BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radar (Radio Detection and Ranging)
Radar merupakan metode penginderaan jauh gelombang mikro aktif yang
meliputi pencitraan pulsa energi gelombang mikro dari sensor ke target dan
kemudian mengukur pulsa balik atau sinyal pantulan (backscatter). Pemanfaatan
radar dikalangan militer antara lain untuk menentukan dan pendeteksian objek
pada kondisi malam hari, tersamarkan atau tertutupi kamuflase dan dalam cuaca
yang berawan serta untuk navigasi pesawat udara dan kapal laut, sedangkan radar
untuk keperluan sipil dimulai tahun 1960-an (Lo 1996).
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), radar merupakan suatu cara yang
menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan
letak posisinya, prosesnya meliputi transmisi ledakan pendek dan atau pulsa
tenaga gelombang mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya
dari asal gema ”echo” atau pantulan yang diterima dari objek dalam sistem
medan pandang.
Sistem penginderaan jauh dengan sistem radar (microwave remote
sensing) ini sangat berbeda dengan sistem optik karena permukaan bumi yang
diindera tidak menggunakan energi matahari tetapi menggunakan energi yang
disuplai dari sensor sendiri (sensor aktif). Sistem optik sangat bergantung pada
scattering dan penyerapan yang disebabkan oleh klorofil, struktur daun, ataupun
biomassa, sedangkan sensor dari sistem radar tergantung dari struktur kasar tajuk,
kadar air vegetasi, sebaran ukuran bagian-bagian tanaman dan untuk panjang
gelombang tinggi tergantung pada kondisi permukaan tanah (Jaya 2007).
Sifat sistem radar dipengaruhi oleh: (1) Panjang gelombang dan
kemampuan daya tembusnya terhadap atmosfer dan permukaan tanah, dan (2)
Sudut depresi antena merupakan salah satu aspek geometrik pada citra radar dan
penyebab terjadinya efek backscatter radar, efek bayangan pada objek (Purwadhi
2001).
4
Daya tembus terhadap atmosfer paling baik pada panjang gelombang yang
lebih besar karena tidak terpengaruh hambatan atmosfer, sedangkan daya tembus
terhadap permukaan tanah tergantung panjang gelombang dan konstanta dielektrik
objeknya. Daya tembus besar pada panjang gelombang lebih besar dan material
penutup kurang dari 1/10 panjang gelombangnya (biasanya sekitar 2-3 meter),
daya tembus kecil pada konstanta dielektrik tinggi (objek yang kelembabannya
tinggi) (Daulay 2011).
Panjang gelombang radar lebih dari 3 cm hanya sedikit berpengaruh oleh
awan, kabut tebal, asap dan kabut tipis, dan hanya panjang gelombang yang besar
yang benar-benar mampu menembus hujan lebat. Pada panjang gelombang yang
lebih kecil, pantulan radar oleh tetes-tetes air masih dapat berpengaruh sehingga
memberikan faktor gangguan yang sangat tinggi. Panjang gelombang yang lebih
besar akan menghasilkan informasi yang jauh lebih sedikit mengenai kekasaran
permukaan vegetasi dibandingkan panjang gelombang yang lebih kecil, tetapi
panjang gelombang yang lebih besar akan banyak memberikan informasi
mengenai kondisi medan. Di bidang kehutanan, panjang gelombang yang kecil
lebih disukai, sedangkan para ahli tanah dan geologi biasanya lebih menyukai
panjang gelombang yang lebih besar, karena akan diperoleh lebih banyak
informasi yang relevan (Howard 1996).
2.2 Parameter Sistem Radar
2.2.1 Panjang Gelombang
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal
sistem radar adalah panjang gelombang. Riansyah (2008) menyatakan bahwa
intensitas hambatan balik tergantung pada sifat kekasaran muka objek (surface
ruoghness), daerah panjang gelombang mikro yang digunakan dan polarisasi yang
diamati. Panjang gelombang sinyal radar menentukan bentangan yang terpencar
oleh atmosfer. Daya tembus pulsa radar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu daya
tembus terhadap atmosfer dan terhadap permukaan. Makin rendah panjang
gelombang maka daya tembusnya semakin rendah, dan sebaliknya, semakin tinggi
panjang gelombang maka daya tembusnya akan semakin tinggi pula. Kisaran
panjang gelombang (λ) pada band radar ditunjukkan pada Tabel 1.
