dedi damhudi.pdf
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
EFEKTIFITAS PENGKAJIAN METODE NIHSS DAN ESS (FOKUS NEUROLOGI) DALAM MEMBUAT DIAGNOSA KEPERAWATAN
AKTUAL PADA PASIEN STROKE BERAT FASE AKUT DI RSUP FATMAWATI JAKARTA
TESIS
Diajukan sebagai persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Keperawatan
Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah
Oleh :
DEDI DAMHUDI 0606037153
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2008
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
LEMBAR PERSETUJUAN
Tesis ini telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan di hadapan penguji Tesis Program Magister Kekhususan Medikal Bedah, Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Jakarta, Juli 2008
Pembimbing I,
……………………….. Dewi Irawaty, MA., PhD
Pembimbing II,
………………………………... Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
PANITIA SIDANG UJIAN TESIS PROGRAM MAGISTER KEKHUSUSAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN, UNIVERSITAS INDONESIA
Jakarta, Juli 2008
Penguji I,
…………………..……….. Dewi Irawaty, MA., PhD
Penguji II,
……………………….…….………... Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS
Penguji III,
……………………………..…….. Sri Purwaningsih, S.Kp., M.Kep
Penguji IV,
……………….……… Sri Yona, S.Kp., MN
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Tesis, Juni 2008 Dedi Damhudi Efektifitas Pengkajian Metode NIHSS dan ESS (Fokus Neurologi) Dalam Membuat Diagnosa Keperawatan Aktual Pada Pasien Stroke Berat Fase Akut di RSUP Fatmawati Jakarta xiii + 84 hal + 8 tabel + 4 skema + 7 lampiran
Abstrak Faktor yang sangat penting pada tahap awal perawatan pada pasien stroke berat fase akut adalah mengetahui kondisi pasien sedini mungkin untuk mencegah komplikasi yang lebih parah dan kematian, oleh sebab itu diperlukan suatu metode pengkajian fokus sistem syaraf yang lengkap dan akurat seperti metode NIHSS dan ESS. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan keakuratan kedua metode ini hampir sama untuk melihat kondisi pasien stroke fase akut. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain pra-eksperimen “Postest only design” sering juga disebut “The one shot case study”. Besarnya sampel menggunakan teknik “Non Random jenis Purposive Sampling” sehingga didapat 18 responden yang merupakan total sampel yaitu pasien yang dipilih sesuai kriteria inklusi. Kemudian dilakukan analisis dengan α = 0,05 menunjukkan hubungan sangat kuat (r = 0,904 ) berpola positif pada nilai NIHSS dan berpola negatif ( r = -0,912 ) dan p value =1.000. Penelitian ini menyimpulkan tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS terhadap pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke berat fase akut. Hal ini terjadi karena komponen pemeriksaan pada NIHSS juga terdapat pada ESS. Oleh sebab itu sebagai seorang perawat di ruang unit stroke sangatlah penting untuk menguasai pengkajian metode ini dalam rangka meningkatkan mutu asuhan keperawatan sehingga mempercepat proses penyembuhan pasien. Kata kunci : Diagnosa keperawatan, efektifitas, NIHSS, ESS Daftar Pustaka : 41 (1991 – 2008)
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
POST GRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Thesis, July 2008 Dedi Damhudi The Effect of the NIHSS and ESS Assessment Method on the Developing Actual Nursing Diagnosis on the Acute Phase Severe Stroke’s Patient in Fatmawati Hospital Jakarta xi + 84 pages + 8 tables + 4 schemes + 7 appendices
Abstract
The most important factor on early stage of caring patient with severe stroke is identifying patient condition as early as possible to prevent serious complication and death. Therefore, it is important to have assessment method that is focused on neurology system, comprehensive and accurate like NIHSS and ESS assessment method. The previous study shows that both NIHSS and ESS methods are effective to distinguish acute phase severe stroke’s patient. The goal of this study is to identify the effect of NIHSS and ESS assessment method on the developing actual nursing diagnosis on the acute phase severe stroke’s patient in Fatmawati Hospital Jakarta. This study uses experiment with post-test only design which is commonly called as the one shot case study. Non-random purposive sampling is the sampling method that is used in this study. Based on the inclusive criteria eighteen respondents were identified as samples in this study. The data analysis using α = 0,05 shows the strong positive relationship (r = 0,904) for NIHSS assessment value and negative pattern (r = -0,912) for ESS assessment value with the p value = 1.000. There is no significant different the effect of using NIHSS and ESS methods on developing actual nursing diagnosis on the acute phse severe stroke’s patient. This possibly happens since some of assessment components of NIHSS are the same with ESS assessment method. Therefore, it is important for the nurses to be able to use both assessment methods in order to improve the quality of nursing care and shorten the recovery process of the patient. Keywords: Nursing diagnosis, the effect, ESS, NIHSS Reference: 41 (1991-2008)
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, dengan petunjuk dan hidayah-
Nya peneliti dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Efektifitas pengkajian metode
NIHSS dan ESS (fokus neurologi) dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada
pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta”. Tesis ini merupakan salah
satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan
Keperawatan Medikal Bedah pada Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Selama proses penyusunan tesis ini, peneliti banyak sekali mendapat bantuan dan
dukungna dari berbagai pihak. Bersama ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :
1. Dewi Irawaty, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia dan Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan masukan
serta konsep-konsep dalam proses penyusunan tesis ini
2. Krisna Yetty, S.Kp., M.App.Sc., selaku Ketua Program studi Pascasarjana Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
3. Rr. Tutik Sri Haryati, S.Kp., MARS, selaku Pembimbing II yang telah banyak untuk
memberikan arahan dan masukan serta konsep-konsep dalam proses penyusunan tesis
ini.
4. Direktur RSUP Fatmawati Jakarta beserta staf, yang telah memberikan kesempatan
kepada peneliti untuk melakukan studi pendahuluan dalam penyusunan proposal tesis
ini.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
5. Direktur Poltekkes Pontianak beserta staf, yang telah memberikan dukungan moril
dan materil serta kesempatan bagi peneliti untuk melanjutkan pendidikan di Program
studi Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
6. Pada Semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam
menyelesaikan proposal tesis ini.
7. Orang tua, istri dan anak tercinta yang selalu secara ikhlas memberikan doa dan
dukungan moral kepada penulis.
8. Rekan-rekan seperjuangan, mahasiswa Program Magister Keperawatan Kekhususan
Keperawatan Medikal Bedah pada Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia Tahun 2006 atas dukungan dan motivasinya.
Menyadari akan keterbatasan yang dimiliki, peneliti meyakini bahwa tesis ini masih
jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran maupun masukan yang konstruktif
sangatlah diharapkan demi perbaikan bagi peneliti di masa yang akan datang. Akhir
kata, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita
semua. Amin.
Jakarta, Juli 2008
Peneliti
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i
LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………. ii
PANITIA UJIAN SIDANG TESIS iii
ABSTRAK ……………………………………………………………....... iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI …………………………………………………….............. viii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xi
DAFTAR SKEMA ……………………………………………………….. xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………
B. Rumusan Masalah …………………………………………..
C. Tujuan ……………………………………………………….
D. Manfaat Penulisan …………………………………………..
1
7
8
8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Penyakit Stroke ……….....................................
1. Defenisi ...…………………………………………………
2. Etiologi …………………………………………..………
3. Patofisiologi ………………………………………………
4. Klasifikasi stroke …………………………………………
5. Tanda dan gejala …………………………………………
6. Pemeriksaan diagnostik ……………………………….…
7. Penatalaksanaan ……………………………….…………
B. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Stroke Fase Akut……..
1. Manajemen Keperawatan ………………………….…….
2. Pengkajian Keperawatan ………………………….……..
10
10
10
11
14
16
18
18
19
19
22
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
3. Diagnosa Keperawatan ………………………………..…
C. National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) …….……
D. Eropean Stroke Scale (ESS) …………………………………
E. Kerangka Teori ………………………………………………
42
48
48
49
BAB III : KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI
OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep ……………………………………………
B. Hipotesis …………………………………………………….
C. Definisi Operasional ...............................................................
51
53
53
BAB IV : METODE PENELITIAN
A. Disain Penelitian …………………………………………….
B. Populasi dan Sampel ……………………………………..….
C. Tempat Penelitian …………………………………….……..
D. Waktu Penelitian ……………………………………….……
E. Etika Penelitian ………………………………………….…..
F. Alat Pengumpul Data ……………………………………..…
G. Prosedur Pengumpulan Data …………………………………
H. Analisis Data …………………………………………..…….
57
58
59
59
59
61
61
63
BAB V : HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat ……….…………….…………………..…
B. Analisa Bivariat ……………..…….…………………..……..
C. Analisiskomponen Penilaian Metode NIHSS danESS ……...
67
69
72
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
BAB VI : PEMBAHASAN
A. Interprestasi dan Diskusi Hasil …………….………….………
B. Keterbatasan Penelitian ……………………………………….
C. Implikasi Untuk Keperawatan …………………………..…….
74
79
81
BAB VII : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan …………………………………………………...
B. Saran ……………………….…………………………..……..
82
83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Defenisi operasioanal variabel penelitian ............................. ... 53
Tabel 5.1. Nilai Hasil Pengkajian Metode NIHSS dan ESS .…………… 67 Tabel 5.2. Perolehan Diagnosa Keperawatan Aktual NIHSS & ESS…... 68 Tabel 5.3. Korelasi Nilai NIHSS Terhadap Perolehan Diagnosa Aktual... 69 Tabel 5.4. Korelasi Nilai ESS Terhadap Perolehan Diagnosa Aktual....... 68 Tabel 5.5. Selisih Diagnosa Aktual NIHSS dan ESS ………….………. 70 Tabel 5.6. Efektifitas Metode NIHSS dan ESS.………………………… 71 Tabel 5.7. Komponen Penilaian NIHSS dan ESS……………………… 72
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 2.1. Fatofisiologi stroke ........................................................... 13
Skema 2.2. Kerangka Teoritis .............................................................. 50
Skema 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ............................................. 52
Skema 4.1. Desain Penelitian ............................................................... 57
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Persetujuan Responden
Lampiran 2. Tabel National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)
Lampiran 3. Tabel Eropean Stroke Scale (ESS)
Lampiran 4. Instrumen penelitian pengkajian metode NIHSS
Lampiran 5. Instrumen penelitian pengkajian metode ESS
Lampiran 6. Rencana waktu penelitian
Lampiran 7. Daftar riwayat hidup
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi sistem
saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran darah ke otak”.
Stroke dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu iskemik (85 %) terjadinya
penyumbatan pembuluh darah, terjadi penurunan perfusi yang nyata dan perdarahan
(15 %) terjadinya ektravasasi perdarahan ke dalam otak atau ruangan sub araknoid
(Smeltzer & Bare, 2008, hlm. 2206).
Data WHO tahun 2007, menunjukkan 15 juta orang menderita stroke di seluruh
dunia setiap tahun. Sebanyak 5 juta orang mengalami kematian dan 5 juta mengalami
kecacatan yang menetap (Stroke center, 2007, Population stoke in the world, ¶ 1,
http://www.strokecenter.org/patients/stats.htm, diperoleh tanggal 10 Januari 2008).
Diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 orang penduduk Indonesia terkena serangan
stroke, dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat
ringan atau berat. (Yastroki, 2007, tahun 2020 angka kejadian stroke meningkat
tajam, ¶ 1, http://www.yastroki.or.id, diperoleh tanggal 10 Januari 2008).
Berdasarkan hasil catatan medis RSUP Fatmawati Jakarta, dari bulan Januari 2007
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
2
sampai Desember 2007 berjumlah 557 pasien stroke yang terbagi menjadi stroke
non hemoragik 266 orang dan stroke hemoragik 291orang.
Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN) (2004, hlm.6),
”Waktu adalah faktor yang sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan pasien
dengan stroke”. Sedangkan American Heart Association (AHA) dan National Stroke
Association (NSA) memberikan rekomendasi dalam memberikan perawatan harus
dilakukan dalam waktu 3 - 6 jam pertama terkena serangan untuk mendapatkan
hasil yang baik saat pasien pulang.
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologi, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat
dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder). Manifestasi klinis dari stroke itu antara
lain: kehilangan motorik, kehilangan komunikasi, gangguan persepsi, kerusakan
fungsi kognitif dan efek psikologik, disfungsi kandung kemih (Smeltzer & Bare 2008;
Black & Hawks, 2005; Ignativius & Workman, 2006; Hickey, 2003; Lemone &
Burke, 1996; Polaski & Tatro, 1996).
Sekitar 30%-40% penderita stroke dapat sembuh sempurna (bisa bekerja seperti
biasa) asalkan penanganan terhadap mereka dilakukan dalam jangka waktu 6 jam
setelah terjadinya serangan agar pasien tidak mengalami kecacatan. Bahkan ada yang
berpendirian bahwa penderita stroke dapat sembuh bila ditangani kurang dari 3 jam
setelah terjadi serangan. Hal ini disampaikan oleh dokter spesialis saraf dan konsultan
Neurologi RSPAD Gatot Subroto, dr Sutarto, Pd.SpS dalam Seminar Pencegahan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
3
Stroke dan Penyakit Jantung, di Jakarta, Senin (29-9-2007). (Sinar Harapan, 2003,
penderita stroke dapat disembuhkan, ¶ 1, http://www.sinarharapan.co.id, diperoleh
tanggal 29 Oktober 2007).
Gejala sisa seperti jalannya pincang atau berbicaranya pelo masih bisa disembuhkan.
Sayangnya, sebagian besar penderita stroke datang ke rumah sakit setelah 48 jam
terjadinya serangan. Ini sangat memprihatinkan mengingat Insan Pasca Stroke (IPS)
biasanya merasa rendah diri dan emosinya tidak terkontrol dan selalu ingin
diperhatikan. (Sinar Harapan, 2003, penderita stroke dapat disembuhkan, ¶ 1,
http://www.sinarharapan.co.id, diperoleh tanggal 29 Oktober 2007).
”Fase akut pada stroke iskemik antara 1-3 hari, tetapi pengawasan yang berkelanjutan
terhadap semua sistem tubuh masih diperlukan selama pasien memerlukan
perawatan” (Smeltzer & Bare, 2008, hlm.2215). Pasien yang terkena stroke sangat
beresiko terhadap komplikasi yang banyak meliputi pengkondisian dan masalah
muskulo skletal, kesulitan menelan, disfungsi BAB/BAK, ketidakmampuan perwatan
diri sendiri dan kerusakan kulit. Selama fase akut pemeriksaan neurologi tetap
dipertahankan untuk memberikan data tentang kondisi pasien saat itu juga.
Langkah pertama pada proses keperawatan adalah pengkajian, yaitu pengumpulan
data oleh perawat. Informasi dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi,
wawancara, pemeriksaan fisik dan intuisi serta dari sumber lain termasuk, pasien,
keluarga atau orang lain yang dekat dengan pasien, catatan kesehatan, tim kesehatan
lain serta sumber kepustakaan (Craven & Hirnle, 2007). Pengkajian meliputi aspek
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
4
bio-psiko-sosial dan spritual. Hasil pengkajian yang baik menentukan pembuatan
diagnosa yang tepat, begitu seterusnya terhadap langkah perencanaan, implementasi
dan evaluasi keperawatan.
Pengkajian sistem saraf mulai dilakukan perawat saat pasien masuk ke rumah sakit
atau ruangan perawatan (Polaski & Tatro,1996). Faktor yang sangat penting dalam
tahap awal perawatan dan pengobatan pada pasien stroke adalah mengetahui kondisi
pasien sedini mungkin. Metode pengkajian harus lengkap dan akurat untuk digunakan
sebagai dasar pengkajian selanjutnya (Black & Hawks, 2005).
Pasien stroke yang masuk ke ruangan bisa dalam kondisi stroke ringan, sedang dan
berat. Pada pasien stroke berat fase akut penanganan harus cepat untuk mencegah
komplikasi yang lebih parah dan kematian, oleh sebab itu diperlukan suatu alat
pengkajian yang cepat, tepat dan akurat. Pada stroke berat fase akut, pengkajian yang
sangat penting dilakukan oleh seorang perawat adalah pengkajian neurologi karena
pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien saat itu.
Pengkajian neurologi termasuk jenis pengkajian fokus dan bersifat darurat karena
lingkup pengkajian hanya sistem persarafan dengan waktu yang singkat dan dapat
mengidentifikasi situasi yang menyakut penyelamatan nyawa pasien. Pengumpulan
data pada pengkajian neurologis dilakukan dengan wawancara, observasi dan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
5
pemeriksaan fisik dengan teknik pemeriksaan review of system (khusus sistem
persarafan). Sampai saat ini metode yang digunakan untuk mengkaji kondisi pasien
stroke fase akut adalah National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) dan
Eropean Stroke Scale (ESS) . (Edwards, 2007, acute assessment Scales, ¶ 1,
ttp://www.strokecenter.org, diperoleh tanggal 10 Januari 2008).
Berdasarkan hasil penelitian Adams, et al, (1999) dan Muir, et al, (1996), menyatakan
bahwa penggunaan metode NIHSS dapat digunakan untuk melihat kondisi pasien
stroke fase akut, dapat dilakukan dengan cepat, sensitivitas 0,71 (95% CI, 0,64 –
0,79), spesifisitas 0,90 (95% CI, 0,86 – 0,94) dan mempunyai kaitan yang erat dengan
metode pengukuran lain seperti Bartel Index dan GCS. Hasil penelitan Hanton, et al.
(1994) dan Muir, et al. (1996), disimpulkan bahwa metode ESS berguna untuk
melihat perkembangan pasien stroke akut, dapat dilakukan dengan cepat, mudah
dipelajari dan skor yang dipakai sederhana, sensitivitas 0,70 (95% CI, 0,62 – 0,77),
spesifisitas 0,89 (95% CI, 0,85 – 0,93) dan mempunyai hubungan yang erat dengan
skala pengukuran lain seperti MCA Neurological Scale, The Canadian Stroke Scale,
The Scandinavian Stroke Scale, The Bartel Index, The Rankin Scale.
Merujuk pada hasil penelitian Adams, et al, (1999) dan Muir, et al, (1996),
disimpulkan bahwa penggunaan metode NIHSS dan ESS sangatlah baik untuk
menentukan kondisi pasien stroke fase akut. Oleh sebab itu seorang perawat unit
stroke atau perawat mahir stroke sangat perlu menggunakan
metode ini dalam melakukan pengkajian neurologi terhadap pasien
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
6
yang masuk ke ruangan perawatan saraf untuk mendukung perumusan diagnosa yang
tepat.
Hasil studi pedahuluan di RSUP Fatmawati Jakarta, pengkajian pasien stroke fase
akut menggunakan format secara umum meliputi bio, psiko, sosial dan spiritual.
Sedangkan untuk pemeriksaan neurologi tidak mempunyai format khusus sehingga
hasil pemeriksaan neurologi kurang spesifik dan memerlukan waktu lama dalam
proses pengkajian pasien.
Menurut NANDA (2005, dalam Craven, 2007, hlm.171) “Diagnosa keperawatan
adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai akibat
dari masalah-masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial”.
Diagnosa keperawatan memberikan dasar-dasar pemilihan intervensi untuk
mendapatkan hasil yang menjadi tanggung gugal perawat.
“Diagnosa keperawatan aktual adalah diagnosa keperawatan yang menyajikan
keadaan secara klinis telah divalidasi melalui batasan karakteristik mayor yang dapat
diidentifikasi” (Carpenito, 1997, hlm.12). Diagnosa aktual menjadi prioritas yang
harus segera di tangani oleh seorang perawat karena sangat menentukan kondisi
pasien selanjutnya.
Sampai saat ini penelitian tentang efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS
dalam membuat diagnosa keperawatan yang aktual belum pernah dilakukan. Karena
belum adanya penelitian serta terbatasnya informasi tentang manfaat pengkajian
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
7
neurologis dengan metode NIHSS dan ESS mendorong peneliti untuk meneliti
efektifitas pengkajian neurologis dengan metode NIHSS dan ESS dalam membuat
diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut.
B. Rumusan Masalah
Pada stroke berat penangan harus cepat untuk mencegah komplikasi yang lebih parah
dan kematian, maka diperlukan suatu alat pengkajian neurologi yang cepat, tepat dan
akurat untuk mengetahui perkembangan pasien saat itu.
Untuk meningkatkan hasil pelayanan kesehatan pada pasien stroke memerlukan
kerjasama tim yang baik antara dokter, perawat dan tim kesehatan lainnya. Perawat
unit stroke adalah mitra dokter neurologi dalam melakukan asuhan keperawatan pada
pasien stroke. Oleh sebab itu diperlukan suatu wawasan yang luas dalam bermitra
dengan dokter neurologi salah satunya dalam melakuan pengkajian neurologi dengan
metode NIHSS dan ESS untuk membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien
stroke berat fase akut.
Studi tentang penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam pengkajian untuk
pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual belum pernah dilakukan, sehingga
belum diketahui efektifitas penggunaan kedua metode ini terhadap pembuatan
diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat pada fase akut.
