17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Bullying Pada Siswa SD
1. Pengertian Perilaku bullying pada Siswa SD
Priyatna (2010) mengatakan bahwa perilaku bullying adalah perilaku yang
disengaja, seperti mengejek atau memukul sehingga mengakibatkan seseorang
dalam keadaan tidak nyaman atau terluka dan terjadi berulang-ulang. Fataruba
(2015) menyatakan bahwa perilaku bullying adalah manipulasi yang dapat berupa
kekerasan fisik, verbal, atau psikologis dengan sengaja dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang yang merasa kuat atau berkuasa dengan tujuan menyakiti
atau merugikan seseorang atau sekelompok orang yang merasa tidak berdaya.
Hertinjung dan Karyani (2015) menjelaskan bahwa bullying adalah orang
yang kuat mengganggu orang lemah dan dapat diartikan juga sebagai anak yang
lebih tua mengganggu anak yang lebih muda dan dilakukan secara terencana, baik
individu maupun kelompok. Rigby (dalam Selemogwe, dkk., 2014) menyatakan
bahwa perilaku bullying adalah perilaku manipulasi yang dapat berupa kekerasan
fisik, verbal, atau psikologis dengan sengaja dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang yang merasa kuat atau berkuasa dengan tujuan menyakiti atau
merugikan seseorang atau sekelompok orang yang merasa tidak berdaya. Kutipan
tersebut menjelaskan bahwa perilaku bullying dilakukan oleh orang yang merasa
kuat kepada orang yang lemah, sehingga terancam kehidupannya.
17
18
Perilaku bullying tidak hanya terjadi di lingkungan sosial masyarakat, tetapi
juga terjadi di lingkungan sekolah. Proses terjadinya perilaku bullying di sekolah,
selain bullies (pelaku) dan victim (korban), ada penonton yang memberi
dukungan, penonton yang diam saja dan penonton yang menolong korban
(bystander). Menurut Olweus (dalam Halimah, dkk., 2015), korban mengacu pada
siswa yang menjadi sasaran perilaku negatif oleh satu atau lebih siswa lain yang
bermaksud untuk menyakiti. Pelaku adalah individu yang memiliki kekuatan lebih
dan berbuat dengan sengaja untuk menyakiti pihak lain yang lebih lemah.
Bystander adalah pihak-pihak lain di sekitar bullies dan victim yang menjadi saksi
atau pengamat fenomena bullying. Literatur lain menyatakan bahwa bystander
adalah orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian bullying dan
mempunyai peran yang besar dalam mencegah atau melanggengkan bullying.
Perilaku bullying seringkali bergantung pada reaksi pengamat (bystander) yaitu
pengamat yang pasif atau pengamat yang mendukung dengan menyoraki. Pelaku
bullying kadang tidak menyadari motivasi ini namun menikmati perhatian dan
rasa berkuasa tersebut. Dari beberapa peran bullying yang telah dikemukakan
sebelumnya, penelitian ini akan lebih memfokuskan pada pelaku bullying.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku
bullying siswa SD merupakan perilaku yang disengaja dan terjadi berulang-ulang,
orang yang kuat mengganggu orang yang lemah, sehingga mengakibatkan
seseorang dalam keadaan tidak nyaman atau terluka.
19
2. Aspek-aspek perilaku bullying
Priyatna (2010) menjelaskan bullying terbagi menjadi 2 aspek yakni
perilaku bullying secara fisik dan non-fisik.
a. Bullying secara fisik contohnya menggigit, menarik rambut, memukul,
menendang, mengunci, dan mengintimidasi korban di ruangan atau dengan
mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi,
mengancam, dan merusak barang-barang atau benda-benda milik korban
b. Bullying secara non-fisik dibedakan menjadi 2 yaitu verbal dan non-verbal.
Bullying verbal contohnya panggilan yang meledek, pemalakan, pemerasan,
mengancam atau intimidasi, menghasut, berkata jorok pada korban, berkata
menekan, menyebarluaskan kejelekan korban. Kemudian bullying non-verbal,
terbagi lagi menjadi langsung dan tidak langsung. Bullying non-verbal tidak
langsung, contohnya manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak
mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut, curang, sembunyi-sembunyi.
Bullying non-verbal langsung, contohnya gerakan (tangan, kaki, atau anggota
badan lain) kasar atau mengancam, menatap, muka mengancam, menggeram,
hentakan mengancam, atau menakuti.
Perilaku bullying menurut Hertinjung dan Karyani (2015) dapat diungkap
melalui aspek-aspek perilaku bullying ada 5 bentuk, yaitu:
a. Kontak fisik langsung antara lain: memukul, mendorong, menggigit,
menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit,
mencakar, meminta barang dengan paksa, dan merusak barang orang lain.
20
b. Kontak verbal langsung antara lain mengancam, mempermalukan,
merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama, sarkasme,
merendahkan, mencela atau mengejek, mengintimidasi, memaki,
menyebarkan gosip.
c. Perilaku non-verbal langsung antara lain: melihat dengan sinis, menjulurkan
lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau
mengancam, biasanya disertai bullying fisik atau verbal.
d. Perilaku non-verbal tidak langsung dengan mendiamkan seseorang,
memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan
atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
e. Pelecehan seksual, kadang dikategorikan perilaku agresi fisik.
Rigby (dalam Saifullah, 2016) mengemukakan empat aspek bullying antara
lain yaitu:
a. Bentuk fisik yaitu menendang, memukul, dan menganiaya orang yang dirasa
mudah dikalahkan dan lemah secara fisik.
b. Bentuk verbal yaitu menghina, menggosip, dan memberi nama ejekan pada
korbannya.
c. Bentuk isyarat tubuh yaitu mengancam dengan gerakan dan gertakkan
d. Bentuk berkelompok yaitu membentuk koalisi dan membujuk orang untuk
mengucilkan seseorang.
Pratiwi (2014) menjelaskan bahwa aspek bullying fisik merupakan bullying
yang kasat mata. Aspek bullying non fisik terdiri dari bullying verbal dan mental.
Aspek bullying verbal yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran. Aspek
21
bullying mental atau psikologis adalah bullying yang tidak terlihat dan tidak dapat
didengar seperti memandang dengan sinis, mendiamkan, mengucilkan.
Beberapa pendapat mengenai bentuk-bentuk perilaku bullying yang dalam
penelitian ini dijadikan aspek-aspek penelitian meliputi aspek fisik dan non fisik.
Bullying secara non-fisik dibedakan menjadi 2 yaitu verbal dan non-verbal.
