demokrasi dan politik desentralisasi

Upload: magdyhassan

Post on 10-Oct-2015

181 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

Demokrasi

TRANSCRIPT

  • 1

  • 2

    PRAKATA

    Demokrasi dan desentralisasi merupakan dua isu yang banyak dibicarakan dewasa ini. Keduanya saling terkait karena tanpa demokrasi, tidak akan ada desentralisasi. Sebaliknya, desentralisasi hanya akan menjadi sesuatu yang semu dan elitis tanpa diimbangi oleh praktik demokrasi di seluruh aspek kehidupan.

    Pemahaman tentang kedua konsep ini dapat membantu memahami dinamika praktik penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi disusunnya buku ini. Buku ini memuat kumpulan artikel dan makalah yang berisi gagasan dan pemikiran kedua penulis dalam memandang fenomena demokrasi dan politik desentralisasi dewasa ini.

    Terima kasih penulis sampaikan pada rekan-rekan peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran atas sumbang saran dan kritik yang memperkaya penulisan buku ini. Terima kasih penulis ucapkan secara khusus untuk Prof. Judistira K. Garna, Ph.D yang tidak pernah lelah menjadi teman diskusi dan banyak meminjamkan buku-buku yang membuka wawasan berpikir penulis. Untuk Eka Zulandari dan Ari Ganjar, terima kasih telah membantu selama proses penyuntingan buku ini, termasuk menyiapkan konsumsi penambah semangat kerja. Juga pada keluarga yang telah bersabar dan mencoba memaklumi penulis karena waktu dan perhatian yang terbagi selama penulisan buku ini.

  • 3

    Kritik dan saran sangat penulis harapkan sebagai umpan balik untuk menyempurnakan materi buku ini.

    Bandung, Agustus 2007

    Penulis

  • 4

    Prolog

    MENERJEMAHKAN DEMOKRASI DAN DESENTRALISASI

    Demokrasi dan desentralisasi adalah dua konsep yang saat ini tengah populer dalam wacana publik, khususnya di Indonesia. Pascareformasi, harapan publik tertumpu pada demokrasi sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit-penyakit kronis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokratisasi yang berlangsung di hampir seluruh belahan dunia membawa perubahan dalam berbagai aspek ketatanegaraan, baik sistem maupun aktor, termasuk dalam pola hubungan pusat dan daerah.

    Demokratisasi membawa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula sentralistis menjadi desentralistis. Implikasinya, terjadi pergeseran lokus kekuasaan, dari pusat ke daerah. Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi yang dimilikinya untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola sumber daya-sumber daya yang dimilikinya. Selama lebih dari 3 dekade, kekayaan alam yang dimiliki daerah tidak pernah dinikmati oleh masyarakat daerah yang bersangkutan. Kesenjangan sangat nyata terlihat di daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya, namun miskin penduduknya. Desentralisasi memberikan

  • 5

    harapan baru pada masyarakat di daerah-daerah tersebut sekaligus meningkatkan posisi tawar mereka manakala berhadapan dengan pemerintah pusat.

    Pada tataran aktor, desentralisasi membawa perubahan dengan lahirnya para pelaku baru dalam arena pertarungan kekuasaan. Implikasinya, terjadi perubahan dalam konfigurasi kekuasaan, yang semula didominasi para birokrat dan militer. Kelompok pengusaha yang awalnya berada di belakang layar mulai berani tampil dan turut bertarung memperebutkan jabatan-jabatan politik di daerah. Perjalanan otonomi daerah belakangan ini bahkan memunculkan pula figur tokoh-tokoh lokal, seperti jawara, kyai, kaum bangsawan setempat, dll sebagai pemain baru yang turut mempengaruhi relasi kekuasaan di daerah.

    Demokratisasi dan desentralisasi membawa perubahan signifikan dalam relasi kekuasaan menjadi lebih berimbang antara pusat dan daerah, maupun antara suprastruktur politik dengan infrastruktur politik. Peluang partisipasi masyarakat menjadi lebih besar, termasuk dalam mengontrol kebijakan-kebijakan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah. Peluang ini menjadi lebih besar setelah diterapkannya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada), sehingga masyarakat memiliki akses lebih besar untuk menentukan para pemimpinnya.

    Pada praktiknya, sistem pemilihan kepala daerah langsung ini memang tidak secara otomatis membawa perubahan yang lebih baik dalam tata kelola

  • 6

    pemerintahan daerah. Peluang money politics, manipulasi, politisasi adat dan ikatan primordial, serta mobilisasi massa tetap berlangsung. Para elit tetap berperan dominan dalam pilkada, minimal dalam menentukan pasangan calon yang akan berlaga dalam pilkada. Masyarakat hanya berperan dalam memberikan suara bagi para calon yang telah ditentukan para elit. Meskipun demikian, perlawanan masyarakat terhadap dominasi elit tetap ada. Tingginya persentase golput di sejumlah daerah mengindikasikan sikap apatisme masyarakat. Tuntutan akan calon independen, yang kemudian dikabulkan Mahkamah Konstitusi, juga mengindikasikan perlawanan masyarakat terhadap dominasi elit.

    Desentralisasi dan otonomi daerah tidak berhenti sampai pilkada. Justru keduanya baru bermakna ketika para pemimpin terpilih tersebut mulai bekerja, merancang kebijakan dan program untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya. Inilah saat untuk menilai keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah. Perubahan sistem dan aktor sebagai implikasi dari demokratisasi dan desentralisasi baru akan bermakna manakala diikuti dengan kebijakan dan program yang berorientasi pada kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, otonomi tidak berhenti pada pemerintah daerah, tapi sampai pada masyarakat di daerah.

    Demokratisasi sesungguhnya bermakna sebagai upaya daerah dalam menerjemahkan otonomi yang dimilikinya untuk mensejahterakan masyarakat. Daerah dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam menjabarkan kebebasan

  • 7

    dan kewenangan yang dimilikinya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Daerah-daerah seperti Solo, Sragen, Blitar, Jembrana, Solok, Banjar, dll telah membuktikan bahwa desentralisasi sungguh-sungguh dapat menjadi alat untuk bangkit dari keterpurukan dan kemiskinan.

    Daerah-daerah tersebut mampu menerjemahkan desentralisasi tidak hanya dalam bentuk transfer kewenangan antarlevel pemerintah, tapi juga dari pemerintah pada unsur non pemerintah. Melalui beragam model kemitraan, partisipasi publik dalam pengelolaan pelayanan publik meningkat. Melalui efisiensi anggaran, kualitas pelayanan publik dapat ditingkatkan sekaligus memberikan insentif untuk memotivasi kinerja aparat birokrasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan daerah-daerah tersebut dalam menerjemahkan desentralisasi ditentukan pula oleh kepemimpinan kepala daerahnya. Dalam jangka pendek, hal ini memang diperlukan untuk mengawali suatu perubahan, namun untuk menjamin kontinuitas perubahan ini, pembaharuan sistemik mutlak diperlukan agar desentralisasi tidak kembali diterjemahkan untuk kepentingan elit semata.

    Buku ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis dan dipublikasikan melalui media cetak maupun kegiatan-kegiatan seminar. Konsekuensinya, nuansa kasuistik memang sangat terasa dari setiap bagian yang tersaji. Namun, isu-isu yang disampaikan tetap relevan untuk menggambarkan wacana yang berkembang seputar demokratisasi dan desentralisasi. Isu-isu tentang politik budaya, politik ruang dalam penataan wilayah,

  • 8

    pengelolaan sumber daya lokal, relasi pusat dan daerah, serta pengelolaan keuangan daerah menjadi isu baru yang berkembang dalam semangat demokratisasi dan desentralisasi dewasa ini.

    Wacana praktik demokrasi di level nasional dan lokal mengawali pembahasan tentang perjalanan transisi demokrasi di Indonesia. Pada periode 2004 hingga 2006 yang menjadi konteks penulisan artikel-artikel pada buku ini, terdapat dua isu yang penting untuk menggambarkan proses demokratisasi tersebut, yakni penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah. Pemilu 2004 membawa harapan baru seiring dengan pemberlakuan sistem pemilihan yang memungkinkan masyarakat memilih secara langsung para anggota legislatif dan kepala eksekutif (presiden dan wakil presiden). Pembaharuan ini diharapkan dapat memulihkan esensi pemilu sebagai kontrak sosial yang mengikat pemimpin politik dengan konstituennya. Demikian pula di level lokal, akhirnya tuntutan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) dipenuhi melalui UU No. 32 Tahun 2004, sehingga masyarakat di daerah pun berperan semakin menentukan dalam memilih para kepala daerah dan wakilnya. Semangat reformasi dan demokratisasi secara prosedural terwadahi melalui perubahan sistem pemilu dan pilkada ini, meskipun pada praktiknya, dominasi elit ternyata masih kuat menentukan dinamika politik di level nasional dan lokal. Kondisi inilah yang seolah mengindikasikan bahwa demokrasi tengah mengalami stagnasi bahkan memunculkan kekhawatiran bahwa demokrasi gagal mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

  • 9

    Di level lokal pun, praktik pilkada kenyataannya tidak secara otomatis berdampak pada pembaharuan tata kelola pemerintahan daerah. Antara demokratisasi dan desentralisasi seolah ada missing link (keterputusan) dengan reformasi tata kelola pemerintahan daerah. Keterputusan akibat desentralisasi yang terhenti di level elit, sehingga ke depan, agenda perluasan ruang publik tampaknya menjadi urgen untuk segera dilakukan agar demokrasi dan desentralisasi tidak dibajak untuk kepentingan segelintir elit.

    Prinsip demokrasi yang mensyaratkan pengakuan akan keberagaman juga belum sepenuhnya terwujud. Praktik demokrasi di Indonesia justru masih diwarnai bangkitnya politik identitas, bahkan seiring dengan menguatnya otonomi daerah, etnosentrisme juga mewarnai relasi kekuasaan di daerah. Di sisi lain, globalisasi yang berkembang dewasa ini juga berdampak pada masuknya berbagai kepentingan global ke daerah. Semakin terbatasnya peran negara seringkali tidak diimbangi oleh penguatan kapasitas dan legitimasi pemerintah, sehingga yang berkembang adalah menguatnya identitas primordialistik, yang bila tidak dikelola dengan baik berpotensi menimbulkan konflik baik di level elit maupun massa. Strategi memadukan lokalitas dan globalisasi menjadi isu utama dalam wacana politik budaya dan otonomi daerah.

    Wacana kapasitas pemerintahan daerah tidak dapat dilepaskan dari kemampuan finansial daerah untuk membiayai penyelenggaraan urusan rutin maupun pembiayaan pembangunan. Isu pengelolaan keuangan

  • 10

    daerah masih menjadi wacana krusial dalam otonomi daerah. Isu ini tidak hanya terkait dengan otonomi pendapatan, tapi juga otonomi pembiayaan yang menjadi indikasi komitmen politik daerah dalam menangani permasalahan strategis di daerahnya. Kinerja anggaran menjadi salahsatu tolok ukur evaluasi otonomi daerah yang menggambarkan hubungan antara eksekutif dan legislatif, sekaligus mengindikasikan skala prioritas suatu daerah. Karena itu, pengembangan dan penerapan sistem penganggaran yang rasional dengan berbasis kinerja menjadi isu penting untuk mendukung otonomi daerah.

