humanisme kejawèn -...
TRANSCRIPT
91
Bab Empat
Humanisme Kejawèn
Ditinggalkannya budaya Jawa justru oleh sebagian besar
masyarakat Jawa, seperti diuraikan dalam Bab Tiga, menim-
bulkan pertanyaan apakah tidak ada potensi Jawa yang dapat
dikembangkan untuk menangkal arus global? Apakah budaya
Jawa akan hilang tergerus oleh pengaruh budaya dari luar? Bab
Empat ini berusaha menguraikan potensi Jawa yang dapat
dikembangkan, yaitu kejawèn dan humanisme kejawèn, untuk
menangkal globalisasi yang merupakan “anak kandung” hu-
manisme Barat. Secara hipotesis, kalau kejawèn dan humanisme
kejawèn dapat dibangkitkan, menjadi pandangan hidup, maka
manusia Jawa akan menemukan kembali jatidiri, memiliki
kepercayaan diri terhadap budayanya sendiri, dan hal itu akan
menjadi modal untuk menghadapi arus global.
Sebagai sistem berpikir, kejawèn merupakan penjabaran
tunggal (singularly elaborate), mengungkapkan kosmologi, mi-
tologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenisnya; sistem
gagasan mengenai alam manusia dan masyarakat, mencakup
etika-etika, kebiasaan-kebiasaan, dan gaya hidup, melingkupi
pemaknaan alam semesta, interpretasi tentang kehidupan.
Kejawèn dipahami sebagai pandangan hidup manusia Jawa,
Jawa Menyiasati Globalisasi
92
implementasi kebudayaan Jawa yang juga disebut sebagai
“agami jawi.” (Niels Mulder, 2005:16-17, Geertz, 2000).
Kejawèn adalah segala naluri (tradisi atau perbuatan yang
sudah lazim dijalankan) atau adat-istiadat leluhur Jawa yang
tidak termasuk ajaran Islam. Penyebutan kejawèn itu bertujuan
untuk melepaskan diri dari hukum Islam, namun tidak dima-
sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya-
an animisme (Kamil Kartapradja, 1990:59).
Bagi orang Jawa, hakikat kejawèn adalah kebatinan, yaitu
mistisisme, atau secara literal adalah “ilmu tentang sesuatu yang
berada di dalam batin.” Salah satu tradisi kejawèn yang
berkaitan dengan keyakinan mengenai ketuhanan, peribadatan,
keakhiratan, dan sejenisnya yang bersangkutan dengan akidah
atau keimanan di luar Islam, disebut kebatinan. Pada umumnya
orang-orang yang menjalankan praktik-praktik kebatinan itu
adalah penganut Islam, namun sumber ilmu kebatinannya dari
luar Islam, yaitu Yoga-Tantrisme-Hindu-Buddha, sisa-sisa aga-
ma kepercayaan nenek moyang orang Jawa (Endraswara,
2003:1; Simuh, 1999: 246).
Sampai saat ini mistik kejawèn masih dilaksanakan oleh
para penganutnya, yang tersebar di seluruh wilayah Pulau Jawa,
di desa-desa maupun di kota-kota. Mereka tidak terbatas pada
komunitas, yang oleh Geertz disebut sebagai kaum abangan, rakyat biasa, dan para penganut aliran kepercayaan kepada Tu-
han Yang Maha Esa, melainkan juga komunitas umat beragama
dan kaum priyayi. Mistik kejawèn menyatukan berbagai komu-
nitas, dari berbagai keyakinan agama dan golongan melalui
ikatan spiritual.
Humanisme Kejawèn
93
Berbeda dari pendapat tersebut, penulis berpendapat,
bahwa komunitas kejawèn tetap merupakan komunitas yang
terdiri dari orang-orang yang tidak berpandangan sebagai
priyayi dan santri. Hasil observasi pendahuluan yang dilakukan
penulis menunjukkan, bahwa kelompok manusia Jawa yang
tergabung dalam perkumpulan-perkumpulan kejawèn adalah
orang-orang yang lebih tepat digolongkan abangan (seperti
istilah Geertz) daripada priyayi maupun santri. Mungkin me-
reka mengaku priyayi atau menganut agama tertentu, namun
pandangan hidup mereka tidak seperti kaum priyayi keturunan
keraton dan tidak merasa terikat secara ketat oleh aturan-aturan
agama yang mereka anut.
Menurut penulis, pandangan bahwa kejawèn menyatukan
berbagai komunitas, termasuk priyayi dan santri, hanya melihat
masalah perkumpulan kejawèn dari sisi permukaan. Kalau di-
teliti lebih mendalam, maka sebenarnya orang-orang yang aktif
dalam perkumpulan-perkumpulan itu adalah orang-orang yang
lebih tepat dikategorikan sebagai abangan. Golongan priyayi, yang pada masa kini antara lain ditampakkan dari status sosial
ekonomi yang mapan, justru cenderung mengikuti arus global.
Adapun golongan santri, yang taat beribadah dan menjalankan
syariat agama, lebih condong ke gerakan ideologi transnasional.
Pengaruh globalisasi dan gerakan ideologi transnasional itu,
secara bertahap meminggirkan dan mengikis pandangan hidup
kejawèn.
Komunitas kejawèn yang sangat kompleks melahirkan
berbagai sekte dan tradisi. Di dalamnya terdapat paguyuban-paguyuban yang secara rutin membahas alam hidup manusia
didasarkan konsep rukun. Modal dasar paguyuban adalah tekad
dan persamaan niat untuk memelihara tradisi leluhur dan me-
miliki “jalan hidup” khas Jawa. Kebatinan sering dianggap
sebagai intisari kejawèn, merupakan gaya hidup orang-orang
Jawa Menyiasati Globalisasi
94
Jawa, yaitu memupuk batinnya. Oleh sifat batin itu manusia
merasa diri terlepas dari segala sesuatu yang semu, yang
berganda, yang memaksakan suatu bentuk hidup serba-dua
yang tidak dapat dihayati secara otentik (Niels Mulder 1996:13;
Subagya, 1987:14).
Batin merupakan ”isi” dari raga. Raga bergerak, berpikir,
bekerja, karena ada unsur batin. Batin manusia terdiri dari dua
unsur, yaitu jiwa dan sukma (roh). Jiwa menyebabkan manusia
berpikir, bernafsu, berkehendak, sedih lalu menangis, senang
lalu tertawa. Sukma adalah unsur terdalam dari manusia, juga
disebut roh, berasal atau merupakan pancaran Sang Hyang
Murbèng Dumadi, Tuhan Yang Maha Esa (Hardjodisastro,
2010:100).
Kebatinan merupakan religi beserta pandangan hidup
orang Jawa yang lebih menitikberatkan ketenteraman, kese-
larasan, dan keseimbangan batin. Pada dasarnya kebatinan ada-
lah mistik, penembusan, dan pengetahuan mengenai alam raya
dengan tujuan mengadakan suatu hubungan langsung antara
individu dan Yang Maha Kuasa. Banyak sekali aliran kebatinan,
namun gagasan psikologis aliran-aliran itu sesung-guhnya agak
seragam. Semua meyakini kemanunggalan dan mencari kese-
larasan dengan alam semesta dan Tuhan, walaupun mungkin
hanya sebagian orang mencapainya (Ma’ruf al Payamani,
1992:18; Stange, 2009:9-12).
Praktik kejawèn bermuara pada ketenteraman batin, ke-
arifan individual. Melalui keselarasan dengan alam dan Tuhan,
penganut kejawèn berusaha mencapai ketenteraman jiwa. Hal
tersebut menunjukkan, bahwa kejawèn memang selaras dengan
sifat filosofi Jawa yang lebih mengutamakan kearifan (wisdom), sehingga menghasilkan kearifan individu. Sifat itu berbeda dari
filsafat Barat yang menghasilkan ilmu pengetahuan.
Humanisme Kejawèn
95
Kajian tentang Kejawèn
Seperti disebutkan dalam Bab Satu, berbagai kajian
tentang kejawèn telah dilakukan oleh beberapa ahli, antara lain
De Jong (1976), Subagya (1976), Geertz (1976), Hafidy (1982),
Sopater (1987), Kartapradja (1990), Simuh (1999), Mulder
(2001), dan Stange (2009). Secara umum, kajian-kajian itu dapat
dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan persoalan pokok yang
dibahas (Soehadha, 2008), yaitu:
1. Kajian yang memberi tekanan pada penyebab kemun-
culan dan perkembangan aliran kebatinan pada awal
kemerdekaan;
2. Kajian yang memberi tekanan pada akar historis dan
teologis dari kemunculan aliran kebatinan;
3. Kajian yang lebih memberi tekanan pada persoalan
makna ritual-ritual yang dikembangkan oleh perkum-
pulan kebatinan di Indonesia.
Berikut ini uraian tentang tiga persoalan pokok yang
dibahas dalam kajian-kajian tersebut:
Kemunculan dan Perkembangan Aliran Kebatinan
De Jong (1976) menyebutkan, kemunculan kembali mistik
kejawèn bertepatan dengan sejarah Republik Indonesia. Mung-
kinkah gerakan mistik berhubungan dengan kepribadian bangsa
Indonesia? Hal ini pasti berlaku bagi Pulau Jawa: mistik meru-
pakan salah satu bentuk, bahkan visi dasar dari Jawaisme.
