distribusi horisontal total suspended solid...
TRANSCRIPT
DISTRIBUSI HORISONTAL TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN
KLOROFIL-A MELALUI ANALISIS CITRA SATELIT LANDSAT 8 OLI
DI WADUK SUTAMI, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR
LAPORAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
Oleh: FIKRI NUR CAHYA
NIM. 135080101111046
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
DISTRIBUSI HORISONTAL TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN
KLOROFIL-A MELALUI ANALISIS CITRA SATELIT LANDSAT 8 OLI
DI WADUK SUTAMI, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR
LAPORAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan
Di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh: FIKRI NUR CAHYA
NIM. 135080101111046
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
SKRIPSI
DISTRIBUSI HORISONTAL TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN KLOROFIL-A MELALUI ANALISIS CITRA SATELIT LANDSAT 8 OLI
DI WADUK SUTAMI, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR
Oleh: FIKRI NUR CAHYA
NIM:135080101111046
Telah dipertahankan didepan penguji Pada tanggal 31 Juli 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui Dosen Penguji I, Dosen Pembimbing I, (Dr. Ir. Muhammad Musa, MS) (Dr. Ir. Umi Zakiyah, M.Si) NIP. 19570507 198602 1 002 NIP. 19610303 198602 2 001 Tanggal : Tanggal : Dosen Penguji II, Dosen Pembimbing II, (Andi Kurniawan, S.Pi, M.Eng, D.Sc) (Dr. Eng. A. B. Sambah, S.Pi, MT) NIP. 19790331 200501 1 003 NIP. 19780717200502 1 004 Tanggal : Tanggal :
Mengetahui Ketua Jurusan
(Dr. Ir. Arning Wilujeng Ekawati, MS) NIP. 19620805 198603 2 001 Tanggal :
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan saya juga
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kemuadian hari terbukti atau dapat dibuktikan laporan ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 1 Maret 2017
Mahasiswa
Fikri Nur Cahya 135080101111046
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam membantu kelancaran hingga penulisan laporan Skripsi ini dapat
terselesaikan.
Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan umur panjang, sehingga saya dapat
melaksanakan PKM ini dengan baik.
2. (Alm.) Ronny Asmara Hadi dan (Almh.) Juli Astuti, kedua almarhum orang tua
saya yang telah membimbing saya saat usia belia. Serta Paman dan Tante
saya, Siswanto dan Agustin Iriawati, yang telah dengan bangga merawat dan
membesarkan saya hingga saat ini. Kedua kakak saya, Fitri Kurniawati dan
Rizki Ashadi, yang telah membimbing dan memberi dorongan kuat.
3. Dr. Ir. Umi Zakiyah, M.Si, selaku Dosen Pembimbing 1 dan Dr. Eng. Abu Bakar
Sambah, S.Pi, MT, selaku Dosen Pembimbing 2 atas kesediaan waktunya dan
arahannya dalam membimbing penulis hingga terselesaikan Laporan Skripsi
ini.
4. Mas Tauvik Irkhami yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberi
semua ilmu penginderaan jauh yang dimiliki dan menginspirasi penulis dalam
terwujudnya penelitian ini.
5. Pak Arief Darmawan, S.Si, M.Si yang telah sudi membimbing saya dan
membagi ilmu yang dimiliki kepada saya pribadi.
6. Mahardika Yanottama Putra yang telah menjadi rekan hebat dan berbagi
selama penelitian berlangsung.
7. Hafit, Farid, Novan, Robby dan Didik yang telah menjadi teman yang hebat
selama perkuliahan hingga kini.
8. Aditya Bagus Kuswadi selaku ketua angkatan MSP 13 yang selalu membantu
dalam segala hal selama masa perkuliahan, dan teman-teman keluarga FAM
13 yang telah menjadi keluarga luar biasa di dunia kampus.
9. Tim Asisten Penginderaan Jauh, yang telah berproses bersama dalam
memperkaya ilmu penginderaan jauh dan berbagi ilmu kepada adik tingkat,
semoga apa yang telah kita lakukan mendapat berkahnya kemudian hari.
Malang, 4 Agustus 2017
Fikri Nur Cahya
1
RINGKASAN
FIKRI NUR CAHYA. Laporan Penelitian Skripsi tentang Distribusi Horisontal Total Suspended Solid (TSS) dan Klorofil-a Melalui Analisis Citra Satelit Landsat 8 OLI di Waduk Sutami, Kabupaten Malang, Jawa TImur (dibawah bimbingan Dr. Ir. Umi Zakiyah, M.Si dan Dr. Eng. Abu Bakar Sambah, S.Pi, MT).
Waduk Sutami merupakan salah satu waduk yang beroperasi di Jawa Timur. Dimana terdapat 3 aliran sungai yang dibendung yakni, Sungai Metro, Sungai Brantas dan Sungai Lesti. Namun perkembangannya kini, aliran sungai yang mengaliri Waduk Sutami memberikan sumbangan sedimen yang cukup besar tiap tahunnya. Fakta ini tentu mengakibatkan sedimen yang tersuspensi dalam perairan akan berdampak pada penurunan kualitas air di perairan tersebut. Sedimen tersuspensi dalam perairan ini dapat diketahui nilainya pada Total Suspended Solid (TSS). Kondisi ini berpotensi menurunkan penetrasi cahaya yang masuk ke perairan dan berpengaruh buruk pada kesuburan perairan. Dimana kondisi ini sering diindikasikan dengan keberadaan klorofil-a sebagai indikator biomassa fitoplankton. Dewasa ini metode penginderaan jauh dengan memanfaatkan data citra satelit telah digunakan untuk mengetahui kondisi distribusi horisontal Total Suspended Solid (TSS) dan klorofil-a pada suatu wilayah perairan, salah satunya yakni perairan danau ataupun waduk. Salah satu citra satelit yang dapat dimanfaatkan yakni data citra satelit Landsat 8 OLI. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi horisontal Total Suspended Solid (TSS) dan klorofil-a melalui analisis data citra satelit di Waduk Sutami, Kabupaten Malang, Jawa timur. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 2 - 9 April 2017. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pengumpulan data diperoleh dengan pengambilan data secara lapang dan melakukan pengukuran di laboratorium, serta melakukan proses pengolahan data citra satelit menggunakan software pengolahan citra satelit dan sistem informasi geografis. Proses pengolahan TSS dari citra Landsat 8 memanfaatkan algoritma Woerd dan Pasterkamp (2004), sedangkan nilai klorofil-a dianalisis memanfaatkan algoritma Wibowo (2004).
Berdasarkan hasil ekstraksi data TSS citra satelit didapatkan waduk sutami memiliki rata-rata TSS pada tahun 2014 yakni 0,0266 mg/L; tahun 2015 sebesar 0,0371 mg/L; tahun 2016 sebesar 0,0648 mg/L; tahun 2017 sebesar 0,408 mg/L. Maka dapat diklasifikasikan bahwa perairan Waduk Sutami berdasarkan nilai TSS tergolong pada status yang tidak berpengaruh buruk terhadap dunia perikanan. Sedangkan hasil ekstraksi data klorofil-a citra satelit didapatkan Waduk Sutami memiliki rata-rata klorofil-a tahun 2014 sebesar 0,0427 mg/m3; tahun 2015 sebesar 0,0371 mg/m3; tahun 2016 sebesar 0,0237 mg/m3; tahun 2017 sebesar 0,0372 mg/m3. Maka ditinjau dari nilai klorofil-a, Waduk Sutami berada pada status yang rendah. Selain itu distribusi horisontal TSS dan klorofil-a memiliki hubungan yang signifikan terhadap kondisi kecerahan dan nitrat pada perairan tersebut. Adapun saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini yakni, perlu adanya analisis lebih lanjut terkait perubahan landuse terhadap kondisi distribusi horizontal TSS dan klorofil-a di Waduk Sutami. Selain itu, pengembangan terhadap algoritma pendugaan TSS dan klorofil-a di Waduk Sutami juga perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai akurasi data citra dengan data lapang
2
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi
ini yang berjudul “Distribusi Horisontal Total Suspended Solid (TSS) dan
Klorofil-a Melalui Analisis Citra Satelit Landsat 8 OLI di Waduk Sutami,
Kabupaten Malang, Jawa Timur”. Tujuan dibuatnya Laporan Skripsi ini adalah
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang
Penulis menyadari bahwa Laporan Skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran semua pihak yang bersifat
membangun agar tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pihak yang membutuhkan.
Malang, 9 Maret 2017
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...........................................................................................vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii
1. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 3
1.4 Kegunaan .................................................................................................. 4
1.5 Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 5
2.1. Total Suspended Solid (TSS) ................................................................... 5
2.2 Klorofil-a .................................................................................................... 6
2.3 Fitoplankton ............................................................................................... 7
2.4 Parameter Kualitas Air .............................................................................. 7
2.4.1 Suhu ................................................................................................. 7
2.4.2 pH (Derajat Keasaman) .................................................................... 8
2.4.3 Oksigen Terlarut (Dissolve Oxygen) ................................................. 8
2.4.4 Kecerahan ........................................................................................ 9
2.4.5. Nitrat .............................................................................................. 10
2.4.6 Orthophospat .................................................................................. 10
2.5 Penelitian Terdahulu Terkait Ekosistem Perairan Waduk ........................ 11
2.6 Penginderaan Jauh Satelit ...................................................................... 12
2.6.1 Landsat 8 (OLI/TIRS) ...................................................................... 13
2.6.2 Aplikasi Penginderaan Jauh dalam Pemantauan Kualitas Air ......... 15
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN .......................................................... 16
3.1 Materi Penelitian ..................................................................................... 16
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................... 16
3.3.1 Alat ................................................................................................. 16
3.3.2 Bahan ............................................................................................. 17
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 18
3.4 Metode Penelitian.................................................................................... 19
3.5 Sumber Data Penelitian........................................................................... 19
3.5.1 Data Primer .................................................................................... 19
4
3.5.2 Data Sekunder ................................................................................ 20
3.6 Tahapan Penelitian ................................................................................. 20
3.6.1 Taknik Pengambilan Sampel ......................................................... 21
3.6.2 Pengolahan Data ........................................................................... 22
A. Pengolahan Data Citra TSS dan Klorofil-a .................................. 22
B. Total Suspended Solid (TSS) ...................................................... 26
C. Klorofil-a ...................................................................................... 26
D. Fitoplankton ................................................................................ 28
E. Suhu ........................................................................................... 29
F. pH ............................................................................................... 29
G. Kecerahan .................................................................................. 30
H. Oksigen Terlarut ......................................................................... 30
I. Nitrat ............................................................................................. 31
J. Ortofosfat ..................................................................................... 32
K. Proses Interpolasi Data Metode IDW .......................................... 32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 33
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian ................................................................... 33
4.2 Distribusi Horisontal Total Suspended Solid ............................................ 33
4.2.1 Analisa Hasil Data Total Suspended Solid Lapang ......................... 33
4.2.2 Analisa Hasil Ekstraksi Total Suspended Solid Citra ....................... 35
4.3 Distribusi Horisontal Klorofil-a ................................................................. 38
4.3.1 Analisa Hasil Data Klorofil-a Lapang ............................................... 38
4.3.2 Analisa Hasil Ekstraksi Klorofil-a Citra ............................................ 39
4.4 Klasifikasi Nilai TSS dan Klorofil-a di Waduk Sutami ............................... 42
4.4.1 Klasifikasi Nilai TSS di Waduk Sutami Tahun 2014-2017 ............... 42
4.4.2 Klasifikasi Nilai Klorofil-a di Waduk Sutami Tahun 2014-2017 ........ 49
4.5 Hubungan Distribusi TSS dan Klorofil-a terhadap Kualitas Air ................. 56
a. Suhu .................................................................................................... 56
b. pH (Derajat Keasaman) ....................................................................... 58
c. Dissolved Oxyigen (Oksigen Terlarut) .................................................. 59
d. Kecerahan ........................................................................................... 61
e. Nitrat .................................................................................................... 63
f. Ortofosfat .............................................................................................. 64
5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 67
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 67
5.2 Saran ...................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 69
LAMPIRAN ...................................................................................................... 76
5
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Spesifikasi Satelit Landsat 8 OLI/TIRS ........................................................ 14
2. Karakteristik Sensor Landsat-8 OLI/TIRS ................................................... 14
3. Identifikasi Alat-alat Pengolahan Data Spasial ............................................ 16
4. Bahan yang Digunakan Untuk Analisis Spasial ........................................... 17
5. Daftar citra yang digunakan ........................................................................ 17
6. Data parameter kualitas air ......................................................................... 56
6
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Diagram Sistem Penginderaan Jauh Pada Umumnya ................................ 13
2. Peta titik pengambilan sampel Waduk Sutami, Kabupaten Malang ............. 18
3. Diagram Alur Penelitian .............................................................................. 21
4. Tahapan Pengolahan TSS dan Klorofil-a .................................................... 22
5. Grafik Data TSS Lapang di Waduk Sutami ................................................. 34
6. Grafik Data TSS Citra di Waduk Sutami ...................................................... 36
7. Grafik Uji Regresi Data TSS Lapang dan Citra ........................................... 37
8. Peta DIstribusi Horisontal TSS di Waduk Sutami Bulan Maret 2017 ........... 38
9. Grafik Nilai Klorofil-a Tiap Stasiun di Waduk Sutami ................................... 39
10. Grafik Nilai Korofil-a Citra Tiap Stasiun di Waduk Sutami ........................... 40
11. Grafik Uji Regresi Antara Hasil Ekstraksi Klorofil-a Citra dan Lapang ......... 41
12. Peta Distribusi Horisontas Klorofil-a di Waduk Sutami Bulan Maret 2017 ... 42
13. Distribusi TSS Waduk Karangkates tahun 2014 .......................................... 43
14. Distribusi TSS Waduk Karangkates tahun 2015 .......................................... 43
15. Distribusi TSS Waduk Karangkates tahun 2016 .......................................... 44
16. Distribusi TSS Waduk Karangkates tahun 2017 .......................................... 44
17. Grafik Nilai Rata-rata TSS Bulan Maret Tahun 2014 – 2017 ....................... 46
18. Peta Klasifikasi Spasial Waduk Sutami terhadap TSS ................................ 48
19. Distribusi horisontal klorofil-a tahun 2014 .................................................... 49
20. Distribusi horisontal klorofil-a tahun 2015 .................................................... 50
21. Distribusi horisontal klorofil-a tahun 2016 .................................................... 50
22. Distribusi horisontal klorofil-a tahun 2017 .................................................... 51
23. Grafik nilai rata-rata Klorofil-a bulan Maret tahun 2014 – 2017 ................... 53
24. Klasifikasi spasial Waduk Sutami terhadap nilai Klorofil-a ........................... 55
25. Peta Sebaran Suhu Waduk Sutami ............................................................. 57
7
26. Peta Sebaran pH Waduk Sutami ................................................................ 59
27. Peta Sebaran Dissolved Oxygen Waduk Sutami ........................................ 60
28. Peta Sebaran Kecerahan Waduk Sutami .................................................... 62
29. Peta Sebaran Nitrat Waduk Sutami ............................................................ 63
30. Peta Sebaran Ortofosfat Waduk Sutami ..................................................... 65
8
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Lokasi Penelitian ......................................................................................... 76
2. Titik Pengambilan Sampel .......................................................................... 76
3. Alat-alat yang Digunakan Untuk Pengukuran Kualitas Air .......................... 77
4. Bahan-bahan yang Digunakan Untuk Pengukuran Kualitas Air ................... 78
5. Data Hasil Pengolahan TSS Lapang dan Citra ........................................... 78
6. Data Hasil Pengolahan Klorofil-a Lapang dan Citra .................................... 79
7. Hasil Pengukuran Nitrat dan Ortofosfat ....................................................... 80
8. Identifikasi Fitoplankton .............................................................................. 81
9. Data Perhitungan Pengamatan Fitoplankton ............................................... 85
10. Data Kelimpahan Fitoplankton .................................................................... 86
11. Data TSS Tahun 2014 – 2017 .................................................................... 88
12. Data Klorofil-a tahun 2014 – 2017 ............................................................... 89
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Waduk merupakan salah satu perairan yang digolongkan menjadi perairan
lentik. Menurut Sihombing (2011), sebagai salah satu perairan lentik, waduk
dimasukkan ke dalam kategori perairan lentik buatan. Hal ini didasarkan pada sifat
perairannya yang tergenang, dan hampir tidak ada aliran air, serta keberadaannya
yang terbentuk akibat campur tangan manusia (Rachmawati, 2012). Dimana pada
dasarnya waduk membendung beberapa aliran sungai yang ada pada suatu wilayah.
Salah satu waduk yang beroperasi di Jawa Timur yakni, Waduk Sutami.