Aspek tersebut berdasarkan pendapat dari Priyatna (2010). Alasannya, aspek fisik
dan non fisik digunakan dalam penelitian ini karena dua aspek tersebut sudah
menjelaskan aspek-aspek yang dikemukakan oleh ahli lain.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying
Faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying dibedakan menjadi dua yaitu
faktor internal dan eksternal, dengan penjelasannya, sebagai berikut:
a. Faktor Internal
Rigby (2007) menjelaskan bahwa faktor internal yang mempengaruhi
perilaku bullying terdiri dari religiusitas, regulasi emosi, kepribadian, perasaan
berkuasa, dan gender. Faktor-faktor internal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Religiusitas
Religiusitas, memiliki pengertian yang sama dengan iman, umumnya
didefinisikan sebagai keyakinan tentang supranatural, suci, atau ilahi, dan
praktek-praktek dan lembaga yang terkait dengan keyakinan tersebut.
Dijelaskan oleh Jalaluddin (2016) dengan pendekatan psikologi agama,
religiusitas merupakan konstruk psikologi dan agama yang tidak terpisahkan.
Agama lebih menunjukkan kepada kelembagaan yang mengatur tata cara
hubungan manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih melihat pada
22
lubuk hati manusia. Dengan demikian, religiusitas merupakan suatu sikap dan
keyakinan seseorang terhadap Tuhan sesuai dengan tata aturan agama yang
dianut oleh orang tersebut. Agrawal dan Kehksha (2015) berpendapat bahwa
seseorang yang sudah bertingkah laku sesuai dengan agamanya menunjukkan
adanya unsur internalisasi agama dalam diri seseorang (religiusitas). Ajaran
agama yang melarang menyakiti orang lain diterapkan oleh seseorang,
sehingga orang tersebut tidak melakukan bullying.
2) Regulasi Emosi
Umasugi (2010) menjelaskan dalam penelitiannya, menjelaskan
bahwa pemikiran dan perilaku individu sangat dipengaruhi oleh regulasi
emosi. Siswa yang memiliki regulasi emosi mampu menyadari dan mengatur
pemikiran dan perilakunya dalam emosi-emosi yang berbeda (emosi positif
dan negatif). Ketika sedang mengalami emosi negatif, siswa dengan regulasi
emosi yang baik tetap dapat berfikir jernih sehingga perilaku yang muncul
tetap berdasarkan logika dan kesadaran. Ekspresi emosi negatif yang dapat
diregulasi dengan baik akan mampu meminimalisasi proyeksi negatif pada
perilaku yang berujung pada perilaku bullying. Gross dan Jazaieri (2014)
berpendapat bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan oleh
seseorang secara sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi
satu aspek dari respon emosi yang diwujudkan dalam perilaku.
Regulasi emosi pada pelaku bullying terjadi karena ketidakmampuan
pelaku bullying dalam mengontrol emosinya. Halimah, dkk., (2015)
menjelaskan bahwa pelaku bullying mempunyai perasaan berkuasa atau ingin
23
mendapat perhatian, tetapi kurang mampu dalam memilih cara untuk
mengurangi respon emosi, sehingga berpengaruh terhadap perilaku
melakukan bullying pada orang lain.
3) Kepribadian
Usman (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa faktor internal
yang mempengaruhi terjadinya bullying adalah faktor kepribadian. Faktor
kepribadian yang memberikan kontribusi besar pada siswa dalam melakukan
perilaku bullying atau menjadi pelaku bullying. Pelaku bullying cenderung
memiliki kepribadian dengan sikap empati yang rendah, impulsif, dominan,
dan tidak bersahabat. Faktor-faktor dalam kepribadian berkontribusi besar
pada ciri khas perilaku individu dalam situasi bullying, di mana tingginya
tingkat dari ketidakstabilan emosi dan rendahnya tingkat dari
keramahtamahan berpengaruh pada pelaku bullying.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Soedjatmiko, dkk., (2013: 178)
mengungkapkan bahwa faktor-faktor dalam kepribadian berkontribusi besar
pada ciri khas perilaku anak-anak dalam situasi bullying, di mana tingginya
tingkat emosi berpengaruh pada pelaku bullying. Seperti contoh, berdasarkan
hasil penelitian, anak yang berusia antara usia 9-13 tahun menunjukkan
perilaku suka mengancam orang lain dan mengajak berkelahi.
4) Perasaan berkuasa
Faktor internal dalam penelitian yang dilakukan Ardianti dalam
Halimah, dkk., (2015) menemukan bahwa perasaan berkuasa menjadi salah
satu alasan mengapa siswa melakukan bullying. Pelaku bullying merasa
24
bangga dianggap hebat dan ditakuti oleh siswa lain yang melihatnya
menindas. Perilaku bullying pada siswa sebagai upaya mendapatkan perhatian
„tertentu‟ dari teman sebaya (bystander) dapat memicu terulangnya perilaku
tersebut di sekolah. Alasan seseorang menjadi pelaku bullying adalah bahwa
pelaku bullying merasakan kepuasan apabila pelaku “berkuasa” di kalangan
teman sebayanya. Maksudnya, pelaku bullying merupakan siswa yang
ditakuti dan menguasai teman-teman lainnya, sehingga memberikan
penguatan terhadap perilaku bullying.
5) Gender
Perbedaan gender pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat
menimbulkan perilaku bullying, karena adanya perbedaan pola pikir dan
perasaan. Laki-laki cenderung mengutamakan pikiran dan perempuan
mengutamakan perasaan. Oleh sebab itu, perilaku bullying ada
kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan perasaan. Perempuan jarang
melakukan bullying, karena ada perasaan untuk tidak menyakiti orang lain.
Penelitian Rigby pada siswa sekolah menengah pertama (200 siswa)
dan siswa sekolah menengah atas (200 siswa) di Adelaide Region in South
Australia mengungkapkan bahwa siswa laki-laki cenderung melakukan
perilaku bullying dibandingkan dengan siswa perempuan, seperti menendang
dan mengancam. Siswa yang melakukan perilaku bullying berasal dari
keluarga yang broken home (Usman, 2013).
25
b. Faktor eksternal
Wiyani (2013) menjelaskan bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi
perilaku bullying, antara lain sebagai berikut:
1) Perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, dan etnisitas atau rasisme.
