Download - ANDI KOMARA-FSH.pdf
TINJAUAN YURIDIS OBLIGASI SEBAGAI OBJEK DALAM
PERNYATAAN PENJAMINAN NEGATIF (NEGATIVE PLEDGE)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Andi Komara 1110048000006
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
TINJAUAN YURIDIS OBLIGASI SEBAGAI OBJEK DALAM
PERNYATAAN PENJAMINAN NEGATIF (NEGATIVE PLEDGE)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Andi Komara 1110048000006
Dibawah Bimbingan :
Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA. Ahmad Bahtiar, M.Hum. NIP. 197601182009121002
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 5 Mei 2014
Andi Komara
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi ini berjudul TINJAUAN YURIDIS OBLIGASI SEBAGAI OBJEK
DALAM PERNYATAAN PENJAMINAN NEGATIF (NEGATIVE
PLEDGE), telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
5 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum
dengan Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.
Jakarta, 5 Mei 2014
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. H. JM. Muslimin, MA.
NIP. 196808121999031014
PANITIA UJIAN
Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA,M.H. (............................. )
NIP. 195503061976031001
Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum ( ............................. )
NIP. 196509081995031001
Pembimbing I : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA. ( .............................)
Pembimbing II : Ahmad Bahtiar, M.Hum. ( ............................ )
NIP. 197601182009121002
Penguji I : Drs. H. Asep Syarifudin Hidayat, S.H., M.H(...........................)
NIP. 196911211994031001
Penguji II : Dra. Hj. Hafni Muchtar, S.H., M.H., MM. ( ............................ )
KATA PENGANTAR
��� ا���� ا�� ��� هللا
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, terrucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin
tiada henti karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Shalawat seiring salam
semoga selalu tercurah limpahkan atas insane pilihan Tuhan khatamul anbiya’I
walmursalin Muhammad SAW.
Dengan setulus hati ini penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang
maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang
ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena
keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak
pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari tanpa dorongan dari pembimbing dan semua pihak
yang mendukung penelitian ini hingga selesai, pada kesempatan ini, izinkanlah
penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin, M.A. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum, serta para Wakil Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Isalam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., MA, M.H. selaku Ketua Program
Studi Ilmu Hukum dan bapak Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum selaku
Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
3. Bapak Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA. dan Ahmad Bahtiar, M.Hum.
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing selama
penulisan skripsi.
4. Seluruh Staf Dosen dan pengajar yang ada di dalam lingkungan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan bekal ilmu kepada penulis yang tak bisa disebutkan
namanya tanpa mengurangi rasa hormat.
5. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Drs. Ibnudin Iddat, M.Si dan Ibunda
Ratna Damaiyanti yang senantiasa mendidik, membantu, mendukung dan
melimpahkan kasih sayang serta do’a yang tiada henti.
6. Kakakku tercinta Mohammad Firaz, S.IP dan Mohammad Fikar, S.E.
yang selalu memberikan semangat serta dukungan, baik moril maupun
materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa juga
untuk mas Ovick, tante Wati dan Nenek Nung yang selalu setia
membantu penulis.
7. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum Angkatan 2010, terima kasih atas
segala bentuk dukungan dan ilmu yang telah kalian berikan. Khususnya
sahabat saya Wawan, Rizky, Eko, Zikri, Soma dan teman-teman
Konsentrasi Hukum Bisnis Atiek, Nourma, Apri, Endah, Liza, dan dari
teman Konsenterasi Hukum Kelembagaan Negara Hopsah, Setyo, serta
kawan lainnya yang tak bisa disebutkan semua tanpa mengurangi rasa
hormat, telah memberikan segala dukungan dan hiburan kepada penulis,
sehingga penulis selalu optimis untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh Keluarga Besar AMPUH periode 2011-2013 dan HMPS Ilmu
Hukum periode 2013-2014.
9. Seluruh Sahabat KOMPAS, Syakur, Niji, Syiroh, Lukman, Farid,
Dhillah, Fitri, Dita, Uty, Nisa, Fida, Tias, Fida.
10. Seluruh teman-teman Peserta KALABAHU 35 LBH Jakarta khusunya
Cia, Talitha, Adji, Wira, Alldo, dan Krido serta teman lainnya yang tak
bisa disebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat.
11. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materil
sampai detik ini penulis panjatkan do’a, semoga Allah memberikan Balasan yang
berlipat dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir
hingga yaum al-akhir. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Semoga Allah senantiasa
memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok. Amin.
Jakarta, 5 Mei 2014
Andi Komara
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN i
LEMBAR PERNYATAAN ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vii
ABSTRAK ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 6
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu 7
E. Kerangka Konseptual 9
F. Metode Penelitian 10
G. Sistematika Penulisan 13
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM JAMINAN
A. Pengertian Hukum Jaminan 15
B. Asas-asas dalam Hukum Jaminan 16
C. Hak-hak Jaminan 19
D. Bentuk-bentuk Jaminan 22
BAB III OBLIGASI SEBAGAI OBJEK JAMINAN DAN PERNYATAAN
PENJAMINAN NEGATIF
A. Pengertian dan Karakteristik Obligasi 37
B. Jenis-jenis Obligasi 40
C. Obligasi Sebagai Jaminan 55
D. Penilaian Obligasi Sebagai Jaminan 56
E. Pengikatan dan Pencairan Obligasi Sebagai Objek Jaminan 58
F. Alternatif Pengganti Jaminan 59
G. Obligasi Sebagai Objek Pernyataan Penjaminan Negatif 62
BAB IV TINJAUAN YURIDIS OBLIGASI SEBAGAI OBJEK DALAM
PERNYATAAN PENJAMINAN NEGATIF (NEGATIVE PLEDGE)
A. Tinjauan Hukum Jaminan di Indonesia Terhadap Pernyataan
Penjaminan Negatif (Negative Pledge) 65
B. Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian dengan Klausul
Pernyataan Penjaminan Negatif 69
C. Pelanggaran dalam Pernyataan Penjaminan Negatif dengan Objek
Obligai 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 74
B. Saran 75
DATAR PUSTAKA 76
ABSTRAK
Pernyataan penjaminan negatif atau negative pledge adalah klausul pernyataan (negative covenant) yang menyatakan bahwa debitur tidak akan menjaminkan satu pun atau sebagian dari hartanya kepada pihak lain. Negative pledge adalah model penjaminan yang diadopsi dari kebiasaan perbankan di luar negeri, sehingga belum diatur dalam hukum Indonesia. Pengaturan negative pledge dapat mengacu kepada pengaturan hukum perikatan di Kitab Undang-undang Hukum Perdata karena negative pledge merupakan bagian dari perjanjian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tinjauan hukum jaminan di Indonesia terhadap pernyataan penjaminan negatif., untuk mengetahui pemenuhan asas proporsionalitas dalam perjanjian dengan klausul pernyataan penjaminan negative dan untuk mengetahui tindakan debitur yang dapat merugikan kreditur dalam perjanjian dengan klausul pernyataan penjaminan negatif saat benda objek pernyataan penjaminan negatif yaitu obligasi ditarik kembali oleh penerbit obligasi Dalam penelitian ini yang menjadi fokus adalah obligasi sebagai objek dari negative pledge. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menggunakan bahan-bahan dari peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum serta jurnal hukum. Selanjutnya bahan-bahan dianalisis dengan diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Hasil penelitian menemukan bahwa penjaminan yang menggunakan negative pledege terdapat ketidaksesuaian dengan hukum Indonesia. Hal ini terlihat dari perjanjian dengan klausul negative pledge yang tidak memenuhi asas proporsionalitas karena tidak terdapat kesetaraan terhadap para pihak sehingga rentan merugikan salah satu pihak. Salah satu bentuk kerugian yang mungkin terjadi adalah saat obligasi sebagai objek negative pledge ditarik kembali oleh penerbit obligasi. Debitur dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum bila saat bersamaan obligasi ditarik kembali oleh penerbit dan kreditur hendak menggunakan obligasi tersebut. Sedangkan debitur tidak melakukan hal untuk mencegah penarikan obligasi. Kesimpulan dari penelitian ini 1) untuk memperbaiki penjaminan dengan cara negative pledge dengan melakukan penambahan klausul dalam perjanjian agar memenuhi asas proporsionalitas sehingga pelanggaran ataupun kerugian yang timbul dari perjanjian ini dapat dihindari 2) perlu dilakukan pemberitahuan kepada penerbit obligasi agar tidak dilakukan penarikan kembali obligasi selama menjadi objek negative pledge.
Kata kunci : Obligasi, pernyataan penjaminan negatif atau negative pledge,
jaminan
Daftar pustaka : Tahun 1979 sampai 2012
Pembimbing : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA dan Ahmad Bahtiar, M.Hum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perekonomian suatu negara sangat dipengaruhi oleh keberlangsungan
sektor dunia usaha, sehingga indikator kemajuan perekonomian suatu negara
dapat terlihat dari situasi sektor dunia usaha. Dalam menjalankan usaha tentu
baik perorangan maupun badan hukum membutuhkan dana untuk
menjalankan kegiatan usahanya. Salah satu sumber untuk mendapat dana
adalah melalui pinjam meminjam atau pengajuan kredit di lembaga keuangan
seperti di bank, pegadaian dan lembaga keuangan lainnya.
Saat mengajukan pinjaman atau kredit, tentu lembaga keuangan seperti
bank mensyaratkan adanya penyerahan jaminan kredit oleh pemohon kredit.
Hal ini dilakukan untuk mengamankan pelunasan kredit bila pihak pemohon
kredit cidera janji atau melakukan wanprestasi. Bank akan mencairkan
jaminan kredit untuk pelunasan kredit yang macet atau pemohon kredit cidera
janji. Selain itu jaminan kredit berfungsi untuk mengetahui kesungguhan
pihak pemohon kredit untuk melunasi kredit.
Selain melalui bank, untuk memperoleh dana bisa juga melalui
lembaga penjaminan seperti gadai, fidusia, hak tanggungan maupun hipotek.
Cukup dengan memberikan jaminan berupa benda baik benda bergerak
ataupun benda tidak bergerak disesuaikan dengan lembaga penjaminan yang
dipilih, kita sudah dapat dana yang bisa diperuntukan guna menjalankan
usaha.
Aturan penjaminan di Indonesia diatur dalam undang-undang nomor
42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, undang-undang nomor 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Serta
peraturan teknisnya melalui peraturan pemerintah, peraturan menteri,
peraturan BI atau saat ini melalui peraturan OJK.
Terkait jaminan kredit perbankan, tidak semua benda atau barang bisa
menjadi jaminan. Pihak bank terlebih dahulu harus menilai objek jaminan
kredit, apakah memenuhi syarat untuk dijadikan objek jaminan kredit atau
tidak. Selama ini pada umumnya benda yang dapat dijadikan jaminan adalah
seperti tanah, kendaraan bermotor, logam mulia, dan benda berharga lainya1.
Seiring berkembangnya dunia perkreditan surat berharga pun bisa
dijadikan jaminan. Surat berharga yang dapat dijadikan jaminan antara lain
saham, obligasi, sukuk dan lain-lain. Obligasi sebagai jaminan kredit
merupakan hal yang kurang akrab dalam praktek perkreditan. Namun, seiring
dengan perkembangan pasar modal serta dunia usaha yang pesat, obligasi
menjadi pilihan karena memiliki beberapa keunggulan seperti obligasi yang
bersifat jangka panjang, memiliki resiko yang rendah, dan memberikan bunga
1 M. Bahsan. Hukum Jaminan dan Kredit Perbankan Indonesia. (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada. 2007). hal. 5
yang tetap. Keunggulan inilah yang membuat banyak pihak mulai dari
pemerintah, perusahaan, dan pemerintah daerah mengeluarkan obligasi.
Saat ini juga telah banyak cara yang dilakukan bank dalam
memberikan kredit tanpa jaminan salah satunya melalui alternatif pengganti
jaminan. Salah satu alternatif pengganti jaminan adalah melalui perjanjian
dengan klausul pernyataan penjaminan negatif atau negative pledge.
Pernyataan penjaminan negatif adalah klausul pernyataan (negative covenant)
yang menyatakan bahwa debitur tidak akan menjaminkan satu pun atau
sebagian dari aset-asetnya kepada pihak lain2. Saat kreditur membutuhkan,
benda objek negative pledge dapat digunakan oleh kreditur dan debitur secara
sukarela memberikannya dengan melakukan pengikatan dengan lembaga
jaminan sebelumnya. Perjanjian dengan klausul pernyataan penjaminan
negatif ini biasa digunakan pihak bank asing, hal ini karena pernyataan
penjaminan negatif merupakan kebiasaan yang digunakan bank di luar negeri
atau cabangnya di Indonesia.
Badan hukum maupun perorangan yang memiliki obligasi dapat
memperoleh dana atau pinjaman ke bank melalui perjanjian dengan klausul
pernyataan penjaminan negatif, dengan menjadikan obligasi sebagai aset yang
dijadikan objek dalam pernyataan penjaminan negatif. Cara ini memberikan
keuntungan karena bisa mendapat pinjaman dana guna melaksanakan kegiatan
perusahaan tanpa harus menjaminkan asetnya dalam hal ini obligasi.
