diajukan kepada fakultas syariah dan hukum untuk memenuhi...
TRANSCRIPT
TINJAUAN YURIDIS POS BANTUAN HUKUM
DILINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA
(ANALISIS SEMA NO. 10 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM)
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah
Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Jainul Amidin
NIM: 107044100235
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432H/2010M
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan kemudahan, petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis
dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat
serta salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, yang
telah mengantarkan umatnya menuju zaman yang beradab dan penuh pencerahan.
Skripsi dengan judul Tinjauan Yuridis Pos Bantuan Hukum di Lingkungan
Pengadilan Agama disusun guna memenuhi syarat dalam meraih gelar Sarjana
Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis juga ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan skripsi dan juga telah membimbing penulis
yaitu kepadaYth:
1. Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Drs., H. A. Basiq Djalil, SH, MA Ketua Program Studi dan ibu Hj.
Rosdiana, MA., sebagai Sekertaris Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Afwan faizin, MA dan Drs. Abu Tamrin, SH, M Hum, dosen pembimbing
yang sudah meluangkan waktunya untuk membimbing skripsi penulis
untuk menjadi lebih baik.
v
4. Pansek Pengadilan Agama Jakarta Selatan Drs. Ach Jufri, SH beserta
jajaran pegawai Pengadilan Agama yang telah membantu penulis dalam
memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian.
5. Ibu Umiyati, SH beserta jajaran pegawai Badilag yang telah bersedia
membantu penulis, baik dari wawancara maupun memberikan data-data
yang diperlukan oleh penulis.
6. Fauzan, SH, MH. Yang menjabat sebagi Kabag Sesbim Mahkamah Agung
yang telah bersedia diwawancara untuk mendukung data-data dalam
penulisan skripsi penulis.
7. Seluruh Dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum, terima
kasih atas ilmu dan bimbinganya. Seluruh Staf Akademik, Program Studi,
Kasubag Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam
upaya membantu mempelancar penyelesaian skripsi ini.
8. Ayahanda Azir Mudin dan Ibunda tercinta Siti Maryam atas pengorbanan
dan cinta kasihnya baik moril dan materill, serta doa yang tak terhingga
sepanjang masa untuk keberhasilan studi Penulis. Segala hormat Penulis
sembahkan.
9. Teman-teman seperjuangn kelas Peradilan Agama 2007 Tajul Muttaqin,
Syawaludin, Ahmad Syadhali, Riki Dian Saputra, Ratna Khuzaemah,
Yayah Lutfiah Hamid, Laila Wahdah dan lain-lain yang tidak penulis
sebutkan satu-persatu, yang telah banyak sedikitnya membantu, baik
moril maupun materil, dan semangat, semoga kesuksesan dan
keberhasialan selalu menaungi dan menyertai kita.
vi
10. Teman-teman Kosan Pak Aziz, yang telah sangat menghibur dan penulis
dalam menghadapi kesulitan, semoga menjadi kenangan yang tidak bisa
dilupakan.
11. Teman-teman Di Bimbel GXM, yang telah membantu penulis dalam
memberikan motovasi dan dorongan, sehingga penulis berhasil menyusun
skripsi ini sampai selesai.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang dapat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis,
semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua
pihak yang membacanya, Amin.
Ciputat, 7 Juni 2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah……………………………………………….. 5
C. Tujuan dan Manfaat penelitian………………………………………………... 7
D. Kerangka Teori………………………………………………………………... 8
E. Review Studi Terdahulu………………………………………………………. 11
F. Metode Penelitian…..………………………………………………………… 12
G. Sistematika Penulisan………………………………......................................... 15
BAB II BANTUAN HUKUM
A. Pengertian Bantuan Hukum…………………………..………………………. 18
B. Pengertian Bantuan Hukum Menurut Pendapat Ahli Hukum…………........... 20
C. Sejarah Singkat Bantuan Hukum di Indonesia................................................. 25
D. Jenis-Jenis Bantuan Hukum………………...................................................... 31
vii
BAB III POS BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA
A. Pengertian Pos Bantuan Hukum………………………………………………. 33
B. Tujuan Didikannya Pos Bantuan Hukum….…………………………….……. 37
C. Dasar Hukum Pos Bantuan Hukum……………..……………………………. 38
D. Tata Cara dan Syarat Pembentukan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan
Pengadilan Agama……………………………………………………………..……. 41
E. Struktur Kepengurusan Pos Bantuan Hukum……………………………………… 45
F. Mekanisme Pemberian Jasa Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama.
………………………………………………………………………………….. 46
G. Mekanisme Pengawasan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan
Agama………………………………………………………………………….. 48
BAB IV TINJAUAN YURIDIS POS BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN
PENGADILAN AGAMA
A. Sema Sebagai Landasan Yuridis Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan
Agama ……………………………………………………………………….... 51
B. Kekuatan Hukum SEMA di Negara Republik Indonesia…………………….. 53
C. Analisi Yuridis Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama……... 55
viii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………… 60
B. Saran-saran……………………………………………………………………. 61
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….................... 63
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan salah satu sarana dalam kehidupan yang bertujuan untuk
menciptakan keadilan, ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat dimana hukum
itu berada.1 Kebutuhan akan keadilan merupakan salah satu hak asasi yang harus
dilindungi, sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila sila ke-5 yang berbunyi
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan UUD Negara Republik
Indonesia pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan Pemerintahan dan wajib menjujung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.2
Pasal di atas tidak membedakan antara warga Negara yang satu dengan yang
lainnya, semua sama didepan hukum dan berhak memperoleh perlindungan hukum
termasuk fakir miskin, di dalam pasal 34 UUD 1945 menerangkan bahwa “Negara
berkewajiban melindungi fakir miskin sebagai bagian dari warga negaranya”, akan
tetapi realitanya masih banyak warga yang ada dibawah garis kemiskinan bahkan
hampir semuanya buta akan hukum dan pada umumnya mereka tidak tahu bagaimana
1 Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Alumni,
1997), cet ke-4, h. 20 2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
2
menghadapi dan menyelesaikan perkara-perkara dalam kehidupan yang mereka
alami, terutama menyangkut masalah perdata mereka.3
Dalam menghadapi situasi ini, maka perlu adanya perombakan strategi
pembangunan hukum, karena hukum juga harus bersentuhan dengan kebutuhan
rakyat yang kurang mampu, dalam arti bukan membebaskan mereka dari aturan
hukum, akan tetapi justru memperkuat rakyat yang akan menentukan masa depan
mereka. Ini perlu kembali diefektifkan agar masalah-masalah yang muncul
belakangan ini mendapat penyelesaian, sebab bila semua itu tidak ditindak lanjuti
dalam bentuk yang nyata, maka konsep-konsep tersebut hanya akan menjadi huruf
mati yang tidak mempunyai efektifitas.4
Dengan menjawab situasi yang demikian, Mahkamah Agung tidak henti-
hentinya melakukan perubahan dalam upaya meningkatkan pelayanan hukum bagi
masyarakat. Setelah kebijakan reformasi birokrasi dan keterbukaan informasi, kini
Mahkamah Agung melakukan terobosan baru memberikan bantuan hukum kepada
masyarakat pencari keadilan yang dipandang tidak mampu secara ekonomi
sebagaimana diatur dalam SEMA No. 10 Tahun 2010.5
Bantuan hukum dimaksud adalah pemberian jasa hukum bagi orang yang
tidak mampu secara ekonomi dalam berperkara ke pengadilan, meliputi perkara
3 Direktoral Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Bulletin Berkala Hukum &
Peradilan, (Jakarta:Direktorat Pembinan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 2002) h. 42
4 Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), Cet ke- I, h.
10
5 www.hukumonline.com
3
perdata dan pidana di Peradilan Umum, perkara perdata dan jinayah di Peradilan
Agama serta perkara tata usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara.
Tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum tersebut diatur didalam
lampiran SEMA, dan khusus di lingkungan Peradilan Agama diatur dalam lampiran
B SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum Di Lingkungan
Peradilan Agama.
Dalam lampiran B Pasal 1 ayat (4) disebutkan, bantuan hukum adalah
pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara melalui Peradilan Agama, baik
dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara jinayat. Selanjutnya
dalam Pasal 1 ayat (5) dijelaskan, bantuan hukum dalam perkara perdata meliputi
pelayanan perkara prodeo, penyelenggaraan sidang keliling dan penyediaan Pos
Bantuan Hukum.
Seperti yang telah diterangkan diatas bahwa bantuan hukum dalam perkara
perdata dalam lingkungan Peradilan Agama meliputi pelayanan prodeo,
penyelenggaraan sidang keliling, dan penyediaan Pos Bantuan Hukum, dengan
melihat mayoritas pihak berperkara di Pengadilan adalah masyarakat miskin, dan
menurut hasil penelitian PEKKA, Masyarakat yang berperkara di PA berpenghasilan
rata-rata Rp 200 ribu perbulan. Padahal secara Nasional, rata-rata biaya berperkara di
PA adalah Rp 789.260,- atau empat kali lipat dari pendapatan rata-rata.6
Dengan adanya Posbakum (Pos Bantuan Hukum) yang lahir dari masih
banyaknya masyarakat yang masih buta akan hukum dan tidak mampu membayar
6 www.badilag.net
4
pengacara di Peradilan Agama, ini membuktikan bahwa MA benar-benar ingin sekali
membantu para masyarakat yang dikatagorikan kedalam masyarakat kalangan kelas
bawah atau miskin itu untuk mendapatkan layanan bantuan hukum dari para advokat
secara cuma-cuma.
Seperti yang dikatakan oleh Santoso Poedjosoebroto bahwa bantuan hukum
adalah bantuan hukum (baik berupa pemberian nasihat hukum, maupun yang berupa
menjadi kuasa dari pada seseorang yang berpekara) yang diberikan kepada orang
yang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar (honorarium)
kepada seorang pembela atau pengacara.7
Dengan lahirnya Pos Bantuan Hukum di Lingkungan PA, menurut peneliti ini
merupakan kajian yang menarik untuk dibahas mengingat program ini merupakan
program yang sangat baik untuk bisa menolong para pencari keadilan bagi mereka
yang tidak mampu untuk membayar pengacara aatu sekedar konsultasi tentang
permasalahan hukum dalam ruang lingkup Peradilan Agama dengan melihat apakah
Pos Bantuan Hukum yang tertuang didalam UU No 50 tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 60 C ayat (1) Pada setiap
pengadilan agama dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak
mampu dalam memperoleh bantuan hukum. Ayat (2) Bantuan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan
sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
7 Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983) h. 21
5
Kajian ini menarik untuk dibahas karena peraturan yang mengatur mengenai
Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama itu masih bersifat SEMA
belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pos Bantuan
Hukum itu sendiri baik berupa mekanismenya maupun masyarakat yang berhak
menerima jasa bantuan ini, dan berhubung program Pos Bantuan Hukum ini adalah
program baru dari Mahkamah Agung dalam menegakan keadilan bagi setiap
masyarakat, ini perlu dikaji lebih dalam kembali sehingga penerapannya tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Oleh karena itulah peneliti mengangkat skripsi ini dengan judul Tinjauan
Yuridis Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama (Analisis SEMA
NO. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar penelitian terhadap skripsi ini lebih terarah, maka dalam hal ini
peneliti memberikan batasan masalah yang akan dikaji, yaitu tentang tinjauan
yuridis mengenai lahirnya SEMA No. 10 tahun 2010 Tentang Pedoman
Bantuan Hukum. Khususnya mengenai Pos Bantuan hukum di Lingkungan
Pengadilan Agama, dengan memfokuskan penelitan di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dan Badilag (Badan peradilan Agama)
6
2. Perumusan Masalah
Melihat masih banyak warga yang ada dibawah garis kemiskinan
bahkan hampir semuanya buta akan hukum dan pada umumnya mereka tidak
tahu bagaimana menghadapi dan menyelesaikan perkara-perkara dalam
kehidupan yang mereka alami, terutama menyangkut masalah perdata mereka,
dan dengan kemiskinan yang menimpanya mereka tidak mampu untuk
membayar seorang pengacara untuk sekedar konsultasi ataupun untuk
mendampingi.
Dengan melihat realita yang ada maka untuk membantu masyarakat
yang tidak mampu dalam mendapatkan keadilannya diddalam hukum
Mahkamah Agung membentuk Pos Bantuan Hukum yang tercantum dalam
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 10 tahun 2010 dan sekaligus
untuk melengkapi bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu yaitu
prodeo dan sidang keliling yang sudah berjalan.