    Wacana kesenjangan pembangunan antardaerah juga menjadi tema penting dalam praktik desentralisasi dewasa ini. Kesenjangan pembangunan menjadi akar penyebab berkembangnya tuntutan pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru. Konsep penataan wilayah sesungguhnya tidak hanya berbicara mengenai pemekaran, karena pemerataan pembangunan pun dapat dilakukan melalui penggabungan daerah, pendelegasian kewenangan pada unit-unit pemerintahan yang lebih kecil, atau melalui pembaharuan manajemen pemerintahan daerah. Namun, rendahnya kepercayaan pada figur otoritas dan memuncaknya kekecewaan pada pemerintah induk menyebabkan tuntutan pemekaran seolah menjadi satu-satunya solusi bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah. Selain itu, wacana penataan wilayah juga berdimensi politis manakala dikaitkan dengan hubungan antardaerah. Kasus megapolitan menggambarkan sulitnya mengelola dinamika perkembangan kota yang berlangsung sangat

  • 11

    cepat. Di sini, pemerintah dituntut untuk mampu mengimbangi perubahan sosial tersebut dengan kebijakan penataan wilayah yang responsif dan antisipatif, termasuk akomodatif terhadap berbagai kepentingan yang ada di balik penataan wilayah.

    Bagian akhir dari buku ini membahas isu politik desentralisasi dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya lokal. Potensi daerah merupakan modal utama bagi berjalannya otonomi daerah, namun pada praktiknya, pengelolaan sumber daya lokal tidak selalu menguntungkan masyarakat. Dalam banyak kasus, banyak daerah yang kaya akan sumber daya alam, penduduknya justru miskin dan mengalami ketertingalan dalam pembangunan dan kualitas pelayanan publik. Pengelolaan sumber daya lokal yang cenderung kapitalis, justru menyebabkan masyarakat semakin marginal dan akhirnya berpotensi memunculkan konflik berkepanjangan. Persaingan yang tidak seimbang antara pelaku pasar modern dengan pasar tradisional serta kasus-kasus pengelolaan potensi pertambangan yang malah menyebabkan kerusakan lingkungan, merupakan membuktikan bahwa pengelolaan sumber daya lokal memerlukan komitmen dan keberpihakan pemerintah daerah terhadap kepentingan masyarakat secara berkelanjutan. Komitmen dan keberpihakan ini seyogianya terlihat pada kebijakan publik yang dirumuskan, dalam pengalokasian anggaran, serta dalam standarisasi pelayanan publik yang akan menjamin bahwa masyarakat akan mendapat kompensasi yang layak dari pemanfaatan sumber daya lokal yang dimiliki daerah.

  • 12

    Membaca wacana yang berkembang tersebut, nyatalah bahwa ruang lingkup demokratisasi dan desentralisasi telah berkembang pesat. Memahami otonomi daerah tidak bisa sekedar menggunakan kacamata lokal, tapi juga kacamata global. Tidak bisa lagi berbasis perspektif birokrat atau teknorat, tetapi harus dari perspektif seluruh aktor. Tidak bisa lagi memahami daerah secara parsial, tapi saling terkait dalam suatu kerangka regionalisme. Karena itu, dalam menerjemahkan demokrasi dan desentralisasi, diperlukan paradigma baru yang multiperspektif dan sistemik, sehingga berbagai inovasi dalam pembaharuan pemerintahan daerah dapat terjamin kesinambungannya.

    Bandung, Agustus 2007

  • 13

    DAFTAR ISI

    PRAKATA

    Prolog MENERJEMAHKAN DEMOKRASI DAN DESENTRALISASI

    DAFTAR ISI

    DAFTAR TABEL

    DAFTAR GAMBAR

    DAFTAR KOTAK

    BAGIAN PERTAMA DEMOKRASI NASIONAL DAN LOKAL

    1. Pemilu: Kemajuan atau Kemunduran 2. Demokrasi Jalan di Tempat: Evaluasi dan Refleksi

    Kehidupan Politik Tahun 2005 dan Prospek Tahun 2006

    3. Refleksi Akhir Tahun 2006: Demokrasi tanpa Ruang Publik

    4. Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung: Relevansi Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah dan Demokratisasi Politik Lokal

    5. Telaah Kritis UU No. 32 Tahun 2004 dan Prospek Pilkada

    6. Melacak Missing Link Dinamika Politik Lokal dan Reformasi Tata Kelola Pemerintahan Daerah

    7. Media dan Pemerintahan Bersih

  • 14

    BAGIAN KEDUA POLITIK BUDAYA DAN OTONOMI DAERAH

    1. Membangkitkan Semangat Multikulturalisme sebagai Budaya Politik di Jawa Barat

    2. Politik Identitas dalam Kerangka Otonomi Daerah: Konflik Etnis dan Resolusi Konflik Berbasis Governance

    3. Kebangkitan Lokal Menjawab Tantangan Globalisasi: Revitalisasi Nilai-nilai Budaya Sunda bagi Penciptaan Local Good Governance di Jawa Barat

    4. Otonomi Daerah dan Tantangan Globalisasi

    BAGIAN KETIGA PENATAAN WILAYAH

    1. Konsep dan Implementasi Pembentukan (Penggabungan dan Pemekaran) Daerah dan Kawasan Khusus

    2. Kawasan Megapolitan Jakarta 3. Megakepentingan dalam Megapolitan

    BAGIAN KEEMPAT POLITIK KEUANGAN DAERAH

    1. Pemikiran Ulang (Rethingking) dalam Penyusunan Anggaran Kinerja yang Rasional

    2. Sistem Keuangan Daerah yang Akuntabel dalam Implementasi Otonomi Daerah

    3. Optimalisasi Peran DPRD dalam Pengelolaan Keuangan Daerah berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2005

  • 15

    BAGIAN KELIMA POLITIK DESENTRALISASI DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LOKAL

    1. Aspek Sosial dalam Konflik Pengelolaan Sumberdaya Pertambangan dan Alternatif Penyelesaiannya

    2. Menggagas Model Revitalisasi Pasar Tradisional: Studi terhadap Implementasi Perda No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung

    3. Membumikan Proses Perumusan Peraturan Daerah 4. Strategi Membiayai Pendidikan 5. Kajian Penyusunan Kelembagaan Perangkat Daerah

    Berbasis Kinerja dan Potensi Daerah (Performance and Local Potency Based Organization)

    6. Mengukur Kinerja Pelayanan Publik melalui Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM)

    Epilog MASA DEPAN DEMOKRASI DAN DESENTRALISASI

    DAFTAR PUSTAKA

  • 16

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1 Kondisi Sosial Pemicu Konflik

    Tabel 2 Bidang Kewenangan, Skor, dan Rekomendasi Pembentukan Unit

    Tabel 3 Makna Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat

    Tabel 4 Nilai Unsur-unsur Pelayanan di 25 Kabupaten/Kota di Jawa Barat

    Tabel 5 Indeks Kepuasan Masyarakat per Kabupaten/Kota

    Tabel 6 Klasifikasi Kualitas Pelayanan Kesehatan

  • 17

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1 Tipologi Model Demokrasi

    Gambar 2 Alur Penyusunan RAPBD

    Gambar 3 Pendekatan dalam Memandang Konflik

    Gambar 4 Proses Transformasi Konflik

    Gambar 5 Penataan Kelembagaan Berbasis Potensi

    Gambar 6 Keterkaitan Unsur-unsur Pelayanan yang termasuk Indeks Terendah

  • 18

    DAFTAR KOTAK

    Kotak 1 Pertanyaan yang sebaiknya Diajukan DPRD

    Kotak 2 Penyusunan Prioritas Anggaran

    Kotak 3 Panduan Pemetaan Konflik: Analisis Konflik

  • 19

    BAGIAN PERTAMA

    DEMOKRASI NASIONAL DAN LOKAL

  • 20

    PEMILU, KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN?

    Pemilu 2004 akan menjadi ajang bagi rakyat Indonesia untuk bersama-sama menghadiri dan menjadi pelaku "pesta demokrasi" untuk memilih wakil-wakilnya di legislatif dan eksekutif. Pemilu kali ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, di mana rakyat hanya memilih anggota legislatif di DPR maupun DPRD dengan cara memilih tanda gambar partai politik peserta pemilu. Kali ini, ada dua agenda pemilu yakni pemilu legislatif dan pemilu kepala eksekutif (presiden dan wakil presiden).

    Agenda pertama, pemilu legislatif, bukan hanya memilih para wakil rakyat melalui tanda gambar partai politik peserta pemilu, namun juga memilih nama orang calon legislatif yang diajukan parpol peserta pemilu. Pemilu legislatif kali ini pun akan memilih calon yang akan mengisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang keberadaannya diharapkan mewakili wilayah provinsi dan menyuarakan kepentingan daerah kelak pada pembuatan kebijakan nasional.

    Sedangkan agenda kedua, pemilu kepala eksekutif, rakyat akan memilih pemimpin tertinggi eksekutif yakni presiden dan wakil presiden secara langsung. Suatu perubahan yang secara prosedural termasuk signifikan sebagai realisasi dari semangat reformasi dan demokratisasi.

    Keseluruhan tahap pemilu tersebut dilaksanakan secara langsung, di mana rakyat memilih partai dan figur

  • 21

    kandidat yang akan menjadi anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan secara langsung diharapkan dapat meminimalkan praktik money politics maupun kecurangan-kecurangan lain yang selama ini menjadi kekurangan dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Pada intinya, pemilihan secara langsung dinilai lebih demokratis karena rakyat tidak lagi seolah-olah "memilih kucing dalam karung", tetapi rakyat dapat menentukan siapa calon yang paling disukainya.

    Perbedaan tersebut diharapkan mampu membangkitkan gairah partisipasi politik masyarakat dan di sisi lain turut membantu memulihkan kepercayaan publik pada pemerintahan yang terbentuk kemudian. Karenanya, tidak mengherankan bila Pemilu 2004 kemudian menjadi sangat fenomenal dan "ditunggu-tunggu" pelaksanaannya.

    Meskipun di pihak lain, masih terdapat sikap apatis bahkan skeptis terhadap efektivitas penyelenggaraan pemilu dalam memulihkan kondisi Indonesia, seperti yang tergambar dalam sejumlah demonstrasi yang menolak Pemilu 2004 atau semakin menguatnya gerakan "Golput" sebagai reaksi terhadap kemunculan tokoh-tokoh politisi "hitam" sebagai calon-calon anggota legislatif dan eksekutif.

    Pemilu memang bukanlah obat mujarab bagi semua "penyakit" yang diderita Indonesia paskareformasi. Pemilu hanyalah salah satu media untuk mengubah dan melembagakan aturan main yang lebih demokratis dalam tata pemerintahan. Pemaknaan inilah

  • 22

    yang tampaknya tereduksi sehingga pemilu kemudian hanya menjadi pilihan antara mencoblos dan tidak mencoblos, tanpa ada kejelasan makna di balik sikap tersebut.

    Pemilu seharusnya tidak menjadi akhir dari proses pembelajaran demokrasi, namun sebaliknya menjadi awal untuk melakukan perubahan struktur dan praktik bernegara dan bermasyarakat ke arah yang lebih demokratis. Pertanyaannya, apakah Pemilu 2004 nanti mampu menjadi awal bagi kemajuan pelembagaan demokrasi atau sebaliknya justru memperlemah demokratisasi, baik dalam tataran nasional maupun lokal.

    Hakikat Pemilu: Pembaruan Kontrak Sosial

    Dalam negara yang menerapkan demokrasi sebagai prinsip penyelenggaraan pemerintahan, pemilu merupakan media bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya. Secara ideal, pemilu atau general election bertujuan agar terselenggara perubahan kekuasaan pemerintahan secara teratur dan damai sesuai dengan mekanisme yang dijamin oleh konstitusi.

    Dengan demikian, pemilu menjadi prasyarat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara demokratis sehingga melalui pemilu sebenarnya rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan: pertama, memperbarui kontrak sosial; kedua, memilih pemerintahan baru; dan ketiga menaruh harapan baru dengan adanya pemerintahan baru.

