Download - BAB III Dasar-Dasar Logika
16
BAB III
DASAR-DASAR LOGIKA
Bagus Takwin
1. Apakah Logika Itu?
Secara umum, logika dikenal sebagai cabang filsafat, tetapi ada juga ahli yang
menempatkannya sebagai cabang matematika. Kedua bidang kajian ini menempatkan logika
sebagai dasar berpikir dalam memperoleh, mencermati dan menguji pengetahuan. Logika
dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip, hukum, metode, dan cara berpikir yang benar
untuk memperoleh pengetahuan yang benar.
Jika ditempatkan sebagai cabang filsafat, logika dapat diartikan sebagai cabang dari
filsafat yang mengkaji prinsip, hukum dan metode berpikir yang benar, tepat dan lurus. Jika
ditempatkan sebagai matematika maka logika merupakan cabang matematika yang mengkaji
seluk-beluk perumusan pernyataan atau persamaan yang benar, khususnya pernyataan yang
menggunakan bahasa formal. Bahasa formal adalah bahasa buatan yang dibedakan dari
bahasa alamiah. Bahasa formal di sini merujuk kepada rangkaian simbol matematis seperti
yang biasa kita jumpai dalam literatur matematika. Sedangkan bahasa alamiah, atau bahasa
non-formal, adalah bahasa yang umumnya kita gunakan sehari-hari dalam berkomunikasi.
Dari sejarah filsafat kita mengenal Aristoteles sebagai filsuf yang pertama kali
membeberkan hal-ihwal logika secara komprehensif. Sebelumnya ada beberapa filsuf Yunani
Kuno yang sudah mengemukakan prinsip-prinsip berpikir dan pemerolehan pengetahuan
seperti Parmenides, Zeno, dan Pythagoras. Tetapi penjelasan khusus dan menyeluruh tentang
bagaimana pikiran manusia bekerja dan dapat memperoleh pengetahuan yang benar baru
ditulis secara sistematis oleh Aristoteles.
Penggunaan istilah logika untuk menyebut cabang filsafat yang mengkaji prinsip,
aturan, dan metode berpikir yang benar bukan berasal dari Aristoteles melainkan dari
Alexander Aphrodisias sekitar permulaan abad ke-3 M. Sebelumnya istilah logika dipakai
oleh Cicero (abad ke-1 M) yang menggunakan kata logika dalam arti ‘seni berdebat’.
Aristoteles sendiri menggunakan istilah analitika untuk merujuk kepada penyelidikan
terhadap argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang sudah
dipastikan kebenarannya, serta dialektika untuk penyelidikan terhadap argumentasi-
17
argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang belum pasti kebenarannya
(Bertens, 1999).
Dalam matematika, logika dikaji dalam kaitannya dengan upaya menyusun bahasa
matematika yang formal, baku, dan jernih maknanya, serta dalam kajian tentang penyimpulan
dan pembuatan pernyataan yang benar. Tradisi penggunaan dan pengkajian logika dalam
matematika sudah sangat lama dilakukan sehingga matematika tak dapat dipisahkan dari
logika, dan keduanya saling melengkapi. Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead
bahkan menyatakan bahwa matematika adalah logika murni. Istilah logika klasik (classical
logic, classical elementary logic, atau classical first-order logic) merujuk kepada kajian
tentang logika dalam matematika. Kata klasik di situ mengindikasikan betapa sudah
menyatunya logika dan matematika, yang sudah dianggap sebagai dua sisi dari satu keping
mata uang.
Terlepas dari latar belakang kajian dan penemuannya serta klasifikasinya dalam
penggolongan ilmu, logika merupakan alat yang dibutuhkan dalam kajian berbagai ilmu
pengetahuan dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Logika, di samping etika, dapat dipahami
sebagai asas pengaturan alam dan isinya yang dikembangkan manusia. Alam yang pada
awalnya tampil di hadapan manusia sebagai sesuatu yang tak termaknai dan sebagai
ketidakteraturan mendorong manusia untuk memaknainya dan untuk memberikan arti kepada
unsur-unsurnya dan penjelasan kepada dinamikanya. Alam, yang awalnya tak terpahami dan
terkesan tak teratur, pelan-pelan namun pasti mulai terpahamkan. Pemaknaan dan pengaturan
itu dari waktu ke waktu berkembang semakin sistematis dan komprehensif. Logika berperan
di sana, mulai dari penamaan benda-benda berdasarkan prinsip identitas (X = X) hingga
penemuan beragam hubungan antara unsur alam melalui penalaran analogis, deduktif, dan
induktif. Logika memungkinkan manusia memahami seluk-beluk dan dinamika alam berserta
isinya, menerangkan, meramal, dan menata alam. Berbagai persoalan manusia terselesaikan
dengan bantuan logika. Meskipun belum semua persoalan selesai sementara berbagai
persoalan baru sudah muncul—termasuk persoalan yang disebabkan oleh penggunaan (dan
penyalahgunaan) logika—tak dapat dimungkiri bahwa logika sudah membantu manusia
meningkatkan kualitas hidupnya dan mengembangkan peradabannya seperti yang kita
saksikan sekarang. Sebagai asas pengaturan, logika menjelaskan bahwa alam yang awalnya
tampak sebagai kekacau-balauan (chaos) sebenarnya merupakan jagat raya (cosmos) yang
teratur.
Kembali lagi ke logika sebagai cabang filsafat. Secara filosofis, logika adalah kajian
tentang berpikir atau penalaran yang benar. Penalaran merupakan aktivitas mental yang
18
bertujuan memperoleh pengetahuan; dengan kata lain, penalaran merupakan aktivitas
epistemik. Penalaran adalah proses penarikan kesimpulan berdasarkan alasan yang relevan.
Dalam logika dikaji bagaimana berlangsungnya proses penarikan kesimpulan yang mencakup
unsur-unsur dari proses, langkah-langkah, serta hukum, prinsip dan aturan-aturannya.
Untuk dapat menjelaskan karakteristik penaralan yang benar serta mengapa dan
bagaimana itu dapat dihasilkan, logika menggunakan pemahaman tentang standar kebenaran
yang diperoleh dari epistemologi yang merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat
pengetahuan. Di samping itu, sebagai bagian dari epistemologi dalam arti luas, logika juga
memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang dikaji oleh epistemologi, yang mencakup segi-
segi sumber pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan
pengetahuan. Sebuah sistem logika didasari oleh asumsi tentang sumber pengetahuan, apakah
pengetahuan itu dianggap bersumber dari pikiran, pengalaman atau dari hal-hal lain. Dalam
sistem logika yang komprehensif juga ditentukan batas-batas kemampuan manusia untuk
mengetahui, jenis pengetahuan yang dapat diperoleh, dan syarat-syarat dari pengetahuan
sehingga dapat dipahami manusia. Struktur pengetahuan yang berkaitan dengan bagaimana
pengetahuan terkumpul, tersusun, dan tertata sedemikian rupa dalam diri manusia juga
mendasari sebuah sistem logika. Lalu, untuk menentukan benar atau tidaknya sebuah
penalaran sebuah sistem logika perlu didasari oleh syarat-syarat dari keabsahan pengetahuan.
Dapat dikatakan bahwa logika merupakan dasar filosofis dari matematika. Ini
disebabkan oleh asas epistemologis matematika yang berakar pada filsafat. Belakangan,
mereka yang membahas matematika kebanyakan adalah filsuf, seperti Bertrand Russell,
Alfred North Whitehead dan Gottlob Frege. Di sisi lain, matematika juga banyak memberi
masukan kepada logika, bahkan dianggap sebagai logika murni oleh Russell dan Whitehead
dalam buku mereka yang berjudul Principia Mathematica (1925). Dalam pengertiannya
sebagai kajian tentang penalaran yang benar, logika memunculkan pertanyaan-pertanyaan
yang relevan dengan aspek matematis dari logika. Dua di antaranya ialah bagaimana
pembuatan kesimpulan dari prinsip-prinsip umum yang sudah ada dan validitasnya
berhubungan dengan penalaran yang benar? Dan bagaimana matematika sebagai proses
pembuatan kesimpulan khusus berdasarkan hukum-hukum umum dapat dipahami dari segi
logis; dan, sebaliknya, bagaimana logika dipahami dari sudut pandang matematika?
Sebagai kajian tentang penalaran, logika juga berhubungan erat dengan bahasa
alamiah yang sehari-hari dipakai oleh manusia. Untuk berkomunikasi, orang bernalar dengan
menggunakan bahasa alamiah. Ini juga berkaitan dengan matematika. Hal ini menimbulkan
sejumlah pertanyaan: bagaimana matematika dapat diterapkan di dalam kenyataan non-
19
matematik? Bagaimana matematika dapat menjelaskan realitas sehari-hari? Bagaimana
matematika dapat digunakan untuk melakukan penalaran yang benar? Apa dasar
epistemologis dari matematika sehingga dapat digunakan untuk membuat penalaran yang
benar?
Buku ini tidak akan menjelaskan bagaimana logika dan matematika saling
berhubungan, dan juga tidak menjelaskan secara khusus dan rinci hubungan antara bahasa
dan penalaran sehari-hari dengan logika. Uraian tadi hanya sekadar menunjukkan secara
singkat bahwa logika berkaitan erat dengan matematika sehingga beberapa simbol
matematika digunakan di dalam logika. Logika juga berkaitan dengan pemahaman manusia
dalam kesehariannya karena sama-sama menggunakan bahasa sebagai medianya.
Di atas sudah dibahas secara umum tentang dua pengertian logika, yakni sebagai
cabang filsafat dan sebagai cabang matematika. Sebelum pembahasan lebih khusus tentang
logika, di sini dikemukakan dua pengertian lain dari logika, yakni logika sebagai kajian
tentang kebenaran khusus atau fakta dan logika sebagai kajian ciri-ciri atau bentuk umum
dari putusan (bahasa Inggris: judgment). Sebagai kajian tentang kebenaran khusus, logika
merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menjelaskan kebenaran atau fakta tertentu,
sama halnya dengan ilmu pengetahuan lain yang bertujuan menjelaskan kebenaran lainnya.
Kebenaran logis dapat dipahami sebagai kebenaran paling umum, satu kebenaran yang
dikandung oleh semua kumpulan kebenaran lain yang hendak dijelaskan oleh ilmu
pengetahuan. Dalam pengertian ini logika berbeda dari biologi karena logika lebih umum;
tetapi, di pihak lain, sama dengan biologi, yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan
mencapai kebenaran tertentu. Pengertian logika ini sering kali diasosiasikan dengan Gottlob
Frege (1848-1925), ahli matematika dan filsuf dari Jerman. Konsepsi logika ini secara dekat
diasosiasikan dengan satu pernyataan yang diperoleh dengan menggunakan logika secara
fundamental tentang kesimpulan-kesimpulan tertentu dan tentang semua konsekuensi logis
dari tiap kesimpulan itu. Pengertian logika di sini dapat dipulangkan kepada asal katanya,
logos, dari Herakleitos yang berarti ‘aturan’, ‘prinsip’, atau ‘kata-kata yang menjelaskan
realitas’.
Kebenaran logis dalam pengertian ini merupakan satu kebenaran yang diungkapkan
dengan representasi yang secara logis tidak mengikuti asumsi apa pun. Kebenaran logis ini
dapat dipahami juga sebagai asumsi dasar atau postulat atau prinsip pertama yang mencukupi
dirinya sendiri (self-sufficient reason). Dalam pengertian lain, kebenaran logis adalah satu
pernyataan yang kebenarannya dijamin sejauh makna dari konstanta logisnya tetap, terlepas
dari apa makna bagian lain yang menyertainya.
20
Dalam arti kajian ciri-ciri atau bentuk umum dari putusan atau bentuk pikiran dari
putusan, logika dapat dipahami sebagai kajian yang mempelajari unsur-unsur putusan dan
susunannya dengan tujuan untuk memperoleh pola atau bentuk umum dari proses pembuatan
putusan. Satu contoh bentuk kegiatan dari logika ini adalah penyelidikan tentang struktur
hubungan antara subjek dan predikat dari berbagai putusan yang ada; penelitian tentang jenis
putusan, dan bagaimana pikiran manusia menggunakan bentuk-bentuk pernyataan tertentu
untuk membuat kesimpulan. Fokus kajian dari logika ini adalah pikiran, representasi
linguistik, meskipun pikiran dan bahasa saling terkait erat. (Putusan terdapat dalam pikiran
dan diungkapkan dengan tanda-tanda konvensional yang dapat diinderai.) Kajian ini
berurusan dengan berbagai bentuk putusan, bukan bentuk kalimat seperti yang dipelajari oleh
linguistik meskipun dalam praktiknya keduanya mirip karena sama-sama menggunakan
bahasa sebagai alat ekspresi utamanya. Berbeda dengan bentuk dari bahasa sebagai
representasi linguistik yang konstan terlepas dari apa pun isinya, bentuk pikiran diperoleh
melalui abstraksi dari isi pikiran.
2. Kategori
Manusia berpikir dengan menggunakan kategori. Contohnya, kita mengenal kursi
sebagai perabot, kucing sebagai makhluk hidup, mobil sebagai kendaraan, dan rumah sebagai
tempat tinggal. Perabot, makhluk hidup, kendaraan, dan tempat tinggal adalah contoh
kategori yang digunakan untuk mengenali dan mengelompokkan benda-benda. Sejak anak
dapat mengenali dunia, kategori digunakan untuk mengenali obyek-obyek di dunia.
Pada awalnya kategori yang digunakan sangat sederhana dan umum seperti lebih
besar dan lebih kecil, atau lebih jauh dan lebih dekat, atau lebih keras atau lebih lembut.
Kemudian kategori yang lebih kompleks dikembangkan, seperti makhluk hidup yang
bernafas dengan paru-paru, tempat tinggal yang layak huni dan nyaman, dan sebagainya.
Selain itu, ada hierarki kategori, baik berdasarkan sifat umum atau khusus, maupun
sifat kompleks atau simpleks. Makhluk hidup, contohnya, merupakan kategori yang lebih
umum dari hewan yang didefinisikan sebagai makhluk hidup yang berindera. Contoh lain, zat
merupakan kategori yang lebih umum dari zat cair dan zat padat. Dilihat dari
kompleksitasnya, hotel lebih adalah kategori yang lebih kompleks daripada rumah karena
pada hotel ada karakteristik yang lebih banyak daripada pada rumah, seperti memiliki
fasilitas ruang tidur yang dapat disewakan, ruang makan bersama, lobi, tempat parkir,
pegawai hotel, tarif menginap, dan lain-lain.
21
Para filsuf membantu kita untuk mengenali benda-benda secara lebih sistematis dan
koheren dengan mengajukan kategori-kategori dasar dari semua yang ada dan mungkin ada di
dunia. Aristoteles adalah filsuf pertama yang menggunakan istilah kategori dalam filsafat dan
mengajukan jenis-jenis kategori yang menurutnya dapat diterapkan pada semua benda yang
ada di dunia. Untuk memahami secara lengkap apa yang dimaksud dengan kategori oleh
Aristoteles kita perlu membaca dua kutipan berikut ini.
“We should distinguish the kinds of predication (ta genê tôn katêgoriôn) in which the four
predications mentioned are found. These are ten in number: what-it-is, quantity, quality,
relative, where, when, being-in-a-position, having, doing, undergoing. An accident, a
genus, a peculiar property and a definition will always be in one of these categories.”
(Topics I.9, 103b20-25 dalam Owen (ed.), 1968; Smith, 2000)
“Of things said without any combination, each signifies either substance or quantity or
quality or a relative or where or when or being-in-a-position or having or doing or
undergoing. To give a rough idea, examples of substance are man, horse; of quantity:
four-foot, five-foot; of quality: white, literate; of a relative: double, half, larger; of where:
in the Lyceum, in the market-place; of when: yesterday, last year; of being-in-a-position:
is-lying, is-sitting; of having: has-shoes-on, has-armor-on; of doing: cutting, burning; of
undergoing: being-cut, being-burned.” (Categories 4, 1b25-2a4, tr. Ackrill, 1961)
Dari dua kutipan tersebut, diketahui bahwa Aristoteles membagi segala sesuatu dalam
sepuluh kategori mencakup (1) substansi’ (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi
(relatio), (5) aksi (actio), (6) reaksi atau terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu
(kapan), (8) lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik atau posture, silus) dan (10)
memiliki atau mengenakan (habitus).
Bagi Aristoteles, ke-10 kategori yang diajukannya bukan hanya berkaitan dengan
logika tetapi lebih jauh lagi berkaitan dengan segala hal yang ada dan mungkin ada di dunia
ini. Penentuan kesepuluh kategori itu berangkat dari penggolongan dari seluruh ‘ada’ (being).
Ia membagi ‘ada’ menjadi ‘ada bagi diri sendiri’ dan ‘ada bagi yang lain’. Dari dua jenis ada
ini lalu diturunkan lagi hingga diperoleh sepuluh kategori tempat setiap hal dapat dimasukkan
ke dalam salah satu kategori itu (lihat gambar 3. Skema kategori menurut Aristoteles dalam
Bittle, 1950: 55). Dari sini dapat dipahami bahwa dasar dari kategori adalah pengetahuan
tentang ada yang menjadi pembahasan utama dalam metafisika dan ontologi. Dengan
penentuan sepuluh kategori, Aristoteles telah mengklaim bahwa ia memahami segala hal
sebagai ‘ada’ (being).
Filsuf setelah Aristoteles yang mengemukakan pemikiran mengenai kategori adalah
Immanuel Kant. Kant (dalam Takwin, 2005) memandang manusia sebagai agen aktif dengan
pikiran sebagai pusat aktivitasnya. Menurut Kant pikiran manusia sudah memiliki
pengetahuan bawaan dalam bentuk kategori-kategori.
22
Pengetahuan bawaan yang secara tegas tak dapat ditolak keberadaannya adalah
kerangka pemahaman ruang dan waktu. Menurut Kant, setiap pemahaman tentang sesuatu
selalu dalam kerangka ruang dan waktu. Pengetahuan apa pun selalu terkait dengan kualitas-
kualitas serta kuantitas-kuantitas ruang dan waktu. Sejauh berkaitan dengan pengalaman,
manusia selalu berpikir dalam kerangka ruang dan waktu. Setiap benda yang diperoleh dari
pencerapan indrawi selalu dipahami dalam kerangka ruang dan waktu. Benda-benda sendiri
pada dirinya tidak mengandung kualitas dan kuantitas ruang dan waktu. Manusialah yang
menempatkan mereka dalam kerangka ruang dan waktu. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pemahaman tentang ruang dan waktu tidak diperoleh dari pengalaman. Pengetahuan
tentang ruang dan waktu sudah ada pada diri manusia, dibawanya sejak lahir. Pemahaman
tentang ruang dan waktu sudah ada dalam pikiran manusia sebagai pengetahuan bawaan.
Selain ruang dan waktu, menurut Kant, manusia juga memiliki pengetahuan bawaan
berupa kategori-kategori. Dari analisis dan abstraksinya terhadap berbagai macam putusan
dan bentuk-bentuk intelektualnya, Kant menemukan bahwa fungsi berpikir manusia yang
tetuang dalam putusan-putusan dapat dikategorikan dalam empat kelompok besar, kuantitas
(quantity), kualitas (quality), relasi (relation) dan modalitas (modality). Masing kelompok
terdiri dari tiga momenta yang biasa disebut sebagai kategori. Kuantitas mencakup kategori
universal, partikular dan singular. Kualitas mencakup kategori afirmatif, negatif dan infinit.
Relasi mencakup kategori kategorikal, hipotetikal dan disjunktif. Modalitas mencakup
kategori problematik (problematical), asertorik (assertorical) dan apodeiktik (apodeictical).
Dari segi kuantitasnya, setiap pernyataan atau putusan selalu dapat digolongkan
sebagai universal atau partikular. Kuantitas universal atau partikular dari sebuah pernyataan
ditentukan oleh ekstension (keluasan) dari term (istilah) subjek pernyataan. Jika ekstension
term subjek mencakup keseluruhan individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan
yang menyertakan term subjek ini adalah universal. Jika ekstension term subjek hanya
mencakup sebagian individu yang diwakili oleh term itu maka pernyataan yang menyertakan
term subjek ini adalah partikular. Contoh: ‘Semua manusia adalah makhluk hidup.’
Pernyataan ini adalah pernyataan universal karena term manusia yang dalam pernyataan ini
merupakan subjek memiliki ekstension yang mencakup semua individu yang tergolong
sebagai manusia. Contoh lain: ‘Beberapa filsuf adalah rasionalis.’ Pernyataan in adalah
pernyataan partikular karena term filsuf yang dalam pernyataan ini merupakan subjek
memiliki ekstension yang hanya mencakup sebagain filsuf. Jika term subjek memiliki
ekstension yang hanya mencakup satu saja maka term ini adalah term ini masuk dalam
kategori singular. Dalam logika umum (general logic) ketika term singular digunakan dalam
23
pernyataan maka pernyataan itu adalah pernyataan universal. Namun bagi Kant pernyataan
dengan term subjek singular perlu dibedakan dari pernyataan universal dan pernyataan
partikular. Contoh: pernyataan ‘Tuhan mendasari hukum moral.’ Term ‘Tuhan’ dalam
pernyataan ini adalah term singular karena merujuk hanya pada satu hal saja, Tuhan. Dengan
memahami bahwa term ‘Tuhan’ sebagai term singular, bahwa hukum moral yang dimaksud
dalam pernyataan tersebut adalah hukum moral tertentu dan bukan hukum moral yang lain.
Dari segi kualitasnya, setiap pernyataan dapat dibedakan apakah itu afirmatif, negatif
atau infinit. Sebuah pernyataan memiliki kualitas afirmatif jika itu mengafirmasi atau
mengiyakan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini hujan.’ Sebuah pernyataan memiliki kualitas negatif
jika itu menegasi atau menidakkan/membukankan suatu hal. Contoh: ‘Hari ini tidak hujan.’
Sebuah pernyataan memiliki kualitas infinit jika pernyataan itu mengungkapkan sesuatu yang
tak terbatas. Contoh: ‘Jiwa manusia abadi.’ Dari segi waktu, keberadaan jiwa manusia tak
terbatas. Perlu dipahami di sini bahwa dalam logika umum pernyataan infinit ini digolongkan
sebagai pernyataan afirmatif karena secara logis itu mengafirmasi sesuatu, misalnya
mengafirmasi bahwa jiwa adalah abadi. Pernyataan ‘jiwa manusia abadi’ secara logis
memiliki pengertian yang definit karena dapat dibedakan dengan pernyataan-pernyataan lain
yang mengungkap hal-hal yang terbatas seperti ‘Daya ingat manusia terbatas.’ Namun Kant
membedakan pernyataan-pernyataan infinit dari pernyataan afirmatif untuk memahami
pernyataan-pernyataan a priori sintetik. Sesuatu yang infinit, tak terbatas ruang dan waktu,
perlu diandaikan ada untuk kepentingan praktis menjaga keteraturan dunia.
Dari segi relasi, pernyataan-pernyataan yang ada dapat digolongkan sebagai
kategorikal, hipotetikal atau disjunktif. Sebuah pernyataan termasuk dalam kategori
kategorikal jika pernyataan itu dapat langsung dinilai benar salahnya tanpa tergantung pada
kondisi dan situasi tertentu, juga tidak tergantung pada tempat dan waktu. Contoh: ‘Makhluk
hidup bernafas.’ Sejauh sesuatu itu adalah makhluk hidup, maka di mana pun dan kapan pun,
dalam keadaan bangun atau tidur, ia pasti bernafas, tidak mungkin tidak. Sebuah pernyataan
termasuk kategori hipotetikal jika benar atau salahnya tergantung pada kondisi atau situasi
tertentu. Contoh: ‘Jika hari ini turun hujan maka jalan basah.’ Basah tidaknya jalan
ditentukan oleh hujan-tidaknya hari ini. Penyataaan disjunktif ditentukan berdasarkan
hubungan oposisi logis yang saling meng-ekslusi atau saling meniadakan antara satu dan
lainnya. Contoh: ‘Dunia terjadi kalau tidak karena kebetulan semata atau karena ada yang
menciptakan.’ Pernyataan ini mengandung dua kemungkinan yang satu sama lain saling
meniadakan yaitu ‘kebetulan belaka’ dan ‘ada yang menciptakan.’ Tidak mungkin keduanya
sekaligus benar, salah satu pasti salah. Jika yang satu benar maka yang lain salah. Pernyataan
24
disjunktif mengandung seluruh hubungan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran karena
setiap kemungkinan yang ada dalam ruang-lingkup pikiran dapat dinyatakan dengan
pernyataan disjunktif lepas dari apakah kemungkinan-kemungkinan itu secara logis
berhubungan satu sama lain atau tidak. Semua hal yang tak dapat diungkapkan baik secara
kategorikal maupun hipotetikal dapat diungkapkan secara disjunktif.
Dari segi modalitas, setiap pernyataan dapat digolongkan sebagai pernyataan
problematik, asertorik atau apodeiktik. Sebuah pernyataan adalah problematik jika apa yang
diungkap dengan pernyataan itu masih berupa kemungkinan. Contoh: ‘Manusia dapat hidup
di bulan.’ Apa yang dikemukakan pernyataan ini masih berupa kemungkinan. Sejauh ini
manusia belum dpaat hidup di bulan tetapi hal itu mungkin karena sudah ada manusia yang
mendarat di bulan. Sebuah pernyataan adalah asertorik jika apa yang diungkap dengan
pernyataan itu nyata dan sudah terjadi. Contoh: ‘Manusia mampu membuat pesawat ulang-
alik.’ Sebuah pernyataan adalah apodeiktik jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu
merupakan sesuatu yang pasti terjadi, dengan kata lain apa yang diungkapkan oleh
pernyataan itu merupakan keharusan atau keniscayaan. Contoh: ‘Manusia harus makan agar
dapat bertahan hidup.’
Dalam pandangan Kant, kategori-kategori yang sudah diuraikan di atas merupakan
ide bawaan. Kategori-kategori itu terkandung dalam pikiran manusia dan menjadi kerangka
bagi rasionalitas manusia.
Filsuf berikutnya yang mengemukakan mengenai kategori adalah Georg Wilhelm
Friedrich Hegel. Hegel (Takwin, 2005) mengartikan kategori sebagai ide-ide yang
menjelaskan realitas. Ia menggunakan skema triadik sebagai prinsip bagi penentuan kategori
dan menemukan sekitar 272 kategori. Berbeda dari Aristoteles dan Kant, Hegel menyatakan
bahwa jenis-jenis kategori dan jumlahnya yang tepat tidak dapat ditentukan sebelum sistem
realitas dijelaskan secara lengkap. Ia lalu mengubah arti kategori menjadi sekedar pernyataan,
konsep atau prinsip dasar dalam sistem filsafat.
Di awal abad ke-20, kita temukan Charles Sanders Pierce (10 September 1839-19
April 1914) memahami kategori sebagai istilah-istilah paling umum yang dapat digunakan
untuk membagi-bagi atau menggolong-golongkan pengalaman. Kategori-kategori, dalam
pandangan Pierce (Takwin, 2005), mencerminkan tiga predikat atau hubungan. Tiga kategori
utama menurutnya adalah (1) firstness; (2) secondness; dan (3) thirdness. Masing-masing
kategori ini berperan dalam pola pemaknaan monadic, dyadic dan polyadic. Whitehead
menggunakan pernyataan tradisional tentang kategori dan mengelaborasi satu set kategori
yang berisi 37 kategori yang menjadi dasar bagi penjelasan semua pengalaman.
25
Pendapat tentang kategori yang mengkritik penggolongan kategori dari filsuf-filsuf
sebelumnya dikemukakan oleh Gilbert Ryle. Ryle (1949) berpendapat bahwa kategori
berjumlah tak terhingga dan tak teratur. Totalitas dari kategori tidak terletak pada prinsip
yang menentukan hirarki dari jenis-jenis hal yang tak terbatas. Totalitas kategori tidak dapat
ditentukan polanya. Jumlah kategori yang tak terhingga dan sifatnya yang tak beraturan
menjadikan mereka tak terangkum dalam satu prinsip. Dengan ketidakteraturannya itu, maka
secara tegas kesalahan kategori terutama bukan terletak pada ketidaktepatan menempatkan
suatu hal dalam kategori tertentu tetapi lebih pada memaksakan sesuatu dalam kategori
tertentu. Kesalahan kategorikal bagi Ryle dimulai dari penentuan sejumlah kategori yang
diklaim sebagai fundamental, dasar dan mutlak. Dari sini kesalahan-kesalahan pemahaman
selanjutnya terjadi. Bagi Ryle, siapa pun dapat menentukan kategori apa pun tetapi tak ada
yang berhak mengklaim satu sistem kategori sebagai benar dan mutlak sementara sistem yang
lain salah. Saat ini kata ‘kategori’ digunakan kebanyakan filsuf untuk merujuk pada jenis-
jenis fundamental tanpa menentukan apa saja jenis-jenis itu. Padahal kategori-kategori yang
ada, menurut Ryle, tidak terbatas pada apa yang dirumuskan oleh filsuf-filsuf itu dan tidak
terbatas pula jumlahnya.
Pada dasarnya, pemikiran mengenai kategori dari berbagai filsuf memberi pelajaran
kepada kita bahwa dalam mengenali dan memahami benda-benda, kita perlu cermat dan hati-
hati. Kita tidak dapat sembarangan mengartikan satu hal dan tidak dapat mencampuradukan
kategori yang satu dengan kategori yang lain. Meski, seperti yang dinyatakan oleh Ryle, jenis
kategori tak terbatas, kita perlu tetap menggunakan aturan dan disiplin dalam menggunakan
kategori. Kita dapat menggunakan kategori yang kita anggap sesuai dengan kebutuhan kita
dalam mencari pengetahuan, tetapi kita harus konsisten dan koheren dalam menggunakannya.
3. Term, Definisi dan Divisi1
3.1 Term
Setiap hal yang diinderai dan dipersepsi dibentuk oleh pikiran menjadi ide. Hasil dari
pembentukan ini adalah konsep. Setiap konsep ditandakan dalam bentuk term. Rangkaian
term yang bermakna adalah pernyataan. Term dan pernyataan merupakan bagian dari bahasa.