Oleh karena itu untuk memperjelas rumusan di atas, dalam hal ini penulis
merumuskan dengan beberpa pertanyaan sebagai berikut:
1. Siapa saja yang berhak mendapatkan jasa bantuan hukum dari Pos
Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama?
2. Bagaimana mekanisme pembentukan, pelaksanaan, dan proses
mendapatkan jasa bantuan hukum dari Pos Bantuan Hukum di
Lingkungan Peradilan Agama?
7
3. Bagaimana kedudukan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan
Agama ditinjau dari Hukum yang berlaku di Negara Indonesia mengingat
dasar hukumnya adalah SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman
Pemberian bantuan Hukum, dan apa tujuan didirikannya?
Dengan pembatasan dan perumusan masalah di atas, diharapkan skripsi ini
dapat menjelaskan sesuai dengan judul yang penulis ambil, yaitu “Tinjauan Yuridis
Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama (Analisis SEMA NO. 10
Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum)
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui masyarakat dengan kriteria seperti apa yang boleh
mendapatkan layanan bantuan hukum dari Pos Bantuan Hukum yang ada
di Lingkungan Peradilan Agama.
b. Untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan, dan tata cara
mendapatkan bantuan hukum dari Pos Bantuan Hukum di lingkungan
Peradilan Agama.
c. Untuk mengetahui tujuan dari dirikannya Pos Bantuan Hukum itu sendiri.
d. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Pos Bantuan Hukum yang ada
di Lingkungan Peradilan Agama di tinjau hukum yang berlaku di
Indonesia
8
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:
a. Memberikan penjelasan kepada masyarakat secara tidak langsung akan
adanya Pos Bantuan Hukum yang bergerak memberikan jasa bantuan
hukum bagi mereka yang tidak mampu di Lingkungan Peradilan Agama.
b. Bagi para mahasiswa khususnya dibidang hukum ini memberikan
khazanah keilmuan baru dalam hukum di lingkungan Peradilan Agama
c. Bagi para cendikiawan ini juga memberikan khzanah kelimuan baru dalam
memberikan masukan terhadap Pos Pos Bantuan Hukum dengan melihat
kelebihan dan kekurangannya terhadap program ini.
D. Kerangka Teori
Banyak para pakar hukum yang mendefinisikan tentang bantuan hukum,
Santoso Poedjosoebroto mengungkapkan bahwa bantuan hukum adalah bantuan
hukum (baik berupa pemberian nasihat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa
dari pada seseorang yang berpekara) yang diberikan kepada orang yang tidak mampu
ekonominya sehingga ia tidak dapat membayar (honorarium) kepada seorang
pembela atau pengacara.
Crul merumuskan bantuan hukum sebagai “bijstand door deskundigen aan
degenen, die hulp behoeven ter realisering van hun rechten, dan wel tot het
verkrijegen van rechtsbesherming”(bantuan hukum sebagai bantuan yang diberikan
9
oleh para ahli kepada mereka yang memerlukan perwujudan atau realisasi dari hak-
haknya serta untuk memperoleh perlindungan hukum).8
Seorang pengacara terkemuka Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa
bantuan hukum disini adalah khusus bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah atau dalam bahasa popular disebut “si miskin”.
Didalam Tri Darma Perguruan Tinggi khususnya dibidang hukum dan
kemanusian, bantuan hukum dikaitkan dengan Darma ketiga Perguruan Tinggi yang
dilakukan dengan jalan:
a. Memberikan konsultasi hukum serta jasa-jasa lain yang berhubungan dengan
hukum.
b. Memberikan penyuluhan terhadap masyarakat khususnya kepada pencari
hukum untuk menjungjung tinggi norma-norma hukum.
c. Memberikan bantuan hukum secara aktif dan langsung secara merata kepada
masyarakat khsuusnya kepada pencari hukum.
Dengan melihat bahwa mayoritas pihak berperkara di Pengadilan adalah
masyarakat miskin, dan menurut hasil penelitian PEKKA, Masyarakat yang
berperkara di PA berpenghasilan rata-rata Rp 200 ribu perbulan. Padahal secara
Nasional, rata-rata biaya berperkara di PA adalah Rp 789.260,- atau empat kali lipat
dari pendapatan rata-rata.
Sebagaimana yang tertuang didalam UU No 50 tahun 2009 pasal 60 C
8 Soerjono Soekanto, dkk, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983) h. 23
10
(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari
keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-
cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara
tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap
Kemudian didalam Lampiran B Sema No 10 tahun 2009 mengenai Pedoman
Pemberian Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama pasal 1 ayat (4)
menjelaskan bahwa Bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi
oleh negara melalui Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan
permohonan maupun perkara jinayat. Ayat (5) Bantuan hukum dalam perkara perdata
meliputi pelayanan perkara prodeo, penyelenggaraan sidang keliling dan penyediaan
Pos Bantuan Hukum di pengadilan agama secara cuma-cuma bagi masyarakat yang
tidak mampu.
Kemudian dalam pasal 17 mengenai Pos Bantuan Hukum dijelaskan bahwa:
(1) Jenis jasa hukum yang diberikan oleh Pos Bantuan Hukum berupa
pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat
gugatan/permohonan.
(2) Jenis jasa hukum seperti pada ayat (1) di atas dapat diberikan kepada
penggugat/pemohon dan tergugat/termohon.
(3) Pemberian jasa hukum kepada penggugat/pemohon dan tergugat/termohon
tidak boleh dilakukan oleh satu orang pemberi bantuan hukum yang sama.
11
Sedangkan didalam pasal 18 menerangkan bahwa yang diperbolehkan
memberikan jasa hukum dalam Pos Bantuan Hukum pada ayat 1 adalah Advokat,
Sarjana Hukum dan Sarjana Syariah, ayat (2) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum
berasal dari organisasi bantuan hukum dari unsur Asosiasi Profesi Advokat,
Perguruan Tinggi, dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terdaftar di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
E. Riview Studi Terdahulu
Sebelumnya penulis mendapat kesulitan didalam mendapatkan review tentang
bahasan yang sedang penulis bahas didalam skripsi terdahulu, ini dikarenakan
program tentang Pos Bantuan Hukum merupakan program baru yang akan terealisasi
pada tanggal 1 Maret 2011 nanti.
Oleh karena itu penulis hanya akan mencantumkan artikel-artikel yang
sekiranya berkenaan dengan bahasan yang sedang dibahas oleh penulis. Yaitu artikel
oleh Drs. H. Suhadak, SH., MH (Ketua Pengadilan Agama Mataram) dengan judul “
Berperkara Di PA Gratis Kecuali Yang Mampu Sebagai Implementasi Justice For
All”9 Artikel ini hanya berbicara mengenai tentang penjelasan SEMA No. 10 tahun
2010 mengenai bantuan hukum dalam lingkungan Peradilan Agama yaitu berupa
prodeo, sidang keliling dan posbakum (pos bantuan hukum), sedangkan yang dibahas
9 Suhandak, Berperkara Di PA Gratis Kecuali Yang Mampu Sebagai Implementasi Justice
For All , artikel diakses pada tanggal 2 Maret 2011 dari www.badilag.net
12
oleh penulis adalah tinjauan yuridis SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman
Bantuan Hukum khsuusnya Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama,
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk menghasilkan
data yang valid adalah sebagai berikut.
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah dengan cara
menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada
prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam
kehidupan manusia.10
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi analisis, yaitu
memberikan deskriftif secara mendalam dengan menggambarkan dan
memberikan analisa dari suatu kejadian, dan dalam skripsi ini penulis
memberikan analisa sosio yuridis terhadap SEMA No. 10 tahun 2010 tentang
Pedoman Bantuan Hukum11
10
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hl. 20 11
Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003),
h. 36
13
2. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang secara langsung diperoleh dari objek yang
diteliti, data ini berupa hasil, wawancara dan analisa penulis terhadap SEMA
No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum khsuusnya yang
berkaitan dengan Pos Bantuan Hukum di lingkungan Peradilan Agama
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan,
dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur‟an, Hadis, buku-buku
ilmiah, undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya
dengan masalah yang diajukan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berupa
a. Wawancara ( Interview ), yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.12
Dalam hal ini,
penulis mengadakan wawancara dengan informan yaitu: Direktur Badilag
yang mengurusi Pos Bantuan Hukum, dan Ketua atau wakil Peradilan
Agama.
12
Lexy. J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
), h. 135
14
b. Obeservasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung di Pos bantuan
Hukum yang ada di Pengadilan Agama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
c. Dokumentasi yaitu mencari dan melakukan pengumpulan data yang berkaitan
dengan judul yang penulis angkat.
d. Analisis
4. Teknik Penulisan
Adapun metode penulisan dalam skripsi ini menggunakan buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta13
, dengan beberapa pengecualian:
1. Penulisan ayat Al-Qur‟an tidak perlu dibuatkan catatan kaki, akan tetapi
cukup dibuat di akhir kutipan (dalam kurung), nama surat, nomor surat, dan
nomor ayat serta dibuatkan terjemahnya. Penulis menggunakan sumber Al-
Qur‟an yang diterbitkan oleh Departemen Agama tahun 2000.
2. Kutipan yang berasal dari buku ejaan yang lama ditulis dengan menggunakan
ejaan yang sempurna kecuali nama pengarang.
3. Dalam kepustakaan, Al-Qur‟an dan terjemahnya ditulis pada urutan pertama
sebagai tanda penghormatan, sebelum sumber-sumber lainnya.
4. Urutannya berikutnya ditulis berdasarkan alfabetis.
13
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Panduan Penulisan Skripsi, Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2007
15
G. Sistematika Penulisan
Di dalam melakukan penyusunan proposal ini penulis memberikan gambaran
guna mempermudah pembaca dalam memahami proposal ini, dalam hal ini penulis
menyusunnya dalam lima bab. Isi dari proposal ini secara singkat adalah sebagai
berikut:
Bab I, berisi mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, review studi terdahulu,
metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II, membahas mengenai teori-teori yang berkaitan dengan bantuan hukum
baik itu ditinjau dari sejarah singkat terhadap adanya bantuan hukum di Indonesia
lalu perkembangannya dari masa ke masa lalu sampai saat ini sudah berapa macam
bantuan hukum yang diberikan bagi masyarakat khususnya mereka yang tidak
mampu dan buta akan hukum serta dalam hal ini bagaimana pandangan ahli hukum
terhadap bantuan hukum yang sudah ada yang di berikan khsusnya bagi masyarakat
yang buta akan hukum demi terwujudnya justice for all (keadilan bagi semua tanpa
pandang bulu) membahas mengenai pengertian SEMA, bagaimana kedudukan SEMA
yang dikeluarkan oleh MA, apa yang melatarbelakngi lahirnya SEMA.
Bab III, membahas mengenai pengertian Pos Bantuan Hukum, tujuan
dibentuknya POSBAKUM, dasar Hukum yang mendorong terwujudnya
POSBAKUM, bagaimana mekanisme pembentukannya serta struktur kepengurusan
Pos Bantuan Hukum, dan bagaiman cara seseorang apabila ia ingin mendapatkan
16
layanan jasa bantuan, serta bagaiman bentuk pengawasan yang dilakukan noleh
Pengadilan Agama dalam mengoptimalkan pelaksanaan POSBAKUM itu sendirii
Bab IV, membahas bagaimana kedudukannya Pos Bantuan Hukum ditinjau
dari segi yuridisnya, mengingat dasarnya adalah SEMA (Surat Edaran Mahkamah
Agung), dan bagaimana kedudukan SEMA sebagai peraturan yang mengingat
institusi Peradilan di Indonesia, dan menganilisis apakah Pos Bantuan Hukum ini
sudah sesuai baik dari segi peraturannya, pelaksanaanya, dan kekuatan hukumnya
dengan peraturan yang berkaitan dengannya.
Bab V berisi kesimpulan dan saran-saran penulis, penulis juga melampirkan
daftar pustaka dan lain-lain.
17
BAB II
BANTUAN HUKUM
A. Pengertian Bantuan Hukum
Persoalan mengenai bantuan hukum dalam artian yang lua yaitu bantuan
hukum yang diberikan oleh advokat dan prosecurer dimuka pengadilan, sebenarnya
hal seperti ini bukanlah barang baru bagi kita, masalah demikian sebenarnya sudah
cukup lama dikaji dalam pembelajaran hukum acara pidana maupun perdata atau
dalam hubungannya dengan tugas dan wewenang pengadilan, namun demikian
hingga sekarang masalah ini masih tetap menarik untuk dipelajari dan diteliti lebih
lanjut baik dalam konteks dengan penegakan hukum mapun hak asasi manusia.
