6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar Belajar
Virginia Henderson memperkenalkan definition of nursing (definisi
keperawatan). Menyatakan bahwa definisi keperawatan harus menyertakan
prinsip keseimbangan fisiologis. Henderson sendiri kemudian
mengemukakan sebuah definisi keperawatan yang ditinjau dari sisi
fungsional. Menurutnya tugas perawat adalah membantu individu yang
sakit dan yang sehat dalam melaksanakan berbagai aktivitas guna
mendukung kesehatan dan penyembuhan yang dapat dilakukan secara
mandiri oleh individu bila ia memiliki kekuatan, kemampuan, dan
pengetahuan yang dibutuhkan. Di samping itu, Henderson juga
mengembangkan sebuah model keperawatan yang dikenal dengan “The
Activities of Living”. Model tersebut menjelaskan bahwa tugas perawat
adalah membantu individu dengan meningkatnya kemandiriannya secepat
mungkin. Perawat menjalankan tugasnya secara mandiri, tidak tergantung
pada dokter. Akan tetapi perawat tetap menyampaikan rencananya pada
dokter sewaktu mengunjungi pasien.
Menurut Henderson, kebutuhan dasar manusia terdiri atas 14
komponen yang merupakan komponen kerja dalam melakukan asuhan
keperawatan. Ke-14 kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut. Bernafas
secara normal, makan dan minum secara cukup, eliminasi, bergerak dan
mempertahankan posisi yang dikehendaki, istirahat dan tidur, memilih cara
berpakaian dan melepas pakaian, menjaga suhu tubuh tetap dalam batas
normal, menjaga tubuh tetap bersih dan rapih, menghindari bahaya
lingkungan, berkomunikasi dengan orang lain, beribadah sesuai keyakinan,
bekerja dengan tata cara yang mengandung unsur prestasi, bermain dan
berpartisipasi dalam berbagai bentuk rekreasi, belajar mengetahui atau
memuaskan rasa keingintahuan yang mengacu pada perkembangan dan
kesehatan normal.
7
Keempat belas kebutuhan dasar manusia diatas dapat
diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu komponen-komponen
biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual. Kebutuhan dasar poin 1 - 9
termasuk komponen kebutuhan biologis. Poin 10 dan 14 termasuk
komponen kebuuhan psikologis. Poin 11 termasuk kebutuhan spiritual.
Sedangkan poin 12 dan 13 termasuk komponen kebutuhan sosiologis. Dari
14 kebutuhan menurut teori Henderson penulis mengambil kebutuhan
belajar.
1. Kebutuhan belajar
Pembelajaran merupakan upaya mendapatkan pengetahuan, sikap,
dan keterampilan. Proses belajar mengajar merupakan proses yang aktif,
membutuhkan keterlibatan baik pengajar maupun peserta didik dalam
upaya meraih hasil yang diinginkan yaitu perubahan dalam perilaku.
Belajar merupakan upaya menguasai sesuatu yang berguna untuk
kehidupan. Upaya pendidikan kesehatan klien merupakan aspek utama
praktik keperawatan, dan merupakan fungsi keperawatan mandiri yang
penting. Pendidikan klien meliputi berbagai aspek yakni, upaya
promosi, perlindungan dan pemeliharaan kesehatan. Hal tersebut
meliputi penyuluhan tentang upaya mengurangi faktor resiko,
meningkatkan kesejahteraan individu dan mengambil langkah-langkah
perlindungan kesehatan tertentu.
a. Pengertian belajar
Belajar merupakan proses yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru sebagai hasil
pengalaman interaksi dengan lingkungan. Belajar merupakan upaya
menguasai sesuatu yang berguna untuk hidup. Upaya yang
dilakukan dalam berlajar adalah menghapal, mengingat, dan
menghasilkan. Belajar dapat membuat individu menguasai
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Dimana dalam proses ini
dapat meneriman informasi dengan tujuan akhir terjadi perubahan
dalam perilaku peserta didik.