5
Tabel 1 Kisaran panjang gelombang (λ) pada saluran / band radar
Saluran / BandPanjang gelombang (λ)
(mm)Frekuensi (f) = Cλ-1
Megaherts (106 putaran-detik-1)Ka 7,5 – 11 40.000 – 26.500K 11 – 16,7 26.500 – 18.000K4 16,7 – 24 18.000 – 12.500X 24 – 37,5 12.500 – 8.000C 37,5 – 75 8.000 – 4.000S 75 – 150 4.000 – 2.000L 150 – 300 2.000 – 1.000P 300 – 1.000 1.000 – 300
Sumber : Lillesand dan Kiefer (1990)
2.2.2 RADAR Polarimetry
RADAR Polarimetry (Polar : Polarisasi, Metry : Menghitung) adalah
bidang ilmu untuk memproses dan menganalisa polarisasi dari sebuah bidang
elektromagnetik (Kusumardana 2005).
Polarisasi merupakan sifat penting dari suatu gelombang elektromagnetik.
Menurut Raimadoya (2007), komponen terprediksi gelombang ini mempunyai
suatu karakteristik struktur geometrik yang menentukan sifat geometrinya. Ketika
dilihat sepanjang arah perambatannya dan mengasumsikan sumbu horizontal dan
vertikal merujuk pada suatu sistem koordinat yang spesifik (misalnya sumbu
didefinisikan paralel terhadap antena RADAR), maka ujung dari vektor medan
listrik mengikuti suatu pola beraturan. Jika panjang dan kecepatan rotasi vektor
medan listrik masing-masing mewakili amplitudo dan frekuensi gelombang, maka
polarisasi merujuk pada orientasi dan bentuk dari pola yang diikuti oleh vektor
medan listrik (Gambar 1). Vektor gelombang listrik merupakan penciri dari jenis
polarisasi yang bervariasi dalam ruang dan waktu (Bariguna 2008).
Gambar 1 Gelombang bidang elektromagnetik (Canada Center of Remote Sensing2009).
6
RADAR dirancang untuk memancarkan radiasi gelombang mikro baik
terpolarisasi horizontal maupun vertikal. Dengan cara serupa, antena menerima
energi hamburan balik baik yang terpolarisasi horizontal atau vertikal. Simbol
arah polarisasi pemancar dan antena (penerima) ditunjukkan oleh huruf H dan V
untuk horizontal dan vertikal. Polarisasi HH dan VV merupakan rambatan sinyal
RADAR yang dipancarkan serta diterima oleh sensor masing-masing secara
horizontal dan vertikal pesawat. Polarisasi HV merupakan rambatan sinyal
RADAR yang dipancarkan secara horizontal dan diterima secar vertikal relatif
terhadap pesawat. Demikian berlaku sebaliknya untuk polarisasi VH (Gambar 2).
Pencitraan radar yang dilakukan menggunakan berbagai kombinasi polarisasi dan
panjang gelombang, dapat menghasilkan berbagai informasi yang komplementer
bagi sasaran di permukaan bumi (Raimadoya 2007). Ada empat kemungkinan
kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu HH, HV, VH, dan
VV. Citra yang mempunyai keempat polarisasi ini disebut citra yang full
polarization. Bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada
citra yang dihasilkan, karena berbagai objek diubah polarisasi tenaga yang
dipantulkannya dalam berbagai tingkatan.
Gambar 2 Ilustrasi gelombang hamburan balik.
2.3 Satelit TerraSAR-X
TerraSAR-X adalah sebuah satelit observasi bumi milik Jerman,
merupakan joint venture yang dilakukan di bawah kemitraan public-private antara
Aerospace Center DLR Jerman dan EADS Astrium GmbH, pemegang hak
eksploitasi komersial eksklusif yang dimiliki oleh penyedia layanan geo-informasi
7
Infoterra GmbH. TerraSAR-X diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2007 di Boikonur
Cosmodrome, Kazakhstan, dan telah beroperasi penuh sejak Januari 2008. Setelah
peluncuran satelit kedua, TanDEM-X tahun 2010 awal, kenyataannya kedua
satelit tersebut sebagai pasangan (Infoterra 2011). Satelit TerraSAR-X dapat
dilihat pada Gambar 3, sedangkan sistem parameter dan orbitnya dapat dilihat
pada Tabel 2 dan 3. Bagian dari komponen citra TerraSAR-X sendiri dapat dilihat
pada Gambar 4.
