumen mungkin membayar harga yang lebih tinggi dibandingkan
dari pasar yang kompetitif untuk produk ayam broiler. Di sisi lain, jika efisiensi
(atau pengurangan biaya) memiliki efek lebih besar daripada efek kekuatan pasar,
konsentrasi dapat bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
Berdasarkan hasil simulasi peningkatan rasio konsentrasi pada berbagai
tingkatan, didapatkan perhitungan beberapa variabel yang mewakili surplus
produsen dan surplus konsumen, seperti terlihat pada Tabel 14 dibawah ini:
Tabel 14. Dampak peningkatan rasio konsentrasi pada beberapa tingkatan
terhadap kesejahteraan
Indikator Nilai Kenaikan rasio konsentrasi
Dasar 5% 10% 15% 20%
Harga broiler perusahaan 12495.3 4.05 8.11 12.16 16.22
Produksi broiler domestik 104635.0 7.62 15.45 23.28 31.11
Tingkat keuntungan 219.1 24.19 48.43 72.66 96.90
Kekuatan pasar 0.4858 4.08 8.07 12.04 16.04
Harga eceran broiler 16702.7 0.24 0.48 0.73 0.97
Konsumsi broiler domestik 134843.0 -0.09 -0.17 -0.26 -0.34
Biaya per unit 0.5546 -3.59 -7.18 -10.78 -14.39
Produktivitas tenaga kerja 229.4 14.17 28.38 42.59 56.76
Ketimpangan 2.245 9.65 19.28 28.92 38.55
Hasil simulasi diatas menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya
rasio konsentrasi, produksi daging ayam broiler makin meningkat. Dari sisi
produsen, terjadi peningkatan kesejahteraan dikarenakan dengan meningkatnya
produksi maka keuntungan usaha makin meningkat. Produktivitas tenaga kerja
juga berhubungan positif dengan rasio konsentrasi. Produktivitas mencerminkan
tingkat inovasi, artinya dalam jangka panjang terjadi perbaikan dalam teknologi
usaha. Inovasi dapat dilakukan apabila suatu usaha menguntungkan dan dalam
jangka panjang suatu perusahaan dapat memiliki modal yang cukup dalam
advanced teknologi. Sesuai dengan pernyataan Weng (2012) bahwa surplus
produsen berkorelasi positif dengan rasio konsentrasi, yaitu surplus produsen
meningkat bila rasio konsentrasi meningkat, menurun ketika rasio konsentrasi
menurun.
Selanjutnya dari sisi konsumen, dengan meningkatnya rasio konsentrasi
akan semakin meningkatkan harga produk ayam broiler. Namun persentase
kenaikan harga produk lebih rendah dari persentase kenaikan jumlah produksi.
Pada kondisi ini kerugian ditingkat konsumen dapat ditutupi dengan peningkatan
produksi dimana terlihat bahwa tingkat konsumsi meskipun turun namun dengan
persentase yang cukup kecil. Pada pasar persaingan sempurna, peningkatan
produksi akan menyebabkan penurunan harga dari produk yang diminta.
143
Hasil perhitungan surplus produsen dan surplus konsumen sebagai dampak
perubahan konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 15 dibawah ini:
Tabel 15. Perhitungan surplus produsen dan surplus konsumen sehubungan
dengan peningkatan konsentrasi industri
Indikator Satuan
Perubahan kesejahteraan
kesejahteraan Sim 1 Sim 2 Sim 3 Sim 4
Surplus produsen Milyar Rp 50.93 97.80 140.50 179.06
Surplus konsumen Milyar Rp -5.46 -10.92 -16.36 -21.74 Ket : Simulasi 1 : Kenaikan tingkat konsentrasi industri broiler sebesar 5 persen
Simulasi 2 : Kenaikan tingkat konsentrasi industri broiler sebesar 10 persen
Simulasi 3 : Kenaikan tingkat konsentrasi industri broiler sebesar 15 persen
Simulasi 4 : Kenaikan tingkat konsentrasi industri broiler sebesar 20 persen
Berdasarkan perhitungan surplus produsen dan surplus konsumen yang
mengacu kepada perhitungan Sinaga (1989) didapatkan hasil surplus produsen
sebesar 50.928 sementara surplus konsumen didapatkan hasil sebesar -5.463
pada kenaikan rasio konsentrasi sebesar 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
kenaikan konsentrasi sebesar 5 persen akan meningkatkan surplus produsen
sebesar 50.928 milyar rupiah dan menurunkan surplus konsumen sebesar 5.463
milyar rupiah. Artinya, produsen jauh diuntungkan dengan kenaikan konsentrasi
ini. Selanjutnya dengan meningkatnya konsentrasi maka surplus produsen juga
semakin besar. Kenaikan konsentrasi industri sampai pada taraf 20 persen semakin
meningkatkan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja serta kekuatan pasar. Dari
sisi produsen masih diuntungkan dengan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja,
namun kekuatan pasar makin mendorong kenaikan harga produk sehingga
konsumen dirugikan. Berdasarkan hasil estimasi sebelumnya bahwa peubah
integrasi vertikal dan hambatan masuk berhubungan positif dan signifikan
terhadap konsentrasi. Sementara integrasi vertikal berhubungan positif terhadap
efisiensi dan kekuatan pasar. Kekuatan pasar yang besar akan menciptakan
hambatan masuk yang besar pula, demikian pula sebaliknya. Artinya,
meningkatnya integrasi vertikal di industri ini berdampak terhadap meningkatnya
konsentrasi yang secara tidak langsung meningkatkan kekuatan pasar melalui
efisiensi yang meningkat. Menurut George et al. 1992, meskipun integrasi
vertikal mungkin akan mengurangi biaya terhadap transaksi di pasar, integrasi
semacam ini dapat saja memunculkan perusahaan yang memiliki kekuatan pasar
yang sangat besar dengan menciptakan hambatan masuk. Selain itu, semakin
terintegrasi suatu perusahaan maka semakin baik posisinya dalam bisnis sebagai
hasil dari usaha yang efisien, lebih terdiversifikasi menyangkut resiko usaha dan
tingginya barriers to entry.
Beberapa perusahaan yang memiliki keterkaitan proses produksi melakukan
suatu bentuk pengintegrasian secara vertikal sebagai strategi untuk meningkatkan
efisiensi sehingga produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif. Namun dari
hasil estimasi terdapat hubungan positif antara kekuatan pasar dan efisiensi.
Artinya semakin efisien industri maka kekuatan pasar semakin meningkat. Namun
jika dilihat dari persentase kenaikannya, maka dampak peningkatan konsentrasi
memberikan efek kekuatan pasar yang lebih besar dibandingkan efek efisiensi.
144
Artinya secara keseluruhan atau agregat, kenaikan konsentrasi lebih lanjut akan
menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan perhitungan penulis, jika pada tahun 2003, konsentrasi industri
di Indonesia berada pada kisaran 50.26 persen, dan meningkat menjadi 54.81
persen pada 2012. Tujuh perusahaan dari sekitar 956 perusahaan di industri ini
menguasai sekitar 53.52 persen di tahun 2003, dan sekarang di tahun 2012
dimana hanya tinggal sekitar 108 perusahaan broiler seluruh Indonesia, tujuh
perusahaan menguasai sekitar 60.32 persen. Maka diprediksi, dominasi pasar dari
perusahaan besar di industri broiler pada tahun 2025 mencapai 70 persen.
Rumusan Kebijakan Pengembangan Usaha Broiler
Salah satu yang menyebabkan kenaikan tingkat konsentrasi di industri
broiler adalah integrasi vertikal sebagaimana yang terlihat pada hasil estimasi
peubah endogen konsentrasi industri pada bab sebelumnya. Semestinya,
peningkatan konsentrasi pasar berkaitan dengan economies of scale dan technical
efficiency improvements, yang mana dapat mendorong harga output turun dan
meningkatkan harga input bahan baku utama dan meningkatkan output (Stiegert
dan Carton, 1998). Namun integrasi vertikal yang terjadi di industri broiler
sekarang ini menyebabkan turunnya tingkat persaingan sehingga konsentrasi
industri meningkat. Selanjutnya, meningkatnya konsentrasi dan integrasi
menyebabkan meningkatnya harga output. Seperti prediksi awal dari lembaga
yang ahli dan pemerhati masalah industri, mereka umumnya sepakat bahwa
konsentrasi kemungkinan akan meningkat di masa depan, berpotensi
meningkatkan kekhawatiran tentang kekuatan pasar dan manipulasi harga
komoditas dan pangan (Shields, 2010).
Hal ini mengindikasikan bahwa integrasi vertikal yang dijalankan di industri
broiler merupakan integrasi semu, dimana semestinya dengan integrasi, usaha
menjadi lebih efisien dan harga produk menjadi rendah. Hal ini mengingat bahwa,
di dalam usaha budidaya ayam ras, baik petelur maupun pedaging, ada empat pola
usaha ternak (budidaya), yakni : (1) usaha ternak ayam ras menyediakan sendiri
seluruh sapronaknya baik langsung maupun melalui perusahaan afiliasi, (2) usaha
ternak ayam menyediakan sendiri sebagian sapronaknya, misalnya usaha ternak
menghasilkan sendiri pakan ayam ras tetapi tidak menyediakan Day Old Chick
(DOC) atau sebaliknya, (3) usaha ternak yang membeli sendiri seluruh
sapronaknya langsung dari pabrik, dan (4) usaha ternak ayam ras yang membeli
seluruh sapronaknya melalui poultry shop. Dari empat pola usaha ini, pola satu
dan dua mempunyai peluang yang lebih baik dalam berbagai kondisi pasar.
Sedangkan usaha ternak pola empat berada pada posisi bersaing yang lemah dan
sangat peka terhadap perubahan harga sapronak. Dalam keadaan harga sapronak
naik, sedangkan harga produk ayam ras tidak naik, maka usaha ternak pola
keempat ini akan sangat menderita (Alim, 1996). Karena sesungguhnya suatu
perusahaan akan melakukan integrasi vertikal apabila manfaat yang diperolehnya
jauh lebih besar daripada biaya-biaya yang mungkin akan dihadapinya
(Mulyaningsih dan Karseno, 2002)
Kekuatan pasar berhubungan positif dengan pengurangan biaya. Artinya
makin efisien industri maka kekuatan pasar makin meningkat. Namun jika dilihat
dari persentase kenaikannya, maka efek kekuatan pasar lebih besar dari efek
145
efisiensi. Efek kekuatan pasar yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan
dominan adalah rente ekonomi di industri yang wajib dibayar, sehingga
berdampak pada harga produk yang lebih tinggi, sehingga mengurangi pendapatan
bersih peternak dari tingkat yang mungkin sebaliknya jika ada di kondisi pasar
persaingan sempurna. Di samping itu, efek dari pasar yang kuat di industri broiler
memiliki implikasi bagi stabilitas baik pasokan dan harga produk untuk
konsumen.
Mc. Donald dan Key (2012) mengungkapkan bahwa kekuatan pasar oleh
perusahaan pengolahan ayam pedaging (integrator) adalah masuk akal karena
pasar lokal untuk pembudidaya (grower) telah terkonsentrasi dan karena peternak
pembudidaya harus menghadapi resiko yang timbul dari investasi besar dalam
aset tertentu yang ditetapkan terhadap komitmen pembelian yang terbatas di
integrator. Hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi di integrator
meskipun kecil namun secara ekonomi bermakna dalam mengurangi kompensasi
yang diterima peternak.