8
Perawat sebagai pendidik dan pasien sebagai peserta didik sama-
sama memiliki tanggung jawab pada kegiatan proses belajar
mengajar. Pengetahuan adalah “power”, dengan membagi
pengatahuan pada pasien maka perawat “mengempower” pasien
untuk mencapai tingkat kesejahteraan klien yang maksimal. Dengan
adanya informasi yang diberikan, diharapkan dapat mengubah
perilaku dari pasien untuk menerima informasi yang baru (Niman,
2017).
b. Ciri-ciri kegiatan belajar
1) Terjadi perubahan baik aktual maupun potensial pada diri
individu yang belajar.
2) Perubahan diperoleh karena usaha dan perjuangan.
3) Perubahan didapat karena kemampuan baru yang berlangsung
relatif lama.
c. Fase belajar
Secara teori Gagne, (2002) dikenal 4 fase belajar dalam teori
belajar. Fase tersebut meliputi:
1) Fase penerimaan (Apprehending phase)
Pada fase ini, individu akan memberikan perhatian, menerima
dan merekam stimulus pembelajaran.
2) Fase penguasaan (Acquisition phase)
Pada fase ini, individu akan membuktikan adanya perubahan
kemampuan atau karena telah melakukan proses pembelajaran.
3) Fase pengendapan (Storange phase)
Individu pada fase pengendapan akan menyimpan dalam ingatan
proses pembelajaran yang telah dilakukan.
4) Fase pengungkapan kembali (Retrieval phase)
Pada fase ini, individu akan mengungkapkan kembali apa yang
telah dipelajari.
9
2. Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah pola yang menggambarkan tahapan
pembelajaran. Ada beberapa model pembelajaran yaitu :
1) Model interaksi sosial (Social interaction model)
Model ini menitik beratkan pada hubungan individu dengan
masyarakat atau individu lainnya. Berdasarkan model ini, strategi
pembelajaran yaitu: kerja kelompok, dan role play seperti
penyuluhan yang diberikan kepada keluarga pasien maupun
kumpulan dari pasien thalasemia. Proses penyuluhan dapat
dilakukan di unit rawat jalan (self help group)
2) Model proses informasi (Information processing model)
Orientasi dari model ini adalah kemampuan individu memproses
informasi. Contoh strategi pembelajaran yaitu: ceramah. Dalam
model ini ceramah dapat diberikan di unit rawat jalan maupun rawat
inap.
3) Model personal
Model ini berorientasi pada individu dan pengembangan dari
individu. Dimana pada model ini menerapkan afektif, kognitif, dan
psikomotor. Contoh strategi pembelajaran yaitu: pasien diminta
untuk memparagakan ulang dan menjelaskan kembali apa yang telah
disampaikan, serta pasien dapat membuat jadwal untuk pengobatan.
3. Bidang pembelajaran
Pembelajaran terjadi dalam tiga bidang, yaitu: kognitif
(pemahaman), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan motorik).
a. Pembelajaran kognitif
Pembelajaran kognitif meliputi seluruh perilaku intelektual dan
membutuhkan pemikiran. Pada perilaku kognitif yaitu perilaku
memperoleh pengetahuan.
10
b. Pembelajaran afektif
Pembelajaran afektif berhadapan dengan ekspresi perasaan dan
penerimaan sikap, opini atau nilai.
c. Pembelajaran psikomotor
Pembelajaran psikomotor melibatkan perolehan keterampilan yang
membutuhkan integritas aktivitas mental dan otot, seperti
kemampuan jalan atau menggunakan alat makan (Jenita, 2017).
4. Faktor yang mempengaruhi belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar juga dapat
dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal.
a. Faktor internal
Faktor ini berasal dari dalam diri individu, terdiri dari:
1) Faktor fisiologis
a) Kematangan fisik
Fisik yang sudah matang atau siap untuk belajar akan
mempermudah dan memperlancar proses belajar atau
sebaliknya. Pada pasien thalasemia adanya gangguan
motorik yang menyebabkan terganggunya tumbuh kembang
pada anak.
b) Keadaan indra
Keadaan indra yang sehat atau normal, terutama penglihatan
dan pendengaran akan memperlancar dan mendukung proses
belajar atau sebaliknya.
c) Keadaan kesehatan
Kondisi badan tidak sehat termasuk kecacatan ataupun
kelemahan, misalnya: kurang gizi, sakit-sakitan, kurang
vitamin, gangguan bicara atau cacat tubuh lain, akan menjadi
kendala dan menghambat proses belajar atau sebaliknya.
