humanisme kejawèn -...

38
91 Bab Empat Humanisme Kejawèn Ditinggalkannya budaya Jawa justru oleh sebagian besar masyarakat Jawa, seperti diuraikan dalam Bab Tiga, menim- bulkan pertanyaan apakah tidak ada potensi Jawa yang dapat dikembangkan untuk menangkal arus global? Apakah budaya Jawa akan hilang tergerus oleh pengaruh budaya dari luar? Bab Empat ini berusaha menguraikan potensi Jawa yang dapat dikembangkan, yaitu kejawèn dan humanisme kejawèn, untuk menangkal globalisasi yang merupakan “anak kandung” hu- manisme Barat. Secara hipotesis, kalau kejawèn dan humanisme kejawèn dapat dibangkitkan, menjadi pandangan hidup, maka manusia Jawa akan menemukan kembali jatidiri, memiliki kepercayaan diri terhadap budayanya sendiri, dan hal itu akan menjadi modal untuk menghadapi arus global. Sebagai sistem berpikir, kejawèn merupakan penjabaran tunggal (singularly elaborate), mengungkapkan kosmologi, mi- tologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenisnya; sistem gagasan mengenai alam manusia dan masyarakat, mencakup etika-etika, kebiasaan-kebiasaan, dan gaya hidup, melingkupi pemaknaan alam semesta, interpretasi tentang kehidupan. Kejawèn dipahami sebagai pandangan hidup manusia Jawa,

Upload: truongthien

Post on 06-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

91

Bab Empat

Humanisme Kejawèn

Ditinggalkannya budaya Jawa justru oleh sebagian besar

masyarakat Jawa, seperti diuraikan dalam Bab Tiga, menim-

bulkan pertanyaan apakah tidak ada potensi Jawa yang dapat

dikembangkan untuk menangkal arus global? Apakah budaya

Jawa akan hilang tergerus oleh pengaruh budaya dari luar? Bab

Empat ini berusaha menguraikan potensi Jawa yang dapat

dikembangkan, yaitu kejawèn dan humanisme kejawèn, untuk

menangkal globalisasi yang merupakan “anak kandung” hu-

manisme Barat. Secara hipotesis, kalau kejawèn dan humanisme

kejawèn dapat dibangkitkan, menjadi pandangan hidup, maka

manusia Jawa akan menemukan kembali jatidiri, memiliki

kepercayaan diri terhadap budayanya sendiri, dan hal itu akan

menjadi modal untuk menghadapi arus global.

Sebagai sistem berpikir, kejawèn merupakan penjabaran

tunggal (singularly elaborate), mengungkapkan kosmologi, mi-

tologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenisnya; sistem

gagasan mengenai alam manusia dan masyarakat, mencakup

etika-etika, kebiasaan-kebiasaan, dan gaya hidup, melingkupi

pemaknaan alam semesta, interpretasi tentang kehidupan.

Kejawèn dipahami sebagai pandangan hidup manusia Jawa,

Page 2: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

92

implementasi kebudayaan Jawa yang juga disebut sebagai

“agami jawi.” (Niels Mulder, 2005:16-17, Geertz, 2000).

Kejawèn adalah segala naluri (tradisi atau perbuatan yang

sudah lazim dijalankan) atau adat-istiadat leluhur Jawa yang

tidak termasuk ajaran Islam. Penyebutan kejawèn itu bertujuan

untuk melepaskan diri dari hukum Islam, namun tidak dima-

sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya-

an animisme (Kamil Kartapradja, 1990:59).

Bagi orang Jawa, hakikat kejawèn adalah kebatinan, yaitu

mistisisme, atau secara literal adalah “ilmu tentang sesuatu yang

berada di dalam batin.” Salah satu tradisi kejawèn yang

berkaitan dengan keyakinan mengenai ketuhanan, peribadatan,

keakhiratan, dan sejenisnya yang bersangkutan dengan akidah

atau keimanan di luar Islam, disebut kebatinan. Pada umumnya

orang-orang yang menjalankan praktik-praktik kebatinan itu

adalah penganut Islam, namun sumber ilmu kebatinannya dari

luar Islam, yaitu Yoga-Tantrisme-Hindu-Buddha, sisa-sisa aga-

ma kepercayaan nenek moyang orang Jawa (Endraswara,

2003:1; Simuh, 1999: 246).

Sampai saat ini mistik kejawèn masih dilaksanakan oleh

para penganutnya, yang tersebar di seluruh wilayah Pulau Jawa,

di desa-desa maupun di kota-kota. Mereka tidak terbatas pada

komunitas, yang oleh Geertz disebut sebagai kaum abangan, rakyat biasa, dan para penganut aliran kepercayaan kepada Tu-

han Yang Maha Esa, melainkan juga komunitas umat beragama

dan kaum priyayi. Mistik kejawèn menyatukan berbagai komu-

nitas, dari berbagai keyakinan agama dan golongan melalui

ikatan spiritual.

Page 3: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

93

Berbeda dari pendapat tersebut, penulis berpendapat,

bahwa komunitas kejawèn tetap merupakan komunitas yang

terdiri dari orang-orang yang tidak berpandangan sebagai

priyayi dan santri. Hasil observasi pendahuluan yang dilakukan

penulis menunjukkan, bahwa kelompok manusia Jawa yang

tergabung dalam perkumpulan-perkumpulan kejawèn adalah

orang-orang yang lebih tepat digolongkan abangan (seperti

istilah Geertz) daripada priyayi maupun santri. Mungkin me-

reka mengaku priyayi atau menganut agama tertentu, namun

pandangan hidup mereka tidak seperti kaum priyayi keturunan

keraton dan tidak merasa terikat secara ketat oleh aturan-aturan

agama yang mereka anut.

Menurut penulis, pandangan bahwa kejawèn menyatukan

berbagai komunitas, termasuk priyayi dan santri, hanya melihat

masalah perkumpulan kejawèn dari sisi permukaan. Kalau di-

teliti lebih mendalam, maka sebenarnya orang-orang yang aktif

dalam perkumpulan-perkumpulan itu adalah orang-orang yang

lebih tepat dikategorikan sebagai abangan. Golongan priyayi, yang pada masa kini antara lain ditampakkan dari status sosial

ekonomi yang mapan, justru cenderung mengikuti arus global.

Adapun golongan santri, yang taat beribadah dan menjalankan

syariat agama, lebih condong ke gerakan ideologi transnasional.

Pengaruh globalisasi dan gerakan ideologi transnasional itu,

secara bertahap meminggirkan dan mengikis pandangan hidup

kejawèn.

Komunitas kejawèn yang sangat kompleks melahirkan

berbagai sekte dan tradisi. Di dalamnya terdapat paguyuban-paguyuban yang secara rutin membahas alam hidup manusia

didasarkan konsep rukun. Modal dasar paguyuban adalah tekad

dan persamaan niat untuk memelihara tradisi leluhur dan me-

miliki “jalan hidup” khas Jawa. Kebatinan sering dianggap

sebagai intisari kejawèn, merupakan gaya hidup orang-orang

Page 4: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

94

Jawa, yaitu memupuk batinnya. Oleh sifat batin itu manusia

merasa diri terlepas dari segala sesuatu yang semu, yang

berganda, yang memaksakan suatu bentuk hidup serba-dua

yang tidak dapat dihayati secara otentik (Niels Mulder 1996:13;

Subagya, 1987:14).

Batin merupakan ”isi” dari raga. Raga bergerak, berpikir,

bekerja, karena ada unsur batin. Batin manusia terdiri dari dua

unsur, yaitu jiwa dan sukma (roh). Jiwa menyebabkan manusia

berpikir, bernafsu, berkehendak, sedih lalu menangis, senang

lalu tertawa. Sukma adalah unsur terdalam dari manusia, juga

disebut roh, berasal atau merupakan pancaran Sang Hyang

Murbèng Dumadi, Tuhan Yang Maha Esa (Hardjodisastro,

2010:100).

Kebatinan merupakan religi beserta pandangan hidup

orang Jawa yang lebih menitikberatkan ketenteraman, kese-

larasan, dan keseimbangan batin. Pada dasarnya kebatinan ada-

lah mistik, penembusan, dan pengetahuan mengenai alam raya

dengan tujuan mengadakan suatu hubungan langsung antara

individu dan Yang Maha Kuasa. Banyak sekali aliran kebatinan,

namun gagasan psikologis aliran-aliran itu sesung-guhnya agak

seragam. Semua meyakini kemanunggalan dan mencari kese-

larasan dengan alam semesta dan Tuhan, walaupun mungkin

hanya sebagian orang mencapainya (Ma’ruf al Payamani,

1992:18; Stange, 2009:9-12).

Praktik kejawèn bermuara pada ketenteraman batin, ke-

arifan individual. Melalui keselarasan dengan alam dan Tuhan,

penganut kejawèn berusaha mencapai ketenteraman jiwa. Hal

tersebut menunjukkan, bahwa kejawèn memang selaras dengan

sifat filosofi Jawa yang lebih mengutamakan kearifan (wisdom), sehingga menghasilkan kearifan individu. Sifat itu berbeda dari

filsafat Barat yang menghasilkan ilmu pengetahuan.

