1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan komunikasi untuk
berinteraksi antar sesama. Jika gagasan dan pikiran masing-masing individu dapat
tersampaikan, maka komunikasi dapat terjalin dengan baik. Bahasa adalah alat
untuk menyampaikan gagasan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Chaer dan
Agustina (2010:14) bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk
berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep,
atau juga perasaan. Sama halnya dengan Chaer dan Agustina, al-Ghulayaini (2007:
13) juga mendefinisikan bahasa dengan sebuah ungkapan untuk mengutarakan
maksud (pikiran), hal tersebut didefinisikan oleh al-Ghulayaini sebagai berikut:
دهمصكل قوم عن مقا ا ألفاظ يعبر
/Alfa>zhun yu’baru biha>kullu qaumin ‘an maqa>shidihim/ ‘Ucapan-ucapan yang diungkapkan oleh setiap kaum tentang maksud-maksud mereka’.
Definisi bahasa yang telah diutarakan di atas telah memberikan sedikit
gambaran tentang bahasa. Bahasa adalah sebuah ucapan yang digunakan untuk
berinteraksi dengan sesama manusia agar dapat saling berkomunikasi dan
menyampaikan maksud dari setiap individu.
Komunikasi tersebut membuahkan sebuah peristiwa yang disebut
peristiwa tutur dan tindak tutur. Peristiwa tutur adalah terjadinya interaksi
linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
2
penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, waktu, tempat dan situasi
tertentu (Chaer dan Agustina 2010: 47). Peristiwa tutur merupakan peristiwa
sosial, karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam situasi dan tempat
tertentu. Berkaitan dengan peristiwa tutur, tindak tutur merupakan gejala individu
yang bersifat psikologis, dan dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa penutur
dalam menghadapi situasi.
Leech (1983: 1) berpandangan bahwa tindak tutur adalah perangkat
tuturan yang paling kecil dan merupakan bagian dari peristiwa tutur. Teori
mengenai tindak tutur berakar pada filsafat Austin (1962), seorang guru besar di
Universitas Havard pada tahun 1956 (Ainin, 2010: 40). Tindak tutur merupakan
salah satu fenomena dalam masalah yang luas, yang dikenal dengan istilah
pragmatik (Chaer dan Agustina, 2010: 56). Tindak tutur menurut Nachlah (2011:
42-44) adalah sebuah ungkapan yang tidak mengandung sebuah kebenaran atau
kesalahan dan tidak ditujukan untuk membuat statement لا تنشئ قولا/la> tunsyi'u
qaulan/ akan tetapi ditunjukkan untuk sebuah pekerjaan بل تؤدى فعلا/bal tu’addi>
fi’lan/. Nachlah (2011: 42) menyebutkan bahwa tindak tutur adalah salah satu
bagian penting dalam pragmatik, bahkan tindak tutur adalah nama lain dari
pragmatik pada saat pragmatik ditemukan.
Searle (1969: 23-24); Nachlah (2011: 47) mengemukakan bahwa secara
pragmatis, setidaknya ada tiga macam tindak tutur yang dapat diwujudkan oleh
penutur, yakni lokusi ( يفعل اللفظال ), ilokusi ( يالفعل الإنجاز ), dan perlokusi ( يالفعل التأثير ).
Berdasarkan ilokusi, tindak tutur dibagi menjadi lima jenis, yakni asertif
3
dan ,(التعبيريات) ekspresif ,(الإلتزاميات) komisif ,(التوجيهيات) direktif ,(الإخباريات)
deklaratif (الإعلانيات) (Searle 1979: 12-20; Nachlah, 2011: 51-52).
Tindak tutur ekspresif adalah sebuah pengungkapan psikologis dengan
rasa ikhlas (Nachlah, 2011: 52). Yule (2006: 93) mendefinisikan tindak tutur
ekspresif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh
penutur. Senada dengan Nachlah dan Yule, Leech (1983: 328) menjelaskan tindak
tutur ekspresif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk menunjukkan sikap
psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami oleh mitra tutur.
Merujuk beberapa pemaparan di atas, pengertian tindak tutur ekspresif adalah
sebuah tuturan psikologis yang berfungsi untuk mengungkapan perasaan yang
dialami oleh penutur.
Tuturan yang menandai tindak tutur ini misalnya ucapan selamat, ucapan
terimakasih, mengungkapkan rasa simpati dan memohon maaf. Permohonan maaf
merupakan salah satu tindak tutur ekspresif. Permohonan maaf adalah sebuah
pengakuan tanggungjawab oleh penutur atas sikap, tingkah laku, atau kegagalan
untuk melaksanakan sesuatu (Leech 1983: 166). Berbeda dengan Leech, Kador
(2009: 6) menjelaskan permohonan maaf adalah uluran diri, untuk merentangkan
diri menjangkau sesuatu yang lebih besar dari diri manusia, demi kebaikan
hubungan yang telah dibina, permohonan maaf juga merupakan tantangan untuk
merendahkan hati. Kerendahan hati yang dimaksud adalah dengan meletakkan
mitra tutur sebagai orang yang telah disakiti dalam unsur penting bagi
kesejahteraan penutur.
4
Tindak tutur permohonan maaf merupakan penyelamatan muka (face-
saving) bagi pendengar dan merupakan pengancaman muka (face-threatening)
bagi penutur (Leech 1983: 166). Tindak tutur permohonan maaf dituturkan ketika
ada beberapa perilaku yang telah melanggar norma-norma sosial. Ketika suatu
tindakan atau ucapan telah menyinggung orang lain dan menjadikan penutur
sebagai orang yang bersalah, ia perlu memohon maaf (Olshtain dan Cohen, 1983:
21). Blum-Kulka dan Olshtain (1984: 206) menyebutkan tindak tutur permohonan
maaf umumnya merupakan tindakan pasca-acara, yaitu setelah penutur melakukan
pekerjaan yang dianggap telah melanggar norma.
Olshtain dan Cohen (1983: 21) menjelaskan hal-hal yang menyebabkan
seorang penutur menuturkan permohonan maaf, antara lain:
1. Permohonan maaf yang dituturkan merupakan harapan mitra tutur atas tingkat
pelanggaran yang terjadi.
2. Pandangan pemohon maaf berdasarkan pada persepsi dirinya tentang tingkat
beratnya pelanggaran.
3. Pandangan permohon maaf berdasarkan tingkat diterimanya permohonan
maaf oleh mitra tutur.
4. Interaksi yang baik antara permohon maaf dan mitra tutur.
5. Status sosial dari dua peserta.
6. Nada suara yang dapat berfungsi untuk menyampaikan makna agar penutur
memohon maaf.
Seseorang yang akan memohon maaf memerlukan sebuah ungkapan yang
menyatakan maksud penutur tentang permohonan maafnya. Pengungkapan
5
maksud tersebut disebut juga dengan strategi permohonan maaf. Strategi
permohonan maaf secara umum disebutkan dengan menggunakan satuan lingual
yang mengandung makna permohonan maaf, seperti ‘afwan, al-‘afwu, asta’fi>,
‘adzran, ma’dzirah, a’tadzir, i’tadzir, a>sif dan sa>michni. Penanda tersebut
merupakan penanda tuturan ekspresif seseorang dalam permohonan maaf. Blum
Kulka dan Olshtain (1984: 206) menyebutkan bahwa tuturan-tuturan ekspresif
tersebut dikategorikan sebagai IFID (Illocutionary Force Indicating Device) atau
perangkat untuk mengidentifikasi daya ilokusi yang digunakan untuk
mengekspresikan sebuah penyesalan.
