dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang pada saat ini paling
sering terjadi. Frekuensi kejadian penyakit diabetes melitus sesungguhnya sulit
diperoleh karena perbedaan standar diagnosis, tetapi mungkin antara 1 sampai 2
persen jika hiperglikemi puasa merupakan kriteria diagnosisnya. Penyakit ini
ditandai oleh kelainan metabolik dan komplikasi jangka panjang yang melibatkan
mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Harisson, 2000).
Neofrati diabetikum (ND) merupakan sebuah sindroma klinis yang
ditandai dengan albuminuria persisten (> 300 mg / d atau > 200 mcg / min) yang
dikonfirmasi sedikitnya 2 kali berturut-turut dalam 3-6 bulan terpisah, adanya
penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG), dan peningkatan tekanan daerah arterial
(Soman S. dkk 2005).
Pada tahun 1998, diperkirakan terdapat + 45.000 penderita diabetes
mellitus (DM) di Surabaya (KMS) yang berpenduduk + 3,5 juta, minimal 3 juta
penderita di Indonesia, dan + 140 juta penderita di dunia (Askandar
Tjokroprawiro, 1998). Menurut laporan Askandar Tjokroprawiro (1993) dari 2300
penderita DM rawat jalan (menurut kriteria Surabaya 1986), terdapat prevalensi
nefropati diabetik (ND) sebesar 5,7% hipertensi 12,1 %, dan penyakit jantung
koroner 10,0%.
Prevalensi nefropati diabetik di luar negeri (Deckert 1991) berkisar antara
3-16%. Pandangan baru patogenesis nefropati diabetik melibatkan 8 faktor yang
penting, yaitu hiperglikemia, hipertensi, lolosnya muatan negatif GBM, radikal
bebas, TxB2, sitokin (ET, VPFI, A-II, TGF-B, PDGF), glycated albumin, dan
plasminogen.
Di benua Asia saat ini tengah dilanda epidemik diabetes melitus tipe-2
atau Diabetes Melitus Tak Tergantrung Insulin (DM tipe 2). Hal ini disebabkan
meningkatnya populasi berusia lanjut, prevalensi obesitas, dan perubahan gaya
hidup. IDF mengestimasi sekitar 177 juta orang di seluruh dunia dijangkiti
penyakit ini, dan yang terbanyak adalah tipe 2. Sedangkan, WHO menduga data
tersebut masih meningkat menjadi 300 juta orang dalam 25 tahun ke depan.
Menurut Studi Prevalensi Mikroalbuminuria (MAPS) di Asia, hampir 60
persen penderita hipertensi diabetik tipe-2 menderita nefropati diabetik (dengan
18,8 persen makroalbuminuria dan 39,8 persen mikroalbuminuria). Data tersebut
dipresentasikan pada kongres ke 18 Federasi Diabetes Internasional (IDF – 26
Agustus 2003) di Paris, Perancis.
Hiperglikemia dan hipertensi merupakan 2 faktor penyebab utama
nefropati diabetik. Oleh karena itu, regulasi diabetes dan obat hipotensif akan
memegang peranan yang sangat penting dalam terapi nefropati diabetik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan sekresi insulin, atau fungsi
insulin, ataupun keduanya. Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas,
yang bertanggung jawab dalam mempertahankan kadar gula darah agar tetap
normal. Insulin berfungsi untuk memasukkan gula dari dalam otot ke dalam
jaringan sehingga tubuh dapat menghasilkan energi.
Menurut WHO (World Health Organization), diabetes merupakan penyakit
kronis, yang terjadi apabila pankreas tidak menghasilkan insulin yang adekuat,
atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang
diproduksinya. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi glukosa
dalam darah yang dikenal dengan istilah hiperglikemia.
Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) pada tahun 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki
kadar gula darah puasa >126 mg/dL dan pada waktu 2 jam selepas makan
(postprandial) >200 mg/dL. Kadar gula darah bervariasi pada setiap individu
setiap hari dimana kandungan gula darah akan meningkat jumlahnya setelah
individu tersebut makan dan akan kembali normal dalam waktu 2 jam setelah
makan. Pada keadaan normal, lebih kurang 50% glukosa dari makanan yang
dimakan akan mengalami metabolisme sempurna menjadi karbon dioksida (CO2)
dan air, 10% menjadi glikogen dan 20% sampai 40% diubah menjadi lemak.
Semua proses metabolik terganggu pada penderita diabetes melitus akibat
defisiensi insulin. Penyerapan glukosa ke dalam sel menurun dan metabolismenya
terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada dalam
sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia.
Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula
darah adalah 180 mg% di dalam tubuh sehingga, bila terjadi hiperglikemi maka
ginjal tidak dapat menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah.
Ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar apabila
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, akibatnya glukosa tersebut
diekskresikan melalui urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai dengan
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut dengan
diuresis osmotik. Akibat hal ini, penderita akan mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan sering merasa haus (polidipsi).
2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (1997) dan yang
sesuai anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah:
A. Diabetes melitus tipe 1: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Diabetes melitus tipe 1 adalah ketidakmampuan untuk menghasilkan
insulin karena sel-sel pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Kondisi ini menyebabkan tubuh kekurangan insulin. Glukosa yang berasal
dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam
darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).