Pada dasarnya, perbedaan (terlebih jika perbedaan tersebut bersifat
ekstrim) individu dengan suatu kelompok dimana individu bergabung, jika
tidak dapat disikapi dengan baik oleh anggota kelompok tersebut.
a) Perbedaan keadaan ekonomi dalam status keluarga dapat menimbulkan
perilaku bullying, karena status ekonomi lemah ada kecenderungan banyak
terjadi konflik.
b) Etnisitas atau rasisme berhubungan dengan perbedaan etnis daerah atau
suatu bangsa. Adanya perbedaan daerah berkaitan dengan adat atau
kebiasaan suatu daerah satu dengan lainnya berbeda. Perbedaan tersebut
dapat menimbulkan perilaku bullying pada orang yang memiliki etnis
dengan kebiasaan bersikap keras untuk melakukan bullying.
2) Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan
pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembangnya individu. Dengan kata lain,
secara ideal perkembangan individu akan optimal saat bersama keluarganya.
Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran ayah, ibu menderita
depresi, kurangnya komunikasi antara orangtua dan anak, perceraian atau
ketidakharmonisan orangtua dan ketidakmampuan sosial ekonomi merupakan
penyebab tindakan agresi yang signifikan.
26
3) Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif
Bullying juga dapat terjadi jika pengawasan dan bimbingan etika dari
para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan
yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten.
4) Lingkungan teman sebaya
Faktor lain yang berasal dari luar individu adalah teman sebaya. Teman
sebaya (peers) adalah anak-anak atau individu dengan tingkat usia atau
tingkat kedewasaan yang sama. Interaksi teman sebaya dengan usia yang
sama memainkan peran yang unik pada kehidupan individu. Sekelompok
teman sebaya yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dan berinteraksi,
bertukar pikiran, dan pengembangan dalam kehidupan sosial dan pribadinya.
Kelompok teman sebaya memberikan pengaruh terhadap tumbuhnya
perilaku bullying di sekolah. Menurut Usman (2015) dalam penelitiannya,
kelompok teman sebaya yang memiliki masalah di sekolah akan memberikan
dampak yang negatif bagi sekolah seperti kekerasan, perilaku membolos,
rendahnya sikap menghormati kepada sesama teman dan guru. Teman di
lingkungan sekolah idealnya berperan sebagai “partner” siswa dalam proses
pencapaian program-program pendidikan. Fakta dilapangan berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan Usman pada siswa SMA di Kota Gorontalo
mengungkapkan ada sebagian siswa yang melakukan perilaku bullying di
sekolah disebabkan oleh dorongan teman-temannya.
Beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi bullying dibedakan menjadi dua yaitu faktor internal meliputi
27
religiusitas, regulasi emosi, kepribadian, perasaan bangga, perasaan berkuasa,
pengalaman masa lalu, dan perasaan iri. Faktor eksternal meliputi perbedaan kelas
(senioritas), ekonomi, agama, gender, lingkungan keluarga (komunikasi orangtua-
anak), lingkungan teman sebaya, dan lingkungan sekolah, lingkungan sosial.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku bullying di atas, dalam
penelitian ini difokuskan faktor internal pendapat dari Rigby (2007) bahwa faktor
internal yang mempengaruhi perilaku bullying terdiri dari religiusitas, regulasi
emosi, kepribadian, perasaan berkuasa, dan gender. Penelitian ini difokuskan pada
faktor internal yaitu religiusitas dan regulasi emosi. Alasan dipilihnya faktor
internal sesuai pendapat Golmaryami, dkk., (2015) bahwa faktor internal
merupakan faktor yang lebih diutamakan sehubungan seseorang melakukan
bullying, karena faktor internal dapat membentuk perilaku seseorang.
Dipilihnya faktor internal religiusitas dan regulasi emosi dalam penelitian
ini, menurut Jalaluddin (2016) bahwa religiusitas merupakan salah satu faktor
penting dalam membentuk sikap dan moral siswa mengenai perbuatan yang baik
dan buruk, yang dilarang dam dilakukan, sehingga membentuk moral seseorang
menjadi baik dan mampu mengontrol perilaku untuk tidak melakukan bullying,
khususnya pada siswa SD, karena siswa SD sebagai awal pendidikan formal yang
mendasar sikap dan perilaku untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Penelitian yang dilakukan Wahyuningtias (2015) membuktikan bahwa ada
hubungan antara religiusitas dan perilaku bullying pada siswa SD 02 Jatirejo
Kecamatan Jumapolo Kabupaten Karanganyar. Artinya subjek yang memiliki
28
religiusitas yang baik maka tidak akan melakukan bullying, sebaliknya subjek
yang memiliki religiusitas yang kurang baik akan cenderung melakukan bullying.
Dipilihnya faktor internal regulasi emosi dengan alasan berdasarkan
pendapat Umasugi (2012), bahwa regulasi emosi merupakan semua kesadaran dan
ketidaksadaran strategi yang digunakan untuk menaikkan, memelihara dan
menurunkan satu atau lebih komponen dari respon emosi. Kemampuan individu
untuk memelihara dan menurunkan emosinya akan menentukan bagaimana
individu bersikap ketika dihadapkan pada situasi tertentu yang dapat
menimbulkan bullying. Regulasi emosi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
regulasi emosi anak (siswa SD) sesuai pendapat Santrock (2009) bahwa anak
memiliki regulasi emosi, karena anak mampu menyesuaikan diri saat berinteraksi
dengan teman sehingga anak dapat mengendalikan emosinya.
B. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas
Ismail (2010) menjelaskan religiusitas adalah sikap batin pribadi (personal)
setiap manusia yang berupa sikap dan keyakinan seseorang terhadap Tuhan sesuai
dengan tata aturan agama yang dianut oleh orang tersebut. Pendapat tersebut
sesuai dengan pendapat Jalaluddin (2016) bahwa pengertian religiusitas
mempunyai makna agama yang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi manusia. Ikatan dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi
dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindra,
namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia
sehari-hari.
29
Pengertian tersebut berbeda dengan pendapat Anshari (dalam Azizah, 2010)
mengartikan religi, agama atau din sebagai sistem tata keyakinan atau tata
keimanan atas dasar sesuatu yang mutlak diluar diri manusia dan merupakan suatu
sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggap mutlak, serta sistem
norma yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam
lainnya dengan tata keimanan dan tata peribadatan yang telah dimaksud. Sebuah
proses untuk mencari sebuah jalan kebenaran yang berhubungan dengan sesuatu
yang sakral. Religiusitas sebagai sistem yang konfleks yang terdiri dari
kepercayaan, keyakinan yang tercermin dalam sikap dan melaksanakan upacara-
upacara keagaman yang dengan maksud untuk dapat berhubungan dengan Tuhan.