Waduk Sutami merupakan salah satu waduk terbesar di Jawa Timur yang berlokasi
di Desa Karangkates, Kabupaten Malang. Dimana waduk ini dibangun untuk
mengoptimalkan peran dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang berada di
wilayah tersebut (Kemen. PU dan Perumahan Rakyat, 2011). Menurut Hidayat (2017),
Waduk Sutami dibangun memiliki tujuan sebagai pembangkit listrik, penyediaan
irigasi, pengendali banjir, serta kegiatan perikanan dan pariwisata.
Menurut Yetti et al. (2011), karakteristik kualitas air Waduk Sutami pada
dasarnya dipengaruhi oleh aliran sungai yang mengalir ke waduk tersebut, yakni
Sungai Metro, Sungai Brantas dan Sungai Lesti. Dimana hasil proses erosi atau
kikisan lapisan tanah yang terjadi pada lahan disekitar aliran sungai akan terbawa oleh
aliran dan mengalir ke waduk (Suprapto et al., 2008). Menurut Fakhri (2013) dalam
Ashadi (2016), menyatakan bahwa sumber sedimen terbesar pada Waduk Sutami
yakni berasal dari Sungai Metro, yang mencapai 5,6 kg/m3 pada tahun 2010. Fakta ini
yang akan berdampak pada penurunan debit air waduk serta umur dari suatu waduk.
2
Keberadaan sedimen yang bersifat terlarut (tersuspensi) di dalam perairan
umumnya dapat diketahui dari nilai Total Suspended Solid. Dimana menurut Effendi
(2003), mengatakan bahwa Total Suspended Solid (TSS) merupakan bahan-bahan
tersuspensi (diameter > 1 m) dalam air yang tertahan pada saringan milipore
diameter pori 0,45 m dan terdiri dari pasir halus serta jasad-jasad renik. Nilai TSS
yang berlebih akan meningkatkan kekeruhan pada perairan dan menghambat
penetrasi cahaya ke dalam perairan (Damayanti dan Hermawan, 2014).
Hal ini tentu dapat mengganggu aktivitas fotosintesis dari tumbuhan air
mikroskopis (fitoplankton) untuk melepaskan oksigen di dalam perairan. Jika laju
fotosintesis terganggu, dampak yang ditimbulkan adalah kondisi kesuburan perairan
juga dapat menurun. Salah satu metode yang dapat dijadikan indikator kesuburan
suatu perairan yakni klorofil-a. Menurut Boyer et al. (2009), bahwa klorofil-a telah
digunakan sebagai indikator terhadap kualitas perairan, karena klorofil-a merupakan
indikator biomassa fitoplankton. Dimana kandungannya menggambarkan secara
menyeluruh efek dari berbagai faktor yang terjadi karena aktivitas manusia.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui dsitribusi
horisontal dari nilai Total Suspended Solid dan klorofil-a pada suatu perairan, yakni
dengan penginderaan jauh. Landsat menjadi satu dari sekian satelit sumber daya
alam yang dapat digunakan datanya untuk mengetahui distribusi Total Suspended
Solid dan klorofil-a. Menurut Trisakti (2004), terdapat suatu metode ekstraksi untuk
dapat mengolah data TSS yang dapat digunakan, yakni algoritma Woerd dan
Pasterkamp (2004) yang memanfaatkan kanal hijau dari citra satelit Landsat.
Sedangkan untuk pengolahan klorofil-a, Sidabutar (2009) mengatakan salah satu
3
metode ekstraksi yang dapat digunakan yakni algoritma Wibowo et al. (2004) yang
memanfaatkan kanal merah dan kanal hijau dari citra satelit Landsat.
Berdasarkan pada fungsi dan peran utama dari Waduk Sutami sebagai
pembangkit tenaga listrik serta keberlangsungan kegiatan perikanan yang dilakukan
oleh masyarakat setempat. Maka dirasa perlu adanya suatu pengamatan terhadap
nilai dari Total Suspended Solid dan klorofil-a di waduk tersebut. Terutama pada pola
distribusi horizontal dari TSS dan klorofil-a di Waduk Sutami, dengan memanfaatkan
analisis data citra satelit Landsat 8.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang menjadi dasar penulis melakukan penelitian
ini, antara lain :
1. Bagaimana distribusi horisontal Total Suspended Solid melalui analisis data
citra satelit di perairan Waduk Sutami?
2. Bagaimana distribusi horisontal Klorofil-a melalui analisis data citra satelit di
perairan Waduk Sutami?
3. Bagaimana distribusi horisontal Total Suspended Solid dan Klorofil-a
mempengaruhi parameter kualitas air lainnya di perairan Waduk Sutami?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulis yang menjadi dasar penelitian ini dilakukan, antara
lain :
1. Untuk mengetahui distribusi horisontal Total Suspended Solid melalui analisis
data citra satelit di Waduk Sutami.
4
2. Untuk mengetahui distribusi horisontal Klorofil-a melalui analisis data citra
satelit di Waduk Sutami.
3. Untuk mengetahui pengaruh yang terjadi akibat dari distribusi Total
Suspended Solid dan Klorofil-a terhadap parameter kualitas air lainnya di
perairan Waduk Sutami.
1.4 Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi kalangan akademisi,
pemerintah, masyarakat dan instansi pengelola waduk, terkait dengan pola sebaran
Total Suspended Solid dan Klorofil-a serta dampaknya terhadap kualitas air yang ada
di Waduk Sutami, Kabupaten Malang.
1.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Waduk Sutami, Kecamatan Sutami,
Kabupaten Malang, Jawa Timur pada bulan April 2017 dengan waktu pengambilan
sampel mengikuti waktu perekaman data spasial dari Satelit Landsat 8 OLI yakni pada
tanggal 2 April 2017. Sedangkan pengukuran sampel lapang dilakukan pada tanggal
3 – 9 April 2017 di Laboratorium Bioteknologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.
5
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Total Suspended Solid (TSS)
Menurut Lestari, 2009, Total Suspended Solid (TSS) adalah bahan-bahan
tersuspensi (diameter > 1m) yang terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-
jasad renik yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0.45 m.
Menurut Wirasatriya (2011), TSS merupakan material yang halus di dalam air yang
mengandung lanau, bahan organik, mikroorganisme, limbah industri dan limbah
rumah tangga yang dapat diketahui beratnya setelah disaring dengan kertas filter
ukuran 0.042 m. Total Suspended Solid secara umum terdiri atas lumpur dan pasir
halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi
tanah yang terbawa ke badan air (Damayanti dan Hermawan, 2014).
Nilai konsentrasi TSS yang tinggi dapat menurunkan aktivitas fotosintesa dan
penambahan panas di permukaan air sehingga oksigen yang dilepaskan tumbuhan
air menjadi berkurang dan mengakibatkan ikan-ikan menjadi mati (Murphy, 2007
dalam Helfinalis, 2008). Peningkatan konsentrasi TSS juga
menyebabkan kekeruhan yang dapat mengganggu penetrasi cahaya ke dalam
perairan, dan berdampak pada pendangkalan wilayah perairan, punahnya beberapa
ekosistem perairan, dan kerusakan lingkungan (Susiati et al., 2011 dalam Jaelani dan
Syariz, 2016). Selain itu juga menurut Ashadi et al. (2016), mengatakan bahwa jika
sedimen yang ikut terbawa ke dalam pipa pesat PLTA berpotensi mengganggu
kegiatan PLTA di suatu waduk. Menurut Effendi (2003), ditinjau dari pengaruhnya
terhadap dunia perikanan, nilai TSS dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
- < 25 mg/L : tidak berpengaruh terhadap dunia perikanan
6
- 25 – 80 mg/L : Sedikit berpengaruh terhadap dunia perikanan
- 80 – 400 mg/L : Kurang baik bagi kepentingan perikanan
- > 400 mg/L : Tidak baik bagi kepentingan perikanan
2.2 Klorofil-a
Menurut Samawi (2007), klorofil secara umum terdiri dari tiga jenis yaitu
klorofil-a, b, dan c, yang mana kandungan klorofil-a menjadi paling banyak ditemui
pada fitoplankton di perairan. Klorofil-a merupakan pigmen warna hijau pada
fitoplankton yang sangat menentukan produktivitas primer di perairan, sebaran dan
tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi geografis suatu
perairan (Sitorus, 2009).
Beberapa parameter fisika kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran
klorofil-a adalah intensitas cahaya dan nutrien serta ketersediaan klorofil-a sebagai
faktor pengukur kesuburan di suatu perairan sangat berkaitan erat dengan kualitas air
(Krismono, 2010). Menurut Simon (2001) dalam Ridho (2009), cahaya merupakan
salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di perairan, dimana hal ini
sering ditemui pada lapisan permukaan perairan yang tersedia cukup banyak cahaya
matahari. Selain itu kekeruhan (turbidity) juga mempengaruhi penetrasi cahaya
matahari yang masuk ke dalam perairan sehingga akan membatasi berlangsungnya
proses fotosintesis oleh klorofil-a (Suripin, 2002 dalam Soedarti et al. 2006). menurut
Septiawan (2006), kandungan konsentrasi klorofil-a di perairan umumnya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
- < 0,01 mg/m3 = Sangat rendah
- 0,01 – 0,5 mg/m3 = Rendah
- 0,501 – 1,0 mg/m3 = Sedang
7
- 1,01 – 1,5 mg/m3 = Tinggi
> 1,5 mg/m3 = Sangat tinggi
2.3 Fitoplankton
Fitoplankton adalah organisme renik yang hidupnya melayang-layang dalam air
atau mempunyai kemampuan renang yang sangat lemaf dan pergerakannya selalu
dipengaruhi oleh pergerakan massa air (Nybakken, 1992). Fitoplankton merupakan
tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil dan mampu melaksanakan reaksi
fotosintesis serta menjadi rantai makanan pertama dalam penyediaan energi bagi
kehidupan dalam air (Djuhanda, 1980).
Menurut Facrul (2006), perubahan terhadap kualitas perairan erat kaitannya
dengan status trofik, ditinjau dari kelimpahan fitoplankton, keberadaan fitoplankton di
suatu perairan dapat memberikan informasi mengenai kondisi suatu perairan.
Kelimpahan fitoplankton didaerah tropis variasi musimanya relatif kurang, hal ini
dipengaruhi oleh suhu, kekeruhan, kecerahan, salinitas, dan pemangsaan di suatu
perairan (Davis, 1955).
2.4 Parameter Fisika dan Kimia
2.4.1 Suhu
Menurut Suprapto (2012), suhu didefinisikan sebagai suatu besaran fisika
yang dimiliki bersama antara dua benda atau lebih yang berada dalam kesetimbangan
thermal. Suhu juga merupakan ukuran mengenai panas atau dingin suatu zat atau
benda (Sumarno, 2009).
8
Suhu merupakan salah satu faktor utama dalam proses metabolisme
organisme perairan, kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
konsumsi oksigen, namun dilain pihak juga mengakibatkan turunnya kelarutan
oksigen dalam air (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan Evans (2003), suhu secara
langsung memepengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembang biakan dari
organisme-organisme yang ada di perairan.
Menurut Utoyo (2007), terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi
perbedaan suhu, antara lain sudut datang sinar matahari, lama waktu penyinaran,
ketinggian tempat dan kondisi geografis suatu wilayah perairan. Selain itu Sutisna
(1995), mengatakan bahwa tinggi rendahnya suhu dipengaruhi oleh latitude (letak
tempat terhadap garis edar matahari), altitude (letak ketinggian dari permukaan laut),
musim, cuaca, adanya naungan, waktu pengukuran dan kedalaman air.
2.4.2 pH (Derajat Keasaman)
Menurut Effendi (2003), pH (derajat keasaman) merupakan gambaran jumlah
atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan, yang mana nilai pH menggambarkan
seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan
nilai pH=7 adalah netral, pH<7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan
pH > 7 dikatakan perairan berfsifat basa (Barus, 2004).
Fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh proses respirasi, semakin banyak
karbondioksida yang dihasilkan dari proses respirasi, maka pH akan semakin rendah
dan sebaliknya jika aktivitas fotosintesis semakin tinggi maka akan menyebabkan pH
semakin tinggi (Kordi, 2000) dalam Apridayanti (2008). Pada pH rendah (keasaman
tinggi), kandungan oksigen terlarut akan berkurang, akibatnya konsumsi oksigen
menurun, aktivitas pernafasan naik dan selera makan akan berkurang, hal sebaliknya
terjadi pada suasana basa (Kordi, 2010).
9
2.4.3 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan gas oksigen yang larut dalam semua perairan,
keberadaan oksigen terlarut menjadi parameter kimia yang penting dan dibutuhkan
oleh semua organisme perairan (Salmin, 2005). Menurut Novanty (1994) dalam
Silalahi (2009), oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air, dimana
bersumber dari difusi oksigen dari atmosfer, arus atau aliran air serta aktivitas
fotosintesos oleh tumbuhan air dan fotosintesis.
Fluktuasi harian oksigen dapat mempengaruhi parameter kimia yang lain,
terutama pada saat kondisi tanpa oksigen, yang dapat mengakibatkan perubahan sifat
kelarutan berupa unsur kimia di perairan (Effendi, 2003). Menurut Odum (1993) dalam
Salmin (2005), kecepatan difusi oksigen dari udara tergantung dari beberapa faktor,
seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara. Selain itu
Sunari (2007), mengatakan bahwa pergerakan permukaan air, suhu, tekanan udara ,
sinar matahari dan keberadaan tanaman hijau (fitoplankton) juga mempengaruhi
besar kecilnya oksigen terlarut dalam air.
2.4.4 Kecerahan
Kemampuan cahaya matahari untuk menembus sampai ke dasar perairan
dipengaruhi oleh kekeruhan air. Kekeruhan disebabkan zat-zat yang tersuspensi,
seperti lumpur, senyawa organik dan anorganik serta plankton dan organisme
mikroskopik lainnya. Kekeruhan menyebabkan sinar yang datang ke air akan lebih
banyak dihamburkan dan diserap dibandingkan dengan yang ditransmisikan. Padahal
sinar yang ditransimisikan ini sangat diperlukan oleh plankton atau ikan (Ghufran et
al., 2007).
Menurut Herawati dan Kusriani (2005), intensitas cahaya yang jatuh pada benda
tergantung pada lokasi lintang, musim dan waktu harian. Dalam air, intensitas cahaya
10
menurun terhadap kedalaman. Faktor cahaya matahari yang masuk kedalam air akan
mempengaruhi sifat-sifat optis di air. Sebagian cahya matahari tersebut akan
diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air (Barus,
2004).
2.4.5 Nitrat
Nitrat adalah sumber nitrogen dalam air laut maupun tawar, terdapat tiga
bentuk dari kombinasi elemn ini yakni amonia, nitrat dan komponen organik, dimana
kombinasi elemen ini dimanfaatkan oleh fitoplankton terutama jika unsur nitrat
terbatas (Herawati dan Kusriani, 2005). Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di
perairan alami, senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa
nitrogen di perairan dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan
algae (Effendi, 2003).
Menurut Moss (1998), sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan langsung
oleh tumbuhan adalah nitrat, sedangkan sumber nitrogen di perairan merupakan
amonia. Pada badan air permukaan nitrat akan banyak didapatkan karena hasil dari
oksidasi langsung komponen nitrit, dan jika kadar nitrat terlalu tinggi bisa
menyebabkan perairan bersangkutan mengalami keadaan eutrof, sehingga memicu
blooming algae (Siregar, 2002).
2.4.6 Ortofosfat (PO4)
Menurut Effendi (2003), fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat
dimanfaatkan oleh tumbuhan dan metabolisme fitoplankton, namun elemen ini
berbeda dengan unsur-unsur utama lain karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer.
Menurut Khopkar (1990), ortofosfat adalah senyawa fosfor yang anionnya memiliki
atom fosfor yang berikatan dengan empat atom oksigen secara tetrahedron.
11
Menurut Effendi (2003), keberadaan fosfor pada kerak bumi relatif sedikit dan
mudah mengendap. Fosfor juga merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat
tinggi dan algae, sehingga unsur ini menjadi faktor serta sangat mempengaruhi tingkat
produktivitas perairan. Di perairan bentuk fosfor dibagi menjadi tiga yaitu polifosfat,
metalofosfat dan ortofosfat. Dari ketiga bentuk tersebut ortofosfat yang dimanfaatkan
oleh fitoplankton dan alga perairan (Suryanto, 2006). Menurut Mackentum (1969)
dalam Asriyana dan Yuliana (2012), bentuk pertumbuhan fitoplankton memerlukan
kandungan ortofosfat pada kisaran 0.09-1.80 mg/L.
