dm1.docx

41
Pen dahuluan Setelah makan, nutrien yang masuk diserap dan masuk ke dalam darah. Selama periode ini, glukosa berlimpah dan berfungsi sebagai sumber energi utama. Terdapat hormon yang disekresi oleh pankreas yaitu insulin. Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan asam amino darah serta mendorong penyimpanan bahan-bahan tersebut. Insulin mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan mendorong penyerapan glukosa oleh sel dari darah untuk digunakan dan disimpan. Insulin merupakan satu-satunya hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. Akan tetapi apabila terdapat gangguan pada insulin, maka metabolisme glukosa tersebut terganggu dan menyebabkan gangguan yang dinamakan diabetes mellitus tipe 2. 1 Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai diabetes melitus tipe 2 dalam hal anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, working diagnosis, differential diagnosis, etiologi, epidemiologi, manifestasi klinik, patofisiologi, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, pencegahan. Dengan demikian, penatalaksanaan kasus diabetes melitus tipe 2 dapat dilaksanakan dengan baik. 1

Upload: ryan-gustomo

Post on 07-Nov-2015

16 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

dm1.docx

TRANSCRIPT

Pen dahuluanSetelah makan, nutrien yang masuk diserap dan masuk ke dalam darah. Selama periode ini, glukosa berlimpah dan berfungsi sebagai sumber energi utama. Terdapat hormon yang disekresi oleh pankreas yaitu insulin. Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan asam amino darah serta mendorong penyimpanan bahan-bahan tersebut. Insulin mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan mendorong penyerapan glukosa oleh sel dari darah untuk digunakan dan disimpan. Insulin merupakan satu-satunya hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. Akan tetapi apabila terdapat gangguan pada insulin, maka metabolisme glukosa tersebut terganggu dan menyebabkan gangguan yang dinamakan diabetes mellitus tipe 2.1 Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai diabetes melitus tipe 2 dalam hal anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, working diagnosis, differential diagnosis, etiologi, epidemiologi, manifestasi klinik, patofisiologi, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, pencegahan. Dengan demikian, penatalaksanaan kasus diabetes melitus tipe 2 dapat dilaksanakan dengan baik.

AnamnesisHal yang dapat ditanyakan adalah mengenai keluhan utamanya yaitu lemas sejak 2 minggu lalu. Selain itu bisa ditanyakan juga mengenai onest gejala bisa bertahap dimulai dari haus dan poliurua. Tanyakan juga adakah gejala lain diantaranya adalah sesak napas, nyeri abdomen, mengantuk, bingung. Tanya pula adakah tasa lapar, gelisah, ingin pingsan, takikardi, berkeringat, dan berbagai gejala neurologis seperti nyeri kepala dan defisit neurologis.2Dalam riwayat penyakit dahulu, ditanyakan apakah pasien diketahui mengidap diabetes? Bagaimana manifestasinya dan apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan kontrol: frekuensi pemeriksaan urin, tes darah, HbA1C, dan kesadaran akan hipoglikemi? Tanyakan pula mengenai komplikasi sebelumnya. Adakah riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemi/hiperglikemi? Adakah penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit vaskular perifer (klaudikasio, nyeri saat istirahay, ulkus, perawatan kaki, impotensi), neuropati perifer, neuropati otonom (gejala gastroparesis-muntah, kembung, diare). Adakah retinopati, hiperkolesterolemia, hipertrigliserida, disfungsi ginjal, hipertensi dan terapi, dan aktivitas olahraganya?2Dalam riwayat obat-obatan, tanyakan apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-obat hipoglikemia oral, atau insulin? Tanyakan mengenai obat yang bersifat diabetogenik (misalnya kortikosteroid, siklosporin)? Tanyakan apakah ada riwayat merokok atau penggunaan alkohol? Apakah pasien memiliki alergi?Apakah menjalani terapi suntik insulin? Siapa yang memberikan suntikan insulin?2Pada riwayat keluarga dan sosial, tanyakan pula adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga? Apakah diabetes mempengaruhi kehidupan?2

Pemeriksaan FisikPemeriksaan yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga kesadaran pasien. Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-tanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh yang normal adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari mendekati 37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a. radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-100 kali permenit. Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.3Selain itu, lakukan pemeriksaan vaskularisasi perifer yaitu apakah nadi teraba, atau bruit? Pemeriksaan kaki juga dilakukan untuk melihat ulkus, selulitis, neuropati (sensasi raba halus), tusuk jarum, monofilamen, rasa getar, rasa posisi sendi, refleks, dan neuropati otonom. Periksa mata untuk ketajaman penglihatan dan respons pupil.2Hasil pemeriksaan fisik pasien menunjukkan keadaan umum baik, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, suhu normal, frekuensi napas 16x/menit. Selain itu terdapat bercak hiperpigmentasi pada lipatan leher dan ketiak.

