ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
BRILLIANT FAISAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH
DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
BRILLIANT FAISAL
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 26 April 1977 dari
pasangan H. Bachsir Nanlay dan Hj. Fitriah, yang merupakan anak ketiga dari
empat bersaudara.
Tahun 1995, penulis berhasil lulus dari SMA Muhammadiyah 1
Yogyakarta dan pada tahun 1996 diterima di Program Studi Ilmu Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
UMPTN dan menyelesaikan studi S1 tersebut pada Tahun 2001.
Penulis merupakan staf di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Sumatera Selatan dan pada bulan Agustus tahun 2008 dinyatakan diterima di
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah untuk melanjutkan studi magister dengan beasiswa
pendidikan melalui program beasiswa dari Pusbindiklatren – Bappenas.
Penulis menikah dengan Fitri Agustriani pada tahun 2004 dan telah
dikarunai seorang putri bernama Afifa Humaira (4,5 tahun).
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil a’lamin dan puji syukur penulis ucapkan ke hadirat
Allah SWT atas segala karunia-Nya akhirnya penelitian ini berhasil diselesaikan.
Penelitian ini berjudul Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di
Provinsi Sumatera Selatan.
Dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini, penulis mengucapkan
terima kasih kepada : Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS, dan Bapak Dr. Ir. Muhammad
Ardiansyah, selaku pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr
sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah memberikan
pengarahan, bimbingan dan masukan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga
penulis haturkan kepada Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan
Perencanaan (Pusbindiklatren) BAPPENAS, Gubernur Sumatera Selatan, Dinas
Kelautan dan Perikanan serta Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti tugas belajar, bantuan administrasi dan beasiswa yang diberikan
selama ini.
Terima kasih yang luar biasa kepada istri dan putriku beserta seluruh
keluarga besar di Palembang, orang tua, mertua, saudara-saudaraku atas segala
doa, pengertian, pengorbanan dan kesabaran serta tidak lupa kepada teman-
teman PWL angkatan 2008 atas dukungan morilnya selama ini. Semoga Allah
SWT membalasnya dengan yang lebih baik
Semoga karya ilmiah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Maret 2010
B r i l l i an t Fa i sa l
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2010
B r i l l i an t Fa i sa l NIM. A156080164
ABSTRACT BRILLIANT FAISAL. Disparity Analysis of Inter-region Development in South Sumatra Province. Under direction of SETIA HADI and MUHAMMAD ARDIANSYAH.
Economic inequality in South Sumatra Province has been caused by mining activities, especially oil and gas. Meanwhile, in 2003-2007 agriculture was still had been the dominant economic activity in South Sumatra, but rate of economic growth was slow. This study aims to determine the priority of development in coastal areas of South Sumatra based on disparity of inter-region development.
The availability of public service facilities has been well developed in Palembang only, which caused imbalance of infrastructure between the capital city of the province and other districts, and also to the economic level. In order to decrease the development inequality in this province, South Sumatra Province is grouped into three clusters, namely: 1) urban, 2) agriculture-based industry, and 3) agriculture or mining; if Palembang city was not included in the grouping. Facilities of financial institution, the number of telephone subscribers, and land use for rice field, were the variables used to distinguish each cluster. Williamson index showed that the level of development disparity between regions in South Sumatra Province is still relatively high (0,65; with oil and gas). Meanwhile, districts / cities which has the mining sector were contributing positively to the total disparity, especially Musi Banyuasin. The Mining sector, secondary sector, and state forest area as estimators of the disparity has positively correlated, while the agricultural does not correlate (r = 0,98).
On AHP result showed that local government apparatus preferred to the development of agriculture based processing industries as the main priority (0,349) for development in coastal areas. Keywords : imbalanced infrastructure, contributed sectors, processing industries,
inter-region disparity
RINGKASAN
BRILLIANT FAISAL. Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh SETIA HADI dan MUHAMMAD ARDIANSYAH.
Masalah utama ketidakmerataan dalam konteks ekonomi di Provinsi
Sumatera Selatan adalah menyangkut kegiatan produksi di sektor pertambangan, khususnya minyak dan gas (migas). Provinsi Sumatera Selatan merupakan daerah dengan kategori kesenjangan antar daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan melalui menggunakan pendekatan terhadap aktivitas perekonomian Provinsi Sumatera Selatan (PDRB ADHK 2000) dan hasil kuesioner terhadap aparatur pemerintah daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prioritas kebijakan pembangunan berdasarkan tingkat disparitas yang terjadi dan tipologi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, terutama di kabupaten pesisir.
Metode untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu wilayah dianalisis dengan Location Quotient (LQ) masing-masing sektor di tiap kabupaten/kota terhadap Provinsi Sumatera Selatan. Metode untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah di tiap kabupaten/kota dianalisis dengan menggunakan entropi aktivitas perekonomian, tipologi Klassen dan analisis multivariat (klaster dan diskriminan). Metode untuk mengetahui tingkat disparitas antar wilayah dianalisis dengan menggunakan indeks Williamson dan indeks Theil serta analisis regresi berganda secara deskriptif sedangkan model prioritas pembangunan di wilayah pesisir dianalisis dengan menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP).
Provinsi Sumatera Selatan memiliki sektor-sektor perekonomian dengan nilai LQ>1 yang didominasi secara berturut-turut oleh sektor perdagangan (10 kabupaten), pertanian (9 kabupaten), bangunan (9 kabupaten) dan jasa (9 kabupaten). Nilai LQ>1 pada sektor pertanian ternyata tidak diikuti pada sektor industri, kecuali di Kabupaten Banyuasin. Kota Palembang yang sektor pertanian bukan sebagai sektor unggulan, memiliki nilai LQ>1 pada sektor industri pengolahan. Hal ini mengkondisikan bahwa sebagian besar hasil-hasil pertanian di suatu wilayah cenderung langsung dijual ke wilayah lainnya tanpa diolah terlebih dahulu. Sektor pertanian, bangunan dan perdagangan, hotel dan jasa; mampu berkembang secara komparatif antar kabupaten/kota.
Perkembangan indeks entropi pada tahun 2003 hingga 2007 menunjukkan bahwa baik pada tingkat kabupaten/kota maupun pada tingkat provinsi memiliki nilai yang relatif tetap. Kondisi ini mengindikasikan tingkat perkembangan wilayah berdasarkan aktivitas perekonomian relatif masih rendah karena semakin beragamnya aktivitas belum tentu menunjukkan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi, kecuali Kota Palembang sebagai wilayah yang maju dibandingkan wilayah lain akibat ketimpangan pembangunan yang terjadi cenderung terpusat di wilayah tersebut. Lebih lanjut, apabila Kota Palembang diabaikan maka pengelompokan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 3 (tiga) klaster, yaitu klaster perkotaan, klaster industri dan klaster pertanian atau pertambangan dengan variabel pembatasnya adalah jumlah pelanggan telepon, luas lahan sawah dan jumlah fasilitas lembaga keuangan.
Indeks Williamson dan Theil menghasilkan wilayah yang berperan dalam meningkatkan disparitas antar wilayah, seperti Kota Palembang dan Prabumulih serta Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin sedangkan wilayah lain, termasuk wilayah pesisir dengan aktivitas sektor pertanian sebagai sektor unggulan, memiliki peranan dalam menurunkan tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini diperkuat oleh dekomposisi disparitas yang berasal dari masing-masing kabupaten/kota. Aspek ekonomi (pendapatan wilayan) dan fisik (penggunaan lahan) menjadi faktor penduga penyebab terjadinya disparitas antar wilayah, dimana PDRB pertambangan dan penggalian serta PDRB sekunder berkorelasi positif termasuk hutan negara yang dianggap dapat menghambat pembangunan; sedangkan PDRB pertanian berkorelasi negatif terhadap disparitas.
Pembangunan sektor industri pengolahan merupakan prioritas utama untuk dikembangkan di wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan, terutama yang terkait dengan sektor pertanian yang secara potensial masih memiliki luas lahan budidaya. Prioritas responden terhadap alternatif tujuan menghasilkan bobot kumulatif keseluruhan aspek sebesar 0,349. Selanjutnya berturut-turut diikuti sektor pertanian, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan jasa-jasa di wilayah kabupaten pesisir Sumatera Selatan. Hal ini didasarkan kepada kemiripan tipologi wilayah di kabupaten pesisir, yakni Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin. Walaupun tingkat perkembangan wilayahnya masih rendah namun mampu menurunkan disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan.
Kata kunci : ketimpangan infrastruktur, kontribusi sektor, industri pengolahan,
disparitas antar wilayah
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dyah Retno Panuju, M.S
Judul Tesis : Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan
Nama : Brilliant Faisal
NRP : A156080164
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, M.S Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 12 Februari 2010 Tanggal Lulus :
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ v
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................... 4 1.3. Kerangka Pemikiran .................................................................... 6 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ketimpangan Pembangunan Wilayah ......................................... 9 2.2. Pendapatan Regional .................................................................. 13 2.3. Konsep dan Peranan Pengembangan Wilayah ........................... 15 2.4. Pemanfaatan Analisa Spasial dalam Konsep Geografis
Perwilayahan ............................................................................... 17 2.5. Penelitian Sebelumnya Mengenai Disparitas Antar Wilayah ....... 18 2.6. Proses Hirarki Analitik Dalam Pemilihan Prioritas Pembangunan
Wilayah Pesisir ........................................................................... 19
3. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 21 3.2. Metode Pengumpulan Data ......................................................... 21 3.3. Metode Analisis Data ................................................................... 23
3.3.1. Analisis Sektor Unggulan Wilayah .................................... 23 3.3.2. Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah .......................... 24 3.3.3. Analisis Disparitas Antar Wilayah ..................................... 28 3.3.4. Analytical Hierarchy Process (AHP) ................................. 31
4. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Kondisi Umum Provinsi Sumatera Selatan.................................. 34 4.2. Kondisi Demografi ....................................................................... 37 4.3. Kondisi Perekonomian ................................................................. 38 4.4. Kondisi Prasarana Wilayah ......................................................... 40
4.4.1. Prasarana Listrik ............................................................... 40 4.4.2. Prasarana Telekomunikasi ............................................... 41 4.4.3. Prasarana Air Bersih ......................................................... 41
4.5. Arah dan Kebijakan Umum Pemerintahan .................................. 42
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan ........................................................................................ 44
ii
5.2. Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan ... 47 5.2.1. Perkembangan Diversivikasi Aktifitas Perekonomian........ 48 5.2.2. Hirarki Wilayah .................................................................. 51 5.2.3. Tipologi Wilayah ................................................................ 55
5.3. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan ....................................................................................... 61 5.3.1. Hasil Analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil ........... 61 5.3.2. Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pembangunan Antar
Wilayah ............................................................................. 65 5.4. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera
Selatan Berdasarkan Sintesis Hasil Sebelumnya ....................... 69 5.5. Prioritas Pembangunan Wilayah di Pesisir Sumatera Selatan
Berdasarkan Persepsi Aparatur Pemerintah Daerah .................. 72 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan .................................................................................. 77 6.2. Saran ........................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 79 LAMPIRAN ............................................................................................... 82
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jenis, Sumber, Cara Pengumpulan dan Analisis Data ..................... 22
2. Penentuan Nilai Selang Kelas Hirarki ............................................... 26
3. Variabel yang digunakan Sebagai Faktor Penduga Penyebab Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan ........................................... 30
4. Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan........... 36
5. Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2007 ................................................ 38
6. Kontribusi Sektoral Berdasarkan PDRB ADHB (jutaan rupiah) Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2007................................... 39
7. Laju Pertumbuhan Per Sektor Perekonomian Berdasarkan Harga Konstan (persen) di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2007 .. 40
8. Pendapatan per Kapita Berdasarkan Harga Konstan (ribuan rupiah) Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2007................................... 40
9. Nilai LQ Aktivitas Perekonomian Per Sektor di Kabupaten/kota, Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2007............................................ 45
10. Perkembangan Indeks Entropi (PDRB sektoral) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003, 2005 dan 2007. ............. 49
11. Variabel yang Mempengaruhi Tipologi Wilayah Berdasarkan Analisis Diskriminan di Provinsi Sumatera Selatan ........................................ 59
12. Faktor-Faktor Penduga Penyebab Terjadinya Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan.............................................................................. 66
13. Matriks Sektor Unggulan, Entropi dan Jumlah Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Pesisir Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2007 .............. 70
14. Luasan Areal Arahan Pola Pemanfatan Ruang di Kabupaten Pesisir (RTRWP 2005-2019)......................................................................... 71
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 8
2. Peta Administrasi Provinsi Sumatera Selatan ................................... 21
3. Diagram Hirarki Pemilihan Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir, Provinsi Sumatera Selatan .................................................. 32
4. Kerangka Analisis Penelitian ............................................................ 33
5. Peta Tingkat Kepadatan Penduduk di Provinsi Sumatera Selatan ... 37
6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2007 .................................. 53
7. Peta Hirarki Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2006 ......... 54
8. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) Dengan Kota Palembang...... 57
9. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan Dengan Kota Palembang 57
10. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) Tanpa Kota Palembang ....... 59
11. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan Tanpa Kota Palembang .. 60
12. Perkembangan Indeks Williamson Dengan Migas dan Tanpa Migas di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2007 .............................. 61
13. Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2003-2007) ......................................................... 62
14. Kontribusi Sektor Perekonomian Berdasarkan Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005, 2007) ............................. 63
15. Kontribusi Klaster Berdasarkan Aktivitas Perekonomian Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005-2007) ............. 64
16. Dekomposisi Sumber Disparitas Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan ............................................................................................. 65
17. Diagram Bobot Prioritas Kriteria Terhadap Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan ............................................... 72
18. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Pendapatan Wilayah ............ 73
19. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Infrastruktur Wilayah ............. 74
20. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Kesejahteraan Masyarakat ... 75
21. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Keseluruhan Aspek ......................... 75
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil analisis indeks Theil berdasarkan PDRB ADHK 2000 per kapita (ribuan rupiah) di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003 s.d.2007. 83
2. Hasil analisis indeks Theil berdasarkan PDRB sektoral per tenaga kerja di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2005 dan 2007 ............... 85
3. Hasil analisis indeks Williamson berdasarkan PDRB ADHK 2000 per kapita (ribuan rupiah) di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003 s.d.2007............................................................................................. 86
4. Hasil analisis Entropi per sektor perekonomian tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan (2003, 2005, 2007)............................. 89
5. Variabel dan parameter yang digunakan dalam analisis Multivariat.. 92
6. Matriks wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan sintesis hasil penelitian ................................................ 94
7. Nilai mean masing-masing klaster berdasarkan hasil analisis K-mean clustering ............................................................................. 97
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat
secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat daerah. Terdapat
daerah-daerah yang dapat menangkap peluang ini dengan cepat dan berinisiatif
untuk mengembangkannya, namun sebaliknya terdapat daerah lain yang masih
terhambat oleh berbagai keterbatasan yang ada, seperti yang dinyatakan oleh
Matsui (2005) bahwa hambatan paling besar seringkali muncul pada
pemahaman yang terbatas terhadap desentralisasi oleh kapasitas wilayah dan
pemerintah lokal sehingga malah mengakibatkan terjadinya kesenjangan
wilayah.
Selama ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menilai bahwa
masalah utama ketidakmerataan dalam konteks ekonomi di Sumatera Selatan
adalah menyangkut kegiatan produksi di sektor pertambangan, khususnya
minyak dan gas (migas). Provinsi Sumatera Selatan merupakan daerah dengan
kategori kesenjangan antar daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan.
Kegiatan industri migas pada umumnya menggunakan tingkat teknologi
yang relatif tinggi, sehingga penyerapan tenaga kerja daerah yang kebanyakan
berketrampilan rendah menjadi sangat terbatas. Di lain pihak, kaitan antara
kegiatan migas dengan kegiatan ekonomi lokal ternyata juga sangat kecil dan
sebagian besar dari penerimaan yang diperoleh dari kegiatan tersebut mengalir
keluar daerah. Implikasinya adalah dampak positif kegiatan produksi migas
terhadap perekonomian lokal tidak begitu besar sebagaimana diharapkan.
Indikasi ketidakmerataan pembangunan dapat dicermati juga dari adanya
ketimpangan dalam hal distribusi pendapatan antar golongan pendapatan, antar
wilayah dan antar sektor. Dua puluh persen penduduk dari golongan
berpendapatan tinggi menyerap lebih dari 60 % dari total pendapatan,
sedangkan 40 % masyarakat yang berpendapatan terendah hanya menguasai
kurang dari 20 % dari total pendapatan. Selain itu, wilayah pedesaan memiliki
tingkat pendapatan yang jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan
pendapatan masyarakat yang tinggal didaerah perkotaan. Demikian juga halnya
dengan masyarakat yang berada pada sektor industri dan jasa memiliki
2
pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingan dengan masyarakat yang berada
pada sektor pertanian (BAPPENAS & UNSRI 2008).
Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
perbedaan-perbedaan yang menyebabkan ketimpangan (disparitas), diantaranya
adalah :
(1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam.
(2) perbedaan demografi.
(3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia.
(4) perbedaan potensi lokasi.
(5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan
keputusan.
(6) perbedaan dari aspek potensi pasar.
Akibat faktor-faktor tersebut maka dalam suatu wilayah akan terdapat
beberapa macam karakteristik wilayah yang bisa dilihat dari aspek kemajuannya,
yaitu :
1) Wilayah Maju, wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan
sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk,
industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga
dicirikan oleh tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan
kualitas sumberdaya manusia yang juga tinggi serta struktur ekonomi yang
secara relatif didominasi oleh sektor industri dan jasa.
2) Wilayah Sedang Berkembang, wilayah yang sedang berkembang biasanya
dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah
penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang
sangat baik terhadap wilayah maju.
3) Wilayah Belum Berkembang, wilayah yang belum berkembang dicirikan
oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun
secara relatif namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum
dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini memiliki tingkat kepadatan
penduduk yang masih rendah dengan tingkat pendidikan yang juga relatif
rendah.
4) Wilayah Tidak Berkembang, wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh
2 (dua) hal, yakni : (a) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik
potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi sehingga secara alamiah
sulit berkembang dan tumbuh; dan (b) wilayah tersebut sebenarnya
3
memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki
keduanya tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki
kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju.
Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan
kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang
rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibilitas
yang rendah.
Seiring dengan hal tersebut, dalam dokumen Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Propinsi Sumatera Selatan 2005-2019, pemerintah berupaya
membentuk suatu wilayah prioritas dimana wilayah tersebut harus mendapat
penanganan segera untuk mengoptimalkan fungsinya sesuai dengan potensi
yang dimiliki ataupun mengurangi permasalahan yang terdapat di wilayah
tersebut.
Wilayah Prioritas yang terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu : (a)
Kawasan tertinggal, yaitu kawasan yang memiliki keterbatasan sumberdaya dan
atau aksesibilitas sehingga tidak dapat memanfaatkan ataupun menangkap
peluang ekonomi yang ada. Daerah yang dapat dikategorikan Kawasan
Tertinggal antara lain : Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan Komering
Ulu Timur, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Lahat, Musi Rawas, Musi banyuasin dan
Banyuasin; (b) Kawasan Kritis, yaitu kawasan yang karena kondisi geografis
menyebabkan potensi untuk terjadinya bencana alam cukup besar. Kawasan ini
umumnya terletak di wilayah yang mempunyai kemiringan lahan yang cukup
besar serta daya dukung lahan yang labil. Daerah yang termasuk dalam katagori
ini antara lain : Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan Komering Ulu
Timur, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Muara Enim, Lahat, Musi Banyuasin dan
Banyuasin. Disamping itu kawasan yang termasuk dalam DAS Musi dan DAS
Sugihan-Lalan; (c) Kawasan Andalan, merupakan kawasan yang secara ekonomi
berpotensi untuk mendorong pertumbuhan wilayah. Kawasan Andalan yang
ditetapkan di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan RTRWN adalah
Palembang, Lubuk linggau, Muara Enim. Seiring dengan penetapan Kawasan
Tanjung Api-Api sebagai kawasan Industri dan pelabuhan laut yang mempunyai
prospek pengembangan pada masa yang akan datang maka didalam RTRW
Provinsi Sumatera 2005-2019, Kawasan Tanjung Api-Api ditetapkan pula
sebagai salah satu Kawasan Andalan Provinsi Sumatera Selatan; (d) Kawasan
Metropolitan Palembang-Inderalaya-Pangkalan Balai-Sungsang, merupakan
4
kawasan terpadu yang perlu mendapat perhatian terutama bila dikaitkan dengan
fungsi Palembang sebagai kota yang mempunyai daya tarik cukup besar bagi
penduduk yang akan bermigrasi dari kota-kota sekitarnya. Program metropolitan
dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara wilayah pusat dengan
wilayah hinterland-nya sehingga secara bersama-sama dapat bersinergi untuk
mendukung perkembangan wilayah yang saling menguntungkan; (e) Kawasan
Tanjung Api-Api, merupakan kawasan yang terletak di pantai timur Provinsi
Selatan dan akan dikembangkan 2 kegiatan utama, yaitu : Pelabuhan Laut serta
kawasan industri. Kedua kegiatan ini diharapkan pada masa yang akan datang
dapat menjadi pendorong pertumbuhan Provinsi Sumatera Selatan; (f) Kawasan
segitiga pertumbuhan Palembang-Betung-Inderalaya (Patung Raya), merupakan
kawasan yang mempunyai lokasi strategis untuk mendukung pertumbuhan
Sumatera Selatan pada masa yang akan datang. (BAPPEDA 2006)
1.2 Perumusan Masalah
Terjadinya ketimpangan antara wilayah di Provinsi Sumatera Selatan
secara kasat mata dapat dilihat dari kualitas atau kuantitas infrastruktur termasuk
pelayanannya karena keberadaan infrastruktur merupakan salah satu faktor
pendukung dalam percepatan pembangunan.
Kabupaten/kota yang berada di kawasan barat cenderung memiliki jumlah
infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan di kawasan timur sehingga
wilayah tersebut relatif lebih maju sehingga aksesibilitas dari dan ke beberapa
bagian wilayah dapat dilakukan dengan mudah, termasuk distribusi pemasaran
hasil-hasil pertanian dan barang perekonomian lainnya dapat berjalan dengan
lancar karena didukung moda transportasi yang memadai.
Kondisi tersebut memiliki dampak yang positif terhadap harga barang
kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, keterbatasan jumlah infrastruktur di kawasan
timur Sumatera Selatan menyebabkan aksesibilitas menjadi sangat rendah dan
bahkan menjadi sangat terisolasi karena hanya beberapa daerah saja yang
dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan sungai dengan kapasitas yang
terbatas. Hal ini mengakibatkan pengiriman hasil-hasil produksi sektor pertanian
untuk dibawa ke pasar menjadi sulit (Anonim 2007).
Namun, Maryam (2001) mengemukakan bahwa berdasarkan ketimpangan
ekonomi, antara daerah pesisir dengan daratan, terjadi pada hampir seluruh
wilayah Indonesia yaitu Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Papua.
Pendapatan per kapita daerah pesisir lebih tinggi daripada pendapatan perkapita
5
daerah daratan Indonesia, kecuali untuk Pulau Jawa sehingga secara makro,
variabel yang berhubungan dengan ketimpangan antara daerah pesisir dengan
daratan Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Papua maupun antara
daerah pesisir pulau atau kelompok pulau tersebut berbeda-beda yang meliputi
faktor aksesibilitas (ketersediaan pelabuhan laut SDA non kelautan (sektor
pertambangan penggalian dan industri migas) industri pengolahan non migas
dan persentase penduduk perkotaan. Selanjutnya, perkembangan ketimpangan
ekonomi antara daerah pesisir dengan daratan Indonesia paska krisis ekonomi
(1996-1998) ketimpangan antara daerah daratan dengan pesisir semakin
melebar.
Perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan-batasan
operasional guna mengukur tingkat perkembangan wilayah. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi seringkali menjadi acuan suatu wilayah sebagai output
dari kinerja pembangunan. Akan tetapi, seiring meningkatnya pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah mengakibatkan permasalahan-permasalahan baru yang
seringkali terjadi, seperti menurunnya pendapatan, meningkatnya pengangguran
yang berimplikasi terhadap kemiskinan sehingga terjadi kesenjangan (disparitas)
dalam berbagai aspek.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu indikator kinerja pembangunan
yang memiliki fungsi dan analisa terhadap pembangunan di suatu wilayah.
Ketimpangan juga sering terjadi secara nyata antara daerah kabupaten/ kota di
dalam wilayah provinsi itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa kesenjangan
antar daerah terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi
(Alisjahbana 2005).
Penentuan batasan substansi dan representasi kesejahteraan menjadi
perdebatan yang luas dan dalam proses perumusan seringkali ditentukan oleh
perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja
negara yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global. Meskipun
penentuan lingkup substansi kesejahteraan tidak mudah, namun berbagai
penelitian sebelumnya mengenai kesejahteraan, menggunakan indikator output
ekonomi per kapita sebagai proksi tingkat kesejahteraan, yaitu Pendapatan
Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Selatan.
Pembangunan yang berimbang secara spasial menjadi penting karena
dalam skala makro karena menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian
6
nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Mangiri (2000)
menambahkan bahwa tujuan perencanaan ekonomi daerah adalah berusaha
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah dengan misi umumnya
adalah pemerataan pendapatan per kapita daerah.
Berdasarkan informasi di atas, maka dapat dibuat perumusan masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Sektor perekonomian apakah sebenarnya yang menjadi sektor unggulan di
tiap wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan?
2. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Selatan?
3. Berapa besar tingkat disparitas pembangunan antar wilayah di Provinsi
Sumatera Selatan dan faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya?
4. Bagaimana persepsi aparatur pemerintah daerah terhadap prioritas
pembangunan terutama di kawasan timur Provinsi Sumatera Selatan?
1.3 Kerangka Pemikiran
Penetapan perencanaan dan pengembangan wilayah Sumatera Selatan
merupakan tindak lanjut dari dokumen RTRW Provinsi Sumatera Selatan 2005-
2019 sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengidentifikasi ketimpangan
(disparitas) yang terjadi berdasarkan pendekatan aspek ekonomi guna
mengetahui sektor-sektor perekonomian yang dapat menjadi sektor unggulan
dan tingkat perkembangan wilayah tiap kabupaten/kota berdasarkan aspek
ekonomi, fisik dan sosial.
Hasil analisis terhadap proses pembangunan yang telah dilaksanakan di
Provinsi Sumatera Selatan dilakukan untuk mengetahui tingkat disparitas
pembangunan antar wilayah kabupaten/kota guna mengetahui tingkat
ketimpangan yang ada. Selanjutnya, dengan menganalisis sektor-sektor aktivitas
perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dan wilayah kabupaten/kota yang
mengindikasikan terjadinya disparitas pembangunan di Provinsi Sumatera
Selatan secara deskriptif; sedangkan dari analisis data terhadap persepsi
pengembangan wilayah, terutama di pesisir dilakukan terhadap aparatur
pemerintah daerah sehingga diharapkan diperoleh isu pengembangan wilayah.