  • 23

    Istilah kontrak umumnya dikenal dalam ilmu hukum dan ekonomi yang mengandung makna sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih yang setara, di mana kedua belah pihak menyepakati sejumlah persyaratan yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam kajian Ilmu Politik, istilah kontrak digunakan oleh J.J. Rousseau (kontrak sosial) untuk menyebutkan konsep negara yang dilandasi perjanjian antara pemerintah dan yang diperintah.

    Namun, hakikat maknanya sama dengan kontrak dalam ilmu hukum maupun ilmu ekonomi, yakni adanya pihak-pihak yang bersepakat mengadakan perjanjian untuk mencapai tujuan bersama.

    Sebagai suatu bentuk kontrak sosial, pemilu memuat perjanjian antara rakyat dengan mereka yang diberi mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Kontrak ini dibuat dengan partai pemenang pemilu sebagai bukti bahwa program-programnya sesuai dengan aspirasi rakyat. Ketika seseorang memberikan suaranya pada salah satu partai atau kandidat, maka hakikatnya suara tersebut menjadi simbol persetujuan rakyat terhadap program-program partai atau kandidat yang bersangkutan.

    Sebagai konsekuensi dari kontrak sosial yang baru tersebut, maka akan terbentuk pemerintahan baru yang terdiri dari mereka yang terpilih dalam pemilu. Pemerintahan baru inilah yang kemudian akan bekerja sesuai dengan kontrak yang telah disepakati dalam pemilu. Sebagai suatu kontrak, idealnya rakyat telah

  • 24

    mengetahui isi dari kontrak tersebut sehingga bersedia mengikatkan diri dengan pihak lainnya.

    Karenanya, transparansi selama proses pemilu menjadi nilai prinsipil yang tidak mungkin diabaikan. Kejelasan ideologi, tujuan, program, serta cara partai politik atau kandidat melaksanakan program tersebut untuk mencapai tujuan menjadi elemen-elemen penting yang harus diketahui selama proses kampanye berlangsung.

    Rotasi kekuasaan yang tercermin dari terbentuknya pemerintahan baru akan membawa harapan baru bagi rakyat, yakni harapan bahwa penyelenggaraan pemerintahan akan lebih berpihak pada rakyat sebagaimana telah disepakati dalam kontrak sosial. Karena didasari oleh suatu kontrak, maka asumsinya kedua belah pihak saling percaya sehingga terbentuknya pemerintahan baru ini akan memperoleh legitimasi politik dalam bentuk kepercayaan sebagian besar rakyat.

    Legitimasi politik ini diperlukan selama masa pemerintahannya untuk menjalankan program-program yang telah disepakati dalam kontrak. Di sisi lain, legitimasi politik yang diperoleh akan menjadi dasar yang kuat untuk membangkitkan dukungan dan komitmen seluruh komponen negara dan masyarakat.

    Dengan demikian, hakikat pemilu jauh lebih dalam dibanding sekadar memberikan suara. Setiap suara yang diberikan sangat bermakna bagi terbentuknya pemerintahan baru yang legitimas, suatu pemerintahan

  • 25

    yang dipercaya dan didukung rakyatnya. Pemilu tidak berakhir ketika seseorang sudah memberikan suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS), tapi lebih jauh lagi, pemilu hanyalah awal dari terbentuknya hubungan penguasa dengan pemegang kedaulatan (yakni rakyat) yang sederajat.

    Pemilu Sebagai Bentuk Rekayasa Sosial

    Istilah "rekayasa sosial (social engineering)" seringkali dipandang negatif karena lebih banyak digunakan untuk menunjuk perilaku yang manipulatif. Padahal, secara konseptual, istilah "rekayasa sosial" adalah suatu konsep yang netral yang mengandung makna upaya mendesain suatu perubahan sosial sehingga efek yang diperoleh dari perubahan tersebut dapat diarahkan dan diantisipasi. Konsep rekayasa sosial, dengan demikian, menunjuk pada suatu upaya mendesain atau mengkondisikan terjadinya perubahan struktur dan kultur masyarakat secara terencana.

    Jika dikaitkan dengan pemilu, maka konsep ini akan menjadi relevan untuk mendorong pelembagaan nilai-nilai demokrasi dalam struktur dan kultur masyarakat. Pemilu jangan hanya dimaknai dalam perspektif politik sebagai media kompetisi untuk memperoleh kekuasaan, namun juga sebagai media untuk pendidikan politik di mana para pihak yang terlibat belajar untuk mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi.

  • 26

    Nilai-nilai demokrasi, antara lain menghendaki adanya desentralisasi atau pemencaran kekuasaan dalam segenap aspek kehidupan. Desentralisasi mengandung makna yang luas, bukan hanya dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, namun juga hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah. Desentralisasi menghendaki agar kekuasaan didistribusikan sehingga pelaksanaan suatu urusan dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan responsif.

    Tetapi, dalam praktiknya, desentralisasi ternyata hanya menyentuh level birokrasi pemerintahan karena kenyataannya dalam Pemilu 2004 ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu justru berperilaku sentralistik. Strategi KPU dalam menangani persoalan-persoalan teknis penyelenggaraan pemilu cenderung sentralistik, misalnya soal pencetakan kertas suara, kotak suara, dan logistik pemilu masih dikelola secara terpusat oleh KPU Pusat. Padahal, urusan-urusan teknis semacam ini akan lebih mudah diselenggarakan kalau KPU Pusat mau mendesentralisasikan urusan-urusan tersebut kepada KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

    KPU pusat tetap berperan dalam menentukan standar kualitasnya sehingga produk yang digunakan tetap otentik. Yang namanya autentik tidak harus dipahami sama dengan dicetak dari Jakarta tetapi memenuhi standar yang ditetapkan. Standadisasi dapat lebih mengefektifkan kinerja KPU Pusat dan di sisi lain juga memberikan tanggungjawab dan peran yang lebih besar bagi KPU Daerah untuk proaktif. KPU daerah

  • 27

    tidak perlu lagi "harap-harap cemas" manakala permasalahan logistik dan teknis mengalami kendala, seperti terlambat tiba di daerah atau jumlah yang kurang dengan permintaan daerah. Pemilu seyogianya mengkondisikan seluruh pihak yang terlibat untuk belajar berbagi peran sehingga tidak semuanya harus berpusat pada salah satu aktor atau salah satu lokus (Pusat).

    Mengembalikan Pemilu Pada Rakyat

    Pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa pemilu belum diarahkan untuk kepentingan rekayasa sosial dan lebih sebagai alat legitimasi politik. Sehingga rasanya tidak berlebihan jika Pemilu 2004 nantinya bisa lebih berperan sebagai rekayasa sosial yang berorientasi pada kepentingan rakyat.

    Berbagai peraturan dan praktik penyelenggaraan Pemilu 2004 seharusnya didesain untuk semakin mendewasakan seluruh komponen bangsa dan negara sehingga masing-masing mengetahui perannya. Inilah langkah awal yang harus dilakukan untuk mengondisikan elite dan massa untuk berperilaku lebih demokratis.

    Pemilu 2004 bukanlah projek segelintir elite, tapi projek besar seluruh rakyat Indonesia. Sudah saatnya pengelolaan seluruh kegiatan dalam Pemilu 2004 didasarkan pada prinsip kemitraan sehingga tidak ada salah satu pihak yang dominan. Dengan prinsip

  • 28

    kemitraan ini, rakyat di level grass root maupun institusi-institusi di level lokal dapat berperan lebih signifikan dan proaktif.

    Karenanya, marilah mengembalikan pemilu pada rakyat agar Pemilu 2004 tidak menjadi langkah mundur bagi pelembagaan demokrasi. Apakah Pemilu 2004 kali ini merupakan progress (perubahan ke arah yang lebih maju dan lebih baik) ataukah regress (perubahan ke arah kemunduran dan lebih buru)? biarlah waktu dan sejarah yang menjawabnya. Wallahualam.

    ---***---

  • 29

    DEMOKRASI JALAN DI TEMPAT: Evaluasi dan Refleksi Kehidupan Politik

    Pasca-Orde Baru

    Demokrasi tampaknya masih menjadi isu paling hangat selama kurun waktu pasca berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Pembicaraan mengenai demokrasi dan demokratisasi seolah semakin menguat seiring dengan dimulainya era pilkada langsung pertengahan tahun ini. Banyak harapan besar bahwa melalui proses ini, akan melahirkan figur pemimpin yang lebih baik, lebih kompeten, lebih dapat dipercaya, dan lebih memahami kebutuhan rakyat. Namun, sepertinya kita masih memerlukan waktu lebih panjang untuk dapat memetik buah perjalanan demokrasi tersebut.

    Pada kenyataannya, sepanjang kurun waktu 1998 hingga kini, kita disuguhi berbagai peristiwa politik yang menakjubkan, yang seringkali sulit untuk bisa diterima akal sehat. Banyak fenomena politik yang sulit untuk dicari penjelasannya, apalagi penjelasan ilmiah yang bersumber dari buku-buku teori politik. Fenomena politik yang terjadi di Indonesia, baik di level lokal maupun nasional seolah-olah berjalan dengan logikanya sendiri, terlepas dari asumsi-asumsi ilmiah yang selama ini menjadi acuan. Pilkada langsung misalnya, ternyata tidak memunculkan para kandidat yang sesuai dengan harapan masyarakat banyak. Isu-isu kampanye yang diusung pun masih berkisar pada janji-janji manis yang sulit diwujudkan. Partai politik sebagai salahsatu instrumen demokrasi tidak banyak berubah, masih belum

  • 30

    berfungsi dengan optimal. Kenyataan inilah yang membuat banyak kalangan cenderung bersikap apatis bahkan pesimis dalam menilai perjalanan kehidupan politik sepanjang hampir satu dekade pasca-Orde Baru nanti.

    Kehidupan politik dan kehidupan ekonomi dinilai masih berjalan di relnya masing-masing. Tidak ada titik temu yang menyebabkan masyarakat masih menilai bahwa praktik demokrasi dalam berbagai peristiwa politik di level nasional maupun lokal tidak memiliki korelasi dengan perbaikan kesejahteraan ekonomi. Banyak event politik disikapi dengan apatisme publik yang terungkap melalui opini bahwa siapa pun yang terpilih sebagai pemimpin politik tidak apa-apa, asalkan dapat membuat harga barang-barang kebutuhan hidup menjadi turun.

    Perjalanan politik sepanjang satu windu menjadi bahan perenungan bahwa masih terjadi kesenjangan di antara harapan dan kenyataan, di antara teori dan praktik berdemokrasi di Indonesia. Demokrasi masih menjadi sebatas wacana yang lebih banyak didiskusikan dan diperdebatkan, belum dipraktikan sebagai aturan main yang disepakati bersama. Hal ini masih terjadi akibat belum tercapainya kesepakatan mengenai demokrasi. Masih timbul keraguan bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan.

  • 31

    Jebakan Demokrasi

    Berdirinya suatu negara dan terbentuknya suatu pemerintahan sebagai pelaksana negara didasari oleh tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi para warganya. Dalam rangka mencapai tujuan inilah, demokrasi (dan varian-variannya) dipandang sebagai suatu cara atau mekanisme yang paling baik dibandingkan mekanisme lainnya, seperti otoritarianisme, fasisme, dan sejenisnya. Namun, pada kenyataannya, dari seluruh negara yang memilih untuk menerapkan demokrasi ternyata mengalami tingkat kesejahteraan dan kemakmuran yang sangat berbeda. Permasalahan-permasalahan seperti kemiskinan, pemerataan kemakmuran, korupsi, kesenjangan ekonomi, kesehatan yang buruk, lemahnya pendidikan, dan lain-lain masih menjadi momok yang dialami negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia yang baru belajar menerapkan demokrasi.

