Download - Apendisitis Hg 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan ditambah organ-organ
pencernaan tambahan (aksesori). Sistem pencernaan berfungsi untuk
memindahkan zat gizi atau nutrien, air, dan elektrolit dari makanan yang kita
makan ke dalam lingkungan internal tubuh. Makanan sebagai sumber ATP
untuk menjalankan berbagai aktivitas bergantung energi, misalnya transportasi
aktif, kontraksi, sintesis, dan sekresi. Makanan juga merupakan makanan
sumber bahan untuk perbaikan, pembaruan, dan penambahan jaringan tubuh.
Sistem pencernaan tidak dapat melaksanakan fungsinya jika dalam
keadaan terganggu. Selain itu, tidak jarang juga kelainan pada sistem ini dapat
mengakibatkan kematian. Salah satunya adalah apendisitis. Apendisitis adalah
peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan penyebab abdomen
akut yang paling sering. Pada masyarakat umum,sering juga disebut dengan
istilah radang usus buntu. Akan tetapi, istilah usus buntu yang selama ini
dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan
usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum).
Sedangkan apendiks atau yang sering disebut juga dengan umbai cacing
adalah organ tambahan pada usus buntu. Umbai cacing atau dalam bahasa
Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah ujung buntu tabung
yang menyambung dengan caecum. Penyakit apendisitis merupakan penyakit
bedah mayor yang paling sering terjadi dan tindakan bedah segera mutlak
diperlukan pada apendisitis akut untuk menghindari komplikasi yang
umumnya berbahaya.
B. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian dan etiologi apendisitis.
2. Menjabarkan menifestasi klinis, patofisiologi dan komplikasi apendisitis.
1
3. Menjelaskan pengkajian fisik, laboratorium dan diagnostik pada klien
dengan apedisitis.
4. Menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan apendisitis
(preoperatif apendiktomi).
5. Menjelaskan penatalaksanaan medik pada klien dengan apendisitis.
6. Asuhan keperawatan preoperatif.
C. Rumusan Masalah
1. Apakah apendisitis itu (definisi, manifestasi klinis, dan komplikasi)?
2. Apakah etiologi terjadinya apendisitis?
3. Bagaimana mekanisme atau patofisiologi terjadinya apendisitis?
4. Bagaimana pengkajian fisik, laboratorium dan diagnostik pada klien
dengan apedisitis?
5. Apa diagnosa keperawatan yang tepat untuk klien dengan apendisitis
(khususnya preoperatif)?
6. Bagaimana penatalaksanaan medik pada klien dengan apendisitis?
7. Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan
apendisitis (preoperatif apendiktomi)?
D. Metode Penulisan
Makalah ini menggunakan metode PBL (Problem Based Learning).
Masing-masing mahasiswa memperoleh materi atu sub bahasan kemudian
mencari tinjauan teori pada buku, jurnal, maupun internet. Setelah
memperolehnya, masing-masing mahasiswa saling berbagi informasi kepada
teman-teman lainnya.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab. Bab I pendahuluan terdiri dari latar
belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah, metode penulisan, dan
sistematika penulisan. Bab II tinjauan teori berisi konsep materi mengenai
apendisitis. Bab III pembahasan terdiri dari kasus dan pembahasan atau
keterkaitan antara materi dengan kasus serta solusi dari masalah yang
dijabarkan apada kasus. Bab IV penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Apendiks
Apendiks vermiformis merupakan sisa apeks sekum yang memiliki
struktur berupa tabung dengan panjang kira-kira 10 cm (4 inci), lebar 0,3 - 0,7
cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Selain
itu memiliki arteria apendikularis yang merupakan suatu arteri terminalis.
Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc Burney yaitu daerah 1/3
tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan
dengan pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian
distal. Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus
vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis,
sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena
itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.
B. Definisi dan Etiologi Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Penyebab
apendisitis karena adanya obstruksi pada lumen appendikeal oleh apendikolit,
hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garam kalsium, debris
fekal), atau parasit seperti E.histolytica. Peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal
3
mengakibatkan timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan
pertumbuhan kuman flora kolon. Sumbatan fungsional mengakibatkan
terjadinya pembengkakan, infeksi, dan ulserasi. Bila keadaan terus dibiarkan
dapat mengakibatkan nekrosis, gangren, dan perforasi (Muttaqin & Sari,
2011); (Price, 2005).
C. Manifestasi Klinis
Pada kasus apendisitis akut gejala awal berupa nyeri disekitar umbilikus
umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri
bergeser ke kuadran kanan bawah disertai oleh anoreksia, mual, dan muntah.
Dapat terjadi nyeri tekan di sekitar titik Mc Burney. Kemudian dapat timbul
spasme otot dan nyeri tekan lepas. Biasanya ditemukan demam ringan dan
leukositosis sedang (Price, 2005).
4
D. Klasifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik (Sjamsuhidayat, 2005).
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut
talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral
didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual
dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ketitik Mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat
2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik
antara 1-5%.
E. Komplikasi
Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan risiko terjadinya
perforasi dan pembentukan massa periapendikular. Perforasi dengan cairan
inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respon
inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi
apendiks disertai abses, maka akan memberikan manifestasi nyeri lokal.
Manifestasi khas dari perforasi apendiks yaitu nyeri hebat yang tiba-tiba
muncul pada abdomen kanan bawah (Muttaqin & Sari, 2011).
5
F. Patofisiologi Apendisitis
Appendisitis pada dasarnya dapat menyerang semua umur, namun jarang
terjadi pada bayi di bawah umur 2 tahun dan dewasa tua. Hal ini terjadi
mungkin pada posisi appendiks. Appendisitis dapat menyebabkan komplikasi
penyakit lainnya. Salah satu contohnya yaitu peritonitis atau peradangan pada
peritoneum.
Appendisitis dapat terjadi karena adanya penyumbatan pada appendiks.
Penyumbatan tersebut dapat menyebabkan infeksi bakteri sehingga terjadilah
proses inflamasi atau peradangan. Appendisitis dapat dimulai di mukosa dan
kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-28
jam pertama. Tubuh yang mempunyai sistem imun tentu saja akan merespon
jika terjadi peradangan. Respon tubuh pada peradangan ini adalah dengan
cara membatasi proses peradangan. Respon ini dilakukan dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk
massa periapendikuler yang didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika massa tersebut tidak
terbentuk abses, maka appendisitis dapat sembuh.
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar
ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks
menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi
menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks kecaecum menjadi
terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian
terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan
elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di
sekitar umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus
meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema
6
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang
timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga
menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding
apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami
ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi
proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan
omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang
secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat
terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Perforasi menjalar ke seluruh abdomen, perut nyeri dan tegang di
seluruh abdomen walaupun punctum maximum mungkin di sebelah kanan,
nyeri dan febris tinggi, keadaan umum jelek.
Bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Karena fungsiolesa maka fungsi usus terhenti (tidak berkontraksi)
sehingga terjadi pembentukkan gas kemudian perut kembung yang
mengakibatkan paralitik ileus (bising usus menghilang) sehingga terjadi
muntah-muntah (regurgitasi). Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen
usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan
mungkin syok. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat menganggu pulihnya motilitas usus dan
menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Paralitik ileus juga menyebabkan
terjadinya gangguan buang air besar akibat hilangnya gerak peristalitik usus.
Muntah-muntah juga berakibat pada hilangnya banyak cairan tubuh,
meningkatkan kerja jantung (meningkatkan heart rate) sebagai kompensasi.
7
Hubungan Patofisiologi Dengan Manifestasi Klinis
(Sjamsuhidajat, R & Jong, W. D.)