Produk TerraSAR-X terdiri dari beberapa tahap (infoterra.de), antara lain :
1. RaNSAR Radiometrically Corrected Images, untuk peningkatan
interpretasi objek topografi.
2. ORISAR Orthorectified Images, untuk menampilkan peningkatan
ketepatan lokasi piksel berdasarkan integrasi eksternal berkualitas tinggi
DEMs.
3. MCSAR Radar Mosaics, untuk perakitan gambar yang berdekatan
menjadi satu sebagai Dataset yang harmonis.
4. ADMSAR Ascending-Descending Merges, untuk mengurangi efek
samping yang tampak seperti bayangan dan layover secara signifikan.
Gambar 3 Satelit TerraSAR-X (Infoterra 2011).
8
Tabel 2 Sistem parameter dari TerraSAR-XSistem Parameter
Carrier rocket Dnepr rocketSatellite mass 1230 kgSatellite size 5 m height by 2,4 m diameterType Low Earth OrbitRadar carrier frequency 9,65 GHzRadiated RF Power 2 kWNominal radar duty cycle ~18 %Incidence angle range forstripmap/scanSAR
20º - 45º full performance (15º - 60ºaccessible)
Polarizations HH, VH, HV, VVAntenna lenght 4,8 mNominal look direction rightAntenna width 0,7 mNumber of stripmap/scanSAR elevationbeams
12 (full performance range) 123 (accessrange)
Number spotlight azimuth beams ca. 249Incidence angle range for spotlightmodes
20º - 55º full performance (15º - 60ºaccessible)
Pulse Repetition Frequency (PRF) 2,0 kHz – 6,5 kHzRange Bandwidth max. 150 MHz (300 MHz experimental)Sumber : Fritz and Eineder (2006)
Tabel 3 Orbit dan attitude parameter dari TerraSAR-XOrbit dan attitude parameter
Nominal orbit height at the equator 514 kmOrbits/day 15 2/11
Revisit time (orbit repeat cycle) 11 daysInclination 97,44ºAscending node equatorial crossing time 18:00 + 0,25 h (local time)Attitude steering “Total Zero Doppler Steering”Sumber : Fritz dan Eineder (2006)
Gambar 4 Bagian Satelit TerraSAR-X (DLR 2010).
9
10 km
5-10 km
2.3.1 Mode Pencitraan
Instrumen waktu dan arah dari antena elektronik menurut Fritz dan
Eineder (2006) dapat diprogram dengan kemungkinan berbagai kombinasi. Dari
banyak kemungkinan teknis, empat mode pencitraan telah dirancang untuk
mendukung berbagai aplikasi mulai dari pencitraan resolusi polarimetrik
menengah hingga pencitraan resolusi tinggi. Karena antena yang pendek, sistem
dioptimalkan untuk resolusi azimut yang lebih tinggi. Akibatnya,
Pulse Repetition Frequency (PRF) harus tinggi yang membatasi lebar maksimum
petak lapangan yang dapat direkam.
Mode pencitraan berikut ini ditetapkan untuk perkembangan produk dasar:
1. Stripmap mode (SM) dalam single atau dual polarization
2. High Resolution Spotlight mode (HS) dalam single atau dual polarization
3. Spotlight mode (SL) dalam single atau dual polarization
4. ScanSAR mode (SC) dalam single polarization
2.3.2 Mode Spotlight
Menurut Fritz dan Eineder (2006) mode spotlight menggunakan sistem
kemudi phased array beam pada arah azimut untuk menambah waktu
pencahayaan, yaitu ukuran synthetic aperture. Aperture yang terbesar dalam
resolusi azimut yang lebih tinggi berpengaruh pada biaya ukuran scene azimut.
Dalam kasus ekstrim dari mode spotlight, rekaman antena akan berhenti
beroperasi pada scene dan panjang scene sesuai dengan panjang rekaman antena
(Gambar 5).
Gambar 5 Penggambaran geometri pada mode spotlight (Fritz dan Eineder 2006).