Seluruh Jawa diliputi oleh suasana mistik yang merangkum se-
mua kelompok penduduk, lepas dari tingkat sosial atau tingkat
Jawa Menyiasati Globalisasi
96
pendidikan. Suasana mistik itu mencapai kristalisasi dalam
bermacam-macam organisasi yang tersebar di berbagai tempat.
Menurut Jong, dua faktor penting yang memengaruhi
perkembangan mistisisme kejawèn, adalah: hasrat dan kepastian
serta sikap agama resmi.
Hasrat dan kepastian: Berjuta-juta orang Indonesia hidup
dalam ketidakpastian. Keguncangan jiwa dapat dipahami, bila
kita mengikuti sejarah negeri ini. Peperangan, pemberontakan,
devaluasi yang me-rongrong nilai uang dan nilai-nilai moral,
korupsi, dan ancaman komunis, telah mencairkan cita-cita
luhur. Slogan-slogan ternyata kosong melompong. Janji-janji
diberikan kemudian dilupakan begitu saja. Ketidakpastian
dalam masyarakat mendorong banyak orang bersandar kembali
pada mistik. Mistisisme dipandang bisa memberi jawaban,
antara lain karena mistik mengajarkan bahwa kehidupan yang
fana tidak abadi.
De Jong mengutip pernyataan S. Sosrosudigdo:
Kepribadian bangsa Indonesia harus mencerminkan inti kebatinan yang asli dan murni. Di dalam tingkat-tingkat pembangunan bangsa perlu direncanakan dan dilak-sanakan pembangunan manusia Indonesia dengan ditanam dasar kebatinan.
Sikap agama-agama resmi: Tidak jarang, beberapa aliran
baru yang tumbuh justru muncul dari satu atau beberapa agama.
Bagi orang Jawa pada umumnya, perbedaan-perbedaan antara
agama-agama itu me-mang tidak besar, asalkan berketuhanan.
Banyak orang yang tidak senang mengadakan pembedaan-pem-
bedaan yang jelas. Agama-agama yang meruncingkan dogma-
dogma menimbulkan keguncangan, bermunculanlah aliran-alir-
an baru. Ada aliran-aliran mistik yang merupakan “satelit” dari
agama induknya. Beberapa aliran dengan jelas memperlihatkan
Humanisme Kejawèn
97
sifat-sifat keislaman, beberapa yang lain mengandung unsur-
unsur kekristenan.
Kalau penganut-penganut agama resmi terkandas dalam
formalisme dan tradisionalisme – suatu bahaya yang mengan-
cam setiap agama yang sedang mengalami proses perkembangan
– maka banyak orang Jawa dari berbagai tingkat sosial dan
intelektual kemudian memisahkan diri dari agama resmi itu.
Subagya (1976) berpendapat, pembaruan dalam kehidupan di
Indonesia membawa serta kesadaran baru dalam hidup
beragama. Pertumbuhan aliran-aliran kebatinan mencerminkan
integrasi kembali nilai-nilai asli yang terdesak modernisasi.
Menurut Mulder (2005:28-29), fenomena perkembangan
kejawèn sejak kemerdekaan Republik Indonesia dapat dibagi ke
dalam dua pendapat, yaitu:
Reaksi terhadap Agama-agama
Pendapat ini menyebutkan, popularitas mistisisme Jawa
mengekspresikan reaksi terhadap dogmatisme dan ritualisme
agama resmi (institutional religion) yang mengabaikan kebu-
tuhan akan ekspresi mistis dan pengalaman batin. Mistisisme
berkembang sebagai tanda protes dan kritik terhadap kondisi
saat itu.
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, pe-
nyebab perkembangan pesat aliran kebatinan adalah kegagalan
dalam hirarki dan struktur agama-agama besar di Indonesia
untuk memberikan pemecahan bagi persoalan-persoalan sosial
yang pokok dari kehidupan masyarakat. Agama-agama besar
juga dianggap gagal dalam menyelenggarakan perdamaian
antarbangsa. Hanya kebatinan yang dianggap sanggup untuk
menunaikan tugas mulia yang dilalaikan oleh agama-agama itu
(Subagya, 1987).
Jawa Menyiasati Globalisasi
98
Pandangan tersebut sejalan dengan hasil kajian Sopater
(1987:7), yang juga melihat bahwa kemunculan aliran-aliran
mistis dalam agama-agama besar dapat dipahami sebagai reaksi
internal terhadap formalisme, dogmatisme, dan kebekuan
hirarkis yang terpolakan dalam agama-agama. Reaksi-reaksi itu
diperkuat oleh berbagai kesenjangan di antara ajaran dan
tingkah laku, kotbah dan karya nyata, dogma dan moral.
Pendapat-pendapat bahwa gerakan kebatinan merupakan
reaksi terhadap agama-agama tersebut menyiratkan, bahwa
gerakan kejawèn mirip dengan gerakan humanisme Barat pada
Periode Pertengahan dan Modern yang juga merupakan reaksi
terhadap dogmatisme dan ritualisme agama, yang dianggap
tidak memanusiakan manusia. Pada Periode Pertengahan itu,
kaum humanis menentang dominasi agama dan mengangkat
kembali nilai-nilai kemanusiaan, bahkan menempatkan ma-
nusia sebagai pusat kehidupan.
Ditinjau dari sisi kesamaan tersebut, sebenarnya gerakan
humanisme memiliki sifat universal; gejala yang terjadi di dunia
Barat juga terjadi di dunia Timur, termasuk Indonesia. Dalam
konteks pemikiran ini, maka gerakan kebatinan sebenarnya
merupakan gerakan mengembalikan harkat dan martabat
manusia, yang dalam hal ini diekspresikan sebagai kebutuhan
akan ekspresi mistis dan pengalaman batin.1
Reaksi terhadap Modernitas
1 Pengalaman penulis mengikuti kebaktian di Gereja Kristen Protestan, misa
di Gereja Katolik, atau mendengarkan kotbah-kotbah agama Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu di televisi, menunjukkan gejala bahwa agama-agama kurang dapat menjawab persoalan hidup manusia. Kebanyakan kotbah pemuka agama kurang membahas persoalan konkret yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan itu menyebabkan umat beragama merasa tidak mendapat jawaban terhadap persoalan hidup mereka.
Humanisme Kejawèn
99
Gerakan mistisisme di awal kemerdekaan ditafsirkan se-
bagai reaksi terhadap modernitas yang menyebabkan dekadensi
moral. Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, kondisi yang
ditimbulkan oleh modernitas itu dapat menyebabkan suasana
seperti pada zaman dominasi kolonial, yang disebut sebagai
“disfungsi terus-menerus” dan “penghilangan kultural.” Kondisi
itu kemudian mendorong kebangkitan gerakan-gerakan ke-
batinan. Adapun Koentjaraningrat berpendapat, praktik mistis-
isme Jawa sebagai “pelarian” dari kesulitan-kesulitan hidup
sehari-hari ke dalam dunia mimpi dan pengalaman batin, serta
kerinduan terhadap masa lalu (Mulder, 2005:30).
Pendapat gerakan kebatinan merupakan reaksi terhadap
modernitas tersebut menunjukkan, bahwa gerakan kebatinan
merupakan reaksi terhadap hal-hal baru yang masuk dan me-
mengaruhi budaya lokal. Ketika itu muncul kekhawatiran hal-
hal baru itu akan menghilangkan budaya lokal. Dalam konteks
masa kini, maka gerakan kebatinan merupakan reaksi terhadap
globalisasi, karena globalisasi pun mengancam budaya-budaya
lokal.
Akar Historis dan Teologis Kejawèn
Kejawèn sesungguhnya merupakan manifestasi agama
Jawa, yaitu akumulasi praktik religi masyarakat Jawa. Dalam
praktik religi tersebut, sebagian orang meyakini ada pengaruh
sinkretik dengan agama lain, sedikitnya Hindu, Buddha, dan
Islam. Sebaliknya ada orang yang meyakini secara puritan
bahwa kejawèn adalah milik manusia Jawa yang telah ada
sebelum ada pengaruh lain (Endraswara, 2003:58). Tiap-tiap
asumsi itu memiliki alasan yang masuk akal, namun hal itu
merupakan tugas ilmuwan sejarah kebudayaan yang pantas
memberikan penjelasan lebih rinci.
Jawa Menyiasati Globalisasi
100
Telah banyak bukti berupa karya sastra Jawa yang meru-
pakan tuntunan bagi penganut mistik kejawèn. Karya yang
dihasilkan pujangga Jawa itu, sebagian memang ada pengaruh
agama lain. Karya-karya seperti Arjuna Wiwaha (Empu
Kanwa), Serat Cebolèk (Yasadipura), Serat Sasanasunu (Yasadi-
pura), Serat Wulang Rèh (Pakubuwono IV), Serat Centhini (Pakubuwono V), Serat Wedhatama (Mangkunagara IV), dan
sebagainya adalah karya-karya besar yang memuat pengetahuan
mistik kejawèn.
Lebih jelas dan tajam lagi mistik kejawèn juga digambar-
kan dalam karya-karya sastra berbentuk suluk, seperti Suluk Darmogandhul, Suluk Gatholoco, Suluk Sujinah, Suluk Syekh Malaya, Suluk Malang Sumirang, Suluk Resi Driya, dan Suluk Topah. Pada zaman Wali Sanga pun banyak lagu (syair) Jawa
yang menggambarkan konsep mistik kejawèn, seperti Ilir-ilir,
Sluku-sluku Bathok, Cublak-cublak Suweng, dan É Dhayohé Teka.