2.5 Penelitian Terdahulu Terkait Ekosistem Perairan Waduk
Menurut Sihombing (2011), waduk merupakan salah satu perairan yang
digolongkan menjadi perairan lentik, dimana termasuk pada kategori lentik buatan.
Keberadaan air waduk diperoleh dengan cara membendung aliran sungai sehingga
air sungai tertahan sementara dan menggenangi bagian daerah aliran sungai (DAS)
atau watershed yang rendah (Ghufran et al., 2007). Sedangkan menurut Effendi
(2003), waduk dicirikan dengan arus yang sangat lambat yakni berkisar 0,001-0,01
m/s atau tidak ada arus sama sekali, arus air waduk dapat bergerak ke berbagai arah.
Beberapa penelitian mengkaji tentang kualitas ekosistem perairan waduk
dengan menentukan status trofik perairan tersebut ditinjau dari klorofil-a. Diantaranya
menurut Soeprobowati dan Suedy (2010), jumlah klorofil-a di perairan merupakan
hasil ekspresi dari fitoplankton (produsen primer) yang ada pada suatu perairan,
sehingga akan dapat ditentukan tingkat produktifitas primer pada perairan tersebut.
Selain itu Komarawidjaja et al. (2005), menghubungkan jumlah klorofil-a sebagai
status trofik di suatu perairan waduk dengan pertumbuhan ikan pada budidaya
keramba jaring apung yang ada sebagai indikator kegiatan perikanan.
12
Penelitian terhadap keberadaan kegiatan perikanan pada waduk dengan
memanfaatkan keramba jarring apung terhadap kualitas air juga pernah dilakukan.
Menurut Yustiani et al. (2010), menyatakan bahwa pada musim hujan akan berpotensi
meningkatkan aktivitas mikroba, dan meningkatnya konsentrasi DO (oksigen terlarut)
akibat adanya peningkatan debit air. Sedangkan pada saat musim kemarau debit air
relative menurun, sehingga aktivitas mikroorganisme menunurun akibat konsentrasi
DO yang ikut menurun. Hal ini diperparah dengan keberadaan sedimen terlarut hasil
dari kegiatan KJA yang memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas air.
Penelitian terhadap pengaruh sedimen suspensi terhadap laju sedimentasi
juga pernah dilakukan. Pada penelitian Suprayogi dan Bochari (2010), menyatakan
bahwa total sedimentasi merupakan hasil dari sedimen suspense (suspended load)
ditambah dengan besarnya sedimen kasar (bed load). Dimana trap efficencies dan
kerapatan sedimen yang besarnya berubah sejalan dengan waktu yang disebabkan
adanya factor konsolidasi. Hal ini dinilai berpengaruh besar terhadap penurunan debit
air tamping waduk serta umur suatu waduk.
2.6 Penginderaan Jauh Satelit
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi obyek,
daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh daengan
menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah atau gejala yang
hendak dikaji di permukaan bumi (Sukandar et al., 2005). Penginderaan jauh adalah
ilmu, seni, dan teknik untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala
melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak
langsung dengan obyek, daerah dan fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979
dalam Sidabutar, 2009).
13
Ilmu penginderaan jauh (Remote Sensing) memiliki kaitan yang erat dengan
spektrum elektromagnetik dan kebanyakan data penginderaan jauh berasal dari hasil
pantulan spektrum elektromagnetik dan menghasilkan 2 jenis data yaitu; data visual
(citra) dan data citra (numerik) (Pradjana, 2016). Menurut Sugandi (2006), perekaman
objek dilakukan akibat tenaga elektromagnetik yang dipancarkan oleh matahari ke
segala arah dipantulkan dan dipancarkan oleh permukaan bumi yang direkam oleh
sensor dan detector pada satelit (wahana), diilustrikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram sistem penginderaan jauh pada umumnya
(sumber : Noor, 2014)
2.6.1 Landsat 8 (OLI/TIRS)
Landsat merupakan satelit bumi yang telah lama beroperasi melakukan
perekaman semua objek yang ada di bumi. Landsat 8 merupakan satelit bumi hasil
pengembangan dari satelit Landsat 7 ETM+ yang telah berhenti pada bulan Mei 2013.
Menurut NASA (2008) dalam Sitanggang (2010), satelit Landsat 8 memiliki spesifikasi
sebagai berikut, pada Tabel 1. Landsat 8 OLI/TIRS biasa disebut dengan LDCM yang
merupakan singkatan dari Landsat Data Continuity Mission. LDCM dilengkapi dengan
2 sensor untuk melakukan perekaman bumi, yaitu Operational Land Imager (OLI) dan
Thermal Infrared Sensor (TIRS).
14
Tabel 1. Spesifikasi satelit Landsat 8 OLI/TIRS
Spesifikasi Keterangan
Jenis Orbit mendekati lingkaran sikron matahari
Ketinggian 705 km
Inklinasi 98.2º
Periode 99 menit
Waktu liput ulang (resolusi temporal)
16 hari
Waktu melintasi katulistiwa (Local Time on Descending Node -LTDN) nominal
Jam 10:00 s.d 10:15 pagi
Teknik Observasi Pencitra Pushbroom
Kanal Spektral 9 kanal dalam VNIR/SWIR yang meliput kisaran spektral dari 443 nm s/d 2300 nm
Lebar liputan satu citra (FOV=15º) 185 km
GSD (Ground Sample Distance) 15 m untuk data PAN ; 30 m untuk data multispectral VNIR/SWIR
Landsat 8 OLI in memiliki resolusi sama dengan Landsat 7 sebelumnya yaitu 30 meter
dengan resolusi pancromatik 15 meter, tetapi untuk band 10 dan 11 memiliki resolusi
100 meter (USGS, 2016). Karakteristik tiap sensor yang dibawa oleh Landsat 8 dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik sensor Landsat 8 OLI/TIRS (USGS, 2016)
Band Resolusi Spasial Spesifikasi dan Panjang Gelombang
1 30 Meter Coastal/Aerosol, 0.433-0.453 m
2 30 Meter Blue, 0.450-0.515 m
3 30 Meter Green, 0.525-0.600 m
4 30 Meter Red, 0.630-0.680 m
5 30 Meter Near-IR, 0.845-0.885 m
6 30 Meter SWIR-1, 1.560-1.660 m
7 30 Meter SWIR-2, 2.100-2.300 m
8 15 Meter Pan, 0.500-0.680 m
9 30 Meter Cirrus, 1.360-1.390 m
10 100 Meter LWIR-1, 10.30-11.30 m
11 100 Meter LWIR-2, 11.50-12.50 m
Keterangan : - Near-IR : Near-Infra Red - SWIR : Short Wave Infra Red - Pan : Panchromatic - LWIR : Long Wave Infra Red
15
2.6.2 Aplikasi Penginderaan Jauh
Pemanfaatan metode penginderaan jauh dalam pemantauan parameter air
sejatinya telah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya pada tahun 2009, pendugaan
konsesntrasi Total Suspended Solid di Teluk Jakarta telah dilakukan dengan
memanfaatkan data citra satelit Landsat (Lestari, 2009). Selain itu pada tahun 2015,
pemetaan klorofil-a telah dilakukan pada Danau Sentani, Jayapura dengan
membandingkan data citra satelit Landsat dan MERIS, dan menunjukkan data MERIS
lebih baik digunakan jika menggunakan Algoritma Jaelani (Bhirawa dan Jaelani,
2015).
Berdasarkan sifat optiknya, perairan dibagi menjadi 2, perairan kasus I yaitu
perairan yang sifat optiknya didominasi oleh fitoplankton dan perairan kasus II yaitu
perairan yang sifat optiknya didominasi oleh bahan tersuspensi seperti bahan
anorganik atau sibstansi kuning (Robinson, 1985). Menurut Nontji (2008),
penginderaan terhadap fitoplankton didasarkan pada kenyataan bahwa dominan
fitoplankton mengandung klorofil-a, dimana pada klorofil-a ini cenderung menyerap
warna biru dan merah serta memantulkan warna hijau. Menurut Robinson (1985),
pancaran balik yang disebabkan oleh TSS akan menghasilkan reflektansi yang besar
pada seluruh kisaran panjang gelombang sinar tampak dan lebih kecil pada panjang
gelombang yang lebih pendek, karena terjadi penyerapan oleh klorofil.
16
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi pada penelitian ini adalah distribusi horisontal Total Suspended
Solid (TSS) dan Klorofil-a melalui analisis data citra satelit Landsat 8 OLI di Waduk
Sutami, Kabupaten Malang. Dimana penelitian ini melakukan uji terhadap data
TSS dan klorofil-a lapang dengan hasil ekstraksi data citra satelit Landsat 8 OLI.
Yang selanjutnya akan didapatkan pola distribusi horisontal dari TSS dan klorofil-
a di Waduk Sutami melalui analisis data citra satelit Landsat 8. Selain itu, pada
penelitian ini juga dilakukan pengukuran data kalitas air lainnya seperti, suhu, pH,
DO (oksigen terlarut), kecerahan, nitrat dan fosfat. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh dari distribusi horizontal dari TSS dan klorofil-a terhadap
nilai dari kualitas air tersebut.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian dibedakan
menjadi dua yakni, untuk pengolahan data spasial dan untuk pengukuran kualitas
air. Alat-alat yang digunakan untuk pengolahan data spasial dapat dilihat pada
Tabel 3. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran
kualitas air dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 3. Identifikasi alat-alat pengolahan data spasial
No Alat Fungsi
1 Laptop Compaq 510 Processor Intel Core 2 Duo T5870 @2.00 GHz, RAM 4096MB
untuk alat penyimpanan data dan proses pengolahan data spasial
2 Software QGis 2.18.2 Sebagai software sistem informasi geografis (SIG) dalam proses pengolahan data citra serta proses layouting
17
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian terdiri dari
bahan berbentuk data spasial dan bahan pengukuran kualitas air. Bahan
berbentuk data spasial dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan bahan yang
digunakanan dalam pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 4. Bahan yang digunakan untuk analisis spasial
No Bahan Spesifikasi Sumber
1 Citra Satelit LANDSAT 8 OLI
Sensor OLI: - Resolusi Spasial 30m x
30m - Resolusi Temporal 16
hari - Akuisisi data tanggal - Path/Row : 118/066
USGS: http://earthexplorer.usgs.gov
2 Data Peta Dasar RBI
Data Vektor: - Polyline > Jalan - Polygon > Lahan - Sistem Koordinat UTM
49S - Skala 1 : 25.000
Badan Informasi Geospasial (BIG): http://tanahair.indonesia.go.id
Sedangkan untuk data citra satelit Landsat 8 OLI tidak semua band (kanal) yang
digunakan. Hanya beberapa band saja yang digunakan, yakni band 3 (kanal hijau)
dan band 4 (kanal merah). Adapun daftar data citra satelit yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Daftar citra yang digunakan
No Tanggal Akuisisi
Nama File Ket.
1. 1 Maret 2017
LC08_L1TP_118066_20170301_20170316_01_T1
Band 3 - Band 4
2. 30 Maret 2016
LC08_L1TP_118066_20160330_20170327_01_T1
Band 3 - Band 4
3. 28 Maret 2015
LC08_L1TP_118066_20150328_20170411_01_T1
Band 3 - Band 4
4. 25 Maret 2014
LC08_L1TP_118066_20140325_20170424_01_T1
Band 3 - Band 4
18
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Waduk Sutami, Desa Karangkates, Kecamatan
Sumberpucung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, lokasi penelitian dapat dilihat
pada Lampiran 1. Pengambilan sampel (ground check) sebagai data validasi,
dilakukan pada tanggal 2 April 2017, pukul 09:15 sampai dengan 10:26 WIB.
Penentuan tanggal pengambilan sampel ini dilakukan berdasarkan prediksi
terhadap waktu perekaman satelit Landsat 8 untuk area Waduk Sutami yakni,
pada tanggal 2 April 2017, pukul 09:34:45 WIB. Namun dikarenakan pada hasil
perekaman citra tanggal tersebut terdapat gangguan atmosferik, maka peneliti
memanfaatkan data citra tanggal 1 Maret 2017 sebagai data yang dilakukan
analisis. Pemilihan data citra pada tanggal tersebut dipilih berdasarkan kedekatan
waktu dan kualitas hasil perekaman citra yang memenuhi syarat. Sedangkan untuk
titik pengambilan sampel digunakan 20 titik sampel yang diasumsikan telah
mewakili kondisi perairan di Waduk Sutami, titik sampel dapat dilihat pada Gambar
2.
Gambar 2. Peta titik pengambilan sampel Waduk Sutami,
Kabupaten Malang
19
3.4 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan meenggunakan pendekatan deskriptif
kuantitatif dalam proses menganalisis nilai TSS dan klorofil-a. Pendekatan
deskriptif disini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis dan akurat
serta karakteristik mengenai bidang tertentu. Pada umumnya persamaan sifat dari
penelitian deskriptif ini adalah menafsirkan data yang ada dari kecenderungan
yang tampak.
3.5 Sumber Data Penelitian
3.5.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan langsung oleh
orang yang melakukan penelitian atau yang memerlukannya di lapangan (Hassan,
2002). Data primer yang diambil dari penelitian ini meliputi peta sebaran horisontal
TSS dan klorofil-a hasil pengolahan citra satelit, dan data lapang. Adapun data
lapang berfungsi sebagai data validasi nilai keakuratan hasil olahan peta, serta
medukung analisis data terhadap kualitas air waduk. Data lapang yang diambil
dalam penelitian ini meliputi nilai TSS, klorofil-a, suhu, pH (derajat keasaman),
oksigen terlarut, kecerahan, nitrat, ortofosfat, dan fitoplankton.
1. Observasi Tak Langsung
Observasi tak langsung merupakan teknik pengumpulan data dimana
penyelidikan mengadakan pengamatan gejala-gejala subyek yang diselidiki
dengan perantara sebuah alat. Dimana pelaksanaanya dapat berlangsung di
dalam situasi yang sebenarnya maupun situasi buatan (Surakhmad, 1998). Dalam
penelitian ini, observasi tak langsung dilakukan untuk mendapatkan data hasil peta
sebaran horisontal Total Suspended Solid (TSS) dan klorofil-a di Waduk Sutami,
Kabupaten Malang. Sedangkan perantara alat yang digunakan yakni
menggunakan software pengolahan sistem informasi geografis (SIG).
20
2. Observasi Langsung
Observasi langsung merupakan teknik pengumpulan data dimana
penyelidik mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala
subyek yang diselidiki (Surakhmad, 1998). Dalam penelitian ini observasi
langsung dilakukan untuk mendapatkan data lapang terkait nilai Total Suspended
Solid (TSS) dan klorofil-a sebagai data validasi peta. Selain itu juga untuk
mendapatkan data pendukung berupa parameter kualitas air meliputi,
fitoplankton, suhu, pH (derajat keasaman), oksigen terlarut, kecerahan, nitrat, dan
ortofosfat.
3.5.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang telah lebih dulu dikumpulkan dan
dilaporkan oleh orang diluar dari penyidik sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu
sesungguhnya adalah data yang asli (Sugiarto dan Siagian, 2000). Data sekunder
didapat dari studi pustaka meliputi, jurnal, skripsi, thesis serta kepustakaan ilmiah
lainnya yang berhubungan dengan penelitian.
3.6 Tahapan Penelitian
Adapun tahapan secara keseluruhan dalam penelitian ini dijelaskan dalam
bentuk diagram alur pada gambar 3.
21
Gambar 3. Diagram alur penelitian
3.6.1 Teknik Pengambilan Sampel
Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel air dari perairan Waduk
Sutami terlebih dahulu, untuk kemudian dilakukan pengukuran. Pengambilan
sampel air ini dilakukan pada sejumlah 20 titik yang telah ditentukan. Beberapa
parameter yang diambil sampel air-nya agar dapat dilakukan pengolahan terhadap
nilai TSS, klorofil-a, nitrat dan fosfat. Pengambilan sampel air dimanfaatkan botol
kapasitas 1 L yang telah dilapisi alumunium foil agar tetap terjaga suhunya.
Pengambilan sampel dilakukan tidak lebih dari 2 jam, disebabkan agar sampel
yang diambil memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan perekaman citra.
Identifikasi Masalah
TSS dan Klorofil-a Kualitas Air
Pengolahan Data
Analisis
Peta Sebaran Horisontal TSS dan Klorofil-a
Hasil dan Pembahasan
Inventarisasi dan Pengambilan Sampel
Peta Distribusi Kualitas Air
Data Citra Data Lapang
Pengolahan Data
Pengolahan Data
22
Selain itu juga disimpan pada box yang telah disediakan es batu, agar mikroba
dan bakteri tidak merusak sampel air yang telah diambil.