Pemeriksaan PenunjangDarah rutinPemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:41. Hemoglobin (Hb): Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan makanan atau minuman. Selain itu, turniket yang terpasang harus kurang dari satu menit. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Kadar normal Hb adalah pria dewasa: 13.5-17 g/dl, wanita dewasa: 12-15 g/dl.2. Hematokrit (Ht): Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan makanan atau minuman. Selain itu, turniket yang terpasang harus kurang dari dua menit. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Kadar normal Ht adalah pria dewasa: 40-54%, wanita dewasa:36-46%3. Sel darah putih (Leukosit): Untuk mengkaji nilai sel darah putih adalah dari hitung darah lengkap. Hal ini dilakukan untuk menentukan adanya infeksi. Jumlah normal sel darah putih adalah dewasa: 4500-10000 l4. Trombosit: Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan makanan atau minuman. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Jumlah normal trombosit adalah dewasa: 150000-400000 l

Gula DarahKadar glukosa darah serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dl. Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl, sedangkan hipoglikemia bila kadarnya lebih rendah dari 70 mg/dl. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hampir semuanya direabsorbsi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160 sampai 180 mg/dl. Jika konsentrasi serum naik melebihi kadar ini, glukosa tersebut akan keluar bersama urin, dan disebut glikosuria.5Kadar Gula darah sewaktu pasien adalah 252 mg/dl. Hemoglobin A1C (HbA1C)A1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai glikohemoglobin yang merupakan komponen kecil hemoglobin, bersifat stabil dan terbentuk secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin dan glukosa. Reaksi non-enzimatik ini berlangsung terus-menerus sepanjang umur eritrosit (kira-kira 120 hari), sehingga eritrosit tua mengandung A1C lebih tinggi daripada eritrosit muda. Proses glikosilasi non-enzimatik ini dipengaruhi langsung oleh kadar glukosa darah. Karena eritrosit bersifat permeabel dilalui glukosa maka pengukuran kadar A1C mencerminkan keadaan glikemik selama masa 120 hari.6Berdasarkan waktu paruh A1C yang lamanya sekitar setengah dari masa hidup eritrosit yaitu 60 hari, maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk memantau keadaan glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lampau. Nilai normal kadar A1C adalah 5-8% dari kadar Hb total. Pada penderita DM dengan hiperglikemia kronik, jumlah protein yang terglikosilasi (A1C) akan meningkat. Pemeriksaan A1C digunakan untuk menilai efek perubahan pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan sedikitnya 2x dalam setahun.6Kadar HbA1C pasien adalah 10%. Glukosa UrinPemeriksaan glukosa urin merupakan pemeriksaan yang kurang akurat karena tidak semua peningkatan kadar glukosa darah akan disertai dengan terjadinya glukosuria. Pemeriksan glukosa urin hanya dilakukan pada penderita yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah.6Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)TTGO telah digunakan untuk mendiagnosis diabetes awal secara pasti, namun tes ini tidak dibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan manifestasi klinis diabetes dan hiperglikemia.5Cara pelaksanaan TTGO adalah:3 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelim pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa konsentrasi gula darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokokHasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:3 < 140 mg/dl normal 140 - 200 mg/dl diabetesHomeostasis Model Assessment-Estimated Insulin Resistance (HOMA IR)HOMA IR sekarang sudah banyak digunakan untuk memperkirakan resistensi insulin dalam penelitian. Dibandingkan dengan metode gold standard euglemic clamp untuk mengukur resistensi insulin, pengukuran menggunakan HOMA IR lebih mudah. HOMA-IR dihitung mengalikan insulin plasma puasa (FPI) dengan glukosa plasma puasa (FPG), kemudian dibagi dengan constanta 22,5. HOMA-IR= (FPIxFPG)/22,5. Metode ini sudah digunakan oleh semua etnis. Satu studi mengatakan bahwa range normal HOMA-IR pada kaum Hispanic sehat mungkin lebih tinggi dari Kaukasian di Amerika tengah dan utara, dan memang populasi ini terkenal memiliki potensi genetik DM 2, yang dekat kaitannya dengan resistensi insulin.7 Variabel berikut termasuk dalam risiko: jenis kelamin, usia, BMI, rasio pinggang/panggul, FPG, tekanan darah, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, rokook, tingkat edukasi, riwayat hepatitis, kadar lipid puasa (trigliserid, kolesterol total, HDL, dan LDL), dan serum transaminase (ALT dan AST). Insulin diukur dalam serum beku di -80oC dalam 1 jam setelah pengambilan sampel. Sekumpulan insulin diukur menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay insulin kit menggunakan kurva standard dilengkapi dengan kit.7Dalam hasil, direkomendasikan menggunakan nilai HOMA-IR dari orang Mexico yaitu HOMA-IR 3,80 sebagai high memiliki korelasi jelas dengan resistensi insulin.7

