Bab 2
MANAJEMEN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Implementasi Manajemen Mutu Pendidikan Agama Islam
Pengertian Implementasi Manajemen Mutu Pendidikan Agama Islam
Mulyasa (2009, hlm. 178) mengemukakan bahwa Implementasi adalah kemampuan
menerapkan dan mengaktualisasikan pelaksanaan rancangan atau putusan dan
merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan atau inovasi dalam suatu
tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan,
keterampilan, nilai, dan sikap. Pengertian ini memberikan suatu pemahaman bahwa
dalam implementasi itu terjadinya penerapan sesuatu yang memberikan efek atau
dampak terutama dalam manajemen sekolah.
Dunia pendidikan khususnya sekolah sangat dibutuhkan untuk menciptakan
lingkungan belajar yang alamiah sesuai dengan tata kelola yang efektif dan efisien.
Oleh karenanya perlu adanya manajemen pendidikan yang baik, sehingga melalui
manajemen pendidikan diharapkan target pencapaian tujuan pengelolaan pendidikan
di sekolah akan lebih berhasil dan semaksimal mungkin dapat mengembangkan
kompetensi dan prestasi sekolah serta dapat mengatasi dan mengendalikan
perkembangan ilmu pengetahuan yang lebih modern.
Penerapam manajemen di sekolah sangat diperlukan, sebab dengan adanya
manajemen yang baik tentu program sekolah dapat direncanakan pelaksanaannya.
Sebagaimana dikemukakan Rohiat (2010, hlm. 14), bahwa manajemen berasal dari
kata to manage yang berarti mengelola. Sedangkan Sutikno (2012, hlm. 3)
mengungkapkan bahwa manajemen berasal dari bahasa Inggris yakni management
yang berarti pengelolaan. Kedua pendapat ini memberikan suatu pengertian yang
29
sama tentang manajemen yakni pengelolaan. Dalam kata pengelolaan itu terdapat
suatu makna bahwa pengelolaan dilakukan melalui proses dan dikelola berdasarkan
urutan dan fungsi-fungsi manajemen.
Aktivitas pelaksanaan manajemen yang berlangsung di lembaga pendidikan
formal yakni sekolah perlu direncanakan, dirancang, diorganisasikan, dikembangkan,
dan dikelola berdasarkan manajemen sekolah yang berkualitas atau bermutu agar
dapat mencapai tujuan yang diharapkan yakni peningkatan mutu pendidikan.
Menurut istilah, terdapat berbagai pendapat mengenai pengertian manajemen,
di antaranya:
1. Fattah (2004, hlm. 22), mengartikan; manajemen adalah proses perencanaan,
pengorganisasian, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan
segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.
2. Lain halnya Suparno (2009, hlm. 8), mengartikan; manajemen adalah
mengkoordinasi pekerjaan yang berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen
yakni merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), memimpin
(leading), dan mengendalikan (controlling).
3. Sedangkan Rohiat (2009, hlm. 14), mengemukakan bahwa manajemen adalah
melakukan pengelolaan sumber daya yang dimiliki oleh sekolah / organisasi
yang di antaranya ialah manusia, uang, metode, material, mesin dan
pemasaran yang dilakukan dengan sistematis.
4. Selanjutnya Mulyasa (2009, hlm. 11), mengemukakan bahwa manajemen
merupakan suatu sistem pengelolaan dan penataan sumber daya pendidikan,
seperti tenaga kependidikan, peserta didik, masyarakat, kurikulum, dana
(keuangan), sarana dan prasarana pendidikan, tata laksana dan lingkungan
30
pendidikan. Karenanya dalam penelaahan manajemen dibagi kepada dua
kelompok, yakni:
a) Manajemen administratif yang memfokuskan pada kegiatan perencanaan,
organisasi, bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan, serta
komunikasi.
b) Manajemen operasional yang memfokuskan pada kegiatan tata usaha,
kepegawaian, keuangan, dan hubungan sekolah dengan masyarakat.
5. Mulyono (2010, hlm. 17), mengutip The Liang Gie, mengartikan; manajemen
adalah seni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian
dan pengontrolan terhadap sumber daya manusia dan alam untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan.
6. Selain itu Sagala (2010, hlm. 49), mengemukakan bahwa manajemen
berkenaan dengan pemberdayaan sekolah merupakan alternatif yang paling
tepat untuk mewujudkan sekolah yang mandiri dan memiliki keunggulan
tinggi dengan prinsip memberikan kewenangan mengelola dan mengambil
keputusan sesuai tuntutan dan kebutuhan sekolah.
7. Sedangkan Hikmat (2011, hlm. 11), mengemukakan bahwa manajemen
adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia
secara efektif yang didukung oleh sumber-sumber lainnya dalam suatu
organisasi untuk mencapai tujuan tertentu.
8. Suhardan et.al (2011, hlm. 86), mengemukakan bahwa manajemen
merupakan suatu proses tertentu yang menggunakan kemampuan atau
keahlian untuk mencapai suatu tujuan yang di dalam pelaksanaannya dapat
mengikuti alur keilmuan secara ilmiah.
31
9. Demikian juga Prihatin (2011, hlm. 146), mengartikan; manajemen adalah
proses merencana, mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya
organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara
efektif dan efisien.
10. Juga Sutikno (2012, hlm. 4) mengartikan; manajemen adalah serangkaian
kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, memotivasi, mengendalikan dan
mengembangkan segala daya upaya di dalam mengatur dan mendayagunakan
sumber daya manusia, sarana dan prasarana guna mencapai tujuan organisasi.
11. Menurut Nata (2012, hlm. 359), mengemukakan bahwa manajemen
merupakan kegiatan yang terdiri dari perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing) yang di dalamnya terdapat penetapan struktur
organisasi, pengisian struktur organisasi (staffing), pelaksanaan segala yang
telah direncanakan dan diorganisasikan (actuating), pengawasan (controlling)
dan penilaian (evaluating), serta pembinaan atau perbaikan (supervising).
Memperhatikan pengertian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
manajemen adalah suatu proses mengelola dan mengatur sumber daya manusia
secara efektif dan efisien dalam kegiatan merencanakan, mengorganisasikan,
memotivasi dan mengendalikan serta mengembangkan segala upaya di dalam
mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia guna mencapai tujuan yang
telah direncanakan.
Dunia pendidikan sangat menuntut untuk menciptakan lingkungan belajar
yang alamiah sesuai dengan pola pikir siswa sebagai sumber daya manusia yang
berkualitas. Pendidikan adalah proses pertumbuhan potensi intelektual dan psikologis
(Sagala 2010, hlm.15). Pertumbuhan potensi intelektual manusia terkhusus para
siswa di sekolah perlu dikelola dengan manajemen sekolah secara efektif dan efisien.
32
Manajemen mutu Pendidikan Agama Islam merupakan rangkaian kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, pengelolaan, dan
pengawasan program yang ditetapkan dalam pelaksanaan pembelajaran Pendidikan
Agama Islam yang ingin dicapai. Sebab dipahami bahwa manajemen itu merupakan
operasionalisasi program yang masih bersifat potensial (tertulis) menjadi aktual
dalam bentuk kegiatan pembelajaran (Mulyasa 2009, hlm. 179). Artinya, program-
program yang direncanakan untuk dilaksanakan atau direalisasikan masih sebatas
tulisan yang belum diwujud nyatakan. Karenanya perlu diimplementasikan dengan
berbagai kegiatan manajemen.
Pelaksanaan Manajemen Mutu Pendidikan Agama Islam
Kata “mutu” identik dengan kata “kualitas”. Menurut Sagala (2010, hlm. 169), mutu
adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan penilaian bagaimana suatu produk
memenuhi kreteria standar atau rujukan tertentu. Senada dengan Nurhayati (2010,
hlm. 85), menyatakan mutu adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan
yang disyaratkan atau distandarkan. Sedangkan Rohiat (2010, hlm. 52), menelaah
mutu dengan istilah kualitas, yakni gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang atau jasa yang menunjukkan suatu kemampuan dalam memuaskan kebutuhan
yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian kualitas
itu mencakup input, proses, dan output pendidikan.
Mutu, pada dasarnya dapat diartikan sebagai gambaran dan karakteristik
menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam
memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam pendidikan, kata
mutu mencakup kepada input, proses, dan output pendidikan (Mulyasa 2011, hlm.
157).
33
Untuk mengetahui mutu pendidikan yang diselenggarakan di suatu lembaga
pendidikan formal yakni Sekolah Menengah Pertama (SMP), perlu diperhatikan
pelaksanaan kependidikannya, di antaranya: perangkat pembelajaran, penggunaan
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK-KD), pengelolaan pembelajaran,
penggunaan dan pengembangan media pembelajaran.
Untuk jelasnya, dibahas sebagai berikut.
1. Perangkat Pembelajaran
Langkah-langkah yang harus dilakukan guru dalam melengkapi perangkat
pembelajaran itu menurut Muslich (2008, hlm. 41) dengan:
a. Penyusunan silabus, yakni penjabaran standar kompetensi dan kompetensi
dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator
pencapaian kompetensi untuk penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar.
Dalam implementasinya, silabus dijabarkan secara utuh dalam rencana
pelaksanaan pembelajaran, dilaksanakan, dievaluasi, dan ditindak lanjuti oleh
masing-masing guru.
b. Pemetaan kompetensi dasar, yakni penataan semua kompetensi dasar yang
tertuang dalam silabus mata pelajaran ke dalam unit-unit pembelajaran.
c. Analisis alokasi waktu, yakni pelacakan jumlah minggu dalam semester
tahun pelajaran terkait dengan pemanfaatan waktu pembelajaran.
d. Penyusunan Program Tahunan (Prota) dan Program Semester (Promes), yakni
rencana umum pembelajaran mata pelajaran setelah diketahui kepastian
jumlah jam pelajaran efektif dalam satu tahun/semester.
e. Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran, yakni rancangan
pembelajaran mata pelajaran perunit yang akan diterapkan guru dalam
pembelajaran di kelas.