Demikan hal yang dialami pada anak thalasemia, pada saat
anak thalasemia harus melakukan transfusi darah
dikarenakan kondisi hemoglobin yang kurang didalam tubuh
11
sehingga mengakibatkan penimbunan zat besi dalam tubuh
yang disebabkan transfusi darah secara teratur.
2) Faktor psikologi
a) Motivasi
Belajar yang dilandasi motivasi yang kuat dan berasal dari
dalam diri individu akan memperlancar proses belajar atau
sebaliknya. Hal ini akan membuat pasein akan lebih giat
dalam memahami dan mempelajari lebih lanjut pembelajaran
yang diberikan.
b) Emosi
Emosi yang stabil, terkendali, dan tidak emosional akan
mendukung proses belajar.
c) Sikap
Sikap negatif terhadap mata pelajaran, fasilitator kondisi
fisik dan dalam menerima pelajaran dapat menghambat atau
kendala dalam proses belajar atau sebaliknya.
d) Minat
Bahan pelajaran yang menarik minat akan mempermudah
individu untuk mempelajari dengan sebaik-baiknya atau
sebaliknya.
e) Bakat
Seseorang yang tidak berbakat pada bidang tertentu, apabila
memasuki jurusan atau mengikuti pelajaran yang tidak sesuai
bakatnya akan menimbulkan hambatan dalam proses belajar
atau sebaliknya.
f) Intelegensi
Diantara berbagai faktor yang dapat memengaruhi belajar,
faktor intelegensi sangat besar pengaruhnya dalam proses
dan kemajuan belajar individu. Apabila individu memiliki
intelegensi rendah, sulit untuk memperoleh hasil belajar yang
baik atau sebaliknya.
12
g) Kreativitas
Individu yang memiliki kreativitas ada usaha untuk
memperbaiki kegagalan sehingga akan merasa aman bila
menghadapi pelajaran.
b. Faktor eksternal
Faktor ini berasal dari luar diri individu, yang terdiri dari faktor
sosial, yaitu faktor manusia lain yang berada diluar dari subjek yang
sedang belajar.
1) Orang tua
Orang tua yang mampu mendidik dengan baik, mampu
berkomunikasi dengan baik, penuh perhatian terhadap anak dan
mampu menciptakan hubungan baik dengan anak-anaknya, akan
berpengaruh besar terhadap keberhasilan belajar anak tersebut
atau sebaliknya.
2) Manusia yang hadir
Manusia yang hadir pada saat seseorang sedang belajar dapat
mengganggu proses belajar. Namun sebaliknya, kehadiran
sesorang yang memiliki latar belakang dengan penyakit yang
sama akan membantu dalam proses belajar menjadi lebih baik.
3) Alat bantu
Dapat berupa film, video, atau kaset yang diputar dan
ditampilkan sehingga dapat mengganggu individu yang sedang
belajar. Namun sebaliknya, alat bantu yang diberikan dalam
bentuk visual untuk menunjang proses pembelajar akan sangat
membantu.
13
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Susilaningrum, dkk (2013) pengkajian yang dilakukan
pada anak thalasemia adalah sebagai berikut:
a. Asal keturunan atau kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar Laut Tengah
(Mediterania), seperti Turki, Yunani, Cyprus, dan lain-lain. Di
Indonesia sendiri, thalasemia cukup banyak dijumpai pada anak, dan
merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
b. Umur
Pada thalasemia mayor menunjukkan gejala klinisnya secara jelas
sejak anak berusia kurang dari satu tahun. Sedangkan pada
thalasemia yang gejalanya lebih ringan biasanya baru datang untuk
pengobatan pada usia sekitar 4-6 tahun.
c. Riwayat kesehatan anak
Kecenderungan mudah timbul infeksi saluran nafas bagian atas atau
infeksi lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb
yang berfungsi sebagai alat transportasi.
d. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data adanya kecenderunga gangguan tumbuh
kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia
jaringan yang bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk
thalasemia mayor. Pertumbuhan fisik kecil untuk usianya dan
adanya keterlambatan kematangan seksual seperti tidak ada
pertumbuhan rambut, pubis, dan ketiak. Kecerdasan anak juga dapat
mengalami penurunan. Namun, pada jenis thalasemia minor sering
kali terlihat seperti pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
e. Pola makan
Anak sering kali mengalami kesulitan untuk makan, hal ini sebabkan
adanya anoreksia. Sehingga berat badan anak sangat rendah dan
tidak sesuai dengan usianya.
14
f. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak lincah seperti anak pada usianya.
Anak dengan thalasemia lebih banyak istirahat, ini sebabkan bila
aktivitas seperti anak normal akan lebih mudah merasa lelah.
g. Riwayat kesehatan keluarga
Karena thalasemia merupakan penyakit keturunan, perlu dikajinya
orangtua yang menderita thalasemia. Apabila kedua orangtua
menderita thalasemia, maka anaknya berisiko menderita thalasemia
mayor. Oleh karena itu, konseling pranikah sebaiknya perlu
dilakukan karena berfungsi untuk mengetahui adanya penyakit yang
mungkin disebabkan dari keturunan.
h. Riwayat ibu saat hamil (Ante natal care)
Selama masa kehamilan hendaknya perlu dikaji secara mendalam
adanya faktor risiko thalasemia. Sering kali orang tua merasa dirinya
sehat. Apabila diduga adanya faktor risiko, maka ibu perlu
dijelaskan risiko yang mungkin akan dialami oleh anaknya nanti
setelah lahir. Untuk memastikan diagnosis, ibu segera mungkin
dirujuk ke tempat fasilitas kesehatan untuk mendapatkan tindakan
lanjut.
i. Kesiapan dalam belajar
Pada anak thalasemia dapat dilihat melalui sikap keingintahuan,
respon dalam menerima pelajaran yang diberikan. Hal tersebut yang
menjadi kebutuhan belajar pada anak thalasemia.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah, tidak selincah
anak seusia yang normal.
b. Kepala dan bentuk wajah
Pada anak yang belum atau tidak mendapatkan pengobatan
mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk wajah
15
mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal hidung), jarak mata lebar,
serta tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva terlihat pucat (anemis) dan kekuningan.
d. Bibir terlihat pucat kehitaman.
e. Pada inspeksi terlihat dada sebelah kiri menonjol disebabkan adanya
pembesaran jantung yang disebabkan anemia kronik.
f. Perut kelihatan membuncit, serta ketika melakukan palpasi adanya
pembesaran limpa dan hati (hepatospeknomegali).
g. Pertumbuhan fisik kecil dan berat badan kurang dari normal untuk
anak seusianya.
h. Adanya keterlambatan pertumbuhan organ seks sekunder untuk
anak usia pubertas.
i. Kulit
Warna kulit pucat kekuningan, jika anak sering mendapatkan
transfusi darah warna kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini
sebabkan adanya penimbunan besi zat besi dalam jaringan kulit.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah tepi:
1) Hb, gambaran morfologi eritrosit.
2) Retikulosit meningkat .
b. Red cell distribution WIDTH (RCW)
Menyatakan variasi ukuran eritrosit.
c. Tes DNA dilakukan jika pemeriksaan hematologis tidak mampu
menegakkan diagnosis hemoglobinopita.
d. Pemeriksaan khusus
1) Hb F meningkat meningkat: 20%-90% Hb total.
2) Elektroforesis Hb: hemoglobinopati lain dan mengukur kadar
Hb F.
3) Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua manusia pasien
thalasemia mayor merupakan trait (carrier) dengan Hb A2
meningkat (<3,5% dari Hb total).
16
e. Pemeriksaan lain
1) Foto rongen tulang belakang: gambaran hair to end, korteks
menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus pada
korteks.
2) Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang: perluasan sumsusm
tulang sehingga trabekula tampak jelas.