Data citra satelit didapatkan dengan mengunduh secara langsung dari situs
resmi U.S. Geological Survey, yakni http://earthexplorer.usgs.gov/. Kemudian
untuk sampel fitoplankton dilakukan dengan menggunakan plankton net no 25.
Menurut Herawati dan Kusriani (2005), metode pengambilan sampel adalah
sebagai berikut :
- Memasang botol filmpada plankton net no 25 (mesh size 64)
- Mengambil air sampel menggunakan water sampler secara berulang
sampai 25 liter. Catat jumlah air yang diambil sebagai (W)
- Menyaring sampel air dengan plankton net sehingga konsetrat plankton
akan tertampung dalam botol film, dicatat sebagai (V)
- Memberi lugol sebanyak 3-4 tetes pada sampel fitoplankton sebagai
pengawet
- Menandai botol film yang berisi sampel fitoplankton dengan label
3.6.2 Pengolahan Data
A. Pengolahan Data Citra TSS dan Klorofil-a
Adapun tahapan pengolahan data citra satelit Landsat 8 OLI sehingga
menghasilkan peta distribusi horisontal Total Suspended Solid (TSS) dan Klorofil-
a. Tahapan pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 4.
23
Gambar 4. Tahapan pengolahan TSS dan Klorofil-a
1. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik dilakukan karena hasil rekaman satelit mengalami
kesalhan yang disebabkan oleh atmosfer. Gangguan atmosfer menyebabkan
nilai pantulan yang diterima oleh sensor mengalami penyimpangan. Besarnya
penyimpangan dipengaruhi oleh besar kecilnya gangguan atmosfer pada
waktu perekaman. Tahapan ini dilakukan dengan melakukan perubahan nilai
Digital Number (DN) citra menjadi nilai reflektans. Menurut U.S. Geological
Survey, konversi nilai Digital Number menjadi TOA (Top of Atmosfere)
Reflectan yakni dengan persamaan, sebagai berikut:
Citra Landsat 8 2017
Koreksi Radiometrik
Koreksi Geometrik
Cropping
Masking
Perhitungan TSS & Klorofil-a Dengan Aplikasi Algorithma melalui Band Math
Nilai TSM & Klorofil-a
Validasi Data Lapang Data Lapang
TSS & Klorofil-a
Peta Sebaran Horisontal TSS
Peta Sebaran Horisontal Klorofil-a
Layer Stacking
24
’ = M * Qcal + A / (Cos(s)) .................................... (1)
Keterangan:
’ = TOA Planetary Spectral Reflectance
M = Reflectance Mult_Band_x (x adalah nilai dari masing-masing
band)
Qcal = DN (Digital Number)
A = Reflectance_ADD_Mult_Band_x (x adalah nilai dari masing-
masing band)
s = Sudut zenith matahari
2. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik merupakan upaya memperbaiki kesalahan perekaman
secara geometrik agar citra yang dihasilkan mempunyai sistem koordinat dan
skala yang seragam.
3. Layer Stacking
Proses stacking ini berguna agar kita dapat mengkombinasikan band
(komposit) sesuai kombinasi yang kita inginkan. Terdapat 8 band yang
digabungkan pada citra Landsat 8, yaitu band 1 (Coastal Blue), band 2 (Blue),
band 3 (Green), band 4 (Red), band 5 (Near Infrared), band 6 (SWIR 1), band
7 (SWIR 2), dan band 9 (Cirrus).
4. Cropping
Cropping merupakan tahapan yang dilakukan untuk memfokuskan batasan
wilayah yang akan diolah atau yang akan diteltiti. Langkah ini dilakukan
dengan tahapan pemotongan citra. Sehingga tampilan citra yang akan diolah
hanya akan menampilkan area sesuai dengan wilayah penelitian yang dituju.
5. Masking
Masking merupakan tahapan untuk memisahkan wilayah darat dan air. Hal ini
dilakukan dengan cara menjadikan wilayah/daerah daratan menjadi bernilai 0.
25
6. Perhitungan TSS (Total Suspended Solid) dan Klorofil-a dengan Aplikasi
Algoritma melalui
Pada proses ini algoritma merupakan model yang akan digunakan untuk
mengetahui kondisi TSS dan klorofil-a pada daerah penelitian. Adapun
algoritma yang digunakan pada penelitian ini adalah algoritma Trisakti dan
Wibowo. Persamaan algoritma TSS dan klorofil-a ditampilkan pada
persamaan berikut:
Algoritma TSS Woerd dan Pasterkamp, 2004 (mg/L)
: 1.0585 e1.3593*Xwoerd .......................... (2)
Nilai Xwoerd : (−0.53 ∗ Band Hijau) + 0.001
(0.003 ∗ Band Hijau) − 0.059 ..................... (3)
Algorimta Klorofil-a Wibowo, 2004 (mg/m3) : 2.41 * (TM3/TM2) + 0.187 . (4)
Dimana :
TM2 = Thematic Mapper Band 2 pada Landsat 7 yang merupakan
kanal hijau, atau Band 3 pada Landsat 8
TM3 = Thematic Mapper Band 3 pada Landsat 7 yang merupakan kanal merah, atau Band 4 pada Landsat 8
7. Validasi
Validasi dari hasil pengolahan citra dilakukan untuk mengetahui seberapa
besar keakuratan data TSS dan klorofil-a. Menurut Nuriya et al. (2010),
pengujian hasil analisis TSS dan klorofil-a menggunakan RMS error setelah
model diperoleh. RMS error menggambarkan perbedaan antara hasil
ekstraksi hasil citra satelit dengan nilai data lapang, semakin kecil nilai RMS
error maka data yang didapat semakin bagus dan akurat.
𝑅𝑀𝑆𝐸 = √(𝑍𝑖−𝑍𝑗)2
𝑛 ........................................... (5)
Keterangan :
Zi : Data hasil pengolahan citra
Zj : Data hasil pengukuran lapang
n : Jumlah data
26
B. Total Suspended Solid (TSS)
Menurut Wirasatriya (2011), mengatakan bahwa pengukuran nilai Total
Suspended Solid (TSS) dilakukan dengan metode gavimetri, yakni dilakukan
sebagai berikut :
- Mengeringkan kertas saring whatman 41 dalam oven pada suhu 103-
105oC selama 1 jam dan didiamkan pada desikator selama 15 menit
- Menimbang untuk mengetahui berat awal (Maw) kertas saring tersebut.
- Menyaring sampel sebanyak 100 mL menggunakan kertas saring yang
telah diketahui berat awalnya
- Mengeringkan kertas saring yang telah berisi sampel dalam oven pada
suhu 103-105oC selama 1 jam. Kemudian ditimbang kembali untuk
mengetahui bera akhir (Mak)
- Menghitung nilai Total Suspended Solid dengan rumus
𝑇𝑆𝑆 (𝑚𝑔/𝐿) = 𝑀𝑎𝑘−𝑀𝑎𝑤 𝑥 1000
𝑉 .......................................(6)
Keterangan :
TSS = Total Suspended Solid (mg/l)
Mak = Berat akhir (mg)
Maw = Berat awal (mg)
V = Volume sampel (l)
C. Klorofil-a
Menurut Hutagalung et al. (1997), prosedur pengukuran klorofil-a
berdasarkan penyerapan tiga panjang gelombang yaitu :
- Menyiapkan botol kosong sebagai tempat sampel
- Mengambil air sampel pada perairan dengan kedalaman yang telah
ditentukan
- Memasang filter pada alat saring (filter holder)
27
- Membilas kertas filter dengan aquades, lalu membilas dengan larutan
magnesium karbonat sebanyak 1 ml, hisap kembali sampai filter tampak
kering
- Menyaring sampel air sebanyak 250 ml dan hisap dengan vacum pump
sampai kertas filter tampak kering
- Mengambil filter yang tampak kering dan membungkus filter dengan
menggunakan alumunium foil (diberi label)
- Memasukkan hasil filter saringan ke dalam tabung reaksi 15 ml, lalu
tambahkan 10 ml aceton 90%
- Menggerus hasil filter saringan ke dalam tabung reaksi dengan alat
penggerus
- Men-centrifuge sampel dengan putaran 4000 rpm selama 30-60 menit
- Memasukkan cairan yang bening ke dalam cuvet
- Memeriksa absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 750, 664, 647, dan 630 nm. Kandungan klorofil dihitung
dengan menggunakana rumus :
𝐶ℎ𝑙 − 𝑎 = {(11.48 𝑥 𝐸664)−(1.54 𝑥 𝐸647)−(0.08 𝑥 𝐸630)} 𝑥 𝑉𝑒
𝑉𝑠 𝑥 𝑑 .......................... (7)
Keterangan :
E664 = absorban 664 nm – absorban 750 nm
E647 = absorban 647 nm – absorban 750 nm
E630 = absorban 630 nm – absorban 750 nm
Ve = volume ekstrak aceton (ml)
Vs = volume sampel air yang disaring (liter)
d = lebar diameter cuvet
28
D. Fitoplankton
1. Identifikasi Fitoplankton
Menurut Herawati dan Kusriani (2005), prosedur identifikasi fitoplankton
sebagai berikut :
- Mengambil object glass dan cover glass
- Mencuci dengan aquadest
- Mengeringkan dengan tisu, cara mengeringkan dengan mengusao secara
searah
- Mengambil botol film yang berisi sampel fitoplankton dan mengaduk
- Mengambil sampel dari botol film dengan pipet tetes sebanyak 1 tetes
- Meneteskan pada object glass dan menutup dengan covel glass, dengan
sudut kemiringan saat menutup 45o.
- Mengamati di bawah mikroskop dimulai dengan perbesaran terkecil
sampai terlihat gambar organisme pada bidang pandang
- Menulis ciri-ciri plankton serta jumlah fitoplankton yang di dapat dari
masing-masing bidang pandang
- Mengidentifikasi dengan bantuan buku Prescott (1970)
2. Perhitungan Kelimpahan Plankton
Menurut Odum (1993), cara menghitung kelimpahan plankton adalah
sebagai berikut :
- Membersihkan cover glass dan object glass dengan aquades lalu
dibersihkan dengan tisu
- Menetesi object glass dengan air sampel
- Menutup cover glass dan mengamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 40 sampai 100x
29
- Mengamati jumlah plankton pada tiap bidang pandang. Jika (p) adalah
jumlah bidang pandang, maka (n) adalah jumlah plankton dalam bidang
pandang
- Menghitung dengan menggunakan rumus :
𝑁 = 𝑇 𝑥 𝑉
𝐿 𝑥 𝑝 𝑥 𝑣 𝑥 𝑊 𝑥 𝑛 .................................................. (8)
Keterangan :
N = Jumlah total plankto (individu/ml)
T = Luas cover glass (20 x 20 mm)
V = Volume sampel plankton dalam botol penampung (ml)
L = Luas lapang pandang (0.787 mm2)
p = Jumlah lapang pandang
v = Volume sampel plankton di bawah cover glass (ml)
W = Volume air yang disaring (liter)
n = Jumlah plankton dalam lapang pandang
E. Suhu (SNI, 2006)
Pengukuran suhu dengan menggunakan alat yaitu thermometer Hg.
Adapun pengukuran suhu dilakukan dengan cara :
Memasukkan Thermometer Hg ke dalam contoh uji dan biarkan 2-5 menit
sampai termometer stabil dan jangan sampai menyentuh media lain
kecuali tangan
Membaca skala thermometer searah pandangan mata
Mencatat nilai skala thermometer
F. pH (SNI, 2006)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Adapun
pengukuran pH dilakukan dengan cara :
Menyiapkan pH meter
Melakukan kalibrasi pH meter dengan menggunakan larutan buffer atau
aquadest
30
Menekan tombol “HOLD” pada pH meter untuk pengukuran
Memasukkan pH meter ke dalam air sampel selama 2 menit
Mencatat nilai hasil pH
G. Kecerahan (Subarijanti, 1990)
Pengukuran kecerahan perairan kolam dapat dengan menggunakan alat
bantu berupa secchi disk. Secchi disk dimasukkan dalam perairan perlahan-lahan
sampai tidak tampak untuk pertama kali dan di tandai sebagai d1.Kemudian
masukkan secchi disk lebih dalam lagi.Angkat perlahan-lahan sampai tampak
untuk pertama kali dan ditandai sebagai d2. Kecerahan dapat dihitung dengan
cara menjumlahkan d1 dan d2 dan dirata-rata.
H. Oksigen Terlarut (SNI, 2006)
Pengukuran oksigen terlarut (dissolve oxygen) dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
Volume botol DO yang akan di gunakan diukur dan di catat
Memasukan botol DO ke dalam air yang akan diukur kadar oksigennya
secara perlahan-lahan dengan posisimiring, oksigennya secara perlahan-
lahan dengan posisi miring , membelakangi cahaya dan diusahakn jangan
sampai terjadi gelembung udara
Selanjutnya botol DO yang masih dalamperairan ditutup dan diangkat
didalam perairan.
Kemudian buka tutup botol yang berisi air sampel dan ditambahkan 2 ml
MnSO4 dan 2 ml NaOH+KI lalu tutup kembali dan dibolak balik sampai
tercampur lalu biarkan sekitar 30 menit hingga terbentuk endapan
kecoklatan.
Filtrat (air bening di atas endapan) dibuang dengan hati-hati, kemudian
endapan yang tersisa diberi 1-2 ml H2SO4 pekat dan dikocok perlahan
31
sampai endapan larut (2 ml H2SO4 untuk volume botol ±250 ml dan 1 ml
untuk volume botol ±150 ml).
Ditambahkan 3 – 4 tetes amylum, selanjutnya dititrasi dengan Na- thiosulfat
(Na2S2O3) 0,025 N sampai jernih atau tidak berwarna untuk pertama kali.
Volume Na-thiosulfat yang terpakai (ml titran) dicatat.
Perhitungan :
𝐷𝑂 (𝑚𝑔
𝐿) =
𝑣 (𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛)𝑥 𝑁 (𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛)𝑥 8 𝑥 1000
𝑣 𝑏𝑜𝑡𝑜𝑙 𝐷𝑂−4 ................................... (9)
Keterangan :
N titran = normalitas Na-thiosulfat V titran = volume Na-thiosulfat 8 = nilai ½ MR oksigen 1000 = konversi dari l ke ml 4 = asusmsi volume air tumpah saat botol DO ditutup
(2 ml dari MnSO4 dan 2 ml dari NAOH + KI )
I. Nitrat (NO3)
Menurut Boyd (1982), kadar nitrat nitrogen dalam perairan dapat diukur
dengan prosedur sebagai berikut :
- Menyaring air sampel sebanyak 12,5 ml
- Menuangkan dalam cawan porselen
- Memanaskan sampel diatas hotplate hingga berkerak, dinginkan
- Menambahkan 1 ml asam fenol disulfonik, menambahkan sedikit
aquadest
- Menambahkan Na4OH sampai terbentuk warna kunging (maksimal 7 ml)
- Menambahkan aquadest sampai laurtan 12.5 ml, masukkan dalam cuvet
- Menghitung nilai absorban dengan spektrofotometer panjang gelombang
410 m
32
J. Ortofosfat (PO4)
Menurut Boyd (1982), kadar ortofosfat dalam perairan dapat diukur dengan
prosedur sebagai berikut :
- Menyaring air sampe sebanyak 25 ml
- Menambahkan 1 ml amonium molybdate dan dihomogenkan
- Menambahkan 5 tetes SnCl2, aduk, diamkan 10 menit
- Menghitung nilai absorban dengan spektrofotometer panjang gelombang
690 m
K. Proses Interpolasi Data Metode IDW (Inverse Distance Weight)
Menurut Pramono (2008), proses interpolasi dilakukan pada software SIG
(Sistem Informasi Geografis). Hal pertama yang dilakukan yakni melakukukan
proses plotting data yang akan dilakukan interpolasi. Selanjutnya dilakukan proses
interpolasi metode IDW. Pada software QGis 2.18.2, yang digunakan penulis,
dapat digunakan pada sub menu “Interpolation”, pada menu “Raster”. Kemudian
koefisien power yang disarankan yakni 2. Hal ini agar interpolasi yang dihasilkan
tidak memiliki nilai min, max, dan median yang berbeda jauh dengan data yang
dimiliki.
33
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Waduk Sutami berlokasi di Desa Sutami, Kecamatan Sumberpucung,
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Secara geografis Waduk Sutami terletak pada
koordinat 8o09’50.86” LS – 8o10’59.39” LS dan 112o26’45.44” BT - 112o33’00.44”
BT. Waduk ini mendapatkan masukan air yang berasal dari DAS Brantas. Dimana
terdapat dua aliran sungai yang dibendung, yakni Sungai Metro, Sungai Brantas
dan Sungai Lesti. Ketiga sungai ini mengaliri 3 (tiga wilayah) sekaligus sebelum
dibendung pada waduk, antara lain; Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten
Malang. Waduk Sutami tergolong pada waduk serbaguna, dimana secara umum
waduk ini memiliki tujuan utama antara lain sebagai pengendali banjir, pembangkit
listrik (PLTA), penyediaan irigasi, serta kegiatan perikanan dan pariwisata.