Sedangkan mengenai bantuan hukum sebagai suatu konsep, program dan
lembaga yang sekarang ini diperkembangkan oleh Negara kita sebenarnya bukanlah
merupkan suatu masalah yang masih baru.
Menurut Adnan Buyung Nasution program bantuan hukum bagi rakyat kecil
yang tidak mampu dan buta akan hukum adalah hal yang relative baru di Negara
berkembang14
. Penelitian tentang masaah ini pada saat sekarang masih cukup langka
karena pengembangannya lebih banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan
tinggi hukum.
14
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Negara-negara berkembang( Sebuah Kasus
di Indonesia, dalam 5 tahun Lembaga Batuan Hukum, (Jakarta:LBH , 1976) h. 41
18
Sebenarnya tidaklah mudah untuk membuat suatu rumusan yang tepat
mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan bantuan hukum itu, secara
konvensional dinegara kita sejak dahulu bantuan hukum diartikan sebagai bantuan
hukum yang diberikan oleh pembela/pengacara terhadap kliennya baik dalam perkara
pidana maupun perdata dimuka persidangan, walaupun istilah ini kurang begitu
popular dipergunakan pada masa lampau bagi Negara kita istilah ini baru
dipopulerkan sekitar tahun 1964 semenjak dikeluarkannya UU No. 19/1969 yang
secara tegas mengatur tentang permasalahan bantuan hukum.
Dalam UUD 1945 tidak dikenal adanya istilah bantuan hukum, akan tetapi
dalam konstitusi RIS dan UUD 1950 dapat ditemui dalam perkataan bantuan hukum
ini, meskipun demikian mengandung makna yang berbeda dari pada bantuan hukum
kita sekarang.
Dalam pasal 7 ayat (4) konstitusi RIS disebutkan bahwa setiap orang berhak
mendapat bantuan hukum yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan,
sedangkan pada pasal 7 ayat (4) UUD 1950 menyebutkan bahwa setiap orang berhak
mendapat bantuan hukum yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan untuk itu,
melawan perbuatan yang berkawanan dengan hak-hak dasar yang diperkenankan
kepadanya menurut hukum, jadi disini bantuan hukum berarti pertolongan yang
diberikan oleh hakim terhadap seseorang yang tertuduh/para pihak dalam suatu
perkara yang diadilinya.15
15
Abdurrahman, Aspek-Aspek bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press. 1983)
h. 17
19
Istilah bantuan hukum itu sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua
istilah yang berbeda yaitu “ Legal Aid” dan Legal Assistance”. Istilah legal Aid
biasanya dipergunakan untuk menunjukan beberap pengertian bantuan hukum dalam
arti sempit berupa pemberian jasa-jasa dibidang hukum kepada seseorang yang
terlibat dalam sutau perkara secara cuma-cuma/ gratis khusunya bagi mereka yang
tidak mampu sedangkan pengertian legal Asistance dipergunakan untuk menunjukan
pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu, maupun oleh para
advokat yang mempergunakan honorarium.
Disamping istilah “Legal Aid dan Legal Assistance” dikenal pula dengan
istilah „Legal Service‟ istilah legal service ini kurang tepat jika diterjemahkan dengan
bantuan hukum, akan tetapi akan lebih tepat diartikan dengan pelayanan hukum16
B. Pengertian Bantuan Hukum Menurut Pendapat Ahli Hukum
Menurut Adnan Buyung Nasution bantuan hukum dalam pengertian yang luas
dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam
bidang hukum, menuurt Adnan upaya dalam bantun hukum ini mempunyai tiga aspek
yang saling berkaitan yaitu aspek perumusan aturan-aturan hukum, aspek
pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga agar aturan-aturan itu ditaati dan
aspek pendidikan masayarakat agara aturan tersebut dihayati.17
16
Abdurrahman, Masalah Bantuan Hukum di Indonesia, majalah Orientasi No. 3 Th. Ke II
(1977) 17
Adnan Buyung Nasution , Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988) h. 8-9
20
Menurutnya adalah sangat berbahaya untuk mengandalkan bahwa aturan
hukum yang ada sekarang ini sudah sempurna sama sekali dan sudah cukup tangguh
untuk melindungi masyarakat yang tidak mampu, terhadap aturan ini perlu dikaji
ulang untuk perbaikan maupun penambahan, usaha semacam ini perlu dilakukan
secara terus menerus agar aturan hukum dapat mengimbangi dinamika masyarakat.
Aspek kedua tampaknya masih kurang mendapat perhatian dalam kegiatan
bantuan hukum, hal ini terjadi terlatarbelakangi oleh faktor kurangnya fasilitas yang
dimiliki oleh organisasi bantuan hukum, baik dana maupun tenaga ahli, kegiatan
semacam ini membawa konsekuensi organisasi-organisasi bantuan hukum itu
melakukan penelitian atau setiudak-tidaknya bekerja sama dengan lembaga-lembaga
penelitian untuk mengetahui keadaan dan kepentingan yang mendesak dari golongan
yang tidak mampu ataupun meneliti apakah peraturan hukum yang ada masih perlu
dipertahankan, diperbaiki, ditambah atau bahakan diganti sama sekali.
Aspek ketiga besar artian bagi pendidikan masyarakat khususnya untuk
membangkitkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak dan
kewajibannya.
Dari pemikiran Adnan Buyung diatas dapat menangkap setidak-tidaknya dua
hal penting yang berkaitan dengan bantuan hukum dalam pengertian yang luas
pertama, ia merupakan suatu gerakan untuk meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat sehingga akan menyadari hak-hak dan kewajiban mereka sebagai
manusia dan sebagai warga negar Republik Indonesia., kedua bantuan juga berarti
21
usaha untuk melakukan perbaikan-perbaikan hukum agar hukum dapat memenuhi
kebutuhan rakyat dan mengikuti perubahan keadaan.18
Pengertian bantuan hukum yang ditetapkan oleh Lokakarya bantuan Hukum
Tingkat Nasional 1978 yang menyatakan bahwa bantuan hukum merupakan kegiatan
pelayanan hukum dan diberiakan kepada golongan yang tidak mampu (miskin) baik
secara perorangan maupun kelompok masyarakat yang tidak mampu secara kolektif.
Lingkup kegiatannya meliputi pembelaan perwakilan baik diluar maupun didalam
pengadilan.
Pada tahun 1976 Simposium Badan Kontak Profesi Hukum Lampung juga
merumuskan pengertian bantuan hukum, sebagai pemberian bantuan kepada pencari
keadilan yang tidak mampu yang sedang menghadapi kesulitan dibidang hukum
diluar maupun dimuka pengadilan.
Pengertian yang agak luas tentang bantuan hukum ini pernah juga
disampaikan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (kapolri) “ pendidikan
klinis sebenarnya tidak hany terbatas untuk jurusan pidana maupun perdata untuk
akhirnya tampil dimuka pengadilan, tetapi juga untuk jurusan-jurusan lain seperti
Jurusan Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Pemerintahan, Hukum
Internasional dan lain-lain, yang memungkinkan pemberinan bantuan hukum dluar
pengadilan misalnya dalam soal-soal perumahan di kantor urusan perumahan (KUP),
atau imigrasi atau departemen kehakiman, bantuan hukum kepada seseorang yang
menyangkut urusan Internasional di Departemen Luar Negri bahkan memberikan
18
Ibid, h. 10
22
bimbingan dan penyuluhan dibidang hukum termasuk sasaran bantuan hukum dan
lain sebagainya.19
Sementara pengertian bantuan bantuan hukum oleh jaksa Agung RI
menyatakan bawa bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang
terdakwa dari seorang penasehat hukum sewaktu perkaranya diperiksa dalam
pemeriksaaan pendahuluan atau proses perkaranya dimuka pengadilan. 20
Seminar Pembinaan profesi hukum berpendapat bahwa pengertian bantuan
hukum terdiri dari bantuan hukum diluar pengadilan. Pemberian bantuan hukum
didalam pengadilan menimbulakan masalah verpilichte procururstelling yang berarti
hak dan kewajiban mendaptkan bantuan hukum. Hak untuk mendapatkan bantuan
hukum tersebut dilayani sebagai berikut:
1. Mewajibkan oengadilan untuk menunjukan secara langsung atau melalui
organisasi profesi advokat untuk mendampingi/mewakili setiap orang yang
berurusan di muka pengadilan.
2. mewajibkan seseorang dari kalangan profesi hukum untuk memberikan
bantuan hukum tersebut diatas.
Menurut Clerence J Dias. Menyatakan bahwa bantuan hukum “legal aid
refers to the provision of the service of the legal profession to eneure that
19
Soeerjono Sekanto, Bantuan Hukum: Suatu tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia, 1983)
h. 22 20
Ibid h. 23
23
nonindividual is deprived of the right to recive legal advice or…legal representation
before courts… for lack of financial resources.”
Dapatlah dikatakan disini bahwa yang dimaksud dengan bantuan hukum
disini adalah segala bentuk pemberian layanan oleh kaum profesi hukum kepada
khalayak didalam masyarakat dengan maksud untuk menjamin agar tidak seorangpun
didalam masyarakat yang akan terampas haknya untuk memeroleh nasehat-nasehat
hukum yang diperlukan (atau kalau perlu juga untuk memperoleh wakil kuasa yang
akan membela kepentingannya dimuka pengadilan ) oleh karena sebab tidak
dimilikinya sumber daya finansial yang cukup.21
Meskipun perumusan tentang bantuan hukum yang teelah dikemukakan diatas
sifatnya beraneka ragam namun dari kesemuannya itu terdapat beberapa kesamaan
prinsip yang secara keseluruhan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bantuan hukum adalah merupakan suatu hak jadi bantuan hukum merupakan
sesuatu yang dituntut oleh setiap subjek hukum bilamana ia memerlukannya
dan pemenuhannya itu merupakan suatu kewajiban
2. Bantuan hukum adalah merupakan suatu pekerjaan yang bersifat professional
yang berarti untuk melkukan pekerjaan yang dimaksud diperlukan suatu
pendidikan khusus dan keahlian khusus, keahlian yang demikian adalah
berupa keterampilan untuk mempergunakan dan menerapakan suatu ketentuan
hukum in abstrakto kedalam kasus-kasus tertentu.
21
Bambang Sunggono dan Aries Harrianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
(Jember: Mandar Maju, 1994) h. 10
24
3. Bantuan hukum merupakan sutau pekerjaan pemberian jasa kepada orang
yang memerlukannya, jasa tersebut dapat berupa pemikiran atau perbuatan
tertentu berupa bantuan dalam mempertahankan hak, memenuhi kewajiban
hukum tertentu.
4. Bantuan hukum diberikan untuk semua aspek kehidupan, karena hukum
mengatur manusia sejak ia lahir samapi ia meninggal dunia maka bantuan
itupun harus diberikan mencangkup seluruh aspek kehidupan tersebut.
Pemberian jasa ini dapat dilakukan dalam membantu pembuatan kontrak-
kontrak samapi memepertahankan dimuka pengadilan, pemikirn apa yang
dilakukan dalam lalu lintas hukum dan sebagainya sehingga sifatnya menjadi
sangat luas sekali.
C. Sejarah Singkat Bantuan Hukum di Indonesia
Bantuan Hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat sejak
zaman Romawi, dimana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam bidang moral
dan dianggap sebagai pekerjaan yang mulia khsusnya untuk menolong orang-orang
tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan atau honorarium.22
Setelah meletusnya Revolusi Prancis yang momumental itu, bantuan hukum
kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridik, dengan
mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi masyarakat untuk
22
Abdurrahman, Aspek-Aspek bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press. 1983)
h. 30
25
mempertahankan kepentingannya dimuka pengadilan, dan hingga awal abad ke 20
kiranya bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa
dibidang hukum tanpa suatu imbalan.
Bantuan hukum khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta
hukum tampaknya merupakan hal yang dapat dikatakan relatif baru dinegara-negara
berkembang, demikian juga di Indonesia. Bantuan Hukum sebagai suatu legal
institution (lembaga hukum), semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional,
dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum
Barat di Indonesia.23
Namun demikian, bantuan hukum sebagai kegiatan pelayanan hukum secara
cuma-cuma kepada masyarakat miskin dan buta hukum dalam decade terakhir ini
tampak menunjukan perkembangan yang amat pesat di Indonesia, apalagi sejak
PELITA ke III Pemerintah mencanangkan program bantuan hukum sebagai jalur
untuk meratakan jalan menuju pemerataan keadilan di bidang hukum.