Working DiagnosisDiabetes Melitus Tipe 2 (DM2)

Gambar 1. Alogaritma pendekatan diagnosis diabetes melitus.6Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakau bahan darah utuh, vena, maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.3PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas Dm terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala kjas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM dapat melalui cara berikut:31. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.2. Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma > 126 mg/dL (7 mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.Pemerikaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: 1) aktivitas fisik kurang, 2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative), 3) masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native American, Asian American, Pasific Islander), 4) Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau riwayat diaberes melitus gestasional (DMG), 5) Hipertensi, 6) Kolesterol HDL 250 mg/dL, 7) wanita dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat toleransi glukosa terganggu atau gula darah puasa terganggu, 9) keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis nigrikans, dan 10) riwayat penyakit kardiovaskular.3 Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risisko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan penunjang ulang dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien.3Pada pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.3Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT), dan gklukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya akan kembali normal. Adanya TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.3Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.3Tabel 1. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL).3Bukan DMBelum Pasti DMDM

Konsentrasi glukosa darah sewaktuPlasma vena200

Darah kapiler200

Konsentrasi glukosa darah puasaPlasma vena126

Darah kapiler100

Differential DiagnosisMaturity-Onset Diabetes of the Young (MODY)Dua persen hingga 5% pasien diabetes tidak dapat secara jelas dimasukkan ke dalam fenotipe diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan dikatakan mengidap MODY. Pada para pasien ini, terjadi defek primer di fungsi sel b yang terjadi tanpa kerusakan sel b, tetapi mengenai massa sel b dan/atau produksi insulin. Kini menjadi jelas bahwa MODY adalah hasil akhir dari berbagai kelompok defek genetik yang ditandai oleh defek monogenik yang diwariskan secara dominan autosom, dengan tingkat penetrasi tinggi, awitan dini, biasanya sebelum usia 25 tahun, berbeda dengan usia 40 tahun bagi kebanyakan pasien diabetes tipe 2, tidak adanya obesitas, dan tidak adanya autoantibodi sel islet dan sindrom resistens insulin.8 Sejauh ini, diketahui enam defek genetik berbeda. Glukokinase, yang diperkirakan berperan dalam MODY2, mengkatalisis pemindahan fosfat dari ATP ke glukosa, yang merupakan reaksi pertama dan penentu kecepatan dalam metabolusme glukosa. Glukokinase yang diekspresikan di sel b pankreas mengontrol influks glukosa dengan mengendalikan pemasukannya ke dalam siklus glikolitik, yang akhirnya dapat menimbulkan sekresi insulin, Mutasi inaktivasi pada enzim ini meningkatkan ambang untuk pelepasan insulin sehingga derajat hiperglikemua hanya disertai sekresi insulin yang rendah dan akhirnya terjadi peningkatan sedang glukosa darah. Pernah dilaporkan mutasi aktivasi yang menyebabkan aktivitas enzim bergeser ke arah yang berlawanan, berupa peningkatan sekresi insulin pada kadar glukosa yang lebih rendah sehingga terjadi keadaan hipoglikemia kronik dan hiperinsulinisme. Sisa 5 gen lainnya yang dapat menyebabkan munculnya MODY adalah faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi insulin di sel b dan massa sel b; IPF-1 juga berperan sentral dalam pembentukan pankreas. Selain heterogenitas genetik, MODY juga ditandai oleh heterogenitas klinis. Sebagian bentuk MODY (MODY1, MODY3, dan MODY5) disebabkan adanya defek berat terhadap sekresi insulin oleh sel b disertas seluruh penyulit diabetes, sedangkan yang lainnya (MODY2) menyebabkan hiperglikemua kronik ringan yang biasanya tidak memburuk seiring dengan waktu.8Latent Autoimmune Diabetes in Adults (LADA)LADA adalah terminologi yang paling sering untuk mendeskripsikan pasien dengan fenotipe DM 2 yang digabung dengan antibodi islet dan kegagalan lambat progresif sel b . Jika didefinisikan lagi sebagai fenotip DM 2 digabung dengan antibodi islet, prevalensi dari LADA adalah 10% dari subjek DM berusia 40-75 tahun. Prevalensi serupa ditemukan pada pasien non-insulin dependen usia lebih dari 35 tahun pada diagnosis DM2. Sesungguhnya, frekuensi serupa dari LADA ditemukan sekitar pasien DM2 dari semua usia di UK. Pasien DM2 lebih muda dari 35 tahun pada diagnosis, frekuensu LADA lebih tinggi (~25%). Meskipun pasien LADA dari definisi tidak insulun dependen dan selama setelah diagnosis perta,a dari diabetes, dalam 6 tahun, fungsi sel b mengalami kerusakan parah, membuat pasien LADA menjadi dependen insulin. Meskipun demikian, kegagalan sel b, didefinisikan sebagai tidak terukurnya c-peptida puasa, mungkin memerlukan 12 tahun sampai terjadi pada pasien dengan antibodi islet. Hal ini penting untuk mengklarifikasi bahwa obesitas tidak menjadi pengecualian LADA. Obes tipe 2 seperti pasien diabetes dengan antibodi islet menunjukkan kegagalan progresif sel b. Juneja et al menemukan bahwa hanya islet antibodi (ICAs) atau GAD antibodi (GADAs) mendefinisikan LADA (~tipe 1 diabetes); bukan BMI, usia, atau gejala klinik. Konsentrasi yang dinggi dari antibodi islet memprediksikan kegagalan sel b di masa depan, dimana sedikit jumlah antibodi islet, khususnya ICAs yang kurang, diasosiasikan dengan kegagalan sel b yang progresif.9