Bahasan penelitian terhadap perkembangan wilayah Provinsi Sumatera
Selatan, dilihat berdasarkan beberapa indikator kinerja pembangunan wilayah,
antara lain : (1) indikator berbasis tujuan, yaitu pertumbuhan terhadap nilai
7
produksi (PDRB) sebagai pendapatan wilayah; (2) indikator berbasis kapasitas,
yaitu sumberdaya buatan dan sumberdaya manusia.
Untuk mengamati ketersediaan sumberdaya buatan melalui pendekatan
terhadap aspek fisik wilayah, antara lain penggunaan lahan dan jumlah fasilitas
pelayananan umum sedangkan pemanfaatan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) sebagai pendekatan terhadap sumberdaya manusia dan sebagai aspek
sosial. Analisis data terhadap prioritas dan arahan kebijakan pembangunan
wilayah, terutama di wilayah pesisir terhadap persepsi aparatur pemerintah
daerah dapat dijadikan arahan dan prioritas pembangunan di wilayah pesisir
yang dihasilkan mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2025 dan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan 2005-2019 dan sintesis
hasil analisis sebelumnya.
Secara umum, kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 1.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, rencana penelitian ini bertujuan
untuk :
1. Mengidentifikasi sektor-sektor unggulan tiap kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Selatan.
2. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah di tiap kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Selatan.
3. Menganalisis tingkat disparitas pembangunan antar wilayah di Provinsi
Sumatera Selatan dan mendeskripsikan penyebab terjadinya disparitas
pembangunan tersebut.
4. Prioritas pembangunan wilayah, terutama di pesisir Sumatera Selatan
berdasarkan persepsi oleh Pemerintah Daerah.
Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu
gambaran dan masukan mengenai strategi pembangunan berdasarkan prioritas
dan arahan perencanaan di wilayah kabupaten, terutama di wilayah pesisir
Provinsi Sumatera Selatan yang terkait dengan aspek ekonomi, fisik, dan sosial.
8
KETIMPANGAN PEMBANGUNAN
PROVINSI SUMATERA SELATAN
EKONOMI
FISIK
SOSIAL
SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN ANTAR WILAYAH KABUPATEN/KOTA
TINGKAT PERKEMBANGAN ANTAR WILAYAH KABUPATEN/KOTA
PERSPEPSI APARATUR TERHADAP PEMBANGUNAN DI KABUPATEN PESISIR
RTRW 2005-2019 DAN RPJPD 2005-2025
PROVINSI SUMATERA SELATAN
DISPARITAS ANTAR WILAYAH
Gambar 1. Kerangka Pemikiran.
PRIORITAS DAN ARAHAN PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR SUMATERA SELATAN
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Beberapa faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah
sebagaimana yang dikemukakan Murty (2000), diantaranya adalah :
1. Faktor Geografis, suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi
variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan,
sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya.
2. Faktor Historis, perkembangan masyarakat dan bentuk kelembagaan atau
budaya serta kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab
yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap
kapasitas kerja.
3. Faktor Politis, tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi
perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan
menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga
kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang.
4. Faktor Kebijakan, terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh
kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di
semua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-
pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar
biasa antar daerah.
5. Faktor Administratif, kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan
pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik
cenderung lebih maju.
6. Faktor Sosial, masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif,
kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan
menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif
maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk
berkembang.
7. Faktor Ekonomi, faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar
wilayah yaitu :
a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki
seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan
perusahaan;
10
b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran
kemiskinan, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan
pemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah,
efisiensi rendah dan jumlah pengangguran meningkat namun diwilayah
yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin
tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat
semakin maju;
c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti
tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri,
perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju
memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah
maju;
d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi,
keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya.
Lebih lanjut, menurut Anwar (2005) terjadinya kesenjangan yang semakin
melebar pada akhirnya menimbulkan kerawanan-kerawanan finansial, ekonomi,
sosial, dan politik yang pada gilirannya melahirkan krisis multidimensi yang sulit
diatasi. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah/kawasan di satu sisi
terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya
yang menciptakan inefisiensi dan optimalnya sistem ekonomi. Disisi lain, potensi
konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang
tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya.
Selain itu, ketidakseimbangan pembangunan juga menghasilkan struktur
hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling
memperlemah. Wilayah hinterland menjadi lemah akibat adanya pengurasan
sumberdaya yang berlebihan (backwash) yang mempengaruhi aliran bersih dan
akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan
berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat
pertumbuhan. Sebaliknya, kemiskinan di wilayah perdesaan semakin meningkat
yang pada akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota,
sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan menjadi melemah akibat munculnya
urbanisasi (Anwar 2005).
Fenomena urbanisasi yang selama ini terjadi di Kota Palembang, dapat
memperlemah perkembangan kota ini, yang dicirikan dengan berbagai bentuk
permasalahan, seperti : munculnya daerah kumuh, banjir, tingginya angka
11
kemacetan dan kriminalitas. Hal ini mengakibatkan perkembangan wilayah
perkotaan menjadi sarat dengan permasalahan-permasalahan sosial, lingkungan
dan ekonomi yang semakin kompleks dan susah diatasi.
Diduga sejak tahun 1980-an, yaitu sejak diterapkannya kebijakan
pembangunan dengan penekanan pada sektor industri, kesenjangan wilayah di
Indonesia makin membesar, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi, maupun
antar wilayah (Nurzaman 2002)
Di Indonesia faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar
provinsi atau wilayah, menurut Tambunan (2003), diantaranya adalah :
1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Kosentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas
pembangunan antar daerah. Daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi
tinggi cenderung tumbuh pesat, sedangkan daerah dengan tingkat
konsentarsi ekonomi rendah akan cenderung mempunyai tingkat
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Todaro (2000) menambahkan bahwa, justifikasi mengenai adanya hubungan
disparitas dengan pertumbuhan ekonomi yang positif hingga saat ini masih
menjadi perdebatan karena terdapat lima alasan, yakni :
(a) disparitas dan kemiskinan yang cukup besar dapat menciptakan kondisi
dimana masyarakat miskin tidak dapat memperoleh kredit, tidak dapat
membiayai anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik,
tidak ada kesempatan investasi fisik maupun moneter yang membuat
anak-anak menjadi beban finansial bagi pemerintah. Secara bersama-
sama hal di atas menyebabkan pertumbuhan akan lebih rendah;
(b) Berdasarkan kenyataannya bahwa pelaku bisnis, politisi, dan komunitas
kalangan kaya lainnya diketahui banyak menghabiskan pendapatannya
untuk mengimpor barang-barang mewah, emas (perhiasan), rumah
mewah, sehingga tidak ada investasi pada sumber-sumber yang
produktif;
(c) Masyarakat dengan pendapatan rendah yang mana dimanifestasikan
sebagai masyarakat yang memiliki tingkat kesehatan rendah, pendidikan
rendah serta produktifitas yang juga rendah secara langsung dan tidak
langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lambat;
12
(d) Peningkatan tingkat pendapatan masyarakat miskin akan menstimulus
keseluruhan peningkatan permintaan produk, yang pada akhirnya
menciptakan kondisi pertumbuhan ekonomi yang semakin baik; dan
(e) Disparitas pendapatan yang cukup lebar akan menjadi disinsentif dalam
pembangunan ekonomi.
2) Alokasi Investasi
Indikator lain yang juga menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi
langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam
negeri (PMDN). Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah membuat
pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di
wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang
produktif seperti industri manufaktur.
3) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah
Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upah/gaji dan tingkat suku
bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar provinsi juga
merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi
antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau
pertumbuhan antar provinsi dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis
mekanisme pasar output dan pasar input. Perbedaan laju pertumbuhan
ekonomi antar provinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan
per kapita antar provinsi, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar bersifat
bebas, mempengaruhi mobilitas atau (re)alokasi faktor produksi antar
provinsi. Jika perpindahan faktor produksi antar daerah tidak ada hambatan,
maka pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai dan
semua daerah akan lebih baik.
4) Perbedaan Sumberdaya Alam Antar Provinsi
Pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumberdaya alam akan lebih
maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang
miskin sumberdaya alam.
5) Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah
Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan
kondisi demografis antar provinsi, terutama dalam hal jumlah dan
pertambahan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan,
kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini
mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi melalui sisi
13
permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang
besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor
pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi
penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan
baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi
produksi.
6) Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Provinsi
Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga merupakan unsur yang
turut menciptakan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia.
Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi
dan komunikasi. Perdagangan antar provinsi meliputi barang jadi, barang
modal, input perantara, bahan baku, material-material lainnya untuk produksi
dan jasa. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah mempengaruhi
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu provinsi.
Pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan
yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan
kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua
wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkat
industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau
mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting
adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki
oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan
keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari
sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang
terlibat (Murty 2000).
2.2 Pendapatan Regional
Pendapatan regional sering didefinisikan sebagai nilai produksi barang-
barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu
wilayah selama satu tahun atau tingkat pendapatan masyarakat pada suatu
wilayah analisis (Tarigan 2004). Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari
total pendapatan wilayah ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada
wilayah tersebut. Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan
pendapatan regional, diantaranya adalah : 1) Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh
14
sektor perekonomian di suatu wilayah atau propinsi. Pengertian nilai tambah
bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara (intermediate
cost). Komponen-komponen nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen
faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan),
penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Jadi dengan menghitung nilai tambah
bruto dari dari masing-masing sektor dan kemudian menjumlahkannya akan
menghasilkan produk domestik regional bruto (PDRB); 2) Produk Domestitk
Regional Neto (PDRN), PDRN dapat diperoleh dengan cara mengurangi PDRB
dengan penyusutan. Penyusutan yang dimaksud disini adalah nilai susut (aus)
atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin, peralatan,
kendaraan dan yang lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai dalam
proses produksi. Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor
ekonomi dijumlahkan, hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan. Tetapi bila
PDRN di atas dikurangi dengan pajak tidak langsung neto, maka akan diperoleh
PDRN atas dasar biaya faktor.
Ada tiga pendekatan untuk menghitung pendapatan regional dengan
menggunakan metode langsung (Tarigan 2004), yaitu:
1. Pendekatan Pengeluaran; cara penentuan pendapatan regional dengan cara
menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang
diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total
penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk : konsumsi
rumah tangga; konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung;
konsumsi pemerintah; pembentukan modal tetap bruto (investasi); perubahan
stok, dan ekspor neto (total ekspor dikurangi dengan total impor).
2. Pendekatan Produksi; perhitungan pendapatan regional berdasarkan
pendekatan produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi
yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor produksi yang ada dalam perekonomian.
Untuk menghitung pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi,
maka pertama-tama yang harus dilakukan ialah menentukan nilai produksi
yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan regional diperoleh
dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang tercipta dari tiap-tiap sektor.
3. Pendekatan Penerimaan; pendapatan regional dihitung dengan cara
menjumlahkan pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam
memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Jadi yang dijumlahkan adalah:
upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto.
15
2.3 Konsep dan Peranan Pengembangan Wilayah
Menurut Rustiadi et al. (2009), ada 6 (enam) jenis konsep wilayah, antara
lain :
(1) Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit
geografis dengan batas-batas spesifik dimana komponen-komponen dari
wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional;
(2) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan
bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen,
sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa bersifat heterogen. Pada
umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya
alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep
wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sektor basis
perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada
dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan
permasalahan masing-masing wilayah;
(3) Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponen wilayah yang
terpisah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah nodal diumpamakan
sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai inti dan plasma. Inti adalah
pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah
belakang (hinterland);
(4) Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-
komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu
sama lain dan tidak terpisahkan;
(5) Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan
terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah
maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral;
(6) Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa
wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh
suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu.
Perkembangan suatu wilayah secara alami ditentukan oleh karakter dari
sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Wilayah yang
memiliki sumberdaya alam yang melimpah relatif akan lebih maju dibanding
dengan wilayah yang miskin sumberdaya, khususnya pada awal
perkembangannya.
16
Lebih lanjut Rustiadi et al. (2009) menambahkan bahwa, dalam
perkembangan wilayah yang menjadi indikator penting adalah tingkat interaksi
antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah-wilayah yang lebih
berkembang pada dasarnya mempunyai tingkat interaksi yang lebih tinggi
dibanding dengan wilayah lain yang belum berkembang. Interaksi itu sendiri
terjadi karena adanya faktor aksesibilitas wilayah itu ke wilayah lain. Kemudahan
akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembangan
suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan
tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat
berkembang. Faktor lain yang mendorong perkembangan wilayah adalah
lokasinya yang berdekatan dengan pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi
yang dekat dengan pusat ekonomi atau pemerintahan umumnya akan lebih
terpacu perkembangannya dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan
bisa jadi nantinya akan berkembang sebagai penyangga bagi wilayah pusat
tersebut.
Pada era otonomi daerah saat ini, maka salah satu konsep pengembangan
wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah.
Oleh karena itu, konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan
daerah (Tukiyat 2002). Perbedaan perkembangan suatu wilayah akan
membentuk suatu struktur wilayah yang berhirarki, dimana wilayah yang telah
maju cenderung akan cepat berkembang menjadi pusat aktifitas baik
perekonomian maupun pemerintahan. Wilayah yang sumberdaya alamnya
kurang mendukung akan relatif kurang berkembang dan cenderung menjadi
wilayah hinterland.
Keadaan ini diduga dapat menjadi faktor pendorong bagi sumberdaya
manusia untuk bekerja ke wilayah yang lebih berkembang dalam rangka
meningkatkan taraf hidupnya. Oleh karena itu, semakin sulit bagi wilayah ini
untuk berkembang karena telah mengalami kekurangan sumberdaya manusia.
Pembangunan di wilayah pesisir seringkali memiliki hambatan, hal ini
dijelaskan Budiharsono (2001), antara lain :
1. Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana kegiatan-kegiatan
pembangunan saat ini dipusatkan di bagian barat. Konsentrasi demikian
menimbulkan isu pengembangan wilayah outer island yang dapat
menyebabkan timbulnya berbagai masalah yang berdimensi wilayah.
17
2. Pembangunan masa lalu lebih menitikberatkan pada pembangunan daratan
dari lautan, sehingga pembangunan pesisir relatif tertinggal. Masyarakat
pesisir relatif lebih miskin dari wilayah daratan lainnya. Kondisi ini diperburuk
dengan posisi politik nelayan yang relatif lemah dibanding dengan posisi
lainnya.
3. Letak geografis Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh faktor geologis dan
ekologis yang menyebabkan keragaman lingkungan.
4. Keragaman kultural menyebabkan adanya perbedaan persepsi terhadap
pembangunan.
5. Sifat pembangunan politik di Indonesia yang diwarnai oleh kekuatan politik
wilayah.
Selain itu, kawasan pesisir dalam konteks ekonomi wilayah, memiliki posisi
strategis di dalam struktur alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi sehingga
dapat disebut sebagai wilayah yang memiliki locational rent yang tinggi. Nilai
ekonomi kawasan pesisir, selain ditentukan oleh rent lokasi (locational rent),
setidak-tidaknya juga mengandung tiga unsur rent lainnya, yakni : (1) ricardian
rent, rent berdasarkan kekayaan dan kesesuaian sumberdaya yang dimiliki untuk
berbagai penggunaan aktivitas ekonomi untuk berbagai aktivitas budidaya
berdasarkan kesesuaiannya, seperti kesesuaian lahan tambak, kesesuaian fisik
untuk pengembangan pelabuhan, dan sebagainya; (2) environmental rent, nilai
atau fungsi kawasan yang didasarkan atas fungsinya di dalam keseimbangan
lingkungan; dan (3) social rent, menyangkut manfaat kawasan untuk berbagai
fungsi sosial (Rustiadi 2001)
2.4 Pemanfaatan Analisis Spasial dalam Konsep Geografis Perwilayahan
Gunawan (1998) menerangkan bahwa analisis spasial lebih terfokus pada
kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi
kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk
meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Kejadian geografis,
dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di
ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian,
analisis spasial membutuhkan informasi baik berupa nilai-nilai atribut maupun
lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya.
Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di
sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, serta pembangunan pemukiman
penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah
18
tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan dan sosial ekonomi. SIG
juga telah digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan
geologi.
Lebih lanjut, Gunawan (1998) menambahkan bahwa, berbagai bentuk
analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan SIG termasuk di wilayah
pesisir. Dalam kerangka konsep geografis, analisis spasial telah lama
dikembangkan oleh para ahli geografi untuk memenuhi kebutuhan dalam
memodelkan dan menganalisis data spasial dengan upaya memanipulasi data
spasial ke dalam bentuk-bentuk dan mengekstrak pengertian-pengertian
tambahan sebagai hasilnya. Analisis data spasial berbeda dengan spatial
summarization of data untuk menciptakan fungsi dasar pengambilan informasi
spasial secara selektif di suatu areal dengan pendekatan komputasi, tabulasi
atau pemetaan dari berbagai statistik informasi yang dimaksudkan.
Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis,
tujuan analisis spasial adalah : (1) Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam
ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat; (2)
Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau
obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang
menentukan distribusi kejadian yang terobservasi; (3) Meningkatkan kemampuan
melakukan prediksi atau pengendalian kejadian-kejadian di dalam ruang
geografis. Berdasarkan atas aplikasinya, analisis spasial digunakan untuk tiga
tujuan, yakni: (1) peramalan dan penyusunan skenario; (2) analisis dampak
terhadap kebijakan; (3) penyusunan kebijakan dan desain (Fischer et al. 1996,
diacu dalam Rustiadi et al. 2009).
2.5 Penelitian Sebelumnya Mengenai Disparitas Antar Wilayah
Pembangunan wilayah, secara spasial tidak selalu merata sehingga
seringkali ketimpangan pembangunan antar wilayah menjadi permasalahan
serius bagi pemerintah. Mengukur ketimpangan hendaknya bersifat rasional
untuk bisa membandingkan satu daerah dengan daerah lainnya karena tolak
ukur ketimpangan pendapatan yang berasal dari pendapatan, pengeluaran,
konsumsi (individu, kelompok) tidak sama halnya dengan ketimpangan
pembangunan antar wilayah yang menggunakan PDRB, PDRB per kapita,
penduduk, luas wilayah, nilai ekspor, produksi dan lain sebagainya.
Studi dan penelitian mengenai ketimpangan wilayah telah banyak
dilakukan, beberapa diantaranya dengan melihat tingkat kesenjangan
19
pendapatan masyarakat dengan menggunakan indeks gini seperti studi yang
dilakukan oleh Bappenas dan Unsri pada tahun 2008 di Provinsi Sumatera
Selatan, namun hal tersebut belum cukup menggambarkan kondisi ketimpangan
wilayah karena hanya melihat tingkat kesenjangan secara vertikal.
Studi lainnya yang cukup menarik adalah seperti yang dilakukan Hadi
(2001) mengenai disparitas ekonomi antar wilayah dengan membandingkan
ketimpangan yang terjadi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur
Indonesia, sedangkan Noegroho dan Soelistianingsih (2007) menganalisis
disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi regional selama periode 1993-
2005 dengan menghitung nilai entropi total Theil dari daerah kaya dan miskin
seperti yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Fujita dan Hu (2001) yang
melakukan studi dengan mendekomposisi disparitas wilayah menjadi disparitas
dalam wilayah pengembangan dan antar wilayah dalam wilayah pengembangan.
Selain itu, penggunaan metode analisis indeks Williamson dalam melihat
ketimpangan-ketimpangan antar wilayah yang terjadi di beberapa tempat di
Indonesia, telah banyak dimanfaatkan oleh beberapa peneliti, seperti Rahman
(2009) menganalisis tingkat disparitas pembangunan antar wilayah yang terjadi
di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Timur dengan menguraikan faktor-
faktor penyebabnya, sedangkan Gumilar (2009) melakukan hal yang sama
dengan memfokuskan penelitiannya terhadap penentuan sektor basis yang
potensial di wilayah pengembangan Garut Selatan, Kabupaten Garut, Provinsi
Jawa Barat.
2.6 Proses Hirarki Analitik dalam Pemilihan Prioritas Pembangunan Wilayah Pesisir
Proses Hirarki Analitik (PHA) yang dikenal dengan Analytical Hierarchy
Process (AHP), pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli
matematika dari University of Pittsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an.
Menurut Saaty (1993), PHA adalah suatu pendekatan keputusan yang dirancang
untuk membantu dalam solusi permasalahan multi kriteria yang kompleks pada
sejumlah daerah aplikasi. PHA pada dasarnya di desain untuk menangkap
secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan
permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu
skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Metode ini ditemukan untuk
menjadi pendekatan praktis dan efektif yang dapat mempertimbangkan
20
keputusan yang kompleks dan tidak terstruktur. Kelebihan dari PHA adalah
kemampuan jika dihadapkan pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka.
Situasi ini terjadi jika data, informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat
minim atau tidak ada sama sekali. Data yang diperlukan kalaupun ada hanyalah
bersifat kualitatif yang mungkin didasari oleh persepsi, pengalaman, ataupun
intuisi.
Saaty (1993) mengemukakan bahwa tahapan dalam analisis data PHA
adalah: (1) identifikasi sistem, (2) penyusunan struktur hirarki, (3) membuat
matriks perbandingan/ komparasi berpasangan (pairwise comparison), (4)
menghitung matriks pendapat individu, (5) menghitung pendapat gabungan, (6)
pengolahan horisontal, (7) pengolahan vertikal, dan (8) revisi pendapat.
Saaty (1993) menambahkan bahwa beberapa keuntungan menggunakan
PHA sebagai alat analisis, antara lain :
1. Memberikan model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam
persoalan yang tidak terstruktur.
2. Memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam
memecahkan persoalan kompleks.
3. Mampu menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4. Mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-
elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokan
unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
5. Memberikan suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk
mendapatkan prioritas.
6. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan
dalam menetapkan berbagai prioritas,
7. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif,
8. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan
memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan
mereka,
9. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang
representatif dari penilaian yang berbeda-beda,
10. Memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan
dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui
pengulangan.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 2)
dengan mengamati tingkat perkembangan wilayah berdasarkan indikator kinerja
pembangunan wilayah, yaitu : 1) berbasis tujuan, yakni pemerataan terhadap
pertumbuhan ekonomi (produktivitas sektor); 2) berbasis kapasitas wilayah yang
terdiri dari kapasitas sumberdaya buatan (fisik) dan manusia (sosial) di tiap
kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan dimulai dari bulan Agustus hingga
November 2009.
Gambar 2. Peta Administrasi Provinsi Sumatera Selatan.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data
sekunder, yakni melakukan studi kepustakan dari publikasi data-data statistik
oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Dokumen-dokumen Perencanaan yang
diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan sumber-sumber
pustaka lain yang memiliki relevansi dengan topik penelitian, sedangkan
pengumpulan data primer diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap
22
para responden dengan kriteria yang digunakan mengacu terhadap indikator
kinerja pembangunan wilayah, dari aspek ekonomi (pendapatan wilayah), aspek
fisik (infrastruktur wilayah) dan aspek sosial (masyarakat). Responden ditentukan
secara sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa responden yang bersangkutan
memiliki kemampuan dan pemahaman yang baik terhadap perkembangan
pembangunan di wilayah, terutama di pesisir Sumatera Selatan. Jumlah
responden sebanyak 15 orang dari pejabat aparatur pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten di wilayah pesisir, masing-masing dari 5 instansi yang
berbeda, antara lain Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kehutanan, Dinas PU
Bina Marga, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pendapatan Daerah.
Jenis, sumber, cara pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan
yang ingin dicapai disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis, Sumber, Cara Pengumpulan dan Analisis Data.
No Tujuan Data Sumber Data Analisis
1
Mengidentifikasi sektor unggulan tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan
1. PDRB tahun 2003,2005 dan 2007 ;
• BPS (sekunder)
1. LQ
2. Deskriptif
2
Menganalisis tingkat perkembangan wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan
1. PDRB tiap kabupaten tahun 2003-2007;
2. PODES tahun 2006
3. Jumlah tenaga kerja sektoral tahun 2006
• BPS (sekunder)
1. Entropi;
2. Skalogram
3. Analisis Mulitivariat (analisis klaster & diskriminan)
3
Menganalisis tingkat disparitas pembangu-nan antar wilayah dan mendefinisikan faktor-faktor penyebabnya
1. PDRB tiap kabupaten tahun 2003-2007;
2. Jumlah Penduduk 2003-2007
3. Sumsel dalam Angka 2007
4. IPM 2007
• BPS (sekunder)
1. Indeks Williamson;
2. Indeks Theil;
3. Regresi Berganda
4. Deskriptif
4 Mengkaji strategi pembangunan dan pengembangan wilayah, terutama di pesisir Sumatera Selatan
1. Wawancara
• Responden (primer) 1. Sintesis hasil analisis sebelumnya
2. AHP
23
3.3 Metode Analisis Data
3.3.1 Analisis Sektor Unggulan Wilayah
Location Quotient (LQ) merupakan metode analisis yang umum digunakan
di bidang ekonomi geografi. Secara umum, metode analisis ini digunakan untuk
menunjukkan lokasi pemusatan aktifitas di suatu wilayah. Disamping itu, LQ juga
bisa digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah
serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah. Asumsi
yang digunakan dalam analisis ini adalah (1) kondisi geografis relatif seragam,
(2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan
produk yang sama sehingga bentuk persamaan dari LQ sebagai berikut :
��
�
�
��
�
�
��
�
�
��
�
�
=
xxxx
LQj
i
ij
ij
..
.
.
dimana :
LQij = rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang diamati
Xij = nilai PDRB di kabupaten/kota ke-i dan sektor ke-j
Xi. = total PDRB tiap sektor di kabupaten/kota ke-i
X.j = total PDRB sektor ke-j di Provinsi Sumatera Selatan
X.. = total PDRB Provinsi Sumatera Selatan.
Kriteria yang muncul dari perhitungan ini adalah:
� jika LQ > 1 ;sektor basis artinya komoditas j di daerah penelitian memiliki
keunggulan komparatif,
� jika LQ = 1 ; sektor non basis artinya komoditas j di daerah penelitian
tidak memiliki keunggulan, sehingga hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan di wilayah bersangkutan.
� jika LQ < 1 ; sektor non basis: artinya komoditas j di daerah penelitian tidak
dapat memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri sehingga diperlukan pasokan
dari luar daerah.
Asumsi yang digunakan dalam menghitung sektor unggulan di suatu
wilayah adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi
Analisis keunggulan komparatif di Provinsi Sumatera Selatan menggunakan data
24
PDRB (ADHK 2000) tiap sektor tahun 2003, 2005 dan 2007 guna melihat
perkembangannya.
Pengertian sektor basis (sektor unggulan) pada dasarnya harus dikaitkan
dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala
internasional, regional maupun nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup
internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing
dengan sektor yang sama dengan negara lain. Sedangkan dengan lingkup
nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila
sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang
dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik (Wijaya 1996).