Sebagaimana industri pangan yang semakin maju, dan didorong oleh
permintaan konsumen, maka koordinasi vertikal, sebagai strategi bisnis menjadi
sangat penting sekarang karena hal ini memungkinkan petani dan industri pangan
untuk mengatur dan menyesuaikan produksi mereka berdasarkan kebutuhan pasar.
Hal ini dipercaya bahwa integrasi vertikal dan kontrak sistemnya pada akhirnya
menyebabkan perubahan, dimana secara konsisten terjadi peningkatan kualitas,
produk lebih beragam dan lebih banyak pilihan produk bagi konsumen.
Williamson (1974) dalam Bhuyan (2005), berpendapat bahwa integrasi vertikal
menciptakan efisiensi dengan mengurangi biaya transaksi terkait dengan
pertukaran (market exchange). Perusahaan terintegrasi akan mampu mengurangi
inefisiensi alokatif dengan melakukan diversifikasi resiko, memastikan penawaran
atau pasar, menangkap peluang atau skala ekonomis, menginternalkan
eksternalitas di produksi, penentuan harga dan keputusan pasar (Klein et al.
1978).
Konsentrasi disertai konsolidasi integrasi di industri akan menurunkan
margin pemasaran jika dampak ukuran ekonomi berlaku dan akan meningkatkan
margin pemasaran jika dampak kekuatan pasar berlaku. Implikasi dari kenaikan
konsentrasi di industri broiler ini bagi para penentu kebijakan, dimana jika
perusahaan agribisnis yang memegang kekuatan pasar berusaha menambah
keuntungan yang berlebihan, maka peternak harus makmur bersama dengan
perusahaan-perusahaan agribisnis swasta. Kebijakan peternakan unggas oleh
pemerintah diarahkan pada visi pemberdayaan peternak dan usaha agribisnis
peternakan, peningkatan nilai tambah dan dayasaing dengan misi mendorong
pembangunan peternakan. Program peningkatan produktivitas dan produksi ayam
broiler lebih diarahkan pada pengembangan transformasi skala usaha rakyat
mencapai skala menengah melalui pendekatan pola produksi yang lebih efisien
dan kelembagaan.
Bagi peternak, kehadiran koperasi produsen dapat mengurangi kesempatan
untuk eksploitasi oleh perusahaan besar. Mereka sulit makmur dalam persaingan
dengan perusahaan swasta. Peternak mesti berkonsolidasi kedepannya untuk dapat
bersaing dan bertahan. Koperasi dapat berintegrasi secara vertikal untuk
beroperasi di hampir semua fase pasokan input pertanian, kontraktor, pengolahan
hasil, dan pemasaran produk. Koperasi dihadirkan untuk dapat memberikan
146
kekuatan penyeimbang terhadap perusahaan swasta besar, sehingga keuntungan
agregat keseluruhan perusahaan agribisnis yang mengolah dan memasarkan
produk-produk pertanian dapat dinikmati masyarakat keseluruhan.
Industri perunggasan di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan
perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi
usaha yang optimal, sehingga mampu bersaing dengan produk dari produk-produk
unggas luar negeri. Produk unggas, yakni daging ayam dan telur, dapat menjadi
lebih murah sehingga dapat menjangkau lebih luas masyarakat di Indonesia.
Pembangunan industri perunggasan menghadapi tantangan yang cukup berat
baik secara global maupun lokal karena dinamika lingkungan strategis di dalam
negeri. Tantangan global ini mencakup kesiapan dayasaing produk perunggasan,
utamanya bila dikaitkan dengan lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan,
yang merupakan 70-80 persen dari biaya produksi karena sebagian besar masih
sangat tergantung dari impor. Upaya meningkatkan dayasaing produk
perunggasan harus dilakukan secara simultan dengan mewujudkan harmonisasi
kebijakan yang bersifat lintas Departemen. Hal ini dilakukan dengan tetap
memperhatikan faktor internal seperti menerapkan efisiensi usaha, meningkatkan
kualitas produk, menjamin kontinuitas suplai dan sesuai dengan permintaan pasar.
Terwujudnya industri perunggasan yang berdayasaing dicirikan oleh ketidak-
tergantungan terhadap komponen bahan baku impor dan terjadinya transformasi
dari skala usaha yang subsisten ke skala menengah maupun skala besar.
Dua hal pokok harus digarap oleh industri perunggasan Indonesia saat ini
demi pertumbuhan bisnis ini secara sehat. Pertama adalah promosi, dan kedua
adalah peningkatan jumlah kandang peternak komersial secara signifikan.
Sebagian besar persoalan industri broiler tanah air muaranya pada rendahnya
daya serap konsumen. Pertumbuhan tingkat konsumsi daging ayam oleh publik
tidak secepat tumbuhnya industri tersebut. Upaya promosi atau kampanye
peningkatan konsumsi daging ayam terbukti di berbagai belahan dunia mampu
memperbesar pasar, dan berikutnya akan berkontribusi menekan fluktuasi harga
produk (live bird).
Selama ini, industri perunggasan di hulu, dalam hal ini breeding
(perusahaan pembibitan) produsen DOC (anak ayam umur sehari) maupun
feedmill (pabrikan pakan) berkembang demikian pesat dan produksinya jauh
meningkat dibandingkan kurun waktu sebelumnya. Tetapi pertumbuhan dan
perkembangan ini tidak diimbangi penambahan kandang budidaya dan
peningkatan kualitas cara-cara budidaya yang setara. Alhasil, tak jarang produsen
DOC dan pakan berebut peternak pelanggan, dan perang harga acapkali tak
terelakkan. Sebagaimana terjadi di waktu-waktu terakhir ini, DOC
diperdagangkan dengan harga tidak wajar, seolah tak ada harganya (Dawami,
2012).
Upaya penambahan kandang budidaya pembesaran secara signifikan akan
berpengaruh pada serapan DOC dan berpengaruh pada stabilisasi harga. Peternak
harus diberi rangsangan modal untuk mampu menambah kapasitas kandang atau
mampu menarik pelaku-pelaku baru di segmen budidaya. Rangsangan dapat
berupa kredit dari perbankan maupun program kredit dari pemerintah. Berikutnya
diikuti dengan upaya peternak meningkatkan efisiensi sehingga HPP (harga pokok
produksi) dapat ditekan dan harga jual tidak di bawah ongkos produksi. Dengan
147
kata lain, berapa pun banyaknya produksi ayam, peternak tidak merugi tetapi
konsumen juga tidak diberatkan dengan harga yang terlalu mahal.
Efisiensi bisa ditingkatkan melalui beberapa strategi. Diantaranya dengan
meningkatkan utilitas. Melalui sentuhan teknologi, kepadatan kandang dapat
ditingkatkan, okupansi tenaga kandang dapat ditambah, tingkat stres dapat
ditekan, masa budidaya dapat lebih singkat, dan beberapa perbaikan performa
lainnya yang berujung pada meningkatnya efisiensi.
Pada sisi lain, industri perunggasan menghadapi berbagai tantangan
diantaranya pasar bebas baik regional maupun pasar dunia. Untuk itu perlu
dilakukannya pembenahan guna menghadapi berbagai perubahan-perubahan
lingkungan strategis. Semua tantangan yang ada didepan dan permasalahan yang
ada saat ini, menjadi bahan pertimbangan utama dalam menciptakan industri
perunggasan yang tangguh, mandiri dan efisien. Untuk itu diperlukan strategi dan
program yang pas dari pemerintah dalam menyusun strategi dan program
pembangunan industri unggas nasional. Perlu adanya kesamaan persepsi tentang
dasar pemikiran dan konsepsi tentang perunggasan. Pembenahan dalam industri
perunggasan akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan dalam pembenahan sub-
sektor peternakan dari hulu hingga ke hilir.
Hasil penelitian MacDonald dan Key (2012) menemukan hal yang kecil tapi
bermakna secara ekonomi sebagai dampak dari jumlah integrator terhadap
kompensasi yang diterima peternak produsen broiler di Amerika pada 2007.
Peternak yang menghadapi integrator tunggal dibayar 7-8 persen lebih sedikit
secara rata-rata, dibandingkan peternak yang menghadapi empat atau lebih
integrator. Temuan ini diperkuat untuk kontrol di tingkat kompensasi lokal untuk
operasi dan fitur kontrak, faktor yang juga terbukti mempengaruhi kompensasi
kontrak dan bervariasi di seluruh peternak. Meskipun mereka mencirikan dampak
kompetisi yang kecil dari harga integrator, perbedaan sederhana dalam
pendapatan dapat diterjemahkan ke dalam perbedaan substansial dalam laba
bersih seluruh operasi. Untuk kondisi di industri broiler Indonesia saat ini dimana
struktur usaha masih dominan dikuasai dua perusahaan asing yang terintegrasi
menyebabkan rendahnya tingkat kompetisi di tingkat industri. Hal ini tentu sedikit
banyak berpengaruh terhadap kinerja sistem kontrak kemitraan di tanah air.
Untuk itu industri peternakan ayam perlu dibenahi agar produksinya bisa
maksimal dan bersaing, di samping meningkatkan kesejahteraan peternak ayam,
dan menaikkan daya beli masyarakat. Penanganan jangka panjang ketersediaan
bahan baku sangat penting agar peternak rakyat bisa berkompetisi. Kondisi
peternak saat ini sangat sulit, dimana di satu sisi harus berhadapan dengan
perusahaan besar yang menguasai peternakan unggas dari hulu sampai hilir
(integrasi vertikal dan horisontal) sehingga bisa mengendalikan harga, sementara
di sisi lain harus bersiap dengan serbuan produk impor.
148
Tabel 16. Implikasi kebijakan pemerintah di dalam memperbaiki Struktur,
Perilaku dan Kinerja Industri Broiler sehubungan dengan simulasi
Simulasi Implikasi Kebijakan
Kenaikan
permintaan
- Mendorong perkembangan industri broiler dengan
mempermudah regulasi dan deregulasi
- Menciptakan iklim usaha bersaing yang sehat dan
kondusif
Kenaikan
penawaran
- Meningkatkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat
- Terus mengkampanyekan pentingnya konsumsi pangan
asal protein hewani di masyarakat
Kenaikan harga
broiler
- Mendorong perkembangan usaha broiler rakyat yang
efisien, sebagai contoh dengan memberikan bantuan
kredit lunak untuk penyediaan sarana dan prasarana
- Memberikan penyuluhan ke peternak mengenai
introduksi kandang tertutup yang efisien (close-house)
Kenaikan harga
pakan
- Mendorong kegiatan riset dan pengembangan bahan
baku penyusun pakan alternatif sumber protein
- Memperbaiki infrastruktur pemasaran pakan yang
efisien
Kenaikan harga
DOC
- Meningkatkan koordinasi antara pabrik pembibitan dan
sektor budidaya
- Mengupayakan penambahan kandang budidaya
pembesaran dengan bantuan kredit lunak
Kenaikan
konsentrasi
- Beberapa usaha rakyat yang memiliki keterkaitan
proses produksi melakukan suatu bentuk
pengintegrasian secara vertikal sebagai upaya strategi
untuk meningkatkan efisiensi
- Konsolidasi koperasi dapat dilakukan untuk
memperkuat posisi bargaining dan sebagai
penyeimbang kekuatan perusahaan besar
149
8 KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang dampak konsentrasi
industri terhadap kinerja dan kesejahteraan masyarakat di industri broiler
Indonesia maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat keterkaitan erat antara tingkat konsentrasi industri terhadap kinerja
industri broiler dimana konsentrasi yang meningkat akan meningkatkan
strategi integrasi vertikal. Perilaku Integrasi vertikal selanjutnya berdampak
kepada efisiensi dan kekuatan pasar. Konsentrasi dan integrasi vertikal yang
meningkat akan mengurangi tingkat persaingan di industri dan akan
menguntungkan perusahaan yang terintegrasi. Tingkat keuntungan yang
meningkat akan semakin meningkatkan kekuatan pasar. Secara tidak
langsung peningkatan konsentrasi berdampak terhadap peningkatan kekuatan
pasar. Perusahaan-perusahaan besar yang melakukan integrasi vertikal akan
semakin memperbesar pangsa pasarnya sehingga efisiensi atau penghematan
akan mudah diperoleh. Terciptanya suatu hambatan masuk bagi perusahaan-
perusahaan baru menyebabkan kondisi pasar semakin mendekati monopoli.