10
Berdasarkan Fritz dan Eineder (2006) rekaman antena X-Band pada mode
spotlight tidak diprediksi untuk digunakan pada TerraSAR-X karena ukurannya
yang kecil. Sebaliknya, dua varian sliding mode spotlight dirancang dengan nilai
yang berbeda untuk resolusi dan ukuran scene azimut. Untuk identifikasi produk
tersebut diberi nama "spotlight" dan "high resolution spotlight". Pencitraan
spotlight ini hanya membutuhkan beberapa detik dan membutuhkan kemudi
antena yang tepat secara simultan sebagai sensor yang melewati scene, sehingga
sapuan area yang diinginkan akan membutuhkan sasaran dan waktu yang tepat.
TerraSAR-X menawarkan fleksibilitas yang tinggi untuk citra penggunaan
kawasan yang penting. Dalam elevasi, elevasi spotlight 123 dimaksudkan untuk
menyesuaikan pusat scene sedikit demi sedikit sehingga luas yang diperlukan
dapat ditempatkan di tengah-tengah scene. Pada azimut sekitar 125 beams dari
satu set 249 beams digunakan bersama dalam satu data yang diperlukan untuk
memperpanjang synthetic aperture. Proses pencitraan dimulai ketika global
positioning system (GPS) dioperasikan, yaitu ketika satelit mencapai posisi
sepanjang orbit yang dihitung dari koordinat pusat scene yang dibutuhkan
pengguna. Dengan cara ini pengaruh kesalahan prediksi sepanjang jalur orbit pada
lokasi produk akhir dapat dikompensasi.
Mode high resolution spotlight (HS) dirancang untuk resolusi azimut 1
meter dan mengakibatkan dalam sebuah scene azimut berukuran 5 km.
Karakteristik Mode high resolution spotlight (HS) disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Parameter high resolution spotlight modeParameter Nilai
Scene extension 5 km (azimuth) x 10 km (ground range)Full performance incidence angle range 20º - 55ºData access incidence angle range 15º - 60ºNumber of elevation beams 95 (full performance)
123 (data access)Number of azimuth beams ca. 249Azimuth steering angle + 0,75ºAzimuth resolution 1 m (single polarization)
2 m (dual polarization)Ground range resolution 1,34 m – 3,21 m (@ 55°..20° incidence angle)Polarizations HH or VV (single)
HH/VV (dual)Sumber : Fritz dan Eineder (2006)
11
2.3.3 Resolusi Geometrik
Kisaran teoritis resolusi maksimum slant range TerraSAR-X menurut
Fritz dan Eineder (2006) pada polarisasi tunggal adalah 0,89 meter yang
didasarkan pada bandwidth kisaran 150 MHz jika tidak ada bobot spektral yang
diterapkan. Untuk produk yang terdeteksi bobot spektral, resolusi maksimumnya
dikurangi dengan bobot kisaran spektrum dengan Hamming window (koefisien
0,75) untuk menekan sidelobe dari fungsi point target response (PTR) hingga -20
dB. Hal ini menghasilkan resolusi slant range sebesar 1,0 meter. Bandwidth
kisaran 150 MHz tidak dapat dicapai untuk semua incidence angle, tergantung
pada parameter waktu yang sebenarnya, hal ini disebabkan karena keterbatasan
waktu instrumen. Jangkauan sorotan yang jauh dapat dioperasikan dengan
mengurangi berbagai pengaturan bandwidth pada 100 MHz. Hal ini juga dapat
menyebabkan berbagai pengaturan bandwidth yang berbeda dalam ScanSAR 4
sorotan.
Dalam teori menurut Fritz dan Eineder (2006), resolusi azimut pada mode
stripmap adalah setengah dari panjang antena (4,8 m / 2 = 2,4 m). Karena batas
sampling merupakan sin (x)/x maka pembentukan spektrum Doppler selalu
terjadi. Dalam prosesor, bandwidth dikurangi dan pembentukan spektral
dilakukan untuk mengurangi ketidakteraturan yang disebabkan oleh aliasing
(peningkatan rasio ketidakteraturan sinyal azimut "SAAR") dan untuk
memperbaiki bentuk PTR. Sebuah resolusi konstan sebesar 3 meter merupakan
tujuan desain untuk semua produk stripmap polarisasi tunggal. Pemrosesan
bandwidth Doppler pada mode polarisasi tunggal dan polarisasi ganda masing-
masing sekitar 2266 Hz dan 1066 Hz. Dalam mode polarisasi ganda PRF efektif
per channel menurun dan resolusi efektif dari produk tersebut akan disesuaikan
hingga 6 meter, yaitu setengah dari resolusi polarisasi tunggal. Strategi analog
diterapkan pada data spotlight polarisasi ganda.
