BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peneliatian
Kehadiran manusia dalam dunia merupakan suatu “modus ada”. Sehingga
dengan memahami dan mengerti manusia sebagai “modus ada” merupakan suatu
langkah maju dalam pemenuhan syarat bagi basis ontologi. Manusia merupakan suatu
realitas “ada” bahkan sebagai orientasi kepada metafisika. Selain manusia sebagai
“ada” maka di tengah-tengah manusia sebagai “ada” maka ada “ada-ada” yang lain.
Untuk membuka simpul “ada-ada” tersebut atau untuk mendapatkan jawaban
mengenai “ada-ada” tersebut, manusia sebagai “ada” yang representatif dalam
memberikan jabawan. Bahkan “ada-ada” tersebut diberi predikat oleh manusia atau
diberi makna dan nilai oleh manusia. Apakah pemberian nilai dan makna itu adalah
karena manusia adalah subjek?
Filsuf-filsuf eksistensialisme, seperti Heidegger, Sartre, Merleau-Ponty, E.
Levinas dan G. Mercel, memahami hubungan subjektif dan dunia infrahuman sebagai
hubungan yang memberi arti. Dalam artian infrahuman menerima arti dari subjek.
Manusia (dasein) selalu ada di dunia (welt as mitsein) dan bersama-sama dengan
orang lain (mit-dasein). Manusia memelihara (besorgen) semua infrahuman sehingga
bukan hanya berkedudukan terisolir (vorhanden) melainkan diberi arti dan nilai di
dalam pergaulan dan hubungan/zuhanden. Pemberian arti itu oleh karena keberadaan
atau eksistensi dan kesadaran manusia yang khas di tengah-tengah dunia infrahuman.
Dengan manusia menjadi orientasi kepada metafisika tentu manusialah yang
dapat memikirkan tenatang dirinya sebagai modus ada dan “ada-ada yang lain”.
Sekalipun “ada-ada yang lain” ada namun tidak dapat sadar tentang dirinya sebagai
suatu “modus ada”. Hal seperti inilah mendorong orang untuk bertanya apakah
manusia memiliki kecukupan “ada” sehingga kepada manusialah kita harus bertanya
bahkan untuk mendapatkan jawaban dan mengapa tidak kepada “ada yang lain”?.
Dalam hal ini “Tuhan” sebagai “Ada khusus atau special being” dikurung untuk
sementara dalam konteks ini. Mengapa manusia dan bukan “ada yang lain (selain
Tuhan) yang kita jadikan sebagai titik pangkal dalam bermetafisika?.
Di sini manusia harus dilihat sebagai suatu modus ada sehingga tidak ada
spekulasi yang muncul mengenai manusia. Dalam eksistensinya, manusia hadir
sebagai makhluk yang secara representatif memenuhi unsur material dan spiritual.
Dalam unsur material manusia sama dengan makhluk yang lain namun unsur spiritual
merupakan suatu realitas unsur yang tak terbantahkan dan dimiliki oleh manusia
sekaligus menjadi faktor pembeda dari makhluk yang lain. Unsur ini membuat
manusia berbeda secara tajam dengan “yang lain”. Ernest Cassirer berkata manusia
adalah animal simbolikum artinya manusia ialah binatang yang mengenal simbol,
misalnya adat-istiadat, kepercayaan dan bahasa. Inilah kelebihan manusia jika
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat
mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal
tanda dan bukan simbol. Sedangkan Aristoteles menyebut manusia sebagai animal
rationale artinya manusia ialah binatang yang mempunyai rasio, zoon politikon, dan
"makhluk hylemorfik", artinya makhluk yang teridiri dari materi dan bentuk-bentuk.
Dalam keberadaannya atau eksistensinya, manusia sebagai modus ada
menerima makna dari “Ada khusus” dan sebaliknya manusialah yang bertanya tentang
“Ada khusus” itu. Kecukupan manusia sebagai “ada” memungkinkan untuk
mengetahui, menerangkan dan mendeskripsikan “ada yang lain” bahkan dirinya.