4. Program terapi
Prinsip terapi pada anak dengan thalasemia adalah mencegah
hipoksia jaringan. Tindakan yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a. Transfusi darah diberikan bila kadar hemoglobin rendah sekali
(kurang dari 6 mg/dL) atau anak terlihat lemah dan tidak ada nafsu
makan.
b. Splenektomi dilakukan pada anak yang berumur lebih dari dua tahun
dan bila limpa terlalu besar, sehingga risiko terjadi trauma yang
berakibat perdarahan cukup besar.
c. Pemberian dexferioxamin untuk menghambat proses hemosiderosis,
yaitu membantu ekskresi dan mengurangi absorsi melalui usus.
d. Transplantasi bone marrow (sumsum tulang) untuk anak yang sudah
berusia diatas 16 tahun.
5. Diagnosa keperawatan
Berdasarkan kebutuhan dasar belajar anak dengan thalasemia maka
diagnosa yang sering muncul adalah:
a. Risiko gangguan perkembangan berhubungan dengan
ketidakmampuan belajar.
b. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar
informasi mengenai penyakit.
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan proses penyakit.
d. Intolerannsi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
17
6. Intervensi keperawatan
Pada anak thalsemia dibutuhkannya pendidikan kesehatan
berdasarkan kriteria yaitu, pada anak thalasenia yang baru saja
mengalami tanda gejala thalasemia, pada anak yang dirawat di rumah
sakit, dan pada anak thalsemia dirumah. Berdasarkan kebutuhan
tersebut, penulis akan melakukan pendidikan kesehatan pada anak
thalasemia yang sedang dirawat di rimah sakit. Terdapat beberapa
metode dalam pemberian pendidikan kesehatan untuk membantu proses
belajar anak seperti metode ceramah, terapi bermain, dan story telling.
Penulis akan melakukan metode ceramah dan terapi bermain
berdasarkan intervensi beikut.
Tabel 2.1 Intervensi Masalah Keperawatan
Risiko Gangguan Perkembangan
Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Intervensi Keperawatan
Risiko gangguan
perkembangan berhubungan dengan
ketidakmampuan
belajar.
Defini:
Berisiko mengalami
gangguan proses
belajar yang
disebabkann oleh
penyakit yang dialami
Tujuan: Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
3x24 jam diharapkan
adanya peningkatan
belajar pada klien
Kriteria Hasil:
Pasien dapat
mengetahui
keterbatasan penyakit,
mampu menyusun jadwal belajar dan
tugas, mampu belajar
dengan cara yang
diminati.
1. Identifikasi kebutuhan khusus anak dan kemampuan belajar
anak 2. Siapkan anak dan keluarga untuk pendidikan kesehatan dengan
menjelaskan tujuan prosedur tersebut
3. Fasilitas hubungan anak dengan teman sebaya memalui
pembelajaran yang diberikan di rumah sakit
4. Dukung anak berinteraksi dengan anak lain dengan memalui
games di rumah sakit
5. Dukung anak dalam proses belajar dengan cara kreativ untuk
mengekspresikan perasaannya secara positif seperti, mewarnai,
menentukan obat, membuat jadwal dan bermain bersama teman
6. Diskusikan bersama anak dan orangtua tujuan dan harapannya
atas kondisi thalasemia
7. Sediakan kesempatan dan alat-alat untuk mewarnai, menentukan gambar obat yang tepat, dan menyusun jadwal
8. Ajarkan teknik asertif pada anak untuk mendemostrasikan
ulang kegiatan dari pembelajaran yang diberikan
9. Melibatkan ibu dalam proses belajar klien
18
Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Intervensi Keperawatan
Kurang pengetahuan
berhubugan dengan
kurangnya terpapar
informasi penyakit
(thalasemia)
Definisi: Ketidaktahuan yang
disebabkan tidak
mendapatkannya
informasi terkait
penyakit
Tujuan:
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan
3x24 jam diharapkan
adanya perkembangan keingintahuan
mengenai penyakit
yang dialami
Kriteria hasil:
Ibu dan klien dapat
mengetahui tanda-
tanda kekambuhan
dari penyakit
thalasemia,
perkembangan
penyakit, jadwal pengobatan
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga mengenai
penyakit yang dialami klien
2. Berikan pendidikan mengenai thalasemia yang meliputi
pengertian, pengobatan, serta follow up rutin atau membuat
jadwal
3. Jelaskan perkembangan penyakit, dengan cara pendidikan
kesehatan pada klien dan keluarga klien 4. Jelaskan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit,
dengan cara yang tepat
Sumber: Standar Diagnosis Keperawatan Persatuan Perawatan Nasional
Indonesia (2018) dan Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (2013).
