Download - 4_terapi_cairan_pada_DSS.doc
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi virus dengue menyebabkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi dari penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) hingga demam berdarah dengue
yang disertai syok (dengue shock syndrome). 1
Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan suatu keadaan infeksi dari
Demam Berdarah Dengue yang ditandai dengan adanya kegagalan dari sirkulasi,
termasuk menyempitnya tekanan nadi (<20 mmHg), atau frank shock. Pada
pemeriksaan pasien mungkin didapatkan hati yang teraba serta peningkatan kadar
enzim hati. Pada awalnya pasien terlihat letargi atau gelisah dan kemudian jatuh
ke dalam syok.2,3
Setiap tahunnya, lebih dari 250.000 kasus DBD/DSS dilaporkan dari
perkiraan 50 juta kejadian infeksi dengue.2 DBD telah ditemukan di seluruh
provinsi di Indonesia. Incidence Rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk
pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun
2000.3 Pada tahun 2007 seluruh provinsi di pulau Jawa dan Bali beresiko tinggi
(AI > 55 per 100.000 penduduk).4
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya prilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang
nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta
adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.2,5,6
Dalam perawatan pasien dengan DSS diperlukan terapi cairan yang sesuai
mengingat DSS merupakan suatu hipovolemic syok yang dapat mengancam
nyawa apabila tidak ditangani dengan baik.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dengue Shock Syndrome
Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan suatu keadaan infeksi yang
mencakup seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue dan ditambah dengan
manifestasi kegagalan sirkulasi, yaitu: nadi cepat dan lemah dengan penyempitan
tekanan nadi (<20 mmHg) atau penurunan tekanan darah dan akral dingin. DSS
merupakan keadaan yang mengancam jiwa dari infeksi virus dengue pada
manusia.7
2.2 Epidemiologi Infeksi Virus Dengue
Virus dengue merupakan infeksi arboviral utama pada wilayah tropis dan
subtropis dan terdapat di lebih dari 100 negara.8 Sekitar dua per lima dari populasi
dunia tinggal di kawasan yang beresiko terjadinya infeksi dengue. Setiap
tahunnya, lebih dari 250.000 kasus DBD/DSS dilaporkan dari perkiraan 50 juta
kejadian infeksi dengue.2 Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali
lipat peningkatan penyebaran ke negara-negara baru, dan dalam dekade ini, dari
kota ke lokasi pedesaan.8
2
Gambar 2.1 Distribusi epidemik dengue di dunia. Merah: Wilayah dimana
terdapat laporan adanya epidemik. Kuning: Wilayah yang terdapat aedes aegypti9
Sampai saat ini, DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia.
200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence Rate meningkat
dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27
per 100.000 penduduk pada tahun 2000.3 Pada tahun 2007 seluruh provinsi di
pulau Jawa dan Bali beresiko tinggi (AI > 55 per 100.000 penduduk). Sedangkan
pada tahun 2009, hampir seluruh provinsi di pulau Kalimantan beresiko tinggi.
Terdapat perubahan pola kelompok umur yang terserang, menjadi seluruh
kelompok umur, terutama usia produktif. Sedangkan dari segi jenis kelamin,
resiko terkena DBD pada laki-laki dan perempuan hampir sama. Angka Kematian
nasional (AK) pada tahun 2009 yaitu 0,89% dan telah berhasil mencapai target.