Diabetes tipe 1 lebih cenderung terjadi pada usia muda, biasanya sebelum
usia 30 tahun. Pasien dengan diabetes tipe 1 harus bergantung pada insulin
dan pengambilan obat diet kontrol.
B. Diabetes melitus tipe 2: Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus [NIDDM])
DM tipe 2 terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin
(resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin.
Resistensi insulin adalah berkurangnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Dalam hal ini, sel tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin sepenuhnya, sehingga terjadi defisiensi
relatif insulin. Kondisi ini menyebabkan sel mengalami desensitisasi
terhadap glukosa.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan.
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal. Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi diabetes tipe 2.
C. Diabetes Melitus Gestasional (GDM)
Diabetes Melitus Gestasional adalah intoleransi glukosa yang terjadi
pada saat kehamilan. Diabetes ini terjadi pada perempuan yang tidak
menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemi terjadi selama
kehamilan akibat sekresi hormon-hormon plasenta. Sesudah melahirkan bayi,
kadar glukosa darah pada perempuan yang menderita diabetes gestasional
akan kembali normal. Anak-anak dari ibu dengan GDM memiliki risiko lebih
besar mengalami obesitas dan diabetes pada usia dewasa muda.
2.3 Komplikasi Diabetes Melitus
Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan
terjadinya penyakit lain) paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah
yang tinggi secara terus menerus, sehingga mengakibatkan kerusakan pembuluh
darah, saraf dan struktur internal lainnya di dalam tubuh. Zat kompleks yang
terdiri dari glukosa di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh
darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah
akan berkurang, terutama yang menuju kulit dan saraf.
2.4 Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi sistemik diabetes berhubungan dengan deposisi advanced
glycation endproducts (AGE) pada berbagai jaringan terutama sistem
vaskularisasi dan sistem saraf perifer. Perubahan sistem vaskularisasi meliputi
angiopati dan pembentukan atheroma. Perubahan mikroskopis antara lain deposisi
lipida, proliferasi endotel dan pembesaran tunika intima kapiler di seluruh tubuh.
Perubahan makropatologis dapat diamati pada sistem sirkulasi secara esensial
dan berkaitan dengan pembentukan atheroma (atherosklerosis). Atheroma
dihasilkan dari deposisi AGE dan LDL yang berkonsekuensi menimbulkan
kalsifikasi berbagai arteri di dalam tubuh. Atheroma mengakibatkan sirkulasi yang
buruk dan bertanggungjawab atas ulserasi dan gangren pada ekstremitas bawah.
Komplikasi paling parah atheroma adalah adanya miokard infark, hipertensi,
stroke, insufisiensi koroner dan gagal ginjal.
Komplikasi mikrovaskuler yang terjadi melalui akibat DM adalah retinopati
(yang mungkin menyebabkan kebutaan), nefropati (mungkin menyebabkan gagal
ginjal) dan neuropati. Neuropati diabetik berkaitan dengan hiperglikemia dan hal
tersebut terjadi karena meningkatnya absorpsi glukosa oleh sel-sel Schwann.
Beberapa manifestasi klinis yang berhubungan dengan neuropati antara lain nyeri
terbakar, dan rasa baal terutama pada ekstremitas tubuh, kelemahan otot, dan
timbulnya parestesi pada rongga mulut Retina dan mikrosirkulasi glomerulus
ginjal adalah organ yang paling terpengaruh. Retinopati diabetik merupakan
penemuan umum pada pasien diabetes tipe 1 dan kurang terlihat pada pasien
diabetes tipe 2.
Nefropati diabetes adalah penyebab utama pasien diabetes tipe 1 akibat gagal
ginjal. Pasien diabetes tipe 2 juga dapat mengalami penyakit ginjal akan tetapi
prevalensinya lebih rendah.
2.5 Definisi Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput
penyaring darah. Sebagaimana diketahui, ginjal terdiri dari jutaan unit penyaring
(glomerolus). Setiap unit penyaring memiliki membran / selaput penyaring. Kadar
gula darah tinggi secara perlahan akan merusak selaput penyaring ini.
2.6 Gambaran Histologi Nefropati Diabetik
Perubahan utama pada golmerulopati diabetes adalah peningkatan material
ekstraseluler. Abnormalitas nefrologik paling awal pada ND adalah adanya
penebalan dari membran basalis glomerolus (MBG) dan perluasan dari
mesangium akibat penumpukan dari matriks ekstraseluler. Pada gambaran
mikroskop cahaya menunjukkan adanya peningkatan ruang solid dari lempeng,
sering diketahui sebagai percabangan kasar dari material padat (reaksi positif dari
periodic – acid Schiff) yang juga disebut dengan glomerolupati diabetes difus.
Penumpukan aseluler yang banyak diketahui juga pada daerah tersebut. pada
daerah tersebut juga terdapat bagian sirkular yang diketahui sebagai lesi atau
nodul Kimmelstiel – Wilson.