7. Implementasi
Pelaksaan adalah realisasi rencana tindakan kerjasama untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan meliputi pengumpulan
data berkelanjutan, dan mengobservasi kondisi anak. Memberikan
pembelajaran dan aktivitas yang tepat pada anak dengan intervensi yang
telah ditetapkan.
19
8. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui respon anak baik subjektif
maupun objektif terhadap hasil yang diharapkan dari rencana
keperawatan. Menentukan apakah dibutuhkan revisi rencana, untuk
mengevaluasi perubahan.
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Definisi thalasemia
Salah satu penyakit kronik yang banyak terjadi di Indonesia adalah
penyakit thalasemia. Thalasemia adalah penyakit kelainan darah, yang
dimana darah tidak memproduksi cukup hemoglobin sehingga
mengakibatkan jumlah hemoglobin didalam tubuh sedikit. Zat besi yang
diperoleh tubuh dari makanan digunakan oleh sumsum tulang untuk
menghasilkan hemoglobin. Hemoglobin adalah protein pembentuk sel
darah merah berfungsi untuk mengantarkan oksigen dari paru-paru
keseluruh tubuh. Penderita thalasemia memiliki kadar hemoglobin yang
rendah, oleh karena itu tingkat oksigen dalam tubuh penderita
thalasemia juga lebih rendah. Saat tubuh kekurangan hemoglobin, sel
darah merah tidak bisa berfungsi dengan baik dan hanya dapat hidup
dalam waktu yang singkat yaitu kurang dari 100 hari (Natalia Erlina
Yuni, 2015).
Thalasemia merupakan penyakit kelainan darah bawaan dengan
manifestasi klinis berupa anemia berat yang paling banyak jumlahnya
di dunia (World Health Organization Thalassaemia International
Federation, 2011). Sedikitnya sel darah merah yang beredar keseluruh
tubuh, maka oksigen yang dihantarkan keseluruh tubuh tidak
mencukupi dan mengakibatkan seseorang terkena gejala anemia
(Natalia Erlina Yuni,2015). Thalasemia jenis penyakit kelainan darah
bawaan. Penyakit ini biasanya di tandai dengan kondisi sel darah merah
(eritrosit) yang mudah rusak atau lebih pendek umurnya dari sel darah
normal pada umumnya, yaitu 120 hari. Kondisi ini diturunkan orangtua
kepada anaknya sejak masih dalam kandungan (Sukri, 2016).
20
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan dan
masuk kedalam kelompok hemoglobinapoti, yakni kelaianan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi didalam
atau dekat dengan gen globin (Huda dkk, 2016).
2. Etiologi thalasemia
Thalasemia dapat terjadi disebabkan karena ketidakmampuan
sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk
memproduksi hemoglobin secara sempurna. Hemoglobin merupakan
protein kaya zat besi yang berada didalam sel darah merah (eritrosit) dan
berfungsi untuk membawa oksigen dari peru-paru keseluruh tubuh
(Sukri, 2016).
Penyakit ini merupakan anemia hemolitik herediter yang diturunkan
secara resesif. Ditandai dengan defisiensi produksi globin pada
hemoglobin. Terjadinya kerusakan sel darah merah didalam pembuluh
darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek. Kerusakan tersebut
karena hemoglobin yang tidak normal (Huda dkk, 2016).
3. Manifestasi klinis
a. Thalsemia minor
Tampilan klinis normal, splenomegali dan hepatomegali ditemukan
pada sedikit penderita, hyperplasia eritroid stipples ringan sampai
dengan pada sumsum tulang, anemia ringan. Pada penderita yang
berpasangan harus melakukan pemeriksaan. Hal ini sebabkan karier
minor pada kedua pasangan dapat menghasilkan keturunan dengan
thalasemi mayor.