3.3.2 Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah
3.3.2.1 Analisis Perkembangan Diversifikasi Sektor Ekonomi (entropy analysis)
Analisis indeks entropi digunakan untuk melihat hirarki wilayah dengan
mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah dan melihat sektor-sektor
perekonomian yang dominan dan berkembang pada wilayah tersebut. Data yang
digunakan untuk menghitung indeks entropi adalah nilai PDRB tiap
kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan tahun 2003, 2005
dan 2007. Prinsip pengertian indeks entropi ini adalah semakin beragam aktifitas
atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah.
Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Persamaan umum entropy ini
adalah sebagai berikut :
ij
n
i
n
jij PPS ��
= =
−=1 1
ln
dimana :
S = tingkat perkembangan
Pij = Xij/ΣXij atau proporsi sektor ke-i di kabupaten/kota ke-j
S ≥ 0 (Untuk mengidentifikasi tingkat perkembangan terdapat ketentuan bahwa
jika indeks S semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin tinggi); dengan
Smaks = Ln(banyaknya aktivitas x banyaknya wilayah)
Sedangkan indeks entropi diperoleh dengan membagi nilai entropi (S)
dengan nilai entropi maksimumnya (maksSS
IE = ) dengan nilai IE berkisar antara 0
(nol) sampai dengan 1 (satu) yang mengindikasikan tingkat keragaman suatu
komponen aktivitas semakin berkembang (merata) dan begitu pula sebaliknya.
25
Analisis model entropi, menurut Saefulhakim (2006) merupakan salah
satu konsep analisa yang dapat menghitung diversifikasi komponen aktivitas
yang berguna untuk : (1) Memahami perkembangan suatu wilayah; (2)
Memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; (3)
Memahami perkembangan aktifitas industri; (4) Memahami perkembangan
aktifitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain. Untuk mengetahui
klasifikasi indeks entropi tiap kabupaten/kota dilakukan berdasarkan nilai hasil
standar deviasi indeks entropi dan nilai rataannya. Nilai yang diperoleh
digunakan untuk menentukan jumlah kelas, yakni rendah, sedang atau tinggi
(Lampiran 4).
3.3.2.2 Analisis Skalogram
Secara umum, untuk melihat tingkat perkembangan hirarki di suatu
wilayah terhadap wilayah lain yang dibatasi oleh administrasi kabupaten,
terutama dalam hal sarana infrastruktur dengan menggunakan analisis
skalogram. Penelitian ini menggunakan data Potensi Desa tahun 2006 dengan
paramater yang diukur meliputi bidang sarana perekonomian, sarana komunikasi
dan informasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan terhadap jumlah penduduk
tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Tahapan kegiatan pada
analisis data dengan metode skalogram antara lain : (1) Melakukan pemilihan
terhadap data yang bersifat kuantitatif; sehingga hanya yang data yang bersifat
relevan saja yang digunakan; (2) Melakukan rasionalisasi data; (3) Melakukan
seleksi terhadap data-data hasil rasionalisasi hingga diperoleh variabel untuk
analisa skalogram yang mencirikan tingkat perkembangan masing-masing
wilayah kabupaten/kota; (4) Melakukan standardisasi data terhadap variabel
tersebut sebelum menentukan indeks perkembangan wilayah (IPW) di masing-
masing kabupaten/kota, yakni dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
DevStd
YYZ jij
ij
min−−
Dimana :
Zij = nilai baku untuk kabupaten/kota ke-i dan jenis sarana ke-j
Yij = jumlah sarana untuk kabupaten/kota ke-i dan jenis sarana ke-j
Min Yj = nilai minimum untuk jenis sarana ke-j
Std. Dev = nilai standar deviasi IPW
26
Setelah proses pembakuan selesai kemudian dilakukan penjumlahan nilai
baku tersebut untuk setiap desa. Untuk melihat struktur wilayah dilakukan sortasi
data dimana wilayah yang mempunyai nilai yang paling besar diletakkan di
barisan atas dan fasilitas yang paling banyak berada di kolom kiri. Indeks
Perkembangan Wilayah dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu hirarki I
(tinggi), hirarki II (sedang), dan hirarki III (rendah). Penentuannya didasarkan
pada nilai hasil standar deviasi IPW dan nilai rataannya. Nilai yang didapat untuk
selang hirarki dan digunakan untuk menentukan kelas hirarki dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Penentuan Nilai Selang Kelas Hirarki.
No. Kelas Nilai Selang (x) Tingkat Hirarki
1 Hirarki I X>[rataan + (St Dev. IPW)] Tinggi
2 Hirarki II rataan < X < (St Dev. IPW) Sedang
3 Hirarki III X < rataan Rendah
Menurut Budiharsono (2001), metode ini mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain : (1) Memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk
dan tersedianya fasilitas pelayanan; (2) Secara cepat dapat mengorganisasikan
data dan mengenal wilayah; (3) Membandingkan pemukiman-pemukiman dan
wilayah-wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas pelayanan; (4)
Memperlihatkan hierarki pemukiman atau wilayah; (5) Secara potensial dapat
digunakan untuk merancang fasilitas baru dan memantaunya.
3.3.2.3 Analisis Multivariat (Tipologi Wilayah)
Analisa tipologi wilayah bertujuan untuk melihat karakteristik
perkembangan wilayah berdasarkan indikator-indikator perkembangan wilayah,
yaitu : aspek sosial, sarana dan prasarana wilayah serta aspek perekonomian
dengan menggunakan Analisis Klaster dan Analisis Diskriminan.
� Analisis Klaster/kelompok (Cluster Analysis)
Analisis kelompok merupakan salah satu teknik multivariat yang umumnya
digunakan untuk mengelompokkan data ke dalam satu kelas yang
mempunyai ciri-ciri tertentu yang sama dan bertujuan untuk menemukan
kelompok alami dari satu kumpulan data. Analisis kelompok ini dilakukan
untuk tujuan : (1) menggali/eksplorasi data ; (2) mereduksi data menjadi
kelompok data baru dengan jumlah lebih kecil atau dinyatakan dengan
27
pengkelasan (klasifikasi) data, (3) menggeneralisasi suatu populasi untuk
memperoleh suatu hipotesis, (4) menduga karakteristik data-data. Metode ini
menggunakan perbedaan atau jarak euclidean antara nilai objek sebagai
dasar pengelompokannya untuk membentuk suatu klaster. Analisis kelompok
dilakukan setelah variabel tersebut diatas distandarisasi terlebih dahulu agar
memudahkan dalam pengelompokannya. Metode klaster memanfaatkan
metode tree clustering (quick clustering), sedangkan untuk melihat variabel
penjelas tiap kelompok dilakukan dengan menggunakan metode K-mean
clustering, guna mengetahui anggota kelompok variabel pada masing-masing
wilayah kabupaten/kota. Dikarenakan terbatasnya data selama penelitian,
maka variabel yang digunakan meliputi aspek ekonomi wilayah (PDRB per
kapita tiap sektor tahun 2006), aspek fisik wilayah (jumlah fasilitas dan
penggunaan lahan) dari data PODES 2006 dan aspek sosial (jumlah tenaga
kerja per sektor tahun 2006) yang terdiri dari 27 variabel (Lampiran 4)
� Analisis Diskriminan (Discriminant Function Analysis)
Tujuan dilakukan analisis diskriminan pada penelitian ini adalah agar mampu
disusun fungsi pembatas antar kelompok wilayah. Dengan adanya fungsi
kelompok antar gerombol wilayah tersebut maka akan dapat diukur
perubahan nilai-nilai peubah yang digunakan dalam menyusun fungsi
tersebut. Berdasarkan asumsi bahwa S = (fj , j=1,2,…,i), S adalah gugus
kelompok dari wilayah yang belum diketahui sehingga klasifikasi sebelumnya
akan diketahui jumlah kelompok serta anggota jenis wilayah dalam kelompok
tersebut. Selanjutnya gugus S dapat dituliskan kembali menjadi S = (fjk,
j=1,2,…,k), k = 1,…,K. (dengan asumsi jumlah kelompok adalah K). Analisis
diskriminan menggunakan variabel-variabel dan unit analisis yang sama
dengan analisis klaster, dengan kata lain merupakan analisis lanjutan dari
analisis klaster yang berguna untuk mengetahui akurasi pengelompokan
yang telah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya hasil analisis klaster tersebut
dihubungkan dengan batas administrasi menggunakan sistem informasi
geografis untuk dapat mendeskripsikan pola atau variasi antar tipologi
berdasarkan fasilitas wilayah.
Selanjutnya hasil analisis skalogram dan tipologi wilayah dihubungkan
dengan batas administrasi masing-masing kabupaten/kota, menggunakan sistem
informasi geografis untuk dapat mendeskripsikan pola atau variasi antar tipologi.
28
3.3.3 Analisis Disparitas Antar Wilayah
Disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan bersumber dari
banyak hal, diantaranya yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1) mengenai
ketimpangan ekonomi dalam rangka pemerataan pertumbuhan (produktivitas
perekonomian); 2) ketimpangan infrastruktur dengan membandingkan jumlah
fasilitas dan prasarana wilayah; serta 3) ketimpangan sosial yang terjadi di
Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan data PDRB per kapita tahun
2003-2007, Potensi Desa tahun 2006 dan jumlah tenaga kerja sektoral tahun
2006.
3.3.3.1 Analisis Indeks Williamson
Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang digunakan dalam
melihat disparitas yang terjadi antar wilayah dan lebih sensitif terhadap
perubahan ketimpangan (Rahman 2009; Rustiadi et al. 2009; Portnov dan
Felsenstein 2005). Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling
sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah secara horisontal.
Williamson pada tahun 1975 mengembangkan suatu indeks dalam
mengukur tingkat disparitas wilayah yang diformulasikan sebagai berikut
(Rustiadi et al, 2007) :
( )Y
pYYI
ii��
�� −
=
2
w
dimana :
Iw = Indeks Williamson Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i
Y = Rata-rata PDRB per kapita provinsi pi = fi/n, dimana fi jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i; dan n merupakan total
penduduk Provinsi Sumatera Selatan.
Indeks ini menggunakan nilai PDRB per kapita tiap kabupaten/kota.
Indeks Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama
dengan nol. Jika YYi = maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak
adanya ketimpangan ekonomi antar daerah. Indeks lebih besar dari 0
menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar
indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat ketimpangan antar kabupaten di
suatu provinsi.
29
Menurut Rustiadi (2008), wilayah yang memiliki PDRB per kapita tinggi,
dan jumlah penduduknya relatif kecil, tingkat kesenjangannya tidak terlalu tinggi.
Namun, besaran PDRB per kapita suatu wilayah relatif moderat apabila
dibandingkan dengan wilayah lain yang kecil dengan jumlah penduduknya relatif
besar, sehingga akan menyebabkan kesenjangan secara keseluruhan.
3.3.3.2 Analisis Indeks Theil
Selain indeks Wiliamson, untuk mendekomposisi total disparitas menjadi
kontribusi disparitas oleh kabupaten/kota atau untuk melihat kontribusi disparitas
oleh sektor perekonomian (disparitas parsial), digunakan indeks Theil yang
pernah dilakukan oleh Fujita dan Hu (2001), dengan persamaan :
��
���
�=�= i
iN
ii x
yy logI
0
dimana :
I = indeks Theil (disparitas total)
yi = PDRB kabupaten/kota ke-i / PDRB provinsi atau PDRB sektor ke-i / PDRB sektor ke-i provinsi
xi = penduduk kabupaten/kota ke-i / penduduk provinsi atau jumlah tenaga kerja sektor ke-i / jumlah tenaga kerja sektor ke-i provinsi
yi [log(yi/xi)] = disparitas parsial
Selain itu, untuk mendekomposisi total disparitas wilayah menjadi
disparitas antar wilayah (kawasan) atau disparitas dalam wilayah (antar
kabupaten/kota) di Provinsi Sumatera Selatan, dengan menggunakan
persamaan :
gg
g IYII �=
+=2
10
��
�
�
��
�
�=�
= g
g
gg X
YYI log
2
10
�∈
=gSi
ig yY
����
�
�
����
�
�
= �∈
g
i
g
i
Si g
ig
Xx
Yy
Yy
Ig
log
30
dimana :
I0 = disparitas antar wilayah (kawasan)
gg
g IY�=
2
1
= disparitas antar kabupaten/kota
yi = PDRB kabupaten ke-i / PDRB provinsi; yg = jumlah yi
xi = penduduk kabupaten ke-i / penduduk provinsi; xg = jumlah xi
Manfaat dari pemakaian Indeks Theil adalah : (1) memungkinkan kita
untuk membuat perbandingan selama kurun waktu tertentu; (2) Indeks
ketimpangan entropi Theil juga dapat menyediakan pengukuran ketimpangan
secara rinci dalam sub unit geografis selama periode tertentu; (3) mengkaji
gambaran yang lebih rinci mengenai ketimpangan spasial, misalnya ketimpangan
antar daerah dalam suatu provinsi dan antar sub unit daerah dalam suatu
kawasan. Semakin besar nilai indeks Theil menunjukkan ketimpangan yang
semakin membesar pula, demikian sebaliknya.
3.3.3.3 Analisis Penyebab Disparitas Antar Wilayah Kabupaten/kota
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas
pembangunan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan digunakan indikator
yang dikelompokkan berdasarkan aspek ekonomi (pendapatan wilayah), fisik
(penggunaan lahan) dan sosial (IPM) sebagai pendekatan terhadap terjadinya
disparitas. Nilai dekomposisi dari disparitas total (2006) masing-masing
kabupaten/kota digunakan sebagai variabel tujuan terhadap PDRB sektoral per
kapita (2006), penggunaan lahan (2006) dan komponen IPM (2006) sebagai
variabel bebas (Tabel 3). Penggunaan nilai dekomposisi tersebut karena
dianggap sebagai pembentuk disparitas di Provinsi Sumatera Selatan.
Tabel 3. Variabel yang Digunakan Sebagai Faktor Penduga Penyebab Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan.
Indikator Variabel 1 EKONOMI (pendapatan wilayah) PDRB sektor Pertanian 2 PDRB sektor Pertambangan 3 PDRB Sekunder 4 PDRB Tersier 5 FISIK (penggunaan lahan) Luas sawah 6 Luas non sawah 7 Luas kawasan terbangun 8 Luas hutan negara 9 SOSIAL (pembangunan manusia) Angka harapan hidup
10 Persentase melek huruf 11 Daya beli masyarakat
Sumber : BPS
31
Fungsi yang terbentuk menyerupai persamaan regresi dengan komposisi
disparitas tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan diduga dipengaruhi
oleh variabel penggunaan lahan, produktivitas perekonomian dan angka harapan
hidup, rasio melek huruf dan daya beli masyarakat tiap kabupaten/kota. Variabel-
variabel yang memiliki nilai koefisien regresi terbesar, dianggap memiliki peranan
penting dalam menyebabkan terjadinya disparitas wilayah di Provinsi Sumatera
Selatan.
Adapun bentuk persamaan umumnya adalah :
Y= f(X1,X2,X3,…,Xk) atau :
model regresi berganda dapat diturunkan menjadi :
Y = �0 + �1X1 + �2X2 + … + �i Xi + �
dimana :
Y = Nilai dekomposisi dari disparitas total tiap kabupaten/kota
Xi = Variabel bebas, terdiri dari PDRB per kapita, luas penggunaan lahan, komponen IPM
�i = Koefisien fungsi regresi
� = Residual
Y merupakan variabel tujuan yang nilainya tergantung dari k variabel bebas
x1,….xk; yang diasumsikan bahwa nilai variabel bebas diketahui dan nilai �0,
�1,…. �k belum diketahui.
3.3.4 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Untuk mengetahui isu yang mengemuka sebagai suatu prioritas kebijakan
pembangunan wilayah dan kaitannya dengan ketimpangan, terutama yang ada di
wilayah pesisir, penelitian ini melakukan analisis dengan menggunakan metode
Analytical Hierarchy Process (AHP) guna mendapatkan nilai skor yang
diperlukan dengan melibatkan 15 responden pejabat aparatur dari instansi-
instansi terkait, yakni Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kehutanan, Dinas PU
Bina Marga, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pendapatan Daerah
lingkup provinsi dan kabupaten wilayah pesisir. Data perbandingan berpasangan
antara masing-masing kriteria dan alternatif diperoleh dari masing-masing 1
(satu) orang dari unsur aparatur pejabat dari pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten yang berada di wilayah pesisir (administratif), yakni : Kabupaten Ogan
Komering Ilir dan Banyuasin.
Tujuan utama yang ingin diperoleh dari penggunaan dari metode AHP ini
adalah prioritas yang perlu dilakukan untuk pembangunan wilayah pesisir di
32
Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel
responden secara purposive sampling, dengan kriteria bahwa responden
memahami kebijakan pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan
agar jawaban yang diperoleh dapat mencerminkan kondisi yang lebih realistis
dalam perumusan prioritas dan arahan kebijakan pembangunan.
Kriteria yang dibentuk untuk prioritas pembangunan di wilayah pesisir
Sumatera Selatan terhadap responden juga berdasarkan pendekatan dari
indikator kinerja pembangunan wilayah, yaitu infrastruktur wilayah (jalan,
fasilitas), pendapatan wilayah (PDRB) dan kesejahteraan masyarakat
(penyerapan tenaga kerja dan pendapatan) sebagai indikator sosial sedangkan
alternatif tujuan yang dipakai dalam model AHP merupakan sektor-sektor
unggulan yang terdapat di kabupaten pesisir berdasarkan hasil analisis
sebelumnya.
Hirarki disusun berdasarkan kriteria dan alternatif yang dijadikan
pertimbangan dalam pemilihan prioritas penggunaan sebagai tujuan (Gambar 3).
Data perbandingan berpasangan antara masing-masing kriteria dan
alternatif diperoleh dari 15 orang responden masing-masing 1 orang dari unsur
aparatur pejabat dari pemerintah daerah provinsi dan kabupaten di wilayah
pesisir tersebut.
Kriteria
S
SEKTOR UNGGULAN
PENDAPATAN WILAYAH
INFRASTRUKTUR WILAYAH
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
PERTANIAN
BANGUNAN
INDUSTRI PENGOLAHAN
PRDG, HOTEL & RESTO
JASA
PRIORITAS PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR SUMATERA SELATAN
Tujuan
Alternatif
Gambar 3. Diagram Hirarki Pemilihan Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir, Provinsi Sumatera Selatan.
33
Selanjutnya, alur proses dan analisis-analisis yang digunakan dalam
penelitian ini, disajikan oleh Gambar 4.
Gambar 4. Kerangka Analisis Penelitian.
TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
ANALISI ENTROPI; ANALISIS SKALOGRAM DAN ANALISIS MULTIVARIAT
IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN
ANALISIS LOCATION QUESTION (LQ)
PRIORITAS DAN ARAHAN PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR SUMATERA SELATAN
PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PROVINSI SUMATERA SELATAN
DISPARITAS ANTAR WILAYAH
ANALISIS INDEKS WILIAMSON; ANALISIS INDEKS THEIL; ANALISIS REGRESI
BERGANDA; DESKRIPTIF
PERSEPSI APARATUR DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR
AHP
INFRASTRUKTUR WILAYAH
PENDAPATAN WILAYAH
SOSIAL
4. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Provinsi Sumatera Selatan
Wilayah Provinsi Sumatera Selatan merupakan suatu wilayah bagian dari
Pulau Sumatera yang mempunyai luas wilayah ± 8.701.742 Ha. yang terletak
pada 10 – 40 Lintang Selatan dan 1020 – 1060 Bujur Timur. Secara administratif,
di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi, di sebelah timur berbatasan
dengan Provinsi Lampung, di disebelah barat berbatasan dengan Provinsi
Bengkulu dan sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung.
Kondisi topografi Provinsi Sumatera Selatan bervariasi, mulai dari wilayah
berpantai, datar hingga bergunung. Di pantai Timur tanahnya terdiri dari rawa-
rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa
tumbuhan palmase dan kayu rawa (bakau). Wilayah barat merupakan dataran
rendah yang luas. Lebih masuk ke dalam, wilayahnya semakin bergunung-
gunung.
Apabila dilihat dari kondisi geologi, susunan formasi batuan dan endapan
di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, antara lain :
1. Batuan Sedimen
� Formasi Lahat, terdiri dari batu lempung, serpih, dengan sisipan batu
pasir halus sampai batu lanau gampingan.
� Formasi Palembang Anggota Tengah, terdiri dari perselingan batu
lempung dengan serpih dan batu lanau, bersisipan batu pasir.
� Formasi Palembang Anggota Atas, terdiri dari batu lempung dan batu
lanau tufaan dengan sisipan batubara.
� Formasi Palembang Anggota Bawah, terdiri dari tufa, tufa pasiran dan
batu pasir tufaan yang mengandung batu apung.
2. Endapan Permukaan
� Aluvium (Qa), terdiri dari lempung yang berasal dari rombakan tufa,
lanau, pasir, dan kerikil. Pelamparannya terdapat di wilayah Provinsi
Sumatera Selatan bagian utara dan timur serta setempat-setempat.
� Endapan Rawa (Qs), terdiri dari lumpur, lanau, dan pasir, pada umumnya
tufaan. Lamparannya cukup luas, yaitu di sekitar sungai.
35
Sedangkan berdasarkan kondisi hidrologinya, sumber air di Provinsi
Sumatera Selatan berasal dari air permukaan dan air tanah. Adapun jenis air
permukaan yang berada di Provinsi Sumatera Selatan adalah sungai,
danau/rawa, tadah hujan. Air tanah sangat jarang dijumpai sebagai sumber mata
air dan kalau pun ada debitnya kecil, umumnya kurang dari 1 lt/det dan tidak
cukup memiliki prospek untuk dikembangkan karena dipengaruhi oleh keadaan
musim (BAPPEDA 2006).
Jenis-jenis tanah yang terbentuk di wilayah Provinsi Sumatera Selatan
terdiri dari 11 jenis tanah, yaitu :
1. Organosol, terdapat di sepanjang pantai dan dataran rendah.
2. Litosol, yang tersebar di pinggiran pegunungan terjal Danau Ranau dengan
Patahan di sepanjang Bukit Barisan.
3. Alluvial, terdapat di sepanjang Sungai Musi, Sungai Lematang, Sungai Ogan,
Sungai Komering, dan Punggung Bukit Barisan.
4. Hidromorf, terdapat di dataran rendah Muara Enim dan Musi Rawas.
5. Humus, terdapat di sepanjang pantai dan dataran rendah.
6. Regosol, terdapat di sekeliling Pantai Timur, di pinggiran pegunungan terjal
Danau Ranau dan Kerucut Vulkan.
7. Andosol, jens tanah ini terdapat di semua kerucut Vulkan muda dan tua,
umumnya jenis tanah ini ditemui di wilayah dengan ketinggian lebih dari 100
m dpl.
8. Rendzina, terdapat di sekitar Kota Baturaja.
9. Latosol, penyebaran tanah ini umumnya terdapat di wilayah tanah kering.
10. Lateritik, terdapat dataran rendah di sekitar Martapura.
11. Podzolik, terdapat di dataran rendah dan di pegunungan Bukit Barisan.
Wilayah Provinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan bergambut seluas
1,4 juta ha atau 16,3 % dari luas wilayah. Dengan luasan seperti ini menjadikan
Provinsi Sumatera Selatan sebagai provinsi terluas ke dua di Pulau Sumatera
(setelah Riau) yang memiliki kawasan gambut. Kawasan gambut tersebut
tersebar di 5 kabupaten, yaitu : Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Banyuasin,
Musi Rawas, dan Muara Enim. Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin,
dan Banyuasin merupakan kabupaten yang memiliki kawasan gambut terluas
dengan rincian masing-masing 768.501 ha, 340.604 ha, dan 252.706 ha.
Kawasan gambut di Provinsi Sumatera Selatan memiliki ketebalan yang
bervariasi antara 50 - 400 cm atau termasuk kategori dangkal hingga dalam.
36
Namun demikian 96,8 %-nya termasuk gambut dangkal hingga sedang, sisanya
3,2 % atau 45.009 ha merupakan gambut dalam yang sebarannya terdapat di
Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Muara Enim, dan
Kabupaten Ogan Komering Ilir. Berdasarkan Keppres Nomor 32 Tahun 1990
tentang Kawasan Lindung, bahwa gambut yang termasuk dalam kategori
kawasan lindung apabila mempunyai ketebalan lebih dari 3 m.
Sejak Tahun 2001 hingga 2003, wilayah administrasi Provinsi Sumatera
Selatan yang semula terdiri atas enam (6) kabupaten dan satu (1) kota
mengalami pemekaran. Sekarang Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 14
kabupaten/kota Pada Tahun 2007, Kabupaten Empat Lawang memekarkan
wilayahnya dari Kabupaten Lahat dan pada pertengahan Tahun 2008 telah
melakukan proses pemilihan kepala daerah. Ibukota Provinsi Sumatera Selatan
berada di Kota Palembang, yang mempunyai luas wilayah 37.403 ha atau 421,01
km2 yang merupakan pusat pemerintahan, pendidikan, kebudayaan, bisnis dan
industri.
Tabel 4. Luas Wilayah Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan.
No. Kabupaten/Kota Luas (Ha) %
1 Ogan Komering Ulu (OKU) 444.100 5,10
2 OKU Selatan 548.900 6,31
3 OKU Timur 337.000 3,87
4 Ogan Komering Ilir (OKI) 1.528.199 17,56
5 Ogan Ilir 266.607 3,06
6 Muara Enim 858.794 9,87
7 Lahat 663.250 7,62
8 Musi Rawas 1.213.457 13,94
9 Musi Banyuasin 1.447.700 16,64
10 Banyuasin 1.214.274 13,95
11 Palembang 37.403 0,43
12 Prabumulih 42.162 0,48
13 Pagar Alam 57.916 0,67
14 Lubuk Linggau 41.980 0,48
Provinsi Sumatera Selatan 8.701.742 100,00
Sumber : BAPPEDA (2006)
37
4.2 Kondisi Demografi
Perkembangan jumlah penduduk di 14 kabupaten/kota di Sumatera
Selatan Tahun 2003-2007 menunjukkan kenaikan. Pertumbuhan penduduk
sebesar 1,72% per Tahun periode 2003-2007. Pertambahan jumlah penduduk
tersebut yang relatif tinggi jika dilihat dari beban pemerintah tentu berimplikasi
diperlukannya penyediaan pelayanan publik yang mesti terus diperbaiki dan
ditingkatkan. Pada sisi lain kondisi itu mencerminkan potensi SDM yang dapat
dioptimalkan peranannya dalam kegiatan pembangunan daerah pada semua
aspek. Sebaran jumlah penduduk yang ada dapat dijadikan acuan untuk
memetakan program dan kegiatan perekonomian yang mampu menyerap tenaga
kerja lokal untuk turut berperan dalam pembangunan.
Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Selatan pada Tahun 2007 sebanyak
7.019.964 jiwa yang tersebar di sebelas kabupaten dan empat kota. Sejumlah
19,87 % atau 1.394.954 jiwa dari total jumlah penduduk tersebut bermukim di ibu
kota Provinsi (Palembang) sehingga kepadatan penduduknya sangat tinggi,
sedangkan sekitar 116.102 jiwa merupakan jumlah penduduk paling sedikit
(rendah) yang dimiliki oleh Kota Pagar Alam, seperti yang disajikan di Gambar 5.