Ukuran glomerolus dan ginjal pada awalnya normal atau meningkat, hal
tersebut inilah yang membedakan antara ND dengan kebanyakan bentuk defisiensi
renal lainnya. Dimana ukuran ginjal berkurang (kecuali amilodisis ginjal dan
penyakit ginjal polikistik). Mikroskop imunoflueresen mungkin bisa menemukan
deposisi dari imunoglobin G disekitar MBG dalam pola yang linear, tetapi hal ini
tidak mempunyai nilai diagnostik maupun imunopatogenik. Deposit imun tidak
dapat diketahui. Secara khas ditemukannya adanya bukti adanya atherosklerosis
pembuluh darah ginjal, dan biasanya disertai hiperlipidemia dan arteriosklerosis
hipertensi.
Mikroskop elektron dapat menyediakan definisi secara lebih detail dari
struktur-struktur yang terlibat. Daerah mesangial menempati proporsi yang lebih
besar dari lempeng jika penyakit berkembang lebih lanjut, dimana isinya adalah
matriks yang prominen. Lebih lanjut, membran basalis pada dinding kapiler
(misalnya pada membran basalis perifer) menjadi lebih tebal dari normal. Derajat
keparahan dari ND dapat diprediksi dari ketebalan membran basalis perifer dan
mesangium serta matriks yang digambarkan sebagai fraksi dari ruang yang sesuai
(misalnya fraksi volume dari mesangium / glomerolus, matriks / mesangium atau
matriks / glomerulus).
Tiga perubahan histologik utama terjadi dalam golmerulus seseorang
dengan ND. Pertama, perluasan mesangial secara langsung dipicu oleh adanya
hiperglikemia, mungkin melalui peningkatan produksi matriks atau glikosilasi dari
protein matriks. Kedua, adanya penebalan MBG. Ketiga, sklerosis glomerular
yang disebabkan oleh hipertensi intraglomerulus (dipicu oleh vasodilatasi renal
atau dari injuri iskemik yang dipicu oleh penyempitan hialin dari pembuluh darah
yang mensuplai darah ke glomerulus). Perbedaan pola histologis tersebut secara
signifikan tampak mempunyai nilai prognosis yang sama.
Bukti ilmiah dari penyebab ND belum diketahui, tetapi dari beberapa
postulasi diduga mekanismenya berasal dari hiperglikemia (menyebabkan
hiperfiltrasi dan injuri renal), terus dihasilkannya produk glikosilasi, dan aktivasi
sitokin. Hipergilkemia meningkatkan transformasi growth factor – beta (TGF
beta) dalam glomerulus dan protein matriks yang secara khusus dipicu oleh sitkon
ini. TGF-beta mungkin juga berperan terhadap adanya hipertrofi seluler maupun
berlanjutnya sintesis kolagen yang diketahui pada seseorang dengan ND.
Hiperglikemia mungkin juga dapat mengaktivasi protein kinase C, yang
dapat berperan terhadap penyakit ginjal dan komplikasi vaskular lainnya.
Selanjutnya adanya penurunan hemodinamik ginjal, pasien-pasien dengan ND
(proteinuria dan penurunan LFG) secara umum berlanjut menjadi hipertensi
sistemik. Hipertensi merupakan efek samping yang merugikan pada hampir semua
penyakit ginjal progesif dan terutama pada ND. Efek merusak dari hipertensi
secara langsung adalah pada vaskular dan mikrovaskular. Keturunan atau
mungkin faktor genetik dapat juga berperan. Pada kelompok etnik tertentu,
terutama Afro-Amerika, keturunan spanyol (hispanic), dan suku India,
mempunyai predisposisi untuk menderita penyakit ginjal akibat komplikasi dari
diabetes (Soman, S.dkk. 2005).
2.7 Patogenesis Nefropati Diabetik
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan
hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada
jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses
hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan
pada ND memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi
mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis
arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai
faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang
menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik
merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan
nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur:
a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan
hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan
asam amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-
products). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada
glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein
kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol
dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim
aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya
kadar inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal.
Gambar 1. Mekanisme poliol pathway
Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang
merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa
NADPH-dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa.
Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive
Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi
sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel,
aktivitas aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH)
yang merupakan tambahan stres oksidatif. Sorbitol dehydrogenase
berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa menggunakan
NAD – sebagai kofaktor
Gambar 2. Mekanisme AGE – pathway
Penjelasan: mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE
(Advanced Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh
darah. Perubahan ikatan kovalen protein intraseluler oleh prekursor
dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan pada fungsi selular.
Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler
mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan
dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor AGE
membentuk rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE, kemudian
menginduksi perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel mesangial,
dan makrofag.
Gambar 3. Mekanisme protein kinase C
Penjelasan: keadaan hiperglikemi menyebabkan peningkatan DAG
(Diacylglicerol), yang selanjutnya mengaktivasi protein kinase C,
utamanya pada isoform β dan δ. Aktifasi PKC menyebabkan beberapa
akibat patogenik melalui pengaruhnya terhadap endothelial nitric oxide
synthetase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular endothelial growth factor
(VEGF), transforming growth factor- β (TGEF- β) dan plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1), dan aktifasi NF-kB dan NAD(P) H oxidase.
