Nama : Muh. Syarifuddin Afandi
Kelas : B / KP / VII
NIM : 04.11.2852
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS ACUTE DIGESTIF BLEEDING
A. LATAR BELAKANG
Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapai.
Manifestasinya bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang mengancam jiwa
hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan.Pendekatan pada pasien dengan
perdarahan dan lokasi perdarahan saluran cerna adalah dengan menentukan beratnya
perdarahan dan lokasi perdarahan. Hematemesis (muntah darah segar atau hitam)
menunjukkan perdarahan dari saluran cerna bagian atas, proksimal dari ligamentum
Treitz. Melena (tinja hitam, bau khas) biasanya akibat perdarahan saluran cerna
bagian atas, meskipun demikian perdarahan dari usus halus atau kolon bagian kanan,
juga dapat menimbulkan melena.
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu
penyakit yang sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit. Sebagian besar
pasien datang dalam keadaan stabil dan sebagian lainnya datang dalam keadaan
gawat darurat yang memerlukan tindakan yang cepat dan tepat. Kejadian perdarahan
akut saluran cerna ini tidak hanya terjadi diluar rumah sakit saja namun dapat pula
terjadi pada pasien-pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit terutama
di ruang perawatan intensif dengan mortalitas yang cukup tinggi.
1
Perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75 % hingga
80 % dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun,
tetapi angka kematian dari perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga
10 %, dan belum ada perubahan selam 50 tahun terakhir.
Saluran pencernaan terdiri dari suatu saluran kontinu yang berjalan dari mulut
sampai anus. Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk memindahkan zat gizi
atau nutrient seperti air dan elektrolit dari makanan yang dimakan ke dalam
lingkungan internal tubuh.
Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapi.
Manifestasinya bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang mengancam jiwa
hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan. Pendekatan pada pasien dengan
perdarahan dan lokasi perdarahan saluran cerna adalah dengan menentukan beratnya
perdarahan dan lokasi perdarahan. Perdarahan saluran cerna dapat menyerang semua
orang dan semua golongan.
B. DEFINISI
Perdarahan saluran cerna adalah suatu perdarahan yang bisa terjadi dimana
saja di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Bisa berupa
ditemukannya darah dalam tinja atau muntah darah, tetapi gejala bisa juga
tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu. Perdarahan yang
terjadi di saluran cerna bila disebabkan oleh adanya erosi arteri akan mengeluarkan
darah lebih banyak dan tidak dapat dihentikan dengan penatalaksanaan medis saja.
(Mansjoer, 2000)
Perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan sebagai perdarahan
yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal.
Sebagian besar perdarahan saluran cerna bahagian atas terjadi sebagai akibat
2
penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) (yang disebabkan oleh H.
Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau
alkohol). Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan
penyebab perdarahan saluran cerna bahagian atas yang jarang. (Dubey, S., 2008)
Perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah perdarahan yang berasal dari
usus di sebelah distal ligamentum treitz. Pasien dengan perdarahan saluran cerna
bagian bawah datang dengan keluhan darah segar sewaktu buang air besar. Hampir
80% dalam keadaan akut berhenti dengan sendirinya dan tidak berpengaruh pada
tekanan darah. Hanya 15% pasien dengan perdarahan berat dan berkelanjutan
berdampak pada tekanan darah. Ari F. Syam (2005) dalam penelitiannya di RSCM
Jakarta menyebutkan bahwa kebanyakan penderita perdarahan saluran cerna bagian
atas disebabkan oleh varises esophagus sekitar (33,5 %).
Tingginya angka penderita varises esophagus dikarenakan adanya hubungan
antara varises esophagus dengan munculnya penyakit hepatitis B dan C di Indonesia.
Angka kematian di berbagai belahan dunia juga masih menunjukkan jumlah yang
cukup tinggi terutama di Indonesia yang wajib jadi perhatian khusus.