2. Penggunaan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SD-KD)
Dikemukakan Mulyasa (2009, hlm. 231) bahwa standar kompetensi dan kompetensi
dasar (SK-KD) merupakan arah dan landasan pengembangan materi standar,
kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Pengembangan standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-KD)
berdasarkan kepada:
34
a. Konsep disiplin ilmu, artinya standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-
KD) itu dilaksanakan berdasarkan kualifikasi ilmu yang dimiliki guru setiap
mata pelajaran untuk dijadikan acuan oleh guru dalam mengembangkan
silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sesuai dengan keahlian
bidang ilmu yang ditekuninya (Mulyasa 2009, hlm. 231).
b. Keterkaitan antar mata pelajaran dengan cara berkesinambungan, artinya
standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-KD) yang dikembangkan
sesuai dengan mata pelajaran yang diampu setiap guru berdasarkan
pengembangan kurikulum. Sebab diketahui bahwa SK-KD itu merupakan
perumusan tujuan pengajaran yang mengandung kegunaan tertentu dalam
rangka merancang sistem pengajaran (Hamalik 2011, hlm. 113).
3. Pengelolaan Pembelajaran
Pengelolaan pembelajaran dilakukan mengikuti standar pengelolaan pendidikan yang
telah ditetapkan pemerintah untuk dilaksanakan. Pengelolaan pembelajaran itu,
menurut Muslich (2008, hlm. 55) meliputi:
a. Cara pengelolaan tempat belajar, artinya mengatur tempat belajar yakni kelas
dengan cara lebih menarik bagi siswa, memudahkan guru dan siswa untuk
bergerak, memudahkan interaksi guru-siswa dan siswa-siswa, mudah akses
ke sumber/alat bantu belajar, dan memudahkan berbagai kegiatan bervariasi.
b. Cara pengelolaan bahan pelajaran, artinya guru dapat mengelola bahan
pelajaran dengan efektif dan efisien dengan merencanakan tugas dan alat
belajar yang tepat, melakukan umpan balik, serta menyediakan program
penilaian sebagai hasil belajar.
c. Cara pengelolaan kegiatan dan waktu, artinya dalam mengelola pembelajaran
guru menguasai cara dan waktu pelaksanaannya.
35
d. Cara mengelola siswa, artinya guru dalam mengelola siswa hendaknya
mengembangkan kemampuan belajar siswa baik perorangan, berpasangan,
dan berkelompok.
e. Cara mengelola sumber belajar, artinya guru dalam melaksanakan aktivitas
proses belajar mengajar sebaiknya mempertimbangkan sumber daya yang ada
di sekolah dan melibatkan orang-orang yang ada di dalamnya secara efektif.
f. Cara mengelola perilaku mengajar, artinya dalam melaksanakan aktivitas
belajar, guru dapat mengelola perilaku mendengarkan siswa, menghargai
siswa, mengembangkan rasa percaya diri siswa, member tantangan, dan
menciptakan suasana tidak takut salah/gagal pada diri siswa.
4. Penggunaan dan Pengembangan Media Pembelajaran
Menurut pengertian bahasa, kata media berasal dari bahasa Latin yang berbentuk
jamak medium yang berarti perantara atau pengantar. Dengan kata lain, media adalah
perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman 2002,
hlm. 6). Sedangkan menurut istilah, media adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat, serta perhatian siswa sedemikian
rupa sehingga proses belajar terjadi (Sadiman 2002, hlm.7). Ditambahkan Daryanto
(2010, hlm. 4), bahwa media merupakan komponen komunikasi.
Sehubungan dengan media pembelajaran, maka guru dalam pelaksanaan
aktivitas proses belajar mengajar dapat mengguakan media pembelajaran dengan
baik dan sesuai dengan materi pelajaran yang disampaikan, agar pesan yang ingin
disampaikan pada materi pelajaran itu tidak disalah artikan oleh siswa.
Media pembelajaran merupakan alat bantu yang dapat memudahkan guru
melakukan pekerjaan mengajar (Rusman 2012, hlm. 159). Ada dua macam media
36
yang dapat dipergunakan guru dalam pelaksanaan pembelajaran yakni media jadi dan
media rancangan. Media jadi yakni media yang sudah jadi dan bukan guru yang
merancangnya seperti televisi, radio, computer, internet, sedangkan media rancangan
yakni media yang dirancang atau dibuat sendiri oleh guru, seperti tulisan di karton.
5. Memanfaatkan Fasilitas Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Berbagai fasilitas yang dimiliki sekolah dapat dimanfaatkan guru secara maksimal
untuk meningkatkan mutu pendidikan yang telah ditetapkan untuk dicapai. Seperti
gedung, ruang belajar, media pembelajaran merupakan fasilitas yang harus ada dan
dimiliki sekolah.
Namun dalam pembelajaran, sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan
diperlukan fasilitas yang bersifat structural dan institusional. Sebagaimana Arifin
(2003, hlm. 34), mengemukakan bahwa:
a. Fasilitas Struktural, yaitu fasilitas yang berkenaan dengan susunan organisasi
yang mengatur jalannya proses kependidikan dengan berlandaskan kepada
kurikulum.
b. Fasilitas Institusional, yaitu fasilitas yang berhubungan dengan proses
kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi untuk menjamin
proses pendidikan berjalan secara konsisten dan berkesinambungan.
Bidang Garapan Manajemen Mutu Pendidikan Agama Islam
Manajemen merupakan sistem yang dilaksanakan atau dipakai di suatu lembaga
pendidikan formal yakni sekolah yang meliputi, perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengendalian, pengawasan, dan evaluasi dengan memanfaatkan segala
prosedur yang ada kaitannya dengan bidang pendidikan yakni perencanaan sekolah,
pengelolaan program sekolah, pengawasan pengelolaan program sekolah dan
37
evaluasi program sekolah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan agar proses
pendidikan itu dapat berjalan dengan baik dan lancar serta sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.
Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan manajemen mutu Pendidikan Agama
Islam menurut pendapat Rohiat (2010, hlm. 21), bahwa dalam melaksanakan
kegiatan manajemen, sekolah memiliki berbagai bidang garapan, yakni: manajemen
kurikulum, manajemen kesiswaan, manajemen sarana dan prasarana, manajemen
personil/anggota, manajemen keuangan, manajemen hubungan sekolah dan
masyarakat, manajemen layanan khusus.
Untuk jelasnya dapat diperhatikan sebagai berikut.
1. Manajemen Kurikulum
Burhanuddin, et.al. (2003, hlm. 25) mengatakan bahwa manajemen kurikulum harus
dikelola dalam manajemen pendidikan dengan sebaik-baiknya agar lembaga
pendidikan atau sekolah dapat mencapai tujuannya dengan maksimal.
Istilah kurikulum sebagaimana dikemukakan Gunawan (2012, hlm. 1) sering
dimaknai dengan istilah plan for learning (rencana pendidikan). Menurut Hamalik
(2009, hlm.18) adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
belajar mengajar. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran itu,
idealnya diatur kurikulum untuk menata, merencanakan (mendesain) pembelajaran
agar para siswa atau peserta didik menjadi orang-orang yang terampil setelah
menamatkan pendidikannya pada satu jenjang pendidikan. Sebagai rencana
pendidikan, kurikulum memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup,
urutan isi dan proses pendidikan (Syaodih 2004, hlm. 4). Sehingga lulusan
38
pendidikan memiliki nilai relevansi dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan
dunia kerja (Supriyatno 2008, hlm.89).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 36 Ayat (2) ditegaskan bahwa kurikulum pada semua
jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Atas dasar pemikiran
itu maka dikembangkanlah apa yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP).
Dengan demikian jelas bahwa manajemen kurikulum memberikan arti bahwa
penyelenggaraan sekolah mulai dari dibukanya pintu sekolah sampai dengan lonceng
pulang, melakukan kegiatan berdasarkan kurikulum yang berlaku dan selalu
disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
(Rohiat 2010, hlm. 21). Guru dalam pelaksanaan program sekolah harus dapat
mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum itu sebagai usaha mengubah
tingkah laku siswa yang tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu
pengetahuan, tetapi menurut Sardiman (2011, hlm. 21) juga berbentuk kecakapan,
keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, dan penyesuaian diri.
Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan proses belajar mengajar guru tidak dapat
dikatakan profesional bila melakukan proses pembelajaran hanya menggunakan satu
buku dari zaman ke zaman dan tidak pernah merujuk kepada kurikulum yang berlaku
serta tidak dilengkapi dengan perangkat pembelajaran, sehingga guru tidak mengerti
dan memahami ke arah mana tujuan pendidikan yang akan dicapai. Sementara dalam
Standar Nasional Pendidikan pasal 28 ayat 3 butir c dikemukakan bahwa, guru yang
profesional itu adalah guru yang memiliki kemampuan penguasaan materi
39
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta
didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan (Mulyasa 2012, hlm. 135).
Kurikulum yang disusun harus dapat diimplementasikan karena merupakan
program yang dijadikan tujuan untuk melaksanakan pendidikan di lembaga
pendidikan formal. Kurikulum merupakan komponen yang paling penting untuk
keberhasilan daripada pencapaian tujuan kurikulum yakni: a) tujuan yang ingin
dicapai sekolah secara keseluruhan, dan b) tujuan yang ingin dicapai dalam setiap
bidang studi (Daradjat 2011, hlm. 123).