C. Tujuan
1. Umum
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
8
Mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat
diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut.
2. Khusus
a. Mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dalam membuat
diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut.
b. Mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode ESS dalam membuat diagnosa
keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut.
c. Mengidentifikasi selisih perolehan diagnosa keperawatan aktual pada pasien
stroke berat fase akut pada pengkajian metode NIHSS dan ESS.
D. Manfaat Penelitian
1. Perawat
a) Sebagai penambah wawasan bagi perawat unit stroke tentang manfaat
pengkajian fokus neurologi dengan menggunakan pengkajian metode NIHSS
dan ESS pada pasien dengan stroke berat fase akut
b) Dapat dengan mudah merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada
pasien stroke berat fase akut menggunakan pengkajian metode NIHSS dan
ESS.
2. Pengetahuan
Sebagai bahan rujukan khususnya mengenai efektifitas pengkajian menggunakan
metode NIHSS dan ESS dalam menyusun rencana asuhan keperawatan khususnya
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
9
pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada asuhan keperawatan pasien dengan
stroke berat fase akut.
3. Penelitian
Sebagai informasi awal untuk penelitian selanjutnya, terkait dengan perawatan
pasien stroke khususnya untuk pengembangan studi keperawatan medikal bedah
spesialis keperawatan medikal bedah saraf.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Penyakit Stroke
1. Definisi
“Stroke adalah gangguan tiba-tiba terhadap aliran darah ke otak” (Stroke center,
2007, Defenition of Stroke, http://www.strokecenter.org/patients/stats.htm,
diperoleh tanggal 10 Januari 2008). Menurut smeltzer & Bare (2008, hlm.2206)
“Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi sistem
saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran darah ke
otak”. Sedangkan menurut Black & Hawks (2005, hlm.2107) “Stroke adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologis yang
disebabkan oleh gangguan aliran darah ke suatu bagian otak”.
2. Etiologi
Stroke biasanya disebabkan oleh salah satu dari empat kejadian ini, yaitu:
a. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak
c. Iskemia (penurunan alirah darah ke area otak)
d. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke
dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak)
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
11
3. Patofisiologi
Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran darah ke
otak berkurang sehingga otak kekurangan oksigen. Iskemia terjadi ketika aliran
darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit. Akibatnya neuron tidak bisa
mempertahankan respirasi aerob. Mitokondria diubah menjadi respirasi anaerob
sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan pH. Perubahan ini juga
mengakibatkan penurunan neuron dalam memproduksi adenosin triphospat (ATP)
yang akan dijadikan bahan bakar dalam proses depolarisasi. Keseimbangan
elektrolit mulai terjadi dan fungsi sel mulai berhenti.
Penurunan aliran darah yang berkurang menuju menjadi penumbra dan
berkembang menjadi area infark. Bagian penumbra adalah jaringan otak yang
iskemik dan bisa diselamatkan dengan penanganan yang cepat. Alirahan yang
iskemik mengancam sel dan penumbra karena membran yang mengalami
depolarisasi pada dinding sel menyebabkan peningkatan kalsium yang masuk ke
dalam sel dan mengeluarkan glutamat. Jika hal ini berlanjut akan mengakibatkan
bertambahnya kerusakan pada selaput sel, kalsium dan glutamat banyak terbuang,
vasokontriksi dan menghasilkan radikal bebas. Proses ini memperbesar area
infark pada penumbra dan memperluas stroke iskemik. Area infark akan
menimbulkan edema otak sehingga menyebabkan gangguan saraf yang bersifat
sementara. Area edema akan berkurang dalam waktu beberapa jam atau beberapa
hari sehingga gangguan saraf secara perlahan dapat kembali normal. Apabila
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
12
stroke non hemoragik tidak diatasi dengan cepat dan tepat akan mengakibatkan
stroke hemoragik.
Stroke hemoragik tergantung pada penyebab dan jenis penyakit alirah darah di
otak. Gejala stroke hemoragik diakibatkan oleh pendarahan primer pada otak,
aneurisma atau kelainan bentuk arterivena yang menekan saraf kranial atau
jaringan otak atau lebih parah lagi ketika aneurisma atau kelainan arterivena
pecah menyebabkan pendarahan sub araknoid.
Pendarahan sub araknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi,
tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada area sirkulus
willis dan kelainan bentuk arteri-vena. Aneurisma dan kelainan bentuk arteri-
vena akan menekan pada saraf kranial atau jaringan otak atau lebih parah lagi
ketika aneurisma atau arteriovenous malformations (AVM) pecah, akan
menyebabkan pendarahan sub araknoid. Dengan meningkatnya tekanan dalam
otak yang diakibatkan oleh masuknya darah yang tiba-tiba kedalam ruangan sub
araknoid akan menekan dan merusak jaringan otak. Pendarahan sub araknoid juga
disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat terjadinya penurunan
tekanan perfusi dan vasospasme.
Perdarahan intraserebral paling umum pada pasien dengan hipertensi dan
atersoklerosis, karena perubahan degeneratif menyebabkan pecahnya pembuluh
darah otak. Pendarahan intraserebral juga bisa disebabkan oleh tumor otak dan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
13
penggunaan obat-obatan seperti obat oral antikoagulan dan amphetamine.
Pendarahan bisanya terjadi pada lobus otak, basal ganglia, thalamus, pons dan
serebellum. Adakalanya, pendarahan dapat memecahkan dinding ventrikular
lateral dan menyebabkan pendarahan intraventrikular yang fatal (Smeltzer &
Bare, 2008; Black & Hawks, 2005).
Skema 2.1. Patofisiologi stroke
Sumber: (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005)
Oklusi (trombosis, emboli)
Iskemia
Asidosis Ketidakseimbangan ion
Glutamat Depolarisasi
Sel membrane dan protein rusak membentuk radikal bebas. Produksi protein menurun
Sel rusak dan mati
Kekurangan energi
Peningkatan kalsium ke dalam sel
Stroke iskemi aterosklerosis
serebral
Trauma, aneurisma, kelainan bentuk arteri-vena
Perdarahan sub araknoid Perdarahan
intraserebral
Pembuluh darah otak pecah
Pembuluh darah otak pecah
Hipertensi,
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
14
4. Klasifikasi Stroke
Pembagian jenis stroke dapat dibagi menurut etiologi dan perjalanan penyakitnya
a. Pembagian stroke menurut etiologinya
1) Stroke non hemoragik
b) Trombosis
c) Emboli
2) Stroke hemoragik
a) Pendarahan intra serebral
b) Pecahnya aneurisma dan kelainan bentuk arteri-vena (pendarahan sub
araknoid)
c) Lain-lain seperti: tumor otak yang mengalami perdarahan
b. Pembagian stroke menurut perjalanan penyakitnya
Sesuai dengan perjalanan penyakit tersebut, atau keadaan temporal (yang
didefinisikan sebagai sebagai pola kronologis perkembangan dan regresi klinis,
tanda-tanda dan gejala-gejala), maka stroke dapat dibagi menjadi tiga jenis
1) Transient Ischemic Attacks (TIA)
Ini merupakan gangguan neurologis fokal yang timbul secara tiba-tiba dan
menghilang dalam beberapa detik sampai beberapa jam.
a) Gangguan neurologis setempat
b) Terjadi selama beberapa detik - jam
c) Gejala hilang kurang dari 24 jam
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
15
2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Terjadi lebih lama dari TIA, gejala hilang lebih dari 24 jam tetapi tidak
lebih dari 1 minggu
3) Progresif, (Stroke ini evolution)
Perkembangan stroke perlahan lahan sampai akut.
a) Munculnya gejala makin lama makin bertambah buruk
b) Proses progresif beberapa jam sampai beberapa hari
4) Stroke lengkap (Stroke complete)
Gangguan neurologis maksimal sejak awal serangan dan sedikit
memperlihatkan perbaikan.
a) Didahului dengan TIA yang berulang-ulang dan stroke in evolution
b) Bentuk kelainan neurologi sudah menetap
c) Gangguan neurologi sudah maksimal / berat sejak awal serangan.
d) Perbaikan hanya tampak sedikit
c. Pembagian stroke berdasarkan tingkat keparahan, (Rasyid dan Seortidewi, 2007,
hlm.35).
1) Stroke ringan: nilai NIHSS kurang dari 4
2) Stroke sedang: nilai NIHSS 4 - 15
3) Stroke berat: nilai NIHSS lebih dari 15
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
16
5. Tanda dan gejala
Stroke dapat menyebabkan berbagai defisit neurologi, tergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya kurang dan
jumlah alirah darah kolateral. Gambaran klinik utama dikaitkan dengan
insufisiensi aliran darah ke otak dapat dihubungkan dengan tanda-tanda dan
gejala-gejala di bawah ini, (Black & Hawks, 2005) :
a. Vertebro basilaris (sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral)
1) Kelemahan salah satu dari empat anggota tubuh
2) Peningkatan refleks tendon
3) Ataksia
4) Tanda Babinski bilateral
5) Tanda-tanda serebelar
6) Disfagia
7) Disartria
8) Sinkope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan
9) Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis gerakan satu
mata)
10) Muka terasa baal
b. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior, gejala-gejalanya biasanya unilateral).
Lokasi lesi yang paling sering biasanya pada bifurkasio arteri karotis komunis
menjadi arteri karotis interna dan karotis eksterna. Dapat berbagai sindroma,
polanya tergantung dari jumlah sirkulasi kolateral.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
17
1) Kebutaan monokular , disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke
retina.
2) Terasa baal pada ekstremitas atas, dan mungkin juga menyerang wajah.
Hal ini disebabkan karena insufisiensi diantara arteri serebri arteri dan
serebri media. Kalau terjadi pada hemisfer yang dominan maka akan
timbul gejala-gejala afasia ekspresif.
c. Arteri serebri anterior , gejala yang paling primer adalah kebingungan :
1) Rasa kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian proksimal
mungkim ikut terserang. Timbul gerakan volunter pada tungkai terganggu.
2) Gangguan sensori k ontra lateral.
3) Dimensia, reflek mencekram dan reflekspatologis (disfungsi lobus
frontalis).
d. Arteri serebri posterior ( dalam lobus otak tengah atau talamus)
1) Koma
2) Hemiparesis kontralateral
3) Afasia visual atau buta kata (aleksia).
4) Kelumpuhan saraf kranial ketiga -hemianopsia, koreo-athetosis.
e. Arteri Serebri media.
1) Mono paresis atau hemiparesis kontralateral (biasanya mengenai lengan)
2) Kadang-kadang hemianopsia kontralateral (kebutaan).
3) Afasia global (kalau hemisfier dominan yang terkena) gangguan semua
fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi.
4) Disfsagia.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
18
6. Pemeriksaan diagnostik
Menurut Smeltzer & Bare, (2008); Black & Hawks, (2005) , pemeriksaan
diagnostik yang sering dilakukan pada pasien strok antara lain:
a. CT Scan. Pemeriksaan awal untuk nenentukan apakah pasien termasuk stroke
hemoragik atau non hemoragik. Pemeriksaan ini dapat melihat adanya edema,
hematoma, iskemia dan infark.
b. Angiografi Serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik,
seperti perdarahan atau obstruksi arteri, ada tidaknya oklusi atau rupture.
c. Pungsi Lumbal. Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada
trombosisi, emboli serebral, TIA.
d. MRI. Menunjukkan daerah yang mengalami infakr, hemoragik, kelainan
bentuk arteri-vena.
e. EEG. Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan
mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
7. Penatalaksanaan pasien stroke fase akut
Pasien yang koma saat masuk ke rumah sakit dinilai mempunyai prognosis yang
buruk. Sebaliknya pasien sadar penuh akan mempunyai harapan yang lebih baik.
Dengan mempertahankan jalan nafas dan ventilasi yang cukup adalah prioritas
utama pada fase akut. Menurut Smeltzer,et.al, (2002), .Intervensi yang dilakukan
pada fase akut antara lain:
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
19
a. Pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala di
tempat tidur ditinggikan 15-30 derajat sampai tekanan vena serebral
berkurang
b. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik perlu untuk pasien dengan stroke
massif, karena pada situasi ini henti pernafasan dapat mengancam kehidupan.
c. Memantau adanya komplikasi pulmonal (aspirasi, atelektasis, pneumonia)
yang mungkin berkaitan dengan kehilangan reflek jalan nafas, imobilitas atau
hipoventilasi.
d. Periksaan jantung untuk melihat abnormalitas ukuran, irama serta tanda gagal
jantung kongestif.
B. Asuhan Keperawatan Pasien dengan stroke fase akut
1. Manajemen keperawatan
Manajemen keperawatan pada pasien stroke tergantung pada gejala stroke dan
gangguan neurologi yang terjadi. Penanganan yang dini pada pasien stroke adalah
faktor kunci dalam mengoptimalkan hasil perawatan seperti di ruangan ICU atau
perawatan khusus unit stroke akut. Pemberian trombolitik atau neuroprotektif
dilakukan minimal 3-6 jam setelah terkena stroke iskemik (Hickey, 2003,
hlm.556).
Menurut Smeltzer & Bare (2008, hlm, 2215), ”Fase akut pada stroke iskemik
antara 1-3 hari, tetapi pengawasan yang berkelanjutan terhadap semua sistem
tubuh masih diperlukan selama pasien memerlukan perawatan”. Pasien yang
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
20
terkena stroke sangat beresiko terhadap komplikasi yang banyak meliputi
pengkondisian dan masalah muskulo skletal, kesulitan menelan, disfungsi
BAB/BAK, ketidakmampuan perawatan diri sendiri dan kerusakan kulit. Selama
fase akut pemeriksaan neurologi tetap dipertahankan untuk memberikan data
tentang kondisi pasien meliputi:
a. Perubahan tingkat kesadaran atau tingkat respon yang ditunjukkan melalui
pergerakan, pertahanan terhadap perubahan posisi, respon terhadap stimulus,
orientasi waktu, tempat dan orang.
b. Ada atau tidak adanya gerakan yang di sengaja atau tidak di sengaja pada
ektrimitas; kekuatan otot, postur tubuh, dan posisi kepala.
c. Kekakuan atau kelemahan leher
d. Pembukaan mata, perbandigan ukuran pupil, rekasi pupil terhadap cahaya dan
posisi mata
e. Warna wajah dan ektrimitas; suhu dan kelembaban kulit.
f. Kualitas dan jumlah nadi dan pernafasan; analisa gas darah, suhu tubuh dan
tekanan arterial.
g. Kemampuan bicara.
h. Jumlah cairan yang diberikan, volume urin yang keluar selama 24 jam.
i. Adanya pendarahan.
j. Tekanan darah dalam rentang yang normal.
”Waktu adalah faktor yang sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan
pasien dengan stroke”, (AANN, 2004, hlm. 6). AHA dan NSA memberikan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
21
rekomendasi dalam memberikan perawatan harus dilakukan dalam waktu 3 -6
jam pertama terkena serangan untuk mendapatkan hasil yang baik saat pasien
pulang. Intervensi keperawatan stroke fase akut meliputi langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Monitor jalan nafas dan pastikan kelengkapannya tersedia.
b. Monitor tanda-tanda gangguan pernafasan dan antisipasi adanya tindakan
intubasi.
c. Pertahankan saturasi oksigen lebih dari 90 %.
d. Pertahankan pemasangan intra vena.
e. Monitor sesering mungkin seperti tanda-tanda vital tiap 15 menit, gangguan
neurologi, saturasi oksigen dan irama jantung.
f. Berikan posisi pasien dengan kepala tegaklurus dan kepala tinggikan 30
derajat untuk mencegah aspirasi dan arus balik vena.
g. Kolaborasi pemeriksaan CT Scan untuk menentukan apakah pasien
memerlukan trombolitik atau intervensi akut yang lain.
h. Kolaborasi pemberian Insulin bila gula darah melebihi 150 mg/dl. Glukosa
yang tinggi dapat memperburuk keadaan.
i. Turunkan suhu bila lebih dari 38 °C, karena suhu yang tinggi memperburuk
keadaan.
j. Jika pasien diberikan terapi trombolitik, pasien perlu diobservasi ketat karena
bisa mendapatkan reaksi anapilaktik seperti sumbatan total saluran
pernafasan.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
22
2. Pengkajian keperawatan
a. Definisi
Menurut Carpenito (1997, hlm. 45), “Pengkajian adalah pengumpulan data
yang sengaja dilakukan secara sistematis untuk menentukan keadaan
kesehatan pasien sekarang dan masa lalu dan untuk mengevaluasi pola koping
pasien sekarang dan masa lalu”.
Langkah pertama pada proses keperawatan disebut pengkajian, yaitu
pengumpulan data oleh perawat. Informasi dikumpulkan dengan
menggunakan metode observasi, wawancara, pemeriksaan fisik dan intuisi
dan dari sumber lain termasuk, pasien, keluarga atau orang lain yang dekat
dengan pasien, catatan kesehatan, tim kesehatan lain dan sumber kepustakaan
(Craven & Hirnle, 2007).
Tahap ini semua data/informasi tentang pasien yang dibutuhkan, dikumpulkan
dan dianalisa untuk menentukan diagnosa keperawatan. Pengkajian
keperawatan terdiri dari tiga tahap yaitu; pengumpulan, pengelompokan atau
pengorganisasian serta menganalisa dan merumuskan diagnosa keperawatan.
b. Jenis pengkajian
Pengkajian memiliki banyak bentuk, tergantung pada situasi klinis, keadaan
Pasien, waktu yang tersedia dan tujuan pengumpulan data. Jenis pengkajian
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
23
antara lain: pengkajian awal, pengkajian fokus, pengkajian ulang dan
pengkajian darurat (Craven & Hirnle, 2007).
1) Pengkajian awal
Pengkajian ini dilakukan saat pasien masuk ke rumah sakit. Tujuannya
adalah untuk melihat kondisi pasien, mengidentifikasi fungsi pola
kesehatan yang bermasalah dan mendapatkan data yang dasar yang
mendalam dimana data ini penting untuk mengevaluasi keadaan pasien
baik data aktual ataupun potensial.
2) Pengkajian fokus
Pengumpulan data tentang masalah yang sudah diidentifikasi. Pengkajian
ini mempunyai lingkup yang lebih sedikit dan memerlukan waktu yang
singkat. Seorang perawat biasanya hanya mengkaji masalah khusus yang
ditemukan selama proses pengkajian.
3) Pengkajian ulang
Pengkajian yang dilakukan setelah pengkajian awal untuk mengevaluasi
perubahan pada fungsi kesehatan pasien. Pengkajian ini membandingkan
status pasien dengan data dasar pada masa lalu untuk melihat perubahan
pada semua fungsi pola kesehtan setelah beberapa waktu yang lalu.
4) Pengkajian darurat
Mengidentifikasi situasi yang menyakut penyelamatan nyawa pasien
dimana penyelamatan nyawa menjadi prioritas utama.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
24
c. Pengumpulan data
1) Tipe data
Ada 2 tipe data pada pengkajian yaitu:
a) Data subjektif
Data yang didapatkan dari Pasien sebagai suatu pendapat terhadap
suatu situasi dan kejadian. Misalnya penjelesan pasien tetang nyeri,
lemah, frustasi, mual atau malu.
b) Data objektif
Data yang didapat dari observasi dan diukur. Misalnya frekuensi
pernafasan, tekanan darah, edema, berat badan.
2) Karateristik data
Pengumpulan data Pasien memiliki karakteristik seperti lengkap, akurat,
nyata dan relevan.
d. Sumber data
Sumber dalam pengkajian bisa berasal dari Pasien, orang terdekat, catatan
Pasien, riwayat penyakit, konsultasi, hasil pemeriksaan diagnostik, catatan
medis dan anggota tim kesehatan lainnya, perawat lain serta kepustakaan.
(Nursalam, 2001)
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
25
e. Metode pengumpulan data
Ada tiga metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada tahap
pengkajian yaitu: wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik.
1) wawancara
Wawancara adalah pola komunikasi yang dilakukan untuk tujuan spesifik
dan difokuskan pada area dengan isi yang spesifik. Dalam keperawatan,
tujuan utama dari mewawancara adalah mendapatkan riwayat kesehatan
keperawatan, mengidentifikasi kebutuhan kesehatan dan faktor resiko
serta menentukan perubahan spesifik dalam tingkat kesejahteraan dan pola
kehidupan. Ada empat tahap dalam wawancara yaitu: persiapan,
pembukaan atau perkenalan, isi atau tahap kerja dan terminasi.
2) Observasi
Observasi adalah mengamati perilaku dan keadaan pasien untuk
memperoleh data tentang kesehatan dan keperawatan pasien. Kegiatan
observasi meliputi 2S HFT (sight, smell, hearing, feeling dan taste).
Kegiatan ini mencakup aspek fisik, mental, sosial dan spiritual.
3) pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dipergunakan untuk memperoleh data objek dari
riwayat keperawatan pasien. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
bersamaan dengan wawancara. Fokus pengkajian fisik yang dilakukan
perawat adalah pada kemampuan fungsional pasien. Sebagai contoh, jika
ada pasien dengan gangguan system persarafan, maka perawat mengkaji
apakah gangguan tersebut mempengaruhi pasien dalam melaksanakan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
26
kegiatan sehari-hari. Tujuan dari pengkajian fisik adalah untuk
menentukan status kesehatan pasien, mengidentifikasi masalah kesehatan
dan mengambil data dasar untuk menentukan rencana tindakan
keperawatan (Potter & Perry, 2006).
Metode atau teknik pemeriksaan fisik terdiri dari: inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.Sedangkan ada tiga pendekatan yang digunakan
pada pemeriksaan fisik yaitu pertama head-to-toe (kepala sampai ke kaki),
kedua review of system (sistem tubuh seperti sistem penafasan,
pencernaan, kardiovaskuler, persyarafan, pekencingan, muskuloskletal,
integument dan reproduksi), dan ketiga pola fungsi kesehatan Gordon
(Crafen & Hirnle, 2007).
Pengkajian sistem saraf mulai dilakukan perawat saat pasien masuk ke rumah
sakit atau ruang perawatan meliputi aspek bio-psiko-sosial dan spritual. Pada
stroke berat fase akut salah satu aspek pengkajian yang sangat penting dilakukan
oleh seorang perawat adalah pengkajian neurologi karena pengkajian ini bertujuan
untuk mengetahui kondisi pasien sedini mungkin (Polaski & Tatro, 1996).
Pengkajian neurologi termasuk jenis pengkajian fokus karena pengkajian ini
mempunyai lingkup yang lebih sedikit yaitu sistem persarafan saja dan
memerlukan waktu yang singkat. Pengkajian neurologi juga termasuk jenis
pengkajian darurat karena mengidentifikasi situasi yang menyakut
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
27
penyelamatan nyawa pasien dimana penyelamatan nyawa menjadi prioritas
utama. Kita ketahui banyak sekali pasien stroke berat fase akut yang meninggal
karena kesalahan pengkajian sehingga penangannya juga salah yang berakibat
kematian pasien lebih cepat. Pengumpulan data pada pengkajian neurologis
dilakukan dengan teknik wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik dengan
teknik pemeriksaan review of system (khusus sistem tubuh persarafan).
”Pengkajian neurologi dilakukan 1 jam sekali di ruangan intensive care unit, 2
jam sekali di ruangan transisi dan 4 jam sekali di ruangan biasa” (AANN,
2004,hlm. 4) Pengkajian dilakukan dengan metode NIHSS dan ESS. Hasil
pengkajian ini, akan didapatkan diagnosa aktual terhadap pasien dengan stroke
berat fase akut.
Pengkajian neurologi adalah suatu proses yang membutuhkan ketelitian dan
pengalaman, yang terdiri dari sejumlah pemeriksaan pada fungsi yang spesifik.
Walaupun pemeriksaan neurologi sering terbatas pada pemeriksaan yang
sederhana, namun hal ini penting diketahui oleh orang yang melakukan
pemeriksaan, sehingga mampu untuk melakukan pemeriksaan neurologi dengan
teliti dengan melihat riwayat penyakit dan keadaan fisik lainnya. Menurut
(Priharjo,1996; Bates, 1998; Jarvis, 2000; Smeltzer & Bare, 2002; Lumbantobing,
2006), pengkajian neurologi terdiri dari:
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
28
a. Fungsi serebral
Serebral yang tidak normal dapat menyebabkan gangguan dalam komunikasi,
fungsi intelektual, dan dalam pola tingkah laku emosional. Pemeriksaan
fungsi serebral meliputi:
1) Status mental
Fungsi serebral yang adekuat ditentukan melalui pengkajian status mental
pasien. Pengkaji mengobservasi penampilan pasien dan tingkah lakunya,
dengan melihat cara berpakaian pasien, kerapihan, dan kebersihan diri.
Observasi postur, sikap, gerakan-gerakan tubuh, ekspresi wajah dan
aktivitas motorik, semuanya ini sering memberikan informasi penting
tentang pasien. Gaya bicara pasien dan tingkat kesadaran juga diobservasi.
Apakah gaya bicara pasien jelas atau masuk akal? Apakah pasien sadar
dan berespons atau mengantuk dan stupor?
2) Fungsi intelektual
Fungsi intelektual dikaji bila ragu-ragu terhadap kompetensi intelektual
pasien. Sering pasien dalam kondisi toksik atau mereka yang mempunyai
kerusakan korteks frontal pada saat dikaji kelihatan tidak benar-benar
normal atau kehilangan sam atau lebih dari kapasitas integritas intelektual
yang ada. Pertama, pengkaji menentukan apakah pasien diorientasikan
pada wakm, tempat, dan orang. Apakah pasien mengetahui hari apa hari
ini, tahun berapa, dan siapa nama pasien sekarang? Apakah pasien tahu
dimana ia berada? Apakah pasien mengetahui siapa yang mengkaji dan
apa tujuan ia berada di ruangan?
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
29
3) Daya pikir
Mengkaji kemampuan berpikir pasien sangat penting selama
melaksanakan kegiatan wawancara. Apakah pikiran pasien bersifat
spontan, alamiah, jernih, relevan, dan masuk akal? Apakah pasien
mempunyai kesulitan berpikir, khayalan dan keasyikan sendiri? Apa yang
menjadi pikiran pasien? Pikiran pasien asik sendiri dengan hal kematian,
kejadian-kejadian tidak masuk akal, hal-hal yang bersifat halusinasi, dan
pikiran paranoid, semuanya penting dan membutuhkan evaluasi yang lebih
teliti.
4) Status Emosional
Pengkajian fungsi emosional juga mencakup status emosional pasien.
Apakah tingkah laku pasien alamiah dan datar atau peka dan pemarah,
cemas, apatis atau euforia? Apakah alam perasaannya berubah-ubah
secara normal atau iramanya tidak dapat diduga dan gembira menjadi
sedih selama wawancara? Apakah tingkah lakunya sesuai dengan kata-
kata atau isi dan pikirannya? Apakah komunikasi verbal sesuai dengan
tampilan komunikasi non-verbal?
5) Persepsi
Pengkaji kini dapat mempertimbangkan daerah yang lebih spesifik dan
fungsi kortikal yang lebih tinggi. Agnosia adalah ketidakmampuan
menginterprestasikan atau mengenal benda yang dilihat dengan
menggunakan perasaan spesial. Pasien dapat melihat sebuah pulpen tetapi
tidak tahu disebut apa atan apa yang dapat dilakukan dengan benda itu.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
30
Pasien mampu untuk menggambarkan benda tersebut tetapi tidak untuk
menginterpretasikan fungsinya. Pasien ada yang mengalami agnosia
auditori dan agnosia taktil, demikian pula agnosia visual. Masing-masing
kelainan fungsi melibatkan bagian dan korteks.
6) Kemampuan Motorik
Pengkajian terhadap integrasi motor kortikal dapat terlihat dengan
memerintabkan pasien üntuk melakukan aktivitas yang berhubungan
dengan keterampilan (melempar sebuah bola, menggerakkan kursi).
Keberhasilan dalam melakukannya bergantung pada kemampuan orang
tersebut untuk mengerti aktivitas yang diinginkan dan kekuatan normal
dan motorik. Kegagalan yang ada merupakan tanda gangguan fungsi
serebral.
7) Kemampuan bahasa
Orang-orang dengan fungsi neurologi normal mampu mengerti dan
berkomunikasi dalam pembicaraan dan bahasa tulisan. Apakah jawaban
pasien terhadap pertanyaan yang diberikan relevan? Dapatkah ia membaca
kalimat dan surat kabar dan menjelaskan artinya? Dapatkah pasien
menuliskan namanya atan mengulang gambaran sederhana dan yang
digambarkan penguji? Defisiensi fungsi bahasa disebut afasia. Afasia
terbagi dua yaitu sensory/receptive aphasia: hilangnya kemampuan Pasien
untuk memahami tulisan dan perkataan. Aphasia ini terdiri atas auditori
dan visual. Motor/expressive aphasia: hilangnya kemampuan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
31
mengekpresikan: kata-kata, kata atau kalimat dalam tulisan, symbol –
symbol.
8) Glasgow Coma Scale
Skala koma Glasgow (GCS), memberikan tiga bidang fungsi neurologi,
memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan
dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologi pasien
yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini tidak dapat digunakan dalam
pengkajian neurologi yang lebih dalam, cukup hanya mengevaluasi
motorik pasien, verbal, dan respons membuka mata. Nilai terendah adalah
3 (respons paling sedikit), nilai tertinggi adalah 15 (paling berespons).
Nilai 7 atau nilai di bawah 7 umumnya dikatakan sebagai koma dan
membutuhkan intervensi keperawatan bagi pasien koma tersebut. Adapun
penilaian GCS adalah sebagai berikut:
Membuka mata Nilai
a) Spontan 4
b) Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3
c) Dengan rangsangan nyeri 2
d) Tidak ada reaksi 1
Respon verbal Nilai
a) Baik dan tidak ada disorientasi 5
b) Kacau (disorientasi waktu dan tempat) 4
c) Tidak tepat (tidak berupa kalimat dan tidak tepat) 3
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
32
d) Mengerang (hanya suara mengerang) 2
e) Tidak ada jawaban 1
Respon motorik Nilai
a) Menurut perintah (contoh, disuruh “angkat tangan”) 6
b) Mengetahui lokasi nyeri 5
c) Reaksi menghindar nyeri 4
d) Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
e) Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2
f) Tidak ada reaksi 1
b. Saraf-saraf cranial
1) N. I (Olfaktorius). Berfungsi sebagai saraf sensory untuk penghiduan.
Perawat dapat mengkaji dengan cara : minta pasien untuk menghidu
sesuatu yang aromatik dan tidak bersifat iritatif (Kopi, alkohol, pasta gigi)
dengan menutup mata. Bila pasien tidak mampu menyebutkan aroma yang
dihidu disebut dengan anosmia.
2) N. II (Optikus). Berfungsi sebagai saraf sensory. Perawat mengkaji dengan
cara :
a). Inspeksi : katarak, inflamasi atau keabnormalitasan yang lain
b). Test ketajaman penglihatan dengan snellen’s chart
c). Test lapang pandang
d). Memeriksa fundus mata dengan alat opthalmoscope
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
33
3) N. III (Okulomotorius). Hal yang dikaji ukuran kedua pupil dan
pergerakan pupil. Konstriksi pupil dapat dikaji perawat dengan penlight.
Normalnya bila diberi rangsangan maka akan terjadi kontriksi.
4) N. IV (Troklear). Untuk pergerakan mata ke arah inferior dan medial.
Pengkajian saraf ini dilakukan bersamaan dengan pengkajian saraf VI
5) N. V (Trigeminal). Memiliki divisi motorik dan sensorik. Untuk
pemeriksaan fungsi motorik denganmenggerakkan kedua dagu ke sisi atau
tersenyum, normal semua gerakan dapat dilakukan. Sedangkan untuk
pemeriksaan fungsi sensorik dilakukan dengan cara menyentuhkan kapas
lembut yang steril ke kornea atau sentuhan agak keras ke kelopak mata,
normal reaksi mata akan berkedip.
6) N. VI (Abdusen). Mengontrol pergerakan bola mata ke arah lateral.
Bersama N. III, dan N. IV dapat dikaji 6 posisi kardinal dari penglihatan.
7) N. VII (Fasial). Memiliki divisi sensorik dan motorik, divisi motorik untuk
mengontrol ekspresi wajah. Perawat dapat mengkaji dengan cara minta
pasien untuk mengerutkan dahi, tersenyum, mengembungkan pipi,
menaikkan alis mata, memejamkan mata dengan rapat dan rasakan adanya
tahanan pada saat membuka mata.
8) N. VIII (Vestibulokoklear). Merupakan saraf sensory yang terdiri dari 2
divisi yaitu : koklear dan vestibular. Koklear untuk pendengaran. Test
pendengaran dapat dilakukan dengan cara minta pasien untuk mendengar
bisikan lalu minta untuk melaporkan apa yang didengarkan atau
dengarkan bunyi garpu tala. Test bone dan air conduction dilakukan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
34
dengan garpu tala. Audiometry dapat digunakan untuk pengkajian yang
tepat. Vestibular untuk membantu mempertahankan keseimbangan melalui
koordinasi otot-otot mata, leher dan extremitas. Tes keseimbangan dapat
dilakukan dengan cara Romberg test, calori test (oculovestibular reflex)
dan electronystagmography. Kemungkinan keabnormalan yang ditemukan
dapat disebabkan oleh Meniere,s syndrome dan neuroma acoustic.
9) N. IX (Glosofaringeus) dan N. X (Vagus). Merupakan saraf sensorik dan
motorik. Karena kedua saraf ini masuk ke pharynx maka pengkajian kedua
saraf ini bersamaan. Perawat dapat mengkaji N. IX dengan cara: minta
pasien untuk membuka mulut lebar-lebar sambil menyebutkan “ah”,
observasi posisi dan pergerakan dari uvula dan palatum, normalnya berada
di garis tengah. Kaji reflex gag dengan cara sentuh bagian pharynx dengan
spatel lidah, maka akan didapatkan respon gag ( respon muntah ). Kaji
respon menelan dengan memberikan Pasien sedikit minum. Kaji 1/3
bagian belakang lidah terhadap rasa.
10) N. XI (Aksesorius spinal). Merupakan saraf motorik yang mempersarafi
otot sternokleidomastoideus dan bagian atas dari otot trapezius. Perawat
dapat mengkaji dengan cara :
a). Minta pasien menaikkan bahu dengan dan tanpa tahanan
b). Minta pasien untuk memutarkan kepala ke kedua sisi secara
bergantian.
c). Dorong dagu ke belakang ke arah garis lurus
d). Dorong kepala ke depan dan lawan dengan tahanan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
35
11) N. XII (Hipoglosus). Merupakan saraf motorik yang mempersarafi lidah.
Perawat dapat mengkaji dengan cara: minta pasien untuk membuka mulut
lebar-lebar dan lidah dikeluarkan dan dengan cepat lidah digerakkan ke
kiri – kanan, keluar- ke dalam, amati adanya deviasi. Minta pasien untuk
mendorong lidahnya ke daerah pipi dan apakah ada tekanan di daerah luar.
Kemungkinan keabnormalan yang ditemukan dapat disebabkan kerusakan
pembuluh darah besar di daerah leher.
c. System motorik
Pemeriksaan yang teliti pada sistem motorik mencakup pengkajian pada
ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot, koordinasi dan keseimbangan. Pasien
diinstruksikan untuk berjalan menyilang di dalam ruangan, sementara
pengkaji mencatat postur dan gaya berjalan. Lihat keadaan ototnya, dan bila
perlu lakukan palpasi untuk melihat ukuran dan keadaan simetris.
1) Kekuatan Otot.
Kekuatan otot diuji melalui pengkajian kemampuan pasien untuk
melakukan fleksi dan ekstensi ekstremitas sambil dilakukan penahanan.
Fungsi pada otot individu atau kelompok otot dievaluasi deugan cara
menempatkan otot pada keadaan yang tidak menguntungkan. Adapun
penilaian kekuatan otot adalah sebagai berikut:
a) Nilai 5: Gerakan normal penuh menentang gravitasi degan penahanan
penuh
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
36
b) Nilai 4: Gerakan normal penuh menentang gravitasi degan sedikit
penahanan
c) Nilai 3: Gerakan normal menentang gravitasi
d) Nilai 2: Gerakan otot penuh menentang gravitasi dengan sokongan
e) Nilai 1: Tidak ada gerakan, tapi terlihat kontraksi otot
f) Nilai 0: Paralisis otot
2) Keseimbangan dan Koordinasi
Pengaruh serebelum pada sistem motorik terlihat pada kontrol
keseimbangan dan koordinasi. Koordinasi tangan dan ekstremitas atas
dikaji dengan cara meminta pasien melakukan gerakan cepat, berselang-
seling, dan uji menunjuk satu titik ke titik lain. Pertama, pasien diminta
untuk menepukkan tangan ke paha secepat mungkin. Masing-masing
tangan diuji secara terpisah. Kemudian pasien diinstruksikan untuk
membalikkan tangan dari posisi telentang ke posisi telungkup dengan
gerakan cepat.
3) Tes Romberg
Tes Romberg, adalah pemeriksaan pengukuran untuk keseimbangan.
Pasien berdiri dengan menggunakan sam kaki dengan taügan diturunkan
pada sisi yang sama, sementara kaki yang satu diangkat dan tangan yang
satunya dinaikkan ke atas, mula-mula kedua mata terbuka dan kemudian
kedua mata tertutup selama 20 sampai 30 detik. Penguji berdiri dekat
pasien dan meyakinkan pasien bahwa ia siap menyokong pasien jika
pasien akan jatuh. Bila sedikit goyang adalah normal. Selain tes serebelum
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
37
untuk keseimbangan pada saat pasien berjalan termasuk juga melompat di
tempat, menekuk lutut selang seling, dan berjalan dengan tumit dan kaki.
d. System sensorik
Sistem sensorik lebih kompleks dan sistem motorik karenä modal dan sensori
mempunyai perbedaan traktus, lokasi pada bagian yang berbeda pada medula
spinalis. Pengkajian sensori adalah secara subjektif, dengan luas dan
membutuhkan kerja sama pasien. Dianjurkan penguji mengenali penyebaran
saraf perifer yang berasal dan medula spinalis.
1) Sensasi taktil
Dikaji dengan menyentuh lembut gumpalan kapas pada masing-masing
sisi tubuh. Sensitivitas ekstremitas bagian proksimal dibandingkan dengan
bagian distal.
2) Sensasi nyeri dan suhu
Sensasi nyeri dan suhu ditransmisi bersama di bagian lateral medula
spinalis. Sehingga sensasi suhu tidak perlu dalam keadaan ini. Nyeri
superfisial dapat dikaji dengan menentukan sensitivitas pasien terhadap
objek yang tajam. Pasien diinstruksikan untuk membedakan antara ujung
yang tajam dan tumpul dengan menggunakan lidi kapas yang dipatahkan
atau spatel lidah, untuk keamanan hindari penggunaan peniti karena dapat
nierusak integritas kulit. Kedua sisi objek tajam dan tumpul digunakan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
38
dengan intensitas yang sama pada semua pelaksanaan dan kedua sisi diuji
dengan simetris.
3) Vibrasi dan propriosepsi
Getaran dan propriosepsi ditransmisi bersama-sama pada bagian posterior
medulla. Getaran dapat dievaluasi melalui penggunaan garpu tala
frekuensi rendah (128 atau 256 Hertz). Letakkan garpu tala yang bergetar
pada sebuah tulang yang menonjol dan pasien ditanya apakah ia
merasakan sensasi dan instruksikan untuk memberi tanda pada penguji
bila sensasi dirasakan. Jika pasien tidak merasakan getaran pada tulang
yang menonjol bagian distal, penguji menaikkan getaran garpu tala sampai
dirasakan Idien. Setelah semua pengukuran sensasi, dibuat perbedaan dan
sam sisi ke sisi yang lain.
4) Merasakan posisi
Merasakan posisi, dapat ditentukan dengan menanyakan pasien saat pasien
tertutup matanya, kemudian jan kaki digerakkan ke arah mana pasien
mampu menunjukkan dengan gerakan. Vibrasi dan sensasi posisi sering
hilang bersamaan, sering terjadi di mana yang lain masih berfungsi.
5) Integrasi sensasi
Integrasi sensasi, di otak perlu dievaluasi. Hal ini dapat dilakukan dengan
membedakan dua titik. Jika pasien disentuh dengan dua objek tajam
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
39
bersamaan pada posisi tubuh yang berlawanan, apakah pasien merasakan
dua atau sam sentuhan? Pasien dengan keadaan normal melaporkan bahwa
sentuhan itu ada pada dua tempat. Jika hanya satu tempat yang dilaporkan,
yang satunya tidak diakui, hal ini menunjukkan terjadi kepunahan
(extinction). Uji yang baik terhadap kemampuan sensorik kortikal yang
lebih tinggi adalah stereognosis. Pasien diinstruksikan untuk menutup
kedua mata dan mengidentifikasi variasi objek (seperti kunci atau uang
logam) yang ditempatkan pada satu tangan oleh penguji.
e. Status reflek
Refleks motorik merupakan kontraksi yang tidak disadari dan respons otot
atau kelompok otot yang meregang tibatiba dekat daerah otot yang
dirangsang. Tendon terpengaruh langsung dengan palu refleks atau secara
tidak lang- sung melalui benturan pada ibu jan penguji yang ditempatkan rekat
pada tendon. Uji refleks ini memungkinkan orang yang menguji dapat
mengkaji lengkung refleks yang tidak disadari, yang bergantung pada adanya
reseptor bagian aferen, sinaps spinal, serabut eferen motorik dan adanya
beberapa pengaruh perubahan yang bervariasi pada tingkat yang lebih tinggi.