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) merupakan salah satu kegawat
daruratan yang banyak ditemukan di rumah sakit seluruh dunia. Perdarahan saluran
cerna bagian atas merupakan salah satu indikasi perawatan di rumah sakit dan banyak
menimbulkan kematian bila tidak ditangani dengan baik. Karena itulah diperlukan
penatalaksanaan yang baik dan sistematis agar perdarahan SCBA tersebut tidak
menimbulkan komplikasi yang berat sampai kematian.
Hematemisis adalah muntah darah. Sedangkan melena adalah pengeluaran
feses yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan
saluran cerna bagian atas (Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993). Yang dimaksud
dengan hematemesis adalah muntah darah hitam dari SCBA, dimana darah yang
keluar bercampur dengan asam lambung. Melena adalah buang air besar darah hitam
3
dari SCBA. Sedangkan hematokezia adalah buang air besar darah merah segar dari
saluran cerna bagian bawah (SCBB). Pseudomelena adalah buang air besar berwarna
hitam, tapi penyebab perdarahan berasal dari saluran cerna bagian bawah disebabkan
darah terlalu lama di usus. Pseudohematokezia adalah buang air besar merah segar
tapi disebabkan oleh perdarahan masif dari SCBA, dimana darah yang keluar tidak
sempat bercampur dengan asam lambung. Saluran cerna bagian atas (SCBA) meliputi
esofagus, gaster, duodenum, jejunum proksimal diatas ligamentum Treitz. Saluran
cerna bagian bawah (SCBB) meliputi jejunum distal dibawah ligamentum TReitz,
ileum,kolon,rectumdananus.
Dari penelitian retrospektif di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta selama 3 tahun (1996 –
1998) didapatkan penyebab perdarahan SCBA terbanyak adalah pecahnya varises
esofagus (27.2%). Tukak duodenum dan tukak lambung menduduki tempat nomer 5
dan 6 sebagai penyebab perdarahan SCBA.
Perbedaan antara melena dan hematemesis
Hematemisis Melena
Terjadi bila perdarahan dibagian
proksimal jejunum (Tondobala, 1987)
atau di atas ligamen Treitz /pada jungsi
denojejunal (Hudak & Gallo, 1996)
§ Dapat terjadi tersendiri atau bersama-
sama dengan hematemisis.
§ Paling sedikit terjadi perdarahan
sebanyak 50-100 mL, baru dijumpai
keadaan melena.
4
Tabel 1. Penyebab tersering perdarahan SCBA pada pasien yang menjalani
endoskopi di RSCM selama tahun 2001 – 2005
Penyebab Jumlah kasus Persentase
Pecahnya varises esofagus 280 kasus 33.4 %
Perdarahan ulkus peptikum 225 kasus 26.9 %
Gastritis erosiva 219 kasus 26.2 %
Tidak ditemukan 38 kasus 4.5 %
Lain – lain 45 kasus 9 %
Total 807 kasus 100 %
C. KLASIFIKASI
Perdarahan saluran cerna dapat dibagi menjadi 2 yaitu
1.Perdarahan saluran cerna bagian atas
2. Perdarahan saluran cerna bagian bawah /Lower gastrointestinal bleeding (LGIB)
(Mansjoer, 2000)
D. ETIOLOGI
1. Perdarahan saluran cerna atas
Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bahagian
atas pada buku The Merck Manual of Patient Symptoms (Porter, R.S., et al.,
2008):
1. Duodenal ulcer (20 – 30 %)
2. Gastric atau duodenal erosions (20 – 30 %)
3. Varices (15 – 20 %)
4. Gastric ulcer (10 – 20 %)
5. Mallory –Weiss tear (5 – 10 %)
6. Erosive esophagitis (5 – 10 %)
5
7. Angioma (5 – 10 %)
8. Arteriovenous malformation (< 5 %)
9. Gastrointestinal stromal tumors
Dalam buku Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology
ada beberapa etiologi yang dapat menimbulkan perdarahan saluran cerna
bahagian atas beserta tabel hasil penelitian dari Center for Ulcer Research
and Education (CURE) (Jutabha, R., et al. 2003):
Tabel 2.1. Etiologi UGIB dari Data Center for Ulcer Research
and Education (CURE)
Diagnosis Number of Patients (%)(n=948)
Peptic ulcers 524 (55)
Gastroesophageal varices 131 (14)
Angiomas 54 (6)
Mallory-Weiss tear 45 (5)
Tumors 42 (4)
Erosions 41 (4)
Dieulafoy’s lesion 6 (1)
Other 105 (11)
Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak di Indonesia adalah
karena pecahnya varises esophagus, dengan rata-rata 45-50% seluruh perdarahan
saluran cerna bagian atas (Hilmy, 1971: 58%; Soemomarto, 1981: 60%;
Abdurrahman: 50%; Hernomo, 1981: 44,8%; dan Ali: 57,43% seperti dikutip
Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993).