Page 5: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

95

Kajian tentang Kejawèn

Seperti disebutkan dalam Bab Satu, berbagai kajian

tentang kejawèn telah dilakukan oleh beberapa ahli, antara lain

De Jong (1976), Subagya (1976), Geertz (1976), Hafidy (1982),

Sopater (1987), Kartapradja (1990), Simuh (1999), Mulder

(2001), dan Stange (2009). Secara umum, kajian-kajian itu dapat

dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan persoalan pokok yang

dibahas (Soehadha, 2008), yaitu:

1. Kajian yang memberi tekanan pada penyebab kemun-

culan dan perkembangan aliran kebatinan pada awal

kemerdekaan;

2. Kajian yang memberi tekanan pada akar historis dan

teologis dari kemunculan aliran kebatinan;

3. Kajian yang lebih memberi tekanan pada persoalan

makna ritual-ritual yang dikembangkan oleh perkum-

pulan kebatinan di Indonesia.

Berikut ini uraian tentang tiga persoalan pokok yang

dibahas dalam kajian-kajian tersebut:

Kemunculan dan Perkembangan Aliran Kebatinan

De Jong (1976) menyebutkan, kemunculan kembali mistik

kejawèn bertepatan dengan sejarah Republik Indonesia. Mung-

kinkah gerakan mistik berhubungan dengan kepribadian bangsa

Indonesia? Hal ini pasti berlaku bagi Pulau Jawa: mistik meru-

pakan salah satu bentuk, bahkan visi dasar dari Jawaisme.

Seluruh Jawa diliputi oleh suasana mistik yang merangkum se-

mua kelompok penduduk, lepas dari tingkat sosial atau tingkat

Page 6: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

96

pendidikan. Suasana mistik itu mencapai kristalisasi dalam

bermacam-macam organisasi yang tersebar di berbagai tempat.

Menurut Jong, dua faktor penting yang memengaruhi

perkembangan mistisisme kejawèn, adalah: hasrat dan kepastian

serta sikap agama resmi.

Hasrat dan kepastian: Berjuta-juta orang Indonesia hidup

dalam ketidakpastian. Keguncangan jiwa dapat dipahami, bila

kita mengikuti sejarah negeri ini. Peperangan, pemberontakan,

devaluasi yang me-rongrong nilai uang dan nilai-nilai moral,

korupsi, dan ancaman komunis, telah mencairkan cita-cita

luhur. Slogan-slogan ternyata kosong melompong. Janji-janji

diberikan kemudian dilupakan begitu saja. Ketidakpastian

dalam masyarakat mendorong banyak orang bersandar kembali

pada mistik. Mistisisme dipandang bisa memberi jawaban,

antara lain karena mistik mengajarkan bahwa kehidupan yang

fana tidak abadi.

De Jong mengutip pernyataan S. Sosrosudigdo:

Kepribadian bangsa Indonesia harus mencerminkan inti kebatinan yang asli dan murni. Di dalam tingkat-tingkat pembangunan bangsa perlu direncanakan dan dilak-sanakan pembangunan manusia Indonesia dengan ditanam dasar kebatinan.

Sikap agama-agama resmi: Tidak jarang, beberapa aliran

baru yang tumbuh justru muncul dari satu atau beberapa agama.

Bagi orang Jawa pada umumnya, perbedaan-perbedaan antara

agama-agama itu me-mang tidak besar, asalkan berketuhanan.

Banyak orang yang tidak senang mengadakan pembedaan-pem-

bedaan yang jelas. Agama-agama yang meruncingkan dogma-

dogma menimbulkan keguncangan, bermunculanlah aliran-alir-

an baru. Ada aliran-aliran mistik yang merupakan “satelit” dari

agama induknya. Beberapa aliran dengan jelas memperlihatkan

Page 7: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

97

sifat-sifat keislaman, beberapa yang lain mengandung unsur-

unsur kekristenan.

Kalau penganut-penganut agama resmi terkandas dalam

formalisme dan tradisionalisme – suatu bahaya yang mengan-

cam setiap agama yang sedang mengalami proses perkembangan

– maka banyak orang Jawa dari berbagai tingkat sosial dan

intelektual kemudian memisahkan diri dari agama resmi itu.

Subagya (1976) berpendapat, pembaruan dalam kehidupan di

Indonesia membawa serta kesadaran baru dalam hidup

beragama. Pertumbuhan aliran-aliran kebatinan mencerminkan

integrasi kembali nilai-nilai asli yang terdesak modernisasi.

Menurut Mulder (2005:28-29), fenomena perkembangan

kejawèn sejak kemerdekaan Republik Indonesia dapat dibagi ke

dalam dua pendapat, yaitu:

Reaksi terhadap Agama-agama

Pendapat ini menyebutkan, popularitas mistisisme Jawa

mengekspresikan reaksi terhadap dogmatisme dan ritualisme

agama resmi (institutional religion) yang mengabaikan kebu-

tuhan akan ekspresi mistis dan pengalaman batin. Mistisisme

berkembang sebagai tanda protes dan kritik terhadap kondisi

saat itu.

K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, pe-

nyebab perkembangan pesat aliran kebatinan adalah kegagalan

dalam hirarki dan struktur agama-agama besar di Indonesia

untuk memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan sosial

yang pokok dari kehidupan masyarakat. Agama-agama besar

juga dianggap gagal dalam menyelenggarakan perdamaian

antarbangsa. Hanya kebatinan yang dianggap sanggup untuk

menunaikan tugas mulia yang dilalaikan oleh agama-agama itu

(Subagya, 1987).

Page 8: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

98

Pandangan tersebut sejalan dengan hasil kajian Sopater

(1987:7), yang juga melihat bahwa kemunculan aliran-aliran

mistis dalam agama-agama besar dapat dipahami sebagai reaksi

internal terhadap formalisme, dogmatisme, dan kebekuan

hirarkis yang terpolakan dalam agama-agama. Reaksi-reaksi itu

diperkuat oleh berbagai kesenjangan di antara ajaran dan

tingkah laku, kotbah dan karya nyata, dogma dan moral.

Pendapat-pendapat bahwa gerakan kebatinan merupakan

reaksi terhadap agama-agama tersebut menyiratkan, bahwa

gerakan kejawèn mirip dengan gerakan humanisme Barat pada

Periode Pertengahan dan Modern yang juga merupakan reaksi

terhadap dogmatisme dan ritualisme agama, yang dianggap

tidak memanusiakan manusia. Pada Periode Pertengahan itu,

kaum humanis menentang dominasi agama dan mengangkat

kembali nilai-nilai kemanusiaan, bahkan menempatkan ma-

nusia sebagai pusat kehidupan.

Ditinjau dari sisi kesamaan tersebut, sebenarnya gerakan

humanisme memiliki sifat universal; gejala yang terjadi di dunia

Barat juga terjadi di dunia Timur, termasuk Indonesia. Dalam

konteks pemikiran ini, maka gerakan kebatinan sebenarnya

merupakan gerakan mengembalikan harkat dan martabat

manusia, yang dalam hal ini diekspresikan sebagai kebutuhan

akan ekspresi mistis dan pengalaman batin.1

Reaksi terhadap Modernitas

1 Pengalaman penulis mengikuti kebaktian di Gereja Kristen Protestan, misa

di Gereja Katolik, atau mendengarkan kotbah-kotbah agama Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu di televisi, menunjukkan gejala bahwa agama-agama kurang dapat menjawab persoalan hidup manusia. Kebanyakan kotbah pemuka agama kurang membahas persoalan konkret yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan itu menyebabkan umat beragama merasa tidak mendapat jawaban terhadap persoalan hidup mereka.

Page 9: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

99

Gerakan mistisisme di awal kemerdekaan ditafsirkan se-

bagai reaksi terhadap modernitas yang menyebabkan dekadensi

moral. Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, kondisi yang

ditimbulkan oleh modernitas itu dapat menyebabkan suasana

seperti pada zaman dominasi kolonial, yang disebut sebagai

“disfungsi terus-menerus” dan “penghilangan kultural.” Kondisi

itu kemudian mendorong kebangkitan gerakan-gerakan ke-

batinan. Adapun Koentjaraningrat berpendapat, praktik mistis-

isme Jawa sebagai “pelarian” dari kesulitan-kesulitan hidup

sehari-hari ke dalam dunia mimpi dan pengalaman batin, serta

kerinduan terhadap masa lalu (Mulder, 2005:30).

Pendapat gerakan kebatinan merupakan reaksi terhadap

modernitas tersebut menunjukkan, bahwa gerakan kebatinan

merupakan reaksi terhadap hal-hal baru yang masuk dan me-

mengaruhi budaya lokal. Ketika itu muncul kekhawatiran hal-

hal baru itu akan menghilangkan budaya lokal. Dalam konteks

masa kini, maka gerakan kebatinan merupakan reaksi terhadap

globalisasi, karena globalisasi pun mengancam budaya-budaya

lokal.

Akar Historis dan Teologis Kejawèn

Kejawèn sesungguhnya merupakan manifestasi agama

Jawa, yaitu akumulasi praktik religi masyarakat Jawa. Dalam

praktik religi tersebut, sebagian orang meyakini ada pengaruh

sinkretik dengan agama lain, sedikitnya Hindu, Buddha, dan

Islam. Sebaliknya ada orang yang meyakini secara puritan

bahwa kejawèn adalah milik manusia Jawa yang telah ada

sebelum ada pengaruh lain (Endraswara, 2003:58). Tiap-tiap

asumsi itu memiliki alasan yang masuk akal, namun hal itu

merupakan tugas ilmuwan sejarah kebudayaan yang pantas

memberikan penjelasan lebih rinci.

Page 10: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

100

Telah banyak bukti berupa karya sastra Jawa yang meru-

pakan tuntunan bagi penganut mistik kejawèn. Karya yang

dihasilkan pujangga Jawa itu, sebagian memang ada pengaruh

agama lain. Karya-karya seperti Arjuna Wiwaha (Empu

Kanwa), Serat Cebolèk (Yasadipura), Serat Sasanasunu (Yasadi-

pura), Serat Wulang Rèh (Pakubuwono IV), Serat Centhini (Pakubuwono V), Serat Wedhatama (Mangkunagara IV), dan

sebagainya adalah karya-karya besar yang memuat pengetahuan

mistik kejawèn.