Menurut Mangunwijaya (dalam Ismail, 2010) bila dilihat dari
kenampakannya, agama lebih menunjukkan kepada suatu kelembagaan yang
mengatur tata penyembahan manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih
melihat aspek yang ada di lubuk hati manusia. Religiusitas lebih menunjuk kepada
aspek kualitas dari manusia yang beragama. Agama dan religiusitas saling
mendukung dan saling melengkapi karena keduanya merupakan konsekuensi logis
dari kehidupan manusia yang mempunyai dua kutub, yaitu kutub kehidupan
pribadi dan kutub kebersamaannya di tengah masyarakat.
Aviyah dan Farid (2014) membedakan antara agama dan religiusitas. Setiap
individu yang memiliki agama sebagai suatu keyakinan terhadap agama yang
dianutnya. Religiusitas merupakan aspek yang telah dihayati oleh individu di
dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap mengenai religiusitas yaitu sikap
30
keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi agama ke dalam diri
seseorang.
Agrawal dan Kehksha (2015) berpendapat bahwa seseorang yang sudah
bertingkah laku sesuai dengan agamanya menunjukkan adanya unsur internalisasi
agama dalam diri seseorang (religiusitas). Religiusitas dapat memberikan jalan
keluar kepada individu untuk mendapatkan rasa aman, berani, dan tidak cemas
dalam menghadapi permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Agama Islam
sendiri mengajarkan bahwa dengan mendekatkan diri kepada Allah, agar
mendapatkan ketenangan hidup dan dapat mengontrol perilaku.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa
religiusitas adalah sikap batin pribadi (personal) setiap manusia yang berupa sikap
dan keyakinan seseorang terhadap Tuhan sesuai dengan tata aturan agama yang
dianut oleh orang tersebut.
2. Aspek Religiusitas
Ismail (2010) berpendapat bahwa religiusitas sebagai sikap batin, tidak
dapat dilihat secara langsung namun bisa tampak dari pengungkapan sikap
tersebut. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa religiusitas merupakan sikap batin
seseorang yang dapat dilihat dari ungkapan sikap melalui perilaku.
Aspek yang digunakan menurut penelitian Ismail (2010) berdasarkan pada
pendapat yang dikemukakan oleh Glock dan Stark ada lima aspek, yaitu:
a. Aspek keyakinan (the ideological dimension) berkaitan dengan tingkatan
seseorang dalam meyakini kebenaran ajaran agamanya (religious belief).
31
Tiap‐tiap agama memiliki seperangkat keyakinan yang harus dipatuhi oleh
penganutnya, misalnya kepercayaan adanya Tuhan.
b. Aspek peribadatan (the ritulistic dimension) yaitu tingkat kepatuhan
seseorang mengerjakan kewajiban ritual sebagaimana yang diperintahkan
dalam agamanya (religious practice), misalnya kewajiban bagi orang Islam
seperti; sholat, zakat, puasa, pergi haji bila mampu.
c. Aspek penghayatan (the experiential dimension) yaitu tingkatan seseorang
dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan atau
pengalaman‐pengalaman keagamaan (religious feeling). Semua agama
memiliki harapan bagi individu penghayatannya akan mencapai suatu
pengetahuan yang langsung mengenai realitas yang paling sejati atau
mengalami emosi‐emosi religius misalnya; merasa doanya dikabulkan,
merasa diselamatkan Tuhan.
d. Aspek pengamalan (the consequential dimension) yaitu aspek yang mengukur
sejauhmana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam
kehidupan sosial, yakni bagaimana individu berhubungan dengan dunia
terutama dengan sesama manusia (religious effect).
e. Aspek intelektual (the intelectual dimension) berkaitan dengan tingkatan
pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran agama yang
dianutnya (religious knowledge). Pengetahuan dan pemahaman agama dalam
penelitian ini dikhususkan pada siswa SD kelas IV dan V dengan materi
belajar iman kepada malaikat dan iman kepada rasul Allah.
32
Jalaluddin (2016) berpendapat bahwa aspek-aspek religiusitas ada tiga
dengan aspek-aspeknya, sebagai berikut:
a. Cipta (reason) merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Melalui cipta,
orang dapat menilai, membandingkan, dan memutuskan sesuatu tindakan
terhadap stimulan tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan
suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih-lebih dalam agama modern,
peranan, dan fungsi reason ini sangat menentukan. Dalam lembaga-lembaga
keagamaan yang menggunakan ajaran berdasarkan jalan pikiran yang sehat
dalam mewujudkan ajaran-ajaran yang masuk akal, fungsi berpikir sangat
diutamakan.
b. Rasa (emotion) memberi makna dalam kehidupan beragama diperlukan
penghayatan yang seksama dan mendalam sehingga ajaran itu tampak hidup.
Jadi, yang menjadi obyek penyelidikan sekarang pada dasarnya adalah bukan
anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi oleh
emosi, melainkan sampai beberapa jauhkah peranan emosi itu dalam agama.
c. Karsa (will) merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Will berfungsi
mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan
fungsi kejiwaan. Pengalaman agama seorang bersifat intelek ataupun emosi,
namun jika tanpa adanya peranan will, maka agama tersebut belum tentu
terwujud sesuai dengan kehendak reason atau emosi. Masih diperlukan suatu
tenaga pendorong agar ajaran keagamaan itu menjadi suatu tindak
keagamaan. Jika hal yang demikian terjadi, misalnya orang berbuat sesuatu
yang bertentangan dengan kehendaknya, maka itu berarti fungsi will-nya
33
lemah. Jika tingkah laku keagamaan itu terwujud dalam bentuk perwujudan
yang sesuai dengan ajaran keagamaan dan selalu mengimbangi tingkah laku,
perbuatan dan kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan.
Selanjutnya Ismail (2010) mengemukakan bahwa pokok-pokok ajaran Islam
dapat dijadikan aspek religiusitas terdiri dari (1) aqidah (iman), (2) syariah, dan
(3) akhlaq. Dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan religius jika orang mampu
melaksanakan dimensi-dimensi religiusitas tersebut dalam perilaku dan
kehidupannya.
Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek religiusitas
adalah aspek keyakinan (the ideological dimension), peribadatan (the ritulistic
dimension), penghayatan (the experiential dimension), pengamalan (the
consequential dimension), intelektual (the intelectual dimension), cipta (reason),
rasa (emotion), karsa (will), aqidah (iman), syariah, dan akhlaq.