EpidemiologiMenurut penelitian epidemiologi yang disampaikan saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.3Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang yang datang sukarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat Filipina, ada kemungkinan prevalensi di Manado memang tinggi, karena prevalensi diabetes di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4% sampai 12% di daerah urban dan 3,85 sampai 9,7% di daerah rural.3Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Disini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% did aerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.3Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depon didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7% suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makassar prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun 2006, survei melaporkan prevalensi DM di daerah DKI Jakarta sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi.3Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis.3

EtiologiPada pasien dengan DM 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk DM 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% unuk anak cucunya. DM2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat diri kepada reseptor-reseptor permukaan tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan DM 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insukin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel b dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien DM 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan DM 2. Pengurangan berat badan menyebabkan DM 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi gluksosa.5

Manifestasi KlinikPasien dengan DM tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemi yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masuh cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemi oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitifitas perifer terhadap insulin. Kadar insulinn pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.5

PatofisiologiDua defek metabolik yang menandai DM 2 adalah (1) berkurangnya kemampuan jaringan perifer berespons terhadap insulin (resistensi insulin) dan (2) disfungsi sel b yang bermanifestas sebagai kurang adekuatnya sekresi insulin dalam menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia. Pada sebagian besar kasus, resistensi insulin merupakan poses primer, dan diikuti oleh disfungsi sel b yang semakin parah.8 Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek insulin pada penyerapan, metabolisme, atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin merupakan gambaran khas pada kebanyakan pasien DM 2 dan hampir selalu ditemukan pada pengidap diabetes yang kegemukan. Peran resistensi insulin dalam patogenesis DM2 dapat diperkirakan dari temuan bahwa (1) resistensi insulin sering terdeteksi 10 20 tahun sebelum awitan diabetes pada orang dengan predisposisi dan (2) dalam penelitian prospektif, resistensi insulin adalah prediktor terbaik untuk timbulnya diabetes masa mendatang. Resistensi insulin menyebabkan berkurangnya penyerapan glukosa di otot dan jarigan lemak dan ketidakmampuan hormon menekan glukoneogenesis di hati. Studi-studi fungsional pada orang dengan resistensi insulin memperlihatkan terjadinya banyak kelainan kuantitatif dan kualitatif dalam jalur pembentukan sinyal insulin, termasuk penurunan jumlah reseptor insulin; penurunan kadar zat antara aktif dalam jalur pembentukan sinyal insulin; dan gangguan translokasi., penambatan, dan fusi vesikel yang mengandung GLUT-4 ke membran plasma.8Diketahui bahwa resistensi insulin adalah suatu fenomena kompleks. Disini kita akan membahas sebagian dari faktor yang diduga berperan dalam penurunan sensitivitas terhadap insulin padapasien diabetes.8