Hadiwijono, seperti dikutip Endraswara (2003:1), menye-
butkan asal-usul kejawèn sebenarnya bermula dari dua tokoh
misteri, yaitu Sri dan Sadono. Sri penjelmaan Dewi Laksmi (istri
Wisnu) dan Sadono penjelmaan Wisnu. Sri dan Sadono meru-
pakan cikal-bakal (akar historis) kejawèn, maka dalam berbagai
ritual mistik kejawèn keduanya selalu mendapat tempat khusus.
Dewi Sri diyakini sebagai dewa padi, dewa kesuburan.
Ajaran yang menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Sri
dan Sadono tersebut adalah falsafah Ajisaka yang penuh mistik
kejawèn. Ajisaka dikisahkan sebagai putra brahmana dari India.
Ajisaka ditafsirkan berasal dari kata aji (raja, yang dihormati,
dipuja, dan disembah) dan saka berarti tiang. Ajisaka berarti
tiang penyangga yang memperkokoh diri manusia, yaitu
religiusitas. Religiusitas Jawa adalah mistik kejawèn. Kejawèn
Humanisme Kejawèn
101
dan mistik sudah menyatu, menjadi ekspresi religi (Amin, 2000;
Endraswara, 2003). Dalam hal ini, kejawèn dipandang asli Jawa
dan pada awalnya tidak terpengaruh oleh agama-agama lain,
seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.
Pandangan itu berbeda dari pendapat Simuh (1999) yang
menjelaskan, bahwa sufisme Islam memengaruhi kesusastraan
Jawa, sehingga mistisisme Jawa menemukan bentuk paling khas
dari sentuhan sufisme (mistisisme dalam Islam). Jadi, kejawèn
bukan asli Jawa. Kejawèn bersifat sinkretis, memadukan keper-
cayaan asli Jawa dengan ajaran-ajaran agama. Sulit menemukan
sistem kepercayaan yang benar-benar asli kejawèn, yang belum
terpengaruh oleh agama-agama tersebut.
Makna Ritual dan Doktrin Kejawèn
Mistik kejawèn tidak berdasarkan doktrin tertentu,
namun dalam aliran-aliran yang berbeda-beda terdapat tekan-
an-tekanan, pandangan-pandangan yang sama. Oleh De Jong
(1976:13), pandangan-pandangan yang sama itu dirinci sebagai
berikut:
Kesatuan
Kebatinan modern mirip dengan mistik dari zaman dulu
karena selalu mencari kesatuan di tengah-tengah aneka macam
gejala. Kenyataan empirik bukan kenyataan yang paling luhur
dan mutakhir. Orang akan mencari kesatuan hakiki yang meli-
puti segala-galanya. Setiap insan merupakan percikan dari kesa-
tuan hakiki itu dan ambil bagian di dalamnya.
Umat manusia telah menghancurkan kesatuan purba ter-
sebut, memisahkan diri dari kesatuan itu, berhadapan, menga-
dakan konfrontasi terhadap kesatuan hakiki dengan menjadi-
Jawa Menyiasati Globalisasi
102
kannya “objek.” Manusia tidak lagi merasakan diri sebagai
bagian dari kesatuan purba, mengadakan “individualisasi.”
Perkembangan itu menyesatkan dan hanya manusialah yang
dapat memperbaikinya. Memulihkan kesatuan tersebut harus
dimulai dari manusia. Semua aliran mistik memiliki sifat
antroposentris.
Manusia
Manusia terdiri dari bagian batiniah dan lahiriah. Bagian
batiniah adalah rohnya, sukma, atau pribadinya. Bagian inilah
yang mempunyai asal-usul tabiat ilahi. Oleh karena itu, batin
merupakan kenyataan yang sejati. Bagian lahiriah adalah badan
manusia dengan segala hawa nafsu. Badan merupakan wilayah
kerajaan rohnya, yang harus dikuasai. Oleh sebab itu, badan
seringkali disebut jagad cilik (mikrokosmos). Kalau manusia
dapat menguasai dunia kecil itu, yaitu dirinya sendiri, disebut
sudah menjadi seorang ksatria pinandhita, seseorang yang sudah
maklum akan hal-hal rahasia. Dalam dirinya telah tercapai
kesatuan; seperti batinnya memiliki asal-usul ilahi, maka
badannya pun mengalami proses spiritualisasi, berkembang
menjadi rohani.
Perkembangan
Dengan mengadakan koreksi terhadap diri manusia, maka
perkembangan dan kemajuan dunia pada prinsipnya dihalalkan.
Perkembangan dan kemajuan tersebut sebetulnya merupakan
usaha untuk memulihkan kembali kesatuan yang harmonis dan
selaras. Teknik itu baik, pendidikan itu baik, namun intelek-
tualisme mengandung suatu bahaya, karena intelektualisme
memperkuat individualisme. Investasi mental merupakan suatu
bagian dari setiap perkembangan dan pembangunan, tapi tidak
boleh merugikan harmoni dan keselarasan.
Humanisme Kejawèn
103
Jadi, perjuangan mistisisme kejawèn adalah memulihkan
kesatuan hakiki, melawan kemajuan yang menyesatkan (indi-
vidualisasi), mengadakan koreksi diri menuju perkembangan
dunia yang harmonis. Sifat pandangan-pandangan itu sangat
antroposentris. Dalam pembangunan, manusialah titik sentral-
nya.
Mirip dengan pandangan tersebut, Sanprov (2005:186-
187) berpendapat, nurani menggambarkan bagian batiniah
manusia. Ada kalanya peran nurani tertutupi, karena manusia
berpegang pada rasa cinta diri (ego) yang sangat besar. Adapun
Stange (2009:12) menyatakan, manusia sering lebih mementing-
kan pemuasan nafsu daripada mengembangkan kesadaran nafsu
sebagai sarana demi keterwujudan karsa Tuhan dan keselarasan
alam.
Perkembangan Kejawèn
Perkembangan kejawèn dipengaruhi oleh situasi politik
dari masa ke masa.
Pada era tahun 1950-an, identitas kejawèn sebagai pemi-
kiran sinkretis nampak menonjol, sebagai fenomena oposisi
terhadap Islam ortodoks. Massa abangan – yang oleh Mulder
(2005) sering dikaitkan dengan orang-orang komunis – makin
sadar posisinya berhadapan dengan kelompok yang dikategori-
kan sebagai santri. Pada masa itulah kejawèn berkembang baik.
Pada tahun 1952, muncul definisi agama dari Departemen
Agama, antara lain menyebutkan bahwa agama harus memiliki
nabi dan kitab suci, serta diakui secara internasional. Definisi
itu membatasi mistisisme, sehingga kejawèn tidak dapat di-
kategorikan sebagai agama. Dalam mistisisme, Tuhan langsung
berkaitan dengan hati seseorang, tidak harus melalui perantara
atau teks-teks suci.
Jawa Menyiasati Globalisasi
104
Karena ada tentangan dari kelompok Hindu Bali, definisi
tersebut ditarik. Departemen Agama lalu mengakomodasi
kelompok-kelompok mistisisme. Hasilnya, pada tahun 1954
dibentuk Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem)
untuk menangani masalah yang berkaitan dengan kelompok-
kelompok kebatinan, yang kemudian disebut pula sebagai
Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada
kenyataannya, Pakem justru menjadi lembaga pengawas
terhadap kelompok-kelompok mistisisme tersebut.
Tahun 1955 adalah tahun yang penting bagi sinkretisme
Islam-Jawa. Hasil pemilihan umum waktu itu menunjukkan
bahwa secara politik Indonesia bukan negara Islam. Secara
nasional, partai-partai Islam hanya meraih 42 persen suara. Di
Jawa Tengah partai-partai Islam itu meraih 30,3 persen suara, di
Yogyakarta hanya 24,5 persen suara. Hal itu menunjukkan
kecilnya simpati masyarakat terhadap ide menjadi negara Islam
(Mulder, 2005:22). Mistisisme Jawa sangat populer dan dihayati
oleh masyarakat Jawa dan berkembang pesat pada masa itu.
Pada tahun 1957, muncul tuntutan untuk menjadikan
kebatinan sebagai kelompok yang setingkat dengan agama resmi
serta memiliki perwakilan di parlemen. Tahun 1958, Presiden
Soekarno justru memperingatkan bahaya klenik yang dapat
berkembang dalam ekspresi mistisisme (kejawèn). Sementara
itu, para penganut kejawèn menekankan, bahwa kebatinan
bukanlah klenik, bukan black magic. Kejawèn adalah kekuatan
supranatural dan white magic.
Pada tahun 1960, di Pekalongan, Jawa Tengah, berlang-
sung pertemuan antara para penganut mistik tradisional Jawa
dan kelompok sufi Islam. Pertemuan tersebut menghasilkan
kesepakatan bersama terkait dengan pengembangan mistisisme.
Humanisme Kejawèn
105
Dalam suatu kongres pemuda, Menteri Pendidikan Prof.
Priyono mengusulkan agar “sintesisme” dan “sinkretisme”
diakui sebagai esensi budaya Indonesia dan gerakan-gerakannya
diakui secara resmi. Sementara itu, dalam Kongres keempat
Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia (BKKI) di Malang,
dinyatakan tidak ada perbedaan esensial antara agama dan
mistisisme; agama menekankan aspek ritual, mistisisme
menekankan aspek “pengalaman dalam” (inner experience) dan
kesempurnaan manusia. Bersamaan dengan itu, Pakem yang
semula di bawah Departemen Agama dialihkan ke Departemen
Kehakiman.