Bahasa adalah sarana bagi manusia untuk menyampaikan kepada orang lain dan menerima
ide dari orang lain.
1 Sebagian dari pasal yang menjelaskan term, definisi dan divisi disadur dari C.N. Bittle, The Science of Correct
Thinking: Logic (Milwaukee, 1950).
26
Term merupakan tanda untuk menyatakan suatu ide yang dapat diinderai (sensible)
sesuai dengan pakat (conventional). Tanda itu dapat bersifat formal dan instrumental. Tanda
formal digunakan berdasarkan kesamaan antara tanda dan yang ditandai seperti gambar,
potret, film, dan huruf hieroglif. Tanda instrumental digolongkan atas dua, yakni tanda
alamiah dan tanda konvensional. Tanda alamiah digunakan berdasarkan kaitan alamiah antara
tanda dan yang ditandai, misalnya asap menandai api, rasa sakit menandai gangguan pada
tubuh, dan tangis menandai kesedihan. Tanda konvensional digunakan berdasarkan
kesepakatan sejumlah orang tertentu pada waktu tertentu, misalnya sandi Morse, tanda lalu-
lintas, dan bahasa.
Secara umum term adalah tanda yang didasarkan pada kelaziman, bukan tanda alamiah.
Hal ini terlihat dari adanya berbagai bahasa di dunia. Jika semua term bersifat alamiah maka
akan terdapat hanya satu bahasa di dunia. Tetapi kita melihat bahwa untuk hal yang sama,
bahasa-bahasa menggunakan term-termnya sendiri. Sebagai contoh, untuk term ‘kursi’
bahasa Indonesia memakai kursi, bahasa Inggris chair, dan bahasa Belanda stuhl.
Suatu term sering kali mempunyai bermacam-macam arti. Jika dikelompokkan,
setidaknya ada tiga jenis makna term dan penggabungannya dalam kalimat, yakni makna
denotatif, makna kesan (sense), dan makna emotif. Makna denotatif merujuk kepada satu arti
yang tertera dalam kamus; sering disebut makna sesungguhnya, namun penentuan ‘makna
sesungguhnya’ ini dilakukan berdasarkan kesepakatan. Makna kesan (sense) ialah makna
term berdasarkan penggabungannya dengan kata lain; dalam hal ini term dapat memiliki
makna lain, misalnya penggunaan term hati pada kalimat “Saya sakit hati” berbeda dengan
“Semur hati itu enak sekali”. Makna emotif ialah makna term yang didasarkan pada perasaan
atau emosi, sikap--baik secara tersurat maupun secara tersirat. Term keras hati secara
denotatif memiliki makna yang sama dengan keras kepala, namun keras hati sering kali
diartikan sebagai ‘teguh’ atau ‘tahan godaan’, sedangkan keras kepala sering diartikan
sebagai ‘tidak mau mengalah’ atau ‘tidak mau mendengarkan orang lain’.
3.2 Definisi
Untuk menyamakan pengertian dan menghindari kesalahan penafsiran terhadap term
diperlukan definisi. Di samping itu, definisi juga diperlukan untuk dapat memahami sebuah
kalimat secara jelas dan sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Definisi adalah
pernyataan yang menerangkan hakikat suatu hal. Definisi menjawab pertanyaan, “Apakah
itu?” Untuk dapat mendefinisikan suatu term kita harus tahu persis tentang hal yang
didefinisikan.
27
Kendala yang sering muncul dalam pembuatan definisi adalah keterbatasan
pengetahuan dan keterbatasan term. Keterbatasan pengetahuan sering menghasilkan definisi
yang terlalu luas. Keterbatasan term memungkinkan penggunaan term yang sama untuk
mewakili hal yang berbeda. Kedua kendala ini menyebabkan sulit dicapai definisi yang
100% menjelaskan hal yang hendak didefinisikan.
3.2.1 Penggolongan definisi
Menurut kesesuaiannya dengan hal atau kenyataan yang diwakilinya ada dua jenis
definisi, yakni definisi nominal (definisi sinonim) dan definisi real (definisi analitik). Definisi
nominal ialah definisi yang menerangkan makna kata seperti yang dimuat dalam kamus,
misalnya introspeksi berarti ‘menilai diri sendiri’, inspeksi ‘memeriksa’, dan kursi ‘tempat
duduk’. Definisi real adalah definisi yang menerangkan arti hal itu sendiri. Pembuatannya
menuntut dilakukannya analisis terhadap hal yang akan didefinisikan terlebih dahulu. Sebagai
contoh, sikap adalah ‘kecenderung memberikan tanggapan secara positif atau negatif
terhadap objek tertentu’ dan HP adalah ‘daya gerak yang ada dalam mesin yang dinyatakan
dengan daya gerak seekor kuda’.
Definisi real dibedakan atas dua, yakni definisi esensial dan definisi deskriptif. Definisi
esensial menerangkan inti (esensi) dari suatu hal dengan menyebutkan genus dan diferentia-
nya. Genus adalah kelompok besar atau kelas dari hal yang akan dijelaskan, sedangkan
diferentia adalah ciri khas yang hanya ada pada hal yang didefinisikan. Ciri khas inilah yang
membedakan suatu hal dengan hal lain dalam genus atau kelompok yang sama. Sebagai
contoh, dalam “Manusia adalah makhluk rasional”, makhluk adalah genusnya dan rasional
adalah diferentia spesifiknya. Definisi ini adalah definisi yang ideal dan mendekati
pengertian hal yang hendak didefinisikan.
Definisi deskriptif mengemukakan segi-segi yang positif tetapi belum tentu esensial
mengenai suatu hal. Definisi deskriptif dibedakan atas empat, yakni definisi distingtif,
definisi genetik, definisi kausal, dan definisi aksidental. Definisi distingtif menunjukkan
properti, misalnya “Oksigen adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, tak mempunyai rasa,
1105 kali dari berat udara, dan mencair pada suhu di bawah -115 derajat C”. Definisi
genetik menyebutkan asal mula atau proses terjadinya suatu hal, misalnya “Air adalah zat
yang terjadi dari gabungan 2 atom Hidrogen dan 1 atom oksigen,” dan “Lingkaran adalah
bentuk geometris yang terdiri dari garis-garis lurus yang sama panjang yang terletak pada
bidang datar dan berawal dari satu titik pusat”. Definisi kausal menunjukkan penyebab atau
akibat dari sesuatu hal, misalnya “Lukisan adalah gambar yang dibuat oleh seorang
28
seniman”, dan “Arloji adalah alat penunjuk waktu”. Definisi aksidental tidak mengandung
hal-hal yang esensial dari suatu hal, misalnya “Dijual rumah. Luas tanah 170 m2. Bangunan
bertingkat dan pekarangan tertata rapi. Lokasi: Jln. Macan No. 30 Jakarta Pusat.
Dilengkapi telepon dan AC. Lingkungan nyaman, aman, dan tentram”.
Definisi real jarang dapat tercapai sepenuhnya karena sering kali ada karakteristik yang
tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kadang-kadang perumusannya terkendala karena
kurangnya pengetahuan si pembuat definisi. Ada term yang tidak dapat didefinisikan karena
berhubungan langsung dengan indera, misalnya manis, pahit, dan sakit. Ada juga term yang
sulit didefinisikan karena sangat umum, misalnya ada (hanya dapat didefinisikan dengan
cara membandingkannya dengan tidak ada yang merupakan term di luar term yang
didefinisikan). Contoh lain ialah satu, benda, dan hal.
Di samping definisi yang telah diuraikan di atas, ada juga definisi yang dibuat dengan
menggunakan contoh, misalnya “Minuman yang sehat itu, di antaranya ialah air dan hasil
perasan buah segar”. Pernyataan seperti ini sebenarnya kurang memadai sebagai definisi
karena tidak mencakup keseluruhan ide yang terkandung dalam term atau hal yang
didefinisikan.
3.2.2 Aturan membuat definisi
Pembuatan definisi yang memadai untuk digunakan dalam pemikiran logis harus
mengikuti aturan-aturan berikut ini. Pertama, definisi harus lebih jelas dari yang
didefinisikan; jika tidak, maka definisi akan kehilangan fungsinya. Untuk itu harus
diperhatikan catatan-catatan berikut ini. Term-term yang muluk seperti contoh berikut,
“Manusia adalah alam semesta yang mengejawantah” dan “Kewibawaan adalah pancaran
nurani dan kedigjayaan manusia” harus dihindari. Demikian pula term-term yang sulit
dimengerti (tidak lazim), misalnya definisi pemimpin berikut ini yang diberikan kepada orang
yang bukan penutur bahasa Jawa, “Pemimpin adalah orang yang bersifat ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”.
Kedua, definisi tidak boleh mengandung ide atau term dari yang didefinisikan seperti
pada contoh “Binatang adalah hewan yang mempunyai indera” dan “Emosi adalah gejolak
perasaan”. Definisi semacam ini disebut definisi sirkular (circular definition).
Ketiga, definisi dan yang didefinisikan harus dapat dibolak-balik dengan pas, misalnya
“Buku adalah sejumlah kertas yang terjilid”. Kalau dibalik, “Sejumlah kertas yang terjilid
adalah buku”. Contoh yang salah ialah “Kecap adalah penyedap masakan”. Jika urutannya
29
dibalik menjadi, “Penyedap masakan adalah kecap” maka pernyataan itu menjadi salah
karena penyedap makanan belum tentu kecap.
Keempat, definisi harus dinyatakan dalam kalimat positif. Kalimat ingkar atau negatif
seperti “Gembira adalah keadaan tidak sedih” atau “Manusia bukan binatang” tidak
memenuhi syarat definisi.
Dalam tulisan jenis sastra ada kekecualian dalam pembuatan definisi karena
pendefinisian di situ umumnya bukan dalam rangka menjelaskan hal tertentu secara harafiah,
melainkan untuk memberi kesan tertentu. Sastra juga memakai teknik gaya bahasa yang tidak
harus mengikuti tata cara pembuatan definisi tersebut di atas. Tulisan-tulisan retorika yang
mementingkan makna sense dan pengaruh tulisan terhadap pembaca atau pendengar juga
tidak harus mengikuti tata cara pembuatan definisi itu.
3.3 Divisi
Selain dapat dijelaskan apa artinya, term juga dapat diuraikan dengan kriteria tertentu
menjadi bagian-bagian. Penguraian term itu biasa disebut divisi. Divisi adalah uraian suatu
keseluruhan ke dalam bagian-bagian berdasarkan satu kesamaan karakteristik tertentu.
Pembagian dalam bentuk divisi merupakan upaya lain untuk menjelaskan term. Ada beberapa
jenis divisi, yakni divisi real (atau aktual) dan divisi logis.
3.3.1 Divisi real atau aktual
Penguraian dengan divisi real atau aktual dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang
ada pada objek itu sendiri—baik fisik maupun metafisik—terlepas dari aktivitas mental
manusia. Divisi berdasarkan bagian fisik dilakukan berdasarkan faktor-faktor fisik yang dapat
dipisahkan, satu dari yang lain. Bagian itu dapat berupa bagian yang esensial atau bagian
yang integral. Bagian-bagian yang essensial ialah bagian-bagian yang harus lengkap. Jika
salah satu di antaranya hilang maka hilang pula eksistensi keseluruhannya, misalnya
“Manusia terdiri dari badan dan jiwa”, “air terdiri dari oksigen dan hidrogen”, “garam
dapur terdiri dari sodium dan klorin”, dan “mobil terdiri dari mesin dan ‘tubuh’”. Bagian-
bagian yang integral ialah bagian-bagian yang tidak harus lengkap. Jika salah satu
anggotanya hilang, hal itu tidak mlenyapkan eksistensi atau esensi halnya. Bagian yang
integral terbagi atas dua, yakni yang homogen dan yang heterogen. Bagian-bagian yang
homogen ialah segolongan unsur yang menjadi bagian dari sesuatu hal, misalnya “Air terdiri
dari titik-titik”, “Api terdiri dari percikan-percikan”, dan “Pasir terdiri dari butir-butir”.
Sementara itu, bagian-bagian yang heterogen ialah bagian-bagian—yang tidak segolongan—
30
dari sesuatu hal, misalnya “Manusia terdiri dari kaki, tangan, dan mata”, dan “Masyarakat
terdiri dari golongan kaya dan miskin”.
Divisi berdasarkan bagian metafisik dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang
merupakan esensi dari sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam
kenyataannya bagian-bagian itu merupakan ketunggalan, misalnya “Manusia terdiri dari
rasio, indera, nyawa, dan tubuh”. Bagian-bagian ini tidak terpisahkan. Dalam pembuatan
divisi real sebaiknya dilakukan observasi, analisis, dan abstraksi terhadap hal yang akan
diuraikan. Observasi, analisis, dan abstraksi ini diperlukan untuk memahami hal yang akan
diuraikan sehingga penguraiannya tidak bertentangan dengan kenyataan dari hal itu.
3.3.2 Divisi Logis
Dalam divisi logis mental manusialah yang membagi keseluruhan hal menjadi bagian-
bagian. Kita menambahkan unsur-unsur tertentu kepada suatu hal untuk menjadikannya kelas
atau sub-kelas, misalnya “Hal”, “Hal yang hidup”, “Hal hidup yang berindera (= hewan)”,
“Hal hidup yang berindera dan berakal (= manusia)”. Kegiatan menambahkan elemen-
elemen ini, yang merupakan kegiatan dari divisi logis, disebut sintesis.
3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi
Divisi harus dibuat memadai; artinya, jumlah semua bagian harus sama dengan keseluruhan.
Ada sejumlah aturan yang harus diikuti dalam pembuatan divisi.
1) Tidak boleh ada bagian yang terlewati.
2) Bagian tidak boleh melebihi keseluruhan.
3) Tidak boleh ada bagian yang meliputi bagian yang lain.
4) Divisi harus jelas dan teratur.
5) Jumlah bagian harus terbatas; kalau kebanyakan akan kacau. Jika diperlukan, dibuat sub-
bagian.
Berikut adalah contoh divisi yang salah, “Pengguna terminal terdiri dari pengendara
kendaraan bermotor, supir kendaraan umum, pengendara kendaraan tak bermotor,
mahasiswa/pelajar, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, pejalan kaki, penumpang
kendaraan umum, dan karyawan.” Pembagian divisi ini salah karena hal-hal berikut ini.
Pertama, ada bagian yang terlewati (petugas terminal juga menggunakan terminal sebagai
tempat kerjanya). Kedua, ada bagian yang meliputi bagian yang lain (mahasiswa bisa saja
sekaligus pengendara kendaraan bermotor atau tak bermotor; penumpang kendaraan umum
bisa saja sekaligus mahasiswa/pelajar, ibu rumah tangga, dan karyawan). Ketiga, dasar
31
pembagiannya tidak jelas (apakah berdasarkan jenis pekerjaan, lama atau sebentarnya di
jalan, atau penggunaan kendaraan?). Keempat, jumlah bagian terlalu banyak.
4. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi2
4.1. Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi
Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut. (1) “Hari ini cuaca cerah.” (2) “Apakah kamu
sudah sarapan tadi pagi?” (3) “Jawab pertanyaan saya.” Kalimat-kalimat itu merupakan tiga
kalimat yang berbeda. Kalimat (1) adalah kalimat berita, yaitu kalimat yang memberitakan
hal tertentu. Kalimat (2) adalah kalimat tanya; isinya merupakan pertanyaan tentang hal
tertentu. Kalimat (3) adalah kalimat perintah yang isinya menyerukan atau memerintahkan
orang untuk melakukan hal tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk berkomunikasi kita
menggunakan kalimat, baik kalimat berita, kalimat perintah, maupun kalimat tanya. Secara
umum, kalimat didefinisikan sebagai: serangkaian kata yang disusun berdasarkan aturan-
aturan tata bahasa dalam suatu bahasa, dan dapat digunakan untuk tujuan menyatakan,
menanyakan, atau memerintahkan sesuatu hal.
Benar atau salahnya struktur suatu kalimat ditentukan berdasarkan kaidah atau aturan
tata bahasa suatu bahasa. Penilaian terhadap kalimat terutama dalam hal apakah susunan atau
bangunan kata yang membentuk kalimat tepat atau tidak. Secara umum, struktur kalimat
berita terdiri dari subjek-predikat-objek, misalnya, “Saya memakai baju”. Dalam kalimat itu,
saya adalah subjek, memakai predikat, dan baju objek. Kalimat tanya umumnya dibuat
dengan menggunakan kata yang dilengkapi dengan bentuk akhir -kah, seperti apakah,
adakah, sudahkah, pernahkah, dan maukah. Bisa juga kalimat tanya hanya terdiri dari satu
kata, seperti “Mau?” atau “Ada?” Dalam bahasa lisan kalimat tanya ditandai dengan intonasi
tertentu; dalam bahasa tulis ditandai dengan tanda tanya [?]. Kalimat perintah umumnya
dimulai dengan kata kerja, seperti “Pergi kau!”, atau dengan kata larangan seperti “Jangan
datang lagi.” Kalimat perintah bisa saja hanya terdiri dari satu kata. Dalam bahasa lisan,
kalimat perintah dengan satu kata ditandai dengan intonasi yang menunjukkan ketegasan,
sedang dalam bahasa tulisan kalimat ini diakhiri dengan tanda titik [.] dan kadang-kadang
dengan tanda seru [!].
Salah satu jenis kalimat adalah pernyataan (bahasa Inggris statement) yang dalam
praktiknya sama dengan kalimat berita. Tetapi, pernyataan memiliki pengertian yang lebih
2 Sebagian dari pasal yang membahas kalimat, pernyataan, dan proposisi ini disadur dari buku A. K.Bierman
dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan
bantuan dari Judithia A. Wirawan.
32
khusus. Pernyataan adalah kalimat yang digunakan untuk membuat suatu klaim atau
menyampaikan sesuatu yang bisa benar atau salah.
Kalimat yang berupa pertanyaan atau perintah berbeda dari pernyataan karena
pertanyaan dan perintah tidak bisa benar dan sekaligus salah. Pernyataan memiliki nilai
kebenaran (truth value). Artinya, suatu pernyataan bisa dinilai benar atau salah, misalnya
pernyataan “Hari ini hujan turun” benar jika sesuai dengan kenyataan bahwa hari ini
memang hujan. Tetapi jika kenyataan menunjukkan bahwa hari ini tidak hujan, maka
pernyataan itu salah. Suatu pernyataan tidak bisa benar dan salah sekaligus. Jika ada
pernyataan yang mengandung benar dan salah sekaligus, maka itu adalah paradoks yang
merupakan satu bentuk kesalahan dalam berpikir.
Dalam literatur logika dan ilmu pengetahuan, kita juga menemukan term proposisi
(dari kata bahasa Inggris proposition). Proposisi ialah makna yang diungkapkan melalui
pernyataan, atau dengan kata lain arti atau interpretasi dari suatu pernyataan. Sebagai analogi,
jika kata mengungkapkan konsep atau ide (konsep/ide = makna kata), maka pernyataan
mengungkapkan proposisi (proposisi = makna pernyataan). Proposisi juga dapat dipahami
sebagai makna dari kalimat berita, mengingat bahwa pernyataan merupakan kalimat berita
yang dapat dinilai benar atau salah.
Berikut ialah tiga hal yang menjadi konsekuensi dari definisi kalimat, pernyataan dan
proposisi tersebut. Pertama, kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak
mengungkapkan proposisi apa pun. Misalnya, deretan kata penerangan tapi kecepatan
membaca tidak mengungkapkan proposisi apa pun karena penerangan dan kecepatan
membaca di sini tidak mempunyai hubungan yang jelas dan penggunaan kata tapi di sini
tidak tepat. Kedua, pernyataan atau kalimat yang berbeda dapat mengungkapkan proposisi
yang sama, misalnya, “Rina adalah adik Yanto” merupakan proposisi yang sama dengan
“Yanto adalah kakak Rina.” Ketiga, kalimat atau pernyataan yang sama dapat
mengungkapkan proposisi yang berbeda, misalnya, “Masyarakat Jakarta adalah masyarakat
yang majemuk” dapat mengungkapkan proposisi yang berbeda-beda, antara lain “Masyarakat
Jakarta terdiri dari banyak etnis” atau “Masyarakat Jakarta terdiri dari banyak agama” dan
“Masyarakat Jakarta merupakan keturunan dari perpaduan suku tertentu.” Lalu, bagaimana
kita dapat mengetahui apa proposisi yang ingin diungkapkan suatu kalimat atau pernyataan?
Kita dapat memastikannya melalui pencermatan terhadap informasi non-bahasa atau konteks
atau dengan menggunakan kalimat lain yang lebih jelas dan khusus.
Kalimat atau pernyataan yang boleh ditafsirkan lebih dari satu makna (multi-tafsir)
dapat menyebabkan kita salah dalam memahami dan menanggapinya. Jika kita menggunakan
33
hasil pemaknaan itu dalam pembuatan keputusan, maka kita pun bisa salah membuat
keputusan dan menanggung kerugian akibat kesalahan itu. Oleh karena itu, perlu dihindari
penggunaan kalimat atau pernyataan yang multi-tafsir dengan membuat pernyataan yang
baik, yang jelas maknanya. Untuk membuat suatu pernyataan yang baik, perlu dilakukan hal-
hal berikut. Pertama, membangun suatu kalimat yang mengungkapkan suatu proposisi.
Kedua, mengusahakan supaya proposisi yang ingin diungkapkan menjadi jelas. Akhirnya,
membuat pernyataan mengenai nilai kebenaran kalimat itu.
Biasanya langkah-langkah itu tidak disadari ketika seseorang menyusun suatu
pernyataan. Oleh karena itu orang perlu berlatih membuat pernyataan yang baik agar terbiasa.
Tanpa latihan, orang cenderung membuat kalimat yang multi-tafsir atau tidak jelas
maknanya. Bahkan orang bisa saja membuat kalimat atau pernyataan yang tidak koheren
sehingga sama sekali tidak dapat dimaknai.
Kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan kalimat atau pernyataan adalah
yang berikut. 1) Kalimatnya tidak koheren sehingga tidak dapat dimaknai oleh pendengar
atau pembaca. 2) Kalimatnya sudah koheren tetapi proposisi apa yang dimaksudkan tidak
jelas sehingga dapat menyebabkan salah tafsir. 3) Tidak menunjukkan dengan jelas bahwa
kita sedang menyatakan nilai kebenaran dari kalimat kita (dan bukannya sedang bertanya,
mencoba sound system, berspekulasi, atau berlatih drama). Dalam bahasa lisan, kesalahan ini
seringkali disebabkan oleh salah intonasi. Dalam bahasa tulis, hal ini seringkali timbul karena
kesalahan penggunaan tanda baca.
4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks
Secara umum, berdasarkan proposisi yang dikandung, ada dua jenis pernyataan, yaitu
pernyataan sederhana dan pernyataan kompleks. Pernyataan sederhana adalah pernyataan
yang hanya mengandung satu proposisi, misalnya, “Anak itu menangis”. Pernyataan
kompleks adalah pernyaataan yang mengandung lebih dari satu proposisi, misalnya, “Selain
gemar membaca buku, Adi juga senang menulis cerita pendek”. Pernyataan ini mengandung
dua proposisi, yaitu “Adi gemar membaca buku” dan “Adi senang menulis cerita pendek”.
Proposisi yang dikandung oleh suatu pernyataan juga disebut komponen logika dari
pernyataan. Komponen logika adalah komponen yang turut menentukan benar atau salahnya
suatu pernyataan. Oleh karena sebuah pernyataan ditentukan benar-salahnya berdasarkan
makna yang diungkapkannya atau proposisinya, maka komponen logika suatu pernyataan
dapat dipahami dari proposisi pernyataan itu.
34
Tidak semua kalimat kompleks (kalimat yang mengandung lebih dari satu komponen)
merupakan pernyataan kompleks, karena komponen itu belum tentu merupakan komponen
logika. Sebagai contoh, “Saya harap kamu belajar giat” memang merupakan kalimat
kompleks tetapi termasuk jenis pernyataan sederhana karena hanya mengandung satu
proposisi atau satu komponen logika. Yang menentukan benar atau tidaknya pernyataan itu
adalah “saya harap”. Jika kenyataannya saya berharap kamu belajar giat maka pernyataan
itu benar. Tetapi jika kenyataannya saya tidak berharap kamu belajar giat maka pernyataan
itu salah.
Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
(1) Tidak benar bahwa anak itu nakal.
(2) Rani pikir anak itu nakal. Pernyataan yang dikandung dalam kalimat (1) adalah ‘[Hal] itu (anak itu nakal) tidak
benar’ dan “Anak itu nakal”. Dalam pernyataan pertama, anak itu nakal merupakan
komponen logika karena benar atau salahnya komponen itu turut menentukan benar atau
salahnya pernyataan itu: jika kenyataannya benar bahwa anak itu nakal, maka pernyataan itu
adalah salah, sedangkan jika kenyataannya tidak benar bahwa anak itu nakal, maka
pernyataan itu adalah benar. Kalimat ini mengandung dua proposisi.
Pernyataan yang terkandung dalam kalimat (2) adalah ‘Rani pikir [x]’ dan ‘Anak itu
nakal.’ Dalam pernyataan itu, anak itu nakal bukan komponen logika karena benar atau
salahnya hal itu tidak menentukan benar atau salahnya pernyataan: apakah kenyataan anak
itu nakal atau tidak nakal, tidak menentukan apakah benar bahwa Rani berpikir anak itu
nakal. Nilai kebenaran pernyataan kedua ada pada: apakah benar bahwa Rani pikir anak itu
nakal, ataukah Rani tidak berpikir bahwa anak itu nakal. Kalimat ini hanya mengandung satu
proposisi. Demikianlah anak itu nakal merupakan komponen logika dalam kalimat (1), tetapi
bukan komponen logika dalam kalimat (2). Jadi, kalimat (1) merupakan pernyataan
kompleks, sedangkan kalimat (2) merupakan pernyataan sederhana.
Biasanya, komponen yang mengikuti kata-kata yang menunjukkan sikap atau
pendapat pribadi, seperti pikir, harap, kira, dan percaya bukan merupakan komponen logika.
Dalam percakapan sehari-hari, komponen-komponen dalam pernyataan kompleks sering kali
tidak diungkapkan secara lengkap, seperti diperlihatkan oleh contoh-contoh berikut.
(1) Kalau kamu tidak mau pergi, tidak usah. (Lengkapnya: Kalau kamu tidak mau pergi,
kamu tidak usah pergi.)
35
(2) Mengingat kamu punya kehendak sendiri, kamu boleh memilih untuk ikut atau tidak.
(Lengkapnya: Kamu punya kehendak sendiri, jadi kamu boleh memilih untuk ikut atau
kamu boleh memilih untuk tidak ikut.)
(3) Kuda tidak satu spesies dengan keledai. (Lengkapnya: Tidak benar bahwa kuda satu
spesies dengan keledai.)
4.3 Jenis-jenis Pernyataan Kompleks
Hubungan di antara proposisi atau pernyataan sederhana dalam pernyataan kompleks
ditunjukkan oleh penggunaan kata penghubung seperti tidak, dan, atau, jika, dan maka. Kata-
kata yang menghubungkan pernyataan-pernyataan sederhana—sehingga terbentuk satu
pernyataan kompleks—dan menjelaskan hubungan-hubungan yang terdapat di antara
pernyataan-pernyataan sederhana itu disebut kata penghubung logis atau kata penghubung
kalimat. Kata penghubung itu digunakan untuk membangun struktur logika dari pernyataan
kompleks.
Berdasarkan hubungan di antara proposisi-proposisi yang terkandung dalam
pernyataan kompleks, ada empat jenis pernyataan kompleks, yaitu:
1) Negasi (bukan P)
2) Konjungsi (P dan Q), dan
3) Disjungsi (P atau Q)
4) Kondisional (Jika P maka Q)
Secara umum struktur logika terdiri atas empat jenis seperti yang sudah disebutkan di atas.
Dalam praktiknya, tidak mudah menemukan struktur logika suatu pernyataan atau
suatu argumen. Hal itu dapat terjadi karena 1) ada lebih dari satu cara untuk mengungkapkan
keempat jenis pernyataan kompleks tersebut di atas, dan 2) struktur logika suatu pernyataan
sering kali tersembunyi. Untuk dapat menemukan struktur logika dari pernyataan-pernyataan,
kita perlu mempelajari struktur logika dari keempat pernyataan kompleks itu.
4.3.1 Negasi
Negasi dari suatu pernyataan sederhana adalah pengingkaran atas pernyataan itu. Jika
A adalah suatu pernyataan, negasinya adalah “Tidak benar bahwa A”. Ini disingkat menjadi
“Bukan-A” atau “Bukan (A).” Suatu pernyataan dan negasinya tidak mungkin benar kedua-
duanya, atau salah kedua-duanya. Benar atau salahnya (nilai kebenaran) suatu negasi
tergantung pada nilai kebenaran komponen logikanya. Karena itu, negasi termasuk
pernyataan kompleks, bukan pernyataan sederhana.
36
Dalam percakapan sehari-hari, kita jarang menyatakan negasi dalam kalimat, “Tidak
benar bahwa…” melainkan kita cukup menyingkatnya dengan kata tidak, misalnya:
(1) Orang jujur tidak bisa berbohong. (‘Tidak benar bahwa orang jujur bisa berbohong’.)
(2) Kamu tidak pernah mengajak saya makan-makan. (‘Tidak benar bahwa kamu mengajak
saya makan-makan’.)
Perhatikan bahwa penafsiran dari contoh (2) sebenarnya agak kurang tepat. Untuk
menafsirkan “Kamu tidak pernah mengajak saya jalan-jalan” diperlukan teknik logika lebih
lanjut, yang akan dijelaskan kemudian.
