165
Bab Enam
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
Sarasehan dan Kegiatan Ritual
Rumah dua lantai di Jalan Bulusan Selatan Raya Nomor
111 Semarang itu berdiri kokoh di antara permukiman
penduduk. Itulah pusat kegiatan Arso Tunggal. Pada setiap
Rabu malam, di rumah itu diselenggarakan pertemuan anggota
paguyuban, dimulai sekitar pukul 23.00 WIB sampai pukul
02.00 WIB Kamis dinihari.
Pada setiap pertemuan, sekitar 15-20 anggota hadir.
Sebagian mengendarai sepeda motor, sebagian yang lain
mengendarai mobil. Mereka datang dari berbagai tempat di
Kota Semarang dan sekitar. Mereka saling memberi salam
dengan cara merapatkan telapak tangan kanan ke dada. Begitu
datang, mereka bersantai di atas tikar yang digelar di ruang
tengah atau duduk di ruang tamu, menonton televisi, minum
kopi atau teh, dan memperbincangkan berbagai hal, sambil
menunggu pendiri Arso Tunggal, Djoko Murwono.
Pada sekitar pukul 23.30 WIB Djoko Murwono datang,
memberi salam. Dia menanyakan keadaan orang-orang yang
sudah datang lebih dulu; tentang keluarga mereka, tentang
Jawa Menyiasati Globalisasi
166
kesehatan, dan tentang perkembangan kegiatan paguyuban.
Perbincangan pun kemudian berkembang pada berbagai hal,
terutama berkaitan dengan masalah budaya Jawa.
Berbagai macam topik perkembangan kehidupan masya-
rakat dibicarakan dalam pertemuan, yang disebut sebagai
sarasehan Reboan itu. Perkembangan aktual berkaitan dengan
masalah sosial, politik, agama, dan ekonomi – baik lokal,
nasional maupun internasional – dibahas dalam perspektif
budaya Jawa. Terjadi diskusi yang menarik dalam sarasehan
yang berlangsung hingga sekitar pukul 00.30 WIB.
Setelah itu, mereka bersama-sama naik ke lantai dua,
memasuki empat kamar yang ada. Di setiap kamar terdapat
peralatan berupa paku-paku kayu terdiri dari empat bagian.
Bagian pertama berukuran sekitar satu meter kali 30 sentimeter,
tiga bagian yang lain berukuran sekitar 30 sentimeter persegi.
Tinggi paku-paku kayu tersebut masing-masing sekitar lima
sentimeter. Bagian pertama disiapkan untuk menopang tubuh,
dua bagian lain untuk tangan, dan satu bagian lagi yang
dibungkus kain dipersiapkan sebagai alas kepala.
Di tiap-tiap kamar terdapat tiga alat tersebut, yang dijajar-
kan horizontal di lantai. Di bagian atas alat yang berada di
tengah terdapat alat yang melengkung, berada di bawah meja
yang dilengkapi dengan tiga lilin yang menyala.
Para anggota melepaskan sabuk, arloji, dompet, telepon
seluler, dan barang-barang lain yang melekat di tubuhnya,
sehingga hanya mengenakan baju dan celana. Mereka kemudian
berdoa menurut keyakinan mereka sendiri-sendiri. Setelah itu,
para anggota merebahkan tubuh di atas paku-paku kayu dan
melakukan meditasi. Bagi yang belum terbiasa, rebah di atas
paku-paku kayu itu membuat tubuh terasa sakit, terutama di
bagian belakang kepala.
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
167
Proses meditasi tersebut berlangsung sampai sekitar pukul
01.00 WIB. Satu per satu anggota turun ke lantai bawah,
kembali memperbincangkan berbagai hal berkaitan dengan
kehidupan dan perkembangan kegiatan paguyuban. Diskusi
berlangsung sampai dengan pukul 02.00 WIB. Setelah itu,
mereka pulang ke rumah masing-masing.
Gambar 3: Kegiatan ritual Paguyuban Arso Tunggal
Itulah gambaran kegiatan sarasehan dan ritual yang
diterapkaan Arso Tunggal. Kegiatan ritual tersebut bertujuan
melatih anggota mengasah ketajaman hati nurani, dengan cara
sumber: koleksi pribadi penulis
Jawa Menyiasati Globalisasi
168
menenangkan dan mematikan pikiran; menghilangkan rasa
sakit. Proses itu mereka sebut ngraga sukma. Dengan rebah di
atas paku-paku kayu, anggota diuji tingkat ketahanan terhadap
rasa sakit. Rasa sakit akan hilang dengan sendirinya, kalau
mereka bisa mengendalikan pikiran dan mempertajam hati
nurani (mati raga).
Ngraga sukma yang diterapkan Arso Tunggal berbeda dari
pengertian ngrogoh sukma yang dikenal di kalangan penganut
kebatinan. Ngrogoh sukma merupakan proses merogoh (meng-
ambil) jiwa kemudian dikeluarkan dari badan, sehingga jiwa itu
bisa mengembara ke tempat-tempat lain, di luar badan. Proses
itu lalu membuat jiwa seseorang dapat melihat keadaan di
tempat lain. Di kalangan masyarakat Jawa, proses itu biasa
dikenal dengan terawangan (dari kata menerawang).
Berbeda dari ngrogoh sukma, maka ngraga sukma tidak
merogoh jiwa untuk mengembara, melainkan mengeksplorasi
jiwa untuk diragakan. Dengan kata lain, ngraga sukma adalah
meragakan jiwa. Jiwa harus dieksplorasi agar dapat memimpin
raga, sehingga hidup manusia tidak lagi dikendalikan oleh
keinginan-keinginan raga, melainkan dikendalikan oleh niat
dari dalam jiwa.
Proses ritual tersebut merupakan tahapan mencari
keheningan dengan cara menenangkan pikiran (ening cipta sarana neng). Ada proses transendensi, yang membuat tubuh
tidak merasa sakit meskipun dicocok oleh paku-paku kayu.
Ritual tersebut dilakukan untuk mengasah niat yang tulus
dari hati nurani (krenteging ati). Terdapat lima hal penting
dalam krenteging ati, yaitu madhep, mantep, sabar, tatag, sumèh. Suara hati bisa diterapkan dengan lima hal tersebut.
Madheb ngersaning Pangeran, mantep ngugemi dhawuhing Pangeran, sabar menjalani hidup dan tidak tergoyahkan, serta
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
169
banyak tersenyum dalam menghadapi sesuatu yang terjadi.
Makna tatag adalah apa pun yang terjadi manusia harus tidak
tergoyahkan.
Ritual itu juga membimbing anggota untuk meningkat-
kan kualitas sebagai manusia dalam perspektif Jawa. Tingkatan
kualitas manusia Jawa yang dikembangkan Arso Tunggal adalah
satriya, satriya pinandhita, pinandhita ratu, ratuning pinan-dhita, ratu ratuning pinandhita. Tingkatan tertinggi, yaitu ratu ratuning pinandhita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun
tataran paling dasar adalah berbuat secara kesatria.
Untuk mencapai tingkatan-tingkatan tersebut, manusia
tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan, melainkan juga
kearifan, harus bisa menjadi sumur tinimba, seperti samudera
yang menampung semua aliran air dari berbagai macam sungai.
Meskipun demikian, manusia tidak mungkin sampai pada
tataran kelima yaitu ratu ratuning pinandhita.
Lewat ritual yang dilakukan, anggota Arso Tunggal bela-
jar meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Filosofinya
adalah: urip iku ora karana bandha; bandha mung srananing urip. Yèn bandha ora kanggonan nyawa, yèn nyawa mesthi ana bandhané soalé manungsa urip (Hidup itu bukan karena harta-
benda. Dalam harta tidak ada nyawa, tapi di dalam nyawa pasti
ada harta, karena manusia hidup. Kalau kita hidup pasti diberi
sarana untuk hidup).
Yèn kowé kepingin mangan, aja mangan, yèn kowé kepingin ngombé aja ngombé. Ning yèn kowé kepingin mangan-ngombé, mangana lan ngombéya amarga kowé urip. Makna ungkapan itu adalah, “hidup bukan untuk makan, me-
lainkan makan untuk hidup.” Itulah ajaran tentang pengen-
dalian diri, seperti “yèn pingin nesu menenga, yèn pingin ngenengké wong sapanen kanthi alus. (Kalau kita ingin marah
Jawa Menyiasati Globalisasi
170
diamlah, kalau ingin mendiamkan orang maka sapalah orang itu
secara halus).
Dalam berbagai pertemuan Reboan, sering dibahas
tentang nilai-nilai melayani, bahwa manusia itu harus nge-mong. Tuhan tidak melarang manusia untuk berbuat sesuatu,
melainkan memberikan aturan atau batasan (wewaler).
Dalam bahasa Jawa ajaran itu diungkapkan “beja cilaka kuwi ana ing badan priyangga. Pilihan ana ing manungsa piyambak.” Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pema-
haman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung pada
diri manusia sendiri, Tuhan hanya memberikan pilihan dan
rambu-rambu.
Di sinilah terletak makna humanisme yang dikembangkan
Arso Tunggal, yaitu manusia sebagai makhluk hidup yang
memiliki kemandirian untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dalam menentukan nasib, manusia selalu disinari oleh cahaya
yang berasal dari Tuhan yang Maha Kuasa.
Pemahaman itu dikembangkan melalui ritual dengan cara
berusaha menghilangkan rasa sakit terkena paku kayu. Anggota
Arso Tunggal diberi pilihan, mampu menghilangkan rasa sakit
dengan menangkal pikiran dan mengeksplorasi niat tulus dalam
hati atau tetap menempatkan pikiran sebagai “panglima.”
Proses ritual juga membimbing anggota paguyuban untuk
menerapkan filosofi urip kaya banyu mili, kaya angin tumiup/sumilir, kaya srengéngé sumunar, kaya sumunaré sang bagaskara. Makna ungkapan tersebut adalah, hidup ibarat air
yang mengalir, angin yang berhembus, matahari yang bersinar.
Dalam paguyuban dikembangkan ajaran, bahwa untuk
mencapai tujuan, manusia harus melalui proses yang memang
harus dilalui. Karena itu, Arso Tunggal tidak menekankan pada
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
171
target. Bagi Arso Tunggal, target itu didasari oleh pemikiran
manajemen Barat, padahal manajemen hanya alat, manusia
tidak boleh dikooptasi oleh manajemen. Manajemen bukan raja
karena raja yang sesungguhnya adalah diri manusia sendiri.
Pemahaman itu mencerminkan, bahwa manusia sebaik-
nya tidak menghendaki sesuatu terjadi secara cepat, tidak
tergesa-gesa, sesuatu harus dijalani dengan teliti dan waspada.
Ungkapan Jawa yang menggambarkan hal itu adalah alon-alon waton kelakon, aja grusa-grusu, aja kebat kliwat, sabar, éling, lan waspada. (pelan-pelan tapi terlaksana, jangan tergesa-gesa,
jangan ingin bahwa sesuatu pasti bisa terjadi secara cepat, sabar,
selalu ingat kepada Tuhan, dan waspada).
Ungkapan lain yang bermakna sama adalah gremat-gremet waton slamet, yang berarti bahwa suatu pekerjaan
sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, seksama, tekun, sesuai
aturan yang benar. Titik berat dua ungkapan itu terletak pada
kelakon dan slamet (terlaksana dan selamat sampai tujuan),
bukan pada lamban.
Mengejar pencapaian kehendak dengan segala cara yang
cepat dipengaruhi oleh pola pikir management by objective
yang berkembang di dalam manajemen Barat. Dalam konteks
budaya Jawa, maka sebenarnya management by objective itu
kurang cocok, karena pola pikir Jawa lebih bersifat management by process, bahwa segala sesuatu sebaiknya dilakukan melalui
proses yang benar. Proses tersebut akan menentukan tujuan;
kalau proses baik maka tujuan akan tercapai dengan baik, kalau
proses tidak baik, maka tujuan pun tidak akan tercapai dengan
baik.
Kegiatan nyata Arso Tunggal mencerminkan keseim-
bangan antara management by objective dan management by
Jawa Menyiasati Globalisasi
172
process. Kegiatan yang dilakukan selalu berorientasi pada tujuan
atau hasil, namun fokus pada proses yang dijalani.
Proses ritual yang diterapkan oleh Paguyuban Arso
Tunggal berintikan empat tahapan, yaitu: krenteg-karep-karsa-karya. Empat tahapan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Krenteg merupakan niat mendalam yang berasal dari jiwa
manusia. Untuk merasakan dan memahami krenteg, maka
manusia harus dapat “mematikan” pikiran. Otak harus diistira-
hatkan, sehingga ketika otak tidak bekerja maka manusia dapat
merasakan getaran-getaran jiwa. Ketika otak tidak bekerja,
maka manusia akan “berziarah” ke dalam jiwanya sendiri. Ada
proses transformasi dari otak ke jiwa.
Nilai-nilai ajaran yang melandasi proses itu adalah, bahwa
hidup manusia harus dipimpin oleh jiwa, bukan oleh pikiran.
Menurut ajaran Arso Tunggal, jiwa itu menenteramkan, adapun
pikiran menyebabkan ketidaktenangan. Jiwa meneduhkan,
pikiran tidak berujung pangkal. Ungkapan Jawa yang menggam-
barkan hal itu adalah: sak dawa-dawané lurung, isih dawa gurung (sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang pikiran).