Pada tahun 1961, Menteri Agama memutuskan, agama
harus memiliki kitab suci, nabi, serta pengakuan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, dan suatu sistem hukum yang berlaku
bagi para pengikutnya. Untuk mendukung hal tersebut, polisi
diberi hak mengawasi kelompok-kelompok kebatinan dengan
alasan mencegah kemungkinan kerusuhan sosial.
Tahun-tahun berikutnya diwarnai dengan bangkit dan
menyebarnya gerakan-gerakan kebatinan. Untuk mencegah
timbulnya anarki keagamaan, Bung Karno mengumumkan
hanya Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Con-
fusianisme sebagai agama yang secara resmi diakui pemerintah.
Tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa yang dikenal
sebagai Pemberontakan G30S. Setelah itu, berduyun-duyunlah
orang yang semula dikategorikan sebagai abangan memeluk
agama; Islam, Kristen, maupun Hindu dan Buddha. Itulah
sebabnya, jumlah penganut agama-agama (secara administratif)
meningkat drastis.
Menjelang Sidang Umum MPR tahun 1978 muncul situasi
yang menghambat pengembangan tata kehidupan beragama,
antara lain masalah aliran kepercayaan yang dianggap meng-
Jawa Menyiasati Globalisasi
106
ganjal bagi golongan agama. Menteri Agama kemudian meng-
ambil kebijakan pokok menyangkut masalah aliran kepercaya-
an. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam bab IV/D
tentang “Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa” huruf 1 ayat 1, menyatakan: “Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap
kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa dilakukan agar tidak
mengarah kepada pembentukan agama baru.”
Perkembangan selanjutnya, masalah kepercayaan terha-
dap Tuhan yang Maha Esa termasuk bidang kebudayaan yang
dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depar-
temen Agama tidak mengurusi persoalan aliran kepercayaan,
yang sudah dinyatakan bukan sebagai agama.
Dalam surat Menteri Agama tertanggal 17 Juli 1980 No
B.IV/5996/1980 antara lain ditegaskan: (a) bahwa dalam Negara
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal
adanya tata cara perkawinan, sumpah, dan penguburan
menurut aliran kepercayaan dan tidak dikenal pula penyebutan
“Aliran Kepercayaan” sebagai “agama.” Baik dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP) maupun lain-lainnya, (b) bahwa orang yang
beragama/pemeluk agama yang mengikuti aliran kepercayaan
tidaklah kehilangan agama yang dipeluknya. Oleh karena itu
tidak ada cara “perkawinan menurut aliran kepercayaan” dan
“sumpah menurut aliran kepercayaan” (Hafidy, 1982:100).
Uraian tersebut menunjukkan, sebagai pandangan hidup
dan sistem kepercayaan orang Jawa, kejawèn justru terpinggir-
kan, tidak menjadi “tuan rumah di negeri sendiri.” Dalam
berbagai pertemuan, para penganut kejawèn sering meng-
ungkapkan keterpinggiran itu. Sebagian di antara mereka
merasakan “dijajah” oleh agama-agama besar dan pihak pe-
Humanisme Kejawèn
107
merintah tidak memedulikan perkembangan kejawèn sebagai
agama lokal.2
Nilai-nilai Humanisme Kejawèn
Humanisme kejawèn adalah cara pandang manusia Jawa
terhadap nilai-nilai kemanusiaan didasari oleh sistem berpikir
kejawèn seperti dijelaskan oleh Mulder (2005). Oleh karena itu,
humanisme kejawèn tidak terlepas dari pandangan tentang
kosmologi, mitologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenis-
nya. Humanisme kejawèn merupakan interpretasi manusia Jawa
terhadap kehidupan manusia; merupakan intisari kejawèn.
Nilai-nilai humanisme kejawèn, antara lain tersirat dalam
Serat Wulangrèh karya Sri Paku Buwono IV (1994:72):
Bener luput, ala becik lawan begja cilaka mapan saking ing badan priyangga dudu saking wong liya pramila dén ngati-ati sakèh dirgama singgahana dén éling. Arti Serat Wulangrèh tersebut adalah, bahwa betul, salah, buruk, baik dan untung, celaka tergantung pada diri manusia sendiri, bukan dari orang lain. Maka, berhati-hatilah terhadap segala rintangan, camkanlah dan ingatlah hal ini.
2 Dalam pertemuan para penganut kebatinan yang diselenggarakan oleh
Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, salah seorang peserta menyatakan kesulitan setiap akan menyelenggarakan peringatan satu syura karena harus minta izin dulu pada pihak pemerintah (misalnya kepolisian), padahal penganut agama Islam, Kristen, Hindu, Bu-ddha, dan Konghucu tanpa halangan memperingati hari-hari besar keagamaan mereka. Sebagai penganut kejawèn, ia merasa diperlakukan tidak adil, dan hal itu aneh karena justru kejawèn merupakan “agama lokal” masyarakat Jawa, sementara agama-agama besar itu datang dari luar Indonesia. Ia mempertanya-kan, mengapa pemerintah lebih memihak agama yang datang dari luar dan meminggirkan “agama” asli di Indonesia.
Jawa Menyiasati Globalisasi
108
Ajaran humanisme itu mirip dengan ajaran tentang kebe-
naran hidup yang disampaikan Rabindranath Tagore (1922:38).
Kebenaran hidup tergantung pada sikap dan pikiran seseorang.
Sikap itu terbentuk oleh kebiasaan berkaitan dengan suasana
tertentu dari lingkungan dan temperamen seseorang.
Manusia Jawa sangat menghormati pola hubungan yang
seimbang, baik dilakukan pada sesama individu, pada lingkung-
an alam, dan pada Tuhan. Tiap-tiap pola perilaku yang ditun-
jukkan adalah pola perilaku yang mengutamakan keseimbang-
an, sehingga apabila terjadi sesuatu, seperti terganggu kelang-
sungan kehidupan manusia di dunia, dianggap sebagai adanya
gangguan keseimbangan. Manusia harus dengan segera mem-
perbaiki gangguan itu, sehingga keseimbangan kembali dapat
dirasakan.
Hubungan manusia dengan Tuhan diekspresikan di dalam
kehidupan seorang individu dengan orang tua. Hal itu dilaku-
kan karena Tuhan tidak dapat diraba, tidak dapat dilihat, dan
hanya dapat dirasakan. Oleh karena itu, penghormatan terha-
dap Tuhan dilakukan dengan bentuk-bentuk lambang yang
memberikan makna pada munculnya kehidupan manusia di
dunia, yaitu orang tua, yang harus dihormati melalui pola
ngawula, ngabekti, dan ngluhuraké tanpa batas waktu.
Humanisme kejawèn terasa pada pandangan hidup orang
Jawa tentang keseimbangan antara jagad cilik dan jagad gedhé;
antara mikrokosmos dan makrokosmos. Ketenteraman jagad cilik (diri pribadi) akan memengaruhi ketenangan jagad gedhé (alam semesta), sebaliknya ketenangan jagad gedhé akan meme-
ngaruhi ketenteraman jagad cilik (Mulder 2005:32).
Pemahaman tentang relasi jagad cilik dan jagad gedhé itu
sangat mirip dengan pandangan filsuf masa Yunani awal dan
Humanisme Kejawèn
109
Yunani Klasik. Pada masa itu, istilah mikrokosmos digunakan
untuk melukiskan kodrat manusia sebagai yang sama (analogous atau homologous) dengan realitas eksternal yang luas, yaitu
makrokosmos (megeskosmos). Mereka memandang adanya
persamaan antara tubuh manusia dan jagad raya. Mikrokosmos
seakan-akan mencerminkan makrokosmos.
Relasi mikrokosmos-makrokosmos tersebut tercermin
dalam kitab Sasangka Jati, bahwa manusia adalah makhluk
Tuhan yang paling sempurna. Konstruksi manusia terdiri dari
empat unsur, berupa sari api, tanah, swasana, dan air. Oleh
karena diciptakan dari empat anasir yang ada dalam alam
semesta makrokosmos (jagad gedhé), maka keadaan manusia
yang terdiri dari empat anasir itu disebut sebagai jagad cilik (mikrokosmos). Jiwa manusia diisi dengan Roh Suci dan disertai
dengan Suksma Sejati sebagai penuntun yang pada hakikatnya
manunggal dengan Sang Suksma Kawekas (Soehadha, 2008:
114).
Sularso Sopater (1987:66) menyebutkan, manusia terjadi
dari cahaya kesatuan tri purusa yaitu Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan Roh Suci, yang diberi pakaian sari dari anasir empat
macam, yaitu hawa, api. air, dan tanah, yang lalu berupa bahan
dasar kasar dan halus. Karena mempunyai empat anasir, sama
seperti dunia besar yang telah dijadikan dari keempat anasir,
maka manusia dapat disebut sebagai dunia kecil.
Pandangan tentang tri purusa tersebut mirip dengan
ajaran Kristen tentang tritunggal, yaitu Allah Bapa, Allah Putra,
dan Roh Kudus.
Pengutamaan keseimbangan manusia, alam semesta, dan
Tuhan, merupakan jawaban atas persoalan dikotomi antara
humanisme tradisional dan humanisme ekologi yang berkem-
bang di Barat. Humanisme tradisional menekankan kemuliaan
Jawa Menyiasati Globalisasi
110
manusia, kemerdekaan manusia, kebesaran manusia, yang
diproyeksikan ke dalam sifat khusus promethean (hanya
bersifat satu dimensi dunia, yaitu mengunggulkan manusia di
atas segala-galanya).