2.4 Digital Number
Digital Number (DN) merupakan variasi intesitas suatu piksel, yang
ditunjukkan oleh komposisi warna dari apa yang di tampilkan pada citra. Lebih
lanjut Bariguna (2008) menjelaskan bahwa nilai intensitas mempengaruhi posisi
12
pada tiap lapisan RGB. Band dengan nilai intensitas pada DN yang paling tinggi,
maka warnanya akan dominan dan posisinya berada pada lapisan Red. Demikian
seterusnya untuk band dengan nilai intensitas yang semakin rendah secara
berurutan akan menempati posisi lapisan Green dan Blue.
Digital Number (DN) juga dapat disebut sebagai salah satu bentuk output
data statistik yang mengekspresikan kunci polarisasi (ITT Visual Information
Solutions 2008). Kedua definisi DN tersebut saling berkaitan, karena secara
statistik nilai intensitas menentukan nilai Coefisien Backscetter. Rumus yang
menjelaskan hubungan antara keduanya adalah sebagai berikut := 10 log 10 ( )Keterangan : σ adalah Coefisien backscatter (dB)
I adalah intensitas dalam 16 bit
Besarnya nilai Coefisien Backscetter menunjukkan besarnya intensitas
sinyal hamburan balik (Arifin 2007). Pada Horizontal Profile, nilai instensitas
sinyal hamburan balik tersebut ekuivalen dengan nilai Digital Number (DN) (ITT
Visual Information Solutions 2008). Sehingga baik nilai intensitas hamburan balik
pada Horizontal Profile maupun nilai DN, dapat digunakan untuk mempelajari
karakteristik hamburan balik suatu objek. Suatu objek biasanya memiliki
karakteristik hamburan balik yang khas untuk suatu polarisasi tertentu.
2.5 Speckle Filter
Interferensi acak yang ditimbulkan oleh penyinaran RADAR koheren dan
hamburan balik mengakibatkan fluktuasi rata-rata sel resolusi meningkatkan
intensitas acak yang tajam dari area yang gelap dan terang pada citra SAR.
Intensitas acak yang tajam tersebut dinamakan speckle. Speckle merupakan bentuk
esensial dari noise yang dapat mendegradasi kualitas citra dan menyulitkan
interpretasi visual dan digital suatu citra. Oleh karenanya sebelum dilakukan
interpretasi dan analisis, speckle perlu direduksi. Reduksi speckle dapat dilakukan
melalui 2 cara yaitu pengolahan multi-look dan pemfilteran spasial (Raimadoya
2007). Piksel yang telah difilter akan menempati piksel asli dengan nilai baru hasil
13
perhitungan yang berdasarkan jarak dari pusat filter, faktor kabut, dan variasi
lokal (ITT Visual Information Solutions 2008).
Filter Lee dan filter Frost merupakan aplikasi pemfilteran spasial (adaptive
filter) yang menggunakan standar deviasi untuk menghitung nilai baru sebuah
pixel yang berada di sekitar kotak lokal (kesatuan pixel yang digunakan untuk
memfilter citra digital). Berbeda dengan filter penghalus berfrekuensi rendah,
adaptive filter menjaga ketajaman dan detil citra ketika mereduksi noise (ITT
Visual Information Solutions 2008).
2.6 Penutupan Lahan
Tutupan lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan (sitis),
yang diartikan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi, tanah,
topografi, hidrologi dan biologi (Hendayanti 2008).
Secara nasional, peta penutupan lahan/penggunaan lahan tertua adalah peta
penggunaan lahan tahun 1969 yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN), Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan peta ini, penutupan lahan dibagi
menjadi 14 tipe penggunaan lahan, pada skala 1:250000. Pada tahun 2003 dan
2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh
Indonesia. Data ini dibuat berdasarkan interpretasi visual citra Landsat dengan
mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi
lahan (rawa/lahan kering). Klasifikasi Direktorat Jendral Planologi Kehutanan
menggunakan 23 kelas (Baplan 2008).