Kata-kata yang maknanya berlawanan (antonim) tidak berarti bahwa kata-kata saling
menegasikan. Misalnya, “Brian membenci Ratih,” bukan negasi dari “Brian mencintai
Ratih.” Negasi dari “Brian membenci Ratih” adalah “Brian tidak membenci Ratih”. Bisa saja
terjadi bahwa Brian tidak mencintai Ratih tetapi juga tidak membenci Ratih. Umpamanya,
jika Brian tidak mengenal Ratih sama sekali, atau Brian dan Ratih berteman, maka mereka
tidak saling mencintai dan juga tidak saling membenci. Dengan kata lain, “Brian membenci
Ratih” menunjukkan bahwa Brian mempunyai sikap negatif terhadap Ratih. Sementara itu,
“Brian tidak mencintai Ratih” hanya menunjukkan bahwa Brian tidak mempunyai afeksi
positif terhadap Ratih, namun itu tidak harus berarti Brian membenci Ratih. “Brian membenci
Ratih” merupakan suatu pernyataan sederhana.
Negatif ganda pada umumnya membentuk pernyataan positif seperti pada contoh-
contoh berikut.
(1) Pikiran manusia tidak tak terbatas. (Pikiran manusia terbatas.)
(2) Jangan sekali-sekali tidak membayar pajak. (Bayarlah pajak.)
4.3.2 Konjungsi
Suatu pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata dan
disebut konjungsi atau kalimat konjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan
komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah P dan Q. Komponen-komponennya
(masing-masing P dan Q) disebut konjung. Sebagai contoh, pernyataan kompleks “Indonesia
dan Malaysia berasaskan demokrasi” terbentuk dari dua pernyataan sederhana, masing-
masing “Indonesia berasaskan demokrasi” dan “Malaysia berasaskan demokrasi”.
Jumlah konjung dalam suatu kalimat konjungsi tidak harus dua, tapi bisa juga lebih,
misalnya, “Indonesia, Malaysia dan Australia berasaskan demokrasi”. Pernyataan kompleks
ini terdiri dari tiga pernyataan sederhana, yaitu “Indonesia berasaskan demokrasi”,
“Malaysia berasaskan demokrasi”, dan “Australia berasaskan demokrasi”.
37
Suatu konjungsi benar bila semua konjungnya benar, dan salah jika salah satu
konjungnya salah. Sebagai contoh, pernyataan “Indonesia dan Malaysia berasaskan
demokrasi” benar jika dalam kenyataannya memang “Indonesia berasaskan demokrasi” dan
“Malaysia berasaskan demokrasi”. Jika semua salah atau salah satu pun konjungnya salah,
maka konjungsi salah. Pernyataan “Manusia dan burung adalah makhluk rasional” salah
karena pernyataan “Burung adalah makhluk rasional” salah.
Ada kata lain di samping dan yang fungsinya kurang lebih sama. Perhatikanlah
contoh-contoh berikut.
(1) Saya mau nasi dan daging, tetapi sayur tidak. (Saya mau nasi, dan saya mau daging, tapi
saya tidak mau sayur.)
(2) Walaupun miskin, dia bahagia. (Dia miskin dan dia bahagia.)
(3) Anto datang ke rapat itu, begitu pula Yana. (Anto datang ke rapat itu dan Yana datang ke
rapat itu.)
(4) Kami berhasil; namun demikian, kami menyadari kekurangan kami. (Kami berhasil, dan
kami menyadari kekurangan kami.)
Penggunaan tapi, walaupun, dan lain-lain itu mengandung arti lebih dari sekadar dan.
Tetapi, secara logis, nilai kebenaran “Dia miskin dan dia bahagia” sama dengan nilai
kebenaran “Walaupun dia miskin, dia bahagia”. Artinya, jika “Dia miskin dan dia bahagia”
benar, maka “Walaupun dia miskin, dia bahagia” juga benar. Sebaliknya, jika “Dia miskin
dan dia bahagia” salah, maka “Walaupun dia miskin, dia bahagia” juga salah.
Penggunaan kata dan kadang-kadang taksa atau ambigu (ambiguous). Contohnya,
“Joko dan Patmo memenangkan perlombaan maraton.” Pernyataan ini dapat
diinterpretasikan menjadi:
1) Joko memenangkan perlombaan maraton dan Patmo memenangkan perlombaan maraton
(konjungsi), atau
2) Pasangan Joko dan Patmo memenangkan perlombaan maraton (pernyataan sederhana).
Untuk mengetahui interpretasi mana yang benar, digunakan konteks atau informasi lain
yang tersedia. Jika kita yang menyampaikan pernyataan itu, sebaiknya kita menggunakan
pernyataan yang lebih lengkap dan jelas. Meskipun ada konteks, kemungkinan salah tafsir
tetap besar. Oleh sebab itu, penggunaan pernyataan yang taksa atau bertafsir ganda harus
dihindari.
Menurut logika, urutan konjungsi boleh dibolak-balik tanpa mempengaruhi nilai
kebenarannya, misalnya “Saya ingin makan nasi dan minum teh” dapat dibalik menjadi
“Saya ingin minum teh dan makan nasi.” Kedua pernyataan ini sama saja arti dan nilai
38
kebenarannya. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, urutannya tidak dapat dibalik. Sebagai
contoh, pernyataan “Made meninggal dunia dan dibakar” berbeda maknanya dengan “Made
dibakar dan meninggal dunia” karena urutannya berbeda.
4.3.3 Disjungsi
Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata atau
disebut disjungsi atau pernyataan disjungtif. Jika P dan Q adalah pernyataan yang merupakan
komponen pernyataan kompleks, bentuk standar dari disjungsi adalah P atau Q, misalnya
“Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Komponen-
komponennya (masing-masing P dan Q) disebut disjung. Jumlah disjung dalam suatu
disjungsi tidak harus dua, tetapi bisa juga lebih, misalnya, “Joko atau Padmo atau Riski yang
memenangkan pertandingan bulu tangkis”. Urutan disjung dalam suatu disjungsi tidak
mempengaruhi nilai kebenarannya. A atau B secara logis ekuivalen dengan B atau A.
Umpamanya, “Joko atau Padmo yang memenangkan pertandingan bulu tangkis” sama
maknanya dengan “Padmo atau Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis”.
Suatu disjungsi benar bila paling sedikit salah satu disjungnya benar, dan salah jika
semua disjungnya salah. Jadi, A atau B benar jika A benar, B benar, atau A dan B benar.
Sedangkan A atau B salah jika A dan B salah. Disjungsi “Joko atau Padmo yang
memenangkan pertandingan bulu tangkis” benar jika salah satu konjungnya benar, misalnya
“Joko yang memenangkan pertandingan bulu tangkis.” Disjungsi “Joko atau Padmo yang
memenangkan pertandingan bulu tangkis” salah jika baik pernyataan “Joko yang
memenangkan pertandingan bulu tangkis” maupun “Padmo yang memenangkan
pertandingan bulu tangkis” salah. Penggunaan kata atau seperti ini disebut atau-inklusif.
Dalam percakapan sehari-hari, kadang-kadang kata atau digunakan sebagai atau-
eksklusif, yang berarti bahwa hanya salah satu dari disjungnya yang benar, misalnya “Anto
ada di Jakarta atau di Bandung” (tidak mungkin kedua disjungnya benar). Dalam teori-teori
logika, yang dipakai adalah atau-inklusif. Jika dalam teori logika, kita ingin mengungkapkan
suatu hubungan atau -eksklusif, maka struktur logikanya menjadi A atau B dan bukan (A
dan B), misalnya “Anto ada di Jakarta atau dia ada di Bandung dan tidak benar bahwa dia
ada di Jakarta sekaligus dia ada di Bandung”.
Perhatikan penulisan struktur logika, jika kita menggunakan bentuk negasi tanpa
tanda kurung, maka hasilnya menjadi ambigu seperti ini: A atau B dan bukan -A dan B.
39
4.3.4 Kondisional
Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan jika…, maka…
disebut pernyataan kondisional atau hipotetisis. Jika P dan Q adalah pernyataan yang
merupakan komponen, bentuk standar dari konjungsi adalah Jika P maka Q. Pernyataan
dalam anak kalimat yang mengandung kata jika disebut anteseden, dan pernyataan dalam
anak kalimat yang mengandung kata maka disebut konsekuen.
Nilai kebenaran suatu pernyataan kondisional agak rumit penentuannya. Hal ini
menyebabkan timbulnya pandangan yang berbeda-beda. Salah satu di antaranya (yang dianut
oleh para ahli logika formal) ialah pandangan kondisional material, yang menyatakan bahwa
suatu pernyataan kondisional dianggap salah hanya jika antesedennya benar dan
konsekuennya salah. Perhatikan pernyataan hari hujan dan tanah basah yang masing-masing
benar. Menurut syarat kondisional material, hal itu berarti bahwa jika hari hujan maka tanah
basah adalah benar, semrntara jika hari hujan maka tanah kering salah; jika hari cerah, maka
tanah basah adalah benar, dan jika hari cerah maka tanah kering benar. Nilai kebenaran
kondisional material tidak tergantung pada hubungan antara komponen-komponennya karena
kondisional material tidak melihat isi dari pernyataan yang menjadi komponennya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan pernyataan kondisional untuk
menggambarkan hubungan antara komponen-komponennya, misalnya jika Maulana minum
alkohol 1 liter, maka ia akan mabuk untuk menunjukkan hubungan kausal; jika binatang itu
termasuk mamalia, maka dia pasti menyusui untuk menunjukkan hubungan konseptual; dan
jika seseorang termasuk mahasiswa, maka dia pasti terdaftar secara resmi sebagai orang
yang belajar di perguruan tinggi untuk menunjukkan hubungan definisional. Kebenaran
pernyataan-pernyataan itu tergantung pada hubungan antara anteseden dengan konsekuennya
juga. Tetapi dari sudut pandang logika murni, maka yang dianut adalah kondisional material.
Secara logika, jika A, maka B ekuivalen dengan jika tidak B, maka tidak A. Kedua bentuk ini
disebut kontrapositif.
Pernyataan kondisional yang mempunyai anteseden yang salah disebut kondisional
yang berlawanan dengan kenyataan. Dari sudut pandang kondisional material, nilai
kebenaran kondisional seperti ini adalah benar.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang orang menggunakan bentuk kondisional
bukan untuk menggambarkan hubungan kondisional, misalnya jika saya jadi kamu, saya
akan minta melamar (kamu sebaiknya melamar); di gudang ada payung, kalau kamu mau
(kamu boleh ambil payung di gudang); kalau laki-laki itu kamu bilang ganteng, maka saya
adalah Arjuna (laki-laki itu tidak ganteng). Untuk membedakan mana pernyataan kondisional
40
yang sesungguhnya dan mana yang bukan, digunakan akal sehat dan ingatan tentang
kenyataan-kenyataan yang dirujuk dalam pernyataan.
Ada banyak cara untuk mengungkapkan pernyataan kondisional, yang semuanya
dapat dikembalikan ke bentuk standar Jika A, maka B. Kadang-kadang jika suatu bentuk
kondisional yang tidak standar diterjemahkan ke bentuk standar, maka artinya berubah,
misalnya “Saya senang hanya jika saya berhasil menjadi juara 1”. Jika diubah ke bentuk
standar menjadi “Jika saya senang, maka saya berhasil menjadi juara 1”, maka artinya pun
berubah jika kita menerjemahkan ‘Kesenangan saya menyebabkan saya menang’ke dalam
bentuk kontrapositifnya menjadi “Jika saya tidak menang, maka saya tidak senang” maka
artinya menjadi lebih masuk akal. Oleh sebab itu, dalam mengubah suatu bentuk kondisional
menjadi bentuk standarnya, kita harus melihat apakah bentuk standar ataukah bentuk
kontrapositifnya yang lebih dapat “menangkap” arti sesungguhnya dari pernyataan asalnya.
(Periksa Tabel 2.1.)
Tabel 2.1: Pernyataan Kondisional dan Bentuk Standarnya
Pernyataan Kondisional Bentuk Standar
Hanya manusia yang dapat menggunakan
simbol.
Jika suatu makhluk menggunakan simbol,
maka makhluk itu adalah manusia.
Jika MS, maka M.
Di mana ada api, di situ ada oksigen. Jika ada api, maka ada oksigen.
Jika A, maka O.
Saya tidak mau pergi kecuali dibiayai. Jika saya tidak dibiayai, saya tidak mau
pergi.
Jika tidak D, tidak P.
Kamu boleh menyetir mobil hanya jika
kamu sudah punya SIM A.
Jika kamu belum punya SIM A, kamu tidak
boleh menyetir mobil.
Jika tidak SA, tidak MM.
Tidak mungkin kamu datang ke rapat itu
tapi tidak melihat aku.
Jika kamu pergi ke rapat itu, maka kamu
melihat aku.
Jika R, maka M.
Syarat untuk hidup sejahtera adalah sehat. Jika tidak sehat, maka tidak bisa hidup
sejahtera.
Jika tidak S, maka tidak S.
Pengenalan terhadap kontrapositif dari suatu pernyataan akan berguna pada saat kita
berusaha mengenal struktur logika dari suatu pernyataan atau argumen yang rumit. Ada
aturan informal yang mengatakan bahwa kita boleh mengganti kata kecuali dengan jika tidak.
41
Namun karena mengandung negasi, maka kalimat yang baru bisa jadi sangat rumit. Sebagai
contoh, jika kalimat “Dodo tidak akan mengaku kecuali tidak ada sanksi atas perbuatannya”
kita ubah sesuai dengan aturan informal itu, maka kita akan memperoleh “Dodo tidak akan
mengaku jika tidak ada sanksi atas perbuatannya”. Kemudian, kalimat yang baru itu dibalik
susunannya menjadi bentuk standar, “Jika tidak tidak ada sanksi atas perbuatannya, Dodo
tidak akan mengaku”, sehingga kita memperoleh dua bentuk negasi (tidak [ada...] dan tidak
[akan ...]). Jika kedua negasi itu diubah menjadi positif, maka pernyataan itu menjadi “Jika
ada sanksi atas perbuatannya, Dodo tidak akan mengaku”. Demikian pula, jika kita mau,
kita dapat mengubahnya menjadi kontrapositifnya, “Jika Dodo mengaku, maka [itu berarti]
tidak ada sanksi atas perbuatannya”.
4.3.5 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang Mencukupi
Ada dua kondisi yang merupakan bentuk khusus dari hubungan kondisional, yaitu
yang mencukupi (sufficient condition, S) dan kondisi niscaya (necessary condition, N). Hanya
jika pernyataan kondisional Jika S maka N adalah benar. Contoh:
1. Menghasilkan sperma merupakan kondisi yang mencukupi untuk membuktikan bahwa
seseorang adalah laki-laki.
2. Jenis kelamin laki-laki merupakan kondisi niscaya untuk menghasilkan sperma.
3. Jika seseorang menghasilkan sperma, maka dia laki-laki.
Oleh karena pernyataan kondisional digunakan untuk menggambarkan hubungan
tertentu antara komponennya, maka kondisi yang mencukupi dan niscaya juga demikian. Ada
lima jenis hubungan itu, yang berikut ini didaftarkan beserta contohnya.
1) Kausal
a. Mencabut jantung Dul merupakan kondisi yang mencukupi untuk membunuhnya.
b. Jika kita mencabut jantung Dul, maka kita membunuhnya.
2) Konseptual
a. Kondisi niscaya untuk tergolong manusia adalah mampu menggunakan simbol.
b. (i) Jika B adalah manusia, maka dia pasti mampu menggunakan simbol.
c. (ii) Jika B tidak mampu menggunakan simbol, maka dia pasti bukan manusia.
3) Definisional
a. Kondisi niscaya dan mencukupi untuk disebut mahasiswa adalah orang yang
terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.
42
b. Jika seseorang adalah mahasiswa, maka dia adalah orang yang terdaftar secara
resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi, dan jika ia adalah orang yang terdafatar
secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi maka ia adalah seorang
mahasiswa. Seseorang adalah mahasiswa jika dan hanya jika dia adalah orang yang
terdafatar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.
4) Regulatori
a. Lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi merupakan kondisi niscaya untuk kuliah di
universitas negeri.
b. (i) Jika seseorang dapat kuliah di universitas negeri secara sah, maka ia lulus Ujian
Masuk Perguruan Tinggi.
c. (ii) Jika seseorang tidak lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi, maka dia tidak dapat
kuliah di universitas negeri secara sah.
5) Logis
a. Menjadi kucing hitam adalah kondisi niscaya untuk berwarna hitam.
b. Jika seekor binatang adalah kucing hitam, maka warnanya hitam.
Ada kondisi yang niscaya sekaligus mencukupi untuk suatu situasi. Kondisi ini
diungkapkan dalam bentuk X jika dan hanya jika Y, misalnya, “Makhluk hidup jika dan
hanya jika bernafas”. Ini bisa dibalik menjadi, “Bernafas jika dan hanya jika makhluk
hidup”. Contoh lain, “Mahkluk adalah manusia jika dan hanya jika makhluk itu adalah
makhluk rasional.” Ada juga kondisi niscaya dan mencukupi yang berlaku hanya dalam
konteks tertentu. Umpamanya, dalam suatu ruangan yang penuh oksigen dan hidrogen,
menyalakan korek api merupakan kondisi yang mencukupi untuk terjadinya ledakan, namun
tidak dalam konteks lain.
4.4 Hubungan Antar-pernyataan
Ada pengetahuan tertentu yang dapat langsung disimpulkan dari suatu pernyataan.
Oleh para ahli logika, ini disebut hubungan langsung. Misalnya, jika benar bahwa semua
manusia pasti akan mati maka dapat disimpulkan bahwa Sokrates, seorang manusia, pasti
akan mati. Ada beberapa jenis hubungan seperti itu yang masing-masing diterapkan di bawah
ini.
43
4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dari Proposisi
Pernyataan kategorikal adalah pernyataan yang terdiri dari subjek dan predikat yang
membenarkan atau menidakkan bahwa individu adalah anggota suatu kelompok. Ada empat
jenis pernyataan kategorikal, yakni yang berikut.
A: Semua S adalah P. (Universal-afirmatif)
E: Tidak ada S yang P. (Universal-negatif)
I: Beberapa S adalah P. (Partikular-afirmatif)
O: Beberapa S bukan P. (Partikular-negatif)
Hubungan antara keempat jenis pernyataan kategorikal dapat digambarkan dalam
segi-empat oposisi pada Bagan 2.1.
Bagan 2.1: Segiempat Oposisi
A: Semua S adalah P. Kontrari E: Tidak ada S yang P.
I: Beberapa S adalah P. Subkontrari O: Beberapa S bukan P.
Kontradiksi (A dan O; E dan I)
Dalam hubungan ini, tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah
(Salah satu pasti benar). Umpamanya, “Makhluk hidup bernafas” adalah benar, dan
“Beberapa makhluk hidup tidak bernafas” adalah salah.
Kontrari (A dan E)
Dalam hubungan ini tidak mungkin keduanya benar, tapi mungkin saja keduanya salah.
Sebagai contoh, jika “Semua melati berwarna putih” adalah benar, maka “Tidak ada mawar
Sub-alternasi Kontradiktori
44
berwarna merah” adalah salah. Akan tetapi, apabila “Semua mawar berwarna merah” adalah
salah, dan “Tiada mawar berwarna merah” juga salah.
Subkontrari (I dan E)
Dalam hubungan ini mungkin saja keduanya benar, tetapi tidak mungkin keduanya salah,
misalnya “Beberapa orang sedang sedih” adalah benar, dan “Beberapa orang tidak sedang
sedih” juga benar.
Subalternasi (A dan I; E dan O)
Jika superalternasinya (A atau E) benar, maka subalternasinya (I atau O) benar. Umpamanya,
jika “Semua manusia bernafas” (A) adalah benar, maka “Beberapa manusia bernafas” (I)
juga benar. Jika subalternasinya (I atau O) benar, maka superalternasinya (A atau E) belum
tentu benar: jika “Beberapa orang tidak terpelajar” (O) adalah benar, maka “Semua orang
tidak terpelajar” (E) bisa benar, bisa salah. Jika subalternasinya (I atau O) salah, maka
superalternasinya (A atau E) pasti salah.
Dalam logika tradisional, yang disebut kontrari adalah pernyataan bentuk A terhadap
pernyataan bentuk E. Namun, di sini setiap dua pernyataan yang memenuhi definisi di atas
dapat dianggap sebagai kontrari. Kontradiksi dan kontrari cukup sering disebut “lawan” dari
suatu pernyataan, namun keduanya berbeda satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari,
memang cukup sering orang mengacaukan keduanya. Untuk lebih memahami perbedaan di
antara keduanya, perhatikanlah contoh pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2: Perbedaan dan Bentuk Kontrari dengan Kontradiksinya
Pernyataan Kontrari Kontradiksi
Semua mawar berwarna
merah.
Semua mawar berwarna
kuning.
Beberapa mawar tidak
berwarna merah.
Semua angsa berwarna
putih.
Tiada angsa mawar
berwarna putih.
Beberapa angsa tidak berwarna
putih.
Tidak ada orang yang
bermoral.
Semua orang bermoral. Beberapa orang bermoral.
Rumah saya hijau. Rumah saya putih. Rumah saya tidak hijau.
Dia selalu jujur. Dia tidak pernah jujur. Dia kadang-kadang jujur.
Beratnya lebih dari 50 kg. Beratnya kurang dari 50 kg. Beratnya 50 kg atau kurang.
Secara logis, kontradiksi suatu pernyataan sama dengan negasi dari pernyataan itu.
Oleh sebab itu, semua pernyataan yang merupakan kontradiksi dari pernyataan X (misalnya
45
Semua melati berwarna putih), pada dasarnya adalah ekuivalen dari pernyataan bukan-X
(Tidak benar bahwa semua melati berwarna putih). Sedangkan ada banyak pernyataan yang
merupakan kontrari dari pernyataan X namun tidak saling ekuivalen, misalnya “Semua melati
berwarna kuning”, “Semua melati berwarna hijau”, dan “Tiada melati berwarna putih.”
Pernyataan kompleks juga memiliki kontradiksi dan kontrari. Kontradiksi pernyataan
“Ia orang yang baik hati dan [ia] orang yang terpelajar” ialah “Ia bukan orang yang baik
hati sekaligus terpelajar”, yang secara logis ekuivalen dengan “Ia bukan orang yang baik
hati atau [ia] bukan orang yang terpelajar.” Sedangkan kontrarinya adalah “Ia bukan orang
yang baik hati dan [ia] bukan orang yang terpelajar”, yang secara logis ekuivalen dengan
“Tidak benar bahwa ia orang yang baik hati ataupun orang yang terpelajar”.
4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi
Dua pernyataan disebut inkonsisten jika, dan hanya jika keduanya tidak mungkin benar pada
saat yang bersamaan. Pada kondisi yang sebaliknya, dua pernyataan itu disebut konsisten;
artinya, kedua pernyataan itu mungkin sama-sama benar pada saat bersamaan. Pernyataan
“Saya adalah laki-laki” dan “Saya bukan laki-laki” merupakan contoh dua pernyataan yang
inkonsisten dan “Saya adalah laki-laki” dan “Saya adalah dosen” merupakan contoh dua
pernyataan yang konsisten.Pernyataan yang termasuk inkonsisten adalah kontrari dan
kontradiksi. (Lihat Tabel 2.3.)
Tabel 2.3: Pernyataan yangKonsisten dan yangInkonsisten
Pernyataan Konsisten Inkonsisten
Ada anyelir Ada anggrek. Tidak ada anyelir.
Dia harus belajar. Dia harus belajar logik. Dia tidak boleh belajar.
Dia X dan Y. Dia X. Dia bukan Y.
Jika A maka B. Jika B maka A. A dan bukan-B.
4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis
Tiga jenis hubungan antar-pernyataan adalah implikasi, ekuivalensi dan independensi
logis. Ketiga jenis hubungan ini sering muncul dalam keseharian kita dan sering pula
dipertukarkan pengertiannya; tidak jarang orang memperlakukan hubungan yang satu sebagai
hubungan yang lain. Misalnya, independensi logis diperlakukan seolah-olah implikasi, dan
46
sebaliknya. Untuk memahami ketiga jenis hubungan itu, dan untuk menghindari kesalahan
dalam penggunaannya, kita perlu memahami pengertian masing-masing dan bagaimana
penggunaannya.
Implikasi
Pernyataan P mengimplikasikan pernyataan Q ketika secara logis tidak mungkin P benar dan
Q salah pada waktu yang bersamaan. Perhatikan contoh-contoh berikut.
Pernyataan P mengimplikasikan Pernyataan Q
Semua melati berwarna putih. Beberapa melati berwarna putih.
Aten adalah seorang guru. Aten mempunyai murid.
Saya gemuk dan pendek.
Joko adalah laki-laki.
Saya gemuk.
Joko menghasilkan sperma.
Ekuivalensi
Dua pernyataan secara logis ekuivalen bila keduanya saling mengimplikasikan. Jadi
dua pernyataan yang secara logis ekuivalen memiliki makna yang sama. Begitu pula
sebaliknya, dua pernyataan yang memiliki makna yang sama berarti secara logis keduanya
ekuivalen. Berikut ini adalah beberapa pernyataan yang secara logis ekuivalen.
1. Negasi dari suatu konjungsi [Bukan (P dan Q)] ekuivalen dengan disjungsi dari negasi
konjung-konjungnya [Bukan-P atau Bukan-Q], misalnya “Kita tidak akan pergi ke
perpustakaan sekaligus ke pertandingan basket” ekuivalen dengan “Kita tidak pergi ke
perpustakaan atau kita tidak pergi ke pertandingan basket”.
2. Negasi dari suatu disjungsi [Bukan-(P atau Q)] ekuivalen dengan konjungsi dari negasi
disjung-disjungnya [Bukan-P dan Bukan-Q], misalnya “Tidak benar bahwa Doni atau
Yanto akan gagal” ekuivalen dengan “Doni tidak akan gagal dan Yanto juga tidak akan
gagal”.
3. Suatu pernyataan kondisional [Jika P maka Q] ekuivalen dengan pernyataan yang
menolak bahwa antesedennya benar dan konsekuennya salah [Bukan-(P dan bukan-Q)],
misalnya “Jika orang itu melahirkan anak, maka dia pasti perempuan” ekuivalen dengan
“Tidak mungkin orang itu melahirkan anak namun bukan perempuan”.
4. Suatu disjungsi [P atau Q] ekuivalen dengan pernyataan kondisional yang antesedennya
merupakan negasi dari salah satu disjung dan konsekuennya adalah disjung yang lain
[Jika Bukan-P maka Q, atau Jika Bukan-Q maka P], misalnya “Kita pergi ke Bangkok
47
atau ke Bali” ekuivalen dengan “Jika kita tidak pergi ke Bangkok maka kita pergi ke
Bali”, atau “Jika kita tidak pergi ke Bali maka kita pergi Bangkok”.
Independensi Logis
Dua pernyataan disebut secara logis independen jika secara logis tidak berhubungan; jadi,
kedua pernyataan maupun negasinya tidak saling mengimplikasikan. Umpamanya,
pernyataan “Ratno sedang belajar” dan “Anti tahu tempat membeli sepatu yang murah”
secara logis independen karena keduanya tidak saling berhubungan. Contoh lain, pernyataan
“Embun menetes di pagi hari” secara logis independen dengan pernyataan “Aku sedang
bersedih”.
5. Penalaran
Penalaran adalah penarikan kesimpulan berdasarkan alasan-asalan yang relevan. Alasan-
alasan itu dapat berupa bukti, data, informasi akurat, atau penjelasan tentang hubungan antara
beberapa hal. Penalaran berlangsung dalam pikiran. Ungkapan verbal dari penalaran adalah
argumentasi.
Dalam pasal ini akan diuraikan dua jenis penalaran, syarat penalaran yang benar, dan
kesalahan dalam penalaran. Sebelum itu, penyimpulan langsung dan prinsip-prinsip logika
yang mendasari penalaran akan dijelaskan terlebih dahulu.
5.1 Penyimpulan Langsung
Fungsi akal manusia adalah mencapai kebenaran. Proses pencapaian kebenaran dimulai dari
pengenalan terhadap gejala dan pembentukan ide itu sendiri. Tetapi kebenaran tidak terdapat
dalam Ide. Kebenaran terdapat dalam putusan (judgement). Kalau putusan kita sesuai dengan
kenyataan, maka kita mencapai kebenaran objektif. Atas dasar kebenaran-kebenaran
semacam inilah pengetahuan mengalami kemajuan.
Kebenaran pertama-tama dapat dicapai melalui penyimpulan langsung (immediate
inference), yaitu penyimpulan yang ditarik sesuai dengan prinsip-prinsip logika. Prinsip-
prinsip logika terdiri atas prinsip identitas, prinsip kontradiksi, dan prinsip tanpa nilai tengah
(excluded middle). Prinsip identitas menyatakan bahwa X = X; artinya, sesuatu adalah
sesuatu itu sendiri. Prinsip kontradiksi menyatakan bahwa jika X = X maka tidak mungkin X
tidak sama dengan X; artinya, sesuatu adalah dirinya sendiri, tidak mungkin sesuatu itu
48
sekaligus bukan dirinya sendiri. Prinsip tanpa nilai tengah menyatakan bahwa untuk proposisi
apa pun, proposisi itu hanya dapat benar atau salah; tidak mungkin diperoleh sebuah
proposisi yang benar sekaligus salah, atau setengah salah atau setengah benar.
Penyimpulan langsung dilakukan melalui indera, umpamanya memberikan putusan
bahwa mawar berwarna merah (putusannya: mawar merah), hari sedang hujan, matahari
bersinar, atau saat ini pagi hari. Penyimpulan langsung menghasilkan pengetahuan dasar bagi
manusia. Pengalaman empirik yang menjadi sumber pengetahuan itu. Akan tetapi
penyimpulan langsung tidak membawa kita beranjak jauh dari informasi-informasi asal
sehingga tidak dapat menambah pengetahuan lebih banyak lagi. Kita perlu mengetahui
kebenaran-kebenaran dari berbagai hal yang tidak dapat dibuktikan dengan penyimpulan
langsung maupun pembuktian melalui panca indera, seperti contoh-contoh berikut. Apakah
matahari mengelilingi bumi atau bumi mengelilingi matahari? Apakah jiwa manusia berbeda
dengan jiwa binatang? Apakah matahari itu jauh atau dekat? Apakah bulan besar atau
kecil? Benarkah jiwa itu kekal?