Ungkapan itu menunjukkan, bahwa pikiran tidak pernah ber-
ujung, membuat manusia tidak pernah puas, mengejar sesuatu
tanpa batas dan belum pasti.
Karep adalah kehendak yang berasal dari otak manusia.
Karena berasal dari otak, maka karep juga tidak berujung
pangkal, menggambarkan keinginan manusia yang tidak pernah
habis, tidak pernah puas. Oleh sebab itu, karep harus dikelola
dengan cara menariknya ke dalam jiwa, sehingga hidup manusia
tidak lagi dipimpin oleh kehendak yang tak pernah habis itu,
melainkan dikomandani oleh krenteg yang berasal dari jiwa.
Karsa adalah niat untuk melakukan suatu tindakan. Niat
tersebut didorong oleh karep atau krenteg. Kalau hanya
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
173
didasarkan oleh karep, maka karsa hanya muncul dari
keinginan otak saja, namun kalau dilandasi oleh krenteg maka
selain didorong oleh pikiran, karsa juga digerakkan oleh jiwa.
Adapun karya merupakan aplikasi dari karsa, tidak lagi
hanya berwujud keinginan, melainkan sudah berupa tindakan
nyata. Karya itulah yang juga sering disebut sebagai pakarti, yaitu buah dari proses krenteg, karep, dan karsa.
Ritual yang dilakukan mengajarkan kepada para anggota
paguyuban untuk dapat mendengar dan memahami krenteg,
membedakannya dari karep. Tujuannya, kalau seseorang dapat
memahami krenteg, maka ia dapat pula menggunakannya
sebagai landasan hidup sehari-hari. Niat untuk melakukan suatu
tindakan benar-benar didasarkan pada niat yang berasal dari
jiwa, bukan sekadar karep yang muncul dari otak.
Dalam suatu sarasehan Reboan, dibahas bahwa saat ini
kebanyakan manusia lebih mengandalkan akal pikiran (rasio-
nal), berarti mementingkan karep. Dalam ungkapan Jawa
dikatakan: luwih gedhé karepé katimbang krentegé. Karena
begitu besar kehendak otak, maka orang kemudian mengejar
(dengan segala cara) kehendak tersebut. Dalam bahasa Jawa hal
itu disebut sebagai penggayuh diyu (keinginan yang buta), yang
mendorong orang lupa akan sangkan paraning dumadi, yang
digambarkan dengan ungkapan mélék anggéndhong lali (keinginan mengakibatkan lupa).
Pada era globalisasi sekarang, kebanyakan orang terlalu
mengandalkan akal. Karena terlalu mengandalkan akal, maka
banyak orang yang dalam tindakannya cenderung mengabaikan
nilai-nilai kemanusiaan, mengakibatkan kemerosotan martabat
kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia harus kembali ke
krenteg, yang tidak berasal dari pikiran melainkan dari jiwa
untuk melandasi tindakan nyata (pakarti). Krenteg harus keluar
Jawa Menyiasati Globalisasi
174
dulu dari jiwa, kemudian menjadi karep, lalu karep itu
dikembangkan menjadi karsa (niat untuk melakukan suatu
tindakan), diaplikasikan menjadi karya.
Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pemahaman,
bahwa pakarti dilandasi oleh keberanian berkarya dalam
konteks budaya. Di dalam budaya terdapat ilmu pengetahuan,
teknologi, tata hidup, dan pola tindakan. Humanisme harus
dinyatakan dalam karya, bukan hanya berhenti pada krenteg
atau karep. Karena itu, Arso Tunggal melakukan karya-karya
nyata, yang disebut sebagai “proses memodernisasi kearifan
lokal Jawa.” Karya tersebut berupa penemuan obat-obat yang
dilandasi kearifan lokal Jawa yang sudah hampir punah dan
pengembangan varietas-varietas lokal dalam pertanian organik.
Jadi, pakarti adalah aplikasi. Olah pikir diabdikan ke olah
rasa, sehingga menghasilkan karsa lan karya. Rasa yang dipikir
menjadi karsa. Proses itu disebut manunggaling rasa lan karsa (menyatunya jiwa dan kehendak untuk berbuat).
Olah rasa (yang sering dilakukan oleh penganut per-
kumpulan kebatinan) sesungguhnya tidak bisa hanya dirasakan,
dilestarikan (diuri-uri), melainkan harus “diangkat” ke dalam
olah pikir, sehingga menghasilkan karya nyata. Paguyuban Arso
Tunggal berpijak pada keseimbangan olah rasa dan olah pikir tersebut untuk mengembangkan gerakan-gerakan kemanusiaan.
Keseimbangan itu tercermin dari penelitian-penelitian ilmiah
yang didasari kearifan-kearifan lokal Jawa yang kemudian
menghasilkan obat-obatan dan pertanian organik.
Dalam berbagai diskusi Reboan disebutkan, bahwa tidak
berkembangnya budaya Jawa dalam konteks kemajuan zaman
saat ini karena kebanyakan orang Jawa hanya berhenti pada
olah rasa, tidak mengembangkannya ke dalam olah pikir; hanya
berhenti di krenteg, tidak berkembang ke karep, karsa, dan
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
175
karya. Itulah sebabnya, “modernisasi Jawa” adalah menerjemah-
kan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam karya nyata yang mampu
menjawab tantangan zaman, yang bermanfaat bagi masyarakat
masa kini.
Penulis menemukan perbedaan antara pendekatan yang
dilakukan Arso Tunggal dan pendekatan yang berkembang
dalam komunitas-komunitas kebatinan. Arso Tunggal justru
menarik niat dalam jiwa ke kehendak dalam otak kemudian
diaplikasikan ke dalam karya nyata, adapun komunitas kebatin-
an lebih menarik niat dalam jiwa ke arah lebih dalam lagi, yaitu
rohani. Perbedaan itu menyebabkan perbedaan hasil, Arso
Tunggal menghasilkan karya nyata (kemanusiaan), adapun
gerakan kebatinan menghasilkan spiritualitas (ketuhanan). Hal
tersebut dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Humanisme Arso Tunggal
Proses krenteg-karep-karsa-karya merupakan perwujudan
dari pemahaman tentang humanisme kejawèn. Perbedaan
antara humanisme kejawèn (dijelaskan dalam Bab Empat) dan
humanisme yang dipahami oleh Arso Tunggal terletak pada
perbedaan antara laku dan pakarti. Humanisme kejawèn
bermuara pada laku, adapun humanisme yang dikembangkan
paguyuban ini menghasilkan pakarti.
Berbeda dari laku, pakarti tidak hanya merupakan olah rasa, melainkan olah rasa yang dipadukan dengan olah pikir,
diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Dalam pakarti sudah
rohani jiwa
komunitas kebatinan Paguyuban Arso Tunggal
pikiran karya
Jawa Menyiasati Globalisasi
176
terjadi sinergitas antara olah rasa dan olah pikir, sehingga
humanisme tidak berhenti sekadar sebagai pengertian, melain-
kan terwujud dalam tindakan nyata.
Proses sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, laku, dan pakarti digambarkan sebagai purwa, madya, wusana atau awal, tengah, dan akhir. Purwa itu rasa, madya itu
pikiran, dan wusana itu karya. Di dalam rasa terdapat krenteg, di dalam pikiran terdapat karep, dan di dalam karya terdapat
tindakan-tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia
dan lingkungan. Purwa, madya, wusana adalah proses kehidup-
an manusia. Putaran itu makin lama makin besar. Manusia tidak
dapat hanya mengandalkan rasa, melainkan harus pula dengan
pikiran; harus ada keseimbangan antara niat dan kehendak
untuk memperbesar putaran tersebut.
Pengertian sangkan paraning dumadi yang dikembangkan
Arso Tunggal adalah, bahwa meskipun manusia memiliki
otoritas untuk memilih tindakannya sendiri, namun mereka
tetap disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa. Bagaimanapun,
manusia adalah makhluk yang berasal dan akan kembali kepada
Yang Maha Kuasa.
Pemahaman tentang manunggaling kawula lan Gusti yang
dikembangkan Arso Tunggal adalah, bahwa jiwa manusia
merupakan singgasana Allah, jiwa manusia merupakan percikan
sukma Allah Yang Maha Besar. Jadi, jiwa itu abadi, raga hanya
berasal dari tanah, bersifat rendah (asor). Jiwa dimasukkan ke
raga, agar raga itu bisa tertata. Dalam pengertian ini, maka
manunggaling kawula lan Gusti berarti menyatunya jiwa dan
raga, menyatunya krenteg dan karep.
Ungkapan Jawa yang menggambarkan tuntunan jiwa itu
adalah golèka pener ning ya golèk bener. Bener (benar) ada di
dalam kepala, adapun pener (tepat, sesuai) ada di dalam jiwa
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
177
manusia. Bener belum tentu bisa menenteramkan raga, tapi
pener akan menenteramkan jiwa. Orang yang terlalu banyak
berpikir menjadi susah tidur, tapi orang yang menyerahkan
hidupnya pada kejernihan jiwa akan mampu mengendalikan
diri. Hal itulah yang membedakan antara krenteg dan karep;
karena krenteg berasal dari hati, adapun karep muncul dari
pikiran.1
Arso Tunggal menitikberatkan gerakannya pada pakarti. Kata pakarti mengacu pada penerjemahan laku, tidak berhenti
pada pengertian atau sekadar olah rasa, tetapi teraplikasi ke
dalam karya nyata. Dengan kata lain, pakarti merupakan syarat
untuk menerjemahkan pengertian tentang sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti, sering pula disebut
sebagai srananing ngaurip.
Oleh sebab itu, Arso Tunggal berusaha mengembangkan,
memodernisasikan pemahaman-pemahaman kejawèn, dengan
cara memadukan rasa dan otak (pikiran). Jadi, sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti tidak berhenti di
olah rasa saja atau olah pikir saja, melainkan harus diaplikasikan
dalam karya, sehingga bermanfaat bagi orang banyak.
1 Djoko menjelaskan: “Yèn aku wis ngomong bener mungguhing uripku,
aku sejatiné wis ora pener mungguhing uripku, nanging yèn aku ora tau ngomong bener mungguhing uripku, kuwi berarti wis pener. Yèn kowé ngomong salah mungguhing wong, sak beneré ing jroning atimu kuwi panggonan ingkang salah, awit bener lan salah kuwi ana ing pikiranmu, pener lan ora pener kuwi ana ing sajroning atimu. Golèka peneré atimu, katimbang bener lan salahing pikiranmu,” katanya. (“Kalau saya sudah bicara bahwa hidup saya benar, sesungguhnya hidup saya tidak pener, tapi kalau saya tidak pernah bicara bahwa hidup saya benar, itu berarti saya sudah pener. Kalau kamu bicara bahwa orang lain bersalah, maka sesungguhnya di dalam hatimu itu tersimpan sesuatu yang salah, karena benar dan salah itu ada dalam pikiranmu, pener dan tidak pener ada di dalam hatimu. Maka, carilah pener dalam hatimu daripada benar dan salah dalam pikiranmu”).
Jawa Menyiasati Globalisasi
178
Supaya hal itu dapat terwujud, manusia harus melakukan
eningé cipta sarana neng; cipta dieningké, diendapkan dulu. Kalau sudah mengendap (menep), maka manusia akan
mendengarkan suara Allah. Proses pengendapan itu me-
nyebabkan orang Jawa berpola pikir inward looking; selalu
melihat ke dalam dirinya sendiri lebih dulu ketika merespons
suatu realitas. Manusia Jawa yang benar-benar memahami
kejawaannya, tidak berhenti pada “romantisme melihat ke
dalam” (proses pengendapan), melainkan setelah itu harus
melakukan tindakan nyata (karya).
Dari uraian tersebut, penulis berpendapat, bahwa gerakan
Arso Tunggal dilandasi oleh pemahaman tentang humanisme
kejawèn. Pemahaman itu kemudian dikembangkan menjadi hu-
manisme yang bermuara pada tindakan nyata, bukan sekadar
ketenangan jiwa dan kearifan individu. Humanisme yang
dikembangkan itulah, yang menurut oleh penulis disebut
humanisme Arso Tunggal.
Argumentasi yang melandasi penyebutan humanisme
Arso Tunggal adalah:
1. Paguyuban Arso Tunggal menempatkan manusia pada
posisi yang menentukan, meskipun tetap berada da-
lam cahaya ilahi. Tuhan hanya menyinari kehidupan
manusia, memberikan rambu-rambu, adapun pilihan-
pilihan tindakan ada di tangan manusia sendiri.
2. Paguyuban Arso Tunggal melandasi kegiatan-
kegiatannya dengan tiga inti ajaran Jawa yang dikem-
bangkan menjadi tindakan nyata, yaitu: sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, laku, dan pakarti. Hal itu membedakan pemahaman
Arso Tunggal dari pemahaman Jawa pada umumnya,
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
179
yang menitik-beratkan pada laku, yaitu olah rasa yang
menghasilkan ketenangan jiwa dan kearifan individu.
Dalam konteks pemikiran krenteg-karep-karsa-karya, Ar-
so Tunggal mengembangkan kegiatan-kegiatan nyata. Kren-teg
(mencerminkan penghayatan atas sangkan paraning dumadi) mendorong timbulnya karep dan karsa (mencerminkan ma-nunggaling kawula Gusti), dan keseimbangan antara krenteg
dan karep itu diwujudkan dalam pakarti.