Namun, ketika hendak menerangkan, mengetahui atau mendeskripsikan “dirinya atau
self existence” tidaklah mudah.
Untuk mengungkap hal tersebut atau dengan kata lain untuk menganalisisnya
maka diperlukan metode. Metode yang dipergunakan adalah metode fenomenologis.
Joko Siswanto dalam bukunya “Metafisika Sistematik” mengatakan bahwa “untuk
membongkar atau menganalisis struktur eksistensial ini metode yang digunakan
adalah metode “fenomenologi eksistensial”1yang baginya metode ini sama dengan
atau identik dengan “lingkaran hermeneutis”.2Metode fenomenologi digunakan untuk
mengungkap makna dan hakikat tetapi di manakah kita menemukan makna dan
hakikat fenomena itu?. Slogan yang biasanya diungkapkan oleh penganut paham
fenomenologi adalah zu den sachen lebst artinya terarah kepada benda itu sendiri.
Dalam keterarahan kepada benda tersebut maka benda itu sendirlah yang akan
mengungkapkan dirinya sendiri; yang terungkap melalui fenomen-fenomen.
1 Joko, Siswanto, Metafisika Sistematik, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2004), hlm. 46.2 Ibid
Dalam konteks ini, tentu manusia tidaklah sama dengan benda. Tetapi metode
yang digunakan untuk mengungkap eksistensi manusia adalah sama. Manusia adalah
manusia yang tidak terlepas dari dunia bahkan dari manusia yang lain. Dalam
perkataan yang lain manusia terbuka bagi dunia dan manusia lain (sesamanya).
Dengan adanya keterbukaan tersebut sangat diperlukan “kepekaan, pemahaman dan
komunikasi” maka sangat memungkinkan bila muncul rasa senang, kecewa, dan lain-
lain. Ini merupakan suasana batin. Suasana batin tersebut kita menangkapnya melalui
fenomen-fenomen untuk membangun pemahaman (verstehen) kita.
Sekalipun demikian untuk mendapatkan sesuatu yang asali, kita harus sedikit
tidak menghiraukan atau dengan perkataan lain tidak berhenti sampai pada apa yang
kita tangkap dalam fenomena itu melainkan menerobos batas-batas fenomena
sehingga di sana kita menemukan “apa adanya dalam dirinya” apa yang ada dihadapan
kita. Keterarahan kepada benda itu sendiri tidak secara langsung membuat fenomena
itu mengungkapkan hakikatnya. Edmund Husserl menyebut tahap ini sebagai the first
look. Bagi Husserl3, bila pengamatan pertama tidak sanggup membuat fenomena itu
mengungkapkan hakikatnya maka diperlukan pengamatan kedua atau the second look.
Pengamatan kedua ini disebut pengamatan “intuitif”. Pengamatan intuitif sendiri harus
melewati tiga tahap reduksi, yakni reduksi fenomenologis, eidetis, dan transendental.
Inilah metode pendekatan yang dikemukakan Edmund Husserl berkaitan dengan
pendekatan dalam mengungkap hakikat fenomena. Pemikiran Husserl sendiri cukup
mempengaruhi pemikiran para eksistensialis.
3 Jan, Hendrik, Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 119.
Eksistensialisme berupaya untuk memahami manusia dalam cara beradanya
yang khas di antara benda-benda sebab benda-benda tidak bereksistensi. Pemahaman
(verstehen) manusia atas dirinya adalah dikarenakan ia dapat keluar (Latin : existere;
dalam istilahnya Heidegger adalah dasein) dari dirinya. Untuk berhasil dalam
memahami “berada” itu dan dalam hubungannya dengan benda-benda disekitarnya
maka harus dipergunakan metode fenomenologis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka permasalahan ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah manusia memiliki kecukupan “ada” sehingga kepada
manusialah kita harus bertanya bahkan untuk mendapatkan
jawaban mengenai ada dan mengapa tidak kepada “ada yang
lain”?.