Pada anak yang sudah besar sering kali ditandai adanya:
1) Gizi buruk.
2) Perut membesar (membuncit) dikarenakan pembesaran limpa
dan hati yang mudah diraba.
3) Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati
(hepatomegali).
Limpa yang besar ini mudah ruptur karena trauma ringan saja.
21
b. Thalasemia mayor
Gejala klinis thalasemia mayor sudah dapat terlihat sejak anak baru
berusia kurang dari 1 tahun, yaitu:
Anemia simtomatik pada usia 6-12 bulan, yang bersamaan dengan
turunnya kadar hemoglobin fetal.
1) Anemia mikrositik berat, yaitu sel hemoglobin rendah mencapai
3 atau 4gram %.
2) Tampak lemah dan pucat.
3) Pertumbuhan fisik dan perkembangannya terhambat, kurus,
penebalan tulang tengkorak, splenomegali, ulkus pada kaki, dan
gambaran patognomonik “hair on end”.
4) Berat badan berkurang.
5) Tidak dapat hidup tanpa transfusi.
c. Thalasemia Intermedia
1) Anemia mikrositik, bentuk heterozigot.
2) Tingkat keparahannya berada diantara thalasemia minor dan
thalasemia mayor.
3) Terjadi anemia sedikit berat 7-9 gram/dL dan splenomegali.
4) Tidak tergantung pada tranfusi.
4. Gejala khusus
a. Bentuk wajah mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung,
jarak antara kedua mata lebar beserta tulang dahi yang lebar.
b. Kulit terlihat kuning pucat, pada anak yang sering melakukan
tranfusi kulit akan terlihat menjadi kelabu dikarenakan penimbunan
besi.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Darah tepi:
1) Hb, gambaran morfologi eritrosit.
2) Retikulosit meningkat.
b. Red cell distribution
Menyatakan variasi ukuran eritrosit.
22
c. Tes DNA dilakukan jika pemeriksaan hematologis tidak mampu
menegakkan diagnosis hemoglobinopita.
d. Pemeriksaan khusus
1) Hb F meningkat meningkat: 20%-90% hemoglobin total.
2) Elektroforesis hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.
3) Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalasemia mayor
merupakan trait (carrier) dengan hemoglobin A2 meningkat
(<3,5% dari Hb total).
e. Pemeriksaan lain
1) Foto rongen tulang belakang: gambaran hair to end, korteks
menipis, tulang pipih melebar dengan trabekula tegak lurus pada
korteks.
2) Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang: perluasan sumsum
tulang sehingga trabekula tampak jelas.
6. Patofisiologi thalasemia
Berdasarkan clinical pathway, yang bersumber dari NANDA (2015)
dijelaskan bahwa thalasemia terjadi karena adanya penurunan
autosomal resesif dari orang tua, sehingga terjadi ganggguan sintesis
rantai globin α dan β, setelah terjadi pembentukan rantai α dan β
diretikulo tidak seimbang. Hal tersebut dapat membentuk thalassemia α
dan β dimana tidak terbentuk hemoglobin A akan tetapi membentuk
inklosion bodies lalu menempel pada dinding eritrosit dan terjadi
hemolisis. Dari hemolisis maka akan terjadi anemia dan mengakibatkan
berbagai masalah. Pada kebutuhan belajar anak dengan thalasemia
adanya gangguan keterlambatan perkembangan. Apabila anak dengan
thalasemia mengalami anemia, makanya akan terjadinya hipoksia yaitu
kondisi kurangnya suplai oksigen kejaringan. Penurunan suplai oksigen
tersebut maka pertumbuhan dan perkembangan sel dan otak akan
terhambat, hal tersebut dapat mempengaruhi keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan yang mengakibatkan masalah
gangguan kebutuhan belajar pada anak thalasemia.