Proses tersebut dipraktikkan oleh Arso Tunggal dalam
bidang pengobatan dan pertanian. Pengobatan alternatif
merupakan penerapan kasih terhadap sesama manusia yang
membutuhkan kesembuhan dari penyakit, pertanian alternatif
merupakan penerapan semangat membantu para petani untuk
maju, mandiri, berdaya saing, dan menjadi tuan rumah di negeri
sendiri.
Tiga inti ajaran humanisme kejawèn yang kemudian
dikembangkan itulah, yang menurut penulis, menjadi landasan
gerakan Arso Tunggal dalam pengobatan dan pertanian. Hu-
manisme yang menghasilkan pakarti, yang kemudian disebut
oleh paguyuban ini sebagai “memodernisasikan Jawa” adalah
bentuk nyata gerakan berbasis humanisme kejawèn, mengang-
kat kearifan lokal Jawa, agar dapat mengikuti perkembangan
zaman.
Pengobatan
Arso Tunggal memodernisasikan kearifan lokal Jawa
dalam bentuk pengembangan pengobatan tradisional Jawa;
Jawa Menyiasati Globalisasi
180
antara lain tuma (kutu) dan pisang emas untuk mengobati
penyakit hepatitis.2
Konsep pengobatan dengan kutu dan pisang emas itu
dikembangkan bekerja sama dengan pihak Jepang, kemudian
menghasilkan interveron (obat untuk penderita hepatitis).
Penemuan formulasi interveron berawal dari penelitian Djoko
Murwono tentang pengobatan Jawa dengan kutu dan pisang
emas. Penelitian awal itu ia lakukan tahun 1985, hasilnya ia
tawarkan ke seniornya satu almamater (UGM), tapi tidak men-
dapat tanggapan positif.
“Bahkan, hasil penelitian saya tentang tuma dan pisang emas itu dianggap gugon tuhon, saya dianggap paranormal. Hasil penelitian saya itu malah dibuang ke tempat sampah, lalu saya ambil dan saya opèni lagi. Karena Indonesia tidak mau, ya saya jual ke pihak Jepang, waktu itu melalui perusahaan rokok Gudang Garam yang memang memiliki relasi dengan perusa-haan Sumitomo, Jepang,” kata Djoko.
Interveron mulai diproduksi secara massal di Jepang
tahun 1992, setelah melalui uji coba pada hewan dan manusia.
Setelah itu, pihak Sumitomo menawari kepada dia untuk mela-
kukan berbagai macam penelitian untuk dipilih dan dikem-
bangkan di Jepang. Sejak saat itu, Djoko Murwono melakukan
berbagai penelitian. Sampai saat ini, dia sudah menghasilkan 60
formulasi obat bio fito farmaka, selain sarana produksi pertani-
an.
Secara resmi hak paten obat-obat tersebut dimiliki oleh
Jepang, namun formulasinya hasil karya Djoko Murwono. Dia
2 Pengalaman penulis: dulu sewaktu masih kecil, kalau mengidap sakit
kuning (hati) oleh orang tua diminta makan tujuh kutu yang dimasukkan ke dalam pisang emas.
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
181
mendapatkan jasa produksi. Hasil karya itu didorong oleh
semangat memberikan bantuan kepada masyarakat untuk men-
dapatkan obat-obat dengan harga murah.3
Arso Tunggal bisa menjual obat-obat dengan harga yang
sangat murah dibandingkan dengan harga umum, karena Djoko
Murwono memberikan subsidi lewat jasa produksi yang dia
peroleh. Sebanyak 90 persen dari seluruh jasa produksi yang
seharusnya dia peroleh diberikan untuk kesejahteraan di bidang
sosial dan kesehatan internasional (international social and health welfare) yang dikelola Sumitomo Group. Subsidi tersebut
antara lain disalurkan lewat United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), organisasi internasional untuk masalah
pengungsi, dan yang lebih besar lagi lewat World Health Organization (WHO), organisasi PBB di bidang kesehatan.
Djoko juga memberikan subsidi yang diambil dari tiga
persen jasa produksi untuk pendidikan generasi muda calon-
calon pemimpin di Asia Pasifik melalui perguruan tinggi di
Jepang, yaitu Sofia University dan Hiroshima University. Be-
rikut ini kutipan wawancara penulis dengan Djoko Murwono:
Bagaimana sebenarnya mekanisme pemberian royalty untuk Pak Djoko? Itu urusan Jepang mas. Saya tidak mau tahu, karena kalau saya tahu malah jadi beban moral saya. Lebih baik saya tidak tahu.”
Kalau semua royalty diterima, kira-kira berapa jumlahnya? Ya, hitung saja, misalnya interveron itu per mg harganya 10 dolar AS. Sekarang produksinya Jepang satu minggu sekitar 3 kwintal (atau 300 kg, atau 300 juta mg), hitung saja berapa… Untuk BIDJEVIC (Bio Immunity Development for Japanese Virus and Cancer
3 Sebagai contoh, harga umum satu kapsul interveron sekitar Rp 450.000,
tapi Arso Tunggal menjualnya hanya Rp 2.500 per kapsul dengan nama BCSH atau Bio Cythostatica Syndrome Hepar; harga obat untuk penyakit jantung formulasi paguyuban ini di apotek 75 mg Rp 35.000 per kapsul, di Arso Tunggal 150 mg hanya Rp 1.500.
Jawa Menyiasati Globalisasi
182
Effect), produksi 4 kwintal per hari, tinggal hitung saja dikalikan Rp 300.000. Tapi, saya tidak mau menghi-tung, nanti kejebak pada uang.
Mengapa Pak Djoko tidak ambil seratus persen royalty itu? Sebenarnya saya bisa ambil seratus persen, tapi itu bukan nurani saya. Kalau saya sampai melanggar itu, saya terbelenggu uang. Saya hanya terima 5.000 dolar per bulan, itu pun banyak untuk nomboki kegiatan Arso Tunggal. Setahun ‘buku merah’ (daftar pasien yang menunggak memba-yar obat di Arso Tunggal) sampai Rp 150 juta… Itu harus dibayar. Ya, saya yang harus bayar. Uang royalty itu saya terima sebagai inspecstion fee, bukan dengan nama royalty.
Harga Nopkor misalnya, Rp 180.000 per liter, harga internasional 18 dolar per liter, di Indonesia dijual 8 dolar per liter, nah selisih harga itulah subsidi saya. Ini jangkanya sampai 2015. Begitu pula dengan obat-obatan dan sarana produksi pertanian yang lain, saya memberikan subsidi lewat Sumitomo. Tidak lewat pemerintah Indonesia, karena ini bukan government to government (G to G), tapi P to P (person to person). Kalau lewat pemerintah, bocornya kakéhan.
Kegiatan kami diaudit oleh lembaga internasional Black Forest Rangers, organisasi yang dulunya termasuk Kelompok Roma (Club of Rome), tapi yang khusus mencari dana. Obat-obat tersebut diproduksi di Indonesia dalam bentuk kapsul dengan mikroba yang didatangkan dari Jepang, disalurkan untuk pengobatan oleh Arso Tunggal melalui perkumpulan pengobatan Hati Kudus.4
4 Mengenai Hati Kudus, Djoko menjelaskan: Hati Kudus mulai 1984.
Organisasi formalnya ya Arso Tunggal, yang diakui negara. Tidak ada paguyuban Hati Kudus, namun nama internasionalnya Hati Kudus, Holy Core. Gerakannya sekarang masih ada di Belanda dan Jepang, tapi pantauannya sulit. Yang mendirikan Hati Kudus? Ya, saya. Sekarang masih ada juga di Nederland dan Jepang. Untuk wilayah Pasifik yang mengendalikan Jepang, untuk wilayah Eropa dikendalikan Belanda. Kaitan Hati Kudus dengan Asoka, yang mengelola obat-obatan dari Jepang itu? Kebetulan saya ada hubungan dengan Sumitomo. Sifatnya otonomi. Pendanaan di Eropa mandiri, di Jepang mandiri. Konsep yang didanai Jepang hanya yang berkaitan dengan negara sedang berkembang. Pusat Hati Kudus, secara formal ya di Indonesia, pendirinya saya. Di tempat kami, tidak ada pimpinan. Jepang punya bentangan sampai di Amerika Latin. Kaitannya mata rantai otonomi. Mungkin
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
183
Stansol misalnya, minuman penambah nutrisi untuk kesehatan. Minuman ini diproduksi dengan bahan-bahan baku lokal, yaitu akar alang-alang, wimbo, kunir putih, temu lawak, minyak bawang putih, minyak wijen, minyak yaitun, bio ATP, pinicilium, rhizopus, galaktosa, arabinosa, manosa, polen, vitamin A, D, E, C, dan B, serta sukrosa, dan glukosa.
Di Asia Tenggara, distribusi obat-obat bio fito farmaka
(dan juga industri agro yang dikembangkan Jepang) diawasi
oleh UD Asoka, yang dipimpin Ny. Djoko Murwono. Selain di
Semarang, pos pengobatan Arso Tunggal juga ada di Sorong,
Nabire, Jayapura (Papua), dan Ketapang (Kalimantan Barat).
Untuk pos-pos di luar Jawa tersebut, administrasi keuangannya
mulai ditangani oleh Asoka, bukan lagi di bawah Arso Tunggal.
Obat-obat bio fito farmaka adalah obat-obat yang proses
pembuatannya melalui rekayasa bio teknologi berbahan baku
herbal. Ramuan-ramuan herbal diekstraksi, hasilnya disebut
fito. Fito diekstraksi lagi dengan mikro organisme, hasilnya
disebut bio.
Djoko menjelaskan, dari satu kilogram ramuan herbal
diekstraksi menjadi 12,5 gram fito farmaka, kemudian
diekstraksi lagi (dibagi 30), menjadi kira-kira 450 miligram. Jadi,
kalau seseorang minum tiga kapsul obat bio fito farmaka sama
Hati Kudus Jepang sudah penetrasi ke Cina, Tibet, India, tapi kendalinya tetap di Jepang, Tapi, saya tidak perlu tahu itu. Pertama kali mereka menginduk di sini, sekitar tahun 1983-1984. Karena otonomi mereka bisa fleksibel, kalau masuk ke negara restriktif, seperti Cina misalnya, jadi organisasi tanpa bentuk. Kontaknya lewat Jepang. Saya tidak mau tahu, bagi saya besarnya organisasi bukan karena rekayasa, tapi karena karyanya. Apakah Jepang salah menangkap ide saya dan apa saya salah kalau mengembangkan ide ini ke luar negeri karena di dalam negeri tidak dihargai? Apa sebagai manusia Jawa saya salah? Apakah itu berarti saya tidak nasionalis? Kalau saya dikatakan tidak nasionalis, tolong sebutkan siapa yang menyebut dirinya sebagai nasionalis itu pernah memberikan sesuatu pada bangsanya selain korupsi…
Jawa Menyiasati Globalisasi
184
dengan meminum sekitar satu kg ramuan jamu. Rumusnya, satu
kg ramuan herbal dibagi 80 menjadi fito, kalau dibagi lagi 40
menjadi bio. Kalau bio itu diekstraksi lagi menjadi cairan untuk
injeksi. Kelebihan obat bio fito farmaka adalah lebih aman bagi
tubuh manusia.
Penjelasan metabolisme sebagai berikut: obat yang
diminum manusia, diserap oleh zat aktif mikroba dalam usus,
mikrobanya mati, sel-selnya pecah, dan diserap dinding usus,
sehingga akan memengaruhi ketahanan usus manusia. Dalam
teknologi bio fito farmaka, metabolisme itu dilakukan di luar
tubuh manusia (disebut secara infitro); bahan aktif dicampur
dengan makanan mikroba usus, sehingga mikroba berkembang
biak di luar tubuh manusia. Sel-sel mikroba tersebut dituai,
dikumpulkan, difragmasi, kemudian dimasukkan membran (di-
saring), hasil saringan pertama adalah obat-obat oral (diminum),
adapun hasil saringan kedua menjadi obat cair untuk injeksi.
Dengan proses infitro, bisa diketahui lebih dulu apakah
obat-obat itu menyebabkan mikroba mati atau tidak, dengan
kata lain dapat diketahui obat itu layak atau tidak dikonsumsi
manusia. Jadi, obat bio fito farmaka lebih aman dibanding
dengan obat-obat kimia, terlebih lagi obat-obat kimia biasanya
juga mengandung logam berat.
Penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa obat-obat bio
fito farmaka adalah obat-obat yang aman bagi usus, karena tidak
mematikan mikroba yang justru bermanfaat bagi kesehatan
manusia. Karena tidak mematikan mikroba itu, maka daya
tahan usus tidak terganggu. Di sinilah terletak perbedaan antara
obat-obat bio fito farmaka dan obat-obat kimiawi-modern.
Penjelasan itu sejalan dengan pernyataan Hiromi Shinya
(2010:41), bahwa kedokteran modern banyak mengandalkan
obat-obatan untuk mengobati penyakit dan memerangi mikroba
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
185
penyebab penyakit. Padahal, sesungguhnya obat-obatan adalah
racun yang bukan hanya menghancurkan mikroba berbahaya,
melainkan juga menghancurkan mikroba yang menguntungkan,
terutama mikroba/bakteri yang berada dalam usus. Dengan
demikian, obat-obatan cenderung merusak kondisi usus,
sehingga ujung-ujungnya adalah rusaknya kesehatan tubuh kita.