Biasanya refleks yang dapat diuji mencakup refleks bideps, brakhioradialis,
triseps, patela, dan pergelangan kaki (atau Achilles)
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
40
Derajat reflek mempunyai nilai antara 0 sampai 4+. Adapun penilian derajat
reflek adalah sebagai berikut:
4 +: hiperaktif dengan kionus terus menerus
3 +: hiperaktif
2 +: normal
1+ : hipoaktif
0: tidak ada refleks
1) Refleks Biseps.
Refleks biseps didapat melalui peregangan tendon biseps pada saat siku
dalam keadaan fleksi. Orang yang menguji menyokong lengan bawah
dengan satu tangan sambil menempatkan jari telunjuk dengan
menggunakan palu refleks.
2) Refleks Triseps
Pemeriksaan refleks triseps dilakukan dengan cara lengan pasien
difleksikan pada siku dan diposisikan di depan dada. Pemeriksan
menyokong lengan pasien dan mengidentifikasi tendon triseps dengan
mempalpasi 2,5 sampai 5 cm di atas siku. Pemukulan langsung pada
tendon normalnya menyebabkan kontraksi otot triseps dan ekstensi siku.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
41
3) Refleks Brakhioradialis
Pada saat pengkajian refleks brankhioradialis, penguji meletakkan lengan
pasien di atas meja laboratorium atau disilangkan di atas perut. Ketukan
palu dengan lembut 2,5 sampai 5 cm di atas siku. Pengkajian ini dilakukan
dengan lengan dalam keadaan fleksi dan supinasi.
4) Refleks Patella
Refleks patella ditimbulkan dengan cara mengetok tendon patella tepat di
bawah patella. Pasien dalam keadaan duduk atau tidur telentang. Jika
pasien telentang, pengkaji menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi
otot. Kontraksi quadriseps dan ekstensi lutut adalah respons normal
5) Refleks Ankle
Pemeriksaan refleks ankle dilakukan dengan posisi pergelangan kaki
dalam keadaan rileks, kaki dalam keadaan dorsi fleksi pada pergelangan
kaki dan palu diketok pada bagian tendon Achilles. Refleks normal yang
muncul adalah fleksi pada bagian plantar. Jika pepguji tidak dapat
menimbulkan refleks pergelangan kaki dan kemungkinan tidak dapat
rileks, pasien diinstruksikan untuk berlutut pada sebuah kursi atau
tingginya sama dengan penguji.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
42
6) Refleks Kontraksi Abdominal
Refleks superfisial yang ada ditimbulkan oleh goresan pada kulit dinding
abdomen atau pada sisi paha untuk pria. Hasil yang didapat adalah
kontraksi yang tidak disadari otot abdomen, dan selanjutnya menyebabkan
skrotum tertarik.
7) Respons Babinski
Refleks yang diketahui jelas, sebagai indikasi adanya penyakit SSP yang
mempengaruhi traktus kortikospinal, disebut respons Babinski. Bila
bagian lateral telapak kaki seseorang digores, maka terjadi kontraksi kaki
dan menarik bersama-sama. Pasien yang mengalami penyakit susunan
saraf pusat pada sistem motorik, jari-jari kaki menyebar dan menjauh.
Keadaan mi normal pada bayi tetapi bila ada pada orang dewasa keadaan
mi abnormal. Beberapa variasi refleks-refleks lain memberi informasi.
Dan yang lainnya juga perlu diperhatikan tetapi tidak memberi inforrnasi
yang teliti.
3. Diagnosa keperawatan
a. Defenisi
“Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga
atau masyarakat sebagai akibat dari masalah-masalah keseahtan/proses
kehidupan yang actual atau potensial” (Nanda, 2005, dalam Craven & Hirnle,
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
43
2007, hlm.171). Diagnosa keperawatan memberikan dasar-dasar pemilihan
intervensi untuk mencapat hasil yang menjadi tanggung gugat perawat.
Menurut Carpenito (1997, hlm.45). “Diagnosa keperawatan adalah suatu
pernyataan yang menguraikan respon manusiawi (keadaan kesehatan atau pola
interaksi yang bergantian antara actual dan potensial) dari individu atau
kelompok di mana perawat dapat secara legal mengidentifikasi dimana
perawat dapat meminta suatu intervensi yang pasti untuk memelihara keadaan
kesehatan, untuk mengurangi, menghilangkan atau mencegah perubahan”
b. Langkah-langkah menentukan diagnosa keperawatan
1) Klasifikasi data dan analisa data
Data tersebut bisa diperoleh dari keadaan baik yang tidak sesuai atau pun
sesuai dengan standar criteria yang sudah ada. Untuk itu perawat harus jeli
dan memahami tentang standar keperawatan sebagai bahan perbandingan,
apakah keadaan kesehatan pasien sesuai atau tidak dengan standar yang
ada. Pengelompokan data bisa berdasarkan “pola respon manusia
(taksonomi NANDA)” atau “pola fungsi kesehatan (Gordon)”
2) Interpretasi data
a) Menentukan kelebihan Pasien
Jika pasien memenuhi standar kriteria kesehatan, perawat kemudian
menyimpulkan bahwa pasien memiliki kelebihan dalam “hal tertentu”
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
44
dan kelebihan tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan atau
membantu memecahkan masalah pasien yang dihadapinya.
b) Menentukan masalah Pasien
Jika pasien tidak memenuhi standar kriteria, maka pasien tersebut
mengalami keterbatasan dalam aspek kesehatannya dan memerlukan
pertolongan.
c) Menentukan masalah Pasien yang pernah dialami
Pada taham ini penting untuk menentukan masalah potensial pasien.
Misal, adanya tanda-tanda infkesi pada luka, tetapi tes laboratorium
tidak menunjukkan kelainan, sesuai dengan teori maka akan timbul
suatu infeksi. Perawat kemudian menyimpulkan bahwa daya tahan
tubuh pasien tidak mampu melawan infeksi.
d) Menentukan keputusan
(1) Tidak ada masalah tapi perlu peningkatan status dan fungsi
(2) Masalah yang kemungkinan terjadi
(3) Masalah actual atau resiko atau sindrom
(4) Masalah kolaboratif
3) Validasi data
a) Apakah data dasar mencukupi, akurat dan berasar dari beberapa
konsep keperawatan?
b) Apakah data yang signifikan menunjukkan gangguan pola?
c) Apakah ada data-data subyektif dan objektif mendukung terjadinya
gangguan pola pada pasien?
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
45
d) Apakah diagnosa keperawatan yang ada berdasarkan pemabahan ilmu
keperawatn dan keahlian klinik?
e) Apakah diagnosa keperawatan yang ada dapat dicegah, dikurangi dan
diselesaikan dengan melakukan tindakan keperawatan yang
independent?
4) Perumusan diagnoa keperawatan
Setelah perawat mengelompokkan, mengidentifikasi data-data yang
signifikan maka tugas perawat pada tahap ini adalah merumuskan suatu
diagnosa keperawawatan. Perumusan diagnosa keperawatan terdiri dari
aktual, resiko, kemungkinan (possible) dan perbaikan (wellness). (Craven
& Hirnle, 2008).
a) Aktual
Menjelaskan masalah nyata saat ini dengan data klinik yang
ditemukan. Syarat menegakkan diagnosa ini harus ada unsur masalah,
penyebab dan tanda gejala. Contoh: Kekurangan volume cairan tubuh
berhubungan dengan kehilangan cairan secara abnormal, ditandai
dengan muntah, diare, turgor jelek selama 3 hari.
b) Resiko
Menjelaskan masalah kesehatan yang nyata akan terjadi jika tidak
dilakukan intervensi. Syarat menegakkan diagnosa ini ada unsur
masalah, dan etiologi. Contoh: Resiko gangguan integritas kulit
berhubungan dengan diare yang terus menerus.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
46
c) Kemungkinan (Possible)
Menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk memastikan
masalah keperawatan kemungkinan. Pada keadaan ini masalah dan
faktor pendukung belum ada tapi sudah ada faktor yang dapat
menimbulkan masalah. Syarat menegakkan diagnosa ini adanya
unsure masalah dan faktor yang mungkin dapat menimbulkan masalah
tapi belum ada. Contoh: Kemungkinan gangguan konsep diri; rendah
diri berhubungan dengan diare.
d) Perbaikan (wellness)
Diagnosa perbaikan adalah keputusan klinik tentang keadaan
individu, keluarga dan masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera
tertentu ke tingkat sejahtera yang lebih tinggi. Syarat menegakkan
diagnosa ini harus ada sesuatu yang menyenangkan pada tingkah
kesejahteraan yang lebih tinggi dan adanya status dan fungsi yang
efektif. Contoh: potensial peningkatan hubungan dalam keluarga (
Ollivieri,1991; Crisp & Jackie, 2001; Potter & Perry, 2006; Craven,
F.R, & Hirnle, J.C. 2007).
Pada Pasien dengan stroke fase akut, banyak sekali diagnosa keperawatan yang
bisa muncul baik aktual, resiko, kemungkinan dan perbaikan. Diagnosa
keperawatan yang menjadi fokus perhatian perawat pada masa akut tanpa
mengabaikan diagnosa yang lain adalah diagnosa aktual karena menjadi prioritas
yang harus segera di tangani dan sangat menentukan kondisi pasien selanjutnya.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
47
Menurut (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005; Ignativius &
Workman, 2006; Hickey, 2003; Lemone & Burke, 1996; Polaski & Tatro,1996),
dari hasil data pengkajian ditemukan diagnosa keperawatan aktual yang sering
muncul pada fase akut adalah:
1) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya
reflek batuk sebagai akibat sekunder dari ketidaksadaran.
2) Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak
atau peningkatan TIK.
3) Perubahan persepsi atau sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik)
berhubungan dengan penurunan kesadaran, gangguan sensasi atau gangguan
penglihatan.
4) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau
penurunan kesadaran.
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi
6) Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan
kemampuan penglihatan atau hemianopsia.
7) Kelemahan menelan berhubungan dengan kelemahan neuromuskular.
8) Inkontinensia uri dan alvi berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan
mobilitas, gangguan kognitif, gangguan komunikasi.
9) Gangguan proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak
mampuan mengikuti perintah
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
48
10) Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan
dampak stroke
C. NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale)
NIHSS adalah suatu pengkajian yang dilakukan pada pasien stroke fase akut
untuk melihat tingkat keparahan kerusakan neurologis. Skala ini juga bisa
digunakan untuk untuk melihat kemajuan hasil perawatan fase akut dimana
penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu saat masuk (hari pertama perawatan) dan
saat keluar dari perawatan. Perbedaan nilai saat masuk dan keluar dapat dijadikan
salah satu patokan keberhasilan perawatan.
NIHSS dikembangkan oleh para peneliti (Brott, et. al, 1989; Goldstein, et.al,
1989) dari Universitas of Cincinati Stroke Center dan telah dipakai secara luas
pada berbagai variasi terapi stroke. Tahun 1994 di lakukan revisi oleh Lyden et.al.
Validasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Brott, et. al, 1989; Goldstein,
et.al, 1989; Haley, 1993) dan dikatakan mempunyai reliabilitas tinggi dari
beberapa kalangan antara lain dari para neurolog, dokter dan perawat mahir
stroke. Menurut Smeltzer & Bare (2008); Black & Hawks, (2005), nilai NIHSS
adalah antara 0-42, terdiri dari 11 komponen. Komponen-komponen tersebut
adalah sebagai berikut: ( Lampiran 2 )
D. ESS (Eropean Stroke Scale)
ESS adalah suatu pengkajian yang dilakukan pada pasien stroke fase akut untuk
melihat keadaan pasien secara khusus. ESS dikembangkan oleh Hanton, et.al,
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
49
(1994), berisikan 14 komponen penilaian yang spesifik dan prognostik terhadap
pasien stroke akut yang mengalami pendarahan arteri dibagian tengah.
Hasil penelitan Hanton, et.al,. (1994) dan Muir, et.al, (1996), disimpulkan bahwa
metode ESS berguna untuk melihat perkembangan pasien stroke akut, dapat
dilakukan dengan cepat, mudah dipelajari dan skor yang dipakai sederhana,
sensitivitas 0,70 (95% CI, 0,62 – 0,77), spesifisitas 0,89 (95% CI, 0,85 – 0,93)
dan mempunyai hubungan yang erat dengan skala pengukuran lain seperti MCA
Neurological Scale, The Canadian Stroke Scale, The Scandinavian Stroke Scale,
The Bartel Index, The Rankin Scale. Menurut Edwards, (2007), nilai ESS adalah
antara 0 – 100, terdiri dari 14 komponen. Komponen-komponen tersebut adalah
sebagai berikut: ( Lampiran 3 ).
E. Kerangka Teori
Kerangka teori pada penelitian ini akan membahas tentang pengkajian neurologi yang
spesifik menggunakan metode NIHSS dan ESS dapat membantu menegakkan
diagnosa keperawatan yang aktual atau utama pada pasien stroke berat fase akut.
”Pengkajian sistem saraf mulai dilakukan perawat saat pasien masuk ke rumah sakit
atau ruang perawatan” (Polaski & Tatro, 1996, hlm.321).
Pengkajian neurologi termasuk jenis pengkajian fokus karena pengkajian ini
mempunyai ruang lingkup yang lebih spesifik yaitu sistem persarafan saja dan
memerlukan waktu yang cepat. Pengkajian neurologi juga termasuk jenis pengkajian
darurat yang mengidentifikasi situasi yang menyakut penyelamatan nyawa Pasien
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
50
karena penyelamatan nyawa menjadi prioritas utama. Pengumpulan data pada
pengkajian neurologis dilakukan dengan teknik wawancara, observasi dan
pemeriksaan fisik dengan teknik pemeriksaan review of system (khusus sistem tubuh
persarafan). Pengkajian yang baik akan menghasilkan diagnosa keparawatan yang
tepat sehingga sangat membantu dalam proses keperawatan selanjutnya
Skema. 2.2. Kerangka Teroritis
Sumber: Model diagnosa keperawatan aktual (Carpenito, 1997; dan Nursalam, 2001)
Pengkajian dengan metode NIHSS & ESS
Pemeriksaan fisik
Data subjektif
review of system (sistem persyarafan)
Pengelompokan data Data objektif
Wawancara Observasi
Diagnosa Aktual
Validasi tanda dan gejala mayor
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
51
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN
DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini adalah berdasarkan konsep tipe diagnosa
keperawatan (Carpenito, 1997) dan Nursalam (2001). “Waktu adalah faktor yang
sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan pasien dengan stroke”, (AANN,
2004, hlm.6). AHA dan NSA memberikan rekomendasi dalam memberikan
perawatan harus dilakukan dalam waktu 3 - 6 jam pertama terkena serangan untuk
mendapatkan hasil yang baik saat pasien pulang.
”Selama fase akut pemeriksaan neurologi tetap dipertahankan untuk memberikan data
tentang kondisi pasien saat itu juga” (Smeltzer & Bare, 2008, hlm.2215). ”Metode
Pengkajian harus lengkap dan akurat untuk digunakan sebagai dasar pengkajian
selanjutnya” (Black & Hawks, 2005, hlm.2116).
Pengkajian yang bersifat fokus dan darurat pada pasien stroke berat fase akut
menggunakan metode NIHSS dan ESS sangatlah penting untuk mencegah kerusakan
jaringan otak yang lebih parah dan mempercepat kematian karena data hasil
pengkajian tersebut digunakan untuk kelanjutan proses perawatan. Hasil pengkajian
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
52
ini, diharapkan dapat menghasilkan rumusan diagnosa keperawatan aktual yang tepat
terhadap pasien dengan stroke berat fase akut sehingga intervensi dan implementasi
keperawatan dapat dilakasanakan sedini mungkin. Berdasarkan konsep-konsep diatas,
maka kerangka konsep penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :
Skema 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen Variabel Dependen
Pengkajian neurologis pada pasien stroke fase akut
Metode NIHSS
Metode ESS
11 komponen yaitu: 1. Tingkat Kesadaran,
menjawab pertanyaan, mengikuti perintah
2. Pandangan/tatapan mata
3. Penglihatan 4. Kelemahan Wajah 5. Motorik lengan kanan /
kiri 6. Motorik kaki kiri /
kanan 7. Ataksia anggota badan 8. Sensorik 9. Bahasa terbaik 10. Disartria 11. Unilateral negleg
14 komponen yaitu: 1. Tingkat kesadaran: 2. Pengertian 3. Bicara 4. Pandangan mata: 5. Tatapan mata: 6. Gerakan wajah: 7. Lengan tangan
menahan posisi 8. Peningkatan gerak
lengan tangan 9. Keluasan gerakan
pergelangan tangan 10. Jari 11. Kaki (mempertahankan
posisi): 12. Kaki (fleksi) 13. Dorsofleksi pada kaki: 14. Gaya berjalan
10 buah diagnosa aktual pada pasien stroke berat fase akut
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk sebagai akibat sekunder dari ketidaksadaran.
2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK
3. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan perubahan tingakt kesadaran, gangguan sensasi atau gangguan penglihatan
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau perubahan tingkat kesadaran
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan defisit neurologi
6. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia
7. Kelemahan menelan berhubungan kelemahan neuromuskular (disphagia)
8. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan mobilitas, gangguan kognitif, gangguan komunikasi.
9. Gg proses pikir berhubungan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah
10. Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
53
B. Hipotesis
Ho: Tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam
pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke fase akut.
Ha: Ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan
diagnosa keperawatan yang actual pada pasien stroke fase akut.
C. Definisi Operasional
Dibawah ini akan diuraikan mengenai definisi operasional, cara ukur, hasil ukur dan
skala pengukuran yang akan digunakan untuk masing-masing variabel penelitian. Hal
ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan dalam menentukan metodelogi untuk
melakukan analisis terhadap variabel-variabel yang diteliti.
Tabel 3.1. Definisi Operasional, Cara Ukur, Hasil Ukur
dan Skala Ukur Variabel Penelitian
Variabel Penelitian
Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur Skala
Independen : Metode pengkajian NIHSS dan ESS
NIHSS adalah suatu format pengkajian neurologis yang terdiri dari 11 komponen sedangkan ESS adalah Suatu format pengkajian neurologis yang terdiri dari 14 komponen
Studi pengkajian dengan metode NIHSS yang terdiri dari 11 komponen yaitu: 1. Tingkat
Kesadaran, menjawab pertanyaan, mengikuti perintah
2. Pandangan/tatapan mata
3. Penglihatan
1) Nilai NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale
Rasio
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
54
Variabel Penelitian
Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur Skala
Independen :
4. Kelemahan Wajah 5. Motorik lengan
kanan / kiri 6. Motorik kaki kiri /
kanan 7. Ataksia anggota
badan 8. Sensorik 9. Bahasa terbaik 10. Disartria 11. Unilateral negleg Metode ESS yang terdiri dari 14 komponen yaitu: 1. Tingkat kesadaran 2. Pengertian 3. Bicara 4. Pandangan mata 5. Tatapan mata 6. Gerakan wajah 7. Mempertahankan
posisi lengan tangan
8. Peningkatan gerak lengan tangan
9. Keluasan grakan pergelangan tangan
10. Jari 11. Kaki
(mempertahankan posisi):
12. Kaki (fleksi) 13. Dorsofleksi pada
kaki: 14. Gaya berjalan
1. Nilai ESS
(Eropean Stroke Scale )
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
55
Variabel Penelitian Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur Skala
Dependen Diagosa aktual pada stroke berat fase akut
Diagnosa yang menunjukkan masalah yang ada dari pengkajian pada pasien stroke fase akut yang terdiri dari: 1. Tidak efektifnya
bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk sebagai akibat sekunder dari ketidaksadaran.
2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK
3. Perubahan
persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik) berhubungan dengan perubahan tingakt kesadaran, gangguan sensasi atau gangguan penglihatan
4. Gangguan
komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau perubahan tingkat kesadaran
5. Gangguan mobilitas
fisik berhubungan defisit neurologi
Studi dokumentasi dengan menghitung jumlah diagnosa aktual yang diperoleh dari hasil pengkajian tiap komponen (Lampiran 4 dan lampiran 5)
Jumlah diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh antara 1-10 buah pada pasien stroke berat fase akut
Interval
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
56
Variabel Penelitian Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur Skala
Dependen 6. Unilateral negleg
(pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia
7. Kelemahan menelan berhubungan kelemahan neuromuskular
8. Inkontinensia uri dan
alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan mobilitas, gangguan kognitif, gangguan komunikasi.
9. Gangguan proses
pikir berhubungan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah
10. Self care defisit
(kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
57
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Disain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain pra-eksperimen postest only design. Dalam
rancangan ini perlakuan atau intervensi yang dilakukan (X), kemudian dilakukan
pengukuran observasi atau postest (02). Rancangan ini sering juga disebut “The one
shot case study” (Notoatmodjo, 2002, hlm.163). Dalam rancangan ini sama sekali
tidak ada kontrol dan hasil observasi hanya memberikan informasi yang bersifat
deskriptif. Rancangan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Skema 4.1. Desain penelitian
Eksperimen Postest
Keterangan:
Pengambilan data dilakukan pada setiap pasien stroke berat pada fase akut. Setiap
pasien dilakukan dengan dua metode pengkajian.
