Download - Blok 12 pbl
Infeksi Luka yang Mengakibatkan Tetanus
William Prima Christian Kiko
102011407
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat 11470
Email: [email protected]
Pendahuluan
Tetanus mungkin merupakan salah satu nama penyakit yang sering didengar. Tetanus biasa
dihubungkan dengan benda tajam yang berkarat. Tidak hanya orang dewasa, tetapi bayi juga
mempunyai resiko yang cukup tinggi, terkena tetanus, terutama saat proses persalinan. Karena
tetanus merupakan penyakit yang cepat berkembang menjadi fatal maka kita perlu mengetahui
sumber penularannya, pencegahan yang dapat dilakukan, pengobatan, serta komplikasi yang
dapat timbul.1
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. 2
Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat dan dihasilkan oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat
saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid).
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusar.3 Tetanus
dikarakteristikan dengan kekakuan umum dan kejang kompulsif pada otot-otot rangka.
Kekakuan otot biasanya dimulai pada rahang ( lockjaw ) dan leher dan kemudian menjadi umum.
Tetanus merupakan salah satu penyakit yang jika tidak segera diobati akan menyebabkan
kematian. Luka dapat berukuran besar atau kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini, tetanus sering
terjadi melalui luka- luka yang kecil.
Penyakit ini merupakan penyakit yang serius namun dapat dicegah kejadiannya pada
manusia. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit
| Penatalaksanaan pada Tetanus 1
yang membebani di seluruh dunia terutama di Negara beriklim tropis dan negara–negara sedang
berkembang, sering terjadi di brasil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara lain di benua Asia.
Karena tetanus merupakan penyakit yang cepat berkembang menjadi fatal, maka kita
perlu mengetahui sumber penularannya, pencegahan yang dapat dilakukan, pengobatan dan
komplikasi yang dapat timbul.
Pada skenario kasus yang dibahas, Tetanus terjadi karena adanya luka robek (Vulnus
Laceratum). Luka adalah cedera (injury) atau rudapaksa (trauma) yang terjadi pada setiap
jaringan tubuh yang berakibat terputusnya atau discontinuity jaringan. Ada berbagai macam
penyebab luka yaitu mekanik, termal, elektris, khemis, dan biologis. Luka robek (Vulnus
Laceratum) termasuk dalam macam penyebab luka mekanik.4
Pemeriksaan
Untuk dapat menegakan diagnosis suatu penyakit diperlukan kemampuan dan
keterampilan dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan pada organ-organ dengan
gangguan/kelainan yang diderita atau yang sedang dialami oleh pasien. Pemeriksaan tersebut
meliputi pemeriksaan fisik dan penunjang.
Anamnesis
a. Menanyakan identitas pasien : nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis
kelamin, umur, suku agama, alamat lengkap, pendidikan, pekerjaan dan status
perkawinan.
b. Menanyakan keluhan utama : keluhan utama pasien datang untuk berobat :
demam, mulut terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan.
c. Menanyakan riwayat penyakit sekarang : apakah panasnya naik turun atau
panasnya tidak pernah turun, sudah berapa lama demam. Apakah sebelumnya
pasien pernah terluka atau tertusuk, atau terjatuh dan ada luka ditempat yang
kotor. Keluhan-keluhan penyerta : kaku pada mulut, teraba panas dan bengkak
pada daerah yang terluka dan dari sela-sela luka yang dijahit keluar nanah.
Informasi bisa didapat dari keluarga pasien.
d. Riwayat penyakit dahulu : apakah pernah mengalami demam sebelumnya,
mengalami kecelakaan dijalan yg kotor dan terdapat luka yang penuh dengan
| Penatalaksanaan pada Tetanus 2
debu dan kotoran, riwayat pemberian ATS (anti tetanus toxoid), apakah pernah
menderita riwayat penyakit yang lain dan pernahkah dirawat dirumah sakit.
Tanyakan adakah riwayat alergi, riwayat penyakit jantung, ginjal, hati, DM dan
penyakit infeksi lain. Riwayat pemberian ulang vaksin DT (dipteri dan tetanus)
pada saat dewasa umur 19 tahun. Adakah riwayat penyakit keluarga seperti
epilepsi, jantung, ginjal, hepatitis, TBC, alergi.
e. Menanyakan riwayat sosial : lingkungan tempat tinggal contohnya tinggal dekat
pembuangan sampah atau didaerah yang tidak bersih. Hygiene contohnya pasien
tidak pernah bersihkan badannya, saat ada luka pasien tidak pernah merawatnya,
apakah perawatan luka menggunakan bahan yang kurang aseptic, sosial ekonomi :
bekerja sebagai pemulung, tukang bangunan, rumah didaerah pertenakan.