2. Berdasarkan hasil simulasi peningkatan permintaan daging ayam broiler,
terlihat bahwa upaya menurunkan tingkat konsentrasi dan kekuatan pasar
dapat dilakukan dengan meningkatkan permintaan akan produk. Permintaan
akan berdampak terhadap perluasan penyebaran produksi dan akan
meningkatkan persaingan. Penawaran produk-produk peternakan akan
meningkat dengan meningkatnya jumlah usaha peternakan dan perkembangan
usaha peternakan didorong oleh meningkatnya permintaan akan produk-
produk peternakan (demand creates supply).
3. Kenaikan konsentrasi industri sampai pada taraf 20 persen meningkatkan
efisiensi, produktivitas tenaga kerja dan kekuatan pasar. Dari sisi produsen
masih diuntungkan dengan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja, namun
kekuatan pasar akan semakin mendorong kenaikan harga produk sehingga
konsumen dirugikan. Kemudian jika dilihat dari persentase kenaikannya,
maka efek kenaikan kekuatan pasar lebih besar dari efek kenaikan efisiensi.
Artinya secara keseluruhan atau agregat, kenaikan konsentrasi lebih lanjut
akan menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil pembahasan struktur, perilaku dan kinerja perusahaan
broiler dan dilanjutkan dengan simulasi kebijakan maka beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk mendorong perkembangan industri broiler adalah:
1. Pemerintah perlu menyediakan berbagai regulasi untuk mendorong perubahan
struktur industri menuju pasar yang lebih bersaing. Pengembangan pasar input
bahan baku pakan, lembaga penunjang (perbankan dan koperasi), pengembangan
industri pakan dan DOC serta sarana dan prasarana budidaya unggas dan
150
pengolahan hasil ternak harus dilakukan secara terintegrasi dalam kerangka
pengembangan agribisnis peternakan unggas.
2. Terkait perkembangan usaha broiler agar dapat memberikan manfaat bagi
produsen dan konsumen serta masyarakat keseluruhan, pemerintah perlu
menyusun kebijakan industri ayam broiler untuk jangka panjang dengan
memperhatikan perubahan lingkungan yang mempengaruhinya baik lingkungan
regional dan nasional maupun wilayah/daerah agar kebijakan tersebut tepat
sasaran, mengingat peran usaha ayam broiler yang sangat strategis. 3. Mengingat semakin timpangnya struktur produksi di industri broiler maka
kiranya pengembangan agribisnis peternakan unggas oleh pemerintah
diarahkan pada visi pemberdayaan peternak dan usaha agribisnis terpadu,
peningkatan nilai tambah dan daya saing dengan misi mendorong
pembangunan perunggasan. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa integrasi
vertikal dapat meningkatkan efisiensi melalui biaya produksi yang rendah.
Untuk itu upaya peningkatan efisiensi usaha broiler perlu dilakukan dengan
penyuluhan-penyuluhan secara berkesinambungan. Program peningkatan
produktivitas dan produksi ayam broiler lebih diarahkan pada pengembangan
transformasi skala usaha rakyat mencapai skala menengah melalui
pendekatan pola produksi yang lebih efisien dan kelembagaan.
4. Peningkatan efisiensi usaha peternakan ayam broiler di tingkat perusahaan
dapat menjadi role model bagi pemerintah dalam pengembangan usaha
broiler rakyat. Kebijakan pemerintah seharusnya lebih terfokus pada
penggunaan teknologi pakan dan bibit yang bermutu serta penggunaan
kandang modern (close house). Penanganan jangka panjang ketersediaan
bahan baku sangat penting agar peternak rakyat dapat berkompetisi.
Profesionalisme penyuluh peternakan juga perlu ditingkatkan sehubungan
dengan introduksi teknologi di tingkat peternak agar teknologi yang
digunakan dapat efisien dan tepat guna.
Saran Penelitian Lanjutan
Penelitian lanjutan sangat diharapkan untuk dapat melihat perkembangan
industri broiler di Indonesia secara lebih komprehensif mengingat usaha ayam
broiler memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkages) dan keterkaitan ke
depan (forward linkages), diantaranya :
1. Perlu ditelitinya keterkaitan kelembagaan dalam industri ayam broiler yang
mencakup industri dari hulu ke hilir termasuk koperasi dan poultry shop
melalui analisis Structure Conduct Performance sehingga pembahasan terkait
konsentrasi dan integrasi vertikal dapat lebih dipertajam.
2. Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam sehubungan dengan kinerja
peternak ayam broiler, baik itu peternak mandiri atau kemitraan, untuk dapat
melihat langsung kondisi peternakan broiler yang ada sekarang.
3. Data industri broiler sebaiknya menggunakan data time series tahunan
berdasarkan survei perusahaan peternakan unggas seluruh Indonesia.
151
157
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pendugaan Model Ekonometrika Simultan Struktur, Perilaku dan Kinerja
Industri Broiler Indonesia
The SAS System The MODEL Procedure Model Summary
158
Model Variables 14 Endogenous 14 Parameters 83 Equations 14 Number of Statements 14 The 14 Equations to Estimate PDAB = F(a0(1), a1(HDABR), a2(JPAB), a3(HPKNR), a4(PRODF), a5(YEAR)) DEMB = F(b0(1), b1(HDABR), b2(HDSPR), b3(HDIKR), b4(HTARR), b5(PDRB), b6(YEAR)) HDABR = F(c0(1), c1(MPWR), c2(HPKNR), c3(DEMB), c4(PRODF), c5(HBBTR), c6(YEAR)) JPAB = F(d0(1), d1(RHDAB), d2(DEMB), d3(PROF), d4(DINV)) RCON = F(e0(1), e1(PDAB), e2(DEMB), e3(INTG), e4(MESH), e5(PDTK)) MESH = F(f0(1), f1(RCON), f2(COSU), f3(MPWR), f4(INTG)) INTG = F(g0(1), g1(JPIK), g2(PDAB), g3(PDTK), g4(RCON)) SCPK = F(h0(1), h1(HPKNR), h2(INTG), h3(SCOT), h4(DEMB), h5(JPAB)) HABPR = F(k0(1), k1(RCON), k2(DEMB), k3(HPKNR), k4(HBBTR), k5(INTG), k6(YEAR)) COSU = F(l0(1), l1(JPES), l2(PRODF), l3(INTG), l4(PDTK), l5(RCON)) PDTK = F(m0(1), m1(WAGR), m2(RHDAB), m3(RCON), m4(INTG), m5(YEAR)) PROF = F(n0(1), n1(SCOP), n2(JPES), n3(RCON), n4(PDTK), n5(GAP)) MPWR = F(o0(1), o1(HDABR), o2(RCON), o3(PDTK), o4(COSU), o5(JPES)) GAP = F(p0(1), p1(RCON), p2(PDTK), p3(RHDAB), p4(YEAR)) Instruments 1 PROPID VBBT HBBTR YEAR WAGR JTEK SCOP HDSPR HDIKR HTARR IHK JPIK VPKN HPKNR IHP DINV PDRB PRODF NCAP JPES NOTE: The instrument IHP is a linear combination of other instruments. NOTE: At 2SLS Iteration 1 CONVERGE=0.001 Criteria Met. The SAS System The MODEL Procedure 2SLS Estimation Summary Data Set Options DATA= UBOILER Minimization Summary Parameters Estimated 83 Method Gauss Iterations 1 Final Convergence Criteria R 0 PPC 2.16E-11 RPC(a0) 3.2705E9 Object 0.988055 Trace(S) 8.6185E8 Objective Value 6.3003E8 Observations Processed Read 24 Solved 24 The SAS System The MODEL Procedure Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors DF DF Adj Durbin Equation Model Error SSE MSE R-Square R-Sq Watson
159