Penggunaan kata ‘afwan, al-‘afwu, asta’fi>, ‘adzran, ma’dzirah, a’tadzir,
i’tadzir, a>sif dan sa>michni dalam bahasa Arab tidak hanya digunakan sebagai
penanda lingual untuk mengespresikan permohonan maaf saja. Seperti
penggunaan kata ‘afwan juga ditemukan pada jawaban dari tuturan ekspresif
berterimakasih, yaitu jawaban dari ungkapan شكرا /syukran/ “terimakasih”. Kata
‘adzran dalam bahasa Arab selain berfungsi sebagai penanda lingual permohonan
maaf juga berfungsi untuk mengungkapkan sebuah alasan. Perbedaan kegunaan
kata ‘afwan dan ‘adzran serta penggunaan strategi permohonan maaf yang
berbeda-beda oleh setiap individu menjadi alasan yang melatarbelakangi
penelitian ini.
Penelitian tentang tindak tutur permohonan maaf telah dilakukan oleh
beberapa peneliti, berikut penelitian permohonan maaf yang relevan dengan
penelitian ini:
6
1. Penelitian tentang ‘Gender Differences in the Usage of Apology: A Case Study
of Native Speakers of English in Jordan's Private Schools’ yang dilakukan
oleh Darwish dan Hamida (2014). Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk
mengetahui perbedaan tindakan permohonan maaf digunakan oleh laki-laki
dan perempuan. Responden penelitian adalah penutur asli bahasa Inggris di
Amman, Yordania. Sampel terdiri dari 60 pelajar (30 laki-laki dan 30
perempuan). Penelitian tersebut mengungkapkan ada perbedaan antara laki-
laki dan perempuan dalam menggunakan strategi maaf. Jenis kelamin adalah
faktor kuat yang memengaruhi penggunaan tindak tutur permohonan maaf.
Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa kedua jenis kelamin menggunakan
banyak strategi yang berbeda. Enam strategi seperti maaf + berkomentar,
permintaan sopan, maaf + permintaan sopan, tuturan sopan, menyangkal
tanggungjawab dan tersenyum yang digunakan khusus oleh responden laki-
laki. Responden perempuan menggunakan lima strategi seperti intensifikasi +
maaf, menawarkan perbaikan, menyembunyikan kebenaran, tidak menghadapi
masalah, dan menyalahkan diri. Hasil juga menunjukkan bahwa responden
laki-laki menggunakan permohonan maaf secara eksplisit lebih banyak dari
pada responden perempuan mereka.
2. Penelitian tentang ‘An Analysis of Apology as a Politeness Strategy Expressed
by Jordanian UniversityStudents’ yang dilakukanoleh Al-Sobh (2013).
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis ekspresi
permohonan maaf yang digunakan oleh mahasiswa Yordania dan untuk
menjelajahi penutur asli Arab dalam menggunakan strategi permohonan maaf
dalam situasi yang berbeda. Responden penelitian tersebut adalah delapan
7
mahasiswa jurusan bahasa Inggris di Irbid National University. Temuan
menunjukkan bahwa strategi yang digunakan adalah maaf, menyesal,
penjelasan, tawaran perbaikan, dan tanggung jawab. Beberapa situasi
memerlukan satu dari dua kata permintaan maaf, orang lain memerlukan lebih
banyak dan penjelasan untuk meyakinkan.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Humeid (2013) tentang ‘The Effect of Gender
and Status on the Apology Strategies Used byAmerican Native Speakers of
English and Iraqi EFL University’ juga meneliti tentang permohonan maaf.
Respondenpada penelitian tersebut berjumlahdua puluh mahasiswa Irak EFL
(yaitu sepuluh laki-laki dan sepuluh perempuan) pada tahun ketiga dengan
usia antara 20 sampai 21 serta delapan orang Amerika (empat laki-laki dan
empat perempuan) dengan usia antara 18 sampai 63. Analisis data
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan
perempuan Amerika. Laki-laki cenderung menggunakan jawaban panjang
ketika mereka minta maaf, sedangkan perempuan cenderung menggunakan
yang singkat. Hal ini mencerminkan fakta bahwa laki-laki Amerika lebih
peduli tentang perasaan orang lain daripada perempuan. Sebaliknya,
perempuan Irak menerapkan strategi permintaan maaf lebih dari laki-laki Irak
karena laki-laki dalam masyarakat Irak dapat berbicara dan berperilaku lebih
bebas daripada perempuan.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan (2013) dengan judul Kajian
Sosiopragmatik Tuturan Permohonan Maaf oleh Penutur Bahasa Arab di
Mesir. Data dari penelitian tersebut dikumpulkan menggunakan cara DCT
dengan 10 responden yang berusia antara 19-25 tahun dengan latar belakang
8
responden relatif homogen. Kesepuluh responden tersebut semuanya
merupakan mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir. Pada penelitian tersebut,
ditemukan lima strategi permohonan maaf, yaitu IFID (intensifikasi dan
ekspresi emosi), ungkapan pertanggungjawaban, penjelasan terhadap situasi
(explanation or account), tawaran perbaikan (offer of repair) dan pernyataan
janji untuk tidak mengulanginya (promise of forbearance). Selain kelima
strategi tersebut, ia juga menemukan tiga strategi tambahan, yaitu sapaan
(alerters), ungkapan pengalihan (downgrading), dan perhatian pada lawan
tutur (concern for the hearer).
5. Sari (2011) juga meneliti tentang tidak tutur permintaan maaf dalam tesisnya
yang berjudul “Tindak Tutur Permintaan Maaf dalam Bahasa Inggris oleh
Penutur Asli dan Penutur Bahasa Jawa”. Tesis ini mengkaji strategi tindak
tutur permintaan maaf dalam bahasa Inggris yang dituturkan oleh penutur asli
dan bukan penutur asli (penutur bahasa Jawa). Secara umum, untuk semua
situasi, berdasarkan potensi kemunculan, penutur bahasa Jawa cenderung
menggunakan strategi ekspresi permohonan maaf yang diikuti tuturan
bertanggung jawab, tawaran perbaikan dan penjelasan. Selain kemunculan
strategi yang paling berpotensi, penggunaan sapaan dan juga perhatian pada
mitra tutur sering hadir untuk semua tingkatan status sosial.
6. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Hussein Dhahi Muzhir dan Musaab
Abdul-Zahra Raheem (TT), Universitas Kufa dengan judul “A Socio-
pragmatic Study of Apology in Iraqi Nonstandard Arabic”. Penelitian tersebut
merupakan upaya untuk menguraikan perbedaan paling mendasar antara
penutur Irak laki-laki dan perempuan dalam penggunaan strategi permintaan
9
maaf. Korpus terdiri dari tanggapan wacana penyelesaian tes, yang meliputi
tiga situasi yang berbeda. Responden yang menjadi subyek adalah 30 orang,
15 laki-laki dan 15 perempuan. Sampel secara acak dipilih dari tempat yang
berbeda di Najaf yang dianggap sudah mewakili. Hasil dari penelitian ini
adalah adanya tiga macam strategi permintaan maaf yang digunakan oleh
penutur Irak, di antaranya strategi utama, yaitu: pernyataan penyesalan
(menyesal), cerita, deskripsi dampak dari kesalahan dan reparasi/perbaikan.
Strategi kedua, yaitu: kompensasi, berjanji tidak akan mengulangi kesalahan.
Strategi ketiga, yaitu: penilaian eksplisit terhadap, tanggung jawab,
kontekstualisasi, kecaman diri, dan berterima kasih.