Dalam tulisannya, Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa bantuan
hukum secara formal di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, hal ini
bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah
hukumnya.
Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman Raja tanggal 16 Mei
1848 Nomor 1, perundang-undangan baru dinegeri Belanda tersebut juga
diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan Kehakiman dan
23
Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988) h. 23
26
Kebijaksanaan Pengadilan (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid
der Justice) atau lazim disingkat RO.
Mengingat baru dalam peraturan hukum itulah diatur untuk pertama kalinya
“Lembaga Advokat” maka dapatlah diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti
yang formal baru mulai di Indonesia pada tahun-tahun itu, dan hal itu pun baru
terbatas bagi orang-orang Eropa saja di dalam peradilan (Raad van Justice).
Sementara itu advokat pertama bangsa Indonesia adalah Mr. Besar Mertokoesoemo
yang baru membuka kantornya di Tegal dan Semarang sekitar tahun 1923.24
Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan hukum ini
diatur dalam pasal 250 ayat 5 dan 6 HIR/Hukum Acara Pidana Lama (Het Herziene
Indoneisiche Reglemen) dengan cangkupan yang terbatas artinya pasal ini dalam
prakteknya hanya lebih mengutamakan bangsa Belanda dari pada bangsa Indonesia
yang waktu itu lebih popular disebut inladers, disamping itu daya laku pasal ini
hanya terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka yang
dituduh dan diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup.
Pada masa penjajahan Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari kondisi
bantuan hukum yang ada, sekalipun peraturan hukum tentang bantuan hukum yang
berlaku pada masa Belanda seperi RO masih tetap diberlakukan, akan tetapi situasi
dan kondisi waktu itu tampaknya tidak memungkinkan untuk mengembangkan dan
memajukan program bantuan hukum di Indonesia.
24
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986)
h. 7-8
27
Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal
setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945,
karena seluruh bangsa sedang mengkosentrasikan dirinya untuk berjuang
mempertahankan kemerdekaan bangsa, demikian pula pengakuan kedaulatan Rakyat
Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah.
Dalam periode berikutnya sekitar pada tahun 1950-1959an terjadi perubahan
sistem peradilan di Indonesia dengan dihapuskannya secara perlahan-lahan
pluralisme dibidang peradilan, hingga ada satu sistem peradilan yang berlaku bagi
seluruh penduduk Indonesia, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung, demikian pula telah diberlakukan satu hukum acara yaitu HIR.
Pada periode sesudahnya yaitu pada masa kekuasaan Orde Lama (Soekarno)
hingga pada tahun 1965, dapat dikatakan bahwa dalam periode ini merupakan saat-
saat yang rawan bagi proses penegakan hukum dinegara kita.
Tampilnya babagan Demokrasi Terpimpin dalam pentas politik nasional
antara lain tidak terlepas dari munculnya dominasi peran yang dimainan Presiden
Soekarno, bantuan hukum (dan juga profesi kepengacaraan) mengalami kemorosotan
yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi Negara hukum.
Pada masa itu, hukum tak lebih merupakan „alat revolusi‟ sementara peradilan
tidak lagi bebas karena terlalu banyak dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh
tangan eksekutif, yang mencapai puncaknya dengan diundangkannya UU No. 19
tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Kekuasaan Kehakiman, dimana menurut
pasal 19 tersebut telah memberi wewenang kepada Presiden untuk dalam bebrapa hal
28
dapat turun atau campur tangan dalam masalah pengadilan, dengan jatuhnya wibawa
pengadilan maka tidak aneh kalau harapan dan kepercayaan orang kepada bantuan
hukumpun hilang.
Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada saat munculnya masa
Orde Baru (masa pemerintahan Soeharto) dimana puncaknya ditandai dengan
digantinya UU No. 19 tahun1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dengan UU No. 14 tahun 1970 yang kembali menjamin kebebasan
peradilan dari segala campur tangan dan pengaruh-pengaruh kekuatan dari luar
lainnya dalam segala urusan peradilan.
Pada tahun 1953 didirikan biro hukum „Tjandra Naya‟ yang dipimpin oleh
Prof. Ting Swan Tiong, biro hukum ini lebih mengutamakan konsultasi hukum
khusus bagi orang Cina, kemudian pada tahun 1963 bertempatan pada tanggal 2 Mei
didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan
Tiong sebagai ketuanya dan pada tahun 1968 berganti nama menjadi Lembaga
Konsultasi Hukum, dan pada tahun 1974 menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan
Hukum (LKBH)
Di luar kelembagaan bantuan hukum difakultas-fakultas hukum, lembaga
bantuan hukum yang melakukan aktifitasnya dengan lingkup yang lebih luas dimulai
sejak didirikannya lembaga Bantuan Hukum di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1970
dibawah pimpinan Adnan Buyung Nasution.
Pada masa Orde Baru ini masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang
dengan pesat, satu contoh yang dapat dikemukakan pada tahun 1979 saja tidak kurang
29
dari 57 lembaga bantuan hukum yang terlibat dalam program pelayanan hukum
kepada masyarakat miskin dan buta hukum.
Dimasa reformasi Sampai sekarang bantuan hukum mengalami peningkatan
yang signifikan bahkan Negara pun secara langsung mendukung dan memfasilitasi
kepada para pencari keadilan khususnya mereka yang tidak mampu demi
mewujudkan keadilan yang merata melalui institusi pengadilan tertinggi Negara yaitu
Mahkamah Agung sesuai dengan pasal 28 D (1) UUD 1945 “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum. Jaminan Negara ini kemudian dijabarkan dalam
berbagai Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan dengan akses masyarakat
terhadap hukum dan keadilan, seperti ketentuan yang terkandung dalam Undang-
Undang No. 48 Tahun 2009 pasal 56 dan 57, Undang-Undang 49 tahun 2009 pasal 68
B dan 69 C, Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 pasal 60 B dan 60 C, Undang-
Undang 51 pasal Tahun 2009 pasal 144 C dan 144 D, PP No. 83 Tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dan
SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum yang mana keseluruhan
peraturan-peraturan tersebut mengatur tentang hak setiap orang yang tersangkut
perkara untuk memperoleh bantuan hukum dan Negara menanggung biaya perkara
bagi pencari keadilan yang tidak mampu serta pembentukan pos bantuan hukum
pada setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha
Negara.
30
D. Jenis- Jenis Bantuan Hukum
Adapun jenis-jenis bantuan hukum yang difasilitasi oleh Negara, dalam hal ini
Mahkamah Agung sebagai Pengawas sekaligus Penyusun dalam membentuk
Pedoman Bantuan Hukum sebagaimana yang tertuang didalam SEMA No. 10 tahun
2010 mengenai Pedoman Bantuan Hukum bagi Pengadilan Umum, Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tata Usaha, yang dikhusukan bagi mereka yang tidak mampu
secara ekonomis dalam mencari keadilan itu terbagi menjadi dua bagian
1. Bantuan hukum di lingkungan Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha
Negara, bantuan hukum yang diberikan dalam Pengadilan Umum dan
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah berupa dibentuknya Pos Bantuan
Hukum yang memberikan layanan bantuan hukum oleh Advokat Piket, berupa
untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan
dokumen hukum, advis atau konsultasi hukum, memberikan rujukan lebih
lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan rujukan lebih
lanjut tentang bantuan jasa Advokat.25
2. Bantuan hukum di lingkungan Peradilan Agama, dalam hal ini ada tiga bentuk
bantuan hukum yang diberikan oleh Pengadilan Agama yaitu:
a. Prodeo adalah proses berperkara di Pengadilan secara cuma-Cuma
dengan dibiayai oleh Negara melalui DIPA Pengadilan
25
Lihat pasal 1 ayat (3) Lampiran A, SEMA No. 10 tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian
Bantuan Hukum.
31
b. Sidang Keliling adalah sidang yang dilaksanakan secara tetap (berkala)
atau sewaktu-waktu oleh pengadilan disuatu tempat yang ada didalam
wilayah hukumnya tetapi diluar tempat kedudukan pengadilan
c. Pos Bantuan Hukum adalah memberikan layanan bantuan hukum oleh
Advokat Piket berupa pemberian informasi tentang bagaimana
mendapatkan layanan jasa bantuan hukum, konsultasi, advis, dan
pembuatan surat gugatan/permohonan dan khusus di Mahkamah
Syar‟iyah disediakan Advokat pendamping secara cuma-cuma untuk
membela kepentingan tersangka/terdakwa dalam hal Terdakwa tidak
mampu membiayai sendiri Penasehat Hukumnya.26
26
Lihat pasal 17 ayat (3) dan pasal 25 ayat (1) Lampiran B, SEMA No. 10 tahun 2010
Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.
32
BAB III
POS BANTUAN HUKUM
DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA
A. Pengertian Pos Bantuan Hukum
Seperti yang telah dijelaskan dibab sebelumnya bahwa Negara Indonesia
memberikan perhatian yang besar terhadap keadilan bagi masyarakat yang
termajinalkan, tidak mampu dan kaum perempuan, dengan memberikan jasa bantuan
hukum secara cuma-cuma.
Mahkamah Agung sebagai institusi Peradilan tertinggi di Indonesia membuat
SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Prosedur Pemberian Bantuan Hukum yang
merupakan implikasi dari peraturan perundang-undang yang memerintahkan
kewajiban Negara dalam memberikan jaminan keadilan kepada seluruh masyarakat
tanpa pandang bulu, dan khusus bagi masyarakat yang tidak mampu diberikan jasa
bantuan hukum secara cuma-cuma, seperti yang dijelaskan dalam pasal 60 B ayat (1)
dan (2) UU No. 50 tahun 2009 Perubahan Kedua Atas UU No. 7 tahun 1989 yaitu:
1. Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum
2. Negara menanggung biaya perkara bagi para pencari keadilan yang tidak
mampu.
Salah satu jenis bantuan hukum yang berikan oleh Negara adalah dibentuknya
Pos Bantuan Hukum di setiap instasnsi peradilan di Indonesia, Pos Bantuan Hukum
(Posbakum) adalah ruang yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan baik
33
Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama bagi Advokat Piket dalam
memberikan layanan bantuan hukum baik kepada Pemohon/Termohon, Penggugat
dan Tergugat.
Pada tahun 2011, Peradilan Agama memperoleh anggaran untuk Posbakum
sebesar Rp. 4.182.500.000. Anggaran tersebut dialokasikan untuk 46 Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar‟iyah seluruh Indonesia sebagai proyek percontohan (pilot
project).27
Dengan anggaran tersebut, 46 pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah
ditargetkan dapat memberikan 11.553 jumlah layanan kepada orang-orang yang tidak
mampu. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang, tentunya seiring dengan
ditingkatkannya anggaran untuk Pos Bantuan Hukum, semakin banyak jumlah
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah di Indonesia yang mendirikan Posbakum
sehingga semakin banyak jumlah masyarakat miskin yang terbantu dalam mengakses
pengadilan.
Perlu diketahui Bagi Pengadilan Negeri anggaran bantuan hukum yang
diberikan Negara kepada masyarakat yang tidak mampu adalah sesuai dengan SEMA
No. 10 tahun 2010 Lampiran A tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum di
Pengadilan Umum pasal 1 ayat (1) Penyelenggaraan dan penggunaan anggaran
bantuan hukum di lingkungan Peradilan Umum adalah meliputi Pos Bantuan Hukum,
27
Wahyu Widana, Access to Justice for the Poor; the Badilag Experience, artikel diakses
pada tanggal 19 mei 2011 dari www.badilag.net
34
Bantuan Jasa Advokat, Pembebasan Biaya Perkara baik Pidana maupun Perdata, dan
Biaya Sidang di Tempat Sidang Tetap.
(Zitting Plaatz).28
Sedangkan di Pengadilan Agama anggaran bantuan hukum diberikan oleh
Negara kepada masyarakat yang tidak mampu adalah sesuai dengan SEMA No. 10
tahun 2010 Lampiran B tentang Pedoman Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan
Agama pasal 1 ayat (4), (5) dan (6) adalah:
(4) Bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh negara
melalui Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan
permohonan maupun perkara jinayat.
(5) Bantuan hukum dalam perkara perdata meliputi pelayanan perkara prodeo,
penyelenggaraan sidang keliling dan penyediaan Pos Bantuan Hukum di
pengadilan agama secara cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu.
(6) Bantuan hukum dalam perkara jinayat melalui penyediaan Pos Bantuan
Hukum dan Advokat Pendamping di Mahkamah Syar‟iyah secara cuma-
cuma bagi masyarakat yang tidak mampu.