2. Manajemen Kesiswaan
Sumber daya manusia sangat dibutuhkan dan diperhatikan. Sumber daya manusia
yang berkualitas merupakan modal dasar sekaligus menjadi kunci keberhasilan
pembangunan nasional (Mulyasa 2009, hlm.87). Dunia pendidikan sangat menuntut
untuk menciptakan lingkungan belajar yang alamiah sesuai dengan pola pikir siswa
sebagai sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan adalah proses
pertumbuhan potensi intelektual dan psikologis (Sagala 2010, hlm.15).
Potensi itu dapat dikembangkan melalui belajar. Sebab belajar akan lebih
bermakna bila siswa mengalami sendiri apa yang dipelajarinya dalam arti bukan
hanya mengetahui saja. Karenanya manajemen pembelajaran sangat perlu
diperhatikan terutama manajemen kesiswaan. Melalui manajemen kesiswaan
diharapkan target pencapaian tujuan pembelajaran akan lebih berhasil dan siswa
semaksimal mungkin dapat mengembangkan kompetensi dirinya.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tempat berlangsungnya kegiatan belajar
mengajar harus dapat memenuhi kepuasan seluruh warganya. Miskel (2001) dikutip
Suhardan (2010, hlm.111) menyatakan bahwa sekolah yang berkualitas harus
didahului oleh efektivitas semua program yang dijalankannya ke dalam sistem yang
40
terorganisasi dan terintegrasi. Karenanya, budaya sekolah yang membina karakter
para warga sekolah harus diperhatikan dan dikembangkan.
Seperti yang dikatakan Nasution (2011, hlm.64) bahwa kehidupan di sekolah
serta norma-norma yang berlaku dapat disebut kebudayaan sekolah. Selaras dengan
yang diungkapkan Suparno (2009, hlm.61) bahwa kultur sekolah yang positif
(positive school culture) diasosiasikan dengan motivasi dan prestasi siswa yang
tinggi, meningkatkan kolaborasi antarguru, dan mengubah sikap guru terhadap
pekerjaannya ke depan menjadi positif.
Dengan demikian jelas bahwa manajemen sekolah sebagaimana dikemukakan
Rohiat (2010, hlm. 25), adalah kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di sekolah
berkaitan dengan masalah kesiswaan yang dimulai dari perekrutan atau penerimaan
siswa baru, mengikuti pembelajaran atau pembinaan siswa, dan kelulusan.
3. Manajemen sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana pendidikan perlu untuk dilengkapi supaya dapat dicapai
kemajuan sekolah secara utuh dan menyeluruh. Sarana dan prasarana itu berupa
pengadaan dan pendayagunaan tenaga kependidikan, buku pelajaran, peralatan
pendidikan (komputer, ruang kelas, meja, kursi), pengadaan gedung, lahan untuk
bangunan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sebagaimana diungkapkan Mulyono (2010, hlm. 184), bahwa manajemen
sarana dan prasarana adalah seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan
diusahakan secara sengaja untuk pengembangan dan pendayagunaan tenaga
kependidikan. Karena dipahami bahwa manajemen sarana dan prasarana merupakan
keseluruhan proses perencanaan pengadaan, pendayagunaan dan pengawasan agar
tujuan pendidikan di sekolah dapat tercapai dengan efektif dan efisien (Rohiat 2014,
41
hlm. 26). Oleh sebab itu, sarana dan prasaran pendidikan perlu untuk dilengkapi
supaya dapat dicapai kemajuan sekolah secara utuh dan menyeluruh.
Bila sarana dan prasarana tidak dimiliki dengan sempurna oleh suatu sekolah,
maka hal itu membuktikan bahwa sekolah tersebut belum memiliki sumber daya
sarana dan prasarana yang memadai untuk kemajuan sekolah. Sebab sebagaimana
dikemukakan Sutikno (2012, hlm.86) bahwa sumber daya sarana dan prasarana
pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan efisiensi
belajar dan membelajarkan. Artinya, dengan adanya sumber daya sarana dan
prasarana pendidikan yang cukup, maka efisiensi belajar mengajar dapat terlaksana
dengan lancar dan baik.
Dengan demikian jelaslah bahwa Manajemen sarana dan prasarana, artinya
kegiatan yang mengatur untuk mempersiapkan segala peralatan/material bagi
terselenggaranya proses pendidikan di sekolah guna membantu kelancaran proses
belajar mengajar baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan sumber daya
sarana dan prasarana suatu sekolah dapat menjalankan aktivitas proses belajar
mengajar secara layak tanpa ada keraguan bila sekolah itu tidak dapat melaksanakan
operasionalnya secara wajar. Sumber daya sarana dan prasarana merupakan kekuatan
suatu sekolah melaksanakan aktivitasnya.
4. Manajemen personil/anggota
Sistem kepercayaan yang muncul menurut Coleman (2011, hlm.238) tentunya
bermanfaat untuk memahami fenomena di tingkat makro yang melibatkan
kepercayaan, karena pada fenomena inilah ditemukan kombinasi antara tiga
komponen sebuah sistem tindakan, yakni: (1) tindakan bertujuan para pelaku
individual, (2) yang memutuskan untuk memberikan atau menarik kepercayaan, dan
(3) melanggar atau menjaga kepercayaan.
42
Maksudnya, dari tiga komponen sistem tindakan di atas, sistem kepercayaan
yang diberlakukan dalam hubungan pendidikan dengan kemampuan warga sekolah
atau personil sekolah adalah lingkungan pendidikan dan warga sekolah sama-sama
melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk kemanfaatan sampai ditarik suatu
kesimpulan untuk meneruskan sistem kepercayaan itu atau menghentikannya,
melanggar kesepakatan yang telah dipercayai atau menjaga kepercayaan itu dengan
sebaik-baiknya.
Oleh sebab itu, manajemen personil sekolah perlu dilakukan, artinya
pengelolaan sumber daya manusia pendidikan sehubungan dengan telah
berkembangnya profesi kependidikan yang didukung oleh Undang-Undang Guru dan
Dosen serta Sistem Pendidikan Nasional. Sebagaimana dikatakan Hikmat (2011,
hlm. 39), bahwa manajemen yang difokuskan pada peningkatan personal dalam
organisasi dengan cara memberikan pelatihan dan pendidikan.
5. Manajemen keuangan
Dalam pelaksanaan aktivitas sekolah tentu membutuhkan anggaran dana atau biaya
yang tidak sedikit. Oleh sebab itu perlu dilakukan manajemen keuangan sekolah
terutama yang berhubungan dengan cara memperoleh dan menggunakan dana.
Seperti dikatakan Sutikno (2012, hlm. 89), bahwa manajemen keuangan meliputi
kegiatan perencanaan, penggunaan, pencatatan, pelaporan, dan pertanggung jawaban
yang dialokasikan untuk penyelenggaraan lembaga pendidikan.
Keuangan sekolah perlu dikelola secara baik dan efektif agar program yang
direncanakan dapat terlaksana dan pembiayaannya dapat efisien. Menurut Mulyono
(2010, hlm. 181), prosedur manajemen keuangan, antara lain:
a. Dana masukan (input).
43
b. Budgeting (perencanaan anggaran), meliputi kegiatan penentuan RAPBS,
diajukan ke Kakanwil Provinsi, disetujui oleh BP3 sekarang Komite Sekolah,
disahkan oleh Gubernur, APBS yang sah.
c. Throwput (pelaksanaan proses/operasional).
d. Output (hasil usaha).
Dengan memperhatikan prosedur keuangan sekolah, maka dapat
dipertimbangkan anggaran yang dimiliki sekolah dan mengelolanya dengan cara
yang paling efektif, artinya sekolah sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan pendidikan memerlukan dana atau pembiayaan (Rohiat 2010, hlm.
21),. Oleh sebab itu, perlu diadakan manajemen keuangan untuk mewujudkan
tertibnya administrasi keuangan sehingga penggunaan keuangan dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan Undang-
Undang RI nomor 20 tahun 2003.
6. Manajemen hubungan sekolah dan masyarakat
Masyarakat yang ada di sekitar sekolah perlu untuk diberdayakan secara maksimal
oleh lembaga pendidikan formal atau sekolah dengan melakukan hubungan
kemasyarakatan yang baik. Hubungan masyarakat menurut Mulyono (2010,
hlm.201), diartikan sebagai suatu kegiatan usaha yang berencana dan menyangkut
iktikad baik, rasa simpati, saling mengerti untuk memperoleh pengakuan,
penerimaan dan dukungan masyarakat melalui komunikasi dan sarana lain (media
massa) untuk mencapai kemanfaatan dan kesepakatan bersama.
Begitu juga hubungan sekolah dengan masyarakat, harus dibina dan jalankan
sesuai dengan rasa simpati dan perasaan untuk mendukung terlaksananya proses
kependidikan di sekolah yang menjadi tujuan. Sebagaimana dikatakan Burhanuddin
et.all (2003, hlm. 121), bahwa lembaga pendidikan keberadaannya sangat dibutuhkan
44
masyarakat, sebaliknya masyarakat juga dibutuhkan oleh lembaga pendidikan.
Artinya sekolah harus semaksimal mungkin me-manage tata hubungan dengan
masyarakat agar sekolah dapat berperan sebagai agen perubahan (agent of change)
nilai-nilai dan tradisi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan masyarakat (Rohiat 2010,
hlm. 28).