7. Penelitian tentang permohonan maaf yang dilakukan oleh Cohen, Andrew D.
Cohen, Elite Olshtain, dan David S. Rosentain (1986) yang berjudul
“Advanced EFL Apologies: What Remains To Be Learned?”. Penelitian
tersebutmembahas tentang perbedaan antara pelajar penutur asli dan penutur
bukan asli dalam tindak tutur permohonan maaf. Penelitian ini menggunakan
180 responden, yang terdiri dari 96 penutur asli Amerika dan 84 penutur yang
belajar bahasa Inggris. Pada penelitian ini ditemukan lima strategi
permohonan maaf, yaitu ungkapan permohonan maaf, penjelasan situasi,
ungkapan pertanggungjawaban (pengakuan kesalahan, ekspresi penyalahan
diri sendiri, ekspresi ketiadaan maksud, ekspresi pertnggungjawaban secara
implisit, dan penolakan kesalahan oleh penutur), Tawaran perbaikan, serta
janji untuk tidak mengulangi. Selain kelima strategi tersebut, pada penelitian
ini juga terdapat strategi modifikasi, yaitu intensitas permohonan maaf,
10
meminimalkan atau menyangkal tanggung jawab, emosional, meminimalkan
pelanggaran, dan berkomentar.
8. Penelitian yang dilakukan oleh Andrew D. Cohen dan Elite Olshtain (1985)
berjudul “Comparing Apologies a Cross Languages” membahas tentang
perbandingan permohonan maaf pada lintas bahasa. Responden dari penelitian
tersebut adalah penutur asli dan non Inggris. Penelitian tersebut
menyimpulkan terdapat perbedaan dalam penggunaan tuturan permohonan
maaf yang digunakan oleh kedua penutur. Perbandingan yang digunakan
untuk melihat perbedaan tersebut dilakukan dengan membandingkan situasi
yang sama sehubungan dengan jenis penutur, status sosial mereka, keakraban
dan tingkat keparahan pelanggaran.
9. Penelitian berjudul “Developing a Measure of Sociocultural Competence: the
Case of Apology” yang dilakukan oleh Andrew D. Cohen dan Elite Olshtain
(1981) membahas tentang kompetensi sosiokultural pada penutur bukan asli
bahasa Inggris, kisaran strategi diantara penutur asli dan membandingkan
tanggapan penutur asli dan non. Responden dalam penelitian ini berjumlah 44
penutur yang terdiri dari 32 penutur Ibrani dan 12 penutur Inggis yang rata-
rata berumur 20 tahun. Penutur Inggis terdiri dari 5 laki-laki dan 7 perempuan,
sedangkan penutur Ibrani terdiri dari 20 laki-laki dan 12 perempuan. Analisis
respon dari penutur asli bahasa Inggris dan penutur asli bahasa Ibrani dalam
bahasa Ibrani, pada penelitian tersebut menggunakan modifikasi dari teori
Fraser, yaitu dengan empat formula semantik. Satu diantaranya dibagi menjadi
empat subformula. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penutur dari bahasa Inggris sebagai bahasa asing, menggunakan formula
11
semantik yang sama seperti penutur asli bahasa Inggris, ketika mereka mampu
menggunakannya. Temuan ini sesuai dengan Fraser (1979) bahwa formula ini
bersifat universal. Kadang-kadang penutur bukan asli menggunakan rumus ini
seperti halnya penutur asli dalam berbahasa Inggris. Kadang-kadang mereka
tidak menggunakan semua formula semantik yang diharapkan, baik karena
pengaruh pola bahasa asli atau karena kurangnya kemahiran dalam bahasa
target.
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, secara umum penelitian
tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian ini dalam hal kajian
permohonan maaf. Namun, fokus pada penelitian ini berbeda dengan penelitian
terdahulu. Penelitian berjudul “Tindak Tutur Permohonan Maaf Penutur Non
Arab Perspektif Olshtain dan Cohen” ini berfokus pada penutur bahasa Arab
yang berasal dari non Arab.
Pada penelitian ini, responden diambil dari latar belakang penutur non
Arab. Wijana dan Rahmadi (2006: 48) membagi jenis penutur menjadi dua
macam, yaitu penutur berkompeten (fully fledge speaker) dan penutur partisipatif
(unfully fledge speaker). Penutur berkompeten adalah penutur yang mampu
menggunakan bahasa dalam berbagai tindak komunikasi. Richard (dalam Wijana
dan Rahmadi, 2006: 49) menyebutkan syarat penutur berkompeten sebagai
berikut:
1. Memiliki pengetahuan gramatika dan kosa kata suatu bahasa.
2. Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah berbahasa, misalnya tentang cara
memulai pembicaraan, pengetahuan mengenai topik-topik pembicaraan
yang dapat digunakan dalam peristiwa tutur (speech event), pengetahuan
12
mengenai bentuk-bentuk sapaan (النداء) yang digunakan untuk menyapa
orang-orang dengan status sosial yang beragam dan dalam situasi yang
berbeda-beda dan sebagainya.
3. Pengetahuan tentang menggunakan dan merespon tipe-tipe tindak tutur
yang berbeda, seperti perintah, permohonan, permintaan maaf, ucapan
terimakasih dan sebagainya.
4. Pengetahuan tentang bagaimana berbicara secara wajar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, terdapat beberapa
rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu :
1. Bagaimana bentuk dan makna satuan lingual permohonan maaf oleh penutur
non Arab?
2. Bagaimana strategi ekspresi permohonan maaf yang digunakan oleh penutur
non Arab?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan bentuk dan makna satuan lingual permohonan maaf oleh penutur
non Arab.
2. Menjelaskan strategi ekspresi permohonan maaf yang digunakan oleh penutur
non Arab.
13
Penelitian ini bermanfaat sebagai gambaran secara umum mengenai
bentuk dan makna ekspresi permohonan maaf juga berbagai strategi permohonan
maaf dalam perspektif Olshtain dan Cohen. Penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangan dan kontribusi pada kemajuan kajian Pragmatik, khususnya untuk
kajian tindak tutur pada tindak tutur permohonan maaf.
D. Batasan Masalah
Pembatasan masalah diperlukan agar penelitian dapat terarah dan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai sehingga tidak terjadi penyimpangan pada
pokok permasalahan. Masalah dalam penelitian ini di batasi dalam aspek model
strategi yang digunakan dengan menggunakan strategi permohonan maaf yang
dimunculkan oleh Olshtain dan Cohen. Penelitian ini tidak menggunakan batas
minimal keberadaan responden di Timur Tengah, juga tidak sampai membahas
tentang transformasi budaya. Tuturan yang digunakan pada penelitian ini adalah
tuturan berbahasa Arab resmi (fuscha>).
E. Landasan Teori
1. Pragmatik
Pemakaian istilah pragmatik dipopulerkan oleh Charles Morris pada
tahun 1938, yang mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan tentang
semantik, beliau membedakan tiga cabang yang berbeda dalam penyelidikan,
yaitu pada aspek tata bahasa (syntax) yaitu ilmu yang mempelajari tentang
hubungan antarkata dalam kalimat, pada aspek makna (semantics) yaitu ilmu
yang mempelajari tentang makna kata dalam kalimat dan aspek pragmatik yaitu
14
ilmu yang mempelajari tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir, baik itu
kondisi psikologis, kehidupan maupun sosialnya (Tharifah, 2010: 5)
Pragmatik adalah ilmu yang mengandung pemahaman tentang kalimat,
kasus, juga konteks yang digunakan dalam bahasa (Lehwimel, 2011:163).
Senada dengan pengertian tersebut, Van Dijk (dalam Lehwimel, 2011: 163),
mendefinisikan pragmatik dengan ilmu yang mengandung syarat yang
terkandung dalam keberhasilan pada tindakan bahasa sesuai dengan konteks
yang ada.
