depresi dan distimia

22
BAB 1 PENDAHULUAN Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat.Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi.Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir dengan bunuh diri. 1 Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan dengan prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang universal terlepas dari kultur atau negara prevalensi gangguan depresi berat pada wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset untuk gangguan depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang paling sering adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang tidak menikah dan bercerai atau berpisah.

Upload: rahmad-budi-prasetyo

Post on 27-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

berisi tentang pengertian depresi dan bagaimana nantinya akan berkembang menjadi distimia

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah

masyarakat.Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke

fase depresi.Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri

tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir

dengan bunuh diri.1

Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan

dengan prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang

universal terlepas dari kultur atau negara prevalensi gangguan depresi berat pada

wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset untuk gangguan

depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang paling sering

adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang tidak

menikah dan bercerai atau berpisah.

Depresi tersebar luas, tetapi jumlah dan rata-rata dari gejala fisik dan

kognitif berhubungan dengan gangguan depresi mayor atau major depressive

disorder (MDD) yang berarti banyak orang tidak menunjukkan gejala emosional.

Satu dari tujuh orang akan menderita gangguan psikososial dari MDD, beberapa

tidak terdiagnosis kecuali dengan kunjungan ke dokter yang berulang. Dan, tidak

hanya dokter keluarga, psikiatri, dan klinisi kesehatan mental juga harus dapat

mendiagnosis depresi. Tingginya prevalensi dari MDD dengan penyakit medis

lainnya menunjukkan bahwa professional kesehatan dan dokter, ataupun internis

atau onkologis atau ahli bedah atau kardiologis atau neurologis atau spesialis

lainnya, juga harus mengenali dan memberikan tatalaksana depresi klinis pada

pasien.1

Gangguan distimik dinamakan sebagai distimia didalam Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorders edisi ketiga yang direvisi (DSM-III-R).

Istilah terakhir menyatakan bahwa gangguan distimik adalah bentuk ringan dari

gangguan depresif berat dan gangguan bipolar 1. Tetapi, beberapa data penelitian

menyatakan bahwa walaupun gangguan mungkin berhubungan, gangguan tersebut

kemungkinan memiliki perbedaan biologis dan psikososial yang mendasar. Satu

perbedaan utama adalah, apabila gangguan depresif berat ditandai oleh episode

gejala terpisah, gangguan distimik ditandai oleh gejala nonepisodik dan kronis.1

Gangguan distimik harus dibedakan dengan gangguan depresi kronik,

karena pada gangguan distimik tidak pernah ditemukan episode gangguan depresi

mayor. Apabila kondisi ini terjadi pada anak atau remaja yang perlu diperhatikan

manifestasinya dapat dalam bentuk mudah marah. Hampir sepanjang hari pasien

selalu mengeluh keadaan mood terdepresi atau pada anak dan remaja mudah

marah ditemukan, dan keluhan ini sudah berlangsung selama sedikitnya 2 tahun.2

Paling sering pada perempuan ( perempuan : laki-laki = 2-3: 1), sering

muncul untuk pertama kalinya, pada usia akhir 20-an atau 30-an. Prevalensi

selama hidup 6 % dan mulainya berangsur-angsur, sering pada orang yang

mempunyai predisposisi untuk depresi.3

Menurut Freud, faktor psikososial orang rentan terhadap depresi,

tergantung secara oral dan membutuhkan pemuasan narsistik yang terus menerus.

Apabila individu tidak mendapat cinta, kasih saying yang bermakna ia akan

mengalami depresi. 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

1. Depresi

Depresi adalah suatu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan

respon emosional yang berat dikenal melalui intensitas dan pengaruhnya terhadap

fisik dan fungsi social seperti perasaan sedih dan berduka yang berlebihan dan

bekepanjangan (Stuart dan Sundeen, 2005).

