1. Apa makna klinis sesak nafas hebat bunyi nafas menciut, batuk berdahak dan berwarna
jernih ?
Jawab : allergen → terlalu banyak antigen IGE abnormal
Asma
Hipersentivitas bronkus terhadap benda asing
↓
Edema lokal bronkus
↓
Sekresi mukus kental
↓
Spasme otot bronkus
↓
Tekanan saluran nafas meningkat
↓
Sesak nafas
Sesak nafas , nafas menciut, dan batuk berdahak berwarna jernih dapat juga bermakna :
- PPOK ( Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
- Emboli
- Bronktis
- CHF (Congestive heart failure)
2. Apa factor resiko sesak nafas?
Jawab :
- Merokok
- Debu
- Infeksi
- Polusi
- Alerggen
- Aktivitas
- Psikologis
3. Bagaimana mekanisme batuk, berdahak, dan sesak nafas ?
Jawab:
Allergen Bereaksi dengan sel mast & IgE
4. Apakah ada hubungan riwayat sesak nafas sebelumnyadengan keluhan sekarang ?
Jawab :
Asma
↓
bahan sensitif
↓
mediator inflamasi CD4+, limfosit, dan eusinofil
↓
Reversible
↓
Menghambat aliran udara
Tract. Respirasi
Imp. Saraf aferen yang berjalan N. Vagus ke
medulla otak
Efek :
Histamin menyebabkan vasokontriksi bronkus
Hipersekresi mucus dan edema dinding
bronkus
Sesak nafas
Batuk berdahak
Otot diabdomen kontraksi kuat
Udara tekanan tinggi dalam paru mendadak
keluar melewati epiglottis dan pita suara
Udara diekspirasi
cepat
Mendorong diafragma
Tekanan paru meningkat cepat
BATUK
Mengeluarkan mediator inflamasi
5. Bagaimana cara penegakkan diagnosis nn. Jupe ?
Jawab :
Asma
a. Anamnesis :
mengi, dada rasa penuh, sesak nafas
riwayat keluarga
riwayat alergi
riwayat obat-obatan
b. pemeriksaan fisik :
inpeksi → untuk melihat kesimetrisan dada
palpasi
Perkusi → hipersonor
auskultasi → whezzing ekspirasi
PPOK
a. Anamnesis :
Riwayat merokok(IB)
Sering terkena polusi
Batuk kronik 3 bulan
Sesak nafas dan kadang-kadang berdahak
b. Pemeriksaan fisik :
Inpeksi : barrel chest dan penggunaan otot bantu nafas
Perkusi : hipersonor
Auskultasi : fremitus lemah, suara nafas vesikuler lemah, ekspirasi
panjang, ronkhi (+), dan mengi (+)
6. Apa yang terjadi pada nn. Jupe ?
Jawab :
Nn, Jupe 15 tahun mengalami Asma Bronkial
7. Apa saja etiologi dari penyakit nn. Jupe ?
Jawab :
Asma :
- Genetik
- Faktor lingkungan
- Stress fsikologi
- Obat-obatan
PPOK :
- Asap rokok
- Polusi udara
- Inspirasi saluran bawah berulang
- Sosial ekonomi
8. Bagaimana klasifikasi dari penyakit nn. Jupe ?
Jawab :
Asma :
- Berdasarkan etiologi : ekstrinsik, idopatik/intrinsik, asma gabungan
- Keparahan penyakit : intermitten, asma ringan, asma sedang, asma parah
PPOK
- Derajat 1= PPOK sedang
- Derajat 2= PPOK sedang
- Derajat 3= PPOK berat
- Derajat 4= PPOK sangat berat
9. Bagaimana epidemiologi penyakit nn. Jupe ?
Jawab :
Asma→ pada tahun 2000 prevalensi 10-15% meningkat di masyarakat barat , insidensi mengi
tertinggi pada anak.
PPOK → prevalensi PPOK laki- perempuan 3:1 sering mengenai pada usia > 40 tahun 90,83%
pasien PPOK memiliki riwayat merokok.