2. Bagaiamana menganalisis struktur eksistensial manusia?
3. Dapatkah kita berspekulasi tentang manusia?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis mempunyai beberapa tujuan di antaranya, sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan metode fenomenologi eksistensial.
2. Menjelaskan hubungan kecukupan manusia sebagai modus ada.
3. Menguraikan tentang eksistensi manusia.
D. Manfaat Penelitian
Manusia sebagai makhluk bereksistensi dan dalam eksistensinya berbeda
dengan benda-benda yang lain atau makhluk yang lain. Maka dari itu manusia harus
ditempatkan dalam cara beradanya yang khas di tengah-tengha makhluk lainnya,
dengan tidak melihatnya melulu sebagai objek.
Sebagai subjek, manusia memberi arti kepada yang lain. Manusia merupakan
makhluk yang berbeda secara tajam dengan makhluk lain. Makhluk lain tidak
bereksistensi. Makhluk lain tidak sadar tentang dirinya, tidak mengambil distansi
terhadap “yang lain”. Manusia sebagai subjek dapat mengetahui (jika memang tahu)
tentang diri dan subjek yang lain sebagai “ada khusus” yang dapat berpikir (cogito)
tentang “ada khusus yang lain” termasuk Tuhan.
E. Hipotesis
Hipotesis diambil dari istilah Yunani yakni dari akar kata hypo artinya di
bawah dan thihenai berarti meletakan. Hipotesis berarti suatu pengandaian. Yang
dalam penelitian menunjuk pada penjelasan ataupun jawaban sementara, dan baru
akan mendapatkan jawaban yang permanent yang tinggal tergantung pada derajat
konfirmasinya yang kelak diterima sebagai sebuah teori baru atau tesis baru.
Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa “jika metode fenomenologi
diterapkan dengan sebagai suatu pendekatan maka akan memperoleh hasil dari analisis
terhadap struktur eksistensi manusia”.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian filsafati dengan manusia sebagai objek
material. Dalam hal ini obyek penelitian di fokuskan pada filsafat manusia yang di
dalamnya eksistensi manusia diteliti dengan pendekatan tertentu. Pendekatan yang
dipergunakan adalah pendekatan dengan menggunakan metode femenomenologi.
Penelitiani ini akan berkutat disekitar metode fenomenologi sebagai
pendekatan dalam menganalisis struktur eksistensial manusia. Metode ini dipandang
sebagai metode yang mau menangkap noumenon itu apa adanya melalui fenomena.
Secara simpel ruang lingkup penelitian ini akan berada dalam area fenomenologi dan
eksistensi manusia. Pengungkapan eksistensi manusia akan dilakukan melalui metode
fenomenologi.
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif yakni
menggunakan literatur-literatur sebagai sumber kajian. Maksud dari metode deskriptif
adalah penulis akan mendeskripsikan mengenai metode fenomenologi sebagai suatu
pendekatan. Adapun prosedur dari penelitian ini adalah mengumpulkan data-data
melalui literatur-literatur (studi kepustakaan) yang berkaitan dengan masalah yang
akan diteliti. Selanjutnya data-data atau literatur-literatur yang ada diolah sesuai
dengan disiplin ilmu yang ada yakni filsafat manusia.
H. Definisi Istilah
Agar tidak terjadi kesalahpengertian ataupun dualisme arti mengenai istilah
istilah dalam judul tesis ini, maka di bawah ini penulis akan menjelaskan istilah-istilah
yang terdapat dalam judul tesis ini.
1. Metode
Istilah metode berasal dari bahasa Gerika, yang diambil dari kata methedeuo
artinya mengikuti jejak; menyelidiki dan meneliti. Methedeuo berasal dari kata
methodos dari akar kata meta artinya “dengan” dan “hodos” berarti “jalan”. Sehingga
metode (Inggris. Method; Latin: methodus; Yunani: methodos) berarti cara atau jalan
yang dipergunakan dalam mendekati bidang pengetahuan tertentu secara metodis.