Gambar 4. Mekanisme hexosamin pathway
Penjelasan: glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P)
dirubah menjadi glucosamine-6-phosphate oleh enzim glutamin: fructose-
6-phosphate amidotransferase (GFAT). Glikosilasi intraseluler oleh N-
acethylglucosamine (GIcNAC) menjadi serin dan theorenin yang dikalisasi
oleh enzim O-GicNAc transferase (OGT). Peningkatan donasi GicNAC
pada residu serin dan threonine dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang
biasanya terjadi pada tempat fosforilasi akan menyebabkan peningkatan
produksi fakor seperti PAI-1 dan TGF-β1, AZA,azaserine; AS-GFAT,
antisense GFAT.
b. Alur Hemodinamik : Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada
penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan
pada sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan
peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga
berperan dalam perjalanan ND. Angiotensin II berperan baik secara
hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain
merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol
glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks
ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik.
Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas
faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya
gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada
penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih
banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat GGT.
Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih
kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini
hipertensi dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes
ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan
langsung dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat progesivitas ke arah
GGT pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney disease.
Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta yang
akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler.
TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraceluler matrik yang
berperan dalam terjadinya ND.
Peran angiotensin II dalam nefropati diabetik:
1. Vasokonstriksi sistemik
2. Peningkatan tahanan arteriol glomerulus
3. Peningkatan tekanan kapiler glomerulus
4. Peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus
5. Penurunan luas permukaan filtrasi
6. Stimulasi protein matriks ekstraseluler
7. Stimulasi faktor fibrogenik
2.8 Manifestasi Klinis Nefropati Diabetik
Pada DM tipe 1, stadium awal dan stadium nefropatik insipien pasien
dalam keadaan asimtomatik. Bila fungsi ginjal memburuk pasien akan mengalami
bermacam-macam gejala yang disebabkan oleh beberapa organ. Hampir semua
organ tubuh akan menderita akibat akumulasi sisa-sisa metabolik di dalam darah.
Kondisi toksik ini biasanya disebut uremia.
Gejala-gejala gastrointestinal yang disebabkan oleh uremia adalah
anoreksia, nausea, hiccup dan muntah. Retensi cairan pada mulanya akan
menyebabkan berat badan bertambah dan bilamana tidak diobati akan
menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema paru.
Gangguan neurovaskular sering didapat, seperti gangguan konsentrasi,
gangguan kesadaran dan perilaku dan yang lebih berat dapat mengalami kejang
dan koma. Ketidak mampuan ginjal untuk mensitesa eritropoetin dapat
menyebabkan anemia dan kelelahan. Nefropati diabetik yang sebenarnya, sering
juga terjadi pada DM tipe 2 tetapi sebelum stadium ini terjadi, pasien lebih sering
sudah meninggal karena gangguan kardiovaskuler, sebelum mencapai gagal ginjal
terminal (Soegondo, Sidartawan, dkk. 1995).
2.9 Prediktor Nefropati Diabetik
Selama dekade ini banyak usaha dilakukan untuk melakukan identifikasi
kelompok pasien yang dikemudian hari akan mengalami nefropati diabetik dan
akan mendapat manfaat bila dilakukan terapi dini.
Prediktor yang sampai saat ini telah diteliti adalah : Mikroalbuminuria,
hiperfiltrasi, hipertensi dan kontrol glukosa darah yang buruk. Prediktor ini masih
belum baku dan masih memerlukan banyak penelitian lanjutan. Penelitian yang
dilakukan terhadap prediktor ini sebagian besar dilakukan pada diabetes tipe I,
dan sedikit sekali pada diabetes tipe II. Kombinasi dari beberapa faktor prediksi
terjadinya nefropati akan lebih prediktif daripada satu faktor prediksi tunggal
(Askandar Tjokroprawiro, 1999).
1. Mikroalbuminuria
Mikroalbuminuria adalah prediktor yang paling banyak diteliti dan
merupakan kelainan klinis yang terjadi paling dini (kecepatan eskresi albumin
antara 30 – 300 mg / 24 jam atau 20 – 200 mikrogram / menit)
Pada DM tipe 1, mikroalbuminuria merupakan prediktor yang sangat
penting bagi progresifitas nefropati diabetik. Terdapat beberapa bukti bahwa
mikroalbuminuria memprediksi proteinuria klinis dan peningkatan angka
kematian pada DM tipe 2, walaupun korelasi belum terbukti benar sehingga masih
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memantapkan reabilitas mikroalbuminuria
sebagai petanda tunggal untuk nefropati diabetik klinis bagi DM tipe 2.
Mikroalbuminuria telah dilaporkan sebagai prediktor terjadinya proteinuria klinis
pada 22% pasien DM tipe 2, dibandingkan dengan 87,5% pada DM tipe 1. Pada
DM tipe 2, proteinuria walaupun pada stadium mikroalbuminuria pun sudah
merupakan prediktor mortalitas yang kuat. “Survival rate” 10 tahun untuk pasien
dengan mikroalbuminuria pada saat penelitian dilaksanakan adalah 22,4%,
sedangkan 57,3% dari pasien yang tidak terdapat mikroalbuminuria masih hidup
pada saat itu. Sebagian besar kematian disebabkan oleh kelainan kardiovaskuler
dan hanya 5% yang meninggal karena uremia. Mikroalbuminuria pada DM tipe 2
sudah dapat ditemukan pada saat diagnosis ditegakkan, sedangkan pada DM tipe 1
baru sesudah 10 – 15 tahun kemudian.