Shinya memberi contoh obat antibiotika, tidak hanya
menghancurkan kuman yang diincar, tapi juga bakteri berman-
faat. Dengan terganggunya bakteri bermanfaat, keseimbangan
bakteri usus juga terganggu dan produksi enzim untuk kese-
hatan sistem kekebalan menurun. Alhasil, tingkat kesehatan
pun menurun.
Menurut Djoko, sampai saat ini di dunia terdapat 600 jenis
obat kategori teknologi bio, 124 di antaranya berada di Jepang,
dan dari 124 itu sebanyak 60 jenis merupakan hasil pe-
nelitiannya. Dia mengaku bahwa penelitian adalah panggilan
hidupnya, itulah sebabnya dia dikenal sebagai peneliti di bidang
rekayasa teknologi bio (bio technology engineering).
Penelitian, bagi dia, harus bermanfaat bagi kemanusiaan
dan mempunyai nilai jual. Dia memberi contoh, salah satu
penelitiannya menghabiskan dana 10.000 dolar AS, maka ia
akan menawarkan ke Jepang nilai penelitian itu 60.000 dolar
AS; 10.000 dolar AS untuk penelitian pendahuluan yang sudah
ia lakukan, sisanya (50.000 dolar AS) diinvestasikan untuk
penelitian lain yang lebih besar lagi, terutama dalam hal man-
faatnya bagi kemanusiaan.
Penelitian pendahuluan untuk sarana produksi pertanian
(Nopkor) yang ia lakukan menghabiskan dana 5.000 dolar AS,
tapi ia mendapat dana dari Jepang 30.000 dolar AS. Penelitian
pendahuluan untuk obat penyakit jantung menghabiskan uang
56.000 dolar AS, dibeli oleh Jepang 150.000 dolar AS. “Sisanya
Jawa Menyiasati Globalisasi
186
adalah investasi untuk penelitian-penelitian yang hasilnya akan
berkembang lama. Saya selalu terus terang dengan pihak Je-
pang, penelitian awal habis sekian dolar, saya jual sekian dolar.
Kalau mau ya tinggal tanda tangan…” kata Djoko Murwono.
Ia mengkritik peneliti-peneliti Indonesia, yang kebanyak-
an tidak mempertimbangkan segi manfaat bagi kemanusiaan
dan memandang penelitian sebagai proyek saja. Karena itu, di
bidang penelitian ini Indonesia tertinggal selama enam dekade
(60 tahun) dari negara-negara lain.
Djoko pun mengungkapkan, banyak kearifan lokal Jawa
yang tidak tergarap dengan baik, bahkan sekarang hilang,
misalnya pemanfaatan peté untuk mengobati penyakit. Peté
mengandung bahan tertentu untuk menurunkan kadar gula
dalam darah, agar baunya tidak menyengat maka peté bisa
dibuat acar. Caranya, bagian dalam peté dikupas, tapi kulit
kerasnya dibiarkan. Kearifan lokal seperti itu yang sharusnya
dikembangkan. Ketika kecil, dia diajari oleh éyang di
Yogyakarta, cara membuat acar peté, dicampur bawang dan
brambang. Proses pembuatannya sekitar satu minggu. Melalui
proses itu, maka rasa peténya halus sekali.
Paguyuban Arso Tunggal melakukan praktik pengobatan
alternatif tersebut di dua tempat, yaitu di padepokan Bulusan
Selatan setiap hari Minggu dan di rumah Djoko Murwono di
Jalan Plamongan Indah Raya 479, Semarang setiap hari Kamis
dan Jumat.
Selain mendapat obat alternatif yang dikembangkan Arso
Tunggal, pasien-pasien yang datang juga mendapat terapi
dengan cara tubuhnya rebah di atas paku-paku kayu dan
ditotok di bagian-bagian pusat syaraf. Praktik pengobatan ter-
sebut dilakukan oleh anggota paguyuban yang sudah masuk
kategori prajurit.
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
187
Gambar 4: Proses pengobatan di Paguyuban Arso Tunggal:
Subiyanto, salah seorang prajurit Arso Tunggal menjelas-
kan, untuk mencapai tingkatan prajurit seseorang harus melalui
ujian dan pelatihan. Mereka melakukan puasa selama 40 hari
dengan pantang makanan tertentu, setelah itu dilatih melaku-
kan terapi dengan menggunakan alat berupa dua tongkat kayu
sepanjang kira-kira 30 centimeter. Saat ini, ada enam prajurit
yang selalu siap melayani pengobatan.
Sumber: dok. Arso Tunggal
Jawa Menyiasati Globalisasi
188
Pertanian
Di bidang pertanian, Arso Tunggal membangkitkan
kemandirian petani, yang hilang karena revolusi hijau dan
pertanian transgenik. Langkah tersebut dilakukan melalui
penerapan Sistem Pertanian Organik Rasional (SPOR).
Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan salah satu
sistem dalam gerakan pertanian organik yang menggugat
revolusi hijau.5 Revolusi hijau menurunkan kuantitas dan
kualitas pro-duksi pangan, mengakibatkan biaya produksi
pertanian makin mahal dan berbagai persoalan lingkungan.
Gerakan pertanian organik pada umumnya dimengerti
sebagai gerakan budidaya pertanian yang anti pemakaian pupuk
anorganik dan (terlebih lagi) pestisida. Dua sarana produksi
pertanian (pupuk anorganik dan pestisida) itu digunakan secara
masif dalam sistem pertanian modern atau yang dikenal sebagai
revolusi hijau. Dari awal yang kecil, kini gerakan pertanian
organik makin meluas. Makin banyak konsumen pangan yang
membutuhkan produk-produk organik, karena alasan kesehatan
dan rasa yang lebih segar.
Sesungguhnya pertanian organik telah diterapkan pada
pra-revolusi hijau, yakni sebelum tahun 1970-an. Pada era itu,
penyediaan benih dilakukan petani secara mandiri, dengan
menyisihkan sebagian hasil panen. Ada kalanya benih didapat
dari lumbung padi di desa yang dikelola secara kolektif.
Lumbung padi dalam hal ini juga berfungsi sebagai “pertahan-
5 Revolusi hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk
menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknolo-gi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Konsep Revolusi hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasem-bada beras.
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
189
an” manakala ada warga desa yang mengalami krisis pangan
atau butuh bibit untuk tanaman.
Di sisi lain, sarana produksi pertanian juga disediakan
sendiri. Pupuk tanaman berasal dari kompos, humus, atau
kotoran hewan. Cara menanggulangi hama (burung dan tikus)
pada umumnya dilakukan secara mekanis. Cara-cara kimiawi
belum dikenal. Serangga-serangga yang sekarang jadi hama
yang mengancam, dulu bukanlah hama. Mereka menjadi hama,
ketika tersedia makanan dalam jumlah berlimpah, berupa
jarringan tanaman pangan yang lunak karena pemupukan N
(urea) dan asupan air yang berkelimpahan. Pada saat itu,
pestisida dibutuhkan untuk membasminya.
Revolusi hijau atau modernisasi pertanian (pangan) yang
berbasis benih unggul hasil persilangan dan pemuliaan – cirinya
rakus asupan kimiawi (khususnya pupuk anorganik) dan air –
dan mampu memberikan hasil berkali lipat serta waktu tanam
lebih pendek dibanding bibit-bibit lokal, mengubah segalanya.
Hubungan patron-klien di desa menjadi terkikis. Lumbung padi
mengalami kematian secara sistematis. Benih-benih tanaman
tidak lagi disediakan sendiri, karena pertanian modern itu
mewajibkan benih-benih hasil persilangan yang tersertifikasi
(oleh industri benih atau balai penelitian benih) dan harus
dibeli.
Orde ekonomi pasar yang hadir bersama revolusi hijau
juga melahirkan lembaga-lembaga tata niaga produksi pertanian
pangan, seperti KUD, Dolog, dan Bulog, yang secara sistematis
mematikan lumbung desa. Penerapan revolusi hijau selama
puluhan tahun telah membawa perubahan radikal dalam cara
berpikir dan bersikap petani, yang makin pragmatis.
Ijon dan tebasan adalah salah satu bentuknya ketika
petani menjalani panen, tidak rikuh (sungkan) lagi pada
Jawa Menyiasati Globalisasi
190
tetangga-tetangga yang berkekurangan, karena hubungan
patron-klien makin terkikis. Demikian pula interaksi dengan
lahan dan tanamannya. Ketika melihat serangga, langsung
semprot dengan pestisida, jika perlu mengoplos sendiri berbagai
pestisida yang tersedia. Jika tanam-an padi masih kelihatan
kuning, tebar urea untuk menjadi-kannya hijau dan subur.
Di tingkat global, sesungguhnya produk-produk trans-
genik – yang lebih eksploitatif dari revolusi hijau – makin me-
masyarakat dan mengakar. Akibatnya, makin terjadi kecende-
rungan monopolistik dalam penyediaan benih oleh perusahaan-
perusahaan transnasional, kecenderungan penyeragaman pola
tanam yang akan menggilas keanekaragaman hayati, serta
makin masif dalam pemakaian insektisida dan herbisida. Dunia
ketiga makin teracuni, sementara perusahaan-perusahaan benih
dan pestisida makin menggurita, terlebih lagi didukung oleh
sistem neoliberalisme. Sikap pemerintah Indonesia yang tidak
jelas terhadap produk transgenik membuat produk-produk itu
tidak tersaring, tak terseleksi, dan tak terbendung masuk di
negeri ini.
Pola pemikiran Arso Tunggal itu selaras dengan
pendapat Hiromi Shinya (2010:42-43) yang mengung-
kapkan, pertanian zaman sekarang sudah terjebak pada
ketergantungan berlebihan terhadap “obat kimiawi.”
Pertanian menggunakan banyak pupuk kimia dan
pestisida di lahan garapan untuk menambah hasil panen
dan meningkatkan efisiensi pertanian. Biasanya
pestisida berupa zat kimia seperti insektisida, fungisida,
dan herbisida yang digunakan untuk membunuh
serangga, bakteri penyebab penyakit tanaman, atau
membunuh tanaman liar. Saat ini tercatat sekitar 5.000
jenis pestisida yang terdaftar.
Pupuk, menurut Shinya, adalah zat-zat yang
diperlukan tanaman dan diproduksi lewat proses kimia
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
191
di pabrik. Nitrogen yang diperlukan daun, fosfat yang
diperlukan buah, dan kalium yang diperlukan akar
disatukan dalam pupuk NPK. Bagian-bagian pupuk
kimia langsung diserap tanaman, menjanjikan panen
yang baik dalam waktu singkat. Masalahnya, ketergan-
tungan mutlak terhadap pupuk kimia akan
menyebabkan rusaknya keseimbangan mineral dalam
tanah akibat terlalu banyak tiga mineral (nitrogen,
fostat, dan kalium). Kemudian, ada masalah pada sifat
tak organiknya pupuk kimia, yang tidak memelihara
mikroorganisme dalam tanah. Akibatnya, ketergan-
tungan pada pupuk kimia menyebabkan merosotnya
kualitas tanah.
Tahun 1992-1993 Djoko Murwono memperkenalkan
SPOR di Bangkok, Thailand. Di negara itu, teknologi tersebut
bisa berkembang dan sekarang menghasilkan produk-produk
pertanian yang maju, bahkan juga berkembang di Myanmar dan
Vietnam. Tahun 1994 ia memperkenalkan SPOR di Indonesia,
tapi tidak bisa berkembang dengan baik.
Sistem Pertanian Organik Rasional juga mengajak petani
untuk melakukan aktivitas:
1. Menyediakan/memproduksi benih lokal sendiri.
Dengan perlakuan tertentu (rekonstruksi genetika),
benih lokal akan mengalami perbaikan genetik dan
proses aklimatasi, justru ketika ditanam secara
berkelanjutan (anakannya jadi benih tanaman beri-
kutnya) di wilayah yang sama. Produksinya akan
makin baik – kuantitas maupun kualitas — dari waktu
ke waktu. Dengan memproduksi dan menyediakan
benih lokal sendiri, maka lumbung desa pun punya
peluang untuk hidup kembali, selain benih lokal itu
Jawa Menyiasati Globalisasi
192
terlestarikan dan termuliakan. Petani tidak lagi
tergantung pada industri benih.
2. Memproduksi pupuk sendiri (biosol/kompos). Pupuk
yang dibuat – yaitu biosol atau kompos – berbahan
dasar kotoran hewan dan seresah sampah, yang di-
perkaya unsurnya lewat asupan mikroba atau NPK
bacter (Nopkor). Mikroba ini, selain mampu mengurai
unsur NPK dari bahan organik, juga dapat mengurai
sisa-sisa pupuk anorganik dari pemupukan sebelum-
nya, menjadi hara yang sangat kaya dan mudah
terserap tanaman. Dalam hal ini, SPOR tidak anti
pemakaian pupuk anorganik. Pemakaian pupuk
anorganik majemuk (berunsur NPK) dalam jumlah
terbatas akan membantu menghidupkan mikroba
pengurai (NPK bacter), serta memperkaya unsur-
unsur NPK dalam kompos. Kekayaan unsur ini yang
membedakannya dengan pertanian organik kon-
vensional yang mengandalkan sepenuhnya pada
mekanisme alam, sehingga lama proses pelapukan
oleh mikroba dan unsur haranya tidak terlalu kaya.