Hanya saja, sebagian besar provinsi (61,3%) belum mencapai target. Terdapat
penurunan AK, mulai dari 41,4% pada tahun 1968 menjadi 0,89% pada tahun
2009. Tetapi jumlah kematian terus meningkat.4 Pada beberapa daerah tropik dan
subtropik, jumlah kasus DBD tidak pernah menurun. Bahkan cenderung terus
mengalami peningkatan. Di Indonesia, jumlah kasus pada tahun 2008 mencapai
137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86%
serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang
atau CFR 0,89%.10
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan dan
penyebaran virus Dengue, yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi
yang tidak dapat dikendalikan dan tidak terencana, tidak terdapat kontrol vektor
nyamuk di daerah endemis, dan peningkatan sarana transportasi.2
2.3 Virologi Virus Dengue
Virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
Virus dengue memiliki 4 jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-
4. Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Infeksi virus dengue
3
dari salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat
kurang, sehingga tidak akan memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe yang lain tersebut. Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat
terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue
dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus
dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan
bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe
DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan benyak yang
menunjukkan manifestasi klinis yang berat.11
Virus dengue memiliki genom yang terdiri dari RNA rantai tunggal (single
stranded), dikelilingi oleh nukleokapsid ikosahedral dan ditutupi oleh amplop
lipid. Diameter virion sekitar 50 nm. Genom flavivirus panjangnya 11 kb
(kilobase), disusun oleh 3 gen protein struktural yaitu yang mengkode
nukleokapsid atau protein inti (core: C), protein membran (membrane: M), dan
protein amplop (envelope: E), dan 7 gen protein non struktural (NS) yaitu NS1,
NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5. Virus dengue memiliki komponen biologis
yang penting yaitu glikoprotein E yang terdapat pada amplop virus untuk
menginfeksi sel target, yang mengandung komponen yang dibutuhkan untuk
berikatan dan melakukan fusi dengan sel target dan juga untuk berinteraksi
dengan reseptor di sel target. Sel target primer yang telah diketahui pada infeksi
virus dengue adalah monosit dan makrofag. Kemungkinan sel target lain adalah
sel dendritik dari monosit imatur (immature monocyte-derived dendritic cells).12
Di Indonesia, serotipe 1, 2, 3, dan 4 telah berhasil diisolasi dari darah
pasien. Dari sebagian besar pasien DBD derajat berat maupun yang meninggal,
diisolasi DEN-3. Selama 17 tahun terakhir serotipe yang mendominasi adalah
serotipe DEN-2 dan DEN-3. Fakta yang ada sekarang adalah semua jenis virus
dapat ditemukan pada kasus fatal yang berarti semua serotipe virus dengue dapat
saja membuat kematian.6
2.4 Patogenesis Infeksi Virus Dengue
4
Peranan Sistem Imun Dalam Patogenesis Infeksi Virus Dengue
Ketika nyamuk menggigit manusia, virus dengue diinjeksikan ke dalam
aliran darah. Selain ke aliran darah, virus dengue juga terdapat pada epidermis dan
dermis. Hal tersebut berakibat pada infeksi sel-sel Langerhans, atau yang disebut
juga epidermal dendritic cells (DC), dan keratinosit.13 Untuk terjadi infeksi, virus
dengue harus masuk ke dalam sel, diikuti dengan pelepasan nukleokapsid. Hal
tersebut dapat tercapai dengan cara fusi antara membran virus dengan membran
selular.14 Sel yang terinfeksi kemudian bermigrasi dari tempat terjadinya infeksi
menuju limfa nodi. Monosit dan makrofag yang terdapat di dalam limfa nodi akan
menjadi target infeksi selanjutnya.13 Monosit dan makrofag merupakan sel target
virus dengue yang utama.14 Akibatnya, infeksi yang terjadi akan semakin banyak
dan virus akan terdiseminasi melalui sistem limfa. Hal tersebut akan berujung
pada viremia primer, dimana selanjutnya sel-sel lain seperti monosit, myeloid DC,
serta makrofag pada hati dan spleen ikut terinfeksi. Studi yang dilakukan terhadap
primata non-manusia menunjukkan bahwa leukosit juga dapat terinfeksi virus
dengue. Proses infeksi tersebut akan mengakibatkan apoptosis, terutama pada sel
dendritik dan sel endotelial.13 Apoptosis sel dendritik, baik secara langsung
maupun tidak langsung, mengakibatkan peningkatan virus dengue dalam darah
dan produksi sitokin yang berimplikasi pada keparahan penyakit. Apoptosis
secara langsung terjadi melalui replikasi virus didalam sel yang terinfeksi,
sedangkan apoptosis tidak langsung terjadi akibat adanya sitokin dan protein-
protein virus yang disekresikan oleh sel yang terinfeksi. Apoptosis juga dapat
terjadi pada sel yang tidak terinfeksi akibat adanya protein dan sitokin yang
disekresikan oleh sel yang terinfeksi. Karena itu, induksi apoptosis akibat infeksi
virus dengue berkontribusi terhadap keparahan penyakit dengan cara
menyebabkan viremia yang tinggi, produksi sitokin inflamasi, penurunan
presentasi antigen, dan rendahnya aktivasi sel T yang spesifik terhadap virus
dengue. Sedangkan apoptosis sel-sel endotel akibat virus dengue berkaitan dengan
terjadinya DHF/DSS. Apoptosis sel endotel dapat terjadi secara langsung (melalui
replikasi virus pada sel yang terinfeksi) atau melalui aktivasi sistem komplemen.5
5
Gambar 2.2 Apoptosis Sel Dendritik akibat Infeksi Virus Dengue13
Mekanisme Terjadinya Syok dan Perdarahan
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection yang dirumuskan oleh Suvatte dapat dilihat pada Gambar
2.2. Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan menderita DHF apabila
mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus dengue yang berbeda dalam
jangka waktu tertentu, yang berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun. Respons
antibodi anamnestik akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada seorang pasien mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.