6
PSCA secara umum dibagi menjadi dua, yaitu PSCA karena rupture varices
dan PSCA bukan karena varices. Pada PSCA karena varices, patofisiologi yang
mendasari adalah meningkatnya tekanan vena porta yang mengakibatkan vena-vena
esophagus, lambung melebar dan juga menyebabkan gastropati. Sedangkan PSCA
yang non varices, melibatkan perdarahan arteriel seperti ulkus dan rupture mukosa
yang dalam, atau perdarahan vena tekanan rendah seperti pada teleangiectasi dan
angioectasis.
Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dapat menentukan
kira-kira lokasi PSCA. Riwayat penyakit hati kronis/alkohol bisa memperkirakan
perdarahan berasal dari gastropati hipertensi portal atau pecahnya varices esophagus.
Riwayat pemakaian obat antiinflamasi non steroid/obat-obat anti rematik/penghilang
nyeri yang berkaitan dengan cyclooxygenase-1 yang menurunkan ketahanan mukosa
terhadap asam lambung, bisa menuntun kita ke arah ulkus lambung.
2. Perdarahan Saluran Cerna Bawah
a. Tumor ganas
b. Polip : pertumbuhan jinak atau polip di usus besar yang umum dan
dapat menyebabkan kanker.
c. Colitis ulseratif : Infeksi, penyakit seperti penyakit Crohn s,
kurangnya aliran darah ke usus besar, dan radiasi dapat menyebabkan
kolitis - radang usus besar.
d. Penyakit chron
e. Angiodiplasia : Penuaan menyebabkan angiodisplasia - kelainan pada
pembuluh darah usus.
f. Hemorrhoid (wasir) : Wasir pembuluh darah membesar di anus atau
rektum yang bisa pecah dan berdarah. Fissures, atau bisul, luka atau
air mata di daerah dubur.
7
g. Hemoragik massif saluran cerna bagian atas (Suparman, 1987)
Lokasi lesi sumber perdarahan pada kasus dengan hematoskezia
(sebagai tanda yang paling umum untuk SCBB): 74% berada di kolon,
11% berasal dari SCBA, 9% usus kecil, dan 6% tidak diketahui sumbernya.
Perdarahan akut dan hebat pada umumnya disebabkan oleh angiodisplasia
dan divertikulosis. Sedangkan yang kronik intermiten disebabkan oleh
hemoroid dan keganasan kolon. Etiologi perdarahan SCBB yang harus
dipertimbangkan dan cukup sering dihadapi di Indonesia adalah perdarahan
di usus kecil pada demam tifoid.
E. TANDA DAN GEJALA
Gejalanya bisa berupa :
1. Muntah darah (Hematemesis)
Adalah muntah darah dan biasanya di sebabkan oleh penyakit saluran cerna
bagian atas. Melena adalah keluarnya feses berwarna hitam per rectal yang
mengandung campuran darah biasanya disebabkan oleh perdarahan usus
proksimal (Grace & Borley,2007).
2. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (Melena)
Tinja berwarna hitam merupakan akibat dari perdarahan di saluran bagian
atas. Misalnya lambung atau duodenum. Warna hitam terjadi Karena darah
tercemar oleh asam lambung dan pencernaan kuman selama beberapa jam
sebelum keluar dari tubuh. Sekitar 200 gram darah dapat menghasilkan tinja
yang berwarna kehitaman.
