Download - Asuhan Keperawatan Dengan Cedera Kepala
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA KEPALA
A. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Cidera kepala adalah pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan
atau tanpa kehilangan kesadaran (Tucker, 1998).
B. Etiologi
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga,.
Cedera akibat kekerasan.
C. Klasifikasi Cedera kepala menurut patofisiologinya dibagi menjadi dua :
1. Cedera Kepala Primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul akibat langsung pada
mekanisme dinamik (acelerasi – decelerasi rotasi ) yang menyebabkan
gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
a. Gegar kepala ringan
b. Memar otak
c. Laserasi
2. Cedera Kepala Sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia,
metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
a. Hipotensi sistemik
b. Hipoksia
c. Hiperkapnea
d. Udema otak
e. Komplikasi pernapasan
f. infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
D. Klasifikasi Cedera Kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang
muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang
dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank
mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma scale)
Tabel 1. Kategori Penentuan Keparahan cedera Kepala berdasarkan Nilai Skala Koma
Glasgow (SKG)
Penentuan
keparahan
Deskripsi
Minor/ Ringan SKG 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia
cerebral, hematoma
Sedang SKG 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Berat SKG 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24
jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma
intrakranial
Tabel 2. Skala Koma Glasgow (Blak, 1997)
1. Membuka Mata
Spontan
Terhadap rangsang suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
4
3
2
1
2. Respon Verbal
Orientasi baik
orientasi terganggu
Kata-kata tidak jelas
Suara Tidak jelas
Tidak ada respon
5
4
3
2
1
3. Respon Motorik
Mampu bergerak
Melokalisasi nyeri
Fleksi menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak ada respon
6
5
4
3
2
1
Total 3 – 15
E. Manifestasi Klinik
Berdasarkan anatomis
1. Gegar otak (comutio selebri)
a. Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran
b. Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa
detik/menit
c. Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d. Kadang amnesia retrogard
2. Edema serebri
a. Pingsan lebih dari 10 menit
b. Tidak ada kerusakan jaringan otak
c. Nyeri kepala, vertigo, muntah
3. Memar otak (kontusio selebri)
a. Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi
tergantung lokasi dan derajad
b. Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c. Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
d. Penekanan batang otak
e. Penurunan kesadaran
f. Edema jaringan otak
g. Defisit neurologis
h. Herniasi
4. Laserasi
a. Hematoma Epidural
“talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan,
merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa
jam, menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda
hernia):
1) kacau mental → koma
2) gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
3) pupil isokhor → anisokhor
b. Hematoma subdural
1) Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid,
biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
2) Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan
epidura
3) Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan
berbulan-bulan
4) Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
5) perluasan massa lesi
6) peningkatan TIK
7) sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
8) disfasia
c. Perdarahan sub arachnoid
1) Nyeri kepala hebat
2) Kaku kuduk
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
1. Cidera kepala Ringan (CKR)
a. GCS 13-15
b. Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
c. Tidak ada fraktur tengkorak
d. Tidak ada kontusio celebral, hematoma
2. Cidera Kepala Sedang (CKS)
a. GCS 9-12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24
jam
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak
3. Cidera Kepala Berat (CKB)
a. GCS 3-8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
c. Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial
(Hudak dan Gallo, 1996:226)
F. Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak
langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan
hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi
kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang
disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak
menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam
empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan
otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya
G. Pathway
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Menjamin kelancaran jalan nafas dan control vertebra cervicalis
b. Menjaga saluran nafas tetap bersih, bebas dari secret
c. Mempertahankan sirkulasi stabil
d. Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda vital
e. Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi
hiperhidrasi
f. Menjaga kebersihan kulit untuk mencegah terjadinya decubitus
g. Mengelola pemberian obat sesuai program
2. Penatalaksanaan Medis
a. Oksigenasi dan IVFD
b. Terapi untuk mengurangi edema serebri (anti edema) Dexamethasone
10 mg untuk dosis awal, selanjutnya:
1) 5 mg/6 jam untuk hari I dan II
2) 5 mg/8 jam untuk hari III
3) 5 mg/12 jam untuk hari IV
4) 5 mg/24 jam untuk hari V
c. Terapi neurotropik: citicoline, piroxicam
d. Terapi anti perdarahan bila perlu
e. Terapi antibiotik untuk profilaksis
f. Terapi antipeuretik bila demam
g. Terapi anti konvulsi bila klien kejang
h. Terapi diazepam 5-10 mg atau CPZ bila klien gelisah
i. Intake cairan tidak boleh > 800 cc/24 jam selama 3-4 hari
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. X Ray tengkorak
2. CT Scan
3. Angiografi
4. Pemeriksaan neurologist
J. Komplikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma
intrakranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak
1. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada
pasien yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira
kira 72 jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak
untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak
diakibatkan trauma.