Selanjutnya menurut Shochrowi (dalam Tharifah, 2010: 7) pragmatik
bukan hanya ilmu bahasa saja, akan tetapi pragmatik adalah ilmu komunikasi
baru yang mempelajari tentang fenomena bahasa yang terkait tentang
pemakaiannya beserta tafsirannya. Pragmatik menurut Leech (1983: 8) adalah
(study of meaning in relation to speech situations) studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Pragmatik adalah
studi tentang makna yang disampaikan penutur (pengirim pesan) kepada mitra
tutur (penerima pesan). Akibatnya studi ini banyak berhubungan dengan analisis
mengenai maksud dan fungsi dari suatu tuturan (Yule, 2006: 3).
Levinson (1983: 7-24) mendefinisikan pragmatik sebagai berikut:
a. The study of language from a functional perspective, that is, that it attempts to explain facets of linguistic structure by reference to non-linguistic pressures and causes. Pragmatik adalah kajian bahasa dari perspektif fungsional, maksudnya pragmatik berusaha menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu pada pengaruh-pengaruh dan gejala-gejala non-linguistik.
b. Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language.
15
Pragmatik merupakan studi bahasa yang memelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatikalisasi dan terkodifikasi dalam struktur bahasanya.
c. Pragmatics is the study of all those aspects of meaning not captured in a semantic theory. Pragmatik adalah kajian tentang aspek-aspek makna yang belum tercakup dalam teori semantik.
d. Pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic to an account of language understanding. Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan konteks berdasarkan pada pemahaman kebahasaan.
e. Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with contexts in which they would be appropriate. Pragmatik adalah studi tentang kemampuan pemakai bahasa untuk menyesuaikan kalimat-kalimat yang digunakannya dengan konteks yang cocok.
f. Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presupposition, speech acts, and aspects of discourse structure. Pragmatik adalah studi tentang deiksis (paling tidak sebagian), implikatur, presuposisi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana. Beberapa pengertian pragmatik yang telah disebutkan oleh para ahli diatas,
dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari tentang
makna yang terkandung dalam tuturan sesuai dengan konteks tuturan, juga ilmu
yang mempelajari tentang bentuk ekspresi menurut jarak sosial antar partisipan.
Pragmatik adalah ilmu tentang komunikasi, yang terdiri dari beberapa
pemahaman, di antaranya (1) tindak tutur (al-af’alul-kala>m), (2) implikatur
(mutadzamina>tul-qaul), (3) implikatur percakapan (al-istilza>mil-khiwa>ri>), dan (4)
dieksis (al-i>sya>riya>t) (Lehwimel, 2011: 162).
2. Tindak Tutur
Telah disebutkan oleh Lehwimeh (2011), bahwa tindak tutur (al-af’alul-
kala>m), merupakan bagian dari pragmatik. Istilah dan teori mengenai tindak tutur
diperkenalkan oleh J Austin (1962), seorang guru besar di Universitas Havard
pada tahun 1956 yang berasal dari materi kuliah yang kemudian dibukukan oleh
16
Urmson (1965) yang berjudul “How to do Thing with Word?”. Sebelum teori
tindak tutur muncul, para ahli bahasa beranggapan bahwa sebuah kalimat hanya
berfungsi untuk menggambarkan suatu keadaan atau untuk menyatakan suatu
fakta dan kalimat tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Austin (1962: 5)
berpendapat bahwa tidak semua kalimat semata-mata diujarkan untuk menyatakan
sesuatu. Menurut Austin (1962) dalam menuturkan sebuah kalimat, seseorang
tidak hanya menyatakan suatu hal tetapi ia juga melakukan tindakan. Teori
tersebut kemudian diperluas oleh J. Searle (1969) dalam bukunya “Speech Act
and Essay in The Philosophy of Language” (Chaer dan Agustina, 2010: 50).
Tindak tutur menurut Nachlah (2011: 42-44) adalah sebuah ungkapan
yang tidak mengandung sebuah kebenaran atau kesalahan dan tidak ditujukan
untuk membuat pernyataan akan tetapi ditunjukkan untuk sebuah pekerjaan.
Nachlah (2011: 42) menyebutkan bahwa tindak tutur adalah salah satu bagian
penting dalam pragmatik, bahkan tindak tutur adalah nama lain dari pragmatik
pada saat pragmatik ditemukan. Tindak tutur merupakan salah satu fenomena
dalam masalah yang luas, yang dikenal dengan istilah pragmatik (Chaer dan
Agustina, 2010: 56).
Para ahli tata bahasa tradisional membagi kalimat menjadi tiga bagian,
yaitu (1) kalimat deklaratif, (2) kalimat interogatif, dan (3) kalimat imperatif.
(Chaer dan Agustina, 2010: 50). Austin (dalam Lehwimel, 2011: 160) membagi
kalimat deklaratif bedasarkan maknanya menjadi dua bagian, yaitu: kalimat
performatif dan kalimat konstantif.
17
a. Tuturan konstantif ( يةالخبر كلام )
al-Khabariyah merupakan nisbah dari lafadz khabar (Anwar, 1989: 19).
Kalimat ini menetapkan bahwa peran kalimat dibatasi hanya dalam keterangan
dari keadaan, penetapan sesuatu yang telah terjadi yang benar atau salah, yaitu,
kalimat yang sesuai dengan standar kebenaran dan kebohongan (Lehwimel, 2011:
160).
Kala>m khabariyah menurut a’d-Damanhuri (TT: 33) adalah:
ما احتملت الصدق و الكذب
/ma> ichtamalatish-shidqa wal-kadziba/. ‘perkataan yang mengandung kebenaran atau kebohongan’.
Kalimat konstantif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka (Chaer
dan Agustina, 2010: 51). Misalnya pada tuturan 1 berikut:
في هذا الصباح يستيقظ متأخّر )1(
/Yastaiqizhu muta'akhkhiran fi> ha>dza>sh-shaba>ch/. ‘Pagi ini, ia terlambat bangun’.
a’d-Damanhuri (TT: 34) membagi arti kalam khabariy menjadi empat
macam, yaitu:
1) Benar jika sesuai hukum khabar, yaitu dengan bukti/kenyataan dan
bohong jika tidak sesuai dengan hukum khabar.
2) Benar jika sesuai dengan i’tikad penutur, meskipun berbeda dengan
kenyataannya dan bohong jika tidak sesuai dengan i’tikad meskipun sesuai
kenyataan.
3) Benar jika sesuai dengan kenyataan serta i’tikad dan bohong jika tidak
sesuai dengan kenyataan serta i’tikad.
18
4) Benar jika sesuai dengan kenyataan atau dengan i’tikad dan bohong jika
tidak sesuai dengan kenyataan atau dengan i’tikad.
b. Tuturan performatif ( الإنشائية كلام )
Kalimat performatif adalah tuturan yang tidak mengandung benar atau
salah, sebagaimana yang digunakan oleh para ahli tata bahasa, retorika, ilmu fiqih,
ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainya (Lehwimel, 2011:160).
Kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya tuturan
yang diucapkan oleh si pengujar adalah sesuatu yang dilakukannya (Chaer dan
Agustina, 2010: 51). Menurut Chaer dan Agustina (2010), kalimat performatif
harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
1) Ucapan harus dilakukan orang tertentu yang ditunjuk.
2) Urutan peristiwa sudah baku. Artinya, peristiwa pengucapan kalimat
terjadi setelah serangkaian acara lain yang harus mendahuluinya sudah
dilakukan dan akan disusulkan dengan peristiwa lain.
3) Yang hadir dalam peristiwa tersebut harus turut serta dan tidak dibenarkan
untuk melakukan hal yang lain.