NIHSS X 11 021
X3 X 12 022 ESS
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
58
(X11): pengkajian metode NIHSS
(X12): pengkajian metode ESS
(021): jumlah perolehan diagnosa keperawatan aktual dari metode NIHSS
(022): jumlah perolehan diagnosa keperawatan aktual dari metode ESS
(X3): perbandingan (021) dengan (022)
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien stroke yang masuk ke ruang
perawatan saraf pada fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta. Sampel penelitian dengan
kriteria inklusi sebagai berikut: pasien stroke berat dengan nilai NIHSS lebih dari 15
pada fase akut (1-3 hari masuk ke ruangan perawatan), stroke hemoragik dan non
hemoragik. Adapun kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
pasien stroke ringan dan sedang, pasien stroke berat dengan nilai NIHSS kurang dari
15 pada fase akut, pasien stroke berat dengan nilai NIHSS lebih dari 15 pada fase
pemulihan.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Non Random jenis
consecutive sampling, dimana semua pasien yang masuk ke ruang perawatan dan
memenuhi kriteria inklusi dimasukkan menjadi sampel penelitian sampai batas waktu
penelitian terpenuhi (Sabri & hastono, 2006; Sastroasmoro & Ismael, 2006). Setelah
dilakukan penelitian selama 4 minggu didapat 18 pasien yang memenuhi kriteria
inklusi sehingga jumlah sampel yang menjadi subyek penelitian berjumlah 18
responden.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
59
C. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati Jakarta dengan alasan rumah sakit ini
merupakan rumah sakit rujukan untuk daerah Jakarta dan sekitarnya sehingga banyak
pasien stroke yang di rawat di rumah sakit tersebut. Ruangan yang digunakan adalah
ruangan IGD, ICU, Unit stroke dan kelas III penyakit saraf.
D. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, terhitung mulai minggu keempat bulan
April sampai minggu ketiga bulan Mei . Jadual kegiatan yang telah dilakukan dalam
penelitian ini secara rinci ada di lampiran 6.
E. Etika Penelitian
Sebelum pasien menandatangani surat persetujuan menjadi responden (informed
consent), peneliti terlebih dahulu menjelaskan tujuan penelitian, petunjuk pengisian
kuesioner, hak-hak atas privacy, anonimity, kerahasiaan, self determination dan bebas
dari rasa tidak nyaman (Pollit & Hungler, 1999).
1. Self determination. Responden diberi kebebasan untuk memilih apakah bersedia
atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara sukarela.
Setelah peneliti menjelaskan maksud, tujuan serta prosedur penelitian pasien atau
keluarganya diberikan kebebesan untuk menjadi responden atau tidak. Kalau
pasien atau keluarganya setuju maka langsung menandatangi lembar persetujuan
responden.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
60
2. Privacy respondent. Privasi responden dijaga dengan ketat dengan cara
merahasiakan informasi-informasi yang didapat hanya untuk kepentingan
penelitian. Seluruh data responden yang telah didapat dari hasil pemeriksaan
dengan metode NIHSS dan ESS disimpan dan dirahasiakan sepenuhnya oleh
peneliti. Data tersebut hanya peneliti gunakan dalam proses penelitian.
3. Anonymity. Selama penelitian nama responden tidak digunakan diganti dengan
nomor responden. Dalam pengisian data pada instrumen penelitian, nama pasien
tidak dicantumkan tetapi hanya inisial saja. Sebagai contoh Tn.A, Ny.B dan
seterusnya. Hal ini untuk menjaga kerahasiaan data yang diperoleh dari
responden.
4. Confidentiality. Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden dan informasi
yang diberikan. Selama proses penelitian, peneliti tidak membuka dan menyebar
luaskan identitas responden dan informasi dari hasil pemeriksaan. Hal ini untuk
menjaga kerahasiaan identitas responden dan informasi yang didapat dari hasil
penelitian.
5. Protection from discomfort. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan
menciptakan suasana yang nyaman agar responden terhindar dari perasaan tidak
nyaman dan terancam. Disaat proses pemeriksaan dengan metode NIHSS dan
ESS dan menemukan responden yang merasa tidak nyaman maka proses
pemeriksaan dihentikan sejenak untuk istirahat sebentar dan dilanjutkan kembali
kalau kondisi responden sudah baik dan siap. Responden diberi hak untuk
menolak melanjutkan kembali pemeriksaan tersebut atau membatalkan menjadi
responden apabila pemeriksaan ini dianggap membahayakan responden.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
61
F. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan format pengkajian metode
NIHSS dan ESS yang terdiri:
1. Data demografi, yang terdiri dari: tanggal dan jam pengkajian, inisial responden,
umur, jenis kelamin dan jenis stroke.
2. Pengkajian metode NIHSS yang terdiri dari 11 komponen, pengkajian metode
ESS yang terdiri dari 14 komponen, data hasil pengkajian metode NIHSS dan
ESS, konversi data hasil pengkajian NIHSS dan ESS ke diagnosa keperawatan
aktual.
G. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, dilakukan oleh peneliti sendiri. Langkah-langkah
pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tahap persiapan
Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari pembimbing penelitian, uji
etik oleh komite etik di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan
Direktur RSUP Fatmawati Jakarta. Setelah itu, peneliti melakukan koordinasi dan
sosialisasi dengan instansi terkait, perawat serta tenaga kesehatan lainnya di
ruangan IGD, ICU, Unit stroke dan kelas III penyakit saraf RSUP Fatmawati
Jakarta.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
62
2. Tahap pelaksanaan
Sebelum pengambilan data, peneliti terlebih dahulu berdiskusi dengan perawat di
ruangan untuk memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi. Setelah itu
peneliti menemui pasien dan keluarga untuk memperkenalkan diri serta
menjelaskan tujuan penelitian, petunjuk pengisian kuesioner, hak-hak atas self
determination, privacy, anonimity, confidentiality dan protection from
discomfort. Adapun tahap pengambilan data adalah sebagai berikut:
a. Setiap responden dilakukan dua kali pengkajian yaitu menggunakan metode
NIHSS dan ESS. Tahap pertama pengkajian mengunakan metode NIHSS
yang terdiri dari 11 komponen (terlampir). Setelah itu 15 menit kemudian
dilakukan pengkajian menggunakan metode ESS yang terdiri dari 14
komponen (terlampir). Hasil pengkajian berupa data kelainan neurologi yang
terdapat pada komponen penelitian dari metode NIHSS dan ESS.
b. Terhadap hasil pengkajian metode NIHSS dan ESS dilakukan analisis untuk
perumusan diagnosa keperawatan aktual.
c. Setiap responden dihitung jumlah diagnosa keperawatan aktual yang
diidentifikasi berdasarkan hasil pengkajian NIHSS dan ESS. Diagnosa
keperawatan aktual yang diperoleh dari tiap komponen bisa berjumlah 0
sampai 5 buah dan jumlah total dari metode NIHSS dan ESS bisa berjumlah
1-10 buah.
d. Diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh dari metode NIHSS dan ESS di
bandingkan.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
63
H. Analisis Data
Pengolahan dan analisis data hasil penelitian dilakukan dengan cara:
1. Pengolahan data
a. Editing
Memeriksa kelengkapan, kejelasan jawaban, relevansi dan konsistensi data.
Hasil pengkajian dari setiap respoden yang telah diisi pada intrumen
penelitian diperiksa kembali satu persatu untuk memastikan kelengkapan dan
kejelasan hasil pemeriksaan sehingga data yang di dapat relevan dengan
kondisi pasien saat itu juga.
b. Coding
Merubah atau mengkonversi data ke dalam bentuk kode sehingga
mempermudah saat meng-entry dan menganalisis data. Data yang sudah
diperoleh pada tiap komponen pemeriksaan dikonversi menjadi jumlah
diagnosa aktual yang muncul pada tiap komponen pemeriksaan dari metode
NIHSS dan ESS.
c. Processing
Memproses data yang dilakukan dengan cara meng-entry data dari hasil
pengkodean dengan bantuan komputer menggunakan program pengolahan
data statistik. Mengolah hasil jumlah diagnosa aktual yang muncul dari
metode NIHSS dan ESS menggunakan program komputer dengan Uji Tanda
Wilcoxon.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
64
d. Cleaning
Memeriksaan kembali data yang telah di- entry untuk memastikan semua
prosedur pengumpulan data dilakukan dengan baik dan benar.
2. Analisis data
a. Analisis pertama menggunakan univariat dilakukan pada Nilai NIHSS, ESS
dan diagnosa keperawatan aktual yang muncul dari hasil pengkajian dengan
metode NIHSS dan ESS. Dari hasil analisis ini akan diperoleh distribusi
frekuensi dan persentase dari masing-masing komponen. Dengan demikian,
diperoleh gambaran karakteristik dari masing-masing variabel.
b. Analisis kedua menggunakan Uji Korelasi untuk mengetahui keeratan
hubungan antara nilai NIHSS dan ESS terhadap diagnosa keperawatan aktual
yang diperoleh dan Uji Tanda Wilcoxon untuk mengetahui efektifitas
penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan
aktual pada pasien stroke berat fase akut. Menurut (Pagano & Gauvreau,
1993; Budiarto, 2002; Sulaiman, 2005), Uji Tanda Wilcoxon digunakan
untuk membandingkan dua proporsi melalui dua sampel yang berpasangan
atau satu sampel yang diperlakukan dua kali perlakuan. Adapun cara analisis
Uji Tanda pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Menentukan derajat kemaknaan, α = 0.05
2) Melakukan pengkajian dengan metode NIHSS dan ESS pada tiap
responden.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
65
3) Catat perolehan jumlah diagnosa aktualnya pada setiap responden dari
pengkajian metode NIHSS dan ESS. Kedua hasil kemudian dibandingkan.
4) Bila metode ESS lebih banyak dalam perolehan diagnosa keperawatan
aktual dari metode NIHSS, maka diberi tanda (+)
5) Bila metode ESS lebih sedikit dalam perolehan diagnosa keperawatan
aktual dari metode NIHSS, maka diberi tanda (-)
6) Bila metode NIHSS dan ESS sama banyak dalam perolehan diagnosa
keperawatan aktual diberi tanda (0). Hasil ini tidak dianalisis.
7) Tanda negatif (-) dijumlahkan = T
8) Lihat tabel Uji Tanda yang sesuai dengan besarnya sampel (n) dan (α).
9) Untuk menolak hipotesis nol maka tanda (-) hasil pengamatan harus ≤ dari
nilai yang terdapat dalam tabel untuk Uji Tanda (Lampiran 7).
Selain analisis Uji Tanda Wilcoxon bisa juga menggunakan rumus Uji Tanda
Wilcoxon sebagai berikut:
)4/()2/
nnDz −
=+
Z+ : Perbedaan rata-rata efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam
membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase
akut.Uji Tanda Wilcoxcon
D : Jumlah tanda (+)
n/2 : Jumlah mean tanda (+)
)4/(n : Standar deviasi tanda (+)
n : Jumlah sampel yang dapat dianalisis, yaitu tanda (+) atau (-).
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
66
BAB V
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan akan dibahas analisis hasil peneltian tentang “ Efektifitas pengkajian
metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke
berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta“. Pengumpulan data dilakukan selama 30
hari kerja yaitu dari tanggal 30 April sampai dengan 30 Mei 2008. Dari 18 responden
diperoleh data distribusi normal. Proses analisis data dilakukan dengan menggunakan
bantuan program komputer.
Tahap pertama penyajian hasil penelitian disajikan dengan analisis univariat meliptui
nilai NIHSS, ESS dan diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh dari hasil pengkajian
dengan metode NIHSS dan ESS untuk melihat karakteristik dari masing-masing
komponen. Tahap kedua dilakukan analisis bivariat Uji Korelasi untuk mengetahui
keeratan hubungan nilai NIHSS terhadap diagnosa aktual NIHSS dan nilai ESS terhadap
diagnosa aktual ESS, kemudian dilakukan Uji Tanda Wilcoxon untuk mengetahui
efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan
aktual pada pasien stroke berat fase akut.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
67
A. Analisis Univariat
1. Nilai NIHSS
Gambaran nilai hasil pengkajian menggunakan metode NIHSS dapat dilihat pada
tabel di bawah ini :
Tabel 5.1. Nilai Hasil Pengkajian Menggunakan Metode NIHSS dan ESS
Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)
Variabel Mean SD Min-Max 95 % CI NIHSS
33,06 6,890 24 - 41 29,63 – 36,48
ESS
19,78 17,73 0 - 47 10,96 – 28,59
Berdasarkan tabel 5.1, hasil analisis didapatkan nilai NIHSS rata-rata 33,06 (95 %
CI: 29.63-36.48) dan nilai ESS rata-rata 19,78 (95 % CI: 10,96 – 28,59), dengan
standar deviasi nilai NIHSS 6,89 dan nilai ESS 17,73. Nilai terendah NIHSS
adalah 24, nilai ESS adalah 0 dan nilai tertinggi NIHSS adalah 41, nilai ESS
adalah 47. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini
rata-rata nilai NIHSS antara 29.63-36.48 dan ESS antara 29,63-36,48 pada
pasien stroke berat fase akut.
2. Jumlah Diagnosa Keperawatan Aktual dengan Metode NIHSS dan ESS
Gambaran jumlah diagnosa keperawatan aktual hasil pengkajian menggunakan
metode NIHSS dan ESS dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
68
Tabel 5.2. Perolehan Diagnosa Keperawatan Aktual Menggunakan Metode NIHSS dan
Metode ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)
Variabel Mean SD Jumlah Jumlah 95 % CI Minimal n Maksimal n
Diagnosa NIHSS
9.67 0,485 9 6 10 12 9.43 - 9.91
Diagnosa ESS
9.67 0,485 9 6 10 12 9.43 - 9.91
Berdasarkan tabel 5.2, hasil analisis diperoleh jumlah diagnosa keperawatan
aktual menggunakan pengkajian metode NIHSS dan metode ESS rata-rata 9,67
buah (95 % CI: 9,43 -9,91), dengan standar deviasi 0,485. Perolehan diagnosa
paling sedikit 9 buah berjumlah 6 responden dan paling banyak 10 buah
berjumlah 12 responden. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa
95 % diyakini rata-rata perolehan jumlah diagnosa keperawatan aktual
menggunakan pengkajian metode NIHSS dan metode ESS adalah diantara 9,43 –
9,91 pada pasien stroke berat fase akut.
B. Analisis Bivariat
1. Korelasi nilai NIHSS dengan Diagnosa Keperawatan Aktual NIHSS
Keeratan hubungan antara nilai NIHSS terhadap diagnosa keperawatan aktual
yang diperoleh pada pasien stroke berat fase akut, dapat dilihat pada tabel di
bawah ini :
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
69
Tabel 5.3. Korelasi nilai NIHSS terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual Menggunakan
Metode NIHSS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)
VARIABEL Diagnosa NIHSS Nilai NIHSS
Diagnosa NIHSS Korelasi Pearson 1 0,904(**) p value 0,000
Nilai NIHSS Korelasi Pearson 0,904(**) 1 p value 0,000
Berdasarkan tabel 5.3, hasil analisis diperoleh nilai r = 0,904 dengan nilai
p value = 0,0005. Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan bermakna antara
nilai NIHSS dengan diagnosa keperawatan aktual NIHSS. Hubungan nilai NIHSS
dengan perolehan diagnosa keperawatan sangat kuat atau sempurna dan berpola
positif artinya semakin besar nilai NIHSS semakin banyak diagnosa keperawatan
aktual yang diperolah pada pasien stroke berat fase akut.
2. Korelasi nilai ESS dengan Diagnosa Keperawatan Aktual ESS
Keeratan hubungan antara nilai ESS terhadap diagnosa keperawatan aktual yang
diperoleh pada pasien stroke berat fase akut, dapat dilihat pada tabel di bawah
ini :
Tabel 5.4. Korelasi nilai ESS terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual Menggunakan
Metode ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)
VARIABEL Diagnosa NIHSS Nilai NIHSS
Diagnosa ESS Korelasi Pearson 1 -0,912(**) p value 0,000
Nilai ESS Korelasi Pearson -0,912(**) 1 p value 0,000
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
70
Berdasarkan tabel 5.4, hasil analisis diperoleh nilai r = -0,912 dengan nilai
p value = 0,0005. Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan bermakna antara
nilai ESS dengan diagnosa keperawatan aktual ESS. Hubungan nilai ESS dengan
perolehan diagnosa keperawatan sangat kuat atau sempurna dan berpola negatif
artinya semakin kecil nilai ESS semakin banyak diagnosa keperawatan aktual
yang diperolah pada pasien stroke berat fase akut.
3. Efektifitas Metode NIHSS dan ESS Terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual
Gambaran selisih diagnosa keperawatan aktual yang didapat dari hasil pengkajian
menggunakan metode NIHSS dan ESS dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 5.5. Selisih Diagnosa Keperawatan Aktual NIHSS dan ESS
Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)
No. Responden
Dianosa Keperawatan
aktual
Selisih Diagnosa Keperawatan Aktual
(O21) - (O22)
Tanda ( T )
NIHSS (O21)
ESS (O22)
X3
1. 9 9 0 0 2. 10 10 0 0 3. 10 10 0 0 4. 9 9 0 0 5. 10 10 0 0 6. 10 10 0 0 7. 10 10 0 0 8. 10 10 0 0 9. 10 10 0 0 10. 9 9 0 0 11. 10 10 0 0 12. 9 9 0 0 13. 10 10 0 0 14. 10 10 0 0 15. 10 10 0 0 16. 9 9 0 0 17. 10 10 0 0 18. 9 9 0 0
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
71
Berdasarkan tabel 5.5, hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah diagnosa aktual
yang muncul dari hasil pengkajian dengan menggunakan metode NIHSS (O21)
dan metode ESS (O22) paling sedikit 9 buah dan paling banyak 10 buah.
Kemudian selisih diagnosa aktual yang dihasilkan dari masing-masing metode
pengkajian (X3) tidak ada. Jumlah tanda negatif (-) dan tanda (+) tidak ditemukan,
yang ada hanya tanda (0), hal ini menunjukkan bahwa jumlah diagnosa aktual
yang yang dihasilkan dari kedua metode adalah sama sehingga data dari 18
responden tidak bisa dianalisis (n = 0 ) dan ( T = 0 ). Hasil analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa dengan n = 0 akan memperoleh nilai h = 0. Maka secara
statistik hipotesa nol diterima.
Efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS terhadap diagnosa
keperawatan aktual yang didapat pada pasien stroke berat fase akut dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :
Tabel 5.6. Efektifitas Metode NIHSS dan ESS Terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual
Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18)
Variabel Mean SD Min-Max p value Diagnosa NIHSS 9,67 0,485 9 -10 1,000
Diagnosa ESS 9,67 0,485 9 -10 1,000
Berdasarkan tabel 5.6, hasil analisis diperoleh jumlah diagnosa keperawatan
aktual menggunakan pengkajian metode NIHSS dan metode ESS rata-rata 9,67
buah, dengan standar deviasi 0,485. Perolehan diagnosa paling sedikit 9 buah dan
paling banyak 10 buah. Hasil analisis lebih lanjut didapatkan p value 1,000
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
72
dengan α=0,005. Penelitian ini menyimpulkan bawah tidak ada perbedaan
bermakna dalam penggunaan metode NIHSS dan metode ESS untuk pembuatan
diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke. Kedua metode ini sama baiknya
untuk merumuskan diagnosa aktual pada pasien stroke berat fase akut.
C. Analisis Komponen Pengkajian Metode NIHSS dan ESS
Gambaran komponen pengkajian metode NIHSS dan ESS dapat terlihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 5.7 Komponen penilaian NIHSS dan ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008
No. Komponen NIHSS Komponen ESS 1. • Derajat kesadaran
• Menjawab pertanyaan • Mengikuti perintah
• Derajat kesadaran
• Pengertian/ Mengikuti perintah 2. • Gerakan mata konyugat
horizontal • Gerakan mata konyugat horizontal
3. • Lapangan pandang • Unilateral negleg
• Lapangan pandang
4. • Paresis wajah dan Sensorik • Gerakan wajah 5. • Motorik lengan kanan
• Motorik lengan kiri
• Motorik lengan (kemampuan lengan tangan untuk mempertahankan posisi dibentangkan)
• Lengan tangan (peningkatan gerak, tangan dibentangkan dengan posisi 90º vertikal.)
• Keluasan gerakan pergelangan tangan.