2 Irma Devita Purnamasari. Kiat-kiat cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum
Jaminan Perbankan. (Bandung : Mizan. 2012) h. 169
Pendapatan yang diperoleh obligasi pun yaitu berupa kupon obligasi masih
dapat diperoleh pemegang obligasi. Pihak bank pun menjadi memiliki
kepastian terhadap aset yang dijadikan objek pernyataan penjaminan negatif
ini apabila debitur wanprestasi karena aset tersebut tidak dijadikan jaminan
kepada pihak lain.
Pernyataan penjaminan negatif ini belum diatur dalam hukum
Indonesia karena merupakan adopsi dari kebiasaan bank di luar negeri dan
cabang bank asing di Indonesia. Akibat dari belum ada aturan yang mengatur
terkait hal ini, maka perjanjian dengan klausul pernyataan penjaminan negatif
rentan timbul masalah. Namun, karena pernyataan penjaminan negatif ini
merupakan bagian dari perjanjian, maka peraturan yang dapat digunakan
berada di Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang Perikatan.
Selain itu masalah rentan timbul saat kreditur hendak menggunakan benda
objek pernyataan penjaminan negatif namun benda tersebut tidak berada
dalam kuasa debitur sehingga berpotensi merugikan kreditur. Untuk itu perlu
ada kajian terkait pernyataan penjaminan negatif ini ditinjau dari hukum
jaminan yang berlaku di Indonesia. Lalu apakah perjanjian dengan klausul
penjaminan negatif sudah memenuhi asas proporsionalitas dan jika saat
kreditur hendak menggunakan benda objek pernyataan penjaminan negatif
dalam hal ini obligasi tapi obligasi tersebut tidak ada pada debitur apakah
debitur telah melakukan pelanggaran perjanjian.
Oleh karena itu, penulis tertarik membahas pernyataan penjaminan
negatif ditinjau dari hukum jaminan Indonesia dan dampaknya terhadap
obligasi yang dijadikan objek pernyataan penjaminan negatif. Maka penulis
membahas masalah ini dalam penelitian berjudul “TINJAUAN YURIDIS
OBLIGASI SEBAGAI OBJEK DALAM PERNYATAAN PENJAMINAN
NEGATIF (NEGATIVE PLEDGE).”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait hukum jaminan
maka penelitian ini difokuskan mengkaji pernyataan penjaminan negatif
dari perspektif peraturan yang mengatur hukum jaminan seperti undang-
undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, undang-undang
nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana tinjauan dari hukum jaminan di Indonesia terhadap
pernyataan penjaminan negatif ?
b. Apakah perjanjian dengan klausul pernyataan penjaminan negatif
telah memenuhi asas proporsionalitas ?
c. Apakah debitur melakukan perbuatan melawan hukum saat
kreditur hendak menggunakan obligasi namun obligasi tersebut
tidak ada pada debitur karena ditarik oleh penerbit obligasi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tinjauan
hukum jaminan di Indonesia terhadap perjanjian dengan klausul
pernyataan penjaminan negatif, proporsionalitas perjanjian dengan klausul
pernyataan penjaminan negatif dan terkait pelanggaran perjanjian tersebut.
Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan :
a. Untuk mengetahui tinjauan hukum jaminan di Indonesia terhadap
pernyataan penjaminan negatif.
b. Untuk mengetahui pemenuhan asas proporsionalitas dalam perjanjian
dengan klausul pernyataan penjaminan negatif.
c. Untuk mengetahui tindakan debitur yang dapat merugikan kreditur
dalam perjanjian dengan klausul pernyaan penjaminan negatif saat
benda objek pernyataan penjaminan negatif yaitu obligasi ditarik
kembali oleh penerbit obligasi.
2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu :
1. Manfaat Teoretis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan tentang perjanjian dengan klausul pernyataan penjaminan
negatif dan mengenai obligasi sebagai objek dalam pernyataan penjaminan
negatif.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi pelaku usaha dan masyarakat yang hendak mengajukan
kredit perbankan agar bisa menggunakan obligasi dalam pernyataan
penjaminan negatif.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian terkait obligasi sebagai jaminan kredit pernah ada yaitu
berjudul “Obligasi Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank X di Jakarta” yang
disusun oleh Lisniarni, Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1990,
yang membahas tentang praktek penjaminan obligasi pada bank X di Jakarta,
alasan mengapa obligasi bisa mendjadi jaminan pada bank tersebut serta hak
dan kewajiban para pihak
Selain itu ada pula penelitian yang berjudul”Pemberian Kredit Dengan
Jaminan Obligasi di Bank BNI 46” disusun oleh Sandra Nella Lengkong,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1993. Penelitian tersebut hampir
sama dengan penelitian sebelumnya yaitu membahas tentang praktek
penjaminan obligasi di Bank BNI 46, alasan mengapa pihak bank menerima
obligasi sebagai jaminan kredit serta tentang siapa yang berhak atas bunga
obligasi.
Adapun penelitian lain yang membahas tentang obligasi yaitu dalam
buku yang berjudul “Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk” karya Adrian Sutedi.
Buku ini menjelaskan secara komprehensif tentang obligasi, seperti macam-
macam jenis obligasi, berinvestasi melalui obligasi dan lainya. Namun tidak
menjelaskan terkait obligasi yang menjadi jaminan kredit perbankan.
Hal yang membedakan skripsi ini dengan penelitian yang telah
diangkat oleh penulis sebelumnya adalah skripsi tersebut meneliti tentang
praktek pemberian kredit dengan jaminan obligasi di bank sedangkan dalam
skripsi ini berfokus pada obligasi sebagai objek pada pernyataan penjaminan
negatif. Hal yang membedakan dengan penelitian yang dituangkan dalam
buku “Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk” adalah dalam buku tersebut tidak
menjelaskan terkait obligasi sebagai objek dalam pernyataan penjaminan
negatif sebagaimana yang akan diteliti dalam skripsi ini.
Sejauh penelusuran penulis, belum ada yang melakukan penelitian
mengenai obligasi sebagai objek dalam pernyataan penjaminan negatif dan
setelah melakukan inventarisasi judul skripsi di Perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, maka skripsi berjudul
“Tinjauan Yuridis Obligasi Sebagai Objek Dalam Pernyataan Penjaminan
Negatif (Negative Pledge)” belum pernah diangkat sebelumnya sebagai judul
skripsi. Jadi, penelitian yang penulis teliti (sejauh yang diketahui penulis)
belum ada yang melakukan penelitian sebelumnya.
E. Kerangka Konseptual
Obligasi adalah surat utang jangka panjang yang dikeluarkan oleh
peminjam, dengan kewajiban untuk membayar kepada pemegang obligasi
sejumlah bunga tetap yang telah ditentukan sebelumnya3. Menurut Pasal 1
butir 34 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1199/kmk.010/1991, obligasi
adalah bukti utang dari emiten yang mengandung janji pembayaran bunga atau
janji lainya serta pelunasan pokok pinjaman yang dilakukan pada tanggal jatuh
tempo, sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sejak emisi.
Pernyataan penjaminan negatif (Negative Pledge) adalah klausul
pernyataan (negative covenant) yang menyatakan bahwa debitur tidak akan
menjaminkan satu pun atau sebagian dari aset-asetnya kepada pihak lain4.
Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk
menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan5.
3 Adrian Sutedi. Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) h.1 4 Irma Devita Purnamasari. Kiat-kiat cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum
Jaminan Perbankan. (Bandung : Mizan. 2012) h. 169
5 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007) h.2
Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang
jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur6.
F. Metode Penelitian
1. Tipe penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.7
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala
yang bersangkutan.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan
mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-
undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di
6 J. Satrio. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2007). h.3
7Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42.
masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.8
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni yuridis
normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep
(conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan
untuk meneliti aturan-aturan terkait hukum jaminan. Pendekatan
konsep dilakukan untuk memahami konsep pernyataan penjaminan
negatif dan obligasi.
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim9. Dalam
penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah
undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, undang-
undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Kitab Undang-
undang Hukum Perdata dan undang-undang nomor 10 tahun 1998.
8Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.
9Peter Mahmud marzuki. Penelitian Hukum. cet.VI (Jakarta : kencana, 2010), h. 141.
b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan.
c. Bahan non hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan nonhukum dapat berupa
buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat,
Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang
mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum
tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan
peneliti.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber
non-hukum yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan
berdasarkan rumusan masalah dan diklasifikasikan menurut sumber
dan hierarkinya.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi10. Selanjutnya setelah bahan
hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang
akhirnya akan diketahui tinjauan hukum jaminan di Indonesia tentang
obligasi sebagai objek dalam pernyataan penjaminan negatif dan
dampak obligasi sebagai objek dalam pernyataan penjaminan negatif.
G. Sistematika Penelitian
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” dengan sistematika yang
terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai
pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:
BAB I meliputi pendahuluan, memuat latar belakang, batasan dan rumusan
Masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (Review) kajian
Terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II meliputi tinjauan umum hukum jaminan, memuat pengertian hukum
jaminan, asas-asas dalam hukum jaminan, hak-hak jaminan dan bentuk
bentuk jaminan.
BAB III mencakup obligasi sebagai objek jaminan dan pernyataan penjaminan
negatif, memuat pengertian dan karakteristik obligasi, jenis-jenis obligasi,
obligasi sebagai jaminan, penilaian obligasi sebagai jaminan, pengikatan
10Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II,(Malang :
Bayumedia Publishing. 2006), hal 393
dan pencairan obligasi sebagai objek jaminan, alternatif pengganti jaminan
dan obligasi sebagai objek pernyataan penjaminan negatif.
BAB IV meliputi tinjauan yuridis obligasi sebagai objek dalam pernyataan
penjaminan negatif (Negative Pledge) yang memuat tinjauan hukum
jaminan Indonesia terhadap pernyataan penjaminan negatif, asas
proporsionalitas dalam perjanjian dengan klausul pernyataan penjaminan
negatif dan pelanggaran dalam pernyataan penjaminan negatif dengan
objek obligasi.
BAB V meliputi kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan bab terakhir dari
penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari
hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang
dianggap perlu.
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM JAMINAN
A. Pengertian Hukum Jaminan
Hukum jaminan merupakan terjemahan dari security of law,
zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten. Sebelum membahas pengertian hukum
jaminan lebih dulu akan dijelaskan pengertian jaminan terlebih dahulu. Jaminan
adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan
bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang
timbul dari suatu perikatan11. Selain itu pengertian jaminan adalah sesuatu yang
diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan
memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu
perikatan12. Sedangkan menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang perbankan jaminan adalah keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Setelah membahas pengertian jaminan berikut pengertian hukum jaminan
menurut beberapa ahli. Menurut M. Bahsan hukum jaminan adalah peraturan yang
secara khusus mengatur tentang ketentuan-ketentuan berkaitan dengan
penjaminan utang, antara lain mengenai prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-
11 Hartono Hadisoeprapto. Pokok-pokok Hukum Perikatan Dan Jaminan. (Yogyakarta :
Liberty, 1984)
12 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007) hal.2
lembaga jaminan, objek jaminan utang dan sebagainya13. Menurut J. Satrio
hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan
piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur14. Sedangkan menurut Salim
H.S hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan
pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit15.
Dari berbagai pengertian hukum jaminan oleh para ahli dapat disimpulkan
bahwa hukum jaminan adalah kumpulan peraturan yang mengatur tentang
penjaminan utang, hak dan kewajiban debitur serta kreditur, dan lembaga jaminan.
B. Asas-asas dalam Hukum Jaminan
Menurut Salim HS, terdapat 5 asas yang terdapat dalam hukum
jaminan16, yaitu :
1. Asas Publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak
fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan
supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut
sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di
13 M. Bahsan. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan. (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2007) h.8
14 J. Satrio. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2007) h.3
15 Salim H.S, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. (Jakarta : Rajawali Press, 2005) h.6
16 Salim H.S, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. (Jakarta : Rajawali Press, 2005) h.9-10
Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota, pendaftaran
fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal
laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu
syahbandar.
2. Asas Specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek
hanya dapat dibebankan atas barang-barang yang sudah terdaftar atas
nama orang tertentu.
3. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas yang dapat dibaginya hutang tidak
dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia,
hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.
4. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) berada pada penerima
gadai.
5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu
kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah
Negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang
bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain,
berdasarkan hak pakai.
Selain asas-asas diatas masih ada beberapa asas lainnya antara lain
asas absolut yaitu pemegang hak benda berhak menuntut orang yang
mengganggu haknya karena hak ini dapat dipertahankan setiap orang17. Asas
Droit de suite yaitu hak kebendaan mengikuti bendanya di dalam tangan
17 Mariam Badruzaman. Aneka Hukum Bisnis. (Jakarta : Alumni, 1994)h. 79
siapapun benda berada18. Serta asas asesoir yaitu hak jaminan bukan
merupakan hak yang berdiri sendiri akan tetapi ada atau hapusnya bergantung
pada perjanjian pokok19. Hak jaminan kebendaan merupakan hukum yang
bersifat memaksa (dwingend recht) yang tidak dapat dikesampingkan oleh
para pihak. Dapat dipindahkan, dengan pengertian dapat dialihkan
kepemilikannya kepada pihak lain selama tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Asas Individualiteit, yaitu yang dapat dimiliki sebagai kebendaan adalah
segala sesuatu yang menurut hukum dapat ditentukan terpisah dan oleh
karenanya terhadap hak jaminan ini tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat
hapus begitu saja sampai seluruh hutang dilunasi. Asas Totaliteit yaitu
kepemilikan oleh individu atas suatu hak jaminan adalah menyeluruh atas
setiap bagian benda jaminan. Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid),
yaitu tidak dimungkinkan seseorang melepaskan hanya sebagian hak miliknya
atas suatu kebendaan yang utuh, meskipun seorang pemilik diberikan
kewenangan untuk membebani hak miliknya dengan hak kebendaan lainya
yang bersifat terbatas (jura in re alinea) namun pembebanan itu hanya dapat
dibebankan terhadap keseluruhan kebendaan yang menjadi miliknya tersebut
sebagai satu kesatuan.