4) Peristiwa tersebut harus dilakukan secara lengkap.
Menurut Lehwimel (2011) kalimat performatif dalam bahasa Arab
disepadankan dengan kala>mul-insya’iyah. al-Jarim dan Amin (2007: 153)
mendefinisikan insya’ dengan
ما لا يصحّ أن يقال لقائله انه صادق فيه او كاذب/Ma> la> yushichcha an yuqa>la liqa>’ilihi innahu sha>diqun fi>>hi au ka>dzibun/.
19
‘Kalimat yang pembicaranya tidak dapat dikatakan sebagai orang yang benar atau dusta’.
Misalnya seorang dosen berkata kepada salah satu mahasiswanya اقفل الباب
/iqfilil-ba>b/ ‘tutuplah pintu itu!’, maka tuturan tersebut bukan termasuk pada
tuturan benar atau bohong. Karena setelah tuturan tersebut diucapkan oleh penutur,
maka yang dilakukan mitra tutur adalah dengan melakukan perbuatan yang
diperintahkan oleh penutur.
Pengertian lain tentang insya’ didefinisikan oleh a’d-Damanhuri (TT: 115)
sebagai berikut:
مركّب لا يحتمل الصدق و لا الكذب/Murakkabun la> yachtamilush-shidqa walal- kadziba/. ‘Susunan kalimat yang tidak bisa dinisbatkan kepada benar atau salah’.
al-Jarim dan Amin (2007: 182) membagi tuturan insya’ menjadi dua macam,
yaitu thalabi dan ghairu thalabi:
1) Thalabi
Kalam thalabi adalah kalam yang menghendaki terjadinya sesuatu
yang belum terjadi pada waktu kalimat itu diucapkan. Kalam ini dapat
berupa amr (perintah), nahi> (larangan), istifham (pertanyaan), tamanni>
(harapan) dan nida>’(panggilan).
a) Amr
Amr adalah menuntut dilaksanakannya suatu pekerjaan dari
pihak yang tinggi ke pihak rendah. Akan tetapi, redaksi amr terkadang
tidak menggunakan makna asli, melainkan makna yang lain. Makna
tersebut adalah bimbingan (irsya>d), permohonan (do’a), tawaran(iltima>s),
20
harapan yang sulit tercapai (tamanni), melemahkan mukhattab (ta’jid),
ancaman(ta’hid) dan kebolehan(iba>chah).
Amr mempunyai empat macam redaksi, yaitu fi’il amr, fi’il
mudhari’ yang didahului dengan lam amr, ism fi’il amr dan masdar yang
menggantikan fi’il amr (al-Jarim dan Amin, 2007: 191).
Contoh , Tuturan 2:
أطلب عفوا منكم )2(/Athlubu ‘afwan minkum/. ‘Saya mohon maaf kepada kalian’.
Fi’il أطلب merupakan bentuk dari fi’il amr.
b) Nida>’
Nida>’ adalah menghendaki menghadapnya seseorang dengan
huruf yang menggantikan lafadz ad’u>. Huruf-huruf nida>’ ada delapan,
yaitu hamzah (أ), ay (أي), ya> (يا), a> (آ), a>y (آى), aya> (أيا), haya> (هيا), dan wa> (وا).
Hamzah dan ay digunakan untuk memanggil yang dekat, sedangkan
huruf nida>’ yang lain digunakan untuk yang jauh. Akan tetapi, terkadang
aturan tersebut tidak dipatuhi dikarenakan atas dekatnya orang yang
dipanggil (muna>da) dalam hati orang yang memanggilnya atau juga
karena sebagai isyarat atas ketinggian derajat muna>da, kerendahan
martabatnya, atau kelalaian dan kebekuan hatinya (al-Jarim dan Amin,
2008: 224). Tuturan 3:
صديقي لقد ظننت أنك... عفوا يا أخ )3(/‘afwan ya> akhi… laqad zhanantu annaka shadi>qi>/. ‘Maaf wahai saudaraku..saya kira bahwa kamu adalah temanku’.
21
2) Ghairu thalabi
Kalam ghairu thalabi adalah kalam yang tidak menghendaki
terjadinya sesuatu. Kalam ini berupata’ajub (kata untuk menyatakan pujian),
adz-dzamm (kata untuk menyatakan celaan), qasam (janji), kata-kata yang
diawali dengan af’alul raja (kata kerja harapan), dan kata-kata yang
mengandung makna transaksi.
3. Konteks tuturan
Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan konteks
berdasarkan pada pemahaman kebahasaan. Konteks sebagai pijakan pragmatik
merupakan suatu kunci utama dalam proses pemahaman teks atau wacana, baik
wacana lisan maupun tulis (Ainin, 2010: 34).
Pemahaman teks atau wacana oleh setiap individu dapat berbeda-beda.
Sehubung dengan beberapa macam maksud yang mungkin dikomunikasikan
dalam penuturan sebuah tuturan, Leech (1993: 19-20) mengemukakan sejumlah
aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik,
aspek-aspek tersebut adalah:
a. Penutur dan lawan tutur
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan
pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan.
Aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar
belakang sosial, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan lain-
lain.
22
b. Konteks tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua
aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks
yang bersifat fisik lazim disebut dengan koteks, sedangkan konteks seting
sosial disebut konteks. Konteks dalam pragmatik adalah semua latar belakang
pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.
Konteks adalah hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan fisik dan
sosial sebuah tuturan atau bisa juga merupakan latar belakang pengetahuan
yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur. Konteks berperan
penting dalam penentuan berhasil atau tidaknya sebuah tujuan tuturan
(Levinson, 1983: 9).
c. Tujuan tuturan
Tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi olehmaksud
dan tujuan tertentu. Bertutur dalam pragmatik merupakan aktivitas yang
berorientasi pada tujuan (goal oriented activities).
d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi
dalam situasi tertentu. Pragmatik menangani bahasa dalam hal yang lebih
konkrit dibandingkan dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkrit
jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.
e. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan dalam pragmatik, seperti yang telah
dijelaskan pada point ke empat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh
karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan tindak verbal. Misalnya, ketika
23
seoseorang datang kerumah temannya, ia memanggil nama temannya dari luar
rumah dengan namanya. Panggilan tersebut dapat ditafsirkan sebagai
perhatian atau perintah, yaitu perintah untuk membukakan pintu rumah.
4. Tindak tutur ekspresif
Searle (1962) mengemukakan bahwa secara pragmatis, setidaknya ada tiga
macam tindak tuturyang dapat diwujudkan oleh penutur, yakni lokusi ( فعل اللفظىال ),
ilokusi (الفعل الإنجازى), dan perlokusi (الفعل التأثيرى) (Searle, 1969: 23-24; Nachlah,
2011: 37). Berdasarkan ilokusi, Searle (1979) membagi tindak tutur menjadi lima
jenis, yakni asertif (الإخباريات), direktif (التوجيهيات), komisif (الإلتزاميات), ekspresif
(Searle, 1979: 12-16; Nachlah, 2011: 51-52) (الإعلانيات) dan deklaratif ,(التعبيريات)
Tindak tutur ekspresif ialah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud
agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam
ujaran tersebut. Misalnya: apologize (meminta maaf), commiserate (merasa ikut
bersimpati), congratulate (mengucapkan selamat), pardon (memaafkan), dan
thank (berterimakasih) (Leech, 1983: 328).
Yule (2006: 93) mendefinisikan tindak tutur ekspresif adalah jenis tindak
tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ini
merupakan pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan,
atau kesengsaraan. Tindak tutur ekspresif mungkin disebabkan oleh suatu yang
dilakukan oleh penutur atau mitra tutur, tetapi semuanya merupakan pengalaman
penutur.
