desentralisasi fiskal dalam era otonomi daerah
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
1
DESENTRALISASI FISKAL
DALAM SEBUAH NEGARA KESATUAN (Unitary Staate)
Oleh:
Rusdianto S., S.H., M.H.1
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir
seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik
luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.2 Hal
ini menimbulkan peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan
(penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat
besar.3
Permasalahan utama yang akan menjadi pembahasan dalam paper ini adalah
berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat dalam bidang moneter dan fiskal
nasional yang didesentralisasikan kepada daerah.4 Sebagai sebuah negara kesatuan,
tentunya urusan fiskal merupakan masalah yang sangat penting dan mendasar dalam
urusan penyelenggaraan negara. Masalah kebijakan fiskal sebagaimana ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan urusan atau kewenangan
pemerintah pusat. Akan tetapi dalam beberapa hal, sebagai konsekuansi dari
diterapkannya otonomi daerah, maka sudah sepantasnya daerah juga diberikan
kewenangan dalam masalah keuangan untuk menunjang pembangunan di daerah
1 Penulis adalah dosen tetap Bagian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Fakultas
Hukum Universitas Narotama Surabaya 2 Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut
terdapat kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan
keuangan, (3) sistem administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8)
konservasi dan (9) standarisasi nasional. 3 Pantja Astawa, I Gde, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia (Bandung: Alumni,
2009), hlm. 55 4 Winarsih, Sri, Sistem Otonomi Daerah, Diktat Kuliah Magister Hukum Pemerintahan, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, 2010, hlm.31
2
bersangkutan. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah apakah dengan
desentralisasi fiskal5 tersebut tidak memunculkan dampak negatif bagi
keberlangsungan sebuah “negara kesatuan” seperti Indonesia.
Banyak kekhawatiran, bahwa dengan desentralisasi fiskal justru akan membuat
suatu daerah merasa seperti sebuah “negara kecil” yang dapat melaksanakan apa saja
sekehendaknya, tanpa memiliki keterkaitan dengan pemerintah pusat dan/atau daerah
lainnya. Tentunya hal ini akan mengancam konsep negara kesatuan yang telah kita
anut.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam paper ini, yaitu
apakah dampak desentralisai fiskal terhadap bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
B. Pembahasan
Konsep susunan negara yang berkaitan dengan bentuk-bentuk negara modern saat
ini dapat ditijau dari segi susunannya. Negara, apabila ditinjau dari segi susunan atau
bentuk negara, maka akan ditemukan dua jenis bentuk negara, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Soehino, yaitu bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federal:6
Dalam perkembangannya lebih lanjut juga dibeberapa negara kesatuan telah
dilaksanakan azas desentralisasi ( penyerahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah
otonom) untuk menjadi urusan rumah daerah otonom itu. Pelaksanaan asas desentralisasi
inilah yang melahirkan daerah-daerah otonom. Daerah otonom dapat mengatur rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.7
Dalam negara kesatuan, tanggungawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada
dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Adapun hubungan antara asas
desentralisasi dengan sistem otonomi daerah sebagaimana dikemukakan oleh Benyamin
Hossein yang kemudian diikuti oleh pendapat Philip Mowhod dan kemudian disimpulkan
oleh Jayadi N.K dalam Siswanto Sunarno adalah sebagai berikut:
5 http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010 Diakses tanggal 26 November 2010 6 Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3 (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 224 7 Ibid, hlm.225-226
3
“Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein
adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu
kepadanya oleh pemerintah pusat. Philip Mawhod menyatakan desentraliasi adalah
pembagian dari sebagiankekuasaan pemerintah oleh elompok yang berkuasa di
pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di
dalam wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar diatas, menurut
Jayadi N.K. bahwa mengandung empat pengertian: pertama, desentralisasi
merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk
diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi uga
merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan yang
dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah
tertentu.”8
Dari teori di atas dapat diketahui bahwa kekuasaan pemerintahan sesungguhnya
tetap berada di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian maka pemerintah pusatlah
yang berwenang untuk membeikan atau membagi kewenangan kepada tingkatan
pemerintahan yang lebih rendah yaitu pemerintah daerah,baik itu tingkat pemerintah
daerah provinsi ataupun tingkat pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dengan konsep
seperti yang disebutkan diatas, maka pembagian urusan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah termasuk didalamnya terkait masalh desentralisasi fiskal adalah
kewenangan bulat pemerintah pusat yang kemudian dibagi kepada pemeintah daerah
melalui peraturan perundang-undangan. Di dalam negara yang berbentuk kesatuan seperti
halnya Indonesia, pada hakekatnya kekuasaan pemerintahan hanya ada ditangan
pemerintah pusat yang dalam hal ini adalah Presiden. Sebagaimana yang ditentukan pada
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu bahwa Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan negara. Akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi kedalam tingkatan pemerintahan atau satuan pemerintahan daerah provinsi dan
daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang mana pada tiap daerah tersebut baik
pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang
mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga daerahnya masing-masing.
Desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai devolusi (penyerahan)
tanggungjawab fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan pemerintahan yang ada
8 Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3 (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 13
4
dibawahnya.9 Desentralisasi fiskal juga dapat diartikan sebagai penyerahan urusan fiskal
ke bawah, dimana jenjang pemerintahan yang lebih tinggi menyerahkan sebagian
kewenangannya mengenai anggaran dan keputusan-keputusan finansial kepada jenjang
yang lebih rendah.10
Beberapa masalah atau hal-hal yang terkait dengan desentralisasi fiskal diantaranya:
1. Pembagian peran dan tanggungjawab antar pemerintah
Pembagian peran dan tanggungjawab antar pemerintah pusat dan pemerintah
daerah merupakan landasan pokok bagi penerapan desentralisasi fiskal. Dengan adanya
pengaturan yang tegas mengenai kewenangan, peran dan tanggungjawab masing-
masing tingkatan pemerintahan yaitu tingkat pemerintah pusat, tingkat pemerintah
daerah provinsi dan tingkat pemerintah daerah kabupaten/kota maka akan terciptanya
suatu keteraturan dan keharmonisan hubungan antar tingkat pemerintahan tersebut
dalam menjalankan kewenangannya masing-masing. Selain dari itu, kewangan
pemerintah pusat dalam bidang fiskal harus tetap memiliki porsi yang besar sehingga
konsep pengawasan dan konsep bentuk negara kesatuan tetap terjaga.
2. Tingkat pemerintahan yang mana yang harus mendesain dan menjalankan seluruh
aturan, serta
Dalam perjalanan otonomi daerah di Indonesia dewasa ini, pemerintah daerah
memiliki kewenangan untuk membuat perutaran daerah untuk melaksanakan tugas
otonomi dan untuk menjalankan perintah peraturan perundangan yang lebih tinggi
sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun
1945. Dengan kewenangan yang dimilikinya tersebut maka pemerintah daerah dapat
mendesain dan menjalankan peraturan daerah yang dibuat untuk melaksanakan tugas
otonomi dan untuk melaksanakan perintah peraturan perundang-undanagan yang lebih
tinggi. Dalam hal pajak daerah di Indonesia telah diatur oleh Undang-Undang
tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.
9 Rahayu, Ani Sri, Pengantar Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 116 10 Yustika, Ahmad Erani, ed. Desentralisasi Ekonomi di Indonesia Kajian Teoritis dan Realitas
Empiris (Malang: Bayumedia, 2008), hlm. 25
5
Pemerintah pusat tetap memegang kendali atas segala bentuk peraturan
perundang-undangan, sehingga apabila ada peraturan daerah yang dinilai bertentangan
dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi, maka pemerintah pusat dapat
membatalkan peraturan daerh tersebut. Oleh karena itu, Undang-Undang tentang pajak
daerah dan retribusi daerah haruslah menyebutkan secara rinci dan jelas mengenai
bidang apa saja yang boleh datur dalam peraturan daerah sehingga perbedaan yang
terlalu mencolok antara daerah yang satu dengan daerah lainnya dapat dihindari.
Dengan demikian maka segala tingkat pemerintahan memiliki kewenangan untuk
mendesain dan menjalankan jenis aturan teretentu yang berkaitan dengan kebijakan
fiskal. Misalnya pemerintah pusat berwenang mendesain dan menjalankan serta
mengawasi suatu Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebagai
contoh, misalnya sebuah daerah menetapkan peraturan daerah tentang pajak daerah dan
retribusi daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, maka pemerintah pusat dapat membatalkan keberlakuan dari sebaain
atau seluruh peraturan daerah yang dinilai bertentangan dengan perturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, hal ini termasuk dalam kewenangan pemerintah pusat
dalam bidang pengawasan peraturan daerah seacara Preventif.