Gambar 2. Tahap-tahap metabolik diabetes tipe 2.8Defek genetik pada reseptor insulin dan jalur pembentukan sinyal insulin. Kelainan loss-of-function di reseptor insulin atau zat-zat antara di bagian hilirnya merupakan kandidat untuk menjelaskan resistensi insulin pada DM 2. Pada mencit, knockout gen yang mengode berbagai protein pembentuk sinyal insulin menyebabkan resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan hiperglikemia, menyerupai DM 2 pada manusia. Sayangnya, ekstrapolasi model knockout gen-tunggal ini ke penyakit manusia kurang memuaskan. Mutasi titik pada reseptor insulin relatif jarang terjadi, menyebabkan tidak lebih dari 1% sampai 5% pasien dengan resistensi insulin. Analisis terhadap gen-gen kandidat yang berperan dalam sekresi insulin atau kerja insulin serta studi-studi keterkaitan genom secara keseluruhan pada keluarga yang terkena menghasilkan banyak polimorfisme yang berkaitan dengan fenotipe diabetes tipe 2, tetapi pada kebanyakan kasus, keterkaitan ini lemah, atau penelitian-penelitian tersebut tidak reproducible. Dari analisis-analsis ini, tampaknya meskipun risiko populasi yang mempunyai varian genetik tertentu mungkin signifikan, risiko timbulnya diabetes untuk individu tertentu yang memiliki varian tersebut kecil. Cukuplah dikatakan, meskipun tidak ada yang menyangkal peran komponen genetik dalam resistensi insulin, gen-gen yang berperan masih belum teridentifikasi. Dasar genetik dari resistensi insulin, dan karenanya DM 2, tetap merupakan teka-teki.8Obesitas dan resistensi insulin. Keterkaitan obesitas dengan DM 2 telah diketahui sejak beberapa dekade yang lalu, dan obesitas viseral merupakan venomena yang umum ditemukan pada kebanyakan kasus DM 2. Keterkaitan antara obesitas dan diabetes diperantarai oleh efek terhadap resistensi insulin. Resistensi insulin dapat dijumpai bahkan pada obesitas simpel tanpa disertai oleh hiperglikemia, menunjukkan bahwa dalam keadaan kelebihan lemak terdapat kelainan mendasar pada pembentukan sinyal insulin. Risiko diabetes meningkat seiring dengan peningkatan indeks massa tubuh. Tidak hanya jumlah absolut, tetapi juga distribusi lemah tubuh memiliki efek pada sensitivitas terhadap insulin: Obesitas sentral lebih besar kemunkinannya menyebabkan resistensi insulin dibandingkan dengan endapan lemak perifer. Meskipun banyak detil dari apa yang disebut sebagai sumbu adipo-insulin perlu diuraikan, berikut ini adalah beberapa jalur yang diperkirakan berperan menyebabkan resistensi insulin.:8 Peran asam lemak bebas (FFA): Studi-studi potong lintang memperlihatkan korelasi terbalik antara FFA plasma puasa dan sensitivitas terhadap insulin. Selain itu, kadar trigliserida intrasel sering sangat meningkat di jaringan hati dan otot pada orang dengan obesitas, mungkin karena kelebihanFFA dalam darah mengendap di organ-organ ini. Trigliserida intrasel dan produk-produk metabolisme asam lemak merupakan inhibitor kuat pembentukan sinyal insulin dan menyebabkan keadaan resistensi insulin didapat. Efek lipotoksik FFA ini kemungkinan besar diperantarai oleh penurunan aktivitas protein-protein kunci pembentuk sinyal insulin. Peran adipokin dalam resistensi insulin: Semakin banyak diketahui bahwa jaringan lemak bukan lah sekedar depo penyimpanan lemak yang pasif, tetapi juga berfungsi sebagai organ endokrin yang mengeluarkan hormon sebagai respons pada perubahan status metabolik. Telah berhasil diidentifikas berbagai protein yang dibebaskan ke dalam sirkulasi sistemik oleh jaringan adiposa, dan protein-protein ini secara kolektif disebut sebagai adipokin. Disregulasi sekresi adipokin (baik meningkat atau menurun secara abnorma) meripakan salah satu mekanisme yang menghubungkan resistensi insulin dan obesitas. Beberpaa adipokin diduga berperan dalam resistensi insulin, termasuk leptin, adiponektin, dan resistin. Untuk mempersingkat, hanya yang pertama yang dibahas. Leptin bekerja pada reseptor di susunan saraf pusat dan beberapa tempat lain dan berfungsi untuk mengurangi asupan makanan dan menimbulkan rasa kenyang. Hewan yang kekurangan leptin memperlihatkan resistensi insulin berat yang pulih dengan pemberian leptin. Meskipun banyak dari efek leptin pada sensitivitas terhadap insulin diperantarai reseptor di susunan saraf pusat, sebagian efek bekerjalangsung di tingkat jaringan sasaran insulin. Peran leptin pada keadaan resistensi insulin pada manusia merupakan aspek yang sedang aktif diteliti. Peran peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPARg) dan tiazolinedion (TZD): TZD adalah suatu kelas senyawa antidiabetes yang dikembangkan pada awal tahun 1980-an sebagai antioksidan. Reseptor sasaran untuk TZD diketahui adalah PPARg suatu reseptor nukleus dan faktor transkripsi. PPARg diekspresikan dalam jumlah besar di jaringan lemak, dan pengaktifan reseptor oleh TZD menyebabkan modulasi ekspresi gen di adiposit, yang akhirnya menyebabkan penurunan resistensi insulin. Sasaran pengaktifan PPARg antara lain adalah beberapa adipokin yang dibahas diatas. Pengaktifan PPARg juga menurunkan kadar asam lemak bebas yang ikut berperan dalam resistensi insulin pada obesitas.