Setiap tutupan lahan memiliki karakteristik spektral yang berbeda. Hal ini
terjadi karena bagi material-material yang mnjadi target sensor, jumlah radiasi
sinar matahari yang dipantulkan, diserap, atau bahkan diteruskan kembali akan
bervariasi sesuai dengan beberapa panjang gelombang yang dipancarkan.
Karakter istik dari setiap materi tersebut diantaranya :
a. Nilai pantulan dari target clear water (unsur air jernih/bersih) pada
umumnya rendah (cenderung berwarna biru-gelap). Walaupun demikian,
pantulan ini akan mencapai nilai maksimum pada akhir spektrum biru dan
kemudian menurun sejalan dengan meningkatnya panjang gelombang. Air
14
jernih menyerap tenaga pada panjang gelombang kurang dari 0,6 µm
(Prahasta 2008).
b. Turbid water (air keruh), kemungknan besar , mengandung endapan atau
sedimen (biasanya pada layer bagian atas perairan yang bersangkutan)
yang dapat meningkatkan nilai pantulan pada domain merah-akhir
spektrum hingga kenampakannya bisa jadi kecoklatan (nilai pantulannya
“lebih baik” dan kenampakannya lebih cerah). Sementara warna
kenampakannya akan memperlihatkan suatu pergeseran yang mulus ke
arah gelombang yang lebih panjang. Ada kalanya fakta (fenomena) pada
air keruh tidak jauh berbeda dengan kondisi pada perairan dangkal
(shallow water) yang bersih. Pada kasus ini, keberadaan klorofil alga (jika
banyak terdapat di dalam perairan yang bersangkutan) lebih banyak
menyerap radiasi gelombang pada domain biru dan memantulkan yang
hijau. Oleh karena itu kehadiran alga dalam shallow water akan
menyebabkan perairan yang bersangkutan berwarna kehijauan (kadang
juga berwarna biru-hijau atau cyan).
c. Secara umum, pada wilayah perairan, radiasi elektromagnetik visible yang
lebih panjang dan near-infrared lebih banyak diserap daripada radiasi
elektromagnetik visible yang panjang gelombangnya lebih pendek. Oleh
karena itu, wilayah perairan sering juga Nampak berwarna kebiruan atau
kehijau-biruan karena pantulan yang lebih kuat dari gelombang yang lebih
pendek tadi. Walaupun demikian, tubuh air akan Nampak lebih gelap jika
menggunakan band-band merah (visible paling kanan [lebih panjang]) atau
near-infrared.
d. Beberapa faktor yang mempengaruhi pantulan tanah ialah kandungan
kelembaban tanah, tekstur tanah (susunan pasir, debu, dan lempung),
Kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan
organik (Prahasta 2008). Adanya kelembaban di tanah akan mengurangi
pantulanya. Pengaruh ini terjadi paling besar pada spektrum 1,4 µm, 1,9
µm dan 2,7 µm. Kandungan kelembaban tanah berhubungan kuat dengan
tekstur tanah. Misalnya pada tanah berpasir dengan tekstur kasar
menghasilkan kandungan kelembaban tanah rendah dan pantulanya relatif
15
tinggi. Dengan tidak adanya kandungan air tanah akan bertekstur kasar dan
akan tampak lebih gelap pada tanah bertekstur halus. Dua faktor lain yang
memperkecil pantulan tanah yaitu kekasaran permukaan dan kandungan
bahan organik (Lillesand dan Kiefer 1990 ).
e. Vegetasi memiliki spectral signature yang unik dan memungkinkan untuk
membedakan tipe-tipe penutupan lahan pada iage near-infrared.
Pantulanya akan bernilai rendah pada spektrum biru dan merah. Hal ini
terjadi karena terjadi penyerapan klorofil untuk proses fotosintesis
(Prahasta 2008). Vegetasi memiliki pantulan puncak pada spektrum hijau.
Hal ini dipengaruhi oleh pigmen daun pada tumbuhan. Klorofil misalnya,
banyak menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat antara
0,45 µm – 0,65 µm. Apabila terjadi gangguan pada tumbuhan dan
mengakibatkan penurunan produksi klorofil, maka serapan klorofil pada
spektrum merah dan biru akan berkurang. Hal ini akan mengakibatkan
warna untuk tumbuhan tersebut menjadi kuning (gabungan antara hijau
dan merah karena pantulan pada spektrum merah bertambah) . Setelah
panjang gelombang 1,3 µm, tenaga yang datang pada vegetasi pada
dasarnya akan diserap atau dipantulkan, dan tidak ada atau sedikit yang
ditransmisikan. Penurunan pantulan pada daun akan terjadi pada panjang
gelombang 1,4 µm, 1,9 µm dan 2,7 µm karena air yang terdapat pada daun
pada panjang gelombang ini kuat sekali serapannya. Sehingga pada
panjang gelombang ini sering disebut spektrum penyerap air (Lillesand
dan Kiefer 1990).