Konsepsi manusia itu bergandeng tangan dengan ide
pemanfaatan alam untuk tujuan-tujuan dan kebutuhan-kebu-
tuhan manusia. Humanisme ekologi didasarkan pada premis
yang sebaliknya; melihat manusia hanya sebagai bagian dari
skema benda-benda yang lebih besar, yaitu alam. Tiap-tiap
manusia merupakan anggota dari komunitas biotik lokal, dari
berbagai komunitas manusia (Skolimowski 2004:74, Tucker,
2007:30).3
Di masa silam, ekologi dan humanisme telah menempuh
jalan sendiri-sendiri dan masuk dalam ideologi-ideologi yang
berbeda. Ekologi menitikberatkan pada masalah lingkungan
alam yang rusak, adapun humanisme mengutamakan masalah
kemanusiaan yang hancur. Cara pandang dikotomis tersebut
3 Humanisme ekologis (Skolimowski, 2004:76) menawarkan alternatif
autentik kepada masyarakat industri dan menganggap bahwa: (a) Zaman yang sedang datang dilihat sebagai zaman pengurusan: kita di sini bukan untuk memerintah dan mengeksploitasi, melainkan untuk mempertahankan dan mentransformasi secara kreatif, dan untuk meneruskan obor evolusi; (b) Dunia dipahami sebagai suatu tempat perlindungan: kita adalah anggota habitat-habitat tertentu, yang merupakan sumber keberdayaan dan makanan spiritual kita. Habitat-habitat ini adalah tempat-tempat kita, seperti burung-burung, tinggal sementara waktu; mereka adalah tempat-tempat perlindungan ketika orang, seperti burung-burung yang langka, perlu dipelihara. Mereka juga adalah tempat-tempat suci dalam pengertian religius: tempat-tempat ketika kita terpesona dengan dunia; tetapi kita juga adalah para pendeta tempat suci itu: kita harus mempertahankan kesuciannya dan meningkatkan kerohaniannya; (c) Pengetahuan dipahami sebagai suatu perantara antara kita dan daya-daya kreatif evolusi, bukan sebagai seperangkat alat yang kejam untuk mengatomisasi alam dan kosmos melainkan sebagai peralatan yang makin halus untuk membantu kita mempertahankan keseimbangan spiritual dan fisik kita dan memampukan kita untuk membiasakan diri pada transformasi-transformasi kreatif evolusi dan diri kita selanjutnya.
Humanisme Kejawèn
111
melihat bahwa seolah-olah masalah lingkungan dan masalah
manusia merupakan dua hal yang terpisah.
Berbeda dari cara pandang itu, humanisme kejawèn justru
menyikapi masalah lingkungan dan masalah manusia sebagai
dua hal yang kait-mengait. Kerusakan lingkungan alam akan
mengakibatkan kehancuran kemanusiaan, sebaliknya kehancur-
an kemanusiaan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan
alam. Humanisme kejawèn memandang eksistensi manusia dan
relasi antarmanusia sebagai perwujudan kasih Tuhan; men-
junjung tinggi eksistensi manusia dalam konteks ketuhanan
(antroposentris-teologis). Keseimbangan relasi itu misalnya
tercermin dari semangat memayu hayuning buwana; merawat
dunia agar tetap baik bagi manusia yang menghuninya.
Terdapat perbedaan pendekatan antara humanisme Barat
dan humanisme kejawèn. Humanisme kejawèn berintikan
ketajaman rasa, bersifat subjektif, deskriptif dan simbolik, ber-
bicara mengenai cara orang mencapai kebijaksanaan (wisdom). Adapun humanisme Barat menggunakan pendekatan intelek-
tual, lebih menitikberatkan pada pikiran, bersifat objektif,
teoretik, abstraktif, definisi-definisi, sehingga menghasilkan
ilmu pengetahuan dan memengaruhi cara berpikir global.
Berbeda dari humanisme Barat, humanisme kejawèn
didasari tiga prinsip pokok, yaitu: sangkan paraning dumadi (asal muasal kejadian), manunggaling kawula lan Gusti (menyatunya manusia dan Tuhan), dan laku (olah rasa untuk
mencapai pemahaman tentang sangkan paraning dumadi dan
manunggaling kawula lan Gusti (Zoetmulder, 1990; Purwadi,
2006; Susetya, 2007).
Jawa Menyiasati Globalisasi
112
Sangkan Paraning Dumadi
Dalam humanisme kejawèn, ajaran tentang manusia
menjadi titik sentral, justru karena manusia menjadi pusat
upaya olah kebatinan. Ajaran kebatinan muncul sebagai suatu
manifestasi kerinduan manusia untuk memperoleh keselamatan
dan kebahagiaan hidup, bukan hanya dalam arti keselamatan
hidup di dunia, melainkan keselamatan abadi.
Pertanyaan siapakah manusia, dari mana asalnya, dan
bagaimana atau ke mana akhirnya (sangkan paraning manungsa) menjadi titik tolak pemikiran dan usaha kebatinan
untuk mencapai kebahagiaan abadi. Ajaran ini terkait erat
dengan sangkan paraning dumadi. Oleh sebab itu, seharusnya
seseorang mengetahui hakikat hidup atau wikan sangkan paraning dumadi, pengetahuan mendasar mengenai asal-usul
kehidupan dan orientasinya. Harapannya, manusia di muka
bumi akan memahami jatidiri dan makna hidup (Sofwan,
1999:68).
Bagi orang Jawa urip mung mampir ngombé, bahwa hidup
ini bersifat sementara. Masih ada kehidupan setelah kematian
yang dinamakan jaman kelanggengan. Untuk mencapai jaman kelanggengan itu manusia hendaknya mengutamakan amal
kebaikan (Purwadi dan Djoko, 2008:2).
Sangkan paraning dumadi, oleh Mpu Kanwa dalam
Kakawin Arjunawiwaha, disebut sang sangkan paraning sarat dalam konteks sembah Sang Arjuna kepada Syiwa.4
4 Dalam konteks filsafat ketuhanan, Mpu Kanwa menulis: “Meresap pada
semua makhluk dan sari dari ajaran utama (parama tattwa), sungguh sukar bagi seseorang untuk menemukan Engkau; kehadiran-Mu dalam yang ada dan tiada, yang besar maupun yang kecil, baik maupun buruk; kelahiran, kehidupan, dan kematian Engkaulah penyebabnya; Engkau merupakan asal dan kembalinya segala yang ada; Engkau berwujud nyata maupun tidak nyata.”
Humanisme Kejawèn
113
Tuhan Yang Maha Kuasa adalah asal dan kembalinya seisi
jagad. Tuhan pada hakikatnya Maha Suci, maka jiwa manusia
yang sesungguhnya berasal dari Tuhan adalah juga suci nirmala. Dasar hidup manusia atau yang menghidupkan manusia adalah
jiwa yang suci. Akibat perbuatan-perbuatan manusia sendiri,
jiwa yang suci yang tersembunyi di dalamnya, dengan
diselubungi oleh bekas-bekas perbuatan (karma), lalu keliru
menyamakan dirinya dengan ahangkara, yang terwujud dengan
perkataan “aku.” Tujuan hidup adalah membebaskan jiwa yang
suci dari belenggu maya untuk manunggal kembali kepada
Tuhan yang Maha Kuasa; sangkan paran (Wayan Supartha,
1994).
Inti pengertian sangkan paraning dumadi, bahwa manusia
harus mengerti dan memahami asal-usul sebagai manusia.
Dengan mengerti dan memahami asal-usul itu, maka manusia
diharapkan mampu memosisikan diri secara tepat dalam relasi
dengan manusia lain, dengan alam semesta, dengan Yang Maha
Kuasa.
Pesan tentang asal-usul dan tujuan hidup selalu dipegang
teguh oleh penganut kejawèn, antara lain tercermin dari
tembang dhandhanggula karya Sunan Kalijaga:
urip iku nèng donya tan lami, upamané jebèng menyang pasar, tan langsung nèng pasar baé, tan wurung nuli mantuk, mri wismané sangkané nguni, ing mengko aja samar, sangkan paranipun, ing mengko padha weruha, yèn asalé sangkan paran du king nguni, aja nganti kesasar.
Pesan mistik tembang tersebut adalah, bahwa hidup di
dunia ini tidak lama, ibarat manusia pergi ke pasar, akan segera
Jawa Menyiasati Globalisasi
114
kembali ke rumah asalnya, karena itu jangan sampai ragu-ragu
terhadap asal-usul, agar jangan sampai salah jalan. Manusia
hidup di dunia sekadar singgah untuk minum (mampir ngom-bé), suatu ketika akan kembali pada Tuhan.
Sunan Kalijaga juga mengajarkan tentang sangkan paran-ing dumadi dan kodrat manusia, seperti dalam tembang berikut
ini:
Sapa weruh kembang tepus kaki Sasat weruh reke artadaya Tunggal pancer sesantiné Sapa weruh ing panuju Sasat weruh pageré wesi Rineksa wong sajagad Kang angidung iku Lamun dipun apalena Kidung iku den tutug padha sawengi Adoh panggawé ala Lawan rineksa dening Hyang Widi Sakarsané rineksa déning Hyang rineksa ing jalma kabèh. Terjemahan tembang tersebut adalah: Siapa tahu bunga tepus, niscaya tahu makna artadaya, yang satu asal dengan hidupnya. Siapa tahu tujuannya, niscaya tahu pagar besi, yang dijaga manusia sedunia. Yang me-lantunkan kidung, jika kidung dihapalkan, jauhlah perbuatan jahat dan dijaga oleh Tuhan. Semua kehendaknya dikabulkan-Nya, juga dijaga oleh banyak orang.