Gambar 5. Peta Tingkat Kepadatan Penduduk di Provinsi Sumatera Selatan.
38
Tabel 5. Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2003-2007.
No Kabupaten/Kota 2003 2004 2005 2006 2007
1 Ogan Komering Ulu (OKU) 1.098.894 252.464 255.246 259.292 262.383
2 OKU Selatan - 313.819 317.277 322.307 326.162
3 OKU Timur - 549.949 556.010 564.824 571.557
4 Ogan Komering Ilir (OKI) 987.678 651.594 656.828 672.192 685.296
5 Ogan Ilir - 351.266 356.983 365.333 372.431
6 Muara Enim 623.655 623.699 632.222 643.924 653.304
7 Lahat 532.329 543.991 545.754 550.478 553.359
8 Musi Rawas 463.105 467.001 474.430 484.281 492.437
9 Musi Banyuasin 446.761 446.761 446.761 446.761 446.761
10 Banyuasin 690.522 714.389 733.828 757.398 778.627
11 Palembang 1.300.885 1.307.788 1.338.793 1.369.239 1.394.954
12 Prabumulih 125.798 128.583 130.340 132.752 124.686
13 Pagar Alam 112.010 114.122 114.562 115.553 116.102
14 Lubuk Linggau 167.564 171.720 174.452 178.074 181.068
Provinsi Sumatera Selatan 6.549.201 6.637.146 6.733.486 6.862.408 6.959.127
Sumber : BPS
Peningkatan jumlah penduduk Sumatera Selatan dapat menjadi
pendorong maupun penghambat perkembangan ekonomi. Akan mendorong
perkembangan ekonomi bila pertambahan penduduk memperbesar jumlah
tenaga kerja yang meningkatkan pertambahan produksi dan perluasan pasar
yang akan menaikkan tingkat kegiatan ekonomi.
Dampak tidak menguntungkan dari pertumbuhan penduduk terhadap
pertumbuhan ekonomi terutama dihadapi oleh daerah yang kemajuan
ekonominya belum tinggi tetapi telah menghadapi masalah kelebihan penduduk
sehingga dapat menyebabkan ketidakseimbangan dengan faktor-faktor produksi
lainnya. Implikasinya pertambahan penggunaan tenaga kerja tidak menimbulkan
pertambahan output ataupun pertambahan tersebut sangat lambat dibanding
pertambahan penduduk.
4.3 Kondisi Perekonomian
Struktur perekonomian Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat dari
kontribusi masing-masing sektor lapangan usaha terhadap PDRB ADHB (Tabel
5). Kontribusi terbesar masih sektor pertambangan dan penggalian, yaitu
28,51%; 26,12%; dan 24,94% masing-masing Tahun 2005, 2006, dan 2007.
Kontribusi terbesar kedua, ketiga, dan keempat adalah sektor industri
pengolahan, sektor pertanian, dan sektor perdagangan. Keempat sektor ini
memberikan kontribusi total untuk Tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing
39
sebesar 78,68%; 78,79%; dan 78% sehingga ada indikasi ketimpangan dalam
peranan masing-masing aktivitas dari sektor-sektor perekonomian yang ada di
Provinsi Sumatera Selatan. Ada perbedaan yang signifikan antara PDRB atas
dasar harga berlaku dan konstan. Ini terlihat dari indeks implisit PDRB Sumatera
Selatan untuk Tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing sebesar 164,27;
183,72; dan 198,86. Peningkatan yang besar dari indeks implisit ini menunjukkan
relatif tingginya celah inflatoir (inflationary gap). Hal ini memiliki kelemahan
bahwa komoditi-komoditi perdagangan Sumatera Selatan sangat rentan terhadap
gejolak harga, baik perdagangan domestik maupun perdagangan internasional
(BAPPENAS & UNSRI 2008).
Tabel 6. Kontribusi Sektoral Berdasarkan PDRB ADHB (jutaan rupiah) Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2003-2007.
Sektor-sektor Perekonomian 2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 %
Pertanian 11.085.745 20,07 12.487.633 19,49 14.358.881 17,61 17.300.120 18,03 20.080.335 18,27
Pertambangan dan Penggalian
13.221.726 23,93 16.563.748 25,85 23.247.361 28,51 25.060.662 26,12 27.412.484 24,94
Industri Pengolahan
12.450.542 22,54 13.960.685 21,79 17.867.383 21,91 22.286.619 23,23 25.305.859 23,03
Listrik, Gas dan Air Bersih
381.694 0,69 428.341 0,67 469.827 0,58 528.033 0,55 592.068 0,54
Bangunan 3.762.967 6,81 4.422.511 6,90 5.079.274 6,23 5.810.671 6,06 6.724.083 6,13
Perdagangan, Hotel dan Restoran
5.971.395 10,81 6.427.688 10,03 9.051.350 11,10 10.941.014 11,41 12.919.872 11,76
Transportasi dan Komunikasi
2.092.447 3,79 2.549.028 3,98 3.131.687 3,84 3.891.921 4,06 4.556.115 4,15
Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan
1.976.901 3,58 2.257183 3,52 2.653.394 3,25 3.162.870 3,30 3.750.156 3,41
Jasa-Jasa 4.305.341 3,58 2.257.183 3,52 2.653.394 6,96 6.946.853 7,24 8.536.735 7,77
Total 55,248.758 100 64.077.474 100 81.531.510 100 95.928.763 100 109.895.707 100
Sumber : BPS
Pertumbuhan ekonomi sektoral di Provinsi Sumatera Selatan (Tabel 6)
untuk tiap sektor-sektor perekonomian, relatif dominan mengalami peningkatan
dengan sektor-sektor yang memiliki prospek cukup baik tumbuh relatif tinggi
Tahun 2005, 2006, dan 2007, seperti sektor transportasi dan komunikasi masing-
masing sebesar 11,56; 10,56, dan 14,32. Demikian pula, sektor jasa-jasa,
keuangan, dan bangunan relatif pesat.
Perkembangan pendapatan regional per kapita di Provinsi Sumatera
Selatan cenderung mengalami pertumbuhan yang lambat. Hal ini terlihat dari
40
perkembangan Tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing dengan migas
ADHK sebesar Rp 6.180.000,- ; Rp 6.367.000,- dan Rp 6.624.000,- sedangkan
tanpa migas sebesar Rp 4.510.000,-; Rp 4.738.000,-, dan Rp 5.033.000,-. Hal ini
memperlihatkan bahwa percepatan pertumbuhan daya beli riil masyarakat masih
relatif lambat (Tabel 7), namun demikian bahwa pada Tahun 2003 pendapatan
per kapita dengan migas baru meningkat sedangkan tanpa migas peningkatan
baru mulai terjadi pada Tahun 2007.
Tabel 7. Laju Pertumbuhan Per Sektor Perekonomian Berdasarkan Harga Konstan (persen) di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2003-2007.
Sektor-sektor Perekonomian 2003 2004 2005 2006 2007
Pertanian 4,75 4,94 5,88 6,44 6,48
Pertambangan dan Penggalian 3,29 0,75 0,42 0,36 0,25
Industri Pengolahan 4,63 6,14 4,75 5,30 5,70
Listrik, Gas dan Air Bersih 4,18 5,71 6,66 7,48 7,40
Bangunan 6,69 7,56 7,61 7,25 8,11
Perdagangan, Hotel dan Restoran 5,35 6,21 7,73 7,93 9,04
Transportasi dan Komunikasi 7,03 9,48 11,56 10,56 14,32
Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan 5,27 7,12 7,37 8,26 9,14
Jasa-Jasa 4,65 3,19 6,72 7,90 9,06
Sumber : BPS
Tabel 8. Pendapatan Per Kapita Berdasarkan Harga Konstan (ribuan rupiah) Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2007.
Tahun Dengan Migas Tanpa Migas
2003 5.883 4.079
2004 6.037 4.253
2005 6.181 4.510
2006 6.367 4.738
2007 6.624 5.033
Sumber : BPS
4.4 Kondisi Prasarana Wilayah
4.4.1 Prasarana Listrik
Secara umum kota-kota di Provinsi Sumatera Selatan sudah menikmati
energi listrik yang dilayani oleh PT. PLN (Persero). Untuk sistem
41
ketenagalistrikan di rovinsi Sumatera Selatan tidak terlepas dari sistem
ketenagalistrikan di Pulau Sumatera, karena semenjak Tahun 2004 sistem
kelistrikan Sumatera Bagian Selatan (Provinsi Sumatera Selatan, Jambi,
Lampung dan Bengkulu) sudah terinterkoneksi dengan sistem Sumatera bagian
tengah (Provinsi Sumatera Barat dan Riau).
Prasarana ketenagalistrikan PLN yang dimiliki oleh Provinsi Sumatera
Selatan adalah 4 unit PLTU Batubara (dengan kapasitas terpasang 260,0 MW), 2
unit PLTU (Gas, HSD, Residu) dengan kapasitas terpasang 25,0 MW, 8 unit
PLTG (207,7 MW), dan 4 unit PLTD Besar (37,9 MW) serta 47 unit PLTD
isolated. Jaringan Tegangan Menengah (JTM) yang telah dibangun sepanjang
6.907,00 KMS dan Jaringan Tegangan Rendah (JTR) sepanjang 7.231,00 KMS.
4.4.2 Prasarana Telekomunikasi
Prasarana telekomunikasi yang dibahas pada bagian ini, hanya meliputi
prasarana telekomunikasi yang dikelola oleh PT. Telkom wilayah kerja Sumatera
Bagian Selatan yang melayani wilayah Sumbagsel, yaitu Kandatel Palembang
Ilir, Palembang Ulu, Baturaja, dan Lubuk Linggau. Jumlah pelanggan secara
keseluruhan mencapai lebih 150.797 jiwa. Seiring dengan perkembangan
teknologi telekomunikasi, penyedia jaringan telekomunikasi tidak lagi dimonopoli
oleh Telkom. Beberapa perusahaan swasta telah berpartisipasi khususnya di
bidang penyediaan jaringan telekomunikasi seluler.
4.4.3 Prasarana Air Bersih
Pada tepian sungai banyak penduduk yang masih memanfaatkan sungai
sebagai sumber air bersih. Mereka mengambil air dari sungai kemudian
diendapkan atau ditambahkan kaporit, kemudian langsung digunakan sebagai air
untuk dimasak atau pada saat musim hujan mereka menampung air hujan untuk
dijadikan air minum. Kebiasaan ini sudah terjadi secara turun menurun sejak
dahulu.
Sumber air non PDAM di beberapa kota di Provinsi Sumatera Selatan
seperti Palembang, Sekayu, dan Kayuagung memang tidak banyak mempunyai
alternatif lain. Sumur gali tidak bisa digunakan karena airnya terlalu asam,
berwarna kecoklatan dan tidak layak untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan
kondisi alamnya yang sebagian besar berupa rawa dan bergambut. Pada kota-
kota di Sumatera Selatan seperti Baturaja, Muara Enim, Lahat, Lubuk Linggau,
sumur gali di beberapa lokasi masih bisa digunakan dan dimanfaatkan oleh
penduduk.
42
4.5 Arah dan Kebijakan Umum Pemerintahan
Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional
yang melaksanakan pembangunan secara terus menerus dan
berkesinambungan. Untuk mewujudkannya, Pemerintah Provinsi Sumatera
Selatan telah menentukan visi dan misi kebijakan pembangunan, yaitu dengan
visinya “ Sumatera Selatan Sejahtera dan Terdepan Bersama Masyarakat
Cerdas dan Berbudaya”. Sejahtera adalah keadaan dimana semua lapisan
masyarakat secara menyeluruh dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan,
sandang dan papan) secara merata, serta memiliki rasa aman dan kepercayaan
yang tinggi kepada pemerintah; Cerdas adalah sikap pikir profesional yang
didasarkan pada landasan moral yang tinggi, kemampuan dan kecakapan dalam
membaca situasi, menangkap dan mengolah peluang, serta merancang dan
melaksanakan pemecahan masalah dalam semua situasi. Insan dan masyarakat
yang cerdas akan selalu optimistis dan mampu memanfaatkan peluang untuk
aktifitas yang produktif; dan Terdepan adalah keadaan yang menunjukkan tingkat
penguasaan wawasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) yang tinggi,
berkelanjutan, berada lebih baik dan menjadi acuan bagi daerah-daerah lain.
Guna menjabarkan visi tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan
menetapkan misi pembangunan daerah yang digunakan sebagai arah kebijakan,
antara lain :
1. Mengembangkan dan membina, serta menfasilitasi pembentukan sumber
daya manuasia (SDM) Sumatera Selatan yang kreatif, produktif dan inovatif
dan perduli melalui semua jalur dan jenjang pendidikan baik formal maupun
informal.
2. Membangun pertanian pangan dan perkebunan berskala teknis dan
ekonomis dengan infrastruktur yang cukup dan penerapan teknologi tepat
guna.
3. Mendayagunakan sumber daya pertambangan dan energi (fosil dan
terbarukan) dengan cerdas, arif dan bijaksana demi kepentingan masyarakat
luas.
4. Membangun industri pengolahan dan manufaktur yang berdayasaing global
dengan menciptakan nilai tambah potensial yang proposional dengan
memperkokoh kemitraan hulu dan hilir, serta industri kecil, menengah dan
besar.
43
5. Membangun dan menumbuhkembangkan pusat-pusat inovasi yang berbasis
pada perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk meningkatkan nilai
tambah dan produktifitas sektor ekonomi berkelanjutan.
6. Meningkatkan dan memeratakan pembangunan menuju kesejateraan yang
bermartabat.
7. Membangun dan memperkuat jejaring kerjasama ekonomi (industri,
perdagangan) dan kelembagaan (regional, nasional dan internasional).
8. Membangun pemerintah yang amanah (demokratis, keadilan, jujur dan
bertanggungjawab serta akuntabel).
9. Mengembangkan dan membina budaya daerah yang berakat pada nilai-nilai
luhur "Simbur Cahaya”
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan
Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan
sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Struktur yang
terbentuk dari nilai tambah yang diciptakan oleh masing-masing sektor yang
menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan
berproduksi dari masing-masing sektor. Secara umum, sektor-sektor
perekonomian tersebut dibagi menjadi 9 (sembilan) sektor, yaitu : (1) Pertanian;
(2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri Pengolahan; (4) Listrik, Gas dan
Air Bersih; (5) Bangunan; (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (7)
Pengangkutan dan Telekomunikasi; (8) Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan; dan (9) Jasa lainnya.
Hasil perhitungan LQ berdasarkan aktivitas sektor perekonomian tahun
2007 masing-masing kabupaten/kota, memperlihatkan bahwa sebagian besar
sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dengan nilai LQ>1,
antara lain sektor perdagangan (10 kabupaten), pertanian (9 kabupaten),
bangunan (9 kabupaten) dan jasa (9 kabupaten). Secara umum, sektor
pertanian; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan; serta jasa lainnya mampu berkembang secara komparatif
di Provinsi Sumatera Selatan sebagai sektor unggulan wilayah (Tabel 9).
Sektor pertanian dengan besaran nilai LQ>1 ternyata tidak diikuti oleh
besaran nilai LQ di sektor industri pengolahan, kecuali pada Kabupaten
Banyuasin dan Kota Palembang. Pada sektor pertambangan dan penggalian,
nilai LQ>1 hanya dimiliki oleh Kabupaten Muara Enim, Musi Rawas, Musi
Banyuasin dan Prabumulih. Nilai LQ>1 untuk sektor listrik dan air minum dari
seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Selatan hanya terdapat di
Kota Palembang sedangkan Nilai LQ>1 pada sektor bangunan terdapat di
beberapa kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara Enim,
Musi Rawas, Musi Banyuasin dan OKU Timur. Pada sektor perdagangan, nilai
LQ>1 terdapat hampir di setiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Muara Enim,
Lahat, Musi Rawas dan Musi Banyuasin. Kota Palembang, Pagaralam dan
Lubuk Linggau mempunyai nilai LQ>1 di sektor transportasi dan komunikasi
sedangkan di sektor keuangan, nilai LQ>1 terdapat di beberapa kabupaten/kota,
45
seperti Kabupaten Lahat, OKU Selatan, Ogan Ilir dan Kota Palembang,
Pagaralam serta Lubuk Linggau. Pada sektor jasa dengan nilai LQ>1 juga
hampir terdapat di tiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Banyuasin, Muara Enim, Musi Rawas dan Musi Banyuasin.
Tabel 9. Nilai LQ Aktivitas Perekonomian Per Sektor Tiap Kabupaten/kota, di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2007.
SEKTOR KABUPATEN/KOTA Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa
OKI 2,42 0,06 0,50 0,11 1,84 1,23 0,28 0,67 0,98 Banyuasin 1,74 0,61 1,15 0,08 1,19 1,16 0,12 0,25 0,51 Palembang 0,04 - 2,26 2,92 1,09 1,50 2,97 1,82 1,55 OKU 1,58 0,88 0,57 0,40 0,93 1,11 0,40 0,99 1,10 Muara Enim 0,96 2,16 0,47 0,80 0,54 0,39 0,32 0,33 0,57 Lahat 1,75 0,86 0,48 0,26 1,12 0,79 0,47 1,15 1,22 Musi Rawas 1,91 1,44 0,47 0,16 0,52 0,31 0,09 0,43 0,79 Musi Banyuasin 0,70 2,44 0,45 0,05 0,53 0,48 0,06 0,32 0,37 OKU Selatan 1,73 0,07 0,59 0,23 1,85 1,73 0,24 1,21 1,47 OKU Timur 2,54 0,11 0,45 0,21 0,99 1,22 0,29 0,97 1,31 Ogan Ilir 1,64 0,22 0,65 0,29 1,92 1,54 0,36 1,11 1,28 Prabumulih 0,47 1,19 0,38 0,46 1,52 1,56 0,73 2,68 1,02 Pagaralam 1,98 0,06 0,07 0,35 1,63 1,57 1,02 1,67 1,80 Lubuk Linggau 0,34 0,05 0,44 0,94 3,10 1,78 1,64 3,58 2,28 Maks 2,54 2,44 2,26 2,92 3,10 1,78 2,97 3,58 2,28 Min 0,04 0,05 0,07 0,05 0,52 0,31 0,06 0,25 0,37 Rataan 1,42 0,83 0,69 0,62 1,39 1,16 0,73 1,30 1,18
Sumber : BPS Sumatera Selatan 2007 (diolah)
Ket : Kab. Empat Lawang masih tergabung dengan Kab. Lahat (Kab. Induk) Tn Tbg Ind Ligas Bang
: : : : :
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Gas Bangunan
Prdg Tran Keu Jasa
: : : :
Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa.
Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki sektor-sektor
unggulan (nilai LQ>1) lebih dari 1 (satu) sektor dan berpeluang menjadi potensi
daerah, secara umum dimiliki oleh tiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Muara
Enim dan Musi Banyuasin yang hanya memiliki 1 (satu) sektor unggulan, yakni
sektor pertambangan dan penggalian. Semakin banyak jenis sektor unggulan
(LQ>1), mengindikasikan suatu wilayah memiliki keberagaman aktivitas dan
relatif mengindikasikan perkembangan wilayahnya tinggi, seperti Kota
Palembang yakni 7 (tujuh) dari 9 (sembilan) sektor-sektor perekonomian
(77,78%) dan Kota Pagaralam memiliki 6 (enam) dari 9 (sembilan) perekonomian
(66,67%) sedangkan sisanya dimiliki oleh kabupaten/kota lainnya.
46
Lebih lanjut, aktivitas perekonomian yang mendekati nilai LQ=1;
diharapkan berpeluang untuk menjadi potensi sektor unggulan pada wilayah
masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga peranan
aktivitas sektor potensial tersebut nantinya dapat dikembangkan dan mampu
meningkatkan keberagaman perekonomian yang relatif mengindikasikan
majunya tingkat perkembangan suatu wilayah.
Secara rinci, dapat dijelaskan mengenai indikasi sektor unggulan atau
beberapa sektor perekonomian yang berpotensi berpeluang sebagai sektor
unggulan di tiap kabupaten/kota, yakni :
1. Sektor Pertanian; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Muara Enim, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, Musi Rawas, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Pagaralam.
2. Sektor Pertambangan dan Penggalian; dapat dikembangkan di Kabupaten Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu, Lahat dan Kota Prabumulih.
3. Sektor Industri Pengolahan; dapat dikembangkan di Kabupaten Banyuasin, Ogan Ilir dan Kota Palembang.
4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih; dapat dikembangkan di Kabupaten Muara Enim dan Kota Palembang , Lubuk Linggau.
5. Sektor Bangunan; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau.
6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau.
7. Sektor Transportasi dan Telekomunikasi; dapat dikembangkan di Kota Palembang, Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau.
8. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau.
9. Sektor Jasa Lainnya; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, Musi Rawas, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir, dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau.
Berdasarkan hasil analisis LQ masing-masing kabupaten/kota tersebut,
dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian, sektor bangunan yang merupakan
47
sektor sekunder serta sektor tersier lainnya (keuangan dan jasa) dapat
diandalkan sebagai sektor perekonomian unggulan yang mampu bersaing secara
komparatif di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, laju pertumbuhan sektor-
sektor tersebut selama kurun waktu 2003-2007, cenderung terus mengalami
peningkatan dan berbanding terbalik dengan sektor pertambangan dan
penggalian yang cenderung menurun (Tabel 7). Oleh karena itu, semenjak
diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah perlu menetapkan prioritas
pembangunan sektor perekonomian yang berdasarkan sektor-sektor unggulan di
tiap kabupaten/kota akibat terbatasnya anggaran pembangunan. Hal tersebut
sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suripto (2003) mengenai perlunya
penetapan prioritas pengembangan di suatu wilayah, yakni sektor unggulan.
Sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan dan menjadi aktivitas
perekonomian primer di Provinsi Sumatera Selatan, tidak diimbangi oleh aktivitas
sektor perekonomian lainnya, terutama industri pengolahan. Hal ini relatif
mengindikasikan bahwa sebagian besar hasil-hasil pertanian di suatu wilayah
cenderung langsung dijual ke wilayah lain tanpa diolah terlebih dahulu sehingga
tidak menghasilkan nilai tambah. Hal ini diakibatkan sektor pertanian cenderung
menjadi aktivitas perekonomian yang kurang memiliki nilai tambah terhadap
pendapatan wilayah sehingga kurang mendapat perhatian oleh pemerintah
daerah yang lebih mengutamakan sektor yang dianggap lebih mampu
meningkatkan pendapatan per kapita, terutama migas. Selain itu, semakin
banyak jumlah aktivitas sektor perekonomian yang berkembang, relatif
mengindikasikan meningkatnya aktivitas perekonomian yang potensial sehingga
dapat dikembangkan menjadi sektor unggulan di tiap kabupaten/kota.
Oleh karena itu, sektor pertanian hendaknya dapat dijadikan salah satu
aspek daya saing suatu daerah yang diharapkan mampu meningkatkan tingkat
kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut tercantum pada Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, pasal 45 ayat (1).
5.2 Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan
Untuk mengetahui perkembangan suatu wilayah, diperlukan suatu analisa
mengenai pencapaian pembangunan melalui indikator-indikator kinerja bidang
ekonomi, sosial dan bidang lain yang mempunyai keterkaitan. Pengembangan
wilayah bertujuan untuk memacu perkembangan ekonomi dan sosial serta
berperan dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.
48
Dalam penelitian ini, sebagai pendekatan untuk melihat tingkat
perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan digunakan metode analisis
entropi terhadap sektor perekonomian (aspek pendapatan wilayah) dan analisis
multivariat yang terdiri dari analisis klaster dan diskriminan terhadap PDRB per
kapita tiap sektor (aspek pendapatan wilayah), penggunaan lahan dan fasilitas
(aspek fisik wilayah) dan jumlah tenaga kerja (aspek sosial).
5.2.1 Perkembangan Diversivikasi Aktifitas Perekonomian
Tingkat perkembangan wilayah dengan aspek ekonomi berdasarkan hasil
indeks entropi pada tahun 2003 hingga 2007 menunjukkan bahwa baik pada
tingkat kabupaten/kota maupun pada tingkat provinsi memiliki nilai yang relatif
tetap. Kondisi ini mengindikasikan bahwa selama kurun waktu tersebut proporsi
keragaman sektor-sektor perekonomian tiap kabupaten/kota relatif stabil
sehingga komposisi perkembangan sektor-sektor perekonomian di Provinsi
Sumatera Selatan cenderung kurang mengalami banyak perkembangan. Pada
tahun 2003, hasil analisis entropi total dari data aktifitas tiap sektor perekonomian
di wilayah Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan bahwa nilai entropi sebesar
3,58. Nilai entropi tersebut belum mencapai nilai entropi maksimum, karena
dengan 9 (sembilan) komponen dari sektor-sektor perekonomian yang ada,
seharusnya dapat dicapai nilai entropi maksimum sebesar 4,59. Namun
demikian, nilai tersebut relatif mendekati nilai entropi maksimum sehingga dapat
dinyatakan bahwa tingkat penyebaran aktifitas di seluruh wilayah Provinsi
Sumatera Selatan relatif merata dan aktifitas sektor-sektor perekonomian yang
relatif seragam. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2005 dan 2007.
Pada tahun 2003, Tabel 10 menyajikan sebaran intensitas aktifitas tiap
sektor perekonomian paling merata (peluang perkembangan seluruh aktifitas),
secara proporsi terhadap perkembangan wilayah Sumatera Selatan adalah
berturut-turut terdapat di Kota Palembang (0,76) atau sekitar 21,21 persen; Untuk
Kabupaten Musi Banyuasin (0,55) atau sekitar 15,45 persen. Apabila dilihat
berdasarkan nilai rataan dan standar deviasi indeks entropinya maka kedua
wilayah tersebut dapat diklasifikasikan sebagai wilayah yang memiliki tingkat
perkembangan yang tinggi; sedangkan untuk Kabupaten Muara Enim (0,44) atau
sekitar 12,39 persen; dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (0,41) atau sekitar
11,44 persen; dan tingkat perkembangan kedua wilayah tersebut dikategorikan
sedang. Adapun wilayah kabupaten/kota lain sisanya hanya memiliki kontribusi di
bawah 10 persen (tingkat perkembangannya rendah).
49
Selanjutnya, di tahun 2005, sebaran terbesar intensitas aktivitas tersebut
masih terdapat di Kota Palembang (0,78) dan Kabupaten Musi Banyuasin (0,55)
dengan masing-masing kontribusinya yang sedikit menurun 20,92 %; 14,73%;
dan 11,81% yang diakibatkan pemekaran wilayah di Kabupaten Ogan Komering
Ilir dan Ogan Komering Ulu. Lebih lanjut, tingkat perkembangan Kota Palembang
dan Kabupaten Musi Banyuasin tetap dikategorikan tinggi, sedangkan untuk
Kabupaten Ogan Komering Ulu intensitas aktivitasnya menurun akibat
pemekaran wilayah yang terjadi, sehingga tingkat perkembangan wilayahnya
menjadi ikut menurun, dari sedang menjadi rendah. Pada tahun 2007, kondisi
tersebut tidak mengalami perubahan sehingga dapat dikatakan tingkat
perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan bersifat stabil dan
kabupaten/kota dengan aktivitas perekonomian yang beragam atau aktivitas
sektor yang konsentrasi memiliki tingkat perkembangan wilayah yang berkisar
sedang-tinggi apabila dilihat berdasarkan nilai entropi total masing-masing
kabupaten/kota, antara 0,41 sampai dengan 0,76.