3. Mengeluarkan darah dari rektum (hematoskezia)
8
4. Waterbrash merupakan regurgitasi isi lambung kedalam rongga mulut.
Gangguan ini dirasakan terdapat pada tenggorokan sebagai rasa asam atau
cairan panas yang pahit
5. Pirosis (Nyeri uluhati)
Pirosis sering ditandai sensasi panas. Nyeri uluhati dapat disebabkan oleh
refluks asam lambung atau sekrat empedu kedalam esofahus bagian bawah,
keduanya sangat mengiritasi mukosa.
6. Penderita dengan perdarahan jangka panjang, bisa menunjukkan gejala-gejala
anemia, seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada dan pusing. Jika
terdapat gejala-gejala tersebut, dokter bisa mengetahui adanya penurunan
abnormal tekanan darah, pada saat penderita berdiri setelah sebelumnya
berbaring.
7. Gejala yang menunjukan adanya kehilangan darah yang serius adalah denyut
nadi yang cepat, tekanan darah rendah dan berkurangnya pembentukan air
kemih. Tangan dan kaki penderita juga akan teraba dingin dan basah.
Berkurangnya aliran darah ke otak karena kehilangan darah, bisa
menyebabkan bingung, disorientasi, rasa mengantuk dan bahkan syok
8. Pada penderita perdarahan saluran pencernaan yang serius, gejala dari
penyakit lainnya, seperti gagal jantung, tekanan darah tinggi, penyakit paru-
paru dan gagal ginjal, bisa bertmbah buruk. Pada penderita penyakit hati,
perdarahan ke dalam usus bisa menyebabkan pembentukan racun yang akan
menimbulkan gejala seperti perubahan kepribadian, perubahan kesiagaan dan
perubahan kemampuan mental (ensefalopati hepatik).
(Sylfia A. Price, 1994 : 359)
9
F. PATOFISIOLOGI
Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan
peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam
submukosa esopagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk
mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar.
Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi
mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah (disebut varises). Varises dapat
pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat
mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan
penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan
mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap penurunan
curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk mencoba
mempertahankan perfusi.
Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat
pada saat pengkajian awal. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi
jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolsime
anaerobi, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan efek
pada seluruh sistem tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut
akan mengalami kegagalan.
G. KOMPLIKASI
1. Anemia
2. Dehidrasi
3. Nyeri Dada – jika ada juga penyakit jantung
4. Kehilangan darah
10
5. Syok
6. Kematian
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berbagai pemeriksaan penunjang dapat digunakan untuk membantu
mendiagnosa abnormalitas sistem gastrointestinal dan abdomen. Adapun pemeriksaan
penunjang atau tes diagnostic yang dilakukan adalah :
a. Sinar X
Serangkaian pemeriksaan abdomen, atau gambaran abdomen dalam tiga cara,
terdiri atas film abdomen datar, film abdomen atas dan dada bagian atas dengan
pasien berdiri tegak, dan film dimana pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi
(dekubitus). Radiografi dapat membantu menggambarkan adanya udara bebas di
dalam abdomen yang disebabkan oleh masalah-masalah seperti perforasi viskus atau
pecahnya abses. Obtruksi usus, seperti yang ditunjukkan oleh dilatasi loop usus
dengan tingkat cairan udara atau volvulus intestine, dapat dilihat dari foto-foto
tersebut. Posisi film dekubitus dapat membantu adanya asites.
b. Endoskopi Gastrointestinal
Prosedur ini merupakan suatu tambahan penting pada pemeriksaan barium
karena prosedur itu memungkinkan untuk dilakukan pengamatan langsung tentang
bagian-bagian traktus intestinal. Instrumen yang digunakan adalah endoskop serat
optic yang lentur. Alat ini dirancang dengan ujung yang dapat digerakkan sehingga
operator dapat memanipulasi sepanjang saluran intestinal. Alat itu mempunyai
saluran instrumen yang memungkinkan untuk biopsy lesi, seperti tumor, ulser atau
peradangan. Cairan dapat diaspirasikan dari lumen saluran intestine dan udara dapat
dihembuskan untuk menggelembungkan saluran intestine sehingga mempermudah
pengamatan.