3. Memproduksi sendiri “Miradan,” pestisida ramah
lingkung-an. Ramuan anti hama “Miradan” ini
berbahan aktif Demplop, pestisida organik yang
bersifat alifatis; jika terkena terpaan panas dan
ultraviolet akan terurai menjadi pupuk organik.
4. Memperkenalkan pemakaian pupuk daun (lipotril). Jika kompos menyediakan hara makro bagi tanaman,
maka pupuk daun menyediakan hara mikro, serta
sangat efektif untuk membantu proses pembungaan
dan pembuahan, karena langsung masuk ke kloropil
tanaman.
5. Menyediakan informasi pemasaran. Pada prinsipnya,
petani diberi kebebasan menjual produksinya ke mana
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
193
pun mereka suka. Tapi, Arso Tunggal berusaha
menyediakan alternatif pemasaran, dengan menda-
tangkan pembeli produk pertanian organik.
Dari sisi pencapaian produksi, dengan hasil panen 7,5 ton
gabah kering giling per hektare dalam hitungan ubinan dengan
usia sekitar 100 hari, paket SPOR sangat bisa bersaing dengan
produksi padi pertanian modern atau pertanian transgenik
melalui produk-produk hibrida. Hal itu bukan menjadi satu-
satunya ukuran kelestarian SPOR. Masih ada hal-hal lain yang
dijadikan acuan, seperti: apakah biaya produksinya lebih murah,
apakah faktor-faktor produksi selalu tersedia dan mudah
diakses, apakah harga jualnya lebih tinggi, serta apakah proses
produksinya tidak merepotkan.
Kalau penerapan SPOR bisa lestari, dan dalam jangka
panjang meluas lagi, maka hal ini memberi sumbangan yang
sangat positif pada rantai pasokan pangan yang berkeadilan,
karena: tanah bisa menjadi makin sehat dan subur; biaya
produksi makin berkurang; produksi makin tinggi; bibit-bibit
lokal termuliakan; soliditas masyarakat desa makin tinggi;
ketergantungan pada benih, pupuk, dan pestisida dari luar
makin berkurang; hasil pertanian makin lebih bermutu dan
sehat, dan dampak positifnya; masyarakat mengonsumsi hasil
pertanian yang lebih berkualitas dan sehat.
Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan satu di
antara varian gerakan pertanian organik yang masih akan
mengalami banyak sekali cobaan untuk mampu bertahan,
tumbuh, dan berkembang. Banyak hal ideal yang terdapat di
dalamnya, yang pada intinya mengupayakan kemandirian pe-
tani yang hilang akibat pertanian modern (revolusi hijau,
rekayasa genetika) yang masif dan mengglobal.
Jawa Menyiasati Globalisasi
194
Sekalipun oleh penggagasnya SPOR dijadikan sarana
untuk melakukan resistensi terhadap sistem pertanian modern
yang eksploitatif dan menciptakan ketergantungan, pertim-
bangan ideologis itu bukanlah yang utama di tingkat petani
pelaksananya. Pertimbangan pragmatis lebih utama, maka agar
bisa tumbuh dan berkembang SPOR harus teruji di level
pragmatis, artinya mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan
pragmatis petani: lebih banyak hasil produksinya, lebih baik
hasil jualnya, lebih ringan biaya produksinya, dan lebih mudah
melakukannya.
Salah satu kegiatan SPOR Arso Tunggal adalah penerapan
sistem ini di Desa Babakan, Kecamatan Bodeh, Kabupaten
Pemalang, Jawa Tengah. Panen perdana padi organik di wilayah
itu dilakukan pada Kamis, 25 Maret 2010. Secara total, terdapat
32,232 hektare lahan padi organik yang dipanen. Lahan-lahan
itu tersebar di 14 desa, yaitu Desa Tegalsari Timur Kecamatan
Ampel Gading, dengan luasan panen 8,085 hektare, Babakan
Bodeh (6,66 hektare), Loning, Petarukan (5,33 hektare),
Ujunggede, Ampelgading (2,66 hektare), Cibuyuk, Ampelgading
(2,31 hektare), Jojogan, Watukumpul (2,30 hektare), Desa
Taman, Kecamatan Taman (1,66 hektare), Pedurungan, Taman
(1,165 hektare), Pesantren, Ulujami (0,66 hektare), Desa
Petarukan, Kecamatan Petarukan (0,33 hektare), Danasari,
Pemalang (0,33 hektare), Sarwodadi, Comal (0,33 hektare),
Kendalsari, Petarukan (0,247 hektare), dan Sungapan, Pemalang
(0,165 hektare).
Varietas yang ditanam adalah pandanwangi, mentik-
wangi, ciliwung, mentik putih, cibagendit, beras merah, tegal-
gondo, cunde, dan ciherang. Mayoritas padi itu adalah varietas
lokal yang didapatkan dari Grobogan dan Yogyakarta.
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
195
Gerakan pertanian organik di Kabupaten Pemalang ber-
langsung bersamaan dengan gerakan pemasyarakatan sertifikasi
lahan masyarakat yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Pemalang.
Gambar 5: Kegiatan SPOR di Pemalang:
Penerapan SPOR secara luas (32,23 hektare) untuk tahap
pertama penanaman padi maupun padi beras merah juga
dilatarbelakangi “kisah sukses” sistem yang digunakan itu untuk
“menyembuhkan” lahan sawah milik Bupati Pemalang di Desa
Loning Kecamatan Petarukan yang lama tidak produktif karena
kadar keasamannya yang tinggi. Lahan sawah di Desa Loning
Sumber: dok. Arso Tunggal
Jawa Menyiasati Globalisasi
196
tersebut telah bertahun-tahun tidak produktif, banyak cara
telah digunakan untuk membuatnya kembali produktif, bahkah
pernah di lahan itu ditanami mangga, tetapi hasilnya tetap tidak
subur dan berbuah.
Sebelum di Pemalang, Arso Tunggal telah menerapkan
SPOR dalam skala yang terbatas di daerah Kendal, Purwodadi,
Salatiga, dan Sleman DIY, untuk budidaya komoditas padi lokal,
beras merah, kacang hijau, lombok, tembakau, dan markisa.
Untuk pertanian organik rasional, sebenarnya Arso Tung-
gal telah memulainya sejak awal tahun 1990, namun berhenti
pada tahun 1997 karena persoalan manajemen. Gerakan ini
mulai dihidupkan kembali pada tahun 2007.
Dalam upaya memberdayakan para petani, Paguyuban
Arso Tunggal Djoko Murwono berusaha menghidupkan kem-
bali konsep lumbung desa. Dasar pemikirannya adalah, dalam
konsep lumbung desa para petani selalu membuat bibit sendiri
dan berjalan secara mandiri. Untuk mendapatkan bibit pangan,
selain secara mandiri juga menjadikan bibit yang secara iklim
teradaptasi; proses aklimatasi yang dilakukan sesuai dengan
kondisi cuaca dan iklim setempat.
Kapitalisasi dalam bidang agro, mendorong pembuatan
bibit – dengan berbagai alasan, harus tergantung dengan bibit
yang dibuat pabrik serta dengan alasan sudah tersertifikasi –
menyebabkan terjadinya gagal panen karena kualitas bibit yang
tidak memadai.
Oleh sebab itu, kearifan lokal seharusnya merupakan
benteng pertahanan utama untuk mencegah kerusakan akibat
perubahan iklim secara global yang disebabkan kenaikan suhu
global, bocornya ozon, sehingga intensitas sinar ultra violet matahari makin tinggi. Menghadapi tantangan ini, perlu
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
197
terobosan teknologi yang lebih memadai serta bersifat
pendampingan yang berujung pada kemandirian. Langkah yang
perlu ditempuh adalah penguatan kearifan lokal, dimulai
dengan penerapan konsep lumbung desa; menyimpan sebagian
hasil panen untuk persediaan pangan di masa sulit dan
pembenihan dilakukan secara mandiri.
Sekarang, posisi tawar petani sangat rendah, karena dari
awal sudah dibebani kewajiban membayar utang, sehingga
sawah diijonkan. Akibatnya, walaupun sebagai pemilik lahan,
petani tidak ubahnya sebagai petani penggarap belaka. Petani
tidak menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Teknologi yang diterapkan seharusnya dapat lebih meng-
aktualisasikan kearifan lokal yang ada, sehingga memperkecil
kemungkinan kegagalan. Contoh kearifan lokal Jawa dalam
pertanian: membaca tanda musim dengan berbagai ilmu per-
bintangan, tanda hewan tertentu mulai muncul akan dimulai
dengan bercocok tanam jenis tanaman yang sesuai. Misalnya,
apabila ada bunyi serangga tenggeret, maka yang paling cocok
adalah mulai menyebar tanaman kacang hijau atau kedelai,
karena akan panen di tengah musim kemarau, sehingga tanpa
terhalang dalam pengeringan oleh sinar matahari. Apabila
mulai banyak angin dan setelah puncak bunga turi selang
sebulan, mulai menggarap tanah sawah. Selain itu, perlu
mengistirahatkan lahan pertanian atau pergantain tanaman
dengan tujuan memotong masa inkubasi hama tanaman.
Peran keilmuan dan pengetahuan yang bertitik tolak dari
kearifan lokal semacam itu seharusnya dikembangkan dan di-
lengkapi, termasuk di dalamnya penggunaan pupuk kandang
dalam sistem budidaya yang dilakukan, serta model tumpang-
sari untuk mendukung ketersediaan pangan secara harian untuk
konsumsi sayur.
Jawa Menyiasati Globalisasi
198
Melalui SPOR, Arso Tunggal melakukan pendampingan
kepada para petani, dengan tujuan agar petani lebih mandiri
dan berdaya menghadapi perubahan yang terjadi. Pendamping-
an dilakukan untuk menyejahterakan umat secara keseluruhan.
Teknologi yang diterapkan meliputi: teknologi pemulia-
an bibit lokal, pengelolaan lahan, pembuatan sarana pertanian,
terutama pupuk organik, pestisida alifatis yang sistemis dengan
racun alami, pemanenan dan teknologi lepas panenan, serta
model perdagangan dan permodalan, sehingga mengurangi
jumlah petani yang terkena ijon.
Desa adalah tatanan masyarakat agraris yang sesungguh-
nya, yang merupakan sumber bahan pangan masyarakat
perkotaan. Ironisnya, pemerintah cenderung melakukan
regulasi dan stabilisasi harga pangan, tetapi kurang memikirkan
fungsi dan peran desa sebagai penyangga ekonomi dan sosial
secara nasional. Keberpihakan pemerintah pada masyarakat
perkotaan, dalam banyak hal merugikan masyarakat pertanian
pedesaan, sehingga dalam kurun waktu yang panjang akan
menghancurkan peran dan fungsi desa.
Dalam stabilisasi harga pangan, pemerintah selalu meng-
gunakan hukum ekonomi kapitalistik, karena pengendalian
moneter dipegang secara langsung oleh negara; penyeimbangan
antara persediaan dan permintaan (supply and demand). Pada
saat panen raya, dengan sendirinya harga pangan, terutama
beras, akan menjadi murah, tetapi pemerintah tidak pernah
berperan untuk menjaga stabilitas harga, justru menyerahkan-
nya pada mekanisme pasar. Akibatnya, harga pangan menurun
tajam karena banyak persediaan melimpah.
Sebaliknya, di saat para petani tidak panen, pamerintah
sering menyebutnya paceklik dan oleh karena itu mengimpor
beras dengan alasan demi stabilitas harga dan stabilitas politik.
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
199
Hal itu kemudian mengakibatkan rendahnya tingkat kesejah-
teraan petani di pedesaan. Dampak berikutnya, terjadi alih
profesi kelompok muda pedesaan, dari petani menjadi buruh
pabrik atau pekerja kasar di perkotaan.
Djoko menyebutkan, konsep yang diterapkan pemerintah
dalam kaitannya dengan pembangunan adalah konsep ”kota
mengepung desa,” bukan kota yang dikepung dan dihidupi oleh
desa. Padahal, yang diperlukan pembangunan nasional saat ini
adalah konsep keseimbangan sosial dan ekonomi, saling ber-
sinergi dan saling menguntungkan antara masyarakat perkotaan
dan masyarakat pedesaan. Itulah sebabnya, perlu dilakukan
pendampingan dan pemberdayaan masyarakat desa yang ber-
basis pertanian, agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Kearifan lokal masyarakat pertanian pedesaan perlu di-
bangkitkan lagi. Kearifan lokal itu penuh dengan aspek keber-
samaan yang dimulai sejak kecil, ketika ikatan kekeluargaan
merupakan terminal dalam mengatasi kesulitan hidup. Ung-
kapan ”mangan ora mangan, waton kumpul” (”makan tidak
makan, yang penting kumpul”) sesungguhnya mencerminkan
solidaritas masyarakat desa untuk saling berbagi. Begitu pula
budaya rewangan dan nyumbang (saling membantu kalau ada
tetangga punya hajat), gugur gunung (saling membantu dan
merawat sarana pedesaan), sambatan (saling membantu dalam
membangun rumah). Ciri masyarakat pedesaan itu seharusnya
dikembangkan lagi untuk menghadapi gempuran budaya glo-
balisasi.