5.2 Penyimpulan Tak Langsung
Untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar tentang hal-hal yang tidak dapat
dibuktikan dengan penyimpulan langsung atau indera, kita perlu membandingkan ide-ide.
Penyimpulan melalui perbandingan ide-ide adalah penyimpulan tak langsung. Putusan yang
dihasilkan bukan hasil dari pengenalan langsung terhadap gejala, melainkan hasil dari
mempertemukan dua ide yang diperbandingkan dengan perantaraan ide ketiga yang sudah
diketahui sebelumnya.
Di atas (pasal 4.1) telah kita bahas cara membenarkan atau mengingkari suatu ide atas
dasar satu ide yang lain (negasi, oposisi dari proposisi, dan lain-lain). Tetapi dalam
kenyataannya kita tidak selalu dapat membuat putusan hanya berdasarkan dua ide (kita dalam
keadaan ragu). Untuk itu diperlukan ide ketiga. Proses membandingkan dua ide dengan
melibatkan ide ketiga untuk menghubungkan dua ide itulah yang disebut penalaran. Dengan
kata lain, penalaran adalah penyimpulan tak langsung atau penyimpulan dengan
menggunakan perantara (mediate inference).
Berdasarkan prinsip identitas kita dapat menyimpulkan bahwa
Jika ide 1 = ide 3, dan
ide 2 = ide 3, maka
ide 2 = ide 1.
Berdasarkan prinsip kontradiksi kita dapat menyimpulkan bahwa
49
Jika ide 1 ≠ ide 3, dan
ide 2 = ide 3, maka
ide 1 ≠ ide 2.
Kedua prinsip dan turunannya yang menjadi dasar-dasar dari penalaran.
5.3 Dua Jenis Penalaran
Ada dua jenis penaralan, yaitu deduksi atau penalaran deduktif dan induksi atau penalaran
induktif. Kedua jenis penalaran ini diperlukan dalam proses pencapaian kebenaran.
Pemanfaatan keduanya telah menghasilkan pengetahuan yang berguna bagi manusia dan
membawa peradaban manusia menjadi semaju yang kita saksikan saat ini.
Deduksi adalah proses penalaran yang dengannya kita membuat suatu kesimpulan
dari suatu hukum, dalil, atau prinsip yang umum kepada suatu keadaan yang khusus yang
tercakup dalam hukum, dalil, atau prinsip yang umum itu. Umpamanya, kita meragukan
apakah putri malu mempunyai indera atau tidak. Tetapi ilmu pengetahuan sudah menetapkan
dalil bahwa hakikat suatu tanaman adalah tidak berindera. Maka kita dapat melakukan
inferensi berikut.
Semua tanaman tak berindera.
Puteri malu adalah tanaman.
Jadi: Puteri malu tak berindera.
Kita juga dapat mulai dengan proposisi hipotetis, misalnya:
Penjahat itu sehat atau gila.
Ia sehat.
Jadi: Ia tidak gila.
Penyimpulan melalui deduksi disebut juga silogisme.
Induksi adalah proses penalaran yang dengannya kita menyimpulkan hukum, dalil,
atau prinsip umum dari kasus-kasus khusus (individual).
Contoh:
Air, di mana pun, di muka bumi atau di laut, pada tingkat permukaan laut
akan membeku pada nol derajat Celcius.
Tetapi air di mana pun adalah air belaka.
Jadi: Semua air pada tingkat permukaan laut membeku pada nol derajat Celcius.
5.4 Kesalahan Penyimpulan
Manusia tidak jarang memperoleh pengetahuan yang tidak benar karena adanya
kesalahan dalam proses penyimpulan. Kesalahan penyimpulan digolongkan atas dua, yakni
50
kesalahan material dan kesalahan formal. Kesalahan material adalah kesalahan putusan yang
digunakan sebagai pertimbangan yang seharusnya memberikan fakta atau kebenaran. Mari
kita lihat contoh berikut. Berdasarkan pengamatan orang melihat setiap hari matahari tampak
bergerak dari timur ke barat, dulu orang menyimpulkan bahwa matahari mengelilingi bumi.
Lalu kesimpulan ini digunakan untuk menjelaskan susunan alam semesta. Oleh karena
putusan (kesimpulan) yang digunakan untuk menjelaskan susunan alam semesta salah, maka
penjelasan tentang alam semesta pun salah.
Kesalahan formal ialah kesalahan yang berasal dari urutan penyimpulan yang tidak
konsisten. Sebagai contoh, untuk menjelaskan perilaku korupsi digunakan penalaran berikut
ini yang merupakan penalaran sirkular.
Tanya: Mengapa petugas hukum dapat disogok?
Jawab: Karena gaji mereka kecil.
Tanya: Mengapa gaji petugas hukum kecil?
Jawab: Karena ekonomi tidak tumbuh secara baik.
Tanya: Mengapa ekonomi tidak tumbuh secara baik?
Jawab: Karena hukum tidak berjalan dengan baik.
Tanya: Mengapa hukum tidak berjalan dengan baik?
Jawab: Karena petugas hukum dapat disogok. Kesalahan penalaran ini muncul dalam beragam bentuk. Bentuk-bentuk kesalahan
penyimpulan dan penalaran akan dibahas di pasal 8.
5.5 Argumentasi
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ungkapan verbal dari penalaran atau
penyimpulan tak langsung adalah argumentasi. Di dalam argumentasi terkandung term yang
merupakan ungkapan verbal dari ide dan proposisi yang merupakan ungkapan verbal dari
putusan.
Proposisi yang dijadikan dasar dari kesimpulan disebut premis atau anteseden. Subjek
(S) dan Predikat (P) dari kesimpulan masing-masing disebut ekstrem minor dan ekstrem
mayor yang cakupannya lebih luas dari subjek. Ungkapan dari ide ketiga yang
menghubungkan ide pertama dan ide kedua yang diperbandingkan dalam argumentasi disebut
term tengah (middle term, disingkat M). Premis yang mengandung term mayor disebut
premis mayor. Premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Ketentuan ini
baku, terlepas dari posisi premis-premis itu dalam argumentasi. Perhatikan contoh berikut.
(1) Premis mayor: Semua hewan (M) adalah mahluk (P).
Premis Minor: Semua belut (S) adalah hewan (M).
Ergo : Semua belut (S) adalah mahluk (P).
51
(2) Premis Minor: Semua besi (S) adalah logam (M).
Premis Mayor: Semua logam (M) adalah unorganik (P).
Ergo : Semua besi (S) adalah unorganik (P).
Term tengah (M) harus muncul di premis mayor maupun premis minor sebagai
perbandingan, tetapi tidak boleh muncul dalam kesimpulan.
Ada dua macam argumentasi yang umum digunakan dalam logika, yaitu silogisme
kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah argumentasi yang menggunakan
proposisi kategoris yang oleh Aristoteles disebut analitika. Silogisme hipotetis adalah
argumentasi yang menggunakan proposisi hipotetis (silogisme hipotetis) yang oleh
Aristoteles disebut dialektika.
6. Argumen Deduktif
6.1 Definisi Penalaran Deduktif (Deduksi)
Deduksi adalah bentuk argumen yang kesimpulannya niscaya mengikuti premis-
premisnya. Lazimnya deduksi juga dipahami sebagai pembuatan pernyataan khusus
berdasarkan pernyataan-pernyataan yang lebih umum. Pernyataan khusus itu disebut
kesimpulan dan pernyataan-pernyataan yang lebih umum disebut premis. Dalam deduksi
kesimpulan diturunkan dari premis-premisnya. Menerima premis tetapi menolak kesimpulan
adalah tidak konsisten.
Penalaran deduktif adalah proses perolehan kesimpulan yang terjamin validitasnya
jika bukti yang tersedia benar dan penalaran yang digunakan untuk menghasilkan kesimpulan
tepat. Kesimpulan juga harus didasari hanya oleh bukti yang sudah ada sebelumnya.
Kesimpulan tidak boleh mengandung informasi baru tentang materi.
6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif—yang sering digunakan untuk menulis esai argumentatif—
diawali dengan generalisasi yang dianggap benar (self-evident) yang menghasilkan premis-
premis, lalu dari situ diturunkan kesimpulan yang koheren dengan premis-premisnya. Premis
dan kesimpulan harus berkesesuaian dan tertata dalam bentuk argumentasi tertentu. Bentuk
deduksi yang paling umum digunakan adalah silogisme yang terdiri atas premis mayor,
premis minor, kesimpulan. Bentuk argumentasi ikut menentukan sahih (valid) atau tidaknya
52
penalaran deduktif. Sebagaimana sudah disebutkan di atas, dalam penalaraan deduktif
kesimpulan bersifat lebih khusus daripada premis-premisnya. Penalaran deduktif bertujuan
untuk menentukan putusan yang sahih tentang hal khusus tertentu berdasarkan pemahaman
tentang hal-hal yang lebih umum.
6.3 Silogisme
Silogisme berasal dari kata Yunani syllogismos yang berarti ‘kesimpulan’. Silogisme
adalah jenis argumen logis yang kesimpulannya diturunkan dari dua proposisi umum
(premis) yang berbentuk prosisi kategoris.
Dilihat dari bentuknya, penilaian terhadap silogisme adalah sahih (valid) atau tidak
sahih (invalid). Silogisme sahih jika kesimpulannya dibuat berdasarkan premis-premisnya
dengan bentuk-bentuk yang tepat. Sedangkan penilaian benar (true) diberikan jika silogisme
valid dan klaimnya akurat (informasinya sesuai dengan fakta). Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Premis Mayor : Semua politikus adalah laki-laki.
Premis Minor : Sri adalah politikus.
Kesimpulan : Maka, Sri adalah laki-laki.
Sahih atau tidak sahihkah silogisme ini? Jawabnya “sahih”. Jika kita tahu bahwa Sri adalah
perempuan maka silogisme itu tidak benar karena pernyataan tidak sesuai dengan kenyataan.
(2) Premis Mayor: Semua ayah adalah laki-laki.
Premis Minor: Dino adalah laki-laki.
Kesimpulan : Maka, Dino adalah ayah.
Silogisme ini tidak sahih karena term tengahnya yaitu term yang muncul di kedua premis,
dalam hal ini laki-laki merujuk kepada semua anggota dari kelompok laki-laki, bukan hanya
kepada ayah atau Dino.
(3) Premis Mayor: Tidak ada seorang pun yang ditolak menjadi mahasiswa
karena ketidakmampuan fisik.
Premis Minor: Tunarungu adalah ketidakmampuan fisik.
Kesimpulan : Maka, tunarungu akan ditolak menjadi mahasiswa karena
ketidakmampuan fisik.
Silogisme ini juga tidak sahih karena salah satu premisnya negatif sehingga hanya dapat
memiliki kesimpulan negatif.
(4) Premis Mayor : Mahasiswa yang tidak belajar bisa jadi akan lulus ujian.
Premis Minor : Dono adalah mahasiswa yang belajar.
53
Kesimpulan : Maka, Dono bisa jadi akan lulus ujian.
Silogisme ini sahih karena memenuhi hukum-hukum silogisme.
6.3.1 Silogisme Kategoris
Bentuk dasar silogisme kategoris ialah: Jika A adalah bagian dari C maka B adalah bagian
dari C (Adan B adalah anggota dari C). Silogisme kategoris ini mengikuti hukum “Semua
atau Tidak Sama Sekali” (All or None atau Dictum de Omni et Nullo); artinya, berlaku untuk
seluruh anggota kelas, atau tidak sama sekali. Tidak dikenal “ada sebagian” dan “tidak ada
sebagian”. Sebagai contoh, kalau kelas ikan memiliki insang, maka tidak mungkin ada
anggotanya yang tak berinsang; dan kalau kelas merpati adalah burung, maka tak mungkin
ada merpati yang bukan burung.
Dengan mengikuti hukum “Semua atau Tidak Sama Sekali” itu dapat dibuat silogisme
seperti berikut:
(1) Semua makhluk hidup (M) bernafas (P).
Semua burung (S) adalah makhluk hidup (M).
Jadi: Semua burung (S) bernafas (P).
yang dirumuskan menjadi
Semua M adalah P.
Semua S adalah P.
Jadi: Semua S adalah P.
atau silogisme berikut:
(2) Tiada hewan (M) berkaki tiga (P).
Semua beruang (S) adalah hewan (M).
Jadi: Tiada beruang (S) berkaki tiga (P).
yang dirumuskan menjadi
Tiada M yang P.
Semua S adalah M.
Jadi: Tiada S yang P.
6.3.2 Delapan Hukum Silogisme
Silogisme tunduk kepada delapan hukum yang masing-masing diterapkan berikut ini.
(Keterangan: P = Predikat/mayor; S = Subjek/minor; M = Term tengah (Middle term); u =
Universal; p = partikular; + = afirmatif; dan = negatif.)
54
Hukum 1: Silogisme hanya mengandung tiga term.
Semua tanaman (M1) adalah hidup (P).
Semua batu (S) adalah mineral (M2).
Jadi: Semua batu (S) adalah/tidak (?) hidup (P).
Buku (P) mempunyai halaman (M).
Rumah (S) mempunyai halaman (M).
Jadi: Rumah (S) adalah buku (P).
Halaman di sini bermakna ganda (equivocal), silogisme di atas mempunyai empat term.
Hukum 2: Term mayor atau term minor tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan
jika dalam premis hanya bersifat pertikular.
uM + pP Semua manusia adalah hewan.
uS − uM Tak ada binatang yang manusia.
uS − uP Tak ada binatang yang hewan.
Yang salah adalah P (disebut illicit mayor).
uM − uP Tiada burung yang menyusui.
uM + pS Semua burung adalah hewan berkaki dua.
uS − uP Tiada hewan berkaki dua yang menyusui.
Yang salah adalah S (disebut illicit minor).
Hukum 3: Term tengah tidak boleh muncul dalam kesimpulan.
M + P Aristoteles adalah filsuf.
M + S Aristoteles adalah misikin.
M + S/P Aristoteles adalah filsuf yang miskin.
M dalam silogisme itu tidak lagi berfungsi sebagai pembanding, melainkan menjadi salah
satu bagian dari kesimpulan. Dengan demikian, kesimpulan yang terjadi bukanlah
merupakan putusan baru.
Hukum 4: Term tengah harus digunakan sebagai proposisi universal dalam premis-
premis, setidak-tidaknya satu kali.
uP + pM Semua orang mati.
uS + pM Semua artis mati.
55
uS + pP Semua artis adalah orang.
Silogisme ini seakan-akan benar, oleh karena kebetulan posisi term-term itu adalah
sebagai berikut:
M (mati) mempunyai ekstensi yang paling benar.
P (orang) mempunyai ekstensi yang lebih kecil dan termasuk dalam M.
S (artis) mempunyai ekstensi yang paling kecil dan termasuk dalam P.
Tetapi perhatikanlah silogisme berikut:
uP + pM Semua orang mati.
uS + pM Semua kucing mati.
uS + pP Semua kucing adalah orang.
Dalam silogisme ini, kesalahannya sangat nyata karena walaupun P (orang) dan S
(kucing) sama-sama termasuk dalam ekstensi dari M (mati), tetapi P dan S tidak saling
meliputi (berdiri sendiri-sendiri). Pelanggaran hukum 4, seperti yang terdapat dalam kedua
silogisme di atas, disebut Undistributed Middle
Hukum 5: Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan juga afirmatif.
M + P Semua mamalia menyusui.
S + M Beberapa kuda adalah mamalia.
S P Beberapa kuda tidak menyusui.
Hukum 6: Tidak boleh kedua premis negatif, setidaknya salah satu harus afirmatif.
M P Tiada binatang yang batu.
S M Tiada intan yang binatang.
S P Tiada intan yang batu.
Hukum 7: Kalau salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif. Kalau salah satu
premis partikular, kesimpulan harus partikular.
Fase I.
P M Tiada perokok yang bebas nikotin.
S + M Balita bebas nikotin.
S + P Balita adalah perokok.
Fase II.
M + P Semua manusia adalah mahluk rasional.
pS + M Sebagian hewan adalah manusia.
uS + P Semua hewan adalah mahluk rasional.
M P Tiada karbon yang putih.
56
pS + M Sebagian zat padat adalah karbon.
uS P Tiada zat padat yang putih.
Hukum 8: Tidak boleh kedua premis partikular, setidaknya salah satu harus universal.
pM + pP Beberapa orang adalah tukang becak.
pS + pM Beberapa bule adalah orang.
pS + pP Beberapa bule adalah tukang becak.
Silogisme itu dapat benar walaupun kedengarannya agak janggal (mungkin saja ada orang
bule yang bekerja sebagai tukang becak). Tetapi kalau kata-kata tukang becak diganti dengan
berkulit hitam, maka kesalahan karena pelanggaran hukum ke-8 ini akan sangat nyata.
pM + pP Beberapa pakar agama adalah orang Indonesia.
pS uM Beberapa penduduk Depok bukan pakar agama.
pS uP Beberapa penduduk Depok bukan orang Indonesia.
6.3.3 Silogisme Hipotetis
Dalam logika, silogisme hipotetis memiliki dua penggunaan. Dalam logika proposisional,
silogisme mengungkapkan aturan-aturan penyimpulan, sedangkan dalam sejarah logika ia
berperan sebagai teori konsekuensi.
Silogisme hipotetis berbeda dengan silogisme kategoris dan tunduk kepada aturan
tersendiri. Dalam silogisme hipotetis, premis pertama (premis mayor) menampilkan kondisi
yang tak tentu (“jika P, maka Q”) atau masalah (“atau P atau Q”; “P dan Q tidak dapat
benar dua-duanya”). Premis pertama itu harus diselesaikan secara memadai oleh premis
kedua (premis minor) sehingga kesimpulan yang sahih dapat dihasilkan. Penyelesaian
masalah selalu dalam bentuk afirmasi atau negasi.
Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa premis mayor silogisme hipotetis
adalah proposisi hipotetis sedangkan premis minor dan kesimpulannya adalah proposisi
kategoris. Dalam silogisme hipotetis, tidak term mayor, term minor atau term tengah. Premis
mayor terdiri atas anteseden dan konsekuen. Sebagai contoh, dalam pernyataan “Jika hari
hujan, maka tanah basah”, hari hujan adalah anteseden dan tanah basah adalah konsekuen.
6.3.4 Bentuk-bentuk Umum Argumen yang Sahih
Ada tiga bentuk dasar dari silogisme hipotetis, yaitu modus ponens yang mengafirmasi
anteseden, modus tollens yang menolak konsekuen, dan silogisme hipotetis dengan rantai
kondisional. Berikut ini ketiga bentuk dasar silogisme hipotetis.
1) Mengafirmasi anteseden (modus ponens)
57
P → Q
P
Q
Contoh:
Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi menggunakan metode.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan.
Psikologi menggunakan metode.
2) Menolak konsekuensi (modus tollens)
P → Q
- Q
- P
Contoh:
Jika astrologi adalah ilmu pengetahuan maka astrologi menggunakan metode.
Astrologi tidak menggunakan metode.
Astrologi bukan ilmu pengetahuan.
3) Silogisme Hipotetis (Rantai Kondisional)
P → Q
Q → R
P → R
Contoh:
Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi menggunakan metode.
Jika psikologi menggunakan metode maka psikologi sistematis.
Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi sistematis.
Selain ketiga bentuk itu, ada bentuk-bentuk lain yang lebih kompleks. Berikut ini
adalah tiga di antaranya.
1) Silogisme Disjungtif
P V Q
- P
Q
Contoh:
Psikologi adalah ilmu ramal atau psikologi bersifat ilmiah.
Psikologi bukan ilmu ramal.
Psikologi bersifat ilmiah.
58
2) Dilema Konstruktif
(P → Q) & (R → S)
P V R
Q V S
Contoh:
(Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi didasari prinsip sebab-
akibat.) dan (Jika manusia dikaji oleh psikologi maka kehendak bebas
adalah objek kajian psikologi.)
Psikologi adalah ilmu pengetahuan atau manusia dikaji oleh psikologi
Psikologi didasari prinsip sebab-akibat atau kehendak bebas adalah kajian psikologi
3) Dilema Destruktif
(P → Q) & (R → S)
~ Q V ~R
~ P V ~ R
Contoh:
(Jika psikologi adalah ilmu pengetahuan maka psikologi didasari prinsip sebab-
akibat) dan (Jika manusia dikaji oleh psikologi maka kehendak bebas
adalah objek kajian psikologi).
Psikologi tidak didasari prinsip sebab-akibat atau manusia tidak dikaji oleh
psikologi.
Psikologi bukan ilmu pengetahuan atau kehendak bebas bukan objek psikologi.
7. Argumen Induktif3
7.1. Definisi Induksi
Istilah argumen induktif atau induksi biasanya mencakup proses-proses inferensial dalam
mendukung atau memperluas keyakinan kita pada kondisi yang mengandung risiko atau
ketidakpastian. Argumen induktif dapat dipahami sebagai hipotesis yang mengandung risiko
dan ketidakpastian.
Ketidakpastian dalam argumen induktif muncul dalam dua area yang berhubungan,
yaitu dalam premis-premis argumen dan dalam asumsi-asumsi inferensial argumen. Mari kita
ambil sebuah contoh kasus: “Jono mati tertembak”. Argumen berikut ini merupakan argumen
3 Pasal tentang induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali, The Critical Thinking Handbook
(New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A. Wirawan.
59
deduktif yang sahih yang dapat diberikan untuk mendukung pernyataan bahwa “Andi
membunuh Jono”.
Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.
Siapa pun yang lari dari kamar Jono dengan membawa pistol
pasti membunuh Jono.
Andi membunuh Joon. Jika kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, maka kita juga harus
menerima bahwa kesimpulannya benar. Informasi dalam premis-premis itu secara logis tidak
mencakup pernyataan apa pun yang merupakan kontradiksi dari kesimpulan. Para ahli logika
menggambarkan hal ini sebagai berikut: isi informasi dari premis-premis mencakup isi
informasi dari kesimpulan. Tidak ada informasi dalam kesimpulan di luar apa yang sudah ada
dalam premis-premisnya.
Seandainya orang yang mengajukan argumen itu merasa tidak pasti akan kebenaran
premis pertama, yaitu dia tidak merasa benar-benar pasti bahwa Andi yang lari dari kamar itu
(mungkin saksi matanya tidak sepenuhnya dapat dipercaya), maka dia hanya dapat
mengeluarkan argumen induktif (Garis dua berarti ‘jadi, ada kemungkinan bahwa…’.)
Kemungkinan besar, Andilah yang lari dari kamar Jono
dengan membawa pistol.
Siapa pun yang lari dari kamar Jono pasti membunuh Jono.
Andi membunuh Jono.
Jelas bahwa kalaupun kita menerima bahwa premis-premis argumen ini benar, kita tidak
harus menerima bahwa kesimpulannya benar. Bisa saja orang yang mengajukan argumen ini
punya alasan-alasan yang tidak dapat dibantah mengenai kebenaran premis kedua, namun
argumen ini tetap tidak dapat menjamin bahwa Andilah yang membunuh Jono. Kesimpulan
bahwa Andi membunuh Jono telah melebihi apa yang dapat dideduksi dari premis-premisnya.
Kemungkinan lain, asumsi inferensialnyalah yang tidak pasti benar sehingga orang
yang mengajukan argumen terpaksa membuat argumen induktif. Misalnya, dia melihat
sendiri Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol. Hanya itu bukti yang dimilikinya.
Berdasarkan bukti itu, dia menyimpulkan bahwa Andi membunuh Jono. Ini berarti dia
mengambil kesimpulan terlalu cepat karena dia tidak merasa pasti akan kebenaran asumsi
inferensialnya, padahal asumsi ini dibutuhkan untuk dapat menarik kesimpulan dari bukti
yang ada. Argumennya menjadi seperti ini:
Andi lari dari kamar Jono dengan membawa pistol.
60
Kemungkinan, orang yang lari dari kamar Jono dengan membawa
pistol telah membunuh Jono.
Andi telah membunuh Jono.
Premis-premis dalam argumen ini juga tidak menjamin kebenaran kesimpulannya. Karena
orang yang mengajukan argumen masih merasa tidak pasti akan kebenaran asumsi yang
menjembatani bukti (pada premis pertama) dengan kesimpulan, maka dia hanya menyatakan
bahwa asumsi itu mungkin terjadi. Sama seperti contoh argumen induktif yang pertama,
dalam argumen ini pun informasi pada kesimpulan melampaui apa yang dapat dideduksi dari
premis-premisnya.
Dalam semua argumen induktif, ada premis atau asumsi inferensial yang lemah yang
mencerminkan ketidakpastian karena informasi ada yang kurang lengkap. Pada contoh yang
pertama, argumen tidak memiliki bukti yang kuat untuk menjamin kebenaran kesimpulannya.
Pada contoh yang kedua, argumen tidak memiliki jembatan inferensial yang kuat untuk
mendeduksi kesimpulan dari bukti yang ada.
Jadi, karakteristik semua argumen induktif adalah bahwa dalam kondisi
ketidakpastian atau kurangnya informasi, kita langsung mengambil kesimpulan dengan risiko
bahwa kita mengambil kesimpulan yang salah. Penalaran induktif yang baik berusaha
meminimalkan risiko sehingga kita lebih sering mengambil kesimpulan yang benar daripada
yang salah, dan berusaha memperhitungkan risiko itu dengan akurat. Panduan umum untuk
melakukan penalaran induktif yang baik adalah yang berikut. 1) Usahakanlah mengumpulkan
semua informasi yang tersedia yang berhubungan dengan topik argumen sebelum mengambil
kesimpulan mengenai topik itu. Kita menginginkan kesimpulan yang kecil kemungkinannya
menjadi batal jika ada informasi baru. 2) Cobalah mengeliminasi kesimpulan lain yang juga
konsisten dengan bukti yang ada sebelum meyakini kesimpulan pilihan kita. 3) Jangan
membuat kesimpulan jika kita menilai bahwa premis-premis yang kita miliki terlalu lemah.
Karena argumen induktif mempunyai karakteristik ketidakpastian, kesimpulan dari
suatu argumen induktif sering disebut hipotesis. Suatu hipotesis adalah suatu proposisi yang
diterima secara tentatif untuk menjelaskan fakta-fakta atau bukti-bukti tertentu. Kesimpulan
dari suatu argumen induktif sering kali merupakan pernyataan yang dapat menjelaskan
mengapa informasi dalam premis-premisnya benar. Misalnya, hipotesis bahwa Andi
membunuh Jono dapat menjelaskan mengapa Andi lari dari kamar Jono dengan membawa
pistol.
Sejalan dengan itu, strategi untuk membangun dan mengevaluasi argumen induktif
adalah menentukan apakah kesimpulan yang diambil dari premis-premis yang ada merupakan
61
penjelasan terbaik mengapa premis-premis bukti benar. Para ahli logika menggambarkan hal
ini sebagai berikut: argumen induktif yang baik sebagai “kesimpulan yang merupakan
penjelasan terbaik dari bukti.” Sayang sekali, tidak ada metode yang sederhana untuk
mengevaluasi argumen induktif jika dibandingkan dengan pengukuran validitas argumen
deduktif. Terlebih lagi, ada banyak kesulitan filosofis di sekitar konsep dukungan induktif,
dan apakah induksi dapat dijadikan alat untuk mendapatkan pengetahuan.
Walaupun ada masalah-masalah teoretis, para ahli logika sering kali setuju mana yang
termasuk dalam penalaran induktif yang baik. Kita dapat membedakan kapan bukti-bukti
yang ada sudah cukup untuk mengambil kesimpulan dan kapan tidak, jika kita mempunyai
akal sehat dan pengalaman, dan berefleksi dengan teliti.
7.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)
Induksi enumeratif, atau generalisasi induktif, adalah proses yang menggunakan premis-
premis yang menggambarkan karakteristik sampel untuk mengambil kesimpulan umum
mengenai kelompok asal sampel itu. Induksi jenis argumen ini merupakan argumen induktif
yang paling terkenal. Begitu terkenalnya jenis argumen ini sampai-sampai beberapa penulis
mendefinisikan argumen induktif sebagai argumen yang “bergerak dari premis-premis
partikular ke kesimpulan umum.” Namun, sebenarnya bentuk ini hanyalah salah satu bentuk
saja dari argumen induktif.
Perhatikanlah contoh-contoh argumen berikut ini dan polanya:
(1) Kami mengobservasi 27.830 ekor angsa di Inggris dan menemukan bahwa setiap angsa
tersebut berwarna putih. Kami menyimpulkan dari bukti ini bahwa semua angsa putih. Pola Argumen 1:
X1 mempunyai karakteristik P.
X2 mempunyai karakteristik P. Dasar bukti atau
X3 mempunyai karakteristik P. tabel konfirmasi
:
Xn mempunyai karakteristik P. (n=27.830) Semua X mempunyai karakteristik P.
(2) Saya pergi ke New York untuk pertama kalinya minggu lalu. Orang pertama yang saya
tanyai tentang jalan ke Carnegie Hall bersikap sangat kasar dan menyuruh saya mundur.
Saya bertanya kepada orang kedua, dan dia juga kasar dan menyumpahi saya supaya
pergi. Saya bertanya kepada tujuh orang lagi, dan setiap orang mengusir saya tanpa
menolong saya. Akhirnya, orang kesepuluh yang saya tanya memberi tahu saya jalan ke
62
Carnegie Hall. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa hampir semua orang New York
bersikap kasar kepada pendatang yang menanyakan jalan.
Pola Argumen 2:
X1 mempunyai karakteristik R.
X2 mempunyai karakteristik R.
X3 mempunyai karakteristik R. Tabel konfirmasi
:
X10 tidak mempunyai karakteristik R. Kebanyakan X mempunyai karakteristik R.
(3) Dari 200.000 cip (chip) yang dibuat dengan proses baru kami bulan lalu, diambil secara
acak (random) 1.000 buah untuk diuji. Hanya 50 buah dari sampel itu yang cacat, yang
berarti 95% buah sampel lainnya sempurna. Kita menyimpulkan bahwa proses
pembuatan cip yang baru ini menghasilkan sekitar 95% cip yang sempurna, dan hanya
5% yang cacat.