6
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi
secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir
fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.3
Gambar 2.3 Mekanisme terjadinya syok pada DBD3
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah (gambar 2.3). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif
7
(KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.13
Gambar 2.4 Mekanisme Perdarahan pada DBD3
Akibat lain yang ditimbulkan akibat agregasi trombosit yaitu gangguan
fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak tetapi
tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi
faktor Hageman yang akan mnegakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler
melalui aktivasi sistem kinin. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi.3
Selain itu, menurut Simmons, interaksi antara dengue nonstructural
protein 1 (NS1) dengan glycocalyx pada lapisan permukaan menyebabkan
pelepasan heparan sulfat ke sirkulasi sehingga menyebabkan kebocoran protein.
Hilangnya protein-protein koagulasi yang esensial terhadap koagulasi diduga
memegang peranan penting dalam terjadinya koagulopati (biasanya
8
bermanifestasi sebagai peningkatan partial-thromboplastin time dengan kadar
fibrinogen rendah). Heparan sulfat juga berfungsi sebagai antikoagulan dan
berkontribusi terhadap terjadinya koagulopati.15
2.5 Spektrum Klinis Penyakit
Faktor daya tahan tubuh pasien dan virulensi virus mempengaruhi
spektrum klinis dari infeksi virus dengue yang dapat menyebabkan keadaan yang
bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang
tidak spesifik (undifferentiated fever), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih
berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) serta Dengue Shock Syndrome
(DSS).7
Gambar 2.5. Spektrum Klinis Penyakit7
2.6 Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD) ditandai dengan demam tinggi (≥38,50C),
mendadak 2 sampai 7 hari,. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,
tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa pasien mengeluh
nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun
jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di
epigastrium dan dibawah tulang iga. Bentuk perdarahan yang paling sering adalah
uji tourniquet (rumple leede) positif, kulit dapat dengan mudah memar dan
perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah.
Pada DBD terdapat juga petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas,
9
aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari
demam. Perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam
sedangkan epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan hanya sekitar
pada 10% kasus. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable
sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan.7
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini
terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan
sirkulasi yang bervariasi dalam berat ringannya. Pada kasus dengan gangguan
sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat
pasien dapat mengalami syok.16 Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan
kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <
100.000/ul biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi
sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi
yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan
nilai hematokrit merupakan tanda patogsangat unik untuk DBD, kedua hal
tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu
diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau
oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis,
limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum
suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan.
Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan
fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT
memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga
terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat.
Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan.
Berat ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada
pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral.Fase
penyembuhan ditandai dengan pembentukan lesi makulopapula yang biasanya
gatal dan sembuh dengan deskuamasi selama sekitar 1 sampai 2 minggu.17
2.8 Dengue Shock Syndrome
10
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3
sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian
jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar
mulut, nadi cepat-Iemah, tekanan nadi <20 mmHg atau hipotensi (tekanan sistolik
menurun sampai 80 mmHg atau kurang). Syok merupakan tanda kegawatan yang
harus mendapat perhatian serius, oleh karena bila tidak diatasi sebaik-baiknya dan
secepatnya dapat menyebabkan kematian. Pasien dapat dengan cepat masuk ke
dalam fase kritis yaitu syok berat (profound shock), pada saat itu tekanan darah
dan nadi tidak dapat terukur lagi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun
sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan
adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui
atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai
penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga
memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-
3 hari kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam
pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya
nafsu makan. Sebagian besar pasien masih tetap sadar walaupun telah memasuki
fase terminal. Pasien dengan perdarahan intraserebral dapat disertai kejang dan
koma. Ensefalopati dapat terjadi berhubungan dengan gangguan metabolik dan
elektrolit.7,16
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang
setelah demam turun. Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada
denyut nadi dan tekanan darah, akral (ujung) ekstremitas teraba dingin, disertai
dengan kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi,
sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara.