Tabel 10. Perkembangan Indeks Entropi (PDRB sektoral) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003, 2005 dan 2007.
PERKEMBANGAN WILAYAH 2003 2005 2007
ENTROPI INDEKS ENTROPI INDEKS ENTROPI INDEKS KABUPATEN/KOTA
TOTAL ENTROPI TOTAL ENTROPI TOTAL ENTROPI OKI 0,32 0,07 0,23 0,05 0,23 0,05 Banyuasin 0,30 0,07 0,31 0,06 0,31 0,06 Palembang 0,76 0,17 0,78 0,16 0,81 0,17 OKU 0,41 0,09 0,22 0,05 0,23 0,05 Muara Enim 0,44 0,10 0,44 0,09 0,45 0,09 Lahat 0,26 0,06 0,26 0,05 0,26 0,05 Musi Rawas 0,24 0,05 0,24 0,05 0,25 0,05 Musi Banyuasin 0,55 0,12 0,55 0,11 0,55 0,11 OKU Selatan - - 0,11 0,02 0,11 0,02 OKU Timur - - 0,17 0,03 0,17 0,04 Ogan Ilir - - 0,15 0,03 0,14 0,03 Prabumulih 0,13 0,03 0,12 0,03 0,12 0,03 Pagaralam 0,06 0,01 0,06 0,01 0,06 0,01 Lubuk Linggau 0,10 0,02 0,10 0,02 0,10 0,02
Maks 0,76 0,16 0,78 0,16 0,81 0,17 Min 0,06 0,01 0,06 0,01 0,06 0,01 Rataan 0,34 0,07 0,29 0,06 0,29 0,06 Std. Dev 0,21 0,04 0,20 0,04 0,21 0,04
Sumber : Hasil analisis
Adapun wilayah dengan intensitas aktifitas paling tidak merata (adanya
kecenderungan spefisikasi) di Provinsi Sumatera Selatan dimiliki oleh Kota
50
Pagaralam (0,06), Lubuk Linggau (0,09) dan Prabumulih (0,12) di tahun 2003;
sedangkan pada tahun 2005, kondisi tersebut sedikit mengalami perubahan
akibat terjadinya pemekaran wilayah, yaitu Kota Pagaralam (0,06), Lubuk
Linggau (0,10) dan Kabupaten OKU Selatan (0,12). Selanjutnya, pada tahun
2007 kondisi tersebut juga tidak mengalami perubahan (Tabel 10).
Apabila ditinjau dari jumlah aktivitasnya, nilai entropi tertinggi secara
berturut-turut terjadi pada aktifitas di sektor pertambangan dan penggalian (0,78),
pertanian (0,71) dan industri pengolahan (0,56), sebaliknya aktifitas yang relatif
ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi adalah aktifitas sektor
listrik, gas dan air bersih (0,03) di tahun 2003.
Selanjutnya pada tahun 2005, wilayah dengan intensitas merata secara
berturut-turut terjadi perubahan urutan, yakni terjadi pada aktifitas sektor
pertanian (0,78), pertambangan dan penggalian (0,77) dan industri pengolahan
(0,57) sedangkan aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya
pemusatan lokasi dan tidak mengalami perubahan, yakni aktifitas sektor listrik,
gas dan air bersih (0,03). Pada tahun 2007, kondisi dengan intensitas merata di
seluruh Provinsi Sumatera Selatan tetap dan tidak mengalami perubahan namun
aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi
menjadi bertambah, antara lain terjadi pada sektor transportasi dan keuangan
(0,18) serta keuangan, jasa pemerintah dan persewaan sebesar 0,19; seperti
yang disajikan pada Lampiran 4.
Hasil analisis LQ dan entropi menunjukkan bahwa tingkat perkembangan
wilayah berdasarkan pendapatan wilayah mencerminkan diversitas dari sektor-
sektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dan apabila dikaitkan dengan
banyaknya jumlah sektor unggulan di tiap kabupaten/kota akan mengindikasikan
bahwa semakin banyaknya sektor unggulan, tingkat perkembangan wilayah
menjadi lebih tinggi, seperti yang dimiliki oleh Kota Palembang. Sedangkan nilai
entropi total dari sektor-sektor unggulan tertentu, seperti yang dimiliki oleh
Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin relatif mengindikasikan
pertumbuhan ekonomi wilayahnya meningkat sehingga dapat dikategorikan
sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi atau sedang.
Pemekaran wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) menjadi
Kabupaten OKU Timur dan OKU Selatan pada Tahun 2004, tidak menyebabkan
aktivitas perekonomian tersebar di kedua wilayah pemekaran bahkan di
kabupaten induk, sehingga tidak mampu meningkatkan tingkat pertumbuhan
51
ekonomi yang berkorelasi terhadap tingkat perkembangan wilayahnya yang juga
ikut menurun.
Oleh karena itu, sektor pertanian sebagai prime mover perekonomian di
Provinsi Sumatera Selatan memiliki kecenderungan keterkaitan hubungan yang
relatif lebih kecil dengan sektor produksi atau ekonomi lainnya walaupun
memberikan kontribusi yang dominan. Sektor industri dan sektor jasa diharapkan
memiliki peran yang penting dalam memberikan multiplier effect terhadap kinerja
perekonomian sehingga untuk meningkatkan efektivitas dan efiensi, pemerintah
daerah perlu memperhatikan sektor unggulan wilayah dalam menentukan arah
kebijakannya yang bertujuan untuk memberikan dampak yang optimal terhadap
perekonomian Provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan. Pemerintah
hendaknya perlu mengembangkan sektor pertanian ke arah industri yang
cenderung memacu sektor pertanian untuk bekerja lebih optimal, selain tingkat
penyerapan tenaga kerja akan meningkat signifikan baik dari sektor pertanian
maupun industri. Dalam jangka panjang, dengan meningkatnya ketersediaan
lapangan kerja maka tingkat kesejahteraan masyarakat ke depan akan
cenderung lebih baik.
5.2.2 Hirarki Wilayah
Gambaran karakteristik perkembangan suatu wilayah berdasarkan tingkat
hirarki yang diperoleh dari jumlah fasilitas pelayanan di Provinsi Sumatera
Selatan dengan menggunakan analisis skalogram melalui tersedianya kapasitas
pelayanan umum, seperti sarana dan prasarana bidang pendidikan, kesehatan,
perekonomian di masing-masing kabupaten/kota sehingga dapat diidentifikasi
wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti dan wilayah hinterland-nya.
Tingkat perkembangan suatu wilayah berdasarkan analisis skalogram
dicerminkan oleh nilai indeks perkembangan wilayah (IPW) masing-masing
kabupaten/kota sehingga semakin tinggi nilai IPW maka wilayah tersebut
semakin berkembang dengan fasilitas pelayanan umum yang memadai.
Hasil analisis skalogram dengan menggunakan data PODES pada tahun
2006, diperoleh nilai IPW berkisar antara 25,28 (Kabupaten OKU Selatan)
sampai dengan 100,97 (Kota Palembang) sehingga hirarki wilayah menurut
ketersediaan fasilitas pelayanan umum tersebut dapat di definisikan sebagai
berikut :
1. Wilayah yang termasuk pada hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat
perkembangannya yang lebih tinggi/maju dibandingkan kabupaten/kota
52
lainnya dengan tingkat ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas
pelayanan umum yang memadai, terutama di bidang pendidikan
menengah (SLTP dan SMU); bidang kesehatan (RS, RS Bersalin, tempat
praktek dokter dan apotik); bidang perekonomian/perdagangan (hotel,
restoran, lembaga keuangan dan mal); dan aksesibilitas terhadap
informasi/telekomunikasi (warnet dan warpostel). Hal ini jelas menunjukkan
bahwa struktur pusat pelayanan yang terkonsentrasi di pusat
pertumbuhan, yakni Kota Palembang. Oleh karena itu, kegiatan
pembangunan menjadi tidak merata dan mengakibatkan adanya indikasi
terhadap ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Selain
itu, berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 74,3
pada tahun tersebut mengindikasikan bahwa pelayanan fasilitas
pendidikan dan kesehatan yang relatif lengkap. Kota Palembang
merupakan satu-satunya dari 14 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera
Selatan yang memiliki rata-rata lama sekolah sudah lebih dari 9,9 tahun
(BAPPENAS dan UNSRI 2008), sehingga nilai IPM-nya dikategorikan
paling tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya (Gambar 6).
2. Pada hirarki II, ditempati oleh kabupaten/kota dengan tingkat
perkembangan wilayah yang sedang, yakni berkisar antara 48,50 sampai
dengan 61,31. Kota Pagaralam (61,31); Kabupaten Ogan Komering Ulu
(54,01); Kota Lubuk Linggau (53,10); Kabupaten OKU Timur (50,56) dan
Kabupaten Musi Rawas (48,50) memiliki ketersediaan sarana dan
prasarana serta jumlah fasilitas pelayanan umum relatif lebih rendah
dibandingkan Kota Palembang. Hal ini juga ditunjukkan dengan variasi nilai
IPM yang dikategorikan sedang, yakni berkisar antara 68,6 sampai dengan
71,5 di tahun 2006 (Gambar 6).
3. Wilayah yang termasuk pada hirarki III merupakan kabupaten/kota sisanya
di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki tingkat perkembangan wilayah
yang rendah dengan variasi IPW antara 25,28 (OKU Selatan) sampai
dengan 47,24 (Kota Prabumulih). Hal ini mengindikasikan ketersediaan
sarana dan prasarana yang relatif rendah/kurang berkembang apabila
dibandingkan dengan hirarki I, sehingga wilayah ini cenderung
dikategorikan sebagai wilayah yang masih mengandalkan pada sektor
pertanian atau cenderung lebih memperhatikan sektor yang terkonsentrasi,
terutama pertambangan dan penggalian dengan migas, seperti yang
53
60,00
62,00
64,00
66,00
68,00
70,00
72,00
74,00
TAHUN
IPM
Palembang 73,60 74,30 74,30
Prabumulih 71,10 71,70 71,70
Pagar Alam 69,90 71,10 71,10
Ogan Komering Ulu 69,90 70,90 70,90
OKU Selatan 68,80 70,00 70,00
Ogan Komering Ilir 68,80 69,00 69,00
Muara Enim 68,70 69,10 69,10
Musi Banyuasin 68,70 69,00 69,00
Lahat 67,60 68,40 68,40
Banyuasin 67,20 68,10 68,10
Lubuk Linggau 66,30 68,00 68,00
Ogan Ilir 66,00 67,20 67,20
OKU Timur 65,40 67,50 67,50
Musi Rawas 65,00 65,60 65,60
Sumatera Selatan 68,36 69,28 69,28
2005 2006 2007
dialami oleh Kabupaten Musi Banyuasin, Muara Enim dan Kota Prabumulih
sehingga kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan umum
masih menjadi kendala.
Gambar 6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2007.
Indikator pembangunan manusia merupakan salah satu alat ukur yang
dapat digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia. Aktivitas
pembangunan perekonomian daerah diharapkan berdampak pada kondisi fisik
masyarakat yang tercermin dalam angka harapan hidup dan kemampuan daya
beli, sedangkan dampak non-fisik dapat dilihat dari kualitas pendidikan
masyarakat. Indeks pembangunan manusia merupakan indikator strategis yang
banyak digunakan untuk melihat upaya dan kinerja program pembangunan
54
secara menyeluruh di suatu wilayah. Oleh karena itu, IPM dapat dianggap
sebagai gambaran dari hasil program pembangunan yang telah dilakukan
beberapa tahun sebelumnya sekaligus merupakan ukuran untuk melihat dampak
kinerja pembangunan wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas,
karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan
hidup, intelelektualitas dan standar hidup layak.
Sebaran hirarki wilayah di Provinsi Sumatera Selatan secara spasial
disajikan oleh Gambar 7 dan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketimpangan
infrastruktur wilayah akibat terpusatnya pembangunan sarana dan prasarana
serta pelayanan umum di Kota Palembang, sebagai wilayah inti terhadap
kabupaten/kota lain.
Gambar 7. Peta Hirarki Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2006.
Oleh karena itu, pemerintah daerah hendaknya lebih menggiatkan
pembangunan prasarana dasar, seperti sekolah, fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas perekonomian terutama memperbanyak dan memperbaiki
pembangunan jumlah fasilitas pendidikan dasar menengah dalam rangka wajib
belajar 9 tahun, jumlah rumah sakit daerah dan jumlah lembaga keuangan serta
perdagangan (bank cabang pembantu dan mal) di kabupaten/kota yang selama
ini masih kurang. Secara umum, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan (mal)
55
dan lembaga keuangan (bank) bertujuan agar peredaran uang di suatu wilayah
diharapkan lebih lama perputarannya atau berfungsi sebagai tabungan yang
diharapkan dapat memicu dan memacu investasi domestik sehingga penyerapan
sumberdaya oleh Kota Palembang sebagai wilayah pusat pembangunan dan
perekonomian selama ini, tidak terus terjadi.
5.2.3 Tipologi Wilayah
Analisis klaster dalam penentuan tipologi wilayah tiap kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Selatan bertujuan untuk mengelompokkan wilayah-wilayah
tersebut ke dalam beberapa kelompok tertentu yang memiliki kemiripan aktivitas
perekonomian, fasilitas pelayanan dan penggunaan lahan serta jumlah tenaga
kerja sektoral; sehingga dapat mewakili kondisi perkembangan wilayah masing-
masing kabupaten/kota. Dasar pengelompokan yang digunakan dalam analisis
klaster adalah kemiripan atau jarak ketidakmiripan antara kabupaten yang satu
dengan yang lain dalam beberapa variabel.
Berdasarkan hasil analisis tree clustering dengan Kota Palembang, dari
data Potensi Desa tahun 2006, data PDRB per kapita tahun 2006 dan tenaga
kerja sektoral tahun 2006 menghasilkan sebanyak 4 tipe klaster dari 27 variabel
tersebut yang disajikan oleh Gambar 8, dimana Kota Palembang sebagai klaster
tersendiri. Lebih lanjut, berdasarkan hasil analisis K-mean clustering yang
bertujuan untuk mengelompokkan variabel penciri tiap klaster dan dilakukan
klasifikasi terhadap nilai mean masing-masing variabel tersebut menjadi 3 (tiga)
kelas (Lampiran 7), sehingga tiap klaster dapat didefinisikan sebagai berikut :
1. Klaster Pertama yang hanya ditempati oleh Kota Palembang, dicirikan
dengan nilai mean terhadap jumlah kepadatan penduduk dan jumlah
fasilitas lembaga keuangan yang dikategorikan tinggi sehingga
mengindikasikan aktivitas pelayanan perekonomian yang lebih baik bila
dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Selain itu, nilai mean yang
tinggi pada PDRB per kapita sektor sekunder dan tersier ternyata diikuti
juga oleh jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Selanjutnya klaster
pertama ini juga dapat dikategorikan sebagai kawasan metropolitan
dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa seperti yang dijelaskan
dalam UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (pasal 1 angka
26). Selain itu, dengan ditetapkannya Kota Palembang sebagai pusat
pertumbuhan yang telah dilaksanakan semenjak era REPELITA sekaligus
sebagai ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini sesuai dengan
56
penerapan konsep pusat pertumbuhan di Indonesia yang telah
ditetapkannya selama ini dalam REPELITA II - REPELITA IV untuk
wilayah Pembangunan Utama B yang meliputi Provinsi Jambi, Sumatera
Selatan, Bengkulu dan Lampung dengan penetapan pusat pertumbuhan di
Kota Palembang (Sjafrizal 2008), sehingga cenderung pusat
pembangunan terus-menerus dilakukan dan mengakibatkan terjadinya
ketimpangan pembangunan. Hal tersebut juga dapat dijelaskan dengan
tingginya nilai mean untuk luas lahan non pertanian (kawasan terbangun).
2. Pada klaster kedua yang ditempati Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Banyuasin, OKU Timur dan Ogan Ilir, dicirikan oleh variabel dengan
kategori nilai mean yang tinggi pada jumlah keluarga pertanian dan tenaga
kerja pertanian. Selain itu, jumlah fasilitas industri yang diikuti oleh rasio
jumlah tenaga kerja sekunder dan tersier serta luas lahan sawah
mengindikasikan bahwa sumberdaya manusia sektor pertanian relatif
masih tersedia walaupun nilai mean untuk PDRB per kapita sektor
pertanian dikategorikan sedang. Hal ini diduga karena peranan sektor
pertanian belum dioptimalkan oleh pemerintah daerah sebagai sektor
unggulan. Oleh karena itu, klaster ini diharapkan dapat dikategorikan
sebagai kawasan industri berbasis pertanian yang diikuti dengan tenaga
kerja di sektor industri, bangunan dan perdagangan serta jasa lainnya
karena memiliki nilai mean yang tinggi. Namun apabila dilihat dari nilai
aktivitas perekonomian sektor industri pengolahan, hanya Kabupaten
Banyuasin yang memiliki nilai LQ>1, yang mengindikasikan bahwa
peranan sektor industri cenderung tidak seragam dan hanya terkonsentrasi
pada wilayah tertentu.
3. Klaster Ketiga yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara
Enim, Lahat, Musi Banyuasin dan OKU Selatan yang dicirikan dengan nilai
mean yang tinggi untuk jumlah tenaga kesehatan, luas lahan non sawah
dan diikuti oleh jumlah tenaga kerja sektor pertanian yang disertai tingginya
nilai mean untuk PDRB per kapita untuk sektor pertanian, pertambangan
dan penggalian. Pada klaster ini dapat dikategorikan sebagai kawasan
pertanian atau pertambangan dan penggalian
4. Kota Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau yang berada pada klaster
keempat dicirkan dengan tingginya nilai mean untuk jumlah keluarga yang
berlangganan PLN, jumlah keluarga yang menggunakan telepon, jumlah
57
Tree Diagram for 14 Cases
0 20 40 60 80 100 120
(Dlink/Dmax)*100
PAGARALAM
LUBUK LINGGAU
PRABUMULIH
PALEMBANG
OGAN ILIR
BANYUASIN
OKU TIMUR
OGAN KOMERING ILIR
MUSI BANYUASIN
OKU SELATAN
MUARA ENIM
MUSI RAWAS
LAHAT
OGAN KOMERING ULU
fasilitas informasi/komunikasi, jumlah fasilitas penjualan obat (apotik), dan
jumlah fasilitas penginapan (hotel); sehingga klaster ini dapat dikategorikan
sebagai kawasan perkotaan dibandingkan dengan wilayah lain.
Gambar 8. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) dengan Kota Palembang.
Gambar 9. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan dengan Kota Palembang.
58
Analisis diskriminan tidak dapat dilakukan apabila terdapat klaster yang
hanya terdiri dari 1 (satu) wilayah karena memiliki jarak ketidaksamaan atau
kesamaan yang berbeda dengan wilayah lainnya, dengan kata lain jaraknya
bernilai nol. Selanjutnya secara spasial, tipologi wilayah di Provinsi Sumatera
Selatan yang disajikan pada Gambar 9.
Apabila analisis klaster dilakukan tanpa mengikutsertakan Kota Palembang
(Gambar 10), maka tipologi wilayah Provinsi Sumatera Selatan menghasilkan 3
(tiga) tiper klaster, yang terdiri dari :
(1) Klaster Pertama, yang ditempati oleh Kota Pagaralam, Prabumulih dan
Lubuk Linggau dengan kepadatan penduduk, jumlah keluarga yang
berlangganan PLN, jumlah keluarga yang menggunakan telepon, jumlah
fasilitas informasi/komunikasi, jumlah fasilitas penjualan obat (apotik),
jumlah fasilitas penginapan (hotel) dan jumlah fasilitas lembaga keuangan
dengan nilai mean-nya dikategorikan tinggi, yang mencirikan sebagai
kawasan perkotaan. Hal ini diikuti dengan rendahnya kategori nilai mean
untuk jumlah keluarga pertanian dan PDRB tersier serta kawasan
terbangun (luas lahan non pertanian) yang memiliki nilai mean yang
dikategorikan tinggi;
(2) Klaster Kedua yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Banyuasin, OKU Timur dan Ogan Ilir, dicirikan dengan variabel yang
memiliki industri dengan kisaran kategori nilai mean sedang-tinggi; namun
jumlah keluarga pertanian dan PDRB pertanian dengan nilai mean yang
rendah. Selain itu, diikuti juga dengan luas lahan sawah dan jumlah tenaga
kerja (sekunder dan tersier) yang dikategorikan tinggi. Oleh karena itu,
klaster kedua diharapkan dapat dikategorikan sebagai kawasan industri
berbasis pertanian yang diikuti dengan tenaga kerja di sektor industri,
bangunan dan perdagangan serta jasa lainnya karena memiliki nilai mean
yang tinggi. Namun apabila dilihat dari nilai aktivitas perekonomian sektor
industri pengolahan, hanya Kabupaten Banyuasin yang memiliki nilai
LQ>1. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan sektor industri cenderung
tidak seragam dan hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu;
(3) Klaster Ketiga yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara
Enim, Lahat, Musi Banyuasin, Musi Rawas dan OKU Selatan yang
dicirikan dengan tingginya nilai mean untuk rasio jumlah tenaga kesehatan,
luas lahan non sawah yang diikuti dengan jumlah tenaga kerja sektor
59
Tree Diagram for 13 Cases
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
(Dlink/Dmax)*100
PAGARALAM
LUBUK LINGGAU
PRABUMULIH
OGAN ILIR
BANYUASIN
OKU TIMUR
OGAN KOMERING ILIR
MUSI BANYUASIN
OKU SELATAN
MUARA ENIM
MUSI RAWAS
LAHAT
OGAN KOMERING ULU
pertanian dan keluarga pertanian, selain PDRB untuk sektor pertanian,
pertambangan dan penggalian. Pada klaster ini dapat dikategorikan
sebagai kawasan pertanian atau pertambangan dan penggalian.
Gambar 10. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) Tanpa Kota Palembang.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis diskriminan diperoleh
pengelompokan tipologi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dipengaruhi
secara nyata oleh variabel-variabel fasilitas, yakni jumlah keluarga yang
berlangganan telepon dan jumlah fasilitas lembaga keuangan serta jumlah lahan
sawah (Tabel 11). Selain itu, hasil analisis diskriminan menghasilkan ketepatan
dalam pengelompokan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya,
pengelompokkan wilayah berdasarkan analisis klaster disajikan secara spasial di
Gambar 11.
Tabel 11. Variabel yang Mempengaruhi Tipologi Wilayah Berdasarkan Analisis Diskriminan di Provinsi Sumatera Selatan.
Discriminant Function Analysis Summary (3 KLASTER) Step 3, N of vars in model: 3; Grouping: CLUSTER (3 grps) Wilks' Lambda: ,01019 approx. F (6,16)=23,746 p< ,0000
N=13 Wilks' Lambda
Partial Lambda F-remove (2,8) p-level Toler. 1-Toler.
(R-Sqr.) LhnSWH 0,110969 0,091856 39,54625 0,000071 0,593563 0,406437 TELP 0,036147 0,281993 10,18475 0,006323 0,595999 0,404001 FasLbKEU 0,023734 0,429480 5,31360 0,034023 0,829269 0,170731
Sumber : Hasil analisis
60
Gambar 11. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan Tanpa Kota Palembang.
Secara hirarki menurut batas administratif, Anwar (2005) menjelaskan
bahwa hubungan fungsional antara tingkat (orde) wilayah yang mempunyai pusat
ibukota provinsi yang merupakan orde pertama dengan ibukota kabupaten
sebagai wilayah orde dua, ibukota kecamatan sebagai wilayah orde tiga dan
desa sebagai wilayah orde empat. Kemudian apabila hirarki itu dibagi dua, maka
sering pula pembagiannya menurut hubungan fungsional antara wilayah
perkotaan (orde kesatu dan kedua) dengan wilayah belakangnya, yaitu
perdesaan (orde ketiga dan keempat).
Akan tetapi, pembangunan kota-kota yang hirarkis di Provinsi Sumatera
Selatan, belum sepenuhnya terwujud sehingga belum dapat memberikan
pelayanan yang efektif dan optimal bagi wilayah pengaruhnya. Keterkaitan antar
kota-kota dan antar kota-desa yang berlangsung saat ini tidak semuanya saling
mendukung dan sinergis. Masih banyak diantaranya yang berdiri sendiri atau
bahkan saling merugikan.
Dominasi Kota Palembang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Selatan dan
sebagai wilayah pusat pembangunan memiliki pengaruh yang besar terhadap
ketimpangan pembangunan di kabupaten/kota lain, terutama pada ketersediaan
fasilitas pelayanan umum, seperti sarana pendidikan, kesehatan dan fasilitas
perekonomian.
61
0,0000
0,1000
0,2000
0,3000
0,4000
0,5000
0,6000
0,7000
0,8000
Tahun
Inde
ks W
illia
mso
n
SUMSEL (migas) 0,6263 0,6799 0,6660 0,6499 0,6344
SUMSEL (non migas) 0,3312 0,3795 0,3941 0,4036 0,4133
2003 2004 2005 2006 2007
5.3 Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan
Untuk menganalisa tingkat disparitas pembangunan yang terjadi antar
wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, penelitian ini menggunakan metode indeks
Williamson dan dilanjutkan dengan menggunakan metode analisis indeks Theil
yang bertujuan untuk mendekomposisi disparitas antar wilayah kabupaten/kota,
seperti yang pernah dilakukan oleh Fujita dan Hu (2001).
5.3.1 Hasil Analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil
Hasil analisis indeks Williamson dengan menggunakan data PDRB per
kapita Tahun 2003-2007, atas dasar harga konstan (ADHK) 2000 dengan
membandingkan peranan sektor migas terhadap tingkat disparitas di Provinsi
Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa tingkat disparitas antar wilayah selama
kurun waktu tersebut tergolong tinggi apabila bergantung kepada PDRB sektor
migas. Sebaliknya, aktivitas perekonomian wilayah yang tidak menggunakan
peranan sektor migas relatif menurunkan (lebih rendah) tingkat disparitas di
Provinsi Sumatera Selatan.
Gambar 12. Perkembangan Indeks Williamson Dengan Migas dan Tanpa Migas di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2003-2007.