Gambar 3. Hubungan obesitas dan resistensi insulin.8Secara singkat, resistensi insulin pada DM2 merupakan suatu fenomena kompleks dan multifaktor. Defek genetik dalam pembentukan sinyal insulin tiak sering ditemukan dan, jika ada, lebih besar kemungkinannya merupakan polimorfisme dengan efek samar dan bukan mutasi yang menyebabkan inaktivasi. Pada sebagian besar pasien, resistensi insulin adalah fenomena didapat, dan obesitas merupakan hal utama dalam fenomena ini.8 Disfungsi sel b pada diabetes tipe 2 menyebabkan ketidakmampuan sel-sel ini beradaptasi terhadap kebutuhan jangka-panjang resistensi insulin perifer dan peningkatan sekresi insulin. Pada keadaan resistensi insulin, sekresi insulin mula-mula meningkat untuk setiap kadar glukosa dibandingkan keadaan normal. Keadaan hiperinsulinemia ini adalah suatu kompensasi untuk resistensi perifer dan sering dapat mempertahankan glukosa plasma normal selama bertahun-tahun. Namun, akhirnya kompensasi sel b menjadi tidak adekuat, dan terkadi perkembangan hingga pasien mengalami diabetes yang nyata. Hal ini mendasar kegagalan adaptas sel b ini tidak diketahui, tetapi dipostilasikan bahwa beberapa mekanisme, termasuk efek samping kadar asam lemak bebas yang tinggi dalam darah atau hiperglikemia kronik dapat berperan. Disfungsi sel b pada DM2 bermanifestasi sebagai gangguan kualitatif dan kuantitatif.:8 Disfungsu sel b kualitatif pada awalnya timbul samar, dan muncul sebagai hilangnya pola sekresi pulsasi insulin normal dan melemahnya fase cepat pertama sekresi insulin saat terjadi peningkatan glukosa plasma. Seiring dengan waktu, gangguan sekresi mengenai semua fase sekresi insulin, dan meskipun pada diabetes tipe 2 tetap terjadi sekresi basal insulin, tetapi sangat berkurang memadai untuk mengatasi resistensi insulin. Disfungsi sel b kuantitatif tercermin oleh penurunan massa sel b, degradasi islet, dan pengendapan amiloid di islet. Protein amiloid islet adalah temuan khas pada pasien DM 2 dan terdapat pada lebih dari 90% islet pengidap diabetes yang diperiksa. Amiloidosis islet dapat menyebabkan penurunan massa sel b meskipun belum jelas apakah amiloid berperan atau hanya merupakan konsekuansi penurunan sel b. Meskipun data pada studi manusia masih sedikit, studi-studi dari model diabetes pada hewan menunjang rangkaian kejadian di atas dan menunjukkan hiperplasia sel b pada keadaan pradiabetes diikuti oleh penurunan massa sel b yang berbarengan dengan perkembanan ke diabetes klinis. Dalam konteksi ini, perlu dicatat bahwa massa sel b yang nornal pada pengidap diabetes sebenarnya menunjukkan pengurangan relatif dibandingkan derajat resistensi insulinnya.

PenatalaksanaanPenatalaksanaan Medika MentosaTabel 2. Agen-agen Hipoglikemik Oral.5AgenWaktu Paruh (jam)Frekuensi PemberianDosis Awal (mg)Dosis Rumatan (mg)ToksisitasUkuran Tablet (mg)

Glipizid (Glucotrol)2-4Dua kali sehari2,55-40GastrointestinalKulitHematologik5, 10

Gliburid (Micronase, DiaBeta)10Sekali atau dua kali5,02,5-20,0KulitGastrointestinalHematologik1,25-5

Metformin (Glucophage)1,3-4,5Tiga kali sehari10001500-1700Asidosis laktat500, 850