7. Manajemen layanan khusus
Agar aktivitas pendidikan yang telah diprogramkan dalam perencanaan pelaksanaan
berbagai kegiatan, perlu dilakukan dengan manajemen layanan khusus, artinya
sekolah harus dapat mengelola kegiatan untuk mendukung keberhasilan pendidikan,
seperti: mengadakan pusat sumber belajar yakni perpustakaan, pusat kesehatan
sekolah yang dikenal dengan UKS (Unit Kesehatan Siswa), BK (Bimbingan
Konseling), dan kantin sekolah (Rohiat 2010, hlm. 28).
Dalam memberikan layanan belajar yang berkualitas kepada para siswa harus
diusahakan suasana kelas yang disiplin, bersih, aman, kesehatan terjaga, pemakaian
media merata dan teratur serta tidak berebutan. Alat-alat dan bahan yang ada dan
digunakan untuk belajar layak pakai dan dalam jumlah yang cukup untuk digunakan
peserta didik. Karenanya sebagaimana dikatakan Sagala (2010, hlm. 18) bahwa guru
harus pandai melakukan manajemen layanan khusus yang baik dan berkualitas agar
dapat menjadi jaminan bahwa layanan belajar yang dilakukan untuk mendalami ilmu
pengetahuan dapat mencapai kompetensi yang ditentukan.
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, menanamkan nilai-nilai yang Islami
ke dalam hati sanubari umat manusia khususnya umat muslim. Dalam ajaran Islam,
45
tidak ada satu orang muslimpun yang ingin dilihat oleh Allah Swt. berbuat dosa,
berbuat salah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk dan melanggar nilai-
nilai dan norma-norma baik habuluminallah maupun habluminannash.
Oleh karena itu, aktivitas pembelajaran pendidikan agama Islam yang
berlangsung di lembaga pendidikan formal yakni sekolah perlu direncanakan,
dirancang, diorganisasikan, dikembangkan, dan dikelola pelaksanaannya berdasarkan
manajemen pembelajaran pendidikan agama Islam agar dapat mencapai tujuan yang
diharapkan yakni “implementasi iman dan taqwa dalam kehidupan sehari-hari” (Ali
2011, hlm.32).
Hawi (2009, hlm.21) mengemukakan pendidikan agama Islam adalah usaha
sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan
mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengarahan dan latihan.
Usaha sadar tersebut berarti ada tujuan yang diharapkan yang ingin dicapai dalam
pelaksanaan pembelajarannya. Sebagaimana Arifin (1993, hlm.120) menelaah tujuan
pembelajaran pendidikan agama Islam itu berdasarkan pada dimensi kehidupan yang
mengandung nilai ideal yang dapat memadukan (mengintegrasikan) antara
kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. Keseimbangan dan keserasian antara kedua
kepentingan hidup ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari
berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup manusia, baik yang
bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam kepribadian
dan individulity manusia. Kepribadian adalah suatu kondisi kesamaan sifat-sifat
karakteristik yang pokok, dan individuality adalah segala sesuatu yang membedakan
individu dengan individu yang lain, kualitas unik individual, dan integrasi dari sifat-
sifat individu (Purwanto 2011, hlm.5).
46
Pendidikan agama Islam perlu untuk diajarkan kepada semua umat manusia
terutama umat yang beragama Islam. Sebab ajaran agama Islam tidak berasal dari
tradisi, tetapi dari Allah melalui wahyu-Nya, mengatur tata hubungan manusia
dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan manusia lain dalam masyarakat, dan
dengan lingkungan hidupnya (Ali 2011, hlm.36).
Pendidikan Agama Islam di sekolah harus benar-benar diajarkan, agar tujuan
dari pembelajaran dapat dicapai. Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah
sesuatu usaha atau kegiatan selesai (Daradjat 2002, hlm.29). Artinya, dalam
pembelajaran pendidikan agama Islam itu ada tujuan yang ingin dicapai dalam
pelaksanaannya. Achmadi (2008, hlm.27) menyatakan tujuan pembelajaran
pendidikan agama Islam itu bukan untuk kepentingan Tuhan, tetapi semata-mata
untuk memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terbaik.
Selaras dengan al-Abrasyi (2000, hlm.103) mengemukakan bahwa tujuan
utama dari pendidikan Islam ialah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang
sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, jiwa yang bersih, kemauan keras,
cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya,
dapat membedakan buruk dengan baik, menghindari perbuatan tercela, dan selalu
mengingat Tuhan dalam setiap waktu dan setiap pekerjaan yang dilakukan.
Karenanya, guru pendidikan agama Islam dalam melakukan interaksi belajar
mengajar harus memahami akan kebutuhan siswa sesuai dengan fitrahnya.
Pembelajaran pendidikan agama Islam sebagaimana dikemukakan oleh Tafsir
(2010, hlm.135) mencakup pembinaan keterampilan (psikomotorik), kognitif, dan
afektif. Sedangkan Ramayulis (2008, hlm.147) menambahkan bahwa selain
psikomotorik, kognitif, dan efektif, juga meliputi ranah konatif dan performance.
Konatif, berhubungan dengan motivasi atau dorongan dari dalam atau disebut niat,
47
sebagai titik tolak peserta didik untuk melakukan sesuatu. Sedangkan performance
adalah kualitas/kinerja yang dilakukan seseorang. Misalnya ibadah shalat, ranah
kognetifnya adalah pengetahuan tentang shalat, ranah konatifnya adalah niat
(motivasi) melaksanakan shalat, ranah psikomotornya adalah pengamalan shalat,
ranah afektifnya adalah pengaruh shalat terhadap mental, dan ranah performancenya
adalah kekhusu’an, tawadhu’, dan tuma’ninah dalam mengerjakan shalat.
Dengan adanya manajemen, akan terbina hubungan kerjasama yang baik dan
terorganisir dalam sistem sosial dengan pembagian peran dari tugas yang jelas dan
tegas. Sehubungan dengan terbina hubungan kerjasama, maka tujuan pembelajaran
Pendidikan Agama Islam yang diatur dalam implementasi manajemen terutama
manajemen mutu pendidikan menurut Suhardan et.al (2011, hlm. 88) adalah
mencapai:
1) Produktivitas yakni perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh (output)
berupa jumlah tamatan dan kuantitas, dengan jumlah sumber yang digunakan
(input) berupa jumlah tenaga kerja dan sumber daya.
2) Kualitas yang menujukkan suatu ukuran penilaian kepada sesuatu produk
berdasarkan pertimbangan objektif.
3) Efektifitas yakni ukuran keberhasilan tujuan yang dicapai.
4) Efisiensi yang berkaitan dengan cara untuk mencapai tujuan.
Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh tujuan pelaksanaan Pendidikan
Agama Islam terhadap pelaksanaan program sekolah, menurut Kahmad (2009, hlm.
131) ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, yakni: (1) aspek kebudayaan, (2) aspek
sistem sosial, dan (3) aspek kepribadian. Dari ketiga aspek ini, akan dapat
membentuk tujuan pencapaian program yang direncanakan, diorganisasikan,
diarahkan, dikendalikan, dikelola, dan diawasi dalam implementasi manajemen
48
sekolah. Namun secara umum tujuan pelaksanaan Pendidikan Agama Islam adalah
membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan personal
pendidikan dari tahap ke tahap sampai mencapai titik kemampuan optimal dalam
pengelolaan sekolah.
Kegiatan pembelajaran yang berlangsung di kelas bukanlah untuk memenuhi
otak anak dengan berbagai ilmu pengetahuan, malainkan bagaimana caranya
meningkatkan ispirasi siswa untuk belajar lebih baik dan lebih unggul, cerdas serta
pandai. Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan
cepat dan tepat, sedangkan pandai ditandai banyak memiliki pengetahuan, jadi
banyak memiliki informasi (Tafsir 2010, hlm.43).
Dengan cerdas dan pandai tentu akan mudah menginsipirasi siswa untuk
belajar secara berkelanjutan, substansial, dan positif terutama berkaitan dengan
bagaimana mereka berpikir, bertindak, dan merasa (Danim 2010, hlm.18). Sebab,
masing-masing siswa itu berbeda kecerdasan dan kepandaiannya. Hal ini selaras
dengan firman Allah Swt. yang berbunyi:
تويهل قل لمونالذيهيس لمونلوالذيهيع لوايتذكرإومايع ل بابأو ٩-ال
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat
menerima pelajaran” (QS. Azzumar (39):9).
Sementara tujuan manajemen sekolah menurut Nizar (2009, hlm. 92), adalah
menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan
lancar. Juga manajemen sekolah itu mencapai tujuan sekolah secara efektif dan
efisien untuk meningkatkan performansi (kinerja) sekolah dalam pencapaian tujuan
pendidikan, baik tujuan nasional maupun lokal institusional (Rohiat 2010, hlm. 31).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa tujuan manajemen sekolah adalah
untuk mengembangkan potensi sekolah agar menjadi lembaga pendidikan yang
49
berkualitas, dengan para personalnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sehingga dapat
meningkatkan kinerja secara lebih efektif dan efisien guna meningkatkan mutu
pendidikan dan performansi sekolah.
Metode Pembelajaran
Dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, diperlukan metode untuk melakukan
pembinaan rasa beragama pada diri siswa (peserta didik). Pembelajaran menurut
Degeng yang dikutip Uno (2008, hlm.2) adalah upaya untuk membelajarkan siswa.
Dalam kegiatan membelajarkan siswa itu, terdapat kegiatan memilih, menetapkan
dan mengambangkan metode untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang
diinginkan.