Depresi adalah suatu jenis gangguan alam perasaan atau emosi yang

disertai komponen psikologik: rasa susah, murung, sedih putus asa, dan tidak

bahagia serta komponen somatic: anoreksia, konstipasi, kulit lemban(rasa dingin),

tekanan darah dan denyut nadi menurun. Depresi adalah salah satu bentuk

gangguan jiwa pada alam perasaan (afektif, mood) (Iyus Yosep, 2009)

Depresi merupakan gangguan alam perasaan yang berat dan

dimanifestasikan dengan gangguan fungsi sosial dan fungsi fisik yang hebat, lama

dan menetap pada individu yang bersangkutan. Depresi merupakan reaksi yang

normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus

yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya. Depresi

merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi

dengan realitas, tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat lagi dimengerti oleh

orang lain.

2. Distimia

Suatu depresi kronis dari suasana perasaan (mood) yang pada saat

sekarang tidak memenuhi kriteria untuk gangguan depresif berulang, ringan, atau

sedang (F33.0 atau F33.1) menurut keparahannya atau lamanya berlangsung

setiap episode.4

Distimia adalah suatu gangguan kronis yang ditandai oleh adanya mood

yang terdepresi (atau mudah marah pada anak –anak dan remaja) yang

berlangsung hampir sepanjang hari dan ditemukan pada sebagian besar hari.1

B. Epidemiologi

1. Depresi

Insiden dan Prevalensi. Distimia memiliki prevalensi 6 persen dari

keseluruhan gangguan depresi. Morbiditi dan mortalitas tidak hanya

ditandai dengan adanya kejadian bunuh diri namun juga penyakit fisik

yang berkomorbiditas dengan distimia.

Jenis kelamin. Cyranowski (2001) mengatakan angka kejadian

distimia pada perempuan dan laki-laki sebelum masa pubertas dan

menopause adalah sama. Namun, memasuki masa dewasa, perempuan

memiliki angka kejadian yang lebih besar dibandingkan laki—laki

dengan ratio 2:1.

Usia. Gangguan distimia memiliki onset pada usia muda, yaitu

pada masa kanak-kanak dengan keluhan perasaan tidak bahagia yang

tidak dapat dijelaskan, dan terus berlanjut saat memasuki masa remaja

dan menginjak usia 20 tahun. Pada subtype onset pada usia lanjut, maka

gangguan distimia terjadi pada usia lanjut, maka gangguan distima terjadi

pada usia pertengahan dan usia lanjut.

Faktor Psikososial.Menurut Freud orang rentan terhadapap depresi,

tergantung secara oral dan membutuhkan pemuasan narsistik yang terus

menerus. Apabila individu tidak mendapat cinta, kasih saying yang

bermakna ia akan mengalami depresi. 2

2.1.3 Etiologi

Penyebab utama dari distimia adalah apakah gangguan ini

berhubungan dengan diagnosis psikiatrik lain, termasuk gangguan

depresif berat dan gangguan kepribadian ambang. Pada saat ini kita tidak

dapat mencapai kesimpulan akhir, tetapi pasien yang didefenisikan

dengan criteria DSM-IV memiliki bermacam-macam heterogenitas

proses penyakit. Sebagai contoh tidur REM (Rapid Eye Movement) atau

riwayat keluarga adanya gangguan mood.1

Faktor biologik. Ada data yang menunjukkan bahwa dasar biologic

untuk gejala gangguan distimia dan gangguan depresi berat adalah sama,

tetapi dasar biologic untuk psikopatologiknya berbeda. Beberapa

penelitian menunjukkan keterkaitan neurotransmitter serotonin dan

Noradregenik terlibat dalam gangguan distimia. Pada pemeriksaan EEG

dan polisogram, menunjukkan terjadinya gangguan tidur yang ditandai

masa latensi REM, dan meningkatnya densitas REM serta terganggunya

kontinuitas dari tidur. Individu dengan cirri kepribadian antisocial,

ambang, ketergantungan, historic, depresif dan skizotipal memiliki

kecenderungan untuk mengalami distimia.2

Faktor Psikososial. Teori psikodinamika tentang perkembangan

gangguan distimik menyatakan bahwa gangguan disebabkan oleh

kesalahan perkembangan kepribadian dan ego, yang memuncak dalam

kesulitan beradaptasi pada masa remaja dan dewasa muda. Mekanisme

pertahanan utama yang digunakan adalah pembentukan reaksi. Harga diri

yang rendah, anhedonia, dan introversi sering kali disertai dengan

karakter depresif.2

2.1.4 Gejala Klinis

Depresi menimbulkan perubahan dalam pikiran, perasaan perilaku

dan kesehatan fisik.