Seperti yang sudah diketahui bahwa dalam kenyataanya jenis bantuan hukum
Prodeo dan Sidang Keliling itu sudah berjalan sebagaimana mestinya sejak tahun
2010 silam sedangkan Pos Bantuan Hukum baru terealisai pada tahun 2011 dan
teralisasi diseluruh Indonesia pada tanggal 1 maret 2011, akan tetapi dalam
28
Lihat Lampiran A. SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman bantuan Hukum Pengadilan
Negeri
35
pelaksanakanan Pos Bantuan Hukum itu sendiri diinstansi peradilan khususnya
Peradilan Agama seperti Pengadilan Agama Jakarta Selatan itu baru diresmikan pada
tanggal 15 Maret 2011, Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tanggal 29 Maret,
Pengadilan Agana Jakarta Barat pada tanggal 22 Maret 2011, Pengadilan Agama
Tigaraksa pada tanggal 11 Maret29
, Pengadilan Agama Sleman pada tanggal 28
Maret, ini semua dikarenakan bayak proses yang harus dilewati agar dalam
pelaksanaannya sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan.
Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan misalnya, mereka baru bisa
melaksanakan program Pos Bantuan Hukum ini pada tanggal 15 Maret 2011 karena
harus melewati proses terlebih dahulu, seperti tanggal 1 Maret 2011 menunggu hasil
juklak dari Ketua Muda Urusan Peradilan Agama dan Sekretaris MA, tanggal 11
Maret mengadakan Launching dan sosialiasi kepada masyarakat serta mengadakan
proses rekrutmen/seleksi untuk menduduki Pos Bantuan Hukum di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, tanggal 14 Maret 2011 membuat kesepakartan MoU antara
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan LBH yang telah terpilih, dan tanggal 15
Maret 2011 baru pelaksanaan Pos Bantuan Hukum itu sendiri.30
29
Peremian Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama, diakses dari
www.badilag.net tanggal 21 Mei 2011 30
Hasil Wawancara dengan PANSEK Pengadilan Agama Jakarta Seltan pada tanggal 26
April 2011
36
B. Tujuan Dirikannya Pos Bantuan Hukum
Tujuan didirikannya Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama
sebenarnya tidak lepas dari perhatian Pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung
dalam memberikan keadilan yang merata (justice for all) kepada seluruh rakyat
Indonesia.
Melihat masih banyak masyarakat yang tidak mampu atau awam hukum
dalam mengajukannya perkaranya ke pengadilan sering kali dihadapkan pada aturan
dan bahasa hukum yang kadang terkesan kaku dan procedural, baik dalam tahapan
ligitasi maupun non ligitasi semuanya harus dilakuakan sesuai dengan aturan hukum
itu sendiri atau jika tidak permohonan atau gugatan yang diajukan akan ditolak
pengadilan padahal bisa jadi karena tidak memenuhi aspek prosedural hukum.
Menjawab permasalahan seperti itu, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA
No. 10 tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum, dan didalam SEMA tersebut
dalam Lampiran A Mengenai Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Di Lingkungan
Pengadilan Agama pasal 2 menyatakan bahwa:
Bantuan Hukum bertujuan untuk:
a. Membantu masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomis
dalam proses hukum di Pengadilan;
b. Meningkatkan akses terhadap keadilan
c. Meningkatkan kesadaran dan Pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui
penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak dan
kewajiban;
37
d. Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.
Dengan berdirinya Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama, ini membatu
kepada mereka yang membutuhkan jasa hukum seperti dalam memberikan informasi,
konsultasi, advis, dan pembuatan surat gugatan. Sehingga dengan adanya Pos
Bantuan Hukum ini, bisa memberikan akses keadilan bagi mereka yang tidak mampu
“miskin” dan mereka yang tidak mampu dalam membayar jasa advokat.
C. Dasar Hukum Pos Bantuan Hukum
POSBAKUM (Pos Bantuan Hukum) merupakan bentuk realisasi dari
peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia, yang menjadi dasar
hukumnya adalah:
a. Pasal 28 D (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan secara tegas bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakukan hukum yang sama dihadapan hukum.
b. Pasal 56 dan 57 Undang-Undang No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menyatakan bahwa:
Pasal 56
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi para pencari keadilan yang tidak
mampu.
38
Pasal 57
(1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada
pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara
cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap
perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.
c. Pasal 60 B dan 60 C Undang-Undang No. 50 tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak
mampu.
(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat
domisili yang bersangkutan.
Pasal 60 C
(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari
keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara
cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap
perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
39
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
d. Inpres No. 3 tahun 2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan, yang
memberikan penekanan pada pentingnya „keadilan bagi semua‟ dalam
mencapai tujuan-tujuan penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang lebih
luas, termasuk Tujuan Pembangunan Milenium. Salah satu program yang
tercantum dalam Inpres tersebut bertujuan meningkatkan akses hukum untuk
perkara-perkara hukum keluarga bagi perempuan miskin dan kelompok-
kelompok terpinggirkan lainnya.
Dalam Inpres No. 3/2010 tersebut Presiden memerintahkan Menteri
Koordinator Politik Hukum dan HAM untuk berkoordinasi dengan
Mahkamah Agung dalam menjalankan program Justice for All, terutama
dalam pelaksanaan sidang keliling dan fasilitas perkara prodeo.
e. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman
Pemberian Bantuan Hukum, dalam SEMA ini Mahkamah Agung mengatur
tentang hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk memperoleh bantuan
hukum dan Negara menanggung biaya perkara bagi mereka yang tidak
mampu serta pembentukan Pos Bantuan Hukum pada setiap Pengadilan
Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara bagi pencari
keadilan yang tidak mampu.
40
D. Tata Cara dan Syarat Pembentukan Pos Bantuan Hukum Di Lingkungan
Peradilan Agama.
Tata-tata cara pembentukan Pos Bantuan Hukum Di Lingkungan Peradilan
Agama sebagaimana yang diatur dalam Juklak SEMA No. 10 tahun 2010 tentang
Pedoman Bantuan Hukum Lampiran B, bahwa dalam membentuk Pos Bantuan
Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama, Pengadilan Agama harus sekurang-
kurangnya mempersiapkan sarana dan prasarana meliputi, sekurang-kurangnya terdiri
dari meja, kursi, filling kabinet, komputer.31
Kemudian dalam pembentukannya, harus berdasarkan pada Surat Keputusan
Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Setelah sarana dan prasarana serta surat dari Ketua Pengadilan Agama sudah
terpenuhi, maka Pengadilan melakukan rekrutmen unduk menduduki posisi di Pos
Bantuan Hukum sebagai jasa pemberi hukum kepada para klien nantinya.
Dalam hal ini yang berhak sebagai jasa pemberi hukum sebagaimana yang ditaur
dalam SEMA No. 10 tahun 2010 adalah:
1. Advokat
2. Sarjana Hukum, yang menguasai Hukum Islam, dan
3. Sarjana Syariah
31
Lihat pasal 7 JUKLAK SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai Pedoman Lampirab B
Pengadilan Agama
41
Dengan ketentuan bahwa si pemberi jasa sebagaimana di atas berasal dari
organisasi bantuan hukum dari Asosiasi Profesi Advokat, organisasi bantuan hukum
dari Perguruan Tinggi, dan organisasi bantuan hukum dari LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, mereka juga harus lulus syarat Administrasi, seperti:
1) Syarat-syarat administratif Lembaga penyedia petugas pemberi jasa hukum
dari organisasi bantuan hukum dari organisasi profesi advokat adalah:
a. Terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM
b. Memiliki kantor dengan alamat yang jelas
c. Memiliki struktur kepengurusan yang jelas
d. Berkedudukan di wilayah hukum Pengadilan Agama yang
bersangkutan
2) Syarat-syarat lembaga penyedia petugas pemberi jasa hukum dari organisasi
bantuan hukum Perguruan Tinggi:
a. Memiliki izin pendirian lembaga bantuan hukum
b. Memiliki kantor dengan alamat yang jelas
c. Memiliki struktur kepengurusan yang jelas
d. Berkedudukan di wilayah hukum Pengadilan Agama yang
bersangkutan
3) Syarat-syarat lembaga penyedia petugas pemberi jasa hukum dari organisasi
bantuan hukum dari Lembaga Swadaya Masyarakat (pengertian LSM adalah
termasuk ormas/masuk dalam pengertian umum) adalah:
42
a. Terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM
b. Memiliki kantor dengan alamat yang jelas
c. Memiliki struktur kepengurusan yang jelas
d. Berkedudukan di wilayah hukum Pengadilan Agama yang
bersangkutan
Apabila pemberi jasa bantuan hukum yang akan menduduki Pos Bantuan
Hukum di Pengadilan Agama sudah sesuai dengan syarat-syarat yang harus harus
dipenuhi baik itu bersifat teknis, maupun administrasi, maka Pengadilan dalam hal ini
adalah Ketua Pengadilan membuat kontrak kerjasama (MoU) dengan Lembaga
Bantuan Hukum atau Organisasi Advokat yang lolos seleksi untuk menduduki
sebagai advokat piket di Pos Bantuan Hukum dLingkungan Pengadilan sesuai dengan
wilayah yuridiksinya.32
Sebagai contoh Pengadilan Agama Jakarta Selatan melakukan kontrak
kerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum Mandiri dan Lembaga Bantuan Hukum
dan Advokasi Syariah.
Adapun isi dari MoU kerjasama antara Ketua Pengadilan setempat dengan
Lembaga Bantuan Hukum tersebut sekurang-kurangnya terdiri atas:
1. Jenis jasa yang diberikan
2. Jumlah jam layanan dalam pos bakum
3. Prosedur pemberian jasa
4. Jadwal pemberian jasa
32
Hasil Wawancara dengan Badilag pada tanggal 11 Mei 2011
43
5. Sistem pembayaran imbalan jasa
6. Sistem pengawasan dan evaluasi pemberian jasa
7. Sistem pertanggung jawaban keuangan
8. Berakhirnya MoU
Begitu pula kepada Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat
PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengadilan Agama/Kuasa
Pengguna Anggaran untuk mengambil keputusan dan atau tindakan yang dapat
mengakibatkan pengeluaran atas beban belanja negara, dalam isi kontraknya (MoU)
sekurang-kurangnya terdiri atas:
1. Para Pihak
2. Pokok Pekerjaan
3. Nilai Pekerjaan
4. Jangka Waktu Pelaksanaan
5. Hak dan Kewajiban para pihak
Perlu diketahui pula bahwa dalam isi MoU antara Kepala Pengadilan dengan
Organisasasi/Lembaga Bantuan Hukum yang terpilih, Badilag (Badan Peradilan
Agama) sama sekali tidak ikut campur, Badilag dalam hal ini hanya mengatur
mengenai Dana Anggaran Pos Bantuan Hukum yang merupakan berasal dari DIPA
dan membuat aturan-aturan yang harus dipenuhi sebagaimana yang tercantum dalam
Juklak SEMA No. 10 tahun 2010 khusus mengenai Lampiran B (Peradilan Agama)
Sebagai contoh Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk tahun 2011 ini
mendapatkan dana dari Anggaran DIPA sebesar 160 juta, dan dalam jangka waktu 1
44
tahun ini target layanan yang harus diberikan Pengadilan Agama adalah 2600 layanan
dengan 1600 jam layanan.33
.
E. Struktur Kepengurusan Pos Bantuan Hukum
Secara singkat sturuktur Kepengurusan Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM)
harus meliputi, Dewan Pengawas, Ketua, Sekretaris, Bendahara, Bidang, Litigasi, dan
Non Litigasi
Sebagai contoh, Badan Kepengurusan POSBAKUM di PA Tigaraksa34
33
Hasil Wawancara dengan Pansek Pengadilan Agama Jakarta Selatan 34
Peresmian POSBAKUM di PA Tigaraksa, diakses pada tanggal 28 Mei 2011 dari www.pa-
tigaraksa.net
Bid. Non Litigasi
Ketua: Syahrudin, SH.
Anggota: Walim, SH.
Achmad Bustomi, SH.
Suwanto, SH.
Bid. Litigasi
Ketua: Ariyanto, SH.
Anggota: H. Suherman, SH
Sugiarto, SH.
