Download - 121496642 Referat Anak Sepsis Neonatorum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DefinisiSepsis neonatorum adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi
sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. Dalam
sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi
sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences
(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses
berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik,
disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.7Tabel 2.1 Kriteria SIRS8
Usia Neonatus
Suhu Laju Nadi Permenit
Laju Nafas Permenit
Jumlah Leukosit x 103/mm3
Usia 0-7 hari >38,5°C atau <36,5 °C
> 180/<100 >50 >34
Usia 7-30 hari
>38,5°C atau <36,5 °C
> 180/<100 >40 >19,5 atau <5
Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam
tabel. Salah satu di antaranya adanya kelainan suhu atau leukosit.8Tabel 2.2
Kriteria Infeksi, Sepsis, sepsis Berat, Syok Sepsis8
Kriteria Definisi
Infeksi Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman
penyebab, atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila
terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan penunjang lain)
Sepsis SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka
Syok Sepsis Sepsis dan disfungsi organ kardiovaskular
2.2 EpidemiologiAngka kejadian sepsis neonatorum di dunia diperkirakan 1-10
kasus per 1000 kelahiran hidup dan 1 per 250 kelahiran prematur.9 Angka
kejadian sepsis neonatorum di negara maju 1-4 per 1000 kelahiran, di Asia
Tenggara berkisar 2,1-16 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk angka
kejadian sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan di Indonesia berkisar
antara 1,5%-3,72% dengan angka kematian mencapai 37,09%-80%9,10 Keragaman
angka kejadian pada masing-masing rumah sakit dapat dihubungkan dengan
3
angka prematuritas, perawatan prenatal, pelaksanaan persalinan, dan kondisi
lingkungan di ruang perawatan.10 Angka sepsis neonatorum meningkat secara
bermakna pada bayi dengan berat badan lahir rendah dan bila ada faktor risiko ibu
(obstetrik) atau tanda-tanda korioamnionitis seperti ketuban pecah lama (>18
jam), demam intrapartum ibu(>37,5°C), leukositosis ibu (>18.000), pelunakan
uterus, dan takikardia janin (>180 kali/menit). Sedangkan faktor risiko host untuk
sepsis neonatorum adalah jenis kelamin laki-laki, cacat imun didapat atau
kongenital, galaktosemia (Escherichia coli), pemberian besi intramuskular,
anomali kongenital (saluran kencing, asplenia, myelomeningokel, saluran sinus),
omfalitis, dan kembar (terutama kembar kedua dari janin yang terinfeksi).
Prematuritas merupakan faktor risiko baik pada SNAD maupun SNAL.10,112.3
EtiologiPenyebab dari timbulnya sepsis pada neonatus dapat berupa bakteri,
virus, jamur, dan protozoa (jarang). Bakteri penyebab SNAD umumnya berasal
dari traktus genitalia maternal yang tidak menimbulkan penyakit pada ibu seperti
Streptococcus Grup B dan bakteri enterik. SNAL umumnya disebabkan oleh
infeksi nosokomial seperti Enterococcus, dan Staphylococcus aureus. Penyebab
SNAL lainnya seperti Streptococcus Grup B, E. coli, Listeria monocytogenes,
virus herpes simpleks, enterovirus, serta bakteri Staphylococcus coagulase-negatif
dan jamur Candida albicans yang menjadi penyebab SNAL tersering pada bayi
dengan berat badan lahir rendah.10,112.4 KlasifikasiBerdasarkan waktu terjadinya,
sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis
neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum
awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis neonatorum awitan dini
(SNAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode postnatal
(kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in
utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SNAD adalah
Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus
influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang
termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gramnegatif.
Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran
hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.7,12,13,14,15Sepsis neonatorum awitan
lambat (SNAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh
4
dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi
pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka
mortalitas SNAL lebih rendah daripada SNAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara
maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans
merupakan penyebab utama SNAL, sedangkan di negara berkembang didominasi
oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas
aeruginosa). 7,13,14,152.5 PatofisiologiPatofisiologi sepsis bayi baru lahir
merupakan interaksi respon kompleks antara mikroorganisme patogen dan
pejamu. Keadaan hiperinflamasi yang terjadi pada sepsis melibatkan beberapa
komponen, yaitu : bakteri, sitokin, komplemen, sel netrofil, sel endotel, dan
mediator lipid. Faktor inflamasi, koagulasi dan gangguan fibrinolisis memegang
peran penting dalam patofisiologi sepsis. Meskipun manifestasi klinisnya sama,
proses molecular dan seluler untuk menimbulkan respons sepsis tergantung
mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapan-tahapan pada respons sepsis sama
dan tidak tergantung penyebab. Respons inflamasi terhadap bakteri gram negatif
dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari dinding
sel yang dilepaskan pada saat lisis, yang kemudian mengaktifasi sel imun non
spesifik (innate immunity) yang didominasi oleh sel fagosit mononuklear. LPS
terikat pada protein pengikat LPS saat di sirkulasi12,14,16 Kompleks ini mengikat
reseptor CD4 makrofag dan monosit yang bersirkulasi. Kompleks lipopolisakarida
berinteraksi dengan kelompok molekul yang disebut toll like receptor (TLR).
Reseptor TLR menterjemahkan sinyal ke dalam sel dan terjadi aktifasi regulasi
protein (nuclear factor kappa β /NFkB). Organisme gram positif, jamur dan virus
memulai respons inflamasi dengan pelepasan eksotoksin / superantigen dan
komponen antigen sel. Eksotoksin bakteri gram positif juga dapat merangsang
proses yang sama. Molekul TLR2 leukosit berperan terhadap pengenalan bakteri
gram positif dan TLR4 untuk pengenalan endotoksin bakteri gram negatif.
Sitokin proinflamasi primer yang diproduksi adalah tumour necrosis factor (TNF)
α, interleukin (IL)1, 6, 8, 12 dan interferon (IFN) γ. Peningkatan IL-6 dan IL-8
mencapai kadar puncak 2 jam setelah masuknya endotoksin. Sitokin ini dapat
mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau tidak langsung melalui mediator
sekunder (nitricoxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF),
5
prostaglandin), dan komplemen. Mediator proinflamasi ini mengaktifasi berbagai
tipe sel, memulai kaskade sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel
Imunoglobulin pertama yang dibentuk fetus sebagai respons infeksi bakteri
intrauterin adalah Ig M dan Ig A. Ig M dibentuk pada usia kehamilan 10 minggu
yang kadarnya rendah saat lahir dan meningkat saat terpapar infeksi selama
kehamilan. Peningkatan kadar IgM merupakan indikasi adanya infeksi fetal. Ada
3 mekanisme terjadinya infeksi neonatus yaitu saat bayi dalam kandungan /
pranatal, saat persalinan / intranatal, atau setelah lahir / pascanatal.12,15,16 Gambar
2.1Interaksi faktor inisiasi dan mediator proinflamasi host (+) dan antiinflamasi
(-) pada infeksi dan proses terjadinya SIRS dan syok sepsis16Paparan infeksi
pranatal terjadi secara hematogen dari ibu yang menderitapenyakit tertentu, antara
lain infeksi virus atau parasit seperti Toxoplasma,Rubella, Cytomegalovirus,
Herpes (infeksi TORCH), ditansmisikan secara hematogen melewati plasental ke
fetus. Infeksi transplasenta dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan. Infeksi
dapat menyebabkan aborsi spontan lahir mati, penyakit akut selama masa neonatal
atau infeksi persisten dengan sekuele. Infeksi bakteri lebih sering di dapat saat
intranatal atau pascanatal. Selama dalam kandungan janin terlindung dari bakteri
ibu karena adanya cairan dan lapisan amnion. Bila terjadi kerusakan lapisan
amnion, janin berisiko menderita infeksi melalui amnionitis.14,17 Neonatus
terinfeksi saat persalinan dapat disebabkan oleh aspirasi cairan amnion yang
mengandung lekosit maternal dan debris seluler mikroorganisme, berakibat
pneumonia. Paparan bayi terhadap bakteri terjadi pertama kali saat ketuban pecah
atau dapat pula saat bayi melalui jalan lahir. Pada saat ketuban pecah, bakteri dari
vagina akan menjalar ke atas sehingga kemungkinan infeksi dapat terjadi pada
janin (infeksi transmisi vertikal).12,14Paparan infeksi yang terjadi saat kehamilan,
proses persalinan dimasukkan ke dalam kelompok infeksi paparan dini (early
onset of neonatal sepsis) dengan gejala klinis sepsis, terlihat dalam 3-7 hari
pertama setelah lahir. Infeksi yang terjadi setelah proses kelahiran biasanya
berasal dari lingkungan sekitarnya. Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui udara
pernapasan, saluran cerna, atau melalui kulit yang terinfeksi. Bentuk sepsis
semacam ini dikenal dengan sepsis paparan lambat (late onset of neonatal sepsis).