Setiap manusia memiliki kesadaran akan kebutuhan
untuk melangsungkan kehidupannya, melangsungkan keturun-
annya, kesejahteraan dan kebahagiaannya, dan kemurnian
jiwanya. Kesadaran tersebut terdapat dalam diri manusia
menurut nafsu dan hasratnya sesuai dengan kebutuhannya.
Itulah kesadaran manusia yang berpangkal dari kebutuhannya,
dan bertujuan mencari diri. Berpangkal dari kesadaran akan
kebutuhan tiap manusia setiap hari melakukan usaha untuk
Humanisme Kejawèn
115
mencapai cita-citanya. Berusaha dan berkarya itulah kehidupan,
Usaha dan karya manusia itu berbeda dalam tujuannya menurut
tinggi-rendah nilai kesadarannya (Tanpoaran, 1988:28). Ke-
sadaran yang menjadi pangkal usaha dan karya manusia adalah:
1. Kesadaran sebagai manusia: yaitu kesadaran menya-
dari kediriannya sebagai benda yang hidup, terdiri
dari badan dan jiwa merupakan suatu pribadi yang
berdiri sendiri, dan sebagai pribadi itu dia dikenal,
dipuji, dan dibenci;
2. Kesadaran sebagai warga: yaitu menyadari kedirian-
nya sebagai warga bebrayan (warga masyarakat),
tempat sebagai pribadi tidak bisa dipisahkan;
3. Kesadaran sebagai kawula (hamba insan): yaitu me-
nyadari kediriannya di hadirat Kang Murbèng Dumadi dalam perbandingan yang wajar bahwa
kawula itu bukan apa-apa dan Gusti adalah segalanya;
4. Kesadaran sebagai sentana (keluarga): menyadari
kediriannya sebagai ana dan bagian dari kahanan di
dalam kehidupan yang gumelar dan menghidupi
kahanan menurut yang ana; 5. Kesadaran sebagai purba (kuasa): menyadari kediri-
annya sebagai hak dan bagian dari hukum kehidupan
yang ada dan menghidupinya sebagai kelangsungan
hukum.
Berkaitan dengan pandangan mengenai sangkan paraning dumadi tersebut, siklus kehidupan manusia Jawa sering disebut
dengan istilah cokro manggilingan. Kehidupan ibarat roda yang
berputar; kadang-kadang berada di atas, kadang-kadang di
bawah, bahkan mungkin paling bawah. Semua berjalan sesuai
dengan hukum alam yang berlaku. Orang Jawa menyebut
nuting jaman kelakoné; bungah susah, bathi rugi, padhang peteng adalah warna-warni yang menghiasi kenyataan hidup
Jawa Menyiasati Globalisasi
116
sehari-hari. Antara satu orang dan orang yang lain saling
melengkapi dan saling membutuhkan. Perubahan yang terus-
menerus berlangsung itu disikapi orang Jawa dengan ungkapan
aja gumunan, aja kagètan, lan aja dumèh. Itulah intisari ajaran
cakra manggilingan, yang menguraikan tentang siklus kehidup-
an umat manusia (Purwadi, 2006; Susetya, 2007).
Manunggaling Kawula lan Gusti
Otonomi manusia dalam kepercayaan mistik memang
cukup unik. Otonomi di sini tidak berkaitan dengan orientasi
pemikiran ilmiah dan kemampuan manusia untuk menguasai
alam dan membebaskan diri dari setiap bentuk ikatan,
melainkan berkaitan dengan penghayatan kejiwaan yang
bersifat mistis. Kebebasan manusia untuk melepaskan diri dari
setiap bentuk ikatan yang bersifat profan, agar dapat kembali
bersatu dengan Tuhan yang merupakan sangkan paran hidup
manusia. Kebebasan manusia dalam ajaran kejawèn dimulai dari
upaya mawas diri untuk mengenal dan menguasai nafsu-nafsu.
Upaya tersebut untuk mengambil jarak (distansi) dengan nafsu
amarah, lauwamah, dan sufiyah untuk dapat menguasai diri dan
membebaskannya dari penghambatan nafsu.
Menghadapi kekuatan dari langit dalam penghayatan
kejiwaan yang mistis harus bersikap pasif. Menghentikan segala
perbuatan dan kemauan sendiri dan mengikuti saja atau
mengambang (mengapung) dalam samudera ilahi. Penghayatan
memuncak dengan hilangnya kesadaran terhadap eksistensi
dirinya terhisap dalam samudera ilahi. Dalam ungkapan keja-wèn disebutkan manungsa lir sarah anèng lautan, tidak punya
sembah puji; sembah puji milik dan dari Tuhan. Dalam tasawuf
diungkapkan melihat dengan Tuhan, mencium, merasa, dan
berbuat dengan Tuhan atau karena Tuhan.
Humanisme Kejawèn
117
Dalam Wirid Hidayat Jati ungkapan itu diubah menjadi
“Tuhan yang berbicara, mendengar, melihat, dan merasakan
segala rasa dengan meminjam tubuh manusia.” Artinya, dzat
Tuhan berada atau immanent dalam diri manusia. Oleh karena
itu, manusia yang sempurna adalah yang telah menyatu dengan
Tuhan, sehingga gerak geriknya laksana bayang-bayang Tuhan
yang berada di depan cermin. Sebagai bayang-bayang berarti
pada hakikatnya manusia tidak punya gerak sendiri, sebab
gerakannya semata-mata berasal dari gerak Tuhan di muka
cermin. Di sini manusia laksana wayang di atas panggung,
dalanglah yang menggerakkannya.
Konsep manunggaling kawula lan Gusti, oleh Syekh Siti
Jenar digambarkan dengan ungkapan warangka manjing curiga. Intinya, roh ada di alam mitsal yaitu materi yang berada dalam
rangka yang bermakna kekosongan yang manunggal dengan
Allah. Seperti orang sembahyang (berdoa) yang telah menyatu
dengan Tuhan yang disembah, tidak mencari wujud bagaikan
warangka (rangka). Hilanglah tembaga ketika sukma mencapai
tingkat kemuliaan memancarkan cahaya benderang bagaikan
kencana. Ronggowarsito menyebut manunggaling kawula lan Gusti dengan istilah pamoring kawula Gusti (Mulkhan,
2004:176; Mahmudi, 2005:169).
Pemahaman tentang manunggaling kawula lan Gusti mencerminkan transendensi dan imanensi. Bagi orang Jawa,
Tuhan menciptakan manusia dan bersemayam dalam diri
manusia.
Manusia yang menyadari ketiadaannya, menyingkir,
memberi tempat kepada Tuhan. Keadaan yang menggambarkan
keadaan ekstasis itu diungkapkan: bagaikan lenyapnya bintang-
bintang di kolong langit bila disinari oleh matahari. Tapi, hal ini
jangan disalahtafsirkan. Lenyapnya bintang-bintang tidak ber-
arti bahwa mereka menjadi matahari. Orang Jawa tidak
Jawa Menyiasati Globalisasi
118
mengenal filsafat yang abstrak, yang dipelajari demi ilmu itu
sendiri. Filsafat hanya berarti sejauh dapat merupakan pedoman
bagi kehidupan religiusitasnya sendiri. Untuk praktik kehidup-
an itu kemampuan melihat Tuhan dalam segalanya teramat
penting (Zoetmulder, 1990:107).
Dalam Suluk Syeh Melaya disebutkan, apabila telah tahu
manunggalnya hamba dengan Tuhan, bersama sukma segala
yang dimaksud akan datang. Tempatnya ada padamu. Bagaikan
wayang badanmu itu. Segala gerak-gerikmu dari dalang. Sebagai
jagad raya adalah bentangan kelir (layar), bergerak bila
digerakkan. Segala gerak, berkedip, dan melihat dari sang
dalang (Dwiyanto, 2006:66).
Konsep manunggaling kawula lan Gusti, secara teologis
menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan Tuhan,
secara sosiologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia
dengan sesama, dan secara ekologis menjelaskan tata laksana
hubungan manusia dengan lingkungan (Purwadi, 2005:124).
Penjelasan itu menggambarkan nilai-nilai humanisme
kejawèn, bahwa di dalam manunggaling kawula lan Gusti tercakup dimensi-dimensi kemanusiaan, ketuhanan, dan
lingkungan. Keseimbangan dalam relasi teologis, sosiologis, dan
ekologis itu akan menentukan tingkat kebahagiaan hidup
manusia. Harmo-nis dalam relasi manusia dan Tuhan, manusia
dan sesamanya, serta manusia dan lingkungannya.