Pasien biasanya akan sembuh spontan setelah pemberian cairan dan elektrolit.
Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah
beberapa hari demam. Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara hari
sakit ke 3-7, terdapat tanda kegagalan sirkulasiberupa kulit teraba dingin dan
lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien
menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba. Pada saat akan terjadi
11
syok, beberapa pasien tampak sangat lemah, dan sangat gelisah. Sesaat sebelum
syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut.17
2.9 Kriteria Diagnosis dan Derajat Penyakit
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun
1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini
dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).7
Kriteria Klinis DBD
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari, bersifat bifasik.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
Uji torniquet positif,
Petekie, ekimosis, purpura,
Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan
atau melena.
Kriteria Laboratoris DBD
a. Trombositopeni (100.000/l atau kurang).
b. Adanya bukti kebocoran plasma akibat meningkatnya permeabilitas
vaskuler yaitu hemokonsentrasi, yang dapat dilihat dari peningkatan
hematokrit 20% atau lebih atau adanya efusi pleura, ascites dan
hipoproteinemia.
Diagnosis DSS dapat ditegakkan apabila telah memenuhi empat kriteria diagnosis
DBD, ditambah dengan adanya bukti kegagalan sirkulasi dengan manifestasi
sebagai berikut:7
a. Nadi yang cepat dan lemah
b. Tekanan nadi yang menyempit (<20 mmHg)
Atau apabila apabila ditemukan:
a. Hipotensi berdasarkan umur
b. Kaki dan tangan dingin dan pasien tampak gelisah.
DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat penyakit:7
12
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya menifestasi
perdarahan ialah uji torniquet.
Derajat II : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
Catatan : Adanya trombositopenia disertai hemokonsentrasi membedakan DBD
derajat I/II dengan DD.
2. 10 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1. Darah
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menskrining pasien
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar
hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat
adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.7
Uji tourniquet ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan
vaskular. Uji ini juga dapat memberikan hasil positif pada infeksi virus
selain virus dengue. Pemeriksaan dilakukan dengan membendung
lengan atas menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah
diastolik dibagi 2 selama 5 menit. Hasil positif bila ditemukan 10 atau
lebih petekie per 2,5 cm2 atau 1 inchi.7
Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DHF
merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Selain
hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.
Masa pembekuan masih dalam batas normal, tetapi masa perdarahan
biasanya memanjang. Pada pemeriksaan kimia darah tampak
hipoproteinemia, hiponatremia serta hipokloremia pada kebocoran
13
plasma. Serum alanin-aminotransferase (SGOT/SGPT), ureum dan pH
darah mungkin meningkat.
IgM terdeteksi pada hari ke-5, meningkat sampai minggu III,
menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer mulai
terdeteksi pada hari ke-14, sedangkan pada infeksi sekunder mulai hari
ke-2.12
Tabel 1. Interpretasi pemeriksaan IgM dan IgG12
2. Urine
Dapat ditemukan albuminuria ringan.12
3. Sumsum tulang
Pada awalnya hiposeluler, kemudian menjadi hiperseluler pada hari
ke-5 dengan gangguan maturasi sedangkan pada hari ke-10 biasanya
sudah kembali normal.12
4. Serologi 6
a. Uji Hambatan Hemaglutinasi yang merupakan standar baku emas
WHO untuk mendiagnosis infeksi virus dengue. Titer uji hambatan
Hemaglutinasi pada fase akut akan meningkat 4 kali atau lebih
pada fase rekovalesensi.
b. Uji fiksasi komplemen dan uji netralisasi
c. Uji ELISA
d. Uji Dengue Blot Dot imunoasai Dengue Stick
5. Isolasi virus 12
Ada beberapa cara isolasi dikembangkan , yaitu :
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.