4.2 Distribusi Horisontal Total Suspended Solid
Hasil pengukuran sampel TSS lapang dan ekstraksi data citra, didapatkan
nilai TSS dari stasiun 1 – 20 disajikan pada Lampiran 5.
4.2.1 Analisa Hasil Data Total Suspended Solid Lapang
Berdasarkan hasil pengukuran sampel TSS lapang, didapatkan nilai TSS
rata-rata di Waduk Sutami yakni 0,0423 mg/L. Dimana untuk nilai TSS lapang
didapatkan memiliki nilai kisaran 0,012 – 0,089 mg/L, data dilihat pada Gambar 5.
Jika ditinjau dari lokasi stasiun, maka dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni
stasiun yang berada di daerah hulu waduk, bagian tengah waduk, dan hilir waduk.
34
Gambar 5. Grafik data TSS lapang di Waduk Sutami
Pada bagian hulu waduk yang terdiri dari stasiun 13 – 20, nilai TSS berkisar
pada rentang nilai 0,025 – 0,089 mg/L, dengan nilai rata-rata yakni 0,057 mg/L.
Pada bagian hulu rata-rata memiliki nilai TSS yang lebih tinggi dibandingkan pada
bagian tengah dan hilir waduk. Hal ini disebabkan pada bagian ini masih mendapat
banyak pengaruh dari aliran sungai yang masuk ke waduk. Selain itu juga, pada
bagian ini juga ditemui adanya kegiatan pengerukan sedimen pada dasar waduk.
Menurut Suprapto et al. (2008), mengatakan bahwa aliran sungai selalu
menampung material-material kikisan dari area di sekitarnya, sehingga material ini
akan mengalir ke waduk.
Pada bagian tengah waduk yang terdiri dari stasiun 6 – 12, nilai TSS
berkisar pada rentang nilai 0,026 – 0,046 mg/L, dengan nilai rata-rata yakni 0,0336
mg/L. Pada semua stasiun di bagian tengah waduk, nilai TSS relatif memiliki
selang yang tidak jauh berbeda tiap stasiunnya. Walaupun nilai TSS stasiun 6
tergolong paling tinggi diantara stasiun lainnya. Hal ini terjadi dikarenakan pada
area ini kedalaman waduk semakin meningkat. Sehingga banyak dari bahan
tersuspensi bergerak menuju ke dasar perairan akibat kecepatan arus semakin
melemah. Menurut Suroso et al. (2011), mengatakan bahwa kemiringan
0.0000
0.0100
0.0200
0.0300
0.0400
0.0500
0.0600
0.0700
0.0800
0.0900
0.1000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Stasiun
TSS Lapang (mg/L)
35
permukaan waduk yang lebih kecil akan mengakibatkan kecepatan aliran menurun
sehingga mengakibatkan sedimen yang dibawa akan turun dan mengendap pada
dasar waduk.
Pada bagian hilir waduk yang terdiri dari stasiun 1 – 5, nilai TSS berkisar
pada rentang nilai 0,012 – 0,049 mg/L, dengan nilai rata-rata yakni 0,0298 mg/L.
Pada area ini terdapat dua stasiun dengan nilai TSS paling rendah diantara stasiun
lainnya, yakni stasiun 3, sebesar 0,012 mg/L dan stasiun 5, sebesar 0,016 mg/L.
Pada stasiun 3 dan stasiun 5 diduga disebabkan berada pada lokasi lengkungan
waduk, sehingga kecepatan arus semakin melemah akibat saat membawa massa
air dengan kemiringan yang juga semakin kecil. Disisi lain pada stasiun 1
ditunjukkan nilai TSS yang cukup tinggi dibanding nilai TSS di area hulu lainnya.
Ini terjadi dikarenakan pada lokasi stasiun 1 berdekatan dengan outlet waduk,
dimana bahan-bahan tersuspensi menumpuk akibat pintu outlet yang lebih kecil
dibandingkan luasan waduk. Sedangkan pada stasiun 2 dan 4 memiliki nilai TSS
yang relatif sama dengan kondisi di bagian tengah waduk.
4.2.2 Analisa Hasil Ekstraksi Total Suspended Solid Citra
Berdasarkan hasil ektraksi TSS citra didapatkan nilai TSS di Waduk Sutami
memiliki rata-rata yakni 1,0563 mg/L. Dimana untuk nilai TSS citra didapatkan
memiliki nilai kisaran 0,9292 – 1,4104 mg/L, data dilihat pada Gambar 6. Jika
dilihat persebaran nilai data dari TSS Citra, relatif memiliki nilai yang tidak terlalu
memiliki perbedaan. Hanya terdapat beberapa kelompok stasiun yang memiliki
nilai TSS lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lain, yakni pada stasiun 18 –
20.
36
Gambar 6. Grafik data TSS citra di Waduk Sutami
Secara umum, nilai TSS ini merupakan hasil dari pantulan gelombang
elektromagnetik yang diterima oleh sensor pada satelit. Menurut Hasyim (1997),
air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi daripada air jernih.
Pancaran balik yang disebabkan oleh TSS akan menghasilkan perbedaan
reflektansi yang besar pada seluruh kisaran panjang gelombang sinar tampak dan
lebih kecil pada panjang gelombang yang lebih pendek karena terjadi penyerapan
oleh klorofil (Robinson, 1985). Hal ini yang menyebabkan hasil rekaman citra pada
air keruh yang dan mengandung TSS memiliki nilai DN (digital number) yang lebih
tinggi saat dilakukan ekstraksi.
Dilihat dari nilai TSS ekstraksi citra ini, jika dibandingkan dengan nilai TSS
lapang terdapat selisih antara kedua data tersebut. Namun perhitungan RMS Error
terhadap data lapang dan data citra, ditunjukkan nilai RMS Error yakni sebesar
1,022. Nilai ini menunjukkan bahwa data citra memiliki tingkat keakuratan yang
cukup tinggi, karena nilainya yang mendekati 0. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan antara waktu perekaman data citra satelit yang diolah dengan data
sampel lapang yang diukur.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Stasiun
TSS Citra
37
Gambar 7. Grafik uji regresi data TSS lapang dan citra
Selain itu juga, hasil analisa statistik menunjukkan bahwa hasil ekstraksi
TSS citra dengan data lapang memiliki tingkat keakuratan cukup tinggi dan
hubungan yang sangat kuat, dapat dilihat pada Gambr 7. Hal ini ditinjau dari
koefisien korelasi yang diwakili R = 0,878. Dimana menurut Sugiyono (2007),
koefisien korelasi dengan nilai 0,80 – 1,00 digolongkan pada korelasi yang kuat.
Serta nilai determinasi sebesar 0.771, yang diwakili R2, maka dapat diartikan
bahwa hasil ekstrasi TSS citra mampu mejelaskan kondisi lapang sebesar 77%
sedangkan 23% lainnya adalah faktor lain.
Dari hasil analisa statistik juga didapatkan persamaan regresi sebagai
berikut y = -0.081 + 0.116x. Dimana persamaan tersebut menjelaskan bahwa
setiap peningkatan nilai data lapang sebesar 1 maka data citra akan dikalikan
dengan 0.116 kemudian dikurangi dengan 0.081. Grafik regresi tersebut nilai mana
saja yang mendekati dan menjauhi garis normalitas, dapat disimpulkan bahwa nilai
yang mendekati garis normalitas merupakan nilai TSS citra yang dapat
menggambarkan nilai TSS di lapang.
Agar data citra lebih menunjukkan nilai TSS yang ada di lapang, digunakan
persamaan hasil uji regresi yang telah didapat pada hasil ekstraksi citra sebagai
0.0000
0.0100
0.0200
0.0300
0.0400
0.0500
0.0600
0.0700
0.0800
0.0900
0.1000
0 0.5 1 1.5
TSS
Lap
ang
TSS Citra
TSS
Linear (TSS)
y = -0,081 + 0,116x R = 0,878R2 = 0,771
38
proses lanjutan. Persamaan hasil uji regresi yang diterapkan pada proses
selanjutnya, yakni :
Y = (-0,081) + 0,116x
Dimana : X = Hasil ekstraksi algoritma TSS Woerd dan Pasterkamp, 2004
Hal ini dikarenakan terdapat selisih antara data hasil ekstraksi TSS citra dan TSS
lapang. Hasil pengolahan citra dari persamaan diatas disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Peta distribusi horisontal TSS di Waduk Sutami bulan Maret 2017
4.3 Distribusi Horisontal Klorofil-a
Adapun hasil pengukuran nilai klorofil-a lapang dan ekstraksi data citra
disajikan pada Lampiran 6.
4.3.1 Analisa Hasil Data Klorofil-a Lapang
Berdasarkan hasil pengukuran sampel klorofil-a lapang, diperoleh nilai
rata-rata klorofil-a di Waduk Sutami yakni 0,0365 mg/m3. Dimana untuk nilai
klorofil-a lapang didapatkan berada pada kisaran nilai 0,0054 – 0,0524 mg/m3, data
dapat dilihat pada Gambar 9. Dimana terdapat 3 (tiga) stasiun yang memiliki nilai
39
klorofil-a paling rendah diantara stasiun lainnya, yakni stasiun 18 – 20. Hal ini
disebabkan pada stasiun tersebut berada pada area hulu waduk. Sehingga
mendapat pengaruh arus dan kekeruhan cukup tinggi yang diakibatkan oleh TSS.
Menurut Susiati et al. (2011) dalam Jaelani dan Syariz (2016), peningkatan
konsentrasi TSS menyebabkan kekeruhan dan dapat mengganggu penetrasi
cahaya ke dalam perairan.
Gambar 9. Grafik nilai klorofil-a tiap stasiun di Waduk Sutami
Sedangkan pada stasiun lainnya berada pada kisaran nilai klorofil-a 0,0307
– 0,0524 mg/m3. Dimana secara umum nilai klorofil-a ini lebih dipengaruhi oleh
pengaruh kualitas air seperti, intesitas cahaya matahari dan nutrien. Menurut
Samawi (2007), intesitas cahaya matahari dan nutrien merupakan beberapa faktor
yang mempengaruhi klorofil-a di perairan.
4.3.2 Analisa Hasil Ekstraksi Klorofil-a Citra
Berdasarkan hasil ektraksi klorofil-a citra didapatkan nilai klorofil-a di
Waduk Sutami memiliki rata-rata yakni 1,803 mg/m3. Dimana untuk nilai klorofil-a
citra didapatkan memiliki nilai kisaran 1,6460 – 2,7138 mg/m3, data dapat dilihat
pada Gambar 10. Jika dilihat persebaran nilai data dari klorofil-a Citra, relatif
0.0000
0.0100
0.0200
0.0300
0.0400
0.0500
0.0600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Klorofil-a Lapang (mg/m3)
40
memiliki nilai yang tidak terlalu memiliki perbedaan. Hanya terdapat beberapa
kelompok stasiun yang memiliki nilai klorofil-a lebih tinggi dibandingkan dengan
stasiun lain, yakni pada stasiun 18 – 20.
Gambar 10. Grafik nilai klorofil-a citra tiap stasiun di Waduk Sutami
Secara umum nilai korofil-a yang diterima oleh klorofil-a dianalisa dari hasil
pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima oleh sensor pada satelit.
Dimana menurut Yentsch (1980) dalam Grahame (1987) panjang gelombang yang
bias diabsorbsi klorofil-a dalam air berada pada puncak gelombang 425 – 450 nm
dan 665 – 680 nm. Sehingga nilai pancaran yang diterima tersebut dirubah
kedalam DN (digital number).
Dilihat dari nilai klorofil-a ekstraksi citra ini, jika dibandingkan dengan nilai
klorofil-a lapang terdapat selisih antara kedua data tersebut. Namun perhitungan
RMS Error terhadap data lapang dan data citra, ditunjukkan nilai RMS Error yakni
sebesar 1,796. Nilai ini menunjukkan bahwa data citra memiliki tingkat keakuratan
yang cukup tinggi, karena nilainya yang mendekati 0. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan antara waktu perekaman data citra satelit yang diolah dengan data
sampel lapang yang diukur.
0.0000
0.5000
1.0000
1.5000
2.0000
2.5000
3.0000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Stasiun
Klorofil-a Citra (mg/m3)
41
Gambar 11. Grafik uji regresi data klorofil-a lapang dan citra
Selain itu berdasarkan analisa statisitik pada hasil ekstraksi klorofil-a citra
menunjukkan nilai yang cukup akurat, dengan koefisien korelasi yang diwakili R,
yakni bernilai 0,822, dapat dilihat pada Gambar 11. Dimana menurut Sugiyono
(2007), koefisien korelasi dengan nilai 0,80 – 1,00 digolongkan pada korelasi yang
sangat kuat. Dan juga ditinjau dari nilai determinasinya yang diwakili R2,
menunjukkan nilai 0,676. Hal ini dapat diartikan bahwa, hasil ekstraksi klorofil-a
citra mampu menjelaskan 67% data klorofil-a yang ada di lapang.
Berdasarkan hasil analisa statistik didapatkan persamaan regresi antara
data lapang dan data citra yakni y = 0,101 + 0,036x. Persamaan ini menjelaskan
bahwa setiap peningkatan nilai data lapang (y) sebesar 1 maka akan dikalikan
dengan 0,036 kemudian ditambahkan 0,101. Dari grafik tersebut maka dapat
diketahui data mana saja yang mendekati dan menjauhi garis normalitas. Maka
dapat disimpulkan, data yang mendekati garis normalitas merupakan nilai klorofil-
a citra yang dapat menggambarkan data klorofil-a lapang.
Agar data citra lebih menunjukkan nilai klorofil-a lapang, digunakan
persamaan hasil uji regresi yang telah didapat pada hasil ekstraksi citra sebagai
0.0000
0.0100
0.0200
0.0300
0.0400
0.0500
0.0600
0.0000 0.5000 1.0000 1.5000 2.0000 2.5000 3.0000
Klo
rofi
l-a
Lap
ang
Klorofil-a Citra
Chl-a
Linear (Chl-a)y = 0,101 - 0,036x
R2 = 0,676R = 0,822
42
proses lanjutan. Persamaan hasil uji regresi yang diterapkan pada proses
selanjutnya, yakni :
Y = 0,101 - 0,036x
Dimana : X = Hasil ekstraksi algoritma klorofil-a Wibowo, 2004
Hal ini dikarenakan terdapat selisih antara data hasil ekstraksi klorofil-a citra dan
klorofil-a lapang. Hasil pengolahan lebih lanjut disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Peta distribusi horizontal klorofil-a di Waduk Sutami bulan
Maret 2017
4.4 Klasifikasi Nilai TSS dan Klorofil-a di Waduk Sutami
4.4.1 Klasifikasi Nilai TSS di Waduk Sutami Tahun 2014 – 2017
Berdasarkan hasil pengolahan citra didapatkan peta distribusi horizontal
TSS di Waduk Sutami pada tahun 2014 – 2017 disajikan pada Gambar 13 –
Gambar 16. Proses ini dilakukan agar didapatkan pola distibusi horisontal serta
nilai TSS di perairan Waduk Sutami pada rentang waktu tersebut. Selain itu juga
bertujuan agar dapat diketahui klasifikasi nilai TSS di Waduk Sutami pada rentang
nilai tersebut.
43
Gambar 13. Distribusi TSS Waduk Sutami tahun 2014
Gambar 14. Distribusi TSS Waduk Sutami tahun 2015
44
Gambar 15. Distribusi TSS Waduk Sutami tahun 2016
Gambar 16. Distribusi TSS Waduk Sutami tahun 2017
Pada tahun 2014, pola distribusi TSS di Waduk Sutami didapatkan pada
rentang nilai 0,009 – 0,07 mg/L. Pada daerah hulu yang berdekatan dengan aliran
45
masuknya sungai, nilai TSS berada pada rentang 0,057 – 0,07 mg/L. Namun pada
daerah hulu waduk secara keseluruhan, nilai TSS didominasi pada rentang 0,027
– 0,04 mg/L. Sedangkan pada bagian tengah waduk, nilai TSS berada pada
rentang 0,027 mg/L. Pada bagian hilir waduk persebaran TSS didominasi pada
rentang 0,009 – 0,027 mg/L. Adapun daerah dengan rentang TSS terendah
ditemui pada bagian tengah yang menjorok ke utara, yakni dengan persebaran
TSS pada rentang 0,009 mg/L. Dimana lokasi tersebut banyak dijumpai keramba
jaring apung,
Pada tahun 2015, pola distribusi TSS di Waduk Sutami, didapatkan pada
rentang nilai 0,009 – 0,08 mg/L. Pada bagian hulu waduk, persebaran TSS
didominasi pada rentang nilai 0,045 – 0,08 mg/L. Pada bagian tengah rentang nilai
TSS masih didominasi pada rentang 0,03 – 0,045 mg/L. Namun persebaran TSS
sedikit menurun pada bagian yang menjorok ke utara dan selatan yakni hingga
pada rentang nilai 0,009 mg/L. Dimana daerah tersebut merupakan daerah banyak
ditemukan keramba jaring apung. Sedangkan pada daerah hilir waduk, rentang
cukup merata didominasi rentang nilai 0,03 mg/L.