Lebih jelas dan tajam lagi mistik kejawèn juga digambar-

kan dalam karya-karya sastra berbentuk suluk, seperti Suluk Darmogandhul, Suluk Gatholoco, Suluk Sujinah, Suluk Syekh Malaya, Suluk Malang Sumirang, Suluk Resi Driya, dan Suluk Topah. Pada zaman Wali Sanga pun banyak lagu (syair) Jawa

yang menggambarkan konsep mistik kejawèn, seperti Ilir-ilir,

Sluku-sluku Bathok, Cublak-cublak Suweng, dan É Dhayohé Teka.

Hadiwijono, seperti dikutip Endraswara (2003:1), menye-

butkan asal-usul kejawèn sebenarnya bermula dari dua tokoh

misteri, yaitu Sri dan Sadono. Sri penjelmaan Dewi Laksmi (istri

Wisnu) dan Sadono penjelmaan Wisnu. Sri dan Sadono meru-

pakan cikal-bakal (akar historis) kejawèn, maka dalam berbagai

ritual mistik kejawèn keduanya selalu mendapat tempat khusus.

Dewi Sri diyakini sebagai dewa padi, dewa kesuburan.

Ajaran yang menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Sri

dan Sadono tersebut adalah falsafah Ajisaka yang penuh mistik

kejawèn. Ajisaka dikisahkan sebagai putra brahmana dari India.

Ajisaka ditafsirkan berasal dari kata aji (raja, yang dihormati,

dipuja, dan disembah) dan saka berarti tiang. Ajisaka berarti

tiang penyangga yang memperkokoh diri manusia, yaitu

religiusitas. Religiusitas Jawa adalah mistik kejawèn. Kejawèn

Page 11: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

101

dan mistik sudah menyatu, menjadi ekspresi religi (Amin, 2000;

Endraswara, 2003). Dalam hal ini, kejawèn dipandang asli Jawa

dan pada awalnya tidak terpengaruh oleh agama-agama lain,

seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.

Pandangan itu berbeda dari pendapat Simuh (1999) yang

menjelaskan, bahwa sufisme Islam memengaruhi kesusastraan

Jawa, sehingga mistisisme Jawa menemukan bentuk paling khas

dari sentuhan sufisme (mistisisme dalam Islam). Jadi, kejawèn

bukan asli Jawa. Kejawèn bersifat sinkretis, memadukan keper-

cayaan asli Jawa dengan ajaran-ajaran agama. Sulit menemukan

sistem kepercayaan yang benar-benar asli kejawèn, yang belum

terpengaruh oleh agama-agama tersebut.

Makna Ritual dan Doktrin Kejawèn

Mistik kejawèn tidak berdasarkan doktrin tertentu,

namun dalam aliran-aliran yang berbeda-beda terdapat tekan-

an-tekanan, pandangan-pandangan yang sama. Oleh De Jong

(1976:13), pandangan-pandangan yang sama itu dirinci sebagai

berikut:

Kesatuan

Kebatinan modern mirip dengan mistik dari zaman dulu

karena selalu mencari kesatuan di tengah-tengah aneka macam

gejala. Kenyataan empirik bukan kenyataan yang paling luhur

dan mutakhir. Orang akan mencari kesatuan hakiki yang meli-

puti segala-galanya. Setiap insan merupakan percikan dari kesa-

tuan hakiki itu dan ambil bagian di dalamnya.

Umat manusia telah menghancurkan kesatuan purba ter-

sebut, memisahkan diri dari kesatuan itu, berhadapan, menga-

dakan konfrontasi terhadap kesatuan hakiki dengan menjadi-

Page 12: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

102

kannya “objek.” Manusia tidak lagi merasakan diri sebagai

bagian dari kesatuan purba, mengadakan “individualisasi.”

Perkembangan itu menyesatkan dan hanya manusialah yang

dapat memperbaikinya. Memulihkan kesatuan tersebut harus

dimulai dari manusia. Semua aliran mistik memiliki sifat

antroposentris.

Manusia

Manusia terdiri dari bagian batiniah dan lahiriah. Bagian

batiniah adalah rohnya, sukma, atau pribadinya. Bagian inilah

yang mempunyai asal-usul tabiat ilahi. Oleh karena itu, batin

merupakan kenyataan yang sejati. Bagian lahiriah adalah badan

manusia dengan segala hawa nafsu. Badan merupakan wilayah

kerajaan rohnya, yang harus dikuasai. Oleh sebab itu, badan

seringkali disebut jagad cilik (mikrokosmos). Kalau manusia

dapat menguasai dunia kecil itu, yaitu dirinya sendiri, disebut

sudah menjadi seorang ksatria pinandhita, seseorang yang sudah

maklum akan hal-hal rahasia. Dalam dirinya telah tercapai

kesatuan; seperti batinnya memiliki asal-usul ilahi, maka

badannya pun mengalami proses spiritualisasi, berkembang

menjadi rohani.

Perkembangan

Dengan mengadakan koreksi terhadap diri manusia, maka

perkembangan dan kemajuan dunia pada prinsipnya dihalalkan.

Perkembangan dan kemajuan tersebut sebetulnya merupakan

usaha untuk memulihkan kembali kesatuan yang harmonis dan

selaras. Teknik itu baik, pendidikan itu baik, namun intelek-

tualisme mengandung suatu bahaya, karena intelektualisme

memperkuat individualisme. Investasi mental merupakan suatu

bagian dari setiap perkembangan dan pembangunan, tapi tidak

boleh merugikan harmoni dan keselarasan.

Page 13: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

103

Jadi, perjuangan mistisisme kejawèn adalah memulihkan

kesatuan hakiki, melawan kemajuan yang menyesatkan (indi-

vidualisasi), mengadakan koreksi diri menuju perkembangan

dunia yang harmonis. Sifat pandangan-pandangan itu sangat

antroposentris. Dalam pembangunan, manusialah titik sentral-

nya.

Mirip dengan pandangan tersebut, Sanprov (2005:186-

187) berpendapat, nurani menggambarkan bagian batiniah

manusia. Ada kalanya peran nurani tertutupi, karena manusia

berpegang pada rasa cinta diri (ego) yang sangat besar. Adapun

Stange (2009:12) menyatakan, manusia sering lebih mementing-

kan pemuasan nafsu daripada mengembangkan kesadaran nafsu

sebagai sarana demi keterwujudan karsa Tuhan dan keselarasan

alam.

Perkembangan Kejawèn

Perkembangan kejawèn dipengaruhi oleh situasi politik

dari masa ke masa.

Pada era tahun 1950-an, identitas kejawèn sebagai pemi-

kiran sinkretis nampak menonjol, sebagai fenomena oposisi

terhadap Islam ortodoks. Massa abangan – yang oleh Mulder

(2005) sering dikaitkan dengan orang-orang komunis – makin

sadar posisinya berhadapan dengan kelompok yang dikategori-

kan sebagai santri. Pada masa itulah kejawèn berkembang baik.

Pada tahun 1952, muncul definisi agama dari Departemen

Agama, antara lain menyebutkan bahwa agama harus memiliki

nabi dan kitab suci, serta diakui secara internasional. Definisi

itu membatasi mistisisme, sehingga kejawèn tidak dapat di-

kategorikan sebagai agama. Dalam mistisisme, Tuhan langsung

berkaitan dengan hati seseorang, tidak harus melalui perantara

atau teks-teks suci.

Page 14: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

104

Karena ada tentangan dari kelompok Hindu Bali, definisi

tersebut ditarik. Departemen Agama lalu mengakomodasi

kelompok-kelompok mistisisme. Hasilnya, pada tahun 1954

dibentuk Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem)

untuk menangani masalah yang berkaitan dengan kelompok-

kelompok kebatinan, yang kemudian disebut pula sebagai

Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada

kenyataannya, Pakem justru menjadi lembaga pengawas

terhadap kelompok-kelompok mistisisme tersebut.

Tahun 1955 adalah tahun yang penting bagi sinkretisme

Islam-Jawa. Hasil pemilihan umum waktu itu menunjukkan

bahwa secara politik Indonesia bukan negara Islam. Secara

nasional, partai-partai Islam hanya meraih 42 persen suara. Di

Jawa Tengah partai-partai Islam itu meraih 30,3 persen suara, di

Yogyakarta hanya 24,5 persen suara. Hal itu menunjukkan

kecilnya simpati masyarakat terhadap ide menjadi negara Islam

(Mulder, 2005:22). Mistisisme Jawa sangat populer dan dihayati

oleh masyarakat Jawa dan berkembang pesat pada masa itu.

Pada tahun 1957, muncul tuntutan untuk menjadikan

kebatinan sebagai kelompok yang setingkat dengan agama resmi

serta memiliki perwakilan di parlemen. Tahun 1958, Presiden

Soekarno justru memperingatkan bahaya klenik yang dapat

berkembang dalam ekspresi mistisisme (kejawèn). Sementara

itu, para penganut kejawèn menekankan, bahwa kebatinan

bukanlah klenik, bukan black magic. Kejawèn adalah kekuatan

supranatural dan white magic.

Pada tahun 1960, di Pekalongan, Jawa Tengah, berlang-

sung pertemuan antara para penganut mistik tradisional Jawa

dan kelompok sufi Islam. Pertemuan tersebut menghasilkan

kesepakatan bersama terkait dengan pengembangan mistisisme.