10. Apa saja pemeriksaan penunjang penyakit nn. Jupe ?
Jawab :
Asma
- Pemeriksaan sputum
- Pemeriksaan darah
- Pemeriksaan spirometri
- Radiologi
- Peak flow meter
- EKG
PPOK
- Thorak
- Darah rutin
- Radiologi
- Faal paru
- Spirometri
11. Bagaimana tatalakasana penyakit nn. Jupe ?
Jawab :
Oksigen 4-6L/m
Bronkodilator-β2 agonis inhalasi (tarbutalin 2,5mg, salbutamol 5mg, fenoterol
2,5mg,dapat diulang setiap 20menitselama 1 jam)
Drainase postural atau chest physioterapi, untuk mebantu pengeluaran dahak agar
mengurangi penyumbatan.
Bolus aminofilin IV 5-6mg/kgBB
Kortikosteroid sistemik I.V (Metilprednisolon: 40-125 mg IVsetiap 6-8 jam,
Hidrokortison : 2,0 mg/KgBB IV tiap 4 jam, Hidrokortison: 2,0 mg/KgBB IV 0,5
mg/KgBB secara drip ) atau peroral (Metilprednisolon atau prednisone mulai 60 mg,
40-60 mg dalam dosis terbagi)
12. Bagaimana pencegahan penyakit nn. Jupe ?
Jawab :
1. Pencegahan primer, yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan
asma. Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan
perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan primer
penyakit asma.
2. Pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudak tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma.menhentikan pajanan allergen sedini mungkin pada penderita
yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah lebih
menghasilkan pengurangan atau resolusi total dari gejala daripada jika pajanan terus
berlangsung.
3. Pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan atau bermanifestasi
klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma dengan menghindari pajanan
pencetus yang akan memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebitihan medikasi atau
obat.
13. Bagaimana komplikasi penyakit nn. Jupe ?
Jawab :
Deformitas toraks
Gangguan pertumbuhan fisik
Infeksi akut saluran pernafasan bawah
Bronchitis Kronis
Emfisema paru dan cor pulmonale
Pnemotoraks
Pnemonitis hipersensitif (alveolitis alergis)
14. Bagaimana prognosis penyakit pada nn. Jupe ?
Jawab :
Saat ini telah diketahui bahwa penderita asma yang mulai mendapat serangan sesak
semasa kanak-kanak mempunyai prognosis yang lebih baik bila dibandingkan dengan
penderita yang mulai mendapat serangan sesak pada usia setengah umur.Penderita asma
yang disertai dengan retinitis alergica dan atau eczema mempunyai prognosis yang kalah
baik bila dibandingkan dengan penderita yang hanya menderita asma saja.
SINTESIS
ASMA BRONKIAL
b. Definisi
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah dan berarti serangan nafas
pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan gambaran klinis nafas pendek
tanpa memandang sebabnya, sekarang istilah ini hanya ditujukan untuk keadaan-keadaan yang
menunjukkan respons abnormal saluran nafas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan
penyempitan jalan nafas yang meluas2.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan nafas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan nafas yang
luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan 6.
Perubahan patologis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas terjadi pada bronkus ukuran
sedang dan bronkiolus berdiameter 1 mm. Penyempitanjalan nafas disebabkan oleh bronkospasme,
edema mukosa, dan hipersekresi mucus yang kental 2.
c. Etiologi
ETIOLOGI DASAR DAN PEMBAGIAN KLLINIK
Akhir-akhir ini makin banyak terungkap perihal faktor-faktor yang dapat mencetuskan
serangan asma. Di samping itu diketahui bahwa pada penderita asma didapatkan suatu peningkatan
kerentanan terhadap berbagai faktor pencetus. Kombinasi antara faktor pencetus dan kerentanan akan
menimbulkan obstruksi bronkeolus karena kontraksi otot polos, edema mukosa dan hipersekresi
yang menghasilkan lender dalam saluran pernafasan yang kental, lengket dan “ulet” sehingga akan
menutupi lumen saluran pernafasan. Akibat akhir adalah timbulnya sesak nafas yang akan disertai
suara nafas tambahan (wheezing)7.
Berhubung akhir-akhir ini semakin banyak diketahui tentang mekanisme terjadinya serangan
asma, maka pendapat klasik mengenai patogenesis asma harus mengalami revisi menyeluruh, tetapi
mengingat karena masih ada benarnya, pandangan klasik ini tetap masih harus diketahui7.