Pembinaan keakraban dan kekeluargaan itu diisyaratkan
lewat tembang ”Ilir-ilir” berikut ini:
Lir ilir, lir ilir tanduré wus sumilir Tak ijo royo-royo dak sengguh pengantèn anyar Cah angon, cah angon pènèkna blimbing kuwi Lunyu-lunyu pènèkna kanggo mbasuh dhodhot ira
Jawa Menyiasati Globalisasi
200
Dhodhot ira, dhodhot ira kumitir bedhah ing pinggir Domana jlumantara, kanggo seba mengko soré Mumpung gedhé rembulané, mumpung jembar platarané Dha suraka, surak horé!
Terjemahan bebas tembang itu adalah:
Bangun dan bangunlah, tanaman padi mulai bertahan hidup/Tanaman itu tampak hijau segar, seperti kehi-dupan pengantin baru/Anak gembala tolonglah panjat pohon belimbing itu/Walaupun licin tetaplah dipanjat, sebab akan digunakan mencuci kain yang dipakai/Jarik yang sobek pinggirnya supaya dijahit/se-bab akan di-pakai resepsi nanti sore/Semampang bulan terang, semampang luas halaman rumah/Marilah semua ber-sorak dan bergembira.
Itulah pesan budaya, yang sekilas tanpa makna dan arti,
namun sebenarnya sarat dengan rasa syukur dalam kebersa-
maan dan kesederhanaan. Itulah modal besar yang dapat digu-
nakan untuk melewati krisis multidimensional yang sekarang
melanda dunia, karena kota menjadi modern, individualistis,
materialistis, serta tidak lagi memiliki kepedulian dan solidari-
tas.6
6 Keterangan Djoko bahwa tembang ”Ilir-ilir” merupakan isyarat keakraban
dan kekeluargaan masyarakat pedesaan berbeda dari pengetahuan yang selama ini berkembang. Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa tembang tersebut hasil karya Sunan Kalijaga, namun Solichin dalam buku Sekitar Wali Sanga (dalam Purwadi dkk, 2005:190-192) menjelaskan, belum dapat dipastikan apakah pengarang tembang itu Sunan Kalijaga atau Sunan Bonang. Pada awal tahun 1962, Lembaga Kantor Berita (LKBN) Antara pernah menurunkan tulisan yang mengulas tembang itu. Disebutkan, ”Ilir-ilir” merupakan karya Sunan Kalijaga dan dimaksud untuk memberitahukan bahwa telah tiba saatnya untuk menggempur Majapahit, sebagai pencanangan perang. Pembesar-pembesar dari pesisir yang telah memeluk Islam menunggu saat yang tepat untuk menyerang Majapahit. Tulisan itu mendapat sorotan tajam, terutama dari Islam garis keras. Banyak ahli yang menyatakan bahwa penafsiran itu keliru. Menurut para ahli tersebut, tembang ”Ilir-ilir” sebagai sarana penyiaran agama Islam secara damai, tanpa paksaan dan kekerasan. Toleransi di dalam penyiaran agama Islam sangat jelas, sehingga terjadi asimilasi dan adaptasi antara ajaran Islam dan ajaran lain. Menurut para ahli
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
201
Ciri-ciri kehidupan sosio-kultural masyarakat desa Jawa
itu, oleh Purwadi (2005:71-73) dinyatakan sebagai berikut:
1. Menjunjung kebersamaan: diwujudkan dalam bentuk
kerja bakti, gotong royong, gugur gunung, sambatan, jagongan, dan rewang;
2. Suka kemitraan: siapa saja yang datang dianggap
sebagai saudara;
3. Mementingkan kesopanan: terwujud dalam istilah
antara lain unggah-ungguh, tata krama, tata susila, basu krama, dan suba sita;
4. Ahli musim: di balik kesederhanaan, ternyata masya-
rakat Jawa sangat paham terhadap pergantian musim
(pranata mangsa). Mereka mengerti soal pergantian
musim, terutama berkaitan dengan masa tanam dan
masa panen (musim penghujan, musim kemarau,
labuh, marèng);
5. Pertimbangan religius: sistem kepercayaan masyara-
kat Jawa selalu berhubungan dengan agenda tindak-
annya; selalu mencari hari pasaran yang baik setiap
akan melakukan kegiatan. Di pedusunan banyak
tersebut, makna kalimat Ilir-ilir, ilir-ilir tanduré wis sumilir adalah makin subur dan tersiarlah agama Islam yang disiarkan oleh para wali dan mubalig; tak ijo royo-royo dak sengguh pengantèn anyar = hijau adalah warna dan lambang agama Islam, dikira pengantin baru; cah angon, cah angon pènèkna blimbing kuwi = cah angon diibaratkan penguasa yang menggembalakan rakyat dan disarankan masuk Islam, disimbolkan dengan buah belimbing yang berbentuk segi lima sebagai lambang rukun Islam; lunyu-lunyu pènèkna kanggo mbasuh dhodhot ira = walaupun licin, tapi usahakanlah agar dapat masuk Islam demi menyuscikan pakaian (bagi orang Jawa agama ibarat pakaian); dhodhot ira, dhodhot ira kumitir bedhah ing pinggir = pakaian (atau agama) kalian sudah rusak; domana jlumantara, kanggo seba mengko soré = pakaian (atau agama) yang sudah rusak itu harus dijahit (diperbaiki) sebagai bekal menghadap Tuhan; mumpung gedhé rembulané, mumpung jembar platarané = selagi masih hidup, masih ada kesempatan untuk bertobat. Dha suraka, surak horé! = bersoraklah, bergembiralah!
Jawa Menyiasati Globalisasi
202
dijumpai upacara tradisional yang berkaitan dengan
sistem kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke
generasi;
6. Toleransi tinggi: segala kejadian di luar dirinya dibi-
arkan saja berjalan secara alami. Orang mudah me-
maafkan kesalahan orang lain;
7. Hormat pada pemimpin: masyarakat pedesaan selalu
menaruh hormat kepada para pemimpinnya;
8. Hidup pasrah: masyarakat pedesaan berserah diri
kepada Yang Maha Kuasa dalam setiap menghadapi
masalah kehidupan;
9. Cinta seni: masyarakat pedesaan menyukai keseni-an,
terutama kesenian tradisional yang berkembang di
wilayah mereka;
10. Dekat alam: kedekatan dengan alam ini misalnya
tercermin dari cara masyarakat pedesaan menyebut
matahari (dengan Sang Hyang Surya), bulan (Sang
Hyang Candra), dan angin (Sang Hyang Bayu).
Kedekatan masyarakat Jawa pada alam juga tercermin dari
ungkapan ”ibu bumi, bapa angkasa,” bahwa bumi adalah simbol
ibu yang menumbuhkan tanaman, langit adalah simbol ayah
karena melindungi dan menurunkan hujan.
Djoko mengungkapkan, di banyak negara lain sektor per-
tanian menerima subsidi dan dilindungi dari ekspansi produk
pertanian asing, karena sektor pertanian merupakan salah satu
bentuk pertahanan pangan, yang merupakan kebutuhan dasar
bagi masyarakat. Di banyak negara, pemerintah membeli
produk pangan rakyatnya dengan harga yang tinggi, kemudian
menjual di dalam negerinya dengan harga yang murah, sehing-
ga melindungi petani, agar produk tetap kompetitif dibanding-
kan dengan harga produk asing.
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
203
Ironis, di Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris,
pemerintah justru memberikan subsidi bukan pada pelaku
pertanian, melainkan kepada pada broker pertanian dan pelaku
pasarnya. Akibatnya, alih fungsi profesi dan lahan selalu terjadi
dan sektor pertanian makin tidak populer sebagai penyerap
tenaga kerja. Pemerintah tidak mampu melindungi dan menye-
jahterakan para petani. Kenyataan itu menjadi salah satu penye-
bab meningkatnya arus urbanisasi.
Masalah urbanisasi bukan sekadar kesenjangan partum-
buhan ekonomi desa-kota, melainkan juga masalah budaya
sebagai akibat dari pergeseran nilai-nilai masyarakat pedesaan.
Pergeseran itulah yang bisa disebut sebagai perubahan ruralism ke urbanism. Istilah ini mungkin kurang lazim, namun intinya
adalah pergeseran cara pandang masyarakat pedesaan yang dulu
merasa nyaman menjadi orang desa sekarang risi dianggap
ndesa sehingga berusaha menjadi orang kota. Ada kerancuan
pikir, seolah-olah kota adalah modern-maju sedangkan desa
adalah keterbelakangan. Kerancuan ini pun dipicu oleh pemba-
ngunan dan modernisasi yang dilandasi nilai-nilai kapitalistik
Barat.
Mengapa ‘’virus’’ urbanisme sangat mencengkeram ma-
syarakat pedesaan, sehingga sektor pertanian tertatih-tatih dan
tidak lagi menjadi primadona? Salah satu jawabnya adalah,
lemahnya ketahanan budaya menghadapi gempuran arus global.
Kita sebenarnya belum bebas dari penjajahan budaya. Urbanis-
me adalah salah satu bentuk keterjajahan itu. Masyarakat pe-
desaan tidak lagi mandiri sebagai entitas yang bangga dengan
eksistensinya. Ironisnya, perasaan tidak bangga terhadap pe-
desaan juga merasuki para elite yang berwenang menyusun
strategi pengembangan masyarakat. Akibatnya, kebijakan pe-
merintah sering tidak memihak masyarakat pedesaan. Pedesaan
Jawa Menyiasati Globalisasi
204
sebagai sentra pembangunan perekonomian masih menjadi
slogan manis yang belum terlaksana.
Gambar 6:
Diskusi Lumbung Desa dan Kemandirian Petani:
Diskusi pengembangan pertanian organik dengan anggota DPRD DIY dan LSM:
Akibat berikutnya, pembangunan masih terkonsentrasi di
perkotaan. Anggaran pembangunan dan peredaran uang
menumpuk di kota-kota besar. Pembangunan infrastruktur
memang sudah masuk desa-desa, tapi, karena tidak diimbangi
ketahanan budaya, maka hasilnya justru menjadi sarana
Sumber: koleksi pribadi penulis
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
205
masuknya nilai-nilai kapitalisme Barat, bukan menjadi pemicu
kebangkitan potensi lokal.
Urbanisme sebagai pola pikir ibarat pondasi yang rapuh.
Kebijakan ekonomi yang pro-perkotaan adalah tiang-tiang yang
tidak kokoh. Akibatnya, masyarakat menjadi bangunan yang
mudah guncang akibat pengaruh dari luar.
Menghadapi kenyataan itu, pendampingan yang dilaku-
kan Paguyuban Arso Tunggal lewat SPOR diarahkan agar para
petani mampu memproduksi hasil pertaniannya secara mandiri
dan membuka peluang ke pasar global. Cara itu diharapkan
mampu meningkatkan kesejahteraan petani, karena harga jual
produk pertanian mereka dibeli dengan harga yang tinggi.
Sampai saat ini, Arso Tunggal sudah membantu petani meng-
ekspor produk mereka ke Korea Selatan dan sedang dalam
penjajakan ekspor ke Belanda.
Konsep pengembangan lumbung desa dan SPOR itu telah
menarik berbagai pihak. Djoko Murwono sering diundang oleh
berbagai lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta,
untuk menjelaskan gagasan-gagasannya.
Perbandingan Arso Tunggal dan Humanisme Barat
Untuk memberikan gambaran lebih rinci, berikut ini
perbandingan antara humanisme Arso Tunggal dan humanisme
Barat.
Arso Tunggal dan Humanisme Klasik
Pemikiran yang dikembangkan Paguyuban Arso Tunggal,
melalui pertemuan Reboan, menitikberatkan pada faktor manu-
sia; apakah manusia itu? Dari mana asal-usulnya? Bagaimana
Jawa Menyiasati Globalisasi
206
manusia harus hidup di dunia dan berkarya untuk sesama
manusia dan lingkungan?
Terdapat perbedaan antara pemikiran yang dikembangkan
Arso Tunggal dan pemikiran humanisme Barat pada Periode
Klasik. Humanisme Klasik sudah melepaskan diri dari pemi-
kiran tentang alam dan terfokus sepenuhnya pada faktor
manusia, adapun pemikiran Arso Tunggal masih diwarnai oleh
pandangan tentang alam, seperti khas pandangan Jawa yang
selalu mengaitkan jagad cilik dengan jagad gedhé (mikro-
kosmos dan makrokosmos), meskipun titik pusatnya tetap pada
diri manusia sendiri.
Dibandingkan dengan pemikiran Sokrates, maka Arso
Tunggal berpandangan bahwa hidup memang harus terus-me-
nerus dikaji, untuk meningkatkan martabat manusia. Pemikiran
ini teraplikasikan ke dalam pengkajian yang dilakukan lewat
penelitian-penelitian ilmiah di bidang pengobatan untuk mem-
bantu masyarakat yang sakit dan SPOR sebagai perwujudan niat
memberdayakan petani.
Arso Tunggal mengembangkan pemikiran bahwa manusia
memang terdiri dari tiga aspek, yaitu tubuh, jiwa, dan roh
(seperti yang digambarkan Plato), tapi pemahaman itu berbeda
dari pemahaman sebagian besar masyarakat Jawa yang cende-
rung mengutamakan roh, kurang mengembangkan potensi jiwa
dan tubuh. Arso Tunggal justru mengeksplorasi potensi jiwa
tersebut untuk diragakan. Ungkapan yang digunakan adalah
mengaktualisasikan krenteg yang diangkat ke ranah pikiran
(karep), selanjutnya menjadi niat untuk bertindak (karsa), dan
akhirnya terwujud dalam kegiatan konkret (karya). Mekanisme
tersebut tercermin dari ritual ngraga sukma.