11
Apus sitologi dan jerat elektrokauteri dapat juga dimasukkan melalui alat ini.
Endoskop dan kolonoskop dasar untuk intestinal bagian atas dirancang dalam bentuk
yang hampir sama dan hanya berbeda pada diameter dan panjangnya. Endoskop
intestinal atas sebelah sisi juga dirancang untuk pemeriksaan khusus pada duktus
empedu komunis dan duktus pankreatik. Pengkajian ini disebut endoskopi retrograde
kolangiopankreatografi (ERCP).
Indikasi untuk dilakukannya endoskopi intestinal bagian atas sangat banyak.
Dalam lingkup perawatan kritis, indikasi yang paling umum adalah perdarahan
gastrointestinal, yang dapat disebabkan oleh ulkus, gastritis atau varises esophagus.
Endoskopi sangat bermanfaat untuk mendiagnosa neoplasma saluran intestinal bagian
atas. Biopsi atau penyayatan daera abnormal ini dapat dilakukan untuk mendapatkan
bahan diagnose.
Terapi spesifik dapat dilakukan melalui endoskopi gastrointestinal bagian
atas, termasuk sklerosis varises esophagus. Pada prosedur ini agen penksklerosing,
seperti natrium morhuate, dimasukkan ke vena yang berdilatasi dalam esofagus
dengan harapan akan terjadi jaringan ikat di dalam vena untuk mencegah perdarahan
spontan selanjutnya.
c. Kolonoskopi
Kolonoskopi digunakan untuk mengevaluasi adanya tumor, peradangan atau
polip di dalam kolon. Kolonoskopi juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi
daerah anstomotik dari pembedahan dan mengkaji derajat striktura baik karena
pembedahan atau peradangan.
Kolonoskop dapat dimasukkan melalui rektum menuju sepanjang kolon ke
dalam sekum. Dari sini katup ileosekal dapat dikaji begitu juga abnormalitas lainnya,
seperti adanya karsinoma awal atau polip di sebelah kanan kolon. Polip ini dapat
dikeluarkan melalui endoskopi, atau dapat difulgurasi dan dibakar. Letak perdarahan
khusus seperti yang terjadi pada colitis, polip, tumor, atau angiodisplasia
(pengumpulan pembuluh darah yang abanormal yang dapat menyebabkan perdarahan
terus menerus) dapat diobservasi.
12
Karena pasien biasanya diberi sedatif sebelum dilakukan prosedur endoskopi
sangat penting mengawasi jalan napasnya untuk mencegah terjadinya depresi
pernapasan atau aspirasi dan untuk memantau tanda-tanda vital.
d. Pemeriksaan Barium Kontras
Pemeriksaan diagnostic ini sangat penting untuk menemukan abnormalitas di
dalam saluran intestinal. Penyinaran sinar X pada gastrointestinal bagian atas atau
telan barium dilakukan dengan meminta pasien minum minuman yang telah dicampur
dengan barium radioopak, sementara ahli radiologi mengamati penyalutan dari bahan
ini di dalam esofagus, lambung dan usus halus. Barium mampu memperlihatkan
kelainan struktur seperti tumor atau ulkus juga dapat menemukan adanya peradangan
atau penyempitan. Enema barium dilakukan dengan memasukkan barium melalui
rektum dalam posisi retrograde ke dalam seluruh kolon. Saluran tipis barium dapat
membantu memperlihatkan letak tumor, polip, diverticulitis atau perdangan seperti
Penyakit Crohn atau Kolitis ulcerative.
e. Ultrasonografi
Pemeriksaan noninvasive ini menggunakan gelombang echo untuk
mendeteksi adanya abnormalitas dalam rongga abdomen. Dilatasi dari duktus empedu
komunis, distensi kandung empedu karena batu empedu, dan abnormalitas pancreas
seperti tumor, pseudokis, atau abses dapat ditemukan. Aneurisme aorta dapat
diperhitungkan untuk membantu memutuskan apakah diperlukan pembedahan eksisi.