Dendi Hersal, SH
Tarya, SH
Bendahara
Susilo Wardoyo, SH
Sekretaris
Deddy Suryadi, SH. MH
Ketua
Sumardi, SH. MH
Dewan Pengawas
Drs. H. Khaerudin, SH. M.Hum
45
F. Mekanisme Pemberian Jasa Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama
Pemberian jasa bantuan hukum yang diberikan melalui Pos Bantuan Hukum
hanya diperuntukan bagi mereka yang sesuai dengan syarat formil yang tercantum
dalam lampiran B SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai Pedoman Bantuan Hukum di
Lingkungan Peradilan Agama, seperti merekaa yang secara ekonomi tidak mampu
„miskin‟ dan mereka yang tidak mampu membayar jasa Advokat terutama perempuan
dan anak-anak serta penyandang distabilitas, sesuai dengan peraturan perundang-
undang berlaku.
Adapun Prosedur yang harus dilewati untuk mendapatkan layanan Pos
bantuan Hukum adalah sebagai berikut:
1. Bagi mereka yang termasuk orang yang tidak mampu „miskin‟ pertama-tama
ia harus mendatangi Bagian Informasi (Information Base) untuk mengisi
formulir yang telah disediakan, dengan menyertakan Surat Keterangan Tidak
Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala
Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong atau Surat Keterangan Tunjangan Sosial
lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), dan
Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT)
2. Bagi mereka yang yang termasuk kedalam kategori tidak mampu membayar
jasa advokat, mereka harus menyertakan Surat Pernyataan tidak mampu
membayar jasa advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon
Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama.
46
3. Setelah mereka mengisi formulir dengan menyertakan surat-surat tersebut,
tanpa menunggu waktu yang lama, maka mereka langsung diberikan layanan
jasa bantuan hukum sesuai yang telah ditentukan.
4. Bagi mereka yang membutuhkan jasa pembutan surat gugatan/permohonan,
petugas piket (advokat piket) membuatkan secara utuh yang kemudian
diteruskan ke meja I,
5. Untuk jasa layanan berupa Advokasi seperti pembuatan jawaban, replik,
duplik, dan kesimpulan, petuga Pos bantuan hukum akan langsung
meneruskannya ke Majlis Hakim
6. Apabila kedua belah pihak (penggugat dan tergugat/ pemohon dan termohon)
sama-sama mengajukan permohonan bantuan hukum, maka tidak dibenarkan
bantuan dimaksud dilakukan oleh pemberi bantuan hukum yang sama.
Secara singkat dapat digambarkan dengan bagan,
47
G. Mekanisme Pengawasan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan
Agama
Agar pelaksanaan Pos bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama
berjalan sesuai dengan apa yang tercantum dalam SEMA No. 10 Tahun 2010, maka
dalam hal perlu ada pengawasan secara intensif terhadap program Pos Bantuan
Para Pihak
Penggugat/Tergugat
Pemohon/Termohon
Information Base
Mengisi formulir
Dengan menyertakan
1. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan
oleh Kepala Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong yang
dipersamakan (Gakin/AskekinKKM/Jamkeskas/PHK/BLT)
dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT)
2. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang
dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon Bantuan Hukum
dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama
Majlis Hakim
Persidangan
Jenis Layanan
1. Konsultasi
2. Pembuatan surat
gugatan/permohonan
Meja I
Pendaftaran
Jenis Layanan
Advokasi
1. Pembuatan Jawaban
2. Pembuatan Replik
3. Pembuatan Duplik
4. Pembuatan Kesimpulan
POSBAKUM
48
Hukum ini sehingga dalam perjalananya nanti Pos Bantuan Hukum ini berjalan
dengan optimal dan terpadu..
Adapun bentuk pengawasan yang dilakukan adalah;
1. Pengawasan Pos Bantuan Hukum dilakukan oleh Ketua Pengadilan bersama-
sama dengan organisasi penyedia jasa bantuan hukum.
2. Ketua Pengadilan Agama bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemberian
bantuan hukum.
3. Panitera Pengadilan Agama membuat buku registrasi khusus untuk
mengontrol pelaksanaan pemberian bantuan hukum.
4. Pemberi bantuan hukum wajib memberikan laporan tertulis kepada Ketua
Pengadilan Agama tentang telah diberikannya bantuan hukum dengan
melampirkan bukti-bukti sebagai berikut:
a. Formulir permohonan dan foto kopi Surat Keterangan Tidak Mampu atau
Surat Keterangan Tunjanngan Sosial lainnya, jika ada; dan
b. Pernyataan telah diberikannya bantuan hukum yang ditandatangani oleh pihak
pemberi dan penerima bantuan hukum.
5. Kuasa Pengguna Anggaran menyimpan seluruh bukti pengeluaran anggaran
sesuai ketentuan.
6. Bendahara pengeluaran melakukan pembukuan setiap transaksi keuangan
untuk penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum sesuai ketentuan.
7. Panitera/Sekretaris melaporkan pelaksanaan pos bantuan hukum melalui
SMS Gateway dan laporan lainnya sesuai ketentuan.
49
8. Badilag (Badan Peradilan Agama) memonitirong secara langsung setiap 3
bulan sekali untuk membahas permasalahan dan perkembangan Pos Bantuan
Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama
50
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS POS BANTUAN HUKUM
DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA
A. SEMA Sebagai Landasan Yuridis Pedoman Pos Bantuan Hukum di Lingkungan
Peradilan Agama
Jika kita lihat dari segi yuridiksinya, landasan yuridis Pedoman Pelaksanaan
Pos Bantuan Hukum bagi Lingkungan Pengadilan Agama adalah SEMA (Surat
Edaran Mahkamah Agung) No. 10 tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Ketua
Mahkamah Agung.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Mahkamah Agung sebagai Institusi
Peradilan tertinggi di Indonesia, berwenang membuat suatu peraturan yang bersifat
kebijakan yang isinya mengatur mengenai petunjuk, pedoman, ataupun peringatan
dan ia mengikat kepada seluruh isntitusi peradilan yang berada dibawah Mahkamah
Agung, dan peraturan ini disebut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung.
Dari segi historisnya, sejak tahun 1951-2010 Mahkamah Agung telah
mengeluarkan atau menerbitkan SEMA sebanyak 340 dengan rata-rata pertahunnya
menerbitkan 5-6 SEMA.35
SEMA pertama kali yang diterbitkan adalah SEMA No. 1
tahun 1951 tanggal 20 Januari 1951 Perihal: Tunggakan Perkara Pada Pengadilan
Negeri yang berisi Teguran dan Perintah:
35
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung dan Pemeriksaan kasasi dan Peninjauan
Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika) h. 174
51
Menegur Pengadilan Negeri dan para Hakim diseluruh Indonesia tentang
achterstand, yakni tunggakan perkara karena sedikit yang diselesaikan :
Sehubungan dengan itu, MA memerintahkan dan menuntut supaya setiap
Hakim pada Pengadilan Negeri menyelesaikan dan memutus perkara
sekurang-kurangnya 60 perkara pidana kejahatan (misdrijven) dalam tiap-tiap
bulan.
Kewenangan MA dalam menerbitkan SEMA itu tercantum dalam pasal 131
Undang-Undang N0. 30 tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung Indonesia “ Jika
dalam jalan Pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-undang, maka
Mahkamah Agung dapat menentukan secara langsung bagaimana soal itu harus
dibicarakan”
Bertitik tolak dari ketentuan pasal diatas, eksistensi SEMA sejak tahun 1950
memiliki landasan (legality) secara konstitusional sehingga isi maupun petunjuk yang
digariskan didalamnnya mengikat untuk ditaati dan diterapkan oleh Hakim dan
Pengadilan.
Pada saat sekarang, landasan hukum kekuasaan dan kewenangan MA
menerbitkan SEMA diatur dalam pasal 32 ayat (4) UU MA yang berbunyi “
Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran , atau peringatan yang
dipandang perlu kepada Pengadilan disemua Lingkungan Peradilan”.
52
Ketentuan ini secara substansial pada prinsipnya sama dengan yang terkadung
pada pasal 131 UU No. 3 tahun 1950:36
1. Memberi kekuasaan dan kewenangan kepada MA untuk mengeluarkan dan
menerbitkan SEMA
2. Isi yang dituangkan didalamnya dapat berisi petunjuk, teguran atau peringatan
maupun perintah
3. Bisa berlaku umum untuk semua Lingkungan Peradilan, tetapi boleh juga
diterbitkan SEMA yang hanya berlaku kepada satu Lingkungan Peradilan
tertentu.
Dengan demikian secara berkesinambungan sejak tahun 1950 sampai
sekarang keberadaan SEMA ditopang oleh ketentuan undang-undang yang semula
oleh pasal 131 UU No. 30 tahun 1950 sekarang oleh pasal 32 ayat (4) UU MA.
B. Kekuatan Hukum SEMA di Negara Republik Indonesia
Berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam pasal 7 ayat
(4) UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
bahwasanya: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Dalam penejelasannya diterangkan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh
36
Ibid. h. 175
53
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”
Jika kita melihat dari penjelasan di atas menyatakan bahwa jenis peraturan
selain dari hirarki peraturan perundang-undangan seperti UUD 1945, UU/Perpu, PP,
Perpers, dan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung mempunyai kekuatan
yang sama atau dengan kata lain mengikat secara keseluruhan khusus bagi kalangan
sendiri yakni Peradilan-Peradilan dibawah wewenang MA (PA, PN, PTU dan PM).
Dari penjelasan diatas jelaslah yang dimaksud dengan Pasal 7 ayat 4,
peraturan yang dikeluarkan oleh MA adalah berbentuk PERMA bukan SEMA,
dengan demikian PERMA mempunyai kekuatan yang sama dengan Hirarki
Perundang-undangan, dimana PERMA mengikat secara penuh kepada setiap
Pengadilan.
PERMA dibuat oleh MA bertujuan untuk mengisi kekurangan dan
kekosongan hukum serta diperlukan bagi jalannya peradilan. Sebagaimana dijelaskan
dalam Penjelasan Umum UU MA angka 2 huruf c “membuat peraturan pelengkap
untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran
jalannya peradilan”
54
Bertitik tolak dari penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa PERMA
hanya bersifat pelengkap (complementary) dalam artian PERMA tersebut merupakan
penyempurnaan atau pelengkap terhadap peraturan perundag-undangan yang sudah
ada, dengan demikian PERMA tersebut tidak boleh merupakan suatu peraturan yang
berdiri sendiri tanpa ada sandaran, dan cantolan kepada peraturan perundang-
undangan yang berlaku.37
Oleh karena itu dilarang atau tidak dibenarkan membuat PERMA yang
memuat keijakan umum yang tidak ada sandaran dan kaitannya dengan peraturan
yang dikeluarkan oleh Legislatif dan Eksekutif.
Lalu bagaimana dengan SEMA itu sendiri, seperti yang sudah diterangkan di
atas SEMA memiliki landasan legalitas, karena penerbitannya oleh Mahkamah
Agung didasarkan pada ketentuan Undang-undang, oleh karena itu isi SEMA
mengikat kepada Hakim dan Pengadilan, dengan demikian Hakim dan Pengadilan
harus tunduk dan taat untuk menerapkannya dalam menjalankan tugasnya.
C. Analisis Yuridis Pos Bantuan Hukum Di Lingkungan Peradilan Agama
Menurut penulis pembentukan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan
khsusunya Pengadilan Agama merupakan salah satu bentuk kepedulian Mahkamah
Agung sebagai institusi tertinggi Peradilan di Indonesia dalam mewujudkan keadilan
37
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung dan Pemeriksaan kasasi dan Peninjauan
Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika) h. 174
55
bagi seluruh Indonesia khususnya mereka yang seringkali termajinalkan yaitu orang
miskin, perempuan, dan anak-anak.
Sebagaimana yang tercantum pada pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”.
Penjabaran dari pasal diatas menegaskan bahwa “Semua orang sama di depan
hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua
berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang
bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada
diskriminasi semacam ini”.38
Penegasan dari pasal di atas juga memperhatikan terhadap hak dasar dan
perlakuan hukum yang adil terhadap setiap manusia, yang terdapat dalam Pasal 7
“Universal Declaration Of Human Rights” yang menjadi pedoman umum
(Universality) di setiap negara. Hukum merupakan penceminan dari jiwa dan pikiran
rakyat. Negara Indonesia adalah Negara yang berlandaskan hukum (Rechtstaats).
Salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak
dasar manusia (fundamental rights). Namun situasi dan kondisi Negara kita hari ini,
justru semakin menjauhkan masyarakat, terutama masyarakat miskin, dari keadilan
38
http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945/Perubahan II
56
hukum (justice of law). Masyarakat miskin belum mempunyai akses secara maksimal
terhadap keadilan.