Mogensen, memakai kombinasi mikroalbuminuria dengan peningkatan
GFR (lebih dari 150 ml / menit) dan hipertensi (tekanan diastolik lebih dari 90
mmHg) sebagai indeks prediktif bagi pasien DM tipe 2.
2. Hiperfiltrasi
Hiperfiltrasi biasanya banyak didapat pada waktu diagnosis ditegakkan
dan mempunyai pengaruh yang penting pada patogenesis nefropati diabetik.
Tetapi, tidak semua pasien dengan hiperfiltrasi berkembang menjadi nefropati
diabetik sehingga prediktor ini jangan digunakan sendiri. Selby, menyatakan
bahwa nilai prediktif pada pasien DM tipe 2 tidak meyakinkan karena terutama
pada orang tua dengan DM tipe 2 ekskresi albumin abnormal melalui urin dapat
terjadi tanpa diabetes sehingga skrining pada pasien seperti ini tidak dianjurkan.
3. Hipertensi
Pada DM tipe 2 tekanan darah sering sudah meningkat pada waktu
diagnosis ditegakkan. Hipertensi yang sudah terjadi pada saat ini tidak merupakan
suatu prediktor untuk terjadinya nefropati seperti yang didapat pada penelitian
cohort pada DM tipe 2 di Rochester, tetapi sebaliknya penelitian pada suku Indian
Pima hipertensi dilaporkan, dapat merupakan faktor prediksi terjadinya nefropati.
Setelah terjadi mikro-albuminuria tingginya tekanan darah dan kecepatan ekskresi
albumin untuk DM tipe 1 dan DM tipe 2 hampir sama. Tingginya tekanan darah
merupakan prediktor progresivitas terjadinya nefropati klinis pada pasien DM tipe
1 dengan menurunkan tekanan darah mikroalbuminuria juga akan mengalami
penurunan secara nyata. Pada seseorang dengan diabetes yang sebelumnya
normotensif dan kemudian menderita hipertensi, dapat merupakan tanda
permulaan kelainan ginjal padanya. Penurunan tekanan darah sesudah keadaan ini
merupakan usaha yang terpenting untuk mencegah terjadinya kemunduran fungsi
ginjal. Pada pasien dengan tekanan diastolik 90 mmHg didapat proteinuria yang
persisten 2,5 kali lebih sering daripada mereka dengan tekanan diastolik 70
mmHg.
4. Hiperglikemi
Hipergilkemia juga merupakan faktor risiko terjadinya nefropati diabetik
pada DM tipe 1 yang terbukti dengan penelitian-penelitian, sedang pad DM tipe 2
bukti-bukti penelitian sangat sedikit. Dalam penelitian epidemiologi secara
longitudinal kontrol kadar glukosa darah yang buruk merupakan prediktor
terjadinya nefropati diabetik secara klinis baik pada DM tipe 2 maupun DM tipe
1. Bila sudah terjadi nefropati diabetik secara klinis kontrol glukosa darah tidak
akan efektif memperbaiki albuminuria atau mencegah penurunan GFR menjadi
gagal ginjal terminal.
Pada Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yang dilakukan di
Amerika utara selama 10 tahun sejak 1982 pada 1441 pasien DM tipe 1, berumur
antara 13 dan 39 tahun, dengan lama penelitian antara 3-9 tahun, baru selesai
dilaporkan pada bulan Juni 1993, telah dibuktikan bahwa kontrol glukosa darah
yang baik akan mencegah dan mengurangi komplikasi diabetes, termasuk
nefropati (35 – 50%). Penelitian ini dilakukan khusus pada pasien dengan DM
tipe 1 sehingga perlu penyesuaian khusus untuk pasien DM tipe 2 karena rasio
benefit-risiko tidak sebaik bila dibandingkan DM tipe 1.
2.10 Diagnosis Nefropati Diabetik
Setiap pasien diabetes dengan proteinuria dan peningkatan kreatinin serum
harus dilakukan evaluasi yang teliti untuk mengeliminasi sebab lain terjadinya
gagal ginjal. Nefropati diabetes tidak akan terjadi tanpa retinopati. Jadi bila pada
pemeriksaan oleh dokter spesialis mata tidak ditemui adanya kelainan ini, maka
perlu dicari sebab lain dari gagal ginjal. Demikian pula dengan proteinuria, tanpa
keberadaannya, diagnosis tidak dapat dibuat.
Terdapat beberapa cara untuk melakukan penyaringan mikro-albuminuria.
Cara yang mudah dan dapat dipertanggung jawabkan adalah dengan memeriksa
albumin dalam urin pertama pada pagi hari. Kadar albumin pada keadaan ini
cukup menggambarkan kecepatan eksresi seperti pada ekskresi semalam
(overnight). Tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa rasio albumin dan
kreatinin lebih baik daripada pemeriksaan urin pagi hari. Memang pemeriksaan
rasio akan mengurangi faktor jumlah urin, tetapi biasanya jumlah urin malam hari
tidak banyak dan biasanya konstan.