    Kebijakan politik, baik nasional maupun lokal masih mendistorsi upaya-upaya pemulihan ekonomi, padahal secara historis, pengalaman di negara-negara lain demokrasi justru mendorong pertumbuhan ekonomi. Idealnya, demokrasi akan mengarah pada pencapaian kesejahteraan karena demokrasi akan memperluas akses publik untuk memperoleh barang-barang publik (public goods), seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan per kapita, perluasan kesempatan kerja, dll. Namun, yang terjadi sekarang, sepertinya penerapan demokrasi di Indonesia belum menunjukkan keterkaitan dengan pencapaian kesejahteraan.

  • 32

    Kegagalan demokrasi dalam mewujudkan kesejahteraan ini disebabkan oleh dua hal, yakni anomali dalam sistem dan perilaku aktor yang terlibat. Praktik demokrasi yang dijalankan sekarang ini baru sebatas prosedural dan formal, masih jauh dari substansial. Indikasinya, institusi demokrasi yang ada hanya dikuasai segelintir elit politik sehingga praktik demokrasi bergeser menjadi oligarki elit-elit strategis. Politik desentralisasi yang dijalankan baru sebatas elit dan parpol, belum sampai ke massa atau rakyat/warga, sehingga otonomi daerah cenderung oligarkhis pelaksanaannya. Kondisi ini mengakibatkan akses rakyat/warga terhadap pengambilan keputusan strategis, misalnya dalam penetapan APBN dan APBD hampir tidak ada. Artinya, rakyat masih tetap ada di pinggiran di dalam proses berpemerintahan dan tetap menempati posisi marginal.

    Sementara dari dimensi perilaku aktor politik, orientasi para pelaku politik sekarang ini cenderung mengalami pergeseran, dari yang semula didasari oleh orientasi ideologis menjadi sekedar orientasi pragmatis yakni untuk memperoleh kekuasaan dan menggunakannya untuk kepentingan kelompoknya. Secara substantif, tidak ada pelembagaan budaya demokrasi baik di kalangan elit maupun massa. Sekalipun pada praktiknya, proses politik dapat diibaratkan seperti transaksi (pertukaran sumberdaya), namun yang terjadi saat ini, transaksi tersebut lebih banyak menguntungkan segelintir elit. Masyarakat tidak memperoleh kemudahan untuk mempengaruhi secara langsung penyediaan barang dan jasa publik yang akan

  • 33

    mereka nikmati. Keluhan dan aspirasi hanya dapat disalurkan melalui perwakilan (partai politik dan anggota legislatif), sementara kedua agen perantara tersebut pada praktiknya belum sungguh-sungguh berperan sebagai representasi rakyat. Karenanya, kebijakan yang dilahirkan dari proses politik ini pun hanya mencerminkan preferensi para elit, bukan preferensi publik secara umum. Masyarakat tidak berdaya untuk dapat mengakses dan memilih pejabat dan barang publik yang diinginkan selain yang disodorkan oleh partai dan yang dipengaruhi oleh kelompok kepentingan.

    Penyelenggaraan pemerintahan cenderung terpaku pada konsep-konsep dan paradigma ala Barat, yang tanpa disadari, bermuatan jebakan neoliberalisme. Di Jawa Barat misalnya, penerapan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-Human Develompent Index (HDI)- sebagai indikator makro keberhasilan kinerja politik, pemerintahan, dan pembangunan terlalu simplistis dan tidak kritis dasar teoretiknya sebagai argumentasi pemilihan kebijakan tersebut, sehingga tanpa disadari politik lokal dan ekonomi politik di tingkat lokal Jawa Barat masuk ke dalam perangkap pemikiran neoliberal.

    Akibatnya, program akselerasi pencapaian IPM 80 pada tahun 2010 yang dicanangkan Gubernur Jawa Barat saat ini akan sulit diwijudkan karena framework dan metodologinya tidak terlalu jelas. Karena itu, otoritas di Jawa Barat dalam hal ini eksekutif dan legislatif harus cepat melakukan reposisi dan readjustment mengenai kebijakan politik dan

  • 34

    ekonominya, termasuk melakukan revisi penggunaan IPM sebagai indikator kinerja capaian politik, pemerintahan, dan pembangunan. IPM sebenarnya hanyalah merupakan impact dari kinerja politik dan ekonomi bukan tujuan itu sendiri. Kesejahteraan dan keadilan sosial adalah tujuan setiap kebijakan politik dan ekonomi bagi suatu negara dan daerah.

    Prospek Demokrasi dan Politik Desentralisasi

    Berangkat dari evaluasi perjalanan politik dan pemerintahan selama hampir satu dekade pasca-Orde Baru, bisa jadi sikap yang muncul adalah pesimisme. Namun, mengingat politik dan pemerintahan merupakan kondisi yang dinamis maka pertumbuhan demokrasi pun akan senantiasa dapat diubah ke arah yang lebih baik. Karena itu, optimisme perlu terus ditumbuhkan bahkan dipertahankan sebagai langkah awal dalam pelembagaan nilai-nilai demokrasi. Tentu saja, optimisme yang dikembangkan bukan optimisme buta, tapi tetap memperhatikan rambu-rambu agar perjalanan politik dan pemerintahan di tahun mendatang menjadi lebih fokus terhadap pencapaian kesejahteraan bersama.

    Kehidupan politik nasional maupun lokal tidak akan ada perubahan yang signifikan bila pertama, rezim terlalu tunduk pada agenda neoliberal yang dijalankan lembaga-lembaga donor yang memanfaatkan badan-badan PBB untuk melakukan penetrasi kebijakan politik dan ekonomi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kedua, kultur demokrasi tidak segera ditumbuhkan di kalangan elit maupun massa/warga melalui pendidikan politik kewargaan (civic education)

  • 35

    yang kritis terhadap pemerintahan dan elit-elit, yang dapat menyadarkan akan hak-hak dan kewajiban sebagai warga. Ketiga, rule of law dan penegakan hukum yang masih diskriminatif, sehingga tidak ada kepastian dan ketegasan aturan main yang mengikat para pelaku. Penegakan hukum diperlukan agar trust (kepercayaan) publik dapat dipulihkan dan legitimasi pemerintah dapat diperkuat. Keempat, bila tidak ditumbuhkan moral hazard dalam praktik politik, pemerintahan, dan pembangunan, maka perilaku elit politik dan elit ekonomi akan semakin jauh dari tujuan pokok, yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial (social justice). Etika politik harus menjadi agenda utama untuk dijalankan oleh para pejabat publik, baik di eksekutif, legislatif, judikatif maupun lembaga-lembaga yang mengurusi urusan-urusan publik. Dengan kata lain, perlu ada keberpihakan politik dan kedewasaan berpolitik, khususnya dari para elit sebagai pendorong demokratisasi.

    Kita masih harus mengakui bahwa demokrasi, desentralisasi dan otonomi daerah yang dijalankan di Indonesia saat ini bukan merupakan hasil (the end), namun merupakan proses yang berkelanjutan. Karenanya, harus terus diperjuangkan ke arah yang lebih baik dan lebih mensejahterakan rakyat sebagai tujuan akhir dijalankannya pilihan politik tersebut. Tampaknya inilah yang harus menjadi harapan bagi kita dalam menatap perjalanan politik satu dekade mendatang, sehingga demokrasi tidak lagi mengalami kegagalan.

    ---***---

  • 36

    DEMORASI TANPA RUANG PUBLIK

    Tanpa terasa, hampir satu dekade sudah terlewati perjalanan panjang Indonesia menempuh kehidupan berbangsa dan bernegara dengan segala dinamikanya. Dari sejumlah peristiwa yang terjadi pada satu dekade pascs-Orde Baru, sebagian merupakan agenda tak terpikirkan sebelumnya, dan sebagian yang lain merupakan pemantapan kehidupan demokrasi. Sementara itu sisanya adalah lanjutan dari perjalanan reformasi yang rangkaiannya dimulai 1998/1999 yang lalu. Ada baiknya bila kita bersyukur. Persoalan berat pasca rezim Soeharto, berhasil kita lampaui dengan baik. Saat ini, banyak orang pesimis dengan beberapa agenda demokrasi, seperti potensi konflik dalam pilkada, penyelenggaraan pilkada pertama di Aceh yang diduga akan membahayakan posisi NKRI, sementara itu TNI akan pasang kuda-kuda untuk mengambil alih. Tapi nyatanya, konflik yang diperkirakan itu nihil adanya. Banten dan Aceh sukses memilih sepasang pemimpinnya, tanpa gejolak.

    Persoalan fundamental berupa tuntutan akan reformasi birokrasi pemerintahan semakin kuat dan tegas. Demikian pula dengan sektor hukum. Penegakan hukum, pemberantasan KKN, perluasan ruang publik, intelijen negara, sampai sejauhmana intervensi negara dalam kehidupan privat adalah sejumlah isu yang berkembang sepanjang tahun ini.

    Reformasi memang sebuah momentum yang tidak mudah berulang, namun pelembagaan demokrasi sebagai kelanjutan dari reformasi adalah proses yang tidak berkesudahan. Apakah selama sepuluh tahun ke depan akan ada perkembangan signifikan dalam demokratisasi, atau sebaliknya nanti demokrasi kehilangan popularitasnya? Apa prakondisi yang diperlukan untuk menjaga agar reformasi

  • 37

    tetap berjalan di atas rel demokrasi ? Bagaimana proyeksi Indonesia sepuluh tahun ke depan: stagnan, maju, atau bahkan kembali ke era demokrasi semu?

    Permasalahan Krusial Agenda Reformasi

    Banyak agenda reformasi yang masih belum selesai digarap. Di bidang hukum, terjadi reduksi makna hukum. Hukum hanya sebatas peraturan perundang-undangan, prosedur menjadi lebih menonjol dibanding keadilan substansi. Orang bila tidak ikut prosedur dianggap salah, sehingga prosedur kemudian menjadi hukum itu sendiri, tidak melihat komitmen dan tujuan dibuatnya hukum sebagai upaya mewujudkan keadilan. Permasalahan semakin rumit ketika para penegak hukum pun mengalami dekadensi moral. Hukum digunakan sebagai justifikasi dan aplogi untuk melindungi kepentingan sekelompok orang. Politik penegakan hukum masih stagnan, seperti tergambar dari pemberantasan korupsi yang masih jalan di tempat. Kesadaran hukum masih rendah, partisipasi cenderung sebatas mobilisasi, dan tuntutan penegakan hukum masih bersifat individual atau kelompok.

    Di bidang politik dalam negeri, reformasi birokrasi masih belum optimal. Alih-alih menghasilkan birokrat yang profesional, kinerja birokrasi yang efektif dan efisien, dan pelayanan yang lebih optimal, pembenahan birokrasi justru memunculkan masalah baru. Kontroversi mengenai UKP3R yang dibentuk dan kemudian dibubarkan lagi sebelum bertugas, merupakan contoh paling konkret kompleksnya masalah pembenahan birokrasi. Presiden sebagai pemimpin politik sekalipun tidak berdaya menghadapi kungkungan mesin birokrasi yang bergerak dengan logika dan kepentingannya sendiri. Birokrasi tumbuh menjadi

  • 38

    bureaucratic polity (otoritarianisme yang ditopang oleh birokrasi), bekerja untuk melayani kepentingan elit, beretos kerja rendah dan manajerial yang tidak tertata dengan baik, berwajah paternalistik, dan ditopang oleh KKN. Maka, tidak mengherankan bila pembenahan birokrasi di level lokal pun tidak banyak membuahkan hasil signifikan. Memang ada beberapa contoh daerah yang mampu mengefisienkan dan mengefektifkan kinerja birokrasinya, namun keberlanjutannya masih menjadi tanda tanya besar.