Kata metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari meta yang berarti
melalui dan hodos yang berarti jalan. Jadi, metode adalah jalan yang dilalui (Arifin
1993, hlm.97). Artinya, untuk melaksanakan proses pembelajaran di kelas, guru
harus dapat mendesain dan menggunakan metode pembelajaran dengan baik dan
benar. Sebab, pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode, didasarkan pada
kondisi pengajaran yang ada yang dilakukan oleh guru.
Menurut An-Nahlawi (2005, hlm.204) metode yang dianggap paling penting
dan paling menonjol adalah:
a. Metode dialog Qur’ani dan Nabawi, yakni pembicaraan antara dua pihak atau
lebih melalui tanya jawab tentang khithabi (seruan Allah) dan ta’abbudi
(penghambaan terhadap Allah), juga dialog deskriptif, naratif, argumentatif
dan nabawiyah.
50
b. Metode kisah Qur’ani dan Nabawi, yakni belajar melalui cerita-cerita atau
kisah-kisah Qur’ani dan Nabawi seperti kisah para Nabi dan Rasul, kisah
orang-orang yang ingkar dan beriman. Sebab dengan kisah atau cerita akan
dapat memuaskan pikiran para siswa.
c. Metode perumpamaan Qur’ani dan Nabawi yakni penyerupaan persoalan-
persoalan yang abstrak pada perkara-perkara yang konkret, seperti Rasulullah
saw menjelaskan tentang kehinaan duniawi.
d. Metode keteladanan, yakni pemberian contoh yang harus dimulai dari orang
yang memberi contoh untuk diteladani oleh para siswa. Sebagaimana
Rasulullah saw yang dijelaskan Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Ahzab
ayat 21.
e. Metode aplikasi dan pengamalan, yakni metode pembiasaan melakukan
perbuatan-perbuatan yang diajarkan dalam syari’at agama Islam, seperti
ketika akan makan membiasakan membaca doa, mau masuk masjid terbiasa
membaca doa, dan lain sebaginya.
f. Metode ibrah dan nasihat, yakni metode yang merupakan kondisi psikologis
yang menyampaikan pemikiran manusia kepada suatu yang dihadapi
sehingga mendorong hatinya (kalbunya) untuk berperilaku logis dan sesuai
dengan kondisi masyarakat, yang pada akhirnya mau menerima nasihat.
g. Metode targhib dan tarhib yakni metode imbalan dan hukuman, seperti
nikmat surga dan azab neraka.
Memperhatikan kondisi sekarang, Bloom yang dikutip Winkel (1991,
hlm.115) mengemukakan pendapatnya bahwa banyak guru terlalu sibuk mengatur
para siswa (management of learners) dan kurang memperhatikan pada pengelolaan
belajar siswa (management of learning). Maka kualitas pengajaran sangat
51
menentukan keberhasilan siswa. Kualitas pengajaran tergantung dari bagaimana cara
menyajikan materi yang harus dipelajari.
Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa guru kurang memperhatikan
pada pengelolaan belajar siswa, yang berarti guru kurang memperhatikan
penggunaan metode pembelajaran. Padahal metode pembelajaran itu bagi guru yang
memahami akan penting keberadaannya, merupakan cara yang sangat menentukan
keberhasilan pembelajaran. Sukardi (2011, hlm 17) menyatakan bahwa metode
adalah cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan
yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam
melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan baik
dalam arti tujuan pengajaran tercapai.
Memang tidak dapat diingkari bahwa keahlian dalam penguasaan materi
pembelajaran, merupakan syarat bagi penggunaan prosedur-prosedur didaktik
(Winkel 1991, hlm.116). Namun, sebaik apapun materi pembelajaran yang akan
diajarkan bila tidak disampaikan dengan cara yang menarik atau tidak menggunakan
metode pembelajaran yang baik dan benar, maka materi itu sendiri kurang dapat
dicerna oleh peserta didik.
Karena itu, peranan metode pembelajaran sangat penting keberadaannya
dalam keberhasilan penyampaian materi pembelajaran. Sebab metode pembelajaran
itu mengandung implikasi bahwa proses penggunaannya bersifat konsisten dan
sistematis, mengingat sasaran metode itu adalah manusia yang sedang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan (Arifin 2003, hlm.98). kondisi ini berarti metode itu
merupakan lambang sikap hati-hati dalam penyampaian materi pembelajaran di
depan kelas.
52
Manfaat Pelaksanaan Manajemen Mutu Pendidikan Agama Islam
Najati (2007, hlm. 197) mengemukakan bahwa manfaat manajemen mutu Pendidikan
Agama Islam merujuk kepada prinsip-prinsip:
1. Pengembangan prinsip dorongan dan motivasi
Motivasi berasal dari kata motif yang berarti “gerakan atau sesuatu yang bergerak”
(Hikmat 2011, hlm.271). Juga motif seringkali diartikan dengan istilah “dorongan”
(Indrayanto 2009, hlm.53). Artinya dorongan yang muncul dari hati sanubari yang
bersumber kepada pemikiran sehingga menimbulkan tenaga gerak jiwa dan jasmani
untuk melakukan suatu perbuatan. Jadi, motivasi adalah kebutuhan, keinginan,
dorongan, atau gerak hati dalam diri seseorang (Supriyatno 2008, hlm.21).
2. Pengembangan prinsip pengulangan
Prinsip pengulangan maksudnya adalah cara melakukan proses pembelajaran dengan
jalan mengajak para siswa terus menerus mengulang-ulang pembelajaran. Prinsip ini
disebut Purwanto (2010, hlm.113) dengan teknik resitasi yaitu mengulangi atau
mengucapkan kembali (sesuatu) yang telah dipelajari. Penggunaan teknik ini
diharapkan agar siswa dapat langsung menghayati dan berpartisipasi aktif dalam
proses belajar mengajar (Roestiyah 2009, hlm. 88).
Pengembangan prinsip pengulangan dalam manajemen sekolah bukan berarti
pelaksanaan pendidikan itu kaku dan tidak berkembang, tetapi sebaliknya bahwa
pembelajaran dilakukan secara terencana, terorganisir, dan terawasi dengan baik,
sehingga pelaksanaan pendidikan dapat diikuti oleh masyarakat pendidikan dengan
baik dan dapat dipahami dengan benar-benar paham.
3. Pengembangan prinsip partisipasi efektif
Pada partisipasi efektif ini, seorang guru atau pendidik harus memiliki skill atau
keterampilan dalam mempelajari ilmu-ilmu teori dan etika perilaku sosial. Juga harus
53
dapat melakukan penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik dalam
rangka pemberdayaan partisipasi masyarakat (sosial) untuk ikut bertanggung jawab
mengelola pendidikan (Fattah 2012, hlm. 83).
Pada pengembangan prinsip ini yang harus diperhatikan adalah partisipasi
aktif masyarakat tentang pendidikan. Selanjutnya manajemen pendidikan pun harus
dilakukan pembaharuan. Sebab pembaharuan dalam manajemen pendidikan
sesungguhnya tidak hanya sekedar dalam arti etika rasional-empirikal, tetapi harus
menyentuh paradigma sistem pendidikan yang universal (Irianto 2011, hlm. 11),
sehingga dapat mengembangkan partisipasi masyarakat yang efektif.
4. Pengembangan prinsip pembagian proses belajar
Pada pengembangan prinsip ini, perlu diperhatikan teknik atau metode-metode
pembelajaran yang tepat guna. Di antaranya seperti metode pemecahan masalah,
diskusi, dialog dan konsultasi dengan orang-orang yang pandai sehingga dapat
membawa kepada kebenaran dan mendapatkan solusi tepat untuk penyelesaian
permasalahan yang sedang terjadi (Najati 2007, hlm. 194), bukan membiarkan
permasalahan-permasalahan pendidikan itu secara berlarut-larut tanpa ada
penyelesaian. Artinya, bila terdapat permasalahan yang dihadapi para guru karena
proses pembagian jam kerja tidak sama akan mengakibatkan munculnya gejolak-
gejolak, maka sebaiknya jam kerja dalam pelaksanaan pendidikan diatur secara arif
dan bijaksana oleh pimpinan sekolah.
Karenanya dipahami bahwa prinsip pembagian proses belajar dapat
dikembangkan agar para guru dalam melaksanakan tugasnya dapat sesuai dengan
kualifikasi pendidikan yang diperolehnya.
5. Pengembangan prinsip pentahapan dalam mengubah perilaku
54
Beraneka ragam perilaku yang menjadi watak manusia sehingga menjadi suatu nilai
kebiasaan yakni kebiasaan baik dan kebiasaan buruk. Untuk mengubah perilaku itu,
maka harus dilakukan secara bertahap dan berangsur-angsur. Tahapan yang
dilakukan untuk menjadikan watak manusia agar terbiasa melakukan yang baik
menurut Najati (2007, hlm. 197) antara lain: melarang kaum muslimin berperilaku
syirik, melarang kaum muslimin meminum-minuman keras, melarang perjudian,
melarang perbuatan maksiat, dan melarang durhaka pada orang tua. Tahapan-tahapan
yang dilakukan itu seperti pada setiap hari siswa dianjurkan shalat dhuha, pada hari
Jumat dilakukan pembinaan oleh wali kelas selama satu jam pelajaran, dilakukan
Bimbingan Konseling pada setiap minggu kepada para siswa selama satu jam
pelajaran, membina siswa peduli kaum duafa dengan program infak pada setiap hari
Jumat, membina siswa dengan berpakaian Islami, membina para siswa setiap akan ke
sekolah dan pulang sekolah bersalaman kepada kedua orang tua.