Metode memiliki sistem (Yunani: synistanai; syn berarti dengan dan istanai berarti
menempatkan) dan setiap sistem harus koheren, kongruen dan koresponden.
Lorens Bagus4 dalam Kamus Filsafatnya mengatakan bahwa hakikat ilmu
terbentuk dari metode dan sistem. Sistem bersangkut paut dengan isi ilmu sedangkan
metode berkaitan dengan aspek formalnya. Sehingga ia menyimpulkan bahwa “sistem
4 Lorens, Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.635.
berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi dari ilmu”.5 Jadi, metode
berarti “cara berpikir menurut aturan atau sistem tertentu”.6Dengan demikian untuk
mendapatkan kesimpulan yang benar mengenai objek –penelitian tertentu maka
metode yang dipergunakan haruslah tepat. Sebab ketidaktepatan penggunaan metode
dapat menimbulkan distorsi dan bahkan tidak hanya kekeliruan melainkan kesimpulan
atau hasil yang diperolehpun kemungkinan besar dipertanyakan.
2. Fenomenologi
Secara literer istilah fenomenologi terbentuk dari dua kata Yunani yakni
phainomenon dari akar kata phainomai yang berarti ”menampakan diri” (berbeda
dengan: Yunani: noumenon inti atau hakekat dari “ada”) dan logos berarti “kata,
perkataan, ilmu”. Fenomenologi berarti ilmu tentang penampakan. Dengan kata lain
“ilmu yang menampakkan diri ke pengalaman subjek”.7 Fenomenologi adalah sebuah
studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena.
Fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu
yang mempelajari arti daripada fenomena. Istilah yang lasim pergunakan adalah:
1. Gejala.
2. Hal-hal mistik atau klenik, dan
3. Fakta, kenyataan, kejadian.
5 Ibid.6 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 41.7 Donny, Gahral, Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, (Jakarta: Jalasutra, 2006), hlm.139.
Fenomenologi juga merupakan “ilmu tentang gejala atau ilmu tentang menjadi (the
science of phenomena, as distinct from ontology or the science of being). Sedangkan
dalam turunan kata sifat (adjektif), fenomenal berarti sesuatu (gejala, penampakan
dan kejadian) yang luar biasa.
Fenomenologi merupakan metode juga dapat disebut sebagai filsafat. Sebagai
metode, fenomenologi menolong para fenomenolog untuk menangkap apa yang
digejalakan oleh “sesuatu” secara teliti. Pendekatan ini tidak harus melalui
pengideraan melainkan “fenomen dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani, tanpa
melewati indera”.8Metode fenomenologi mengetengahkan tahap-tahap yang harus
diambil untuk sampai pada fenomena yang murni. Misalnya, metode fenomenologi
Edmund Hesserl. Metode Hesserl diawali dengan reduksi fenomenologis, diikuti
dengan reduksi eidetis (eidos = esensi) dan diakhiri dengan reduksi transendental.
Sebagai filsafat, fenomenologi mencoba menggapai “sesuatu” tanpa didahului
oleh presuposisi. “Tak peduli apakah itu konstruksi filsafat, sains, agama dan
kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin”.9Sebab fenomenologi mau
mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek. Juga merupakan disiplin
yang revolusioner. Edmund Hesserl disebut-sebut sebagai founder dari fenomenologi.
Meskipun akhirnya fenomenologi Hesserl tidak diikuti namun telah menghasilkan
varian dalam filsafat fenomenologi” Martin Heidegger dengan fenomenologi
eksistensial dan Maurice Merleau Ponty dengan fenomenologi persepsi. Perbedaan
8 Harun, Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm.140.9 Aldian, op.Cit, hlm. 140.
pandangan Husserl dengan Heidegger dan Merleau Ponty adalah pada “konsep ego
transendental”. Bagi Heidegger dan Ponty manusia justru menemukan dirinya dalam
dunia kehidupan (lebenswelt) bukan di luar lebenswelt atau transendental.