14
Ig M Ig G Interpretasi
+ - Infeksi primer
- + Kemungkinan infeksi sekunder
+ + Infeksi sekunder
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk
A. albopictus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri
pada larva.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
namun apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada
sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi
badan sebelah kanan). Ascites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG.7,12
2.8 Penatalaksanaan Dengue Shock Syndrome
Dengue Shock Syndrome ialah suatu hipovolemik syok yang diakibatkan oleh
perembesan plasma dimana ditandai dengan peningkatan sistemik vaskular
resistensi bermanifestasi sebagai tekanan nadi menyempit dengan selisih
sistol dan diastol < 20 mmHg, bibir biru, tangan kaki dingin, tidak ada
produksi urin. Syok merupakan keadaan kegawatan. Penanganan utama
adalah dengan memberikan terapi cairan yang cukup yang berguna untuk
memperbaiki kekurangan volume plasma. Sebagian besar DSS akan
merespon dengan pemberian 10 ml/kgBB pada anak-anak atau 300–500 ml
pada orang dewasa selama 1 jam atau bolus jika perlu.7
Indikasi pemberian cairan intravena
Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral atau muntah
Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
Ancaman syok atau dalam keadaan syok
2.8.1Terapi cairan pada pasien yang masuk ke rumah sakit dengan DHF
grade III (syok yang terkompensasi).
15
Pada pasien dalam kondisi syok yang terkompensasi (tekanan darah
systole normal tetapi ada tanda-tanda kebocoran plasma seperti berkurangnya
perfusi dan naiknya hematokrit) dilakukan terapi dengan cairan kristaloid isotonic
10-15 ml/kg/jam diatas satu jam dan juga tambahan oksigen jika dibutuhkan. Jika
keadaan pasien membaik terapi dilanjutkan ke dalam BOX B pada bagan yaitu
pemberian kristaloid IV sebanyak 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam kemudian
berturut-turut diturunkan menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan 2-3
ml/kg/jam selama 2-4 jam berikutnya. Jumlah cairan per hari tidak boleh melebihi
3 liter untuk menghindari kelebihan cairan pada pasien. Evaluasi hematocrit
pasien setiap 8-12 jam atau jika dibutuhkan, evaluasi ulang status hemodinamik
16
termasuk jumlah urin dan pantau apakah ada tanda-tanda pendarahan pada pasien.
Jika pasien stabil dan hematocrit naik sebesar 10% lakukan evaluasi ulang dan
pertimbangkan perlunya menambah jumlah cairan yang masuk. Jika pasien tidak
stabil dan hematocrit naik lakukan ulang langkah pada BOX B. Jika pasien tidak
stabil dan terjadi penurunan hematocrit cari kemungkinan adanya tanda
pendarahan pada pasien dan pertimbangkan untuk melakukan tranfusi fresh whole
blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika kondisi pasien
stabil selama 48 jam hentikan pemberian cairan IVF dan lakukan terapi
maintenance fluid atau menggunakan ORS.
Jika pasien tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi pada BOX A
masukkan cairan kristaloid atau koloid secara bolus sebanyak 10-20 ml/kg/jam
selama 1 jam. Jika pasien membaik dan hematocrit turun lanjutkan kedalam BOX
B, jika pasien tidak membaik dan hematocrit terus naik ulangi pemberian
koloid/kristaloid dengan dosis yang sama sekali lagi. Pemberian kristaloid pada
keadaan ini seperti Ringer’s lactat atau 0.9 NaCl solutions, sementara untuk
koloid seperti dextran, starch, atau gelatin. Jika pasien membaik lanjutkan ke
BOX B, jika pasien tidak membaik pertimbangkan untuk pemberian inotropes
dan rujuk ke tertiary center. Penggunaan inotropes disini harus melalui
pertimbangan yang hati-hati dan dilakukan setelah terapi cairan yang adekuat
sudah diberikan.
- Untuk menghitung jumlah Dopamine yang ditambahkan ke dalam 100 ml
cairan IV :
- Untuk menghitung volume obat yang akan ditambahkan ke dalam 100 ml
cairan IV :
- Dosis Dopamine yang disiapkan : 40 mg/ml dan 80 mg/ml
Jika setelah dilakukan terapi pada BOX A pasien tidak mengalami perbaikan
dan muncul tanda-tanda pendarahan maka pertimbangkan untuk pemberian
17
tranfusi fresh whole blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika
pasien membaik lanjutkan ke dalam BOX B, dan jika tidak terjadi perbaikan
pertimbangkan pemberian inotropes.