Ditinjau dari kemungkinan asal-usul faktor pencetus, secara klasik asma dibagi menjadi
ekstrinsik dan intrinsic dengan tujuan untuk memudahkan diagnosis dan terapi.Gejala umum yang
klasik adalah sama untuk kedua jenis ini, yaitu sesak dengan suara nafas mengi, yang dapat timbul
mendadak dan dapat hilang pula dengan cepat. Serangan sesak ini biasanya disertai batuk-batuk
dengan dahak yang kental dan lengket7.
Asma dapat dibagi dalam tiga kategori (pendapat klasik) : 2, 7
1. Asma ektrinsik atau alergik, ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa, dan
disebabkan oleh allergen yang diketahui. Bentuk ini biasanya dimulai pada masa kanak-
kanak dengan keluarga yang mempunyai riwayat penyakit atopic termasuk hay fever,
eczema, dermatitis, dan asma. Asma alergik disebabkan oleh kepekaan individu terhadap
allergen (biasanya protein) dalam bentuk serbuk sari yang dihirup, bulu halus binatang,
spora jamur, debu, serat kain, atau yang lebih jarang, terhadap makanan seperti susu atau
coklat. Pajanan terhadap allergen, meskipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil, dapat
mengakibatkan serangan asma.
2. Asma intrinsik atau idiopatik, ditandai dengan sering tidak ditemukannya faktor-faktor
pencetus yang jelas. Faktor nonspesifik (seperti flu biasa, latihan fisik, atau emosi) dapat
memicu serangan asma. Asma intrinsik lebih sering timbul sesudah usia 40 tahun, dan
serangan timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronkial.
Makin lama serangan makin sering dan makin hebat, sehingga akhirnya keadaan ini
berlanjut menjadi bronchitis kronik dan kadang-kadang emfisema.
3. Asma campuran, yang terdiri dari komponen-komponen asma ekstrinsik dan intrinsic.
Sebagian besar pasien asma intrinsik akan berlanjut menjadi bentuk campuran; anak yang
menderita asma ektrinsiksering sembuh sempurna saat dewasa muda.
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetic yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetic asma, alergik (atopi), hiperaktiviti bronkus, jenis kelamin dan
ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala
asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap
rokok, polusi udara, infeksi pernafasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.
d. Epidemiologi
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa penyakit asma dijumpai diseluruh dunia, dan
menyerang baik pria maupun wanita, dari seluruh lapisan social ekonomi dengan prevalensi yang
berkisar antara 1-10%. Tetapi bagaimanapun juga memang ada peningkatan prevalensi asma di
seluruh dunia. Walapun peningkatan di Asia lebih kecil dibandingkan dengan dunia barat, tetapi
kenaikkan ini nyata sekali. Hal ini tampak pada berbagai penelitian epidemiologis. Di Hong Kong
prevalensi asma pada anak-anak kelompok umur 13-14 tahun pada tahun 1980 baru mencapai 2%
Bakat yang diturunkan :
Asma Atopi/alergik Hiperaktiviti bronkus Faktor yang memodifikasi
penyakit genetik
Pengaruh lingkungan :
Alergen Infeksi pernafasan Asap rokok/polusi udara Diet Status sosioekonomi
Asimptomatik atau asma dini
Manifestasi kklinis asma (perubahan ireversibel pada
struktur dan fungsi jalan nafas)
untuk meningkat menjadi 4,8% pada tahun 1989 dan pada tahun 1995 telah mencapai 11%. Di Cina
daratan pada tahun 1990 prevalensi asma hanya 2% lalu meningkat menjadi 4% pada tahun 1995
(LARACY, 1995).
Serangan pertama dapat timbul pada masa kanak-kanak ataupun pada usia setengah umur.
Tampaknya pada anak laki-laki lebih sering dijumpai asma daripada anak perempuan, tetapi
perbedaan ini tidak begitu besar pada penderita dewasa7.
e. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama
sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai
faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma
kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
1. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe
cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi
sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti
histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan
PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan
serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
2. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T,
eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T
ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin
antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam
menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B
mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel
epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric
oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein,
oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik.
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara
lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF.
Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang
ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil
cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan
eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE
dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin
antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus.
Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta
sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada
regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors
untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-β.
f. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis asma mudah dikenali. Setelah pasien terpajan faktor pencetus, akan
segera timbul dispnea. Pasien meraasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha
penuh mengerahkan tenaga untuk bernafas. Berdasarkan perubahan-perubahan anatomis yang
telah dijelaskan, bahwa kesulitan utama terletak pada saat ekspirasi. Percabangan trakeobronkial
melebar dan memanjang saat inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari
bronkiolus yang sempit, mengali edema dan terisi mucus, yang dalam keadaan normal akan
berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada saat ekspirasi. Udara terperangkap pada bagian distal
dan tempat penyumbatan, sehingga terjadi hiperinflasi progresif paru. Akan timbul mengi
ekspirasi memanjang yang merupakan cirri khas asma sewaktu pasien berusaha memaksakan
udara keluar. Serangan asma seperti ini dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.
Diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan 2.
BATUK2
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan trakeobronkial.
Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang paling penting untuk membersihkan
saluran nafas bagian bawah, dan banyak orang dewasa normal yang batuk beberapa kali setelah
bangun pagi hari untuk membersihkan trakea dan faring dari secret yang terkumpul selama tidur.
Batuk juga merupakan gejala tersering penyakit pernafasan. Segala jenis batuk yang berlangsung
lebih dari tiga minggu harus diselidiki untuk memastikan penyebabnya.
Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan
peradangan. Inhalasi asap, debu, dan benda-benda asing kecil merupakan penyebab batuk yang
paling sering. Perokok seringkali menderita batu kronik karena terus menerus mengisap benda
asing (asap), dan saluran nafasnya sering mengalami peradangan kronik. Rangsangan mekanik
dari tumor (ektrinsik maupun intrinsic) terhadap saluran nafas merupakan penyebab lain yang
dapat menimbulkan batuk (tumor yang paling sering menimbulkan batuk adalah karsinoma
bronkogenik). Setiap proses peradangan saluran nafas dengan atau tanpa eksudat dapat
mengakibatkan batuk. Bronchitis kronik, asma, tuberculosis, dan pneumonia merupakan penyakit
yang secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala yang mencolok. Batuk dapat bersifat produktif,
pendek dan tidak produktif, keras dan parau (seperti ada tekanan pada trakea), sering, jarang, atau
paroksismal (serangan batuk yang intermitten).
SPUTUM2
Orang dewasa normal menghasilkan mucus sekitar 100 ml dalam saluran nafas setiap hari.
Mucus ini diangkut menuju faring dengan gerakan pembersihan normal silia yang melapisi
saluran pernafasan. Kalau terbentuk mucus yang berlebihan, proses normal pembersihan mungkin
tak efektif lagi, sehingga akhirnya mucus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membrane mukosa akan
terangsang, dan mucus dibatukkan keluar sebagai sputum. Pembentukan mucus yang berlebihan,
mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi pada membran mukosa.
Kapan saja seorang pasien membentuk sputum, perlu dievaluasi sumber, warna, volume,
dan konsistensinya. Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokkan kemungkinan
besar berasal dari sinus atau saluran hidung, dan bukan dari saluran nafas bagian bawah. Sputum
yang banyak sekali dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses paru,
sedangkan pembentukan sputum yang terus meningkat perlahan dalam waktu bertahun-tahun
merupakan tanda bronchitis kronis, atau bronkiektasis.
Warna sputum juga penting. Sputum yang berwarna kekuning-kuningan menunjukkan
infeksi. Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk adanya penimbunan nanah. Warna
hijau timbul karena adanya verdoperoksidase yang dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear
(PMN) dalam sputum. Sputum yang berwarna hijau sering ditemukan pada bronkiektasis karena
penimbunan sputum dalam bronkiolus yng melebar dan terinfeksi. Banyak penderita infeksi pada
saluran nafas bagian bawah mengeluarkan sputum berwarna hijau pada pagi hari, tetapi makin
siang menjadi kuning. Fenomena ini mungkin disebabkan karena penimbunan sputum yang
purulen di malam hari, disertai pengeluaran verdoperoksidase.
Sifat dan konsistensi sputum juga dapat memberikan informasi yang berguna. Sputum yang
berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema paru akut. Sputum yang berlendir,
lekat dan berwarna abu-abu atau putih merupakan tanda bronchitis kronik. Sedangkan sputum
yang berbau busuk merupakan tanda abses paru atau bronkiektasis.