Penebalan kolon desenden dan kolon sigmoid dengan abses perikolonik yang
disebabkan oleh kondisi seperti divertikolusis dapat diidentifikasikan. Prosedur ini
biasanya dilakukan pada bagian radiologi rumah sakit.
f. Computed Axial Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
13
Tumor pada hati, pancreas, esofagus, lambung dan kolon dapat diidentifikasi
menggunakan pemeriksaan ini. Tumor retroperitoneal atau nodus limfe juga dapat
dilihat. Dengan menggunakan skan CT, dapat dilakukan biopsi jarum pada struktur
ini untuk menentukan tipe sel tumor. Jarum ditusukan melalui dinding abdomen
dengan menggunakan anestesi lokal. Jarum kemudian diarahkan ke struktur yang
diinginkan dengan bantuan skan CT. Cairan dapat diaspirasikan dan selanjutnya
dievaluasi oleh ahli patologi untuk melihat adanya sel nukleoplastik.
Teknik pengobatan nuklir sering digunakan untuk membantu mendiagnosa
abnormalitas sistem hepatogastrointestinal. Skan radionuclide hepar dapat membantu
menentukan disfungsi sel hepatic. Skaning CT dapat digunakan untuk menemukan
tumor atau abses di dalam hepar atau abdomen bagian atas.
Cholesintogram dapat dilakukan untuk menentukan kapasitas fungsi sistem
empedu dan patensi duktus empedu dan pembuluh sistik. Pada perdarahan intestine
berulang, jika sumbernya tidak ditemukan, teknik skan teknetium dapat sangat
membantu. Pada teknik ini daerah yang berdarah diberi label dengan teknetium, dan
jika pasien mengalami perdarahan aktif maka tanda “titik panas” akan diperlihatkan
dalam skan abdomen. Ini merupakan tes yang sangat tidak khusus untuk menentukan
letak perdarahan yang tepat, tetapi dapat membantu dalam mengarahkan ahli bedah
pada letak yang umum. Angiodisplasia dan perdarahan divertikulum Meckel dapat
didiagnosa dengan prosedur ini.
g. Arteriografi
Prosedur ini sangat berguna untuk menentukan tempat perdarahan yang biasanya
sulit ditentukan. Kateter ditempatkan baik pada arteri mesenterika superior dan
inferior, dan disuntikan kontras. Arteriografi juga sangat membantu dalam
menemukan aneurisme aorta
I. PENATALAKSANAAN
1. PENATALAKSANAAN MEDIS
14
1) Resusitasi cairan dan produk darah :
a. Pasang akses intravena dengan kanul berdiameter
besar
b. Lakukan penggantian cairan intravena : RL atau
normal saline
c. Kaji terus TTV saat cairan diganti
d. Jika kehilangan cairan > 1500 ml membutuhkan
penggantian darah selain cairan
e. Kadang digunakan obat vasoaktif sampai cairan
seimbang untuk mempertahankan tekanan darah
dan perfusi organ vital seperti : dopamin, epineprin
dan norefineprin
2) Bilas lambung
a. Dilakukan selama peroide perdarahan akut
(controversial karena menggangu mekanisme
pembekuan normal. Sebagian lain menyakini
lambung dapat membantu membersihkan darah
dalam lambung, membantu mendiagnosa penyebab
perdarahan selama endoskofi)
b. Jika di instruksikan bilas lambung maka 1000-2000
ml air atau normal salin dalam suhu kamar di
masukan dengan menggunakan NGT. Kemudian
dikeluarkan kembali dengan spuit atau di pasang
suction sampai sekresi lambung jernih.
c. Irigasi lambung dengan cairan normal saline
levarterenol agar menimbulkan vasokontriksi.