Seseorang dikatakan sebagai proteinuria positif bila kadar protein dalam
urin adalah lebih dari 300 mg/hari dan dikatakan sebagai mikroalbuminuria positif
bila kadar protein / albumin 30-300 mg/24 jam atau 20-200 ug/menit
Diagnosis PGK mengacu pada kriteria K/DOQI didasarkan atas 2 kriteria,
yaitu:
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau
tanpa penurunan penurunan laju filtrasi glomerolus berdasarkan kelainan patologik
atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada komposisi darah atau urin atau
kelainan pada pemeriksaan pencitraan.
2. Laju filtrasi glomerolus < 60 ml/min/1,73 m3 selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal. PGK diklasifikasikan berdasarkan oleh laju filtrasi glomerolus,
yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerolus yang
lebih rendah, berdasarkan ada atau tidaknya penyakit ginjal.
2.11 Klasifikasi Nefropati Diabetik
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes mellitus oleh
Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan (Soman, S. dkk. 2005).
Tahap 1
Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi
glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat. Pada tahap ini LFG
meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai pembesaran ukuran
ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih
reversible dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan.
Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi maupun
struktur ginjal akan normal kembali.
Tahap 2
Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, terjadi setelah 5 -10 tahun
diagnosis DM tegak, laju filtrasi glomerulus (LFG) tetap meningkat, eksresi
albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Albuminuria hanya akan meningkat
setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk.
Keadaan ini dapat berlangsung lama. Terdapat perubahan histologis awal berupa
penebalan membran basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan
volume mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks mesangium). Hanya
sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan
memburuknya kendali metabolik. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (silent
stage).
Tahap 3
Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipen. Laju filtrasi
glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju eksresi
albumin dalam urin adalah 20-200 ig/menit (30-300 mg/24 jam). Tekanan darah
mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membran
basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
Tahap 4
Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas,
juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering
ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10
ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya
tekanan darah.
Tahap 5
Natural History of Diabetic Nephropathy
Designation CharateristicsGPR
(ml/min)Albumin Excretion
Blood Pressure
Stage 1Hyperfunctio
n and Hypertrophy
Glomenular Hyperfiltration
Icreased in Type 1 and
Type 2
May be increased
Type 1 normal Type 2 normal hypertension
Stage 2
“Silent” stage Thickened BM Expanded
Mesangium
Normal Type 2 normal Type 3 may
be < 30 – 300 mh/24 hr
Type 1 normal Type 2 normal hypertension
Stage 3
Incipient Diabetes
Microalbuminuria
GPR begins to fall
30 – 300 mg/24 hr
Type 1 increased
Type 2 normal hypertension
Stage 4Overt
Diabetic Nephropathy
Macroalbuminuria
GPR below NI
> 300 mg/24 hr
Hypertension
Stage 5 Uremia ESRD 0 – 10 Decreasing Hypertension
3 Pemeriksaan Laboratorium :
Uniralisis
Pemeriksaan urinalis rutin dianjurkan untuk skrining mikroalbuminuria.
Secara khas, proteinuria hasil pemeriksaan urinalisis dari seorang
pasien dengan ND berkisar dari 150 mg/dL sampai lebih besar dari 300
mg/dL, glukosuria, dan kadang-kadang benda hialin.
Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai eksresi albumin lebih dari 20
mcg/min. Fase ini menunjukkan ND insiepien dan perlu
penatalaksanaan agresif, di mana pada stage ini penyakit ini masih
reversibel.
Pemeriksaan urin tampung 24 jam untuk ureum, kreatinin, dan protein
secara signifikan sangat berguna untuk mengukur jumlah kehilangan
protein dan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).
Pemeriksaan urin secara mikrokopis dapat membantu menyingkirkan
gambaran nefritis, yang dapat digunakan juga untuk mengingkirkan
golmerulopathi primer yang lain, terutama pada penurunan fungsi ginjal yang
cepat (misalnya pada rapidly progressive glomerulonephritis).
4 Pemeriksaan Radiologis :
USG ginjal
Untuk mengetahui ukuran ginjal, yang biasanya normal sampai
meningkat pada stage awal dan lanjut, menurun atau menyusut pada
penyakit ginjal kronis.
Untuk menyingkirkan adanya sumbatan.
Memungkinkan dilakukannya pemeriksaan ekhogenisitas untuk
penyakit ginjal kronis.
5 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan nefropati diabetik adalah yang pertama, regulasi gula
darah dapat menggunakan obat oral diabetik atau obat hipoglikemi oral dan juga
pilihan menggunakan insulin (Soegondo, Sidartawan, dkk. 1995).
Pengendalian glukosa darah
Baik pada penderita diabetes tipe 1 maupun tipe 2, hiperglikemia telah
diketahui sebagai faktor utama dari progresivitas ND.
Telah diketahui bahwa terapi intensif secara parsial dapat mencegah
hipertrofi dan hiperfiltrasi glomerulus, menunda berlanjutnya
mikroalbuminuria, dan menstabilkan bahkan menurunkan kadar
protein pada pasien-pasien dengan mikroalbuminuria.