Page 15: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

105

Dalam suatu kongres pemuda, Menteri Pendidikan Prof.

Priyono mengusulkan agar “sintesisme” dan “sinkretisme”

diakui sebagai esensi budaya Indonesia dan gerakan-gerakannya

diakui secara resmi. Sementara itu, dalam Kongres keempat

Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia (BKKI) di Malang,

dinyatakan tidak ada perbedaan esensial antara agama dan

mistisisme; agama menekankan aspek ritual, mistisisme

menekankan aspek “pengalaman dalam” (inner experience) dan

kesempurnaan manusia. Bersamaan dengan itu, Pakem yang

semula di bawah Departemen Agama dialihkan ke Departemen

Kehakiman.

Pada tahun 1961, Menteri Agama memutuskan, agama

harus memiliki kitab suci, nabi, serta pengakuan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, dan suatu sistem hukum yang berlaku

bagi para pengikutnya. Untuk mendukung hal tersebut, polisi

diberi hak mengawasi kelompok-kelompok kebatinan dengan

alasan mencegah kemungkinan kerusuhan sosial.

Tahun-tahun berikutnya diwarnai dengan bangkit dan

menyebarnya gerakan-gerakan kebatinan. Untuk mencegah

timbulnya anarki keagamaan, Bung Karno mengumumkan

hanya Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Con-

fusianisme sebagai agama yang secara resmi diakui pemerintah.

Tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa yang dikenal

sebagai Pemberontakan G30S. Setelah itu, berduyun-duyunlah

orang yang semula dikategorikan sebagai abangan memeluk

agama; Islam, Kristen, maupun Hindu dan Buddha. Itulah

sebabnya, jumlah penganut agama-agama (secara administratif)

meningkat drastis.

Menjelang Sidang Umum MPR tahun 1978 muncul situasi

yang menghambat pengembangan tata kehidupan beragama,

antara lain masalah aliran kepercayaan yang dianggap meng-

Page 16: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

106

ganjal bagi golongan agama. Menteri Agama kemudian meng-

ambil kebijakan pokok menyangkut masalah aliran kepercaya-

an. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam bab IV/D

tentang “Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa” huruf 1 ayat 1, menyatakan: “Kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap

kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa dilakukan agar tidak

mengarah kepada pembentukan agama baru.”

Perkembangan selanjutnya, masalah kepercayaan terha-

dap Tuhan yang Maha Esa termasuk bidang kebudayaan yang

dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depar-

temen Agama tidak mengurusi persoalan aliran kepercayaan,

yang sudah dinyatakan bukan sebagai agama.

Dalam surat Menteri Agama tertanggal 17 Juli 1980 No

B.IV/5996/1980 antara lain ditegaskan: (a) bahwa dalam Negara

Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal

adanya tata cara perkawinan, sumpah, dan penguburan

menurut aliran kepercayaan dan tidak dikenal pula penyebutan

“Aliran Kepercayaan” sebagai “agama.” Baik dalam Kartu Tanda

Penduduk (KTP) maupun lain-lainnya, (b) bahwa orang yang

beragama/pemeluk agama yang mengikuti aliran kepercayaan

tidaklah kehilangan agama yang dipeluknya. Oleh karena itu

tidak ada cara “perkawinan menurut aliran kepercayaan” dan

“sumpah menurut aliran kepercayaan” (Hafidy, 1982:100).

Uraian tersebut menunjukkan, sebagai pandangan hidup

dan sistem kepercayaan orang Jawa, kejawèn justru terpinggir-

kan, tidak menjadi “tuan rumah di negeri sendiri.” Dalam

berbagai pertemuan, para penganut kejawèn sering meng-

ungkapkan keterpinggiran itu. Sebagian di antara mereka

merasakan “dijajah” oleh agama-agama besar dan pihak pe-

Page 17: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

107

merintah tidak memedulikan perkembangan kejawèn sebagai

agama lokal.2

Nilai-nilai Humanisme Kejawèn

Humanisme kejawèn adalah cara pandang manusia Jawa

terhadap nilai-nilai kemanusiaan didasari oleh sistem berpikir

kejawèn seperti dijelaskan oleh Mulder (2005). Oleh karena itu,

humanisme kejawèn tidak terlepas dari pandangan tentang

kosmologi, mitologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenis-

nya. Humanisme kejawèn merupakan interpretasi manusia Jawa

terhadap kehidupan manusia; merupakan intisari kejawèn.

Nilai-nilai humanisme kejawèn, antara lain tersirat dalam

Serat Wulangrèh karya Sri Paku Buwono IV (1994:72):

Bener luput, ala becik lawan begja cilaka mapan saking ing badan priyangga dudu saking wong liya pramila dén ngati-ati sakèh dirgama singgahana dén éling. Arti Serat Wulangrèh tersebut adalah, bahwa betul, salah, buruk, baik dan untung, celaka tergantung pada diri manusia sendiri, bukan dari orang lain. Maka, berhati-hatilah terhadap segala rintangan, camkanlah dan ingatlah hal ini.

2 Dalam pertemuan para penganut kebatinan yang diselenggarakan oleh

Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, salah seorang peserta menyatakan kesulitan setiap akan menyelenggarakan peringatan satu syura karena harus minta izin dulu pada pihak pemerintah (misalnya kepolisian), padahal penganut agama Islam, Kristen, Hindu, Bu-ddha, dan Konghucu tanpa halangan memperingati hari-hari besar keagamaan mereka. Sebagai penganut kejawèn, ia merasa diperlakukan tidak adil, dan hal itu aneh karena justru kejawèn merupakan “agama lokal” masyarakat Jawa, sementara agama-agama besar itu datang dari luar Indonesia. Ia mempertanya-kan, mengapa pemerintah lebih memihak agama yang datang dari luar dan meminggirkan “agama” asli di Indonesia.

Page 18: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

108

Ajaran humanisme itu mirip dengan ajaran tentang kebe-

naran hidup yang disampaikan Rabindranath Tagore (1922:38).

Kebenaran hidup tergantung pada sikap dan pikiran seseorang.

Sikap itu terbentuk oleh kebiasaan berkaitan dengan suasana

tertentu dari lingkungan dan temperamen seseorang.

Manusia Jawa sangat menghormati pola hubungan yang

seimbang, baik dilakukan pada sesama individu, pada lingkung-

an alam, dan pada Tuhan. Tiap-tiap pola perilaku yang ditun-

jukkan adalah pola perilaku yang mengutamakan keseimbang-

an, sehingga apabila terjadi sesuatu, seperti terganggu kelang-

sungan kehidupan manusia di dunia, dianggap sebagai adanya

gangguan keseimbangan. Manusia harus dengan segera mem-

perbaiki gangguan itu, sehingga keseimbangan kembali dapat

dirasakan.

Hubungan manusia dengan Tuhan diekspresikan di dalam

kehidupan seorang individu dengan orang tua. Hal itu dilaku-

kan karena Tuhan tidak dapat diraba, tidak dapat dilihat, dan

hanya dapat dirasakan. Oleh karena itu, penghormatan terha-

dap Tuhan dilakukan dengan bentuk-bentuk lambang yang

memberikan makna pada munculnya kehidupan manusia di

dunia, yaitu orang tua, yang harus dihormati melalui pola

ngawula, ngabekti, dan ngluhuraké tanpa batas waktu.

Humanisme kejawèn terasa pada pandangan hidup orang

Jawa tentang keseimbangan antara jagad cilik dan jagad gedhé;

antara mikrokosmos dan makrokosmos. Ketenteraman jagad cilik (diri pribadi) akan memengaruhi ketenangan jagad gedhé (alam semesta), sebaliknya ketenangan jagad gedhé akan meme-

ngaruhi ketenteraman jagad cilik (Mulder 2005:32).

Pemahaman tentang relasi jagad cilik dan jagad gedhé itu

sangat mirip dengan pandangan filsuf masa Yunani awal dan

Page 19: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

109

Yunani Klasik. Pada masa itu, istilah mikrokosmos digunakan

untuk melukiskan kodrat manusia sebagai yang sama (analogous atau homologous) dengan realitas eksternal yang luas, yaitu

makrokosmos (megeskosmos). Mereka memandang adanya

persamaan antara tubuh manusia dan jagad raya. Mikrokosmos

seakan-akan mencerminkan makrokosmos.

Relasi mikrokosmos-makrokosmos tersebut tercermin

dalam kitab Sasangka Jati, bahwa manusia adalah makhluk

Tuhan yang paling sempurna. Konstruksi manusia terdiri dari

empat unsur, berupa sari api, tanah, swasana, dan air. Oleh

karena diciptakan dari empat anasir yang ada dalam alam

semesta makrokosmos (jagad gedhé), maka keadaan manusia

yang terdiri dari empat anasir itu disebut sebagai jagad cilik (mikrokosmos). Jiwa manusia diisi dengan Roh Suci dan disertai

dengan Suksma Sejati sebagai penuntun yang pada hakikatnya

manunggal dengan Sang Suksma Kawekas (Soehadha, 2008:

114).

Sularso Sopater (1987:66) menyebutkan, manusia terjadi

dari cahaya kesatuan tri purusa yaitu Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan Roh Suci, yang diberi pakaian sari dari anasir empat

macam, yaitu hawa, api. air, dan tanah, yang lalu berupa bahan

dasar kasar dan halus. Karena mempunyai empat anasir, sama

seperti dunia besar yang telah dijadikan dari keempat anasir,

maka manusia dapat disebut sebagai dunia kecil.

Pandangan tentang tri purusa tersebut mirip dengan

ajaran Kristen tentang tritunggal, yaitu Allah Bapa, Allah Putra,

dan Roh Kudus.