    Sebagai cerminan kondisi di dalam negeri, politik luar negeri Indonesia pun masih menghadapi sejumlah persoalan. Politik luar negeri eksklusif, terpisah dari yang lain. Pengelola politik luar negeri terpisah dari departemen lainnya, mengindikasikan ketiadaan koordinasi antarsektor. Upaya diplomasi belum diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan krusial dalam negeri. Kasus Aceh menjadi contoh buruknya kinerja diplomasi politik luar negeri Indonesia. Banyaknya kunjungan Presiden ke luar negeri untuk mencari investasi asing juga dipandang belum berpengaruh secara signifikan terhadap perbaikan ekonomi dalam negeri. Politik luar negeri Indonesia di masa mendatang seyogianya diarahkan untuk membangun citra positif Indonesia di mata dunia, sehingga seharusnya ada keterkaitan antardepartemen.

    Kemiskinan dan pengangguran menjadi dua indikator lemahnya kinerja pembangunan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Pertumbuhan ekonomi memang meningkat, namun, belum diimbangi pemerataan. Laju pertumbuhan ekonomi pun masih didominasi oleh konsumsi, bukan oleh peningkatan kapasitas produksi. Meningkatnya upah minimum regional diprediksi akan menambah jumlah pengangguran karena tidak disertai dengan peningkatan kemampuan perusahaan. Investasi memang mengalami

  • 39

    peningkatan, namun masih bersifat fluktuatif, sehingga pertumbuhan ekonomi secara riil masih belum stabil.

    Dari sisi pertahanan dan keamanan masih menyisakan tumpukan permasalahan yang perlu segera diselesaikan. Bentrok TNI-Polri, hak politik Polri pada Pemilu 2009, posisi Polri dalam kelembagaan negara, praktik kekerasan polisi, intelejen Polri, anggaran Polri, serta hubungan Polri dengan pemerintah daerah terkait fungsi Satpol PP dan Linmas merupakan isu-isu yang belum tuntas dibahas dalam kaitannya dengan reformasi sektor keamanan. Demikian pula di sektor pertahanan negara, sekalipun sejumlah UU telah lahir membawa wajah baru TNI, namun sejumlah persoalan internal maupun eksternal di tubuh TNI, seperti anggaran pertahanan, alutsista, postur TNI, struktur teritorial, dll. masih menghambat lancarnya reformasi TNI.

    Namun, angin segar masih berhembus dalam perjalanan reformasi politik di Indonesia. Pilkada langsung yang dikhawatirkan akan memicu konflik horisontal ternyata bisa berlangsung damai, bahkan di sejumlah daerah yang rawan konflik, seperti Aceh dan Banten. Di luar dugaan, masyarakat ternyata mampu berpolitik secara dewasa. Terpilihnya calon independen sebagai Gubernur Aceh membuktikan bahwa masyarakat ternyata mampu memilih sesuai dengan hati nuraninya. Bahwa preferensi masyarakat tidak banyak berubah dari figur-figur incumbent (yang sedang menjabat) memang masih mendominasi pilkada di banyak daerah. Hal ini adalah suatu kewajaran, namun, pelajaran berharga dipetik dari fakta bahwa ternyata mampu berpartisipasi politik secara otonom bila memang diberi peluang nyata untuk itu. Pilkada langsung menjadi buktinya.

    Akan tetapi, kita tidak boleh banyak berharap pada mekanisme lima tahunan untuk mengawasi berjalannya

  • 40

    pemerintahan. Ruang-ruang publik untuk mengontrol kinerja aparat perlu diperluas, justru di antara rentang waktu lima tahun. Ini adalah masa krusial karena akan menjadi ajang pembuktian janji-janji saat kampanye. Partisipasi masyarakat perlu terus ditingkatkan dalam pembuatan kebijakan publik karena akan mempengaruhi langsung kehidupan mereka sehari-hari. Selama ini, urusan publik selalu dianggap sebagai kewenangan pemerintah belaka, sehingga partisipasi dinafikan. Bahkan masyarakat cenderung bersikap pasrah, menyerahkan keputusan-keputusan strategis diambil oleh pemerintah. Hal ini tampak dari proses pembuatan anggaran, baik APBN maupun APBD yang miskin dari publikasi. Demikian pula, pembahasan dokumen-dokumen strategis perencanaan pembangunan lebih banyak diwacanakan di kalangan elit, baik elit birokrasi, politisi, maupun akademisi dibanding menjadi perbincangan masyarakat. Hidup masyarakat seolah-olah ditentukan oleh sekelompok elit. Inilah oligarkhi pemerintahan.

    Karenanya, tidak mengherankan bila kebijakan publik yang lahir sangat sedikit merefleksikan keberpihakan terhadap publik (masyarakat umum). Perencanaan pembangunan disusun dengan skema proyek. Tidak ada jaminan akan keberlanjutan suatu kegiatan. Orientasi penganggaran lebih banyak untuk pembiayaan birokrasi, sekalipun diberi judul kegiatan peningkatan pelayanan publik. Ancaman pemberantasan korupsi tidak menimbulkan rasa jera, justru memacu lahirnya kelihaian-kelihaian yang lebih canggih untuk memanipulasi pengadaan barang dan jasa publik. Akibatnya, pembangunan mengalami perlambatan. Masyarakat kembali menjadi pihak yang dirugikan.

  • 41

    Memperluas Ruang Publik

    Segala keluh kesah dan permasalahan tersebut sebenarnya bisa diminimalkan bila masyarakat dilibatkan sejak awal dalam pemerintahan dan pembangunan, sehingga prasangka negatif dapat dikurangi. Ruang-ruang publik sesungguhnya dibangun untuk mentransformasikan peran sebagai complainer menjadi participator. Pihak yang semula hanya bisa berkeluh kesah terhadap kinerja pemerintahan, ketika dilibatkan akan memiliki rasa tanggung jawab untuk mendukung keberhasilan pemerintahan. Akan muncul keinginan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru, yang selanjutnya akan memperbaiki tata kelola pemerintahan. Partisipasi tidak harus secara formal direfleksikan dalam bentuk kehadiran fisik dalam rapat-rapat yang diselenggarakan lembaga pemerintahan, tapi juga melalui media massa, melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan, melalui lembaga pendidikan, melalui diskusi-diskusi kritis, dll. Banyak cara untuk memperluas ruang publik agar partisipasi menjadi lebih bermakna.

    Praktik politik di Indonesia hingga kini membuktikan bahwa mekanisme pemilu atau pilkada lima tahunan tidak cukup ampuh untuk memaksa para elit menepati janji-janjinya. Namun, bukan berarti bahwa mekanisme ini tidak diperlukan lagi. Sebagai media rekrutmen dan seleksi kepemimpinan politik, mekanisme yang berlaku sekarang jauh lebih demokratis dibanding masa lalu. Namun, perlu ada alternatif untuk mengatasi kelemahan-kelemahan mekanisme demokrasi perwakilan. Kapasitas partai politik perlu terus ditingkatkan agar benar-benar berfungsi sebagai instrumen demokrasi, dan bukan kendaraan politik semata. Koalisi permanen antarpartai politik perlu terus dikembangkan agar stabilitas dan tertib politik terjaga. Pencerahan politik bagi

  • 42

    masyarakat perlu dilakukan secara dini dan kontinyu agar prilaku politik semakin rasional.

    Riuh rendahnya demokrasi amat membanggakan kita. Reformasi yang dijalankan di Indonesia sudah pada taraf yang mengagumkan. Seorang Indonesianis berkomentar, apa yang dilakukan Indonesia untuk merestrukturisasi sistem politiknya dapat digolongkan sebagai revolusi struktural. Negara jiran seperti Singapura dan Malaysia, betapapun makmurnya, tidak ada apa-apanya dengan demokrasi kita. Tapi itulah, ironisnya di Indonesia. Di satu sisi demokratis, di sisi lain seolah belum tersibak peluang bagi pemakmuran rakyat segera. Tampaknya inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan di tahun-tahun mendatang: bagaimana mensinergikan pertumbuhan demokrasi dengan pertumbuhan kesejahteraan.

    ---***---

  • 43

    PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG :

    RELEVANSI MEKANISME PEMILIHAN KEPALA DAERAH

    DAN DEMOKRATISASI POLITIK LOKAL

    Tuntutan penerapan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung semakin hari semakin menguat sebagai reaksi dari proses pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah yang sarat dengan kasus-kasus money politics, intervensi pusat, dan distorsi aspirasi publik. Mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung diyakini sebagai solusi ke arah penguatan demokrasi di tingkat lokal sekaligus mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah yang berkuasa.

    Pergantian kekuasaan ternyata tidak mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat, demikian pula Pemilu 1999 yang dinilai sebagai pemilu yang demokratis ternyata tidak menghasilkan para anggota perwakilan rakyat yang aspiratif dan representatif. Sementara itu, dalam tataran struktural, perluasan kewenangan pada lembaga legislatif yang tidak diimbangi oleh kualitas anggota legislatif membawa pada praktik-praktik penggunaan kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan partai, yang terjadi baik di tingkat nasional maupun di daerah.

    Perubahan pola pemerintahan yang sentralistis menjadi desentralistis membawa pergeseran lokus kekuasaan dari pusat ke daerah, termasuk pula perluasan

  • 44

    kewenangan politik di tingkat lokal. Akan tetapi, semangat desentralisasi pada kenyataannya tidak diimbangi oleh pertumbuhan demokratisasi di tingkat lokal. Delegasi kewenangan dari pusat hanya sampai pada tingkat pemerintahan terendah di daerah sementara demokratisasi yang ditandai oleh perluasan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Akibatnya, penyelenggaraan pemerintahan di daerah masih didominasi oleh elit-elit di daerah, baik dalam lingkup birokrasi maupun partai politik.

    Dominasi elit dalam penyelenggaraan pemerintahan ini juga dapat dilihat dari argumen-argumen legal-formal ketika merespon tuntutan penerapan mekanisme pemilihan pejabat publik secara langsung. Munculnya alternatif pemilihan kepala daerah semi langsung disikapi oleh DPRD secara konservatif, legal, formal dengan alasan belum ada landasan hukumnya, padahal, bisa saja dengan Perda sebagai bentuk kesepakatan politik selama secara substantif tidak bertentangan dengan UU.

    Keterbatasan peran masyarakat dalam dinamika politik lokal tampak dari proses pemilihan para pejabat publik (anggota legislatif maupun kepala daerah). Pemilihan anggota DPRD berlangsung dalam sistem proporsional di mana para calon ditentukan oleh dewan pimpinan partai sementara proses pemilihan kepala daerah didominasi oleh peran DPRD. Dalam kedua proses politik ini saja sudah terindikasi sempitnya ruang publik bagi partisipasi masyarakat, padahal desentralisasi

  • 45

    juga mengandung dimensi politik yang mensyaratkan adanya keterlibatan rakyat dalam seluruh proses pemerintahan.

    Secara teoretis, terdapat relevansi antara partisipasi langsung dengan demokrasi. Namun demikian, asumsi ini tidak dapat langsung menjustifikasi bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung berkorelasi langsung dengan demokratisasi di tingkat lokal. Pada praktiknya, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah melibatkan berbagai dimensi, seperti ketersediaan peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran dan pengaturan lebih lanjut UU No. 22 Tahun 1999; kapasitas kelembagaan; dan kualitas personel yang memadai. Oleh karena itu, masih perlu kajian yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan penguatan demokrasi di tingkat lokal.