Pola Argumen 3:
X1 mempunyai karakteristik G.
X2 mempunyai karakteristik G.
X3 mempunyai karakteristik G.
:
X950 mempunyai karakteristik G. Tabel konfirmasi
X951 tidak mempunyai karakteristik G.
X952 tidak mempunyai karakteristik G.
X953 tidak mempunyai karakterisitk G.
:
X1000 tidak mempunyai karakteristik G. Sekitar 95% X mempunyai karakteristik G.
Dalam masing-masing argumen itu, premis-premisnya merupakan contoh dari
individu-individu yang mempunyai karakteristik tertentu. Kesimpulannya
menggeneralisasikan bahwa individu dari kelompok itu mempunyai karakteristik itu sampai
dengan batas tertentu. Pada contoh (1), batasnya adalah 100%, dan kesimpulannya
merupakan generalisasi universal, yaitu semua individu mempunyai karakteristik tersebut.
Pada dua contoh lainnya, korelasinya tidak mencapai 100%. Kesimpulannya berupa
generalisasi statistikal yang memperkirakan persentase individu yang mempunyai
63
karakteristik tersebut. Perkiraan ini masih belum jelas pada contoh (2), tetapi jauh lebih jelas
pada contoh (3).
Secara umum induksi enumeratif dapat dianggap sebagai argumen dari sampel.
Individu yang diobservasi merupakan sampel yang diambil dari populasi yang lebih besar,
yang kebanyakan anggotanya belum diobservasi. Berdasarkan karakteristik yang diobservasi
pada sampel, kesimpulan dibuat mengenai populasi secara keseluruhan.
Dalam pola-pola argumen yang digambarkan di atas, pernyataan-pernyataan yang
menggambarkan hasil observasi individual didaftarkan. Ini disebut tabel konfirmasi. Secara
lebih umum, karena premis-premis ini mengandung data yang digunakan sebagai bukti dalam
membuat kesimpulan, maka premis-premis ini disebut dasar induksi atau dasar bukti atau,
lebih sederhana lagi, data atau bukti.
Tabel konfirmasi tidak selalu dibuat. Kalaupun dibuat, hal itu dilakukan pada proses
pengumpulan bukti dan jarang sekali dicantumkan pada pernyataan argumen. Namun, bukti
lebih sering diringkas dalam bentuk statistik mengenai sampel yang diobservasi. Agar dapat
diterima, argumen yang berdasarkan sampel harus mempunyai asumsi bahwa sampel itu
representatif terhadap populasi dan cukup besar sehingga dapat menyediakan perkiraan yang
terandalkan (reliable). Kalaupun tidak disebutkan, asumsi ini selalu merupakan premis atau
asumsi inferensial yang implisit dalam argumen induktif yang baik. Oleh sebab itu, pola
generalisasi induktif yang baik adalah sebagai berikut:
N persen dari sampel S yang diambil dari F yang diobservasi
mempunyai karakteristik G.
Sampel S cukup besar dan representatif terhadap F. Kira-kira N persen dari F mempunyai karakteristik G.
Induksi enumeratif sangat bervariasi dalam hal kualitas pengumpulan dan presentasi
datanya, dan dalam kekuatan kesimpulannya. Karena itu, kita dapat menggunakan pola
argumen ini sebagai perkiraan kasar untuk mengevaluasi argumen jenis ini secara cepat. Kita
dapat menggunakan model ini untuk melakukan rekonstruksi kekuatan suatu induksi
enumeratif. Dari sini terlihat bagaimana suatu argumen dapat ditingkatkan kekuatannya.
Dalam argumen (1) di atas, N=100% sehingga kesimpulannya merupakan generalisasi
universal untuk semua angsa. Rekonstruksi kekuatan argumen (1) adalah sebagai berikut:
100% dari sampel yang diobservasi sejumlah 27.830 angsa
di Inggris berwarna putih.
Sampel sebesar 27.830 cukup besar dan representatif terhadap
64
semua angsa. Semua angsa berwarna putih.
Kebenaran premis pertama dari argumen ini dapat dipertanyakan, misalnya seseorang dapat
meragukan apakah semua unggas yang diobservasi memang benar-benar angsa. Namun jika
bukti dikumpulkan dengan hati-hati, fokus kritik terhadap argumen ini terletak pada premis
kedua.
Dalam semua argumen yang didasarkan pada suatu sampel, selalu harus
dipertanyakan apakah sampelnya cukup besar dan representatif terhadap populasi sehingga
kesimpulannya dapat dipercaya. Mengambil kesimpulan yang terlalu kuat berdasarkan
sampel yang terlalu kecil berarti melakukan percontoh salah (error sampel) yang tidak cukup.
Membuat kesimpulan berdasarkan sampel yang tidak representatif berarti melakukan
percontoh salah yang bias.
Dalam kasus ini, percontoh atau sampelnya nampaknya cukup besar untuk menjamin
kesimpulan mengenai semua angsa. Namun kita dapat melihat bahwa observasi hanya
dilakukan pada angsa di Inggris sementara kesimpulannya mengenai semua angsa. Jadi, jika
kita menduga bahwa angsa di Inggris berbeda dari angsa pada umumnya, dapat
dipertanyakan apakah sampelnya representatif. Argumen ini akan lebih kuat jika lebih
dimiripkan dengan pola di atas, yaitu dengan melemahkan kesimpulannya sampai dengan
batas semua angsa di Inggris saja. Dengan demikian, argumen (2) dapat direkonstruksi
kekuatannya menjadi:
Sebanyak 9 dari 10 orang New York sampel yang diobservasi (90%)
bersikap kasar pada pendatang yang menanyakan jalan.
10 orang itu merupakan sampel yang cukup besar dan representatif
dari orang New York. Kira-kira 9 dari 10 (90%) orang New York bersikap kasar pada
pendatang yang menanyakan jalan.
Jelas bahwa kesimpulan ini bukanlah hasil dari penyelidikan yang sistematis. Kemungkinan
besar, seperti yang terjadi pada banyak argumen sehari-hari, tidak diduga atau diharapkan
bahwa argumennya akan dianalisis dan dievaluasi secara detil.
Kelemahan argumen kedua tampak jelas setelah direkonstruksi. Percontoh sejumlah
10 orang terlalu kecil untuk membuat kesimpulan secara meyakinkan mengenai orang New
York pada umumnya. Di samping itu, juga tidak disebutkan bagaimana percontohnya dipilih
sehingga kita tidak tahu apakah percontoh itu representatif. Lagi pula, premis yang satunya
65
lagi, yakni bahwa 9 dari 10 orang sampel yang diobservasi dan bersikap kasar kepadanya
ketika dia menanyakan jalan baru diduga saja sebagai orang New York. Kita membutuhkan
bukti tambahan apakah orang-orang itu memang orang New York dan apakah mereka
menganggapnya pendatang. Singkatnya, argumen kedua itu belum memenuhi pola argumen,
dan premis-premisnya tidak sepenuhnya relevan dengan kesimpulannya.
Jadi, dengan memeriksa argumen berdasarkan pola induksi enumeratif, kita
mengungkapkan kemungkinan bahwa suatu argumen ternyata tidak kuat. Dengan demikian,
argumen (3) dapat direkonstruksi menjadi:
95% dari 1000 cip yang dipilih secara acak dari semua cip yang dibuat
bulan lalu dengan proses baru merupakan cip yang baik.
1000 cip itu merupakan percontoh yang cukup besar dan representatif
dari semua cip yang dibuat dengan proses baru. Kira-kira 95% dari cip yang dibuat dengan proses baru merupakan
cip yang baik. Argumen (3) cukup mendekati pola induksi enumeratif. Dengan asumsi bahwa premis
pertama benar, argumen ini boleh dikatakan kuat. Memilih cip secara acak berarti
kemungkinannya sangat besar bahwa percontoh itu representatif terhadap populasi.
Berdasarkan teori statistik, sampel sebesar itu cukup besar untuk mendukung kesimpulan
dengan probabilitas 99%, dan kira-kira 95% dianggap sebagai interval di sekitar 95%, plus
atau minus 3% (jadi, dari 92% sampai 98%).
Satu masalah dalam argumen (3) adalah bahwa sampel dipilih dari cip yang dibuat
bulan lalu, dan kesimpulannya mengenai cip yang dibuat dengan proses baru. Pola di atas
menuntut bahwa populasi yang disebutkan di kesimpulan sama dengan populasi asal sampel.
Ini berarti cip yang dibuat dengan proses baru harus merupakan cip yang dibuat dengan cara
yang sama dengan cip yang dibuat bulan lalu.
7.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal
Silogisme statistikal merupakan argumen yang menggunakan generalisasi statistik tentang
suatu kelompok untuk mengambil kesimpulan mengenai suatu sub-kelompok atau anggota
individual dari kelompok itu. Silogisme statistikal—jenis spesifikasi induktif yang paling
umum digunakan sehari-hari—merupakan kebalikan dari proses generalisasi induktif. Dalam
konteks profesional atau ilmiah— yang menggunakan teori-teori matematika untuk menarik
66
kesimpulan mengenai sampel dari informasi mengenai populasi yang lebih besar—spesifikasi
statistik jauh lebih kompleks..
Penyimpulan dalam silogisme statistikal bergerak dari generalisasi mengenai suatu
kelompok ke kesimpulan yang lebih spesifik mengenai satu anggota kelompok itu atau lebih.
Bentuk standar silogisme statistikal ialah yang berikut:
N persen dari M adalah P.
Semua S adalah M.
(Kira-kira) N persen dari S adalah P.
Argumen jenis ini dapat atau tidak dapat diterima, tergantung pada seberapa tepat
generalisasi statistikalnya dinyatakan. Mari kita perhatikan contoh Hampir semua M adalah
P atau Kebanyakan M adalah P. Jelas bahwa silogisme statistikal yang menggunakan
generalisasi yang samar-samar seperti ini tidak layak diyakini sepenuhnya.
Apakah suatu argumen dapat diterima atau tidak juga tergantung pada apa yang kita
ketahui mengenai anggota S dan sejauh mana anggota S itu representatif terhadap M. Jika
situasi anggota S itu tidak sama, maka penerapan generalisasi itu pada percontoh S patut
dipertanyakan. Bila S sangat kecil jika dibandingkan dengan M, atau S adalah individu
tunggal, maka dapat atau tidak dapat diterimanya argumen tergantung pada ukuran N selain
pada ketepatan premis statistiknya. Misalnya, jika hanya 55% siswa di suatu kelas adalah
murid baru, maka kesimpulan kita bahwa seorang siswa tertentu di kelas itu adalah murid
baru dapat dikatakan lemah. Jika N sama dengan 100%, argumen jenis ini menjadi silogisme
kategorial, dan kesimpulannya menjadi deduktif.
Contoh-contoh berikut akan memperjelas uraian di atas:
Sembilan dari 10 orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi. Jadi,
kemungkinannya sangat besar bahwa sekitar 90% suku Sioux tinggal di daerah
reservasi.
90% dari orang Indian di Amerika Serikat tinggal di daerah reservasi.
Suku Sioux adalah orang Indian. (implisit) Kira-kira 90% suku Sioux tinggal di daerah reservasi.
Karena hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang dan karena
Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington, maka kemungkinannya
sangat besar bahwa dia dapat mengeja kata itu.
Hampir semua politisi di Washington dapat mengeja kata kentang.
Wakil Presiden adalah seorang politisi di Washington. Wakil Presiden dapat mengeja kata kentang.
67
Pada pandangan pertama, kedua argumen itu tampak cukup kuat. Dalam argumen (1),
generalisasi bahwa 90% orang Indian tinggal di daerah reservasi dihubungkan dengan suku
Sioux, suatu sub-kelompok dari kelompok orang Indian. Namun, kesimpulan ini masih goyah
sebelum kita yakin bahwa tidak ada perbedaan yang relevan antara suku Sioux dengan
populasi orang Indian secara keseluruhan. Walaupun kita berasumsi bahwa statistik 90%
didapatkan dari sampel yang representatif, tetap ada masalah dalam menerapkan persentase
ini pada suku Sioux. Statistik dalam premis itu mungkin didapatkan dari hasil sensus: berapa
rasio jumlah orang Indian yang tinggal di daerah reservasi terhadap perkiraan jumlah
populasi orang Indian keseluruhan. Jika memang demikian, berarti data ini mengabaikan
kenyataan bahwa suku-suku Indian sangat berbeda dalam adat dan kebiasaan hidup. Ada
kemungkinan lain juga, yakni misalnya, suku Sioux tidak wajib tinggal di reservasi khusus
sehingga banyak yang tinggal di tempat lain.
Argumen (2) tampak sangat kuat. Memang ada masalah kecil, yaitu ketidakspesifikan
premis pertama, namun argumen ini masih dapat diterima karena sangat kecil
kemungkinannya ada penelitian mengenai kemampuan mengeja para politisi. Argumen ini
menggunakan akal sehat—yaitu bahwa hampir semua politisi atau orang dewasa yang
berpendidikan dapat mengeja kata yang sederhana seperti kentang. Jadi, kita dapat
mengganggap pernyataan hampir semua politisi di Washington berarti tidak kurang dari 90%,
sehingga kesimpulan mengenai Wakil Presiden termasuk sangat kuat (kecuali ada alasan
untuk meyakini bahwa Wakil Presiden mempunyai masalah khusus dalam hal mengeja).
Dua contoh berikut menyajikan masalah yang menarik, yang tampaknya lebih mirip
prediksi daripada silogisme statistikal.
Karena 9 dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati, kartu berikutnya
yang diambil pasti bergambar hati.
90% dari 10 kartu yang tersisa di tumpukan itu bergambar hati.
Kartu berikutnya yang diambil merupakan salah satu dari 10 kartu
yang tersisa di tumpukan itu. (implisit) Kartu berikutnya yang diambil bergambar hati.
Setiap pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif. Karena orang yang akan kita
temui adalah pengacara, kemungkinan besar dia juga agresif.
100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif.
Orang yang akan kita temui adalah pengacara. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.
68
Argumen (3) tampaknya memprediksi kejadian di masa depan dan bukannya mengambil
kesimpulan mengenai anggota suatu kelompok berdasarkan generalisasi mengenai kelompok
itu secara keseluruhan. Namun, kartu berikutnya yang diambil dari tumpukan merupakan
anggota tumpukan yang sudah mempunyai karakteristik yang relevan (yakni, bergambar hati)
sejak sebelum kartu itu diambil. Jadi, kita dapat mengabaikan aspek prediktif dari kesimpulan
itu. Argumen (3) merupakan argumen silogisme statistikal yang sangat kuat. Jika kita tahu
bahwa tumpukan itu tidak diatur dan kocokannya jujur, maka tidak ada masalah atau pun
informasi yang dapat memperlemah argumen itu. Kemungkinannya 9 berbanding 1 bahwa
kesimpulannya benar.
Contoh (4) bukanlah silogisme statistik, walaupun tampak mirip contoh (3). Orang
yang akan kita temui yang tercantum dalam premis dan kesimpulan bukanlah anggota dari
kelompok pengacara yang pernah kita temui yang tercantum dalam generalisasi. Jadi,
argumen ini bukanlah contoh langsung dari spesifikasi statistikal. Argumen ini tampaknya
merupakan prediksi mengenai seorang pengacara yang belum ditemui berdasarkan sampel
pengacara yang pernah ditemui.
Satu bentuk rekonstruksi dari contoh (4) mungkin ialah argumen dua langkah yang
terdiri dari generalisasi induktif yang diikuti oleh silogisme statistikal:
100% dari sampel pengacara yang diobservasi bersifat agresif.
Sampel yang diobservasi cukup besar dan representatif terhadap
semua pengacara. (implisit) Kira-kira 100% pengacara bersifat agresif.
Orang yang akan kita temui adalah pengacara. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.
Di sini kita juga menghilangkan aspek prediktif dari silogisme statistikalnya. Jelas bahwa
dapat atau tidak dapat diterimanya argumen ini tergantung pada kebenaran premis implisitnya
dan pada hal lain yang kita ketahui mengenai orang yang akan kita temui.
Masalah yang timbul adalah kita tidak dapat yakin apakah rekonstruksi di atas
memang merupakan apa yang dimaksud si pembicara. Ada kekemungkinan lain, yaitu si
pembicara tidak memaksudkan observasinya mengenai pengacara yang pernah mereka temui
sebagai generalisasi mengenai semua pengacara, melainkan hanya mengenai pengacara yang
mereka temui. Jadi, rekonstruksinya mungkin seperti ini.
100% pengacara yang pernah kita temui bersifat agresif.
69
Sampel yang kita observasi cukup besar dan representatif terhadap semua
pengacara yang kita temui (atau akan kita temui). Kira-kira 100% pengacara yang (akan) kita temui bersifat agresif.
Orang yang akan kita temui adalah pengacara yang (akan) kita temui. Orang yang akan kita temui bersifat agresif.
Rekonstruksi ini—tampaknya merupakan rekonstruksi yang aneh dan rumit—dari
argumen (4). Pertama, mengapa pembicara membatasi kesimpulannya hanya pada pengacara
yang pernah atau yang akan dia temui. Mungkin sejauh itu dia baru bertemu dengan
pengacara pengadilan New York saja dan semuanya cenderung agresif. Namun jika
demikian, argumen ini gugur dan kita masih membutuhkan informasi lebih jauh mengenai
orang yang akan mereka temui untuk menentukan apakah dia adalah seorang pengacara
pengadilan New York.
Kedua, keanehan rekonstruksi yang kedua ini menunjukkan bahwa mungkin argumen
(4) memang merupakan prediksi yang mencoba memprediksi kejadian di masa depan
berdasarkan bukti observasi di masa lalu. Prediksi ini menyangkut seorang pengacara yang
belum diobservasi, yang bukan merupakan anggota kelompok yang sudah diobservasi. Jika
memang demikian, maka pernyataan ini bukanlah argumen dua langkah yang terdiri dari
generalisasi induktif dan silogisme statistikal, melainkan sebuah prediksi.
7.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik
Argumen induktif eliminatif atau diagnostik mempunyai premis-premis yang
menggambarkan suatu konfigurasi fakta atau data yang berbeda-beda, yang merupakan bukti
dari kesimpulannya. Kesimpulan ini didukung oleh bukti-bukti diagnostik yang ada, yang
menghapus adanya kemungkinan kesimpulan lain sebagai penjelasan terbaik atas bukti-bukti
itu. Induksi jenis ini menghasilkan kesimpulan yang merupakan penjelasan terbaik, tetapi
tidak statistikal.
Dengan induksi enumeratif kita menyimpulkan bahwa semua burung gagak berwarna
hitam berdasarkan observasi bahwa gagak ini hitam, gagak itu hitam, begitu juga gagak-
gagak lain, dan seterusnya. Dalam argumen eliminatif atau diagnostik, datanya tidak berupa
repetisi dari jenis observasi yang sama. Umpamanya kita mendengar suara orang berteriak-
teriak marah, barang-barang pecah, dan pintu dibanting di apartemen sebelah. Kita
menyimpulkan bahwa tetangga kita sedang bertengkar. Kita memutuskan bahwa ini adalah
penjelasan yang paling mungkin dari apa yang kita dengar, karena kita tahu bahwa mereka
70
bukan aktor yang sedang berlatih akting, dan juga tidak mempunyai sound system yang
sangat baik yang mungkin menipu kita.
Bukti-bukti dalam argumen induktif mana pun tidak pernah menjamin
kesimpulannya. Premis-premis dari argumen induktif dapat mendukung beberapa kesimpulan
yang berbeda dan bertentangan. Kesimpulan-kesimpulan itu disebut kesimpulan rival atau
hipotesis rival. Dalam induksi diagnostik, orang yang mengajukan argumen meneliti bukti-
bukti untuk membuat kesimpulan berupa hipotesis yang paling mungkin menjelaskan bukti-
bukti itu. Argumen diagnostik yang kuat harus mempunyai cukup bukti untuk menghapuskan
semua kecuali satu hipotesis rival. Hipotesis yang tersisa itu merupakan kesimpulan yang
paling mungkin.
Tidak seperti pada penyimpulan deduktif, kemampuan membuat kesimpulan induktif
yang merupakan penjelasan terbaik biasanya tergantung pada keahlian dan pengetahuan si
pembicara mengenai topik yang dibahas, dan bukan pada pengetahuan mengenai bahasa dan
aturan pengambilan kesimpulan. Contoh kasus yang merupakan paradigma dari induksi
diagnostik adalah diagnosis dokter mengenai penyakit pasien dari konfigurasi gejala, hasil
pemeriksaan laboratorium, dan bukti-bukti lain. Penalaran diagnostik atau eliminatif
barangkali merupakan jenis penalaran induktif sehari-hari yang paling umum. Walaupun
biasanya tidak dilakukan seteliti dokter, induksi jenis ini merupakan dasar dari pengetahuan
sehari-hari kita mengenai dunia di sekitar kita. Perhatikanlah contoh berikut.
1. Jimmy demam, dia kelihatan lemah, dan ada bintik-bintik kecil berwarna merah di
wajahnya. Karena dia belum pernah kena cacar air sebelumnya, kemungkinan dia
kena cacar air sekarang. Jimmy demam.
Dia kelihatan lemah. Bukti
Ada bintik-bintik kecil berwarna merah di wajahnya.
Dia belum pernah kena cacar air. Kondisi pembatas
Orang dengan gejala seperti itu, yang belum pernah Hipotesis bantuan
kena cacar air sebelumnya, barangkali kena cacar air. (implisit)
Jimmy kena cacar air.
2. Kita yakin bahwa akan ada serangan musuh di sektor selatan karena ada
pengumpulan pasukan di sektor itu dan komandan mereka ada di situ. Terlebih lagi,
mengingat keadaan pasukan mereka, kesempatan terbaik mereka untuk menang
adalah dengan menyerang sektor selatan sekarang. Ini adalah kesempatan yang
kemungkinannya kecil untuk mereka lewatkan. Ada pengumpulan pasukan di sektor selatan.
Komandan mereka ada di sektor itu. Bukti
71
Mengingat keadaan pasukan mereka, kesempatan
terbaik mereka untuk menang adalah dengan menyerang
sektor selatan sekarang. Hipotesis
Kecil kemungkinannya musuh melewatkan kesempatan untuk bantuan
menang. Akan ada serangan musuh di sektor selatan.
3. Jethro menunjukkan ekspresi tidak enak di wajahnya, dan wajahnya memerah.
Mereka mengatakan dia sering malu bila berada dekat perempuan yang tidak
dikenalnya. Karena dia sedang berbicara dengan Harriet dan dia tidak mengenal
Harriet, kita dapat menyimpulkan bahwa dia mungkin sedang malu. Hal itu juga
dapat menjelaskan mengapa dia terus mencari pintu keluar.
Jethro menunjukkan ekspresi tidak enak di wajahnya.
Wajahnya memerah. Bukti
Dia terus mencari pintu keluar.
Jethro sedang berbicara dengan Harriet. Kondisi pembatas
Harriet adalah perempuan yang tidak dikenal Jethro.
Dia sering malu bila berada di dekat perempuan yang Hipotesis bantuan
tidak dikenalnya. Jethro malu.
Contoh-contoh itu mengandung unsur-unsur yang merupakan ciri khas dari argumen
diagnostik, yaitu premis-premis yang mengungkapkan bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis
bantuan.
a. Bukti
Bukti dalam suatu argumen diagnostik adalah informasi dalam premis yang harus dapat
dijelaskan oleh kesimpulan dari argumen tersebut. Bukti disebut juga data diagnostik.
Informasi lain dalam premis dapat dibedakan dari bukti; informasi itu tidak harus dapat
dijelaskan oleh kesimpulan.
Pada contoh (1), bukti atau data diagnostiknya adalah “Jimmy demam, tampak lemah,
dan ada bintik-bintik kecil warna merah di wajahnya”. Kesimpulan apa pun yang diambil dari
bukti ini harus dapat menjelaskannya. Jadi, hipotesis bahwa “Jimmy kena cacar air”
menjelaskan mengapa dia demam, tampak lemah, dan ada bintik-bintik di wajahnya. Jika
hipotesis itu tidak dapat menjelaskan bukti yang ada, maka kita tidak dapat mengambil
kesimpulan bahwa dia kena cacar air berdasarkan bukti ini. Tetapi kesimpulan ini tidak perlu
menjelaskan semua informasi dalam premis. Misalnya, kesimpulan tidak perlu menjelaskan
72
mengapa Jimmy belum pernah kena cacar air sebelumnya. Itu bukan bagian dari data
diagnostik.
Pada contoh (2), kesimpulan bahwa musuh akan menyerang di sektor selatan dapat
menjelaskan mengapa ada pengumpulan pasukan di sana dan mengapa komandan mereka ada
di sana. Informasi itu adalah bukti. Namun kesimpulan tidak dapat digunakan untuk
menjelaskan mengapa saat itu adalah kesempatan terbaik mereka untuk menang dan mengapa
mereka tidak akan melewatkan kesempatan itu. Premis-premis yang disebut terakhir ini
membantu mengeliminasi hipotesis rival, namun tidak termasuk bukti.
Informasi dalam premis, di samping data diagnostik, dapat berfungsi mengeliminasi
hipotesis rival. Informasi seperti ini dapat menjelaskan kondisi atau konteks tempat bukti
dipahami sebagai bukti dari kesimpulan. Ini disebut kondisi pembatas.
Bukti untuk pengambilan kesimpulan induktif bukan berupa informasi yang sudah
diberi label, atau terisolasi, sehingga kita tinggal menggunakannya, melainkan informasi
yang sangat banyak yang harus dipilih sebagai data yang kita yakini relevan untuk
mendukung kesimpulan kita. Jadi, data yang terpilih menjadi bukti bagi kesimpulan dalam
konteks yang kita batasi. Konteks ini hampir selalu mengandung informasi faktual yang
bukan merupakan bagian dari data diagnostik.
b. Kondisi Pembatas
Kondisi pembatas dalam suatu argumen induktif diagnostik terdiri dari premis-premis faktual
tambahan yang membatasi konteks argumen dan digunakan untuk menunjukkan bagaimana
bukti mengarah ke kesimpulan. Kondisi pembatas secara logis berbeda dari bukti karena
tidak harus dijelaskan oleh kesimpulan. Kondisi pembatas adalah keadaan faktual yang
membantu menunjukkan mengapa kesimpulan itu adalah penjelasan yang paling mungkin
dari bukti dan bukannya kesimpulan rival.
Beda contoh (1), misalnya, pembicara menyatakan fakta bahwa Jimmy belum pernah
kena cacar air sebelumnya dalam menyimpulkan bahwa Jimmy kena cacar air. Fakta ini
bukan bukti menurut definisi kita. Namun, fakta ini mendukung kesimpulan karena
mengeliminasi kemungkinan bahwa Jimmy sudah mempunyai kekebalan terhadap cacar
air—kemungkinan yang akan menggugurkan kesimpulan bahwa Jimmy sekarang kena cacar
air. Informasi lain yang diketahui dapat juga berfungsi sebagai fakta yang membantu
menunjuk ke arah cacar air sebagai penjelasan yang paling mungkin dari bukti. Misalnya,
jika Jimmy baru-baru ini bertemu dengan anak-anak yang sedang menderita cacar air, maka
fakta ini adalah kondisi pembatas yang penting. Dengan hipotesis pembantu bahwa cacar air
73
menular, fakta ini dapat membantu menunjukkan mengapa cacar air merupakan penjelasan
terbaik atas bukti yang ada.
Pembicara pada contoh (3) memilih fakta bahwa Jethro sedang berbicara dengan
Harriet sebagai informasi yang relevan dengan kesimpulannya bahwa Jethro sedang malu.
Fakta ini bukan bukti atau data diagnostik untuk kesimpulan itu karena kesimpulan bahwa
Jethro malu tidak menjelaskan mengapa dia berbicara dengan Harriet. Namun fakta ini
menerangkan keadaan Jethro. Begitu pula, fakta bahwa Jethro tidak mengenal Harriet tidak
dapat dijelaskan oleh kesimpulan. Fakta-fakta ini adalah kondisi pembatas, yang dengan
bantuan hipotesis pembantu turut menunjukkan mengapa “malu” adalah penjelasan yang
paling mungkin dari bukti-bukti yang ada. Singkatnya, kondisi pembatas menggambarkan
keadaan faktual atau konteks di mana bukti dapat mendukung kesimpulan.
Bukti dan kondisi pembatas adalah fakta atau pernyataan yang dianggap benar oleh
pembicara dalam mengambil kesimpulan. Kedua hal ini tidak termasuk hipotesis karena
dianggap tentatif atau teoretis, tetapi dianggap sebagai fakta dan benar.
c. Hipotesis Bantuan
Hipotesis bantuan dalam suatu argumen adalah hipotesis yang membantu menunjukkan
bagaimana bukti, dalam kondisi pembatas, dapat diyakini mengarah pada kesimpulan. Dalam
argumen diagnostik, hipotesis pembantu juga dapat membantu menunjukkan bagaimana
kesimpulan, dalam kondisi pembatas, merupakan penjelasan yang paling mungkin dari bukti
yang ada. Hipotesis pembantu dapat berupa generalisasi, hukum alam, atau pernyataan
tentatif yang digunakan pembicara untuk menarik kesimpulan berupa penjelasan terbaik.
Hipotesis pembantu mungkin mengandung pernyataan spekulatif atau interpretatif yang
menunjukkan mengapa si pembicara yakin kesimpulannya mungkin benar, dan mengapa
kesimpulan rival mungkin tidak benar.
Pada contoh (2), misalnya, kedua hipotesis pembantu tidak dianggap sebagai fakta.
Keduanya tidak termasuk bukti maupun kondisi pembatas. Hipotesis pertama, yang
didasarkan pada bukti dan keahlian pembicara, berspekulasi bahwa kesempatan terbaik bagi
musuh untuk menang adalah dengan menyerang sektor selatan. Hipotesis kedua berspekulasi
mengenai motivasi musuh untuk menang dengan menyatakan bahwa kemungkinannya kecil
mereka akan melewatkan kesempatan terbaik mereka untuk menang. Hipotesis ini membantu
mengikat bukti pada kesimpulan bahwa musuh akan menyerang sektor selatan, dan juga
membantu membatalkan kemungkinan kesimpulan lain. Jadi, misalnya, jika menyerang
sektor selatan merupakan kesempatan terbaik mereka untuk menang, kemungkinannya kecil
74
bahwa mereka mengumpulkan pasukan di sektor itu untuk menyamarkan serangan di sektor
lain.