Pengutamaan keseimbangan manusia, alam semesta, dan

Tuhan, merupakan jawaban atas persoalan dikotomi antara

humanisme tradisional dan humanisme ekologi yang berkem-

bang di Barat. Humanisme tradisional menekankan kemuliaan

Page 20: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

110

manusia, kemerdekaan manusia, kebesaran manusia, yang

diproyeksikan ke dalam sifat khusus promethean (hanya

bersifat satu dimensi dunia, yaitu mengunggulkan manusia di

atas segala-galanya).

Konsepsi manusia itu bergandeng tangan dengan ide

pemanfaatan alam untuk tujuan-tujuan dan kebutuhan-kebu-

tuhan manusia. Humanisme ekologi didasarkan pada premis

yang sebaliknya; melihat manusia hanya sebagai bagian dari

skema benda-benda yang lebih besar, yaitu alam. Tiap-tiap

manusia merupakan anggota dari komunitas biotik lokal, dari

berbagai komunitas manusia (Skolimowski 2004:74, Tucker,

2007:30).3

Di masa silam, ekologi dan humanisme telah menempuh

jalan sendiri-sendiri dan masuk dalam ideologi-ideologi yang

berbeda. Ekologi menitikberatkan pada masalah lingkungan

alam yang rusak, adapun humanisme mengutamakan masalah

kemanusiaan yang hancur. Cara pandang dikotomis tersebut

3 Humanisme ekologis (Skolimowski, 2004:76) menawarkan alternatif

autentik kepada masyarakat industri dan menganggap bahwa: (a) Zaman yang sedang datang dilihat sebagai zaman pengurusan: kita di sini bukan untuk memerintah dan mengeksploitasi, melainkan untuk mempertahankan dan mentransformasi secara kreatif, dan untuk meneruskan obor evolusi; (b) Dunia dipahami sebagai suatu tempat perlindungan: kita adalah anggota habitat-habitat tertentu, yang merupakan sumber keberdayaan dan makanan spiritual kita. Habitat-habitat ini adalah tempat-tempat kita, seperti burung-burung, tinggal sementara waktu; mereka adalah tempat-tempat perlindungan ketika orang, seperti burung-burung yang langka, perlu dipelihara. Mereka juga adalah tempat-tempat suci dalam pengertian religius: tempat-tempat ketika kita terpesona dengan dunia; tetapi kita juga adalah para pendeta tempat suci itu: kita harus mempertahankan kesuciannya dan meningkatkan kerohaniannya; (c) Pengetahuan dipahami sebagai suatu perantara antara kita dan daya-daya kreatif evolusi, bukan sebagai seperangkat alat yang kejam untuk mengatomisasi alam dan kosmos melainkan sebagai peralatan yang makin halus untuk membantu kita mempertahankan keseimbangan spiritual dan fisik kita dan memampukan kita untuk membiasakan diri pada transformasi-transformasi kreatif evolusi dan diri kita selanjutnya.

Page 21: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

111

melihat bahwa seolah-olah masalah lingkungan dan masalah

manusia merupakan dua hal yang terpisah.

Berbeda dari cara pandang itu, humanisme kejawèn justru

menyikapi masalah lingkungan dan masalah manusia sebagai

dua hal yang kait-mengait. Kerusakan lingkungan alam akan

mengakibatkan kehancuran kemanusiaan, sebaliknya kehancur-

an kemanusiaan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan

alam. Humanisme kejawèn memandang eksistensi manusia dan

relasi antarmanusia sebagai perwujudan kasih Tuhan; men-

junjung tinggi eksistensi manusia dalam konteks ketuhanan

(antroposentris-teologis). Keseimbangan relasi itu misalnya

tercermin dari semangat memayu hayuning buwana; merawat

dunia agar tetap baik bagi manusia yang menghuninya.

Terdapat perbedaan pendekatan antara humanisme Barat

dan humanisme kejawèn. Humanisme kejawèn berintikan

ketajaman rasa, bersifat subjektif, deskriptif dan simbolik, ber-

bicara mengenai cara orang mencapai kebijaksanaan (wisdom). Adapun humanisme Barat menggunakan pendekatan intelek-

tual, lebih menitikberatkan pada pikiran, bersifat objektif,

teoretik, abstraktif, definisi-definisi, sehingga menghasilkan

ilmu pengetahuan dan memengaruhi cara berpikir global.

Berbeda dari humanisme Barat, humanisme kejawèn

didasari tiga prinsip pokok, yaitu: sangkan paraning dumadi (asal muasal kejadian), manunggaling kawula lan Gusti (menyatunya manusia dan Tuhan), dan laku (olah rasa untuk

mencapai pemahaman tentang sangkan paraning dumadi dan

manunggaling kawula lan Gusti (Zoetmulder, 1990; Purwadi,

2006; Susetya, 2007).

Page 22: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

112

Sangkan Paraning Dumadi

Dalam humanisme kejawèn, ajaran tentang manusia

menjadi titik sentral, justru karena manusia menjadi pusat

upaya olah kebatinan. Ajaran kebatinan muncul sebagai suatu

manifestasi kerinduan manusia untuk memperoleh keselamatan

dan kebahagiaan hidup, bukan hanya dalam arti keselamatan

hidup di dunia, melainkan keselamatan abadi.

Pertanyaan siapakah manusia, dari mana asalnya, dan

bagaimana atau ke mana akhirnya (sangkan paraning manungsa) menjadi titik tolak pemikiran dan usaha kebatinan

untuk mencapai kebahagiaan abadi. Ajaran ini terkait erat

dengan sangkan paraning dumadi. Oleh sebab itu, seharusnya

seseorang mengetahui hakikat hidup atau wikan sangkan paraning dumadi, pengetahuan mendasar mengenai asal-usul

kehidupan dan orientasinya. Harapannya, manusia di muka

bumi akan memahami jatidiri dan makna hidup (Sofwan,

1999:68).

Bagi orang Jawa urip mung mampir ngombé, bahwa hidup

ini bersifat sementara. Masih ada kehidupan setelah kematian

yang dinamakan jaman kelanggengan. Untuk mencapai jaman kelanggengan itu manusia hendaknya mengutamakan amal

kebaikan (Purwadi dan Djoko, 2008:2).

Sangkan paraning dumadi, oleh Mpu Kanwa dalam

Kakawin Arjunawiwaha, disebut sang sangkan paraning sarat dalam konteks sembah Sang Arjuna kepada Syiwa.4

4 Dalam konteks filsafat ketuhanan, Mpu Kanwa menulis: “Meresap pada

semua makhluk dan sari dari ajaran utama (parama tattwa), sungguh sukar bagi seseorang untuk menemukan Engkau; kehadiran-Mu dalam yang ada dan tiada, yang besar maupun yang kecil, baik maupun buruk; kelahiran, kehidupan, dan kematian Engkaulah penyebabnya; Engkau merupakan asal dan kembalinya segala yang ada; Engkau berwujud nyata maupun tidak nyata.”

Page 23: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

113

Tuhan Yang Maha Kuasa adalah asal dan kembalinya seisi

jagad. Tuhan pada hakikatnya Maha Suci, maka jiwa manusia

yang sesungguhnya berasal dari Tuhan adalah juga suci nirmala. Dasar hidup manusia atau yang menghidupkan manusia adalah

jiwa yang suci. Akibat perbuatan-perbuatan manusia sendiri,

jiwa yang suci yang tersembunyi di dalamnya, dengan

diselubungi oleh bekas-bekas perbuatan (karma), lalu keliru

menyamakan dirinya dengan ahangkara, yang terwujud dengan

perkataan “aku.” Tujuan hidup adalah membebaskan jiwa yang

suci dari belenggu maya untuk manunggal kembali kepada

Tuhan yang Maha Kuasa; sangkan paran (Wayan Supartha,

1994).

Inti pengertian sangkan paraning dumadi, bahwa manusia

harus mengerti dan memahami asal-usul sebagai manusia.

Dengan mengerti dan memahami asal-usul itu, maka manusia

diharapkan mampu memosisikan diri secara tepat dalam relasi

dengan manusia lain, dengan alam semesta, dengan Yang Maha

Kuasa.

Pesan tentang asal-usul dan tujuan hidup selalu dipegang

teguh oleh penganut kejawèn, antara lain tercermin dari

tembang dhandhanggula karya Sunan Kalijaga:

urip iku nèng donya tan lami, upamané jebèng menyang pasar, tan langsung nèng pasar baé, tan wurung nuli mantuk, mri wismané sangkané nguni, ing mengko aja samar, sangkan paranipun, ing mengko padha weruha, yèn asalé sangkan paran du king nguni, aja nganti kesasar.

Pesan mistik tembang tersebut adalah, bahwa hidup di

dunia ini tidak lama, ibarat manusia pergi ke pasar, akan segera

Page 24: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

114

kembali ke rumah asalnya, karena itu jangan sampai ragu-ragu

terhadap asal-usul, agar jangan sampai salah jalan. Manusia

hidup di dunia sekadar singgah untuk minum (mampir ngom-bé), suatu ketika akan kembali pada Tuhan.