    Sejumlah pertanyaan yang mesti dijawab ketika akan mengaplikasikan mekanisme pemilihan kepala daerah langsung adalah (1) apakah mekanisme ini dapat memunculkan figur-figur dengan kapabilitas kepemimpinan yang memadai dalam mengelola pemerintahan di daerah sehingga mampu memulihkan krisis legitimasi terhadap pemerintah; dan (2) prakondisi apa yang diperlukan bagi berjalannya pemilihan kepala daerah langsung yang demokratis.

  • 46

    Relevansi Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah dengan Demokrasi Lokal

    UU No. 22 Tahun 1999 membawa perubahan yang cukup signifikan dalam mekanisme maupun substansi pemilihan kepala daerah. Secara prosedural, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, mulai dari tahap pencalonan sampai dengan penetapan. Proses pemilihan kepala daerah dilakukan melalui mekanisme pemungutan suara secara langsung dengan ketentuan one man one vote (setiap anggota DPRD dapat memberikan suara pada satu pasang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah). Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden, hanya berperan dalam pengesahan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah ditetapkan oleh DPRD. Secara substansial, mekanisme semacam ini memberikan kewenangan politik yang lebih besar bagi masyarakat di daerah untuk menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerahnya.

    Mekanisme pemilihan kepala daerah yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 jelas telah membawa perubahan substansial dalam proses pemilihan kepala daerah. Namun hal ini hanya merupakan langkah awal sebab masih ada tantangan selanjutnya yakni bagaimana memperluas ruang publik dalam arti pemilihan kepala daerah harus lebih kompetitif dan ada perluasan ruang bagi masyarakat untuk mempengaruhi proses tersebut. Dalam praktiknya, mekanisme perwakilan yang diterapkan dalam proses pemilihan kepala daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 juga mempunyai kelemahan karena memberi ruang yang sangat dominan

  • 47

    bagi DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah. Pasal 18 ayat (1) huruf a dinyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Selanjutnya dalam pasal 34 sampai dengan pasal 40 UU No. 22 Tahun 1999, diatur mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, mulai dari tahap pencalonan, penyaringan, pemilihan sampai dengan penetapan pasangan calon yang terpilih sebagai kepala daerah dan wakilnya. Dalam keseluruhan tahapan tersebut, peran DPRD sangat dominan sehingga hampir tidak ada ruang bagi elemen masyarakat untuk turut berpartisipasi.

    Akibatnya, proses pemilihan kepala daerah menjadi kehilangan makna sebagai proses politik dan beralih menjadi pragmatisme politik. Sebagian besar pemilihan kepala daerah yang berlangsung selama UU No. 22 Tahun 1999 selalu menimbulkan gejolak di daerah, seperti di Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Madura, dan sejumlah daerah lainnya. Dalam kasus-kasus ini, timbulnya gejolak selalu disebabkan oleh penyimpangan-penyimpangan yang sama, yakni distorsi aspirasi publik, indikasi politik uang (money politics), dan oligarkhi partai yang tampak dari intervensi DPP partai dalam menentukan calon kepala daerah yang didukung fraksi. Konsekuensi berikutnya adalah delegitimasi pemerintah daerah yang ditandai dengan menurunnya kepercayaan masyarakat pada DPRD dan kepala daerah. Delegitimasi politik mengarah pada menurunnya akuntabilitas publik, inefisiensi dan

  • 48

    inefektivitas manajemen pemerintahan daerah, dan pada akhirnya pelayanan publik terganggu.

    Namun demikian, sejumlah penyimpangan yang terjadi dalam proses pemilihan kepala daerah tidak dapat langsung disimpulkan sebagai akibat dari penerapan mekanisme perwakilan. Mekanisme perwakilan memang memiliki kelemahan dalam hal distorsi aspirasi. Namun praktik politik uang maupun pragmatisme politik tidak semata-mata disebabkan oleh mekanisme perwakilan. Dalam kasus pemilihan kepala desa secara langsung pun masih sering terjadi politik uang dan pragmatisme politik yang ditandai oleh dominasi elit desa dan fragmentasi masyarakat ke dalam politik aliran.

    Sebagai suatu sistem, pemilihan kepala daerah tidak terlepas dari sistem-sistem lain yang melingkupinya. Sistem pemilihan umum dalam Pemilu 1999 merupakan sistem proporsional yang sarat dengan dominasi elit partai dalam menentukan calon anggota legislatif sementara pola pengorganisasian partai yang sentralistis menyebabkan ketergantungan partai lokal terhadap elit partai di pusat. Di sisi lain, perluasan kewenangan DPRD tidak diimbangi oleh kualitas dan kapabilitas politik para anggotanya sehingga wajar jika pada akhirnya kewenangan yang ada lebih banyak digunakan sebagai alat tawar-menawar politik dengan eksekutif daripada untuk menjalankan fungsi legislatif.

    Dalam tataran masyarakat, rendahnya efikasi politik yang ditandai oleh sikap apatis dan masih kuatnya politik aliran menyulitkan tumbuhnya kesadaran

  • 49

    berdemokrasi. Kasus-kasus pengerahan massa yang disertai dengan pengrusakan fasilitas publik dalam pemilihan kepala daerah merupakan cermin dari politik otot dan bukan politik otak dalam berdemokrasi. Mekanisme partisipasi yang dikembangkan dalam menampung aspirasi pun masih belum signifikan dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan di dalam DPRD. Jika dilihat dari ketentuan PP No. 151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan Kepala Daerah, ruang partisipasi bagi masyarakat hanya disediakan pada saat penyaringan tahap I dan uji publik, itupun terbatas berupa aspirasi dukungan dan pengaduan kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan calon kepala daerah.

    Identifikasi pokok permasalahan yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pemilihan secara tidak langsung harus dilakukan sebelum memutuskan untuk mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, demokratisasi di tingkat lokal tidak hanya ditentukan oleh bentuk formal pemilihan kepala daerahnya tapi juga revisi sistem secara keseluruhan. Artinya, untuk menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung harus didukung oleh prakondisi-prakondisi tertentu yang dapat memperkuat institusi-institusi dan kualitas aktor-aktor politik di tingkat lokal.

  • 50

    Krisis Legitimasi : Indikasi Demokratisasi yang Membeku (Frozen Democracy)

    Hampir semua konsep tentang demokratisasi menggambarkan proses menuju demokrasi sebagai perjalanan yang panjang melalui sejumlah tahapan, yang pada dasarnya meliputi tahap jatuhnya rezim; liberalisasi; lahirnya aturan main baru; dan tahap konsolidasi (pelembagaan aturan main yang baru). Pada tahap terakhir dari demokratisasi, harus terjadi pelembagaan (internalisasi) nilai-nilai dan praktik demokrasi dalam seluruh elemen negara. Dengan kata lain ada kesepakatan di antara seluruh stakeholders bahwa demokrasi merupakan satu-satunya jalan yang terbaik dalam menyelenggarakan pemerintahan (democracy as the only game in town).

    Namun sebelum sampai ke tahapan ini, transisi menuju demokrasi juga menghadapi tantangan untuk kembali ke rezim nondemokratis manakala terjadi kebekuan demokrasi (frozen democracy)1. Kondisi ini terjadi sebagai akibat reformasi tidak mampu menghasilkan pemerintahan yang kuat yang mampu melakukan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi. Pemerintahan yang lemah (weak state atau soft state) ini maksudnya adalah pemerintahan yang tidak memiliki kewibawaan di hadapan rakyatnya dan

    1 Georg Sorensen. Demokrasi dan Demokratisasi : Proses dan

    Prospek dalam Sebuah Dunia yang sedang Berubah. (Edisi Terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.

  • 51

    tidak mampu menegakkan hukum untuk memelihara ketertiban. Penegakan hukum tidak berjalan karena pemerintah tidak dapat menyelesaikan kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lampau.

    Kondisi di atas tidak hanya terjadi pada level nasional tapi juga di daerah. Penyerahan kewenangan yang lebih luas kepada daerah ternyata hanya sampai pada otonomi pemerintah daerah dan bukan otonomi daerah (pemerintah dan masyarakat daerah). Keadaan seperti ini mengarah pada dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Akses kepada sumber-sumber daerah dikuasai oleh elit atau politisi lokal yang rentan dengan korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang.

    Demikian pula dalam proses pembuatan kebijakan di daerah, didominasi oleh elit lokal, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Institusi negara pada akhirnya tidak dapat mengontrol dominasi elit lokal karena pola hubungan pusat dan daerah yang bersifat fungsional sehingga ketika ada kebijakan daerah yang bertentangan dengan pedoman dari pusat, pemerintah pusat tidak mampu membatalkan kebijakan tersebut.

    Fenomena seperti ini terjadi sebagai akibat dari penerapan desentralisasi yang mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan dinamika politik lokal. Desentralisasi tanpa demokratisasi tampaknya cenderung menghasilkan otonomi

  • 52

    pemerintah, dan bukan otonomi masyarakat di daerah2. Konsekuensinya, dinamika politik lokal tidak menjadi proses politik yang mendorong terciptanya iklim kondusif bagi demokratisasi. Demokrasi tidak berkembang dan tidak menjadi bagian dari budaya politik. Berbagai kasus tentang pengerahan massa dalam proses pemilihan kepala daerah, perselisihan antara kepala daerah dan DPRD, serta praktik politik uang dalam pengambilan keputusan publik menunjukkan bahwa belum terjadi pelembagaan demokrasi dalam perilaku politik elit dan massa.

    Kecenderungan terjadinya fenomena frozen democracy di mana demokrasi tidak terkonsolidasi tapi hanya menjadi alat justifikasi (secara prosedural saja, tanpa substansi) mengakibatkan krisis etika, moral, dan legitimasi justru makin sulit diselesaikan karena pemerintah yang terbentuk bukan pemerintah yang kuat.

    Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung dan Peluang Demokratisasi

    Esensi demokrasi adalah partisipasi publik dalam menentukan pejabat-pejabat politik dan dalam pembuatan kebijakan publik. Dalam pandangan Rosseau, demokrasi tanpa partisipasi langsung oleh rakyat

    2 T.A. Legowo. Pemilihan Langsung Kepala Daerah

    Kota/Kabupaten sebagai Wujud Demokrasi Lokal. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah Kota/Kabupaten sebagai Wujud Demokrasi Lokal, diselenggarakan oleh ADEKSI berkerja sama dengan Konrad Adenaur Stiftung, Jakarta, 21 22 Januari 2003.

  • 53

    merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri3. Asumsi inilah yang mendasari pandangan bahwa pemilihan para pejabat politik secara langsung lebih demokratis dibandingkan melalui mekanisme perwakilan. Kualitas sistem demokrasi ikut ditentukan oleh kualitas proses seleksi para wakil, termasuk wakil yang memperoleh mandat untuk memimpin pemerintahan. Karena itu, pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu alternatif yang bisa dipilih untuk meningkatkan legitimasi pemerintah daerah.

    Ada sejumlah argumen yang melandasi relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan legitimasi pemerintahan daerah. Pertama, pemilihan secara langsung diperlukan untuk memutus oligarkhi partai yang mewarnai pola pengorganisasian partai politik di DPRD. Kepentingan partai dan bahkan kepentingan elit partai seringkali dimanipulasi sebagai kepentingan kolektif masyarakat. Dengan demikian, pemilihan secara langsung bagi kepala daerah diperlukan untuk memutus distorsi dan politisasi aspirasi publik yang cenderung dilakukan partai dan para politisi partai jika kepala daerah dipilih secara elitis oleh DPRD.

    Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah. Mekanisme pemilihan kepala daerah secara perwakilan cenderung

    3 Dalam Georg Sorensen. Demokrasi dan Demokratisasi.

    Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.