RosiglitazoneSekali sehari4,04-8Edema4,0

PioglitazoneSekali sehari3030-45Edema30

Pada DM 2, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik dianjurkan. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfinilurea. Dua tipe pensensitif yang tersedia yaitu metformin dan tiazolidinedion. Metformin yang merupakan suatu buguanid, dapat diberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg / hari. Metformin menurunkan produksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan insulin, khussunya pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Tiazolinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik. Efek obat ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPARg). Dua analog tiazolinedion, yaitu rosigitazon dan dengan dosis 4 hingga 8 mg / hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg / hari dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasi dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin. Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif.5Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan cara-cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien DM 2 dengan sisa sel-sel pulau Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan DM 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin, pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Dua bahan campuran sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid, 2,5 hingga 40 mg / hari, dan gliburid, 2,5 hingga 25 mg / hari. Gliburid memiliki waktu paruh lebih lama daripada glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien-pasien dengan DM 2. Untuk menurunkan peningkatan kadar glukosa postprandial pada pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial, yaitu penghambat alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan kompleks karbohidrat.5Penatalaksanaan Non-Medika MentosaPenatakalsanaan DM didasarkan pada (1) rencana diet, (2) lathian fisik dan pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin, (5) pengawasan glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri. Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal.5Rencana diet pada pasien diabetes dimasukdkan untuk mengatur jumlah kaori dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi, bergantung pada kebutuhan apakah untuk mempertahankan, menurunkan, atau meningkatkan berat tubuh. Sebagai contoh, pada pasien obesitas, dapat ditentukan diet dengan kalori yang dibatasi hingga berat badan pasien turun hingga ke keadaan semula dan untuk pertumbuhan. Rencana diet haqrus didapat dengan berkonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan yang lebih disukai, gaya hidup, latar belakang budaya dan aktivitas fisik.5Untuk mencegah hiperglikemia postprandial dan glikosuria, pasien-pasien diabetik tidak boleh makan karbohidrat berlebihan. Umumnya karbohidrat merupakan 50% dari jumlah total kalori per hari yang diizinkan. Karbohidrat ini harus dibagi rata sedemikian rupa sehingga ada yang dimakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhannya sepanjang hari. Contohnya, jumlah yang lebih besar harus dimakan pada waktu melakukan kegiatan fisik yang lebih berat. Lemak yang dimakan harus dibatasi sampai 30% dari total kalori per hari yang diizinkan, dan sekurang-kurangnya setengah dari lemak haris dari jenis polyunsaturated. Sistem makanan penukar yang telah dikembangkan untuk membantu pasien menangani dietnya sendiri. Sistem ini mengelompokkan makanan-makanan dengan kadar karbohidrat, protein, dan lemak yang hampir sama, sehingga kalorinya pun sama. Cara ini akan memungkinkan pasien menukar makanannya dengan makanan lain dalam kelompok yang sesuai. Pendekatan lain dalam merencanakan diet untuk menghitung karbohidrat dan disesuaikan dengan dosis insulin kerja pendek yang sesuai. Pasien dapat menghitung jumlah karbohidrat yang disajikan maupun garam karbohidrat total. Insulin dapat digunakan dengan rasio 1 unit per 15 gram karbohidrat total. Rasio ini dapat ditingkatkan bergantung pada respons pasien. Pasen dengan DM 2 yang resisten terhadap insulin mungkin membutuhkan 2 hingga 5 unit untuk setiap karbohidrat yang disajikan atau untuk setiap 15 gram karbohidrat total.5Latihan fisik kelihatannya mempermudah transpor glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat suntikan insulin, tidak mampu memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa selama latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia. Faktor ini penting khususnya ketika pasien melakukan latihan fisik saat insulin telah mencapai kadar maksimal atau puncaknya. Dengan menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka. Contohnya, bila pasien melakukan latihan fisik saat kadar glukosa darahnya tinggi, mereka mungkin dapat menurunkan kadar glukosa hanya dengan latihan fisik itu sendiri. Sebaliknya, bila pasien merasa perlu melakukan latihan fisik ketika kadar glukosa rendah, mereka mungkin harus mendapat karbohidrat tambahan untuk mencegah hipoglikemia.5

KomplikasiKomplikasi-komplikasi Dm dibagi menjadi 2 kategori mayor: (1) komplikasi metabolik akut dan (2) komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang.5Komplikasi Metabolik AkutHipergliemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik akut lain dari DM 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600 ml/dL. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit, dan insulin regular. HHNK tidak terdapat ketosis.5 Komplikasi Kronik Jangka PanjangKompliasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil mikroangipati dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar makroangiopati. Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunanan glukosa dari sel-sel ini tidak membutuhkan insulin. Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak nyata pada penderita gangguan toleransi glukosa. Namun, manifestasi klinis penyakit vaskular, retinopati atau nefropati biasanya baru timbul 15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes.5

Gambar 4. Retinopati diabetik, terdapat pendarahan, eksudat, neovaskularisasim dan pelebaran vena-vena pada fundus.5Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan insidens dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriola retina. Akibatnya, pendarahan, neovaskularisasi, dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan kebutaan. Pengobatan yang paling berhasil untuk retinopati adalah fotokoagulasi keseluruham retina. Sinar laser difokuskan pada retina, menghasilkan parut korioretinal. Setelah pemberian sinar beberapa seri, maka akan dihasilkan sekitar 1800 parut yang ditempatkan pada kutub posterior retina. Pengobatan dengan cara ini nampaknya dapat menekan neovaskularisasi dan perdarahan yang menyertainya.5Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa sorbitol fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbukan sorbitol dalam lensa sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia.5Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular ini. Gangguan-gangguan ini berupa: (1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya, makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arterioa koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.5PrognosisTahun 2009, diabetes melitus menjadi tujuh besar penyebab kematian di Amerika Serikat. Diabetes berkontribusi menyebabkan kematian dalam banyak kasus dan mungkin banyak yang kurang dilaporkan sebagai penyebab kematian. Secara keseluruhan, tingkat kematian pada orang diabetes dua kali lebih besar daripada orang yang di usia sama tampa diabetes.10Penyebab kesakitan dan kematian karena DM karena perkembangan penyakit kardiovaskular, renal, neuropati, dan retinopati. Komplikasi ini, terutama penyakit kardiovaskular, adalah sumber utama beban untuk pasien DM.10