Sunan Kalijaga juga mengajarkan tentang sangkan paran-ing dumadi dan kodrat manusia, seperti dalam tembang berikut

ini:

Sapa weruh kembang tepus kaki Sasat weruh reke artadaya Tunggal pancer sesantiné Sapa weruh ing panuju Sasat weruh pageré wesi Rineksa wong sajagad Kang angidung iku Lamun dipun apalena Kidung iku den tutug padha sawengi Adoh panggawé ala Lawan rineksa dening Hyang Widi Sakarsané rineksa déning Hyang rineksa ing jalma kabèh. Terjemahan tembang tersebut adalah: Siapa tahu bunga tepus, niscaya tahu makna artadaya, yang satu asal dengan hidupnya. Siapa tahu tujuannya, niscaya tahu pagar besi, yang dijaga manusia sedunia. Yang me-lantunkan kidung, jika kidung dihapalkan, jauhlah perbuatan jahat dan dijaga oleh Tuhan. Semua kehendaknya dikabulkan-Nya, juga dijaga oleh banyak orang.

Setiap manusia memiliki kesadaran akan kebutuhan

untuk melangsungkan kehidupannya, melangsungkan keturun-

annya, kesejahteraan dan kebahagiaannya, dan kemurnian

jiwanya. Kesadaran tersebut terdapat dalam diri manusia

menurut nafsu dan hasratnya sesuai dengan kebutuhannya.

Itulah kesadaran manusia yang berpangkal dari kebutuhannya,

dan bertujuan mencari diri. Berpangkal dari kesadaran akan

kebutuhan tiap manusia setiap hari melakukan usaha untuk

Page 25: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

115

mencapai cita-citanya. Berusaha dan berkarya itulah kehidupan,

Usaha dan karya manusia itu berbeda dalam tujuannya menurut

tinggi-rendah nilai kesadarannya (Tanpoaran, 1988:28). Ke-

sadaran yang menjadi pangkal usaha dan karya manusia adalah:

1. Kesadaran sebagai manusia: yaitu kesadaran menya-

dari kediriannya sebagai benda yang hidup, terdiri

dari badan dan jiwa merupakan suatu pribadi yang

berdiri sendiri, dan sebagai pribadi itu dia dikenal,

dipuji, dan dibenci;

2. Kesadaran sebagai warga: yaitu menyadari kedirian-

nya sebagai warga bebrayan (warga masyarakat),

tempat sebagai pribadi tidak bisa dipisahkan;

3. Kesadaran sebagai kawula (hamba insan): yaitu me-

nyadari kediriannya di hadirat Kang Murbèng Dumadi dalam perbandingan yang wajar bahwa

kawula itu bukan apa-apa dan Gusti adalah segalanya;

4. Kesadaran sebagai sentana (keluarga): menyadari

kediriannya sebagai ana dan bagian dari kahanan di

dalam kehidupan yang gumelar dan menghidupi

kahanan menurut yang ana; 5. Kesadaran sebagai purba (kuasa): menyadari kediri-

annya sebagai hak dan bagian dari hukum kehidupan

yang ada dan menghidupinya sebagai kelangsungan

hukum.

Berkaitan dengan pandangan mengenai sangkan paraning dumadi tersebut, siklus kehidupan manusia Jawa sering disebut

dengan istilah cokro manggilingan. Kehidupan ibarat roda yang

berputar; kadang-kadang berada di atas, kadang-kadang di

bawah, bahkan mungkin paling bawah. Semua berjalan sesuai

dengan hukum alam yang berlaku. Orang Jawa menyebut

nuting jaman kelakoné; bungah susah, bathi rugi, padhang peteng adalah warna-warni yang menghiasi kenyataan hidup

Page 26: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

116

sehari-hari. Antara satu orang dan orang yang lain saling

melengkapi dan saling membutuhkan. Perubahan yang terus-

menerus berlangsung itu disikapi orang Jawa dengan ungkapan

aja gumunan, aja kagètan, lan aja dumèh. Itulah intisari ajaran

cakra manggilingan, yang menguraikan tentang siklus kehidup-

an umat manusia (Purwadi, 2006; Susetya, 2007).

Manunggaling Kawula lan Gusti

Otonomi manusia dalam kepercayaan mistik memang

cukup unik. Otonomi di sini tidak berkaitan dengan orientasi

pemikiran ilmiah dan kemampuan manusia untuk menguasai

alam dan membebaskan diri dari setiap bentuk ikatan,

melainkan berkaitan dengan penghayatan kejiwaan yang

bersifat mistis. Kebebasan manusia untuk melepaskan diri dari

setiap bentuk ikatan yang bersifat profan, agar dapat kembali

bersatu dengan Tuhan yang merupakan sangkan paran hidup

manusia. Kebebasan manusia dalam ajaran kejawèn dimulai dari

upaya mawas diri untuk mengenal dan menguasai nafsu-nafsu.

Upaya tersebut untuk mengambil jarak (distansi) dengan nafsu

amarah, lauwamah, dan sufiyah untuk dapat menguasai diri dan

membebaskannya dari penghambatan nafsu.

Menghadapi kekuatan dari langit dalam penghayatan

kejiwaan yang mistis harus bersikap pasif. Menghentikan segala

perbuatan dan kemauan sendiri dan mengikuti saja atau

mengambang (mengapung) dalam samudera ilahi. Penghayatan

memuncak dengan hilangnya kesadaran terhadap eksistensi

dirinya terhisap dalam samudera ilahi. Dalam ungkapan keja-wèn disebutkan manungsa lir sarah anèng lautan, tidak punya

sembah puji; sembah puji milik dan dari Tuhan. Dalam tasawuf

diungkapkan melihat dengan Tuhan, mencium, merasa, dan

berbuat dengan Tuhan atau karena Tuhan.

Page 27: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

117

Dalam Wirid Hidayat Jati ungkapan itu diubah menjadi

“Tuhan yang berbicara, mendengar, melihat, dan merasakan

segala rasa dengan meminjam tubuh manusia.” Artinya, dzat

Tuhan berada atau immanent dalam diri manusia. Oleh karena

itu, manusia yang sempurna adalah yang telah menyatu dengan

Tuhan, sehingga gerak geriknya laksana bayang-bayang Tuhan

yang berada di depan cermin. Sebagai bayang-bayang berarti

pada hakikatnya manusia tidak punya gerak sendiri, sebab

gerakannya semata-mata berasal dari gerak Tuhan di muka

cermin. Di sini manusia laksana wayang di atas panggung,

dalanglah yang menggerakkannya.

Konsep manunggaling kawula lan Gusti, oleh Syekh Siti

Jenar digambarkan dengan ungkapan warangka manjing curiga. Intinya, roh ada di alam mitsal yaitu materi yang berada dalam

rangka yang bermakna kekosongan yang manunggal dengan

Allah. Seperti orang sembahyang (berdoa) yang telah menyatu

dengan Tuhan yang disembah, tidak mencari wujud bagaikan

warangka (rangka). Hilanglah tembaga ketika sukma mencapai

tingkat kemuliaan memancarkan cahaya benderang bagaikan

kencana. Ronggowarsito menyebut manunggaling kawula lan Gusti dengan istilah pamoring kawula Gusti (Mulkhan,

2004:176; Mahmudi, 2005:169).

Pemahaman tentang manunggaling kawula lan Gusti mencerminkan transendensi dan imanensi. Bagi orang Jawa,

Tuhan menciptakan manusia dan bersemayam dalam diri

manusia.

Manusia yang menyadari ketiadaannya, menyingkir,

memberi tempat kepada Tuhan. Keadaan yang menggambarkan

keadaan ekstasis itu diungkapkan: bagaikan lenyapnya bintang-

bintang di kolong langit bila disinari oleh matahari. Tapi, hal ini

jangan disalahtafsirkan. Lenyapnya bintang-bintang tidak ber-

arti bahwa mereka menjadi matahari. Orang Jawa tidak

Page 28: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

118

mengenal filsafat yang abstrak, yang dipelajari demi ilmu itu

sendiri. Filsafat hanya berarti sejauh dapat merupakan pedoman

bagi kehidupan religiusitasnya sendiri. Untuk praktik kehidup-

an itu kemampuan melihat Tuhan dalam segalanya teramat

penting (Zoetmulder, 1990:107).

Dalam Suluk Syeh Melaya disebutkan, apabila telah tahu

manunggalnya hamba dengan Tuhan, bersama sukma segala

yang dimaksud akan datang. Tempatnya ada padamu. Bagaikan

wayang badanmu itu. Segala gerak-gerikmu dari dalang. Sebagai

jagad raya adalah bentangan kelir (layar), bergerak bila

digerakkan. Segala gerak, berkedip, dan melihat dari sang

dalang (Dwiyanto, 2006:66).

Konsep manunggaling kawula lan Gusti, secara teologis

menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan Tuhan,

secara sosiologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia

dengan sesama, dan secara ekologis menjelaskan tata laksana

hubungan manusia dengan lingkungan (Purwadi, 2005:124).

Penjelasan itu menggambarkan nilai-nilai humanisme

kejawèn, bahwa di dalam manunggaling kawula lan Gusti tercakup dimensi-dimensi kemanusiaan, ketuhanan, dan

lingkungan. Keseimbangan dalam relasi teologis, sosiologis, dan

ekologis itu akan menentukan tingkat kebahagiaan hidup

manusia. Harmo-nis dalam relasi manusia dan Tuhan, manusia

dan sesamanya, serta manusia dan lingkungannya.