  • 54

    menciptakan ketergantungan berlebihan kepala daerah terhadap DPRD. Akibatnya, kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada DPRD daripada kepada publik. Pola hubungan kepala daerah dan DPRD yang lebih condong pada DPRD inilah yang kemudian mengarah pada praktik politik uang dan kolusi, baik dalam proses pemilihan kepala daerah maupun dalam proses penyampaian Laporan Pertanggungjawaban (LPJ).

    Ketiga, pemilihan langsung kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan seleksi kepemimpinan elit lokal sehingga membuka peluang bagi munculnya figur-figur alternatif yang memiliki kapabilitas dan dukungan riil di masyarakat lokal. Selama ini, figur-figur yang muncul lebih banyak bersifat top-down sebagai akibat dari sentralisasi partai sehingga seolah-olah daerah tidak memiliki kader yang potensial untuk memimpin daerahnya.

    Keempat, pemilihan secara langsung lebih meningkatkan kualitas keterwakilan (representativeness) karena masyarakat dapat menentukan pemimpinnya di tingkat lokal. Lebih dari itu, keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses seleksi kepemimpinan lokal yang transparan akan menambah legitimasi dari proses pemilihan tersebut sehingga pemimpin yang lahir dari proses seleksi yang legitim akan memperoleh legitimasi politik di mata publik.

    Mekanisme rekrutmen kepala daerah merupakan salah satu dimensi dalam meningkatkan kualitas

  • 55

    demokrasi di tingkat lokal. Penerapan mekanisme pemilihan langsung tidak dengan sendirinya akan menjamin terjadinya peningkatan kualitas demokrasi. Karena itu, penerapan mekanisme pemilihan langsung harus didukung perubahan konteks. Konteks ini meliputi: a. Budaya politik masyarakat, dalam arti perlu ada

    pelembagaan demokrasi sebagai aturan main yang disepakati semua pihak melalui pendidikan politik sehingga masyarakat tidak sekedar menjadi alat mobilisasi bagi kepentingan elit. Di sisi lain, masyarakat pun harus mulai dibangkitkan kesadaran dan efikasi politiknya sehingga kepentingan publik tidak lagi dimanipulasi menjadi kepentingan segelintir elit.

    b. Pola pengorganisasian partai politik cenderung sentralistis dalam struktur internalnya, yang tampak dari maraknya politik restu dari DPP dalam penentuan calon kepala daerah. Konteks ini perlu diubah untuk membentuk partai politik lokal sebagai sarana artikulasi isu-isu di tingkat lokal sekaligus sarana rekrutmen politik yang mandiri sehingga mampu memunculkan figur-figur kepala daerah yang aspiratif.

    c. Politik aliran dalam dinamika politik lokal akan mengarah pada disintegrasi dan instabilitas. Perubahan mekanisme pemilihan dari perwakilan menjadi langsung akan berimbas pada perubahan pola hubungan pusat dan daerah juga hubungan eksekutif dan legislatif di daerah. Selanjutnya perubahan-perubahan fundamental ini akan mengarah pada perubahan landasan politik dan

  • 56

    perkembangan dari daerah yang bersangkutan. Dengan pemilihan langsung, kepala daerah akan terikat secara moral, ideologis, dan politik terhadap apa pun yang menjadi tuntutan masyarakat lokal, tanpa memperhatikan konteks nasional. Secara sosiologis, masyarakat pemilih di daerah masih terfragmentasi ke dalam politik aliran sehingga pemilihan langsung berpotensi memicu disintegrasi di tingkat lokal. Seperti dalam beberapa kasus pemilihan kepala desa, pemilihan langsung bukan menjadi sarana untuk menciptakan stabilitas tetapi bisa menjadi sumber utama instabilitas yang berkepanjangan di daerah, baik sebelum maupun pasca pemilihan.

    Pemilihan kepala daerah secara langsung akan punya makna dan efektif dalam mengembalikan legitimasi politik jika didukung oleh prakondisi-prakondisi sebagai berikut : a. Secara prosedural demokratis : mekanismenya

    demokratis (termasuk penetapan syarat-syarat calon, mekanisme pencalonan, dan penghitungan suara yang transparan dan adil); aturan main dalam bentuk perundang-undangan yang demokratis (disepakati seluruh pihak); revisi sistem pemilu secara distrik sehingga keterwakilan lebih terjamin; pola pengorganisasian parpol yang desentralistis; isu-isu lokal dalam kampanye pemilu lokal.

    b. Secara substantif demokratis : ada ruang publik yang terbuka dan inklusif bagi partisipasi publik; ada penguatan institusi demokrasi lokal (partai politik,

  • 57

    pers, dan LSM yang independen), ada dinamika politik lokal yang konkret dan murni.

    Dengan demikian, pemilihan kepala daerah secara langsung baru akan bermakna dalam meningkatkan demokratisasi lokal jika didukung oleh upaya revisi sistem secara keseluruhan. Dinamika politik lokal tidak berada dalam ruang yang hampa, tapi senantiasa dipengaruhi tarik-menarik berbagai kekuatan, baik elit maupun massa, baik eksternal maupun internal. Pemilihan kepala daerah secara langsung tidak akan membawa perubahan, jika tidak didukung desain sistem pemilu nasional yang menjamin keterwakilan dan kualitas anggota lembaga legislatif. Dalam tataran lokal, sistem pemilihan kepala daerah juga harus memuat ketentuan-ketentuan yang dapat meminimalkan potensi konflik di daerah, baik yang disebabkan politik aliran, mobilisasi massa, maupun konflik kepentingan yang bersifat elitis.

    ---***---

  • 58

    TELAAH KRITIS UU No. 32 TAHUN 2004 DAN PROSPEK PILKADA

    Reformasi elektoral yang diawali dengan penerapan sistem pemilihan umum secara proporsional terbuka kemudian penerapan sistem pemilihan presiden dan wakilnya secara langsung menjadi tonggak awal yang mengubah wajah dinamika pemilihan umum di Indonesia. Di level daerah, perubahan tersebut seolah-olah menjadi api yang memperkuat tuntutan bagi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakilnya secara langsung. Berbagai indikasi kecurangan, praktik money politics, mobilisasi massa pendukung, serta berbagai bentuk ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan kepala daerah secara tidak langsung menjadi alasan merebaknya tuntutan pemilihan kepala daerah secara langsung.

    Secara normatif, tuntutan ini memperoleh dasar hukumnya dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 amandemen keempat yang mensyaratkan pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis. Pemilihan secara langsung diyakini sebagai mekanisme yang lebih demokratis dibandingkan pemilihan secara perwakilan oleh DPRD. Fakta menunjukkan bahwa di sejumlah daerah, pemilihan kepala daerah justru menjadi ajang pertarungan kepentingan dan pertarungan kapital antara DPRD, partai politik, dan para kandidat kepala daerah. Hal inilah yang semakin menguatkan tuntutan

  • 59

    diselenggarakannya pemilihan kepala daerah secara langsung.

    Revisi UU No. 22 Tahun 1999 yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi landasan normatif bagi penerapan pemilihan kepala daerah secara langsung. Salah satu perubahan yang cukup signifikan ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (5) UU 32 Tahun 2004, bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah bersangkutan. Selanjutnya dalam pasal 233 ditegaskan bahwa kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2004 sampai Juni 2005 harus mengangkat pejabat kepala daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung serentak dilaksanakan bulan Juni 2005. Sedangkan, kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Juli 2009, diselenggarakan pada bulan Desember 2008 untuk menghindari benturan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada tahun 2009.

    Sekalipun dinilai membawa angin segar dalam dinamika politik lokal, perubahan sistem pemilihan kepala daerah ini, oleh sejumlah kalangan, dinilai tidak akan membawa perubahan yang signifikan bahkan dianggap tetap mempertahankan dominasi partai politik karena menutup peluang bagi masuknya calon independen yang non partisan. Hal inilah yang mendorong perlunya dilakukan kaji kritis tentang prospek pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, apakah penerapan sistem pemilihan kepala

  • 60

    daerah secara langsung akan berkorelasi langsung dengan demokratisasi di level lokal ? Strategi apa yang perlu dipersiapkan untuk mengantisipasi ekses negatif dari penerapan sistem ini ?

    Identifikasi Potensi Permasalahan

    Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tampaknya menjadi materi muatan utama dalam UU No. 32 Tahun 2004, setidaknya diindikasikan dari jumlah pasal yang mengaturnya, yakni mulai pasal 56 119 (sebanyak 64 pasal). Secara substantif, materi muatan yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut telah mencakup seluruh tahapan proses pemilihan, mulai dari pemilihan sampai pemantauan bahkan sanksi hukum bagi pelanggaran yang terjadi.

    Sekilas, butir-butir dalam UU tadi tampaknya memang telah mencoba seoptimal mungkin untuk membangun tatanan pemerintah dan masyarakat daerah yang lebih demokratis melalui mekanisme pemilihan kepala dan wakil kepala daerah secara langsung. Namun jika dicermati lebih dalam, aturan baru ini mengandung potensi permasalahan yang cukup kompleks.

    Dalam hal pengajuan calon kepala daerah, misalnya, UU ini menentukan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki hak untuk itu (pasal 56). Frase partai politik atau gabungan partai politik ini dapat menimbulkan polemik, mengingat selama ini usulan calon kepala daerah datang dari fraksi

  • 61

    di DPRD (bukan dari partai politik). Selain itu, dengan pola satu pintu ini akan tertutup peluang bagi calon independen untuk menjadi Kepala Daerah. Dilihat dari prinsip efektivitas, mungkin saja pola satu pintu ini lebih baik. Namun secara filosofis hal ini tidak akan dapat mewujudkan cita-cita untuk menghapus praktik money politics di daerah. Dengan model pemilihan langsung, praktik tersebut diharapkan dapat dihindari. Inilah sesungguhnya esensi dasar dari pemilihan kepala daerah secara langsung.

    Akan tetapi, UU baru ini tidak memberi hak inisiatif kepada rakyat untuk mengajukan calonnya tanpa melalui partai politik. Dengan kata lain, rakyat hanya memiliki hak pilih dari calon-calon yang telah ditentukan oleh partai politik. Akibatnya, parpol masih tetap menjadi mesin politik utama menuju kekuasaan. Dan peran sebagai mesin kekuasaan inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money politics. Pada saat berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, pemerintah pusat berperan dominan karena memiliki hak untuk memilih seorang kepala daerah dari 3 hingga 5 calon yang diajukan DPRD. Oleh karenanya tidak aneh jika sebagian besar kasus korupsi pada saat itu terjadi di tingkat pusat. Kemudian pada era UU No. 22 Tahun 1999, DPRD-lah pemegang hak pilih terhadap seorang kepala daerah sehingga indikasi kolusi di kalangan anggota DPRD menjadi kasus yang banyak terjadi. Kini, ketika suara (hak pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan pertarungan kepentingan dan money politics pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut.

  • 62

    Peluang bagi masuknya calon independen memang telah difasilitasi melalui ketentuan dalam pasal 59 ayat (3) yang memerintahkan parpol atau gabungan parpol untuk membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon perseorangan di luar kader partai. Namun pasal ini kelihatannya hanya akan menjadi pemanis, karena kecil peluangnya bagi suatu parpol untuk mencalonkan orang yang bukan kadernya menjadi kepala daerah atau minimal telah memiliki kontrak tertentu dengan parpol yang bersangkutan. Alasannya adalah karena pada kenyataannya struktur politik lokal belum benar-benar terpisah dari politik nasional. Partai-partai di daerah tidak berubah dari statusnya sebagai kepanjangan kepentingan dari partai (elit) pusat. Kondisi ini menyebabkan partai di level lokal belum memiliki kemandirian dan masih tergantung pada keputusan pimpinan pusat. Akibatnya, bisa jadi calon kepala daerah yang akan dipilih rakyat bukan berasal dari bawah, tapi merupakan titipan elit pusat partai sebagai yang banyak terjadi pada saat ini. Dengan demikian, pemilihan langsung oleh rakyat menjadi tak sepenuhnya bermakna karena mereka memilih orang yang tidak diproses melalui arus bawah partai. Calon independen sebagai usulan kelompok masyarakat hanya bisa masuk atas perkenaan pengurus partai dan berproses melalui mekanisme suatu partai.