Pada contoh (1), pembicara menganggap bukti dan kondisi pembatasnya sebagai
sesuatu yang benar, dan dia tidak mengemukakan hipotesis pembantu. Dari sudut
pandangnya, fakta-fakta yang mendukung kesimpulannya bahwa Jimmy kena cacar air sudah
jelas dan tidak ada masalah. Kita menambahkan pernyataan implisit bahwa orang yang
berada dalam kondisi seperti Jimmy mungkin sedang menderita cacar air. Pernyataan implisit
ini merupakan generalisasi yang membantu menunjukkan mengapa bukti itu dapat diyakini
mengarah ke kesimpulan.
Argumen induktif sehari-hari tidak berupa unsur-unsur yang diberi label seperti contoh
di atas. Argumen ini biasanya dinyatakan secara tidak lengkap, lebih tidak lengkap daripada
argumen deduktif. Dalam penalaran induktif, di mana ketidakpastian sering kali dominan,
kesimpulan sering kali tergantung pada pengambilan kesimpulan tanpa menyebutkan banyak
detil-detil. Keahlian dan pengalaman pembicara, intuisi, aturan umum, dan spekulasi sering
kali berperan dalam pengambilan kesimpulan. Ini membuat rekonstruksi argumen menjadi
sulit.
Namun, biasanya, kita dapat mengkategorikan premis-premis dalam kebanyakan
argumen induktif ke dalam tiga tipe di atas, yakni bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis
pembantu. Dalam mengemukakan argumen diagnostik atau eliminatif, bukti adalah apa yang
dianggap benar oleh pembicara. Dia harus menyatakan bukti ini secara eksplisit; tidak
mungkin ada bukti yang implisit.
Sebaliknya, kondisi pembatas dan hipotesis pembantu sering kali tidak dinyatakan dan
dibiarkan implisit. Dalam kasus seperti itu, kita harus menggunakan pengetahuan kita
mengenai topik argumen, imajinasi kita dalam memikirkan kesimpulan-kesimpulan rival
yang mungkin, dan logika kita dalam memutuskan kondisi pembatas dan hipotesis pembantu
apa saja yang diperlukan pembicara untuk membuat kesimpulan induktif yang dapat diterima.
Singkatnya, kita perlu tahu banyak mengenai topik argumen atau tahu banyak pengetahuan
umum jika kita ingin menjadi evaluator penalaran induktif yang efektif.
Latihan 7.1 (Hipotesis Induktif dan Ketidakpastian)
Perhatikan informasi yang diberikan dalam masing-masing soal berikut. Rumuskanlah suatu
hipotesis yang dapat ditarik dari informasi yang ada. Kemudian, susunlah argumen untuk
hipotesis itu dalam pola standar. Selanjutnya, sebutkan informasi lain apakah yang harus
75
Anda cari untuk mengkonfirmasi hipotesis Anda. Akhirnya, bayangkan dan tuliskan
informasi yang akan membuat Anda mempertayakan atau menolak hipotesis yang telah Anda
buat.
Contoh: Sepuluh saksi mata menyatakan bahwa mereka melihat Andi berlari dari kamar
tempat Jono ditembak dan dia memegang pistol di tangannya. Kesepuluh saksi mata
mendengar Andi berteriak bahwa dia senang Jono sudah mati.
Jawaban:
Sepuluh saksi mata menyatakan bahwa mereka melihat Andi
berlari dari kamar tempat Jono ditembak.
Kesepuluh saksi mata menyatakan bahwa dia memegang pistol
di tangannya.
Kesepuluh saksi mata mendengar Andi berteriak bahwa dia
senang Jono sudah mati. Andi menembak dan membunuh Jono.
1) Informasi yang mengkonfirmasi: Pistol yang dipegang Andi memang merupakan pistol
yang digunakan untuk membunuh Jono. Perhatikan informasi tambahan yang berikut.
Laporan forensik mengenai waktu Jono meninggal bersamaan dengan waktu Andi dilihat
lari dari kamar itu. Andi mempunyai motif membunuh Jono. Tidak ada orang lain yang
terlihat meninggalkan tempat kejadian.
2) Informasi yang mendiskonfirmasi: Laporan polisi menunjukkan bahwa Jono ditembak
dengan pistol yang berbeda dari yang dipegang Andi. Kesepuluh saksi mata adalah
anggota suatu geng yang bermusuhan dengan Andi dan telah bersumpah untuk
mencelakainya.
Soal pertanyaan:
1. Dua puluh orang yang makan di Rumah Makan Joe pada hari Kamis malam sakit parah
dan harus dirawat di rumah sakit. Kedua puluh orang itu makan kerang mentah.
2. Enam jawaban dari sepuluh soal di lembar ujian John dan Tammy sama persis.
76
3. Nilai ulangan Jimmy di sekolah sangat jelek. Dia sering bersikap cemas dan terlalu
bersemangat. Dia sering bersama Mark, seorang siswa yang tahun lalu diskors dari
sekolah karena ketahuan menggunakan obat-obatan terlarang.
Latihan 7.2 (Induksi Enumeratif)
Jawablah soal-soal berikut. Buatlah struktur induksinya jelas dan usahakan semirip mungkin
dengan bentuk generalisasi induktif yang sudah dijelaskan dalam uraian di atas. Kemudian
diskusikanlah sejauh mana kesimpulannya didukung oleh bukti-bukti yang ada. Dalam
berdiskusi, jangan lupa membahas masalah-masalah apa saja—seperti relevansi, cukup atau
tidaknya data, dan apakah data representatif atau tidak—yang ada sehingga Anda sulit
menerima kesimpulan itu berdasarkan bukti-bukti yang ada. Jika mungkin, buatlah
kesimpulan yang lebih lemah yang lebih sesuai dengan data yang ada.
1. Hanya dua puluh persen dari 1000 orang California yang dipilih secara acak mengatakan
bahwa mereka percaya presiden telah berusaha mencoba merangsang pertumbuhan
ekonomi. Berdasarkan itu, kita menyimpulkan bahwa pemeringkat (rating) positif
terhadap presiden di bidang ekonomi turun hingga di bawah 25%.
2. Memang benar apa yang mereka dikatakan tentang pengendara sepeda motor. Mereka
adalah orang yang paling antisosial dan sopan santunnya sangat buruk serta cenderung
melakukan tindak kekerasan. Kami pergi ke pertemuan kelompok Bay Area Marauders,
suatu kelompok sepeda motor Hell Angel yang berpusat di San Fransisco. Dari dua puluh
orang yang kami wawancarai, lima orang mengaku pernah masuk penjara. Sepuluh orang
menjawab secara kasar dan menyuruh kami pergi sebelum mendapat masalah. Empat
orang terakhir menolak menjawab pertanyaan dan memaksa kami keluar dari tempat itu.
Latihan 7.3 (Silogisme Statistikal)
Jika mungkin, buatlah rekonstruksi dari argumen dalam soal-soal berikut ini sehingga
menjadi silogisme statistikal. Jika argumen itu tidak dapat direkonstruksi menjadi bentuk
silogisme statistikal, jelaskan mengapa demikian. Akhirnya, diskusikanlah secara kritis
mengapa Anda menerima atau menolak argumen itu dan diskusikan juga alasannya.
1. Kebanyakan orang yang tinggal di Bell Air kaya raya. Jadi, keluarga yang tinggal di
sebelah rumah keluarga Reagan kemungkinan besar kaya raya.
77
2. Begini, Joe. Orang tua mencintai anak-anaknya. Jadi, walaupun tampaknya orang tuamu
bertingkah laku seolah-olah tidak mencintaimu, ingatlah bahwa mereka mencintaimu.
3. Setiap kali kita pergi ke rumah keluarga Quigley, mereka pasti sedang bertengkar.
Mungkin mereka juga akan bertengkar hari Minggu besok ketika kita ke sana. Barangkali
sebaiknya kita tidak usah ke sana.
Latihan 7.4 (Induksi Diagnostik)
Gambarkanlah struktur argumen-argumen induktif dalam soal-soal berikut. Dalam gambaran
Anda itu, tunjukkan premis mana yang berisi bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis
pembantu. Jika Anda mengalami kesulitan dalam menentukan kategori yang tepat untuk salah
satu premis, jelaskan mengapa. Selanjutnya, sebutkan satu asumsi implisit yang menurut
Anda dapat memperkuat argumen itu, dan tentukan apakah asumsi itu berfungsi sebagai
kondisi pembatas atau hipotesis pembantu jika diikutsertakan dalam argumen. Akhirnya,
diskusikan secara singkat mengapa Anda menerima atau menolak argumen itu.
1. Wajah Jimmy berbintik-bintik merah. Tony, anak tetangga, sedang menderita cacar air.
Mungkin Jimmy juga menderita penyakit itu. Cacar air, ‘kan, menular?
2. Kami tahu bahwa pasien itu merasa mual, muntah-muntah, dan rambutnya rontok selama
tiga minggu sebelum dirawat di rumah sakit. Di beberapa bagian tubuhnya ada luka-luka
menganga. Kami juga tahu bahwa dia bekerja di suatu reaktor nuklir selama setahun
terakhir. Bukti ini mengarah kepada kesimpulan bahwa dia menderita keracunan radiasi.
Tentu saja, kami masih harus melakukan beberapa tes.
8. Sesat Pikir
8.1. Pengertian Sesat Pikir (Fallacies)
Sesat pikir menurut logika tradisional adalah kekeliruan dalam penalaran berupa
penarikan kesimpulan-kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah, yang disebabkan
oleh dilanggarnya kaidah-kaidah logika. Menurut Copi, sesat pikir adalah perbincangan yang
mungkin terasa betul, tetapi yang setelah diuji terbukti tidak betul. Perhatikanlah contoh
berikut.
(1) Kalau hujan turun, maka tanah basah.
Tanah basah.
Jadi hujan turun.
(2) Kalau manusia mati tak bernafas.
78
Susi, seorang manusia, tak bernafas
Jadi Susi mati.
Argumentasi di atas salah karena dalam kedua argumentasi itu, “hujan” dan ”tak
bernafas” masing-masing adalah kondisi yang mencukupi (sufficient condition), bukan
kondisi niscaya (necessary condition); dengan kata lain, hubungannya asimetris. Hujan
memang menyebabkan tanah basah, tetapi tanah basah belum tentu karena hujan. Mati sudah
tentu tak bernafas, tetapi tak bernafas belum tentu mati.
Sebetulnya tidak ada penggolongan sesat pikir yang sempurna, tetapi penggolongan
dari Copi (1986) dapat digunakan sebagai pegangan untuk mengenali sesat pikir.
8.2. Sesat Pikir Formal
A. Dalam Deduksi
Dalam deduksi, penalaran ditentukan oleh bentuknya. Jika sebuah penalaran bentuknya tidak
sesuai dengan bentuk deduksi yang baku, maka penalaran itu tidak sahih dan tergolong sesat
pikir.
1. Empat Term (Four Terms)
Seperti namanya, sesat pikir jenis empat term terjadi jika ada empat term yang diikutsertakan
dalam silogisme padahal silogisme yang sahih hanya mempunyai tiga term. Contoh berikut
ini mengandung kesalahan empat term.
Rumah mempunyai halaman.
Buku mempunyai halaman.
Jadi: Buku adalah rumah.
Kesalahan terletak pada kata halaman yang mempunyai makna ganda sehingga ada tambahan
term. Halaman rumah dan halaman buku berbeda maknanya karena merujuk kepada dua ide
yang berbeda. Jadi, terdapat empat term dalam silogisme di atas, yang seharusnya hanya tiga.
2. Term tengah yang tidak terdistribusikan (undistributed middle terms)
Pengertian dari term tengah yang tidak terdistribusikan adalah silogisme kategoris yang term
tengahnya tidak memadai menghubungkan term mayor dan term minor, misalnya
Kucing makan daging.
Anto makan daging.
Jadi: Anto adalah kucing.
79
3. Proses Ilisit (Illicit process)
Proses ilisit adalah perubahan tidak sahih dari term mayor atau term minor seperti pada
contoh berikut.
Banyak orang Indonesia pemalas.
Pemalas tidak bisa maju.
Jadi: Orang Indonesia tidak bisa maju.
Kesalahan silogisme ini terletak pada peralihan dari banyak orang Indonesia yang merujuk
kepada sebagian orang Indonesia (partikular) ke orang Indonesia yang merujuk kepada
semua orang Indonesia (universal).
4. Premis-premis afirmatif tetapi kesimpulannya negatif
Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi afirmatif (pernyataan yang
menyatakan sesuatu secara positif) tetapi dalam kesimpulan digunakan proposisi negatif
(pernyataan yang menegasi sesuatu). Perhatikanlah contoh berikut.
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Sebagian orang Indonesia adalah ahli logika.
Jadi: Sebagian orang Indonesia bukan ahli logika.
Meskipun diketahui bahwa sebagian orang Indonesia adalah ahli logika, tidak ada informasi
yang menyebutkan sebagian lagi bukan ahli logika. Kesimpulan “Sebagian orang Indonesia
bukan ahli logika” tidak dapat diturun dari dua premis dalam silogisme ini. Kesimpulan yang
dapat dibuat adalah “Sebagian ahli logika adalah manusia”. Dalam deduksi, yang dijadikan
dasar penilaian sahih atau tidaknya argumen adalah bentuknya. Bentuk yang benar harus
benar untuk semua argumen, apa pun isi materialnya. Memang dalam silogisme di atas
terkesan argumennya tetapi jika kita gunakan untuk silogisme berikut, maka dapat diketahui
bahwa bentuk itu tidak sahih.
Semua orang Indonesia adalah manusia.
Sebagian orang Indonesia bernafas.
Jadi: Sebagian orang Indonesia tidak bernafas.
5. Premis negatif dan kesimpulan afirmatif
Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi negatif tetapi dalam kesimpulan
digunakan proposisi afirmatif, misalnya
Tiada hewan yang berkaki tiga.
Semua hewan peka terhadap rangsang.
80
Jadi: Semua yang peka terhadap rangsang berkaki tiga.
6. Dua premis negatif
Sesat pikir dua premis negatif terjadi jika dalam silogisme kedua premis yang digunakan
adalah proposisi negatif. Perhatikanlah contoh-contoh berikut.
(1) Tiada hewan yang berkaki tiga.
Tiada hewan dapat membuat alat.
Jadi: Semua yang dapat membuat alat bukan hewan. Meskipun terkesan benar, silogisme ini tidak sahih karena tidak ada kesimpulan yang dapat
diturunkan dari dua proposisi negatif. Kesimpulan dalam silogisme ini tidak memberi
tambahan pengetahuan baru. Berikut ini dua contoh lain sesat pikir berbentuk dua premis
negatif.
(2) Tiada hewan yang berpikir.
Semua hewan tidak dapat membuat alat.
Jadi: Semua yang dapat membuat alat berpikir.
(3) Tiada buku Jono yang mudah dibaca.
Tiada buku yang mudah dibaca bermutu.
Jadi: Semua buku Jono bermutu.
7. Mengafirmasi konsekuensi
Sesat pikir mengafirmasi konsekuensi adalah pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari
pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi
diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Perhatikan contoh berikut.
Kalau lampu menyala, perabot-perabot di rumah saya nampak.
Perabot-perabot di rumah saya nampak.
Jadi: Lampu menyala.
Bentuk penalaran ini salah sebab perabot-perabot rumah saya nampak bukan hanya karena
diterangi oleh cahaya lampu, melainkan dapat juga karena hal lain, misalnya diterangi oleh
sinar matahari. Jadi dapat saja terjadi perabot-perabot di rumah saya nampak tetapi lampu tak
menyala, misalnya pada siang hari.
8. Menolak anteseden
Sesat pikir menolak anteseden juga merupakan pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari
pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi
diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Tetapi dalam bentuk ini yang
ditolak adalah antesedennya. Perhatikan contoh berikut.
81
Jika guru pandai maka murid pandai.
Murid tidak pandai.
Jadi: Guru tidak pandai.
Murid tidak pandai bisa saja karena tidak cerdas atau tidak pernah masuk kelas. Hubungan
antara guru pandai dan murid pandai berlaku dalam situasi dengan kondisi-kondisi tertentu.
Jika kondisi itu tidak dipenuhi maka hubungan itu tidak berlangsung. Jadi murid tidak pandai
belum tentu karena guru tidak pandai.
9. Mengiyakan suatu pilihan dalam suatu susunan argumentasi disjungsi subkontrer (atau)
Sesat pikir ini terjadi jika hubungan atau di antara dua hal diperlakukan sebagai
pengingkaran oleh hal yang satu terhadap hal yang lain. Atau belum tentu menunjukkan suatu
pengingkaran. Perhatikan contoh berikut.
Hari hujan atau panas.
Hari hujan.
Jadi: Hari tidak panas.
Hari hujan belum tentu tidak panas karena hari hujan dan panas tidak saling mengingkari.
10. Mengingkari suatu pilihan dalam suatu disjungsi yang kontrer (dan)
Bentuk sesat pikir ini terjadi jika dua hal yang dihubungkan dengan kata dan diperlakukan
seolah-olah nilai kebenaran (benar atau tidak benar) dari gabungan keduanya sama dengan
nilai kebenaran dari setiap hal yang digabungkan, atau nilai tidak benar dari gabungan dari
dua hal itu seolah-olah disebabkan oleh salah satunya. Perhatikan contoh berikut.
Nativisme dan empirisme tidak benar.
Nativisme benar.
Empirisme tidak benar.
Jika tidak digabungkan, baik nativisme maupun empirisme bisa saja sama-sama benar. Yang
membuat tidak benar adalah penggabungan keduanya.
8.3. Sesat Pikir Nonformal
1. Perbincangan dengan ancaman
82
Dalam sesat pikir ini kebenaran dari kesimpulan didasarkan kepada ancaman, misalnya “Saya
menerima penyataan bahwa bumi ini pusat dunia karena jika tidak maka nyawa saya
terancam”.
2. Salah guna (Abusive)
Sesat pikir salah guna adalah penyalahgunaan pertimbangan-pertimbangan yang secara logis
tidak relevan, misalnya
Parpol dan Golkar mendukung Orde Baru.
Golkar yang melahirkan Orde Baru.
Jadi: Golkar yang paling mendukung Orde Baru.
3. Argumentasi berdasarkan kepentingan (circumstantial)
Sesat pikir ini timbul sebagai akibat dari penarikan kesimpulan secara logis melainkan untuk
kepentingan pihak yang termaksud seperti pada contoh berikut.
Agar persatuan pemuda dapat dipertahankan, maka si X harus menjadi ketua
organisasi pemuda. Karena X sudah berumur 40 tahun, maka dalam anggaran
dasar organisasi pemuda itu, definisi pemuda ditetapkan sampai umur 45
tahun.
4. Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan
Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan adalah argumentasi yang menilai sesuatu—tindakan
atau pernyataan—benar berdasarkan ketidaktahuan, bukan berdasarkan isi dan bentuk
argumentasinya. Orang membenarkan sebuah keputusan, meskipun salah, hanya dengan
alasan ia tidak tahu. Lalu orang lain menerima dan tidak menyalahkan keputusan itu dengan
alasan bahwa orang yang membuat keputusan tidak tahu. Perhatikanlah contoh berikut.
Kami memilih Suyadi sebagai dekan meskipun ia belum memenuhi syarat
karena kami tidak tahu bahwa ia tak memenuhi syarat, jadi kami tak bisa
disalahkan.
5. Argumentasi berdasarkan belas kasihan
Argumentasi belas kasihan adalah argumentasi yang menilai benar atau salahnya sesuatu
berdasarkan belas kasihan, bukan berdasarkan isi dan bentuk argumennya. Orang
membenarkan sebuah keputusan, meskipun salah, hanya dengan alasan kasihan. Lalu orang
lain menerima dan tidak menyalahkan keputusan itu dengan alasan orang yang membuat
keputusan merasa belas kasihan. Perhatikanlah contoh berikut.
83
Andi memang salah dan menurut peraturan ia harus dihukum, tetapi kasihan
jika ia dihukum, hidupnya sudah susah, jadi kami tak dapat menyalahkannya
dan tak menghukumnya.
6. Argumentasi yang disangkutkan dengan orang banyak
Sesat pikir jenis ini adalah argumentasi yang menjadikan apa yang dipercaya oleh
kebanyakan orang sebagai dasar penentuan benar atau salahnya argumentasi. Orang
membenarkan sebuah keputusan dengan alasan semua orang berpendapat demikian.
Perhatikanlah contoh berikut.
Semua orang juga tahu Muhidin bersalah, oleh karena itu Muhidin pasti salah.
7. Argumentasi dengan kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan
Sesat pikir jenis ini adalah argumentasi yang membenarkan kesimpulan berdasarkan
kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan. Isi dan bentuk argumentasi tidak
dicermati dan tidak dijadikan dasar penentuan benar atau salahnya kesimpulan. Misalnya,
menerima kesimpulan tentang perilaku seseorang yang dinilai melanggar kejahatan karena
beberapa profesor sosiologi menyalahkan perilaku itu. Contoh berikut ini merupakan sesat
pikir jenis ini.
Internet berbahaya bagi generasi muda. Hal ini disampaikan oleh Prof. Herdin.
Apa yang dikatakan profesor benar karena dia ahli. Jadi internet memang
berbahaya bagi generasi muda.
8. Accident atau argumentasi berdasarkan ciri-ciri tak esensial
Sesat pikir accident adalah argumentasi yang menjadikan satu sifat yang berbeda atau yang
sama sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa dari dua hal semuanya sama atau semuanya
berbeda. Perhatikan contoh berikut.
Bangsa Indonesia tidak sama dengan bangsa Jepang. Jadi, semua orang Indonesia
tidak sama dengan semua orang Jepang.
9. Perumusan yang tergesa-gesa (converse accident)
Sesat pikir perumusan yang tergesa-gesa adalah pembuatan kesimpulan yang didasari oleh
alasan tak memadai atau tanpa alasan sama sekali. Berikut ini dua contohnya.
(1) Semua pegawai negeri adalah koruptor karena kita menemui banyak koruptor
dalam keseharian kita.
(2) Semua mahasiswa malas membaca.
84
10. Sebab yang salah
Sesat pikir sebab yang salah adalah pembuatan kesimpulan berdasarkan satu dugaan yang tak
terbukti dan tetap dipertahankan meskipun bukti menunjukkan bahwa kesimpulan itu salah.
Misalnya pernyataan bahwa penyakit disebabkan oleh kemasukan setan. Lalu setannya diusir,
penyakitnya tetap ada. Tetapi tetap dipercaya bahwa penyakit disebabkan oleh kemasukan
setan.
11. Penalaran sirkular
Sesat pikir penalaran sirkular menjadikan kesimpulan sebagai alasan. Alasan yang digunakan
secara substansial tidak berbeda dengan keseimpulan. Sesat pikir ini juga dapat muncul
dalam argumentasi yang menggunakan kesimpulan yang masih harus dibuktikan sebagai
pangkal pikir. Periksalah dua contoh berikut.
(1) Petugas hukum dapat disogok karena penghasilannya rendah. Penghasilan
hakim rendah karena ekonomi buruk. Ekonomi buruk karena hukum
tidak berfungsi. Hukum tidak berfungsi karena petugas hukum dapat
disogok.
(2) A adalah orang yang jujur. Itu terbukti dari ucapan-ucapannya sendiri kemarin.
12. Sesat pikir karena terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab sehingga jawaban tak
sesuai dengan pertanyaan
Ketika seseorang menerima banyak pertanyaan dan tak sempat mencermati pertanyaan itu
satu per satu, ia bisa saja menjawab sekenanya sehingga terjadi kekeliruan dalam
penalarannya. Argumentasi yang dibangunnya menjadi sesat pikir. Sesat pikir jenis ini
menghasilkan kesimpulan yang tak jelas dan tak berkaitan dengan alasan yang digunakan.
Umpamanya, seorang polisi ditanya oleh banyak wartawan setelah peristiwa meledaknya
bom di sebuah hotel, lalu menjawab bahwa pelakunya adalah orang-orang yang anti NKRI
dan ingin menjatuhkan pemerintahan tanpa ada bukti dan tak ada koherensi dalam
argumentasinya.
13. Kesimpulan tak relevan.
Sesat pikir kesimpulan tak relevan adalah argumentasi yang kesimpulannya tidak sejalan
dengan alasannya, misalnya
(1) Rumah di ujung jalan itu sering kemalingan karena warna catnya hijau.
85
(2) Orang tua lebih tahu dan lebih pintar dari anak-anaknya karena anak-anak itu
dilahirkan orang tuanya.
14. Makna ganda (equivocation)
Sesat pikir makna ganda adalah argumen yang menggunakan term yang bermakna ganda
sehingga kesimpulannya tidak jelas dan dapat diubah-ubah berdasarkan pemaknaan terhadap
term itu. Argumentasi dengan makna ganda merupakan sesat pikir karena makna kata dapat
dipilih untuk maksud-maksud tertentu. Perhatikanlah contoh berikut.
Politisi yang dituduh menjelek-jelekkan presiden itu diamankan oleh pemerintah
sebab jika dibiarkan akan mengganggu stabilitas keamanan. Oleh
karena itu, pemerintah tidak melanggar HAM.
Kata diamankan dapat berarti ‘ditangkap’, ‘dipenjarakan’, atau ‘dilarang berbicara di muka
umum’. Contoh kata lain yang bermakna ganda ialah ditindak yang dapat berarti ‘dipukuli’,
‘ditangkap’ atau ‘ditembak’.
15. Makna ganda ketata-bahasaan (amphiboly)
Sesat pikir dapat juga terjadi karena argumentasi yang dikemukakan menggunakan term-term
yang bermakna ganda jika dilihat dari tata bahasa, misalnya kata mata yang dapat digunakan
dengan makna yang lain seperti dalam matahari, mata kuliah, mata sapi, mata hati, mata
kaki, dan mata-mata. Berikut ini contoh argumentasi yang merupakan sesat pikir makna
ganda ketata-bahasaan.
Diri seseorang tercermin dari hatinya.
Hati yang baik mencerminkan diri yang baik.
Hati yang buruk mencerminkan diri yang buruk.
Kata hati dalam argumentasi di atas dapat bermakna ganda. Term hati di situ tidak merujuk
kepada organ hati, melainkan kepada perasaan, intuisi, atau nurani. Argumentasi itu menjadi
sesat pikir karena hati yang dimaksud tak dapat dikenali secara jelas merujuk kepada
objeknya sehingga tak dapat dibuktikan benar atau salah. Argumentasi yang dicontohkan di
atas tidak bermakna karena proposisi-proposisinya tidak jelas maknanya.
16. Sesat pikir karena perbedaan logat atau dialek bahasa
Sesat pikir dapat terjadi karena adanya perbedaan logat atau dialek bahasa atau cara menamai
sesuatu tetapi perbedaan itu tidak disadari. Sebagai contoh, mobil di Medan disebut motor
86
dan motor dinamakan kereta, sedangkan di Jakarta kereta berarti ‘kereta api’. Perbedaan ini
dapat menghasilkan sesat pikir jika tidak diklarifikasi.
17. Kesalahan komposisi
Sesat pikir kesalahan komposisi adalah argumentasi yang memperlakukan kebenaran pada
bagian sebagai kebenaran keseluruhan. Dalam membuat keputusan, misalnya, manusia sering
kali dirugikan oleh perasaan, lalu disimpulkan bahwa perasaan pasti merugikan manusia.
Intinya, benar pada bagian dianggap benar pada keseluruhan.
18. Kesalahan divisi
Sesat pikir kesalahan divisi adalah argumen yang serta-merta menyimpulkan bahwa
karakteristik dari keseluruhan pasti ada pada bagian-bagiannya. Dalam sesat pikir ini,
kebenaran keseluruhan dianggap sebagai kebenaran pada bagian-bagiannya. Umpamanya,
manusia adalah makhluk yang berpikir, oleh karena itu kaki dan tangan manusia pun berpikir.
19. Generalisasi tak memadai
Sesat pikir generalisasi yang tak memadai adalah argumentasi yang kesimpulannya
didasarkan pada data atau fakta yang tak memadai. Misalnya, generalisasi berdasarkan
sampel yang terlalu kecil atau menggunakan sampel tertentu untuk membuat kesimpulan
tentang populasi yang berbeda.
9. Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif4
Kesalahan-kesalahan yang dibahas di pasal ini merupakan ringkasan dari jenis-jenis
kesalahan yang dapat terjadi dalam pengambilan kesimpulan secara induktif. Kesalahan-
kesalahan itu sering disebut dengan nama yang cukup umum dalam percakapan sehari-hari
mengenai argumen induktif dan statistik. Namun perlu diingat bahwa memberi nama pada
jenis-jenis kesalahan dalam suatu argumen tidak sama dengan menganalisis dan
mengevaluasi argumen itu. Tidak semua orang tahu nama kesalahan. Selain itu, nama
kesalahan juga tidak selalu digunakan secara tepat dan konsisten.
Anda harus selalu siap memberikan kritik dengan cara melakukan teknik-teknik
rekonstruksi dan evaluasi yang telah dijelaskan pasal-pasal sebelumnya. Jika Anda
4 Pasal tentang kesalahan umum dalam penalaran induksi ini disadur dari buku A. K. Bierman dan R. N. Assali,
The Critical Thinking Handbook (New Jersey, 1994). Penyaduran itu dilakukan dengan bantuan dari Judithia A.
Wirawan.
87
menyebutkan bahwa suatu argumen mengandung kesalahan tertentu, Anda harus siap untuk
menjelaskan apa arti nama kesalahan yang Anda sebutkan itu, dan untuk menunjukkan letak
premis atau kesimpulan yang patut dipertanyakan.