3.Eksistensial
Eksistensi sering diartikan atau dimengerti sebagai “keberadaan”. Hanya istilah
“keberadaan” di sini berbeda ketika digunakan dalam disiplin filsafat. Istilah eksistensi
digunakan secara khusus dalam cara berada manusia yang khas. Mengapa demikian
karena berada-nya manusia berbeda dengan berada-nya pohon, hewan, dan lain
sebagainya. Sebab yang mengalami diri sebagai yang bereksistensi bahkan sadar
bahwa dirinya makhluk yang disebut “manusia”. Pada hewan, misalnya anjing tentu
“anjing tidak sadar tentang keanjingan-nya”. Berbeda dengan manusia yang sadar
betul akan “kemanusiaan-nya” maka dari itu ia disebut makhluk yang bereksistensi.
Bahkan tidak ada yang lain, yang dapat meyakinkan dirinya bahwa ia adalah manusia
melainkan “ia yakin dalam dirinya sendiri” bahwa ia bereksistensi dan ia adalah
manusia. Ia bahkan menguji dirinya, mempertanyakan tentang asal kehidupannya dan
akhir kehidupannya. Dalam istilah yang lain ia dapat berpikir (animal rationale) mulai
dari titik Alfa kehidupan hingga titik Omega kehidupan. Dalam lebenswelt, manusia
sebagai animal rationale, tidak hanya cogito ergo sum (aku tidak hanya memikirkan
diri sebagai ada) melainkan juga cogito aliquid (aku memikirkan “sesuatu”).
Dari apa yang dikatakan di atas maka secara etimologis “eksistensi (Latin:
existentia)”. Istilah ini merupakan gabungan dari dua akar kata (Latin) yakni “ex”
artinya “keluar” dan “sistentia atau sistere” artinya “berdiri”10. Existentia berarti
keluar dari diri atau tampil keluar. Di dalam tampil keluar inilah manusia dapat
mengambil atau membuat distansi sehingga dapat mengevaluasi diri ataupun
merefleksi (Latin: reflectere: “re” artinya kembali dan “flectere” berarti melengkung
ke belakang) diri. Ferguson11mendefinisikan eksistensialisme sebagai sesuatu
pengalaman yang di alami secara langsung (experienced directly). Pengalaman itu
adalah pengalaman pribadi (diri mengalami sesuatu secara sendiri; pengalaman “Aku-
ku”). Dalam The World Book 2005, dikatakan eksistensilisme merupakan sebuah
filsafat yang memandang hidup manusia sebagai suatu kenyataan di mana dirinya
mengalami ”sesuatu” secara pribadi dan apa yang dialami secara pribadi
dipertanggungjawabkan secara pribadi pula dan hal itu ia buat untuk dirinya ( a
philosophy holding that reality consists of living and that man makes himself what he
is and is responsible personally only to himself for what he makes himself).
Eksistensi sendiri berbeda dengan esensi. Dalam bahasa Latin istilah esentia
memiliki kesepadanan arti dengan istilah ousia dalam bahasa Yunani yang artinya
ada. Esensi adalah “apa yang membuat sesuatu menjadi apa adanya”.12Dalam hal ini
esensi mengacu pada permanenitas sesuatu dan berlawanan dengan sesuatu yang
temporal, berubah-ubah atau fenomenal. Eksistensi tidak sama arti dengan esensi dan
10 Bagus, op. cit. hlm. 183.11 S.B, Ferguson, New Dictionary of Theology, (London: Inter Versity Press, 1970), hlm. 243.12 Bagus, op. cit. 215.
aksidensi. Arti yang luar dari aksidensi adalah segala sesuatu yang ditambahkan pada
substansi. Fungsinya sebagai determinasi (untuk mendeterminir atau membatasi) lebih
lanjut terhadap substansi (Latin: substantia artinya bahan, hakikat, zat, isi. Dari kata
sub berarti “di bawah” dan stare berarti “berdiri atau berada”). Aksiden
membutuhkan substansi untuk melekat. Istilah da sein (da artinya “di sana” dan sein
berarti “berada”) menurut Heidegger sama dengan istilah eksistensi.