Dengan adanya realisasi Pos bantuan Hukum di Lingkungan Peangadilan
Agama yang merupakan hasil realiasi dari UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama. Pasal 60 huruf C ayat (1) dan (2), menjelaskan “di setiap Pengadilan Agama
dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam
memperoleh bantuan hukum” dan dalam ayat selanjutnya menyatakan bahwa
“bantuan hukum yang diberikan itu bersifat secara cuma-cuma sampai memperoleh
kekuatan hukum tetap”
Bentuk realisasi dari Perundang-undangan tersebut dituangkan kedalam
SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai Pedoman Bantuan Hukum, kemudian diteruskan
kedalam JUKLAK SEMA No. 10/2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran
B.SEMA No. 10 Tahun 2010 itu sendiri terdiri dari dua lampiran, yaitu:
- Lampiran A diperuntukan bagi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha
Negara
- Lapiran B diperuntukan bagi Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyyah
Kedudukan SEMA sebagai peraturan Pos Bantuan Hukum di Lingkungan jika
kita meninjau dari UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yaitu dalam pasal 7 ayat (4) yang menyatakan bahwa ““Jenis
Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”
57
Dalam penejelasannya diterangkan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”
Jika kita melihat dari penjelasan di atas menyatakan bahwa jenis peraturan
selain dari hirarki peraturan perundang-undangan seperti UUD 1945, UU/Perpu, PP,
Perpers, dan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung mempunyai kekuatan
yang sama atau dengan kata lain mengikat secara keseluruhan khusus bagi kalangan
sendiri yakni Peradilan-Peradilan dibawah wewenang MA (PA, PN, PTU dan PM).
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa peraturan MA yang
termasuk ke dalam pasal 7 ayat (4) UU No.10/2004 itu adalah PERMA (Perataruran
Mahkamah Agung) bukan SEMA atau Peraturan yang lainnya.
Meskipun demikian kedudukan SEMA sebagai peraturan MA memiliki
landasan legalitas sebagaimana dalam pasal 32 UU MA menjelaskan “ Mahkamah
Agung berwenang memberi petunjuk, teguran , atau peringatan yang dipandang
perlu kepada Pengadilan d isemua Lingkungan Peradilan”
Dengan demikian SEMA mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kepada
Hakim dan Pengadilan, meskipun SEMA bukanlah merupakan peraturan perundang-
58
undangan yang tecantum dalam pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 mengenai
Peraturan Perundang-Undangan. Ini dikarenakan landasan hukumnya adalah Undang-
undang, dan undang-undang itu sendiri merupakan salaha satu dari hirarki perundang-
undangan.
Dari segi yuridisnya SEMA sama dengan yurispudensi, dimana yurispudensi
merupakan salah satu sumber hukum bagi Pengadilan, yurispudensi itu sendiri adalah
“Putusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan
dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan
Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Kedudukan yuripudensi dalam penerapannya itu menjadi pertimbangan hakim
apabila seorang hakim tersebut dihadapkan kepada kekosongan hukum
(rechtsvacumm), dan yurispudensi ini sifatnya hanya mengikat secara moral
(persuasive precedent), boleh diikuti boleh tidak.39
Begitu pula dalam SEMA No. 10 tahun 2010, meskipun SEMA ini arahnya
berupa kebijakan, SEMA ini tetap mengikat kepada Hakim dan Pengadilan yang
berada dalam wewenang MA, ini dikarenakan bahwa SEMA mempunyai landasan
hukum yang kuat yaitu pasal 32 UU MA No. 3 tahun 2009 dan belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan POSBAKUM, sehingga
keberadaannya SEMA ini sangat penting dalam pelaksanaan POSBAKUM di
Lingkungan Pengadilan khusunya Pengadilan Agama.
39
Andrea, yurispudensi, artikel diakses pada tanggal 26 Mei 2011, dari
www.hukumonline.com
59
Perlu untuk diketahui bahwa lebih dari 80 % para Hakim menggunakan dasar
hukum SEMA dalam menjalankan proses Pengadilan, akan tetapi apabila sudah ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pedoman Bantuan Hukum
khsusunya yang mengatur POSBAKUM, maka penerapan SEMA secara otomatis
akan tercabut dengan sendirinya.
Ditinjau dari peraturan perundang-undangan POSBAKUM yang terkait dengan:
1. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, realiasai POSBAKUM ini menunjukan
kepada penegakan hak asasi manusia dalam jaminan keadilan sebagaiman
dalam pasal 3 ayat (2) “Setiap orang berhakatas pegakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian
hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.”
Dalam pasal 5 ayat (1), (2), (3), UU HAM juga menjelaskan bahwa
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan
memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan
martabat kemanusiaannya di depan hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari
pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.
(3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
2. Dengan adanya Pos Bantuan di Lingkungan Peradilan Agama ini juga
memberikan jaminan hukum kepada para wanita khusunya dalam menghapus
60
kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga, sebagaimana dalam pasal 1
ayat (3) UU No. 23/2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga menyatakan bahwa “Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.”
3. Dalam hal pemberi jasa hukum di POSBAKUM Pengadilan Agama yang
tertuang dalam pasal 26 Lampiran B SEMA No 10 Tahun 2010, ini sudah
sesuai dengan UU Advokat yaitu UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
dimana yang berhak memberikan jasa hukum adalah seorang advokat yang
merupakan lulusan perguruan tinggi hukum dan telah diangkat oleh organisasi
Advokat.
Begitu pula dalam SEMA No. 10 tahun 2010, meskipun SEMA ini arahnya
berupa kebijakan, SEMA ini tetap mengikat kepada Hakim dan Pengadilan yang
berada dalam wewenang MA, ini dikarenakan belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan POSBAKUM, sehingga
keberadaannya SEMA ini sangat penting dalam pelaksanaan POSBAKUM di
Lingkungan Pengadilan khusunya Pengadilan Agama.
Perlu untuk diketahui bahwa lebih dari 80 % para Hakim menggunakan dasar
hukum SEMA dalam menjalankan proses Pengadilan, akan tetapi apabila sudah ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pedoman Bantuan Hukum
61
khsusunya yang mengatur POSBAKUM, maka penerapan SEMA secara otomatis
akan tercabut dengan sendirinya.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian telah penulis jabarkan diatas, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa:
1. Yang berhak mendapatkan layanan jasa bantuan hukum di Lingkungan
Pengadilan Agama adalah orang yang tidak mampu „miskin‟ dan mereka yang
tidak dapat membayar jasa advokat tertutama perempuan, dan anak-anak serta
penyandang distabilitas, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Bagi mereka yang menginginkan jasa bantuan hukum di Lingkungan
Pengadilan Agama maka mekanisme yang yang harus dilalui adalah, bagi
mereka yang tidak mampu harus menyertakan SKTM (Surat Keterangan
Tidak Mampu) yang dipersamakan dengan
KKM/Gakin/Askes/Jamkesmas/BLT/PHK, dan bagi mereka yang tidak
mampu membayar jasa advokat maka mereka harus menyertkan surat
keterangan tidak mampu membayar jasa Advokat yang ditanda tangani oleh
pemohon dan diketahui oleh Ketua Pengadilan.
3. SEMA No. 10/20 sebagai landasan hukum POSBAKUM memiki kekuatan
hukum yang mengikat sama halnya seperti PERMA dan Peraturan perundang-
undangan lainnya, kekutan mengikatnya hanya kepada Hakim dan
Pengadilan, dan SEMA ini menjadi peraturan yang wajib ditaati dan di
63
jalankan selama memang belum ada peraturan perundang-undangan lain yang
mengatur Pos Bantuan Hukum, dan apabila memang belum ada ia menjadi
sumber hukum seperti yurispudensi yang bertujuan untuk mengisi kekosongan
hukum. Dengan adanya Pos Bantuan Hukum, ini bertujuan untuk:
a. Membantu masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu secara
ekonomis dalam proses hukum di Pengadilan
b. Meningkatkan akses terhadap keadilan
c. Meningkatkan kesadaran dan Pengetahuan masyarakat tentang hukum
melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak
dan kewajiban
d. Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.
B. Saran-saran
Adapun saran-saran yang bisa penulis berikan adalah :
1. Pengadilan Agama perlu meningkatkan sosialiasi terhadap Pos Bantuan
Hukum ini kepada masyarakat luas, agar masyarakat menjadi lebih tahu jika
di Pengadilan Agama sudah disediakan POSBAKUM, sehinggga diharapkan
mereka tidak akan kesulitan jika ingin mengurus urusan perdata ke Pengadilan
Agama.
2. Ketua Pengadilan Agama Badilag harus lebih melakukan pengawasan secara
intensif terhadap program POSBAKUM itu sendiri, agar dalam perjalannya
sesuai dengan peraturan yang ada sehingga bisa menjadi optimal dan tepat
sasaran.
64
3. Pemerintah dalam hal ini DPR (dewan Perwakilan rakyat) diharapkan dapat
segera mensahkan RUU mengenai bantuan Hukum, sehingga, Pos Bantuan
Hukum yang awal landasan hukumnya masih berupa SEMA, dapat menjadi
UU yang memiliki kekuatan hukum yang pasti sesuai dengan hirarki
perundang-undangan.
65
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrahman. Aspek-Aspek bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: Cendana Press.
1983
Abdurrahman. Masalah Bantuan Hukum di Indonesia, majalah Orientasi No. 3 Th.
Ke II (1977)
Ashofa Burhan. Metode Penelitian Hukum . Jakarta: Rineka Cipta. 2004
Bambang Sunggono dan Aries Harrianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Jember: Mandar Maju. 1994
Direktoral Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama. Bulletin Berkala Hukum
& Peradilan. Jakarta:Direktorat Pembinan Badan Peradilan Agama
Departemen Agama, 2002
Harahap Yahya. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2008
Lubis Todung Mulya. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES.
1986
Moloeng Lexy. J. Metodologi Penelitian Kualitati. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2004
Naution Adnan Buyung. Bantuan Hukum di Negara-Negara Berkembang (Sebuah
Kasus di Indonesia, dalam 5 tahun Lembaga Batuan Hukum). Jakarta:LBH.
1976
Naution Adnan Buyung. Bantuan Hukum di Indonesia Jakarta: LP3ES. 1988
Purbacaraka Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto. Perihal Kaidah Hukum.
Bandung: Alumni. 1997
Sanggona Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
2003
66
Subekti, R , Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Indonesia, 1977
Soekanto Soerjono, dkk. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis Jakarta:
Ghalia Indonesia. 1983
Soekanto Soerjono. Pendekatan Sosiologi Hukum. Jakarta: Bina Aksara. 1988
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Panduan Penulisan Skripsi, Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2007.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar RI tahun 1945
Undang-Undang No. 30 Tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung Indonesia
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Undang-Undang No. 5 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No, 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 Tetang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 51/2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Inpres No. 3 tahun 2010 Tentang Program Pembangunan Berkeadilan
SEMA No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum
67
Lampiran B SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum
Di Lingkungan Peradilan Agama.
Juklak SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai lampiran B
Internet
Andrea, yurispudensi, artikel diakses pada tanggal 26 Mei 2011, dari
www.hukumonline.com
Suhandak, Berperkara Di PA Gratis Kecuali Yang Mampu Sebagai Implementasi
Justice For All , artikel diakses pada tanggal 2 Maret 2011 dari
www.badilag.net
Peremian Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama, diakses
dari www.badilag.net tanggal 21 Mei 2011
Peresmian POSBAKUM di PA Tigaraksa, diakses pada tanggal 28 Mei 2011 dari
www.pa-tigaraksa.net
Widana Wahyu, Access to Justice for the Poor; the Badilag Experience, artikel
diakses pada tanggal 19 mei 2011 dari www.badilag.net
Andrea, yurispudensi, artikel diakses pada tanggal 26 Mei 2011, dari
www.hukumonline.com
www.pa-jaktim.net
www.pa-jakbar.net
HASIL WAWANCARA MENGENAI POS BANTUAN HUKUM
DI BADILAG
Identitas Informan
Nama : Umiyati. SH
Jabatan : Kasubdit Tata Kelola Direktorat Pembinaan Administrasi Badilag
Alamat : Jl. Jendral Ahmad Yani
Tanya : Jika ditinjau dari segi yuridiksinya, peraturan mengenai pelaksanaan Pedoman
Bantuan hukum itu adalah SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 10 tahun
2010, menurut Ibu bagaimana kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia ini?