23
7. Pathway Thalasemia
Gambar 2.1 Pathway Thalasemia
Thalassemia β Rantai α kurang terbentuk
dari pada rantai β
Pembentukan rantai α
dan β diretikulo tidak
seimbang
- Gangguan pembentukan rantai
α dan β
- Pembentukan rantai α dan β ↓
- Penimbunan dan pengendapan
rantai α dan β ↑
-
Thalassemia α
Tidak terbentuk HbA
Membentuk inklosion
bodies
Hemolisis
- Eritropoesis darah
yang tidak efektif dan
penghancuran
precurson eritrosit
dan intramedula
- ↓sintesis Hb,
eritrosist hipokrom
dan mikrositer
- Hemolisis eritrosit
yang immature
Menempel pada dinding
eritrosit
Aliran darah ke organ
fital dan jaringan ↓
Peningkatan O2 oleh
RBC menurun
Anemia Kompensasi tubuh
membentuk eritrosit
oleh sumsum tulang ↑
O2 dan nutrisi tidak
ditrasport secara
adekuat
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
Hiperplasi sumsum
tulang
Hipoksia
Suplai O2kejaringan ↓
Metabolism sel
Ekspansi massif
sumsum tulangwajah
dan kranium
Deformitas tulang
Pernikahan penderita
thalasemia carier
Penurunan
penyakit secara
autosomal resesif
Gangguan sintesis
rantai globulin α
dan β
24
Sumber : NANDA NIC-NOC(2015)
8. Penatalaksanaan
a. Ttranfusi darah
Bertujuan untuk menekan hematopoiesus ektramedular dan
mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Tranfusi dilakukan apabila dari
pemeriksaan laboratorium terbukti pasien menderita thalasemia mayor,
atau hemoglobin kurang dari 7gram/Dl.
b. Terapi kelasi besi
Kelebihan kelasi besi yang disebabkan faktor tranfusi darah secara terus
menerus dapat menimbulakan komplikasi jangka panjang diberbagai
sistem organ. Pemberian terapi mencegah komplikasi berlebihan zat besi
dan menurunkan angka kematian pada pasien thalasemia.
- Perubahan bentuk
wajah
- Penonjolan tulang
tengkorak
- ↑pertumbuhan pada
tulang maksila
- Terjadi face coley
Pertumbuhan sel dan
otak terhambat
Perasaan berbeda
dengan orang lain
Gangguan citra diri
Gambaran diri
negative
Keterlambatan
pertumbuhan dan
perkembangan
Perubahan dan
pembentukan ATP
Energi yang dihasilkan
menurun
Kelemahan fisik
Intoleransi aktivitas
25
c. Nutrisi dan suplementasi
Pasien thalasemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi disebabkan
proses hemolitik. Pasien thalasemia menjalani analisis diet untuk
mengevaluasi asupan kalsium, vitamin D, folat, dan antioksidan (vitamin
C dan E).
d. Indikasi splenektomi
Melakukan indikasi sedini mungkin saat pasien positif mengalami
thalasemia mayor. Splenektomi dipertimbangkan pada pasien usia lebih
dari 5 tahun, yang telah menjalani upaya transfusi adekuat tetapi memiliki
gejala peningkatan kebutuhan tranfusi, terdapat tanda hipersplenisme, dan
splenomegali masif.
e. Transplantasi sumsum tulang
Faktor resiko mayor yang mempengaruhi dari transplantasi adalah pasien
dengan terapi kelasi besi yang tidak adekuat, hepatomegali, dan fibrosis
portal. Transplantasi dipertimbangkan pada usia muda sebelum pasien
komplikasi akibat kelebihan besi dengan tingkat keberhasilan tranplantasi
lebih tinggi.
f. Vaksinasi
Vaksinasi secara optimal karena pasien thalasemia merupakan kelompok
risiko tinggi akibat tranfusi darah dan tindakan splenektomi. Dengan
melakukan tindakan vaksin hepatitis B, vaksin H influensa tipe b, dan
vaksin polisakarida pneumokokus.
i. Pemantauan tumbuh kembang
Melakukan skrining secara berkala sesuai usia anak, untuk usia kurang dari
1 tahun setiap bulan, anak balita setiap 3 bulan anak usia sekolah dan
remaja setiap 6 bulan.