• Kemampuan jari mencubit 6. • Motorik tungkai kanan
• Motorik tungkai kiri
• Motorik kaki (mempertahankan posisi)
• Kaki (fleksi) • Dorso fleksi pada kaki
7. • Ataksia anggota badan • Gaya berjalan 8. • Bahasa terbaik
• Disartria • Bicara
TOTAL SKOR NIHSS: 0 – 42 TOTAL SKOR ESS: 0 – 100
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
73
Berdasarkan tabel 5.7, hasil analisis diperoleh bahwa komponen pemeriksaan pada
metode NIHSS juga terdapat pada metode ESS. Dari metode NIHSS yang terdiri dari
11 komponen dan metode ESS yang terdiri dari 14 komponen dapat digabung
menjadi 8 komponen yang sama yaitu: derajat kesadaran, gerakan mata konyugat,
lapangan pandang, sesorik, motorik tangan, motorik kaki, ataksia anggota badan dan
bahasa. Dari analisis tabel diatas dapat disimpulkan bahwa komponen pengkajian
metode NIHSS dan metode ESS adalah sama.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
BAB VI
PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas mengenai hasil-hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang
telah dilaksanakan serta akan dikaitkan dengan literatur yang ada dan hasil-hasil
penelitian sejenis yang pernah dilakukan. Selain itu, juga akan dibahas tentang
keterbatasan-keterbatasan penelitian dan implikasi hasil penelitian ini terhadap
keperawatan.
A. Interpretasi dan Diskusi Hasil
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efektifitas pengkajian
metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien
stroke berat fase akut. Oleh sebab itu, pembahasan hasil penelitian difokuskan pada
nilai NIHSS dan ESS, diagnosa aktual yang diperoleh serta efektifitas pengkajian
dengan metode ini. Interpretasi dan diskusi hasil penelitian secara lengkap akan
dibahas sebagai berikut:
1. Nilai NIHSS dan ESS
Berdasarkan analisis data sebelumnya, didapatkan nilai tertinggi dari metode
NIHSS adalah 41 dan nilai terendah dari metode ESS adalah 0. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi pasien sedang mengalami stroke sangat berat dengan
tingkat kesadaran koma. Hasil analisis juga didapatkan nilai terendah NIHSS
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
75
75
adalah 24 dan nilai tertinggi ESS adalah 47. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
pasien sedang mengalami stroke berat dengan tingkat kesadaran somnolen sampai
prekoma.
Menurut (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005) mengatakan bahwa dari
11 komponen pemeriksaan pada metode NIHSS dan 14 komponen pemeriksaan
metode ESS terdapat satu komponen yang sangat mempengaruhi hasil
pemeriksaan komponen lain yaitu komponen tingkat kesadaran karena dengan
tingkat kesadaran somnolen, prekoma dan koma menunjukkan kondisi pasien
dalam keadaan stroke berat sampai sangat berat.
Pada pasien stroke berat dengan nilai NIHSS diatas 22 sangat beresiko tinggi
terjadinya pendarahan dan hasil akhir yang buruk sehingga akan mengakibatkan
gangguan neurologi seperti penurunan kesadaran somnolen sampai dengan koma,
hemianopsia, hemiparise, hemiplegi, ataksia, disartria, disphagia, parestesia,
apasia, kehilangan memori dan intelektual, emosi tidak stabil (Black & Hawks,
2005; Smeltzer & Bare, 2008). Kondisi seperti ini memberikan tanda bahwa
pasien memerlukan perawatan intensif seperti di ruangan ICU atau unit stroke dan
dilakukan pemeriksaan NIHSS 1 jam sekali untuk mencegah kerusakan saraf yang
lebih parah dan kematian (AANN (2004, hlm.4).
Gangguan neurologi yang terjadi akibat stroke, tergantung pada lokasi lesi dan
ukuran area infark yang terjadi. Menurut penelitian Bamford J. et.al (1991
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
76
76
mengatakan bahwa dari 675 pasien yang mendapat serangan stroke pertama dapat
dikelompokkan menjadi Total Anterior Circulation Infarct (TACI) 92 orang
(17%), Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) 185 orang (34%), Posterior
Circulation Infarct (POCI)129 orang (24%) dan Lacunar Infarct (LACI) 137
orang (25%). Sedangkan hasil penelitian Orgogozo et.al, (1983) menyatakan
bahwa, pasien yang mengalami stroke 85 – 95 % akan menderita kekacauan
mental, gangguan penglihatan dan gangguan sensori.
2. Jumlah Diagnosa Aktual dengan Metode NIHSS dan ESS
Jumlah diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut sangat erat
kaitannya dengan hasil pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS.
Semangkin tinggi nilai NIHSS semangkin banyak diagnosa aktual yang akan
diperoleh dan semangkin rendah nilai ESS semangkin banyak diagnosa aktual
yang akan diperoleh. Hubungan yang sangat kuat atau sempurna antara nilai
NIHSS dengan diagnosa keperawatan aktual terlihat pada r = 0,904 dan nilai ESS
dengan diagnosa keperawatan aktual terlihat pada r = -0,912.
Hal ini terlihat dari analisis data sebelumnya yaitu pada pasien dengan tingkat
kesadaran somnolen akan memiliki nilai NIHSS antara 24 sampai dengan 25 dan
nilai ESS antara 41 sampai dengan 47 akan mempunyai 9 diagnosa aktual.
Sedangkan pada pasien dengan tingkat kesadaran prekoma dan koma akan
memiliki nilai NIHSS antara 32 sampai dengan 41 dan nilai ESS antara 0 sampai
dengan 18 akan mempunyai 10 diagnosa aktual.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
77
77
Menurut (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005), menyatakan bahwa
pada kondisi prekoma dan koma komponen penilaian yang mengalami gangguan
antara lain: derajat kesadaran, gerakan mata konyugat horizontal, lapangan
pandang, paresis wajah, motorik lengan dan kaki, ataksia anggota badan, sensorik,
bahasa, disartria dan unilateral negleg. Semua penilaian komponen NIHSS dan
ESS terisi penuh dengan nilai yang maksimal sehingga diagnosa keperawatan
aktual yang diperoleh 10 buah. Sedangkan pada kondisi somenolen semua
penilaian komponen NIHSS dan ESS terisi penuh tetapi nilainya tidak maksimal
sehingga diagnosa keprawatan aktual yang diperoleh sebanyak 9 buah.
Menurut (Hickey, 2003) mengatakan bahwa masalah keperawatan yang akan
mucul pada pasien stroke berat fase akut dengan penurunan tingkat kesadaran
adalah; gangguan bersihan jalan nafas, perubahan persepsi atau sensori
(penglihatan, perabaan, kinestetik), gangguan komunikasi verbal, gangguan
mobilitas fisik, gangguan pola eliminasi uri dan alvi , gangguan proses pikir dan
ketidakmampuan merawat diri sendiri.
Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode NIHSS
dan ESS sangat baik dalam perumusan diagnosa keperawatan aktual pada pasien
stroke fase akut. Penggunaan metode NIHSS dan ESS untuk membuat diagnosa
keperawatan yang aktual pada pasien stroke berat fase akut belum pernah
dilakukan sehingga informasi tentang manfaatnya dalam proses pembuatan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
78
78
diagnosa keperawatan masih sangat kurang, oleh sebab itu perlu adanya
sosialisasi dan pelatihan yang intensif tentang manfaat pengkajian dan kemudahan
merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada pasien stroke berat fase akut
sehingga perawat unit stroke dapat menggunakan metode ini dengan baik dan
benar.
3. Efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS
Berdasarkan analisis terdahulu menunjukkan bahwa perolehan jumlah diagnosa
aktual menggunakan metode NIHSS dan metode ESS sama banyaknya. Setelah
dianalisis lebih lanjut didapatkan bawah metode NIHSS dan ESS sama baiknya
untuk merumuskan diagnosa aktual pada pasien stroke berat fase akut. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS
dan metode ESS terhadap pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada
pasien stroke fase akut pada.
Persamaan efektifitas pengkajian pada metode NIHSS dan ESS disebabkan oleh
persamaan komponen penilaian yang terdiri dari tingkat kesadaran, gerakan mata
konyugat horizontal, lapangan pandang, paresis wajah, motorik lengan, motorik
kaki, ataksia anggota badan, sensorik, bahasa, disartria dan unilateral negleg.
Walaupun ada sedikit perbedaan elemen pemeriksaan tetapi tujuan sama seperti
pada NIHSS komponen paresis wajah, ataksia dan bahasa terbaik sedangkan pada
ESS komponen gerakan wajah, gaya berjalan dan bicara sehingga dapat
disimpulkan bahwa pemeriksaan ini sama.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
79
79
Hasil analisis diatas sejalan dengan hasil penelitian Berger et.al, (1999)
menyatakan bahwa penggunaan metode NIHSS dapat digunakan untuk melihat
kondisi pasien stroke fase akut dengan tingkat reabilitas mean kappa NIHSS 0.80
dan ESS 0.79. Hasil penelitian ini menunjukkan keakuratan kedua metode ini
hampir sama sehingga hasil dari kedua metode pengkajian ini juga akan sama.
Hasil penelitian Luo Zuming dan Hu Wanbao (2000), sejalan dengan analisis
peneliti yang menyatakan bahwa nilai Bartel Index mempunyai korelasi yang kuat
terhadap metode NIHSS ( r = 0,721) dan ESS (r = -,827). Dapat disimpulkan
bahwa metode NIHSS dan ESS sama baiknya untuk menilai Bartel Index (Scholar,
2000, Assessment on validity,reliability and simplicity of stroke scales and design
ora new scale, ¶ 1, http://scholar.ilib.cn,, diperoleh tanggal 2 Juli 2008).
Penelitian lain yang sejalan dengan analisis peneliti adalah hasil penelitian Adam
et.al (1999), mengatakan bahwa dengan metode NIHSS didapatkan OR 3,1 (95 %
CI: antara 1,5 – 6,4). Penelitian ini menyimpulkan bahwa metode NIHSS sangat
bagus memprediksi hasil akhir pasien yang menderita stroke dari fase akut sampai
fase pemulihan. Sedangkan hasil penelitian Loewen SC & Anderson BA (1990),
mengatakan bahwa penggunaan metode ESS mempunyai nilai korelasi (r = 0.83)
terhadap Barthel Index. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara nilai ESS terhadap Barthel Index artinya adalah metode ESS
dapat menilai kemampuan aktivitas sehari-hari pasien dengan baik.
Menurut (Smeltzer & Bare, et.al, 2008; Black & Hawks 2005), mengatakan
bahwa pengkajian dengan metode NIHSS dan metode ESS dilakukan dengan tiga
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
80
80
teknik yaitu observasi, wawancara dan pemeriksaan fisik. Pada saat pelaksanaan
penelitian ditemukan bahwa penilaian pengkajian metode NIHSS dan ESS pada
pasien stroke berat fase akut tidak selamanya dilakukan dengan tiga teknik
sekaligus. Pada kondisi koma pemeriksaan hanya dilakukan dengan teknik
observasi dan pemeriksaan fisik. Hal ini disebabkan karena pada pasien dalam
keadaan koma sulit untuk melakukan teknik wawancara.
B. Keterbatasan Penelitian
1. Waktu pemeriksaan instrumen pengkajian
Waktu adalah faktor yang sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan
pasien dengan stroke. Menurut AHA dan NSA memberikan rekomendasi dalam
memberikan perawatan harus dilakukan dalam waktu 3 - 6 jam pertama terkena
serangan untuk mendapatkan hasil yang baik saat pasien pulang (AANN, 2004,
hlm.6). Menurut Smeltzer & Bare (2008, hlm.2215), mengatakan bahwa fase akut
yang dialami pasien stroke antara 1-3 hari. Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa penggunaan metode NIHSS dan ESS pada pasien stroke fase akut sangat
bagus jika dilakukan pada waktu 3 -6 jam pertama terkena serangan karena dapat
mengetahui kondisi pasien secepat mungkin sehingga dapat mencegah komplikasi
yang lebih parah dan kematian.
Pada saat penelitian, pemeriksaan dengan metode NIHSS dan ESS dilakukan
antara 1-3 hari pertama saat pasien masuk ke rumah sakit. Hal ini hal ini terjadi
karena sebagian besar responden baru datang ke rumah sakit anatara 6 - 24 jam
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
81
81
setelah terjadinya serangan. Disisi lain penelitian ini hanya dilakukan oleh peneliti
sendiri dan peneliti tidak menetap di ruangan 24 jam dimana tempat penelitian
ada 4 ruangan yaitu IGD, ICU, Unit Stroke dan ruangan perawatan saraf kelas III.
Hal ini berdampak pada keterlambatan data yang diperoleh dari hasil pengkjian
dengan metode ini sehingga penanganan keperawatan untuk mengurangi
komplikasi akibat stroke dan berupaya mengembalikan keadaan penderita
kembali normal seperti sebelum serangan stroke agak sulit dilakukan.
C. Implikasi Untuk Keperawatan
Berdasarkan hasil beberapa uraian pada bab ini, peneliti berpendapat bahwa
penggunaan metode NIHSS dan ESS sangat bagus untuk menentukan diagnosa
keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut dan dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan
ESS terhadap pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke fase
akut. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kedua metode ini sama-sama baik
untuk dipakai dalam proses pengkajian syaraf pada pasien stroke berat fase akut.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
82
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan dan hasil penelitian yang diperoleh, maka
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Pengkajian dengan metode NIHSSS dan ESS sangat baik untuk melihat
perkembangan pasien stroke fase akut. Kedua metode ini dapat melihat tingkat
keparahan gangguan sistem saraf termasuk perubahan-perubahan pada gangguan
system saraf dari waktu ke waktu dari nilai total yang didapat pada masing-
masing metode pengkajian. Penilaian ini meliputi pengkajian perubahan tingkat
kesadaran, gerakan mata konyugat horizontal, lapangan pandang, paresis wajah,
motorik lengan, motorik kaki, ataksia anggota badan, sensorik, bahasa, disartria
dan unilateral negleg.
2. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara nilai NIHSS (r = 0,904) dan nilai ESS
(r = -0,912) terhadap diagnosa aktual yang diperoleh. Hal ini terlihat pada pasien
dengan tingkat kesadaran somnolen memiliki nilai NIHSS antara 20 sampai
dengan 25 dan nilai ESS antara 41 sampai dengan 47 memiliki 9 diagnosa aktual.
Sedangkan pada pasien dengan tingkat kesadaran prekoma dan koma memiliki
nilai NIHSS antara 32 sampai dengan 41 dan nilai ESS antara 0 sampai dengan 18
memiliki 10 diagnosa aktual.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
83
3. Tidak ada perbedaan efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam
membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. Dari
metode NIHSS terdapat 11 komponen dan ESS terdapat 14 komponen penilaian.
Sekilas terlihat komponen penilain yang dilakukan pada kedua metode ini berbeda,
tetapi setelah di interpretasikan ternyata penilaiannya sama. Dengan kata lain,
kedua metode ini sama-sama baik dalam perumusan diagnosa keperawatan yang
aktual pada pasien stroke fase akut pada derajat kemaknaan 0.05.
4. Pengkajian metode NIHSS dan ESS pada pasien stroke berat fase akut dalam
keadaan koma tidak dapat dilakukan dengan tiga teknik sekaligus (wawancara,
observasi, pemeriksaan fisik) tetapi bisa dilakukan dengan dua teknik yaitu
observasi dan pemeriksaan fisik. Hal ini disebabkan karena pada pasien dalam
keadaan koma sulit untuk melakukan teknik wawancara.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti mempunyai beberapa saran sebagai
berikut:
1. Teman sejawat perawat
a. Menggunakan metode NIHSS atau ESS sebagai salah satu cara dalam
melakukan pengkajian system saraf pada pasien stroke karena dengan metode
ini hasil pengkajian akan lebih akurat dan diagnosa aktual yang muncul akan
lebih tepat sehingga proses asuhan keperawatan akan lebih baik.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
84
b. Perlu adanya sosialisasi dan pelatihan yang intensif tentang manfaat
pengkajian dan kemudahan merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat
pada pasien stroke berat fase akut menggunakan pengkajian metode NIHSS
dan ESS.
c. Saran tambahan yang bukan dihasilkan dari hasil penelitian.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa metode NIHSS dan ESS sama
baiknya dalam membuat diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke
berat fase akut. Tetapi berdasarkan pengalaman peneliti saat pengkajian
menggunakan metode NIHSS dan ESS, peneliti menganjurkan untuk
menggunakan metode NIHSS karena dapat dilakukan dengan cepat yaitu
antara 5 sampai 10 menit, mudah dipelajari dan dilaksanakan, skor yang
dipakai sederhana serta cakupan pemeriksaan lebih luas.
2. Pengetahuan
Sebagai rujukan khususnya mengenai efektifitas pengkajian menggunakan
metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada
asuhan keperawatan pasien dengan stroke berat fase akut.
3. Penelitian
Sebagai informasi awal untuk penelitian selanjutnya yang terkait tentang
pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa
keperawatan pada pasien stroke seperti:
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
85
a. Efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam
pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada asuhan keperawatan pasien
dengan stroke ringan dan sedang fase akut.
b. Efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam
pembuatan diagnosa keperawatan resiko pada asuhan keperawatan pasien
dengan stroke ringan, sedang dan berat fase akut.
c. Perbandingan keunggulan dan kelemahan penggunaan metode NIHSS dan
ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan aktual dan resiko pada asuhan
keperawatan pasien dengan stroke ringan, sedang dan berat fase akut.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
DAFTAR PUSTAKA AANN. (2004). Guide to the care of the patient with Ischemic Stroke. USA: PDL
BioPharma. Adams, H.P Jr., Davis, P.H., Leira, E.C., Chang, K.C., Bendixen, B.H., Clarke, W.R.,
Woolson, R.F., Hansen, M.Dl. (1999), Baseline NIHSS stroke scale score strongly predicts outcome after stroke: A report of the trial of org 10172 in acute stroke treatment (TOAST). Neurology, 53, (1), 126-131.
Bamford, J., Sandercock, P., Dennis, M., Burn, J., Warlow, C., (1991), Classification
and natural history of clinically identifiable subtypes of cerebral infarction Lancet, 337, (8756), 1521-1526.
Bates, Barbara, (1998), Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan, edisi 2,
Jakarta: EGC Budiarto, E. (2002), Biostatistik untuk kedokteran dan kesehatan Masyarakat, edisi 1.
Jakarta: EGC. Black, M.J & Hawks, H.J. (2005). Medical-surgical nursing: Clinical management for
positive outcome. (7 th ed). St.Louis: Elsevier Inc. Berger K, Weltermann B, Kolominsky-Rabas P, Meves S, Heuschmann P, Böhner J,
Neundörfer B, Hense HW, Büttner T. (1999), The reliability of stroke scales. The german version of NIHSS, ESS and Rankin scales. Fortschr Neurol Psychiatri. 67(2), 81-93
Brott, T., Adams, H.P., Olinger, C.P., Marler, J.R., Barsan, W.G., Biller, J., Spilker, J.,
Holleran, R., Eberle, R., Hertzberg, V., Rorick, M., Moomaw, C.J., Walker, M., (1989), Measurements of acute cerebral infarction: a clinical examination scale. Stroke, (20), 864-870.
Carpenito, J.L. (1997). Application to clinical practice, (7 th ed). Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers.
Craven, F.R, & Hirnle, J.C. (2007). Fundamentals of nursing: Human health and
function.(5 th ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins. Edwards. (2007), Acute assessment scales, http://www.strokecenter.org/trials/scales/
index.htm, diperoleh tanggal 10 Januari 2008. Hantson L, et al. (1994), The eropean stroke scale. Stroke, 25, (1), 2215-2219.
Hastono, S.P., (2007), Analisa data kesehatan. Depok: FKM-UI.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
Hickey, V.J. (2003). The clinical practice of neurological and neurosurgical nursing. (5 th ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins.
Ignatavicius, D.D & Workman, M.L. (2006). Medical-surgical nursing: Critical
thingking for colaborative care. St.Louis: Elsevier Inc. Jarvis, C. (2000), Physical examination and health assessment, (3 th ed).
Philadelphia: WB Saunders Company. Loewen, S.C., Anderson, B.A., (1990) Predictors of stroke outcome using objective
measurement scales. Stroke, 21(1), 78-81. Lemone, P & Burke, M.K. (1996). Medical-surgical nursing: Critical thinking in client
care. St.Louis: Cummings Publishing Company Inc.
Luo Zuming & Hu Wanbao.(2000), Assessment on validity, reliability and simplicity of stroke scales and design ora new scale. http://scholar.ilib.cn/abstract.aspx? A=zglcsjkx 2000z1064, diperoleh tanggal 2 Juli 2008.
Lumbantobing, S.M. (2006), Neurologi klinik: Pemeriksaan fisik dan mental, edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Muir,K.W., Weir,C.J., Murray, G. D., Povey, C., Lees, K.R. (1996), Comparation of
neurological scale and scoring system for acute stroke prognosis. Ahajournals, 27, (10), 1817-1820.
Nursalam. (2001). Proses & dokumentasi keperawatan: Konsep dan praktik. edisi 1.
Jakarta: Salemba medika. Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi penelitian kesehatan, edisi 2. Jakarta: PT. Rineka
Cipta. Ollivieri. (1991).Fundamentals of nursing : Conceps process and practise. California :
Addisson-Wesley. Orgogozo,J.M., Capildeo,R., Anagnostou, C.N., Juge, O., Péré, J.J., Dartigues, J.F.,
Steiner, T.J., Yotis, A., Rose, F.C., Development of a neurological score for the clinical evaluation of sylvian infarctions. Press Med, 12, (48), 3039-3044.