Jawab : kedudukan SEMA dalam peraturan perundang-undangan itu mempunyai kekuatan
yang mengikat khusus dilingkungan institusi peradilan, SEMA tidak bisa mengatur
diluar dari Institusi Peradilan yang dibawah Mahkamah Agung, sebagaimana dalam
pasal 7 ayat (4) bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) itu diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum,
dan mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi, peraturan
perundang-undangan selain ketentuan diatas antara lain peraturan yang dikeluarkan
oleh MA.
Tanya : Apa fungsi Badilag dalam pelaksanaan Pos Bantuan Hukum yang ada di Lingkungan
Peradilan Agama
Jawab :Fungsi kami dalam hal ini, sebagai pembuat peraturan tentang pedoman, dan
mekanisme serta melakukan fungsi Pengawasan dalam pelaksaaan Pos Bantuan
Hukum di Lingkungan Pengadilan Agama yang telah kita pilih diseluruh Indonesia.
Tanya: Sampai saat ini sudah ada berapa Pengadilan Agama diseluruh Indonesia yang
menyediakan Pos Bantuan Hukum
Jawab : Untuk saat ini baru ada 46 Pengadilan Agama diseluruh Indonesia yang
menyediakan Pos Bantuan hukum, dan ke-46 pengadilan Agama tersebut merupakan
proyek percontohan Pos Bantuan Hukum, ke -46 Pengadilan Agama tersebut dipilih
berdasarkan dari banyaknya perkara yang masuk dan letak geografisnya,
Tanya : Apakah pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma yang direalisasikan oleh
Mahkamah Agung dalam Program Pos Bantuan Hukum ini sudah ada sampai pada
tingkat kasasi, sesuai dengan pasal 60 C ayat (2) UU No. 50 tahun 2009 tentang
Perubahan kedua UU no. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama?
Jawab : untuk saat ini belum ada sampai ditingkat kasasi, baru ada hanya pada tingkat
pertama saja, ini dikarenakan program Pos Bantuan Hukum ini masih baru jadi butuh
proses untuk samapi kesana, meskipun demikian Pos Bantuan Hukum untuk
kedepannya nanti Insya Allah sudah ada di Tingkat Banding dan Kasasi.
Tanya: Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Badilag terhadap program Pos
Bantuan hukum ini?
Jawab: kami dari Badilag hanya memonitoring saja, setipa 3 bulan sekali sedangkan
pengawasannya secara langsung itu dilakukan di masing-masing Pengadilan Agama
yang menyediakan Pos Bantuan Hukum tersebut.
Tanya: Mengenai bentuk kerjasama antara Pengadilan Agama dengan Organisasi Advokat
dalam program Pos Bantuan Hukum yang tercantum dalam sebuah MoU, apakah
Badilag dalam hal ininikut serta/terlibat dalam perjanjian tersebut atau tidak?
Jawab: Badilag dalam hal ini tidak terlibat sama sekali/tidak ikut campur tangtan dalam
perumusan MoU anatara Pengadilan dengan Organisasi Advokat yang bersangkutan,
Badilag hanya memberikan Dana dan aturan-aturan sebagaimana yang tercantum
dalam Juklak mengenai Pos Bantuan Hukum., yang menjadi maslahnya adalah dari
segi anggaran, mereka para advokat Pos Bantuan Hukum ingin dibayar secara person,
padahal hal ini tidak diperkenankan, pembayaran dari anggaran itu diberikan oleh
lembaga/organiasai dimana Advokat itu berada.
Tanya: Menurut Ibu, apakah peraturan SEMA No. 10 tahun 2010 mengenai Pedoman
Pemberian Bantuan Hukum ini sudah sempurna, atau masih perlu ada perbaikan?
Jawab: menurut saya masih perlu ada perbaikan khususnya yang berkaitan dengan teknis,
kalau Pos Bantuan Hukumnya itu sendiri baik administrasi dan teknis, saya kira sudah
sempurna, yang menurut saya kurang adalah dalam permasalahan prodeo, prodeo
yang tercantum dalam SEMA No. 10 tahun 2010 ini masih ada yang kurang,
seharusnnya prodeo ini harus dalam bentuk prodeo murni baik dalam anggrannya
maupun teknisnya. Dan perlu diingat juga bahwa, kedepannya mungkin sudah ada UU
mengenai Bantuan Hukum, karena RUU mengenai Bantuan Hukum ini sedang
digarap di DPR, dan apabila RUU ini sudah jadi maka Bantuan Hukum ini bukan lagi
oleh MA baik aturannya, dan administrasinya, melaikan akan alihkan kepada
Kementrian Hukum dan Ham, mungkin Mahkamah Agung dalam hal ini Badilag
hanya bertugas sebagai pengawasan saja, atau memonitoring. Kepada pengadilan-
Pengadilan Agama agar berjalan sesuia dengan aturan yang ada.
Informan,
Umiyati. SH
HASIL WAWANCARA MENGENAI POS BANTUAN HUKUM
DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
Identitas Informan
Nama : Drs. Ach Jufri, SH
Jabatan : Panitera/ Sekretaris
Alamat Kantor : Jl. Harsono RM No. 1Ragunan Pasar Minggu Jakarta Selatan
(Pengadilan Agama Jakarta Selatan)
Tanya: Dengan melihat begitu bagusnya program POSBAKUM ini dalam mewujudkan
justice for all, mengapa realisasi Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama
khususnya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan baru terlaksana pada tanggal 15
Maret 2011, tidak seperti Prodeo dan Sidang Keliling yang sudah terlebih dahulu
teralisasi?
Jawab: Pelaksanaan realisasi Pos Bantuan Hukum Dilingkungan Peradilan Agama baru
terealisasi pada tanggal 15 Maret, itu dikarenakan dalam realisasinya melewati proses
terlebih dahulu, pertama Implementasi SEMA No. 10 tahun 2010 baru dikuatkan
dengan adanya Juklak dari Ketua Muda Urusan Peradilan Agama dan Sekretaris
Mahkamah Agung, pada tanggal 1 Maret 2011, kedua, pada tanggal 11 Maret 2011
kita mengadakan proses rekrutmen/ seleksi untuk menduduki posisi di Pos Bantuan
Hukum dan mengadakan sosialisasi kepada masyarakat bahwa di Peradilan Agama
kini sudah tersedia Pos Bantuan Hukum, Ketiga, tanggal 14 Maret 2011 kita membuat
MoU mengenai Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, keempat,
tanggal 15 baru realisasi Pos Bantuan Hukum itu sendiri.
Tanya: Siapa saja yang berhak menerima jasa bantuan hukum dari Pos Bantuan Hukum di
Lingkungan Peradilan Agama dan apakah ada kriteria khusus untuk mendapatkannya?
Jawab: oh itu sudah jelas, ada kriteria khusus dalam mendapatkan jasa bantuan hukum dari
Pos Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama, sesuai dengan syarat formil
yang sudah tertuang didalam SEMA No. 10 tahun 2010 dalam Lampiran B, yaitu,
yang berhak mendapatkan jasa bantuan hukum dari POSBAKUM adalah mereka yang
secara ekonomi tidak mampu “miskin” dan mereka yang tidak mampu membayar jasa
advokat.
Tanya: Bagaimana dengan masyarakat yang buta akan hukum, apakah mereka tetap
mendapatkan layanan dari POSBAKUM ini?
Jawab: itu tergantung, apakah masyarakat yang buta akan hukum ini termasuk orang yang
tidak mampu „miskin‟ atau ia tidak mampu dalam membayar jasa advokat, jikalau ia
buta akan hukum akan tetapi mampu membayar jasa advokat, maka ia tidak berhak
mendapatkan layanan dari POSBAKUM ini, sebaliknya apabila masyarakat yang buta
akan hukum ini masuk ke dalam dua kategori yang sudah disebutkan tadi maka
mereka berhak mendapatkan layanan dari POSBAKUM.
Tanya: Lalu bagaimana prosedur administrasi yang harus dilewati kepada mereka yang ingin
membutuhkan jasa Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama?
Jawab: Mereka yang membutuhkan jasa Pos Bantuan Hukum diPengadilan Agama, terlebih
dahulu harus melapor ke bagian informasi (Information Base) dengan menyertakan
SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) Jamkesmas, atau surat yang lain yang
menerangkan bawah yang bersangkitan termasuk kepada orang yang tidak mampu
“miskin” dan menyertakan surat pernyataan secara tertulis dengan alasan tidak
mampu membayar Advokat yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan bagi mereka
yang tidak mampu membayar jasa advokat.
Tanya: Dalam bentuk apa saja pemberian bantuan hukum yang diberikan oleh Pos Bantuan
Hukum Peradilan Agama kepada mereka yang membutuhkannya?
Jawab: Pemberian jasa bantuan hukum yang diberikan oleh POSBAKUM itu berupa
pemberian informasi, konsultasi, advis, pembuatan surat gugatan/permohonan dan
pendamping khusus dibidang jinayat.
Tanya: Dalam SEMA di jelaskan bahwa yang berhak memberikana jasa bantuan hukum
dalam POSBAKUM adalah mereka yang berasal dari Organisasi Bantuan Hukum dari
unsure Asosiasi Profesi Advokat, Perguruan Tinggi dan LSm yang sudah terdaftar di
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kalau boleh tahu, Pengadilan Agama
Jakarta Selatan bekerjasama dengan Organisasi bantuan hukum mana saja?
Jawab: Dalam hal ini Pengadilan Agama Jakarta Selatan bekerjasama dengan LBH Syariah
dan LBH Mandiri
Tanya: Bagaimana Prosedur kerjasama yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dengan LBH Syariah dan LBH Mandiri?
Jawab: Prosedur Kerjasama antara Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan dua LBH
tersebut itu berdasarkan pada Mou yang telah kita buat, sesuai dengan Juklak yang
sudah ada.
Tanya: Berapa Anggaran Biaya yang dikeluarkan dalam pemberian jasa bantuan hukum
untuk Pos Bantuan Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Jawab: Anggaran yang dikeluarkan untuk biaya POSBAKUM ini untuk Pengadilan Agama
Jakarta Selatan sebesar 160 juta untuk jangka waktu satu tahun , dan anggaran ini
berasal dari DIPA yang langsung dari Mahkamah Agung.
Tanya: Dalam jangka satu tahun, berapa target layanan yang harus diberikan oleh
POSBAKUM ini di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Jawab: Target dalam jangka waktu satu tahun itu adalah 2600 layanan dengan 1600 jam
layanan.
Tanya: Sampai saat ini, sudah berapa layanan bantuan hukum yang dibantu oleh
POSBAKUM Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Jawab: Yang saya ketahui, sampai saat ini sudah lebih dari 15 layanan bantuan hukum yang
diberikan oleh POSBAKUM Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Tanya: Bagaimana bentuk Pengawasan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Jakarta
Selatan terhadap program Pos Bantuan Hukum agar tidak menyalahi dari aturan yang
berlaku?
Jawab: Pengawasan yang kami lakukan adalah memantau dan mengawasi secara langsung
kegiatan dari POSBAKUM agar tidak menyalahi dari aturan yang usdah ada, dan
apabila menyalahi dari aturan yang sudah ada, maka kami akan memberikan sanksi
yaitu pemecatan secara sepihak, dan kami bisa langsung melaporkan hal tersebut
melalui SMS Gateway langsung ke BADILAG.
Tanya: Bagaimana respon masyarakat dengan adanya program Pos bantuan Hukum ini
khusunya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
Jawab: Masyarakat sangat antusias sekali apalagi dengan kemajuan teknologi yang
mendukung sehingga memudahkan dalam menyebarkan informasi keberbagai lapisan
masyarakat,, dengan adanya POSBAKUM ini mereka menjadi terbantu dan tidak
takut dalam mengurus permasalahan yang ingin mereka tangani di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Tanya: Menurut pandangan Bapak melihat dari segi yuridisnya, bahwasanya peraturan Pos
Bantuan Hukum ini masih bersifat SEMA?apakah perlu ada peraturan baru yang
harus mengaturnya?
Jawab: Ya..itu sudah pasti, apalagi sekarang DPR sedang ada pembicaraan mengenai RUU
Bantuan Hukum, kalau sudah menjadi Undang-undang jelas ini mempunyai kekuatan
di bidang peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam pasal 7 ayat 1 UU No.
10 tahun 2004 Tentang Peraturan Perundang-Undangan.
Tanya: Menurut bapak apakah SEMA No. 10 mengenai Bantuan Hukum ini sudah
sempurna, atau masih ada perbaikan?
Jawab: Menurut saya sudah cukup jelas dan padat, dalam hal perbaikan mungkin hanya perlu
di rubah menjadi Undang-undanga saja.
Informan
Drs. Ach Jufri, SH
NIP. 150 264 713