Pada tahun 2016, pola distribusi TSS di Waduk Sutami didapatkan pada
rentang nilai 0,006 – 0,089 mg/L. Dimana pada tahun ini, pola distribusi TSS dari
hulu hingga hilir waduk memiliki persebaran yang cukup merata. Pada seluruh
bagian waduk ditunjukkan persebaran TSS pada rentang nilai 0,047 mg/L. Hanya
pada bagian tepian atau pinggiran waduk ditemukan nilai TSS sedikit menurun
pada rentang 0,03 mg/L. Dan juga pada hulu waduk yang berdekatan dengan
aliran masuk sungai didapatkan persebaran TSS berada pada rentang nilai 0,071
– 0,089 mg/L.
Pada tahun 2017, pola distribusi TSS di Waduk Sutami didapatkan pada
rentang nilai 0,022 – 0,094 mg/L. Dimana pada tahun ini, pola distribusi TSS pada
bagian hulu didominasi pada rentang nilai 0,058 – 0,079 mg/L. Kemudian pola
46
persebaran TSS menurun hingga pada bagian tengah waduk, yakni hingga
rentang nilai 0,022 mg/L. Hingga pada bagian hilir waduk rentang nilai TSS pada
kisaran 0,043 – 0,094 mg/L.
Disitribusi Total Suspended Solid di Waduk Sutami pada bulan Maret pada
tahun 2014 hingga 2017 didapatkan memiliki rentang nilai berkisar antara 0,006 –
0,094 mg/L. Meskipun rentang nilai TSS yang hampir sama, pola distribusi
horisontal dari tahun ke tahun menunjukkan pola yang berbeda. Jika ditinjau dari
rentang distribusi nilai TSS, periode Maret 2017 menjadi distribusi dengan rentang
nilai TSS terendah. Hal ini karena distribusi TSS didominasi pada rentang nilai
0,022 mg/L. Sedangkan rentang distribusi nilai TSS tertinggi ditunjukkan pada
periode Maret 2016, dengan dominasi persebaran TSS dengan rentang nilai
sebesar 0,047 mg/L. Namun jika ditinjau dari nilai rata TSS, periode Maret 2014
memiliki rata-rata nilai TSS terendah, dan periode Maret 2016 menjadi nilai rata-
rata TSS tertinggi, disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Grafik nilai rata-rata TSS bulan Maret
tahun 2014 – 2017
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara distribusi horisontal
TSS Maret tahun 2014 – 2017, dilakukan uji analisis Kruskall–Wallis dan uji lanjut
0.0266
0.0371
0.0648
0.0408
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
2014 2015 2016 2017
Nila
i TSS
(m
g/L)
Tahun
TSS Rata-rata
47
Mann-Whitney. Digunakan sebanyak 30 titik sampel dengan titik yang sama pada
tiap tahunnya untuk dilakukan uji, data disajikan pada Lampiran 11. Dari hasil uji
Kruskall–Wallis didapatkan kesimpulan bahwa, terdapat perbedaan antara
distribusi TSS dari tahun 2014 – 2017, dengan nilai probability (p) < 0,05.
Kemudian dilakukan uji lanjutan dengan metode Mann-Whitney untuk mengetahui
perbedaan dari tiap tahunnya. Dari hasil uji Mann-Whitney didapatkan kesimpulan
sebagai berikut:
- Tidak terdapat perbedaan antara distribusi horisontal TSS bulan Maret
2014 dengan bulan Maret 2015, dengan angka siginificancy p > 0.05
- Terdapat perbedaan antara distribusi horisontal TSS bulan Maret 2014
dengan bulan Maret 2016, dengan angka siginificancy p < 0.05
- Terdapat perbedaan antara distribusi horisontal TSS bulan Maret 2014
dengan bulan Maret 2017, dengan angka siginificancy p < 0.05
- Terdapat perbedaan antara distribusi horisontal TSS bulan Maret 2015
dengan bulan Maret 2016, dengan angka siginificancy p < 0.05
- Tidak terdapat perbedaan antara distribusi horisontal TSS bulan Maret
2015 dengan bulan Maret 2017, dengan angka siginificancy p > 0.05
- Terdapat perbedaan antara distribusi horisontal TSS bulan Maret 2016
dengan bulan Maret 2017, dengan angka siginificancy p < 0.05
Ditinjau dari peta tata guna lahan tahun 2016 yang didapatkan,
penggunaan lahan pada sekitar wilayah waduk didominasi oleh persawahan dan
pemukiman. Hal yang sama juga ditemukan pada area sekitar aliran sungai yang
mengalir ke Waduk Sutami, yakni Sungai Metro dan Sungai Brantas. Selain itu
ditinjau dari kondisi cuaca, menurut BMKG (2017), mencatat bahwa pada bulan
Maret dari tahun 2014 – 2017, daerah Waduk Sutami masih mengalami musim
hujan. Dimana curah hujan pada bulan maret antara lain; 21,6 mm (tahun 2014),
12,025 mm (tahun 2015), 13,6 mm (tahun 2016), dan 8,3 mm (tahun 2017). Hal ini
48
menandakan bahwa pada daerah waduk memiliki kemungkinan menerima banyak
bahan masukan dari sungai. Namun berdasarkan uji terhadap perbedaan distribusi
horisontal TSS tiap tahunnya, tingginya intesitas curah hujan tidak menjadi indikasi
tingginya distribusi TSS di perairan Waduk. Maka dapat disimpulkan tata guna
lahan serta faktor lain yang tidak diamati peneliti, menjadi faktor pengaruh
terhadap distribusi TSS di Waduk Sutami.
Gambar 18. Peta klasifikasi nilai TSS di Waduk Sutami
Setelah didapatkan distribusi horisontal TSS di Waduk Sutami melalui
proses ekstraksi data citra Landsat 8. Maka data tesebut dapat dimanfaatkan
untuk menghasilkan klasifikasi spasial terhadap nilai tss berdasarkan pengaruhnya
pada dunia perikanan yang ada di Waduk Sutami. Hasil klasifikasi spasial nilai TSS
ditinjau dari pengaruhnya terhadap dunia perikanan di Waduk Sutami disajikan
pada Gambar 18. Berdasarkan hasil klasifikasi spasial tersebut, diperoleh bahwa
49
pada bulan Maret tahun 2014 – 2017, distribusi horisontal TSS di perairan Waduk
Sutami berada pada nilai < 25 mg/L. Maka dapat disimpulkan bahwa, distribusi
TSS pada Waduk Sutami tidak memiliki pengaruh buruk pada dunia perikanan.
4.4.2 Klasifikasi Nilai Klrofil-a di Waduk Sutami Tahun 2014 – 2017
Berdasarkan hasil pengolahan citra pada tahun didapatkan peta distribusi
horizontal klorofil-a di Waduk Sutami pada tahun 2014 – 2017 disajikan pada
Gambar 19 – Gambar 22. Proses ini dilakukan agar didapatkan pola distibusi
horisontal serta nilai klorofil-a di perairan Waduk Sutami pada rentang waktu
tersebut. Selain itu juga bertujuan agar dapat diketahui klasifikasi nilai klorofil-a di
Waduk Sutami pada rentang nilai tersebut.
Gambar 19. Distribusi horisontal klorofil-a tahun 2014
50
Gambar 20. Distribusi horisontal klorofil-a tahun 2015
Gambar 21. Distribusi horisontal klorofil-a tahun 2016
51
Gambar 22. Distribusi horisontal klorofil-a tahun 2017
Pada tahun 2014 pola distribusi klorofil-a di Waduk Sutami didapatkan
memiliki rentang nilai sebesar 0,01 – 0,049 mg/m3. Pola distribusi klorofil-a pada
tahun ini menunjukkan bahwa klorofil-a tersebar cukup rata pada rentang 0,04 –
0,049 mg/m3. Walaupun pada bagian hulu waduk distribusi klorofil-a tergolong
rendah yakni pada rentang 0,01 – 0,029 mg/m3. Namun hal ini cukup wajar karena
menjadi lokasi masuknya air sungai pada bagian waduk.
Pada tahun 2015, pola distribusi klorofil-a di waduk Sutami didapatkan
memiliki rentang nilai sebesar 0,008 – 0,046 mg/m3. Pada tahun ini pola distribusi
didominasi pada rentang nilai 1,52 mg/m3 mulai dari bagian tengah waduk hingga
bagian hilir. Sedangkan kondisi yang berbeda ditunjukkan pada bagian hulu
waduk, dimana distribusi klorofil-a didominasi pada rentang 0,008 – 0,03 mg/m3.
Selain itu juga ditemukan rentang nilai 0,038 mg/m3 pada bagian samping utara
dan selatan waduk yang terdapat keramba jaring apung milik masyarakat
setempat.
52
Pada tahun 2016, pola distribusi klorofil-a di Waduk Sutami didapatkan
memiliki rentang nilai sebesar 0,007 – 0,038 mg/m3. Dimana pada tahun ini pola
distribusi didominasi pada rentang nilai 0,038 mg/m3 dari wilayah hulu hingga hilir
waduk. Walaupun pada bagian hulu yang berdekatan dengan aliran masuk sungai
menunjukkan distribusi yang signifikan dengan wilayah lainnya. Pada bagian hulu
yang dekat dengan aliran sungai didapatkan distribusi klorofil-a berada pada
rentang 0,007 – 0,016 mg/m3.
Pada tahun 2017, pola distribusi klorofil-a di Waduk Sutami didapatkan
memiliki rentang nilai sebesar 0,004 – 0,042 mg/m3. Dimana pola distribusi
didominasi pada rentang nilai 0,042 mg/m3. Adapun pada bagian samping waduk
yang menjorok ke utara dan selatan memiliki rentang nilai 0,031 mg/m3. Pada
bagian ini lebih banyak didapati keramba jaring apung milik masyarakat setempat.
Sedangkan pada bagian hulu yang berdekatan dengan aliran sungai ditunjukkan
distribusi klorofil-a pada rentang nilai 0,004 – 0,023 mg/m3.
Berdasarkan hasil ekstraksi klorofil-a citra, maka dapat disimpulkan
distribusi klorofil-a di Waduk Sutami pada bulan Maret tahun 2014 – 2017
didapatkan memiliki rentang nilai 0,004 – 0,049 mg/m3. Ditinjau dari distribusi nilai
klorofil-a, periode Maret 2016 memiliki distribusi klorofil-a dengan rentang nilai
paling rendah, yakni didominasi pada rentang 0,038 mg/m3. Sedangkan periode
Maret 2014 menjadi periode dengan distribusi klorofil-a tertinggi, yakni dengan
didominasi pada rentang nilai 0,04 – 0,049 mg/m3. Namun jika ditinjau dari nilai
rata-rata klorofil-a, bulan Maret 2014 menjadi periode dengan nilai rata-rata
tetinggi. Sedangkan Maret 2016, menjadi periode dengan nilai rata-rata klorofil-a
terendah (Gambar 18).
53
Gambar 23. Grafik nilai rata-rata Klorofil-a bulan
Maret tahun 2014 – 2017
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara distribusi horisontal
klorofil-a pada Maret tahun 2014 – 2017, dilakukan uji analisis Kruskall–Wallis dan
uji lanjut Mann-Whitney. Digunakan sebanyak 30 titik sampel dengan titik yang
sama pada tiap tahunnya untuk dilakukan uji, data disajikan pada Lampiran 12.
Dari hasil uji Kruskall–Wallis didapatkan kesimpulan bahwa, terdapat perbedaan
antara distribusi klorofil-a dari tahun 2014 – 2017, dengan nilai probability (p) <
0,05. Kemudian dilakukan uji lanjutan dengan metode Mann-Whitney untuk
mengetahui perbedaan dari tiap tahunnya. Dari hasil uji Mann-Whitney didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
- Terdapat perbedaan antara distribusi horisontal klorofil-a bulan Maret
2014 dengan bulan Maret 2015, dengan angka siginificancy p < 0.05
- Terdapat perbedaan antara distribusi horisontal klorofil-a bulan Maret
2014 dengan bulan Maret 2016, dengan angka siginificancy p < 0.05
- Terdapat perbedaan antara distribusi horisontal klorofil-a bulan Maret
2014 dengan bulan Maret 2017, dengan angka siginificancy p < 0.05
- Terdapat perbedaan antara distribusi gorisontal klorofil-a bulan Maret
2015 dengan bulan Maret 2016, dengan angka siginificancy p < 0.05
0.04277
0.03716
0.02372
0.03726
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0.03
0.035
0.04
0.045
2014 2015 2016 2017
Klorofil-a Rata-rata
54
- Terdapat perbedaan antara distribusi horisontal klorofil-a bulan Maret
2015 dengan bulan Maret 2017, dengan angka siginificancy p > 0.05
- Terdapat perbedaan antara distribusi horisontal klorofil-a bulan Maret
2016 dengan bulan Maret 2017, dengan angka siginificancy p < 0.05
Ditinjau dari kondisi cuaca pada bulan Maret, menurut BMKG (2017) mencatat
bahwa pada bulan Maret daerah Waduk Sutami mendapat lama penyinaran antara
lain 6,9 jam/hari (tahun 2014); 6,3 jam/hari (tahun 2015); 4,4 jam/hari (tahun 2016);
5,1 jam/hari (tahun 2017). Selain itu juga, pada bulan ini masih tercatat sebagai
musim hujan, mulai tahun 2014 hingga 2017. Hal ini tentu menjadi salah satu faktor
pendukung dari nilai klorofil-a di perairan waduk. Dimana pada saat rata-rata lama
penyinaran tinggi, maka rentang nilai klorofil-a juga relatif tinggi, hal sebaliknya
pun terjadi saat lama penyinaran menurun. Menurut Cotteau (1996), tiap
fitoplankton memiliki kebutuhan cahaya yang berbeda-beda, namun lama
penyinaran (fotoperiode) dan panjang gelombang cahaya sangat menentukan
proses fotosintesis.
55
Gambar 24. Klasifikasi nilai klorofil-a di perairan Waduk Sutami
Berdasarkan klasisifikasinya terhadap nilai klorofil-a, Waduk Sutami pada
bulan Maret tahun 2014 – 2017 secara spasial disajikan pada gambar 25. Dari
klasifikasi spasial diatas, maka dapat diperoleh bahwa Waduk Sutami memiliki
konsentrasi klorofil-a yang terbilang rendah pada periode tersebut. Bahkan pada
periode Maret 2014, 2015, dan 2017, ditunjukkan bahwa pada bagian hulu waduk
terdapat konsentrasi klorofil-a yang tergolong sangat rendah.
56
4.5 Hubungan Distribusi TSS dan Klorofil-a terhadap Kualitas Air
Selain data lapang TSS dan Klorofil-a, dilakukan juga pengambilan data
lapang terkait parameter kualitas air. Pengambilan data kualitas air ini digunakan
untuk meninjau kualitas air yang ada pada Waduk Sutami, Kabupaten Malang.
Pengambilan parameter kualitas air ini dilakukan bersamaan dengan pengambilan
sampel TSS dan Klorofil-a. Hasil dari pengukuran kualitas air dapat dilihat padat
Tabel 6.