2.7 Klasifikasi Penutupan Lahan
Klasifikasi merupakan upaya ekstraksi informasi dari data penginderaan
jauh. Klasifikasi dilakukan untuk mengelompokkan atau mengkelaskan data ke
dalam kelompok yang memiliki karakteristik yang homogen (Barus 1997).
Klasifikasi penutupan lahan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu digital dan
visual. Kalsifikasi tutupan lahan menggunakan metode digital memiliki beberapa
keterbatasan seperti adanya bayangan topografi dan topografi yang menghadap ke
arah sensor. Pada objek-objek yang berada pada bayangan topografi dan topografi
yang menghadap arah sensor cenderung terjadi kesalahan klasifikasi tutupan
16
lahan. Hal ini disebabkan karena nilai digital pada daerah bayangan topografi dan
topografi arah sensor terkadang tidak sesuai dengan nlai digital tutupan lahan
yang seharusnya.
Penafsiran tutupan lahan secara visual menggunakan elemen interpretasi
tertentu seperti warna, tekstur, bentuk, pola, asosiasi dan situs. Berbeda dengan
klasifikasi secara digital, penafsiran tutupan lahan secara visual bersifat kualitatif,
sehingga perlu dilakukan proses kuantifikasi. Proses kuantifikasi ini penting
karena perhatian penafsir pada apa yang terdapat pada citra hampir selalu disertai
dengan memperhatikan dimana kedudukan objek yang diamati tersebut di
lapangan dan bagaimana bentangan arealnya (Lillesand dan Kiefer 1990).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi hasil penafsiran visual, yaitu ragam
jenis tutupan lahan, keberadaan alat bantu, dan penafsir. Ragam jenis tutupan
lahan dapat dikategorikan tetap dikarenakan pada suatu wilayah ragam jenis
tutupan lahan cenderung tetap, sementara penafsir pada umumnya memiliki
kemampuan yang berbeda pada setiap individu. Keberadaan manual sebagai alat
bantu penafsiran visual menjadi penting karena penafsir yang berbeda dapat
menghasilkan hasil yang berbeda. Kualitas hasil penafsiran tutupan lahan
kemudian ditentukan oleh kualitas alat bantu penafsiran, dalam hal ini manual
penafsiran tutupan lahan (Salman 2011).
Klasifikasi penutupan lahan secara digital menggunakan elemen piksel
sebagai interpretsi yang dilakukan oleh komputer. Klasifikasi digital dapat
dilakukan secara terbimbing dan tidak terbimbing. Klasifikasi terbimbing
merupakan teknik umum yang menggunakan informasi yang berasal dari beberapa
area yang diketahui identitasnya untuk mengklasifikasikan piksel yang tidak
diketahui pada citra. Sedangkan klasifikasi tak terbimbing merupakan teknik
otomatis yang mencari kelompok natural atau klaster dari piksel-piksel
berdasarkan kecerahannya pada beberapa band (ITT Visual Information Solutions
2008).
2.8 Hutan Mangrove
Perkataan mangrove berasal dari kombinasi antara istilah dari bahasa
Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macne 1968 dalam Kusmana 1995).
17
Menurut bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan
yang tumbuh di laut, atau setiap individu jenis tumbuhan yang berasosiasi
dengannya. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk
setiap individu tumbuhan yang tumbuh di laut, dan kata mangal untuk
menunjukkan komunitas tumbuhan yang terdiri atas jenis-jenis mangrove.
Kata mangrove menurut FAO (1982) sebaiknya digunakan untuk individu
jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang
surut. Dengan demikian hutan mangrove adalah hutan yang dipengaruhi pasang
surut air laut.
Nybakken (1982) menyebutkan hutan bakau atau mangal adalah sebutan
umum yang digunakan untuk menggambarkan suat varietas komunitas pantai
tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Lebih lanjut dikatakan bakau adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi
kembali pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan,
sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang
didominasi oleh tumbuhan ini.