DISPNEA2
Dispnea atau sesak nafas adalah perasaan sulit bernafas dan merupakan gejala utama dari
penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea sering mengeluh nafasnya menjadi
pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak nafas termasuk juga penggunaan otot-otot
tambahan pernafasan tambahan (sternokleidomastoideus, scalenus, trapezius, pectoralis mayor),
pernafasan cuping hidung, tachypnea, dan hiperventilasi. Sesak nafas tidak selalu menunjukkan
adanya penyakit, orang normal akan mengalami hal yang sama setelah melakukan kegiatan fisik
dalam tingkat-tingkat yang berbeda.
Pemeriksaan harus dapat membedakan sesak nafas dari gejala dan tanda lain yang mungkin
memiliki perbedaan klinis mencolok. Takipnea adalah frekuensi pernafasan yang cepat, lebih
cepat dari pernafasan normal (12 hingga 20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau tanpa
dyspnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk
mempertahankan pengeluaran karbondioksida (CO2) normal, hal ini dapat diidentifikasi dengan
memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangan (PaCO2), yaitu lebih rendah dari angka
normal (40 mmHg). Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi yang sebenarnya
merupakan seseorang yang sehat dengan stress emosional. Selanjutnya, gejala lelah yang
berlebihan harus dibedakan dengan dispnea. Seseorang yang sehat mengalami lelah yang
berlebihan setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat yang berbeda-beda, dan gejala ini juga
dapat dialami pada penyakit kardiovaskular, neuromuscular, dan penyakit lain selain paru.
Pada beberapa tahun belakangan ini, ketertarikan pada ilmu pengetahuan dalam
perhitungan dan mekanisme neurofisiologi meningkat dengan cepat. Namun, belum tersedia
keterangan tentang dispnea dengan segala keadaannya yang dapat diterima. Sumber penyebab
dispnea termasuk : (1) reseptor-resptor mekanik pada otot-otot pernafasan, paru, dan dinding
dada; dalam teori tegangan-panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada khususnya,
berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot dengan derajat elastisitasnya;
dispnea terjadi bila tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot (volume nafas
tercapai); (2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori utang-oksigen);
(3) peningkatan kerja pernafasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa sesak nafas; dan
(4) ketidakseimbangan antara kerja pernafasan dengan kapasitas ventilasi. Mekanisme tegangan-
panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling banyak diterima karena teori tersebut
menjelaskan paling banyak kasus klini dispnea. Faktor kunci yang tampaknya menjelaskan
apakah dispnea terjadi pada tingkat ventilasi atau usaha sesuai dengan derajat aktivitasnya.
Namun, rangsangan, reseptor sensoris, dan jaras saraf yang sesuai tidak dapat ditentukan dengan
pasti.
Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea bergantung pada usia,
jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan terlibatnya emosi dalam melakukan
kegiatan itu. Dispnea yang terjadi pada seorang harus dikaitkan dengan tingkat aktivitas minimal
yang menyebabkan dispnea, untuk menentukan apakah dispnea terjadi setelah aktivitas sedang
atau berat, atau terjadi pada saat istirahat. Ortopnea adalah nafas pendek yang terjaddi pada posisi
berbaring dan biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau penambahan
elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut. Penyebab tersering ortopnea adalah gagal
jantung kongestif akibat peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring.
Ortopnea juga merupakan gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernafasan. Dispnea
nocturna paroksismal menyatakan timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi
duduk dengan segera untuk bernafas. Membedakan dispnea nocturna paroksismal dengan
ortopnea adalah waktu timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya
sama dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya yang
terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan volume intravascular pusat.
Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya memiliki satu dari keadaan ini yaitu : (1)
penyakit kardiovaskular, (2) emboli paru, (3) penyakit paru interstitial atau alveolar, (4) gangguan
dinding dada atau otot-otot, (5) penyakit obstruktif paru, atau (6) kecemasan. Dispnea adalah
gejala utama edema paru, gagal jantung kongestif, dan penyakit katup jantung. Emboli paru
ditandai oleh dispnea mendadak. Dispnea merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang
menyerang percabangan trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Dispnea biasanya
dikaitkan dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernafasan akibat
meningkatnya resistensi elastik paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding dada
(obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan nafas obstruktif dengan meningkatnya resistensi
nonelastik bronchial (emfisema, bronchitis asma). Tetapi kalau beban kerja pernafasan meningkat
secara kronik, maka pasien yang bersangkutan dapat menyesuaikan diri dan tidak mengalami
dispnea. Dispnea juga dapat terjadi jika otot pernafasan lemah (contohnya miastenia gravis),
lumpuh (contohnya poliomyelitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya kerja
pernafasan, atau otot pernafasan kurang mampu melakukan kerja mekanis (contohnya emfisema
berat atau obesitas). Pada akhirnya, penderita sindrom hiperventilasi akibat kecemasan atau stress
emosional sering mengeluhkan dispnea. Pola pernafsan pada kelompok ini seringkali aneh,
dengan ketidakteraturan frekuensi maupun tidal volume. Pada lain waktu, pola pernafasan
menjadi hiperventilasi yang menetap sehingga pasien mengeluh kesemutan pada ekstremitasnya
dan terdapat perasaan melayang. Bila pola pernafasan abnormal hilang saat tidur, dicurigai
terdapat penyebab psikogenik.
g. Diagnosis 6
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan
berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat
bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter.
a. Anamnesis
Variabiliti Harian = APE Malam – APE Pagi ½ (APE Malam+APE Pagi)
Riwayat dan gejala penyakit, antara lain :
1. Bersifat episodik, seringkali reversible dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam atau dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
1. Riwayat Keluarga
2. Riwayat Alergi (Atopi)
3. Penyakit lain yang memberatkan
4. Perkembangan penyakit
5. Obat-obatan yang digunakan
b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi, kesimetrisan dada biasanya normal, namun terlihat adanya retraksi intercostal
dan bantuan otot pernafasan lainnya
Auskultasi, terdapat bunyi wheezing
Faal Paru dengan spirometri
Pengukuran Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama (VEP) dan Kapasitas Vital
Paksa (KVP). Obstruksi diketahui bila nilai rasio VEP/KVP<75% atau
VEP<80% nilai prediksi
1. Reveribiliti (perbaikan VEP >15% secara spontan, atau dengan
inhalasi
2. Menilai derajat berat asma
Arus Puncak Ekspirasi (APE)
1. Reversibiliti, perbaikannilai APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodlator)/bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terhadap
kortikosteroid
2. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu, dengan cara penghitungan
3. Uji Provokasi Bronkus
Tes ini jarang dilakukan di indonesia. Tes ini untuk memprovokasi
bronkus agar efek asma bisa dibaca, tes ini menggunakan histamin,
metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik.
Bila terjadi penurunan VEP1 sebesar 20% maka dianggap bermakna.
a. Pemeriksaan Penunjang
Analisa Gas Darah
Digunakan untuk mengecek tingkat PO2 dan PCO2 dalam darah, dan juga untuk
melihat tingkat saturasi oksigen
Pengukuran Status Alergi
Uji kulit merupakan cara utama untuk mengecek alergi yaitu prick test
Radiografi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah.
Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen
akan semakin bertambah.
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen
pada paru-paru.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
b. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
c. Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
Klasifikasi berdasarkan Keparahan Penyakit, yaitu 6:
1. Asma intermiten
Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam beberapa jam atau hari, gejala
asma malam hari terjadi < 2 kali dalam 1 bulan, fungsi paru normal dan asimtomatik di antara
waktu serangan, Peak Expiratory Folw (PEF) dan Forced Expiratory Value in 1 second (PEV1) >
80%
2. Asma ringan
Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari, eksaserbasi mengganggu
aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi > 2 kali dalam 1 bulan, PEF dan PEV1 > 80%
3. Asma sedang (moderate)
Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari
terjadi >1 kali dalam 1 minggu, menggunakan inhalasi beta 2 agonis kerja cepat dalam keseharian,
PEF dan PEV1 >60% dan < 80%
4. Asma parah (severe)
Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma malam hari sering terjadi,
aktifitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan PEV1 < 60%
Klasifikasi berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma
Dibagi menjadi 3 yaitu asma terkontrol, asma terkontrol sebagian (partial), dan asma tak terkontrol
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Partial Tak terkontrol
Gejala harian Tidak ada ( < 2x/ >2x/ minggu 3 atau lebih daroi
minggu ) karakteristik asma
terkontrol partial
terjadi dalam seminggu
Keterbatasan
aktivitas
Tidak Beberapa
Gejala asma malam
hari
Tidak Beberapa
Kebutuhan akan
obat-obat pelega
Tidak ada ( < 2x/
minggu )
>2x/ minggu
Fungsi paru ( PEV/
PEV 1 )
Normal < 80%
Eksaserbasi Tidak Satu atau lebih dalam
setahun
Satu kali dalam
beberapa minggu
h. Diagnosis Diferential2
Penyakit paru obstruktif kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronchitis
kronik, emfisema paru, dan asma bronchial membentuk kesatuan yang disebut COPD.