Tabel 6. Data parameter kualitas air
Titik Koordinat (decimal degree)
DO Suhu pH Kecerahan Latitude Longitude
1 -8.16222 112.44909 9,83 27,30 10,80 71,00
2 -8.17718 112.46900 8,63 27,70 10,30 76,00
3 -8.18939 112.47411 9,48 28,00 9,60 74,50
4 -8.18082 112.47692 11,13 28,20 7,80 79,50
5 -8.18897 112.51897 9,89 27,90 9,60 54,50
Selain itu juga terdapat data hasil pengukuran nitrat dan ortofosfat serta
pengamatan fitoplankton yang terdapat di perairan Waduk Sutami. Hasil
pengukuran nitrat dan ortofosfat dapat dilihat pada lampiran 4. Beberapa data
yang didapatkan dari pengamatan sampel fitoplankton yakni, identifikasi
fitoplankton disajikan pada lampiran 5 dan perhitungan kelimpahan fitoplankton
disajikan pada lampiran 7.
a. Suhu
Berdasarkan hasil pengukuran parameter suhu pada Waduk Sutami,
didapatkan nilai suhu pada kisaran 27,30 sampai 28,20o C. Kemudian hasil
pengukuran suhu dilakukan proses interpolasi untuk mendapatkan kisaran suhu
pada seluruh wilayah Waduk Sutami, disajikan pada Gambar 25. Dari wilayah hulu
waduk, suhu berkisar antara 27,84 hingga 28,04. Kemudian terjadi peningkatan
pada wilayah tengah waduk, didapati suhu maksimal 28,02 hingga 28,20.
Sedangkan pada wilayah waduk yang menjorok kearah selatan (biasa disebut oleh
57
masyarakat setempat pengkongan 2) memiliki rentang suhu yang sama dengan
daerah hulu. Kemudian pada wilayah waduk yang membelok dibagian barat
setelah wilayah tengah waduk memiliki rentang suhu menurun pada kisaran, 27,48
– 27,66. Hingga wilayah hilir waduk, rentang suhu terus menurun pada rentang
27,30 – 27,48. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004,
suhu optimum perairan yakni pada kisaran 28o – 30oC Maka kondisi suhu di Waduk
Sutami dapat digolongkan pada kondisi umum.
Gambar 25. Peta sebaran suhu Waduk Sutami
Uji regresi dilakukan terhadap parameter suhu dengan TSS dan klorofil-a.
Uji regresi yang digunakan yakni uji regresi sederhana dengan masing-masing
distribusi, TSS dan klorofil-a. Hasil uji regresi antara TSS dengan suhu didapatkan
memiliki F signifikan yakni sebesar 0,561, atau dengan kata lain tidak ada
hubungan antara TSS terhadap suhu di perairan Sedangkan hasil uji regresi
antara nilai klorofil-a dengan suhu, didapatkan memiliki F signifikan yakni bernilai
0,73. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara nilai klorofil-a
terhadap suhu di perairan. Hal ini terjadi akibat, suhu lebih besar dipengaruhi oleh
intesitas cahaya matahari, serta kondisi geografis suatu wilayah (Barus, 2004).
58
b. pH (Derajat Keasaman)
Berdasarkan hasil pengukuran parameter pH (derajat keasaman) pada
perairan Waduk Sutami, didapatkan pH pada kisaran 7,8 – 10,8. Hasil pengukuran
pH tersebut kemudian dilakukan proses interpolasi untuk mendapatkan kisaran
suhu pada seluruh wilayah Waduk Sutami, ditunjukkan pada Gambar 26. Nilai pH
pada wilayah hulu waduk, memiliki rentang niliai sebesar 9,3 - 9,8, dapat
dikategorikan dalam pH basa. Nilai pH mengalami penurunan pada daerah
belokan pertama sebelah timur, yakni pada rentang nilai 8,8 – 9,3. Penurunan
nilai pH terus terjadi hingga pada bagian tengah waduk yakni pada rentang 7,8 –
8,3 yang dapat dikategorikan netral. Kemudian pada wilayah waduk yang
menjorok ke selatan, nilai pH mengalami kenaikan lagi hingga 9,3 - 9,8.
Sedangkan pada wilayah belokan waduk sebelah timur setlah wilayah tengah
waduk didapatkan nilai pH terus naik hingga pada rentang nilai 9,8 – 10,3. Nilai
pH terus mengalami kenaikan sampai wilayah hilir waduk dengan rentang nilai
10,3 – 10,8, yang termasuk pada kategori pH basa. Menurut Pancawati et al.
(2014), menyatakan bahwa pH optimum pada perairan yakni berkisar 6 – 9. Maka
dapat dikatakan kondisi pH di Waduk Sutami tidak berada pada kondisi optimum.
Kondisi ini bisa disebabkan karena banyaknya keramba jarring apung yang
berada di area waduk. Dimana menurut aktifikas respirasi yang tinggi, sehingga
berdampak pada karbondioksida dalam perairan meningkat.
59
Gambar 26. Peta sebaran pH Waduk Sutami
Uji regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan pH dengan distribusi
TSS dan klorofil-a. Uji regresi yang digunakan yakni uji regresi sederhana dengan
masing-masing distribusi. Hasil uji antara TSS dengan oksigen terlarut
menunjukkan F signifikan bernilai 0,967. Dapat diartikan bahwa tidak ada
hubungan antara distribusi TSS dengan nilai pH di perairan. Sedangkan hasil uji
antara klorofil-a dengan oksigen terlarut juga menunjukkan F signifikan bernilai
0,981. Menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara distribusi klorofil-a dengan
nilai pH d perairan. Hal ini terjadi dikarenakan fluktuasi pH lebih disebabkan karena
tingginya kadar karbondioksida di perairan, dimana bisa bersumber dari kegiatan
respirasi (Kordi, 2000 dalam Apridayanti, 2008).
c. Dissolved Oxygen (Oksigen Terlarut)
Berdasarkan hasil pengukuran dissolved oxygen (oksigen terlarut),
didapatkan nilai DO yakni berkisar antara 8,63 ppm hingga yang tertinggi 11,13
ppm. Hasil pengukuran DO selanjutnya dilakukan proses interpolasi untuk
mendapatkan nilai DO pada wilayah perairan Waduk Sutami, disajikan pada
60
Gambar 27. Pada daerah hulu kandungan DO (oksigen terlarut) memiliki rentang
nilai 9,88 – 10,3 ppm. Kemudian terjadi kenaikan hingga bagian tengah waduk,
yakni pada rentang tertinggi sebesar 10,71 – 11,13 ppm. Sedangkan pada bagian
waduk yang menjorok ke arah selatan, kandungan DO ditemukan lebih rendah,
yakni pada rentang nilai 9,46 – 9,88 ppm. Kandungan DO juga mengalami
penurunan pada wilayah belokan waduk sebelah barat bagian tengah
waduk,yakni pada rentang terendah 8,63 – 9,05 ppm. Namun pada bagian hilir,
kandungan DO kembali naik pada kisaran 9,46 – 9,88 ppm. Menurut Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, nilai DO yang optimum di perairan
yakni >5 mg/L. Maka nilai DO di perairan Waduk Sutami dapat dikatakn berada
kondisi optimum.
Gambar 27. Peta sebaran dissolved oxygen Waduk Sutami
Uji regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara distribusi TSS
dan klorofil-a terhadap oksigen terlarut. Uji regresi yang digunakan yakni regresei
sederhana. Hasil uji regresi antara distribusi TSS dengan oksigen terlarut
menunjukkan F signifikan bernilai 0,856. Dengan kata lain tidak ada hubungan
antara distribusi TSS dengan kandungan oksigen terlarut di perairan. Sedangkan
61
hasil uji antara distribusi klorofil-a dengan oksigen terlarut menunjukkan F
signifikan bernilai 0,529. Menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara distribusi
klorofil-a dengan oksigen terlarut. Walaupun secara teori klorofil-a merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi oksigen terlarut dalam perairan. Namun
ada faktor lain yang dirasa lebih besar mempengaruhi kandungan oksigen terlarut
di perairan. Menurut Sunari (2007), pergerakan permukaan air, suhu dan tekanan
udara mampu mempengaruhi besar kecilnya oksigen terlarut. Selain itu difusi
oksigen dapat terjadi jika adanya pergerakan massa air dan udara (Odum, 1993
dalam Salmin, 2005). Maka dapat disimpulkan bahwa saat pengukuran DO ada
kemungkinan terjadi difusi oksigen yang cukup tinggi saat adanya pergerakan
massa air / arus. Hal ini bisa disebabkan karena adanya arus yang diciptakan oleh
mesin kapal saat pengukuran berlangsung.
d. Kecerahan
Berdasarkan hasil pengukuran kecerahan terhadap wilayah perairan
Waduk Sutami, didapatkan nilai keceran berkisar antara 54,5 – 79,5 cm. Hasil
pengukuran kecerahan pada perairan Waduk Sutami selanjutnya dilakukan proses
interpolasi untuk mendapatkan nilai kecerahan pada seluruh wilayah waduk,
disajikan pada Gambar 28. Pada daerah hulu kecerahan perairan waduk berada
pada rentang nilai 54,5 – 58,7 cm, hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecerahan
yang rendah. Kemudian menuju ke bagian tengah waduk, nilai kecerahan
semakin naik hingga rentang maksimum sebesar 75,3 – 79,3 cm. Sedangkan pada
bagian waduk yang menjorok ke selatan, nilai kecerahan sedikit menurun pada
rentang sebesar 71,2 – 75,3 cm. Pada belokan waduk sebelah barat bagian
tengah, nilai kecerahan masih pada rentang tertinggi yakni 75,3 – 79,5 cm.
Kemudian mengalami penurunan lagi hingga hilir waduk, yang menunjukkan
rentang sebesar 62,8 – 67 cm. Menurut Arfiati et al. (2002) dalam Apridayanti
62
(2008), mengatakan bahwa perairan dengan kecerahan <3 m digolongkan pada
perairan eutropik. Maka dapat dikatakan berdasarkan nilai kecerahannya Waduk
Sutami berada pada kategori eutropik.
Gambar 28. Peta sebaran kecerahan Waduk Sutami
Uji regresi dilakukakn untuk mengetahu hubungan antara TSS dan klorofil-
a terhadap kecerahan perairan. Uji regresi dilakukan dengan regresi sederhana.
Hasil uji menunjukkan antara distribusi TSS dengan kecerahan memiliki F
signifikan bernilai 0,001. Dapat diartikan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara distribusi TSS dengan kecerahan pada suatu perairan. Selain itu, hasil uji
antara klorofil-a dengan kecerahan juga menunjukkan nilai F signifikan bernilai
0,002. Dimana menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
distribusi klorofil-a dengan kecerahan pada suatu perairan. Menurut Effendi
(2003), kecerahan pada suatu perairan disebabkan oleh warna dan kekeruhan
perairan tersebut. Kekeruhan pada perairan tergenang lebih banyak dipengaruhi
oleh bahan-bahan tersuspensi.
63
e. Nitrat
Berdasarkan hasil pengukuran kandungan nitrat di perairan Waduk
Sutami, didapatkan kandungan nitrat berkisar antara 0,1828 – 0,7146 mg/L. Dari
hasil pengukuran tersebut dilakukan proses interpolasi untuk mendapatkan
kandungan nitrat pada seluruh wilayah perairan Waduk Sutami, disajikan pada
Gambar 29. Pada wilayah hulu waduk didapati kandungan nitrat pada rentang
niliai tertinggi yakni 0,63 – 0,71mg/L. Kemudian menuru hingga pada rentang
terendah yakni 0,18 - 0,27 mg/L. Kandungan nitrat sedikit meningkat pada
belokan sebelah timur dari bagian tengah waduk, pada rentang 0,45 – 0,54 mg/L.
Namun kandungan nitrat pada bagian tengah hingga bagian yang menjorok ke
selatan ditemukan hanya pada renang nilai 0,18 – 0,45 mg/L. Kandungan nitrat
terus stabil pada rentang tersebut hingga menurun kembali di bagian hulu yakni
sebesar 0,45 – 0,63 mg/L. Menurut Leentvar (1980) dalam Subarijanti (1990),
mengatakan bahwa kandungan nitrat 0-0,15 ppm termasuk perairan mesotropik
dan nitrat >0,2 ppm adalah perairan eutropik. Maka ditinjau dari kandungan nitrat
di Waduk Sutami dapat digolongkan eutropik.
Gambar 29. Peta sebaran nitrat Waduk Sutami
64
Uji regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara distribusi TSS
dan klorofil-a terhadap kandungan nitrat di perairan. Uji regresi dilakukan dengan
regresi sederhana. Hasil uji menunjukkan bahwa distribusi TSS dan nitrat memiliki
F signifkan bernilai 0,008. Dapat diartikan distribusi TSS memiliki hubungan yang
signifikan dengan kandungan nitrat di perairan. Sedangkan hasil uji distribusi
klorofil-a dengan kandungan nitrat didapatkan F signifikan bernilai 0,016.
Menjelaskan bahwa distribusi klorofil-a memiliki hubungan yang signifikan dengan
kandungan nitrat di perairan.
Menurut Effendi (2003) dalam Lestari (2009), mengatakan bahwa salah
satu sumber TSS yakni berasal dari kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa
ke badan air. Jika ditinjau dari tata guna lahan di wilayah waduk dan aliran sungai,
lahan sawah lebih mendominasi area tersebut. Menurut Manampiring (2009),
salah satu bahan pencemar air di daerah pertanian adalah yang berasal dari
pupuk kimia yaitu nitrat. Maka dapat disimpulkan bahwa nitrat merupakan salah
satu bahan tersuspensi yang terbawa pada perairan, akibat tata guna lahan yang
didominasi oleh persawahan. Sedangkan di sisi lain nitrat menjadi salah satu
sumber nitrogen bagi tumbuhan, baik makroskopis maupun mikroskopiis di
perairan (Moss, 1998). Oleh sebab itu keberadaan klorofil-a di perairan juga ada
hubungannya dengan kandungan nitrat di perairan.
f. Ortofosfat
Berdasarkan hasil pengukuran kandungan ortofosfat di perairan Waduk
Sutami, didapatkan kandungan ortofosfat berkisar antara 0,0038 – 0,5342 mg/L.
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, selanjutnya dilakukan proses interpolasi
untuk mendapatkan kandungan nilai pada seluruh Waduk Sutami, disajikan pada
Gambar 30. Pada bagian hulu waduk, kandungan ortofosfat didapati pada rentang
tertinggi yakni 0,076 - 0,533 mg/L, namun terus menurun hingga rentang nilai
65
0,004 - 0,027 mg/L ke arah barat dari hulu. kandungan ortofosfat di bagian tengah
juga ditemukan tidak begitu tinggi, yakni antara rentang nilai 0,004 – 0,04 mg/L.
Namun pada bagian hilir waduk kandungan nitrat didapatkan naik hingga rentang
tertinggi kemudian turun kembali pada rentang terendah. Menurut Leentvar (1980)
dalam Subarijanti (1990), mengatakan bahwa perairan oligotropik mempunyai
kandungan ortofosfat <0,01 mg/L, mesotropik 0,01–0,05 mg/L. Maka ditinjau dari
nilai ortofosfat, Waduk Sutami digolongkan pada perairan mesotrofik.
Gambar 30. Peta sebaran ortofosfat Waduk Sutami
Uji regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara distribusi TSS
dan klorofil-a terhadap kandungan ortofosfat di perairan. Uji regresi yang
digunakan yakni regresei sederhana. Hasil uji menunjukkan nilai F signfikan antara
distribusi TSS dengan kandungan ortofosfat bernilai 0,587. Dapat diartikan bahwa
tidak ada hubungan antara distribusi TSS dengan kandungan ortofosfat.
Sedangkan nilai F signifikan antara distribusi klorofil-a dengan kandungan
ortofosfat bernilai 0,35. Menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara distribusi
klorofil-a dengan kandungan ortofosfat di perairan. Hal ini disebabkan karena
66
keberadaan fosfor yang relatif sedikit dan juga sifatnya yang mudah mengendap
pada kerak bumi (Effendi, 2003).
67
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini, adalah
sebagai berikut :
1. Distribusi Total Suspended Solid di Waduk Sutami dapat dianalisis
memanfaatkan kanal hijau (band 3) dari citra Landsat 8 OLI menggunakan
algoritma Woerd dan Pasterkamp, 2004, dengan nilai determinasi R2 = 0,771
dan R = 0,878. Distribusi Total Suspended Solid di Waduk Sutami pada bulan
Maret 2014 – 2017 berturut-turut memiliki nilai rata-rata yakni 0,0266 mg/L
(tahun 2014), 0,0371 mg/L (tahun 2015), 0,0648 mg/L (tahun 2016), 0,0408
mg/L (tahun 2017).
2. Distribusi klorofil-a di Waduk Sutami dapat dianalisis memanfaatkan kanal
hijau dan merah (band 3 dan band 4) dari citra Landsat 8 OLI, menggunakan
algoritma Wibowo, 2004, dengan nilai determinasi R2 = 0,676 dan R = 0,822.
Distribusi Klorofil-a di Waduk Sutami pada bulan Maret 2014 – 2017 berturut-
turut memiliki nilai rata-rata yakni 0,0427 mg/m3 (tahun 2014), 0,03716 mg/m3
(tahun 2015), 0,02372 mg/m3 (tahun 2016), 0,03726 mg/m3 (tahun 2017).