24
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang mengungkapkan perasaan
perasaan penutur pada saat rela, marah, bahagia, sedih, sukses dan lain sebagainya.
Tindak tutur ini tidak hanya terjadi pada saat kejadian menimpa penutur, akan
tetapi tuturan ini dapat terjadi pada saat suatu kejadian dialami oleh mitra tutur.
Tindak tutur ekspresif ini misalnya adalah ucapan terimakasih, permohonan maaf,
ucapan selamat, pengharapan, kerinduan, kebencian dan lain sebagainya (Nachlah,
2011: 108). Sebagaimana yang telah tertulis dalam ayat al-Qur’an:
م منيّ ظ وهن العإنيّ ربيّ )4(
/Rabbi> inni> wahanal-‘azhmu minni>/. ‘Tuhanku, sungguh tubuhku telah melemah’. Ayat tersebut merupakan tuturan ekspresif yang diucapkan oleh nabi
Zakariya. Tuturan ekspresif tersebut memperlihatkan perasaan yang sedang
dirasakan Zakariya, yaitu rasa kelemahan pada diri Zakariya yang disebabkan
oleh tulang yang sudah tua.
5. Strategi permohonan maaf
Permohonan maaf merupakan salah satu tindak tutur yang termasuk dalam
tindak tutur ekspresif. Searle (1979: 15) mengklasifikasikan tindak tutur
permohonan maaf kepada klasifikasi ilokusi ekspresif yang berfungsi untuk
mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam
ilokusi. Permohonan maaf adalah tuturan ekspresif yang cenderung
menyenangkan dan kurang kompetitif. Oleh karena itu, secara intrinsik ilokusi ini
sopan. Lebih tepatnya Searle meletakkan ilokusi ekspresif ini sebagai bentuk
sopan santun positif yang berbeda (Leech, 1983: 166).
25
Tindak tutur permohonan maaf dituturkan ketika ada beberapa perilaku
yang telah melanggar norma-norma sosial. Ketika suatu tindakan atau ucapan
telah menyinggung orang lain dan menjadikan penutur sebagai orang yang
bersalah, maka ia perlu memohon maaf (Olshtain dan Cohen, 1983: 21). Blum-
Kulka dan Olshtain (1989: 206) menyebutkan tindak tutur permohonan maaf
umumnya merupakan tindakan pasca-acara, yaitu setelah penutur melakukan
pekerjaan yang dianggap telah melanggar norma.
Tindak tutur permohonan maaf dilakukan ketika penutur ingin
memperbaiki hubungan dengan mitra tutur. Hal ini dikarenakan penutur telah
melakukan pelanggaran dan akan menyelamatkan mukanya dari mitra tutur.
Tindak tutur permohonan maaf dapat dipicu oleh situasi tertentu. Bisa jadi
seseorang perlu untuk memohon maaf ketika menyakiti orang lain secara tidak
sengaja. Namun derajat keparahan dalam situasi berbeda berbeda sesuai dengan
perilaku yang mungkin membutuhkan berbagai jenis strategi permohonan maaf
dan intensitas yang berbeda (Olshtain dan Cohen, 1983: 19-20).
Seorang penutur dapat menuturkan permohonan maaf yang disebabkan
oleh beberapa hal. Olshtain dan Cohen (1983: 21) menjelaskan hal-hal tersebut
sebagai berikut:
a. Harapan mitra tutur.
Tindak tutur permohonan maaf yang dituturkan oleh penutur merupakan
harapan mitra tutur atas tingkat kesalahan yang dilakukan penutur, sehingga
penutur merasa bahwa dirinya perlu memohon maaf sebagai ganti dari kesalahan
yang telah ia perbuat.
26
b. Persepsi penutur tentang tingkat kesalahan.
Pandangan pemohon maaf pada persepsi dirinya tentang tingkat beratnya
pelanggaran juga dapat menjadi penyebab seseorang memohon maaf. Penutur
beranggapan bahwa memohon maaf adalah salah satu cara untuk mengembalikan
hubungan baik antara kedua belah pihak dikarenakan tingginya kesalahan.
c. Persepsi penutur tentang besar kemungkinan diterimanya permohonan maaf.
Penutur berpandangan bahwa salah satu cara untuk menyesaikan masalah
antara dirinya dengan mitra tutur adalah dengan memohon maaf, karena ia melihat
bahwa tingkat diterimanya permohonan maaf dari penutur tergolong besar.
d. Interaksi yang baik antara penutur dan mitra tutur
Interaksi yangbaik antara penutur dan mitra tutur juga menyebabkan
seseorang untuk memohon maaf. Hubungan yang baik yang telah dijalin oleh
kedua belah pihak menimbulkan rasa untuk memperbaiki kesalahan dengan
memohon maaf ketika kesalahan terjadi. Penutur tidak menginginkan hubungan
yang telah dijalin akan rusak dikarenakan satu kesalahan.
e. Status sosial dari penutur dan mitra tutur.
Penyebab terjadinya tuturan permohonan maaf dapat berasal dari status
sosial antara kedua belah pihak, yaitu penutur dan mitra tutur. Misalnya hubungan
antara karyawan dan bos. Jika salah satu dari kedua pihak melakukan kesalahan
yang belum terselesaikan, maka tugas yang mereka emban akan bermasalah,
sehingga akan merugikan banyak pihak lainnya. Permohonan maaf merupakan
salah satu cara untuk menghindari perluasan masalah tersebut. Penutur
beranggapan bahwa jika ia memohon maaf, maka hubungan kedua belah pihak
akan harmonis kembali.
27
f. Nada suara
Penyebab permohonan maaf yang terakhir adalah nada suara yang
digunakan oleh mitra tutur. Nada suara yang berfungsi untuk menyampaikan
makna agar penutur memohon maaf.
Olshtain dan Cohen (1983: 22-23) membagi strategi-strategi permohonan
maaf menjadi lima strategi, yaitu (1) an expression of an apology (ekspresi
permohonan maaf), (2) an explanation or account of the situation (penjelasan
keadaan), (3) an acknowledgment of responsibility (pertanggungjawaban), (4) an
offer of repair (tawaran perbaikan), dan (5) a promise of forbearance (janji untuk
tidak mengulangi). Untuk lebih jelasnya, strategi-strategi tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut:
a. Ekspresi permohonan maaf /an expression of an apology
Strategi ini merupakan strategi langsung dari permohonan maaf yang
dilakukan melalui ilokusi eksplisit, yaitu dengan mengungkapkan kata,
ekspresi, kalimat yang mengandung verba performatif permohonan maaf
(Cohen, Olshtain, dan Rosentain, 1986: 51). Blum-Kulka dan Olshtain (1984:
206) menyebutkan ilokusi eksplisit tersebut dengan an Explisit Illocutionary
Force Indicating Device (IFID).
Blum-Kulka dan Olshtain (1984: 2007) ; al-Adaileh (2007: 148-153)
memberikan enam apology IFID type. Tipe tersebut adalah sebagai berikut:
Type (performative verb) Examples
English Arabic
1 (be) Sorry a>sif I’m sorry (that) I’m solate
2 Excuse Excuse me for being late again
28
3 Apologize A’tadzir I apologize for coming late to the meeting
4 Forgive Sa>michni> Forgive me for coming late
5 Regret I regret that I can’t help you
6 Pardon ‘Afwan Pardon me for interrupting
Tabel 1: Apology IFID Types
Ekspresi permohonan maaf dalam bahasa Arab dapat berupa (‘‘afwan,
ma’dzirah, asta’fi>, a’tadzir, sa>machani> dan a>sif). Ekspresi-ekspresi tersebut
telah mewakili tuturan permohonan maaf secara umum, walaupun tidak diikuti
oleh kalimat apapun.
b. Penjelasan keadaan/ an explanation or account of the situation
Keadaan yang terjadi berpotensi muncul dalam strategi permohonan
maaf. Strategi ini digunakan oleh penutur untuk memberikan alasan serta
menggambarkan keadaan yang telah terjadi dan yang menyebabkan kesalahan.