Agaknya ada hubungan etiologi dan sekuensial antar bronkitis kronik dan emfisema,
tetapi tampaknya tak ada hubungan antara kedua penyakit itu dengan asma. Hubungan ini
nyata sekali sehubungan dengan etiologi, pathogenesis dan pengobatan2.
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan
mucus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan
pembentukkan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dalam dua tahun berturut-turut. Definisi ini tidak mencakup penyakit-penyakit seperti
bronkiektasis dan tuberculosis yang juga menyebabkan batuk kronik dan pembentukkan
sputum. Sputum yang terbentuk pada bronkitis kronik dapat mukoid atau mukopurulen2.
Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh
pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding
alveolar. Emfisema dapat didiagnosis secara tepat dengan menggunakan CT Scan
resolusi tinggi2.
Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hipersentivitas cabang trakeobronkial
terhadap pelbagai jenis rangsangan dan keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan
jalan nafas secara periodik dan reversible akibat bronkospasme2.
Perhatikan perbedaan mendasar dari definisi penyakit-penyakit yang diseutkan diatas :
bronchitis kronik didefinisikan menurut gejala klinisnya, emfisema paru menurut patologi
anatominya, sedangkan asma menurut patofisiologi klinisnya. Meskipun setiap penyakit dapat
timbul dalam bentuknya yang murni, tetapi bronkitis kronik biasanya timbul bersama-sama
emfisema pada pasien yang sama. Asma lebih mudah dibedakan dari bronkitis kronik dan
emfisema berdasarkan riwayat serangan mengi paroksismal, yang dimulai pada masa kanak-
kanak dan berhubungan dengan alergi, tetapi kadang-kadang pasien bronkitis kronik dapat
mempunyai gambaran asmatik dari penyakitnya 2.
Berikur ini adalah tabel perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK,
asma bronchial, dan gagal jantung kronik :
Asma dapat dibedakan dari bronkitis kronik dan emfisema karena sifatnya yang intermitten
dan berdasarkan kenyataan bahwa emfisema destruktif jarang terjadi. Serangan asma yang
berlangsung terus menerus selama berhari-hari dan tidak dapat ditanggulangi dengan cara
pengobatan biasa dikenal dengan status asmatikus. Dalam kasus ini fungsi ventilasi dapat sangat
memburuk sehingga mengakibatkan sianosis dan kematian2.
i. Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas pemberian bronkodilator, desensitisasi spesifik yang lama,
menghindari allergen yang sudah dikenal, dan kadang-kadang obat kortikosteroid. Selang waktu
antara dua serangan biasanya bebas dari kesulitan bernafas 2.