    Di level massa, rasionalitas dalam memilih dan kesedian untuk menerima apa pun hasil akhirnya masih relatif beragam. Secara sosiologis, masyarakat pemilih di daerah masih terfragmentasi ke dalam politik aliran sehingga pemilihan langsung berpotensi memicu

  • 63

    disintegrasi di tingkat lokal. Seperti dalam beberapa kasus pemilihan kepala desa, pemilihan langsung bukan menjadi sarana untuk menciptakan stabilitas tetapi bisa menjadi sumber utama instabilitas yang berkepanjangan di daerah, baik sebelum maupun pasca pemilihan.

    Dominasi partai semakin diperkuat oleh ketentuan threshold, bahwa parpol yang berhak mengajukan pasangan calon harus memperoleh minimal 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD (Pasal 59 ayat 2). Syarat ini cukup tinggi dibandingkan dengan syarat pada pemilu presiden/wakil presiden, dan tidak memberikan perimbangan secara demokratis bagi parpol kecil. Komposisi perolehan suara partai-partai politik tidak merata di seluruh daerah. Hal ini akan berimplikasi pada minimnya pasangan calon yang diajukan. Kemungkinan ada beberapa daerah yang hanya mengajukan dua atau tiga pasangan calon, terutama kabupaten/kota yang anggota DPRD-nya mayoritas dikuasai parpol besar. Kondisi ini pada gilirannya akan memperkuat oligarkhi partai politik bahkan semakin dominannya partai mayoritas.

    Permasalahan lain yang menonjol dari UU ini adalah tidak adanya hubungan hierarkis dan koordinatif antara KPU dengan KPU Daerah. Padahal, KPU kabupaten/kota dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada KPU propinsi, sementara KPU propinsi berhubungan secara struktural dengan KPU. Penyelenggaraan sepenuhnya dilaksanakan KPU daerah dan bertanggung jawab pada DPRD. Hal ini akan

  • 64

    memicu konflik antara DPRD dan KPUD, malahan mudah diintervensi oleh kekuatan politik di daerah. Potensi konflik ini semakin menguat karena UU Pemda tidak menyediakan aturan dalam hal pertanggungjawaban KPUD ditolak oleh DPRD. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah seharusnya tidak diberikan sepenuhnya kepada KPUD tetapi perlu dilakukan berdasarkan pengaturan standar yang ditetapkan oleh KPU.

    Pasal 65 (4) menyatakan bahwa KPUD berpedoman pada PP dalam melaksanakan tahap persiapan dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, bukan mengacu pada Surat Keputusan KPU-Pusat. Padahal jika merujuk pada UUD 1945 hasil Amandemen, pengaturan tata cara penyelenggaraan pemilu merupakan wewenang KPU, sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Olehnya itu, pemerintah baru harus hati-hati mengeluarkan PP, jangan sampai hal ini menimbulkan konflik dan sengketa di masa mendatang.

    Kerancuan peran DPRD dalam pemilihan kepala daerah juga dapat dilihat pada Pasal 82 ayat (2), bahwa pasangan calon atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan atau memberikan uang/materi untuk mempengaruhi pemilih yang telah berkekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan pasangan calon oleh DPRD. Mestinya pemberian sanksi dilakukan oleh KPUD sebagai penyelenggara, bukan DPRD.

  • 65

    Strategi Antisipasi

    Sebanyak 176 daerah akan menggelar pilkada secara langsung untuk memilih para gubernur dan bupati/walikota mulai Juni 2005 nanti. Dalam Pasal 65 UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan, tata cara pelaksanaan, masa persiapan dan tahap pelaksanaan pilkada diatur KPU daerah dengan berpedoman pada PP. Saat ini pemerintah tengah membuat susunan rencana kegiatan peraturan pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004. Ada beberapa aturan yang harus disesuaikan, antara lain tujuh jenis UU, 43 macam peraturan pemerintah (PP) serta sejumlah peraturan Menteri Dalam Negeri, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Peraturan Presiden.

    Peraturan pemerintah (PP) yang tengah disusun Departemen Dalam Negeri (Depdagri) sebagai pelaksanaan teknis UU No. 32 Tahun 2004 seharusnya membuka peluang bagi calon independen ikut serta dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Penyaringannya dapat dilakukan melalui syarat dukungan masyarakat. Daerah-daerah dapat mengambil terobosan dengan mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang memungkinkan calon independen bisa masuk bursa pencalonan.

    Pemilihan kepala daerah secara langsung baru akan bermakna dalam meningkatkan demokratisasi lokal jika didukung oleh upaya revisi sistem secara keseluruhan. Dinamika politik lokal tidak berada dalam ruang yang hampa, tapi senantiasa dipengaruhi tarik-

  • 66

    menarik berbagai kekuatan, baik elit maupun massa, baik eksternal maupun internal. Pemilihan kepala daerah secara langsung tidak akan membawa perubahan, jika tidak didukung desain sistem pemilu nasional yang menjamin keterwakilan dan kualitas anggota lembaga legislatif. Dalam tataran lokal, sistem pemilihan kepala daerah juga harus memuat ketentuan-ketentuan yang dapat meminimalkan potensi konflik di daerah, baik yang disebabkan politik aliran, mobilisasi massa, maupun konflik kepentingan yang bersifat elitis.

    Dalam level massa, yang harus dilakukan adalah pencerdasan politik rakyat secara terus-menerus. Penyampaian informasi yang lebih terbuka kepada rakyat soal siapa calon yang akan dipilih harus dilakukan. Dengan demikian, rakyat memiliki cukup informasi untuk menentukan pilihan, yang pada gilirannya akan meningkatkan legitimasi figur dan pemerintahan yang terbentuk sebagai hasil pemilihan kepala daerah tersebut.

    Prospek Dinamika Politik Lokal pasca-Pilkada Langsung

    Secara teoretis, terdapat relevansi antara partisipasi langsung dengan demokrasi. Namun demikian, asumsi ini tidak dapat langsung menjustifikasi bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung berkorelasi langsung dengan demokratisasi di tingkat lokal. Sebagai suatu sistem, pemilihan kepala daerah tidak terlepas dari sistem-sistem lain yang

  • 67

    melingkupinya. Sistem pemilihan umum dalam Pemilu 2004 pada kenyataannya masih sarat dengan dominasi elit partai dalam menentukan calon anggota legislatif sementara pola pengorganisasian partai yang sentralistis menyebabkan ketergantungan partai lokal terhadap elit partai di pusat.

    Dalam tataran masyarakat, rendahnya efikasi politik yang ditandai oleh sikap apatis dan masih kuatnya politik aliran menyulitkan tumbuhnya kesadaran berdemokrasi. Kasus-kasus pengerahan massa yang disertai dengan pengrusakan fasilitas publik dalam pemilihan kepala daerah merupakan cermin dari politik otot dan bukan politik otak dalam berdemokrasi. Mekanisme partisipasi yang dikembangkan dalam menampung aspirasi pun masih belum signifikan dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan di dalam DPRD.

    Identifikasi pokok permasalahan yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pemilihan secara tidak langsung harus dilakukan sebelum menerapkan mekanisme pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, demokratisasi di tingkat lokal tidak hanya ditentukan oleh bentuk formal pemilihan kepala daerahnya tapi juga revisi sistem secara keseluruhan. Artinya, untuk menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung harus didukung oleh prakondisi-prakondisi tertentu yang dapat memperkuat institusi-institusi dan kualitas aktor-aktor politik di tingkat lokal.

  • 68

    MELACAK MISSING LINK DINAMIKA POLITIK LOKAL DAN REFORMASI TATA KELOLA

    PEMERINTAHAN DAERAH

    Sepanjang tahun 2006 hingga sekarang, dinamika politik di tanah air masih didominasi wacana pemilihan kepala daerah secara langsung, atau yang lazim dikenal dengan sebutan pilkada langsung. Wacana pemilihan secara langsung sebenarnya bukanlah hal yang baru karena wacana ini mulai berkembang sejak tahun 2000-an, sejalan dengan arus reformasi politik yang semakin kuat. Penyelenggaraan Pemilu 1999 menjadi pemicu awal berkembangnya wacana pemilihan langsung dalam rekrutmen para pemimpin politik. Sekalipun PDI-P menjadi partai pemenang dalam Pemilu 1999, ternyata Megawati Soekarnoputri gagal menjadi presiden. Hal ini seolah mengkhianati makna demokrasi itu sendiri, di mana suara rakyat ternyata dikalahkan oleh transaksi politik sekelompok anggota MPR.

    Perdebatan mengenai keunggulan dan kelemahan pemilihan secara langsung pun terus berlanjut. Pihak yang mendukung mengemukakan sejumlah argumen yang mengaitkan pemilihan langsung dengan kualitas demokrasi dan jaminan terhadap preferensi politik rakyat. Asumsinya, melalui pemilihan langsung, hak politik rakyat akan lebih terjamin karena siapa pun figur yang dipilih rakyat dan berhasil memenangkan suara mayoritas akan menjadi pemimpin politik. Praktik

  • 69

    money politics pun diyakini akan semakin berkurang karena calon pemimpin politik tidak mungkin membayar suara seluruh rakyat.

    Sebaliknya, pihak yang skeptis terhadap pemilihan langsung berargumen bahwa metode tersebut tidak serta merta akan menghasilkan pemimpin dengan kualitas yang memadai. Kecenderungan perilaku pemilih di kalangan masyarakat Indonesia yang masih berorientasi pada figur dan sangat kental diwarnai sentimen primordial-patrimonial diprediksi akan dimanfaatkan oleh para politisi untuk tetap memunculkan calon-calon yang telah mereka sepakati di level elit. Dengan kata lain, sekalipun masyarakat menggunakan hak pilihnya secara langsung, namun figur yang dipilih oleh nantinya adalah figur yang telah ditentukan lebih dulu oleh para elit. Praktik money politics pun diprediksi tetap akan muncul, bahkan manifestasinya akan lebih canggih dibanding dalam pemilihan melalui perwakilan. Potensi konflik horisontal di level massa pun diprediksi akan memanas dan meluas akibat politisasi isu-isu primordial.

    Perang argumen ini untuk sementara dimenangkan oleh para pendukung pemilihan langsung karena mulai Pemilu 2004, pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan secara langsung. Dinamika politik nasional yang dikhawatirkan akan berdarah-darah akibat konflik massa ternyata tidak terjadi. Rakyat menyalurkan aspirasi politiknya dengan damai dan aman, sekalipun para analis politik menilai preferensi pemilih sangat dipengaruhi oleh popularitas

  • 70

    figur, alih-alih oleh kejelasan program yang diajukan kandidat. Fenomena yang sama juga terjadi di level lokal. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang dimulai tahun 2005 memunculkan para kandidat dari latarbelakang beragam, sekalipun masih didominasi oleh kalangan birokrat, politisi, dan purnawirawan TNI. Popularitas figur masih menjadi faktor utama dalam menentukan kemenangan kandidat.

    Popularitas itu umumnya dimiliki incumbent atau figur yang sedang menjabat karena setidaknya selama lima tahun aktivitas mereka terus-menerus terpublikasikan. Mereka juga setiap saat bisa menyapa rakyat, yang