Selain perbedaan dalam waktu paparan kuman, kedua bentuk infeksi ini (early
6
onset dan late onset) sering berbeda dalam jenis kuman penyebab infeksi.
Walaupun demikian patogenesis, gejala klinik, dan tata laksana dari kedua bentuk
sepsis tersebut tidak banyak berbeda.13,14
Gamba
r 2.2Patofisiologi Sepsis Neonatorum13Faktor risiko terjadinya sepsis pada
neonatus dapat berasal dari faktoribu, bayi dan faktor lain.7,13Faktor risiko ibu:1.
Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban
pecah lebih dari 24 jam maka kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan
bila disertai korioamnionitis maka kejadian sepsis meningkat menjadi 4 kali. 2.
Infeksi dan demam (> 38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,
infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (group B
streptococi = GBS), kolonisasi perineal oleh E. Coli, dan komplikasi obstetric
lainnya.3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau4. Kehamilan
multipel.Faktor risiko pada bayi:1. Prematuritas dan berat lahir rendah.2.
Resusitasi pada saat kelahiran misal pada bayi yang mengalami fetal
7
distress, dan trauma pada proses persalinan.3. Prosedur invasif seperti
intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan.4. Bayi dengan galaktosemia
(predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek imun atau asplenia.5. Asfiksia
neonatorum6. Cacat bawaan.7. Tanpa rawat gabung.8. Pemberian
nutrisi parenteral.9. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu
lama.Faktor risiko lain:Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis
neonatorum lebih sering terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan, lebih
sering pada bayi kulit hitam daripada bayi kulit putih, lebih sering pada bayi
dengan status sosial ekonomi yang rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci
tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien.
Manifestasi Klinis
Tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik, berhubungan dengan
karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman.
Neonatus dengan sepsis hipertermia, distres pernapasan, apnea, sianosis, kuning,
hepatomegali, hipotermia, anoreksia, letargi, kesulitan minum, muntah, distensi
abdomen, dan diare10.
Tabel 2.3 Manifestasi klinis sepsis neonatorum.12
Keadaan umum Demam, hipotermia, “tidak merasa baik”,tidak mau makan, sklerema
Sistem Gastointestinal Perut kembung, muntah, diare, hepatomegali
Sistem Pernapasan Apnea, dispnea, takipnea, retraksi, grunting, sianosis
Sistem Saraf Pusat Iritabilitas, lesu, tremor, kejang, hiporefleksia, hipotonia, refleks Moro abnormal, pernapasan tidak teratur, fontanela menonjol, tangisan nada tinggi
Sistem Kardiovaskuler Pucat, mottling, dingin,kulit lembab, takikardi, hipotensi, bradikardi
Sistem Hematologi Ikterus, splenomegali, pucat, petekie,
8
purpura, perdarahan
Sistem Ginjal Oliguria
Neonatus dengan sepsis bakterialis dapat disertai dengan gejala-gejala
nonspesifik atau tanda-tanda fokal infeksi antara lain; temperatur yang tidak
stabil, hipotensi, perfusi buruk (pucat dan atau berbercak-bercak), asidosis
metabolik, takikardi atau bradikadi, apnoe, distres pernafasan, merintih, sianosis,
irritable, letargi, kejang, intoleransi makanan, distensi abdomen, ikterus,
petechiae, purpura, dan perdarahan. Manifestasi awal biasanya terbatas pada
gejala pada satu sistem organ saja seperti apnoe saja atau takipnu dengan retraksi
atau takikardi. Tetapi dapat pula langsung bermanifestasi berat dengan disfungsi
multiorgan. Bayi harus dire-evaluasi secara berkala untuk menilai apakah gejala