4. Struktur
Zain Badudu dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, mengartikan struktur
sebagai “susunan, bentuk (an), bangunan …”.13Sedangkan Poerwadarminta
mengartikannya sebagai “cara bagaimana sesuatu disusun …”.14Peter Salim
mencontohkan seperti “susunan tulang hewan mamalia (bone structure of a
mamal)”.15Secara khusus bagi manusia, manusia memiliki struktur anatomi tersendiri
baik secara material maupun non material.
Dalam kaitannya dengan pokok kajian ini maka kita dapat melihat fenomena
yang ditampakkan melalui yang material. Namun, apa (fenomena) yang terlihat pada
tubuhnya (his/her body) tidak kita pahami secara parsial melainkan secara totalitas
sebagai “Aku yang sedang mengalami dirinya”. Misalnya, seseorang ketika marah.
Kemarahan itu terjadi dalam dirinya “mungkin ia sedang mengalami sesuatu yang 13 Zain, Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 1357.14 W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 965.15 Peter, Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Six Edition, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 1949.
tidak sesuai seperti yang dia kehendaki”. Orang lain tahu bahwa ia marah adalah
melalui penampakan yang ditampakkan melalui tubuhnya (menunjukkan warah seram,
memukul sesuatu, dan lain-lain).
5. Manusia
Manusia, man (Inggris); anthropos (Yunani); dan homo (Latin)? Arti dasar dari
kata man (Inggris) tidaklah jelas. Menurut Lorens Bagus pada dasarnya kata ini bisa
dikaitkan dengan kata mens (Latin) yang berarti “ada yang berpikir”.16Istilah
Anthropos pada umumnya diartikan sebagai manusia. Arti yang lain adalah “seseorang
yang melihat ke atas”17 yang dalam perkembangannya merujuk pada arti “wajah
manusia”. Hanya istilah Latin homo yang paling tidak memberi arti yang jelas yakni
“orang yang dilahirkan di atas bumi”.18
Di atas adalah arti manusia secara etimologis. Namun, siapakah manusia? Ada
banyak defenisi yang dikenakan pada manusia, di antaranya:
1. J.P Sartre mendefiniskan manusia sebagai “Nol yang me-nol-kan”, pour soi
yang bukan merupakan objek melainkan subjek dan yang dari kodratnya bebas.
2. Cassirer memandang manusia sebagai animal sombolicum
3. Ortega y Gasset memandang manusia secara terbalik bahwa manusia tidak
mempunyai kodrat tetapi sejarah.
4. Plato, manusia pada hakikatnya sebagai suatu kesatuan pikiran, kehendak dan
nafsu-nafsu.
16 Ibid. 565.17 Ibid.18 Ibid.
5. Aristoteles dengan definisi klasiknya memandang manusia sebagai animal
rationale.
6. Agustinus memandang manusia sebagai kesatuan jiwa dan badan yang telah
ternoda oleh dosa warisan.
7. Filsafat masa kini memandang manusia sebagai animal loquens. Sebagai
makhluk yang berbicara maka ia harus belajar bicara.
Keanekaragaman pandangan dan definisi manusia dikarenakan manusia merupakan
makhluk yang multidimensional, makhluk yang paradoksal dan makhluk yang
dinamis. Sehingga manusia dirumuskan sebagai “an ethical being, an aesthetical being
a metaphysical being, a religious being”.19Definisi-definisi ataupun pandangan-
pandangan mengenai manusia kadang berat sebelah sehingga dianjurkan materialisme
antropologis dan spitualisme antropologis.