Dengan demikian jelas bahwa manfaat manajemen sekolah itu pada
prinsipnya melakukan program perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengendalian, pengelolaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan program-program
sekolah secara efektif dan efisien.
Strategi Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Strategi berkaitan dengan taktik yakni segala cara dan daya untuk menghadapi
sasaran tertentu dalam kondisi tertentu agar memperoleh hasil yang diharapkan
secara maksimal. Taktik dalam pendidikan dikenal dengan sebutan metode atau
teknik (Arifin 2011, hlm. 39).
55
Terdapat beberapa strategi yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran
Pendidikan Agama Islam yang terlihat dari kegiatan-kegiatan manajemen sekolah,
yakni:
1. Perencanaan Program
Untuk jelasnya dapat diperhatikan uraian dari Sutikno (2012, hlm. 28), berikut.
a. Perencanaan Strategik, disebut perencanaan jangka panjang.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk penyusunan rencana strategik:
1) Analisis keadaan sekarang dan akan datang.
2) Identifikasi kekuatan dan kelemahan lembaga.
3) Mempertimbangkan norma-norma.
4) Identifikasi kemungkinan dan resiko.
5) Menentukan ruang lingkup hasil dan kebutuhan masyarakat.
6) Menilai faktor-faktor penunjang.
7) Merumuskan tujuan dan kreteria keberhasilan.
8) Menetapkan penataan distribusi, sumber-sumber.
b. Perencanaan koordinatif, yakni mengarahkan jalannya pelaksanaan program,
sehingga tujuan yang ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien.
c. Perencanaan Operasional
Perencanaan ini bersifat spesifik dan berfungsi untuk memberikan petunjuk
konkret tentang bagaimana suatu program khusus dilaksanakan menurut
aturan, prosedur, dan ketentuan lain yang ditetapkan secara jelas.
2. Pengorganisasian Program
Supriyatno (2008, hlm. 16) mengemukakan bahwa pengorganisasian adalah proses
penentuan, pengelompokkan dan penyusunan macam kegiatan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan, penempatan orang-orang (staff) pada kegiatan yang diprogramkan
untuk dilaksanakan.
Pada pengorganisasian program sekolah ini, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, antara lain: 1) perumusan tujuan, 2) penetapan tugas pokok, 3)
perincian kegiatan, 4) pengelompkkan kegiatan, dan 5) monitoring dan reorganisasi.
Hal ini selaras dengan Komariah (2011, hlm.150) mengemukakan bahwa
pengorganisasian merupakan proses menyusun organisasi formal dengan melakukan
56
aktivitas merancang struktur, menganalisis pekerjaan, menganalisis kualifikasi
pekerjaan, mengkoordinasikan pekerjaan, serta memantau pelaksanaan pekerjaan.
Dengan pengorganisasian program sekolah, memberikan suatu pemahaman
bahwa dilakukan penyusunan struktur dan membentuk hubungan agar diperoleh
kesesuaian dalam usaha mencapai tujuan yang telah diprogramkan bersama.
3. Pengarahan Program
Pengarahan program merupakan fungsi terpenting dalam pelaksanaan manajemen
sekolah. Pengarahan menurut Suriyatno (2008, hlm. 20) didasarkan pada alasan
bahwa, usaha-usaha perencanaan dan pengorganisasian bersifat vital, tapi tidak akan
ada output yang konkrit tanpa adanya implementasi aktivitas yang diusahakan dan
diorganisasikan dalam suatu tindakan.
Program sekolah yang telah direncanakan dan diorganisasikan hendaknya
diarahkan pada pencapaian visi dan misi sekolah. Sebab dipahami bahwa visi dan
misi sekolah merupakan tujuan target yang akan dicapai program sekolah. tanpa ada
visi, misi, dan tujuan yang akan dicapai, maka program sekolah dari manajemen
sekolah tidak akan terlaksana dengan baik, efektif, dan efisien.
4. Pengendalian Program
Pengendalian merupakan suatu unsur manajemen usaha melihat segala kegiatan yang
telah dilaksanakan telah sesuai dengan rencana yang digariskan atau belum. Dengan
diketahui pelaksanaan program, maka dapat ditentukan rencana kerja yang akan
datang. Sebab diketahui bahwa pengendalian adalah pengukuran dan perbaikan
terhadap pelaksanaan kerja bawahan agar rencana-rencana yang telah dibuat dapat
tercapai (Supriyatno 2008, hlm. 24).
Pengendalian dapat dilakukan melalui tahap-tahap yang telah ditentukan
berdasarkan perencanaan yang telah disusun sebelumnya. Menurut Supriyatno (2008,
57
hlm.27) bahwa proses pengendalian atau kontrol dilakukan melalui tahap-tahap
sebagai berikut:
a. Menentukan standar-standar atau dasar untuk melakukan kontrol.
b. Mengukur pelaksanaan kerja.
c. Membandingkan pelaksanaan dengan standar dan menentukan deviasi-
deviasi bila terjadi atau ada.
d. Melakukan tindakan perbaikan jika terdapat penyimpangan (deviasi) agar
pelaksanaan dan tujuan sesuai dengan rencana.
Hikmat (2011, hlm.123) mengemukakan bahwa pengendalian (controlling)
adalah mengawasi pelaksanaan baik secara vertikal maupun horizontal guna meneliti
dan mengawasi agar semua tugas dilakukan dengan baik dan sesuai dengan peraturan
yang ada dan deskripsi kerja masing-masing personel.
5. Pengelolaan Program
Mulyasa (2009, hlm. 39) mengemukakan bahwa standar pengelolaan adalah standar
nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota,
provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pendidikan.
Demikian juga dengan manajemen sekolah, dikelola secara baik dan sesuai
dengan program yang akan dicapai dengan konsep dasar manajemen sekolah yakni
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan kepemimpinan yang
menjamin kelangsungan dari program sekolah, sehingga tujuan yang dikehendaki
oleh subjek belajar itu dapat tercapai.
58
6. Pengawasan Program
Menurut Sutikno (2012, hlm. 57), secara umum pengawasan dikaitkan dengan upaya
untuk mengendalikan, membina dan peluasan sebagai upaya pengendalian mutu.
Begitu juga dengan program yang direncanakan untuk dilaksanakan, setelah
dilaksanakan atau belum perlu dilakukan pengawasan oleh manajer atau pimpinan
yakni kepala sekolah atau oleh orang yang dipilih dan ditunjuk oleh kepala sekolah.
Program yang telah direncanakan, pengawasannya menyangkut kegiatan
membandingkan antara hasil nyata yang dicapai dengan standar yang telah
ditetapkan. Artinya, program-program sekolah yang telah direncanakan dan
diorganisasikan pelaksanaannya dapat diketahui hasilnya. Apabila sudah berhasil
dengan baik, maka dilakukan pembinaan untuk supaya dipertahankan dan
diusahakan untuk lebih baik lagi. Namun bila hasilnya belum memuaskan, maka dari
hasil pengawasan itu perlu dilakukan perbaikan dengan pembinaan yang lebih baik.
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah menurut Gunawan (2012,
hlm. 202), berdasarkan pada tiga landasan yang mendasar, yakni:
1) Landasan Yuridis Formal, yakni landasan yang berkaitan dengan dasar dan
undang-undang yang berlaku pada suatu negara.
2) Landasan Psikologis, yakni landasan yang berhubungan dengan aspek
kejiwaan kehidupan bermasyarakat.
3) Landasan Religius, yakni landasan yang bersumber dari ajaran Islam.
Sebagaimana Firman Allah swt,
59
Artinya: serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk (QS. An-Nahl: 125).
Dalam ayat yang lain Allah swt berfirman:
Artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran: 104).
Dua ayat di atas, memberikan pelajaran bahwa pelaksanaan Pendidikan
Agama Islam itu tidak terlaksana dengan sendirinya, melainkan ada suatu tujuan
yang ingin dicapai. Dengan manajemen yang baik dalam pelaksanaan Pendidikan
Agama Islam, maka keseimbangan dalam pembinaan siswa terlaksana dengan baik.
Memanfaatkan Fasilitas Sekolah Dalam Pendidikan Agama Islam
Berbagai fasilitas yang dimiliki sekolah dapat dimanfaatkan guru secara maksimal
untuk meningkatkan mutu pendidikan yang telah ditetapkan untuk dicapai. Seperti
gedung, ruang belajar, media pembelajaran merupakan fasilitas yang harus ada dan
dimiliki sekolah.
Namun dalam pembelajaran, sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan
diperlukan fasilitas yang bersifat struktural dan institusional. Sebagaimana Arifin
(2003, hlm. 34), mengemukakan bahwa:
1. Fasilitas Struktural, yaitu fasilitas yang berkenaan dengan susunan organisasi
yang mengatur jalannya proses kependidikan dengan berlandaskan kepada
kurikulum.
60
2. Fasilitas Institusional, yaitu fasilitas yang berhubungan dengan proses
kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi untuk menjamin
proses pendidikan berjalan secara konsisten dan berkesinambungan.
Program Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar
Agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien, maka
guru harus dapat melakukan program pelaksanaan proses belajar mengajar. Zain
(2010, hlm. 9), mengemukakan bahwa setiap kegiatan belajar mengajar mempunyai
sasaran atau tujuan bertahap dan berjenjang mulai dari yang sangat operasional dan
konkret.
Sehubungan dengan pandangan di atas, maka guru dalam melakukan program
pelaksanaan proses belajar mengajar itu dapat mengatur dan mengembangkan tata
cara pelaksanaannya yakni mulai dari kegiatan sebelum proses belajar mengajar,
kegiatan awal proses belajar mengajar, kegiatan proses pembelajaran, dan kegiatan
akhir proses belajar mengajar.