Manunggaling kawula lan Gusti merupakan penggambar-

an kedekatan manusia dengan Tuhan; hasil yang diraih orang

yang benar-benar menjalani olah rasa, sehingga hidupnya selalu

menjalankan perintah Tuhan. Manunggaling kawula lan Gusti bukan berarti menyatunya fisik manusia dengan Tuhan, me-

lainkan menyatunya cipta, rasa, dan karsa manusia dengan

Page 29: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

119

kehendak Tuhan. Acuan mengenai hal ini, tercermin dalam

bait-bait dhandhanggula (macapat):

Yèn weruh pamoring kawula Gusti, sarta Suksma kang sinedya ana, dé warna neng sira nggoné, lir wayang sarireku, saking dhalang solahing ringgit, mangku panggung kang jagad, liré badan iku, asolah lamun pinolah, sasolahé kumedhep myarsa ningali, tumindak lan pangucap. Kawisésa amisésa sami, datan antara pamoring karsa, jer tanpa rupa rupané, wus anéng ing sireku, umpamané paésan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma, wayangan puniku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging manusa iki, rupa sajroning kaca. Terjemahan tembang tersebut adalah, bahwa kalau tahu pamoring kawula Gusti, serta sukma yang dituju ada, oleh warna padamu tempatnya, dirimu seperti wayang, dari dalang gerak wayang, padahal panggung itu jagad, seperti badan itu, bergerak jika digerakkan, per-gerakannya tertatap mendengar melihat, bertindak, dan berkata. Sama menguasai dikuasai, tak antara pamoring karsa, memang tanpa rupa, sudah ada pada dirimu, umpama paésan jati, yang berkaca Hyang Suksma, wayang adalah, yang ada dalam kaca, yaitu dirimu nama manusia, rupa dalam kaca.

Dalam perspektif kaum sufi, penghayatan makrifat lak-

sana seseorang di depan cermin yang melihat wajah Tuhan,

sama dengan ketika ia melihat dirinya sendiri, yakni menjadi

arif ”and realises that knowledge, knower, and know are One.”

Dengan penghayatan antara yang mengetahui dan diketahui

(Tuhan) adalah sama atau satu. Husein bin Mansyur Al-Hallaj

mengatakan, ”Ana al Haqq” (”Aku adalah kenyataan tertinggi/

Kebenaran/Tuhan”). Dari pernyataan itu kemudian muncul

segolongan kaum sufi yang menganut paham union mystic atau

dalam Islam-kejawèn lebih dikenal dengan konsep manunggal-ing kawula lan Gusti. Paham tersebut dianut oleh Abu Yazid al-

Busthami, al Hallaj, Fariduddin al-’Athar, Ibnu al-Farabi, Abdul

Page 30: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

120

Karim al-Jili, Inayat Khan, Hamzah Fansuri, Syamsuddin

Sumatrani. Hal itu merupakan inti dari ajaran dalam serat-serat

suluk yang menjadi acuan bagi ilmu kejawèn (Simuh, 1999:27).

Konsep manunggaling kawula lan Gusti dalam nuansa

religius-spiritual dapat digolongkan ke dalam tiga tipe (Purwadi

dalam Penghayatan Keagamaan Orang Jawa, 2002, seperti

dikutip Wawan Susetya, 2007:107-108), sebagai berikut:

1. Tipe etis: perwujudan makna manunggaling kawula lan Gusti dengan harapan adanya manusia yang

waskita dan susila. Harmonitas antara suara batin dan

laku amalannya menjadi titik sentral orientasi darma

bakti dalam kehidupan sosial;

2. Tipe kosmologis: terdapat kecenderungan kuat

tentang olah lahir dan olah batin, yaitu peleburan diri

ke dalam daya “kosmos universal” dan mengeliminasi

individualitas. Tindakan untuk membe-baskan dari

belenggu alam empiris materiil, menuju kondisi

eksistensial transenden, sehingga tercipta kesatuan

mutlak. Secara emanatif manusia dilukiskan sebagai

percikan cahaya dan akan kembali ke asal muasalnya,

sangkan paraning dumadi, yakni Dzat kosmos yang

ilahi-adikodrati.

3. Tipe teologis: hampir sama dengan tipe kosmo-logis,

tetapi menggunakan banyak istilah yang berasal dari

kitab suci.

Konsep manunggaling kawula lan Gusti terdapat pula

dalam nasihat-nasihat Sri Kresna kepada Arjuna di Padang

Kurusetra menjelang perang Bharatayuda, seperti disebut dalam

Bhagavad Gita (Supardi, 1961:32). Pada Bab 21 sampai 24

Bhagavad Gita itu Kresna menasihati Arjuna sebagai berikut:

Page 31: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

121

Sing sapa manasé wis ora makarti, sanadyan kagepok déning alaming kalahiran, lan kang sapa wus antuk pamarem ing dalem Dat, lan sawusé bisa dadi siji lan Brahma, sarana patrap panunggal, iya iku kang antuk kamulyan langgeng.

Kasenengan kang anané saka gepokan lan kalahiran, iku tuking kasangsaran, awit ana wiwitané lan wekasané – hèh Panduputra – iku dudu kasenengané para wicaksana.

Sing sapa kongsi bisa lumawan pamasésane pepénginan, lan kamurkan, prelu kanggo kamardikaning badan, – sujanma kang mangkono wus adil, yaiku kang diarani kamulyan.

Sing sapa andarbèni kamulyaning batin, lan anduwèni kasenenganing batin, - sing sapa wus antuk pepadhang-ing batin, yaiku kang wus dadi siji (nunggal) banjur tumamèng nirwananing Brahma.

Terjemahan bebas nasihat Kresna tersebut adalah: Barangsiapa sudah terbebas dari hawa nafsu, meskipun masih berhubungan dengan masalah duniawi, dan barangsiapa sudah merasakan senang bersama dan me-nyatu dengan Tuhan, ya itulah manusia yang menerima kemuliaan abadi.

Kesenangan lahir adalah awal kesengsaraan, karena ada awal dan ada akhir, dan itu bukanlah kesenangan yang bijaksana. Barangsiapa bisa melawan nafsu dan keingin-an, dan kemurkaan untuk kemerdekaan badan, akan mendapatkan kemuliaan. Barangsiapa memiliki kemu-liaan dan kesenangan batin, dan sudah mendapatkan terang batin, dialah yang sudah menyatu dan dilin-dungi Tuhan.

Konsep manunggaling kawula lan Gusti juga terdapat

dalam cerita Bima mencari air suci, tirta prawita sari, yaitu air

kehidupan. Proses pencarian air suci itu, yang digambarkan

dilakukan oleh Bima di dalam samudera, adalah proses penca-

rian manusia untuk mencapai tahap menyatu dengan Yang

Maha Satu, tahap manusia manunggal kalayan Gusti. Ketika

Page 32: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

122

Bima masuk ke lubang telinga kiri Dewa Ruci, itulah tahap

manusia mencapai manunggaling kawula lan Gusti.

Makna dari cerita Dewaruci itu adalah, untuk mencapai

manunggaling kawula lan Gusti manusia harus melalui proses

panjang dan berat. Intinya, proses itu adalah proses untuk

menghilangkan ketergantungan pada hal-hal yang bersifat

duniawi-materialistik menuju keheningan sejati di dalam

Tuhan.

Sepuluh watak yang harus dimiliki, dalam konteks cerita

Dewaruci (Bratawijaya, 1997:62), adalah: kasih sayang kepada

sesama manusia dan makhluk hidup sepenuh hati; tidak boleh

berhasrat jahat; senantiasa bersikap ramah; tidak boleh

membunuh apa pun; tidak boleh ingkar janji; tidak boleh

mencela atau menceritakan keburukan orang lain; tidak boleh

menghujat Hyang Widhi; tidak boleh mengumpat siapa pun;

senantiasa berani karena benar; dan tidak boleh menentang

kebijakan pemerintah.

Manusia akan mampu manunggal jika telah mampu

meleburkan diri ke dalam kebaikan, kejujuran, dan peran-peran

kemanusiaan untuk melaksanakan perintah Tuhan (Roqib,

2007:167).

Inti konsep manunggaling kawula lan Gusti yaitu, manu-

sia memiliki otonomi untuk menentukan hidupnya sendiri,

untuk berkembang dan membangun alam semesta, tetapi ke-

bebasan itu berada dalam bingkai kekuasaan Tuhan. Kebebasan

tersebut diperoleh justru karena manusia “menyatu” dengan

Tuhan, sehingga Tuhan berkarya di dalam diri manusia. Hal ini

dapat terwujud karena pada hakikatnya manusia adalah

pangejawantahan Tuhan (Di dalam agama Kristen disebutkan

“manusia diciptakan segambar dengan Allah”).

Page 33: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

123

Manunggaling kawula lan Gusti tidak berarti meleburnya

manusia menjadi sama dengan zat Tuhan (Mangoenprasodjo,

2003:19), seperti tercermin dari ungkapan sebagai berikut:

Manungsa iku saka dating Pangéran; mula uga darbé sipating pangéran. Éwa semana manungsa iku bisa ka-dunungan dating Pangéran, nanging aja darbé pangira yèn manungsa mau bisa diarani Pangéran (Manusia berasal dari Tuhan; karena itu juga mempunyai sifat Tuhan. Sekalipun dapat mamunyai zat Tuhan, namun jangan beranggapan bahwa dengan demikian ia dapat disebut Tuhan).

Laku

Untuk dapat memahami sangkan paraning dumadi dan

manunggaling kawula lan Gusti, orang Jawa mengenal istilah

laku. Laku lebih berupa olah rasa, dipahami sebagai ”praktik

prihatin” atau melakukan syarat-syarat tindakan untuk menca-

pai suatu cita-cita (kesaktian, kekayaan, ketenteraman hidup,

dan sebagainya).

Pentingnya laku bagi manusia Jawa tergambarkan dalam

Serat Wedhatamana (Mangkunagoro IV 1994:40):

Ngélmu iku kelakoné kanthi laku lekasé lawan kas tegesé kas nyantosani setya budaya pangekesé dur angkara.