3. Klasifikasi nilai TSS berdasarkan pengaruh terhadap dunia perikanan pada
Waduk Sutami, didapatkan mulai tahun 2014 – 2017 tergolong tidak
berpengaruh buruk pada dunia periakanan. Sedangkan klasifikasi nilai klorofil-
a berdasarkan kondisinya di perairan Waduk Sutami, didapatkan rata-rata dari
tahun 2014 – 2017 digolongkan pada kosentrasi rendah. Namun pada tahun
2014, 2015 dan 2017 terdapat wilayah dengan konsentrasi klorofil-a sangat
rendah pada bagian hulu dekat aliran sungai
4. Sedangkan parameter kualitas air lainnya didapatkan sebagai berikut:
o Suhu berkisar antara 27,3 – 28,2o C
68
o pH (derajat keasaman) berkisar antara 7,8 – 10,8
o Dissolved Oxygen (oksigen terlarut) berkisar antara 8,63 – 11,13
ppm
o Kecerahan berkisar antara 54,5 - 79,5 cm
o Nitrat berkisar antara 0,1982 – 0,7142 mg/L
o Ortofosfat berkisar antara 0,0038 – 0,5342 mg/L
Dimana berdasarkan analisa statistik didapatkan bahwa distribusi TSS dan
klorofil-a memiliki hubungan yang saling mempengaruhi signifikan dengan
kecerahan dan nitrat.
5.2 Saran
Adapun saran berdasarkan hasil peneilitian adalah sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan observasi dan analisis perubahan landuse (penggunaan
lahan) di sekitar wilayah penelitian dari tahun ke tahun guna mengetahui
pengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan terhadap kualitas ai di
Waduk Sutami.
2. Penelitian terkait pengembangan algoritma pendugaan nilai TSS dan
klorofil-a melalui analisis citra Landsat 8 OLI di Waduk Sutami perlu
dilakukan sebagai upaya meningkatkan nilai akurasi antara data citra
satelit dengan data lapang.
69
DAFTAR PUSTAKA
Apridayanti, E, 2008. Evolusi Pengelolaan Lingkungan Perairan. Universitas
Diponegoro, Semarang
Ashadi, Rizki. 2016. Studi Penentuan Batas Pengoperasian PLTA Sutami Untuk
Operasi yang Nominal. Skripsi. Jurusan Teknik Elektro. Fakultas Teknik.
Universitas Brawijaya, Malang
Asriyana dan Yuliana, 2012. Produktivitas Perairan. Bumi Aksara, Jakarta
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2017.
http://dataonline.bmkg.go.id/data_iklim, diakses pada tanggal 30 Mei
2017.
Badan Standarisasi Nasional, 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI-01-
3751-2016. Dewan Standarisasi Indonesia. Jakarta
Barus, T. A, 2004. Pengantar Limnologi Studi tentang Ekosistem Air. USU Press,
Medan
Bhirawa, J. R. dan L. M. Jaelani, 2015. Perbandingan Nilai Klorofil-a menggunakan
Citra Landsat dan MERIS di Danau Sentani, Jayapura. Geoid. 11(01): 79-
84
Boyd, C. E, 1982. Water Quality in Warn Water Fish Pond. Auburn University
Agricultural Experimental Station. Aurburn Alabama
Boyer, J.N., Kelbe, C.R., Ortner, P.B., Rudnick, D.T. 2009. Phytoplankton Bloom
Status: Clorophyll-a Biomass as an Indicator of Water Quality Condition
in the Southern Estuaries of Florida, USA. Ecological Indicators. 9(6):
S56-S67
Cotteau, P. 1996. Microalgae. In: Manual on Production and Use of Live Food
for Aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper. Lavens, P and P.
Sorgeloos Edition. Rome. Italia.
Damayanti, H.O. dan Hermawan, Undang. 2014. Pola penyebaran sedimen
tersuspensi berdasarkan analisis debit maksimum dan minimum di Muara
Sungai Porong, Kabupaten Pasuruan. Widyariset. 17(2): 291-302
Davis, L. H. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang
Djuhanda, T. 1980. Kehidupan Dalam Setetes Air. Penerbit ITB, Bandung
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bai Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.
Kanisius, Jakarta
70
Facrul, M. F. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta
Ghufran, M., H. Kordi, dan A. B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air. Jakarta
: Rineka Cipta
Grahame, J. 1987. Plankton and fisheries. Great Britain, London. 140 h
Gunawan, T. 1991. Penerapan Teknik Penginderaan Jauh Untuk Menduga Debit
Puncak Menggunakan Karakteristik Lingkungan Fisik DAS, Studi Kasus
di Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo Hulu, Jawa Tengah. Disertasi.
Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Hasan, M. Iqbal, 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,
Ghalia Indonesia, Bogor.
Hasyim, B. 1997. Optimasi Penggunaan Data Inderaja dan Sistem Informasi
Geografi untuk Pengawasan Kualitas Lingkungan Pantai akibat Limbah
Industri. Dewan riset Nasional. Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi. Jakarta
Helfinalis. 2008. Padatan tersuspensi total perairan Pulau Kabean Muna dan
Buton. Jurnal Ilmu Kelautan. 13(2): 79-84
Herawati, E. Y. dan Kusriani. 2005. Buku Ajar Planktonologi. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya, Malang
Herman, T. Osawa, dan I. W. Arthana. 2010. Study of Total Suspended Matter
distribution using data and numerical simulation in Porong, Sidoarjo.
Ecotrophic. 5(1): 57-62
Hidayat, S. 2017. PJT I Paparkan Pengelolaan SDA di Depan Lima Menteri.
Buletin Warta Jasa Tirta I. Edisi 63. Perum Jasa Tirta I, Malang
Hutabarat, S dan Evans, S. M. 2003. Pengantar Oseanografi. UI Press, Jakarta
Hutagalung, H. P., D. Setiapermana, S. H. Riyono. 1997. Metode Analisis Air Laut,
Sedimen, dan Biota. Puslitbang Oseanologi, LIPI
Jaelani, L. M. Dan Syariz, M. A. 2016. Perbandingan algoritma C2WP Boureal
Lakes Processor dan Regional Water Processor dalam ekstraksi nilai
estimasi data Total Suspended Solid Danau Sentani, Jayapura. Geoid.
11(02):165-170
Juantari, G. Y., R. W. Sayekti, D. Harisuseno. 2013. Status trofik dan daya
tampung beban pencemaran Waduk Sutami. Jurnal Teknik Pengairan.
4(1): 61-66
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2011. Rencana Strategis
Balai Besar Wilayah Sungai Brantas 2011. Direktorat Jenderal Sumber
Daya Air, Jakarta
71
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu
Air Laut
Khopkar, S. N. 1990. Konsep dasar Kima Analitik. UI Press, Jakarta
Komarawidjaja, W., S. Sukimin dan E. Arman, 2005. Status Kualitas Air Waduk
Cirata dan Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ikan Budidaya. Jurnal
Teknin Lingkungan. 6 (1) 268-273
Kordi, K. M. G. H. 2010. Budidaya Udang Laut. Lily Publisher, Yogyakarta
Krismono, 2010. Hubungan Antar Kualitas Air dengan Klorofil-a dan Pengaruhnya
Terhadap Populasi ikan di Perairan Danau Limboto. Limnotek. 17(2): 171-
180
Lestari, I. B. 2009. Pendugaan konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) dan
transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat. Skripsi.
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Manampiring, A. E. 2009. Studi Kandungan Nitrat (NO3) pada Sumber Air Minum
Masyarakat kelurahan Rurukan, Kecamatan Tomohon Timur, Tomohon.
Karya Ilmiah. Fakultas Kedokteran, Univeersitas Sam Ratulangi,Manado
Moss, B. 1998. Ecology of Freshwater. University of Liverpool, Liverpool
Nontji, A. 2008. Plankton Laut. LIPI Press, Jakarta
Noor, D. 2014. Pengantar Geologi. Deepublish, Yogyakarta
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. PT. Gramedia, Jakarta
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Samigan [Penerjemah]; Srigandono
[Editor]. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology. Gajah Mada Press,
Yogyakarta
Pancawati, D. N., Djoko, S. dan Pujiono, W. P. 2014. Karakteristik Fisika Kimia
Perairan Habitat Bivalvia di Sungai Wiso Jepara. Journal of Maquares.
3(4) : 141-146
Pradjana, I Nyoman Gede. 2016. Perbandingan Penggunaan Metode Treshold dan
Metode K-Nearest Neighbour Dalam Deteksi Luas Tutupan Vegetasi Gunung
Agung Bali Indonesia. Skripsi, Universitas Udayana
Pramono, G. H., 2008. Akurasi Metode IDW dan Krigging untuk Interpolasi
Sebaran Sedimen Tersuspensi. Forum Geografi. 22(1): 97-110
Rachmawaty. 2012. Pengelolaan Sumberdaya Perairan Waduk Secara Optimal
dan Terpadu. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan
72
Rasyid, A. 2009. Distribusi klorofil-a pada musim peralihan barat-timur di Perairan
Spermonde, Sulawesi Selatan. Jurnal Sains & Teknologi. 9(2): 125-132
Retaningdyah, C., U. Marwati, A. Soegianto dan B. Irawan, 2011. Media
Pertumbuhan, Intesitas Cahaya dan Lama Penyinaran yang efektif untuk
Kultur Microcystis Hasil Isolasi dari Waduk Sutami di Laboratorium. JBP.
13(2) : 123-130
Ridho, M. R., 2009. Distribusi, Kepadatan Biomassa dan Struktur Komunitas Ikan
Demersal di Perairan Laut Cina Selatan. Thesis. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Robinson, I. S., 1985. Satellite Oceanography: an Intoduction for Oceanographers
an Remote Sensing Scientist. Ellis Harvar Limited, Chester, England.
Rustadi. 2009. Eutrofikasi Nitrogen dan Fosfor serta Pengendaliannya dengan
Perikanan di Waduk Sermo. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 16(3) : 176-
186
Salmin, 2005. Oksigen Terlarut dan Kebutuhan Oksigen Biologi. Pusat Penelitian
Oseanografi, Jakarta
Samawi, F. 2007. Desain Sistem pengendalian Pencemaran perairan pantai Kota
(studi Kasus Perairan Pantai Kota Makassar). Disertasi. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Samawi, M.F.. 2001 Penuntun Praktikum Kimia Oseanografi. Laboratorium
Oseanografi Kimia. Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin.
Makassar
Septiawan, A.W. 2006. Pemetaan Persebaran Klorofil di Wilayah Perairan Selat
Bali Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh. Skripsi Teknik Geodesi
Institut Teknologi Surabaya. Surabaya
Sidabutar, D. N. R. 2009. Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a dan Transparansi
Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat. Skripsi. Departemen
Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Sihombing, E. N. 2011. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan Serta Hubungannya
dengan Kualitas Air Danau Siais, Kabupaten Tapanuli Selatan. Tesis.
Program Pascasarjana. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Universitas Sumatera Utara, Medan
Silalahi, J. 2009. Analisis Kualitas Air dan Hubungannya dengan Klorofil-a di Teluk
Toli-toli, Sulawesi Utara. Thesis. Sekolah Pascasarjana, Universitas
Sumatra Utara, Medan
Siregar, N. Y. 2002. Pengaruh Pengolahan Limbah Cair Secara Kolam Terhadap
Sifat Fisik dan Kimiawi Dari Air Sumur Gali DI sekitar Pabrik Alumunium
73
Extrusi di Kawasan Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang.
Thesis. Program Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara, Medan
Sitanggang, G, 2010. Kajian Pemanfaatan Satelit Masa Depan: Sistem
Penginderaan Jauh Satelit LDCM (LANDSAT-8). Buletin Dirgantara.
11(2) : 47-58
Sitorus, Mangatur. 2009. Hubungan Nilai Produktivitas Primer Dengan Konsentrasi
Klorofil-a dan Faktor Fisik Kimia di Perairan Danau Toba, Balige,
Sumatera Utara. Tesis. USU. Medan
Soedarti, T., Aristiana, J., Soegianto, A. 2006. Diversitas Fitoplankton pada
Ekosistem Perairan Waduk Sutami, Malang, Universitas Airlangga-
Surabaya, Berk Penel. Hayati. Hal : 97-103
Soeprobowati, T. R. Dan S. W. A. Suedy, 2010. Status Trofik Danau Rawapening dan Solusi Pengelolaanya. Jurnal Sains & matematika. 18 (4): 158-169
Subarijanti. 1990. Limnologi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Brawijaya, Malang
Sugandi, Dede. 2006. Model Pembelajaran Sistem Informasi Geografis di Sekolah
Menengah Atas. Jurnal Geografi GEA. 6(2) : 24-32
Sugiarto dan Dergibson Siagan. 2000. Teknik Sampling, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
Sugiarto dan Dergibson Siagan. 2000. Teknik Sampling, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta, Bandung
Sukandar, Daduk, S., dan Didik, Y. 2005 Diktat Mata Kuliah Pemetaan
Sumberhayati Laut. FPIK, Universitas Brawijaya : Malang.
Sumarno. 2009. Suhu dan Kalor. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Diponegoro
Sunari, 2007. Budidaya Cupang. Ganeca Exact, Jakarta
Suprapto, H., Prihandoko, Kridasantausa, I. 2008. Permodelan System Hybrid
Neuro-Genetik Untuk Estimasi Perhitungan Limpasan dan Sedimentasi.
Proseding Seminar Ilmiah Nasional Komputer dan Sistem Intelijen
(KOMMIT 2008) Universitas Guna Darma Jakarta 20-21 Agustus, Vol 1.
Hal 271- 276.
Suprapto. 2010. Suhu dan Kalor. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Diponegoro
74
Suprayogi, Imam dan Bochari. 2010. Kajian Laju Sedimentasi Waduk PLTA Koto
Panjang dalam Upaya melestarikan Kesinambungan Energi Listrik
Provinsi Riau. Jurnal APTEK. 2(1): 111-116
Surakhmad, Winarno. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar. Bandung : Tarsito
Suroso, Ruslin, A., dan Mohammad C. R. 2011. Studi Pengaruh Sedimentasi Kali
Brantas terhadap Kapasitas dan Usia Rencana Waduk Sutami Malang.
Jurnal Rekayasa Sipil. 1(1) : 33-42
Suryanto, A. M. 2006. Planktonologi (Peranan Unsur Hara bagi Fitoplankton).
Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya, Malang
Suryanto, A. M. dan Umi, H., 2009. Pendugaan Status Trofik dengan Pendekatan
Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sengguruh,
karangkates, Lahor, Wlingi Raya dan Wonorejo, Jawa Timur. Jurnal
Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 1(1) : 7-13
Sutisna, D. H. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius, Yogyakarta
Trisakti, B., Parwati, dan S. Budhiman. 2004. Study of MODIS-AQUA DATA for
Mapping Total Suspended Matter (TSM) in Coastal Waters. Remote
Sensing and Earth Science. Vol. 2 : 1-31
U. S. Geological Survey. 2016. Landsat 8 (L8) Data Users Handbook. Department
of The Interior, Sioux Falls, South Dakota
Utomo, A. G., M. R. Ridho, D. D. A Putranto, dan E. Saleh, 2011. Keanekaragaman
Plankton dan Tingkat Kesuburan Perairan di Waduk Gajah Mungkur.
Bawal. 3(6) : 415-422
Utoyo, B. 2007. Membuka Cakrawaal Dunia. Setia Purnalues, Bandung
Wibowo, A., B. Sumartono, dan W. H. Setyantini. 2004. The application of satellite
data improvement site selection and monitoring shrimp pond culture
case study on Cirebon, Lampung, Jambi, and Jepara Coasts. In
Remote Sensing and Geographic Information System. BPPT. Jakarta.
h16-27
Wirasatriya, A. 2011. Pola distribusi Klorofil-a dan Total Suspended Solid (TSS) di
Teluk Toli-toli, Sulawesi. Buletin Oseanografi Marina. Volume 1137 – 149
Woerd, H dan R. Pasterkamp. 2004. Mapping of The North Sea Turbid Coastal
Waters using SeaWiFS Data. Journal Remote Sensing. Vol. 30 : 44-53
Yetti, E., D. Soedharma, dan S. Haryadi. 2011. Evaluasi Kualitas Air Sungai-sungai
Di Kawasan DAS Brantas Hulu Malang dalam Kaitannya dengan Tata
guna Lahan Dan Aktivitas Masyarakat di Sekitarnya. JPSL. Vol (1): 10-15
75
Yustiani, Y. M., Leony, L. Toru, M., Indrayani, R., Imas, K. 2010. Formulation of
the Untegrated Information System of River Water Quality in the
Cikapundung River, Bandung, Indonesia. International Journal of
Engineering and Technology. 9(1) : 137-142