Perubahan dalam pikiran :

Sulit berkonsentrasi dan membuat keputusan. Beberapa

orang mengeluh masalah dengan ingatan jangka pendek, lupa

berbagai hal sepanjang waktu. Pikiran negative,pesimis, rendah

diri, rasa bersalah, kritik diri.

Perubahan dalam perasaan:

Kebanyakan merasa sedih tanpa alasan yang jelas, tidak

dapat menikmati aktivitas yang menyenangkan. Motivasi menurun

sampai apati, merasa lamban dan mudah lelah,sulit mengontrol

amarah. Sering gangguan distimik menunjukkan ketidakmampuan

dan ketidakberdayaan.

Perubahan dalam perilaku.

Pasien terlihat apati. Hal ini sejalan dengan perasaanya.

Mereka merasa tidak nyaman berhubungan dengan orang lain, hal

ini umumnya menimbulkan penarikan diri dari pergaulan sosial.

Ada perubahan selera makan, dalam bentuk meningkat atau

menurun. Akibat kesedihan berjalan kronik, timbul menangis

secara berlebihan. Mereka sering marah dalam ekspresi kekerasan.

Dorongan seksual menurun, dalam bentuk aktivitas seks yang

berkurang.

Perubahan dalam kesehatan fisik.

Perasaan emosi yang negative sejalan dengan perasaan fisik

yang negative. Timbul kelelahan kronik sehingga banyak waktu

yang disia-siakan dan banyak tidur. Beberapa orang banyak

mengalami sulit tidur. Mereka juga mengeluh banyak sakit

dan nyeri. Pada distimia, beberapa gejala ada sepanjang waktu

dapat sampai 2 tahun.

Pada pasien dengan gangguan distimik tidak ditemukan

adanya gejala psikotik. Pasien distimia memiliki gejala yang mirip

dengan gangguan depresi mayor namun lebih banyak bersifat

subjektif. Namun gejala-gejala endogenik sepeti letargi,inersia dan

anhedonia seringkali dapat diamati terutama pagi hari.

Gangguan distimik seringkali dialami oleh pasien yang

menderita gangguan fisik yang kronik terutama pada orang usia

lanjut.2

2.1.5 Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis distimia memerlukan adanya mood yang

terdepresi pada sebagian besar waktu untuk sekurang-kurangnya dua tahun (

atau satu tahun untuk anak-anak dan remaja). DSM-IV memungkinkan

klinis untuk menentukan apakah onset adalah awal (sebelum usia 21 tahun)

atau akhir (21tahun dan lebih)

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Distimik.

A. Mood terdepresi untuk sebagian besar hari, lebih banyak hari

dibandingkan tidak,seperti yang ditunjukan oleh keterangan subjektif

atau pengamatan orang lain, selama sekurangnya 2 tahun. Catatan:

pada anak-anak dan remaja, mood dapat mudah tersinggung (iritabel)

dan lamanya sekurangnya 1 tahun.

B. Adanya saat terdepresi, dua atau lebih berikut:

Nafsu makan yang buruk atau makan berlebih

Insomnia atau hiperinsomnia.

Energy lemah atau lelah

Harga diri yang rendah

Konsentrasi buruk atau sulit menngambil keputusan

Perasaan putus asa

C. Selama periode 2 tahun (1 tahun untuk anak-anak dan

remaja)gangguan, orang tidak pernah tanpa gejala dalam criteria A

dan B selama lebih dari 2 bulan pada suatu waktu.

D. Tidak pernah ada episode depresif berat selama 2 tahun pertama

gangguan.

E. Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran atau episode

hipomanik, dan tidak pernah memenuhi criteria untuk gangguan

siklotimik.

F. Gangguan tidak pernah semata-mata selama perjalanan gangguan

psikotik kronis, seperti skizofrenia atau gangguan delisional.

G. Gejala tidak pernah merupaka efek fisiologis langsung dari suatu zat

(missal obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi

medis umum (missal hipotiroidisme)

H. Gejala menyebabkan penderita bermakna secara klinis atau gangguan

dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.

Sebutkan jika:

Onset awal awal : jika onset sebelum usia 21 tahun

Onset lambat : jika onset pada usia 21 tahun atau lebih

Untuk 2 tahun terakhir gangguan distimik dengan ciri atipikal 1

Berdasarkan Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa

di Indonesia III (PPDGJ-III):

Pedoman Diagnostik

Ciri esensial ialah depresi suasana perasaan (mood) yang

berlangsung sangat lama yang tak pernah atau jarang sekali cukup

parah untuk memenuhi criteria gangguan depresif berulang ringan

atau sedang ( F33.0 atau F33.1)

Biasanya mulai dini dalam masa kehidupan dewasa dan

berlangsung sekurang-kurangnya beberapa tahun, kadang-kadang

untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Jika onsetnya pada usia

lebih lanjut, gangguan ini sering kali merupakan kelanjutan suatu

episode depresif tersendiri (F32.-) dan berhubungan dengan masa

berkabung atau stress nyata lainnya. 4

2.1.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk gangguan distimik pada dasranya adalah

sama dengan gangguan depresif berat. Banyak zat dan penyakit medis

dapat menyebabkan gejala depresif kronis. Dua gangguan khususnya

penting untuk dipertimbangkan dalam diagnosis banding dari distimia

yaitu gangguan depresif ringan dan gangguan depresif singkat rekuren.

Gangguan depresif ringan ditandai oleh episode gejala depresif

yang kurang parah dibandingkan dengan gangguan depresif berat.

Perbedaanya pada sifat episodik gejala pada gangguan depresif

ringan, mood eutimik. Sedangkan pada pasien distimia tidak

memiliki mood eutimik.

Gangguan depresif singkat rekuren ditandai oleh periode

singkat(kurang dari dua minggu) selama mana terdapat episode

depresif. Pasien dengan gangguan depresif singkat rekuren berbeda

dengan pasien distimia dalam dua hal yaitu : memiliki gangguan

episodik dan keparahan gejalanya lebih besar.2

2.1.7 Penatalaksanaan

Penelitian yang telah dilakukan membuktikan efektivitas

penatalaksanaan denngan psikoterapi dan farmakoterapi lebih besar

daripada apabila kedua modalitas tersebut dilakukan terpisah.

Psikoterapi terapi pilihan untuk gangguan distimia. Psikoterapi

diberikan untuk mengatasi masalah yang menimbulkan depresi dengan

berbagai cara. Pertama konseling yang berifat suportif diharapkan dapat

membantu mengatasi nyeri atau mengatasi ketidakmampuannya. Kedua,

terapi kognitif perilaku digunakan untuk mengubah ide pesimistis,

harrapan yang tidak realistic dan kritik diri yang menimbulkan depresi

dan penderitaanya. Ketiga, problem solving therapy biasanya dibutuhkan

untuk mengatasi depresi dengan cara mengubah situasi kehidupan yang

menimbulkan stress yang bermakna.