KELAINAN PATOLOGI KELUHAN DAN TANDA
Peradangan awal Kurang enak ulu hati/daerah pusat,
mungkin kolik
Appendisitis mukosa Nyeri tekan kanan bawah (rangsangan
autonomik)
Radang di seluruh ketebalan dinding Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,
mual dan muntah
Appendisitis komplit radang peritoneum Rangsangan peritoneum lokal
(somatik), nyeri pada gerak aktif dan
pasif, defans muskuler lokal
Radang alat/jaringan yang menempel
pada appendiks
Genitalia interna, ureter, n.psoas
mayor, kantung kemih, rektum
Appendisitis gangrenosa Demam sedang, takikardia, mulai
toksik, leukositosis
Perforasi Nyeri dan defans muskuler seluruh
perut
Pembungkusan: a. Tidak berhasil s.d.a. + demam tinggi, dehidrasi, syok,
toksik
b. Berhasil Massa perut kanan bawah, keadaan
umum berangsur membaik
c. Abses Demam remiten, keadaan umum
toksik, keluhan dan tanda setempat
8
↓ perfusi serebral
↑ suhu tubuh
Kecemasan pemenuhan informasi
Hipertermi
Respon sistemik
Risiko infeksi
Respon psikologis misinterpretasi perawatan dan penatalaksanaan pengobatanPort de entree pascabedah
Intervensi bedah laparotomi
PascaoperatifPreoperatif
Pembentukan eksudat fibrinosa atau abses pada peritoneum
↓ aktivitas fibrinolitik intra-abdomen
Peritonitis
Respon inflamasi pada peritoneum dan organ di dalamnya
Invasi bakteri ke rongga peritoneum oleh berbagai kelainan sistem GI dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen
Perubahan tingkat kesadaran
Syok sepsis
Suplai darah ke otak ↓
Curah jantung ↓
Respon lokal saraf terhadap inflamasi
Distensi abdomen
Respon kardiovaskular
Aktual/risiko ketidakefektifan bersihan jalan napas
↓ kemampuan batuk efektif
Nyeri
Kerusakan jaringan pascabedah
Gangguan GI
Mual, muntah, anoreksia
Intake nutrisi tidak adekuatKehilangan cairan dan elektrolit
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan, risiko ketidakseimbangan cairan
G. Patofisiologi Peritonitis
9
H. Penatalaksanaan Medis
Apendicitis dapat menjadi awal mula dari kejadian peritonitis (radang
pada daerah peritoneum). Jika sudah didiagnosis apendisitis akut, maka harus
segera dilakukan pembedahan. Penatalaksanaan medis pada penderita
appendicitis diberikan pada saat pra operasi, intra operasi, dan post-operasi.
Menurut Mansjoer, dkk (2000), penatalaksaan apendisitis terdiri dari:
1. Pra-operasi
a. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
b. Pemasangan kateter untuk control produksi urine.
c. Rehidrasi
d. Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara
intravena.
Pemberian antibiotic melalui intravena tergantung pada tingkat
keparahan dan keakutan apendisitis. Bila pada apendisitis yang belum
mengalami perforasi, maka digunakan antibiotik dosis tunggal yang
adekuat yang mencakup basil gram negative dan anaerobik. Resusitasi
cairan intravena dengan menggunakan larutan Ringer laktat 10 ml per
kilogram dalam bolus 15-30 menit untuk hasil produksi urin 1-2 mL per
kilogram per jam. Pada dewasa muda diperlukan waktu kurang lebih 1
jam, namun pada anak usia kurang dari 6 tahun, resusitasi memerlukan
waktu 4-6 jam.
Obat antibiotik yang diberikan secara intravena pada apendiks yang
sudah perforasi yang dicurigai terdapat pathogen aerobic dan non-
aerobik, maka diberikan ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5
mg/kg/24 jam), dan kindamisin (40 mg/kg/24 jam) atau
metrobnidazole/Flagyl (30 mg/kg/24 jam), antibiotik diteruskan 7-10
hari (Schrock, 1991).
Penanggulangan secara konservatif dilakukan dengan cara
pemberian obat antibiotic pada gejala appendicitis kronik. Pemberian
obat ini dilakukan untuk mengurangi nyeri dalam waktu 12 jam.
Namun, pengobatan secara konservatif dihentikan jika:
1) Terjadi kenaikan denyut nadi
10
2) Demam menetap lebih dari 36 jam.
3) Nyeri yang menetap.
4) Terjadi penonjolan pada daerah nyeri dan kulit kemerahan
merupakan tanda terlalu lama tertundanya tindakan operasi.
5) Obstruksi usus yang tidak berhenti.
e. Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil
untuk vasodilatasi pembuluh darah perifer yang diberikan setelah
rehidrasi tercapai.
f. Bila pasien mengalami demam pada pra-operasi, harus diturunkan
suhunya sebelum diberikan anestesi.
2. Intra operasi
Appendictomy adalah proses pemotongan apendiks yang berguna dalam
mencegah terjadinya perforasi yang komplikasinya akan terjadi peritonitis.
Namun, dalam penatalaksanaan operasi appendictomy, perlu dilakukan
penegakan diagnose yang tepat, terutama pada pasien wanita, karena pada
pasien wanita sering terjadi keluhan yang hampir mirip dengan gejala
apendisitis akut. Gejala pada appendicitis akut antara lain radang yang
mendadak di daerah apendiks disertai rangsang peritoneum lokal, nyeri
sama-samar dan tumpul (nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar
umbilicus), mual, muntah, anoreksia, beberapa jam nyeri berpindah ke
kanan bawah (McBurney) sehingga menimbulkan nyeri somatic setempat
yang lebih jelas dan tajam (nyeri tekan Rovsing), demam ringan (37.5-38
C), penonjolan daerah kanan bawah karena abses periapendikuler, pada
kasus komplikasi terjadi leukositosis. Oleh karena itu, dokter sebelum
mengambil tindakan operasi, biasanya melakukan diagnosa banding dengan
penyakit lainnya seperti (Sjamsuhidajat & Jong, 2004):
a. Gastroenteritis
Gejala: mual, muntah, diare sebelum rasa sakit perut timbul, sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas.
b. Demam dengue
Gejala: sakit perut mirip dengan peritonitis, Rumpel +,
trombositopenia dan hematokrit meningkat.
11
c. Limfadenitis mesenterika
Gejala : didahului dengan gastroenteritis, nyeri perut di sebelah kanan
namun samar, mual.
d. Kelainan ovulasi
Gejala :Nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi,
tidak ada tanda radang seperti leukositosis, nyeri hilang dalam waktu
24 jam namun bisa menganggu selama 2 hari.
e. Infeksi panggul
Gejala : hamper sama dengan gejala apendisitis, namun suhu lebih
tinggi dan nyeri perut bawah lebih difus, keputihan, dan infeksi urin.
f. Kehamilan ektopik
Gejala : terlambat haid, nyeri, penonjolan rongga Douglas, terdapat
darah di kuldosintesis.
g. Kista ovarium terpuntir
Gejala : nyeri hilang timbul dengan intensitas yang tinggi, saat
dipalpasi ada massa pada rongga pelvis, tidak demam.
h. Endometriosis eksterna
Gejala : nyeri pada daerah endometriosis dan darah terkumpul pada
daerah tersebut.
i. Urolitiasis pielum/ureter kanan.
Gejala : riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan, eritrosituria, demam tinggi, menggigil, nyeri kostvertebral
sebelah kanan, dan piuria.
Proses pembedahan diawali dengan anestesi (pembiusan), agar pasien
yang dioperasi tidak memberontak saat diberikan tindakan. Anestesi
merupakan pemberian obat yang menekan kerja jaringan saraf secara sentral
atau pada ujung saraf (Oswari, 1993). Anestesi diberikan oleh dokter
spesialis anestesi dan perawat anestesi. Pemberian anestesi harus
dipertimbangkan dengan keadaan tubuh dan riwayat kesehatan klien.
Anestesi terbagi menjadi dua macam, anestesi lokal (menurut tempat sekitar
pembedahan) dan umum (seluruh tubuh). “Setiap anestesi harus memenuhi
12
dua syarat, antara lain menghilangkan refleks dan melemaskan otot, dan
pada bius umum juga dapat menghilangkan kesadaran.” (Oswari, 1993).
1) Anestesi umum
Obatnya berupa gas dan cairan yang dapat diberikan dengan cara
inhalasi (gas), intravena (menyuntikkan obat), dan memasukkan obat ke
dalam rectum. Pada tahap awal, pemberian obat bius yang tinggi untuk
penyebaran ke seluruh jaringan, jika sudah menyebar, konsentrasi
diperkecil untuk tetap mempertahankan obat bius. Kedalaman anestesi
umum terbagi dalam 4 stadium:
Stadium 1 (analgesia)
Dimulai saat pasien menghirup obat bius. Pasien pusing, seakan-akan
melayang, pendengaran bising, kesadaran masih ada, tapi tidak dapat
berbuat apapun, ukuran pupil tetap, refleks pupil maih bagus,
pernapasan dan nadi tidak teratur, tekanan darah tidak fluktuasi.
Stadium 2 (delirium)
Pasien mulai berontak, ukuran pupil membesar, refleks pupil kuat,
pernapasan tidak teratur, nadi teratur cepat, dan tekanan darah mulai
meninggi.
Stadium 3 (pembedahan)
Pasien mangalami mati rasa sempurna, refleks permukaan seperti pupil,
bola mata menurun namun refleks vital masih biasa, seperti nadi dan
pernapasan.
Stadium 4 (keracunan)
“Pusat pernapasan di medulla oblongata lumpuh, pernapasan berhenti.
Bila pembiusan tidak segera dihentikan dan diberikan napas buatan,
jantung berhenti dan kematian.” (Oswari, 1993).
Cara pemberian anestesi umum
2) Anestesi Isap
Open drop : meneteskan cairn bius di masker yang ditutupi oleh
kain kassa dan diberikan tekanan oksigen untuk diinhalasi oleh
pasien.