Hasil dari resipien transplantasi pankreas di mana euglikemia
sesungguhnya tercapai menunjukkan bahwa kontrol metabolik dan
kontrol gula darah secara ketat dapat memperlambat tingkat
progresivitas injuri ginjal meskipun pada hasil pemeriksaan proteinuria
secara dipstik masih positif.
Pada penderita diabetes tipe 2, berkurangnya komplikasi
mikrovaskular pada pasien-pasien yang menerima terapi insulin secara
intensif adalah lebih kecil bila dibandingkan dengan pasien-pasien
dengan diabetes tipe 1 dalam penelitian Kontrol dan Komplikasi
Diabetes. Pada sebuah analisis outcome dan cost-effective dari United
Kingdom Prospective Diabetes Study, peneliti menyimpulkan bahwa
pengendalian kadar glukosa darah secara intensif pada pasien-pasien
diabetes tipe 2 secara signifikan berakibat pada peningkatan biaya
tetapi secara substansial menurunkan biaya akibat komplikasi dan
bertambahnya waktu terbebas dari komplikasi yang ditimbulkan.
Pengobatan dengan obat antihipertensi
Dilaporkan oleh Mogensen bahwa pengobatan dengan obat
antihipertensi dapat mengurangi tingkat penurunan fungsi ginjal pada
pasien-pasien dengan diabetes tipe 1, hipertensi, dan proteinuria.
Secara signifikan terutama bila penurunan tekanan darah sistemik
diikuti dengan penurunan tekanan kapiler glomerulus.
Pada umumnya, terapi dengan obat antihipertensi, merupakan obat
yang diharapkan dapat memperlambat berkembangnya glomerulopathi
diabetic, meskipun demikian, ACE inhibitor diketahui lebih superior
dalam memberi proteksi jangka lama meski dibandingkan dengan
tripel terapi dengan reserpin, hidralazin, dan HCT atau CCB
(nifedipine). Selanjutnya keuntungan efek kardiovaskuler, ACE
inhibitor juga diketahui mempunyai efek menguntungkan yang
signifikan terhadap retinopathi diabetic dan perkembangan dari
retinopathi proliferatif.
ACE inhibitor diketahui dapat menunda perkembangan nefropati
diabetic. Pada panelitian terhadap ACE inhibitor, hanya 7% pasien
dengan mikroalbuminuria yang berlanjut menjadi nefropati. Efek
menguntungkan dari ACE inhibitor diabetic terhadap pencegahan
progresivitas mikroalbuminuria pada nefropati diabetic adalah
berlangsung selama 8 tahun dan berhubungan dengan preservasi LFG
yang normal.
Dampak ACE inhibitor pada pasien dengan mikroalbuminuria pada
diabetes tipe 2 juga diteliti. Pengobatan dengan ACE inhibitor selama
12 bulan secara signifikan dapat menurunkan MAP dan jumlah eksresi
albumin lewat urin pada pasien diabetes tipe 2 dengan
mikroalbuminuria.
Pasien diabetes tipe 2 normotensi dengan mikroalbuminuria yang
mendapat enalapril atau placebo selama 5 tahun. Dari pasien, 12%
pasien yang sedang dalam pengobatan aktif diketahui mengalami
nefropathi diabetes, dengan tingkat poenurunan fungsi ginjal 13% dan
pasien yang menerima placebo diketahui 42% menderita nefropathi.
Obat – obat Angiotensin receptor blocking (ARB) juga dipercaya
mempunyai efek menguntungkan yang sama dengan ACE inhibitor.
Pengobatan jangka lama dengan ACE inhibitor, biasanya dikombinasi
dengan diuretic, emnurunkan tekanan darah dan albuminura dan
menjaga fungsi ginjal pada pasien – pasien dengan hipertensi, IIDM,
dan nefropathi. Efek menguntungkan pada fungsi ginjal juga
dilaporkan pada pasien dengan normotensi, IDDM, dan nefropathi.
Sebuah penelitian meta analisi melaporkan bahwa ACE inhibitor lebih
superior dibandingkan dengan beta blocker, diuretic, dan CCB dalam
menurunkan askresi albumin urin pada pasien normotensi dan
hipertensi baik pada pasien diabetes tipe 1 maupun tipe 2.
Intake diit protein : sebuah penelitian meta analisi meneliti efek
pembatasan proein (0,5 – 0,85 gram/KgBB/hari) pada pasien diabetes
diduga mempunyai egek menguntungkan terhadap LFG, kliren kreatinin,
dan albuminura. Walaupun, masih perlu dilakukan pnelitian prospekif
lebih lanjut dalam jangka waktu lama untuk mengetahui keamanan
(safety), efikasi, dan pengaruhnya dengan pembatasan protein pada pasien
dengan netropati.
Terapi spesifik : termasuk modifikasi atau pengobatan factor risiko seperti
hiperlipidmia, rokok dan hiprertensi.
Terapi pengganti ginjal (rena replacement therapies) seperti hemodialisa,
diaokisa, peritoneal, transplantasi ginjal, atau kombinasi transplantasi
ginjal – pankreas. Secara prisnsip, pasien – pasien dibtes memrlukan terapi
pengganti mempunyai 4 pilihan terapi sebagai berikut, yaitu :
1. Pengehentian pengobatan uremia lebih lanjut, akiba tpenurunan
kesehatan umum secara progresif dan bahkan berakibat pada
kematian.