Gambar 12 menyajikan tingkat disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera
Selatan dengan migas, mengalami peningkatan pada tahun 2004 yang kemudian
cenderung menurun pada tahun 2005. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan
migas cenderung menurun karena merupakan sumberdaya yang tak terbarukan
62
-0,0400
-0,0200
0,0000
0,0200
0,0400
0,0600
0,0800
0,1000
0,1200
Tahun
Inde
ks T
hei
l
OKI -0,0226 -0,0146 -0,0144 -0,0144 -0,0144
OKU -0,0226 0,0014 0,0033 0,0033 0,0033
Banyuasin -0,0134 -0,0126 -0,0130 -0,0132 -0,0134
Lahat -0,0090 -0,0092 -0,0089 -0,0087 -0,0083
Musi Rawas -0,0055 -0,0054 -0,0053 -0,0054 -0,0052
Lubuklinggau -0,0032 -0,0032 -0,0032 -0,0031 -0,0031
Pagaralam -0,0024 -0,0023 -0,0023 -0,0023 -0,0023
OKU Selatan 0,0000 -0,0069 -0,0075 -0,0074 -0,0074
OKU Timur 0,0000 -0,0129 -0,0130 -0,0129 -0,0128
Ogan Ilir 0,0000 -0,0079 -0,0079 -0,0079 -0,0080
Prabumulih 0,0014 0,0013 0,0013 0,0012 0,0012
Muara Enim 0,0202 0,0194 0,0189 0,0191 0,0195
Palembang 0,0269 0,0294 0,0315 0,0335 0,0354
Musi Banyuasin 0,1013 0,0957 0,0913 0,0861 0,0806
Sumatera Selatan 0,0711 0,0721 0,0708 0,0679 0,0652
2003 2004 2005 2006 2007
sedangkan tingkat disparitas yang terjadi relatif lebih rendah dengan dengan
kecenderungan meningkat tiap tahunnya apabila peranan sektor migas
diabaikan.
Guna mendekomposisi sumber disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera
Selatan berdasarkan hasil analisis indeks Theil/disparitas total (2003-2007),
disparitas yang terjadi relatif stabil bahkan ada kecenderungan menurun tiap
tahun. Pada tahun 2004 disparitas total cenderung mengindikasikan
meningkatnya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dari 0,0711
menjadi 0,0721 (Gambar 13).
Gambar 13. Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Disparitas Total di Provinsi
Sumatera Selatan (2003-2007).
63
-0,200
-0,100
0,000
0,100
0,200
0,300
0,400
0,500
Tahun
Ind
eks
Th
eil
Tani -0,099 -0,100
Tbg 0,396 0,459
Ind 0,091 0,107
Ligas 0,003 0,002
Bang 0,023 0,032
Prdg 0,000 0,012
Trans -0,003 0,000
Keu 0,036 0,029
Jasa -0,007 -0,010
2005 2007
Lebih lanjut, apabila dilakukan dekomposisi disparitas berdasarkan nilai
indeks Theil (disparitas total), kabupaten/kota berperan dalam meningkatkan
atau mengurangi tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Secara umum,
selama kurun waktu tersebut, Kota Palembang, Kabupaten Musi Banyuasin,
Muara Enim, dan Prabumulih berkontribusi positif terhadap meningkatnya
disparitas total; sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber utama disparitas di
Provinsi Sumatera Selatan berasal dari ketimpangan antar wilayah
kabupaten/kota.
Apabila ditinjau dari aktivitas sektor perekonomian, hasil dekomposisi dari
indeks Theil menunjukkan bahwa sektor pertanian lebih berperan dalam
menurunkan tingkat disparitas total dibandingkan sektor lain di Provinsi Sumatera
Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian yang dominan dan
sebagai sektor unggulan, diharapkan mampu mengurangi tingkat disparitas yang
terjadi (Gambar 14); sedangkan sektor pertambangan dan penggalian yang
terkonsentrasi di wilayah tertentu relatif meningkatkan disparitas total ,yang
diikuti ketimpangan pada sektor industri pengolahan dan sektor sekunder
lainnya.
Gambar 14. Kontribusi Sektor Perekonomian Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005 dan 2007).
64
-0,060
-0,040
-0,020
0,000
0,020
0,040
0,060
Tahun
Ind
eks
Th
eil
Klaster 1 0,042 0,033 0,026
Klaster 2 -0,049 -0,049 -0,050
Klaster 3 0,050 0,050 0,051
Klaster 4 -0,004 -0,005 -0,006
2005 2006 2007
Selanjutnya, apabila ditinjau melalui peranan masing-masing kelompok
wilayah dari hasil analisis klaster sebelumnya, menunjukkan bahwa klaster yang
memiliki aktivitas perekonomian industri pengolahan berbasis pertanian, seperti
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Ogan Ilir dan OKU Timur memberikan
kontribusi negatif terhadap disparitas total di Provinsi Sumatera Selatan. Selain
itu, klaster perkotaan turut berperan dalam menurunkan disparitas total dengan
indikasi bahwa keberadaan Kota Pagaralam yang memiliki sektor pertanian
sebagai salah satu aktivitas perekonomian unggulan wilayah dibandingkan
dengan kota lainnya (Gambar 15).
Gambar 15. Kontribusi Klaster Berdasarkan Aktivitas Perekonomian Terhadap
Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005-2007).
Selain itu, berdasarkan RTRW Provinsi Sumatera Selatan yang membagi
wilayahnya menjadi 2 (dua) kawasan, yakni Kawasan Barat dan Timur (wilayah
pesisir) memperlihatkan bahwa dekomposisi sumber disparitas yang utama
berasal dari ketimpangan antar wilayah atau kabupaten/kota, sebesar 82,94
persen sedangkan disparitas antar wilayah pengembangan (kawasan) hanya
berpartisipasi rata-rata sebesar 17,06 persen (Gambar 16). Hal ini sesuai dengan
hasil analisis sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ketimpangan yang
terjadi di Provinsi Sumatera Selatan disebabkan oleh masing-masing
kabupaten/kota itu sendiri.
Disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan analisis
terhadap pendapatan wilayah tiap kabupaten/kota menunjukkan ketimpangan
yang terjadi akibat tidak meratanya aktivitas perekonomian. Hal ini disebabkan
peranan Kota Palembang yang memiliki hampir seluruh sektor-sektor
65
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
Tahun
Inde
ks T
hei
l
ANTAR KAWASAN 0,0164 0,0106 0,0107 0,0108 0,0108
ANTAR WILAYAH KAB/KOTA 0,0547 0,0615 0,0601 0,0572 0,0544
TOTAL 0,0711 0,0721 0,0708 0,0679 0,0652
2003 2004 2005 2006 2007
perekonomian unggulan dengan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi dan
mencerminkan bahwa aktivitas di Kota Palembang sangat beragam sedangkan
wilayah lain relatif seragam bahkan terkonsentrasi. Selain itu, wilayah yang relatif
mengandalkan sektor pertambangan dan penggalian, terutama dengan sektor
migas mengindikasikan bahwa telah terjadi disparitas ekonomi di Provinsi
Sumatera Selatan, seperti Kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim.
Menurut (Portnov dan Felsentein, 2005), penggunaan metode Indeks
Williamson dalam pengukuran disparitas atau ketimpangan antar wilayah, relatif
memperlihatkan sedikit kekurangan selain Indeks Gini apabila dibandingkan
dengan metode lainnya, seperti : Indeks Atkison, Hoover Coefficient dan Coulter
Coefficient.
Gambar 16. Dekomposisi Sumber Disparitas Wilayah Provinsi Sumatera Selatan.
5.3.2 Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pembangunan Antar Wilayah
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas
antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, dilakukan pendekatan analisis untuk
mengetahui faktor-faktor penyebabnya, yaitu dengan menggunakan regresi
berganda.
Adapun variabel tujuan yang digunakan adalah dekomposisi dari indeks
Theil tiap kabupaten/kota dan variabel penjelas lain yang dianggap memiliki
hubungan terhadap disparitas antar wilayah, antara lain berupa aspek ekonomi
66
(PDRB per sektor); aspek fisik penggunaan lahan (rasio luas sawah, non sawah,
hutan negara, kawasan terbangun terhadap luas wilayah kabupaten/kota); serta
aspek pembangunan manusia (komponen IPM) yang digunakan sebagai
pendekatan terhadap ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan serta
kesejahteraan masyarakat. Karena keterbatasan data, analisis ini menggunakan
data pada tahun 2006.
Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh sebagai penyebab terjadinya
disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan hasil analisi
regresi berganda adalah : (1) PDRB per kapita sektor pertambangan dan
penggalian; (2) PDRB per kapita sektor pertanian; dan (3) PDRB per kapita
sektor sekunder, sebagai aspek ekonomi wilayah sedangkan (4) disparitas
berdasarkan aspek fisik wilayah, yakni luas hutan negara, ikut mempengaruhi
disparitas antar wilayah yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan (Tabel 12). Hal
ini mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya kontribusi PDRB sektor
pertambangan dan penggalian serta PDRB sektor sekunder akan meningkatkan
disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, disamping luasan hutan
negara yang relatif membatasi wilayah kabupaten/kota dalam melakukan
aktivitas pembangunan fisik. Lebih lanjut, persamaan regresi berganda yang
dihasilkan dapat dituliskan sebagai berikut :
Y=-0,021+0,763[GDP_Tbg]+0,442[GDP_sek]+0,256[Hut_Neg]- 0,194[GDP_Tani]
dimana :
Y = Nilai dekomposisi disparitas kabupaten/kota dari indeks Theil
X1;X2;X4 = PDRB sektoral (X1 = PDRB pertambangan dan penggalian; X2 = PDRB sekunder; dan X4 =PDRB pertanian)
X3 = Penggunaan lahan (hutan negara)
Tabel 12. Faktor-faktor Penduga Penyebab Terjadinya Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan.
Regression Summary for Dependent Variable: Komp_Disparitas (DATA REG 1) R= ,98619677 R²= ,97258407 Adjusted R²= ,95544911 F(5,8)=56,760 p<,00000 Std.Error of estimate: ,00544 Beta Std.Err. B Std.Err. t(8) p-level Intercept -0,021315 0,005331 -3,99842 0,003958 GDP_TBG 0,763069 0,077253 0,005311 0,000538 9,87754 0,000009 GDP_SEK 0,442425 0,069316 0,009814 0,001538 6,38277 0,000213 HUT_NEG 0,255920 0,071589 0,054817 0,015334 3,57488 0,007242 GDP_TANI -0,194717 0,079091 -0,005169 0,002099 -2,46195 0,039199
Sumber : Hasil analisis
67
Wilayah dengan konsentrasi terhadap aktivitas perekonomian tertentu,
seperti sektor pertambangan dan penggalian cenderung menganggap sektor lain
kurang memiliki nilai tambah terhadap pendapatan domestiknya sehingga
menyebabkan keragaman aktivitas di suatu wilayah menjadi rendah dan akhirnya
meningkatkan ketimpangan. Selanjutnya, luas hutan negara, seperti : cagar
alam, hutan lindung dan taman nasional dianggap berpotensi menghambat
kemampuan suatu wilayah dan seringkali membatasi kepala daerah yang
memiliki kapasitas sebagai pengambil keputusan dalam pembangunan, juga
menyebabkan ketimpangan dalam pengembangan wilayah. Hal tersebut
sebenarnya dapat diatasi melalui pemanfaatan kawasan hutan berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008 Tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan hutan oleh pihak pemerintah daerah dan pihak swasta
dengan kewajiban mengganti kompensasi berupa Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) atau dengan mengganti dengan lahan lain untuk dijadikan hutan.
Akan tetapi, penggantian kompensasi tersebut (PNBP) tidak memiliki kontribusi
langsung terhadap peningkatan pendapatan domestik di wilayah tersebut.
Penyebab terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan
relatif lebih disebabkan oleh aspek pendapatan wilayah (sektor perekonomian).
Kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim yang memiliki pendapatan domestik
sektor pertambangan yang tinggi namun tidak diikuti oleh sektor lain
menyebabkan meningkatnya disparitas total. Walaupun tingkat perkembangan
wilayahnya dikategorikan tinggi berdasarkan hasil analisis LQ dan entropi,
namun hasil analisis skalogram menempatkan kedua wilayah tersebut termasuk
wilayah dengan fasilitas pelayanan yang rendah (Hirarki III), sehingga
mengindikasikan sebagai wilayah yang kurang berkembang. Nilai PDRB per
kapita yang tinggi di suatu wilayah ternyata tidak mencerminkan tingginya tingkat
perkembangan wilayah, terutama infrastruktur.
Hal ini berbeda dengan Sjafrizal (2008) yang menyatakan bahwa guna
mengurangi disparitas, perlu adanya pengembangan pusat pertumbuhan secara
tersebar dengan menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi sehingga
terjadi penyebaran kegiatan pembangunan. Akan tetapi, aktivitas perekonomian
yang terkonsentrasi cenderung mengakibatkan terjadinya kesenjangan
pembangunan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, seperti yang terjadi
pada kedua kabupaten tersebut.
68
Lebih lanjut, ketimpangan pembangunan antar wilayah juga ditandai
dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi, yakni
fasiltas lembaga keuangan yang berperan sebagai sarana investasi di suatu
wilayah. Hal ini dijelaskan oleh Tambunan (2003) yang menyatakan bahwa
distribusi investasi yang tidak merata dapat dianggap sebagai salah satu faktor
utama yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan atau
pertumbuhan ekonomi dalam dan antar provinsi. Kurangnya kegiatan investasi
pada suatu wilayah dapat membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat
pendapatan per kapita masyarakat di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada
kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri pengolahan terutama yang
terkait dengan sektor pertanian.
Peranan fasilitas lembaga keuangan di daerah bertujuan sebagai
prasarana penyerap investasi masih sangat terbatas dan secara umum lokasinya
berada di ibukota kabupaten atau di beberapa ibukota kecamatan. Selain itu,
jumlah keluarga yang memanfaatkan fasilitas informasi dan telekomunikasi
(telepon) masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan seperti Kota Pagaralam,
Prabumulih dan Lubuk Linggau ikut berperan dalam meningkatkan ketimpangan
pembangunan.
Kabupaten/kota yang memiliki sektor pertanian sebagai salah satu sektor
unggulan, relatif mampu dalam mengurangi disparitas total di Provinsi Sumatera
Selatan, terutama kegiatan pertanian yang diikuti dengan keterkaitan sistem
produksi lain, seperti industri pengolahan pertanian dan peningkatan aktivitas
perdagangan. Masih tersedianya luas lahan pertanian, menunjukkan bahwa
penggunaan lahan persawahan menjadi indikator wilayah yang berbasis
pertanian.
Oleh karena itu, aspek ekonomi wilayah lebih berperan dalam
meningkatkan atau menurunkan ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera
Selatan, sehingga diperlukan upaya pemerataan sektor-sektor perekonomian
dengan memberi prioritas pembangunan terhadap sektor unggulan masing-
masing kabupaten/kota.
Hasil sintesis analisis sebelumnya menunjukkan bahwa, Kabupaten Ogan
Komering Ilir dan Banyuasin termasuk wilayah di kawasan timur (pesisir) dan
berperan dalam mengurangi disparitas antar wilayah selama kurun waktu 2003-
2007. Selain itu, kedua wilayah ini dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat
perkembangan yang rendah. Lebih lanjut, tipologi wilayah kedua kabupaten ini
69
memiliki kemiripan, antara lain : aktivitas sektor pertanian yang merupakan sektor
unggulan dengan luas lahan sawah yang dikategorikan tinggi dan PDRB
pertanian di kedua wilayah ini masih tergolong rendah walaupun disertai
ketersediaan sejumlah industri yang tinggi. Keberadaan sektor industri,
diharapkan mampu menggerakkan sektor-sektor terkait lainnya sehingga
memerlukan prioritas pembangunan (Lampiran 6).
5.4 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Sintesis Hasil Sebelumnya
Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan
pembangunan daerah adalah aspek ekonomi, seperti yang jelaskan oleh Arsyad
(1999) bahwa pembangunan ekonomi daerah merupakan proses dimana
pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang
ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan
sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sumatera Selatan
(2005-2025), terdapat 7 sasaran yang akan dicapai dalam upaya memantapkan
dan menegaskan arah pembangunan ekonomi yang diinginkan.
Ketujuh sasaran tersebut adalah (i) Pertumbuhan Ekonomi, (ii) Struktur
Ekonomi, (iii) Pemantapan Sektor Unggulan Provinsi, (iv) Pemantapan Surplus
Neraca Perdagangan Daerah, (v) Penurunan angka pengangguran, (vi)
Kesenjangan Pendapatan, dan (vii) Kualitas sumberdaya manusia. Indikasi yang
diharapkan, terutama pada sasaran kedua dan ketiga, Pemerintah Provinsi
menginginkan pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan yang ditargetkan harus
pula didukung oleh pertumbuhan nilai tambah sektor primer yang sejalan dengan
visi Sumatera Selatan sebagai salah satu lumbung pangan nasional.
Pertumbuhan tersebut juga harus didukung dengan pertumbuhan sektor
manufaktur dan sektor jasa yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.
Berdasarkan dari hasil analisis sektor unggulan, tingkat perkembangan
wilayah dan disparitas antar wilayah sebelumnya, menunjukkan bahwa semakin
beragamnya aktivitas perekonomian tidak menjamin disparitas antar wilayah di
Provinsi Sumatera Selatan, karena pemerataan aktivitas perekonomian secara
umum tidak mencerminkan tingkat perkembangan wilayah. Sektor pertanian
yang berada di wilayah perdesaan di tiap kabupaten, dianggap berperan dalam
mengurangi disparitas antar wilayah. Pembangunan fasilitas sarana infrastruktur
70
yang terkait dengan pertanian hendaknya lebih dioptimalkan, seperti
pembangunan irigasi yang bertujuan meningkatkan produksi dan infrastruktur
jalan guna mempercepat mobilisasi produk-produk pertanian dari hulu ke hilir.
Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin selama kurun waktu 2003-
2007, tingkat perkembangan wilayahnya relatif masih rendah namun mampu
berperan dalam mengurangi tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera
Selatan sehingga memerlukan prioritas pembangunan terhadap sektor-sektor
unggulan yang ada dengan memperhatikan potensi wilayah (Tabel 13 dan
Lampiran 6).
Ketersediaan jumlah tenaga kerja yang mendominasi pada sektor
pertanian, industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran serta
sektor jasa, patut dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan
pembangunan dan lebih memfokuskan pengembangan terhadap sektor-sektor
tersebut di wilayah pesisir sebagai arahan alternatif.
Keterkaitan antar sektor perekonomian unggulan di Provinsi Sumatera
Selatan apabila dilihat dari besaran nilai entropinya maka peranan sektor
unggulan sangat diperlukan mengingat pentingnya peranan sektor-sektor
tersebut terhadap sektor lainnya sebagai penggerak terhadap penyebaran
aktivitas yang semakin beragam karena menurut Rustiadi (2001) bahwa kawasan
pesisir dalam konteks ekonomi wilayah, memiliki posisi strategis di dalam struktur
alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi.
Tabel 13. Matriks Sektor Unggulan, Entropi dan Jumlah Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Pesisir Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2007.
KABUPATEN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN
OKI Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa
LQ 2,42 0,06 0,50 0,11 1,84 1,23 0,28 0,67 0,98
ENTROPI 0,0912 0,006 0,0235 0,0003 0,0336 0,0401 0,0046 0,0083 0,0211 TENAGA KERJA 67.653 425 2.667 128 3.411 12.017 5.323 393 14.238
BANYUASIN
LQ 1,74 0,61 1,15 0,08 1,19 1,16 0,12 0,25 0,51
ENTROPI 0,0931 0,0513 0,0601 0,0003 0,0314 0,0507 0,0031 0,0049 0,0164 TENAGA KERJA 260.975 1.055 26.567 400 11.682 31.371 15.431 364 16.086
Sumber : Hasil analisis
Ket : Tn Tbg Ind Ligas Bang
: : : : :
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Gas Bangunan
Prdg Tran Keu Jasa
: : : :
Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa.
71
Perumusan suatu kebijakan dihasilkan dari analisis terhadap berbagai
alternatif sehingga diperoleh alternatif terbaik berdasarkan masalah, kebutuhan
atau adanya aspirasi tertentu. Kebijakan merupakan suatu produk yang
dipandang sebagai suatu kumpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu
proses.
Lebih lanjut, kebijakan juga dipandang sebagai suatu cara yang bertujuan
untuk mengetahui apa yang diharapkan, yaitu program dan mekanisme dalam
mencapai produknya, seperti yang dijelaskan oleh Dunn (2003) bahwa
perumusan suatu kebijakan perlu dilandasi dengan argumen-argumen karena
argumen kebijakan (policy argument) yang merupakan sarana untuk melakukan
perdebatan mengenai isu-isu kebijakan publik
Selain itu, dalam perencanaan pembangunan di wilayah pesisir hendaknya
lebih mempertimbangkan aspek keberlanjutan yang dapat dicapai dengan
memperhatikan keberlanjutan baik dari aspek infrastruktur, ekonomi maupun
sosial (masyarakat). Pembangunan di wilayah pesisir, memerlukan arahan dalam
rangka pengembangan, terutama pengembangan di sektor industri pengolahan
yang berbasis pertanian.
Tabel 14. Luasan Areal Arahan Pola Pemanfatan Ruang di Kabupaten Pesisir (RTRWP 2005-2019).
KABUPATEN PEMANFAATAN RUANG (Ha)
Banyuasin OKI
Hutan Lindung 58.616,00 105.140,00
Hutan Suaka Alam 259.129,00 4.828,00
Sempadan Pantai 27.089,43 0,00 KWS. LINDUNG
Sempadan Sungai 51.287,90 1.188,96
Pertanian Lahan Basah 381.607,65 150.863,27
Pertanian Lahan Kering 51.823,26 109.679,71
Perkebunan 166.866,12 282.413,35
Perikanan Darat 0,00 42.594,06
Hutan Produksi 69.000,00 645.100,00
Hutan Produki Terbatas 0,00 9.886,00
KWS. BUDIDAYA PERTANIAN
APL 160.351,04 329.239,04
Permukiman 11.929,60 9.596,61
Pertambangan 15.063,31 0,00 KWS. BUDIDAYA NON PERTANIAN
Kws. Pelabuhan 13.000,00 0,00
Sumber : BAPPEDA (2006)
Ketersediaan lahan budidaya eksisting dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi (RTRWP) Sumatera Selatan 2005-2019 yang dimiliki oleh
72
Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin relatif memilik
kapasitas yang mampu berkontribusi terhadap menurunnya tingkat disparitas di
Provinsi Sumatera Selatan. Potensi lahan budidaya, terutama pertanian lahan
basah dan perkebunan (Tabel 14), memerlukan prioritas dalam melaksanakan
pembangunan di wilayah pesisir Provinsi Sumatera Selatan yang berbasis
terhadap sektor-sektor unggulan yang dimiliki oleh kabupaten tersebut.
5.5 Prioritas Pembangunan Wilayah Pesisir Sumatera Selatan Berdasarkan Persepsi Aparatur Pemerintah Daerah
Prioritas pembangunan pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Sumatera
Selatan dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierachy Process)
sehingga prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis,
dan transparan. Dengan tuntutan yang semakin tinggi berkaitan dengan
transparansi, AHP akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas
kebijakan publik berdasarkan persepsi masing-masing aparatur pemerintah
daerah, yakni Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kabupaten
Ogan Komering Ilir dan Pemerintah Kabupaten Banyuasin.
Hasil perbandingan berpasangan terhadap ketiga kriteria yang digunakan
menghasilkan bobot prioritas tertinggi pada kriteria infrastruktur wilayah sebesar
0,460 terhadap tujuan, selanjutnya berturut-turut 0,355 untuk kriteria
kesejahteraan masyarakat dan 0,186 untuk pendapatan wilayah (Gambar 17).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian kumulatif dari para
responden (expert judgement), dalam pembangunan wilayah pesisir di Provinsi
Sumatera Selatan, aspek infrastruktur wilayah merupakan aspek utama (prioritas
pertama) yang harus diperhatikan.
Gambar 17. Diagram Bobot Prioritas Kriteria Terhadap Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan.
Selanjutnya berturut-turut aspek kesejahteraan masyarakat (prioritas ke-2)
dan pendapatan wilayah (prioritas ke-3). Kecilnya nilai inkonsistensi (< 0,1) yang
73
menunjukkan bahwa pengisian skala perbandingan berpasangan antar kriteria
yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten.
Berdasarkan penilaian aspek pendapatan wilayah yang dipertimbangkan
dalam pembangunan di wilayah pesisir Sumatera Selatan, sektor unggulan yang
dipilih sebagai prioritas pertama adalah sektor pertanian dengan bobot prioritas
sebesar 0,396. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh
sektor pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bangunan
(Gambar 18). Nilai inkonsistensi (0,02) juga menunjukkan pengisian skala
perbandingan berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh
responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa menurut penilaian para responden, berdasarkan aspek pendapatan
wilayah (PDRB), pembangunan di wilayah pesisir sektor unggulan yang dipilih
adalah sektor pertanian. Hal tersebut dapat dimaklumi karena responden
umumnya memahami bahwa sektor pertanian merupakan aktivitas perekonomian
primer di Sumatera Selatan dan ketersediaan lahannya masih memiliki potensi
untuk dikembangkan.
Sektor pertanian mampu berkontribusi terhadap pendapatan domestik
wilayah pesisir walaupun pada kenyataannya, sektor pertambangan dengan
migas relatif lebih dipertimbangkan oleh pemerintah daerah yang memiliki
kecenderungan memilih sektor ini karena masih dianggap sebagai penyumbang
pendapatan daerah terbesar di Sumatera Selatan.
Gambar 18. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Pendapatan Wilayah.
Analisis prioritas pembangunan wilayah pesisir untuk jenis sektor-sektor
perekonomian unggulan berdasarkan aspek infrastruktur wilayah yang
dipertimbangkan menghasilkan sektor industri pengolahan sebagai sektor
unggulan yang memperoleh prioritas pertama dengan bobot prioritas sebesar
74
0,357. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor
pertanian, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa (Gambar
19). Nilai inkonsistensi (0,01) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan
berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah
memenuhi syarat dan konsisten.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden
yang berdasarkan aspek infrastruktur wilayah (jalan dan fasilitas), sektor industri
pengolahan memerlukan kegiatan pembangunan infrastruktur yang paling
diutamakan di wilayah pesisir karena selain mampu meningkatkan aksesibilitas
distribusi dari lokasi produksi ke lokasi industri dan pemasaran sekaligus
memperbaiki dan memperbanyak fasilitas-fasilitas penunjang guna mempercepat
proses-proses hasil produk olahan.
Gambar 19. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk
Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Infrastruktur Wilayah.
Selanjutnya, analisis prioritas pembangunan wilayah pesisir untuk jenis
sektor-sektor perekonomian unggulan berdasarkan aspek kesejahteraan
masyarakat yang dipertimbangkan menghasilkan sektor pertanian sebagai
prioritas pertama dengan bobot prioritas sebesar 0,368. Kemudian berturut-turut
diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor industri pengolahan,
perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bangunan (Gambar 20). Nilai
inkonsistensi (0,01) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan
berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah
memenuhi syarat dan konsisten.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden,
berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat (tenaga kerja dan pendapatan),
pembangunan dan pengembangan sektor pertanian di wilayah pesisir
merupakan sektor unggulan paling baik untuk dilakukan. Hal ini disebabkan oleh
75
banyaknya jumlah tenaga kerja yang sangat dibutuhkan pada sektor pertanian
namun tidak banyak memerlukan tingkat keterampilan yang tinggi. Selain itu,
sektor pertanian dinilai mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dalam
skala rumah tangga karena tidak memerlukan input modal yang terlalu besar.