Dalam melakukan program pelaksanaan proses belajar mengajar, secara garis
besar dijelaskan Muslich (2008, hlm. 55), terdiri atas:
1. Kegiatan sebelum proses belajar mengajar, yakni kegiatan yang dilaksanakan
sebelum berlangsungnya proses belajar mengajar di dalam kelas yang
bertujuan memotivasi personal sekolah untuk lebih aktif.
2. Kegiatan awal proses belajar mengajar, yakni kegiatan yang dilakukan untuk
menarik minat siswa untuk belajar, seperti memulai pelajaran dengan ucapan
salam dan basmalah, melakukan pretes tentang pelajaran yang lalu, dan
menghubungkan materi pelajaran yang lalu dengan bahan atau kompetensi
baru yang akan dipelajari.
61
3. Kegiatan proses pembelajaran, yakni kegiatan pembelajaran tentang materi
atau kompetensi baru. Dalam kegiatan ini, guru dan siswa melakukan
beberapa kegiatan seperti eksplorasi, konsolidasi pembelajaran, serta
pembentukan sikap dan perilaku.
4. Kegiatan akhir proses belajar mengajar, yakni kegiatan akhir yang dilakukan
dengan membuat kesimpulan hasil belajar, post tes, dan menutup pelajaran
dengan lafaz hamdalah dan salam.
Dengan melakukan berbagai aktivitas dalam proses belajar mengajar yang
jelas, maka mutu pendidikan yang diselenggarakan suatu sekolah akan terlihat
bermutu atau tidak. Mutu pendidikan merupakan hal yang harus diperhatikan dan
diupayakan untuk dicapai, sebab pendidikan akan menjadi sia-sia bila mutu proses
dan lulusannya rendah. Lebih menyedihkan lagi, jika output pendidikannya
menambah beban masyarakat, keluarga, dan negaranya.
Faktor Penghambat Dan Pendukung Implementasi Manajemen Mutu
Pendidikan Agama Islam
Faktor Penghambat
Terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat pengimplementasian manajemen
mutu Pendidikan Agama Islam dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan,
diantaranya:
1. Faktor Insani (Manusia)
Menurut An-Nahlawi (2005, hlm. 38) mengemukakan bahwa hakikat insan
(manusia) bersumber pada dua asal, yakni:
a. Ashal Al-Ba’id (asal yang jauh), maksudnya penciptaan pertama manusia itu
adalah dari tanah yang disempurnakan dan ditiupkan ruh kepadanya.
62
b. Ashal Al-Qarib (asal yang dekat), maksudnya manusia itu diciptakan Allah
swt dari nutfah.
Faktor insan dapat dikatakan sebagai faktor penghambat implementasi
manajemen mutu Pendidikan Agama Islam. Faktor insan ini antara lain:
Faktor Kepala Sekolah
Mulyono (2010, hlm. 153) mengemukakan bahwa kepala sekolah harus memiliki
kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah itu antara lain:
1. Memiliki landasan dan wawasan pendidikan.
2. Memahami sekolah sebagai sistem.
3. Memahami manajemen berbasis sekolah.
4. Merencanakan pengembangan sekolah.
5. Mengelola kurikulum, tenaga kependidikan, sarana prasarana, kesiswaan,
keuangan, hubungan masyarakat sekolah, kelembagaan, sistem informasi
sekolah, dan waktu.
6. Memimpin sekolah.
7. Mengembangkan budaya sekolah.
8. Memiliki dan melaksanakan kreativitas, inovasi dan jiwa kewirausahaan.
9. Mengembangkan diri.
10. Menyusun dan melaksanakan regulasi sekolah.
11. Memberdayakan sumber daya sekolah.
12. Melakukan koordinasi/ penyerasian.
13. Mengambil keputusan secara terampil.
14. Melakukan monitoring dan evaluasi.
15. Menyiapkan, melaksanakan, dan menindaklanjuti hasil akreditasi.
16. Membuat laporan akuntabilitas sekolah.
17. Melaksanakan supervisi/ penyeliaan.
Dipahami bahwa kepala sekolah merupakan seorang yang bertugas oleh
pihak ketiga, untuk memimpin suatu lembaga pendidikan (sekolah) (Wahyudi 2012,
hlm. 14). Di dalam menjalankan tugasnya, kepala sekolah bertanggung jawab
terhadap kualitas sumber daya manusia yang ada. Hal ini bertujuan agar kepala
sekolah mampu menjalankan tugas-tugas yang telah diberikan kepadanya. Kepala
sekolah adalah tenaga fungsional guru, yang diberi tugas untuk memimpin suatu
sekolah, yang dimana diselenggarakan proses belajar mengajar atau tempat dimana
63
terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima
pelajaran (Sumijo 2005, hlm. 83).
Secara ideal, kepala sekolah sebagai seorang pemimpin dan juga sebagai
seorang supervisor harus benar-benar dapat memahami tugas-tugasnya baik selaku
pemimpin (manajer) maupun supervisor. Sebagai seorang supervisor, kepala sekolah
menurut Suprihatiningrum (2013, hlm. 299) mempunyai beberapa peran penting,
yakni:
1. Mengadakan observasi di setiap kelas (dilakukan secara mendadak) untuk
peningkatan efektivitas proses pembelajaran.
2. Melaksanakan pertemuan individual dengan guru untuk menggali potensi
masing-masing guru.
3. Menyediakan waktu dan pelayanan bagi guru dalam upaya pemecahan
masalah akademik dan administratif.
4. Menyediakan dukungan dan suasana kondusif bagi guru dalam perbaikan
dan peningkatan kinerja guru.
5. Melaksanakan pengembangan staf secara terencana, terarah, dan
berkelanjutan.
6. Bekerjasama dengan guru untuk mengevaluasi hasil belajar secara
komprehensif.
7. Melaksanakan penelitian sederhana untuk perbaikan situasi dan kondisi
proses pembelajaran.
Namun dalam realitas sekarang ini, seringkali kepala sekolah lebih banyak
berperan sebagai seorang penguasa tunggal pada tingkatan sekolah. Akibatnya, bila
melakukan aktivitas supervisi mengarah kepada tindakan antidemokratis, otoriter dan
cenderung bersifat tirani (Sam 2008, hlm.87). Sebagaimana dikatakan Sagala (2010,
hlm. 35), bahwa pada berbagai institusi satuan pendidikan kepala sekolah memiliki
orang-orang tertentu sebagai orang kepercayaan yang dapat dimanfaatkan kepala
sekolah sesuai dengan kehendaknya, sehingga berbagai kebijakan dan keputusan
adalah hasil rekayasa kepala sekolah dengan orang kepercayaannya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa lemahnya kompetensi kepala sekolah dalam memegang amanah
kepemimpinan. Akibatnya, aktivitas manajemen sekolah tidak dapat berjalan
64
sebagaimana yang diharapkan dan mutu pendidikan pada sekolah yang dipimpinnya
tidak akan mencapai hasil yang maksimal.
Faktor Guru (Pendidik)
Dalam aktivitas pembelajaran terdapat interaksi antara guru dengan siswa yakni
interaksi belajar mengajar yang di dalamnya ada suatu prosedur yang direncanakan,
didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sardiman 2010, hlm.15).
Interaksi belajar mengajar itu ditandai dengan suatu penggarapan materi yang khusus
yang dilakukan sebagai manifestasi dari apa yang telah didesain.
Supaya berhasil apa yang telah didesain oleh guru (pendidik) dalam proses
belajar mengajar ditentukan oleh sikap, mental, dan akhlak dari guru itu sendiri,
apalagi berstatus guru pendidikan agama Islam. Sebagaimana Daradjat (1991,
hlm.57) mengemukakan bahwa:
Guru agama mempunyai tugas yang cukup berat, yaitu ikut membina pribadi
anak disamping mengajarkan pengetahuan agama kepada anak. Guru agama
harus memperbaiki pribadi anak yang telah terlanjur rusak karena pendidikan
dalam keluarga. Guru agama harus membawa anak didik semuanya kepada
arah pembinaan pribadi yang sehat dan baik. Setiap guru agama harus
menyadari, bahwa segala sesuatu pada dirinya akan merupakan unsur
pembinaan bagi anak didik.
Pendapat di atas memberikan pandangan bahwa kehadiran guru terutama
guru agama sangat diperlukan untuk membantu memperbaiki pribadi dan karakter
para siswa yang telah terlanjur rusak karena pendidikan dalam keluarga. Kegiatan
pembelajaran yang baik menuntut kehadiran guru yang baik. Berbeda guru, berbeda
pula karakter dan gayanya. Keistimewaan adalah suatu kebijakan dan pembelajaran
yang sukses bertumpu pada karakter guru serta pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya (Danim 2010, hlm.7). Setiap gerak atau perilaku guru khususnya guru
agama akan selalu menjadi bahan teladanan dari para siswanya. “Keteladanan dalam
pendidikan adalah metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam
65
mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral, spiritual, dan sosial” (Ulwan
1988, hlm.2).
Selain itu, guru harus mampu berperan untuk merencanakan kegiatan belajar
mengajar secara efektif. Untuk itu, sebagaimana dikemukakan Slameto (2010,
hlm.100) bahwa guru harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang prinsip-
prinsip belajar sebagai dasar dalam merancang kegiatan belajar mengajar seperti
merumuskan tujuan, memilih bahan, memilih metode, dan menetapkan evaluasi.