18 Mariam Badruzaman. Aneka Hukum Bisnis. (Jakarta : Alumni, 1994)h. 79
19 Mariam Badruzaman. Aneka Hukum Bisnis. (Jakarta : Alumni, 1994)h. 79
C. Hak-hak Jaminan
1. Hak Jaminan Perorangan
Jaminan perorangan menurut Pasal 1820 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata adalah suatu perjanjian antara seorang kreditur dengan
seorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban
debitur. Jaminan ini dilakukan guna memberikan kepercayaan kepada
kreditur bahwa kewajiban debitur akan terpenuhi dalam hal adanya suatu
wanprestasi pada debitur atas suatu hubungan utang piutang oleh seorang
pihak ketiga tersebut. Pihak ketiga memberikan jaminan kepada kreditur
untuk melakukan pelunasan atau pelaksanaan prestasi debitur, baik
seluruhnya ataupun sebagian, terhadap kewajiban debitur dalam hubungan
utang piutang tersebut.
Jaminan perorangan ini dilakukan dengan sepengetahuan dari
debitur, tapi jaminan ini dapat dilakukan tanpa diketahui kreditur,
misalnya dengan dasar persahabatan atau kekeluargaan. Jaminan
perorangan ini pada umumnya dituangkan dalam suatu perjanjian di bawah
tangan, akta notaris atau bentuk-bentuk tertulis lainnya yang biasa disebut
perjanjian penanggungan. Perjanjian penanggungan ini merupakan
perjanjian yang bersifat asesoir, sehingga keberadaanya tergantung kepada
keberadaan perjanjian pokok.
Hak jaminan perorangan akan timbul hubungan langsung pada diri
orang perorang atau pihak tertentu yang memberikan perjanjian
penanggungan, maka hak kreditur hanya dapat dipertahankan terhadap
penjamin tertentu tersebut dan terhadap harta kekayaan dari pihak
penjamin itu. Dalam hak jaminan bersifat perorangan berlaku asas
persamaan. Ini artinya tidak ada perbedaan antara piutang yang datang
lebih dahulu dan kemudian. Semua piutang kreditur terhadap penjamin
berkedudukan sama.
2. Hak Jaminan Kebendaan
Hak jaminan kebendaan adalah hak yang memberikan kepada
seorang kreditur kedudukan yang lebih baik, karena kreditur didahulukan
dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas tagihannya dari hasil
penjualan benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitur.
Selain itu kreditur dapat pula memegang benda tertentu yang berharga
bagi debitur dan memberikan suatu tekanan psikologis terhadap debitur
untuk memenuhi semua kewajibannya dengan baik terhadap kreditur20.
Selain memberikan kreditur kedudukan yang lebih baik, hak
jaminan kebendaan juga dapat dipertahankan maupun ditujukan kepada
setiap orang, dan mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu
milik debitur, dengan kata lain mempunyai sifat droit de suite.
Berdasarkan ciri dasar tersebut, maka benda yang dapat dijadikan
jaminan atau objek jaminan kebendaan adalah sesuatu yang dapat
dialihkan dan mempunyai nilai jual (ekonomis), serta memiliki nilai atau
20 J. Satrio. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. (Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
2007) h. 12
harga, dalam pengertian mudah diuangkan apabila debitur cedera janji
untuk melakukan pembayaran kewajibannya atau utangnya21.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikenal adanya 3
bentuk jaminan yang memberikan hak kepada kreditur untuk didahulukan
diantara para kreditur yang lain, yaitu hak istimewa, gadai dan hipotik.
Dalam hal ini maka dikenal kreditur yang diistimewakan oleh Undang-
undang karena sifat piutangnya mendapat pelunasan terlebih dahulu dan
juga kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan gadai dan hipotik.
Para kreditur pemegang hak jaminan ini, memiliki hak yang
diutamakan (hak Preveren) dalam pengertian apabila terjadi eksekusi atas
harta kekayaan debitur yang dinyatakan wanprestasi, maka kreditur
tersebut didahulukan dalam pengambilan pelunasan dibandingkan
kreditur-kreditur lainnya.22
Selain gadai dan hipotik, termasuk juga hak tanggungan dan
jaminan fidusia yang memiliki hak didahulukan, semua hak tersebut
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari hak istimewa, dalam
pengertian apabila terjadi penjualan benda milik debitur, maka kreditur
pemegang gadai, hipotik, hak tanggungan dan fidusia mengambil terlebih
21
Retnowulan Sutanto, Perjanjian Kredit Dan Macam-Macam Jamianan Kredit Dalam
Praktek Hukum Di Indonesia, Kapita Selekta Hukum Perbankan. (Jakarta : ikatan hakim Indonesia,
1995), hal 15
22 Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 11 Tahun 2002, hal 12
dahulu pelunasan atas piutangnya, baru kemudian pemilik hak tagih
dengan hak istimewa dan selanjutnya kemudian sisanya untuk kreditur
konkuren.
D. Bentuk-bentuk Jaminan
1. Gadai
Gadai menurut KUH Perdata pasal 1150 adalah suatu hak yang
diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang yang berutang atau orang lain atas namanya, dan
yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang
berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya,
setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Gadai adalah salah satu lembaga jaminan yang digunakan untuk
mengikat objek jaminan utang berupa benda bergerak. Ketentuan tentang
gadai diatur dalam pasal 1150-1160 KUH Perdata. Gadai hanya diberikan
untuk benda bergerak, dan benda yang dijadikan objek gadai harus
dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai.
Menurut pasal 1151 KUH Perdata persetujuan gadai dibuktikan
dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan
pokoknya. Ini berarti dalam hal persetujuan pokok yang menjadi dasar
pemberian gadai adalah berbentuk perjanjian yang tidak memerlukan
formalitas tertentu, maka gadai juga dapat diberikan dengan cara yang
sama yaitu menurut ketentuan yang berlaku bagi sahnya perjanjian pokok
tersebut.
Objek gadai adalah “suatu barang bergerak“, selain benda bergerak
tersebut maka benda-benda bergerak tak bertubuh juga dapat diterima
sebagai objek gadai. Benda-benda bergerak tak bertubuh dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan sebagai tagihan-tagihan atau
piutang-piutang, surat-surat atas tunjuk dan surat-surat atas bawa.23 Benda
yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak, baik berwujud maupun
tak berwujud. Benda bergerak tak berwujud antara lain adalah hak
tagihan.24
Para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai terdiri dari pihak
yang memberikan jaminan gadai atau yang sering disebut dengan istilah
Pemberi Gadai, dan pihak yang menerima jaminan gadai atau yang sering
disebut Pemegang gadai. Namun bila ada perjanjian lain benda gadai dapat
dipegang oleh pihak ketiga, selain kreditur pemegang gadai yang disebut
juga pihak ketiga pemegang gadai. Keberadaan pihak ketiga Pemberi
Gadai ini adalah dalam hal benda jaminan yang diserahkan kepada
kreditur adalah milik pihak ketiga dan diberikan oleh pihak ketiga tersebut.
Tanggungjawab pihak ketiga ini terbatas pada benda gadai yang
dia berikan, sedangkan untuk selebihnya menjadi tanggungan debitur itu
23
Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia,
Cetakan kedua, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, Tahun 1998) h. 208
24 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fiducia,
Cetakan ke IV(Bandung : Penerbit Alumni, Tahun 1987) h. 56
sendiri. Hal ini berarti pihak ketiga pemberi gadai tidak mempunyai utang,
karena dia bukanlah debitur sehingga kreditur tidak mempunyai hak tagih
terhadap pihak ketiga pemberi gadai tersebut.Akan tetapi pihak ketiga
pemberi gadai ini mempunyai tanggungjawab yuridis atas benda gadainya.
Hak gadai diletakkan dengan memberikan benda gadai di bawah
kekuasaan kreditur pemegang gadai atau di bawah kekuasaan pihak ketiga
pemegang gadai, jika terdapat kesepakatan antara kreditur dan debitur.
Benda gadai harus ditaruh di luar kekuasaan dari pemberi gadai dan maka
dari itu harus telah diserahkan ke dalam kekuasaan pemegang gadai pada
saat terjadinya gadai. Penyerahan benda Gadai ke dalam kekuasaan
kreditur atau ke dalam kekuasaan pihak ke tiga yang ditunjuk oleh para
pihak dalam gadai. Syarat ini disebut dengan Inbezitstelling.
Penyerahan benda-benda bergerak bertubuh atau benda bergerak
tidak bertubuh yang berupa tagihan atas tunjuk, dilakukan dengan
penyerahan nyata maka penyerahan tersebut dilakukan dengan
endossement disertai dengan penyerahan nyata.
Penyerahan dalam gadai ini bukanlah penyerahan yuridis dalam
arti pihak yang menerima benda gadai tersebut, tetapi pihak pemilik atas
benda itu. Pihak pemegang gadai tetap hanya berkedudukan sebagai
pemegang gadai, walaupun ia menguasai benda tersebut (bezitter), maka
dari itu dalam gadai dikenal istilah pandbezit.
Pihak pemegang gadai memiliki hak dan kewajiban. Berikut adalah
hak-hak yang dimiliki oleh pihak pemegang gadai antara lain adalah
sebagai berikut :
a. Hak untuk tetap menahan benda gadai yang dijadikan jaminan selama
utang belum dilunasi, baik terhadap utang pokok maupun bunganya.
b. Hak untuk menjual benda gadai di depan umum menurut kebiasaan
dan syarat-syarat setempat dalam hal debitur tidak dapat melunasi
utangnya setelah tenggang waktu yang ditentukan telah lampau.
Terhadap penjualan benda gadai ini baru dilakukan apabila setelah
diberi peringatan ternyata debitur belum juga memenuhi
kewajibannya, maka dengan sendirinya pihak kreditur berhak untuk
mengambil pelunasan dari hasil penjualan benda gadai tersebut. Dan
apabila dari hasil penjualan itu melebihi dari kewajiban yang harus
dipenuhi oleh debitur maka kreditur wajib mengembalikan kelebihan
itu kepada debitur.
c. Hak untuk meminta penggantian biaya yang dikeluarkan untuk
keperluan menyelamatkan benda gadai .
d. Hak untuk melaksanakan gadai ulang atas benda gadai.
Adapun kewajiban yang melekat pada pihak pemegang gadai antara
lain adalah :
a. Mengurus benda gadai yang berada dalam penguasaanya dan menjaga
keselamatan benda gadai tersebut serta bertanggungjawab jika terjadi
kehilangan atau penyusutan nilai benda gadai, apabila hal itu terjadi karena
kesalahannya.
b. Memberitahu pihak pemberi gadai bila hendak dilakukan penjualan benda
jaminan.
c. Mengembalikan kelebihan atau sisa dari hasil penjualan benda gadai,
setelah diambil sebagai pelunasan utangnya kepada pemberi gadai.
d. Mengembalikan benda gadai jika utang yang ada dalam perjanjian pokok
telah dilunasi debitur pemberi gadai.
Hapusnya atau berakhirnya gadai dapat terjadi karena:
1) Hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai. Hal ini sesuai
dengan sifat gadai yaitu accesoir, yaitu keberadaannya tergantung pada
keberadaan perjanjian pokok, sehingga apabila perjanjian pokok berakhir
maka gadai juga ikut berakhir.
2) Terlepasnya benda gadai dari kekuasaan pemegang gadai atau dilepasnya
benda gadai secara sukarela oleh pihak pemegang gadai.
3) Hapus atau musnahnya benda gadai.
4) Terjadinya pencampuran, yaitu benda objek gadai menjadi milik
pemegang gadai.
2. Fidusia
Jaminan fidusia adalah lembaga jaminan yang digunakan untuk
mengikat objek jaminan berupa benda bergerak dan tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan25..
Jaminan fidusia diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia. Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor
42 Tahun 1999 fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda
atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Sedangkan jaminan fidusia menurut pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor
42 Tahun 1999 adalah Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditor lainnya.
Asas-asas yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang jaminan fidusia adalah asas kepastian hukum, asas
pendaftaran, asas perlindungan yang seimbang, asas menampung
kebutuhan praktek, asas tertulis otentik, dan asas pemberian kedudukan
yang kuat terhadap kreditur26.
25 M. Bahsan. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. (Jakarta ; Raja
Grafindo Persada, 2007) h. 50
26 J. Satrio. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2007)h.180
Fidusia pada hakikatnya merupakan pengalihan hak kepemilikan
suatu barang atau benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan barang
atau benda tersebut tetap dalam penguasaan pemiliknya. Ciri-ciri jaminan
fidusia di antaranya adalah memberikan hak kebendaan, hak didahulukan
kepada kreditur, objek jaminan masih dalam penguasaan debitur,
memberikan kepastian hukum dan mudah dieksekusi.