2.8.2 Terapi cairan untuk pasien yang masuk ke rumah sakit dengan syok
DHF grade IV/DSS (syok hypotensive)
Jika pasien masuk dalam keadaan syok yang hipotensif (tekanan darah
sistol <90 mmHg atau MAP <70 mmHg atau tekanan darah sistol turun >40
mmHg) perhatikan terapi cairan tetap berdasarkan hematrokit, berikan cairan
18
isotonic kristaloid/koloid dalam waktu 15 menit, dan juga berikan support
oksigen. Jika keadaan pasien membaik, berikan kristaloid/koloid 10 ml/kg/jam
selama 1 jam kemudian lanjutkan dengan 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan
turunkan menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam kemudian 2-3 ml/kg/jam selama
2-4 jam. Jumlah cairan per hari tidak boleh melebihi 3 liter untuk menghindari
kelebihan cairan pada pasien. Evaluasi hematocrit pasien setiap 8-12 jam atau jika
dibutuhkan, evaluasi ulang status hemodinamik termasuk jumlah urin dan pantau
apakah ada tanda-tanda pendarahan pada pasien. Jika pasien stabil dan hematocrit
naik sebesar 10% lakukan evaluasi ulang dan pertimbangkan perlunya menambah
jumlah cairan yang masuk. Jika pasien tidak stabil dan hematocrit naik lakukan
ulang langkah pada BOX B. Jika pasien tidak stabil dan terjadi penurunan
hematocrit cari kemungkinan adanya tanda pendarahan pada pasien dan
pertimbangkan untuk melakukan tranfusi fresh whole blood sebanyak 20 ml/kg
atau PRBC sebanyak 10 ml/kg. Jika kondisi pasien stabil selama 48 jam hentikan
pemberian cairan IVF dan lakukan terapi maintenance fluid atau menggunakan
ORS.
Jika tidak terjadi perbaikan pada pasien masukkan cairan koloid 10-20
ml/kg/jam selama ½-1 jam lalu cek parameter hemodinamik. Jika keadaan pasien
membaik dan hematocrit turun kurungan IVF rate menjadi 7-10 ml/kg/jam selama
1-2 jam dan jika kondisi pasien stabil lanjutkan ke BOX B. Jika hematokri naik
dan keadaan pasien tidak membaik setelah pemberian cairan kristaloid/koloid
yang kedua ulangi pemberian cairan kristaloid/koloid 20 ml/kg/jam selama 1 jam.
Jika pasien membaik lanjutkan ke BOX B, jika pasien tidak membaik
pertimbangkan untuk pemberian inotropes dan rujuk ke tertiary center.
Jika setelah dilakukan terapi pada BOX A pasien tidak mengalami
perbaikan dan muncul tanda-tanda pendarahan maka pertimbangkan untuk
pemberian tranfusi fresh whole blood sebanyak 20 ml/kg atau PRBC sebanyak 10
ml/kg. Jika pasien membaik lanjutkan ke dalam BOX B, dan jika tidak terjadi
perbaikan pertimbangkan pemberian inotropes.
19
2.9 Jenis terapi cairan pada DSS
Berdasarkan penggunaan secara klinis sehari – hari, cairan intravena dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu cairan kristaloid dan koloid
a. Kristaloid
Komposisi cairan kristaloid mirip cairan ekstraseluler. Untuk mengatasi
defisit volume intravaskular yang sama efektifnya dengan pemberian
koloid diperlukan pemberian kristaloid dalam jumlah yang cukup, yaitu 3-
4 kali cairan koloid. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler
sekitar 20-30 menit. Ada beberapa keuntungan pemakaian cairan kristaloid
antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan,
tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik dan dapat disimpan lama.
Kerugian yang dapat timbul diantaranya edema perifer dan paru yang
dikemukakan oleh Heugman et al (1972). Beliau mengemukakan bahwa
walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang
interstisial (sekitar ¾) sehingga timbul edema perifer dan paru serta
berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang dapat infus 1 liter NaCl 0,9%.
20
Kristaloid dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial karena
kristaloid akan lebih menyebar jika dibandingkan dengan koloid. Larutan
Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis. Laktat yang terkandung di
dalamnya akan mengalami metabolisme menjadi bikarbonat di hati. NaCL
0,9% juga sering digunakan, akan tetapi jika diberikan berlebih akan
menyebabkan asidosis hiperkloremik dan menurunnya kadar bikarbonat
plasma akibat peningkatan klorida.
Cairan Kristaloid dapat bersifat isotonik, hipotonik maupun hipertonik
terhadap plasma. 10
Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh
karena itu penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan
intraseluler seperti pada dehidrasi kronik dan pada kelainan
keseimbangan elektrolit terutama pada keadaan hipernatremi yang
disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes insipidus. Cairan ini
tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada kegawatan.