Manunggaling kawula lan Gusti merupakan penggambar-
an kedekatan manusia dengan Tuhan; hasil yang diraih orang
yang benar-benar menjalani olah rasa, sehingga hidupnya selalu
menjalankan perintah Tuhan. Manunggaling kawula lan Gusti bukan berarti menyatunya fisik manusia dengan Tuhan, me-
lainkan menyatunya cipta, rasa, dan karsa manusia dengan
Humanisme Kejawèn
119
kehendak Tuhan. Acuan mengenai hal ini, tercermin dalam
bait-bait dhandhanggula (macapat):
Yèn weruh pamoring kawula Gusti, sarta Suksma kang sinedya ana, dé warna neng sira nggoné, lir wayang sarireku, saking dhalang solahing ringgit, mangku panggung kang jagad, liré badan iku, asolah lamun pinolah, sasolahé kumedhep myarsa ningali, tumindak lan pangucap. Kawisésa amisésa sami, datan antara pamoring karsa, jer tanpa rupa rupané, wus anéng ing sireku, umpamané paésan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma, wayangan puniku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging manusa iki, rupa sajroning kaca. Terjemahan tembang tersebut adalah, bahwa kalau tahu pamoring kawula Gusti, serta sukma yang dituju ada, oleh warna padamu tempatnya, dirimu seperti wayang, dari dalang gerak wayang, padahal panggung itu jagad, seperti badan itu, bergerak jika digerakkan, per-gerakannya tertatap mendengar melihat, bertindak, dan berkata. Sama menguasai dikuasai, tak antara pamoring karsa, memang tanpa rupa, sudah ada pada dirimu, umpama paésan jati, yang berkaca Hyang Suksma, wayang adalah, yang ada dalam kaca, yaitu dirimu nama manusia, rupa dalam kaca.
Dalam perspektif kaum sufi, penghayatan makrifat lak-
sana seseorang di depan cermin yang melihat wajah Tuhan,
sama dengan ketika ia melihat dirinya sendiri, yakni menjadi
arif ”and realises that knowledge, knower, and know are One.”
Dengan penghayatan antara yang mengetahui dan diketahui
(Tuhan) adalah sama atau satu. Husein bin Mansyur Al-Hallaj
mengatakan, ”Ana al Haqq” (”Aku adalah kenyataan tertinggi/
Kebenaran/Tuhan”). Dari pernyataan itu kemudian muncul
segolongan kaum sufi yang menganut paham union mystic atau
dalam Islam-kejawèn lebih dikenal dengan konsep manunggal-ing kawula lan Gusti. Paham tersebut dianut oleh Abu Yazid al-
Busthami, al Hallaj, Fariduddin al-’Athar, Ibnu al-Farabi, Abdul
Jawa Menyiasati Globalisasi
120
Karim al-Jili, Inayat Khan, Hamzah Fansuri, Syamsuddin
Sumatrani. Hal itu merupakan inti dari ajaran dalam serat-serat
suluk yang menjadi acuan bagi ilmu kejawèn (Simuh, 1999:27).
Konsep manunggaling kawula lan Gusti dalam nuansa
religius-spiritual dapat digolongkan ke dalam tiga tipe (Purwadi
dalam Penghayatan Keagamaan Orang Jawa, 2002, seperti
dikutip Wawan Susetya, 2007:107-108), sebagai berikut:
1. Tipe etis: perwujudan makna manunggaling kawula lan Gusti dengan harapan adanya manusia yang
waskita dan susila. Harmonitas antara suara batin dan
laku amalannya menjadi titik sentral orientasi darma
bakti dalam kehidupan sosial;
2. Tipe kosmologis: terdapat kecenderungan kuat
tentang olah lahir dan olah batin, yaitu peleburan diri
ke dalam daya “kosmos universal” dan mengeliminasi
individualitas. Tindakan untuk membe-baskan dari
belenggu alam empiris materiil, menuju kondisi
eksistensial transenden, sehingga tercipta kesatuan
mutlak. Secara emanatif manusia dilukiskan sebagai
percikan cahaya dan akan kembali ke asal muasalnya,
sangkan paraning dumadi, yakni Dzat kosmos yang
ilahi-adikodrati.
3. Tipe teologis: hampir sama dengan tipe kosmo-logis,
tetapi menggunakan banyak istilah yang berasal dari
kitab suci.
Konsep manunggaling kawula lan Gusti terdapat pula
dalam nasihat-nasihat Sri Kresna kepada Arjuna di Padang
Kurusetra menjelang perang Bharatayuda, seperti disebut dalam
Bhagavad Gita (Supardi, 1961:32). Pada Bab 21 sampai 24
Bhagavad Gita itu Kresna menasihati Arjuna sebagai berikut:
Humanisme Kejawèn
121
Sing sapa manasé wis ora makarti, sanadyan kagepok déning alaming kalahiran, lan kang sapa wus antuk pamarem ing dalem Dat, lan sawusé bisa dadi siji lan Brahma, sarana patrap panunggal, iya iku kang antuk kamulyan langgeng.
Kasenengan kang anané saka gepokan lan kalahiran, iku tuking kasangsaran, awit ana wiwitané lan wekasané – hèh Panduputra – iku dudu kasenengané para wicaksana.
Sing sapa kongsi bisa lumawan pamasésane pepénginan, lan kamurkan, prelu kanggo kamardikaning badan, – sujanma kang mangkono wus adil, yaiku kang diarani kamulyan.
Sing sapa andarbèni kamulyaning batin, lan anduwèni kasenenganing batin, - sing sapa wus antuk pepadhang-ing batin, yaiku kang wus dadi siji (nunggal) banjur tumamèng nirwananing Brahma.
Terjemahan bebas nasihat Kresna tersebut adalah: Barangsiapa sudah terbebas dari hawa nafsu, meskipun masih berhubungan dengan masalah duniawi, dan barangsiapa sudah merasakan senang bersama dan me-nyatu dengan Tuhan, ya itulah manusia yang menerima kemuliaan abadi.
Kesenangan lahir adalah awal kesengsaraan, karena ada awal dan ada akhir, dan itu bukanlah kesenangan yang bijaksana. Barangsiapa bisa melawan nafsu dan keingin-an, dan kemurkaan untuk kemerdekaan badan, akan mendapatkan kemuliaan. Barangsiapa memiliki kemu-liaan dan kesenangan batin, dan sudah mendapatkan terang batin, dialah yang sudah menyatu dan dilin-dungi Tuhan.
Konsep manunggaling kawula lan Gusti juga terdapat
dalam cerita Bima mencari air suci, tirta prawita sari, yaitu air
kehidupan. Proses pencarian air suci itu, yang digambarkan
dilakukan oleh Bima di dalam samudera, adalah proses penca-
rian manusia untuk mencapai tahap menyatu dengan Yang
Maha Satu, tahap manusia manunggal kalayan Gusti. Ketika
Jawa Menyiasati Globalisasi
122
Bima masuk ke lubang telinga kiri Dewa Ruci, itulah tahap
manusia mencapai manunggaling kawula lan Gusti.
Makna dari cerita Dewaruci itu adalah, untuk mencapai
manunggaling kawula lan Gusti manusia harus melalui proses
panjang dan berat. Intinya, proses itu adalah proses untuk
menghilangkan ketergantungan pada hal-hal yang bersifat
duniawi-materialistik menuju keheningan sejati di dalam
Tuhan.
Sepuluh watak yang harus dimiliki, dalam konteks cerita
Dewaruci (Bratawijaya, 1997:62), adalah: kasih sayang kepada
sesama manusia dan makhluk hidup sepenuh hati; tidak boleh
berhasrat jahat; senantiasa bersikap ramah; tidak boleh
membunuh apa pun; tidak boleh ingkar janji; tidak boleh
mencela atau menceritakan keburukan orang lain; tidak boleh
menghujat Hyang Widhi; tidak boleh mengumpat siapa pun;
senantiasa berani karena benar; dan tidak boleh menentang
kebijakan pemerintah.
Manusia akan mampu manunggal jika telah mampu
meleburkan diri ke dalam kebaikan, kejujuran, dan peran-peran
kemanusiaan untuk melaksanakan perintah Tuhan (Roqib,
2007:167).
Inti konsep manunggaling kawula lan Gusti yaitu, manu-
sia memiliki otonomi untuk menentukan hidupnya sendiri,
untuk berkembang dan membangun alam semesta, tetapi ke-
bebasan itu berada dalam bingkai kekuasaan Tuhan. Kebebasan
tersebut diperoleh justru karena manusia “menyatu” dengan
Tuhan, sehingga Tuhan berkarya di dalam diri manusia. Hal ini
dapat terwujud karena pada hakikatnya manusia adalah
pangejawantahan Tuhan (Di dalam agama Kristen disebutkan
“manusia diciptakan segambar dengan Allah”).
Humanisme Kejawèn
123
Manunggaling kawula lan Gusti tidak berarti meleburnya
manusia menjadi sama dengan zat Tuhan (Mangoenprasodjo,
2003:19), seperti tercermin dari ungkapan sebagai berikut:
Manungsa iku saka dating Pangéran; mula uga darbé sipating pangéran. Éwa semana manungsa iku bisa ka-dunungan dating Pangéran, nanging aja darbé pangira yèn manungsa mau bisa diarani Pangéran (Manusia berasal dari Tuhan; karena itu juga mempunyai sifat Tuhan. Sekalipun dapat mamunyai zat Tuhan, namun jangan beranggapan bahwa dengan demikian ia dapat disebut Tuhan).
Laku
Untuk dapat memahami sangkan paraning dumadi dan
manunggaling kawula lan Gusti, orang Jawa mengenal istilah
laku. Laku lebih berupa olah rasa, dipahami sebagai ”praktik
prihatin” atau melakukan syarat-syarat tindakan untuk menca-
pai suatu cita-cita (kesaktian, kekayaan, ketenteraman hidup,
dan sebagainya).
Pentingnya laku bagi manusia Jawa tergambarkan dalam
Serat Wedhatamana (Mangkunagoro IV 1994:40):
Ngélmu iku kelakoné kanthi laku lekasé lawan kas tegesé kas nyantosani setya budaya pangekesé dur angkara.