PDAB 6 18 1.193E10 6.6289E8 0.9650 0.9553 0.8380 DEMB 7 17 3.321E9 1.9535E8 0.9846 0.9792 0.9833 HDABR 7 17 26547143 1561597 0.7029 0.5981 1.3933 JPAB 5 19 1153.0 60.6830 0.6929 0.6283 1.0176 RCON 6 18 692.7 38.4835 0.8449 0.8018 1.4618 MESH 5 19 152.2 8.0114 0.7013 0.6384 1.9554 INTG 5 19 91.1826 4.7991 0.7716 0.7235 1.1089 SCPK 6 18 582.1 32.3405 0.6550 0.5592 2.2484 HABPR 7 17 33720870 1983581 0.7664 0.6839 1.2017 COSU 6 18 0.0779 0.00433 0.8485 0.8064 1.9982 PDTK 6 18 639544 35530.2 0.6244 0.5200 1.9173 PROF 6 18 388979 21609.9 0.7569 0.6894 2.9150 MPWR 6 18 0.00926 0.000514 0.9817 0.9767 2.4484 GAP 5 19 12.2069 0.6425 0.6992 0.6358 1.2388 Nonlinear 2SLS Parameter Estimates Approx Approx Parameter Estimate Std Err t Value Pr > |t| Label a0 -330317 166022 -1.99 0.0620 Intercept a1 8.509662 4.6409 1.83 0.0833 Harga eceran broiler a2 7355.853 655.0 11.23 <.0001 Jumlah perusahaan broiler a3 28.88879 18.7814 1.54 0.1414 Harga input pakan a4 0.274686 0.0559 4.92 0.0001 Produksi broiler domestik a5 8665.535 7901.0 1.10 0.2872 Trend b0 -191177 73671.6 -2.59 0.0189 Intercept b1 -2.83943 1.6334 -1.74 0.1002 Harga eceran broiler b2 2.706981 1.8770 1.44 0.1674 Harga eceran daging sapi b3 20.7128 2.9147 7.11 <.0001 Harga eceran ikan b4 -22.2648 5.8080 -3.83 0.0013 Harga eceran telur ayam b5 0.667227 0.0299 22.34 <.0001 PDRB b6 22782.38 5381.1 4.23 0.0006 Trend c0 30165.41 3905.6 7.72 <.0001 Intercept c1 2250.7 2505.9 0.90 0.3816 Kekuatan pasar c2 -3.01791 0.6226 -4.85 0.0002 Harga input pakan c3 0.028552 0.0269 1.06 0.3039 Konsumsi broiler domestik c4 -0.02393 0.0173 -1.39 0.1839 Produksi broiler perusahaan c5 0.586888 0.3383 1.73 0.1009 Harga bibit DOC c6 -638.258 359.8 -1.77 0.0940 Trend d0 -27.7055 8.9334 -3.10 0.0059 Intercept d1 3.540493 1.5604 2.27 0.0351 Rasio harga broiler thd pakan d2 0.000124 0.000023 5.49 <.0001 Konsumsi broiler domestik d3 0.020373 0.0122 1.67 0.1117 Tingkat keuntungan d4 -0.42565 0.3397 -1.25 0.2254 Penambahan investasi e0 46.04805 7.0964 6.49 <.0001 Intercept e1 0.000031 0.000022 1.43 0.1711 Produksi broiler domestik e2 -0.0001 0.000029 -3.41 0.0031 Konsumsi broiler domestik e3 1.959208 0.6246 3.14 0.0057 Integrasi vertikal e4 0.716522 0.4658 1.54 0.1414 Hambatan masuk e5 -0.0143 0.00796 -1.80 0.0894 Produktivitas tenaga kerja f0 -54.9558 27.6295 -1.99 0.0613 Intercept f1 0.16701 0.0715 2.33 0.0307 Konsentrasi industri f2 58.33768 26.7498 2.18 0.0420 Biaya per unit f3 43.07141 25.7363 1.67 0.1106 Kekuatan pasar f4 0.866149 0.3449 2.51 0.0212 Integrasi vertikal g0 -3.22855 3.4410 -0.94 0.3599 Intercept g1 -0.23841 0.2863 -0.83 0.4153 Jumlah perusahaan pakan g2 4.026E-6 4.546E-6 0.89 0.3870 Produksi broiler domestik
160
g3 0.006182 0.00217 2.85 0.0102 Produktivitas tenaga kerja g4 0.177627 0.0481 3.69 0.0015 Konsentrasi industri h0 50.37712 14.7282 3.42 0.0031 Intercept h1 0.008418 0.00322 2.62 0.0174 Harga riil pakan h2 -0.93963 0.3484 -2.70 0.0147 Integrasi vertikal h3 -1.18332 0.5059 -2.34 0.0311 Pangsa biaya lainnya h4 0.00003 0.000022 1.38 0.1846 Konsumsi broiler domestik h5 0.074885 0.1603 0.47 0.6459 Jumlah perusahaan broiler k0 3228.563 4448.7 0.73 0.4779 Intercept k1 11.95296 61.6176 0.19 0.8485 Konsentrasi industri
161
The SAS System The MODEL Procedure Nonlinear 2SLS Parameter Estimates Approx Approx Parameter Estimate Std Err t Value Pr > |t| Label k2 0.013509 0.00506 2.67 0.0162 Konsumsi broiler domestik k3 0.390864 0.6818 0.57 0.5739 Harga input pakan k4 0.16468 0.3856 0.43 0.6747 Harga input bibit k5 591.4382 154.2 3.84 0.0013 Integrasi vertikal k6 -532.249 380.5 -1.40 0.1799 Trend l0 0.683887 0.1387 4.93 0.0001 Intercept l1 -0.00106 0.00163 -0.65 0.5233 Jumlah perusahaan pesaing l2 3.123E-7 1.947E-7 1.60 0.1261 Produksi broiler perusahaan l3 -0.0256 0.00824 -3.10 0.0061 Integrasi vertikal l4 -0.00009 0.000094 -0.96 0.3485 Produktivitas tenaga kerja l5 0.001048 0.00240 0.44 0.6672 Konsentrasi industri m0 -1740.2 860.4 -2.02 0.0582 Intercept m1 0.002445 0.00140 1.74 0.0984 Upah riil m2 64.66432 38.4363 1.68 0.1098 Rasio harga broiler thd pakan m3 -1.39919 4.8379 -0.29 0.7757 Konsentrasi industri m4 46.50949 17.0015 2.74 0.0136 Integrasi vertikal m5 -275.275 142.0 -1.94 0.0683 Trend n0 -71.3947 198.8 -0.36 0.7237 Intercept n1 -26.1857 10.1642 -2.58 0.0190 Pangsa biaya operasional n2 -0.32166 2.8048 -0.11 0.9100 Jumlah perusahaan pesaing n3 1.655753 3.7875 0.44 0.6672 Konsentrasi industri n4 0.912869 0.2666 3.42 0.0030 Produktivitas tenaga kerja n5 83.70797 41.4272 2.02 0.0585 Kesenjangan produksi o0 0.900537 0.0911 9.88 <.0001 Intercept o1 8.844E-6 3.233E-6 2.74 0.0136 Harga riil broiler o2 0.000379 0.000564 0.67 0.5105 Konsentrasi industri o3 -0.00008 0.000034 -2.44 0.0253 Produktivitas tenaga kerja o4 -1.02181 0.0667 -15.31 <.0001 Biaya per unit o5 -0.00008 0.000415 -0.20 0.8443 Jumlah perusahaan pesaing p0 -4.50166 1.2852 -3.50 0.0024 Intercept p1 0.069869 0.0145 4.83 0.0001 Konsentrasi industri p2 -0.00014 0.000862 -0.17 0.8705 Produktivitas tenaga kerja
162
The SAS System The MODEL Procedure Nonlinear 2SLS Parameter Estimates Approx Approx Parameter Estimate Std Err t Value Pr > |t| Label p3 0.38968 0.1757 2.22 0.0389 Rasio harga broiler thd pakan p4 0.128658 0.2061 0.62 0.5399 Trend Number of Observations Statistics for System Used 24 Objective 630034176 Missing 0 Objective*N 1.5121E10 The SAS System The MODEL Procedure Heteroscedasticity Test Equation Test Statistic DF Pr > ChiSq Variables PDAB White's Test 23.54 20 0.2631 Cross of all vars DEMB White's Test 24.00 23 0.4038 Cross of all vars HDABR White's Test 24.00 23 0.4038 Cross of all vars JPAB White's Test 19.99 14 0.1304 Cross of all vars RCON White's Test 23.14 20 0.2821 Cross of all vars MESH White's Test 23.10 14 0.0587 Cross of all vars INTG White's Test 14.59 14 0.4066 Cross of all vars SCPK White's Test 20.67 20 0.4169 Cross of all vars HABPR White's Test 24.00 23 0.4038 Cross of all vars COSU White's Test 23.22 20 0.2781 Cross of all vars PDTK White's Test 22.19 17 0.1776 Cross of all vars PROF White's Test 23.89 20 0.2471 Cross of all vars MPWR White's Test 23.56 20 0.2622 Cross of all vars GAP White's Test 15.42 14 0.3500 Cross of all vars Godfrey's Serial Correlation Test Equation Alternative LM Pr > LM PDAB 1 9.47 0.0021 2 9.48 0.0087 DEMB 1 5.42 0.0199 2 5.77 0.0560 HDABR 1 2.14 0.1438 2 3.73 0.1552 JPAB 1 7.13 0.0076 2 7.26 0.0265 RCON 1 2.88 0.0899 2 7.83 0.0200 MESH 1 0.01 0.9075 2 0.43 0.8048 INTG 1 4.15 0.0416 2 6.13 0.0466 SCPK 1 1.19 0.2746 2 1.57 0.4552 HABPR 1 4.00 0.0455 2 4.37 0.1124 COSU 1 0.05 0.8169 2 0.76 0.6837 PDTK 1 0.05 0.8287 2 6.20 0.0451 PROF 1 9.28 0.0023 2 11.46 0.0032 MPWR 1 1.60 0.2061 2 3.77 0.1522
163
The SAS System The MODEL Procedure Godfrey's Serial Correlation Test Equation Alternative LM Pr > LM GAP 1 3.72 0.0539 2 3.97 0.1377
Lampiran 2. Hasil Validasi Model Ekonometrika Simultan Struktur, Perilaku dan Kinerja
Industri Broiler Indonesia
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 14 Endogenous 14 Parameters 83 Equations 14 Number of Statements 14 The SAS System The SIMNLIN Procedure
164
Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= UBOILER Solution Summary Variables Solved 14 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 1.35E-15 Maximum Iterations 1 Total Iterations 24 Average Iterations 1 Observations Processed Read 24 Solved 24 Variables Solved For PDAB DEMB HDABR JPAB RCON MESH INTG SCPK HABPR COSU PDTK PROF MPWR GAP The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PDAB 24 24 104635 121764 104635 114586 Produksi broiler domestik DEMB 24 24 134843 96852.8 134843 96110.8 Konsumsi broiler domestik HDABR 24 24 16702.7 1971.1 16702.7 1743.3 Harga riil broiler domestik JPAB 24 24 11.2500 12.7765 11.2500 11.6919 Jumlah perusahaan di industri RCON 24 24 63.1971 13.9327 63.1971 12.2452 Konsentrasi industri MESH 24 24 16.9496 4.7069 16.9496 3.1117 Hambatan masuk industri INTG 24 24 9.3196 4.1659 9.3196 3.2117 Integrasi vertikal SCPK 24 24 79.1746 8.5657 79.1746 7.0153 Pangsa biaya pakan HABPR 24 24 12495.3 2505.1 12495.3 1514.2 Harga broiler perusahaan COSU 24 24 0.5546 0.1495 0.5546 0.1162 Biaya per unit PDTK 24 24 229.4 272.1 229.4 207.6 Produktivitas tenaga kerja PROF 24 24 219.1 263.8 219.1 222.6 Tingkat keuntungan MPWR 24 24 0.4858 0.1484 0.4858 0.1182 Kekuatan pasar GAP 24 24 2.2450 1.3283 2.2450 1.0409 Kesenjangan produksi Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %
165
Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square PDAB 24 1.94E-11 -43.9933 53861.6 143.6 65792.9 237.4 0.6953 DEMB 24 1.36E-10 0.8337 8758.9 10.5608 10537.7 13.1103 0.9876 HDABR 24 7.28E-12 0.3470 901.5 5.3798 1079.0 6.4180 0.6873 JPAB 24 0 45.1406 7.0272 144.4 8.7820 216.9 0.5070 RCON 24 0 1.4754 7.4735 12.1946 9.2578 15.3266 0.5393 MESH 24 0 3.4226 2.7201 15.3573 3.5713 17.9083 0.3993 INTG 24 0 11.5072 2.8619 36.2824 3.4089 43.7011 0.3013 SCPK 24 0 0.4349 3.9178 5.1661 5.0881 6.9353 0.6318 HABPR 24 -243E-14 3.1829 1850.4 15.9118 2179.3 19.8384 0.2103 COSU 24 0 5.5251 0.0962 20.7739 0.1150 29.9805 0.3829 PDTK 24 0 81.2243 166.0 162.0 214.9 255.2 0.3489 PROF 24 0 87.5075 215.4 187.7 268.5 242.4 -.0817 MPWR 24 0 4.7994 0.0926 21.2080 0.1088 26.4867 0.4394 GAP 24 0 6.2917 0.5853 24.7220 0.8771 31.4448 0.5450
166
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U PDAB 24 4.3287E9 0.84 0.00 0.03 0.97 0.01 0.99 0.4148 0.2109 DEMB 24 1.1104E8 0.99 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0639 0.0320 HDABR 24 1164206 0.83 0.00 0.01 0.99 0.04 0.96 0.0642 0.0321 JPAB 24 77.1228 0.73 0.00 0.07 0.93 0.01 0.99 0.5220 0.2672 RCON 24 85.7078 0.75 0.00 0.04 0.96 0.03 0.97 0.1432 0.0718 MESH 24 12.7540 0.63 0.00 0.00 1.00 0.19 0.81 0.2033 0.1027 INTG 24 11.6205 0.58 0.00 0.05 0.95 0.08 0.92 0.3351 0.1704 SCPK 24 25.8889 0.80 0.00 0.00 1.00 0.09 0.91 0.0639 0.0320 HABPR 24 4749140 0.48 0.00 0.02 0.98 0.20 0.80 0.1711 0.0861 COSU 24 0.0132 0.63 0.00 0.03 0.97 0.08 0.92 0.2005 0.1009 PDTK 24 46189.3 0.61 0.00 0.04 0.96 0.09 0.91 0.6114 0.3266 PROF 24 72113.4 0.37 0.00 0.20 0.80 0.02 0.98 0.7930 0.4146 MPWR 24 0.0118 0.67 0.00 0.03 0.97 0.07 0.93 0.2146 0.1081 GAP 24 0.7693 0.74 0.00 0.00 1.00 0.10 0.90 0.3381 0.1733 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U PDAB 23 5.7619 0.48 0.01 0.90 0.10 0.58 0.41 2.7774 0.6773 DEMB 23 0.0211 0.98 0.00 0.18 0.82 0.11 0.89 0.2281 0.1099 HDABR 23 0.00419 0.86 0.00 0.04 0.96 0.00 1.00 0.5227 0.2654 JPAB 23 3.9840 0.47 0.01 0.74 0.25 0.32 0.67 1.6924 0.5710 RCON 23 0.0203 0.76 0.00 0.30 0.70 0.06 0.94 0.7585 0.3475 MESH 23 0.0481 0.68 0.00 0.07 0.93 0.03 0.97 0.7401 0.3930 INTG 23 0.2068 0.75 0.00 0.03 0.97 0.04 0.96 0.6468 0.3448 SCPK 23 0.00389 0.84 0.00 0.00 1.00 0.07 0.93 0.5441 0.2926 HABPR 23 0.0357 0.71 0.00 0.19 0.81 0.00 0.99 0.7767 0.3779 COSU 23 0.0468 0.77 0.00 0.07 0.92 0.01 0.99 0.6621 0.3389 PDTK 23 5.5525 0.70 0.00 0.02 0.98 0.07 0.93 0.6730 0.3686 PROF 23 13.8725 0.33 0.03 0.10 0.87 0.12 0.85 0.9547 0.5833 MPWR 23 0.0702 0.80 0.00 0.01 0.99 0.05 0.95 0.5866 0.3145 GAP 23 0.0978 0.81 0.02 0.21 0.77 0.03 0.95 0.6478 0.3039
Lampiran 3. Hasil Simulasi Perubahan Faktor-faktor Eksternal di Industri Broiler
a. Kenaikan penawaran daging broiler 10 persen
167
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label DEMB 24 24 134843 96852.8 134821 96093.1 Konsumsi broiler domestik HDABR 24 24 16702.7 1971.1 16710.5 1727.7 Harga riil broiler domestik JPAB 24 24 11.2500 12.7765 11.3850 11.6885 Jumlah perusahaan di industri RCON 24 24 63.1971 13.9327 63.5494 12.6147 Konsentrasi industri MESH 24 24 16.9496 4.7069 17.0888 3.1361 Hambatan masuk industri INTG 24 24 9.3196 4.1659 9.4622 3.3023 Integrasi vertikal SCPK 24 24 79.1746 8.5657 79.8484 33.8008 Pangsa biaya pakan HABPR 24 24 12495.3 2505.1 12583.5 1551.4 Harga broiler perusahaan COSU 24 24 0.5546 0.1495 0.5509 0.1201 Biaya per unit PDTK 24 24 229.4 272.1 235.5 204.8 Produktivitas tenaga kerja PROF 24 24 219.1 263.8 227.3 218.4 Tingkat keuntungan MPWR 24 24 0.4858 0.1484 0.4899 0.1215 Kekuatan pasar GAP 24 24 2.2450 1.3283 2.2693 1.0642 Kesenjangan produksi
b. Kenaikan permintaan daging broiler 15 persen
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics
168
Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PDAB 24 24 104635 121764 120616 126490 Produksi broiler domestik HDABR 24 24 16702.7 1971.1 17257.6 1619.6 Harga riil broiler domestik JPAB 24 24 11.2500 12.7765 12.7807 12.7462 Jumlah perusahaan di industri RCON 24 24 63.1971 13.9327 60.0864 14.2727 Konsentrasi industri MESH 24 24 16.9496 4.7069 16.3668 3.4827 Hambatan masuk industri INTG 24 24 9.3196 4.1659 8.6720 3.5298 Integrasi vertikal SCPK 24 24 79.1746 8.5657 71.9146 34.5784 Pangsa biaya pakan HABPR 24 24 12495.3 2505.1 12348.4 1535.3 Harga broiler perusahaan COSU 24 24 0.5546 0.1495 0.5703 0.1253 Biaya per unit PDTK 24 24 229.4 272.1 203.6 216.4 Produktivitas tenaga kerja PROF 24 24 219.1 263.8 172.6 239.1 Tingkat keuntungan MPWR 24 24 0.4858 0.1484 0.4761 0.1248 Kekuatan pasar GAP 24 24 2.2450 1.3283 2.0318 1.1607 Kesenjangan produksi
c. Kenaikan harga eceran daging broiler 10 persen
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PDAB 24 24 104635 121764 121803 114892 Produksi broiler domestik DEMB 24 24 134843 96852.8 130100 96226.4 Konsumsi broiler domestik JPAB 24 24 11.2500 12.7765 11.6517 11.5695 Jumlah perusahaan di industri RCON 24 24 63.1971 13.9327 66.0355 13.4297 Konsentrasi industri MESH 24 24 16.9496 4.7069 18.4069 3.7042 Hambatan masuk
169
industri INTG 24 24 9.3196 4.1659 10.0897 3.5809 Integrasi vertikal SCPK 24 24 79.1746 8.5657 83.7283 32.5679 Pangsa biaya pakan HABPR 24 24 12495.3 2505.1 12920.6 1720.9 Harga broiler perusahaan COSU 24 24 0.5546 0.1495 0.5351 0.1241 Biaya per unit PDTK 24 24 229.4 272.1 261.2 218.2 Produktivitas tenaga kerja PROF 24 24 219.1 263.8 269.1 233.1 Tingkat keuntungan MPWR 24 24 0.4858 0.1484 0.5196 0.1297 Kekuatan pasar GAP 24 24 2.2450 1.3283 2.4394 1.1330 Kesenjangan produksi
d. Kenaikan harga input pakan 10 persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PDAB 24 24 104635 121764 104761 112991 Produksi broiler domestik DEMB 24 24 134843 96852.8 138461 95989.4 Konsumsi broiler domestik HDABR 24 24 16702.7 1971.1 15428.4 1845.4 Harga riil broiler domestik JPAB 24 24 11.2500 12.7765 11.0140 11.5199 Jumlah perusahaan di industri RCON 24 24 63.1971 13.9327 61.2064 12.7486 Konsentrasi industri MESH 24 24 16.9496 4.7069 15.9488 3.2617 Hambatan masuk industri INTG 24 24 9.3196 4.1659 8.8481 3.3237 Integrasi vertikal SCPK 24 24 79.1746 8.5657 56.0600 33.9734 Pangsa biaya pakan HABPR 24 24 12495.3 2505.1 12413.4 1535.7 Harga broiler perusahaan COSU 24 24 0.5546 0.1495 0.5664 0.1191 Biaya per unit PDTK 24 24 229.4 272.1 210.2 211.2 Produktivitas tenaga kerja PROF 24 24 219.1 263.8 186.9 228.5 Tingkat keuntungan MPWR 24 24 0.4858 0.1484 0.4638 0.1216 Kekuatan pasar GAP 24 24 2.2450 1.3283 2.1091 1.0737 Kesenjangan produksi
170
e. Kenaikan harga input bibit DOC 10 persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PDAB 24 24 104635 121764 104679 113335 Produksi broiler domestik DEMB 24 24 134843 96852.8 134354 96097.5 Konsumsi broiler domestik HDABR 24 24 16702.7 1971.1 16874.9 1742.8 Harga riil broiler domestik JPAB 24 24 11.2500 12.7765 11.0569 11.5274 Jumlah perusahaan di industri RCON 24 24 63.1971 13.9327 62.8822 12.7582 Konsentrasi industri MESH 24 24 16.9496 4.7069 16.9541 3.2618 Hambatan masuk industri INTG 24 24 9.3196 4.1659 9.2451 3.3203 Integrasi vertikal SCPK 24 24 79.1746 8.5657 78.9460 33.8940 Pangsa biaya pakan HABPR 24 24 12495.3 2505.1 12493.2 1550.5 Harga broiler perusahaan COSU 24 24 0.5546 0.1495 0.5565 0.1189 Biaya per unit PDTK 24 24 229.4 272.1 226.3 210.6 Produktivitas tenaga kerja PROF 24 24 219.1 263.8 214.0 227.6 Tingkat keuntungan MPWR 24 24 0.4858 0.1484 0.4860 0.1212 Kekuatan pasar GAP 24 24 2.2450 1.3283 2.2239 1.0696 Kesenjangan produksi
171
Lampiran 4. Hasil Simulasi Perubahan Kenaikan Konsentrasi terhadap Tingkat
Kesejahteraan
a. Kenaikan konsentrasi sebesar 5 persen