13
Insuflasi: peniupan gas bius dan udara ke dalam hidung melalui
pipa.
Semit tertutup: campuran gas bius dan oksigen diinhalasi dari
masker yang dihubungkan dengan balon pernapasan.
Tertutup: udara yang keluar dari paru-paru diisap kembali setelah
melalui filter yang mengandung garam kapur untuk menahan CO2.
Obat bius yang biasa digunakan antara lain:
Nitrogen oksida: daya bius ringan hingga stadium III plein 1.
Eter / etil eter : daya biusnya sangat kuat, mudah menyerap di
jaringan khususnya lemak, sehingga pada orang gemuk lebih
lama induksinya.
Klor etil : masa induksi yang pendek, hanya dipakai untuk
induksi mempersingkat sstadium I dan II, dan merupakan
pemberian awal anestesi yang dilanjutkan dengan eter. Sering
digunakan pada insisi bisul
Fluotane (Halotane) : obat bius isap yang terkuat.
Trilene / triklor etilena : masa induksi lambat, hamper sama
dengan eter, dipakai hanya untuk menghilangkan perasaan pasien
dan berbahaya untuk diberikan pada operasi besar, dan sering
digunakan untuk kuret.
3) Anestesi rectum
Anestesi dengan pemberian avertin (cairan alkohol) yang dimasukkan
ke dalam rectum. Dalam waktu 5 menit, pasien tidak sadar, namun
refleks masih ada. Oleh karena itu hanya dipakai sebagai induksi
pembiusan yang disambung dengan anestesi blok saraf.
4) Anestesi intravena
Penyuntikan sodium pentotal (tiopental) ke vena, dalam waktu 30 detik
saja, namun efeknya hanya sebentar.
5) Anestesi lokal
Anestesi ini diberikan pada tempat tertentu melalui:
a) Anestesi lumbal (spinal) : menyuntikkan obat melalui fungsi lumbal ke
dalam rongga subaraknoid menimbulkan kelumpuhan otot yang kuat.
14
b) Anestesi peridural : dimasukkan juga melalui fungsi lumbal, namun
hanya sampai rongga peridural saja.
c) Anstesi blok : obat yang langsung disuntikkan di sekitar saraf atau
pangkal saraf.
d) Anestesi infiltrasi : disuntikkan langsung ke ujung saraf di bawah kulit.
e) Anestesi topical : mengoleskan atau menyemprotkan obat ke
permukaan kulit atau selaput lendir.
Obat yang digunakan dalam anestesi lokal:
Prokain (Novokain) : daya mati rasanya cukup tinggi.
Lidokain (Xylokain): bekerja lebih cepat dan daya biusnya lebih
lama dari prokain. Biasa digunakan untuk mencabut gigi.
Kokain : obat anestesi topical yang tidak boleh disuntikkan, karena
bersifat toksik.
Pantokain (Tetrakain): mempunyai sifat toksik yang kuat dari
kokain, dipakai pada anestesi spinal.
Pembedahan dilakukan oleh beberapa tenaga medis. Tenaga medis
yang bertugas di ruang operasi antara lain dokter ahli bedah, dokter
anestesi atau perawat anestesi, perawat scrub, dan perawat sirkulasi.
Operasi apendiktomi segera dilakukan dalam beberapa jam setelah
didiagnosa. Sedangkan pada apendiktomi yang sudah perforasi dengan
tanda peritonitis, maka sebelum dilakukan apendiktomi, pasien harus
diberikan resusitasi cairan yang cukup dan antibiotic spectrum luas. Bila
terjadi muntah berat atau perut kembung dilakukan pengisapan
nasogastrik. Pada operasi apendiktomi, pasien dalam posisi supine dan
diberikan anestesi umum atau regional sesuai indikasi. Berikut prosedur
apendiktomi terbuka dan apendiktomi laparaskopi.
Apendiktomi terbuka (teknik McBurney) dan laparoskopi
apendiktomi dilakukan bila apendisitis akut yang diderita belum
komplikasi (belum terjadi perforasi, namun risiko perforasi) (Norton,
2008).
Indikasi :
Apendiktomi Terbuka
15
a) Apendisitis akut
b) Periapendikuler infiltrate
c) Apendisitis perforasi
Prosedur apendiktomi terbuka
a) Pasien berbaring terlentang dalam anestesi umum atau regional.
Kemudian lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut
kanan bawah.
b) Menentukan daerah McBurney yaitu kuadran kanan bawah
peritoneum.
c) Insisi daerah McBurney dengan posisi miring / insisi lapisan perut
pertama sepanjang 10 cm. Saat ingin diinsisi, otot peritoneum di
retraksi dengan retraksi Richardson atau Parker untuk membuka
peritonium.
d) Buat sayatan melalui aponeurosis dari m. oblikus eksternal yang sudah
di insisi sebelumnya (insisi kembali lapisan perut berikutnya).
e) Setelah itu, buat sayatan melalui aponeurosis dari m.oblikus interna.
f) Pembukaan serat-serat otot abdominis transversal.
g) Lalu, masuk ke dalam perut melalui pareitonium parietal. Eksplorasi
peritoneum dengan sayatan yang cukup lebar. Peritoneum digenggam
dengan forsep jaringan atau forsep Allis, dan sayatan kecil dibuat
dengan pisau bedah menggunakan pisau 15.
h) Sekum dan apendiks diluksasi keluar.
i) Appendix agak diregangkan untuk melihat mesoappendix.
j) Potong daerah arteri mesoapendiks secara biasa, dari arah puncak ke
basis.
k) Terjadi perdarahan, darah dibersihkan.
l) Siapkan jahitan tabac sac yang mengelilingi basis apendiks dengan
benang, kemudian dijahit dengan catgut.
m) Lakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut.
n) Daerah pemotongan diberi alkohol atau larutan betadine untuk
mengurangi flora bakteri.
16
o) Jahitan tabac sac disimpulkan dan daerah bekas apendiks dimasukkan
dalam simpul tersebut. Mesoapendiks dijahit dengan benang.
p) Lakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat di
dalamnya, bersihkan bekas darah.
q) Sekum dikembalikan ke abdomen
r) Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan 4 klem dan didekatkan
untuk memudahkan penutupan. Peritoneum dijahit jelujur dengan
chromic catgut dan otot-otot-otot dikembalikan.
Apendiktomi Laparascopi
Indikasi :
a) Apendisitis akut
b) Apendisitis kronik
Kontraindikasi :
a) Wanita dengan kehamilan trimester kedua dan ketiga
b) Penyulit radang pelvis dan endometriosis
Teknik ini berguna dalam melakukan tindakan operasi apendiktomi
namun dengan diagnose yang belum pasti. Teknik ini sangat bagus
diberikan pada wanita muda di usia subur. Pada apendiktomi laparoscopi ,
dilakukan 3 bukaan kecil untuk memasukkan kamera miniature dan
peralatan bedah yang dibuat melintang pada bagian bawah perut.
Keutungan antara Apendikromi Laparaskopi dan Apendiktomi Terbuka
Apendiktomi Laparascopi Apendiktomi Terbuka
Infeksi luka rendah Biaya operasi lebih murah
Harga perawatan di rumah sakit
rendah
Harga perawatan di rumah sakit
rendah
pemulihan lebih cepat Pada kasus apendiktomi akut yang
perforasi, kemungkinan risiko abses
pada intrabdominal
Hasil pembedahan (jahitan) bagus Waktu di ruang operasi lebih pendek.
Nyeri berkurang
17
BAB III
PEMBAHASAN
A. Asuhan Keperawatan Klien dengan Appendisitis
1. Pengkajian
a. Pengkajian Pre-Operatif
1) Anamnesa
Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang
penting adalah: Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang
beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah
oleh karena nyeri viseral. Panas (karena kuman yang menetap di
dinding usus).
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.
Hal-hal yang perlu dikaji pada anamnesa antara lain:
a) Identitas klien: Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat,
dan nomor register.
b) Identitas penanggung
c) Riwayat kesehatan sekarang.
Keluhan utama : Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar
epigastrium menjalar ke perut kanan bawah.
Timbul keluhan : Nyeri perut kanan bawah mungkin
beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di
epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.
Sifat keluhan : Nyeri dirasakan terus-menerus, dapat
hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama.
18
Keluhan yang menyertai : Biasanya klien mengeluh rasa
mual dan muntah, panas.
d) Riwayat kesehatan masa lalu : Biasanya berhubungan dengan
masalah kesehatan klien sekarang.
e) Nyeri/kenyamanan
i. Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney,
meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas
dalam.
ii. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi
kaki kanan/posisi duduk tegak.
f) Keamanan : Demam, biasanya rendah.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : Klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
b) Berat badan : Sebagai indicator untuk menentukan pemberian
obat.
c) Sirkulasi : Klien mungkin takikardia.
d) Respirasi : Takipnue, pernapasan dangkal.
e) Aktivitas/istirahat : Malaise.
f) Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
g) Distensi abdomen : nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan
atau tidak ada bising usus.