Gambar 20. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk
Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Kesejahteraan Masyarakat
Apabila ditinjau dari keseluruhan aspek/kriteria yang dipertimbangkan
dalam pembangunan di wilayah pesisir Sumatera Selatan, ternyata
pembangunan untuk sektor industri pengolahan merupakan prioritas pertama
dengan bobot kumulatif keseluruhan aspek sebesar 0,349. Selanjutnya berturut-
turut diikuti sektor pertanian, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan
jasa-jasa (Gambar 21).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan dari keseluruhan aspek
baik aspek pendapatan wilayah (PDRB), infrastruktur wilayah (jalan dan fasilitas),
dan kesejahteraan masyarakat (penyerapan tenaga kerja dan pendapatan) maka
pengembangan aktivitas sektor industri pengolahan merupakan prioritas
pembangunan utama di wilayah pesisir Sumatera Selatan.
Gambar 21. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk
Sektor Unggulan Berdasarkan Keseluruhan Aspek.
76
Nilai inkonsistensi secara keseluruhan sebesar 0,01 yang juga
menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar kriteria/aspek
yang dipertimbangkan maupun antar jenis sektor unggulan yang dilakukan oleh
responden konsisten dan dapat ditoleransi. Hal ini dimaklumi karena masing-
masing responden menganggap peranan sektor industri pengolahan memerlukan
peningkatan pengembangan sarana fasilitas yang diharapkan memiliki
keterkaitan dengan sektor pertanian, perdagangan, dan jasa.
Minimnya ketersediaan fasilitas industri pengolahan, terutama untuk
produk-produk pertanian akan mengakibatkan berkurangnya peningkatan nilai
tambah. Hasil-hasil produksi pertanian yang langsung dipasarkan ke wilayah lain
atau wilayah tetangga yang memiliki industri pengolahan, memungkinkan
terjadinya kebocoran wilayah. Salah satu contoh terjadinya kebocoran wilayah di
pesisir, seperti dialami oleh Kabupaten Ogan Komering Ilir, dimana hasil produksi
tambak udang oleh masyarakat yang langsung dikirim ke PT. Lestari Magris yang
berada di Kota Palembang atau pun PT. Wahyuni Mandira (Provinsi Lampung)
akibat tidak tersedianya industri pengolahan udang (cold storage).
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan
wilayah adalah menyusun perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2004)
perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk
perencanaan pergerakan di dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan pada
ruang wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam
bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan
dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah.
Pada akhirnya, salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan dalam
perencanaan pembangunan di wilayah pesisir, yakni dengan memfokuskan
terhadap pendekatan sektoral (supply side) dan pengelompokkan kegiatan-
kegiatan pembangunan hasil perencanaan tersebut, ke dalam sektor-sektor
perekonomian.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan serta
kaitannya dengan tujuan penelitian, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Sektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan masih didominasi oleh
sektor pertanian sebagai aktivitas perekonomian yang mampu bersaing
secara komparatif terutama di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI),
Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, Musi Rawas, OKU Selatan,
OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Pagaralam.
2. Selama kurun waktu 2003-2007 tingkat perkembangan perekonomian
wilayah di Provinsi Sumatera Selatan berjalan lambat. Adanya upaya
pemekaran wilayah tidak menjadikan diversitas sektor-sektor perekonomian
menjadi beragam. Pengaruh Kota Palembang yang begitu besar sebagai
wilayah pusat pembangunan sekaligus pusat pelayanan menyebabkan
aktivitas perekonomian dan tingkat perkembangan wilayah lain menjadi
terkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu.
3. Tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan masih
tergolong sangat tinggi, terutama yang dipengaruhi sektor migas. Disparitas
antar wilayah disebabkan kontribusi positif oleh Kabupaten Musi Banyuasin
dan Muara Enim dengan aktivitas pertambangan serta Kota Palembang
dengan aktivitas perekonomiannya yang sangat beragam. Oleh karena itu,
dekomposisi sumber disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan
berasal dari masing-masing kabupaten/kota. Adapun faktor-faktor penduga
penyebab terjadinya disparitas antar wilayah berasal dari sektor
pertambangan dan penggalian dan sektor sektor sekunder serta luas hutan
negara yang berkorelasi positif terhadap disparitas pembangunan antar
wilayah; sedangkan sektor pertanian berkontribusi terhadap menurunnya
disparitas.
4. Pengembangan sektor industri pengolahan berbasis pertanian merupakan
prioritas pembangunan di wilayah pesisir Provinsi Sumatera Selatan yand
didasari oleh persepsi pejabat aparatur pemerintah daerah, guna mendukung
kebijakan SUMSEL sebagai lumbung pangan.
78
6.2 Saran
1. Masih luasnya potensi sumberdaya lahan budidaya yang belum
dimanfaatkan oleh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan dapat
diarahkan bagi pengembangan sektor unggulan dengan prioritas sektor
pertanian sekaligus adanya upaya pembangunan infrastruktur industri
pengolahan yang mendukung sub sektornya.
2. Isu SUMSEL sebagai Lumbung Pangan hendaknya perlu dicermati kembali
dengan memperhatikan optimalisasi dan prioritas pemanfaatan lahan bagi
sektor pertanian karena selain menyerap jumlah tenaga kerja dan juga telah
ditetapkannya pemanfaatan ruang kawasan budidaya pertanian dalam
RTRW Provinsi Sumatera Selatan 2005-2019.
DAFTAR PUSTAKA Alisjahbana AS. 2005. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia:
Dalam Setengah Abad Terakhir. Yogyakarta: Kanisius. [Anonim] 2007. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 17 Tahun
2007. Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2025.
Anwar A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan : Tinjauan
Kritis. Bogor: P4W Press. [BAPPENAS, UNSRI]. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
bekerjasama dengan Universitas Sriwijaya. 2008. Evaluasi Tiga Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di Provinsi Sumatera Selatan. Palembang.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. 2006. Rencana
Tata Ruang Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2019. Palembang : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Selatan.
Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.
Jakarta: Pradnya Paramita. Dahuri R. 1997. Aplikasi Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk
perencanaan dan Pengelolaan Tata Ruang Wilayah Pesisir. Di dalam: Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dunn, WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Samodra Wibawa dkk,
Penerjemah; Muhajir Darwin, editor. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari Public Policy Analysis: An Introduction..
Fujita M, Hu D. 2001. Regional Disparity in China 1985-1994 : The Effects of
Globalization and Economic Liberalization. The Annals of Regional Science. 35:3-37
Gumilar, F. 2009. Studi Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Potensi Lokal
di Garut Selatan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat [tesis]. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.
Gunawan, I. 1998. Typical Geographic Information System (GIS) Application For
Coastal Resources Management Indonesia. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. I(1). 1-12.
80
Hadi, S. 2001. Studi Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah (Pendekatan Model Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi).[disertasi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Mangiri K. 2000. Perencanaan Terpadu Pembangunan Ekonomi Daerah
Otonom. Jakarta : Badan Pusat Statistik. Maryam AS. 2001. Identifikasi Ketimpangan Ekonomi Antara Daerah Pesisir
dengan Daratan Indonesia [skripsi]. Bandung : Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung.
Matsui K. 2005. Post-Decentralization Regional Economies and Actors: Putting
The Capacity of Local Goverments to The Test. The Developing Economies. XLIII-1. 171-89
Murty, S. 2000. Regional Disparities: Need and Measures for Balanced
Development. In Shukla, AL. Ed., Regional Planning and Sustainable Development.
Nurzaman SS. 2002. Perencanaan Wilayah di Indonesia pada Masa Sekitar
Krisis. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Portov BA, Felsentein D. 2005. Measures of Regional Inequality for Small
Country. Di Dalam: Felsentein D , Portov BA. Regional Disparities in Small Countries. Jerman: Springer-Verlag.47-62.
Rahmalia E. 2003. Analisis Tipologi dan Pengembangan Desa-desa Pesisir Kota
Bandar Lampung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rahman A. 2009. Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Kabupaten
Sambas [tesis]. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.
Rustiadi E, Saifulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta: Crespent Pers dan Yayasan Obor Indonesia. Rustiadi, E. 2001. Pengembangan Wilayah Pesisir sebagai Kawasan Strategis
Pembangunan Daerah. Pelatihan Pengelolaan dan Perencanaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (ICZM). DKP. Jakarta
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hierarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks. Setiono L, penerjemah; Peniwati K, editor. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Terjemahan dari: Decision Making for Leaders The Analytical Hierarchy Process for Decisions in Complex World.
Saefulhakim S. 2006. Permodelan. Modul Analisis Kuantitatif Sosial Ekonomi
Wilayah. Bogor: Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Institut Pertanian Bogor.
81
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Elfindri, editor. Padang: Badouse Media.
Suripto. 2003. Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan. Jakarta: Pusat
Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, BPPT. Tambunan TTH. 2003 Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting.
Jakarta: Ghalia Indonesia. Tarigan, R. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT. Bumi
Aksara. Tukiyat, 2002. Pengantar Pengembangan Ekonomi Wilayah. Di dalam : Urbanus
M. Ambardi dan Socia Prihawantoro. Editor. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta : Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengambangan Wilayah BPPT.
Todaro, MP. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga.(Ed.VII). Jakarta:
Erlangga. Wijaya, A. 1996. Jurnal Ekonomi Pembangunan Pilihan Pembangunan Industri :
Kasus DKI Jakarta, No IV (2), Jakarta.
Lampiran 1. Hasil analisis indeks Theil berdasarkan PDRB per kapita tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan (2003 s.d.2007)
Tahun 2003
Kabupaten/Kota JML. PDDK PDRB Xi yi yi/xi log(yi/xi) yi*log(yi/xi) OKI 986.152 3.487.969 0,1509 0,0765 0,5068 -0,2952 -0,0226 Banyuasin 709.148 3.175.278 0,1085 0,0696 0,6416 -0,1927 -0,0134 Palembang 1.287.841 11.488.473 0,1971 0,2519 1,2782 0,1066 0,0269 OKU 1.096.606 4.539.121 0,1678 0,0995 0,5931 -0,2269 -0,0226 Muara Enim 611.702 6.056.869 0,0936 0,1328 1,4188 0,1519 0,0202 Lahat 530.304 2.557.459 0,0812 0,0561 0,6910 -0,1605 -0,0090 Musi Rawas 461.809 2.573.510 0,0707 0,0564 0,7985 -0,0977 -0,0055 Musi Banyuasin 445.756 9.516.107 0,0682 0,2087 3,0589 0,4856 0,1013 Prabumulih 125.763 1.016.811 0,0192 0,0223 1,1585 0,0639 0,0014 Pagaralam 111.665 446.216 0,0171 0,0098 0,5726 -0,2422 -0,0024 Lubuklinggau 167.578 745.297 0,0256 0,0163 0,6373 -0,1957 -0,0032 SUMSEL 6.534.324 45.603.110 Indeks Theil = 0,0711
Tahun 2004
Kabupaten/Kota JML. PDDK PDRB Xi yi yi/xi log(yi/xi) yi*log(yi/xi) OKI 648.155 2.369.259 0,0978 0,0497 0,5079 -0,2942 -0,0146 Banyuasin 712.813 3.419.737 0,1075 0,0717 0,6666 -0,1761 -0,0126 Palembang 1.304.211 12.226.258 0,1968 0,2563 1,3026 0,1148 0,0294 OKU 280.037 2.160.778 0,0422 0,0453 1,0721 0,0302 0,0014 Muara Enim 621.876 6.279.353 0,0938 0,1316 1,4030 0,1471 0,0194 Lahat 541.895 2.675.851 0,0818 0,0561 0,6861 -0,1636 -0,0092 Musi Rawas 465.682 2.687.376 0,0703 0,0563 0,8018 -0,0959 -0,0054 Musi Banyuasin 455.739 9.696.003 0,0688 0,2033 2,9562 0,4707 0,0957 OKU Selatan 290.377 902.517 0,0438 0,0189 0,4319 -0,3647 -0,0069 OKU Timur 542.440 1.666.184 0,0818 0,0349 0,4268 -0,3698 -0,0129 Ogan Ilir 351.997 1.290.882 0,0531 0,0271 0,5096 -0,2928 -0,0079 Prabumulih 128.207 1.059.702 0,0193 0,0222 1,1485 0,0601 0,0013 Pagaralam 113.752 481.654 0,0172 0,0101 0,5883 -0,2304 -0,0023 Lubuklinggau 171.235 788.634 0,0258 0,0165 0,6399 -0,1939 -0,0032 SUMSEL 6.628.416 47.704.188 Indeks Theil = 0,0721
Tahun 2005
Kabupaten/Kota JML. PDDK PDRB Xi yi yi/xi log(yi/xi) yi*log(yi/xi) OKI 56.828 2.502.296 0,0972 0,0500 0,5141 -0,2889 -0,0144 Banyuasin 733.828 3.576.197 0,1086 0,0714 0,6577 -0,1820 -0,0130 Palembang 1.338.793 13.087.898 0,1982 0,2614 1,3193 0,1203 0,0315 OKU 255.246 2.237.220 0,0378 0,0447 1,1829 0,0729 0,0033 Muara Enim 632.222 6.540.614 0,0936 0,1307 1,3962 0,1449 0,0189 Lahat 545.754 2.810.643 0,0808 0,0561 0,6950 -0,1580 -0,0089 Musi Rawas 474.430 2.826.410 0,0702 0,0565 0,8040 -0,0947 -0,0053 Musi Banyuasin 469.175 9.982.326 0,0694 0,1994 2,8714 0,4581 0,0913 OKU Selatan 317.277 945.137 0,0470 0,0189 0,4020 -0,3958 -0,0075 OKU Timur 556.010 1.761.563 0,0823 0,0352 0,4276 -0,3690 -0,0130 Ogan Ilir 356.983 1.351.713 0,0528 0,0270 0,5110 -0,2916 -0,0079 Prabumulih 130.340 1.103.392 0,0193 0,0220 1,1425 0,0578 0,0013 Pagaralam 114.562 498.639 0,0170 0,0100 0,5874 -0,2311 -0,0023 Lubuklinggau 174.452 835.849 0,0258 0,0167 0,6466 -0,1894 -0,0032 SUMSEL 6.755.900 50.059.897 Indeks Theil = 0,0708
Lampiran 1 (lanjutan) Tahun 2006
Kabupaten/Kota JML. PDDK PDRB Xi yi yi/xi log(yi/xi) yi*log(yi/xi) OKI 672.192 2.653.826 0,0974 0,0503 0,5163 -0,2871 -0,0144 Banyuasin 757.398 3.800.765 0,1098 0,0720 0,6563 -0,1829 -0,0132 Palembang 1.369.239 13.998.092 0,1984 0,2653 1,3370 0,1261 0,0335 OKU 259.292 2.348.255 0,0376 0,0445 1,1844 0,0735 0,0033 Muara Enim 643.924 6.896.716 0,0933 0,1307 1,4007 0,1463 0,0191 Lahat 550.478 2.946.362 0,0798 0,0558 0,7000 -0,1549 -0,0087 Musi Rawas 484.281 2.973.711 0,0702 0,0564 0,8030 -0,0953 -0,0054 Musi Banyuasin 484.245 10.260.635 0,0702 0,1945 2,7710 0,4426 0,0861 OKU Selatan 322.307 1.027.494 0,0467 0,0195 0,4169 -0,3800 -0,0074 OKU Timur 564.824 1.875.941 0,0819 0,0356 0,4343 -0,3622 -0,0129 Ogan Ilir 365.333 1.421.557 0,0529 0,0269 0,5089 -0,2934 -0,0079 Prabumulih 132.752 1.153.568 0,0192 0,0219 1,1364 0,0555 0,0012 Pagaralam 115.553 517.742 0,0167 0,0098 0,5860 -0,2321 -0,0023 Lubuklinggau 178.074 886.057 0,0258 0,0168 0,6507 -0,1866 -0,0031 SUMSEL 6.899.892 52.760.721 Indeks Theil = 0,0679
Tahun 2007
Kabupaten/Kota JML. PDDK PDRB Xi yi yi/xi log(yi/xi) yi*log(yi/xi) OKI 685.296 2.827.516 0,0976 0,0508 0,5199 -0,2841 -0,0144 Banyuasin 778.627 4.041.206 0,1109 0,0725 0,6540 -0,1844 -0,0134 Palembang 1.394.954 14.992.484 0,1987 0,2691 1,3543 0,1317 0,0354 OKU 262.383 2.468.624 0,0374 0,0443 1,1855 0,0739 0,0033 Muara Enim 653.304 7.300.405 0,0931 0,1310 1,4081 0,1486 0,0195 Lahat 553.093 3.122.332 0,0788 0,0560 0,7113 -0,1479 -0,0083 Musi Rawas 492.437 3.159.584 0,0701 0,0567 0,8085 -0,0923 -0,0052 Musi Banyuasin 497.864 10.541.461 0,0709 0,1892 2,6680 0,4262 0,0806 OKU Selatan 326.162 1.076.988 0,0465 0,0193 0,4161 -0,3808 -0,0074 OKU Timur 571.557 2.001.672 0,0814 0,0359 0,4413 -0,3553 -0,0128 Ogan Ilir 372.431 1.491.622 0,0531 0,0268 0,5047 -0,2970 -0,0080 Prabumulih 134.686 1.208.279 0,0192 0,0217 1,1304 0,0532 0,0012 Pagaralam 116.102 538.737 0,0165 0,0097 0,5847 -0,2331 -0,0023 Lubuklinggau 181.068 940.505 0,0258 0,0169 0,6545 -0,1841 -0,0031 SUMSEL 7.019.964 55.711.415 Indeks Theil = 0,0652
Lampiran 2. Hasil analisis indeks Theil berdasarkan PDRB sektoral per tenaga kerja di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2005 dan 2007.
Tahun 2005
SEKTOR JML.TK PDRB Xi yi yi/xi log(yi/xi) yi*log(yi/xi) Tani 1.907.027 9.715.915 0,6312 0,1941 0,3075 -0,5122 -0,0994 Tbg 32.110 13.976.727 0,0106 0,2792 26,2687 1,4194 0,3963 Ind 156.516 8.681.181 0,0518 0,1734 3,3473 0,5247 0,0910 Ligas 4.070 239.837 0,0013 0,0048 3,5564 0,5510 0,0026 Bang 94.908 3.427.678 0,0314 0,0685 2,1796 0,3384 0,0232 Prdg 392.895 6.545.297 0,1301 0,1307 1,0054 0,0023 0,0003 Trans 141.462 1.964.796 0,0468 0,0392 0,8382 -0,0767 -0,0030 Keu 10.942 1.795.319 0,0036 0,0359 9,9017 0,9957 0,0357 Jasa 281.143 3.713.146 0,0931 0,0742 0,7971 -0,0985 -0,0073 SUMSEL 3.021.072 50.059.896 Indeks Theil = 0,4394
Tahun 2007 SEKTOR JML.TK PDRB Xi yi yi/xi log(yi/xi) yi*log(yi/xi) Tani 1.896.126 11.251.558 0,6276 0,2248 0,3581 -0,4460 -0,1002 Tbg 23.458 14.583.308 0,0078 0,2913 37,5179 1,5742 0,4586 Ind 154.858 9.475.352 0,0513 0,1893 3,6926 0,5673 0,1074 Ligas 6.336 277.608 0,0021 0,0055 2,6440 0,4223 0,0023 Bang 97.555 4.019.273 0,0323 0,0803 2,4864 0,3956 0,0318 Prdg 376.853 7.533.517 0,1247 0,1505 1,2064 0,0815 0,0123 Trans 145.217 2.453.960 0,0481 0,0490 1,0198 0,0085 0,0004 Keu 24.462 2.055.914 0,0081 0,0411 5,0720 0,7052 0,0290 Jasa 332.652 4.260.924 0,1101 0,0851 0,7730 -0,1118 -0,0095 SUMSEL 3.057.518 55.911.414 Indeks Theil = 0,5320
Lampiran 3. Hasil analisis indeks Williamson berdasarkan PDRB per kapita ADHK 2000 (ribuan rupiah) di Provinsi Sumatera Selatan (2003 s.d.2007)
PDRB atas dasar harga konstan (ribuan rupiah) PDRB/kapita 2003 MIGAS NON MIGAS
Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk MIGAS NON MIGAS MIGAS NON MIGAS
fi/�fi yi-� (yi-�)2 (fi/�fi)*(yi-�) 2 yi-� (yi-�)2 (fi/�fi)*(yi-�) 2
OKI 986.152 3.487.969 3.465.220 3,54 3,51 0,15 -3,67 13,45 2,03 -1,22 1,48 0,22
Banyuasin 709.148 3.175.278 2.608.773 4,48 3,68 0,11 -2,73 7,44 0,81 -1,05 1,11 0,12
Palembang 1.287.841 11.488.473 9.506.699 8,92 7,38 0,20 1,72 2,95 0,58 2,65 7,03 1,39
OKU 1.096.606 4.539.121 3.971.568 4,14 3,62 0,17 -3,07 9,40 1,58 -1,11 1,23 0,21
Muara Enim 611.702 6.056.869 3.638.379 9,90 5,95 0,09 2,70 7,28 0,68 1,22 1,48 0,14
Lahat 530.304 2.557.459 2.297.241 4,82 4,33 0,08 -2,38 5,67 0,46 -0,40 0,16 0,01
Musi Rawas 461.809 2.573.510 1.583.714 5,57 3,43 0,07 -1,63 2,66 0,19 -1,30 1,69 0,12
Musi Banyuasin 445.756 9.516.107 2.934.514 21,35 6,58 0,07 14,14 200,05 13,65 1,85 3,43 0,23
Prabumulih 125.763 1.016.811 641.137 8,09 5,10 0,02 0,88 0,78 0,01 0,37 0,14 0,00
Pagaralam 111.665 446.216 446.216 4,00 4,00 0,02 -3,21 10,29 0,18 -0,73 0,54 0,01
Lubuklinggau 167.578 745.297 745.297 4,45 4,45 0,03 -2,76 7,60 0,19 -0,28 0,08 0,00 20,36 2,45 SUMSEL 6.534.324 45.603.110 31.838.758 7,20 4,73 Iw 0,6263 0,3312
PDRB atas dasar harga konstan (ribuan rupiah) PDRB/kapita 2004 MIGAS NON MIGAS
Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk MIGAS NON MIGAS MIGAS NON MIGAS
fi/�fi yi-� (yi-�)2 (fi/�fi)*(yi-�) 2 yi-� (yi-�)2 (fi/�fi)*(yi-�) 2
OKI 648.155 2.369.259 2.369.259 3,66 3,66 0,10 -3,10 9,61 0,94 -1,06 1,13 0,11
Banyuasin 712.813 3.419.737 2.735.018 4,80 3,84 0,11 -1,96 3,83 0,41 -0,88 0,77 0,08
Palembang 1.304.211 12.226.258 10.263.311 9,37 7,87 0,20 2,62 6,86 1,35 3,15 9,94 1,96
OKU 280.037 2.160.778 1.593.508 7,72 5,69 0,04 0,96 0,92 0,04 0,97 0,95 0,04
Muara Enim 621.876 6.279.353 3.798.041 10,10 6,11 0,09 3,34 11,17 1,05 1,39 1,93 0,18
Lahat 541.895 2.675.851 2.405.293 4,94 4,44 0,08 -1,82 3,30 0,27 -0,28 0,08 0,01
Musi Rawas 465.682 2.687.376 1.678.737 5,77 3,60 0,07 -0,98 0,97 0,07 -1,11 1,24 0,09
Musi Banyuasin 455.739 9.696.003 3.146.002 21,28 6,90 0,07 14,52 210,83 14,50 2,19 4,78 0,33 OKU Selatan 290.377 902.517 902.517 3,11 3,11 0,04 -3,65 13,30 0,58 -1,61 2,59 0,11 OKU Timur 542.440 1.666.184 1.666.184 3,07 3,07 0,08 -3,68 13,57 1,11 -1,65 2,71 0,22
Ogan Ilir 351.997 1.290.882 1.266.932 3,67 3,60 0,05 -3,09 9,54 0,51 -1,12 1,25 0,07
Prabumulih 128.207 1.059.702 680.555 8,27 5,31 0,02 1,51 2,28 0,04 0,59 0,35 0,01
Pagaralam 113.752 481.654 481.654 4,23 4,23 0,02 -2,52 6,36 0,11 -0,48 0,23 0,00
Lubuklinggau 171.235 788.634 788.634 4,61 4,61 0,03 -2,15 4,62 0,12 -0,11 0,01 0,00 21,09 3,20 SUMSEL 6.628.416 47.704.188 33.775.645 6,76 4,72 Iw 0,6799 0,3795
Lampiran 3 (lanjutan) PDRB atas dasar harga konstan (jutaan rupiah) PDRB/kapita 2005 MIGAS NON MIGAS
Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk MIGAS NON MIGAS MIGAS NON MIGAS
fi/�fi yi-� (yi-�)2 (fi/�fi)*(yi-�) 2 yi-� (yi-�)2 (fi/�fi)*(yi-�) 2