Aspek yang digunakan dalam penelitian adalah aspek yang dikemukakan
oleh Glock dan Stark (dalam Ismail, 2010) ada lima aspek, yaitu keyakinan (the
ideological dimension), peribadatan (the ritulistic dimension), penghayatan (the
experiential dimension), pengamalan (the consequential dimension) dan
intelektual (the intelectual dimension). Alasan digunakannya kelima aspek
religiusitas tersebut, karena aspek tersebut menurut asumsi peneliti dapat
mengungkapkan perilaku religiusitas siswa SD. Alasan lainnya berdasarkan
penelitian terdahulu kelima aspek tersebut digunakan untuk mengetahui hubungan
religiusitas dengan perilaku bullying pada siswa SD.
34
C. Regulasi Emosi
1. Pengertian Regulasi Emosi
Gross dan Jazaieri (2014) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah
kemampuan yang dilakukan secara sadar untuk mempertahankan, memperkuat,
atau mengurangi respon emosi yang berpengaruh terhadap perilaku. Bradley, dkk,.
(2009) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat
mempertahankan, meningkatkan atau mengurangi emosi yang dirasakannya baik
positif maupun negatif. Maksudnya, regulasi emosi individu positif, maka
perilaku yang dilakukan individu cenderung yang baik sesuai dengan aturan.
Sebaliknya, individu yang memiliki regulasi negatif ada kecenderungan
melakukan pelanggaran aturan.
Santrock (2009) berpendapat bahwa regulasi emosi adalah kemampuan
individu dalam memadukan data-data mengenai emosi yang dirasakan oleh diri
sendiri maupun orang lain untuk menentukan tingkah laku yang paling efektif
yang akan ditampilkan pada saat berinteraksi dengan orang lain.
Massah, dkk, (2016) berpendapat bahwa regulasi emosi ialah kapasitas
untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas
yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi
kemampuan untuk mengatur perasaan emosi (regulate feeling), reaksi fisiologis
(regulate physiology), kognisi yang berhubungan dengan emosi (emotionrelated
cognitions), dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (emotion- related
behavior)
35
Sheppes, dkk., (2015) berpendapat bahwa regulasi emosi terdiri dari proses
internal dan eksternal yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor,
mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk
reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi
kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Smieja, dkk., (2011) menjelaskan bahwa aspek penting dalam regulasi
emosi ialah kapasitas untuk memulihkan kembali keseimbangan emosi meskipun
pada awalnya seseorang kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakannya. Selain
itu, seseorang hanya dalam waktu singkat merasakan emosi yang berlebihan dan
dengan cepat menetralkan kembali pikiran, tingkah laku, respon fisiologis dan
dapat menghindari efek negatif akibat emosi yang berlebihan.
Massah, dkk., (2016) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ada dua hal
penting yang terkait dengan regulasi emosi yaitu ketenangan (calming) dan fokus
(focusing), individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini dapat
membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang
mengganggu termasuk regulasi emosi positif. Regulasi emosi negatif dapat terjadi
karena ketidakmampuan individu dalam mengelola ketenangan dan fokus pada
permasalahan yang dihadapi, sehingga emosi individu tetap tinggi dan
memungkinkan terjadinya stres. Regulasi emosi dijelaskan oleh Umasugi (2010)
bahwa siswa yang memiliki kemampuan regulasi emosi positif dapat mengelola
keadaan dirinya ketika sedang kesal, siswa akan mampu megelola emosinya
sehingga dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menyakiti
orang lain.
36
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi
ialah kemampuan secara sadar untuk mempertahankan, memperkuat, atau
mengurangi respon emosi yang berhubungan dengan perilaku. Seseorang yang
memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan atau
mengurangi emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif.
2. Aspek-aspek Regulasi Emosi
Gross dan Jazaieri (2014) menjelaskan ada empat aspek yang digunakan
untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :
a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk
dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan
suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat
menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.
b. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk
tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya, sehingga dapat tetap
berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk
dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang
ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga
individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan
respon emosi yang tepat.
d. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu
untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak
merasa malu merasakan emosi tersebut.
37
Menurut Smieja, dkk., (2011) regulasi emosi memiliki aspek, antara lain :
a. Keyakinan akan kemampuan diri: sikap positif individu tentang dirinya,
bahwa individu mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukan.
b. Optimis: sikap positif individu yang selalu berpandangan baik dalam
menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuannya.
c. Obyektif: sikap individu yang memandang permasalahan ataupun sesuatu
sesuai dengan kebenaran semestinya bukan menurut kebenaran pribadi yang
menurut dirinya benar.
d. Bertanggung jawab: kesediaan individu untuk menanggung segala sesuatu
yang telah menjadi konsekuensinya.
e. Rasional dan realistik: kemampuan menganalisa masalah, sesuatu hal, sesuatu
kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima akal sehat dan
sesuai kenyataan.
Massah, dkk, (2016) berpendapat bahwa regulasi emosi merupakan salah
satu ciri dari kematangan emosi yang diartikan sebagai kondisi yang stabil.
Karakteristik emosi yang stabil antara lain tidak adanya perubahan perasaan yang
cepat dan tidakmenentu, keceriaan, memiliki rasa percaya diri, sikap realistik, dan
optimistik, tidak terobsesi dengan perasaan bersalah, cemas maupun kesepian.
Kesimpulan aspek-aspek regulasi emosi yaitu Strategies to emotion
regulation (strategies), Engaging in goal directed behavior (goals), control
emotional responses (impulse), dan acceptance of emotional response
(acceptance), keyakinan akan kemampuan diri, optimis, obyektif,
bertanggungjawab, rasional dan realistik.
38
Berdasarkan pada kesimpulan di atas, dalam penelitian ini menggunakan
aspek-aspek regulasi emosi yang mengacu pada pendapat Gross dan Jazaieri
(2014). Alasannya, aspek-aspek tersebut mampu mengungkapkan regulasi emosi
dibandingkan aspek dari pendapat orang lain.Aspek-aspek yang dikemukakan
oleh Gross dan Jazaieri dijelaskan lebih mendetail berupa gambaran regulasi
emosi, sehingga memudahkan dalam pembuatan pernyataan pada skala.
D. Hubungan antara Religiusitas dengan Perilaku Bullying Pada Siswa SD
Setiap individu memiliki religiusitas, baik anak, remaja, ataupun orang
dewasa dengan tingkat religiusitas yang berbeda-beda sesuai perkembangan usia.
Religiusitas pada penelitian ini khususnya pada siswa SD dalam tingkat usia
termasuk kategori anak. Aviyah dan Farid (2014) menjelaskan bahwa religiusitas
merupakan aspek yang telah dihayati oleh individu di dalam hati, getaran hati
nurani pribadi dan sikap mengenai religiusitas yaitu sikap keberagamaan yang
berarti adanya unsur internalisasi agama ke dalam diri seseorang
Jalaluddin (2016) menjelaskan tentang perkembangan religiusitas pada anak
diawali dengan konsep berarti memahami sifat religiusitas pada anak-anak.