Tujuan penatalaksanaan asma 6 :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol
apabila 6 :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal < 20%
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Program penatalaksanaan asma, meliputi 7 komponen 6 :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Control secara teratur
7. Pola hidup sehat
Tatalaksana berdasarkan derajat 6 :
SERANGAN PENGOBATAN TEMPAT PENGOBATAN
Ringan
Aktivitas relative normal
Bicara satu kalimat dalam satu
nafas
Nadi <100
APE >80%
Terbaik:
Inhalasi agonis beta-2
Alternatif:
Kombinasi oral agonis beta-2 dan
teofilin
Dirumah
Di praktek dokter/ Klinik/
Puskesmas
Sedang
Jalan jarak jauh timbul gejala
Bicara beberapa kata dalam satu
nafas
Nadi 100-120
APE >80%
Terbaik:
Nebulasi agonis beta-2 tiap 4 jam
Alternatif:
- Agonis beta-2 subkutan
- Aminofilin IV
- Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK
Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sintetik
Darurat gawat / RS/ Klinik/
praktek deokter/ puskesmas
Berat
Sesak saat istirahat
Bicara kata perkata dalam satu
nafas
Nadi >120
APE <60% atau 100 l/detik
Terbaik
Nebulasi agonis beta-2 tiap 4 jam
Alternative
- Agonis beta-2 SK/IV
- Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK
Aminofilin bolus dilanjutkan drip
oksigen
Kortikosteroid IV
Gawat darurat/RS
Mengancam jiwa
Kesadaran berubah/ meurun
Gelisah
Sianosis
Apneu
Seperti serangan akut berat
Pertimbangkan intubasi dan
ventilasi mekanik
ICU/RS
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH SAKIT
Penialaian awalRiwayat & pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frek. Napas) dan bila mungkin faal paru (APE & VEP1, saturasi O2). AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi
Sedang /beratRingan Mengancam jiwa
Pengobatan awalOksigenasi dengan kanul nasalInhalasi agonis β-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam sati jam) atau agonis β-2 injeksi (terbutalin 0,5 ml subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)Kortikostreoid sistemik :Serangan asma beratTidak ada respon segera bronkodilatorDalam kortikosteroid oral
Penilaian ulang setelah 1 jamPem. Fisik, saturasi O2 & pemeriksaan lain atas indikasi
Respon baik-Respon baik & stabil dalam 60 menit-Pem. Fisik normal-APE > 70% prediksi/nilai terbaik-Saturasi O2 > 90%
Respon tidak sempurnaResiko tinggi distressPem. Fisik (gejala ringan sedang APE > 50% tetapi < 70%Saturasi O2 tidak perbaikan
Respon buruk dalam 1 jam Resiko tinggi distressPem. Fisik (berat, gelisah dan kesdaran menurun)APE < 30%PaCO2 > 45 mmHgPaO2 < 60 mmHg
PulangPengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis β-2Btuh kortikosteroid oralEdukasi :Pakai obat yang benarIkuti rencana obat selanjutnya
Dirawat di RSInhalasi agonis β-2 ± anti kolinergikKortikosteroid sistemikAminofilin dripTerapi O2 pertimbangan kanul nasal atau masker venturePantau PE, sat. O2, nadi, kadar teofilin
Dirawat di ICUInhalasi agonis β-2 ± anti kolinergikKortikosteroid IVPertimbangkan agonis β-2 injeksi SC/IM/IVTerapi O2 menggunakan masker ventureAminofilin dripMungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik
Tidak perbaikanPerbaikan
PulangBila APE >60% prediksi/terbaik. Tetap berikan pengobatan oral atau inhalasi
Dirawat di ICUBila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
j. Komplikasi 7
1. Deformitas toraks
Bila serangan sesak sambung menyambung, maka dada penderita anak akan dapat
mengambil bentuk seperti dada burung dara (pigeon chest), dan pada penderita dewasa
rongga dada akan berbentuk seperti tong (barrel chest). Untung sekali deformitas
inireversibel, yaitu bilamana penderita tak lagi sering mendapat serangan sesak, maka dada
penderita akan kembali normal.
2. Gangguan pertumbuhan fisik
Hal ini sering dijumpai pada anak-anak yang menderita asma dengan serangan sesak
yang beruntun. Hal ini juga reversible bila serangan sesak semakin menghilang.
3. Infeksi akut saluran pernafasan bawah
Karena adanya hipersekresi pada setiap serangan asma, bilamana serangan makin
sering timbul, makin besar pula risiko timbulnyaa infeksi sekunder karena sekrit yang penuh
protein akan selalu merupakan perbenihan yang baik sekali bagi bakteri. Risiko ini makin
meningkat bila sebab utama serangan asma memang suatu infeksi traktus respiratorius.
4. Bronkitis Kronis
Kembali karena adanya hipersekresi maka kemungkinan mendapatkan bronkitis kronis
secara sekunder besar sekali pada penderita asma, sehingga akhirnya sulit sekali untuk
membedakan kedua penyakit ini pada orang yang sudah berusia lanjut.
5. Emfisema paru dan cor pulmonale
Dengan mekanisme yang sama seperti di atas, lama-kelamaan beberapa alveolus akan
membesar dan septum interalveolar akan pecah dan dengan demikian akan terbentuk suatu
rongga (acinus), demikian pula beberapa acinus akan menjadi satu rongga pula, sehingga
akhirnya akan timbul suatu emfisema paru dengan akibat-akibat sekunder seperti cor
pulmonale, pnemotoraks, dan sebagainya.