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PDAB 24 24 104635 121764 112608 111433 Produksi broiler domestik DEMB 24 24 134843 96852.8 134728 96118.6 Konsumsi broiler domestik HDABR 24 24 16702.7 1971.1 16743.2 1691.4 Harga riil broiler domestik JPAB 24 24 11.2500 12.7765 12.2871 11.2086 Jumlah perusahaan di industri MESH 24 24 16.9496 4.7069 17.8587 3.6558 Hambatan masuk industri INTG 24 24 9.3196 4.1659 10.1140 3.6598 Integrasi vertikal SCPK 24 24 79.1746 8.5657 82.8359 34.4342 Pangsa biaya pakan HABPR 24 24 12495.3 2505.1 13001.3 1677.3 Harga broiler perusahaan COSU 24 24 0.5546 0.1495 0.5347 0.1236 Biaya per unit PDTK 24 24 229.4 272.1 261.9 206.9 Produktivitas tenaga kerja PROF 24 24 219.1 263.8 272.1 239.6 Tingkat keuntungan MPWR 24 24 0.4858 0.1484 0.5056 0.1232 Kekuatan pasar GAP 24 24 2.2450 1.3283 2.4617 1.1622 Kesenjangan produksi
172
b. Kenaikan konsentrasi 10 persen
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PDAB 24 24 104635 121764 120802 110337 Produksi broiler domestik DEMB 24 24 134843 96852.8 134613 96138.5 Konsumsi broiler domestik HDABR 24 24 16702.7 1971.1 16783.6 1692.1 Harga riil broiler domestik JPAB 24 24 11.2500 12.7765 13.3543 11.0880 Jumlah perusahaan di industri MESH 24 24 16.9496 4.7069 18.7439 3.8490 Hambatan masuk industri INTG 24 24 9.3196 4.1659 10.9097 3.8253 Integrasi vertikal SCPK 24 24 79.1746 8.5657 86.4972 34.4177 Pangsa biaya pakan HABPR 24 24 12495.3 2505.1 13508.2 1752.0 Harga broiler perusahaan COSU 24 24 0.5546 0.1495 0.5148 0.1276 Biaya per unit PDTK 24 24 229.4 272.1 294.5 211.8 Produktivitas tenaga kerja PROF 24 24 219.1 263.8 325.2 248.5 Tingkat keuntungan MPWR 24 24 0.4858 0.1484 0.5250 0.1271 Kekuatan pasar GAP 24 24 2.2450 1.3283 2.6779 1.2066 Kesenjangan produksi
c. Kenaikan konsentrasi 15 persen
173
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PDAB 24 24 104635 121764 128995 109260 Produksi broiler domestik DEMB 24 24 134843 96852.8 134499 96158.3 Konsumsi broiler domestik HDABR 24 24 16702.7 1971.1 16823.9 1692.9 Harga riil broiler domestik JPAB 24 24 11.2500 12.7765 14.4214 10.9711 Jumlah perusahaan di industri MESH 24 24 16.9496 4.7069 19.6291 4.0423 Hambatan masuk industri INTG 24 24 9.3196 4.1659 11.7054 3.9917 Integrasi vertikal SCPK 24 24 79.1746 8.5657 90.1585 34.4202 Pangsa biaya pakan HABPR 24 24 12495.3 2505.1 14015.0 1830.4 Harga broiler perusahaan COSU 24 24 0.5546 0.1495 0.4948 0.1317 Biaya per unit PDTK 24 24 229.4 272.1 327.1 216.9 Produktivitas tenaga kerja PROF 24 24 219.1 263.8 378.3 257.7 Tingkat keuntungan MPWR 24 24 0.4858 0.1484 0.5443 0.1311 Kekuatan pasar GAP 24 24 2.2450 1.3283 2.8942 1.2512 Kesenjangan produksi
d. Kenaikan konsentrasi 20 persen The SAS System
174
The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label PDAB 24 24 104635 121764 137188 108202 Produksi broiler domestik DEMB 24 24 134843 96852.8 134384 96178.2 Konsumsi broiler domestik HDABR 24 24 16702.7 1971.1 16864.2 1693.7 Harga riil broiler domestik JPAB 24 24 11.2500 12.7765 15.4886 10.8581 Jumlah perusahaan di industri MESH 24 24 16.9496 4.7069 20.5143 4.2358 Hambatan masuk industri INTG 24 24 9.3196 4.1659 12.5011 4.1588 Integrasi vertikal SCPK 24 24 79.1746 8.5657 93.8199 34.4416 Pangsa biaya pakan HABPR 24 24 12495.3 2505.1 14521.8 1912.1 Harga broiler perusahaan COSU 24 24 0.5546 0.1495 0.4748 0.1358 Biaya per unit PDTK 24 24 229.4 272.1 359.6 222.1 Produktivitas tenaga kerja PROF 24 24 219.1 263.8 431.4 267.0 Tingkat keuntungan MPWR 24 24 0.4858 0.1484 0.5637 0.1350 Kekuatan pasar GAP 24 24 2.2450 1.3283 3.1104 1.2961 Kesenjangan produksi
DATA INDUSTRI BROILER INDONESIA
PROPINSI PROPID TAHUN YEAR JPAB WAGR JTEK SCLB SCPK SCOP PDAB DEMB HDAB HABP
Sumut 11 2009 1 2 671125 4 2.75 93.82 2.5 50632 108186 19472 13461
Sumut 11 2010 2 3 707650 6 2.39 82.08 5.19 53979 117913.3 21092 13461
Sumut 11 2011 3 2 861140 4 2.75 93.82 2.5 56516 124793.5 20036 13461
Sumbar 12 2009 1 3 671125 10 6.25 63.59 28.59 16145 27474.2 25469 21013
Sumbar 12 2010 2 5 707650 28 9.26 71 20.93 16012 27948.05 29589 23608
Sumbar 12 2011 3 5 861140 14 8.44 71.81 19.08 17064 28707.25 30216 23260
Banten 13 2009 1 7 671125 43 12.11 78.38 4.92 53089 81993.6 22643 11475
Banten 13 2010 2 8 707650 50 11.42 72.89 6.52 86089 83274.75 23758 11347
Banten 13 2011 3 8 861140 49 12.11 78.38 4.92 88069 88257 24518 11347
Jabar 14 2009 1 39 671125 391 7.12 81.7 8.66 365573 270370.1 22960 15891
Jabar 14 2010 2 42 707650 523 8.34 86.12 4.59 399745 283086.7 24747 19141
Jabar 14 2011 3 43 861140 495 7.71 81.22 8.44 423126 299978.9 23693 18063
Jateng 15 2009 1 3 671125 17 16.71 71.57 7.47 90740 200049.2 22049 16955
Jateng 15 2010 2 3 707650 29 9.83 82.18 5.13 100904 208353 23272 17402
Jateng 15 2011 3 4 861140 56 9.1 83.61 4.57 105839 222398.2 23066 22445
Jatim 16 2009 1 19 671125 72 4.07 88.92 5.16 140110 248353.3 20958 16590
Jatim 16 2010 2 20 707650 107 4.39 89.87 5.29 159671 256087.7 21802 17702
Jatim 16 2011 3 20 861140 108 5.46 87.68 5.01 160360 261449.5 21544 18022
Kaltim 17 2009 1 7 671125 65 6.18 82.92 6.56 30220 36062 23214 17663
Kaltim 17 2010 2 7 707650 88 27.68 62.78 6.25 32169 40000.35 26240 17817
Kaltim 17 2011 3 8 861140 150 21.51 69.47 5.68 32813 42847.35 29228 18104
Sulsel 18 2009 1 4 671125 12 8.36 75.46 7.61 10710 55611.4 19509 17000
Sulsel 18 2010 2 4 707650 18 8.36 75.46 7.61 10692 58790.55 20734 22000
Sulsel 18 2011 3 4 861140 21 8.36 75.46 7.61 10976 64247.3 20118 22000
Page 1
DATA INDUSTRI BROILER INDONESIA
HDSP HDIK HTAR IHK COSU PROF RCON MESH PDTK MPWR JPIK VPKN XPKN HPKN
61878 20936 12280 123.44 0.73 37.11 49.04 12.26 82.599 0.29 3 65115 26013.11 5085
62149 20735 12935 131.76 0.73 37.11 51.11 12.78 82.599 0.29 1 6440 25620.76 5250
68227 21835 15389 141.75 0.73 37.11 53.61 13.4 82.599 0.29 2 9823 34181.64 5200
60042 20936 13450 126.94 0.19 584.12 72.36 21.3 1179.975 0.82 0 0 442.95 4166
62440 20735 14025 138.34 0.39 300.89 75.89 25.3 289.528 0.65 0 0 442.95 4125
68551 21835 15949 155.29 0.4 143.53 79.01 19.75 719.207 0.65 0 0 442.95 4083
58298 23275 13695 126.99 0.5 170.3 56.13 14.03 49.634 0.56 6 539079 1901.22 3645
60304 23375 14005 144.89 0.58 88.47 58.97 14.74 43.567 0.49 4 478891 1783.14 4554
63564 23472 15499 151.78 0.56 111.97 57.1 14.27 55.106 0.51 8 227664 1783.14 4148
60754 23275 12985 129.3 0.61 92.16 53.72 13.4 204.022 0.42 3 57964 15694.7 3666
61401 23375 13219 135.6 0.63 79.89 53.4 13.35 257.716 0.44 2 54256 22752.25 3773
64197 23472 14728 138.03 0.55 225.6 52.02 13 325.227 0.48 3 48279 44370.04 4038
59715 23275 12161 131.4 0.63 65.82 45.13 15.65 49.246 0.46 1 530 1632.5 4242
60029 23375 12675 140.74 0.53 101.07 62.72 15.68 38.2 0.51 1 530 739.14 4442
59546 23472 13983 144.78 0.71 46.73 61.51 29.12 69.376 0.36 1 530 1540.45 4400
56910 20936 11947 127.79 0.73 46.27 47.86 11.97 81.359 0.28 3 164962 8570.63 3926
57872 20735 12354 136.88 0.68 78.35 48.75 12.19 67.843 0.34 4 141757 8614.13 4129
61076 21835 13908 155.32 0.68 75.55 48.33 12.08 67.878 0.34 4 139493 8590.65 4583
72613 20936 17390 135.87 0.5 695.32 77.24 19.31 466.242 0.53 1 23240 5882.39 4143
73116 20735 17984 151.69 0.69 133.99 78.05 19.51 68.974 0.39 1 35354 13947.39 4243
74360 21835 19258 158.16 0.35 1154.04 83.5 20.87 589.939 0.7 1 35354 14602.39 4243
61380 20936 13595 130.83 0.43 221.33 79.95 19.99 189.931 0.6 1 7200 112.5 5072
62591 20735 13761 149.47 0.39 365.8 85.07 21.27 241.649 0.63 1 7200 112.5 5272
65000 21835 15705 150.24 0.39 365.8 86.26 21.57 202.727 0.63 1 7200 112.5 5207
Page 2
DATA INDUSTRI BROILER INDONESIA
VBBT HBBT IHP DINV NCAP PDRB PRODF INTG TSB TSBD SCPR JPES SCOT HDABR
45293.83 3210 93.86 0.62 8676 111559 171920 4.15 13.69 13.91 99.07 1 0.93 15774.47
68191.61 3572 99.99 0.62 9139 118719 203980 4.15 12.83 13.57 89.66 2 10.34 16007.89
73824.2 3651 106.85 0.62 7380 126588 229180 4.15 12.16 13.52 99.07 1 0.93 14134.74
9427.35 3210 93.86 0.48 7657 36683 58660 17.13 13.69 13.91 98.43 2 1.57 20063.81
9427.35 3572 99.99 0.48 8018 38860 62580 16.03 12.83 13.57 101.19 4 -1.19 21388.61