Setelah diabsorbsi lambung obat di kirim melalui
sistem vena porta ke hepar dimana metabolism
terjadi, sehingga reaksi sistemik dapat di cegah.
15
Pengenceran biasanya menggunakan 2 ampul
dalam 1000 ml larutan.
d. Pasien beresiko mengalami aspirasi lambung
karena pemasangan NGT dan peningkatan tekanan
intragastrik karena darah atau cairan yang
dugunakan untuk membilas. Pemantauan distensi
lambung dan membaringkan pasien dengan kepala
ditinggikan penting untuk memcegah refkuls isi
lambung. Bila posisi tersebut kontraindikasi maka
diganti posisi dekubitus lateral kanan, memudahkan
mengalirkan isi lambung melewati pylorus.
3) Pemberian Pitresi
a. Dilakukan bila dengan bilas lambung atau
skleroterapi tidak menolong maka akan diberikan
vasopressin (pitresin ) intravena.
b. Obat ini menurunkan tekanan vena porta oleh
karenanya menurunkan aliran darah pada tempat
perdarahan .
c. Mempengaruhi output urine karena sifat
antidiuretik.
d. Ranitidine 2-3 mg/kg/hari diberikan 2 kali sehari
e. Pada esofagitis berat dan ulkus peptikum :
omeprazole 0,6-3 mg/kg/hari 1 kali sehari
4) Mengurangi asam lambung
a. Turunkan keasaman sekresi lambung dengan obat
histamine (H2) antagonistic : simetidin (tagamet),
ranitidine hidrokloride (zantac) dan famotidin.
b. Dosis tunggal dapat menurunkan sekresi asam
selama hampit 5 jam.
16
c. Ranitidine iv : 50mg di cairkan 50ml D5W setiap 6
jam. Simetidin iv : 300 mg dicairkan dalam dosis
intermiten 300 mg di cairkan dalam 50 mg D5W
setiap 6 jam atau sebagai infuse iv kontinu 50
mg/jam. Hasil terbaik dicapai jika pH lambung 4
dapat dipertahankan.
5) Memperbaiki status hipokoagulasi
a. Pemberian vit. K dalam bentuk fitonadion (aqua
mephyton) 10 mg im atau iv dengan lambat untuk
mengembalikan masa protrombin menjadi normal.
b. Diberikan plasma segar beku.
6) Balon tamponade
Terdapat bermacam balon tamponade : tube sangstaken-
blakemore, Minnesota atau linton-nachlas. Alat ini untuk
mengontrol perdarahan GI bagian atas karena varises esophagus.
Tube sangstaken-blakemore mengandung 3 lumen :
a. Balon gastric yang dapat diinflasikan
dengan 100-200 mL udara
b. Balon esophagus yang dapat diinflasikan
dengan 40 mmHg
c. Lumen yang ke 3 untuk mengaspirasi isi
lambung tube Minnesota mempunyai lumen
tambahan dan mempunyai lubang untuk
menghisap sekresi paring. Sedangkan tube
linton-nachlas terdiri hanya satu balon
gaster yang dapat di inflasikan dengan 500-
600 mL udara. Terdapat beberapa
17
lubang/bagian yang terbuka baik pada
bagian esophagus maupun lambung untuk
mengaspirasi sekresi dan darah.
Tube/slenag Sangstaken-Blakemore setelah
dipasang didalam lambung dikembangkan
dengan udara tidak lebih dari 50
ml.kemudian selang ditarik perlahan sampai
gallon lambung pas terkait pada kardia
lambung dapat dikembangkan dengan 100-
200 mL udara. Kemudian selang dibagian
luar ditraksi dan difiksasi. Jika perdarahan
berlanjut balon esopagus dapat
dikembangkan dengan tekanan 250 40 mm
Hg (menggunakan spigmomanometer) dan
dipertahankan dalam 24-48 jam. Jika lebih
lama depat menyebabkan edema, esopagitis,
ulserasi atau perforasi esopagus.
Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini
adalah observasi konstan dan perawatan cermat, dengan
mengidentifikasi ketiga ostium selang, diberi label dengan tepat dan
diperiksa kepatenannya
2. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Diagnosa keperawatan :
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah
akut, penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan
kapasitas angkut oksigen dan faktor-faktor resiko aspirasi.
18
c. Resiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan
hipovolemik karena perdarahan.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran
intravena
e. Ansietas berhubungan dengan sakit kritis, ketakutan akan
kematian ataupun kerusakan bentuk tubuh, perubahan peran
dalam lingkup sosial atau ketidakmampuan yang permanen.
2. Intervensi
NO Diagnosa Tujuan Intervensi
2 1) Defisit volume
cairan
berhubungan
dengan
kehilangan darah
akut,
penggantian
cepat volume
dengan cairan
kristaloid.
.
Pasien akan
tetap stabil
secara
hemodinamik
a. Pantau nilai-nilai
hemodinamik
b. Ukur output urine tiap
jam
c. Ukur I dan O dan kaji
keseimbangan
d. Berikan cairan pengganti
dan produk darah sesuai
instruksi. Pantau adanya
reaksi yang merugikan
terhadap komponen
terapi.
e. Tirah baring total,
baringkan pasien
terlentang dg kaki
19
ditinggikan untuk
meningkatkan preload
jika pasien mengalami
hipotensi. Jika terjadi
normotensi tempatkan
tinggi bagian kepala
tempat tidur pada 45
derajat untuk mencegah
aspirasi isi lambung.
f. Pantau Hb dan Ht
g. Pantau elektrolit
h. Periksa feses terhadap
darah untuk 72 jam
setelah masa akut.
2 Kerusakan
pertukaran gas
berhubungan
dengan
penurunan
kapasitas angkut
oksigen dan
faktor-faktor
resiko aspirasi.
Pasien akan
mempertahankan
oksigenasi dan
pertukran gas
yang adekuat
a. Pantau SaO2 dengan
menggunakan oksimetri
atau ABGs
b. Pantau bunyi nafas dan
gejala-gejala pulmoner
c. Gunakan suplemen O2
sesuai instruksi
d. Pantau suhu tubuh
e. Pantau adanya distensi
abdomen
f. Baringkan pasien pada
bagian kepala tempat
tidur yang ditinggikan
jika segalanya
20
memungkinkan
g. Pertahankan fungsi dan
patensi NGT dengan
tepa
3. Resiko
gangguan
perfusi jaringan
berhubungan
dengan
hipovolemik
karena
perdarahan.
a. Selidiki perubahan
tingkat kesadaran,
keluhan pusing/ sakit
kepala.
b. Auskultasi nadi apikal.
Awasi kecepatan
jantung/irama bila EKG
kontinu ada.
c. Kaji kulit terhadap
dingin, pucat,
berkeringat, pengisian
kapiler lambat, dan nadi
perifer lemah.
d. Catat laporan nyeri
abdomen, khususnya
tiba-tiba nyeri hebat
atau nyeri menyebar ke
bahu.
e. Observasi kulit untuk
pucat, kemerahan. Pijat
dengan minyak. Ubah
21
posisi dengan sering.
f. Kolaborasi
Berikan oksigen
tambahan sesuai
indikasi
Berikan cairan IV
sesuai indikasi.
DAFTAR PUSTAKA
22
Hudak dan Galo. (1996). Keperawatan kritis: Pendekatan holistik.
(Vol. II, edisi 6). Jakarta: EGC.
Lanros, N.E., dan Barber, J.M. (2000). Emergency nursing. (4th ed.).
Stamford: Appleton & Lange.
Suparman. (1987). Ilmu penyakit dalam. (Jilid I, edisi kedua). Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
(Edisi 8 Volume 2). Jakarta : EGC
Doenges, Marylin E, et. al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien (3rd ed.). Jakarta: EGC.
Price A. Sylvia dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. ( Edisi 4). Jakarta : EGC
23