Mekanisme itu mencerminkan, bahwa Arso Tunggal
mengutamakan hal-hal yang bersifat kemanusiaan, karena jiwa
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
207
dan tubuh masih termasuk dalam dimensi kemanusiaan, bukan
rohani. Dengan demikian, gerakan paguyuban ini mengutama-
kan faktor manusia, dengan karya-karya nyata (benda konkret)
seperti pandangan Aristoteles. Pemikiran yang dikembangkan
Arso Tunggal bersifat sintesis antara pemikiran Plato – yang
menganggap bahwa dunia ide adalah nyata dan dunia penga-
laman hanyalah bayang-bayang dari dunia ide – memisahkan
jiwa dari tubuh – dan pemikiran Aristoteles yang lebih meng-
utamakan benda-benda nyata (atau karya-karya nyata) daripada
pendambaan pada dunia ide.
Sintesis tersebut tergambarkan dari gerakan Arso Tunggal
yang mengembangkan ide-ide tentang kearifan lokal Jawa ke
dalam praktik nyata dalam pengobatan dan pertanian. Bagi Arso
Tunggal, baik dunia ide maupun pengalaman merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan, melainkan justru harus di-
sinergikan untuk mencapai karya yang bermanfaat bagi umat
manusia. Sinergitas itu merupakan keterpaduan antara krenteg, karep, karsa, dan karya. Empat hal itu tidak dapat dipisahkan
satu dari yang lain, untuk meningkatkan martabat kemanusia-
an.
Arso Tunggal dan Humanisme Abad Pertengahan
Sebagai gerakan, kegiatan Paguyuban Arso Tunggal
merupakan perpaduan antara pandangan bahwa manusia adalah
makhluk kodrati dan makhluk adikodrati (imanen dan transen-
den), seperti pandangan humanisme St. Agustinus di Abad
Pertengahan. Hal tersebut tercermin dari pemahaman yang
dikembangkan Arso Tunggal, bahwa inti humanisme adalah sangkan paraning dumadi (manusia sebagai makhluk adi-
kodrati), manunggaling kawula Gusti (manusia sebagai makhluk
adi-kodrati sekaligus kodrati), dan pakarti.
Jawa Menyiasati Globalisasi
208
Sifat humanisme gerakan ini terlihat dari motivasi ke-
giatan yang dilakukan lebih menitikberatkan pada kemampuan
intelektual manusia daripada sekadar bertumpu pada kekuatan
supranatural. Paguyuban ini mengembangkan dua pokok ke-
giatan, yaitu pengobatan dan pertanian yang didasarkan pada
riset ilmiah. Semangat yang mendasari kegiatan itu adalah
tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia dan
lingkungan lebih penting daripada kepatuhan pada seremoni
keagamaan atau pada kekuatan supranatural. Tuhan dipandang
sebagai kekuatan Yang Maha Kuasa, yang menyinari kehidupan
manusia, dan hanya memberi arahan-arahan dan rambu-rambu,
tapi pada akhirnya manusialah yang memilih.
Dalam praktik kegiatan, Arso Tunggal mengembangkan
pemahaman bahwa intelektualitas kemanusiaan adalah hal yang
sangat penting dan menentukan kualitas manusia dalam kehi-
dupan. Pemahaman yang dikembangkan adalah, bahwa masalah
adikodrati (masalah sangkan paraning dumadi dan manunggali-ng kawula Gusti) tidak berarti tanpa tindakan nyata yang
bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan.
Kalaupun Arso Tunggal memercayai kekuatan Tuhan,
maka hal itu ibarat cahaya yang menyinari tindakan manusia.
Tuhan tidak melarang tapi memberi aturan-batasan, untung-
celaka tergantung pada diri manusia sendiri. Ajaran tersebut
menggambarkan, Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan
pemahaman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung
pada diri manusia sendiri. Pandangan ini sama dengan pandang-
an humanis Abad Pertengahan, Thomas Aquinas.
Kegiatan Arso Tunggal didasari oleh eksplorasi jiwa yang
dimanifestasikan ke dalam tubuh (dalam bentuk pikiran) yang
kemudian menghasilkan karya. Kegiatan itu disebut ngraga sukma, yang tercermin dalam ungkapan krenteg-karep-karsa-
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
209
karya. Kegiatan itu masih berada dalam ranah kemanusiaan,
bukan ketuhanan.
Arso Tunggal mengkritik kaum agama yang lebih
mementingkan tata cara ibadah (liturgi) daripada pelaksanaan
ibadah itu ke dalam tindakan nyata yang berguna bagi sesama.
Kritik tersebut sama dengan kritik tokoh humanis Abad
Pertengahan, Desiderius Erasmus.
Kritik itu menyebabkan Djoko Murwono dicap “Katolik
yang Kejawèn” atau bahkan dituduh akan mendirikan agama
baru. Titik berat pada unsur kemanusiaan (daripada keagamaan
atau bahkan ketuhanan) terlihat dari terbukanya Arso Tunggal
bagi orang-orang di luar Katolik, dari segala golongan, etnik,
maupun profesi.
Seperti Arthur James Balfour, Djoko Murwono pun
mengaitkan budaya manusia dan ketuhanan dengan gambaran:
budaya itu ibarat bumi, agama ibarat bulan, dan Tuhan ibarat
matahari. Di malam hari, matahari menyinari bulan dan bulan
memantulkan sinar ke bumi. Oleh sebab itu, ia menolak pen-
campuradukan antara agama dan budaya. Bagaimanapun manu-
sia dengan budayanya memiliki otoritas menentukan kehidup-
an, tapi disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa.
Gerakan Paguyuban Arso Tunggal dalam pengobatan dan
pertanian membuktikan bahwa gerakan ini termasuk gerakan
humanisme seperti yang berkembang di Abad Pertengahan,
yaitu dengan karakteristik yang diungkapkan Richard Southern:
(1) pengertian tentang martabat makhluk hidup, (2) pengertian
tentang martabat alam, dan (3) pengertian bahwa tatanan alam
dapat dimengerti oleh akal manusia dengan kemanusiaan
sebagai pusatnya.
Dalam konteks tersebut, paguyuban ini menerapkan
keseimbangan antara rasa dan pikiran. Martabat manusia,
Jawa Menyiasati Globalisasi
210
menurut pemahaman Arso Tunggal, ditentukan oleh sejauh
mana manusia mampu menyeimbangkan rasa dan pikiran untuk
diaktualisasikan dalam kegiatan konkret.
Arso Tunggal dan Humanisme Modern
Kalau Rene Descartes di Abad Modern mengatakan “Aku
berpikir maka aku ada,” maka Arso Tunggal mengembangkan
pemahaman bahwa budaya Jawa akan mandek dan tidak
bermakna bagi kehidupan manusia tanpa eksplorasi intelektual
terhadap pengertian-pengertian di dalamnya. Itulah sebabnya,
Arso Tunggal mengeksplorasi kearifan-kearifan lokal Jawa
(diistilahkan “memodernisasikan” Jawa) ke dalam pendekatan
ilmiah. Riset-riset ilmiah dilakukan berdasarkan pemahaman
dan pengetahuan tentang kearifan-kearifan lokal Jawa, kemu-
dian menghasilkan produk-produk (obat-obatan dan SPOR)
yang relevan dengan perkembangan zaman. Dalam perspektif
Karl Marx, langkah itu menggambarkan kreativitas manusia
sebagai kesadaran tentang eksistensi manusia.
Langkah-langkah itu menunjukkan, bahwa paguyuban ini
mengembangkan keberanian untuk berpikir sendiri di luar
tuntutan tradisi atau otoritas (seperti yang dikemukakan
Immanuel Kant). Dalam konteks budaya Jawa, maka Arso
Tunggal mengkritik pemahaman yang selama ini ada, yaitu
budaya Jawa (seolah-olah) hanya bermuara pada kearifan
(wisdom). Kegiatan paguyuban membuktikan, bahwa budaya
Jawa pun seharusnya bermuara pada ilmu pengetahuan, bukan
sekadar kearifan, dan hal itu sudah dibuktikan dengan pene-
muan-penemuan di bidang pengobatan dan pertanian alternatif.
Renaisans
Kalau di Masa Renaisans gerakan humanisme menentang
dominasi kristianitas Periode Pertengahan, maka gerakan
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
211
Paguyuban Arso Tunggal pun mencerminkan kritik terhadap
pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat dogmatis,
kurang terjun ke dalam kegiatan-kegiatan sosial, dan kurang
memanusiakan manusia. Kritik itu tercermin dari ungkapan-
ungkapan Djoko Murwono yang tidak peduli akan dicap apa
pun sebagai penganut Katolik, yang penting baginya hidup
harus bermanfaat untuk orang lain, memanusiakan manusia.
Tidak hanya kritik terhadap agama, gerakan Arso Tunggal
juga merupakan manifestasi dari kritik terhadap feodalisme,
seperti humanisme Renaisans Italia yang bercita-cita membe-
baskan individualitas dari belenggu kekuasaan agama dan
feodalisme. Hal itu tercermin dari sikap aktor sentral yang tidak
mau “terbelenggu” oleh nilai-nilai feodalistik yang dia peroleh
dari didikan di lingkungan dua keraton, Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat. Dia memilih terbebas
dari feodalitas itu dan hidup merdeka, mengembangkan ngélmu
lewat gerakan Arso Tunggal.
Pencerahan
Gerakan Arso Tunggal tidak menafikan kekuatan pikiran,
tetapi kekuatan itu diangkat dari kekuatan yang lebih dalam,
yaitu kekuatan jiwa yang disinari oleh cahaya Yang Maha
Kuasa. Berbeda dari gerakan humanisme Pencerahan yang
menempatkan pikiran sebagai panglima dalam “perang” me-
lawan takhayul, gerakan Arso Tunggal justru menyelaraskan
pikiran dengan jiwa dalam setiap kegiatannya.
Sama dengan keyakinan humanisme Pencerahan, huma-
nisme Arso Tunggal pun menitikberatkan pada hal-hal bersifat
natural-alamiah. Pengembangan obat-obatan bio-fito farmaka
yang dikembangkan berlandaskan pengetahuan pengobatan
Jawa (misalnya obat hepatitis yang dikembangkan dari per-
paduan kutu atau tuma dan pisang emas) adalah bukti pende-
Jawa Menyiasati Globalisasi
212
katan natural-alamiah. Begitu pula, pengembangan SPOR yang
melestarikan daya dukung tanah, menggambarkan bahwa Pa-
guyuban Arso Tunggal berobsesi membangun pranata-pranata
sosial yang adil, dengan mengangkat martabat petani agar
mampu mandiri, terbebas dari tekanan-tekanan kekuatan
kapitalistik.
Humanisme Pencerahan mengajarkan manusia tidak sela-
lu menoleh ke belakang (ancient classical utopias), melainkan
perlu menatap ke depan pada earthly paradise alias utopia
modern ketika kemiskinan, takhayul, dan perang bisa
dihapuskan. Semangat itu juga terdapat dalam gerakan
Paguyuban Arso Tunggal, tercermin dari gerakan SPOR yang
berusaha mengangkat kesejahteraan petani, tidak memercayai
takhayul tapi memandang bahwa Yang Maha Kuasa menyinari
hidup manusia, dan mendorong terciptanya perdamaian antar-
manusia. Gerakan Arso Tunggal berorientasi pada masa depan
yang lebih baik, tidak menoleh ke belakang. “Kita tidak perlu
menoleh ke belakang, karena dengan begitu kita bisa berpikir
maju, berorientasi masa depan,” kata Djoko Murwono.
Arso Tunggal dan Humanisme Postmodern
Seperti pemahaman yang berkembang pada masa Post-
modern, pemahaman Arso Tunggal juga menitikberatkan pada
pentingnya unsur manusia dan budaya. Titik berat pada unsur
manusia dibuktikan oleh paguyuban ini pada kegiatan-kegiatan
pengobatan yang dilakukan melalui klinik di Bulusan dan
Plamongan, Semarang serta pengobatan yang dilakukan di
Manokwari, Papua dan Ketapang, Kalimantan Barat. Selain itu,
juga pengembangan SPOR untuk membantu para petani.
Kegiatan tersebut dilandasi pemahaman “tetulung marang sak padha-padha manunggsa” (“menolong sesama manusia”).
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
213
Pengutamaan budaya terlihat dari fakta bahwa bahwa
Arso Tunggal adalah gerakan budaya, bukan agama. Oleh sebab
itu, paguyuban ini terbuka bagi orang-orang dari berbagai
agama, aliran kepercayaan, dan profesi. Arso Tunggal juga
mengembangkan pemahaman, bahwa budaya dan agama
merupakan dua hal yang harus dipisahkan. Pemisahan tersebut
perlu untuk menghindari (mengurangi) konflik-konflik yang di
permukaan seperti konflik agama, padahal sebenarnya konflik
budaya.