Pagano, M., & Gauvreau, K. (1993). Principles of biostatistics. California: Wadsworth
Publishing Company. Priharjo, R. (1996), Pengkajian Fisik Keperawatan. edisi 2.Jakarta: EGC. Polaski, L.A & Tatro, E.S. (1996). Luckmann’s core principles and practice of medical-
surgical nursing. (1 st ed). Philadelphia: WB. Sauders Company.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
Polit D.F. & Hungler B.P. (1999). Nursing research: principles and methods. (6 th ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins.
Potter., & Perry. (2006). Buku ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan
Praktik, Vol 1, Alih bahasa Asih Yasmin, et.al. Jakarta: EGC. Rasyid, A & Soertidewi, L. (2007). Unit stoke: Manajemen stroke secara komprehensif.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Ilmu Kedokteran. Reeves, C. J, et al, (1999), Medical surgical nursing, New York: McGraw – Hill
Companies. Sabri, L., dan Hastanto, S.P. Statistik kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sastroasmoro, S. (2006), Dasar-dasar metodelogi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto. Smeltzer, C.S., et al. (2008). Brunner & suddarth’s texbook of medical-surgical nursing.
(11 th ed). Philadelphia: Lippincott and Wilkins.. Smeltzer, C.S.,et al. (2002), Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth,
alih bahasa Agung Waluyo et.al, editor edisi bahasa indonesia monica ester, ellen pangabean, Ed 8, Jakarta, EGC
Sinar Harapan. (2003). Penderita stroke dapatd disembuhkan. http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/lalu.html, diperoleh tanggal 29 Oktober 2007.
Stroke center, (2007). Population stoke in the world, http://www.strokecenter.org/patients/stats.htm, diperoleh tanggal 10 Januari 2008.
Sulaiman, W. (2005). Statistik non parametrik. Contoh kasus dan pemecahannya dengan
SPSS, edisi 2. Yagyakarta: Andi. Talley, O’Connor. (1993). Clinical examination : A Guidep physical diagnosis. Sydney:
Mc Lennan & Petty. Yastroki. (2002). Tahun 2020, Penderita stroke meningkat 2 Kali
http://www.yastroki.or.id/read.php?id=319, diperoleh tanggal 29 Oktober 2007
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
Lampiran 1
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Judul penelitian : Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta Peneliti : Dedi Damhudi, S.Kp Nomor Hp: 085214422595 Pembimbing : 1. Dewi Irawaty, MA., PhD 2. Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS
Tujuan : Saya diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian bagaimana efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut
Prosedur : Tahap pertama saya akan dikaji menggunakan metode NIHSS. Setelah itu, 15 menit kemudian dikaji menggunakan metode ESS. Disaat pengkajian saya bersedia bekerjasama dengan peneliti.
Gambaran resiko dan ketidaknyamanan yang mungkin akan terjadi : Saya mengerti bahwa resiko yang akan terjadi sangat kecil. Apabila selama proses pengkajian saya merasa tidak enak atau tidak nyaman, maka peneliti dan tim kesehatan yang ada di ruangan akan menangani saya dengan profesional.
Manfaat bagi subjek penelitian : Peran serta saya dalam penelitian ini akan membantu saya untuk mengerti bagaimana pengaruh pengkajian yang baik akan menghasilkan diagnosa yang tepat sehingga sangat menentukan kualitas asuhan keperawatan terhadap penyakit saya.
Kerahasiaan identitas/catatan penelitian : Saya mengerti bahwa catatan penelitian akan dirahasiakan. Saya berhak menolak untuk berperan serta dalam penelitian ini atau mengundurkan diri tanpa adanya hukuman atau kehilangan hak saya.
Jakarta, ............................................. Tanda tangan responden/wali responden Tanda tangan peneliti
...................................... ..................................
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
Lampiran 4
Nomor responden: ...........
INSTRUMEN PENELITIAN
Pengkajian metode National Institute of Health Stroke (NIHSS)
Petunjuk khusus bagian 1 :
a. Berisikan tentang data tentang data demografi pasien.
b. Setiap pertanya dijawab dengan singkat dan jelas
c. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu jenis stroke
1. Data Responden
a. Tanggal dan jam pengkajian : ……………………………………….
b. Initial responden : ……………………………………….
c. Umur : ……………………………………….
d. Jenis kelamin : ……………………………………….
e. Jenis stroke : 1) Hemoragik 2) Non hemoragik
Petunjuk khusus bagian 2 :
a. Lakukan pengkajian sesuai cara pemeriksaan/petunjuk pada tiap-tiap komponen
b. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu hasil pemeriksaan di komponen tersebut
c. Data hasil pemeriksaan dikompersi menjadi diagnosa aktual yang telah tersedia sesuai
dengan komponen masing masing
d. Jumlahkan seluruh diagnosa aktual yang diperoleh dari metode pengkajian NIHSS.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
2. Pengkajian metode NIHSS
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual
1. a. Derajat kesadaran Pemeriksa harus menilai apapun respon pasien jika saat pemeriksaan terdapat halangan pada pasien seperti selang endotrakeal, trauma /balutan orotrakeal. Nilai 3 hanya diberikan jika pasien tidak bergerak dalam merespon stimulus berbahaya/menyakitkan.
0= sadar penuh 1= somnolen 2= stupor 3= koma
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk akibat sekunder dari ketidaksadaran
2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK
3. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik) berhubungan dengan penurunan kesadaran.
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan kesadaran.
5. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, penurunan kesadaran.
b. Menjawab pertanyaan Tanyakan pada pasien tentang bulan dan tanggal kelahirannya. Jawaban haruslah benar. Pasien apasia dan stupor yang tidak dapat menjawab dengan benar diberi nilai 2. Pasien yang tidak mampu bicara karena intubasi endotrakeal, trauma orotrakeal, disatria berat dari penyebab lain, gangguan bahasa atau penyebab lain bukan dari akibat apasia diberi nilai 1.
0= dapat menjawab dua pertanyaan dengan benar (misalnya, bulan apa sekarang dan usia pasien)
1= hanya dapat menjawab satu pertanyaan dengan benar atau tidak dapat berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria
1. Gg proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah
2. Tidak ada diagnosa aktual
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual
Hanya jawaban awal yang dinilai dan pemeriksa tidak membantu pasien dengan petunjuk verbal atau non verbal.
2= tidak dapat menjawab kedua pertanyaan dengan benar atau afasia atau stupor menjawab kedua pertanyaan dengan benar atau afasia atau stupor
c. Mengikuti perintah Anjurkan pasien menutup dan membuka mata kemudian menggenggam dan melepaskan tangan pada tangan yang tidak paresis. Mengganti salah satu perintah dapat dilakukan jika tangan tidak dapat digunakan. Penilaian dapat diberikan jika usaha maksimal sudah dilakukan walaupun tidak lengkap karena kelemahan. Jika pasien tidak berespon terhadap perintah, tugas itu harus di contohkan kepada dia (tanpa suara) dan hasilnya dinilai (seperti tidak mengikuti, mengikuti satu atau dua perintah). Pasien dengan trauma, amputasi atau halangan fisik harus diberikan penyesuaian dengan salah satu perintah. Hanya jawaban pertama yang dinilai.
0= dapat melakkan dua perintah dengan benar (misalnya buka dan tutup mata, kepal dan buka tangan pada sisi yang sehat)
1= hanya dapat melakukan satu perintah dengan benar
2= tidak dapat melakukan kedua perintah dengan benar
1. Gg proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah
2. Tidak ada diagnosa aktual
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual
2. Gerakan mata konyugat horizontal Hanya gerakan horizontal mata yang di periksa. Jika pasien mempunyai deviasi konyugat pada mata yang terjadi secara reflek, dapat diberi nilai 1. Jika pasien mempunyai paresis saraf perifer yang terisolasi (N III, N IV, VI) diberi nilai 1. Gerakan mata konyugat horizontal dapat dilakukan pada semua pasien apasia. Pasien dengan trauma mata, yang diperban, sebelum terjadi kebutaan atau atau penyakit ketajaman penglihatan atau lapangan pandang harus dilakukan pemeriksaan dengan gerakan reflek yang di sesuaikan oleh pemeriksa. Kemampuan mempertahankan kontak mata dan diikuti gerakan dari sisi ke sisi akan sangat membantu dalan melihat adanya kelemahan gerakan mata konyugat sebagian.
0= normal 1= gerakan abnormal
hanya pada satu mata
2= deviasi konyugat yang kuat atau paresis konyugat total pada kedua mat
1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan
2. Tidak ada diagnosa aktual
3. Lapangan pandang Lapangan pandang (bagian atas dan bawah) di uji dengan menggunakan hitungan jari. Jika pasien dapat melihat pada sisi jari yang bergerak dengan tepat, bisa beri nilai normal. Jika terdapat kebutaan sebelah atau enuklasi dapat diberi nilai apa adanya. Nilai 1 diberikan jika melihat
0= tidak ada gangguan
1= kuandranopia 2= hemianopia total 3= hemianopia
bilateral atau buta kortikal
1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan
2. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual
dengan jelas tapi tidak simetris, termasuk jika terdapat quadranopia. Jika pasien buta oleh penyebab lain diberi nilai 3. Jika hal ini terkait dengan tingkat kesadaran (somnolen) hasilnya bisa untuk menilai point unilateral negleg.
4. Paresis Wajah Gunakan pertanyaan atau gunakan pantomime untuk mendorong pasien menunjukkan gigi atau mengangkat alis mata adan menutup mata. Nilai simetris wajah yang menyeringai adalah respon dari stimulus yang berbahaya terhadap kurangnya respon atau ketidak pahaman pasien. Jika wajah trauma atau terbalut, selang orotrakeal, atau penghalang lainnya pada wajah harus diangap normal terhadap penilaian.
0= normal 1= paresis ringan 2= paresis sebagian 3= paresis total
1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan sensasi
2. Tidak ada diagnosa aktual
5. a. Motorik lengan kanan Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi
0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik
1= Lengan jatuh ke bawah sebelum 10 detik
2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh
3= tidak dapat melawan gravitasi
1. Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke
2. Tidak ada diagnosa aktual
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual
atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.
4= tidak ada gerakan X= tidak dapat
diperiksa
b. Motorik lengan kiri Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.
0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik
1= Lengan menyimpang ke bawah sebelum 10 detik
2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh
3= tidak dapat melawan gravitasi
4= tidak ada gerakan X= tidak dapat
diperiksa
1. Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke
1. Tidak ada diagnosa
aktual 1.
6. a. Motorik tungkai kanan Pasien mengangkat kaki 30º (di uji dengan posisi telentang). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Pada kasus amputasi / kaki yang mengalami penyambungan maka tidak dapat diperiksa.
0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 10 detik dan diangkat bergantian.
1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik
2= Kaki terjatuh ke kasur / tidak dapat diluruskan secara penuh
3= tidak dapat melawan gravitasi
4= tidak ada gerakan X= tidak dapat
diperiksa
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi
3. Tidak ada diagnosa aktual
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual
b. Motorik tungkai kiri Pasien mengangkat kaki 30º (selalu di uji dengan posisi telentang/supinasi). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau kaki yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.
0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 5 detik dan diangkat bergantian.
1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik
2= Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh
3= tidak dapat melawan gravitasi
4= tidak ada gerakan X= tidak dapat
diperiksa jika amputasi, penyambungan paha.
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi
2. Tidak ada diagnosa aktual
7. Ataksia anggota badan Bagian ini bertujuan untuk menemukan lesi serebral sepihak. Saat pemeriksaan, pasien membuka mata. Pemeriksaan dilakukan dengan cara gerakan tangan pasien dari jari-hidung-jari dan tumit-mata kaki-lutut. Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi dan penilaian adanya ataksia ditemukan jika ada kelemahan yang terlalu kuat. Ataksia tidak ditemukan pada pasien yang tidak paham terhadap instruksi atau paralisis. Hanya pada kasus amputasi atau penyambungan,
0= tidak ada 1= pada satu
ekstrimitas 2= pada dua atau
lebih ekstrimitas X= tidak dapat
diperiksa jika amputasi, penyambungan.
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi
2. Tidak ada diagnosa aktual
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual
pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. Pada kasus kebutaan, pemeriksaan dilakukan dengan pasien menyentuh hidung dari posisi tangan dibentangkan.
8. Sensorik Adanya sensasi atau menyeringai apabila di lakukan tes dengan ujung jarum. Pemeriksa harus menguji pada banyak bagian tubuh seperti pada lengan, kaki, wajah dan badan untuk mendapatkan hasil yang akurat terhadap kehilangan hemisensorik. Nilai 2 ”berat atau kehilangan sensorik total” diberikan pada pasien yang mengalami kehilangan sensorik total atau sangat parah. Pasien stupor dan aphasia diberi nilai 1 atau 0. Pasien dengan stroke yang memiliki kehilangan sensasi bilateral diberi nilai 2. Jika pasien tidak berespon atau koma atau quadriplegi diberi nilai 2.
0= normal 1= defisit parsial
yaitu merasa tetapi berkurang
2= defisit berat yaitu jika pasien tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral
1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan sensasi
2. Tidak ada diagnosa aktual
9. Bahasa terbaik Instruksikan pasien untuk melihat gambar dari pemeriksa. Tanyakan apa apa yang terjadi terkait dengan gambar, nama dari gambar tersebut dan membaca apa yang terdapat pada gambar tersebut. Pemahaman bahasa didapat dari respon
0= tidak ada afasia 1= afasia ringan-
sedang 2= afasia berat 3= tidak dapat bicara
(bisu) atau global afasia atau koma
1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau penurunan kesadaran.
2. Inkontinensia uri dan BAB total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan komunikasi.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual
seperti halnya perintah-perintah pada proses pemeriksaan neurologi secara umum. Jika terdapat kekurangan penglihatan saat pemeriksaan, tanyakan pada pasien untuk mengidentifikasi benda yang diletakkan di tangan, ulangi dan hasilkan pembicaraan. Pasien yang mengalami intubasi sebaiknya ditanya dengan tulisan. Pasien dengan koma otomatis di beri nilai 3. Nilai 3 diberikan jika pasien bisu dan tidak dapat mengikuti perintah apapun.
1.
10. Disartria Kekurangan saat bicara dapat terlihat dengan menganjurkan untuk membaca atau mengulang kalimat yang ada dibacaan. Jika pasien memiliki afasia berat, kejelasan artikulasi dapat dinilai dari pembicaraan secara spontan. Jika pasien mempunyai intubasi atau halangan fisik lain terkait dengan bicara, pemeriksa harus mencatat tidak dapat diperiksa.
0= artikulasi normal 1= disartria ringan-
sedang 2= disartria berat X= tidak dapat
diperiksa jika intubasi atau halangan fisik lain terkait bicara.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak
3. Kelemahan menelan berhubungan dengan kelemahan neuromuskular
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual
11. Unilateral Negleg atau tidak ada atensi Kurangnya informasi untuk mengidentifikasi adanya negleg perlu di prioritaskan selama pemeriksaan. Jika pasien mempunyai masalah penglihatan yang berat, dan stimulus pada kulit normal maka nilainya adalah normal. Jika pasien apasia tetapi mampu mengenali adanya benda di kedua sisinya berarti nilainya normal. Adanya pengabaian sepihak atau anosagnosia adalah suatu tanda yang tidak normal.
0= tidak ada 1= parsial 2= total
1. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia
2. Tidak ada diagnosa aktual
Total perolehan diagnosa aktual:
.................................buah
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
Lampiran 5
Nomor responden: ...........
INSTRUMEN PENELITIAN
Pengkajian metode Eropean Stroke Scale (ESS)
Petunjuk khusus bagian 1 :
a. Berisikan tentang data tentang data demografi pasien.
b. Setiap pertanyaan dijawab dengan singkat dan jelas
c. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu jenis stroke
1. Data Responden
a. Tanggal dan jam pengkajian : ……………………………………….
b. Initial responden : ……………………………………….
c. Umur : ……………………………………….
d. Jenis kelamin : ……………………………………….
e. Jenis stroke : 1) Hemoragik 2) Non hemoragik
Petunjuk khusus bagian 2 :
a. Lakukan pengkajian sesuai cara pemeriksaan/petunjuk pada tiap-tiap komponen
b. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu hasil pemeriksaan di komponen tersebut
c. Data hasil pemeriksaan dikompersi menjadi diagnosa aktual yang telah tersedia sesuai
dengan komponen masing masing
d. Jumlahkan seluruh diagnosa aktual yang diperoleh dari metode pengkajian ESS.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
2. Pengkajian metode ESS
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual
1. Derajat kesadaran: mengukur tingkat kesadaran pasien mulai dari kompos mentis, apatis, somnolen, stupor/pre coma dan koma.
10 = sadar penuh, merespon dengan baik
8= somnolen/mengantuk tetapi dapat dibangunkan dengan stimulus ringan , menjawab atau berespon
6= diperlukan stimulus yang berulang atau pasien lesu, diperlukan stimulus keras atau stimulus yang sedikit menyakitkan (nyeri ringan) untuk membuat pasien bergerak
4= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang agak menyakitkan (nyeri sedang) untuk membuat pasien bergerak.
2= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak
0= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, dan tidak bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk akibat sekunder dari ketidaksadaran.
2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK.
3. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik) berhubungan dengan penurunan kesadaran.
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan kesadaran
5. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, penurunan kesadaran
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual
2 Pengertian: Anjurkan pasien untuk mengikuti perintah seperti: (a) mengeluarkan lidah, (b) meletakkan jari ke hidung, (c) menutup kelopak mata. Pemeriksa tidak mencontohkan perintah tersebut.
8 = pasien melaksanakan 3 perintah
4= pasien melaksanakan 1-2 perintah
0= pasien tidak melaksanakan perintah
1. Gg proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah
2. Tidak ada diagnosa aktual
3 Bicara: pemeriksa membuat percakapan umum dengan pasien
8 = bicara normal 6= agak sulit bicara,
permbicaraan masih bisa dilakukan
4= sangat sulit bicara, pembicaraan sulit dilakukan
2= hanya ”ya” dan ”tidak” 0= tidak ada suara
1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak
2. Kelemahan menelan berhubungan dengan kelemahan neuromuskular
3. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan komunikasi.
4. Lapangan pandang:
pemeriksa berdiri dekat lengan pasien dan bandingkan pandangan mata pasien dengan mempercepat pergerakan jari dari batas luar ke arah dalam. Pasien di diminta untuk menatap pupil pemeriksa. Tes dilakukan dengan membuka satu mata menutup satunya dan begitu sebaliknya.
8 = normal 0= kurang/gangguan
1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan
2. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual
5. Gerakan mata konyugat horizontal: pemeriksa melihat kepada pasien dan bertanya kepada pasien dengan mengikuti jari pemeriksa. Pemeriksa mengobservasi posisi mata pasien istirahat/berhenti sejenak dan sesudah itu pergerakan penuh dengan mengikuti pergerakan jari dari kiri ke kanan lalu sebaliknya.
8 = normal 4= posisi mata di tengah, ada
penyimpangan ke salah satu sisi
2= posisi mata di samping, bisa kembali ke ke posisi tengah
0= posisi mata di samping, tidak bisa kembali ke posisi tengah
1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan
2. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan
6. Gerakan wajah: wajah pasien di dilihat pada saat berbicara dan senyum, dengan catatan ke tidaksemetrisan. Hanya otot-otot setengah bagian bawah pada wajah yang dikaji.
8= normal 4= paresis 0= paralisis
1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan sensasi
2. Tidak ada diagnosa aktual
7. Lengan tangan (kemampuan lengan tangan untuk mempertahankan posisi dibentangkan/angkat tangan): Anjurkan pasien menutup mata. Pasien yang tangannya aktif diangkat 45º dengan posisi datar horizontal, dengan kedua tangan pada posisi tengah
4 = lengan tangan mampu bertahan 5 detik
3= lengan tangan mampu bertahan 5 detik tapi posisi tangan telungkup
2= lengan tangan mampu mengapung kurang dari 5 detik tapi bisa dipertahankan dengan posisi lebih rendah
1= lengan tangan tidak mampu mempertahankan posisi tapi mampu melawan gravitasi.
1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke
2. Tidak ada diagnosa aktual
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual
berhadapan satu sama lain. Pasien di anjurkan untuk mempertahankan posisi selama 5 detik setelah pemeriksa melihat kekuatannya. Hanya sisi yang aktif yang dievaluasi
0= lengan tangan jatuh / tidak mampu melawan gravitasi
8. Lengan tangan (peningkatan gerak) Letakkan lengan tangan pada kaki dengan tangan di posisi tengah. Pasien diminta untuk mengangkat lengan tangan lalu dibentangkan dengan posisi 90º (vertikal).
4 = normal 3= lengan tangan lurus,
pergerakan tidak penuh 2= lengan tangan
fleksi/benkok 1= pergerakan sedikit-
sedikit/lambat 0= tidak bergerak
1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke
2. Tidak ada diagnosa aktual
9. Keluasan grakan pergelangan tangan: pasien di uji dengan lengan bawah dialas. Tangan tidak di alas tetapi di lemaskan pada posisi telentang (pronasi). Pasien di diminta untuk mengangkat tangan.