3. Jenis penerimaan apa saja yg dapat dipungut oleh jenjang pemerintahan tertentu dan
pengeluaran apa yang harus dilakukan oleh jenjang pemerintahan tertentu.11
Dengan berlakunya Undan-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut, maka telah
ditentukan mengenai apa saja yang dapat dijadikan objek pajak daerah atau apa saja
jenis-jenis pajak daerah telah ditentukan dalm rumusan Pasal 2 Undang-Undang nomor
28 Tahun 2009 yaitu sebagai berikut:
( 1 ) Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
11 Ibid., hlm.116-117, bandingkan dengan Sarwirini, Desentralisasi Fiskal dan Permasalahannya,
Diktat Kuliah Magister Hukum Universtitas Airlangga Tahun 2010, hlm.2
6
( 2 ) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dalam suatu negara yang berbentuk
kesatuan seperti halnya Indonesia, pada hakekatnya kekuasaan pemerintahan hanya ada
ditangan pemerintah pusat yang dalam hal ini adalah Presiden. Sebagaimana yang
ditentukan pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu bahwa Presiden
memegang kekuasaan pemerintahan negara. Akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 18
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi kedalam tingkatan pemerintahan atau satuan pemerintahan daerah
provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang mana pada tiap daerah
tersebut baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah
yang mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga daerahnya masing-masing.
Kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada pemerintah daerah juga
harus disertakan dengan sumber-sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk
membiayai urusan pemerintahan tersebut. Konsekuensi dari adanya pembagian
kewenangan itu adalah diserahkannya beberapa sumber pendapatan kepada daerah untuk
membiayai urusan pemerintahannya tadi.
7
Secara teoritik, ada 4 jenis pendekatan hubungan keuangan antara pusat dan daerah
sebagai akibat dari dilaksanakannya sistem otonomi daerah, yaitu sebagai berikut:12
1. Pendekatan kapitalisasi (permodalan), dalam jenis pendekatan ini dapat dilakukan
beberapa cara untuk memberikan sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah untuk
menjalankan pemerintahannya yaitu sebagai berikut:
a. Daerah memperoleh modal permulaan yang diharapkan untuk diinvestasikan
b. Modal merupakan pemberian pemerintah pusat dalam bentuk bantuan (grant)
c. Modal dapat juga berbentuk barang.
2. Pendekatan pendapatan:
a. Daerah diberikan sumber pendapatan
b. Daerah diberikan hak untuk mengelola sejumlah urusan untuk menjadi sumber
pendapatan
3. Pendekatan Pengeluaran, yaitu dapat dilaksanakan dengan cara pemerintah pusat
memberikan sejumlah dana pinjaman, bantuan (sumbangan) atau bagi hasil pungutan
kepada daerah untuk membiayai pengeluaran tertentu.
4. Pendekatan Komprehensif, yaitu merupakan gabungan dari 3 jenis pendekatan
sebelumnya.
Konsekuensi dari adanya pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan, yaitu dengan adanya kebijakan desentralisasi urusan pemerintahan maka
harus juga diikuti dengan dengan memberikan sumber-sumber pembiayaan kepada
pemerintah daerah untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Sumber-sumber
keuangan yang diberikan kepada daerah tersebut juga disertai dengan memberikan
kewenangan kepada daerah otonom untuk mengelola sumbe-sumber pendapatan tersebut.
Dengan adanya kewenangan untuk mengelola sumber pendapatan sebagai sumber
pembiayaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah, maka tujuan dari
dilaksanakannya suatu sistem otonomi daerah dapat tercapai.
Dari pemaparan di atas maka, secara teoritik desentralisasi fiskal sangat diperlukan
untuk keperluan pembangunan suatu daerah sebagai akibat dari diserahkannya berbagai
jenis urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah. Dengan kata lain, urusan
12 Sujatmoko, Emanuel, Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Diktat Kuliah Magister Hukum
Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2010.
8
pemerintahan yang akan diarasakan secara langsung oleh rakyat adalah berada ditingkat
pemerintah daerah sehingga pembiayaan untuk penyelenggaraan urusan tersebut memang
sewajarnya dikelola oleh pemerintah daerah itu sendiri.