Gerakan Paguyuban Arso Tunggal mencerminkan karak-
teristik Postmodern, yaitu:
1. Makna kemanusiaan tidak dapat diandalkan,
melainkan harus selalu ditemukan dan dirumuskan
secara baru dalam setiap perjumpaan manusia dengan
realitas dan konteks yang baru. (Bukti empirik:
Paguyuban Tunggal selalu berusaha menemukan hal-
hal baru dalam pengobatan dan pertanian. Harga obat
yang mahal dijawab dengan penemuan-penemuan
baru di bidang pengobatan dan pemberian subsidi
kepada masyarakat; revolusi hijau yang menyebabkan
penurunan kuantitas dan kualitas produksi pangan,
biaya produksi pertanian yang makin mahal, maupun
persoalan lingkungan yang diakibatkannya dijawab
dengan penerapan SPOR).
2. Kemanusiaan bukanlah suatu esensi tetap atau situasi
akhir, melainkan suatu proses menjadi manusiawi
secara terus-menerus dalam interaksi manusia dengan
konteks dan tantangan yang terus berubah dan
berkembang. (Bukti empirik: ketika ditanya apa
sebenarnya tujuan hidup manusia, Djoko Murwono
menjawab: “menjadi manusia, menjadi diri sendiri.”
Ungkapan itu mencerminkan, bahwa manusia harus
Jawa Menyiasati Globalisasi
214
terus-menerus mencari dan mengembang-kan
jatidirinya. Gerakan yang mencerminkan hal ini
adalah, pendampingan kepada para petani agar
mampu menjawab tantangan zaman yang terus
berubah; memanusiakan petani).
3. Humanisme harus mengandung unsur dialogis,
artinya me-rupakan undangan untuk saling menjadi
makin manusiawi. (Bukti empirik: ritual yang
dikembangkan Arso Tunggal membimbing anggota
untuk meningkatkan kualitas sebagai manusia, yang
dalam budaya dikenal dengan satriya, satriya pinandhita, pinandhita ratu, ratuning pinandhita, ratu ratuning pinandhita.).
4. Nilai-nilai universal dan kontekstual atau dimensi
normatif dan faktual dalam realitas kehidupan
manusia saling ber-interaksi dan tidak dapat
dipisahkan. (Bukti empirik: Arso Tunggal selalu
melakukan sarasehan Reboan untuk membahas
perkembangan aktual berkaitan dengan gerakan di
bidang pengobatan dan pertanian. Contoh: melakukan
riset untuk menemukan obat alternatif untuk HIV
dan riset untuk meningkatkan produksi pertanian).
5. Politik yang humanistik perlu menyeimbangkan dua
corak politik, yaitu politik emansipatorik yang
bertujuan mengu-rangi atau bahkan menghapus
eksploitasi, ketidaksetaraan, dan penindasan, serta
politik kehidupan yang mengedepan-kan aktualisasi
diri serta kepedulian moral dan eksistensial yang telah
dipinggirkan oleh Humanisme Modern. (Bukti
empirik: di bidang pengobatan Arso Tunggal
membantu masyarakat yang kurang mampu dengan
memberikan subsidi harga obat, sehingga harga
menjadi murah dan terjangkau. Di bidang pertanian
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
215
Paguyuban Arso Tunggal berusaha meningkatkan
daya saing dan kemandirian petani melalui SPOR,
menghapus eksploitasi, ketidaksetaraan, dan
penindasan).
Arso Tunggal Tidak Terlepas dari Ketuhanan
Berbeda dari gerakan Humanisme Modern dan Post-
modern, gerakan Humanisme Arso Tunggal mengakui adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, gerakan ini
berbeda dari gerakan-gerakan kebatinan pada umumnya yang
cenderung berhenti pada pemujaan kepada Tuhan, berpusat
pada dimensi rohani. Arso Tunggal mengaplikasikan nilai-nilai
budaya Jawa itu ke praktik nyata yang bermanfaat bagi
peningkatan martabat umat manusia.
Humanisme kejawèn yang dikembangkan adalah
pemahaman bahwa Tuhan itu transenden sekaligus imanen, tapi
Tuhan tidak sepenuhnya menentukan manusia, melainkan
hanya memberi panduan-panduan tertentu, dan manusialah
yang memilih nasibnya sendiri. Meskipun ada perbedaan
pemahaman humanisme kejawèn Arso Tunggal, namun sebagai
gerakan paguyuban ini memiliki persamaan dengan semangat
yang terkandung dalam Manifesto Humanis I dan Manifesto
Humanis II.
Dalam Bab Dua disebutkan, Manifesto Humanis I antara
lain mencerminkan revisi sikap-sikap tradisional. Perubahan di
bidang sains dan ekonomi telah mengacaukan keyakinan-
keyakinan lama. Aktivitas-aktivitas penting manusia berada
dalam kerangka humanisme, baik secara implisit maupun
eksplisit. Dikaitkan dengan Manifesto Humanisme I itu, maka
gerakan Paguyuban Arso Tunggal pun mencerminkan revisi
sikap-sikap tradisional. Hal itu terlihat dari upaya paguyuban
Jawa Menyiasati Globalisasi
216
ini melakukan revisi sikap-sikap tradisional Jawa, dari
pemahaman bahwa budaya Jawa bermuara pada kearifan
menjadi pemahaman bahwa budaya Jawa menghasilkan ilmu
pengetahuan.
Melalui observasi partisipatif, penulis juga menemukan,
bahwa gerakan Paguyuban Arso Tunggal merupakan gerakan
yang dilakukan dalam kerangka humanisme, baik secara
implisit maupun eksplisit. Secara implisit, karena gerakan
paguyuban ini masih diwarnai simbol-simbol agama Katolik
(paku-paku kayu yang berbentuk tanda salib), tetapi dasar
gerakan sebenarnya adalah hmanisme kejawèn. Simbol agama
itu hanya ada di permukaan sebagai wahana untuk meningkat-
kan nilai-nilai kemanusiaan.
Manifesto Humanis II menyebutkan, berbagai pelanggar-
an terhadap hak-hak asasi manusia dilakukan oleh negara,
bahkan di negara demokratik sekalipun, oleh kekuatan militer,
politik, dan elite-elite industri. Di beberapa negara, muncul
tuntutan-tuntutan kesetaraan hak-hak dari kelompok-kelom-
pok perempuan dan kaum minoritas. Kaum humanis mendam-
bakan abad yang akan datang merupakan abad humanistik.
Perubahan-perubahan dramatik di bidang keilmuan, teknologi,
serta di bidang sosial-politik membuka kesadaran umat manusia
untuk memasuki abad baru. Berkat teknologi, umat manusia
dapat mengontrol lingkungan, mengatasi kemiskinan, penyakit,
mengembangkan kehidupan, untuk mencapai kehidupan yang
lebih bermakna.
Dikaitkan dengan Manifesto Humanis II, gerakan Pagu-
yuban Arso Tunggal merupakan gerakan untuk membela hak-
hak asasi manusia yang tertekan oleh kekuasaan negara, politik,
dan elite industri. Hal itu tercermin dari program pendamping-
an kepada para petani. Riset ilmiah dalam pengobatan dan
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
217
penerapan SPOR membuktikan, bahwa Arso Tunggal juga
memanfaatkan teknologi (berbasis kearifan lokal Jawa) untuk
mengontrol lingkungan, mengatasi kemiskinan, penyakit, untuk
mencapai kehidupan yang bermakna.
Kesimpulan
Praktik humanisme Arso Tunggal melalui tiga kegiatan
pokok, yaitu bidang pengobatan, pertanian, dan kajian budaya
Jawa. Kajian budaya Jawa menjadi landasan dua kegiatan yang
lain. Kajian-kajian tersebut dilakukan pada setiap Rabu malam
sampai Kamis dinihari, dilengkapi dengan ritual meditasi.
Sarasehan dan ritual tersebut merupakan awal aplikasi
pemahaman tentang inti humanisme kejawèn yang
dikembangkan, yaitu sangkan paraning dumadi, manunggaling
kawula lan Gusti, laku, dan pakarti. Ritual ngraga sukma sebagai
proses mengeksplorasi jiwa untuk “diangkat” ke otak (pikiran),
sehingga terjadi sinergitas antara niat dari dalam jiwa (krenteg)
dan kehendak dari otak (karep).
Hasil proses tersebut adalah kehidupan manusia dipimpin
oleh jiwa, bukan dikendalikan oleh otak. Sinergi itu kemudian
mewujudkan kehendak untuk bertindak (karsa), selanjutnya
menghasilkan karya. Proses itu disebut sebagai proses krenteg-
karep-karsa-karya.
Tiga inti humanisme kejawèn yang dikembangkan ter-
sebut menjadi landasan kegiatan Arso Tunggal di bidang
pengobatan dan pertanian. Untuk mencapai pakarti, paguyuban
Jawa Menyiasati Globalisasi
218
ini mengangkat budaya dan kearifan lokal Jawa, dimo-
dernisasikan agar mampu mengikuti arus global. Di bidang
pengobatan dan pertanian, Arso Tunggal memberikan alternatif
obat-obat dan sistem pertanian yang dihasilkan dari pengem-
bangan kearifan lokal Jawa dengan riset-riset ilmiah. Kegiatan
itu bertujuan agar masyarakat Indonesia kembali ke pengobatan
berbasis budaya dan kearifan lokal dengan harga yang terjang-
kau dan memandirikan para petani dari ketergantungan sistem
pertanian asing.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara pemikiran
yang dikembangkan Arso Tunggal dan pemikiran humanisme
Barat. Persamaan dan perbedaan itu menunjukkan sifat sin-
kretisme Jawa yang dikembangkan oleh paguyuban ini, sebagai
langkah menyiasati globalisasi.
Humanisme Arso Tunggal masih diwarnai oleh pan-
dangan tentang alam, seperti khas pandangan Jawa yang selalu
mengaitkan antara mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos
(jagad gedhé), meskipun faktor manusia sangat menentukan.
Hal inilah yang berbeda dari humanisme Periode Klasik yang
sudah lepas dari pemikiran tentang alam.
Semangat yang mendasari kegiatan Arso Tunggal adalah,
bahwa tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia
dan lingkungan lebih penting daripada kepatuhan pada se-
remoni keagamaan atau pada kekuatan supranatural. Paguyuban
ini mengembangkan pemahaman bahwa sesungguhnya nasib
manusia tergantung pada diri manusia sendiri, sama dengan
pandangan humanis Abad Pertengahan, Thomas Aquinas.
Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa bu-
daya Jawa akan mandek dan tidak bermakna bagi kehidupan
Humanisme Arso Tunggal dalam Praktik
219
manusia tanpa eksplorasi intelektual terhadap pengertian-
pengertian di dalamnya; mengembangkan keberanian untuk
berpikir sendiri di luar tuntutan tradisi atau otoritas (seperti
yang dikemukakan Immanuel Kant). Pandangan ini mirip
dengan pandangan humanisme Periode Modern.
Seperti pemahaman yang berkembang pada gerakan
humanisme Postmodern, pemahaman Arso Tunggal juga me-
nitikberatkan pada pentingnya unsur manusia dan budaya.
Kegiatan tersebut dilandasi pemahaman “tetulung marang sak padha-padha manunggsa” (“menolong sesama manusia”).
Berbeda dari gerakan humanisme Modern dan Post-
modern, gerakan humanisme Arso Tunggal mengakui adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, gerakan ini
berbeda dari gerakan-gerakan kebatinan pada umumnya yang
cenderung berhenti pada pemujaan kepada Tuhan, berpusat
pada dimensi rohani. Arso Tunggal mengaplikasikan nilai-nilai
budaya Jawa itu ke praktik nyata yang bermanfaat bagi pening-
katan martabat umat manusia.
Banyak makna tentang humanisme, namun terdapat ide-
ide dasar humanisme seperti dijelaskan Hoertdoerfer (dalam
Bab Dua). Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara
pemaknaan humanisme oleh masyarakat Barat dan pemaknaan
humanisme menurut Arso Tunggal (lihat Lampiran 4).
Dari persamaan dan perbedaan tersebut, penulis menyim-
pulkan, secara garis besar karakteristik gerakan Paguyuban Arso
Tunggal adalah:
1. Sebagai gerakan hmanisme kejawèn terbentuk oleh
nilai-nilai budaya Jawa aktor sentralnya;
2. Sebagai gerakan yang dilandasi oleh pemahaman
yang sama dengan gerakan humanisme Periode
Pertengahan, yaitu memandang manusia sebagai
Jawa Menyiasati Globalisasi
220
makhluk adikodrati sekaligus kodrati, menyeimbang-
kan antara jiwa dan raga, tidak menafikan kekuatan
intelektual untuk pengembangan nilai-nilai kemanu-
siaan, dan sebagai reaksi terhadap kekurangmampuan
agama menjawab masalah sosial kemanusiaan.
3. Sebagai gerakan yang lahir dengan semangat yang
sama dengan gerakan humanisme Modern (antara
lain metode ilmiah dan obervasi percobaan, manusia
mampu mengubah dunia, tidak terbelenggu pada
masalah dogmatis, berorientasi masa depan), tetapi
tidak melepaskan entitas ketuhanan.
4. Sebagai gerakan yang terwujud dengan semangat
yang sama dengan humanisme Postmodern (yaitu
memaknai manusia dalam konteks budaya untuk
menghapus eksploitasi, ketidaksetaraan, dan penin-
dasan), tetapi memahami entitas ketuhanan sebagai
cahaya yang menyinari masalah kemanusiaan.