9.1 Menilai Penalaran Induktif dengan Standar Deduktif
Kita tahu banyak hal tentang dunia ini. Dari semua pengetahuan yang kita miliki, sebagian
besar kita peroleh dari pengalaman dan dokumentasi mengenai pengalaman orang lain. Tanpa
pengetahuan empiris, kita tidak mungkin bertahan hidup. Pada akhirnya, kita mendasarkan
pengetahuan empiris kita pada penalaran induktif. Untungnya, dunia kita cukup seragam dan
tearatur sehingga pengetahuan yang kita peroleh dengan cara ini cukup kokoh. Misalnya, kita
tahu bahwa kita tidak dapat terbang ke luar angkasa, bahwa roti yang kita makan tidak bisa
tiba-tiba berubah menjadi kodok, bahwa tanah yang kita injak akan tetap diam di bawah kaki
kita. Ini semua adalah bagian dari dunia yang kita kenal baik.
Deduksi memungkinkan kita memastikan kebenaran pengetahuan kita hanya jika kita
yakin akan kebenaran premis-premisnya. Informasi yang terdapat dalam kesimpulan deduksi
tidak melampaui informasi yang terdapat dalam premis-premis asal kesimpulan itu. Pada
akhirnya, agar dapat mendukung premis-premis dalam argumen deduktif dan untuk
menambah informasi empiris kita, kita harus mengandalkan induksi.
Kita tidak perlu menolak suatu kesimpulan induktif semata-mata karena bukti-
buktinya tidak dapat menjamin kebenaran kesimpulan itu. Jaminan memang bukan
karakteristik induksi, dan kita jangan menilai argumen induktif dengan standar deduktif. Kita
jangan terlalu skeptis dalam menghadapi suatu argumen induktif, cukup kalau kita
menerapkan keraguan yang masuk akal (reasonable doubt). Batasan suatu keraguan yang
masuk akal tergantung pada konteks argumen, dan terutama pada konseksuensi dari diterima
atau ditolaknya kesimpulan dari argumen itu. Standar keraguan yang masuk akal dalam
menerima suatu gosip yang tidak berbahaya, atau bertaruh kecil-kecilan pada balap kuda,
jangan dibuat setinggi standar pada saat memutuskan apakah seseorang bersalah dalam suatu
pengadilan kriminal.
Jadi, jika kita sudah secara berhati-hati mengevaluasi bukti-bukti dalam suatu
argumen dan telah mempertimbangkan hipotesis-hipotesis rival yang paling mungkin, dan
jika argumen itu lolos semua tes yang kita lakukan, maka kita boleh menerima
kesimpulannya. Jika kita mau, kita dapat mengawali pernyataan kita dengan kata-kata seperti
sejauh pengetahuan saya atau kecuali ada tambahan bukti yang bertentangan. Dengan
melakukan hal itu, tidak ada orang yang dapat mengatakan pemikiran kita salah. Mereka
88
boleh saja mengkritik kita karena telah mengabaikan hipotesis rival yang mungkin atau
karena kurang banyak mempertanyakan bukti yang ada. Tetapi kita tidak dapat dituduh
melakukan penalaran yang buruk ketika kita menarik suatu kesimpulan yang didukung
dengan baik namun tidak dijamin oleh premis-premisnya.
Jika ada yang mengkritik kita dengan mengatakan bahwa kita telah melakukan
penalaran yang buruk, maka kritik itu sendiri sudah merupakan pemikiran yang buruk. Harus
dicamkan bahwa menilai induksi dengan standar deduksi adalah suatu kesalahan. Standar itu
tidak mungkin dicapai. Jika kita terus mengikuti standar itu, kita tidak akan pernah memiliki
banyak pengetahun yang dapat kita yakini.
Satu latihan yang baik agar kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan ini adalah
dengan memikirkan kembali keyakinan-keyakinan yang kita miliki. Kita akan mendapati
bahwa kebanyakan dari keyakinan kita tidak didukung oleh argumen deduktif yang baik dan
kuat. Keyakinan-keyakinan itu belum terbukti sepenuhnya, tetapi kita tetap bertindak atas
dasar itu dengan cukup percaya diri.
Tuntutan yang keterlaluan biasanya muncul ketika kita menilai pernyataan orang lain.
Ini adalah kesalahan yang umum pada orang yang baru belajar logika. Kesalahan ini dapat
menyangkut penalaran induktif apa pun, dan dari jenis yang mana pun. Kesalahan-kesalahan
induktif yang akan dibahas selanjutnya dalam pasal ini akan berlaku lebih spesifik.
Latihan 8.1 (Mendukung Pernyataan dengan Deduksi dan Induksi)
1. Sebutkan lima pernyataan penting tentang dunia yang Anda yakini kebenarannya tanpa
keragu-raguan, tetapi yang Anda yakin tidak dijamin dengan penalaran deduktif.
2. Untuk masing-masing pernyataan berikut, jika Anda yakin bahwa pernyataan itu benar,
sebutkan apakah Anda akan membuat argumen yang mendukungnya dengan dasar
deduksi atau induksi, dan gambarkan secara singkat bagaimana Anda membuat argumen
itu. Sebaliknya, jika Anda yakin pernyataan itu salah, pilih dan buatlah argumen untuk
negasi dari pernyataan tersebut. Jika Anda merasa bahwa pernyataan itu tidak benar dan
tidak salah, jelaskan mengapa.
(1) Ratu Inggris adalah seorang perempuan.
(2) Paus Yohanes Paulus menentang aborsi.
(3) Sinterklas benar-benar ada.
89
9.2 Kesalahan Generalisasi
9.2.1 Generalisasi yang Terburu-buru (Kebalikan dari Kesalahan Kecelakaan)
Kesalahan ini merupakan kesalahan yang sering dilakukan. Kita seringkali senang
“merapikan” dunia dengan memasukkannya dalam kategori-kategori dan menggeneralisasi
pengalaman kita. Namun generalisasi harus dilakukan dengan berhati-hati. Bahkan
generalisasi dalam ilmu pengetahuan yang dibuat dengan sangat hati-hati pun sering kali
salah.
Karena bukti-bukti dalam suatu argumen induktif sejalan dengan lebih dari satu
kesimpulan, kita menarik kesimpulan yang lebih lemah atau lebih kuat, atau bahkan
kesimpulan yang bertentangan, berdasarkan bukti yang sama. Kesimpulan mana yang kita
tarik tergantung pada interpretasi kita mengenai data dan sejauh mana kita berhati-hati. Kita
melakukan kesalahan generalisasi yang terburu-buru jika kita memilih untuk menarik
kesimpulan yang umum dari data yang kurang. Kita juga melakukan kesalahan yang sama
jika kita membuat generalisasi yang lebih kuat atau lebih luas daripada yang diijinkan oleh
bukti-bukti yang ada, atau membuat generalisasi dari informasi yang tidak lengkap.
Kesalahan itu merupakan akibat dari pembuatan generalisasi berdasarkan bukti yang
tidak cukup, tidak lengkap, atau bias. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Ya, saya tahu Mike baru dioperasi. Tapi itu, ‘kan, sudah lebih dari sebulan yang
lalu, dan dia tentunya sudah sembuh sekarang. Masalahnya adalah dia
seharusnya menyerahkan laporannya sekarang. Ini cukup menunjukkan bahwa
kita tidak akan pernah dapat mengandalkan Mike untuk melakukan pekerjaannya
dengan benar.
(2) Saya sudah bertemu dengan hampir setengah dari anggota perkumpulan itu
waktu saya mau mendaftar di sana. Semuanya pemabuk dan memakai “obat.” Ya,
saya yakin mereka semua pasti seperti itu. Makanya, kamu jangan banyak
bergaul dengan Sam. Dia, ‘kan, anggota perkumpulan itu. Dalam masing-masing contoh itu, si pembicara menarik kesimpulan yang tidak tepat.
Pada contoh (1), si pembicara menggeneralisasi bahwa berdasarkan satu kesalahan yang
dilakukan Mike kita tidak akan pernah dapat mengandalkannya. Ini saja sudah merupakan
generalisasi yang terburu-buru. Namun seandainya si pembicara mempunyai lebih banyak
contoh mengenai ketidakbertanggungjawaban Mike pun, kesimpulannya tetap tidak tepat
karena dia tidak memperhatikan kondisi Mike. Dia tahu bahwa Mike baru dioperasi, tapi
tidak mencari tahu apakah Mike mengalami komplikasi yang memperlama masa
penyembuhannya. Ini merupakan informasi yang relevan, dan si pembicara seharusnya tidak
90
menarik kesimpulan mengenai keterandalan Mike dengan informasi yang tidak lengkap. Dia
belum mengetahui semua faktanya.
Pada contoh (2), hampir setengah populasi memang merupakan sampel yang cukup
besar untuk mengambil kesimpulan mengenai perkumpulan itu. Tetapi si pembicara
menggeneralisasi semua anggota perkumpulan itu pemabuk dan pemakai “obat.” Ini penting
karena dia lalu mencela anggota lain berdasarkan kesimpulan ini. Jelas bahwa pernyataan
universal mengenai semua anggota tidak tepat. Kesimpulan ini terlalu kuat, walaupun
sampelnya cukup besar. Terlebih lagi, dia bertemu dengan anggota yang mengurus
pendaftaran. Ini mungkin merupakan informasi yang relevan. Orang-orang ini mungkin
melebih-lebihkan kebiasaan mereka agar dapat menarik perhatian calon anggota baru. Jadi,
bukti yang didasarkan pada perilaku anggota yang sedang melakukan rekrutmen mungkin
kurang dapat diandalkan. Si pembicara seharusnya tidak menggunakannya untuk melompat
ke kesimpulan yang universal.
Menanggapi Generalisasi yang Terburu-buru
Cara terbaik untuk mengalahkan generalisasi yang terburu-buru adalah dengan menemukan
bukti yang berlawanan atau argumen yang berlawanan untuk menunjukkan bahwa
kesimpulan si pembicara salah. Generalisasi universal merupakan generalisasi yang paling
mudah digugurkan. Tetapi bukti yang berlawanan tidak selalu tersedia, dan orang yang
melakukan generalisasi yang terburu-buru sering kali menolak bukti yang berlawanan itu jika
generalisasi yang mereka lakukan tidak universal (tetapi terburu-buru). Jadi, kita harus
mencoba meyakinkan si pembicara bahwa kesimpulannya tidak tepat dengan cara
mengomentari kesalahan bukti atau sampelnya yang bias.
Kita mungkin perlu mengajarinya mengenai bagaimana membuat kesimpulan yang
lebih tepat atau yang lebih lemah. Lalu kita dapat mengajaknya menerima kesimpulan yang
lebih lemah berdasarkan bukti yang ada, kemudian menunjukkan bahwa ada alternatif
kesimpulan lain yang mungkin benar. Jika kesimpulannya sama sekali mengawur, proses
yang gradual ini mungkin dapat membantu kita mengajaknya meninggalkan kesimpulan itu.
9.2.2 Kesalahan Kecelakaan
Kita hidup berdasarkan aturan dan generalisasi yang mengatur perilaku kita,
mengorganisasikan pengalaman kita, dan membantu kita meringkas pengetahuan kita. Tetapi
generalisasi sering kali mempunyai kekecualian. Bahkan hukum yang paling tepat pun
91
mempunyai batas-batas penerapan, dan untuk menentukan kapan hukum itu dapat diterapkan
dan kapan tidak, dibutuhkan keterampilan profesional.
Kesalahan ini muncul ketika suatu prinsip umum salah diterapkan pada contoh atau
situasi yang sebenarnya tidak termasuk dalam prinsip umum tersebut. Si pembicara
menerapkan generalisasi atau aturan secara salah supaya kesimpulannya yang kurang tepat
dapat diterima, atau untuk memaksakan kepatuhan pada aturan itu. Si pembicara sering kali
menganggap bahwa aturan atau prinsip itu tanpa kekecualian dan menolak, untuk
mempertimbangkan bahwa mungkin ada kasus yang sangat luar biasa sehingga jatuh di luar
jangkauan prinsip itu.
Sebagian orang menganggap ini merupakan kebalikan dari kesalahan generalisasi
yang terburu-buru. Generalisasi yang terburu-buru bergerak dari kasus yang tidak umum atau
tidak representatif ke generalisasi yang tidak tepat. Kesalahan kecelakaan menerapkan suatu
generalisasi pada kasus yang tidak umum atau “kecelakaan” yang sebenarnya tidak termasuk
dalam generalisasi itu. Kesalahan ini dapat terjadi, baik pada argumen deduktif maupun
induktif. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Begini, Bu. Saya tahu anak Ibu berusia 12 bulan. Tapi aturan di bioskop ini jelas.
Tidak ada orang yang berusia di bawah 18 tahun yang boleh menonton film untuk
orang dewasa. Jadi, Ibu lebih baik pulang saja.
(2) Orang tua sebaiknya tidak menipu anaknya dengan mengatakan hal-hal yang tidak
benar. Jadi, Anda bersalah jika mengatakan pada anak Anda bahwa Sinterklas
membawa hadiah untuk mereka sementara sebenarnya Andalah yang membeli hadiah
itu. Dalam masing-masing kasus di atas, si pembicara menerapkan prinsip umum pada kasus
kekecualian yang sebenarnya tidak termasuk. Pada contoh (1), kita tahu bahwa larangan
menonton film orang dewasa berlaku bagi anak-anak di bawah umur yang sudah bisa
menonton film dan yang mungkin mendapat pengaruh buruk dengan melihat film itu. Bayi
sebenarnya tidak termasuk di dalamnya, tetapi si penjaga bioskop memberlakukan aturan itu
secara kaku. Berdasarkan penerapan aturan secara salah, dia mengambil kesimpulan yang
tidak tepat, yaitu bahwa ibu itu harus pergi dengan bayinya.
Pada contoh (2), aturan moral yang melarang kita untuk berbohong diterapkan secara
salah pada mitos anak-anak tentang Sinterklas. Kita memperkaya hidup kita dengan mitos,
permainan, cerita, dan drama. Kita biasanya tidak menerapkan prinsip bahwa berbohong itu
salah pada fiksi anak-anak yang menyenangkan. Namun, si pembicara bersikukuh
92
melakukannya. Dia menerapkan prinsip yang baik pada kasus yang tidak tepat. Kesalahan ini
sering kali dilakukan oleh orang yang dogmatis dan birokrat.
Menanggapi Kesalahan Kecelakaan
Sayangnya, orang yang melakukan kesalahan ini mungkin akan bersikeras dan tidak mau
mendengarkan penjelasan kita. Tanggapan terbaik adalah mencoba membuat si pembicara
paham bahwa aturan atau prinsip itu sengaja dibuat samar-samar. Kebanyakan aturan atau
hukum tidak dapat mencakup semua keadaan yang mungkin terjadi. Pembuat hukum
memperhitungkan hal ini dengan cara sengaja menyediakan ruang untuk interpretasi si
penerap hukum pada waktu membuat hukum tertulis.
Kemudian kita dapat mencoba membuat si pembicara memahami tujuan yang
diinginkan oleh aturan tersebut. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan bahwa dia
menghalangi dicapainya tujuan itu, atau dia menghalangi dicapainya tujuan lain yang lebih
penting, jika dia bersikeras menerapkan aturan itu secara salah. Untuk itu mungkin Anda
perlu mengemukakan prinsip lain yang lebih tinggi, yang tujuannya harus didahulukan
daripada tujuan aturan yang diperdebatkan.
Cara lain adalah mencoba menemukan situasi yang sangat tidak umum sehingga dia
terpaksa menerima kekecualian untuk aturannya. Misalnya, si pembicara memegang prinsip
bahwa orang harus menghindari obat terlarang, khususnya morfin. Ajukan kasus seseorang
yang jantungnya harus dioperasi: apakah pasien itu tidak boleh mendapatkan morfin sebagai
obat bius? Jika dia setuju bahwa morfin boleh dipakai dalam kasus itu, kita dapat mulai
mendiskusikan kapan aturan itu dapat diterapkan dan kapan tidak. Ini adalah sebuah langkah
besar.
Jika hal itu sulit dilakukan, carilah contoh aturan lain yang disetujuinya—tetapi ada
kekecualiannya yang jelas—yang pasti akan diterimanya. Ini dapat menunjukkan kepadanya
melalui analogi bahwa dalam aturan yang begitu keras dipegangnya itu pun mungkin ada
kekecualian. Jika dia tidak mengakui adanya kekecualian pada aturan mana pun,
menyerahlah!
Latihan 9.2 (Kesalahan Generalisasi)
Untuk masing-masing soal berikut ini, coba cari si pembicara ingin membujuk kita untuk
meyakini apa? Lalu jelaskan apakah ada kesalahan dalam soal itu dan apa kesalahannya.
Akhirnya, sebutkan nama kesalahan yang terjadi.
93
1. Saya sudah minta Dorothy pergi dengan saya dua kali. Dia selalu menolak dengan
mengatakan bahwa dia ingin pergi dengan teman-teman kelas baletnya. Jelaslah bahwa
dia dan teman-teman baletnya tidak suka dekat-dekat dengan laki-laki.
2. Jelas bahwa sebagian besar orang California setuju dengan aborsi. Pada survei di daerah
perumahan West Hollywood, 89% menjawab bahwa perempuan seharusnya punya hak
untuk meminta aborsi, dan negara harus menyediakan dana bagi perempuan yang tidak
mampu membayar.
3. Memang benar, Pak. Saya tahu istri Bapak sakit dan Bapak merasa harus mengemudi
dengan cepat sampai-sampai melanggar batas kecepatan maksimal. Tetapi tugas saya
adalah menegakkan hukum. Hukum kita jelas. Jadi, saya terpaksa menilang Bapak karena
mengebut. Tolong tanda tangani formulir tilang ini, Pak, lalu Bapak boleh pergi. Istri
Bapak kelihatannya sudah parah.
9.3 Kesalahan Penggunaan Bukti Secara Salah
9.3.1 Kesimpulan Yang Tidak Relevan
Kesalahan karena kesimpulan yang tidak relevan muncul ketika orang menarik kesimpulan
yang salah dari bukti yang ada. Biasanya bukti yang ada itu dapat digunakan untuk
mendukung kesimpulan yang berhubungan atau mirip, sehingga kesalahan ini sulit dilacak.
Walaupun dapat terjadi, baik dalam penalaran deduktif maupun penalaran induktif, kesalahan
ini lebih sering muncul pada penalaran induktif karena konteksnya lebih rumit sehingga kita
lebih mungkin menarik kesimpulan yang salah. Perhatikanlah contoh kasus berikut ini.
(1) Buktinya jelas. Mark selalu bekerja keras. Dia adalah seorang pemuda yang
tegas dan cinta tanah air. Dia sopan, tulus, dan tidak pernah berpikiran buruk
tentang orang lain. Jadi, dia pasti cocok masuk ke fakultas kedokteran.
(2) Masyarakat Amerika pasti senang dengan pemerintah yang sekarang. Lima
puluh lima persen responden kami menjawab “Ya” ketika ditanya “Apakah
Anda merasa lebih sejahtera sekarang daripada empat tahun yang lalu?”
Dalam masing-masing kasus, si pembicara menarik kesimpulan yang sangat tidak
relevan dengan bukti yang tersedia. Pada contoh (1), karakteristik pribadi Mark yang
disebutkan sebagai bukti mungkin membuat Mark termasuk kategori orang baik, tapi tidak
cukup dan bahkan tidak perlu untuk membuatnya calon mahasiswa kedokteran yang berhasil.
Jika kita tidak mempunyai bukti tentang nilai dan bakat Mark di bidang kedokteran, kita
jangan menerima ajakan si pembicara untuk menarik kesimpulan yang salah.
94
Pada contoh (2), tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang ada. Pertama,
kata senang merupakan kesimpulan yang buruk jika tidak tercakup di dalam pertanyaan
survei. Kedua, kalaupun pertanyaan survei itu “Apakah Anda merasa lebih senang…,” term
itu tetap terlalu luas untuk digunakan. Yang lebih parah lagi, kita tidak tahu siapa yang
menjadi percontoh survei itu. Siapa tahu, mereka adalah keluarga presiden semua, sementara
si pembicara membuat pernyataan tentang seluruh masyarakat.
Walaupun informasinya dapat diandalkan dan percontohnya baik, kita sebaiknya tidak
menarik kesimpulan mengenai seorang individu berdasarkan jawaban kuesioner. Bukti ini
hanya dapat menjamin satu kesimpulan, yaitu bahwa 55% dari populasi yang diwakili oleh
sampelnya yang menjawab “Ya” atas pertanyaaan yang diajukan itu. Singkatnya,
kesimpulannya sama sekali tidak relevan dengan premisnya.
Menanggapi Kesalahan Kesimpulan yang Tidak Relevan
Kalau kita dapat mengidentifikasi adanya kesalahan itu dalam suatu argumen, tanggapannya
mudah. Kita tinggal berkeras bahwa si pembicara tetap pada buktinya. Jika dia ingin kita
menerima kesimpulannya, dia harus memberikan argumen. Dengan melakukan kesalahan ini,
berarti dia tidak memberikan argumen yang logis. Masalahnya adalah bagaimana
mengidentifikasi kesalahan ini. Satu-satunya cara agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan
ini adalah dengan melatih ketelitian dalam menilai bukti.
9.3.2 Kesalahan Bukti yang Ditahan
Kesalahan karena bukti yang ditahan terjadi ketika pembicara menarik kesimpulan yang tidak
tepat dengan mengabaikan, menahan, atau meminimalkan derajat pentingnya suatu bukti
yang bertentangan dengan kesimpulan. Kesalahan ini tidak hanya mencakup
disembunyikannya suatu bukti secara sengaja supaya kesimpulannya diterima, tetapi juga
yang tidak disengaja. Kasus tidak sengaja sering terjadi ketika keyakinan sudah sedemikian
kuatnya sehingga kita menolak mempertimbangkan bukti apa pun yang mungkin
bertentangan. Kesalahan ini juga termasuk tidak ditelitinya berbagai sudut pandang dari
sebuah topik sehingga kesimpulan ditarik secara tidak adil bagi pihak-pihak tertentu.
Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Tidak ada orang waras yang akan mau tinggal di San Fransisco. Di situ
banyak kabut dan lembab. Lalu tempatnya berbukit-bukti curam sehingga
menyetir menjadi berbahaya sekali. Belum lagi gempa bumi yang selalu siap
95
menyerang. Jadi, jelas bahwa sama sekali tidak ada alasan mengapa orang
akan senang tinggal di San Fransisco.
(2) Frank, kita akan menghadapi jaksa penuntut yang keras. Kita akan kalah
kalau dia tahu bahwa ada saksi yang melihat perampokan ini. Kita memang
sudah tahu, tapi itu tugas dia untuk mencari tahu. Jadi, argumen kita tidak
akan menyinggung-nyinggung kemungkinan adanya saksi mata, ya?
Pada contoh (1), si pembicara, baik sengaja ataupun tidak, hanya berfokus pada aspek
yang tidak menyenangkan dari San Fransisco. Jika memang cuma itu yang ada di San
Fransisco, maka dia mempunyai argumen yang kuat. Tetapi dia tidak mempertimbangkan
kelebihan hidup di San Fransisco. Dari akal sehat saja kita tahu bahwa tidak mungkin kota itu
hanya mempunyai kejelekan melulu. Jadi, kita belum dapat menerima kesimpulannya; kita
masih membutuhkan informasi lebih lanjut untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang lebih
tepat.
Pada contoh (2), si pengacara menyatakan bahwa dia akan menahan suatu bukti. Orang
mungkin berpikir bahwa argumen apa pun yang dihasilkan dalam kondisi seperti ini pasti
mengandung kesalahan bukti yang ditahan. Tetapi dalam sistem peradilan kita, hal itu tidak
salah. Jaksa penuntut harus membuktikan kesalahan terdakwa. Tugas mereka adalah
mengumpulkan bukti-bukti. Jika si pengacara mengungkapkan bukti yang memberatkan
kliennya, maka si pengacara justru telah melanggar kewajibannya terhadap kliennya. Maka,
dalam keadaan ini, si pengacara tidak bersalah menahan bukti.
Menanggapi Kesalahan Bukti yang Ditahan
Dalam situasi yang kooperatif, lebih baik kita mengajukan semua bukti yang relevan
sehingga suatu kesimpulan yang logis dapat ditarik. Untuk memperoleh kebenaran, memang
diperlukan semua bukti yang relevan. Dalam situasi seperti ini, bukti yang tertahan lebih
mungkin merupakan akibat kecerobohan dan sudut pandang yang terlalu sempit. Diskusi
yang jujur, terbuka, dan terstruktur biasanya dapat menunjukkan hal apa yang masih terlewat.
Memang sulit sekali untuk tetap rasional tanpa terpengaruh oleh emosi pada saat
bertentangan pendapat dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam situasi demikian, kita harus
berusaha mempertanyakan pandangan kita sendiri. Kita harus berusaha keras menemukan
bukti yang bertentangan yang mungkin dapat menggugurkan kesimpulan kita. Kita juga harus
mencoba menemukan argumen yang paling kuat yang mendukung sudut pandang lawan kita.
Usaha ini dapat membantu memastikan bahwa tidak ada bukti yang tertahan dan penalaran
yang salah dapat diminimalkan.
96
9.4 Kesalahan Statistikal
Metodologi statistik dikembangkan terutama untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang
dibahas di sini. Jadi, kemungkinannya kecil bahwa seorang ahli statistik yang kompeten dan
profesional akan melakukan kesalahan ini. Namun, dunia adalah suatu tempat yang rumit.
Dan bahkan seorang profesional yang sangat berhati-hati pun kadang-kadang tanpa sengaja
mengabaikan kondisi yang sebenarnya membuat data mereka menjadi bias atau menarik
kesimpulan yang melampaui data yang ada. Kesalahan ini lebih umum dibuat dalam
penelitian yang dilakukan oleh para amatiran atau mereka yang kekurangan dana sehingga
tidak dapat melakukan penelitian secara mendetil. Kesalahan ini pun sering muncul dalam
argumen sehari-hari, yaitu yang mengambil kesimpulan secara terburu-buru dari pengalaman
pribadi saja. Dalam usaha kita untuk memahami dunia, kita sering kali kurang teliti. Dua
kesalahan pertama dari tiga yang akan kita bahas sering disebut kesalahan pemercontohan
(sampling error).
9.4.1 Kesalahan Sampel yang Bias (Statistik yang Bias)
Kesalahan ini dilakukan ketika data yang digunakan untuk menarik kesimpulan statistik
diambil dari sampel yang tidak representatif terhadap populasi. Ahli statistik profesional
mencoba menghilangkan bias ini melalui pemercontohan acak (random sampling) dan teknik
pemercontohan lain. Percontoh yang tidak dipilih secara acak merupakan percontoh yang bias
dan tidak dapat digunakan untuk menarik kesimpulan mengenai populasi.
(1) Kami yakin bahwa kebanyakan akademisi akan lebih senang jika mereka
mempunyai akses ke komputer pribadi mereka dari universitas. Kesimpulan ini
kami dapatkan karena 90% dari responden kuesioner yang kami sebarkan
melalui e-mail menjawab “Ya” atas pertanyaan, “Apakah Anda akan lebih
senang jika ada komputer pribadi di kantor Anda?”
(2) Waktu saya di Paris, saya hampir selalu diperlakukan dengan kasar oleh
pelayan ketika makan di restoran. Ya, orang Perancis memang sangat kasar
pada orang Amerika. Saya sangat tidak menyarankan kamu berlibur ke
Perancis musim panas ini.
Semua argumen pada contoh di atas kelihatannya didasarkan pada prosedur penelitian
yang sangat amatir. Kesimpulannya ditarik berdasarkan percontoh yang sangat bias. Pada
contoh (1), sampelnya bias karena tidak semua akademisi mempunyai e-mail. Jadi, tidak
semua akademisi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Selain itu,
akademisi yang menggunakan e-mail kemungkinan besar akan bias ke arah menyukai akses
97
komputer yang lebih banyak. Jadi, sampel berupa pengguna e-mail tidak representatif untuk
semua akademisi. Kesimpulan ini seharusnya diperlemah menjadi populasi akademisi
pengguna e-mail saja.
Pembicara pada contoh (2) melakukan kesalahan berupa perumusan argumen yang
lebih didasarkan pada prejudis dan emosi pribadi daripada penalaran. Kesimpulannya tentang
semua orang Perancis didasarkan pada percontoh sejumlah pelayan Paris yang melayaninya
di restoran. Percontoh ini bias dalam beberapa aspek. Pertama, sebagian dari populasi orang
Perancis, misalnya yang bukan penduduk Paris, tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi
sampel. Kedua, percontoh ini bias, bahkan untuk penduduk Paris sekalipun karena tidak
semua penduduk Paris menjadi pelayan, dan otomatis tidak termasuk sampel. Karena kita
tidak tahu batasan perilaku yang kasar menurut pembicara, dan kita juga tidak tahu di
restoran seperti apa dan bagaimana perilaku si pembicara sendiri ketika dia memperoleh data
itu, maka sampelnya sama sekali tidak berguna, bahkan untuk populasi pelayan Paris.
Akhirnya, karena kita tidak tahu berapa banyak pelayan yang kasar kepadanya, sampelnya
bisa saja terlalu kecil. Dan ini mengarahkan kita ke kemungkinan sumber kesalahan
pemercontohan (sampling) berikutnya.
9.4.2 Kesalahan Percontoh yang Kecil (Statistik yang Tidak Cukup)
Kesalahan ini terjadi ketika pembicara menggunakan sampel yang terlalu kecil sehingga
kesimpulannya tidak dapat dipercaya. Kesalahan ini juga terjadi ketika kesimpulannya sangat
dipercayai sementara ukuran sampelnya sedang-sedang saja. Dalam penelitian statistik yang
profesional, ukuran sampel ditentukan sedemikian rupa untuk mengurangi batas kesalahan
yang mungkin terjadi pada kesimpulan.