Jaminan fidusia merupakan perjanjian turunan dari perjanjian
pokok, dibuat dengan akta notaris menggunakan bahasa Indonesia.
Pembuatan akta jaminan fidusia harus memuat hal-hal seperti identitas
para pihak (penerima dan pemberi fidusia), data perjanjian pokok yang
dijamin fidusia, uraian mengenai benda yang menjadi objek fidusia, nilai
penjamin dan nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima
fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia. Pemberian
fidusia kepada lebih dari satu penerima fidusia umumnya dilakukan dalam
rangka pembiayaan kredit konsorsium. Kuasa adalah orang yang secara
hukum mendapat kuasa khusus dari penerima fidusia untuk mewakili
kepentingannya dalam penerimaan jaminan fidusia. Wakil adalah orang
yang secara hukum dianggap mewakili penerima fidusia dalam
penerimaan jaminan fidusia27.
27 M. Bahsan. Hukum Jaminan & Jaminan Kredit Perbankan. (Jakarta : Raja Grafindo
persada, 2007) h.55
Benda objek jaminan fidusia yang dapat digunakan bisa berupa
satu atau lebih jenis benda, termasuk piutang baik yang ada pada saat
jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Hal ini
membolehkan jaminan fidusia mencakup benda yang diperoleh di
kemudian hari yang apabila dilihat secara komersial sangat
menguntungkan dan menunjukan fleksibilitas terkait benda yang dijadikan
objek jaminan fidusia.
Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda
yang menjadi objek jaminan fidusia. Hal ini karena benda yang menjadi
objek jaminan fidusia hak kepemilikanya telah beralih kepada penerima
fidusia.
Jaminan fidusia dapat dialihkan ke penerima fidusia baru, yang
berakibat beralihnya secara hukum segala hak dan kewajiban penerima
fidusia kepada penerima fidusia baru. Pengalihan jaminan fidusia ini harus
didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia. Pengalihan hak atas piutang ini
dikenal dengan sebutan cessie. Dalam hal ini berlaku asas droit de suite
yaitu hak kebendaan mengikuti pemegang benda dimana benda tersebut
berada. Jadi, segala hak kebendaan beralih dari penerima fidusia lama
kepada penerima fidusia baru. Dan perlu ada pemberitahuan kepada
pemberi jaminan fidusia bahwa telah terjadi hal tersebut.
Hapusnya jaminan fidusia terjadi karena hal berikut :
a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
b. pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia; atau
c. musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Namun musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia
tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam pasal
10 huruf b Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia. Kantor pendaftaran jaminan fidusia lalu menerbitkan surat
keterangan yang menyatakan bahwa sertifikat jaminan fidusia tidak
berlaku lagi setelah penerima fidusia melapor kepada kantor pendaftaran
jaminan fidusia.
Penerima fidusia memiliki hak mendahului terhadap kreditur lain
saat terjadi eksekusi benda objek jaminan fidusia. Hak mendahului adalah
hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil
eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak ini tidak
terganggu atau terhapus apabila pemberi fidusia pailit.
Apabila pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara pelaksanaan
titel eksekutorial, penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia
kekuasaan penerima fidusia sendiri meliputi pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan, serta melakukan
penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
pemberi dan penerima fidusia jika cara ini dinilain dapat menguntungkan
para pihak.
Pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Jika
dalam hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib
mengembalikan kelebiham tersebut kepada pemberi fidusia. Namun bila
terjadi sebaliknya yaitu hasil eksekusi tidak mencukupi pelunasan utang,
pemberi fidusia tetap berkewajiban membayar sisa utang kepada penerima
fidusia.
3. Hak Tanggungan
Hak tanggungan adalah lembaga jaminan yang digunakan
mengikat objek jaminan utang berupa tanah atau benda-benda yang
berkaitan dengan tanah yang bersangkutan28. Sedangkan menurut pasal 1
ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 hak tanggungan atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain;
Peraturan yang mengatur hak tanggungan adalah Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996, dengan belakunya undang-undang tersebut maka
aturan sebelumnya yang digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan
28 M. Bahsan. Hukum Jaminan & Jaminan Kredit Perbankan. (Jakarta : Raja Grafindo
persada, 2007) h.22
yaitu aturan hipotek dan crediet verband di KUH Perdata tidak berlaku
lagi.
Ciri-ciri hak tanggungan yang seperti ada dalam adalah Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah sebagai berikut :
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu; kepada
pemegangnya. Dalam hal ini pemegang hak tanggungan mendapat
hak didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh
pelunasan piutang dari hasil penjualan objek hak tanggungan saat
debitur melakukan wanprestasi.
b. Selalu mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun
objek tersebut berada. Bila objek jaminan utang dengan hak
tanggungan beralih kepada pihak lain karena berbagai sebab seperti
penjualan, pewarisan penghibahan atau lainnya, pembebanan hak
tanggungan tetap melekat pada objek hak tanggungan.
c. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas. Hal ini tercermin
dalam aturan terkait pembuatan akta pemberian hak tanggungan
dan pendaftaran hak tanggungan. Dengan dipenuhinya asas-asas
tersebut maka pengikatan objek hak tanggungan akan sempurna
yang berarti terdapat kepastian hukum kepada para pihak yang
terlibat dalam hak tanggungan.
d. Mudah dalam pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dilakukan
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak
tanggungan. Dimana pemegang hak tanggungan peringkat pertama
dapat melakukan pelelangan umum atas objek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri.
Hak tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat terbagi-bagi
kecuali ada perjanjian dalam akta pemberian hak tanggungan.Utang yang
dijamin dengan hak tanggungan dapat berupa utang yang akan ada
maupun yang sudah ada.
Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah seperti hak milik, hak
guna usaha, dan hak guna bangunan. Selain itu, hak atas tanah yang
sifatnya dapat dipindahtangankan seperti hak pakai atas tanah Negara
dapat pula menjadi objek hak tanggungan. Hak tanggungan dapat pula di
bebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya
yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut. Suatu objek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak
tanggungan untuk menjaminkan pelunasan lebih dari satu utang.
Apabila debitur cedera janji, pemegang hak tanggungan peringkat
pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum tanpa memerlukan
persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan yang didasarkan pada janji
yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan.
Di dalam akta pemberian hak tanggungan wajib mencatumkan,
identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan, domisili para pihak,
penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin, nilai tanggungan, dan
uraian jelas tentang objek hak tanggungan. Lalu pemberian hak
tanggungan wajib didatarkan pada kantor Badan Pertanahan Nasional29.
Hak Tanggungan dapat hapus karena hal-hal sebagai berikut:
1) Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
2) Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
3) Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri;
4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
5) Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya
dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai
dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak
Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
6) Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi
karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
7) Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang
dibeban Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang
dijamin.30
29 M. Bahsan. Hukum Jaminan & Jaminan Kredit Perbankan. (Jakarta : Raja Grafindo
persada, 2007) h.32
30 M. Bahsan. Hukum Jaminan & Jaminan Kredit Perbankan. (Jakarta : Raja Grafindo persada, 2007) h.43-45
4. Hipotek
Hipotek adalah lembaga jaminan yang digunakan untuk mengikat
objek jaminan utang berupa kapal laut yang berukuran 20 m3 atau lebih
dan berbendera Indonesia.31 Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 4
tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan objek jaminan berupa tanah sudah
tidak dapat diikat dengan jaminan hipotek. Objek hipotek saat ini berupa
kapal laut berukuran 20 m3. Hipotek diatur dalam KUH Perdata dan KUH
Dagang.
Pengikatan kapal laut melalui hipotek memberikan kepastian
hukum bagi pemberi pinjaman dengan dibuatnya akta hipotek dan
sertifikat hipotek sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Sertifikat
hipotek mencantumkan kata-kata “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan
yang maha esa.” Sehingga memberikan kekuatan eksekutorial bagi
pemegang hipotek. Hipotek memberikan hak kebendaan dan kedudukan
didahulukan kepada pihak pemberi pinjaman sebagai pemegang hak
hipotek. Eksekusi terhadap objek jaminan yang diikat melalui hipotek
dilakukan melalui pelelangan umum. Eksekusi dapat dilakukan bila
pemberi hipotek melakukan wanprestasi.
Penggunaan hipotek sebagai lembaga jaminan ditegaskan kembali
melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
31 M. Bahsan. Hukum Jaminan & Jaminan Kredit Perbankan. (Jakarta : Raja Grafindo
persada, 2007) h.15
Dimana diatur dalam undang-undang tersebut bahwa kapal yang telah
didaftarkan dapat dibebani hipotek.
Selain itu, penggunaan hipotek untuk mengikat objek jaminan
utang berupa kapal udara dan helikopter. Hal ini ditegaskan pula di
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang
mengatur bahwa pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai
tanda pendaftaran dapat dibebani hipotek dan harus didaftarkan.
BAB III
OBLIGASI SEBAGAI OBJEK JAMINAN DAN PENJAMINAN
PERNYATAAN PENJAMINAN NEGATIF
A. Pengertian dan Karakteristik Obligasi
Pengertian obligasi ditemukan perbedaan pendapat di antara para ahli.
Obligasi atau bond, adalah surat utang jangka panjang yang dikeluarkan oleh
peminjam, dengan kewajiban untuk membayar kepada bond holder
(pemegang obligasi) sejumlah bunga tetap yang telah ditetapkan
sebelumnya32.
Obligasi menurut Black’s Law Dictionary adalah :
“A certificate or evidence of a debt, on which the issuing company or governmental body promises to pay the bondholders a specified amount of interest for a specified length of time, and to pay the loan on the expiration date. A long term debt instrument that promises to pay a lender a series of periodic interest payments in addition to returning the principal at maturity. In every case, a bond represents debt-it’s holder is the creditor of the corporation, and not a part owner as is the shareholder. Commonly bonds are secured by a mortgage. The word “bond” is sometimes used more broadly to refer also to unsecured instrument i.e. debentures.”
Dalam pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut
dapat diketahui bahwa yang dinamakan dengan obligasi atau bond tidak lain
adalah utang, yang pokok utangnya baru akan dikembalikan dalam suatu
jangka waktu tertentu di masa datang. Selama utang pokok belum dibayar,
32 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Obligasi & Sukuk. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. h. 1
debitor akan membayar bunga dari utang pokok tersebut secara berkala
kepada kreditor 33
Menurut Pasal 1 butir 34 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
1548/KMK/1990 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1199/kmk.010/1991, obligasi adalah bukti utang dari emiten
yang mengandung janji pembayaran bunga atau janji lainya serta pelunasan
pokok pinjaman yang dilakukan pada tanggal jatuh tempo, sekurang-
kurangnya 3 (tiga) tahun sejak emisi.
Dari beberapa pengertian obligasi diatas dapat disimpulkan bahwa
obligasi adalah pernyataan utang melalui surat utang yang diterbitkan oleh
penerbit obligasi kepada pemegang obligasi dimana penerbit obligasi
berkewajiban memberikan bunga atau kupon secara berkala kepada pemegang
obligasi.
Secara umum obligasi merupakan produk pengembangan dari surat
utang jangka panjang. Pada prinsipnya karakteristik obligasi dapat dilihat dari
struktur yang melekat pada obligasi. Pihak penerbit obligasi pada dasarnya
melakukan pinjaman kepada pembeli obligasi (pemegang obligasi). Pada
umumnya karakteristik umum yang tercantum pada sebuah obligasi adalah34 :
33 Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis : Efek Sebagai Benda. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2005. h.136-137.
34 Sapto Rahardjo. Panduan Investasi Obligasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003. h.8-10
1. Nilai Penerbitan Obligasi
Dalam penerbitan obligasi maka pihak emiten akan dengan jelas
menyatakan berapa jumlah dana yang dibutuhkan melalui penjualan
obligasi. Istilah yang ada dikenal dengan jumlah emisi obligasi. Penentuan
jumlah penerbitan obligasi diseuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan
aliran kas perusahaan serta kinerja bisnisnya.
2. Jangka Waktu Obligasi
Setiap obligasi mempunyai jangka waktu jatuh tempo (maturity). Masa
jatuh tempo obligasi biasanya berjangka pendek yaitu dibawah 1 tahun,
jangka menengah sekitar 5 tahun dan jangka panjang sekitar 10 tahun.
Semakin pendek jangka waktu obligasi maka akan sangat diminati oleh
investor karena resikonya semakin kecil.
3. Tingkat Suku Bunga
Untuk menarik investor agar membeli obligasi, maka penerbit
obligasi biasanya memberikan insentif berupa tingkat suka bunga yang
tinggi per tahunnya. Penentuan tingkat suku bunga biasanya ditentukan
dengan membandingkan tingkat suku bunga perbankan pada umumnya.
Istilah suku bunga obligasi biasanya dikenal dengan nama kupon obligasi.
Kupon dapat berbentuk bunga tetap (fixed rate) atau bunga megambang.
4. Jadwal Pembayaran Suku Bunga
Kewajiban pembayaran kupon dilakukan secara periodik sesuai
kesepakatan sebelumnya, bisa dilakukan secara triwulan atau semester.
Ketepatan waktu pembayaran kupon merupakan aspek penting dalam
menjaga reputasi penerbit obligasi.
5. Jaminan
Obligasi yang memberikan jaminan berbentuk asset perusahaan
akan lebih mempunyai daya tarik bagi calon pembeli obligasi tersebut. Di
dalam penerbitan obligasi sendiri tidak mutlak harus menggunakan
jaminan. Apabila memberikan jaminan berbentuk asset perusahaan
ataupun tagihan piutang perusahaan ataupun tagihan piutang perusahaan
dapat menjadi alternatif yang menarik investor.