Faktor Anak Didik (Siswa)
Setiap anak didik memiliki perbedaan-perbedaan individual seperti tingkat
pengetahuan, tingkat kecerdasan, tingkat kemudahan penguasaan pelajaran, serta
merupakan “makhluk yang aktif, penuh spontanitas, dan mempunyai kemampuan-
kemampuan kreatif” (Barnadib 1991, hlm.66). Perbedaan individu itu merupakan
seni dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islam yang harus terjadi
supaya guru dapat me-manage implementasi pembelajaran untuk membelajarkan
anak didik (siswa).
Memperhatikan kondisi seperti di atas, menunjukkan bahwa perbedaan
individu itu merupakan kemampuan-kemampuan potensial yang ada pada setiap
anak didik. Artinya anak didik memegang peranan yang penting dalam
terselenggaranya pembelajaran. Sebagaimana diungkapkan Djamarah (2005, hlm.51)
bahwa Guru tidak mempunyai arti apa-apa tanpa kehadiran anak didik sebagai subjek
pembinaan.
2. Faktor Non Insani (Faktor selain Manusia)
Melalui manajemen pembelajaran pendidikan agama Islam guna menjabarkan,
mengajarkan dan membina para siswa kepada pendalaman nilai-nilai dan norma-
66
norma yang Islami, maka perlu diperhatikan faktor-faktor selain manusia yang
menghambat implementasi mutu Pendidikan Agama Islam, yakni:
Sarana dan Prasarana
Untuk meningkatkan kemajuan sekolah, perlu adanya sarana dan prasarana yang
cukup dan lengkap. Sarana dan prasarana dalam pendidikan adalah semua benda
bergerak dan tidak bergerak yang dibutuhkan untuk menunjang penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung (Rohiat
2010, hlm.26). Sarana dan prasarana itu berupa pengadaan dan pendayagunaan
tenaga kependidikan, buku pelajaran, peralatan pendidikan (komputer, ruang kelas,
meja, kursi), pengadaan gedung, lahan untuk bangunan, dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Tidak semua sekolah memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Oleh
sebab itu, dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, perlu manajemen sarana
dan prasarana sehingga tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara
efektif dan efisien.
Produktivitas Kerja
Menurut Suhardan et.al (2011, hlm. 88), Produktivitas yakni perbandingan terbaik
antara hasil yang diperoleh (output) berupa jumlah tamatan dan kuantitas, dengan
jumlah sumber yang digunakan (input) berupa jumlah tenaga kerja dan sumber daya.
Perencanaan sumber daya manusia sebagai suatu proses manajemen untuk
menentukan bagaimana produktivitas kerja personal organisasi seharusnya berpindah
dari posisi SDM sekarang ke posisi SDM yang diinginkan. Melalui proses ini
diharapkan menurut Ellitan (2009, hlm. 177) manajemen akan memiliki SDM dalam
jumlah dan kualifikasi yang tepat, pada tempat yang tepat, waktu yang tepat, yang
67
dapat menghasilkan keuntungan jangka panjang baik bagi individu (SDM) maupun
organisasi.
Untuk memahami akan hakikat produktivitas dapat dipahami secara umum
bahwa produktivitas diartikan sebagai perbandingan antara apa yang dihasilkan
dengan apa yang dimasukkan. Oleh karena itu menurut Sumarsono (2003, hlm. 62)
dalam konsep produktivitas, terdapat kegiatan penilaian dan pengukuran yang di
dalamnya mempunyai sifat evaluatif dan pengembangan. Bersamaan dengan
kegiatan pengukuran perlu dilakukan perbaikan metode kerja, kegiatan pendidikan
dan pelatihan, sistem dan praktik manajemen yang mampu mengelola setiap
perubahan eksternal.
Diungkapkan Sumarsono (2003, hlm. 63), bahwa terdapat dua cara
pengukuran produktivitas yang sering digunakan, yakni:
a. Produktivitas “Engineering Model” yang mengacu pada lingkungan fisik.
b. Produktivitas “Accounting Model” yakni pendekatan ekonomi yang mengacu
pada lingkungan pasar.
Kedua cara pengukuran produktivitas itu pada dasarnya untuk mengukur
keberhasilan tenaga kerja yang dapat menghasilkan suatu produk dalam waktu
tertentu. Sedangkan kondisi yang mempengaruhi produktivitas menurut Mulyasa
(2011, hlm. 117), adalah pendidikan dan pelatihan, keterampilan, kedisipilinan,
motivasi, sikap dan etika kerja, gizi dan kesehatan, tingkat penghasilan, jaminan
sosial, lingkungan dan iklim kerja, hubungan industrial, teknologi, sarana produksi,
manajemen dan kesempatan berprestasi.
68
Faktor Pendukung
Selain faktor penghambat ierdapat faktor pendukung implementasi manajemen mutu
Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan mutu pendidikan, di antaranya:
1. Kompetensi Guru
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 42 ayat 1
menegaskan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Memperhatikan Undang-Undang RI di atas, jelas bahwa guru dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya mendidik harus memiliki kualifikasi
keahlian (profesional) dalam bidang pelajaran yang diampunya dan memiliki
kemampuan (kompeten) dalam pelaksanaan tugasnya itu. Kompetensi yang harus
dimiliki guru ada 4 macam yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial (Hamrin 2012, hlm.99).
Dengan memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan bidang
keahliannya, maka guru secara ideal setiap akan melaksanakan tugasnya yakni proses
belajar mengajar, ia selalu membuat persiapan mengajar seperti program tahunan,
program semester, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Sebab menurut
Hamalik (2009, hlm.116) mengemukakan bahwa dalam persiapan itu sudah
terkandung tentang tujuan mengajar, pokok yang diajarkan, metode mengajar, bahan
pelajaran, alat peraga, dan teknik evaluasi yang akan digunakan.
Guru sebagai ujung tombak proses pendidikan memiliki banyak dimensi
peran yang harus diembannya dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan. Sebagai
ujung tombak kualitas guru akan menentukan kualitas mutu layanan dan lulusan
69
yang dihasilkan, selama ini tidak banyak ditemukan guru yang dapat bekerja dengan
sempurna (Suyanto 2007, hlm.4).
Kompetensi guru kadang-kadang penuh misteri. Disatu sisi guru sebagai 1)
infomator, 2) motivator, 3) organisator, 4) katalisator, 5) evalautor 6) komunikator,
7) transformator, 8) inovator, 9) konselor, 10) konduktor (Siswoyo 2009, hlm. 99),
namun disisi lain guru harus menerima kenyataan kadang-kadang dicemooh orang
karena sesuatu hal. Gambaran kondisi guru yang seperti itu harus segera diatasi guna
meningkatkan kinerja guru kepada lebih baik dan bermartabat.
2. Transparansi Manajemen Sekolah
Sikap keterbukaan, keterusterangan, dan kejujuran sangat diperlukan dalam
pelaksanaan manajemen sekolah. Artinya, harus ada transparansi manajemen sekolah
terutama dalam hal manajemen keuangan sekolah sebagai pendanaan atau
pembiayaan dalam setiap operasional sekolah, sebab manajemen keuangan yang
diterapkan di sekolah berperan sebagai supporting unit atau unit penunjang
(Supriyatno 2008, hlm. 77).
Tentang hal keuangan sekolah, seorang kepala sekolah harus dapat
menjelaskan secara terang-terangan kepada personal sekolah yang lain, sehingga ada
kejelasan tentang fungsi-fungsi manajemen keuangan sekolah, sebagaimana
dikatakan Supriyatno 2008, hlm. 78), antara lain:
a. Investment decision, yakni keputusan penggunaan dana atau pengalokasian
dana yang digunakan dalam jangka pendek dan jangka panjang.
b. Ficancial decision, yakni keputusan dengan pemilihan sumber dana.
c. Deviden decision, yakni penentuan perolehan dana dan operasionalnya.
70
Ketiga fungsi manajemen keuangan sekolah di atas, harus ada transparansi
oleh kepala sekolah dalam aktivitas manajemen sekolah, sehingga dapat menjalani
aktivitas pendidikan dengan baik dan efektif.
3. Produktivitas Sekolah
National Productivity Board (NPB) Singapore, merumuskan bahwa produktivitas
adalah sikap mental (attitude of mind) yang mempunyai semangat untuk melakukan
peningkatan perbaikan (Mulyasa 2009, hlm. 131).
Produktivitas sekolah berkaitan dengan cara kerja personal sekolah untuk
meningkatkan mutu pendidikan yang meliputi pengetahuan, ketermpilan,
kedisiplinan, pemanfaatan dana, manajemen dan cara kerja yang baik. Juga
berhubungan dengan merancang upaya meningkatkan mutu pendidikan yang
meliputi peningkatan motivasi kerja, pelatihan dan pendidikan, dan kegiatan
supervisi.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas sekolah, kepala sekolah selaku
pemimpin yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan aktivitas sekolah selalu
memaksimalkan sikap dan kemampuan diri yang bertanggung jawab dalam
kepemimpinan. Sikap terbuka terhadap ide-ide dan pandangan baru, memiliki tipe
kepemimpinan, memiliki intelegensi yang cukup tinggi, tegas, dan berwibawa, serta
dapat memberdayakan sumber daya sekolah.
Oleh sebab itu, dikatakan Mulyasa (2009, hlm. 134), bahwa produktivitas
sekolah berkaitan dengan keseluruhan proses perencanaan, penataan, dan pendaya-
gunaan sumber daya untuk merealisasikan tujuan pendidikan secara efektif dan
efisien dengan mencakup tiga fungsi yakni: a) fungsi manajerial, b) fungsi behavioral
atau fungsi pelayanan, dan c) fungsi ekonomi.