Secara harafiah, ungkapan itu berarti: Ilmu itu terlaksana
kalau dijalankan dengan upaya batin, dimulai dengan kemauan,
kemauan adalah penguat, budi setia penghancur angkara murka.
Makna ngélmu berbeda dari ilmu. Ilmu adalah hasil dari otak
manusia yang lebih didasarkan pada pembuktian-pembuktian
ilmiah, adapun ngélmu mencakup hal-hal yang rasional mau-
pun irasional, tidak harus diterima melalui akal, tapi juga rasa.
Jawa Menyiasati Globalisasi
124
Ngélmu sebagai kawruh (gnosis), yaitu bentuk spiritual yang
tidak hanya mengandalkan intelektual, tetapi intuitif. Ilmu
didasari akal, ngélmu mendasarkan pada seluruh organ tubuh
(Stange, 2009).
Hal itu tidak berarti bahwa ngélmu tanpa akal dan tidak
ada yang rasional. Ngélmu pun ada yang melukiskan akal yang
jelas dan transparan. Telah disadari oleh masyarakat Jawa,
bahwa ngélmu mengandung sesuatu arti ajaran rahasia
(esoteric) untuk pegangan hidup, didasari laku. Jalan ini, dalam
tasafuw sering disebut tarekat. Tarekat dalam budaya spiritual
Jawa dikenal sebagai bagian dari laku mistik kejawèn.
Paradigma ngélmu sering dirumuskan dalam pengetahuan
jarwadhosok (kérata basa atau othak-athik mathuk), yaitu angèl olehé ketemu (Endraswara, 2003:26).
Upaya batin dilakukan melalui penghayatan rasa yang
bersifat suprarasional dan/atau intuitif. Endraswara menyebut-
kan, dalam hal-hal tertentu, ngélmu justru diperoleh melalui
indera keenam manusia. Atas dasar ini, maka ciri-ciri ngélmu antara lain:
1. Bukan merupakan aktivitas otak, melainkan rohani
yang berusaha ke arah sangkan paraning dumadi; 2. Untuk nggayuh kasampurnaning dumadi (mencapai
kesempurnaan manusia);
3. Menuju kelepasan, yaitu celak coloking Hyang Widi, momor pamoring Sawujud (menyatu dengan Yang
Maha Kuasa);
4. Berbentuk ungkapan-ungkapan sepotong yang berisi
lambang, kiasan utuh;
5. Diketahui dengan laku batin, penghayatan rohaniah;
6. Ngélmu kelakoné kanthi laku (setelah dijalankan);
Humanisme Kejawèn
125
7. Berdasarkan penghayatan, perasaan yang dilakukan
sendiri (subjektif), didapat melalui tapa brata (mengu-
rangi kesenangan duniawi);
8. Dijalankan dengan heneng (konsentrasi), hening
(pikiran bening), dan héling (ingat Tuhan). Meskipun kata laku sering diterjemahkan sebagai per-
buatan atau perilaku, namun tidak berarti sebagai tindakan
sosial, yang berdampak luas pada masyarakat atau pada orang
lain. Dalam konteks ini, laku bersifat pribadi, dalam bentuk-
bentuk perilaku untuk mengurangi (atau menghilangkan)
kehendak yang bersifat duniawi. Beberapa praktik laku misalnya berendam di sungai (biasanya pertemuan aliran
beberapa sungai), puasa, mengurangi tidur (tetap terjaga sampai
di atas pukul 00.00), pantang makanan-makanan tertentu,
bertapa, dan sejenisnya.
Pada umumnya laku berupa makin dikuranginya angkara
murka, suatu keadaan semèdi yang membawa orang kepada
keadaan: heneng, hening, hawas, héling (diam, jernih, awas,
ingat) sebagai unsur-unsur persepsi kesadaran yang paling
murni, yang digambarkan sebagai urubing dilah (nyala lampu)
yang menthèr, yang tenang tetapi berisi getaran yang berfre-
kuensi tinggi, sebagai gambaran energi yang hakiki. Satu-satu-
nya senjata yang dibawa dalam segala macam laku adalah
waspada dan kesadaran pribadi (Purwadi, 2005:33).
Lewat tapa (bertapa) misalnya, kekuatan badan
diperlemah sehingga sikap dan perasaan terhadap sesama
manusia berubah. Orang akan menjadi lebih sadar akan
relativitas ekistensinya. Tapa tidak hanya mengurangi nafsu-
nafsu tertentu dengan tidak kenal ampun, melainkan dengan
penyederhanaan menyeluruh, mengurangi segala aktivitas
badan. Aja wareg, nanging aja luwé, aja kakèhan melèk, nanging aja kakèhan turu, mangkono sapituruté kang sarwo
Jawa Menyiasati Globalisasi
126
sedheng, aja kongsi keladuk utawa mung umbara-umbaran baé.
Makna ungkapan itu adalah: Jangan kenyang, tapi juga jangan
lapar, jangan kebanyakan melek, tapi jangan kebanyakan tidur,
yang penting adalah lakukan yang sedang-sedang saja.
(Astiyanto, 2006:101-130).
Kesimpulan
Kejawèn merupakan implementasi kebudayaan Jawa.
Ibarat kebudayaan Jawa itu samudera, maka kejawèn adalah
gelombangnya. Dalam praktik, kejawèn dapat dilihat dari
kegiatan-kegiatan kelompok-kelompok kebatinan, karena inti
kejawèn adalah kebatinan, suatu gerakan yang menyelaraskan
hubungan antarmanusia, manusia dengan alam lingkungan, dan
manusia dengan Tuhan. Tujuannya adalah ketenteraman batin,
kearifan individual.
Para anggota kelompok-kelompok kebatinan tersebut
adalah orang-orang yang oleh Geertz disebut sebagai golongan
abangan. Meskipun mereka mungkin mengaku sebagai priyayi, namun sikap dan pandangan hidupnya lebih tepat dika-
tegorikan sebagai abangan. Meskipun mengaku menganut
agama tertentu, mereka tidak merasa terikat secara ketat oleh
aturan-aturan agama.
Dalam perkembangan, kejawèn selalu terpinggirkan di
negerinya sendiri, tidak pernah diakui sebagai agama, bahkan
sering dianggap ancaman bagi agama-agama (Hindu, Buddha,
Islam, Kristen/Katolik, Konghucu), yang justru berasal dari luar
Indonesia.
Kemunculan dan perkembangan kejawèn dipahami
sebagai reaksi terhadap agama-agama dan reaksi terhadap
modernitas. Gerakan ini memandang agama-agama besar cen-
derung terjebak pada formalisme, dogmatisme, dan kebekuan
Humanisme Kejawèn
127
hirarkis. Reaksi-reaksi itu diperkuat oleh berbagai kesenjangan
di antara ajaran dan tingkah laku, kotbah dan karya nyata,
dogma dan moral. Sebagai reaksi terhadap modernitas, kejawèn berusaha mempertahankan budaya Jawa dari pengaruh budaya
dari luar. Terjadi proses akulturasi antara Jawa dan agama-
agama, didukung sifat sinkretis kejawèn.
Humanisme kejawèn adalah cara pandang manusia Jawa
terhadap nilai-nilai kemanusiaan didasari oleh sistem berpikir
kejawèn, tidak terlepas dari pandangan tentang kosmologi,
mitologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenisnya.
Humanisme kejawèn merupakan interpretasi manusia Jawa
terhadap kehidupan manusia, merupakan intisari kejawèn.
Terdapat tiga inti ajaran humanisme kejawèn, yaitu:
sangkan paraning dumadi (asal mula kejadian), manunggaling kawula lan Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan), dan
laku (olah batin untuk mencapai ketenteraman jiwa).
Pemahaman orang Jawa tentang kemanusiaan tidak dapat
dipisahkan dari mistik kejawèn. Karena mistik kejawèn tidak
dilandasi dengan teologi melainkan teosofi, maka ngélmu menjadi penting.5
Konsep relasi manusia dengan Tuhan membedakan
humanisme kejawèn dari humanisme Barat yang tidak
mengakui kekuatan di luar manusia, bahkan tidak mengakui
keberadaan Tuhan (ateis) atau tidak peduli Tuhan itu ada atau
tidak ada (nonteis). Secara garis besar perbedaan antara
5 Dalam konteks filsafat ketuhanan, Mpu Kanwa menulis: “Meresap pada
semua makhluk dan sari dari ajaran utama (parama tattwa), sungguh sukar bagi seseorang untuk menemukan Engkau; kehadiran-Mu dalam yang ada dan tiada, yang besar maupun yang kecil, baik maupun buruk; kelahiran, kehidupan, dan kematian Engkaulah penyebabnya; Engkau merupakan asal dan kembalinya segala yang ada; Engkau berwujud nyata maupun tidak nyata.”
Jawa Menyiasati Globalisasi
128
humanisme Barat dan humanisme kejawèn digambarkan dalam
tabel (lihat Lampiran 3).
Humanisme kejawèn memahami, bahwa manusia
merupakan bagian dari alam semesta dan alam semesta
merupakan bagian dari manusia. Pemahaman itu tercermin dari
relasi keseim-bangan antara jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhé (makrokosmos).
Jadi, kebudayaan Jawa, kejawèn, dan humanisme kejawèn
merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan
Jawa melahirkan kejawèn, kejawèn membentuk humanisme
kejawèn yang dilandasi oleh tiga ajaran utama: sangkan
paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, dan laku.
Tiga ajaran utama tersebut tidak dapat dipisahkan satu dari yang
lain, karena saling mengait dalam proses mencapai ketenteram-
an batin, kearifan individual.