Menurut Undang-Undang no 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Kehutanan, hutan mangrove terdiri dari dua kata, yaitu hutan dan mangrove.
Hutan adalah suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan
merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang
ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Arti kata mangrove adalah vegetasi
hutan yang tumbuh di antara garis pasang dan surut, tetapi dapat juga tumbuh
pada pantai karang, dataran koral mati yang di atasnya ditimbuni selapis tipis pasir
atau ditimbuni lumpur (Bappeda Sidoarjo 2008).
2.9 Keragaman Mangrove dan Kondisi Mangrove di Sidoarjo
Keberadaan mangrove di Pesisir Kabupaten Sidoarjo menarik untuk dikaji.
Baik menarik dari aspek kelimpahan jenis maupun model zonasinya. Berdasarkan
data dari Bappeda Sidoarjo, sepanjang garis pantai dan arah daratan zonasi
mangrove sangat sulit untuk ditentukan. Hal ini karena sepanjang garis pantai
terdapat berbagai jenis yang berbeda-beda antar lokasi (desa sepanjang garis
18
pantai). Demikian pula ke arah daratan zonasi mangrove sulit untuk dilakukan
pengelompokan.
Berdasarkan data pengamatan yang dilakukan Bappeda Sidoarjo tahun
2010 dari plot yang terletak di Dusun Bromo pada Muara sungai Kepitingan
diketahui terdapat kurang lebih 19 spesies mangrove tegakan yaitu; Acrosticum
speciosum, Aegiceras flororidum, Avicenia marina, Avicenia lanata, Avicenia
officianalis, Avicenia alba, Excocaria agallocha, Nypa fruticans, Rhizophora
mucronata, Soneratia alba, Soneratia caseolaris, Xylocarpus molucensis,
Calotropis gigantea, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Morinda citrifolia,
Passiflora foetida, Sesuvium portulacastrum dan Terminalia catappa.
Avicennia alba merupakan mangrove yang dominan pada kawasan
tersebut, hal ini ditunjukkan dari nilai Dominasi relatif yang tertinggi dibanding
dengan jenis mangrove yang ada lainnya. Dengan demikian mangrove Avicennia
alba merupakan jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan mengkontrol
komunitas pada kawasan tersebut. Avicennia Alba dan Sonneratia Alba
menunjukkan sebaran dengan frekuensi tertinggi pada akawasan tersebut.
Avicennia Alba juga merupakan mangorove yang paling adaptif terhadap kondisi
lingkungan setempat dibanding dengan mangrove lainnya.
Hasil perhitungan luasan hutan mangrove berdasarkan data Bappeda
Sidoarjo menggunakan citra satelit Spot rekaman september 2010 adalah
sebagaimana tabel berikut berikut.
Tabel 5 Luas hutan mangrove di Kabupaten Sidoarjo
Kecamatan Luas Hutan Mangrove (Ha)
BuduranCandiJabonPorongSedatiSidoarjoTanggulanginWaru
68,844136,240
1.006,72215,461
472,690221,57510,83853,875
Total 1.986,245Sumber : Bappeda Sidoarjo (2010)
Data dari Bappeda Sidoarjo juga menyebutkan bahwa ancaman terbesar
komunitas hutan mangrove di pesisir Kabupaten Sidoarjo adalah berupa
19
perubahan fungsi hutan mangrove menjadi tambak yang sebelumnya dilakukan
penebangan vegetasi/kayu mangrove. Ancaman ke depan terkait dengan lahan
hutan mangrove adalah perkembangan kawasan yang membutuhkan lahan
sebagai tempat beraktifitas seperti industri, pergudangan, perdagangan, dan
permukiman. Kondisi ini akan semakin meningkat dengan ditetapkannya kawasan
timur Kecamatan Sedati sebagai kawasan strategis yang pada akhirnya akan
merubah kondisi lingkungan setempat.
Penebangan vegetasi mangrove oleh masyarakat masih sering dijumpai
mengingat kayu mangrove mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik. Sebagian
kelompok masyarakat sudah memahani peran dan fungsi hutan mangrove bagi
kelangsungan ekosistem dipesisir. Hal ini ditunjukkan dengan kesadaran untuk
penanaman mangrove secara swadaya.