Pemeriksaan fisik berdasarkan inspeksi dan palpasi:
a) Inspeksi
Pada appendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada inspeksi biasa ditemukan distensi perut.
19
b) Palpasi
Kecurigaan menderita appendicitis akan timbul pada saat dokter
melakukan palpasi perut dan kebahagian paha kanan. Pada daerah
perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign). Nyeri
perut kanan bawah merupakan kunci dari diagnosis appendicitis
akut. Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh
perut, tetapi paling terasa nyeri pada daerah titik Mc. Burney. Jika
sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan
sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc.
Burney.
Status lokalisasi:
i. Mc.Burney :
Nyeri tekan
Nyeri lepas : rangsang peritoneum
Nyeri ketok
ii. Defens muskuler : m.rektus abdominis
iii. Rovsing Sign : pada penekanan perut bagian kontra Mc
Burney (kiri) terasa nyeri di Mc Burney karena tekanan
tersebut merangsang peristaltik usus dan juga udara
dalam usus, sehingga bergerak dan menggerakan
peritoneum sekitar appendiks yang sedang meradang
sehingga terasa nyeri.
iv. Psoas sign : m psoas ditekan maka akan terasa sakit di
titik Mc Burney (pada appendiks retrocaecal) karena
merangsang peritoneum sekitar appendicitis yang juga
meradang.
v. Obturator sign : fleksi dan endorotasi articulatio costa
pada posisi supine, bila nyeri berarti kontak dengan m
obturator internus, artinya appendiks di pelvis.
20
vi. Peritonitis umum (perforasi) :
Nyeri di seluruh abdomen
Pekak hati hilan
Bising usus hilang
vii. Rectal touche : nyeri tekan pada jam 9 – 12
3) Pemeriksaan Laboratorium
a) Leukosit : 10.000 - 18.000 / mm3 (Leukosit meningkat sebagai
respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap
mikroorganisme yang menyerang).
b) Netrofil meningkat 75 %
c) WBC yang meningkat sampai 20.000 mungkin indikasi
terjadinya perforasi (jumlah sel darah merah). Hb (hemoglobin)
nampak normal.
d) Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang
lebih tinggi lagi.
e) Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis
infiltrat.
f) Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.
4) Pemeriksaan Diagnostik
a) Radiologi : Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan
diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi
kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya
sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan.
Kadang ada fecolit (sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan
adanya udara bebas dalam diafragma.
b) Barium enema : apendiks terisi barium hanya sebagian
21
5) Pemeriksaan Penunjang
Kadang-kadang dilakukan pemeriksaan colok dubur (Test rektal)
untuk menentukan letak appendiks bila letaknya sulit diketahui. Jika
saat dilakukan colok dubur teraba benjolan kemudian penderita
merasa nyeri maka kemungkinan appendiks penderita terletak
didaerah prolitotomi.
6) Persiapan Operasi
a) Puasa (mulai dari jam 1 malam)
b) Lavemen
c) Cukur
d) Pemeriksaan EKG
e) Pemeriksaan laboratorium
f) Baju operasi
g) Foto torak
h) Persediaan darah (1 kolf)
i) Inform concent
b. Pengkajian Intra-Operatif ( Persiapan saat di ruang penerimaan)
j) Mengecek kelengkapan syarat-syarat operasi
k) Mengecek kembali status klien untuk mencocokkan kembali
nama pasien, diagnosa medis, tindakan operasi yang akan
dilakukan dengan jadwal operasi.
l) Memesan alat habis pakai yang akan dipakai utuk operasi.
m) Memindahkan pasien dan mengantar dari ruang penerimaan ke
kamar operasi
n) Melakukan pemeriksaan TTV
o) Mengeksplorasi perasaan klien saat akan menjalani operasi
22
c. Pengkajian Post-Operatif
1) Operasi selesai pada pukul 12.00 dan klien dipindahkan ke RR
dengan menggunakan brankar dengan posisi aman.
2) TTV :
a) TD : 120/80 mmHg
b) RR : 22 x/mnt
c) Nadi : 82 x/mnt
d) S : 36,8 C
3) Pernafasan
a) Kemampuan untuk bernafas dengan dalam dan batuk.
b) Upaya bernafas terbatas (dispneu atau membebat).
c) Tidak ada upaya spontan
4) Sirkulasi
a) 80 % dari tingkat pra anastetik (baik)
b) 50 % - 80 % dari tingkat pra anastetik
c) < 50 % dari tingkat pra anastetik
5) Tingkat kesadaran
a) Respon secara verbal terhadap pertanyaan / terorientasi
terhadap waktu
b) Terbangun ketika dipanggil namanya
c) Tidak memberi respon terhadap perntah
6) Warna
a) Warna dan penampilan kulit normal
b) Warna kulit berubah : pucat, agak kehitaman, keputihan,
ikterik
c) Sianosis
23
7) Aktivitas
Bergerak secara spontan atau atas perintah :
a) Kemampuan untuk menggerakan semua ekstremitas
b) Kemampuan untuk menggerakan 2 ekstremitas
c) Tidak mampu untuk mengontrol setiap ekstremitas
2. Diagnosa, Intervensi, dan Evaluasi
a. Diagnosa, Intervensi, dan Evaluasi Pre-Operatif
Dx 1 : Risiko infeksi berhubungan dengan perforasi apendiks.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan
infeksi teratasi.
DS : Nyeri, demam, menggigil.
DO : Suhu tubuh naik, berkeringat, perubahan mental.
Kriteria evaluasi: Bebas dari tanda-tanda infeksi dan peradangan,
drainase purulen, eritema, dan demam.
Intervensi Rasional
Melakukan praktik dan perawatan
luka yang baik dengan mencuci
tangan. Menyediakan perawatan
perineum.
Mengurangi risiko infeksi bakteri
Memonitor tanda-tanda vital. Catat
timbulnya demam, menggigil,
diaforesis, dan peningkatan nyeri
perut.
Melihat tanda-tanda adanya
infeksi
Mendapatkan spesimen drainase,
jika ada indikasi.
Pengujian sensitivitas dan
pemeriksaan stain gram berguna
dalam mengidentifikasi organisme
24
penyebab dan pilihan terapi.
Memberikan antibiotik jika
diperlukan
Antibiotik diberikan sebelum
apendiktomi terutama untuk
profilaksis infeksi luka dan
biasanya tidak dilanjutkan pasca
operasi. Terapi antibiotik yang
diberikan jika apendiks ruptur
atau abses.
Dx 2 : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan
dengan vomiting preoperatif.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan
volume cairan adekuat.
DS : Haus, tidak nafsu makan, mual.
DO : Perubahan status mental, penurunan turgor kulit dan lidah,
penurunan haluaran urin, penurunan pengisisan vena, kulit
dan membran mukosa kering.
Kriteria evaluasi: Tanda vital normal, turgor kulit normal, membran mukosa
lembab, produksi urin output seimbang, muntah berhenti.
Intervensi Rasional
Memonitor tekanan darah dan
denyut nadi
Variasi volume intravaskular
membantu mengidentifikasi
fluktuasi atau perubahan tanda-
tanda vital terkait dengan respon
imun terhadap Inflamasi
Periksa membran mukosa, kaji
turgor kulit
Indikator kecukupan sirkulasi
perifer dan hidrasi selular.
25
Monitor intake dan output cairan Penurunan output urin
terkonsentrasi dengan spesifik
menunjukkan dehidrasi dan
kebutuhan cairan meningkat.
Auskultasi bunyi bowel lihat
adakah flatus atau pergerakan
usus.
Indikator kembalinya peristaltik
dan kesiapan untuk memulai lisan
asupan. Catatan: Ini tidak mungkin
terjadi di rumah sakit jika klien
memiliki memiliki prosedur
laparoskopi dan telah habis dalam
waktu kurang dari 24 jam
Berikan cairan intravena dan
elektrolit
Peritoneum bereaksi terhadap
iritasi dan infeksi dengan
memproduksi dalam jumlah besar
cairan usus, menarik cairan dari
vaskular ruang dan mungkin
mengurangi sirkulasi darah
volume, sehingga elektrolit
dehidrasi dan relatif tidak seimbang
Dx 3 : Nyeri akut berhubungan dengan distensi jaringan
intestinal oleh inflamasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan nyeri
dapat terkontrol.
DS : Klien mengungkapkan seara verbal atau non verbal
DO : Posisi menghindari nyeri, perubahan selera makan,
perilaku distraksi, menarik diri, pucat, rentang perhatian
terbatas.
Kriteria evaluasi : Nyeri dapat diendalikan dan klien tampak santai dan
26
dapat beristirahat.