I. Sistematika Penulisan.
Adapun sistematika dari penulisan ini adalah:
Bab satu: Perndahuluan, terdiri dari: Latar Belakang Penelitian, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis, ruang lingkup penelitian, metode
penelitian, definisi istilah, dan sistematika penulisan.
Bab dua merupakan landasan teori yang menguraikan tentang filsafat manusia, metode
fenomenologi dan filsuf-filsuf fenomenologi dan eksistensialis.
19 Adelbert, Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 17
Bab tiga memuat struktur eksistensi manusia, hakekat manusia, pertimbangan-
pertimbangan alkitabiah, pertimbangan-pertimbangan filosofis.
Bab empat penggunaan metode fenomenologi sebagai pendekatan dalam menganalisis
struktur eksistensi manusia, yang di dalamnya termuat kecukupan metode
fenomenologi dalam filsafat manusia.
Bab lima, penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka
I. Skripsi dan Thesis
Soekamto, K.H., Kematian manusia: Suatu Telaah Komparatif Pemikiran Heidegger
dan Injil Yohanes, Yogyakarta: UGM, 2003.
II. Kamus.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia: 2005.
Badudu, Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1994.
Ferguson, S.B., New Dictionary of Theology, London: Inter Versity Press, 1970.
Newman, Jr. Barclay, M., Kamus Yunani-Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2002.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indoensia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986.
Salim, Peter, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Six Edition, Jakarta:
Modern English Press, 1991.
III. Buku-buku
Adian, Donny, Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer, Jakarta: Jalasutra, 2005
Rapar, Jan, Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Sudarsono, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Siswanto, Joko, Metafisika Sistematik, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2004.
Situmorang, Jonar, Filsafat dalam Terang Iman Kristen, Yogyakarta: Andi Offset,
2005.
Salam, Burhanuddin, H. Logika Materiil, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Snijders, Adelbert, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan, Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Rajawali Pers, Jakarta: 1997.
The World Book 2005 Edition.
METODE FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL
SEBAGAI SUATU PENDEKATAN DALAM MENGANALISIS
STRUKTUR EKSISTENSIAL MANUSIA
Proposal
THESIS
Oleh
NOH IBRAHIM BOILIU
NIM : 03 / 081 / FA
SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA BERITA HIDUPSURAKARTA
SEPTEMBER 2006
Daftar Isi
Bab I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Hipotesis
F. Ruang Lingkup Penelitian
G. Metode Penelitian
H. Definisi Istilah
I. Sistematika Penulisan
Bab II : FILSAFAT FENOMENOLOGI DAN EKSISTENSIALISME
A. Filsafat Manusia
1. Adagium Tentang Manusia Sebagai Ada.
2. Kedudukan Manusia Sebagai Ada Di antara Dunia Infrahuman
3. Hubungan Manusia dengan Dunia Infrahuman
B. Filsuf-filsuf Fenomenologi dan Eksistensialisme
1. Filsuf-filsuf Fenomenologi1.1. Edmund Husserl1.2. Max Scheler1.3. Maurice Merleau Ponty1.4. Jean Paul Sartre
2. Filsuf-filsuf Eksistensialisme
2.1. Martin Heidegger2.2. George Wilhelm Friedrich Hegel2.3. Soren Aabye Kierkegaard
C. Filsafat Fenomenologi dan Eksistensialisme
Bab III : STRUKTUR EKSISTENSI MANUSIA
A. Struktur Eksistensi Material Manusia
B. Struktur Eksistensi Non-material Manusia
C. Pertimbangan-pertimbangan Alkitabiah Tentang Struktur Eksistensi Material
dan Non-material Manusia.