Contohnya dextrosa 5%
Cairan Isotonik
Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat
dan plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi
intravaskuler yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 3 kali lebih
besar dari kehilangannya. Cairan ini cukup efektif sebagai cairan
resusitasi dan waktu yang diperlukan pun relatif lebih pendek dibanding
dengan cairan koloid.
Cairan Hipertonik
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler
utama. Oleh karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik
cairan intraseluler ke dalam ekstraseluler. Peristiwa ini dikenal dengan
infus internal. Disamping itu cairan natrium hipertonik mempunyai efek
inotropik positif antara lain memvasodilatasi pembuluh darah paru dan
21
sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena dapat
mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi
jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%
b. Koloid
Koloid disebut juga sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan
volume plasma lebih besar dari volume yang diinfuskan. Koloid iso-
onkotik mengekspansikan volume plasma sebesar volume yang diinfuskan
dan dikenal sebagai substitute plasma atau cairan pengganti plasma.
Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik, sehingga
menghasilkan tekanan onkotik. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6
jam) dalam ruang intravaskular. Darah dan produk darah (human albumin,
fraksi protein plasma, fresh frozen plasma, larutan imunoglobulin)
menghasilkan tekanan onkotik karena mengandung molekul protein besar.
Larutan koloid biasanya diberikan dalam jumlah yang sama dengan
volume kehilangan darah. Volume awal distribusi sama dengan volume
plasma. Koloid yang ideal meliputi : 11
o Stabil dengan efek kerja lama
o Bebas pirogen, antigen dan toksin
o Bebas dari risiko transmisi penyakit
o Efek ekspansi volume plasma bertahan sampai beberapa jam
o Metabolisme dan ekskresi tidak berefek negatif terhadap pasien
o Tidak ada efek merugikan
Kerugian koloid yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik,
koagulasi,dan lain-lain. Berdasarkan pembuatannya terdapat 2 jenis larutan
koloid, yaitu koloid alami dan koloid sintesis. Contoh koloid alami adalah
albumin, sementara koloid sintesis seperti dekstran, gelatin, dan hestartach.
22
Sifat – Sifat Kristaloid Koloid
1. Berat molekul Lebih Kecil Lebih besar
2. Distribusi Lebih cepat Lebih lama dalam
sirkulasi
3. Faal Hemostasis Tidak ada pengaruh mengganggu
4. Penggunaan untuk
koreksi perdarahan
Diberikan 3-4x dari
jumlah perdarahan
Sesuai dengan jumlah
perdarahan
5. Reaksi Anafilaksis Tidak ada Ada (jarang)
6. Harga Murah Mahal
Pemberian kristaloid/koloid pada pasien DSS
Kristaloid (larutan Ringer’s lactate or 0.9 NaCl) dianjurkan sebagai terapi
cairan yang aman dan seefektif larutan koloid dalam mengurangi angka kejadian
syok dan kematian pada.8-12 Dibandingkan dengan kristaloid,koloid sering
dihungkan dengan meningkatnya rersiko terjadinya reaksi alergi pada pasien dan
juga muncul tanda-tanda pendarahan yang baru, selain itu koloid juga memounyai
harga yang lebih mahal. Meskipun tidak ada data yang cukup kuat yang
menunjukkan kelebihan penggunaan salah satu cairan dalam penangan DSS tetapi
penggunaan koloid lebih direkomendasikan terutama dalam penangan pasien yang
keadaan hemodinamiknya tidak stabil dan sebagai rescue fluid jika setelah
pemberian terapi cairan yang pertama status kardiovaskular pasien tidak
membaik.