Penerbitan obligasi dilakukan dengan beberapa tujuan penting,
antara lain mendapatkan jumlah dana tambahan yang lebih fleksibel,
mendapatkan pinjaman dengan tingkat suku bunga fleksibel, mendapatkan
alternatif pembiayaan melalui pasar modal35.
B. Jenis-jens Obligasi
Obligasi dapat dibedakan dalam beberapa jenis, tergantung pada sudut
mana dilihatnya. Berikut penjelasan jenis-jenis obligasi :
1. Obligasi Berdasarkan Definisi
Berdasarkan definisnya obligasi dibagi menjadi 6 (enam) jenis yaitu36 :
a. Debentures, yaitu surat utang jangka panjang yang tidak dijamin
(unsecured) dengan asset tertentu.
35 Sapto Rahardjo. Panduan Investasi Obligasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003. h.11
36 Adrian Sutedi. Aspek Hukum Obligasi & Sukuk. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. h. 6-7.
b. Subordinated Debentures, yaitu surat utang yang pengakuan klaimnya
berada setelah secured-debt dan utang jangka panjang lainya.
c. Mortgage Bonds, yaitu surat utang dengan jaminan properti. Biasanya
nilai properti yang dijaminkan tersebut lebih besar dari Mortgage
Bonds yang dikeluarkan.
d. Zero and Very Low Coupon Bonds, yaitu surat utang yang dikeluarkan
dengan sedikit atau tanpa pembayaran kupon tahunan. Jadi, obligasi ini
tidak memberikan pembayaran bunga. Pemegang obligasi menerima
secara penuh pokok utang pada saat jatuh tempo.
e. Junk Bonds, yaitu surat utang yang memiliki rating merah, dan
biasanya dikeluarkan oleh perusahaan yang mengaami masalah
keuangan. Obligasi ini memiliki peringkat di bawah peringkat
investasi yang dikeluarkan lembaga pemeringkat efek.
f. Euro Bonds, yaitu surat utang yang dikeluarkan di Negara dimana
mata uangnya adalah yang tertera pada surat utang, dalam hal ini euro.
2. Obligasi Berdasarkan Bunga
Obligasi berdasarkan bunganya dibagi menjadi 4 (empat) yaitu37 :
a. Obligasi dengan Bunga Tetap
Obligasi ini memberikan bunga tetap yang dibayar setiap periode
tertentu. Karena bunga tetap, maka pergerakan harga obligasi di pasar
37 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Prenada
Media. Jakarta. 2004. h. 185.
sekunder umumnya berlawanan dengan pergerakan tingkat suku bunga
yang berlaku umum.
b. Obligasi dengan Bunga Tidak Tetap
Dalam menentukan suku bunga pada obligasi ini, maka
disesuaikan dengan tingkat suku bunga yang berlaku pada bank
pemerintah, atau dengan LIBOR (London Inter Bank Offer Rate) dan
SIBOR (Singapore Inter Bank Offer Rate).
c. Obligasi Tanpa Bunga
Obligasi ini tidak memiliki bunga, keuntungan yang diperoleh
berdasarkan selisih antara nilai pada waktu jatuh tempo dengan nilai
harga pembelian.
d. Obligasi Dengan Bunga Mengambang
Obligasi ini memberikan bunga atau kupon secara mengambang.
3. Obligasi Berdasarkan Jaminan
Obligasi dengan jaminan dibedakan menjadi 8 (delapan) yaitu38 :
a. Guaranteed Bond, yaitu obligasi bergaransi, bila perusahaan tidak
mencukupi dalam memberikan jaminan, maka perusahaan tersebut
berafilisasi dengan perusahaan lain yang mampu memberikan jaminan
terhadap pelunasan utang pokok dan bunga obligasi.
b. Mortgage Bond, yaitu obligasi dengan jaminan real assets.
38 Adrian Sutedi. Aspek Hukum Obligasi & Sukuk. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. h. 9.10
c. Collateral Trust Bond, yaitu obligasi yang dijamin dengan efek yang
dimiliki emiten dalam bentuk porto folio.
d. Equipment Trust Bond, obligasi dengan jaminan equipment yang
digunakan sehari-hari oleh emiten.
e. Unsecured Bond, yaitu obligasi tanpa jaminan.
f. Debenture Bond, obligasi dengan jaminan karakter si penerbit atau
jaminannya berbentuk kejujuran, nama baik si penerbit obligasi.
g. Subordinate Bond, yaitu obligasi yang memiliki peringkat prioritas
lebih rendah dibandingkan obligasi lainnyayang diterbitkan oleh
penerbit obligasi dalam hal terjadinya likuidasi.
h. Efek beragun asset, yaitu obligasi yang pembayaran bunga dan utang
pokok dijamin oleh acuan berupa arus kas yang diperoleh dari
penghasilan asset. Contoh efek beragun KPR.
4. Obligasi Berdasarkan Konvertibilitas
Obligasi konversi adalah obligasi yang dapat diubah (dikonversi)
menjadi saham biasa dan pemilik obligasi konversi memiliki obligasi dan
opsi call atas saham perusahaan39.
5. Obligasi Berdasarkan Penerbit
Obligasi ini dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu :
a. Company Bond, yaitu obligasi yang diterbitkan perusahaan
39 Farid Harianto dan Sudomo. Perangkat dan Teknik Analisis Investasi. Bursa Efek Jakarta.
h.586.
b. Government Bond, yaitu obligasi yang diterbitkan pemerintah. Contoh
obligasi yang diterbitkan pemerintah Indonesia yaitu obligasi rekap,
obligasi ritel Indonesia, Surat Utang Negara, dan Surat Berharga
Syariah Negara.
c. Municipal Bond, yaitu obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah. Contoh obligasi pemerintah provinsi DKI Jakarta.
6. Obligasi Berdasarkan Pemegang
Obligasi ini dibedakan menjadi 2 yaitu40 :
a. Obligasi atas nama, yaitu obligasi yang pokok pinjaman dan bunganya
tercantum nama pemilik obligasi.
b. Obligasi atas unjuk, yaitu obligasi yang nama pemilik tidak tercantum
pada obligasi. Ciri-ciri obligasi ini adalah :
1) Nama pemilik tidak tercantum dalam warkat obligasi.
2) Setiap warkat obligasi disertai dengan kupon bunga yang
dilepaskan setiap pembayaran bunga dilakukan.
3) Sangat mudah untuk dialihkan.
4) Warkat obligasi dibuat dengan bahan yang sama denga uang.
5) Bunga dan utang pokok hanya dibayarkan kepada orang yang dapat
menunjukan kupon bunga dan warkat obligasi.
6) Kupon bunga dan warkat obligasi yang hilang tidak dapat
dimintakan penggantian.
40 Adrian Sutedi. Aspek Hukum Obligasi & Sukuk. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. h. 23-24.
7. Obligasi Berdasarkan Nilai Pelunasan
Dalam pelunasan obligasi ini terkait dengan indeks harga tertentu,
seperti, klausula emas, klausula perak, valuta asing, indeks harga
konsumen41.
8. Obligasi Berdasarkan Waktu Jatuh Tempo
Obligasi ini dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu42 :
a. Obligasi jangka pendek (sampai dengan 1 tahun)
b. Obligasi jangka menengah (sampai dengan 5 tahun)
c. Obligasi jangka panjang (lebih dari 5 tahun)
9. Obligasi Lainnya
Selain yang telah disebutkan masih terdapat jenis obligasi lainya,
antara lain43:
a. Inflation Linked Bond, yaitu obligasi yang nilai pokoknya mengacu
pada indeks inflasi.
b. Obligasi indeks lainnya, yaitu surat utang berbasis ekuiti (equity linked
note) dan obligasi yang mengacu pada indeks indikator bisnis seperti
penghasilan, nilai tambah ataupun Produk Domestik Bruto.
c. Obligasi Abadi, yaitu obligasi yang tidak memiliki masa jatuh tempo.
41 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Prenada
Media. Jakarta. 2004. h. 185.
42 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Prenada Media. Jakarta. 2004. h. 187.
43 Adrian Sutedi. Aspek Hukum Obligasi & Sukuk. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. h. 27-28
d. Obligasi tercatat, yaitu obligasi yang kepemilikannya ataupun
peralihannya didaftarkan atau dicatatkan oleh penerbit pada lembaga
administrasi efek.
e. Book-entry Bond, yaitu obligasi tanpa warkat. Hal ini terjadi karena
mahalnya biaya pembuatan warkat serta kupon. Obligasi ini
menggunakan system elektronik terpadu yang mendukung transaksi
efek di pasar modal.
1) Obligasi Syariah (Sukuk)
a) Pengertian Obligasi Syariah
Obligasi syariah adalah obligasi yang ditawarkan dengan
ketentuan mewajibkan emiten untuk membayar kepada pemegang
obligasi syariah sejumlah pendapatan bagi hasil dan membayar
kembali dana obligasi syariah pada tanggal pembayaran kembali
dana obligasi syariah44. Di dalam Islam istilah obligasi syariah
dikenal dengan sebutan sukuk.
Obligasi syariah menurut fatwa Dewan Syariah Nasioanl
Nomor 59/DSN-MUI/V/2007 adalah suatu surat berharga jangka
panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten
kepada investor (pemegang obligasi) yang mewajibkan emiten
untuk membayar pendapatan kepada investor berupa bagi
hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana investasi pada saat
jatuh tempo.
44 Adrian Sutedi. Aspek Hukum Obligasi & Sukuk. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. h. 126.
Dalam obligasi syariah terdapat beberapa pokok ketentuan
yang harus ada, yaitu :
2) Ketentuan umum
a) Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah, yaitu obligasi
yang bersifat utang dengan kewajiban membayar berdasarkan
bunga.
b) Obligasi yang dibenarkan menurut syariah, yaitu obligasi yang
berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
c) Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang
berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada
investor (pemegang obligasi) yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada investor berupa bagi
hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana investasi pada
saat jatuh tempo.
3) Ketentuan khusus
a) Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi
syariah antara lain :
(1) Mudharabah (Muqaradhah/Qiradh).
(2) Musyarakah.
(3) Murabahah.
(4) Salam.
(5) Istishna.
(6) Ijaroh.
b) Jenis usaha yang dilakukan emiten (Mudharib) tidak boleh
bertentangan dengan syariah, sesuai dengan arahan DSN MUI
lewat fatwa nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman
Pelaksanaan Investasi Untuk Reksadana Syariah.
c) Pendapatan investasi yang dibagikan emiten kepada pemegang
obligasi syariah Mudharabah harus bersih dari unsur nonhalal.
d) Pendapatan yang diperoleh pemegang obligasi syariah sesuai
akad yang digunakan.
e) Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-
akad yang digunakan.
4) Karakteristik Obligasi Syariah
Karakteristik obligasi syariah yaitu :
a) Obligasi syariah menekankan pendapatan investasi bukan
berdasar tingkat suku bunga yang telah ditentukan sebelumnya.
Tingkat pendapatan dalam obligasi syariah berdasar pada
tingkat rasio bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati
oleh pihak emiten dan investor.
b) Dalam sistem pengawasannya selain diawasi oleh pihak Wali
Amanat, mekanisme obligasi syariah juga diawasi oleh Dewan
Pengawas Syariah. Dengan sistem ini maka prinsip kehati-
hatian dan perlindungan kepada investor obligasi syariah
diharapkan terjamin.
c) Jenis industri yang dikelola oleh emiten serta hasil pendapatan
perusahaan penerbit obligasi harus terhindar dari unsur
nonhalal. Lembaga tempat transaksi obligasi syariah adalah di
pasar modal syariah.
5) Jenis-jenis Obligasi Syariah
Ada beberapa jenis obligasi syariah yaitu :
a) Obligasi Syariah Mudharabah
Obligasi syariah Mudharabah adalah obligasi syariah
yang berdasarkan akad Mudharabah dengan memperhatikan
substansi fatwa DSN-MUI No.7/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan Mudharabah. Pendapatan hasil investasi yang
dibagikan emiten kepada pemegang obligasi syariah
Mudharabah harus bersih dari unsur nonhalal, dibagikan sesuai
kesepakatan sebelum emisi obligasi serta dibayarkan secara
periodik.
Dalam Al Quran ayat yang berkenaan dengan Mudharabah
ada dalam surat Al Baqarah ayat 198 :
��� ����� �����ا أن ���ح � ��'ذا ◌ ر � � ������ذ,*وا �*��ت �� أ ا01�/ ��. هللا
� ,��� وإن ھ.ا,� ,�1 واذ,*وه ◌ ا3�*ام ر � 8�9 �1� ���� ا��
Artinya :
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ´Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy´arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-
Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Selain itu pada surat Al Muzammil ayat 20 :
:/� �8A وط�?<= �� ا�>;B8 و>CDو E�FA ا�B �� HD�م أدJ� :Dأ �ر ا�E� وا���Kر ن ر : ;/ .J; ◌ وهللا
J�ا �� * L�� �� 9�*ءوا� ��*آن �� أن �S�ن ��� �*HR وآO*ون �� أن �� ��C3ه ���ب �
�9�*ءوا �� �� �ن �E��S F هللا��J; ون*Oوآ �E� هللا �* �8� وأ�1�9ا ;�* �ن �F اUرض ;����ن � L
�R*9ة وأ�, W�ة وآ��ا ا� Cا ا�*�O �ھ � X� *�O.وه ��. هللا� �L>DU ا�� .J� ��و ��LY �R*9 ا هللا
��Y�ر ر>Z إن هللا وأ�]� أ�*ا وا�S�<*وا هللا
Artinya :
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b) Obligasi Syariah Ijarah
Obligasi Syariah Ijarah adalah obligasi syariah yang berdasarkan
akad Ijarah dengan memperhatikan susbtansi fatwa DSN-MUI
No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah. Pemegang
obligasi ini dapat bertindak sebagai Musta’jir (penyewa) dan sebagai
Mu’jir (pemberi sewa). Objek ijarah harus berupa manfaat yang
diperbolehkan.