2. Dialysis peritoneal
3. Hemodialisa
4. Transplantasi ginjal
Pengobatan Bedah
Terapi bedah pada pasien ND biasanya terbatas pada penanganan yang
berhubungan dengan komplikasi seperti ulkus diabetes atau penyakit
vaskuler perifer.
Sebuah kreasi dini tekhnik pembedahan fitsula arteriovenosa atau graft
juga menjadi bagian penting pengobatan untuk penyakit ginjal terminal
yang berhubungan dengan ND, seperti halnya pada kebanyakan
penyakit ginjal.
Diet :
American Diabetic Association (ADA) menyarankan makanan dengan
intake kalori yang beragam (nilai kalori), tergantung pada pasien.
Dengan berlanjutnya penyakit ginjal, pembatasan protein sebanyak 0,8
– 1 gram/KgBB/hari dapat memperlambat progresivitas netropahti.
Ketika nefropathi berlanjut, diit harus menggambarkan kebutuhan
fosfor dan pembatasan natrium, dengan menggunakan pengikat fosfat.
Aktifitas : Tidak diperlukan pembatasan aktivitas bagi pasien dengan ND,
kecuali jika terdapat komplikasi diabetes sperti dihubungkan dengan
penyakit koroner atau penyakit vaskuler perifer.
DAFTAR PUSTAKA
Askandar Tjokroprawiro (1993). Gigulochips (Sindrome – 110: Faktor – faktor Penentu Kualitas Pembuluh Darah (Aspek Klinik Resistensi Insulin). Pada : Simposium Cardiology Update III. Jakarta, 14 – 15 Mei 1993
Aslkandar Tjokroprawiro (1993). Diabetes Mellitus : Perkembangan Mutakhir (DM – Tipe X – LADA - “DM Tipe 11/2 – Regulasi Cepat – TKOI, GIGULOCHIPS,dll)”. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan VIII Surabaya, 11 Spetember 1993, hlm 1.
Askandar Tjokroprawiro (1993). Dislipidemia – Lipid Triad (Pengelolaan Masa Kini). Simposium Dislipidemia. Surabaya, 4 Desember 1993.
Askandar Tjokroprawiro (1994), Diabetic Nephropathy. A rowing Health Care Problem. Symposium on Diabetic Nephropathy : Could we Improve the Clinical Outcomes, Surabaya, 9 May, 1994.
Askandar Tjokroprawiro (1995). penyakit Kardiovaskur – Metabolik (Peran Sindroma – 23 : Nefropati Diabetik). KOPAPDI – X Padang 23 – 27 Juni 1995.
Askandar Tjokroprawiro, Soewanto (1994). Update in Diabetic Nephropathy (Clinical Experimences in Surabaya). Symposium : The Paradigsm of Diabetic Nephropathy and Nephrocardiology in NIDDM. Bandung, 9 – 10 November 1996
Askandar Tjokroprawiro (19960. Diabetes Upadate 1996 A & B. Kapita Slekta dan Topik Khusus : Nefropati Diabrtik. SDU – I (Surabaya Diabetes Update – I). surabaya 16-17 November 1996
Askandar Tjokroprawiro (1997). GULOCH-CISAR : SYNDROME – 10. (Ten Guidindes for Healthy Life). Symposium : Challenge in the Management of Hypercholesterolemia. Surabaya, 9 March 1997.
Askandar Tjokroprawiro (1998). Obat Anti Agregasi Trombosit : Apek Klinik (Peran Cilostozal). Simposium Komlpikasi Vaskuler Diabetik Medan, 22 Maret 1998.
Askandar Tjokroprawiro (1999). Diabetes Update – 1999. Presented at : Surabaya Diabetes Update – VI. Surabaya, 13-14 November 1999.
Anonim, Nefropathi Diabetik, www.menicastore.com/info_penyakit/detil_peny.htm,Diakses pada 1 November 2006
Bates Barbara, A Guide to Physical Examination and History Taking, Six Edition. J. B. Lippincott Company. Philadelphia. 1995.
Foster, Daniel W. Daniel W. Diabetes Mellitus dalam Harisson prinsip – prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13. Vol 5. EGC. Jakarta. 2000.
Guntur, Pedoman Diagnosis dan Terapi Protap IPD FK UNS RSUD dr. Moerwadi, SMF Ilmu Pnyakit Dalam. 2004.
Mubin Halim, Panduan Praktis Ilmu penyakit Dalam Diagnosis dan Terpai. Penerbit EGC. Jakarta. 2001.
Mansjoer Arif Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Edisi Ketiga, Penerbit Media Aesculapsius FK UI, Jakarta, 2001.
Noer Sjaifoellah, Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi Ketiga. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 1996.
Soman S, Soman A, Brosius F, et al : Diabetic nephropathy. Http // www.eMedicine.Com. 2005.
Soegondo, Sidartawan Et all. Diabetes Mellitus Penatalaksaan Terpadu. Pusat Diabetes dan Lipid RSCM FK UI. Penerbit FK UI. Jakarta. 1995.