9427.35 3651 106.85 0.48 9125 41276 66920 15.79 12.16 13.52 99.33 4 0.67 19457.79
1881.5 2938 93.86 0 6944 83454 148120 6.89 13.69 13.91 95.41 6 4.59 17830.54
1881.5 2938 99.99 0 7177 88552 158900 5.88 12.83 13.57 90.83 7 9.17 16397.27
1881.5 2938 106.85 0 8623 94207 165200 6.03 12.16 13.52 95.41 7 4.59 16153.64
67664.85 2531 93.86 0.99 7166 303405 443520 7.2 13.69 13.91 97.48 38 2.52 17757.15
70531.59 2956 99.99 2.53 7476 322220 462980 9.03 12.83 13.57 99.05 41 0.95 18250
204894.3 2576 106.85 1.86 7830 343110 478660 9.26 12.16 13.52 97.37 42 2.63 17165.11
905.8 6243 93.86 0.36 5471 176673 378560 8.17 13.69 13.91 95.75 2 4.25 16780.06
25652.49 4901 99.99 0.37 5775 186995 399560 9.05 12.83 13.57 97.14 2 2.86 16535.46
29553.76 4415 106.85 0.9 7020 198226 419020 8.86 12.16 13.52 97.28 3 2.72 15931.76
35136.18 3021 93.86 8.88 8617 320861 386680 5.1 13.69 13.91 98.15 18 1.85 16400.34
35136.18 3021 99.99 5.77 9133 342281 413560 6.77 12.83 13.57 99.55 19 0.45 15927.82
35136.18 3021 106.85 7.38 9310 366983 423080 6.86 12.16 13.52 98.15 19 1.85 13870.72
19739.64 1863 93.86 1.46 30674 105369 82180 9.8 13.69 13.91 95.66 6 4.34 17085.45
83926.02 1551 99.99 2.88 31122 110580 97720 7.75 12.83 13.57 96.71 6 3.29 17298.44
83926.02 1551 106.85 38.1 31431 115480 109760 12.53 12.16 13.52 96.66 7 3.34 18480.02
36107.45 2933 93.86 1.75 5950 47326 113540 11.03 13.69 13.91 91.43 3 8.57 14911.72
36107.45 2933 99.99 1.1 6372 51200 126000 16.03 12.83 13.57 91.43 3 8.57 13871.68
36107.45 2933 106.85 1.1 8628 55117 137760 16.03 12.16 13.52 91.43 3 8.57 13390.58
Page 3
DATA INDUSTRI BROILER INDONESIA
HDSPR HDIKR HTARR HPKNR HABPR HBBTR RHDAB DIST GAP
50128 16960.47 9948.153 5417.643 10904.89 3419.987 3.829302 46.14 1.167
47168.34 15736.95 9817.092 5250.525 10216.3 3572.357 4.017524 41.36 1.417
48131.92 15403.88 10856.44 4866.635 9496.296 3416.94 3.853077 37.76 1.648
47299.51 16492.83 10595.56 4438.525 16553.49 3419.987 6.113538 27.63 2.618
45135.17 14988.43 10138.07 4125.413 17065.2 3572.357 7.173091 24.11 3.147
44143.86 14060.79 10270.46 3821.245 14978.43 3416.94 7.400441 20.99 3.763
45907.55 18328.21 10784.31 3883.443 9036.145 3130.194 6.212071 38.77 1.579
41620.54 16132.93 9665.953 4554.455 7831.458 2938.294 5.216952 35.33 1.83
41879.04 15464.49 10211.49 3882.078 7475.952 2749.649 5.9108 36.56 1.735
46986.85 18000.77 10042.54 3905.817 12290.02 2696.569 6.262957 44.4 1.252
45280.97 17238.2 9748.525 3773.377 14115.78 2956.296 6.558972 44.57 1.243
46509.45 17005 10670.14 3779.13 13086.29 2410.856 5.867509 45.92 1.177
45445.21 17713.09 9254.947 4519.497 12903.35 6651.396 5.197784 35.86 1.788
42652.41 16608.64 9005.968 4442.444 12364.64 4901.49 5.239081 35 1.856
41128.61 16212.18 9658.102 4117.922 15502.83 4131.961 5.242273 36.14 1.766
44534 16383.13 9348.932 4182.825 12982.24 3218.623 5.338258 47.23 1.117
42279.37 15148.31 9025.424 4129.413 12932.5 3021.302 5.280213 45.27 1.209
39322.69 14058.07 8954.417 4289.19 11603.14 2827.328 4.700851 45.15 1.214
53443 15408.85 12799 4414.021 12999.93 1984.871 5.603186 22.76 3.393
48200.94 13669.33 11855.76 4243.424 11745.67 1551.155 6.184304 17.2 4.813
47015.68 13805.64 12176.28 3970.987 11446.64 1451.568 6.888522 13.18 6.588
46915.84 16002.45 10391.35 5403.793 12993.96 3124.867 3.846412 30.8 2.246
41875.29 13872.35 9206.53 5272.527 14718.67 2933.293 3.932853 27.36 2.654
43264.11 14533.41 10453.27 4873.187 14643.24 2744.97 3.863645 27.33 2.659
Page 4
180
Lampiran 5. Sintax program SAS untuk estimasi
options nodate nonumber;
libname anna v6 'D:\bu_anna\REVISI_4_JULI_2014';
proc IMPORT file='D:\bu_anna\REVISI_4_JULI_2014\data.xls'
DBMS='EXCEL2002' OUT=ANNA.BROILER REPLACE;
GETNAMES='YES';
SHEET='UBROILER';
run;
data ubroiler;
set anna.broiler;
SCPR = (SCPK + SCLB + SCOP);
JPES = (JPAB - 1);
SCOT = (100 - SCPR);
/*merilkan data nominal*/
HDABR = ((HDAB/IHK)*100);
HDSPR = ((HDSP/IHK)*100);
HDIKR = ((HDIK/IHK)*100);
HTARR = ((HTAR/IHK)*100);
HPKNR = ((HPKN/IHP)*100);
HABPR = ((HABP/IHK)*100);
HBBTR = ((HBBT/IHP)*100);
RHDAB = (HDAB/HPKN);
RUN;
ods rtf file="D:\bu_anna\REVISI_4_JULI_2014\estimasi.rtf";
proc model outmodel=sysrasid data=ubroiler;
endogenous PDAB DEMB HDABR JPAB RCON MESH INTG SCPK HABPR COSU
PDTK PROF MPWR GAP;
instruments PROPID VBBT HBBTR YEAR WAGR JTEK SCOP HDSPR HDIKR HTARR
IHK JPIK VPKN HPKNR IHP DINV PDRB PRODF NCAP JPES;
Label
PDAB = 'Produksi broiler domestik'
HDAB = 'Harga eceran broiler'
HDABR = 'Harga riil broiler domestik'
HDIKR = 'Harga riil ikan'
HPKNR = 'Harga riil pakan'
DEMB = 'Konsumsi broiler domestik'
HDSPR = 'Harga riil daging sapi'
HTARR = 'Harga riil telur ayam'
NCAP = 'Pendapatan per kapita'
DINV = 'Penambahan investasi'
JPAB = 'Jumlah perusahaan di industri'
RHDAB = 'Rasio harga broiler thd pakan'
MESH = 'Hambatan masuk industri'
COSU = 'Biaya per unit'
SCPK = 'Pangsa biaya pakan'
SCLB = 'Pangsa biaya tenaga kerja'
PRODF = 'Produksi broiler perusahaan'
JPES = 'Jumlah perusahaan pesaing'
181
WAGR = 'Upah rata-rata'
MPWR = 'Kekuatan pasar'
RCON = 'Konsentrasi industri'
SCPR = 'Pangsa biaya produksi'
PROF = 'Tingkat keuntungan'
SCOT = 'Pangsa biaya lainnya'
HABPR = 'Harga broiler perusahaan'
PDTK = 'Produktivitas tenaga kerja'
PROPID = 'Id Propinsi'
Tahun = 'Tahun'
YEAR = 'Trend'
JTEK = 'Jumlah Tenaga Kerja'
SCOP = 'Pangsa biaya operasional'
JPIK = 'Jumlah perusahaan pakan'
VPKN = 'Volume Pakan'
PDRB = 'PDRB'
HDSP = 'Harga eceran daging sapi'
HDIK = 'Harga eceran ikan'
HTAR = 'Harga eceran telur ayam'
VBBT = 'Produksi bibit'
HBBTR = 'Harga riil bibit'
INTG = 'Integrasi vertikal'
DIST = 'Distribusi produksi'
GAP = 'Kesenjangan produksi'
a0 = 'Intercept'
a1 = 'Harga eceran broiler'
a2 = 'Jumlah perusahaan broiler'
a3 = 'Harga input pakan'
a4 = 'Produksi broiler domestik'
a5 = 'Trend'
b0 = 'Intercept'
b1 = 'Harga eceran broiler'
b2 = 'Harga eceran daging sapi'
b3 = 'Harga eceran ikan'
b4 = 'Harga eceran telur ayam'
b5 = 'PDRB'
b6 = 'Trend'
c0 = 'Intercept'
c1 = 'Kekuatan pasar'
c2 = 'Harga input pakan'
c3 = 'Konsumsi broiler domestik'
c4 = 'Produksi broiler perusahaan'
c5 = 'Harga bibit DOC'
c6 = 'Trend'
d0 = 'Intercept'
d1 = 'Rasio harga broiler thd pakan'
d2 = 'Konsumsi broiler domestik'
d3 = 'Tingkat keuntungan'
d4 = 'Penambahan investasi'
e0 = 'Intercept'
e1 = 'Produksi broiler domestik'
e2 = 'Konsumsi broiler domestik'
e3 = 'Integrasi vertikal'
e4 = 'Hambatan masuk'
182
e5 = 'Produktivitas tenaga kerja'
f0 = 'Intercept'
f1 = 'Konsentrasi industri'
f2 = 'Biaya per unit'
f3 = 'Kekuatan pasar'
f4 = 'Integrasi vertikal'
g0 = 'Intercept'
g1 = 'Jumlah perusahaan pakan'
g2 = 'Produksi broiler domestik'
g3 = 'Produktivitas tenaga kerja'
g4 = 'Konsentrasi industri'
h0 = 'Intercept'
h1 = 'Harga riil pakan'
h2 = 'Integrasi vertikal'
h3 = 'Pangsa biaya lainnya'
h4 = 'Konsumsi broiler domestik'
h5 = 'Jumlah perusahaan broiler'
k0 = 'Intercept'
k1 = 'Konsentrasi industri'
k2 = 'Konsumsi broiler domestik'
k3 = 'Harga input pakan'
k4 = 'Harga input bibit'
k5 = 'Integrasi vertikal'
k6 = 'Trend'
l0 = 'Intercept'
l1 = 'Jumlah perusahaan pesaing'
l2 = 'Produksi broiler perusahaan'
l3 = 'Integrasi vertikal'
l4 = 'Produktivitas tenaga kerja'
l5 = 'Konsentrasi industri'
m0 = 'Intercept'
m1 = 'Upah riil'
m2 = 'Rasio harga broiler thd pakan'
m3 = 'Konsentrasi industri'
m4 = 'Integrasi vertikal'
m5 = 'Trend'
n0 = 'Intercept'
n1 = 'Pangsa biaya operasional'
n2 = 'Jumlah perusahaan pesaing'
n3 = 'Konsentrasi industri'
n4 = 'Produktivitas tenaga kerja'
n5 = 'Kesenjangan produksi'
o0 = 'Intercept'
o1 = 'Harga riil broiler'
o2 = 'Konsentrasi industri'
o3 = 'Produktivitas tenaga kerja'
o4 = 'Biaya per unit'
o5 = 'Jumlah perusahaan pesaing'