telah berkembang dari ringan menjadi berat. Komplikasi lanjut dari sepsis
meliputi gagal nafas, hipertensi pulmonal, gagal jantung, syok, gagal ginjal,
disfungsi hepar, udem serebral atau trombosis, perdarahan atau insufisiensi
adrenal, disfungsi sum-sum tulang (neutropenia, trombositopenia, anemia), dan
DIC.11
2.7 Diagnosis
Seorang bayi memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor. Kriteria tersebut yaitu:15,17
Tabel 2.4 Faktor Risiko Sepsis17
FAKTOR RISIKO MAYOR FAKTOR RISIKO MINOR
Ketuban pecah dini >18 jam Ketuban pecah dini >12jamDemam intrapartum >38 C Demam intrapartum >37,5 CKorioamnionitis Skor APGAR rendahKetuban berbau BBLSR Denyut jantung janin >160 x/menit Usia kehamilan <37 minggu
KembarKeputihanInfeksi Saluran kemih
Sepsis neonatorum didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan disertai
dengan pemeriksaan penunjang berupa:
9
a. Laboratorium
1. Darah rutin
Darah rutin yaitu jumlah leukosit PMN, jumlah trombosit, dan preparat
darah hapus. Pada preparat darah hapus yang perlu diperhatikan adalah jumlah
leukosit imatur (neutropenia < 1800/ul) sehingga dapat diperhitungkan rasio
netrofil imatur dengan netrofil total. Dimana dikatakan terinfeksi apabila I:T rasio
> 0,2. Preparat darah hapus menunjukkan gambaran hemolisis, hipergranulasi,
hipersegmentasi, toksik granulasi. Pemeriksaan darah yang dilakukan untuk
mendukung diagnosis neonatus sepsis menurut sistem skor.17,18,19
Tabel 2.5 Sistem skor hematologis untuk prediksi sepsis neonaturum (Kriteria Rodwell)19
Jika jumlah skor lebih atau sama dengan 3 maka kemungkinan besar sepsis.
2. Kultur
Untuk membuktikan adanya sepsis bakterial, organisme harus diisolasi
dari kultur darah atau cairan tubuh steril seperti cairan cerebrospinal, cairan sendi,
cairan peritoneal dan pleura. Kultur darah merupakan gold standard dalam
diagnosis sepsis. Cairan lumbal diperiksa pada neonatus sakit kritis dengan kultur
darah positif, gambaran klinik septikemia, sebab meningitis ditemukan pada 1 dari
4 sepsis neonatorum. Hasil kultur positif merupakan tanda definitif terdapatnya
bakteri patogen, hasil biakan baru diperoleh minimal 3-5 hari. Kultur dapat
negatif disebabkan oleh bakteremia transien, spesimen darah kurang, proses
spesimen yang tidak optimal dan antibiotik diberikan intrapartum.17,18,19,20
3. C-Reaktif Protein (CRP)
Pada proses inflamasi sintesis CRP meningkat dalam waktu 4-6 jam
dengan puncaknya 36-50 jam. Kadar CRP cepat menurun setelah sumber infeksi
10
tereliminasi. Kadar normal CRP bayi cukup bulan dan prematur 2-5 mg/L, kadar
>10 mg/L berhubungan dengan infeksi-sepsis. Karena protein ini meningkat pada
berbagai kerusakan jaringan tubuh maka pemeriksaan ini tidak dapat dipakai
sebagai indikator tunggal dalam menegakkan diagnosis sepsis neonatal. Nilainya
bermakna apabila dilakukan pemeriksaan serial karena dapat mengevaluasi respon
antibiotik, menentukan lamanya pengobatan dan kekambuhan.15,17,18
4. Prokalsitonin
Prokalsitonin dikatakan lebih superior daripada protein fase akut lainnya
termasuk CRP, dengan sensitivitas dan spesifisitas berkisar dari 87-100%. Selain
itu prokalsitonoin juga berguna untuk mengindikasikan keparahan infeksi,
memantau kemajuan pengobatan dan memperkirakan hasil keluaran. Pengukuran
kuantitatif dilakukan dengan menggunakan immunoluminometric assay (ILMA)
dengan 2 antibodi monoklonal.14,17,18
5. Interleukin
Interleukin -6 (IL-6) adalah sitokin pleiotropic yang terlibat dalam
berbagai aspek dari sistem imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel
seperti monosit, sel endotel, dan fibroblas, setelah stimulasi TNF dan IL-1.