PencegahanMenurut WHO pada tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 jenis yaitu:3 Pencegahan primer: semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum. Pencegahan sekunder: menemukan pengidap DM sedini mungkin, musalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel. Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah komploikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi: mencegah timbulnya komplikasi, mencegah progresi daripada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan organ, dan mencegah kecacaran tubuh.Dalam hal ini Indonesia cukup beruntung karena sejak tahun 1993 PERKENI telah menyusun dan memberlakukan konsensus pengelolaan diabetes di Indonesia yang ditandatangani oleh seluruh ahli di bidang diabetes. Di dalam buku konsensus itu sudah dicanangkan bahwa pencegahan adalah upaya yang harus dilaksanakan sejak dini. Mengenai pencegahan ini ada sedikit perbedaan mengenai definisi pencegahan yang tidak terlalu mengganggu. Dalam konsensus yang mengacu ke pada WHO 1985, pencegahan ada 3 jenis yaitu pencegahan primer berarti mencegah timbulnya hiperglikemia, pencegahan sekunder mencegah komplikasi sedangkan pencegahan tersier mencegah kecacatan akibat komplikasi.3Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada pencegahan penyakit menular, ada 2 macam strategi untuk dijalankan antara lain:3 Pendekatan populasi/masyarakat. Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga untuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak saja oleh profesi tetapi harus oleh segala lapiran masyarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masyarakat, dan agama) Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang: berumur >40 tahunm gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi >4kg, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemiaPencegahan primer adalah cara yang paling sulit dilakukan karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi tetpai seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah makanan tradisional kita yang selain sangat bergizi, ternyata juga banyak khasiatnya misalnya sifat antibakteri dan menurunkan kadar kolesterol.3Cara bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan juga cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan olahraga teratur. Dengan menganjurkan olahraga kepada kelompok berisiko tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat efektif dan murah.3Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataannya tidak demikian. Tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Di samping itu seperti tadi sidah dibicarakan, tekanan darah dan kadar lipid juga harus normal. Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa darah dan lipid harus diutamakan cara-cara nonfarmakologisnya dulu secara maksimal, misalnya dengan diet dan olahraga, tidak merokok, dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin.3Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan penyluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi. Penyulihan ini dilakukan oleh tenaga yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang sudah dapat pelatihan untuk itu. Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien diabetesnya juga luas, artinya selain pasien yang selama ini sudah berobat juga harus mencakup pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya kelompok penduduk dengan risiko tinggi. Kelompok yang tidak terdiagnosis ini rupanya tidak sedikit. Di AS saja kelompok ini sama besar dengan yang terdiagnosism bisa dibayangkan keadaan di Indonesia.3Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru dengan cara skrining dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekunder agar bila diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena masih reversibel. Untuk negara berkembang termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal.3Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka pasien yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasien jangan datang meminta pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang harus sudah dilakukan upaya bagaimana caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan baik primer maupun sekunder.3Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk dalam pencegahan teriser. Upaya ini terdiri dari 3 tahap: Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebagai pencegahan sekunder Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringanDalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali, baik antara pasien dengan dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam hal peran penyluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk keperluan penyuluhan diabetes (diabetes educator).3

PenutupLaki-laki berusia 45 tahun ini menderita diabetes melitus tipe 2. Hal ini dapat dicurigai dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sehingga didapatkan working diagnosis tersebut. Akan tetapi, ada pula differential diagnosis dari penyakit ini yaitu maturity onset diabetes mellitus of the young (MODY) dan latent autoimmune diabetik of adult (LADA). Perlu lebih diperhatikan lagi mengenai ciri-ciri masing-masing penyakit untuk membedakannya agar bisa menentukan diagnosis yang pasti. Dengan diagnosis yang tepat, penatalaksanaaanya akan menjadi tepat, baik secara medika mentosa maupun secara nonmedika mentosa. Dengan penatalaksanaan yang tepat, kualitas hidup pasien tersebut akan meningkat.

Daftar Pustaka1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2011.h. 781, 786. 2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006. h.138.3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2, 4. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2008.5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2006. h.1260-6. Halin SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Edisi ke-2. Jakarta:Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida; 2013.h. 60.7. Qu HQ, Li Q, Rentfro AQR, Fisher-Hoch SP, McCormick JB. The definition of insulin resistance using HOMA-IR for Americans of Mexican descent using machine learning. PloS ONE 2011 Jun; 6(6):1-4.8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins dan Cotran dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2010. h. 1221..9. Stenstrom G, Gottsater A, Bahktadze E, Berger B, Sundkvist G.Latent autoimune diabetes in adults definition, prevalence, b-cell function, and treatment. ProQuest Medical Library 2005 Des;54:S68.10. Type 2 Diabetes Mellitus, diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview#aw2aab6b2b6, 5 November 2013.

1