Religiusitas pada diri anak dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri anak yaitu
mengenai pemahaman konsep. Konsep religiusitas yang dimiliki anak didasarkan
atas dorongan emosional. Berdasarkan hal tersebut, maka pada masa anak-anak
tertarik dan senang pada agama yang menimbulkan rasa religiusitas dapat
dipelajari dari orangtua ataupun guru dalam melaksanakan ketaatan ajaran agama
menjadi kebiasaan.
39
Proses hubungan religiusitas dengan perilaku bullying dijelaskan oleh
Umasugi (2010) bahwa anak yang memiliki religiusitas tinggi akan berusaha
menjauhi larangan-larangan ajaran agama dan perilaku bullying merupakan
perilaku yang dilarang oleh agama, sehingga anak akan menjauhi bullying.
Sebaliknya, anak yang religiusitas rendah atau kurang memahami larangan ajaran
agama, baik disengaja atau tanpa sengaja melakukan bullying yang dianggap
perilaku biasa.
Religiusitas diungkap melalui aspek-aspek yang dikemukakan oleh Glock
dan Stark (dalam Ismail, 2010) ada lima aspek, yaitu keyakinan (the ideological
dimension), peribadatan (the ritulistic dimension), penghayatan (the experiential
dimension), pengamalan (the consequential dimension), dan intelektual (the
intellectual dimension). Aspek keyakinan berkaitan dengan tingkatan seseorang
dalam meyakini kebenaran ajaran agamanya yang memiliki seperangkat
keyakinan yang harus dipatuhi. Keyakinan individu pada dalam ajaran agama
tidak diperbolehkan menyakiti orang, sehingga individu tidak melakukan bullying
karena individu beranggapan bahwa bullying merupakan perbuatan yang
melanggar aturan agama.
Ismail, (2010) berpendapat bahwa aspek ajaran agama di tempat peribadatan
yaitu tingkat kepatuhan seseorang mengerjakan kewajiban ritual sebagaimana
yang diperintahkan dalam agamanya. Seseorang yang menjalankan ibadah
membuat orang tersebut akan mengikuti ajaran agama untuk tidak menyakiti
orang lain. Perasaan seseorang untuk tidak menyakiti orang lain merupakan salah
satu bentuk empati terhadap orang lain. Aspek penghayatan yaitu tingkatan
40
seseorang dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan atau
pengalaman‐pengalaman keagamaan yang berhubungan dengan emosi. Kaitannya
dengan perilaku bullying yaitu individu yang memiliki ketidakstabilan tinggi
berpengaruh pada perilaku bullying. Sebaliknya, individu yang memiliki
ketidakstabilan rendah akan mampu mengontrol emosinya untuk tidak melakukan
bullying.
Jalaluddin (2016) berpendapat bahwa aspek intelektual yaitu aspek yang
mengukur pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai ajaran agama
mengenai aturan-aturan dalam menjalankan ajaran agama dan memahami aturan
yang harus dikerjakan sesuai ajaran agama. Pengetahuan dan pemahaman yang
dimiliki seseorang mengarah pada perilaku untuk taat menjelakan perintah agama.
Aspek pengamalan yaitu aspek yang mengukur sejauhmana perilaku seseorang
dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, khususnya dalam
hubungannya dengan manusia, bahwa sesama harus saling menyayangi. Adanya
sikap menyayangi yang dimiliki individu, maka individu berusaha untuk tidak
menyakiti orang lain.
Trevi (2012) menjelaskan bahwa perasaan merupakan manisfestasi dari
sikap terhadap suatu objek. Pada umumnya reaksi emosional dalam komponen
afektif ini dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang dipercayai sebagai sesuatu
yang benar dan berlaku bagi objek tersebut. Individu yang percaya dan patuh pada
aturan (agama) tidak mudah terpengaruh dan mampu mengendalikan emosi tidak
menyakiti orang lain.
41
Ismail (2010) mengemukakan bahwa perasaan-perasaan atau pengalaman
keagamaan yang selalu muncul dalam diri individu menyebabkan timbulnya
kontrol internal dalam dirinya sehingga dapat mencegah timbulnya perilaku-
perilaku menyimpang yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Konsep untuk menyayangi dan mencintai sesama yang terkandung dalam nilai-
nilai agama akan dimaknai dengan baik oleh individu yang memiliki tingkat
religiusitas yang baik. Kondisi tersebut akan meminimalisasi munculnya perilaku
bullying seperti mengintimidasi, meyakiti orang lain dan bentuk-bentuk perilaku
bullying baik fisik, verbal maupun non verbal. Contohnya perilaku bullying fisik
seperti menendang, memukul, dan menampar. Perilaku bullying verbal contohnya
mengancam, menghina, dan memaki. Perilaku bullying non verbal, contohnya
mengucilkan, menmgirimklan surat kaleng, dan melihat dengan sinis.
Atas dasar penjelasan tersebut, maka religiusitas mempengaruhi terjadinya
perilaku bullying. Umasugi (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa faktor
internal yang berhubungan dengan pemahaman dan pengetahuan agama atau
religiusitas pada individu yaitu keyakinan-keyakinan individu mengenai perbuatan
baik dan buruk yang diajarkan dalam agama. Perilaku bullying merupakan
perbuatan buruk yang dilarang agama dan siswa yang memahami pengertian
tersebut akan berusaha menjauhi perilaku bullying.
E. Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Perilaku Bullying
Pada Siswa SD
Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur
dan mengarahkan perilaku, yaitu emosi seseorang. Emosi juga dianggap sebagai
42
respon yang membimbing tingkah laku individu dan menyediakan informasi
untuk membantu individu mencapai tujuannya. Kemampuan individu dalam
mengatur emosi disebut regulasi emosi.
Regulasi emosi dalam penelitian ini diungkap menggunakan aspek-aspek
pada pendapat Gross dan Jazaieri (2014) ada empat aspek, yaitu: strategies to
emotion regulation (strategies), engaging in goal directed behavior (goals),
control emotional responses (impulse), dan acceptance of emotional response
(acceptance). Strategies to emotion regulation (strategies) sebagai keyakinan
individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk
menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif. Misalnya, individu
sedang marah dengan temannya dan ingin memukul teman tersebut tetapi tidak
jadi dilakukan, karena individu tersebut timbul rasa kasihan. Individu yang
mampu mengurangi emosi negatif tidak melakukan bullying pada teman lainnya,
seperti saat diejek siswa tidak membalas ejekan tersebut.
Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu
untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya, sehingga individu
dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik, yaitu tidak melakukan
bullying. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk
dapat mengontrol emosi, sehingga individu tidak terpengaruh untuk melakukan
perbuatan yang merugikan orang lain yaitu tidak melakukan bullying. Contohnya,
saat diajak teman untuk berkelahi, siswa menolaknya.
Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu
untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif, misalnya
43
seseorang sedang marah dan mencoba untuk bersikap sabar. Diperjelas oleh
Umasugi (2012) bahwa ketika sedang mengalami emosi negatif, individu dengan
regulasi emosi yang baik tetap dapat berfikir jernih, sehingga perilaku yang
muncul merupakan perbuatan yang merugikan orang lain.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Santrock (2009) menunjukkan bahwa
kontrol emosi mempunyai peran penting dalam perilaku individu. Massah, dkk.,
(2016) menjelaskan bahwa regulasi emosi menggambarkan keputusan individu
yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah
disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan.
Individu dengan regulasi emosi tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat
untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu yang memiliki regulasi
tinggi cenderung akan menghindari bullying dan tidak akan terbawa arus
pergaulan lingkungannya. Misalkan anak mampu berpikir bahwa bullying
merupakan perbuatan yang menyakiti orang lain, sehingga anak tidak menendang
atau memukul saat ada perbedaan pendapat dengan teman.
Ricard dan Gross (dalam Umasugi, 201) mengemukakan bahwa pemikiran
dan perilaku individu sangat dipengaruhi oleh emosi individu yang bersangkutan.
Siswa yang memiliki regulasi emosi yang baik akan mampu menyadari dan
mengatur pemikiran dan perilakunya dalam emosi-emosi yang berbeda (emosi
positif dan negatif). Ketika sedang mengalami emosi negatif, siswa dengan
regulasi emosi yang baik tetap dapat berpikir jernih sehingga perilaku yang
muncul tetap berdasarkan logika dan kesadaran. Ekspresi emosi negatif yang
dapat diregulasi dengan baik akan mampu meminimalisasi proyeksi negatif pada
44
perilaku yang berujung pada perilaku bullying. Misalkan anak yang memiliki
regulasi emosi bersikap sabar akan mampu mengontrol emosi, sehingga saat
diejek oleh teman anak tersebut tidak membalas mengejek tetapi bersikap diam.
Penjelasan tersebut dibuktikan dalam hasil penelitian yang dilakukan
Umasugi (2010), dengan kesimpulan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan
antara regulasi emosi dengan perilaku bullying. Regulasi emosi individu baik akan
mampu mengontrol perilaku, sebaliknya subjek yang memiliki regulasi emosi
yang kurang baik cenderung melakukan bullying.
F. Hubungan antara Religiusitas dan Regulasi Emosi dengan
Perilaku Bullying
Religiusitas merupakan suatu keimanan dan keyakinan seseorang kepada
Tuhan. Keimanan seseorang dapat diketahui melalui kesesuaian beribadah dengan
tata peribadatan sesuai dengan agama yang dianut oleh individu tersebut.
Seseorang yang religiusitas bertingkah laku sesuai dengan agamanya
menunjukkan adanya unsur internalisasi agama dalam diri seseorang. Religiusitas
dapat memberikan jalan keluar kepada individu untuk mendapatkan rasa aman,
berani, dan tidak cemas dalam menghadapi permasalahan yang melingkupi
kehidupan.Religiusitas diungkap berdasarkan pendapat Glock dan Stark (dalam
Ismail 2010) ada lima aspek, yaitu keyakinan (the ideological dimension),
peribadatan (the ritulistic dimension), penghayatan (the experiential dimension),
pengamalan (the consequential dimension) dan intelektual (the intelectual
dimension).
45
Umasugi (2010) menjelaskan bahwa aspek religiusitas sebagai tingkat
seseorang dalam meyakini kebenaran ajaran agama berdasarkan pemikiran
tentang religiusitas dirasakan dalam ketenangan emosi yang nantinya diwujudkan
dalam karsa melakukan tindakan ajaran agama. Sejauhmana perilaku seseorang
dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sosial dapat dimiliki
seseorang, maka orang tersebut dapat mengontrol perilakunya, termasuk
mengontrol perilaku bullying. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
religiusitas merupakan faktor internal yang mempengaruhi perilaku bullying.
Misalnya dalam ajaran agama Islam menyakiti orang lain merupakan perbuatan
dosa, karena takut berdosa maka individu berusaha untuk tidak menyakiti orang
lain.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa religiusitas dapat memberikan jalan
keluar kepada individu untuk mendapatkan rasa aman, tenang, berani, dan tidak
cemas dalam menghadapi permasalahan yang melingkupi kehidupan. Rasa aman,
tenang, dan tidak cemas berhubungan dengan emosi seseorang. Emosi seseorang
dalam kehidupan sehari-hari perlu dilakukan pengontrolan yang disebut dengan
regulasi emosi. Regulasi emosi sebagai kemampuan individu untuk memonitor,
mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosional untuk mencapai tujuan.
Regulasi dipandang secara positif, individu yang melakukan regulasi emosi akan
lebih mampu melakukan pengontrolan emosi.
Regulasi dapat diketahui melalui aspek-aspeknya. Gross dan Jazaieri
(2014) menjelaskan ada empat aspek untuk menentukan kemampuan regulasi
emosi seseorang yaitu: Strategies to emotion regulation (strategies), engaging in
46
goal directed behavior (goals), control emotional responses (impulse), dan
acceptance of emotional response (acceptance)
Individu yang memiliki keempat aspek tersebut, maka individu memiliki
regulasi emosi yang baik akan mampu menyadari dan mengatur pemikiran dan
perilakunya. Ketika sedang mengalami emosi negatif, siswa dengan regulasi
emosi yang baik tetap dapat berfikir jernih sehingga perilaku yang muncul tetap
berdasarkan logika dan kesadaran. Ekspresi emosi negatif yang dapat diregulasi
dengan baik akan menurunkan perilaku negatif pada yang berujung pada perilaku
bullying. Dijelaskan oleh Golmaryami, dkk., (2015) bahwa ekspresi emosi negatif
individu menunjukkan ketidakmampuan individu dalam mengelola emosi,
sehingga individu tidak dapat menahan diri untuk melakukan hal-hal yang dapat
menyakiti orang lain.