Secara harafiah, ungkapan itu berarti: Ilmu itu terlaksana

kalau dijalankan dengan upaya batin, dimulai dengan kemauan,

kemauan adalah penguat, budi setia penghancur angkara murka.

Makna ngélmu berbeda dari ilmu. Ilmu adalah hasil dari otak

manusia yang lebih didasarkan pada pembuktian-pembuktian

ilmiah, adapun ngélmu mencakup hal-hal yang rasional mau-

pun irasional, tidak harus diterima melalui akal, tapi juga rasa.

Page 34: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

124

Ngélmu sebagai kawruh (gnosis), yaitu bentuk spiritual yang

tidak hanya mengandalkan intelektual, tetapi intuitif. Ilmu

didasari akal, ngélmu mendasarkan pada seluruh organ tubuh

(Stange, 2009).

Hal itu tidak berarti bahwa ngélmu tanpa akal dan tidak

ada yang rasional. Ngélmu pun ada yang melukiskan akal yang

jelas dan transparan. Telah disadari oleh masyarakat Jawa,

bahwa ngélmu mengandung sesuatu arti ajaran rahasia

(esoteric) untuk pegangan hidup, didasari laku. Jalan ini, dalam

tasafuw sering disebut tarekat. Tarekat dalam budaya spiritual

Jawa dikenal sebagai bagian dari laku mistik kejawèn.

Paradigma ngélmu sering dirumuskan dalam pengetahuan

jarwadhosok (kérata basa atau othak-athik mathuk), yaitu angèl olehé ketemu (Endraswara, 2003:26).

Upaya batin dilakukan melalui penghayatan rasa yang

bersifat suprarasional dan/atau intuitif. Endraswara menyebut-

kan, dalam hal-hal tertentu, ngélmu justru diperoleh melalui

indera keenam manusia. Atas dasar ini, maka ciri-ciri ngélmu antara lain:

1. Bukan merupakan aktivitas otak, melainkan rohani

yang berusaha ke arah sangkan paraning dumadi; 2. Untuk nggayuh kasampurnaning dumadi (mencapai

kesempurnaan manusia);

3. Menuju kelepasan, yaitu celak coloking Hyang Widi, momor pamoring Sawujud (menyatu dengan Yang

Maha Kuasa);

4. Berbentuk ungkapan-ungkapan sepotong yang berisi

lambang, kiasan utuh;

5. Diketahui dengan laku batin, penghayatan rohaniah;

6. Ngélmu kelakoné kanthi laku (setelah dijalankan);

Page 35: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

125

7. Berdasarkan penghayatan, perasaan yang dilakukan

sendiri (subjektif), didapat melalui tapa brata (mengu-

rangi kesenangan duniawi);

8. Dijalankan dengan heneng (konsentrasi), hening

(pikiran bening), dan héling (ingat Tuhan). Meskipun kata laku sering diterjemahkan sebagai per-

buatan atau perilaku, namun tidak berarti sebagai tindakan

sosial, yang berdampak luas pada masyarakat atau pada orang

lain. Dalam konteks ini, laku bersifat pribadi, dalam bentuk-

bentuk perilaku untuk mengurangi (atau menghilangkan)

kehendak yang bersifat duniawi. Beberapa praktik laku misalnya berendam di sungai (biasanya pertemuan aliran

beberapa sungai), puasa, mengurangi tidur (tetap terjaga sampai

di atas pukul 00.00), pantang makanan-makanan tertentu,

bertapa, dan sejenisnya.

Pada umumnya laku berupa makin dikuranginya angkara

murka, suatu keadaan semèdi yang membawa orang kepada

keadaan: heneng, hening, hawas, héling (diam, jernih, awas,

ingat) sebagai unsur-unsur persepsi kesadaran yang paling

murni, yang digambarkan sebagai urubing dilah (nyala lampu)

yang menthèr, yang tenang tetapi berisi getaran yang berfre-

kuensi tinggi, sebagai gambaran energi yang hakiki. Satu-satu-

nya senjata yang dibawa dalam segala macam laku adalah

waspada dan kesadaran pribadi (Purwadi, 2005:33).

Lewat tapa (bertapa) misalnya, kekuatan badan

diperlemah sehingga sikap dan perasaan terhadap sesama

manusia berubah. Orang akan menjadi lebih sadar akan

relativitas ekistensinya. Tapa tidak hanya mengurangi nafsu-

nafsu tertentu dengan tidak kenal ampun, melainkan dengan

penyederhanaan menyeluruh, mengurangi segala aktivitas

badan. Aja wareg, nanging aja luwé, aja kakèhan melèk, nanging aja kakèhan turu, mangkono sapituruté kang sarwo

Page 36: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

126

sedheng, aja kongsi keladuk utawa mung umbara-umbaran baé.

Makna ungkapan itu adalah: Jangan kenyang, tapi juga jangan

lapar, jangan kebanyakan melek, tapi jangan kebanyakan tidur,

yang penting adalah lakukan yang sedang-sedang saja.

(Astiyanto, 2006:101-130).

Kesimpulan

Kejawèn merupakan implementasi kebudayaan Jawa.

Ibarat kebudayaan Jawa itu samudera, maka kejawèn adalah

gelombangnya. Dalam praktik, kejawèn dapat dilihat dari

kegiatan-kegiatan kelompok-kelompok kebatinan, karena inti

kejawèn adalah kebatinan, suatu gerakan yang menyelaraskan

hubungan antarmanusia, manusia dengan alam lingkungan, dan

manusia dengan Tuhan. Tujuannya adalah ketenteraman batin,

kearifan individual.

Para anggota kelompok-kelompok kebatinan tersebut

adalah orang-orang yang oleh Geertz disebut sebagai golongan

abangan. Meskipun mereka mungkin mengaku sebagai priyayi, namun sikap dan pandangan hidupnya lebih tepat dika-

tegorikan sebagai abangan. Meskipun mengaku menganut

agama tertentu, mereka tidak merasa terikat secara ketat oleh

aturan-aturan agama.

Dalam perkembangan, kejawèn selalu terpinggirkan di

negerinya sendiri, tidak pernah diakui sebagai agama, bahkan

sering dianggap ancaman bagi agama-agama (Hindu, Buddha,

Islam, Kristen/Katolik, Konghucu), yang justru berasal dari luar

Indonesia.

Kemunculan dan perkembangan kejawèn dipahami

sebagai reaksi terhadap agama-agama dan reaksi terhadap

modernitas. Gerakan ini memandang agama-agama besar cen-

derung terjebak pada formalisme, dogmatisme, dan kebekuan

Page 37: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Humanisme Kejawèn

127

hirarkis. Reaksi-reaksi itu diperkuat oleh berbagai kesenjangan

di antara ajaran dan tingkah laku, kotbah dan karya nyata,

dogma dan moral. Sebagai reaksi terhadap modernitas, kejawèn berusaha mempertahankan budaya Jawa dari pengaruh budaya

dari luar. Terjadi proses akulturasi antara Jawa dan agama-

agama, didukung sifat sinkretis kejawèn.

Humanisme kejawèn adalah cara pandang manusia Jawa

terhadap nilai-nilai kemanusiaan didasari oleh sistem berpikir

kejawèn, tidak terlepas dari pandangan tentang kosmologi,

mitologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenisnya.

Humanisme kejawèn merupakan interpretasi manusia Jawa

terhadap kehidupan manusia, merupakan intisari kejawèn.

Terdapat tiga inti ajaran humanisme kejawèn, yaitu:

sangkan paraning dumadi (asal mula kejadian), manunggaling kawula lan Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan), dan

laku (olah batin untuk mencapai ketenteraman jiwa).

Pemahaman orang Jawa tentang kemanusiaan tidak dapat

dipisahkan dari mistik kejawèn. Karena mistik kejawèn tidak

dilandasi dengan teologi melainkan teosofi, maka ngélmu menjadi penting.5

Konsep relasi manusia dengan Tuhan membedakan

humanisme kejawèn dari humanisme Barat yang tidak

mengakui kekuatan di luar manusia, bahkan tidak mengakui

keberadaan Tuhan (ateis) atau tidak peduli Tuhan itu ada atau

tidak ada (nonteis). Secara garis besar perbedaan antara

5 Dalam konteks filsafat ketuhanan, Mpu Kanwa menulis: “Meresap pada

semua makhluk dan sari dari ajaran utama (parama tattwa), sungguh sukar bagi seseorang untuk menemukan Engkau; kehadiran-Mu dalam yang ada dan tiada, yang besar maupun yang kecil, baik maupun buruk; kelahiran, kehidupan, dan kematian Engkaulah penyebabnya; Engkau merupakan asal dan kembalinya segala yang ada; Engkau berwujud nyata maupun tidak nyata.”

Page 38: Humanisme Kejawèn - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/735/5/D_902006011_BAB IV.… · sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- ... unsur,

Jawa Menyiasati Globalisasi

128

humanisme Barat dan humanisme kejawèn digambarkan dalam

tabel (lihat Lampiran 3).

Humanisme kejawèn memahami, bahwa manusia

merupakan bagian dari alam semesta dan alam semesta

merupakan bagian dari manusia. Pemahaman itu tercermin dari

relasi keseim-bangan antara jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhé (makrokosmos).

Jadi, kebudayaan Jawa, kejawèn, dan humanisme kejawèn

merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan

Jawa melahirkan kejawèn, kejawèn membentuk humanisme

kejawèn yang dilandasi oleh tiga ajaran utama: sangkan

paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, dan laku.

Tiga ajaran utama tersebut tidak dapat dipisahkan satu dari yang

lain, karena saling mengait dalam proses mencapai ketenteram-

an batin, kearifan individual.