Intervensi Rasional
Menilai nyeri, lokasi, karakteristik,
dan tingkat keparahan (skala 0
sampai 10). Menyelidiki dan
melaporkan perubahan nyeri,
seperti yang sesuai.
Berguna dalam memantau
efektivitas pengobatan dan
perkembangan penyembuhan.
Perubahan karakteristik nyeri dapat
menunjukkan pengembangan
abses.
Baringkan dalam posisi semi-
Fowler.
Gravitasi melokalisasi eksudat
inflamasi dalam abdomen bawah
atau pelvis, menghilangkan
tegangan abdomen yang bertambah
dengan posisi telentang.
Dorong ambulasi dini. Meningkatkan normalisasi fungsi
organ, contoh merangsang
peristaltik dan kelancaran flatus,
menurunkan ketidaknyamanan
abdomen.
Berikan aktivitas hiburan. Fokus perhatian kembali,
meningkatkan relaksasi dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
Berikan analgesik jika
diindikasikan.
Nyeri memfasilitasi kerjasama
dengan terapi intervensi lainnya,
seperti ambulasi dan pulmonary
toilet.
Dx 4 : Defisit pengetahuan berhubungan dengan
misinterpretasi informasi
27
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien
mendapatkan pengetahuan mengenai penyakit dan
perawatannya.
DS : Klien mengungkapkan ketidaktahuannya.
DO : Merasa kebingungan, cemas, dan khawatir.
Kriteria evaluasi : Secara verbal memahami terapi yang sedang diberikan
dan komplikasi yang dapat terjadi.
Intervensi Rasional
Berikan informasi mengenai terapi
dan pengobatan yang akan
dilakukan
Mengetahui tujuan tindakan
Diskusikan mengenai perawatan
luka pasca operasi
Memberikan informasi perawatan
yang dilakukan setelah
apendiktomi dilakukan.
Diskusikan fase pemulihan setelah
operasi
Pemahaman tentang tindakan yang
harus dan tidak boleh dilakukan
dapat meningkatkan proses
penyembuhan.
Libatkan keluarga dalam
pemberian edukasi kepada klien
mengenai tindakan perioperatif
Keluarga akan membantu klien
untuk mengingat informasi yang
diberikan.
Dx 5 : Ansietas berhubungan dengan perubahan status
kesehatan
28
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien tidak
merasakan ansietas
DS : Klien mengatakan masih memikirkan keadaannya, merasa
cemas akan penyakitnya, dan tindakan operasi yang akan
dijalaninya serta tidak nyaman dengan kondisinya.
DO : Tampak gelisah, cemas, dan sedikit berkeringat. Serta
tidak nyaman dengan rasa nyerinya.
Kriteria evaluasi : Ansietas klien dapat teratasi.
Intervensi Rasional
Evaluasi tingkat ansietas, catat
respon verbal dan non verbal
klien. Dorong ekspresi bebas
klien.
Ketakutan dapat terjadi karena
nyeri hebat, peningkatan perasaan
sakit, dan kemungkinan
pembedahan
Berikan informasi tentang proses
penyakit dan informasi tindakan
Mengetahui apa yang diharapkan
dapat mengurangi ketakutan dan
kecemasan.
Menentukan apakah klien
membutuhkan dukungan spiritual
Beberapa klien membutuhkan
dukungan spiritual sebagai
koping
Jadwalkan istirahat yang adekuat Membatasi kelemahan dan
meningkatkan sumber energi.
b. Diagnosa, Intervensi, dan Evaluasi Post-Operatif
Dx 1 : Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan.
29
Definisi: Berisiko terhadap invasi organisme patogen.
Faktor risiko : Prosedur invasif, malnutrisi, pengetahuan yang kurang
untuk menghindari pajanan patogen.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x24 jam,
diharapkan infeksi teratasi.
Hasil : Peningkatkan penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda
infeksi atau inflamasi, drainase purulen, eritema, dan demam.
DS : Nyeri, demam, menggigil.
DO : Suhu tubuh naik, berkeringat, perubahan mental.
Intervensi Rasional
Aktivitas keperawatan:
Awasi tanda vital. Dugaan adanya infeksi atau
terjadinya sepsis, abses, peritonitis.
Lakukan pencucian tangan
yang baik dan perawatan luka
aseptik.
Menurunkan risiko penyebaran
bakteri.
Lihat insisi dan balutan.
Catat karakteristik drainase
luka atau drein (bila
dimasukan), adanya eritema.
Memberikan deteksi dini terjadinya
proses infeksi, dan/atau pengawasan
penyembuhan yang telah ada
sebelumnya.
Berikan informasi yang tepat,
jujur pada klien atau orang
terdekat.
Pengetahuan tentang kemajuan
situasi memberikan dukungan
emosi, membantu menurunkan
ansietas.
Ambil contoh drainase bila
diindikasikan.
Kultur pewarnaan gram dan
sensivitas berguna untuk
mengidentifikasikan organisme
30
penyebab dan pilihan terapi.
Berikan antibiotik sesuai
indikasi.
Mungkin diberikan secara
prifilaktik atau menurunkan jumlah
organisme untuk menurunkan
penyebaran dan pertumbuhannya
pada rongga abdomen.
Bantu irigasi dan drainase
bila diindikasikan.
Dapat diperlukan untuk
mengalirkan isi abses terlokalisir.
Aktivitas kolaboratif:
Berikan terapi antibiotik. Etiologi infeksi berkurang atau
bahkan hilang.
Aktivitas lain:
Lindungi pasien terhadap
kontaminasi silang dengan
tidak menugaskan perawat
yang sama untuk pasien lain
yang mengalami infeksi dan
memisahkan ruang perawatan
pasien dengan pasien yang
terinfeksi.
Menghindari penularan infeksi
kepada pasien lain yang tidak
terpajan sebelumnya.
Bersihkan lingkungan dengan
benar setelah dipergunakan
masing-masing pasien,
pertahankan teknik isolasi,
terapkan kewaspadaan
universal, batasi jumlah
pengunjung.
Mengendalikan pajanan infeksi.
Dx 2 : Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan
31
dengan pembatasan pasca operasi.
Definisi : Kondisi individu yang berisiko mengalami dehidrasi
vaskular, selular atau intraselular.
Faktor risiko : Status hipermetabolik (proses penyembuhan).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x24 jam,
diharapkan kebutuhan cairan terpenuhi.
Hasil : Tanda vital dalam batas normal, turgor kulit normal,
membran mukosa lembab, produksi urin output seimbang,
muntah berhenti.
DS : Tidak nafsu makan, mual, haus.
DO : Perubahan status mental, penurunan turgor kulit dan lidah,
penurunan haluaran urin, penurunan pengisisan vena, kulit
dan membran mukosa kering, peningkatan tanda-tanda
vital, penurunan berat badan yang tiba-tiba, kelemahan
Intervensi Rasional
Aktivitas keperawatan:
Ukur dan catat intake dan output
cairan tubuh serta catat warna
urin.
Penurunan output urine atau
konsentrasi urin pekat
mengidentifikasikan dehidrasi
membutuhkan peningkatan cairan.
Awasi vital sign: Evaluasi nadi,
pengisian kapiler, turgor kulit
dan membran mukosa.
Hipotensi, takikardi, peningkatan
pernafasan, mengidentifikasikan
kekurangan volume cairan.
Catat mual dan muntah. Mual yang terjadi selama 12-24 jam
pasca operasi umumnya karena efek
anastesi.
Observasi membran mukosa, Kulit dingin atau lembab, denyut
32
turgor kulit, suhu kulit dan
palpasi perifer, capillary refill
time.
perifer lemah mengindikasikan
penurunan sirkulasi perifer.
Aktivitas kolaboratif:
Kolaborasi dengan tim dokter
untuk pemberian cairan
parental.
Cairan parenteral dapat membantu
kebutuhan cairan yang dibutuhkan
tubuh.
Dx 3 : Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi pembedahan.
Definisi : Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau
digambarkan dengan istilah seperti awitan yang tiba-tiba atau
perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang
dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari
enam bulan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x24 jam,
diharapkan nyeri berkurang bahkan hilang.
Hasil : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
DS : Mengungkapkan secara verbal atau nonverbal.
DO : Posisi menghindari nyeri, perubahan selera makan, perilaku
distraksi, menarik diri, pucat, rentang perhatian terbatas.
Intervensi Rasional
Aktivitas keperawatan:
Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik,
beratnya (skala 0 – 10). Selidiki dan
laporkan perubahan nyeri dengan
Berguna dalam pengawasan
keefektifan obat, kemajuan
penyembuhan. Perubahan pada
33
tepat. karakteristik nyeri menunjukkan
terjadinya abses atau peritonitis.
Memerlukan upaya evaluasi medik
dan intervensi.
Pertahankan istirahat dengan posisi
semi – fowler.