Perilaku bullying di sekolah sebagai perilaku agresif yang dilakukan
berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang berkuasa terhadap
siswa-siswi yang lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut dapat diketahui
melalui bentuk-bentuk bullying. Adapun bentuk-bentuk bullying berdasarkan
pendapat Priyatna (2010) dibedakan atas bentuk kontak fisik dan non fisik dibagi
menjadi dua bentuk verbal dan non-verbal. Hasil penelitian yang dilakukan
Widiharto dan Yulianti (2015) diketahui bahwa perilaku bullying siswa SD di
Jawa Tengah terbanyak adalah bullying verbal yaitu 56,05% (diejek, dimarahi,
diancam, dihina dan penyebaran gosip), bullying fisik sebesar 23,57% (dipukul,
dijambak, dicubit dan ditendang).
47
Agrawal dan Kehksha (2015) menjelaskan bahwa religiusitas seseorang
dapat memberikan jalan keluar kepada individu untuk mendapatkan rasa aman,
tenang, dan tidak cemas berhubungan dengan emosi seseorang. Emosi seseorang
dalam kehidupan sehari-hari perlu dilakukan pengontrolan yang disebut dengan
regulasi emosi. Priyatna (2010) menyatakan bahwa individu memiliki regulasi
emosi yang baik akan mampu menyadari dan mengatur pemikiran, sehingga
mengatur perilakunya untuk tidak melakukan bullying.
G. Landasan Teori
Individu dalam kehidupan sehari-harinya dalam berperilaku mempunyai
pedoman agama sebagai ajarannya, sehingga memungkinkan individu memiliki
religiusitas. Perilaku religiusitas adalah perilaku yang berdasarkan keyakinan
suara hati dan keterikatan kepada Tuhan, diwujudkan dalam bentuk kuantitas dan
kualitas peribadatan serta norma yang mengatur hubungan dengan Tuhan,
hubungan sesama manusia, hubungan dengan lingkungan yang terinternalisasi
dalam manusia. Religiusitas diungkap berdasarkan pendapat Glock dan Stark
(dalam Ismail 2010) ada lima aspek, yaitu keyakinan (the ideological dimension),
peribadatan (the ritulistic dimension), penghayatan (the experiential dimension),
pengamalan (the consequential dimension), dan intelektual (the intelectual
dimension).
Kelima aspek tersebut dapat dijadikan dasar seseorang dalam membina
hubungan dan menjalin komunikasi yang baik dengan orang lain. Oleh karena itu
agama dapat dijadikan sebagai pedoman untuk membangun sebuah hubungan
pertemanan yang baik agar dapat mengurangi perilaku bullying dikalangan
48
individu dengan cara memberikan pendidikan religiusitas yang didapatkan melalui
keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar. Umasugi, (2012) berpendapat bahwa
individu yang religiusitasnya baik akan mampu menyelesaikan permasalan yang
dihadapinya dengan tenang dan sesuai dengan tuntunan agama. Hal ini dapat
menjelaskan bahwa individu yang memiliki religiusitas yang baik tidak akan
melakukan bullying pada temannya
Agrawal dan Kehksha (2015) menjelaskan bahwa seseorang yang
memiliki religiusitas tinggi mampu mengontrol emosi yang disebut dengan
regulasi emosi. Regulasi emosi sebagai kemampuan untuk tenang di bawah
tekanan. Individu yang mempunyai regulasi emosi yang baik akan mampu
memahami keadaan emosinya dengan tenang, dan mengarahkan emosinya ketika
mendapat tekanan. Regulasi emosi diungkap berdasarkan aspek-aspek dari Gross
dan Jazaieri (2014), meliputi Strategies to emotion regulation (strategies),
Engaging in goal directed behavior (goals), control emotional responses
(impulse), dan acceptance of emotional response (acceptance). Individu yang
memilki regulasi emosi yang baik akan mampu memelihara dan mampu
mengelolah emosinya sehingga dalam hubungannya dengan teman sebayanya
akan mampu membangun sebuah hubungan yang baik, dalam sebuah hubungan
yang baik akan terjalin komunikasi yang baik, sehingga dapat mengurangi konflik
yang dapat menyebabkan bullying. Priyatna (2010) menjelaskan bullying terbagi
menjadi 2 bentuk aspek yakni perilaku bullying secara fisik dan non-fisik
dibedakan menjadi 2 yaitu verbal dan non-verbal.
49
Umasugi (2010) berpendapat bahwa religiusitas seseorang dalam meyakini
kebenaran ajaran agama mampu mempengaruhi pemikiran dalam mengelola
emosi, sehingga individu yang menyakini ajaran agama demi kebaikan akan
menjauhi larangannya, karena individu mampu meregulasi emosi yang nantinya
diwujudkan dalam perilaku untuk tidak berbuat menyakiti orang lain atau
menjauhi perilaku bullying.
Penjelasan teori tersebut memberikan pemahaman bahwa fokus dalam
penelitian ini yaitu variabel independen yaitu religiusitas (X1) dan regulasi emosi
(X2) mempengaruhi terjadinya variabel dependen yaitu perilaku bullying (Y).
Pengaruh variabel independen terhadap dependen dijelaskan dalam kerangka teori
berikut ini.
H1
H3
H2
Gambar 1. Dinamika Hubungan Antar Variabel
Keterangan :
H1 menunjukkan hubungan X1 dengan Y.
H2 menunjukkan hubungan X2 dengan Y.
H3 menunjukkan hubungan X1 dan X2 dengan Y.
Religiusitas (X1)
Aspek:
1. Ideological
2. Ritualistic
3. Eksperiencal
4. Konsequential
5. Intelectual
Perilaku Bullying (Y)
Aspek:
1. Fisik
2. Non Fisik (Verbal
dan non verbal) Regulasi Emosi (X2)
Aspek:
1. Strategies to emotion
regulation (strategies)
2. Engaging in goal directed
behavior (goals)
3. Control emotional responses
(impulse)
4. Acceptance of emotional
response (acceptance)
50
H. Hipotesis
Berdasarkan pada kerangka pemikiran, maka hipotesis dalam penelitian
yaitu:
1. Ada hubungan negatif antara religiusitas dengan perilaku bullying pada siswa
SD. Artinya, semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah bullying.
Sebaliknya religiusitas rendah, maka perilaku bullying tinggi.
2. Ada hubungan negatif antara regulasi emosi dengan perilaku bullying pada
siswa SD. Artinya, semakin tinggi regulasi emosi maka semakin rendah
perilaku bullying atau sebaliknya, regulasi emosi rendah maka perilaku
bullying semakin tinggi.
3. Ada hubungan antara religiusitas dan regulasi emosi dengan perilaku bullying
pada siswa SD.