Dalam Al Quran surat yang berkenaan dengan Ijarah adalah surat Al
Qhashas ayat 26-27 :
�� ا�J�;>ث ا�S��*ت ��^ O�* ان اX]�S*ه اءY.ھ�1;�أ \ 9��\ �U9�ل .ا FDان أريءد ا
:3Dى أ.Yا H�Dا �1� �0*ا أ11�\ �'ن HD*��� FD�1B cXY أن �H ھ���� أرe. و�� ��.ك
g :e أf أن � HDو.X�S ءهللا إن�f �� ��3�� Cا�
Artinya :
Salah seorang dari dua wanita itu bekata:ambilah sebagian orang yang bekerja pada kita,karena sesungguhnnya orang yang paling baik kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Berkata ia (Nabi syuaib): sesungguhnya kami bermaksud menikahkan kamu dengan salah satu dari dua orang anakku ini atas dasar kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka hal itu adalah suatu kebaikan darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan kamu, dan insyaAlloh kamu akan mendapatkan aku termasuk ke dalam orang-orang yang baik.
c) Obligasi Syariah Salam
Salam adalah kontrak jual beli suatu barang yang jumlah dan
kriterianya telah ditentukan secara jelas, dengan pembayaran
dilakukan dimuka sedangkan barangnya diserahkan kemudian pada
waktu yang disepakati bersama. Obligasi syariah Salam adalah
obligasi syariah yang diterbitkan dengan tujuan untuk mendapatkan
dana untuk modal dalam akad Salam, sehingga barang yang akan
disediakan melalui akad Salam menjadi milik pemegang obligasi
syariah45.
45 Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Tanya Jawab Surat
Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara). (Jakarta : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Kementerian Keuangan, 2010 ) h.13
d) Obligasi Syariah Istishna
Istishna adalah akad jual beli aset berupa obyek pembiayaan antara
para pihak dimana spesifikasi, cara dan jangka waktu penyerahan, serta
harga aset tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
Obligasi syariah Istishna adalah obligasi syariah yang diterbitkan
dengan tujuan mendapatkan dana yang akan digunakan untuk
memproduksi suatu barang, sehingga barang yang akan diproduksi
tersebut menjadi milik pemegang Obligasi syariah46.
e) Obligasi Syariah Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk menggabungkan modal, baik dalam bentuk uang maupun bentuk
lainnya, untuk tujuan memperoleh keuntungan, yang akan dibagikan
sesuai dengan nisbah yang telah disetujui, sedangkan kerugian yang
timbul akan ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi
modal masing-masing pihak. Obligasi syariah Musyarakah adalah
Obligasi Syariah yang diterbitkan dengan tujuan memperoleh dana
untuk menjalankan proyek baru, mengembangkan proyek yang sudah
berjalan, atau untuk membiayai kegiatan bisnis yang dilakukan
berdasarkan akad musyarakah, sehingga pemegang sukuk menjadi
46 Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Tanya Jawab Surat
Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara). (Jakarta : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Kementerian Keuangan, 2010 ) h.14
pemilik proyek atau aset kegiatan usaha tersebut, sesuai dengan
kontribusi dana yang diberikan. Obligasi syariah musyarakah tersebut
dapat dikelola dengan akad musyarakah (partisipasi), mudharabah atau
agen investasi (wakalah)47.
f) Obligasi Syariah Muzara’ah
Muzara’ah adalah akad kerjasama di bidang pertanian, dimana
pemilik lahan memberi hak pengelolaan lahan kepada pihak lain
(petani). Keuntungan yang diperoleh dari hasil lahan dibagi bersama
sesuai kesepakatan. Obligasi syariah Muzara’ah adalah obligasi
syariah yang diterbitkan dengan tujuan mendapatkan dana untuk
membiayai kegiatan pertanian berdasarkan akad Muzara’ah, sehingga
pemegang obligasi syariah berhak atas bagian dari hasil panen sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian48.
g) Obligasi Syariah Musaqah
Musaqah adalah akad kerjasama di bidang irigasi tanaman
pertanian, dimana pemilik lahan memberikan hak pengelolaan lahan
kepada pihak lain (penggarap) untuk melakukan penyiraman (irigasi)
47 Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Tanya Jawab Surat
Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara). (Jakarta : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Kementerian Keuangan, 2010 ) h.14
48 Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Tanya Jawab Surat
Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara). (Jakarta : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Kementerian Keuangan, 2010 ) h.15
dan pemeliharaan tanaman. Keuntungan yang diperoleh dari hasil
pertanian dibagi bersama sesuai kesepakatan.
Obligasi syariah Musaqah adalah obligasi syariah yang diterbitkan
dengan tujuan menggunakan dana hasil penerbitan sukuk untuk
melakukan kegiatan irigasi atas tanaman berbuah, membayar biaya
operasional dan perawatan tanaman tersebut berdasarkan akad
musaqah, dengan demikian pemegang sukuk berhak atas bagian dari
hasil panen sesuai kesepakatan49.
h) Obligasi syariah Murabahah
Murabahah Akad atau perjanjian jual–beli atas suatu barang
dimana harga dan keuntungannya (profit margin) disetujui oleh semua
pihak yang terlibat. Pembayarannya dapat dilakukan secara tunai, cicil
atau tangguh, sedangkan penyerahan barang dilakukan di awal pada
saat dilakukannya transaksi. Murabahah juga disebut cost plus
financing. Obligasi syariah yang diterbitkan dengan akad ini disebut
dengan Obligasi syariah Murabahah50.
49 Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Tanya Jawab Surat
Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara). (Jakarta : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Kementerian Keuangan, 2010 ) h.15
50 Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Tanya Jawab Surat
Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara). (Jakarta : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Kementerian Keuangan, 2010 ) h.15
C. Obligasi Sebagai Objek Jaminan
Objek jaminan pada umumnya dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu
benda bergerak, benda tidak bergerak dan jaminan perorangan. Masing-
masing kelompok jaminan terdiri dari bermacam jenis, benda bergerak berupa
benda berwujud seperti surat berharga, logam mulia, kendaraan bermotor dan
sebaginya. Benda tidak berwujud seperti hak atau piutang. Benda tidak
bergerak berupa tanah, bangunan, dan sebagainya.
Objek jaminan kredit diatas telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan seperti KUH Perdata, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia, dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur
masing-masing benda sebagai objek jaminan, maka objek jaminan tersebut
akan dinilai berbagai hal tentang benda bersangkutan. Kejelasan jenis objek
jaminan diperlukan untuk memudahkan pengikatan sesuai dengan lembaga
jaminan yang berlaku.
Sebagaimana telah disebutkan diatas surat berharga dapat dijadikan
sebagai objek jaminan. Dalam hal ini akan dibahas obligasi sebagai objek
jaminan. Obligasi belum lazim digunakan sebagai objek jaminan. Namun
obligasi memenuhi syarat sebagai objek jaminan yaitu bernilai ekonomi, dapat
dipindahtangankan, serta mudah dicairkan atau dieksekusi.
Obligasi memiliki berbagai kelebihan bila digunakan sebagai objek
jaminan. Kelebihan tersebut yaitu memiliki bunga atau kupon yang bernilai
stabil, berjangka panjang, mudah dipindahtangankan. Hal ini menjadi
keuntungan bagi kreditur bila debitur menjaminkan obligasi, karena kreditur
dapat memperoleh bunga atau kupon obligasinya. Sehingga selain mendapat
pembayaran atas utang debitur, kreditur dapat memperoleh bunga atau kupon
obligasi dan mendapat bunga dari pembayaran utang.
D. Penilaian Obligasi Sebagai Objek Jaminan
Setiap objek jaminan dilakukan penilaian oleh kreditur baik dari segi
hukum maupun ekonomi. Ini dilakukan guna mengetahui apakah objek
jaminan layak atau tidak menjadi objek jaminan dari segi hukum. Sedangkan
dari segi ekonomi untuk mengetahui nilai atau besaran dari objek jaminan.
Penilaian dari segi ekonomi biasa dilakukan setelah diketahui kelayakan dari
segi hukum. Namun penilaian secara hukum sering diabaikan karena lebih
mengedepankan penilaian secara ekonomi.
Sebelum obligasi dapat menjadi jaminan perlu dilakukan penilaian dari
segi hukum dan ekonomi. Berikut penilaian obligasi sebagai objek jaminan :
1. Penilaian Obligasi Sebagai Objek Jaminan Secara Hukum
a. Legalitas Obligasi
Legalitas obligasi didukung oleh dokumen-dokumen yang diterbitkan
sesuai ketentuan perundangan antara lain warkat atau sertifikat
obligasi, data dari penerbit obligasi, dan data di bursa efek. Dengan
diketahuinya data-data tersebut akan diketahui pemilik obligasi, nilai
obligasi dan data lainnya yang dapat menunjukan legalitas obligasi.
b. Keabsahan Penggunaan Obligasi
Dari dokumen-dokumen obligasi dapat diketahui penggunaan obligasi
tersebut. Siapa penerbitnya, setelah dilakukan IPO siapa yang membeli
obligasi tersebut, lalu setelah dibeli oleh pembeli obligasi apakah
dijual kembali atau disimpan. Dengan mengetahui riwayat penggunaan
Obligasi akan diketahui keabsahan penggunaan obligasi.
c. Sengketa yang Dapat Melekat pada Obligasi
Obligasi yang menjadi objek jaminan dapat berpotensi dalam keadaan
sengketa atau dalam masalah. Masalah tersebut bisa berupa
terdapatnya pembebanan utang lain atas obligasi yang menjadi objek
jaminan, sengketa atas obligasi yang menjadi jaminan maupun
masalah atau sengketa lain. Dengan melakukan penilaian ini potensi
kerugian yang akan ditimbulkan akibat sengketa pada obligasi akan
terhindar.
d. Pengikatan Obligasi Sebagai Jaminan Kredit
Dalam hal pemberian kredit diikuti dengan perjanjian pengikatan
jaminan. Pengikatan jaminan dilakukan untuk melindungi kepentingan
kreditur dalam hal pelunasan utang debitur. Pengikatan objek jaminan
berupa obligasi dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, karena obligasi merupakan benda bergerak maka
pengikatannya dapat dilakukan dengan gadai atau fidusia. Setelah
mengetahui pengikatan sesuai dengan aturan yang berlaku maka
pengikatan objek jaminan bisa dilakukan.
2. Penilaian Obligasi Sebagai Jaminan Secara Ekonomi
Penilaian ekonomi terhadap obligasi dilakukan untuk mengetahui
berapa nilai atau harga dari obligasi menurut perhitungan ekonomi. Hal
yang dinilai dalam penilaian ekonomi adalah jenis dan bentuk jaminan,
komdisi objek jaminan, kemudahan pengalihan kepemilikan objek
jaminan, tingkat harga dan prospek pemasaran, penggunaan jaminan dan
nilai pajak objek jaminan51.
Nilai obligasi biasanya sudah tercantum dalam warkat obligasi
tersebut sehingga memudahkan dalam perhitungan. Biasanya yang
dilakukan perhitungan adalah jumlah bunga atau kupon obligasi yang
diperoleh.
E. Pengikatan dan Pencairan Obligasi Sebagai Objek Jaminan
Setiap objek jaminan kredit yang diserahkan dari debitur kepada kreditur
harus diikat sebagai jaminan utang dengan mengikuti peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Obligasi yang merupakan benda bergerak bila
51 M. Bahsan. Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan. (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2007) h. 123
mengacu pada peraturan-perundangan diikat melalui gadai atau fidusia begitu
pun dengan pencairan obligasi apabila debitur wanprestasi dilakukan dengan
ketentuan mengikuti lembaga jaminannya.
Pengikatan obligasi yang dilakukan dengan gadai maka obligasi
tersebut diberikan dan berada dalam penguasaan kreditur. Hak kebendaan dari
obligasi menjadi beralih kepada kreditur, seperti hak didahulukan dalam
memperoleh pelunasan utang. Dengan obligasi yang berada dalam penguasaan
kreditur membuat kreditur mudah mencairkan obligasi bila debitur
wanprestasi. Pencairan dapat dilakukan dengan melakukan pelelangan umum,
namum karena objek jaminan adalah obligasi maka dilakukan di bursa efek.
Pengikatan obligasi yang diakukan dengan fidusia maka warkat atau
sertifikat obligasi diberikan kepada kreditur. Hampir sama dengan pengikatan
dengan gadai, pengikatan dengan fidusia memberikan hak didahulukan dari
kreditur lain dalam hal pelunasan utang. Namun obligasi tidak dalam
penguasaan kreditur. Pencairan fidusia dapat dilakukan melalui titel
eksekutorial yang diberikan terhadap kreditur.