Gravitasi melokalisasi eksudat
inflamasi dalam abdomen bawah
atau pelvis, menghilangkan
tegangan abdomen yang bertambah
dengan posisi telentang.
Dorong ambulasi dini. Meningkatkan normalisasi fungsi
organ, contoh merangsang
peristaltik dan kelancaran flatus,
menurunkan ketidaknyamanan
abdomen.
Berikan aktivitas hiburan. Fokus perhatian kembali,
meningkatkan relaksasi dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
Pertahankan puasa atau penghisapan
NGT pada awal.
Menurunkan ketidaknyamanan
pada peristaltik usus dini dan iritasi
gaster atau muntah.
Aktivitas kolaboratif:
Kelola nyeri pasca bedah awal dengan
pemberian opiat yang terjadwal
(misalnya setiap 4 jam selama 36 jam)
atau PCA.
Mencegah nyeri lebih lanjut atau
berat.
Gunakan tindakan pengendalian nyeri
sebelum nyeri menjadi lebih berat.
Laporkan kepada dokter jika tindakan
tidak berhasil atau jika keluhan saat
ini merupakan perubahan yang
Memanajemen nyeri yang
dirasakan pasien.
34
bermakna dari pengalaman nyeri
pasien di masa lalu.
Aktivitas lain:
Sesuaikan frekuensi dosis sesuai
indikasi melalui pengkajian nyeri dan
efek samping.
Pemberian analgesik yang tidak
sesuai dosis menyebabkan nyeri
stabil bahkan tidak berkurang
(kurang dosis) atau overdosis dapat
menyebabkan kematian.
Bantu pasien mengidentifikasi
tindakan kenyamanan yang efektif di
masa lalu, seperti distraksi, relaksasi,
atau kompres hangat atau dingin.
Mempermudah menemukan
metode menghilangkan nyeri.
Hadir di dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyaman
dan aktivitas lain untuk membantu
relaksasi.
Pasien mendapatkan rasa nyaman.
Bantu pasien lebih fokus pada
aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa
tidak nyaman dengan melakukan
pengalihan melalui televisi, radio,
tape, dan interaksi dengan
pengunjung.
Distraksi dapat membuat pasien
melupakan rasa nyeri yang
dialaminya.
Gunakan pendekatan yang positif
untuk mengoptimalkan respons pasien
terhadap analgesik.
Dapat menegakkan evaluasi
keefektifan penggunaan analgesik.
Eksplorasi perasaan takut ketagihan. Rasa takut ketagihan menyebabkan
pasien enggan mengonsumsi obat
analgesik sehingga nyeri tidak akan
hilang.
Libatkan pasien dalam modalitas Manajemen nyeri pada pasien.
35
peredaan nyeri, kendalikan faktor
lingkungan yang dapat memengaruhi
respons pasien terhadap
ketidaknyamanan, pastikan pemberian
analgesia terapi atau strategi non
farmakologi sebelum melakukan
prosedur yang menimbulkan nyeri.
Dx 4 : Intoleran aktivitas berhubungan dengan nyeri post operasi.
Definisi : Ketidakmampuan fisiologis atau psikologis untuk melanjutkan
atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang ingin atau harus
dilakukan.
Faktor risiko : Kelemahan sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x24 jam,
Diharapkan dapat menoleransi aktivitas yang dilakukan dengan
Kriteria klien dapat bergerak tanpa pembatasan dan tidak berhati-
hati dalam bergerak.
Hasil : Dapat menoleransi aktivitas, tahan (mampu) terhadap aktivitas
yang dilakukan, dapat mengelola nyeri untuk menyelesaikan
aktivitas, pelaksanaan akivitas fisik yang penuh vitalitas, mampu
melakukan tugas-tugas fisik paling dasar dan aktivitas perawatan
pribadi secara mandiri.
DS : Ketidaknyamanan saat beraktivitas, melaporkan nyeri apabila
melakukan aktivitas.
DO : Posisi menghindari nyeri, menarik diri, rentang perhatian kurang.
Intervensi Rasional
Aktivitas keperawatan:
Catat respon emosi terhadap mobilitas. Immobilisasi yang dipaksakan akan
36
memperbesar kegelisahan.
Berikan aktivitas sesuai dengan
keadaan klien.
Meningkatkan kormolitas organ
sesuiai dengan yang diharapkan.
Berikan klien untuk latihan gerakan
gerak pasif dan aktif.
Memperbaiki mekanika tubuh.
Bantu klien dalam melakukan aktivitas
yang memberatkan.
Menghindari hal yang dapat
memperparah keadaan.
Aktivitas kolaborasi:
Berikan pengobatan nyeri sebelum
aktivitas, apabila nyeri merupakan salah
satu penyebab.
Menstimulasi pasien melakukan
aktivitas tanpa ragu.
Dengan ahli terapi okupasi, fisik atau
rekreasi untuk merencanakan dan
memantau program aktivitas.
Melatih ketahanan tubuh untuk
melakukan aktivitas.
Rujuk pasien ke ahli gizi untuk
perencanaan diet.
Meningkatkan asupan makanan
yang kaya energi.
Aktivitas lain:
Hindari menjadwalkan pelaksanaan
aktivitas perawatan selama periode
istirahat.
Menyimpan energi pasien agar saat
melakukan aktivitas ketahanan
tubuh pasien dapat lebih lama.
Bantu pasien mengubah posisi secara
berkala.
Menghindari atrofi atau luka
dekubitus.
Pantau TTV sebelum, selama, dan
setelah aktivitas.
Apabila tidak normal berarti pasien
tidak bisa menoleransi aktivitas
yang dijalaninya.
Bantu pasien mengidentifikasi plihan
aktivitas, aktivitas pada periode saat
pasien memiliki energi paling banyak,
bantu dengan aktivitas teratur, batasi
Memanajemen energi tubuh.
37
rangsangan lingkungan, bantu
melakukan pemantauan mandiri dengan
membuat dan menggunakan
dokumentasi tertulis yang mencatat
asupan kalori dan energi.
Dx 5 : Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan post
operatif.
Definisi : Ketidakmampuan pola melakukan aktivitas untuk diri sendiri
yang membantu mencapai tujuan terkait kesehatan dan dapat
ditingkatkan.
Faktor risiko : Nyeri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x24 jam, klien
dapat melakukan perawatan diri secara mandiri.
Hasil : Mampu melakukan tugas fisik paling dasar dan aktivitas
perawatan pribadi secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu.
DS : Melaporkan ketidakmampuan untuk mandi, makan, berhias diri
secara mandiri.
DO : Tidak mampu duduk atau berdiri, tidak mampu meletakkan
makanan ke piring, tidak mampu mengingesti makanan secara
aman, tidak mampu mengambil makanan dan peralatannya.
Intervensi Rasional
Aktivitas mandiri:
Mandikan pasien setiap hari sampai
klien mampu melaksanakan sendiri
serta cuci rambut dan potong kuku
klien.
Agar badan menjadi segar,
melancarkan peredaran darah dan
meningkatkan kesehatan.
38
Ganti pakaian yang kotor dengan yang
bersih.
Melindungi klien dari kuman dan
meningkatkan rasa nyaman.
Berikan HE pada klien dan keluarganya
tentang pentingnya kebersihan diri.
Klien dan keluarga dapat termotivasi
untuk menjaga personal higiene.
Berikan pujian pada klien tentang
kebersihannya.
Klien merasa tersanjung dan lebih
kooperatif dalam kebersihan.
Bimbing keluarga klien memandikan. Keterampilan dapat diterapkan.
Bersihkan dan atur posisi serta tempat
tidur klien.
Klien merasa nyaman dengan tenun
yang bersih serta mencegah
terjadinya infeksi.
Aktivitas kolaboratif:
Tawarkan pengobatan nyeri sebelum
mandi.
Mengurangi rasa khawatir klien
timbulnya rasa nyeri saat mandi.
Menggunakan ahli terapi okupasi dan
fisiologi sebagai sumber dalam
merencanakan tindakan perawatan
pasien.
Agar tepat tindakan yang diberikan
untuk klien.
Aktivitas lain:
Dukung kemandirian dalam melakukan
mandi dan higiene oral, berpakaian dan
berhias serta makan.
Melatih kemandirian dan
mengurangi tingkat ketergantungan
klien dan meningkatkan harga
dirinya.
Tawarkan mencuci tangan setelah
eliminasi dan sebelum makan.
Mengurangi terpajannya infeksi.
Bantu pasien memilih pakaian yang
mudah dipakai dan dilepas.
Memudahkan klien dalam
melakukan perawatan diri sehingga
kemandirian dapat tercapai.
Berikan keamanan dengan
memperthanankan lingkungan yang
Menghindari klien terjatuh atau hal
lain yang dapat membahayakan
39
teratur dan pencahayaan yang baik. keselamatan klien.