Pemberian kristaloid yang diberikan contohnya adalah normal salaine atau
ringer laktat, smentara untuk koloid adalah gelatin-based, dextran-based, dan
starch-based. Salah satu pertimbangan dalam pemberian cairan ini adalah
pengaruhnya terhadap koagulasi. Dextrans mungkin akan mengikat factor von
Willebrand/factor VIII dan mengganggu koagulasi. Tetapi dextrans deikatakan
tidak memiliki pengaruh klinis yang cukup signifikan sebagai cairan resusitasi
dalam pasien syok. Dextran 40 juga berpotensi menyebabkan gangguan ginjal
23
pada pasien hipovolemik. Gelatin mempunyai efek yang paling sedikit terhadap
koagulasi tetapi mempunyai resiko menyebabkan alergi yang paling besar. Reaksi
alergi juga ditemukan beberapa pada pasien dengan terapi cairan dextran 70.20
Dalam sebuah penelitian yang mengevaluasi 74 pasien yang 66
diantaranya dinyatakan meninggal, dikatakan bahwa tidak ada perbedaan berarti
pada prognosis pasien dalam penggunaan kristaloid/koloid. Penggunaan koloid
sebagai cairan resusitasi juga dikatakan tidak signigikan terbukti dalam
mengurangi resiko kematian pada pasien DSS jika dibandingkan dengan
kristaloid.12
Penelitian dengan hasil serupa juga mengatakan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam penggunaan kristaloid/koloid, bahkan menunjukkanpenggunaan
human albumin tidak dianjurkan. Untuk larutan koloid jenis lain seperti
succinylated gelatin (Gelofusine) atau polygeline (Haemaccel) dikatakan
mempunyai protein asing bagi tubuh sehingga dimungkinkan terjadinya reaksi
anaphylaxis, sementara di larutan saline tidak.13
Sementara itu dalam penelitian lain disebutkan bahwa meskipun
kebanyakan pasien DSS mengalami perbaikan kondisi hanya dengan pemberian
cairan kristaloid, tetapi 10-20% pasien mengalami kebocoran plasma yang
membutuhkan terapi cairan dengan menggunakan koloid. Penelitian sebelumnya
mengatakan bahwa penggunaan iso-oncotic koloid termasuk plasma tidak
seefektif penggunaan hyperoncotic koloid. Hal ini terjadi karena larutan
hyperoncotic koloid mempertahankan cairan intravaskular lebih baik dan
menurunkan hematocrit sekitar 6-10% dalam beberapa kasus sementara cairan
kristalod dan iso-oncotic koloid termasuk plasma hanya mampu menurunkan
hematrokrit hingga 2-3%. Tetapi Dextran dan haes-steril tidak dapat diberikan
sebagai cairan resusitasi pada pasien syok karena sifatnya yang
hiperoncotic.Untuk menurunkan hematrokit dalam presentase ini dua larutan
koloid ini harus diberikan secara bolus dalam dosis 10 ml/kg/jam. Kebanyakan
tenaga medis salah mengartikan jika penggunaan koloid hanya diberikan pada
pasien dengan kondisi syok tetapi pada kenyataannya penggunaan koloid juga
bisa diberikan pada pasien DSS yang menunjukkan tanda-tanda kelebihan cairan
24
atau keadaan hematrokrit pasien yang tingi-tinggi yang bersifat persisten.Dalam
penelitian ini 79.8% persen pasien mengalami syok sementara sisanya tidak,
kesimpulannya adalah pemeberian koloid sama-sama terlihat efektif terutama
dalam kemampuannya mempertahankan cairan intravaskular yang terlihat dengan
menurunnya kadar hematocrit pasien dan juga tidak ditemukan adanya reaksi
alergi atau efek samping serius yang terjadi pada pasien.14
2.10. Komplikasi Terapi Cairan
Komplikasi terapi cairan yang paling umum terjadi adalah kelebihan cairan.
Tanda-tanda kelebihan cairan pada pasien:15
Tanda dan gejala awal seperti edema pada kelopak mata, distensi abdomen
(asites), takipneu, dyspneu ringan.
Tanda dan gejala selanjutnya termasuk semua yang di atas disertai dengan
distress pernafasan sedang hingga berat, sesak nafas dan wheezing (bukan
akibat asma) dimana merupakan tanda dari edema paru interstisial dan
krepitasi.
25
BAB III
KESIMPULAN
Dengue Shock Syndrome adalah suatu keadaan infeksi yang mencakup
seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue dan ditambah dengan manifestasi
kegagalan sirkulasi, yaitu: nadi cepat dan lemah dengan penyempitan
tekanan nadi (<20 mmHg) atau penurunan tekanan darah dan akral dingin.
Pengobatan pada pasien DSS bersifat suportif terutama dengan terapi cairan.
Evaluasi ketat dan keberhasilan terapi cairan menentukan prognosis pasien
DSS.
Kristaloid dan koloid keduanya bisa digunakan dalam pengangan DSS
dengan mempertimbangkan beberapa hal dan tergantung dari derajat
penyakitnya.
26