F. Alternatif Pengganti Jaminan
Dalam keadaan tertentu, debitur tidak dapat menyerahkan suatu
jaminan yang dapat diikat melalui lembaga jaminan seperti gadai, fidusia, hak
tanggungan dan hipotek saat hendak melakukan utang atau pinjaman. Untuk
itu ada alternatif pengganti jaminan yang bisa dilakukan guna memperoleh
pinjaman.
Alternatif pengganti jaminan antara lain melalui akta jaminan dan
kuasa, kuasa menjual, pernyataan jaminan (pernyataan penjaminan negatif,
pernyataan akan menandatangani SKMHT/APHT)52. Walaupun tidak punya
kekuatan eksekutorial sebaik jaminan yang sudah diatur dalam undang-
undang, bahkan ada yang tidak diatur dalam hukum Indonesia namun
alternatif pengganti jaminan dapat menjadi solusi saat tidak bisa menyerahkan
jaminan.
Berikut penjelasan macam-macam alternatif pengganti jaminan :
1. Akta Penyerahan Jaminan dan Kuasa
Pemberian jaminan berupa akta penyerahan jaminan dan kuasa
bukanlah pemberian jaminan yang diatur dalam undang-undang di
Indonesia. Akta penyerahan jaminan dan kuasa adalah akta pernyataan
kesanggupan dari pemilik jaminan untuk menyerahkan jaminan yang
ditunjuk dalam akta tersebut kepada kreditur53. Apabila dalam proses
pengurusan suatu jaminan belum selesai dan ditengah jalan debitur
wanprestasi, pemilik jaminan dapat menyerahkan jaminan sehingga dapat
dieksekusi oleh kreditur sebagai pelunasan utang.
52 Irma Devita Purnamasari. Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum
Jaminan Perbankan. (Bandung : Mizan, 2012) h. 161
53 Irma Devita Purnamasari. Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum
Jaminan Perbankan. (Bandung : Mizan, 2012) h. 161
2. Akta Kuasa Menjual
Akta kuasa menjual adalah akta yang memberikan hak preference
kepada kreditur untuk melakukan penawaran kepada pihak ketiga apabila
debitur wanprestasi.54 Lazimnya akta kuasa menjual dibuatkan untuk
memberi kuasa menjual dari pemilik jaminan kepada orang kepercayaanya
untuk mewakili debitur.
3. Pernyataan Jaminan (Acknowledge Of Indebtedness)
Ada beberapa jenis pernyataan jaminan antara lain :
a. Pernyataan Penjaminan Negatif (Negative Plegde)
Pernyataan penjaminan negatif adalah kebiasaan yang sering
diterapkan di dunia perbankan luar negeri, sehingga hukum Indonesia
belum mengatur hal ini. Di Indonesia hal ini diterapkan oleh cabang
bank luar negeri yang ada di Indonesia. Pernyataan penjaminan negatif
awalnya merupakan domain dari asuransi yang kemudian digunakan
dalam dunia perbankan.
Pernyataan penjaminan negatif adalah klausul pernyataan
(Negative Covenant) bahwa debitur tidak akan menjaminkan satu pun
dari harta atau asetnya (atau kadang dapat ditentukan harta tertentu
milik debitur) kepada pihak lain55.
54 Irma Devita Purnamasari. Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum
Jaminan Perbankan. (Bandung : Mizan, 2012) h. 163
55 Irma Devita Purnamasari. Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum
Jaminan Perbankan. (Bandung : Mizan, 2012) h. 165
Pernyataan penjaminan negatif adalah cara lain kreditur untuk
melindungi piutang yang diberikan kepada debitur. Dengan demikian,
debitur tidak dapat menerima utang dari pihak lain dengan
menjaminkan harta miliknya. Apabila suatu saat kreditur
membutuhkan jaminan tersebut, kreditur dapat menggunakan harta
tersebut sebagai jaminan.
b. Pernyataan Akan Menandatangani SKMHT atau APHT
Pernyataan Akan Menandatangani SKMHT atau APHT adalah
bentuk komitmen debitur yang menyatakan apabila semua proses atas
sebuah jaminan telah selesai dilakukan, debitur akan hadir dihadapan
notaries untuk menandatangani akta pemberian jaminan.56 Inti dari
akta ini adalah kesanggupan debitur apabila terjadi wanprestasi maka
kreditur dapat menagih jaminan untuk pelunasan utang.
G. Obligasi Sebagai Objek dalam Peryataan Penjaminan Negatif (Negative
Pledge)
Pernyataan penjaminan negatif adalah klausula pernyataan (Negative
Covenant) yang menyatakan bahwa debitur tidak akan menjaminkan satu pun
dari aset-asetnya atau sebagian kepada pihak lain57. Pernyataan penjaminan
negatif atau Negative Pledge ini adalah terobosan baru dalam dunia
56 Irma Devita Purnamasari. Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum
Jaminan Perbankan. (Bandung : Mizan, 2012) h. 167
57 Irma Devita Purnamasari. Kiat-kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah
Hukum Jaminan Perbankan. (Bandung : Mizan. 2012) h. 185.
perbankan. Semula negative pledge merupakan bagian dari domain asuransi,
yang kemudian dijadikan terobosan dalam pemberian kredit oleh bank.
Pernyataan penjaminan negatif atau negative pledge dalam istilah
bisnis investasi disebut covenant of equal coverage. Di beberapa Negara
seperti Australia, negative pledge digunakan sejak adanya perjanjian pioneer
concrete yang berlaku sejak tahun 1978. Negative pledge ini sering digunakan
oleh bank di luar negeri, kemudian digunakan di bank asing yang memiliki
cabang di Indonesia. Konsep negative pledge merupakan adopsi dari
kebiasaan perbankan luar negeri, sehingga di Indonesia belum diatur
mengenai hal ini. Hal ini yang kemungkinan bisa membuat celah terjadinya
masalah.
Bila ditinjau, negative pledge ini merupakan cara lain dari pemegang
hak atau jaminan (dalam hal ini kreditur) untuk melindungi piutang yang
diberikan kepada debitur. Degan demikian, debitur tidak diperbolehkan
menerima utang dari kreditur lain dengan menjaminkan aset yang dijadikan
objek dalam negative pledge, tanpa persetujuan kreditur tersebut. Apabila
suatu saat kreditur membutuhkan jaminan tersebut, kreditur dapat
menggunakan aset tersebut sebagai jaminan dengan terlebih dahulu membuat
kesepakatan dengan debitur tentang cara penjaminannya apakah melalui gadai,
fidusia, hak tanggungan atau pun hipotek.
Pada pernyataan penjaminan negatif yang menjadi objeknya dibagi dua
yaitu objek secara umum meliputi semua harta debitur dan objek secara
khusus meliputi sebagian harta debitur. Sebagaimana yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya obligasi dapat dijadikan objek jaminan, yang berarti
dapat pula menjadi objek pernyataan penjaminan negatif. Maka obligasi
menjadi objek khusus dalam pernyataan penjaminan negatif.
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS OBLIGASI SEBAGAI OBJEK DALAM
PERNYATAAN PENJAMINAN NEGATIF (NEGATIVE PLEDGE)
A. Tinjauan Hukum Jaminan di Indonesia Terhadap Pernyataan
Penjaminan Negatif (Negative Pledge)
Hukum jaminan di Indonesia saat ini hanya mengatur lembaga jaminan
melalui gadai, fidusia, hak tanggungan dan hipotek. Aturan tentang lembaga
jaminan tersebut diatur melalui undang-undang tersendiri yaitu fidusia melalui
undang-undang nomor 42 tahun 1999, hak tanggungan melalui undang-
undang nomor 4 tahun 1996, dan gadai serta hipotek diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Gadai diatur dalam pasal 1150 hingga 1160
sedangkan hipotek pasal 1162 hingga1232. Namun terkait hipotek setelah
adanya undang-undang terkait hak tanggungan, objek dari hipotek saat ini
hanya kapal-kapal bervolume lebih dari 20 m3 tidak termasuk tanah.
Sebagai bentuk pemberian kredit dalam dunia perbankan, saat ini
negative pledge belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia karena
memang negative pledge merupakan adopsi dari kebiasaan perbankan di luar
negeri. Sebagai bagian dari perjanjian maka pengaturan negative pledge
mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Menurut KUH Perdata perikatan diatur dalam buku III, yang terdiri
atas 18 bab dan 631 pasal. Hal-hal yang diatur dalam KUH Perdata
diantaranya adalah tentang syarat sah perjanjian, asas-asas perjanjian, dan
pembatalan perjanjian. Perjanjian dengan klausul negative pledge muncul dari
perjanjian yang bersumber hukum kebendaan, dimana dalam negative pledge
debitur dilarang menjaminkan benda miliknya kepada pihak lain. Ditinjau
dari syarat sahnya perjanjian, perjanjian dengan klausul negative pledge telah
memenuhi syarat yaitu adanya kesepakatan para pihak, cakap berbuat hukum,
adanya objek serta kausa yang halal.
Bila ditinjau dari perspektif hukum jaminan di Indonesia terdapat
perbedaan dan persamaan dengan lembaga jaminan seperti gadai, fidusia, hak
tanggungan dan hipotek. Karakteristik dari negative pledge ini adalah
mengisyaratkan hanya ada satu kreditur atau kreditur tunggal. Hal ini terlihat
jelas dari pengertian negative pledge yaitu klausul yang menyatakan debitur
tidak boleh menjaminkan seluruh atau sebagian asetnya kepada pihak lain
tanpa sepengetahuan kreditur. Ini membuat kreditur memiliki garansi atas aset
atau benda yang menjadi objek dari negative pledge ini apabila debitur
wanprestasi. Jadi, ketika debitur wanprestasi aset debitur masih ada dalam
penguasaan debitur sehingga kreditur dapat menggunakan aset tadi sebagai
jaminan pelunasan utang. Kemudian membuat kesepakatan baru tentang
penjaminan aset tersebut.
Karakteristik negative pledge yang hanya ada satu kreditur atau
kreditur tunggal dan memiliki privelege terhadap benda yang menjadi objek
bila debitur wanprestasi sama dengan gadai dan hipotek. Benda yang
digadaikan mensyaratkan benda dipegang oleh penerima gadai dan penerima
gadai memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur lain bila debitur
wanprestasi begitupun hipotek. Hal inilah menjadi persamaan antara gadai dan
hipotek dengan negative pledge.
Namun, berbeda dengan gadai dan hipotek, fidusia dan hak
tanggungan tidak memiliki persamaan dengan negative pledge dalam hal
jumlah kreditur, karena dalam fidusia dan hak tanggungan bisa menjaminkan
ke lebih dari satu kreditur sedangkan negative pledge tidak. Seperti diatur
dalam pasal 8 undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
yang berbunyi “Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu
Penerima Fidusia atau kepada kuasa atauwakil dari Penerima Fidusia
tersebut.”
Dalam hal objek atau benda yang dijaminkan, negative pledge berlaku
untuk semua jenis benda. Hal ini terlihat dari pengetian negative pledge
dimana debitur tidak boleh menjaminkan semua atau sebagian hartanya
kepada pihak lain, ini berarti semua benda bisa menjadi objek negative pledge.
Sedangkan benda yang tergolong benda bergerak dijaminkan melalui gadai
dan hipotek. Benda yang tergolong benda tidak bergerak dijaminkan melalui
fidusia dan hak tanggungan.
Penjaminan dengan menggunakan negative pledge tidak bisa dilakukan
eksekusi ketika debitur wanprestasi karena bukan lembaga penjaminan yang
diberi wewenang eksekusi layaknya gadai, fidusia, hak tanggungan dan
hipotek. Efek dari tidak bisa dilakukan eksekusi membuat posisi kreditur
menjadi lemah saat terjadi wanprestasi oleh debitur.
Hal terpenting dari negative pledge adalah kepercayaan kreditur
kepada debitur karena tidak ada pemberian benda objek negative pledge
kepada kreditur. Sebagai kebiasaan perbankan di luar negeri negative pledge
kurang cocok diterapkan di Indonesia. Tingkat kesadaran hukum masyarakat
di luar negeri yang lebih baik dari Indonesia menjadi dasar kepercayaan bank
dalam memberikan kredit dengan cara penjaminan negative pledge.
Sedangkan di Indonesia masyarakatnya masih banyak yang tidak tahu hukum
membuat tingkat kesadaran hukumnya rendah.
Kesadaran hukum adalah satu-satunya sumber dan kekuatan mengikat
dari hukum58. Akibat dari rendahnya kesadaran hukum masyarakat,
penggunaan negative pledge oleh bank perlu disesuaikan dengan kebiasaan
masyarakat Indonesia agar negative pledge tetap bisa dilakukan. Dengan
pemberian syarat-syarat yang lebih ketat serta adanya jaminan tambahan
ataupun hal lainnya, membuat negative pledge bisa sesuai dengan kebiasaan
masyarakat Indonesia. Sehingga muncul model negative pledge baru sesuai
dengan ciri khas Indonesia yang berbeda dengan negative pledge di luar
negeri.
58 Nur Rohim Yunus. Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia. (Jakarta :
Jurisprudence Press, 2012) h. 9.
B. Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian dengan Klausul Pernyataan
Penjaminan Negatif
Asas proporsionalitas merupakan salah satu asas yang ada dalam
hukum perjanjian. Asas proporsionalitas adalah kesetaraan posisi antara para
pihak dalam sebuah perjanjian59. Kesetaraan disini tidak dilihat secara
matematis tetapi pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban
secara adil.
Perjanjian dengan klausul negative pledge menimbulkan konsekuensi
berupa debitur tidak diperkenankan menjaminkan benda miliknya kepada
pihak lain. Perjanjian ini menimbulkan kewajiban bagi debitur yaitu untuk
tidak menjaminkan benda atau harta miliknya kepada pihak lain. Sedangkan
hak kreditur adalah memperoleh kepastian dari debitur bahwa benda milik
debitur tidak dijaminkan ke pihak lain.
Sepintas terjadi kesetaraan antara hak dan kewajiban dari debitur dan
kreditur. Namun, bila ditinjau kembali justru perjanjian dengan klausul
negative pledge tidak memberikan kesetaraan bagi para pihak yang berarti
tidak sesuai dengan asas proporsionalitas. Hal ini terjadi ketika debitur
melakukan wanprestasi, kreditur tidak memiliki hak untuk mengeksekusi
59 Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial. (Jakarta : Kencana Prenada Group.2011) cet. II. h. 79
benda milik debitur karena penjaminan dengan cara ini tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Akibatnya kreditur tidak memiliki hak
eksekutorial sehingga dapat membuat kreditur rugi. Bila terjadi hal seperti ini
kreditur han ya bisa menyelesaikan masalah ini melalui gugatan ke
pengadilan. Debitur harus memiliki kesadaran sendiri apabila dia melakukan
wanprestasi maka dia harus memberikan benda miliknya kepada kreditur
sebagai jaminan. Masalah muncul ketika debitur tidak memiliki itikad baik
untuk memberikan benda miliknya sebagai jaminan kepada kreditur. Disini
posisi kreditur menjadi lemah.
Selain itu, saat berlangsungnya perjanjian debitur menjadi tidak dapat
menjaminkan benda miliknya kepada pihak lain. Ini berarti debitur tidak bisa
menggunakan atau mendapat manfaat dari benda miliknya walau masih dalam
penguasaanya. Hal ini membuat hak debitur terhadap benda miliknya menjadi
terbatasi. Disini posisi debitur menjadi lemah. Perjanjian dengan klausul
negative pledge seperti dua sisi koin, disatu sisi sangat melindungi kreditur
namun disisi lain bisa merugikan kreditur.
Perjanjian dengan klausul negative pledge yang merupakan adopsi dari
kebiasaan hukum di luar negeri menyebabkan terdapat ketidaksesuaian dengan
hukum di Indonesia. Hal yang menjadi unsur paling penting dalam negative
pledge adalah kepercayaan kreditur terhadap debitur dan itikad baik dari
debitur.
Apabila dikaitkan dengan asas lain yaitu asas konsesualisme terdapat
benturan dengan asas proporsionalitas. Menurut asas konsesualisme ini salah
satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan para pihak. Bila ditinjau dari
asas proporsionalitas perjanjian dengan klausul negative pledge tidak
proporsional, tetapi karena perjanjian dengan klausul negative terjadi atas
kesepakatan maka perjanjian tetap sah. Meskipun dalam perjanjian tersebut
terdapat potensi merugikan salah satu pihak. Disisi lain ketika perjanjian
merugikan salah satu pihak dapat dimintakan pembatalan.
Contoh penggunaan perjanjian dengan klausul negative pledge di
Indonesia adalah perjanjian kredit yang dilakukan PT. Pelabuhan Indonesia II
dengan PT. Bank Mandiri, Tbk. dan PT. Bank BNI 46 senilai 3 Triliun Rupiah
dalam akta perjanjian kredit dan akta pernyataan Negative Pledge secara
notaril 60.
C. Pelanggaran dalam Pernyataan Penjaminan Negatif dengan Objek
Obligasi
Negative pledge merupakan penegasan kembali apa yang telah
tercantum pada pasal 1131 Kitab Undang-undnag Hukum Perdata yang
berbunyi “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”
60 Diakses dari www.swa.co.id pada 11 Maret 2014 pukul 11.30 WIB.
Pada umumnya benda yang menjadi objek negative pledge dijaminkan
kepada pihak membuat debitur yang tidak sanggup bayar utang tidak bisa
menjaminkan harta benda atau asetnya kepada pihak lain. Sebenarnya bila
debitur terindikasi tidak sanggup bayar, debitur bisa meminjam kepada pihak
lain dengan jaminan benda atau aset miliknya untuk membayar utang kepada
kreditur yang melakukan perjanjian negative pledge. Namun, karena telah
melakukan perjanjian negative pledge hal ini tidak dapat dilakukan.
Bila dikaji lebih dalam lagi, dampak dari negative pledge bukan hanya
sekedar harta benda atau aset yang menjadi objek negative pledge tidak bisa
dijaminkan kepada pihak lain, tapi berdampak benda yang menjadi objek tidak
dapat dijual maupun dipindah tangankan. Karena apabila benda tidak berada
dalam penguasaan debitur akan menyulitkan kreditur bila debitur melakukan
wanprestasi atau saat kreditur membutuhkan benda yang menjadi objek
negative pledge.
Dalam perjanjian dengan klausul negative pledge bila benda tidak
berada dalam penguasaan debitur saat kreditur hendak menggunakannya maka
debitur dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum
karena telah merugikan kreditur. Untuk itu perlu ada itikad baik dari debitur
dalam pelaksanaan perjanjian dengan klausul negative pledge.
Kaitan obligasi sebagai objek negative pledge, saat obligasi ditarik
kembali oleh penerbit obligasi muncul dua pendapat antara debitur dapat
dikategorikan telah melakukan perbuatan melawan hukum dan tidak karena
telah merugikan kreditur. Pendapat pertama, debitur dapat dikatakan
melakukan perbuatan melawan hukum karena terlepas dari apapun
penyebabnya ketika kreditur hendak menggunakan obligasi debitur harus
memberikannya. Dan ketika debitur tidak bisa memberikannya maka debitur
telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pendapat kedua, debitur tidak
dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum ketika obligasi ditarik
kembali oleh penerbit karena penarikan kembali obligasi oleh penerbit
merupakan hal diluar kuasa debitur sehingga tidak dapat dikatakan debitur
telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Bila dikaji lebih dalam, obligasi dapat ditarik kembali oleh penerbit
dengan membayar semua kewajiban kepada pemegang obligasi. Kembali pada
pengertian obligasi yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit
obligasi kepada pemegang obligasi dan janji untuk membayar kembali pokok
utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo
pembayaran, menunjukan terdapat perjanjian antara penerbit obligasi dengan
pemegang obligasi. Sehingga saat penerbit hendak melakukan penarikan
kembali terhadap obligasi pemegang obligasi seharusnya dapat
memberitahukan kepada penerbit bahwa obligasi yang dipengannya dijadikan
objek negative pledge agar tidak ditarik. Ini berarti penarikan kembali obligasi
oleh penerbit dapat dicegah. Apabila penarikan obligasi tetap dilakukan oleh
penerbit dan terbukti pemegang obligasi tidak mencegah hal tersebut maka
pemegang obligasi atau debitur dapat dikatakan telah melakukan perbuatan
melawan hukum yang telah merugikan kreditur. Namun, ketika debitur telah
melakukan berbagai upaya agar obligasi tidak jadi ditarik kembali, tapi tetap
ditarik oleh penerbit maka debitur tidak dapat dikatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum karena hal tersebut diluar kuasa debitur.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, peneliti dapat menarik
beberapa kesimpulan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Pernyataan penjaminan negatif atau negative pledge merupakan bentuk
alternatif pengganti jaminan yang diadopsi dari kebiasaan perbankan luar
negeri dan belum diatur dalam hukum Indonesia. Sifat negative pledge
yang sangat mengikat memberikan kepastian kepada kreditur atas
pelunasan utang debitur. Namun, negative pledge memberikan efek
domino terhadap benda yang dijadikan objek, yaitu membuat benda
tersebut bukan hanya tidak dapat dijaminkan kepada pihak lain tapi juga
tidak dapat berpindah tangan atau dijual. Benda dimaksud, menjadi objek
negative pledge yang tidak berada dalam penguasaan debitur akan
menyulitkan kreditur saat debitur melakukan wanprestasi.
2. Perjanjian dengan klausul negative pledge tidak memenuhi asas
proporsionalitas karena tidak terjadi kesetaraan antara para pihak. Hal ini
mengakibatkan rentan terjadi pelanggaran.
3. Debitur telah melakukan perbuatan melawan hukum saat kreditur hendak
menggunakan obligasi namun obligasi tersebut tidak ada pada debitur
karena ditarik oleh penerbit obligasi yang mengakibatkan kerugian
terhadap krediur.
B. Saran
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, peneliti dapat memberi
beberapa saran diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Sebagai alternatif pengganti jaminan yang memberi pilihan alternatif
dalam melakukan jaminan, negative pledge perlu diimbangi dengan
proporsionalitas bukan hanya melindungi kreditur namun juga harus tetap
memperhatikan debitur. Perlu dibuat klausul-klausul tambahan dalam
negative pledge agar perjanjiian penjaminan ini bisa lebih baik. Seperti
penamabahan terkait klausul yang mengatur kedudukan benda agar debitur
masih bisa mendapat keuntungan dari benda yang menjadi objek negative
pledge dan dari keuntungan tersebut bisa untuk membayar utang debitur.
2. Perlu dibuat regulasi di Indonesia terkait penerapan perjanjian perkreditan
yang dilakukan oleh bank asing agar sesuai dengan hukum di Indonesia
dalam hal ini terkait negative pledge.
3. Obligasi sangat tepat menjadi benda objek dalam negative pledge karena
walaupun obligasi tersebut tidak dapat dijaminkan kepada pihak lain.
Penghasilan obligasi atau kupon obligasi masih dapat diperoleh debitur
dan dapat digunakan juga untuk membayar utang debitur. Selain itu perlu
ada pemberitahuan kepada penerbit obligasi ketika obligasi dijadikan
objek negative pledge agar penerbit tidak menarik obligasi.
Daftar Pustaka
Buku
Badrulzaman, Mariam Darus. “Aneka Hukum Bisnis”. Jakarta : Alumni. 1994.
Badrulzaman, Mariam Darus. “Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan
Fiducia.” Bandung : Alumni. 1987. Cet. IV.
Bahsan, M. “Hukum Jaminan dan Kredit Perbankan Indonesia.” Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada. 2007.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, “Tanya Jawab
Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara)”. Jakarta : Direktorat
Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, 2010. Cet. II
H.S, Salim. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta : Rajawali
Press. 2005
Ibrahim, Jhony. “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.” Malang :
Bayumedia Publishing. 2006. Cet. Ke-II.
Marzuki, Peter Mahmud. “Penelitian Hukum.” Jakarta : Kencana. 2010. Cet. VI.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Wijaya, ”Hak Istimewa, Gadai dan Hipotik”.
Jakarta : Kencana. 2005.
Nasarudin, M. Irsan dan Indra Surya. “Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia.”
Jakarta : Prenada Media. 2004. Cet. Ke- II.
Purnamasari, Irma Devita. “Kiat-kiat Cerdas, Mudah Dan Bijak Memamhami
Masalah Hukum Jaminan Perbankan.” Bandung : Mizan. 2012. Cet.II
Rahman, Hasanuddin. “Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di
Indonesia.” Bandung : PT Citra Aditya Bakti. 1998. Cet. II
Satrio, J. “Hukum Jaminan Dan Hak-hak Jaminan Kebendaan.” Bandung : Citra
Aditya Bakti. 2007. Cet. V.
Soekanto, Soerjono. “Pengantar Penelitian Hukum.” Jakarta : Universitas
Indonesia Press. 1986. Cet. Ke- III.
Soekanto,Soerjono dan Sri Mahmudji, “Peranan dan Penggunaan Kepustakaan
di Dalam Penelitian Hukum.” Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas
Indonesia. 1979.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. ”Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok
Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan.” Yogyakarta: Liberty Offset.
2004. Cet. III.
Subekti, “Pokok-pokok Hukum Perdata.” Jakarta : PT. Intermasa. 2010. Cet. Ke
XXXIV.
Subekti, “Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia.” (Bandung : PT Alumni. 1986. Cet. III
Sutanto, Retnowulan. ”Perjanjian Kredit Dan Macam-Macam Jamianan Kredit
Dalam Praktek Hukum Di Indonesia, Kapita Selekta Hukum Perbankan,”
Jakarta : ikatan hakim Indonesia. 1995. Cet. I.
Sutedi, Adrian. “Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk.” Jakarta : Sinar Grafika.
2009.
Widjaja, Gunawan. “Seri Hukum Bisnis : Efek Sebagai Benda. ” Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada. 2005.
Yunus, Nur Rohim, “Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia.” Jakarta :
Jurispridence Press. 2012.
Jurnal
Badrulzaman, Mariam Darus. “Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan.”
Jakarta : Jurnal Hukum Bisnis. 2002. Volume 11 T
Kitab Suci
Al-Qur’an
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan
Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Undang-undang Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
Skripsi, Tesis, atau Desertasi
Lengkong, Sandra Nella “Pemberian Kredit Dengan Jaminan Obligasi Pada Bank
BNI 46.” (Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. 1993)
Lisniarni, “Obligasi Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank X di Jakarta.” (Skripsi S1
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. 1990)