8= normal (pergerakan terisolasi penuh, tidak ada penurunan kekuatan)
6= pergerakan terisolasi penuh, ada penurunan kekuatan
4= pergerakan tidak terisolasi
2= pergerakan sedikit-sedikit/lambat
0= tidak ada pergerakan
1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke
2. Tidak ada diagnosa aktual
10. Jari: pasien diminta untuk mencubit dengan ibu jari dan telunjuk untuk melawan tarikan yang lemah.
8= kekuatan seimbang 4= kekuatan berkurang pada
sisi aktif 0= Jari tidak bisa mencubit
pada sisi aktif
1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke
2. Tidak ada diagnosa aktual
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual
11. Kaki (mempertahankan posisi): pemeriksa mengangkat kaki pasien pada posisi yang aktif, dengan paha yang tegak lurus pada tempat tidur dan kaki yang lebih rendah sejajar pada tempat tidur. Pasien diminta untuk menutup mata dan mempertahankan posisi kaki selama 5 detik tanpa di alas.
4= kaki bisa diangkat tinggi dan dapat mempertahankan posisi selama 5 menit
2= kaki turun pada posisi tengah, dapat mempertahankan posisi selama 5 menit
1= kaki dapat mempertahankan posisi selama 5 menit lalu jatuh pada tempat tidur tetapi tidak secara tiba-tiba.
0= kaki jatuh tiba-tiba pada tempat tidur
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi
2. Tidak ada diagnosa aktual
12. Kaki (fleksi): pasien posisi telentang (supinasi) dengan kaki di bentangkan. Pasien diminta untuk menekuk pinggul dan lutut.
4= normal 3= bergerak melawan
tahanan, kekuatan menurun
2= bergerak melawan gravitasi.
1= bergerak perlahan 0= tidak ada gerakan
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi
2. Tidak ada diagnosa aktual
13. Dorsofleksi pada kaki: kaki pasien di bentangkan, dengan pasien diminta untuk menekukkan punggu kaki.
8= normal (kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, tidak ada penurunan kekuatan)
6= kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, ada penurunan kekuatan
4= kaki dapat di bentangkan, pergerakan tidak penuh atau lutut fleksi atau kaki telentang
2= pergerakan perlahan 0= tidak ada gerakan
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi
2. Tidak ada diagnosa aktual
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen dan cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual
14. Gaya berjalan: Instruksikan pasien untuk berjalan seperti biasa dan lihat kondisi saat berjalan.
10= normal 8= gaya berjalan tidak
normal atau terbatas atau kecepatan terbatas
6= pasien dapat berjalan dengan bantuan
4= pasien dapat berjalan dengan batuan orang lain satu atau dua orang
2= pasien tidak dapat berjalan tapi dapat berdiri dengan bantuan
0= pasien tidak dapat berjalan/berdiri
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi
2. Tidak ada diagnosa aktual
Total perolehan diagnosa aktual:
.................................buah
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
Lampiran 2
Tabel National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)
No Komponen cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai
1. a. Derajat kesadaran Pemeriksa harus menilai apapun respon pasien jika saat pemeriksaan terdapat halangan pada pasien seperti selang endotrakeal, trauma /balutan orotrakeal. Nilai 3 hanya diberikan jika pasien tidak bergerak dalam merespon stimulus berbahaya/menyakitkan.
0= sadar penuh 1= somnolen 2= stupor 3= koma
b. Menjawab pertanyaan Tanyakan pada pasien tentang bulan dan tanggal kelahirannya. Jawaban haruslah benar. Pasien apasia dan stupor yang tidak dapat menjawab dengan benar diberi nilai 2. Pasien yang tidak mampu bicara karena intubasi endotrakeal, trauma orotrakeal, disatria berat dari penyebab lain, gangguan bahasa atau penyebab lain bukan dari akibat apasia diberi nilai 1. Hanya jawaban awal yang dinilai dan pemeriksa tidak membantu pasien dengan petunjuk verbal atau non verbal.
0= dapat menjawab dua pertanyaan dengan benar (misalnya, bulan apa sekarang dan usia pasien)
1= hanya dapat menjawab satu pertanyaan dengan benar atau tidak dapat berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria
2= tidak dapat menjawab kedua pertanyaan dengan benar atau afasia atau stupor
c. Mengikuti perintah Anjurkan pasien menutup dan membuka mata dan kemudian menggenggam dan melepaskan tangan bukan pada tangan paresis. Mengganti salah satu perintah dapat dilakukan jika tangan tidak dapat digunakan. Penilaian dapat diberikan jika usaha maksimal sudah dilakukan walaupun tidak lengkap karena kelemahan. Jika pasien tidak berespon terhadap perintah, tugas itu harus di contohkan kepada dia (tanpa suara) dan hasilnya dinilai (seperti tidak mengikuti, mengikuti satu atau dua perintah).
0= dapat melakkan dua perintah dengan benar (misalnya buka dan tutup mata, kepal dan buka tangan pada sisi yang sehat)
1= hanya dapat melakukan satu perintah dengan benar
2= tidak dapat melakukan kedua perintah dengan benar
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai
2. Gerakan mata konyugat horizontal Hanya gerakan horizontal mata yang di periksa. Jika pasien mempunyai deviasi konyugat pada mata yang terjadi secara reflek, dapat diberi nilai 1. Jika pasien mempunyai paresis saraf perifer yang terisolasi (N III, N IV, VI) diberi nilai 1. Gerakan mata konyugat horizontal dapat dilakukan pada semua pasien apasia. Pasien dengan trauma mata, yang diperban, sebelum terjadi kebutaan atau atau penyakit ketajaman penglihatan atau lapangan pandang harus dilakukan pemeriksaan dengan gerakan reflek yang di sesuaikan oleh pemeriksa. Kemampuan mempertahankan kontak mata dan diikuti gerakan dari sisi ke sisi akan sangat membantu dalan melihat adanya kelemahan gerakan mata konyugat sebagian.
0= normal 1= gerakan abnormal
hanya pada satu mata 2= deviasi konyugat yang
kuat atau paresis konyugat total pada kedua mata
3. Lapangan pandang Lapangan pandang (bagian atas dan bawah) di uji dengan menggunakan hitungan jari. Jika pasien dapat melihat pada sisi jari yang bergerak dengan tepat, bisa beri nilai normal. Jika terdapat kebutaan sebelah atau enuklasi dapat diberi nilai apa adanya. Nilai 1 diberikan jika melihat dengan jelas tapi tidak simetris, termasuk jika terdapat quadranopia. Jika pasien buta oleh penyebab lain diberi nilai 3. Jika hal ini terkait dengan tingkat kesadaran (somnolen) hasilnya bisa untuk menilai point unilateral negleg.
0= tidak ada gangguan 1= kuandranopia 2= hemianopia total 3= hemianopia bilateral
atau buta kortikal
4. Paresis Wajah Tanya atau menggunakan pantomime untuk mendorong pasien menunjukkan gigi atau mengangkat alis mata adan menutup mata. Nilai simetris wajah yang menyeringai adalah respon dari stimulus yang berbahaya terhadap kurangnya respon atau ketidak pahaman pasien. Jika wajah trauma atau terbalut, selang orotrakeal harus diangap normal terhadap penilaian.
0= normal 1= paresis ringan 2= paresis sebagian 3= paresis total
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai
5. a. Motorik lengan kanan Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.
0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik
1= Lengan jatuh ke bawah sebelum 10 detik
2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh
3= tidak dapat melawan gravitasi
4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa
b. Motorik lengan kiri Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.
0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik
1= Lengan menyimpang ke bawah sebelum 10 detik
2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh
3= tidak dapat melawan gravitasi
4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa
6. a. Motorik tungkai kanan Pasien mengangkat kaki 30º (selalu di uji dengan posisi telentang/supinasi). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau kaki yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.
0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 10 detik dan diangkat bergantian.
1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik
2= Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh
3= tidak dapat melawan gravitasi
4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai
b. Motorik tungkai kiri Pasien mengangkat kaki 30º (selalu di uji dengan posisi telentang/supinasi). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau kaki yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa.
0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 5 detik dan diangkat bergantian.
1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik
2= Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh
3= tidak dapat melawan gravitasi
4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa
jika amputasi, penyambungan paha.
7. Ataksia anggota badan Bagian ini bertujuan untuk menemukan lesi serebral sepihak. Saat pemeriksaan, pasien membuka mata. Pemeriksaan dilakukan dengan cara gerakan tangan pasien dari jari-hidung-jari dan tumit-mata kaki-lutut. Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi dan penilaian adanya ataksia ditemukan jika ada kelemahan yang terlalu kuat. Ataksia tidak ditemukan pada pasien yang tidak paham terhadap instruksi atau paralisis. Hanya pada kasus amputasi atau penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. Pada kasus kebutaan, pemeriksaan dilakukan dengan pasien menyentuh hidung dari posisi tangan dibentangkan.
0= tidak ada 1= pada satu ekstrimitas 2= pada dua atau lebih
ekstrimitas X= tidak dapat diperiksa
jika amputasi, penyambungan.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai
8. Sensorik Adanya sensasi atau menyeringai apabila di lakukan tes dengan ujung jarum. Pemeriksa harus menguji pada banyak bagian tubuh seperti pada lengan, kaki, wajah dan badan untuk mendapatkan hasil yang akurat terhadap kehilangan hemisensorik. Nilai 2 ”berat atau kehilangan sensorik total” diberikan pada pasien yang mengalami kehilangan sensorik total atau sangat parah. Pasien stupor dan aphasia diberi nilai 1 atau 0. Pasien dengan stroke yang memiliki kehilangan sensasi bilateral diberi nilai 2. Jika pasien tidak berespon atau koma atau quadriplegi diberi nilai 2.
0= normal 1= defisit parsial yaitu
merasa tetapi berkurang 2= defisit berat yaitu jika
pasien tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral
9. Bahasa terbaik Anjurkan pasien untuk melihat gambar dari pemeriksa. Tanyakan apa yang terjadi terkait dengan gambar, nama dari gambar tersebut dan membaca apa yang terdapat pada gambar tersebut. Pemahaman bahasa didapat dari respon seperti halnya perintah-perintah pada proses pemeriksaan neurologi secara umum. Jika terdapat kekurangan penglihatan saat pemeriksaan, tanya pasien untuk mengidentifikasi benda yang diletakkan di tangan, ulangi dan hasilkan pembicaraan. Pasien yang mengalami intubasi sebaiknya ditanya dengan tulisan. Pasien dengan koma otomatis di beri nilai 3. Nilai 3 diberikan jika pasien bisu dan tidak dapat mengikuti perintah apapun.
0= tidak ada afasia 1= afasia ringan-sedang 2= afasia berat 3= tidak dapat bicara (bisu)
atau global afasia atau koma
10. Disartria Kekurangan saat bicara dapat terlihat dengan menganjurkan untuk membaca atau mengulang kalimat yang ada dibacaan. Jika pasien memiliki afasia berat, kejelasan artikulasi dapat dinilai dari pembicaraan secara spontan. Jika pasien mempunyai intubasi atau halangan fisik lain terkait dengan bicara, pemeriksa harus mencatat tidak dapat diperiksa.
0= artikulasi normal 1= disartria ringan-sedang 2= disartria berat X= tidak dapat diperiksa
jika intubasi atau halangan fisik lain terkait bicara.
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai
11. Unilateral Negleg atau tidak ada atensi Kurangnya informasi untuk mengidentifikasi adanya negleg perlu di prioritaskan selama pemeriksaan. Jika pasien mempunyai masalah penglihatan yang berat, dan stimulus pada kulit normal maka nilainya adalah normal. Jika pasien apasia tetapi mampu mengenali adanya benda di kedua sisinya berarti nilainya normal. Adanya pengabaian sepihak atau anosagnosia dapat dijadikan sebagai sesuatu yang tidak normal.
0= tidak ada 1= parsial 2= total
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
Lampiran 3
Tabel Eropean Stroke Scale (ESS)
No Komponen cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai
1. Derajat kesadaran mengukur tingkat kesadaran pasien mulai dari kompos mentis, apatis, somnolen, stupor/pre coma dan koma.
10 = sadar penuh, merespon dengan baik
8= somnolen/mengantuk tetapi dapat dibangunkan dengan stimulus ringan , menjawab atau berespon
6= diperlukan stimulus yang berulang atau pasien lesu, diperlukan stimulus keras atau stimulus yang sedikit menyakitkan (nyeri ringan) untuk membuat pasien bergerak
4= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang agak menyakitkan (nyeri sedang) untuk membuat pasien bergerak.
2= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak
0= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, dan tidak bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak
2 Pengertian: anjurkan pasien untuk mengikuti perintah seperti: (a) mengeluarkan lidah, (b) meletakkan jari ke hidung, (c) menututup kelopak mata. Pemeriksa tidak mencontohkan perintah tersebut.
8 = pasien melaksanakan 3 perintah
4= pasien melaksanakan 1-2 perintah
0= pasien tidak melaksanakan perintah
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai
3 Bicara: pemeriksa membuat percakapan umum dengan pasien
8 = bicara normal 6= agak sulit bicara, permbicaraan
masih bisa dilakukan 4= sangat sulit bicara, pembicaraan
sulit dilakukan 2= hanya ”ya” dan ”tidak” 0= tidak ada suara
4. Lapangan pandang: pemeriksa berdiri dekat lengan pasien dan bandingkan pandangan mata pasien dengan mempercepat pergerakan jari dari batas luar ke arah dalam. Pasien di diminta untuk menatap pupil pemeriksa. Tes dilakukan dengan membuka satu mata menutup satunya dan begitu sebaliknya.
8 = normal 0= kurang/gangguan
5. Gerakan mata konyugat horizontal: pemeriksa melihat kepada pasien dan bertanya kepada pasien dengan mengikuti jari pemeriksa. Pemeriksa mengobservasi posisi mata pasien istirahat/berhenti sejenak dan sesudah itu pergerakan penuh dengan mengikuti pergerakan jari dari kiri ke kanan lalu sebaliknya.
8 = normal 4= posisi mata di tengah, ada
penyimpangan ke salah satu sisi
2= posisi mata di samping, bisa kembali ke ke posisi tengah
0= posisi mata di samping, tidak bisa kembali ke posisi tengah
6. Gerakan wajah: wajah pasien di dilihat pada saat berbicara dan senyum, dengan catatan ke tidaksemetrisan. Hanya otot-otot setengah bagian bawah pada wajah yang dikaji.
8= normal 4= paresis 0= paralisis
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai
7. Lengan tangan (kemampuan lengan tangan untuk mempertahankan posisi dibentangkan/angkat tangan): Anjurkan pasien menutup mata. Pasien yang tangannya aktif diangkat 45º dengan posisi datar horizontal, dengan kedua tangan pada posisi tengah berhadapan satu sama lain. Pasien di anjurkan untuk mempertahankan posisi selama 5 detik setelah pemeriksa melihat kekuatannya. Hanya sisi yang aktif yang dievaluasi
4 = lengan tangan mampu bertahan 5 detik
3= lengan tangan mampu bertahan 5 detik tapi posisi tangan telungkup
2= lengan tangan mampu mengapung kurang dari 5 detik tapi bisa dipertahankan dengan posisi lebih rendah
1= lengan tangan tidak mampu mempertahankan posisi tapi mampu melawan gravitasi
0= lengan tangan jatuh / tidak mampu melawan gravitasi
8. Lengan tangan (peningkatan gerak) Letakkan lengan tangan pada kaki dengan tangan di posisi tengah. Pasien diminta untuk mengangkat lengan tangan lalu dibentangkan dengan posisi 90º (vertikal).
4 = normal 3= lengan tangan lurus,
pergerakan tidak penuh 2= lengan tangan fleksi/benkok 1= pergerakan sedikit-
sedikit/lambat 0= tidak bergerak
9. Keluasan grakan pergelangan tangan: pasien di uji dengan lengan bawah dialas. Tangan tidak di alas tetapi di lemaskan pada posisi telentang (pronasi). Pasien di diminta untuk mengangkat tangan.
8= normal (pergerakan terisolasi penuh, tidak ada penurunan kekuatan)
6= pergerakan terisolasi penuh, ada penurunan kekuatan
4= pergerakan tidak terisolasi 2= pergerakan sedikit-
sedikit/lambat 0= tidak ada pergerakan
10. Jari: pasien diminta untuk mencubit dengan ibu jari dan telunjuk untuk melawan tarikan yang lemah.
8= kekuatan seimbang 4= kekuatan berkurang pada sisi
aktif 0= Jari tidak bisa mencubit pada
sisi aktif
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
No Komponen cara pemeriksaan
Hasil pemeriksaan Nilai
11. Kaki (mempertahankan posisi): pemeriksa mengangkat kaki pasien pada posisi yang aktif, dengan paha yang tegak lurus pada tempat tidur dan kaki yang lebih rendah sejajar pada tempat tidur. Pasien diminta untuk menutup mata dan mempertahankan posisi kaki selama 5 detik tanpa di alas.
4= kaki bisa diangkat tinggi dan dapat mempertahankan posisi selama 5 menit
2= kaki turun pada posisi tengah, dapat mempertahankan posisi selama 5 menit
1= kaki dapat mempertahankan posisi selama 5 menit lalu jatuh pada tempat tidur tetapi tidak secara tiba-tiba.
0= kaki jatuh tiba-tiba pada tempat tidur
12. Kaki (fleksi): pasien posisi telentang (supinasi) dengan kaki di bentangkan. Pasien diminta untuk menekuk pinggul dan lutut.
4= normal 3= bergerak melawan tahanan,
kekuatan menurun 2= bergerak melawan gravitasi. 1= bergerak perlahan 0= tidak ada gerakan
13. Dorsofleksi pada kaki: kaki pasien di bentangkan, pasien diminta untuk menekukkan punggu kaki.
8= normal (kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, tidak ada penurunan kekuatan)
6= kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, ada penurunan kekuatan
4= kaki dapat di bentangkan, pergerakan tidak penuh atau lutut fleksi atau kaki telentang
2= pergerakan perlahan 0= tidak ada gerakan
14. Gaya berjalan: Instruksikan pasien untuk berjalan seperti biasa dan lihat kondisi saat berjalan.
10= normal 8= gaya berjalan tidak normal
atau terbatas atau kecepatan terbatas
6= pasien dapat berjalan dengan bantuan
4= pasien dapat berjalan dengan batuan orang lain satu atau dua orang
2= pasien tidak dapat berjalan tapi dapat berdiri dengan bantuan
0= pasien tidak dapat berjalan/berdiri
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
LEMBAR KONSULTASI
Judul Penelitian : Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat
diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Mahasiswa : Dedi Damhudi.
Jurusan: Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal
Bedah
NPM: 0606037153
Pembimbing I: Dewi Irawaty, MA., PhD
No. Tanggal Materi konsul
Saran dan perbaikan Paraf
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
LEMBAR KONSULTASI
Judul Penelitian : Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat
diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di
RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Mahasiswa : Dedi Damhudi.
Jurusan: Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal
Bedah
NPM: 0606037153
Pembimbing II : Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS
No. Tanggal Materi konsul
Saran dan perbaikan Paraf
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
EFEKTIFITAS PENGKAJIAN METODE NIHSS DAN ESS
(FOKUS NEUROLOGI) DALAM MEMBUAT DIAGNOSA KEPERAWATAN AKTUAL PADA PASIEN STROKE BERAT FASE AKUT
DI RSUP FATMAWATI JAKARTA
Oleh :
DEDI DAMHUDI 0606037153
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2008
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008
Lampiran 7
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Dedi Damhudi Tempat & Tanggal Lahir : Tekarang, 26 Februari 1976 Alamat Rumah : Perumahan Dosen Akper Singkawang.
Jl. Dr. Sutomo No.46, RT. 32/RW.13, Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Singakwang. Kalimantan Barat. Kode Pos : 79123.
Telepon / HP : 085214422595 Email : [email protected] Asal Institusi : Poltekkes Pontianak, Jurusan Keperawatan Singkawang
Jl. Dr. Sutomo No.46, RT. 32/RW.13, Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Singkawang.
Kalimantan Barat. Kode Pos : 79123. Telp. (0562) 631917, Fax: (0562) 638884 Riwayat Pendidikan : 1. S-2 Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah FIK-UI, Angkatan tahun 2006 2. FIK-UI Jakarta, lulus tahun 2001 4. AKTA Mengajar IV, UT Pontianak, tahun 2003
5. Akper Muhammadiaya Pontianak, lulus tahun 1998 6. SMA Negeri 1, Tebas, lulus tahun 1994 7. SMP Negeri 1 Tebas, lulus tahun 1991 8. SD Negeri 27 Tebas, lulus tahun 1988
Riwayat Pekerjaan : 1. AKPER YARSI Pontianak, 2001 – 2002
2. Poltekkes Pontianak, Jurusan Keperawatan Singkawang 2002 - sekarang
Efektifitas pengkajian..., Dedi Damhudi, FIK UI, 2008