Strategi ini digunakan untuk menyamakan presepsi antara penutur dan mitra
tutur, sehingga terlihat jelas kesalahan yang terjadi dan seberapaberat
kesalahan tersebut. Contoh, tuturan 5:
ستيقظ متأخّرةأ )5(
/Astaiqizhu muta'akhkhiratan/. ‘Saya terlambat bangun’.
c. Ungkapan pertanggungjawaban/ an acknowledgment of responsibility
Pertanggungjawaban digunakan penutur untuk memohon maaf atas
kesalahan penutur kepada mitra tutur, pertanggungjawaban ini dimaksudkan
29
untuk menenangkan mitra tutur. Ungkapan pertanggungjawaban ini terbagi
menjadi empat bagian, berikut pembagian sesuai tingkatannya:
1) Pengakuan kesalahan/accepting the blame.
Substrategi ini dilakukan dengan cara penutur mengakui kesalahan
yang terjadi adalah perbuatan yang dilakukan oleh penutur. Pengakuan
kesalahan ini dilakukan penutur sebagai bentuk pertanggungjawabannya
kepada mitra tutur. Contoh,tuturan 6:
ئياطهذا خ )6(
/Ha>dza> khatha>'i>/. ‘Ini adalah salahku’.
2) Ekspresi pengungkapan kekurangan diri/expresing self-deficiency.
Pada strategi ini, penutur mengungkapkan sifat yang ada pada
dirinya, seperti pelupa, ceroboh, tidak teliti, dan lain sebagainya.
Ungkapan sifat diri ini ditujukan untuk bertanggungjawab atas perbuatan
yang telah penutur lakukan. Contoh,tuturan 7:
نسيت جدّا )7(
/Nasi>tu jiddan/. ‘Saya sungguh lupa’.
3) Mengakui orang lain yang layak untuk menerima permohonan
maaf/recognizing the other person as deserving apology.
Substrategi ini digunakan jika penutur menganggap bahwa orang lain
berhak menerima sebuah permohona maaf. Pada substrategi ini, penutur
menganggap argumen yang diutarakan oleh mitra tutur lebih kuat
dibandingkan alasan penutur. Contoh, tuturan 8:
30
صدقت )8(
/Shadaqta/. ‘Kamu benar’.
4) Ekspresi ketiadaan maksud/expressing lack of intens.
Substrategi ini merupakan pertanggungjawaban penutur atas
ketidaksengajaan atau ketiadaan maksud penutur atas kesalahan yang
terjadi. Kesalahan tersebut merupakan kejadian yang tidak sesuai dengan
harapan dan kemauan penutur atau merupakan sebuah kejadian yang
terjadi secara tiba-tiba. Substrategi ini ditandai dengan ungkapan
ketidaksengajaan. Contoh, tuturan 9:
بذالك قصد ألا )9(
/La> aqsudu bi dza>lika/. ‘Saya tidak bermaksud demikian’.
d. Tawaran perbaikan/ an offer of repair
Strategi ini merupakan kesediaan penutur untuk menawarkan perbaikan
atas kesalahan kepada mitra tutur, dengan tujuan penutur dapat menerima
permohonan maaf dari mitra tutur dan juga dapat menyelamatkan muka
penutur. Tawaran perbaikan juga berfungsi untuk menawarkan pembayaran
terhadap kerugian mitra tutur. Tawaran perbaikan ini dapat berupa tindakan,
ataupun hal material sesuai dengan konteks kejadian. Contoh, tuturan 10:
قاء إلى الغد إن شاء االلهل اللّ سنؤجّ )10(
/Sa nu'ajjilul-liqa>’a ila>l-ghadi in sya>'alLah/. ‘Kita akan menyegerakan pertemuan kita besok jika Allah menghendaki’.
31
e. Pernyataan janji untuk tidak mengulanginya/ a promise of forbearance.
Pernyataan ini digunakan oleh penutur atas kesalahan yang telah
dilakukan. Strategi ini muncul ketika pemohon maaf berkomitmen pada
dirinya untuk tidak melakukan pelanggaran lagi. Strategi ini jarang digunakan
dalamberbagai situasi. Contoh, tuturan 11:
لا أكرّر مرةّ ثانية )11(
/La> ukarriru marratan tsa>niyatan/. ‘Saya tidakakan mengulangi lagi’.
Kelima strategi tersebut merupakan strategi yang digunakan pada
tuturan permohonan maaf. Faktor yang mempengaruhi keputusan penutur
untuk meminta maaf dalam memulihkan wajah mitra tutur berbeda-beda.
kemungkinan paling signifikan dari faktor-faktor ini adalah tingkat
pelanggaran atau keseriusan pelanggaran. Selain itu, budaya dan unsur
kontekstual yang mempengaruhi keputusan untuk meminta maaf, dan
mempengaruhi strategi seleksi. Parameter sosial jarak, kekuatan, dan usia
mungkin juga berkontribusi, dalam latar belakang budaya, untuk intensifikasi
permintaan maaf. Blum-kulka dan Olshtain (1989: 208) menyebutkan dua
intensifikasi strategi permohonan maaf yaitu:
a. Intensitas permohonan maaf/intensification.
Kemunculan intensitas ini bertujuan untuk membuat tuturan
permohonan maaf semakin kuat. Strategi ini merupakan wujud dari
kesungguhan penutur untuk menjaga dan menghormati muka dari mitra tutur.
Misalnya kata جدّا /jiddan/ ‘sangat’.
32
b. Perhatian pada pendengar/ concern for the hearer
Intensifikasi dilakukan dengan cara memberikan perhatian kepada
mitra tutur. Olshtain (1983) mengatakan bahwa pada beberapa situasi,
ungkapan ini juga sering muncul sebagai bentuk pengharapan atau sesuatu
yang ingin diminta kepada pendengar. Contoh, tuturan 12:
.…والوداد ةالمحبّ دوام امنّ ولكم لخير كلا لكم نتمنىّ )12(
/Natamanna> lakum kullal-khaira wa lakum minna> dawa>mal-machabbati wal-wida>di/. ‘Kami berharap semoga kamu mendapatkan kebaikan dan cinta serta kasih sayang yang berlanjut’.
Pengklasifikasian yang dibuat oleh Olshtain dan Cohen (1986) di atas akan
digunakan untuk menganalisis data untuk mendapatkan pola strategi yang muncul
pada penelitian ini.
F. Sumber Data dan Data
Sudaryanto (1988: 9-10) mendefinisikan data dengan suatu bahan
penelitian, yaitu bahan yang diharapkan dapat menjelaskan objek material, karena
di dalam bahan itu terdapat objek penelitian yang dimaksud.
Data penelitian ini adalah tuturan permohonan maaf dari mahasiswa
Indonesia yang sedang berada di Timur Tengah. Data dikumpulkan melalui pesan
dalam jejaring sosial kepada informan berdasarkan delapan situasi dengan sampel
enam penutur yang berasal dari universitas di Sudan, Saudi dan Mesir. Keenam
penutur tersebut adalah Muhammad Ridwan Syarifuddin jurusan ushul tarbiyah
semester 2, Uji Efendi jurusan syari’ah semester 2, Muhammad Burhanuddin
jurusan syari’ah semester 8, Pandu Aditya jurusan ushuluddin filsafat semester 8,
33
Abdul Muiz Mustofa Nur Salim jurusan syari’ah semester 4, dan Fauqiyatu
Taqwa jurusan fiqih perbandingan semester 2.