Singkirkan benda yang menghambat
akses ke toilet.
Memudahkan klien menuju toilet
tanpa alat bantu atau hanya sedikit
bantuan.
Dx 6 : Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan insisi
pembedahan.
Definisi : Kerusakan pada membran mukosa, jaringan, integumen, atau
subkutan.
Tujuan : Dalam waktu ..x24 jam luka mengering dan dalam waktu ...x24
jam luka sembuh dan pasien dapat pulang.
Hasil : Struktur dan fungsi fisiologis normal kulit dan membran mukosa
utuh, terjadinya penyembuhan luka primer, luka kering dan tidak
mengeluarkan nanah atau darah, luka jahitan bersih, dan tidak ada
tanda-tanda infeksi.
DS : Nyeri.
DO : Kerusakan atau kehancuran jaringan.
Intervensi Rasional
Aktivitas keperawatan:
Kaji luka, awasi adanya odema, pada
insisi.
Deteksi dini tanda infeksi pada
pasien.
Jangan melakukan observasi TTV pada
sisi yang sakit.
Agar pasien tidak kesakitan.
Lakukan perawatan luka dengan teknik
steril.
Mengurangi risiko infeksi pada
luka.
Kaji daerah sekitar luka, apakah ada Deteksi awal jika terjadi gangguan
40
pus, atau jahitan basah. dalam proses penyembuhan.
Jaga luka jahitan tetap kering dan
bersih.
Mengurangi risiko infeksi.
Perhatikan intake nutrisi klien. Penting untuk mempercepat
penyembuhan luka.
Aktivitas kolaboratif:
Berikan es pada daerah luka jika
dibutuhkan.
Mengurangi nyeri yang dirasakan.
Gunakan korset pada abdominal jika
dibutuhkan.
Melindungi luka dari perlukaan
mekanis dan kontaminasi.
Beri antibiotik sesuai indikasi. Mengurangi infeksi luka.
Dx 7 : Risiko perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan intake (pembatasan pasca
operasi).
Definisi : Asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
metabolik.
Faktor risiko : Peningkatan kebutuhan nutrisi sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan : Dalam waktu ..x24 jam kebutuhan nutrisi terpenuhi secara
adekuat.
Hasil : Klien menunjukkan kebutuhan nutrisi yang adekuat, seimbang
antara intake dan output.
DS : Kram abdomen, nyeri abdomen, persepsi ketidakmampuan
mencerna makanan, melaporkan perubahan sensasi rasa,
melaporkan kurangnya makanan.
DO : Kekurangan makanan, bising usus hiperaktif, membran mukosa
41
pucat.
Intervensi Rasional
Aktivitas keperawatan:
Jelaskan pentingnya masukan nutrisi
harian yang optimal.
Penyembuhan luka memerlukan
masukan cukup protein, karbohidrat,
vitamin dan mineral untuk
pembentukan fibroblas dan jaringan
granulasi serta pembentukan kolagen.
Pantau status hipermetabolisme
(hiperglikemia, keseimbangan nitrogen
negatif, penurunan berat badan,
peningkatan frekuensi pernapasan).
Hipermetabolisme diperkirakan tiga
sampai empat kali pada hari pertama
pasca operasi.
Ambil tindakan untuk menurunkan
nyeri.
Nyeri menyebabkan keletihan dan
mual yang dapat menurunkan nafsu
makan.
Evaluasi kemungkinan mual dan
muntah.
Pengertian klien tentang sumber dan
kenormalan mual dan muntah
mengurangi ansietas yang dapat
membantu mengurangi gejala.
Lakukan tindakan untuk mengurangi
mual dan muntah.
Memberikan perbaikan masukan oral
saat tidak mual dan muntah.
Pertahankan higiene oral yang baik. Mulut yang bersih dan segar dapat
merangsang nafsu makan dan
mengurangi mual.
Aktivitas kolaboratif:
Berikan agen anti mimetik sebelum
makan bila diindikasikan.
Mengurangi mual dan muntah.
Diskusikan dengan ahli gizi dalam
menentukan kebutuhan protein pasien
Penyembuhan luka memerlukan
masukan cukup protein, karbohidrat,
42
yang mengalami ketidakadekuatan
asupan protein atau kehilangan protein.
vitamin dan mineral untuk
pembentukan fibroblas dan jaringan
granulasi serta pembentukan kolagen.
Diskusikan dengan dokter kebutuhan
stimulasi nafsu makan, makanan
pelengkap, pemberian makanan melalui
slang, atau nutrisi parenteral total.
Agar asupan kalori yang adekuat dapat
dipertahankan.
Dx 8 : Konstipasi berhubungan dengan efek pembedahan,
perubahan diet, imobilisasi.
Definisi : Penurunan frekuensi normal defekasi disertai pengeluaran feses
yang sulit atau tidak tuntas atau pengeluaran feses yang sangat
keras dan kering karena penurunan motilitas usus.
Tujuan : Dalam waktu ..x24 jam eliminasi fekal dapat dilakukan secara
adekuat.
Hasil : Pola defekasi normal, kecukupan air dalam kompartemen intrasel
dan ekstrasel tubuh.
DS : Nyeri abdomen, nyeri tekan abdomen dengan atau tanpa resistansi
otot yang dapat dipalpasi, anoreksia, perasaan penuh pada rektum,
sakit kepala, kelelahan umum, perasaan penuh atau tekanan pada
rektum.
DO : Perubahan pola defekasi, penurunan volume feses, feses kering,
keras, dan padat, bising usus hipoaktif atau hiperaktif, massa
abdomen dapat dipalpasi, massa rektal dapat dipalpasi, bunyi
pekak pada perkusi abdomen, flatus berat.
Intervensi Rasional
43
Aktivitas keperawatan:
Kaji bising usus untuk menentukan
kapan memberikan cairan.
Adanya bising usus menunjukkan
kembalinya peristaltik.
Jelaskan efek aktivitas harian pada
eliminasi dan bantu ambulasi sesuai
kebutuhan.
Aktivitas mempengaruhi eliminasi
usus dengan memperbaiki tonus otot
abdomen dan merangsang nafsu
makan serta peristaltik.
Tingkatkan faktor –faktor yang
membantu eliminasi yang optimal (diet
seimbang, masukan cairan yang
adekuat, stimulasi lingkungan rumah).
Diet seimbang tinggi serat merangsang
peristaltik. Masukan cairan yang
adekuat diperlukan untuk
mempertahankan pola defekasi dan
meningkatkan konsistensi feses.
Aktivitas kolaboratif:
Beri tahu dokter bila bising usus tidak
terdengar dalam dalam enam sampai
sepuluh jam pasca operasi atau bila
tidak terjadi elminasi dalam dua sampai
tiga hari pasca operasi.
Tidak adanya bising usus dapat
menandakan paralitik ileus, tidak
adanya defekasi dapat menandakan
obstruksi.
Konsultasi dengan ahli gizi untuk
meningkatkan serat dan cairan dalam
diet.
Serat dan cairan akan melunakkan
massa feses sehingga mudah untuk
dieliminasikan.
Minta program pada dokter untuk
memberikan bantuan eliminasi (diet
serat tinggi, pelunak feses, enema, dan
laksatif).
Mempermudah melakukan defekasi.
Aktivitas lain:
Anjurkan pasien meminta obat nyeri
sebelum defeksi.
Memfasilitasi pengeluaran feses tanpa
nyeri.
Berikan privasi dan keamanan untuk Rasa nyaman dapat mempermudah
44
pasien selama defekasi. defekasi.
Dx 9 : Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar
informasi.
Definisi : Tidak ada atau kurang informasi kognitif.
Tujuan : Dalam ...x24 jam menunjukkan pemahaman atas segala informasi
yang diberikan.
Hasil : Menyatakan pemahaman proses penyakit dan perawatan yang
dianjurkan serta berpartisipasi dalam program pengobatan.
DS : Mengungkapkan masalah secara verbal.
DO : Tidak mengikuti instruksi yang diberikan secara akurat, performa
uji tidak akurat, perilaku tidak sesuai.
Intervensi Rasional
Aktivitas keperawatan:
Kaji ulang pembatasan aktivitas
pasca operasi.
Memberikan informasi untuk
intervensi yang sesuai.
Diskusikan fase pemulihan setelah
operasi (hal yang harus dan tidak
boleh dilakukan setelah operasi,
mengenai mobilitas dini, olahraga,
mengangkat beban berat,
penggunaan pakaian diskusikan cara
perawatan insisi).
Pemahaman tentang tindakan yang
harus dan tidak boleh dilakukan
dapat meningkatkan proses
penyembuhan.
Diskusikan cara perawatan insisi. Pemahaman meningkatkan
kerjasama dengan program terapi,
meningkatkan penyembuhan dan
proses perbaikan.
45
Diskusikan gejala yang memerlukan
evaluasi medik, contoh: peningkatan
nyeri, edema luka, kemerahan dan
demam).