OKI 656.828 2.502.296 2.502.296 3,81 3,81 0,10 -3,15 9,95 0,97 -1,13 1,27 0,12 Banyuasin 733.828 3.576.197 2.876.201 4,87 3,92 0,11 -2,09 4,37 0,47 -1,02 1,04 0,11 Palembang 1.338.793 13.087.898 11.151.255 9,78 8,33 0,20 2,81 7,91 1,57 3,39 11,51 2,28 OKU 255.246 2.237.220 1.676.247 8,76 6,57 0,04 1,80 3,24 0,12 1,63 2,66 0,10 Muara Enim 632.222 6.540.614 3.960.869 10,35 6,26 0,09 3,38 11,43 1,07 1,33 1,76 0,16 Lahat 545.754 2.810.643 2.531.233 5,15 4,64 0,08 -1,81 3,29 0,27 -0,30 0,09 0,01 Musi Rawas 474.430 2.826.410 1.784.685 5,96 3,76 0,07 -1,01 1,01 0,07 -1,18 1,38 0,10 Musi Banyuasin 469.175 9.982.326 3.398.920 21,28 7,24 0,07 14,31 204,84 14,23 2,31 5,32 0,37 OKU Selatan 317.277 945.137 945.137 2,98 2,98 0,05 -3,99 15,88 0,75 -1,96 3,84 0,18 OKU Timur 556.010 1.761.563 1.761.563 3,17 3,17 0,08 -3,80 14,41 1,19 -1,77 3,13 0,26 Ogan Ilir 356.983 1.351.713 1.326.451 3,79 3,72 0,05 -3,18 10,10 0,53 -1,22 1,49 0,08 Prabumulih 130.340 1.103.392 727.350 8,47 5,58 0,02 1,50 2,25 0,04 0,64 0,41 0,01 Pagaralam 114.562 498.639 498.639 4,35 4,35 0,02 -2,61 6,82 0,12 -0,58 0,34 0,01 Lubuklinggau 174.452 835.849 835.849 4,79 4,79 0,03 -2,17 4,72 0,12 -0,15 0,02 0,00
21,51 3,79 SUMSEL 6.755.900 50.059.897 35.976.695 6,96 4,94
Iw 0,6660 0,3941 PDRB atas dasar harga konstan (jutaan rupiah) PDRB/kapita 2006 MIGAS NON MIGAS
Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk MIGAS NON MIGAS MIGAS NON MIGAS
fi/�fi yi-� (yi-�)2 (fi/�fi)*(yi-�) 2 yi-� (yi-�)2 (fi/�fi)*(yi-�) 2
OKI 672.192 2.653.826 2.653.826 3,95 3,95 0,10 -3,21 10,29 1,00 -1,20 1,45 0,14 Banyuasin 757.398 3.800.765 3.052.270 5,02 4,03 0,11 -2,14 4,57 0,50 -1,12 1,26 0,14 Palembang 1.369.239 13.998.092 12.090.111 10,22 8,83 0,20 3,07 9,41 1,87 3,68 13,53 2,69 OKU 259.292 2.348.255 1.778.699 9,06 6,86 0,04 1,90 3,61 0,14 1,71 2,92 0,11 Muara Enim 643.924 6.896.716 4.205.268 10,71 6,53 0,09 3,55 12,63 1,18 1,38 1,90 0,18 Lahat 550.478 2.946.362 2.670.395 5,35 4,85 0,08 -1,80 3,25 0,26 -0,30 0,09 0,01 Musi Rawas 484.281 2.973.711 1.894.926 6,14 3,91 0,07 -1,02 1,03 0,07 -1,24 1,53 0,11 Musi Banyuasin 484.245 10.260.635 3.636.263 21,19 7,51 0,07 14,03 196,92 13,82 2,36 5,56 0,39 OKU Selatan 322.307 1.027.494 1.027.494 3,19 3,19 0,05 -3,97 15,75 0,74 -1,96 3,85 0,18 OKU Timur 564.824 1.875.941 1.875.941 3,32 3,32 0,08 -3,83 14,71 1,20 -1,83 3,35 0,27 Ogan Ilir 365.333 1.421.557 1.394.872 3,89 3,82 0,05 -3,26 10,66 0,56 -1,33 1,78 0,09 Prabumulih 132.752 1.153.568 777.880 8,69 5,86 0,02 1,53 2,35 0,05 0,71 0,50 0,01 Pagaralam 115.553 517.742 517.742 4,48 4,48 0,02 -2,68 7,16 0,12 -0,67 0,45 0,01 Lubuklinggau 178.074 886.057 886.057 4,98 4,98 0,03 -2,18 4,75 0,12 -0,18 0,03 0,00
21,63 4,32 SUMSEL 6.899.892 52.760.721 38.461.744 7,16 5,15
Iw 0,6499 0,4036
Lampiran 3 (lanjutan) PDRB atas dasar harga konstan (jutaan rupiah) PDRB/kapita 2007 MIGAS NON MIGAS
Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk
MIGAS NON MIGAS MIGAS NON MIGAS fi/�fi
yi-� (yi-�)2 (fi/�fi)*(yi-�) 2 yi-� (yi-�)2 (fi/�fi)*(yi-�) 2 OKI 685.296 2.827.516 2.827.516 4,13 4,13 0,10 -3,27 10,67 1,04 -1,29 1,66 0,1621 Banyuasin 778.627 4.041.206 3.251.448 5,19 4,18 0,11 -2,20 4,85 0,54 -1,24 1,53 0,1702 Palembang 1.394.954 14.992.484 13.116.176 10,75 9,40 0,20 3,36 11,26 2,24 3,99 15,90 3,1604 OKU 262.383 2.468.624 1.900.698 9,41 7,24 0,04 2,02 4,06 0,15 1,83 3,35 0,1251 Muara Enim 653.304 7.300.405 4.497.304 11,17 6,88 0,09 3,78 14,30 1,33 1,47 2,16 0,2009 Lahat 553.093 3.122.332 2.844.796 5,65 5,14 0,08 -1,75 3,05 0,24 -0,27 0,07 0,0058 Musi Rawas 492.437 3.159.584 2.053.829 6,42 4,17 0,07 -0,98 0,95 0,07 -1,24 1,55 0,1085 Musi Banyuasin 497.864 10.541.461 3.920.550 21,17 7,87 0,07 13,78 189,91 13,47 2,46 6,05 0,4293 OKU Selatan 326.162 1.076.988 1.076.988 3,30 3,30 0,05 -4,09 16,73 0,78 -2,11 4,46 0,2073 OKU Timur 571.557 2.001.672 2.001.672 3,50 3,50 0,08 -3,89 15,14 1,23 -1,91 3,66 0,2978 Ogan Ilir 372.431 1.491.622 1.463.980 4,01 3,93 0,05 -3,39 11,48 0,61 -1,48 2,20 0,1168 Prabumulih 134.686 1.208.279 836.760 8,97 6,21 0,02 1,58 2,49 0,05 0,80 0,64 0,0122 Pagaralam 116.102 538.737 538.737 4,64 4,64 0,02 -2,75 7,58 0,13 -0,77 0,60 0,0099 Lubuklinggau 181.068 940.505 940.505 5,19 5,19 0,03 -2,20 4,83 0,12 -0,22 0,05 0,0013
21,99 5,01 SUMSEL 7.019.964 55.711.415 41.270.959 7,39 5,41
Iw 0,6344 0,4133
Lampiran 4. Hasil analisis Entropi per sektor perekonomian tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan (2003, 2005, 2007)
Entropi Aktifitas Perekonomian Tiap Sektor Tahun 2003 KABUPATEN/KOTA
Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa Jumlah
(Entropi Total) Indeks Entropi
Entropi Maksimum Kelas
OKI 0,1123 0,0145 0,0356 0,0006 0,0468 0,0600 0,0070 0,0150 0,0310 0,3228 0,0703 4,59512 rendah Banyuasin 0,0940 0,0411 0,0647 0,0003 0,0264 0,0501 0,0026 0,0050 0,0155 0,2996 0,0652 4,59512 rendah Palembang 0,0146 - 0,2401 0,0200 0,0741 0,1458 0,0945 0,0648 0,1053 0,7591 0,1652 4,59512 tinggi OKU 0,1180 0,0613 0,0455 0,0014 0,0395 0,0675 0,0092 0,0221 0,0448 0,4093 0,0891 4,59512 sedang Muara Enim 0,0835 0,2031 0,0450 0,0040 0,0251 0,0321 0,0109 0,0101 0,0295 0,4434 0,0965 4,59512 sedang Lahat 0,0765 0,0567 0,0241 0,0007 0,0253 0,0304 0,0073 0,0143 0,0265 0,2617 0,0569 4,59512 rendah Musi Rawas 0,0790 0,0866 0,0231 0,0004 0,0126 0,0143 0,0019 0,0063 0,0195 0,2436 0,0530 4,59512 rendah Musi Banyuasin 0,0893 0,2811 0,0603 0,0004 0,0289 0,0502 0,0030 0,0135 0,0264 0,5531 0,1204 4,59512 tinggi OKU Selatan - - - - - - - - - - - 4,59512 - OKU Timur - - - - - - - - - - - 4,59512 - Ogan Ilir - - - - - - - - - - - 4,59512 - Prabumulih 0,0135 0,0398 0,0090 0,0005 0,0132 0,0227 0,0046 0,0115 0,0105 0,1252 0,0273 4,59512 rendah Pagaralam 0,0245 0,0014 0,0011 0,0002 0,0068 0,0129 0,0028 0,0043 0,0090 0,0631 0,0137 4,59512 rendah Lubuklinggau 0,0076 0,0016 0,0087 0,0007 0,0199 0,0217 0,0077 0,0137 0,0165 0,0982 0,0214 4,59512 rendah Sumatera Selatan 0,7128 0,7872 0,5572 0,0291 0,3186 0,5076 0,1514 0,1807 0,3345 3,5791 0,7789 4,59512
Maks 0,76 0,16
Min 0,06 0,01
Rataan 0,34 0,07
Std. Dev 0,21 0,04
Lampiran 4 (lanjutan)
Entropi Aktifitas Perekonomian Tiap Sektor Tahun 2005 KABUPATEN/KOTA
Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa Jumlah
(Entropi Total) Indeks Entropi
Entropi Maksimum Kelas
OKI 0,0902 0,0060 0,0234 0,0003 0,0334 0,0398 0,0046 0,0084 0,0208 0,2269 0,0469 4,8362819 rendah Banyuasin 0,0933 0,0488 0,0629 0,0003 0,0279 0,0506 0,0028 0,0050 0,0157 0,3072 0,0635 4,8362819 sedang Palembang 0,0133 - 0,2374 0,0208 0,0778 0,1532 0,1068 0,0693 0,1071 0,7857 0,1625 4,8362819 tinggi OKU 0,0500 0,0530 0,0258 0,0009 0,0181 0,0344 0,0058 0,0112 0,0222 0,2214 0,0458 4,8362819 rendah Muara Enim 0,0870 0,1968 0,0462 0,0039 0,0259 0,0329 0,0112 0,0102 0,0293 0,4434 0,0917 4,8362819 sedang Lahat 0,0776 0,0557 0,0243 0,0007 0,0246 0,0305 0,0073 0,0144 0,0267 0,2618 0,0541 4,8362819 rendah Musi Rawas 0,0812 0,0843 0,0238 0,0004 0,0122 0,0142 0,0019 0,0064 0,0195 0,2440 0,0505 4,8362819 rendah Musi Banyuasin 0,0939 0,2687 0,0607 0,0004 0,0329 0,0523 0,0035 0,0135 0,0271 0,5529 0,1143 4,8362819 tinggi OKU Selatan 0,0339 0,0022 0,0124 0,0002 0,0146 0,0235 0,0017 0,0059 0,0126 0,1070 0,0221 4,8362819 rendah OKU Timur 0,0729 0,0070 0,0161 0,0004 0,0150 0,0285 0,0033 0,0087 0,0199 0,1717 0,0355 4,8362819 rendah Ogan Ilir 0,0431 0,0100 0,0174 0,0003 0,0203 0,0296 0,0032 0,0078 0,0142 0,1459 0,0302 4,8362819 rendah Prabumulih 0,0131 0,0371 0,0092 0,0005 0,0139 0,0236 0,0048 0,0120 0,0106 0,1249 0,0258 4,8362819 rendah Pagaralam 0,0230 0,0015 0,0011 0,0002 0,0073 0,0126 0,0031 0,0044 0,0090 0,0621 0,0128 4,8362819 rendah Lubuklinggau 0,0078 0,0017 0,0085 0,0007 0,0205 0,0221 0,0082 0,0137 0,0167 0,1000 0,0207 4,8362819 rendah
Sumatera Selatan 0,7803 0,7725 0,5692 0,0301 0,3445 0,5478 0,1682 0,1909 0,3512 3,7549 0,7764 4,8362819
Maks 0,78 0,16
Min 0,06 0,01
Rataan 0,29 0,06
Std. Dev 0,20 0,04
Lampiran 4 (lanjutan)
Entropi Aktifitas Perekonomian Tiap Sektor Tahun 2007 KABUPATEN/KOTA
Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa
Jumlah (Entropi Total)
Indeks Entropi
Entropi Maksimum Kelas
OKI 0,0912 0,0060 0,0235 0,0003 0,0336 0,0401 0,0046 0,0083 0,0211 0,2287 0,0473 4,836282 rendah Banyuasin 0,0931 0,0513 0,0601 0,0003 0,0314 0,0507 0,0031 0,0049 0,0164 0,3113 0,0644 4,836282 sedang Palembang 0,0128 - 0,2336 0,0216 0,0810 0,1577 0,1172 0,0720 0,1096 0,8055 0,1665 4,836282 tinggi OKU 0,0635 0,0494 0,0248 0,0009 0,0183 0,0353 0,0059 0,0111 0,0222 0,2313 0,0478 4,836282 rendah Muara Enim 0,0925 0,1922 0,0472 0,0039 0,0268 0,0340 0,0115 0,0102 0,0293 0,4475 0,0925 4,836282 sedang Lahat 0,0773 0,0547 0,0244 0,0007 0,0242 0,0304 0,0077 0,0143 0,0273 0,2610 0,0540 4,836282 rendah Musi Rawas 0,0832 0,0817 0,0242 0,0004 0,0130 0,0145 0,0020 0,0063 0,0194 0,2447 0,0506 4,836282 rendah Musi Banyuasin 0,0966 0,2547 0,0606 0,0005 0,0354 0,0536 0,0037 0,0136 0,0279 0,5466 0,1130 4,836282 tinggi OKU Selatan 0,0335 0,0028 0,0121 0,0002 0,0153 0,0242 0,0017 0,0060 0,0132 0,1092 0,0226 4,836282 rendah OKU Timur 0,0732 0,0068 0,0161 0,0004 0,0152 0,0303 0,0035 0,0085 0,0201 0,1741 0,0360 4,836282 rendah Ogan Ilir 0,0418 0,0099 0,0171 0,0004 0,0206 0,0288 0,0033 0,0074 0,0155 0,1448 0,0299 4,836282 rendah Prabumulih 0,0127 0,0337 0,0091 0,0005 0,0143 0,0244 0,0051 0,0131 0,0108 0,1236 0,0256 4,836282 rendah Pagaralam 0,0213 0,0014 0,0010 0,0002 0,0077 0,0126 0,0033 0,0044 0,0087 0,0607 0,0126 4,836282 rendah Lubuklinggau 0,0079 0,0017 0,0083 0,0007 0,0209 0,0222 0,0082 0,0135 0,0171 0,1006 0,0208 4,836282 rendah
Sumatera Selatan 0,8007 0,7463 0,5620 0,0310 0,3577 0,5590 0,1808 0,1936 0,3586 3,7896 0,7836 4,836282
Maks 0,81 0,17
Min 0,06 0,01
Rataan 0,29 0,06
Std. Dev 0,21 0,04
Lampiran 5. Variabel dan parameter yang digunakan dalam analisis Multivariat
Bidang No Kode Variabel Parameter
Kependudukan 1 KPDTN Kepadatan penduduk Jumlah penduduk per luas wilayah
2 KP Persen keluarga petani
� KK pertanian per � KK
Sarana Informasi dan Komunikasi
3 FasINFO Rasio sarana komunikasi terhadap penduduk
� (wartel/kiospon/warnet) per jumlah penduduk
4 PLN Persen KK yang menggunakan PLN
� KK pelanggan PLN per � total KK
5 TELP Persen KK yang menggunakan telepon
� KK pelanggan telpon per � total KK
Kesehatan 6 FasKES Rasio fasilitas pelayanan kesehatan terhadap penduduk
� (RS, rmh. Bersalin, poliklinik, puskesmas, posyandu, polindes, tempat praktek dokter/bidan) per jumlah penduduk
7 FasOBAT Rasio jumlah tempat penjualan obat terhadap penduduk
� (apotik, toko obat/jamu) per jumlah penduduk
8 TenKES Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk
� (dokter, bidan, dukun bayi terlatih dan belum terlatih) per jumlah penduduk
Pendidikan 9 FasDIKDAS Rasio jumlah sarana pendidikan dasar dan menengah terhadap penduduk
� (TK, SD, SMP, SMA, SMK negeri/swasta) per jumlah penduduk
10 FasIBD Rasio jumlah sarana peribadatan terhadap penduduk
� (masjid, gereja, pura, kelenteng) per jumlah penduduk
Ekonomi 11 LemKEU Rasio lembaga keuangan terhadap penduduk
� (bank, BPR, KUD, koperasi) per jumlah penduduk
12 FasTOKO Rasio toko dan tempat perbelanjaan terhadap penduduk
� (toko/warung/kios, supermarket, restoran/kedai makan) per jumlah penduduk
13 FasINDBes Rasio jumlah industri besar terhadap penduduk
� industri besar (� 100 pekerja) per jumlah penduduk
14 FasINDSed Rasio jumlah industri sedang terhadap penduduk
� industri sedang (20-99 pekerja) per jumlah penduduk
15 FasINDKec Rasio jumlah industri kecil terhadap penduduk
� (industri kerajinan kayu/kulit/anyaman/logam /makan-minuman dll) per jumlah penduduk
16 FasHTL Rasio jumlah hotel dan penginapan terhadap penduduk
� (hotel/wisma/motel/losmen) per jumlah penduduk
Penggunaan Lahan
17 LhSwh Rasio luas lahan sawah terhadap wilayah
� (luas lahan sawah berpengairan/tidak berpengairan, sementara) per luas wilayah
18 LhNSwh Rasio luas lahan bukan sawah terhadap wilayah
� (luas lahan pertanian/kolam/tambak/padang rumput, lading) per luas wilayah
19 LhNPert Rasio luas lahan bukan pertanian terhadap wilayah
� (luas lahan kawasan terbangun non pertanian) per luas wilayah
Lampiran 5 (lanjutan)
Bidang No Kode Variabel Parameter
Pendapatan Wilayah
20 GDPTani Rasio PDRB sektor pertanian per kapita
PDRB Pertanian per jumlah penduduk
21 GDPTbg Rasio PDRB sektor pertambangan per kapita
PDRB Pertambangan per jumlah penduduk
22 GDPSek Rasio PDRB sekunder per kapita
PDRB Sekunder per jumlah penduduk
23 GDPTer Rasio PDRB sektor tersier per kapita
PDRB Tersier per jumlah penduduk
Tenaga Kerja 24 TKTani Rasio tenaga kerja sektor pertanian per kapita
� tenaga kerja pertanian per jumlah penduduk
25 TKTbg Rasio tenaga kerja sektor pertambangan per kapita
� tenaga kerja pertambangan per jumlah penduduk
26 TKSek Rasio tenaga kerja sekunder per kapita
� tenaga kerja sekunder per jumlah penduduk
27 TKTer Rasio tenaga kerja tersier per kapita
� tenaga kerja tersier per jumlah penduduk
Lampiran 6. Matriks wilayah kabupaten/kota di provinsi sumatera selatan berdasarkan sintesis hasil penelitian.
KABUPATEN/KOTA Sektor Unggulan (2007)
Perubahan Tingkat Perkembangan
Wilayah (2003-2007) Berdasarkan
Aktivitas Sektor Perekonomian
Kontribusi Terhadap Disparitas
Tipologi (Klaster) Hirarki Definisi Wilayah
OKI pertanian; bangunan; perdagangan, hotel & restoran Rendah – Rendah Mengurangi 2 III
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di kabupaten, yaitu sektor pertanian, sektor sekunder dan tersier namun ketersediaan fasilitas pelayanan umum masih sangat rendah sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang kurang berkembang
Banyuasin pertanian; industri pengolahan; bangunan; perdagangan, hotel & restoran
Rendah – Rendah Mengurangi 2 III
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di kabupaten, yaitu sektor pertanian, sektor sekunder dan tersier namun ketersediaan fasilitas pelayanan umum masih sangat rendah sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang kurang berkembang
OKU pertanian; perdagangan, hotel & restoran; jasa lainnya Sedang – Rendah Meningkatkan 3 II
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di kabupaten, yaitu sektor pertanian atau pertambangan & penggalian dan memiliki fasilitas pelayanan umum lebih rendah daripada Klaster I sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang memiliki tingkat perkembangan sedang.
Muara Enim pertambangan & penggalian Sedang – Sedang Meningkatkan 3 III
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di kabupaten yang terkonsentrasi pada sektor pertambangan dan penggalian namun fasilitas pelayanan umum masih sangat rendah sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang kurang berkembang
Lahat pertanian; bangunan; keuangan, persewaan & jasa perusahaan; jasa lainnya
Rendah – Rendah Mengurangi 3 III
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di kabupaten yaitu sektor pertanian atau sektor pertambangan & penggalian namun fasilitas pelayanan umum masih sangat rendah sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang kurang berkembang
Musi Rawas pertanian; pertambangan & penggalian Rendah – Rendah Mengurangi 3 III
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di kabupaten yaitu sektor pertanian atau sektor pertambangan & penggalian dengan fasilitas pelayanan umum yang lebih rendah daripada Klaster I sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang memiliki tingkat perkembangan sedang.
Lampiran 6 (lanjutan)
KABUPATEN/KOTA Sektor Unggulan (2007)
Perubahan Tingkat Perkembangan
Wilayah (2003-2007) Berdasarkan
Aktivitas Sektor Perekonomian
Kontribusi Terhadap Disparitas
Tipologi (Klaster) Hirarki Definisi Wilayah
Palembang
industri pengolahan; listrik, gas & air bersih; bangunan; perdagangan, hotel & restoran; transportasi & telekomunikasi; keuangan, persewaan & jasa perusahaan; jasa lainnya
Tinggi – Tinggi Meningkatkan 1 I
Sebagai pusat pembangunan dan pusat pelayanan perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan yang dicirikan oleh variabel lembaga keuangan yang disertai rasio kepadatan penduduk tertinggi (> 1 juta jiwa) sehingga dikategorikan sebagai kawasan metropolitan yang dilengkapi dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan perekonomian yang lengkap.
Prabumulih
pertambangan & penggalian; bangunan; perdagangan, hotel & restoran; keuangan, persewaan & jasa perusahaan; jasa lainnya
Rendah – Rendah Meningkatkan 4 III
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di perkotaan yang terkonsentrasi pada sektor pertambangan & penggalian yang disertai sektor sekunder dan tersier namun fasilitas pelayanan umum yang tersedia sangat rendah sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang kurang berkembang
Pagaralam pertanian; bangunan; perdagangan, hotel & restoran; keuangan, persewaan & jasa perusahaan; jasa lainnya
Rendah – Rendah Mengurangi 4 II
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di perkotaan, yaitu sektor pertanian dan tersier dan memiliki fasilitas pelayanan umum lebih rendah daripada Klaster I sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang memiliki tingkat perkembangan sedang.
Lubuk Linggau bangunan; perdagangan, hotel & restoran; keuangan, persewaan & jasa perusahaan; jasa lainnya
Rendah – Rendah Mengurangi 4 II
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di perkotaan, yaitu pada sektor sekunder dan tersier, dengan ketersediaan fasilitas pelayanan umum yang lebih rendah daripada Klaster I sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang memiliki tingkat perkembangan sedang.
OKU Timur pertanian; perdagangan, hotel & restoran; jasa lainnya Rendah – Rendah Mengurangi 2 II
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di kabupaten, yaitu sektor pertanian dengan ketersediaan fasilitas pelayanan umum yang sangat lebih rendah dari pada Klaster I sehingga dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan yang sedang.
Lampiran 6 (lanjutan)
KABUPATEN/KOTA Sektor Unggulan (2007)
Perubahan Tingkat Perkembangan
Wilayah (2003-2007) Berdasarkan
Aktivitas Sektor Perekonomian
Kontribusi Terhadap Disparitas
Tipologi (Klaster) Hirarki Definisi Wilayah
OKU Selatan pertanian; bangunan; perdagangan, hotel & restoran; keuangan, persewaan & jasa perusahaan; jasa lainnya
Rendah – Rendah Mengurangi 3 III
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di kabupaten, yaitu sektor pertanian, sekunder dan tersier namun ketersediaan fasilitas pelayanan umum masih sangat rendah sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang kurang berkembang
Ogan Ilir pertanian; bangunan; perdagangan, hotel & restoran; keuangan, persewaan & jasa perusahaan; jasa lainnya
Rendah – Rendah Mengurangi 2 III
Dicirikan oleh variabel yang mengindikasikan aktivitas perekonomian wilayah di kabupaten, yaitu sektor pertanian, sekunder dan tersier namun ketersediaan fasilitas pelayanan umum masih sangat rendah sehingga dikategorikan sebagai wilayah yang kurang berkembang
Lampiran 7. Nilai mean masing-masing klaster berdasarkan hasil analisis K-mean clustering
Mean Kelas variabel penjelas
Variabel penjelas Klaster 1
Klaster 2
Klaster 3
Klaster 4
Klaster 1
Klaster 2
Klaster 3
Klaster 4
KPDT PDDK 3,42 -0,32 -0,36 0 Tinggi Rendah Rendah Rendah KP -2,75 0,45 0,50 -0,67 Rendah Tinggi Tinggi Rendah PLN 1,53 -0,49 -0,51 1,16 Tinggi Rendah Rendah Tinggi TELP 2,32 -0,59 -0,49 1 Tinggi Rendah Rendah Tinggi FASINFO 1,75 -0,26 -0,72 1,19 Tinggi Rendah Rendah Tinggi FASKES -1,98 -0,33 0,22 0,66 Rendah Rendah Tinggi Tinggi FASOBAT 1,13 -0,62 -0,48 1,4 Sedang Rendah Rendah Tinggi TENKES -1,76 -0,24 0,85 -0,81 Rendah Rendah Tinggi Rendah FASIBD -1,21 0,68 0,17 -0,84 Rendah Tinggi Tinggi Rendah FASDIKDAS -2,27 -0,14 0,43 0,07 Rendah Rendah Tinggi Rendah FASINDBES 0,18 0,92 -0,28 -0,73 Rendah Tinggi Rendah Rendah FASINDSED 1,67 0,44 -0,22 -0,72 Tinggi Tinggi Rendah Rendah FASINKEC 2,58 0,27 -0,52 -0,18 Tinggi Sedang Rendah Rendah FASTOKO 0,06 -0,68 0,21 0,46 Rendah Rendah Tinggi Sedang FASHTL -0,17 -0,12 -0,46 1,13 Rendah Rendah Rendah Tinggi FASLBKEU 3,39 -0,36 -0,36 0,06 Tinggi Rendah Rendah Rendah LLHNSWH 1,11 1,25 -0,68 -0,66 Sedang Tinggi Rendah Rendah LLHNNSWH -1,11 -1,25 0,68 0,66 Rendah Rendah Tinggi Tinggi LLHNNPERT 2,2 0,02 -0,76 0,76 Tinggi Sedang Rendah Tinggi TK_TANI -2,52 0,32 0,59 -0,77 Rendah Tinggi Tinggi Rendah TK_TBG -0,33 -0,25 -0,12 0,7 Rendah Rendah Rendah Tinggi TK_SEK 1,95 0,74 -0,84 0,04 Tinggi Tinggi Rendah Rendah TK_TER 1,56 1,13 -0,71 -0,61 Tinggi Tinggi Rendah Rendah GDP_TANI -1,82 0,08 0,63 -0,75 Rendah Sedang Tinggi Rendah GDP_TBG -0,57 -0,48 0,57 -0,31 Rendah Rendah Tinggi Rendah GDP_SEK 3,12 -0,39 -0,18 -0,17 Tinggi Rendah Rendah Rendah GDP_TER 2,65 -0,64 -0,36 0,69 Tinggi Rendah Rendah Tinggi
Maks 3,42 1,25 0,85 1,40 Min -2,75 -1,25 -0,84 -0,84 Rataan 0,52 -0,03 -0,12 0,10 Std.DEV 1,95 0,61 0,52 0,74