1. Dikhotomisme2. Trikhotomisme
D. Pertimbangan-pertimbangan Filosofis Tentang Struktur Eksistensi Material
dan Non-material Manusia
1. Dikhotomisme2. Trikhotomisme3. Non-dikhotomisme dan trikhotomisme
Bab IV : PENERAPAN METODE FENOMENOLOGI
A. Kecukupan Metode Fenomenologi
B. Langkah-langkah Pendekatan Metode Fenomenologis
1. Reduksi fenomenologis2. Reduksi Eidetis3. Reduksi Transendental.
Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
Kepustakaan
Daftar Pustaka
I. Skripsi dan Thesis
1. Soekamto, K.H., Kematian manusia: Suatu Telaah Komparatif Pemikiran Heidegger dan Injil Yohanes, Yogyakarta: UGM, 2003.
II. Kamus Kamus1. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia: 2005.2. Badudu, Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994.3. Ferguson, S.B., New Dictionary of Theology, London: Inter Versity Press,
1970.*4. Newman, Jr. Barclay, M., Kamus Yunani-Indonesia, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2002.5. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indoensia, Jakarta : Balai Pustaka,
1986.6. Salim, Peter, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Six Edition,
Jakarta: Modern English Press.*
III. Buku-buku1. Abidin, Zainal, Filsafat Manusia, Bandung: Rosda Karya, 2003.2. Adian, Donny, Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer, Jakarta: Jalasutra,
2005.*3. Allen, E.L., Existentialism from Within, London: Reoutledge & Kegan Paul
Ltd, 1953.*4. Blackham, H.J. Six Existensialist Thinkers, London: Routledge & Kegan Paul,
1978.*5. Drijarkara, N. Filsafat Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2005.6. Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2005.7. Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia,
1992.8. Heidegger, M., Being and Time, London: translated by J. Macguarrie & E.
Robinson, 1967.*9. Kabanga, Andarias, Manusia Mati Seutuhnya, Yogyakarta: Media Presindo,
2002.10. Leahy, Louis, Siapakah Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2005.11. _________, Manusia di Hadapan Allah, Yogyakarta: Kanisius, 198412. __________, Horison Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 200513. Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius, 2005.14. Lujpen W., The Existential Phenomenology, Loucuen: Duquesne Universitas
Press 2966.15. Mc. Carthy, Vincent, A., The Fenomenology of Moods in Kierkegaard, The
Hague/Boston, Martinus Nijhoff, 1978.*16. Panjaitan, Ostina, Manusia Sebagai Eksistensi, Jakarta: Yayasan Sumber
Agung, 1996
17. Paulus, Margaretha, Perjumpaan dalam Dimensi Ketuhanan, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006.
18. Ponty, Merleau., Phenomenology of Perception, London: Colour Smith. Translated by Smith C, 1962.*
19. Rapar, Jan, Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005.20. Sudarsono, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.21. Siswanto, Joko, Metafisika Sistematik, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,
2004.22. ____________, sistem-sistem Metafisika Barat, Dari Aristoteles sampai
Derrida, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.23. Situmorang, Jonar, Filsafat dalam Terang Iman Kristen, Yogyakarta: Andi
Offset, 2005.24. Suseno, Franz, Magnis, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2005.25. Salam, Burhanuddin, H. Logika Materiil, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.26. Smith, Linda dan Raeper, William, Ide-ide, Yogyakarta: Kanisius, 2004.27. Snijders, Adelbert, Manusia dan Kebenaran, Yogyakarta: Kanisius, 2006.28. ______________, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan,
Yogyakarta: Kanisius, 2005.29. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Rajawali Pers, Jakarta: 1997.30. Wahana, Paulus, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler, Yogyakarta: Kanisius,
2006.31. Spiegelberg, H., The Phenomenological Movement, A Historical Introduction,
1771.*32. Sartre, J.P., Being and Nothingness, New York: Citadel Press (translated by
H.E. Barnes), 1965.*33. White, A.R., Methods of Metaphysics, New York: Croom Helm Ltd.
Provident House, 1987.*34. Warnock, Mary, Existentialism, Oxford: Oxford University Press, 1979.*35. The World Book 2005 Edition.*
Catatan:*. Buku-buku dan Kamus dalam Teks Bahasa Inggris.