Petanda ini mengindukasi sintesis protein fase akut hepatik termasuk CRP dan
fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis neonatorum, interleukin-6 meningkat
secara cepat. Peningkatan terjadi beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi
CRP dan akan menurun sampai kadar tidak terdeteksi dalam 24 jam.17,18,19
b. Gangguan fungsi organ
Adanya proses inflamasi sistemik akan mengakibatkan gangguan fungsi
organ yang selanjutnya menimbulkan gangguan koagulasi, hipotensi, gangguan
perfusi jaringan, dan akhirnya kegagalan fungsi organ serta kematian. Manifestasi
klinis gangguan fungsi paru berupa takipnu, hipoksemia, dan alkalosis
respiratorik. Jika keadaan berat terjadi ARDS (acute respiratory distress
syndrome). Pemeriksaan untuk mengetahui fungsi paru adalah Analisis Gas Darah
(AGD).7,12
Adanya kerusakan hati dapat diketahui dengan peningkatan Serum
Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvat
Transaminase (SGPT) bilirubin serum, amonia, dan alkali fosfatase.19,20,21
11
Gangguan fungsi ginjal terjadi karena adanya hipovolemia dan
vasodilatasi yang menyebabkan hipoperfusi renal, sehingga menimbulkan akut
tubular nekrosis, uropati obstruktif, nefritis interstisial rabdomiolisis dan
glomerulonefritis. Gagal ginjal akut terjadi pada 50% penderita sepsis.8,16
Keterlibatan sistem hematologi ditandai dengan adanya anemia,
leukopenia dan trombositopenia. Diseminated Inntravascular Coagulophaty
(DIC) menyebabkan terjadinya konsumsi trombosit yang berlebihan. Akibat
adanya pembentukan formasi trombus mikrovaskular dan inhibisi dari fibrinolisis
menyebabkan semakin banyaknya pelepasan sitokin, molekul adhesi dari sel
proinflamasi dari kaskade sepsis. Petanda yang dapat dijumpai adalah kenaikan
Prothrombin Time, Partial Thromboplastine Time, D-Dimer dan produk-produk
pemecahan fibrinogen.17,18,22
2.8 Penatalaksanaan
Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidensi
sepsis neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan
insidens sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten
terhadap ampisilin. Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim,
seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif
memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi. Oleh
karena itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat
dianjurkan untuk mencegah resistensi tersebut.7,12
Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme
pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan
memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara
berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase.
Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di unit perawatan
intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus
berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase.
Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan
intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak
efektif untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal
itu berarti telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan
12
mengurangi kolonisasi (kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan
mencegah sepsis, tetapi justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.12,23
a. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan dini
Pada bayi dengan SNAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan
Listeria monocytogenes. Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah
aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif
terhadap semua organisme penyebab SNAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan
karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.7,14,24
b. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan lambat
Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga
digunakan untuk terapi awal SNAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab
infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini
karena telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan
tobramisin. Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian
netilmisin atau amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang
dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu
juga yang dapat menginaktifkan aminoglikosida lain7
Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular),
obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan
sebagai terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus
dengan risiko infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan
piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan
seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif
terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin. Di beberapa
tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin atau ampisilin,
digunakan sebagai terapi awal pada SNAD dan SNAL. Keuntungan utama
menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik
terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten terhadap
aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat menembus
cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin
generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak
efektif terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan
13
akan mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten dibandingkan
dengan pemberian aminoglikosida.23,25,26
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan
penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida.
Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau
penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh
bakteri Gram negatif.26,27
Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap
antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat
diobati dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau
vankomisin) dan aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik
golongan penisilin resisten penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).
Pemberian antibiotik pada SNAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak
bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik
hendaknya disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit
perawatan neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus
dilakukan secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih
antibiotik.14,16
c. Terapi suportif (adjuvant)
1. Immunoglobulin intravena
Imunoglobulin intravena saat ini belum dianjurkan untuk pemberian rutin
sebagai profilaksis maupun terapi SNAD. Banyak penelitian mengenai hal ini
menggunakan jumlah sampel yang kecil dan belum ada sediaan imunoglobulin
yang spesifik, beberapa efek samping dan komplikasi telah dilaporkan seperti
infeksi, hemolisis, dan supresi kekebalan tubuh pada pemberian imunoglobulin
hiperimun. Pada kondisi tertentu seperti sepsis berat atau infeksi berulang pada
neonatus kurang bulan, ada penelitian yang menganjurkan pemberian
imunoglobulin intravena dengan dosis 500-1000 mg/kg/kali setiap dua
minggu.10,28
2. Transfusi fresh frozen plasma (FFP)
Fresh frozen plasma (FFP) mengandung antibodi, komplemen, dan protein
lain seperti C-Reactive Protein dan fibronektin. Antibodi bayi baaru lahir terbatas
14
pada spesifikasi yang dihasilkan oleh ibunya, tidak termasuk antibodi protektif
terhadap patogen patogen tertentu. FFP mengandung antibodi protektif, namun
dalam dosis 10 ml/kg, jumlah antibodi tidak adekuat untuk mencapai kadar
proteksi pada tubuh bayi. Pada pemberian secara kontinu (seperti 10 ml/kg setiap
12 jam), kadar proteksi dapat tercapai.10,28
3. Transfusi sel darah putih
Transfusi sel darah putih sebagai terapi ajuvan pada SNAD dan infeksi
neonatus umumnya masih dalam tahap uji coba dan belum dianjurkan
penggunaannya. Hanya beberapa pusat kesehatan di Amerika Serikat yang
mampu mengisolasi granulosit untuk sediaan transfusi. Transfusi granulosit juga
potensial mempunyai komplikasi seperti infeksi dan reaksi transfusi di samping
biaya yang tinggi dan teknik pembuatannya yang sulit.10,28
4. Pemberian G-CSF dan GM-CSF
Saat ini, banyak peneliti yang mempelajari tentang colony-stimulating
factors, yaitu suatu protein spesifik yang penting untuk proliferasi dan diferensiasi
progenitor granulosit serta mempengaruhi fungsi granulosit matang. Saat ini
terdapat 2 jenis protein tersebut yang banyak diteliti berkaitan dengan infeksi
neonatus yaitu granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF) dan granulocyte
macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). Suatu penelitian melaporkan
peningkatan jumlah neutrofil absolut, eosinofil, monosit, limfosit, dan trombosit
dengan pemberian GM-CSF rekombinan pada neonatus yang sepsis. Namun
masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektifitas terapi ini.10,28
5. Transfusi tukar
Secara teoretis, transfusi tukar menggunakan whole blood segar pada
sepsis neonatorum bertujuan: 1) mengeluarkan/mengurangi toksin atau produk
bakteri serta mediator-mediator penyebab sepsis, 2) memperbaiki perfusi perifer
dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah, dan 3)
memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahn neutrofil dan berbagai antibodi
yang mungkin terkandung dalam darah donor. Transfusi tukar juga memiliki
15
beberapa kelemahan seperti kesulitan teknik pelaksanaan, potensial terjadinya
infeksi, dan reaksi transfusi.10,28
6. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid intravena pada sepsis neonatorum masih
kontroversial. Walaupun kortikosteroid pernah digunakan sebagai terapi sepsis,
namun kemanjurannya masih diragukan, karena pemberiannya berlangsung
setelah kaskade mediator inflamasi dimulai.10,28
2.9 Prognosis
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi
bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30%
kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada
bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis
awitan dini adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SNAD adalah 2 – 30 %)
dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SNAL
kira – kira 2 %).7,14
16