Dalam situasi sehari-hari, sampel yang besar biasanya membantu mengurangi
kemungkinan bias. Makin banyak observasi yang kita lakukan, makin kecil kemungkinan
observasi yang kita lakukan menjadi bias. Tetapi kita sering kali terlalu tidak sabar dan
ceroboh sehingga tidak menarik kesimpulan hanya dengan sampel yang tidak cukup besar
dan bias, melainkan juga berdasarkan bukti yang terlalu sedikit. Di pihak lain, kita sering kali
terpaksa membuat keputusan secara cepat sementara kita tidak mempunyai cukup waktu
untuk melakukan penelitian yang mendalam. Kita harus bertindak berdasarkan informasi
yang ada. Dalam situasi seperti itu, hal yang terbaik adalah bertindak berdasarkan informasi
yang kita miliki walaupun tidak lengkap. Hanya saja harus disadari bahwa kesimpulan kita
itu sangat mungkin lemah. Perhatikanlah contoh berikut.
98
(1) Saya bertemu Larry kemarin, dan dia sangat menyebalkan. Dua kali saya
mencoba bercakap-cakap dengannya, dan dia selalu cemberut dan menggerutu.
Kemudian ketika saya mengajukan satu pertanyaan kepadanya, dia mengabaikan
saya dan pergi. Jelas bahwa kepribadiannya sangat tidak menyenangkan. Saya
tidak mau berurusan apa pun dengannya lagi.
(2) Saya bertemu Larry hari ini, dan dia menyebalkan. Dua kali dia bersikap kasar
kepada saya, dan pada kesempatan ketiga dia mengabaikan saya ketika saya
mengajukan satu pertanyaan kepadanya. Mungkin dia sedang tidak enak hati.
Jadi, saya tidak akan mendekatinya lagi hari ini. Tetapi saya perlu bantuannya
segera, jadi saya akan coba lagi besok, mungkin mood-nya sudah bagus. Saya
akan mendekatinya dengan sangat hati-hati. Dia sedang punya masalah, ya?
Atau dia memang selalu begitu? (3) Ya, penelitian ilmiah yang dilakukan para ahli dengan sampel anak-anak SD
menunjukkan bahwa 95% dari kelompok uji kami ternyata lubang giginya lebih
sedikit setelah menggosok gigi dengan Grit secara teratur. Jadi, pastikan bahwa
anak-anak Anda menggunakan pasta gigi Grit.
Pada contoh (1), pembicara melakukan kesalahan yaitu menarik kesimpulan yang
terlalu kuat berdasarkan sampel yang terlalu kecil. Tiga kali observasi atas perilaku seseorang
tidak cukup untuk menarik kesimpulan mengenai populasi yang mencakup seluruh
perilakunya secara umum. Karena observasinya berlangsung pada waktu yang sangat
berdekatan dan dua kejadian yang pertama mungkin mempengaruhi yang ketiga, maka si
pembicara juga mungkin melakukan kesalahan percontoh yang bias.
Kesalahan pada contoh (1) menjadi jelas ketika kita membahas contoh (2). Di sini
pembicara tidak menarik kesimpulan umum mengenai semua perilaku Larry. Dia membatasi
kesimpulannya hanya pada populasi perilaku Larry hari ini. Dengan sampel yang ada,
kesimpulannya lebih dapat dipercaya. Dan dia memang masih berencana untuk membuat
lebih banyak observasi pada hari berikutnya. Karena dia perlu berinteraksi dengan Larry, dia
menggunakan data-data yang sudah dimilikinya untuk membuat keputusan mengenai
bagaimana dia harus berperilaku terhadap Larry di kemudian hari. Dia juga mencari
informasi mengenai Larry untuk membantunya menginterpretasi hasil observasinya dan
menarik kesimpulan yang lebih dapat dipercaya. Jadi, dia menarik kesimpulan yang tentatif
atau yang lebih lemah dulu untuk menentukan bagaimana dia harus bertindak dan mencoba
mengumpulkan lebih banyak data. Ini merupakan cara yang baik jika kita hanya mempunyai
data yang terbatas dengan sampel yang tidak cukup sementara kita harus bertindak sebelum
ada lebih banyak data.
99
Pada contoh (3), kita melihat jenis iklan yang cukup umum. Masalah pertama, si
pembicara tidak memberi tahu ukuran sampelnya. Dengan asumsi bahwa adanya undang-
undang periklanan telah memaksa perusahaan itu benar-benar melakukan penelitian dan
bukannya mengada-ada tentang data itu, kita tetap harus meragukan laporan hasilnya karena
sangat mungkin kesimpulan ini didasarkan pada sampel yang tidak cukup besar dan yang
telah dipilih supaya hasilnya menguntungkan perusahaan.
9.4.3 Kesalahan Penjudi (Gambler’s Fallacy)
Peristiwa yang terjadinya hanya secara kebetulan, misalnya hasil lemparan koin atau dadu,
merupakan hal yang berdiri sendiri. Artinya, hasil lemparan suatu koin tidak mempengaruhi
hasil lemparan berikutnya. Kita sudah melempar koin lima ratusan sepuluh kali misalnya, dan
keluarnya selalu gambar garuda, meskipun sebenarnya probabilitas lemparan koin itu (yang
tidak berat sebelah) menghasilkan gambar garuda dan gambar melati, masing-masing 0,50.
Kesalahan penjudi mengabaikan kaidah probabilitas. Nama kesalahan ini berasal dari
kepercayaan para penjudi, yaitu bahwa keberuntungan akan berbalik kepadanya jika dia
sudah mengalami kesialan berturut-turut. Kesalahan ini terjadi ketika seseorang
menyimpulkan bahwa suatu kejadian yang sebenarnya berdiri sendiri dipengaruhi atau
probabilitas kemunculannya diubah oleh sederatan kejadian yang mendahuluinya.
Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Joe sudah menebak 20 kali dengan benar. Kali ini, dia akan salah menebak. Saya
akan bertaruh melawannya.
(2) Kita menghadapi perampok yang cukup cerdik. Dia beraksi lima atau enam kali di
satu tempat, lalu pindah ke kota lain. Ini adalah perampokannya yang keenam di
San Diego. Setelah ini dia pasti beraksi di tempat lain.
Dalam contoh (1), si pembicara melakukan kesalahan penjudi. Dua puluh kali menebak
dengan benar memang jarang terjadi. Suatu saat Joe akan salah menebak kecuali dia main
curang. Tetapi kemungkinan dia menebak benar atau salah pada lemparan dadu berikutnya
tetap sama. Si pembicara melakukan kesalahan jika dia menyimpulkan bahwa Joe pasti akan
salah kali ini, kalau pun Joe ternyata benar-benar salah menebak.
Contoh (2) kelihatannya merupakan argumen yang baik. Si pembicara mengandalkan
suatu keteraturan yang dilihatnya dalam perilaku kriminal si perampok. Dia mempunyai
alasan yang cukup baik untuk meyakini bahwa enam perampokan yang telah terjadi di San
Diego akan mempengaruhi tempat kejadian perampokan yang ketujuh. Jadi, dia tidak
100
melakukan kesalahan penjudi karena kejadian yang diprediksinya bukan kejadian yang
tergantung pada kebetulan.
Menanggapi Kesalahan Penjudi
Satu-satunya tanggapan yang dapat dikemukakan untuk menghadapi orang yang melakukan
kesalahan penjudi adalah mencoba mengajarinya tentang teori probabilitas. Kita dapat
menggunakan pengalamannya yang sudah-sudah yang menyangkut kesalahan ini, tetapi
kemungkinan besar perilakunya tetap tidak akan berubah. Jadi, hal terbaik yang dapat kita
lakukan adalah berhati-hati supaya jangan terpengaruh oleh argumen yang mengandung
kesalahan penjudi.
Latihan 8.3 (Kesalahan Statistik dan Penggunaan Bukti secara Salah)
Pada masing-masing soal berikut, tentukan si pembicara sedang mencoba mempengaruhi kita
untuk menerima apa. Jelaskan kesalahan dalam soal itu, jika ada, dan sebutkan namanya.
1. Saya pernah mencoba makan seekor kerang. Terus terang saja, kawan, tidak akan pernah
lagi, tidak akan pernah lagi.
2. Harapan hidup perempuan Amerika adalah 76 tahun. Harapan hidup laki-laki Amerika 72
tahun. Jadi, harapan hidup orang Amerika secara umum adalah 74 tahun.
3. Sudah ada jutaan orang yang meninggal, dan belum ada satu pun yang kembali untuk
memberi tahu kita tentang kehidupan setelah mati. Jadi, tunggu saja, cepat atau lambat
seseorang pasti akan datang kembali untuk memberi tahu kita tentang hal itu.
9.5 Kesalahan Kausal
Jika terdapat hubungan kausal di antara dua kejadian X dan Y, ada tiga kasus yang mungkin,
yaitu (1) X menyebabkan Y; (2) Y menyebabkan X; dan (3) X dan Y sama-sama disebabkan
oleh Z.
Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y, sementara sebenarnya Y yang
menyebabkan X, maka kita melakukan kesalahan mengacaukan sebab dan akibat. Jika kita
menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y atau Y menyebabkan X, sementara yang benar
ialah bahwa keduanya sama-sama disebabkan oleh Z, maka kita mengabaikan penyebab
bersama. Kedua kesalahan ini kadang-kadang disebut kesalahan penyebab-gejala.
Jika kita menyimpulkan bahwa X menyebabkan Y semata-mata berdasarkan fakta
bahwa X mendahului Y, maka kita melakukan kesalahan penyebab yang salah (post hoc).
101
Penyebab sering kali dibedakan menjadi necessary condition atau sufficient condition
bagi akibatnya. Jika kita salah menganggap suatu penyebab yang berupa necesarry condition
dengan penyebab yang berupa sufficient condition, atau sebaliknya, maka kita telah
mengacaukan necessary condition dengan sufficient condition.
9.5.1 Mengacaukan Sebab dan Akibat
Kesalahan ini terjadi ketika suatu hubungan kausal salah diinterpretasi. Si pembicara salah
menginterpretasi bukti sehingga menyimpulkan bahwa Y disebabkan oleh X sementara
sebenarnya Y-lah yang menyebabkan X, Kesalahan ini sering kali merupakan akibat dari
interpretasi yang ceroboh atas bukti yang tersedia dan kemalasan untuk menyelidiki lebih
lanjut sebelum menarik kesimpulan. Perhatikanlah contoh berikut.
Jika Sam mulai minum, dia jadi tidak menyenangkan. Dia tidak gembira, ingin
berhenti bekerja dan dia mengatakan dia tidak punya alasan untuk hidup.
Sungguh, dia harus berhenti minum. Minum-minum membuatnya jadi orang yang
depresi.
Dalam contoh ini, korelasi antara minum-minum yang dilakukan Sam dengan
ketidakgembiraannya belum menunjukkan bahwa minum-minumlah yang menyebabkan
ketidakgembiraannya itu. Kemungkinannya sama besar bahwa karena tidak gembira dia
minum-minum. Si pembicara perlu menyelidiki dan mencari bukti lebih lanjut untuk
mencoret kesimpulan rival ini. Kesalahan ini lebih mudah dihindari jika akibatnya jelas
terpisah dari sebab, dan timbulnya setelah sebab. Kita paling mungkin melakukan kesalahan
ini ketika sebab dan akibatnya merupakan kondisi yang terjadi bersamaan atau ketika akibat
timbul dalam jangka panjang. Situasi yang kompleks membutuhkan analisis yang hati-hati
dan cermat sebelum kita dapat mengambil kesimpulan yang paling mungkin.
Menanggapi Kesalahan Mengacaukan Sebab dan Akibat
Jika si pembicara hanya ceroboh dalam menilai bukti yang ada, kita cuma perlu menunjukkan
kepadanya bahwa bukti yang ada juga dapat mendukung hubungan kausal yang sebaliknya.
Lalu usulkan bahwa dia perlu melakukan penelitian lebih lanjut sebelum menarik
kesimpulan. Jika dia menolak usulan itu dan mengajukan argumen kausal yang spekulatif
untuk mendukung interpretasinya atas data yang ada, coba tunjukkan bahwa hubungan kausal
yang diajukannya itu memang hanya spekulasi saja yang tidak didukung oleh data empiris.
102
Mintalah dia memberikan data empiris, lalu nilailah data yang diberikannya. Siapa tahu,
mungkin kesimpulannya dapat diterima.
9.5.2 Mengabaikan Penyebab Bersama
Kesalahan karena mengabaikan penyebab bersama terjadi ketika seorang pembicara
menyimpulkan bahwa X adalah penyebab Y sementara sebenarnya keduanya merupakan
akibat dari sebab lain. Kesalahan ini dan pengacauan sebab dan akibat juga disebut kesalahan
penyebab-gejala. Contoh berikut akan menunjukkan mengapa disebut demikian.
Jimmy demamnya sangat tinggi. Itu yang menyebabkan wajahnya berbintik-bintik
merah. Dalam contoh itu, si pembicara menyimpulkan bahwa demam Jimmy menyebabkan bintik-
bintik merah di wajahnya. Walaupun mungkin saja hal itu benar—karena memang ada orang
yang kulitnya jadi berbintik-bintik merah jika dia demam—namun kesimpulan ini tidak dapat
dipercaya tanpa bukti lebih lanjut. Jika Jimmy menderita cacar air, maka baik demam
maupun bintik-bintiknya merupakan akibat atau gejala dari penyakit Jimmy. Jadi, sama
seperti pada kesalahan mengacaukan sebab dan akibat, tanggapan kita selalu adalah bahwa
kita membutuhkan lebih banyak bukti dan analisis dalam suatu situasi yang kompleks
sebelum kita dapat mempercayai kesimpulan apa pun.
Menanggapi Kesalahan Mengabaikan Penyebab Bersama
Sama seperti pada kesalahan mengacaukan sebab dan akibat, kesalahan ini sering kali
merupakan akibat dari kurang sadarnya pembicara bahwa hubungan dan kondisi kausal boleh
jadi merupakan masalah yang rumit, dan bahwa kita seharusnya menarik kesimpulan hanya
setelah menilai data dengan sangat hati-hati. Namun, bahkan dengan berhati-hati pun, tetap
ada kemungkinan terdapat kesalahan dalam situasi kausal yang kompleks sehingga
kesimpulan kita harus tetap tentatif.
Oleh sebab itu, tanggapan kita atas kesalahan ini seharusnya sama dengan tanggapan
atas kesalahan mengacaukan sebab dan akibat. Kita mencoba untuk memaksa si pembicara
menilai kembali buktinya atau memberi bukti empiris yang mendukung analisisnya. Kita
menyediakan alternatif hubungan kausal untuk menjadi tandingan bagi kesimpulannya.
Perbedaannya adalah, kita bukan memaksanya mengakui kemungkinan bahwa hubungan
kausalnya terbalik, tapi bahwa ada faktor penyebab yang terabaikan.
9.5.3 Kesalahan Penyebab Yang Salah (Kesalahan Post Hoc)
103
Cukup sering kita jumpai satu contoh kejadian kausal saja sudah cukup bagi kita untuk
menarik kesimpulan yang benar mengenai apa yang terjadi. Kita melihat sebuah bom jatuh
dengan akibat ada ledakan. Kita menyentuh kompor yang menyala dan tangan kita terbakar.
Dalam kasus-kasus seperti ini, kita bahkan tidak mempertanyakan hubungan kausal antara
kejadian-kejadian itu. Pengetahuan umum kita tentang dunia dapat digunakan untuk
menjelaskan hubungan kausal pada kejadian-kejadian itu.
Kesalahan penyebab yang salah juga disebut kesalahan post hoc, ergo propter hoc. Ini
merupakan kata-kata dalam bahasa Latin yang artinya ‘sesudah ini, maka, karena ini’. Orang
yang melakukan kesalahan ini sering disebut melakukan penalaran post-hoc. Kita melakukan
kesalahan penalaran post hoc ketika kita menyimpulkan—tanpa dasar yang cukup kuat—
semata-mata hanya karena Y mengikuti X, maka X pasti penyebab Y. Kesalahan dalam
argumen seperti ini adalah bahwa kesimpulannya merupakan pernyataan kausal yang kurang
didukung oleh bukti, dan tidak ada informasi tambahan maupun hipotesis pembantu yang
membuat hubungan kausal itu masuk akal. Memang, kita sering kali menentang penalaran
seorang pembicara dengan mengajukan alternatif analisis kausal dari situasi yang
diperdebatkan. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Ya, anak muda, begitu mereka mulai menambahkan fluor pada air minum di kota
ini, teman-teman saya mulai meninggal kena serangan jantung. Tidak boleh itu.
Memang, kita tidak boleh bermain-main dengan alam. Delapan puluh tahun
makan asam garam dunia sudah menunjukkan itu padaku.
(2) Setan kulit putih itu punya kekuatan untuk membunuh dengan suara. Kemarin,
saya melihat salah satu dari mereka mengangkat sebuah tongkat. Setelah suara
yang sangat keras, timbul lubang pada kijang itu yang mengeluarkan darah
sehingga kijang itu mati. Seorang setan kulit putih lain mengangkat tongkat,
mengeluarkan suara keras, dan seekor kijang lain jatuh mati. Ini terjadi berulang-
ulang, selain pada kijang juga pada hewan ternak. Saya mencoba mengangkat
tongkat dan berteriak “Dor!” sekeras-kerasnya. Sayangnya, suara saya tidak
cukup keras untuk membunuh seekor laba-laba pun, apalagi salah satu dari setan
kulit putih itu.
Dalam masing-masing kasus, si pembicara menemukan korelasi yang positif antara dua
kondisi atau kejadian. Apa yang terjadi sebelum akibat dianggap sebagai sebab, dan itu
menjadi satu-satunya bukti yang diberikan untuk menarik kesimpulan.
Pada contoh (1), si pembicara secara implisit menyimpulkan bahwa minum air yang
mengandung fluor telah menyebabkan teman-temannya meninggal kena serangan jantung.
Namun, tanpa bukti lebih lanjut, kesimpulannya belum dapat dipercaya. Dia melakukan
kesalahan penalaran post hoc. Karena dia berusia 80 tahun, barangkali teman-temannya pun
104
sudah tua juga, dan mereka meninggal karena memang sudah lanjut usia. Tentu saja,
mungkin ada hubungan kausal antara minum air yang menandung fluor dengan serangan
jantung pada orang lanjut usia, tetapi tanpa penelitian dan bukti lebih lanjut, hipotesis ini
tidak dapat diterima.
Dalam contoh (2), si pembicara sudah benar menghubungkan suara senjata dengan
kematian. Tetapi hubungan itu adalah korelasi, bukan kausal. Karena kita tahu bagaimana
sebuah senjata dapat membunuh, dengan mudah kita dapat menerangkan kepadanya bahwa
dia telah salah menginterpretasikan bukti yang dimilikinya.
Menanggapi Kesalahan Penyebab yang Salah
Tanggapan atas kesalahan tentang penyebab sama dengan cara menghadapi kesalahan-
kesalahan kausal sebelumnya. Kita meminta si pembicara menilai kembali data yang ada
untuk membuatnya menyadari bahwa dia mungkin telah salah menginterpretasikannya. Jika
dia cuma ceroboh dan jika kita tahu penyebab yang sebenarnya, kita cukup menjelaskan
kepadanya letak kesalahannya. Ini yang terjadi pada contoh (2). Cara lain adalah kita dapat
menjelaskan padanya mengapa korelasi tidak sama dengan hubungan kausal. Lalu, mintalah
kepadanya untuk memberikan lebih banyak bukti yang menunjukkan hubungan kausal antara
kejadian-kejadian itu.
9.5.4. Mengacaukan Penyebab Yang Berupa Necessary Condition dengan Sufficient
Condition
Kesalahan ini terjadi ketika seseorang salah menganggap atau mengacaukan suatu penyebab
yang merupakan necessary condition dengan penyebab yang merupakan sufficient condition
bagi akibatnya. Ini paling mungkin terjadi jika pembicara tidak memahami term-term
kondisional seperti yang telah dijelaskan di pasal 1. Perhatikanlah contoh berikut.
(1) Donna, kamu bilang jika saya ingin membuat kue yang bagus, saya harus
menggunakan telur segar. Saya sudah mencobanya. Tapi kue yang saya buat
jadi bantat dan tidak enak. Pesta saya jadi berantakan. Saya tidak akan pernah
mengikuti nasehatmu lagi.
(2) Profesor, Bapak mengatakan bahwa saya tidak akan dapat A untuk mata kuliah
ini kecuali saya mendapat nilai 80 pada ujian akhir. Dan saya memang dapat
80. Tetapi Bapak berbohong. Bapak hanya memberi saya nilai B. Saya ingin
protes.
105
Pada contoh (1), maksud pernyataan Donna adalah bahwa telur segar merupakan bahan
yang diperlukan (necessary) untuk membuat kue yang baik. Kita tidak tahu apakah si
pembicara melaksanakan juga necessary condition lainnya seperti oven yang panas. Dalam
kasus ini, ia menyimpulkan bahwa telur yang segar sudah memadai (sufficient) untuk
menghasilkan kue yang baik. Ini jelas salah. Orang sering salah paham mengenai term
kondisional. Kata-kata seperti hanya dan kecuali sering kali digunakan untuk mewakili
kondisi yang perlu (necessary) sekaligus memadai (sufficient). Penggunaan kata-kata secara
kacau seperti ini menunjukkan bahwa mereka tidak memahami secara jelas struktur bahasa.
Pada contoh (2), si pembicara juga melanggar hal ini. Dia beranggapan bahwa sang
profesor berkata bahwa mendapat nilai 80 pada ujian akhir merupakan syarat yang memadai
untuk memperoleh nilai A untuk mata kuliah itu. Pernyataan sang profesor memaksudkan
nilai 80 sebagai syarat yang perlu (necessary condition). Mungkin sang profesor harus
mengungkapkan maksudnya dengan lebih jelas jika dia tahu bahwa orang sering
menyalahartikan term kondisional. Karena kita tidak tahu apa lagi yang sebenarnya dikatakan
oleh sang profesor, kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak. Namun berdasarkan bukti-
bukti yang ada, protes si pembicara tidak dapat diterima.
Menanggapi Kesalahan Mengacaukan Syarat yang Perlu dengan Syarat yang Memadai
Cara terbaik untuk menghadapi kesalahan ini adalah mencoba mencegahnya. Harus
dipastikan bahwa kita menggunakan term-term secara benar dan bahwa orang lain memahami
apa yang kita katakan. Karena orang sering kali tidak memahami term kondisional, harus
digunakan cara lain untuk membuat maksud kita jelas. Jika kesalahan ini terjadi, kita perlu
menerangkan arti term kondisional. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah
menunjukkan contoh yang jelas di mana kesalahan seperti ini terjadi. Contoh (1) merupakan
contoh yang cukup jelas. Coba pikirkan contoh lain juga. (Lihat kembali pasal 1 yang
membahas term kondisional. )
Latihan 9.4 (Kesalahan Kausal)
Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah si pembicara sedang ingin mempengaruhi
kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan sebutkan namanya.
1. Tentu saja Tanya mendapat nilai bagus. Dia, ‘kan, anak emas guru.
106
2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 90% dari mereka yang merokok berat juga
minum paling sedikit 5 gelas kopi setiap hari. Menurut saya cukup jelas bahwa banyak
merokok menyebabkan orang banyak minum kopi.
3. Mati aku. Aku tadi melakukan apa, ya? Begitu aku masuk ke restoran itu, Jill berdiri dan
pergi dengan terburu-buru lewat pintu belakang. Aku pasti melakukan suatu kesalahan
sehingga dia pergi seperti itu.
9.7 Kesalahan Analogi
Kesalahan analogi terjadi ketika orang menggunakan analogi yang tidak tepat atau yang
menyesatkan dalam argumennya. Dari sudut pandang logika, argumen analogi bukanlah
argumen yang paling baik. Analogi dapat merupakan cara pandang yang original, kreatif, dan
menohok pikiran. Namun analogi tidak dapat menggantikan argumentasi langsung mengenai
suatu sudut pandang. Ketika pembicara menggunakan analogi yang buruk atau tidak cocok,
argumennya seharusnya ditolak. Sayangnya, orang-orang tetap saja mungkin terpengaruh.
Perhatikanlah contoh berikut.
Negara itu seperti sebuah kapal, dengan presiden sebagai kapten kapalnya.
Seperti juga seorang kapten harus dipatuhi tanpa dipertanyakan, demikian pula
seorang presiden harus mendapat kesetiaan dan kepatuhan dari kabinetnya. Analogi dalam contoh ini merupakan analogi yang buruk. Pertama, ada banyak aspek
yang membuat sebuah negara sangat berbeda dengan sebuah kapal. Salah satu aspek yang
paling penting adalah: kapal selalu berada dalam situasi yang berubah dengan cepat, penuh
stres dan bahaya. Ini menuntut tindakan yang terpadu dan segera. Negara tidak demikian,
kecuali dalam keadaan perang atau ketika menghadapi masalah seperti bencana alam atau
masalah-masalah mendesak lainnya. Biasanya, kita mempunyai waktu untuk mendiskusikan
dan merefleksikan situasi yang ada sehingga keputusan yang diambil pun lebih bijaksana.
Karena itulah kapten diberi kekuasaan yang mirip diktator sementara presiden lebih baik
tidak. Jadi, kesimpulan yang diperoleh dari argumen di atas lemah.
Kedua, dasar analogi itu lemah. Bahkan dalam situasi yang sangat berbahaya pun, tidak
benar bahwa kapten harus dipatuhi tanpa dipertanyakan; misalnya, apakah si pembicara akan
tetap meyakini pendapatnya jika kaptennya mabuk atau gila. Lalu, apakah presiden harus
dipatuhi jika dia gila, atau jika dia memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan
kriminal atau tindakan yang melawan undang-undang dasar? Seperti juga seorang anak buah
kapal wajib melawan perintah kapten, begitu juga kabinet wajib melawan presiden dalam
kasus seperti itu. Jadi, kesimpulan di atas tidak dapat diterima.
107
Menanggapi Analogi yang Salah
Secara umum, ada dua cara menanggapi analogi yang salah. Pertama, dengan menunjukkan
bahwa hal-hal yang dianalogikan mempunyai terlalu banyak perbedaan yang relevan
sehingga kesimpulannya tidak meyakinkan. Ini seperti respon pertama kita pada contoh di
atas. Kedua, dengan menunjukkan kelemahan analogi itu, dengan cara melanjutkan analogi
itu hingga mencapai kesimpulan yang tidak dapat diterima si pembicara. Ini seperti kritik
kedua kita pada contoh di atas. Si pembicara mungkin menjawab bahwa kita tidak boleh
terlalu serius menanggapi analogi ini. Ini, ‘kan, hanya analogi. Kita dapat menyetujui bahwa
ini memang hanyalah analogi. Lalu, mintalah alasan lain yang lebih langsung untuk
meyakinkan kita akan kebenaran kesimpulannya.
Latihan 9.5 (Analogi yang Salah)
Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah: si pembicara sedang ingin mempengaruhi
kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan jelaskan juga bagaimana Anda
akan menyerang analogi ini.
1. Kalau kamu memancung kepala seseorang, maka organnya yang lain tidak akan dapat
lagi berfungsi, dan orang itu akan mati. Begitu pula kalau kamu memenggal kepala suatu
negara, maka negara itu akan mengalami kekacauan untuk beberapa waktu, dan sudah
pasti negara itu akan hancur dengan berjalannya waktu atau menjadi sasaran empuk bagi
negara-negara tetangganya. Jadi, mengkudeta pemerintah yang sudah mapan tidak akan
pernah menguntungkan negara mana pun.
2. Menghisap rokok sama saja dengan menelan arsenik. Keduanya sudah terbukti
menyebabkan kematian. Jadi, jika kamu tidak ingin menelan sesendok arsenik, maka
kamu pun seharusnya tidak ingin terus merokok.
3. Dunia ini seperti sebuah jam. Keduanya merupakan sistem yang terdiri dari bagian-bagian
yang bergerak, yang diatur secara sangat tepat, mempunyai keseimbangan dan gerakan
yang seragam dan berulang-ulang. Karena jam diciptakan oleh seseorang, maka dunia
juga pasti mempunyai pencipta. Pencipta itu kita sebut Tuhan.
Latihan 9.6 (Kesalahan Induksi)
Untuk masing-masing soal berikut, identifikasilah: si pembicara sedang ingin mempengaruhi
kita untuk meyakini apa. Jelaskan kesalahannya, jika ada, dan sebutkan nama kesalahan itu.
108
1. Saya minum vodka dicampur air pada hari Senin, dan saya mabuk. Saya minum scotch
dicampur air pada hari Selasa, dan saya mabuk. Saya minum wiski dicampur air pada hari
Rabu, dan saya mabuk. Nah, jelas, bukan? Minum air membuat kita mabuk.
2. Jenny merokok berat, dan ketika dia tidak merokok, dia mengunyah tembakau.
Kemungkinan dia akan menderita kanker paru-paru atau kanker mulut.
3. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mendapat nilai baik belajar sekitar tiga jam
setiap hari. Kamu ingin mendapat nilai baik, ‘kan? Yang perlu kamu lakukan cuma
belajar sekitar tiga jam setiap hari.
109
DAFTAR PUSTAKA
Ackrill, J. L. 1961. Aristotle’s Categories and De Interpretatione. Clarendon Aristotle Series.
Oxford: Clarendon Press.
Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Bierman, A. K. dan Assali, R. N. 1994. The Critical Thinking Handbook. New Jersey:
Prenctice Hall.
Bittle, C. N. 1950. The Science of Correct Thinking: Logic. Milwaukee: The Bruce
Publishing Company.
Copi, I. M. dan Cohen, C. 1990 (ed. ke-8). Introduction to Logic. Ohio: Macmillan.
Dolhenty, J. 2001 (ed. ke-9). The Problem of Knowledge: A Brief Introduction to
Epistemology. Oregon: The Radical Academy.
Owen, G. E. L., ed. 1968. Aristotle on Dialectic: The Topics. Proceedings of the Third
Symposium Aristotelicum. Cambridge: Cambridge University Press.
Ryle, G. 1949. The Concept of Mind, London: Hutchinson.
Smith, Robin. 2000. “Aristotle’s Logic” [email protected] dalam situs web
Stanford Encyclopedia of Philosophy.
Takwin, B. 2005. Kesadaran Plural: Sebuah Sintesis Rasionalitas Dan Kehendak Bebas.
Yogyakarta: Jalasutra.