Sebagai akibat dari edema dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan
pada jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada
tempat pembengkakan, perubahan posisi kebawah atau lateral otak (herniasi)
melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark,
dan kerusakan otak irreversible, kematian.
2. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti
anosmia (tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata,
dan defisit neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic
atau epilepsy. Pasien mengalami sisa penurunan psikologis organic (melawan,
emosi labil) tidak punya malu, emosi agresif dan konsekuensi gangguan.
Komplikasi lain secara traumatik:
1. Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)
2. Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis,
abses otak)
3. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
Komplikasi lain:
1. Peningkatan TIK
2. Hemorarghi
3. Kegagalan nafas
4. Diseksi ekstrakrania
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik)
Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Sistem saraf :
Kesadaran à GCS.
Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang
otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar à tanyakan pola makan
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.
B. Diagnosa Keperawatan Pada Cedera Kepala:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi,
hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia,
disritmia jantung)
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera
pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.
3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma
atau defisit neurologis).
4. Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah
baring, imobilisasi.
6. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon
inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup
(kebocoran CSS)
7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat
kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan.
Status hipermetabolik.
8. Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian
tentang hasil/harapan.
9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang
pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan
kognitif.
C. Intervensi
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan
fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi :
Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma/penurunan perfusi
jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
o Rasional : Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan
dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan
perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.
Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan
nilai standar GCS.
o Rasional : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi
terhadap cahaya.
o Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor
(III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.
Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara
persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya
mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial
optikus (II) dan okulomotor (III).
Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
o Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh
penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan
tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan
kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan
kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan
kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat
demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan
peningkatan TIK.
Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
o Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh
yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma
serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini
dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran
pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif
terhadap tekanan serebral.
Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti
lingkungan yang tenang.
o Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi
fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk
mempertahankan atau menurunkan TIK.
Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
o Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak
dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat
ditoleransi.
o Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya
peningkatan TIK.
Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
o Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan
edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan
TIK.
Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
o Rasional : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang
meningkatkan TIK.
Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan,
analgetik, sedatif, antipiretik.
o Rasional : Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan
air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid
menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema
jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah
terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan
nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan,
agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam
yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral
atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau
kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi:
Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan
pernapasan.
o Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya
ventilasi mekanis.
Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan
pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai
indikasi.
o Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan
sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan
refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas
buatan atau intubasi.
Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai
indikasi.
o Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat
jalan napas.
Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien
sadar.
o Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15
detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
o Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma
atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan
jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih
dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal
tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang
menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan
berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.
Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya
suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
o Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang
membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan
terjadinya infeksi paru.
Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
o Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan
asam basa dan kebutuhan akan terapi.
Lakukan ronsen thoraks ulang.
o Rasional : Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau
bronkopneumoni.
Berikan oksigen.
o Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan
membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan
tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
o Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali
berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan
membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko
atelektasis/komplikasi paru lainnya.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon
inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup
(kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi :
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci
tangan yang baik.
o Rasional : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
nosokomial.
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang
terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya
inflamasi.
o Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan
untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan
terhadap komplikasi selanjutnya.
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil,
diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
o Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang
selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret
paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
o Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi
paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia,
atelektasis.
Berikan antibiotik sesuai indikasi.
o Rasional : Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang
mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan
pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial.
Daftar Pustaka
Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI –
Traumatologi , Surabaya.
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC,
Jakarta.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta:
EGC; 1999.
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC;
1996.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing
Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala.
Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.
Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press