Farmakoterapi antidepresan dibutuhkan untuk mengatasi gangguan

vegetative yang sering dialami oleh penderita ditimia., seperti gangguan

tidur, rasa lelah, anhedonia, dan rasa nyeri. Dari beberapa pelaporan

diperoleh bahwa SSRIs , tricyclic antidepressant dan monoamine

oksidase inhibitor (MAOIs)sama efekti, tetapi SSRIs yang dapat

ditoleransi lebih baik. Penggunaan antidepresan harus memperhatikan

efek sampingyang ditimbulkan karena obat digunakan dalam jangka

panjang. Antidepresan golongan SSRIs yang sering diberikan adalah

fluoxetin dengan dosis awal 20 mg(untuk dewasa), sekali sehari pada

pagi hari. Dosis dapat ditingkatkan secara perlahan dalam beberapa

minggu sebesar 20 mg dengan dosis maksimal 80 mg perhari. Selain

fluoxetin, dapat diberikan sertralin dengan dosis awal 50 mg (untuk

dewasa) sekali sehari pada pagi hari, dan dosis dapat ditingkatkan dalam

beberapa minggu sebesar 50 mg, dengan dosis maksimal 200 mg perhari.

Antidepresan diberikan dengan waktu yang tidak ternatas, namun dosis

diturunkan sesuai dengan evaluasi perbaikan gejala. Namun obat tidak

diturunkan terlebih dahulu sampai 6 bulan setelah gejala membaik.

Kegiatan olahraga juga dapat memperbaiki gejala. Pasien disarankan

berolahraga sebanyak 3-4 kali dalam seminggu. Olahraga yang

digunakan adalah bersifat aerobik.2

2.1.8 Prognosis

Prognosisnya bervariasi. Prediksi kedepan tentang prognosis

distimia dengan adanya tatalaksana obat antidepresan yang baru seperti

fluoxetine, bupropion dan terapi kognitif dan perilaku akan memperlihatkan

hasil yang baik.data yang lama menunjukan antara 10-15 persen pasien

gangguan distimik dalam kondisi remisi setelah didiagnosis. Sekitar 25

persen dari gangguan distimia tidak mencapai pemulihan lengkap. Edukasi

yang baik terhadap pasien dan keluarga dapat meningkatkan prognosis yang

baik.2

BAB III

KESIMPULAN

Gangguan distimik adalah gangguan mood yang terdepresi,

dikarakteristikan dengan perjalanan penyakit yang kronik dengan onset yang tiba-

tiba. Gangguan distimik harus dibedakan dengan gangguan depresi kronik, karena

pada gangguan distimik tidak pernah ditemukan episode gangguan depresi mayor.

Pasien dengan distimia sering memiliki pandangan yang suram atau

negative dalam hidupnya dengan perasaan ketidakmampuan dalam dirinya.

Berdasarkan defenisinya, kondisi ini telah berlangsung sekurang-kurangnya 2

tahun pada dewasa dan 1 tahun pada anak-anak dan remaja. 6

Gejala klinis dari distimia diikuti :

Berfikiran negatif, pesimistik dan berpandangan suram.

Mood terdepresi

Gelisah

Cemas

Gejala Neurovegetative seperti tidur terganggu dan perubahan nafsu

makan,letargi, biasanya kurang ditandai daripada yang terlihat dalam

episode depresi mayor.

Anhedonia

Distimia kemungkinan lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki.

Keadaan ini juga lebih sering pada keluarga biologis tingkat pertama pasien

dengan riwayat episode depresif daripada populasi umum.

Pada kasus yang lebih berat, pengobatan dengan antidepresan psikopterapi

individual atau terapi kognitif dapat berguna. Rawat inap biasanya tidak

diindikasikan kecuali jika pasien ingin bunuh diri.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan Harold I,M.D, Sadock Benjamin J,M.D, Grebb Jack A. M.D. Sinopsis

Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I, Penerbit Binarupa

Aksara, Jakarta, 2010. Hal : 855-860

2. Ismail R.Irawati, Siste Kristina. Buku Ajar Psikiatri, Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,2010. Hal 223-229

3. Tomb David a,M.D. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6,Penerbit Buku Kedokteran

EGC, Jakarta, 2004. Hal : 52

4. Departemen Kesehatan direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman

Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan

pertama, Jakarta: Departemen Kesehatan. 1993. Hal :164-165

5. Puri Basant K, Laking Paul J, Treasaden Ian H. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2,

EGC, Jakarta, 2011. Hal: 180-181

6. http://emedicine.medscape.com/article/290686-overview