Upaya intervensi menurunkan risiko
komplikasi serius, contoh lambatnya
penyembuhan.
Aktivitas kolaboratif:
Buat rencana pengajaran
multidisipliner yang terkoordinasi.
Meningkatkan pemahaman pasien
dari sudut pandang manapun.
Rencanakan penyesuaian dalam
terapi bersama pasien dan dokter.
Memfasilitasi kemampuan pasien
mengikuti program terapi.
Aktivitas lain:
Berinteraksi demgan pasien dengan
cara tidak menghakimi untuk
memfasilitasi pembelajaran.
Bila pasien merasa dihargai dan
merasa disamakan derajatnya akan
mengikuti instruksi perawat.
Evaluasi
Dx 1 : Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi
pembedahan.
1. Faktor risiko infeksi hilang dibuktikan oleh pengendalian risiko
komunitas: status imun, keparahan infeksi: penyembuhan luka: primer
dan sekunder.
2. Pasien memperlihatkan pengendalian risiko yang dibuktikan oleh
mengikuti strategi pengendalian pemajanan dan menggunakan metode
pengendalian penularan infeksi.
Dx 2 : Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan
dengan pembatasan pasca operasi.
46
Kekurangan volume cairan akan dicegah dibuktikan oleh keseimbangan
cairan, keseimbangan elektrolit dan asam basa, hidrasi, dan status nutrisi:
asupan makanan dan cairan.
Dx 3 : Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi pembedahan.
1. Memperlihatkan pengendalian nyeri dibuktikan oleh indikator mengenali
awitan nyeri, menggunakan tindakan pencegahan, dan melaporkan nyeri
dapat dikendalikan.
2. Menunjukkan tingkat nyeri dibuktikan oleh indikator ekspresi nyeri pada
wajah, gelisah atau ketegangan otot, durasi episode nyeri, merintih, dan
menangis.
Dx 4 : Intoleran aktivitas berhubungan dengan nyeri post operasi.
1. Menoleransi aktivitas yang bisa dilakukan dibuktikan oleh toleransi
aktivitas: ketahanan, penghematan energi, kebugaran fisik, energi
psikomotorik, dan perawatan diri: aktivitas kehidupan sehart-hari.
2. Menunjukkan toleransi aktivitas dibuktikan oleh indikator saturasi oksigen
saat beraktivitas, frekuensi pernapasan saat beraktivitas, kemampuan untuk
berbicara saat beraktivitas fisik.
3. Mendemonstrasikan penghematan energi dibuktikan oleh indikator
menyadari keterbatasan energi, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat,
dan mengatur jadwal aktivitas untuk menghemat energi.
Dx 5 : Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan post
operatif.
1. Menunjukkan perawatan diri: aktivitas kehidupan sehari-hari dibuktikan
oleh indikator mandi, higiene, higiene oral, berpakaian, berhias, makan,
dan eliminasi tidak ada gangguan.
2. Mempertahankan mobilitas yang diperlukan untuk ke toilet dan
menyediakan perlengkapan mandi.
3. Menggunakan deodoran.
47
4. Mengungkapkan kepuasan dalam mandi sendiri, berpakaian dan berhias,
makan, dan eliminasi.
5. Mengenakan pakaian dan rambut secara rapi.
6. Menunujukkan asupan makanan dan cairanh yang adekuat.
7. Mengenali dan berespons terhadap urgensi untuk berkemih dan/atau
defekasi.
8. Mampu duduk dan turun kloset.
9. Membersihkan diri setelah eliminasi.
Dx 6 : Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan insisi
pembedahan.
1. Pasien dapat mendemonstrasikan aktivitas perawatan luka yang efektif.
2. Memiliki nadi kuat dan simetris.
3. Memiliki warna kulit normal.
4. Memiliki suhu tubuh normal.
5. Tidak mengalami nyeri pada luka.
Dx 7 : Risiko perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan intake (pembatasan pasca
operasi).
1. Memperlihatkan status gizi: asupan makanan dan cairan dibuktikan oleh
indikator adekuatnya pemberian makanan lewat slang, atau nutrisi
parenteral total atau asupan cairan IV.
2. Pasien mempertahankan berat badan ____ kg atau bertambah ___ kg pada
_____ (tanggal).
3. Pasien dapat menjelaskan komponen diet bergizi sehat.
4. Menoleransi diet yang dianjurkan.
48
5. Memiliki nilai laboratorium (misalnya transferin, albumin, dan elektrolit)
dalam batas normal.
6. Melaporkan tingkat energi yang adekuat.
Dx 8 : Konstipasi berhubungan dengan efek pembedahan,
perubahan diet, imobilisasi.
1. Konstipasi menurun dibuktikan oleh pola eliminasi tidak terganggu, feses
lunak dan berbentuk, tidak ada nyeri saat defekasi, dan mengeluarkan
feses tanpa bantuan.
2. Pasien akan menunjukkan pengetahuan program defekasi yang dibutuhkan
untuk mengatasi efek samping obat.
3. Melaporkan keluarnya feses disertai berkurangnya nyeri dan mengejan.
4. Memperlihatkan hidrasi yang adekuat (turgor kulit baik, asupan cairan
kira-kira sama dengan haluaran).
Dx 9 : Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar
informasi.
1. Memperlihatkan pengetahuantentang proses penyakit dan penyembuhan
yang dialaminya.
2. Mengidentifikasi kebutuhan terhadap informasi tambhan tentang program
terapi.
B. Pembahasan Kasus Berkaitan dengan Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada kasus apendiktomi mengarah pada
penanganan apendiks agar tidak terjadi komplikasi yang lebih buruk, seperti
perforasi. Bila melihat dari kasus, seorang laki-laki berumur 22 tahun yang
49
memiliki gejala nyeri perut dari pertengahan perut lalu 6 jam kemudian
berpindah di kuadran kanan bawah , dengan anoreksia, mual, demam 38 C
yang disertai leukositosis 12.000 mikroliter dan neutrofil 85%, maka dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami apendisitis akut yang telah terjadi
peradangan.
Diagnosa yang sudah ditegakkan dengan melakukan berbagai
pemeriksaan baik anamnesa, fisik, maupun laboratorium dan diagnostik,
maka perlu dilakukan tindakan apendiktomi segera, mengingat apendisitis
akut yang menyerang dapat mengakibatkan perforasi yang berujung pada
peritonitis (peradangan pertonium). Jika melihat dari kasus, maka perlu
dilakukan operasi apendiktomi terbuka, karena dengan operasi ini, visualisasi
yang terjadi pada daerah tersebut dapat terbukti, apakah sudah terjadi
peritonitis yang sudah perforasi atau risiko perforasi. Selain itu, bila klien
belum mengalami perforasi, maka sebelum tindakan operasi klien diberikan
antibiotik IV dengan dosis tunggal. Namun, bila sudah terjadi perforasi, maka
klien harus diberikan antibiotik kombinasi yang adekuat.
50
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Apendisitis merupakan kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai
apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.
Banyak penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya peradangan pada
umbai apendiks seperti infeksi bakteri, fekalit, parasit, dan konstipasi.
Apabila hal tersebut dibiarkan akan menyebabkan ulserasi dan parahnya lagi
mengakibatkan perforasi. Apendisitis diawali oleh beberapa gejala seperti
nyeri pada umbilikus, mual, muntah, nafsu makan menurun, dan demam
ringan. Apendisitis harus ditangani dengan intervensi keperawatan dan
penatalaksanaan medis yang sesuai dengan klasifikasi apendisitis yang
dialami pasien. Penatalaksanaan medis yang diberikan berupa farmakoterapi
dan non farmakoterapi seperti pembedahan. Apabila pembedahan
diindikasikan, maka perawat harus memberikan asuhan keperawatan
perioperatif pada pasien.
51
DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. (2005). Medical Surgical Nursing: Clinical Management for
Positive Outcomes. St. Louis: Elsevier Saunders
Boedihartono. (1994). Proses Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta: EGC.
Brooker, Christine. (2001). Kamus Saku Keperawatan. Jakarta : EGC.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan gastrointestinal: aplikasi asuhan
keperawatan medical bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Nasrul Effendi. (1995). Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta: EGC.
Norton, Jeffrey. A., Barie, Philip S., etc. (2008). Surgery Basic Science and
Clinical Evidence. Secon edition. New York: Springer.
Oswari. E., (2000). Bedah & perawatannya. Jakarta: Gaya Baru.
Price, S. A. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC.
Schrock, Theodore R. (1991). Ilmu bedah Terjemahan edisi 7. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W. D. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah : Brunner Suddarth, Vol. 1. Jakarta: EGC.
Wibowo, Soetamto, dkk. (2001). Pedoman Teknik Operasi OPTEK. Surabaya:
Airlangga University Press.
52