p0 = 'Intercept'
p1 = 'Konsentrasi industri'
p2 = 'Produktivitas tenaga kerja'
p3 = 'Rasio harga broiler thd pakan'
p4 = 'Trend';
183
/*Blok Kondisi Dasar*/
PDAB = a0+ a1*HDABR + a2*JPAB +a3*HPKNR + a4*PRODF + a5*YEAR;
DEMB = b0+ b1*HDABR + b2*HDSPR +b3*HDIKR + b4*HTARR + b5*PDRB +
b6*YEAR;
HDABR = c0+ c1*MPWR + c2*HPKNR + c3*DEMB + c4*PRODF + c5*HBBTR +
c6*YEAR;
/*Blok Struktur*/
JPAB = d0 + d1*RHDAB + d2*DEMB + d3*PROF + d4*DINV;
RCON = e0 + e1*PDAB + e2*DEMB + e3*INTG + e4*MESH + e5*PDTK;
MESH = f0 + f1*RCON + f2*COSU + f3*MPWR + f4*INTG;
/*Blok Perilaku*/
INTG = g0 + g1*JPIK + g2*PDAB + g3*PDTK + g4*RCON;
SCPK = h0 + h1*HPKNR + h2*INTG + h3*SCOT + h4*DEMB + h5*JPAB;
/*Blok Kinerja*/
HABPR = k0 + k1*RCON + k2*DEMB + k3*HPKNR + k4*HBBTR + k5*INTG +
k6*YEAR;
COSU = l0 + l1*JPES + l2*PRODF + l3*INTG + l4*PDTK + l5*RCON;
PDTK = m0 + m1*WAGR + m2*RHDAB + m3*RCON + m4*INTG + m5*YEAR;
PROF = n0 + n1*SCOP + n2*JPES + n3*RCON + n4*PDTK + n5*GAP;
MPWR = o0 + o1*HDABR + o2*RCON + o3*PDTK + o4*COSU + o5*JPES;
GAP = p0 + p1*RCON + p2*PDTK + p3*RHDAB + p4*YEAR;
*SCPR = SCPK + SCLB + SCOP;
fit PDAB DEMB HDABR JPAB RCON MESH INTG SCPK HABPR COSU
PDTK PROF MPWR GAP/ 2SLS DW WHITE GODFREY=2;
run;
proc simnlin data=ubroiler model=sysrasid simulate stats outpredict
theil;
run;
ods rtf close;
184
Lampiran 6. Sintax program SAS untuk simulasi
options nodate nonumber;
libname anna v6 'D:\bu_anna\REVISI_4_JULI_2014';
data ubroiler;
set anna.boiler;
SCPR = (SCPK + SCLB + SCOP);
JPES = (JPAB - 1);
SCOT = (100 - SCPR);
/*merilkan data nominal*/
HDABR = ((HDAB/IHK)*100);
HDSPR = ((HDSP/IHK)*100);
HDIKR = ((HDIK/IHK)*100);
HTARR = ((HTAR/IHK)*100);
HPKNR = ((HPKN/IHP)*100);
HABPR = ((HABP/IHK)*100);
HBBTR = ((HBBT/IHP)*100);
RHDAB = (HDAB/HPKN);
Label
PDAB = 'Produksi broiler domestik'
HDAB = 'Harga eceran broiler'
HDABR = 'Harga riil broiler domestik'
HDIKR = 'Harga riil ikan'
HPKNR = 'Harga riil pakan'
DEMB = 'Konsumsi broiler domestik'
HDSPR = 'Harga riil daging sapi'
HTARR = 'Harga riil telur ayam'
NCAP = 'Pendapatan per kapita'
DINV = 'Penambahan investasi'
JPAB = 'Jumlah perusahaan di industri'
RHDAB = 'Rasio harga broiler thd pakan'
MESH = 'Hambatan masuk industri'
COSU = 'Biaya per unit'
SCPK = 'Pangsa biaya pakan'
SCLB = 'Pangsa biaya tenaga kerja'
PRODF = 'Produksi broiler perusahaan'
JPES = 'Jumlah perusahaan pesaing'
WAGR = 'Upah rata-rata'
MPWR = 'Kekuatan pasar'
RCON = 'Konsentrasi industri'
SCPR = 'Pangsa biaya produksi'
PROF = 'Tingkat keuntungan'
SCOT = 'Pangsa biaya lainnya'
HABPR = 'Harga broiler perusahaan'
PDTK = 'Produktivitas tenaga kerja'
PROPID = 'Id Propinsi'
Tahun = 'Tahun'
YEAR = 'Trend'
JTEK = 'Jumlah Tenaga Kerja'
SCOP = 'Pangsa biaya operasional'
JPIK = 'Jumlah perusahaan pakan'
185
VPKN = 'Volume Pakan'
PDRB = 'PDRB'
HDSP = 'Harga eceran daging sapi'
HDIK = 'Harga eceran ikan'
HTAR = 'Harga eceran telur ayam'
VBBT = 'Produksi bibit'
HBBTR = 'Harga riil bibit'
INTG = 'Integrasi vertikal'
DIST = 'Distribusi produksi'
GAP = 'Kesenjangan produksi'
;
run;
ods rtf file="D:\bu_anna\REVISI_4_JULI_2014\estimasi.rtf";
proc syslin 2sls data=ubroiler outest=hasil;
endogenous PDAB DEMB HDABR JPAB MESH INTG SCPK HABPR COSU PDTK PROF
MPWR GAP SCOT;
instruments PROPID Tahun VBBT HBBTR YEAR WAGR JTEK SCOP HDSPR HDIKR
HTARR IHK JPIK VPKN HPKNR IHP DINV PDRB PRODF NCAP JPES;
/*Blok Kondisi Dasar*/
MODEL PDAB = HDABR JPAB HPKNR PRODF YEAR/dw;
MODEL DEMB = HDABR HDSPR HDIKR HTARR PDRB YEAR/dw;
MODEL HDABR = MPWR HPKNR DEMB PRODF HBBTR YEAR/dw;
/*Blok Struktur*/
MODEL JPAB = RHDAB DEMB PROF DINV/dw;
*MODEL RCON = PDAB DEMB INTG MESH PDTK/dw;
MODEL MESH = RCON COSU MPWR INTG/dw;
/*Blok Perilaku*/
MODEL INTG = JPIK PRODF PDTK RCON/dw;
MODEL SCPK = HPKNR INTG SCOT DEMB JPAB/dw;
/*Blok Kinerja*/
MODEL HABPR = RCON DEMB HPKNR HBBTR INTG YEAR/dw;
MODEL COSU = JPES PRODF INTG PDTK RCON/dw;
MODEL PDTK = WAGR RHDAB RCON INTG YEAR/dw;
MODEL PROF = SCOP JPES RCON PDTK GAP/dw;
MODEL MPWR = HDABR RCON PDTK COSU JPES/dw;
MODEL GAP = RCON PDTK RHDAB YEAR/dw;
*SCPR = SCPK + SCLB + SCOP;
run;
ods rtf close;
RCON = 1.20*RCON;
proc simnlin data=ubroiler SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL;
ENDOGENOUS PDAB DEMB HDABR JPAB MESH INTG SCPK HABPR COSU PDTK PROF
MPWR GAP SCPR SCOT;
186
EXOGENOUS PROPID Tahun VBBT HBBTR YEAR WAGR JTEK SCOP HDSPR HDIKR HTARR
IHK JPIK VPKN HPKNR IHP DINV PDRB PRODF JPES;
parms
a0 -330317
a1 8.509662
a2 7355.853
a3 28.88879
a4 0.274686
a5 8665.535
b0 -191177
b1 -2.83943
b2 2.706981
b3 20.7128
b4 -22.2648
b5 0.667227
b6 22782.38
c0 30165.41
c1 2250.7
c2 -3.01791
c3 0.028552
c4 -0.02393
c5 0.586888
c6 -638.258
d0 -27.7055
d1 3.540493
d2 0.000124
d3 0.020373
d4 -0.42565
/*e0 46.04805
e1 0.000031
e2 -0.0001
e3 1.959208
e4 0.716522
e5 -0.0143*/
f0 -54.9558
f1 0.16701
f2 58.33768
f3 43.07141
f4 0.866149
187
g0 -3.22855
g1 -0.23841
g2 4.026E-6
g3 0.006182
g4 0.177627
h0 50.37712
h1 0.008418
h2 -0.93963
h3 -1.18332
h4 0.00003
h5 0.074885
k0 3228.563
k1 11.95296
k2 0.013509
k3 0.390864
k4 0.16468
k5 591.4382
k6 -532.249
l0 0.683887
l1 -0.00106
l2 3.123E-7
l3 -0.0256
l4 -0.00009
l5 0.001048
m0 -1740.2
m1 0.002445
m2 64.66432
m3 -1.39919
m4 46.50949
m5 -275.275
n0 -71.3947
n1 -26.1857
n2 -0.32166
n3 1.655753
n4 0.912869
n5 83.70797
o0 0.900537
o1 8.844E-6
o2 0.000379
o3 -0.00008
188
o4 -1.02181
o5 -0.00008
p0 -4.50166
p1 0.069869
p2 -0.00014
p3 0.38968
p4 0.128658
;
PDAB = a0 + a1*HDABR + a2*JPAB + a3*HPKNR + a4*PRODF +a5*YEAR;
DEMB = b0 + b1*HDABR + b2*HDSPR +b3*HDIKR + b4*HTARR + b5*PDRB +
b6*YEAR;
HDABR = c0 + c1*MPWR + c2*HPKNR + c3*DEMB + c4*PRODF + c5*HBBTR +
c6*YEAR;
JPAB = d0 + d1*RHDAB + d2*DEMB + d3*PROF + d4*DINV;
*RCON = e0 + e1*PDAB + e2*DEMB + e3*INTG + e4*MESH + e5*PDTK;
MESH = f0 + f1*(1.20*RCON) + f2*COSU + f3*MPWR + f4*INTG;
INTG = g0 + g1*JPIK + g2*PDAB + g3*PDTK + g4*(1.20*RCON);
SCPK = h0 + h1*HPKNR + h2*INTG + h3*SCOT + h4*DEMB + h5*JPAB;
HABPR = k0 + k1*(1.20*RCON) + k2*DEMB + k3*HPKNR + k4*HBBTR +
k5*INTG + k6*YEAR;
COSU = l0 + l1*JPES + l2*PRODF + l3*INTG + l4*PDTK +
l5*(1.20*RCON);
PDTK = m0 + m1*WAGR + m2*RHDAB + m3*(1.20*RCON) + m4*INTG +
m5*YEAR;
PROF = n0 + n1*SCOP + n2*JPES + n3*(1.20*RCON) + n4*PDTK + n5*GAP;
MPWR = o0 + o1*HDABR + o2*(1.20*RCON) + o3*PDTK + o4*COSU +
o5*JPES;
GAP = p0 + p1*(1.20*RCON) + p2*PDTK + p3*RHDAB + p4*YEAR;
SCPR = (SCPK + SCLB + SCOP);
SCOT = 100 - SCPR;
run;
189
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 28 Oktober 1973 dari pasangan
Bapak H. Muhammad Noer Mong, BE dan Ibu Hj. Kartini sebagai anak ketiga
dari enam bersaudara. Pada tahun 2001 penulis menikah dengan Ir. Saiful Helmi
Pohan dan dikaruniai empat orang putra, yaitu M. Imam Aqillah Pohan (12
tahun), Aulia Zuhdi Makarim Pohan (9,5 tahun), Fajar Adhirajasa Pohan (8 tahun)
dan M. Fathurrahman (3 tahun).
Pendidikan Dasar dan Menengah ditempuh di kota Jambi, yaitu Sekolah
Dasar Negeri 15 lulus tahun 1986, dilanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri
2 lulus tahun 1989, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 lulus tahun 1992. Pada
tahun 1998, penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Peternakan di jurusan
Produksi Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Jambi. Pada tahun 2006,
penulis menyelesaikan pendidikan S2 Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) di Institut
Pertanian Bogor, dengan beasiswa dari BPPS dikti. Tahun 2009 dengan beasiswa
dari BPPS Dikti juga, penulis mendapat kesempatan studi S3 di Ilmu Ekonomi
Pertanian IPB.
Sejak tahun 1999 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai tenaga
pengajar di Fakultas Peternakan, Universitas Jambi, Jambi.