Berdasarkan pendekatan pendapatan diatas maka dalam konteks ke-Indonesiaan
telah dilakukan berbagai jenis kebijakan yaitu dengan memberikan sumber-sumber
pendapatan kepada pemerintah daerah sebagaimana yang diatur pada Pasal 157 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 serta juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Hal yang bersifat teknis juga dapat dilihat dari ketentuan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2001
tentang Retribusi Daerah dan telah diganti dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Konsep negara kesatuan menempatkan pemerintah pusat sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan tertinggi dalam negara. Kewenangan pemerintah pusat yang
walaupun menurut Pasal 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya pada 6 bidang
tertentu saja, akan tetapi juga mencakup seluruh kewenangan lain yang dilaksanakan
untuk penyelenggaraan negara. Walaupun pemerintah pusat menyerahkan sebagian
kewenangan yang dimilikinya untuk menjadi urusan dari pemerintah daerah, bukan
berarti pemerintah pusat tidak dapat mencampuri atau mengawasi jalannya
penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Soehino
berikut ini:13
“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,
melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara.
Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu
pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam
bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan
melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”14
Dengan demikian, secara teoritik maupun yuridis desentralisasi fiskal dapat
dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai konsekuansi dari diberlakukannya sistem
otonomi daerah di Indonesia. Hal ini tidak lain ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat
13 Soehino, Op.Cit., hlm. 224 14 Ibid, hlm.224
9
di daerah itu sendiri. Kekhawatiran mengenai dampak bagi bentuk negara kesatuan yang
akan luntur adalah sesuatu yang tidak rasional dikarenakan kekuasaan pemerintahan yang
sesungguhnya tetap berada ditangan pemerintah pusat. Selama pengaturan yang jelas
dalam peraturan perundang-undangan mengenai apa-apa saja yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah dalam urusan keuangan dan pemerintah pusat tetap memegang kendali
kunci dalam urusan keuangan tersebut, maka konsep negara kesatuan yang telah kita anut
selama ini akan tetap utuh.
C. Penutup
1. Simpulan
Pelaksanaan desentralisasi fiskal tidaklah akan membawa dampak negatif
terhadap konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia dikarenakan kekuasaan
pemerintahan tertinggi tetap ada pada tangan pemerintah pusat dan pemerintah pusat
berwenang untuk mengatur semua daerah yang ada. Akan tetapi sebaliknya jika
pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat diselenggarakan dan dikelola dengan baik oleh
suatu daerah otonom, maka akan membawa dampak yang baik dari daerah itu yaitu
akan terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan terselenggaranya semua urusan
pemerintahan daerah dengan baik.
2. Saran
Untuk pemerataan pembangunan di daerah, sebaiknya pemerintah pusat tetap
memegang kendali atas sumber-sumber pendapatan yang penting dan strategis, agar
dapat diberikan ke daerah lain yang sumber pendapatannya masih minim. Hal ini juga
untuk menjaga bentuk negara kesatuan yang telah kita anut.
D. Daftar Pustaka
Pantja Astawa, I Gde. 2009. Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia
Bandung: Alumni
Rahayu, Ani Sri. 2010. Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta: Bumi Aksara
Soehino.2000. Ilmu Negara. Ed.3, Cet.3 Yogyakarta: Liberty
Sarwirini. 2010. Desentralisasi Fiskal dan Permasalahannya, Diktat Kuliah Magister
Hukum Universtitas Airlangga. Surabaya
10
Sujatmoko, Emanuel. 2010. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Diktat Kuliah
Kebijakan Fiskal Magister Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas
Airlangga. Surabaya
Soemitro, Rochmat & Dewi Kania Sugiharti. 2004. Asas dan Dasar Perpajakan 1. Edisi
Revisi. Bandung: Refika Aditama.
Sunarno, Siswanto. 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Cet.3 Jakarta: Sinar
Grafika
Sutedi, Adrian. 2008. Pajak dan Retribusi Daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia
Winarsih, Sri. 2010. Sistem Otonomi Daerah. Diktat Kuliah Magister Hukum
Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Surabaya
Yustika, Ahmad Erani, ed. 2008. Desentralisasi Ekonomi di Indonesia Kajian Teoritis
dan Realitas Empiris. Malang: Bayumedia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
Dan Pemerintah Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010