G. Metode Penelitian
Dalam pemecahan masalah suatu penelitian, hendaknya melalui beberapa
tahapan metode. Menurut Sudaryanto (1993: 5-7), tahapan tersebut dibagi
menjadi tiga urutan, yaitu: penyediaan data, analisis data yang telah disediakan,
dan penyajian hasil analisis data yang bersangkutan. Berikut tahapan-tahapan
tersebut:
1. Tahap penyediaan data
Penyediaan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara pengambilan
sampel. Efendi dan Tukiran (2012: 157-158), membagi dua kelompok besar
dalam metode pengambilan sampel, yaitu sampel probabilitas (pobability
sampling) dan sampel nonprobabilitas (non probability sampling). Sampel
probabilitas mengandung pengertian bahwa setiap unsur populasi mempunyai
kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Lain halnya dengan sampel
probabilitas, sampel nonprobabilitas mempunyai maksud setiap unsur dari
populasi tidak Memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel.
Metode sampel nonprobabilitas dapat digunakan apabila suatu penelitian tidak
bertujuan untuk melakukan generalisasi atas satu sampel. Penelitian tersebut
semata-mata hanya ingin mendapatkan kesan mengenai hal-hal tertentu.
Keuntungan dari sampel nonprobabilitas ialah prosedurnya tidak berbelit
belit, jauh lebih murah, dan dapat dilakukan saat tertentu, saat respondennya dapat
diraih tanpa prosedur statistik yang kompleks. Sampel yang ditarik secara
34
nonprobabilitas dapat dianggap cukup bila penelitian yang dilakukan tidak
berminat untuk membuat generalisasi penemuannya diluar sampelnya, atau jika
penelitiannya semata-mata dipakai sebagai percobaan untuk membuat penelitian
yang lebih besar (Slamet, 2006: 61).
Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel nonprobabilitas.
Karena pada penelitian ini, semata-mata ingin mendapatkan kesan, yaitu tentang
pengadopsian teori permohonan maaf oleh Olshtain dan Cohen yang diterapkan
pada penutur bahasa Arab non Arab.
Efendi dan Tukiran (2012: 157) membagi metode sampel nonprobabilitas
menjadi lima jenis, yaitu sampel purpositif, sampel kuota, sampel jenuh, sampel
aksidental, dan sampel bola salju. Jenis pengambilan sampel yang digunakan pada
penelitian ini adalah pengambilan sampel aksidental.
Sampel aksidental (accidental sampling) dengan pengambilan sempel
berdasarkan orang yang kebetulan ditemukan atau orang yang mudah ditemui atau
dijangkau (Soehartono, 1995: 62). Senada dengan pengertian tersebut, Slamet
(2006:61) mendefinisikan sampel aksidental (Convenience sampling/accidental
sampling) adalah di dalam cara pengambilan sampel peneliti semata-mata
memilih siapa saja yang dapat diraih pada saat penelitian diadakan sebagai
respondennya.
Responden pada penelitian ini adalah mahasiswa yang berasal dari
Indonesia yang dapat menggunakan bahasa Arab, khususnya yang sedang berada
di Timur Tengah dengan menggunakan metode sampel aksidental. Kemudian
responden diminta mengisi tes penyelesaian percakapan sebagai seorang yang
akan memohon maaf karena kesalahan dalam kasus tersebut.
35
Metode tes penyelesaian percakapan atau disebut Discourse Completion
Test (DCT) tersebut merupakan nama yang diberikan oleh para ahli
sosiopragmatik untuk sebuah penelitian yang menggunakan wawancara. DCT
adalah sebuah kuisioner yang biasanya digunakan untuk memahami pendapat,
pengambilan sikap dan tindakan dari responden (al-Adaileh, 2007: 90). Kuisioner
tersebut terdapat beberapa kasus tentang kesalahan yang dilakukan oleh manusia.
Kemudian dari kuisioner tersebut akan didapatkan sebuah data permohonan maaf
yang menjadi objek penelitian.
2. Teknik analisis data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu
dengan metode agih dan padan.
a. Metode Agih
Metode agih disebut juga sebagai metode distribusional, yaitu
metode analisis yang alat penentunya ada di dalam dan merupakan bagian
dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1993: 15).
Teknik dasar metode agih pada penelitian ini adalah teknik bagi
unsur langsung (BUL), yaitu teknik analisis data dengan cara membagi
satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur. Bagian-bagian
atau unsur-unsur tersebut dipandang sebagai bagian atau unsur yang langsung
membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31).
Teknik BUL pada penelitian ini memiliki teknik lanjutan, yaitu
teknik lesap. Teknik lesap dilaksanakan dengan melesapkan (melepaskan,
menghilangkan, menghapuskan, mengurangi) unsur tertentu suatu lingual
yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 37). Teknik lesap digunakan untuk
36
mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan. Unsur yang dilesapkan
tersebut adalah unsur yang selalu menjadi pokok perhatian dalam analisis.
Jadi, bila dalam tuturan berbentuk ABCD unsur D dilesapkan (sehingga
menghasilkan ABC) maka, unsur D tersebut yang menjadi pokok perhatian.
(Sudaryanto, 1993: 41-42). Metode agih dengan teknik bagi unsur langsung
dan dilanjutkan dengan teknik lesap ini digunakan dalam pembahasan pada
bab dua untuk menentukan unsur pokok dalam permohonan maaf.
b. Metode Padan
Metode padan adalah metode analisis yang alat penentunya ada di
luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (Sudaryanto, 1993: 13).
Penggunaan metode ini bertujuan untuk menentukan kejatian atau identitas
objek penelitian. Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode padan pragmatis, yakni metode padan yang alat penentunya mitra
wicara (Sudaryanto, 1993: 15).
Metode ini memiliki dua teknik, yaitu teknik dasar dan teknik
lanjutan. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu
dengan daya pemilah sebagai pembeda reaksi dan kadar keterdengaran.
Sedangkan teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
hubung banding menyamakan hal pokok untuk menentukkan strategi
permohonan maaf.
Data yang diperoleh akan dianalisis dan diklasifikasikan berdasarkan
pola strategi yang digunakan oleh responden. Selanjutnya data dianalisis
menurut model-model yang dikemukakan oleh Olshtain dan Cohen. Setelah
37
semua data tercukupi dan terklasifikasi, pada tahap akhir akan dilakukan
prosentase terhadap strategi yang digunakan.
H. Tahap penyediaan hasil analisis
Tahap penyediaan hasil analisis dalam penelitian ini adalah secara
informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa
yang dirangkai secara deskriptif, juga menggunakan prosentase perbandingan
strategi permintaan maaf yang diperoleh dari data.
I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penelitian ini terdiri dari empat bab yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu bab satu yang berupa pendahuluan, bab dua dan
tiga berisi tentang pembahasan dan bab empat berisi tentang penutup. Masing
masing bab memiliki subbab yang saling berkaitan satu sama lain. Sistematika
atau tatanan penulisan dari penelitian ini terdiri dari:
Bab I Pendahuluan
Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian, batasan masalah, landasan teori, sumber data dan
data, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II Bentuk dan makna satuan lingual permohonan maaf
Membahas tentang hasil analisis bentuk serta makna yang terkandung
dalam ungkapan permohonan maaf.
Bab III Strategi tuturan permohonan maaf.
Membahas tentang hasil analisis Strategi permohonan maaf perspektif
Olshtain dan Cohen.