Dari anamnesis, diketahui pasien seorang laki-laki berusia 22 tahun dibawa ke
UGD RS karena demam, mulut terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah
sebelah kanan. Dari hasil inspeksi, pasien mengalami kulit luka tampak
kemerahan, teraba panas, bengkak, dan keluar nana disela luka namun tidak diberi
antibiotik. Tekanan darah 110/70 mmHg dengan denyut nadi 82x/menit.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat kita lihat dengan adanya luka dan gejala-gejala yang khas
pada penyakit. Pada kasus ini, pasien terlihat sakit sedang, mulut hanya bisa dibuka
maksimal 2 jari, serta terdapat kekakuan pada wajah (Rhisus sardonikus), leher dan
anggota gerak. Perutnya juga kaku seperti papan dan telapak kaki kanan bengkak dengan
kulit tegang kemerahan. Telapak kakinya yang tertusuk paku juga ditemukan luka tusuk
yang dalam dan bernanah. Dilakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, frekuensi nafas
dan suhu badan, lalu didapatkan frekuensi nafasnya lebih dari normal dan pasien demam
(38,3oC).
Pemeriksaan Penunjang
| Penatalaksanaan pada Tetanus 3
Pemeriksaan Laboratorium Bakteriologik
Hanya pada sebagian kecil penderita, pada pemeriksaan laboratorium akan
didapatkan C. tetani bentuk berspora dari sediaan yang diambil dari luka pada pewarnaan
gram atau biakan anaerob. Pada pemeriksaan dan karakteristik pada kultur, Clostridium
tetani merupakan batang positif gram yang ramping, bergerak, bersifat anaerob obligat
dan tidak berkapsul. Walaupun demikian, bakteri ini dapat juga bersifat negatif gram
pada biakan yang sangat muda atau sangat tua. Bakteri ini dengan mudah membentuk
spora di alam dan pada biakan, dengan menghasilkan spora dengan terminal bulat yang
khas sehingga memberi kesan seperti raket tennis (drumstick).1
Diagnosis
Work Diagnosis ( Diagnosis Kerja)
Dari skenario kasus yang diperoleh dari anamenis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan, diagnosis kerja yang diperoleh adalah tetanus dan Vulnus laceratum (
luka robek ).
Diferential Diagnosis (Diagnosis Pembanding)
Adapun beberapa penyakit yang gejala-gejalanya mirip dengan tetanus dan Vulnus
laceratum ( luka robek ), seperti :
Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia
yang berakibat fatal.Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus
Lyssa-virus, family rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang
terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain ialah hydrophodia, ia rage (perancis), ia
rabbia (italia), ia rabia (spanyol), die tollwut (jerman) atau di Indonesia dikenal
sebagai penyakit anjing gila.4
Keracunan Striknin
Keracunan striknin dapat menyerupai tetanus dengan peningkatan eksibilitas neuron
akibat gangguan pada inhibisi postsinaps, pengobatan yang sedang berkembang bagi
kedua keadaan adalah serupa, dan pemeriksaan biokimia untuk striknin dapat
menegakkan diagnosis.1
| Penatalaksanaan pada Tetanus 4
Meningoencephalitis
Pada meningoencephalitis dapat ditemukan dysphagia dan kaku pada leher.9 Juga
ditemukan demam dan cairan cerebrospinal yang tidak normal, ditambah dengan tidak
adanya trismus merupakan perbedaannya dengan tetanus.10
Vulnus laceratum
Vulnus atau luka, terutama luka robek pada kulit kaki kanan seperti yang tergambar pada
kasus diatas, dapat terkontaminasi dengan berbagai jenis kuman atau bakteri, yang sebelumnya
bersifat flora normal pada manusia. Flora normal merupakan suatu sel prokariot (bakteri) yang
berkompetisi dengan patogen pada tempat kolonisasi dan menghasilkan substansi antibiotik
(bakteriosin) yang akan menekan organisme yang berkompetisi dengannya. Flora normal
terdapat pada tempat-tempat tertentu pada tubuh manusia. Jika flora normal berpindah tempat
dari tempatnya sebelumnya, maka flora normal akan menyebabkan suatu pengaruuh yang
merugikan bagi tubuh.1
Flora normal yang berkaitan dengan luka pada kulit kaki kanan sesuai dengan kasus yang
didapat adalah flora yang terdapat pada sawar fisik tubuh yakni kulit, diantara stafilokokus,
streptokokus, corynebakteria, propionilbakteria, dan ragi. Jika flora normal ini masuk ke dalam
luka robek, terutama dibagian subkutis, maka flora normal ini kemudian akan emberikan
pengaruh yang merugikan dengan berbagai toksin ang dihasilkannya. Dalam hal ini kelompok
yang memiliki peranan yang paling kuat dalam menginfeksi luka robek pada kulit ialah
streptokokus dan stafilokokus, yang keduanya sebagian besar merupakan jenis bakteri positif
Gram.1
Penanganan luka
Dalam skenario, diketahui bahwa pasien mengalami luka robek pada tungkai bawah
kanan. Pada hakekatnya, luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat
disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul (mekanik), perubahan suhu (termal), zat kimia
(khemis), ledakan, sengatan listrik (elektris), atau gigitan hewan (biologis). Dalam hal ini, pasien
pada skenario mengalami luka mekanik (kecelakaan).4
Proses kemudian yang terjadi dalam penangan luka akibat kecelakaan tersebut terutama
pada jaringan yang rusak ini adalah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu
fase inflamasi, proliferasi, dan penyudahan yang merupakan remodelling jaringan.4
| Penatalaksanaan pada Tetanus 5
Fase inflamasi
Fase inflamasi, berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima. Pembuluh
darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha
menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang terputus
(retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh
darah saling melengket, dan bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang keluar
dari pembuluh darah. Sementara itu, terjadi reaksi inflamasi.4
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi
setempat yang menyebabkan oedem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis reaksi radang
menjadi jelas yang berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor),
nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).4
Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh
darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik
yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian
muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini
disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya
dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.4
Fase proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir
mingggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang
akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblast, dan
kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus
yang disebut jaringan granulasi epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya
dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk
dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi kearah yang lebih rendah atau datar. Proses ini
baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan
tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga
akan berhenti dan mulailah proses pematangan.4
| Penatalaksanaan pada Tetanus 6
Fase penyudahan
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan
yang belebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya peruapan kembali jaringan
yang bari terbentuk. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas,
serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka.4
Klasifikasi penyembuhan luka
Penyembuhan luka dibagi menjadi dua, yakni penyembuhan luka primer dan sekunder.
Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem, yang terjadi bila luka segera bertaut,
biasanya dengan bantuan jahitan. Parut yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil, sedangkan
penyembuhan sekunder atau sonatio per secundam intentionerm, penyembuhan kulit luka tanpa
pertolongan dari luar. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel.4
Berdasarkan skenario, maka penyembhan luka yang dilakukan oleh mantri tersebut
termasuk ke dalam golongan penyembhan primer atau sonatio per primam intentionem.
Gangguan penyembuhan luka
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh sendiri (endogen)
atau oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Endogen terdiri dari koagulopati, ganggguan
sistem imun, hipoksia lokal, gizi (kelaparan), malabsorbsi (penyakit saluran cerna), gangguan
metabolisme, neuropati, infeksi jamur, keadaan umum kurangbaik; sedangkan eksogen, terdiri
dari pascaradiasi, imunosupresi (pemberian obat), infeksi (TBC), luka artifisial, jaringan mati
(nekrosis), pendarahan kurang.4
Pengobatan terhadap Vulnus laceratum
Pertama dilakukan anestesia setempat atau umum, tergantung berat dan letak luka, serta
keasaan penederita. Luka dan sekitarnya dibersihkan dengan antiseptik, kalau perlu dicuci
dengan air sebelumnya. Bahan yang dapat dipakan ialah larutan yodium povidon 1% dan larutan
klorheksidin 0,5% (larutan yodium 3% atau alkohol 70% hanya digunakan untuk membersihkan
kulit di sekitar luka). Kemudian, daerah sekitar lapangan kerja ditutup dengan kain steril dan
secara steril dilakukan kembali pembersihan luka dari kontaminan secara mekanis. Misalnya,
pembuangan jaringan mati dengan gunting atau pisau (debridemen) dan dibersihkan dengan
bilasan cairan NaCL. Akhirnya dilakukan penjahitan dnegan rapi. Bila diperkirakan aakan
| Penatalaksanaan pada Tetanus 7
terbenuk atau dikelurakan cairan yang berlebihan, perlu dibuat penyaliran. Luka ditutup
denganbahan yang dapat mencegah lengketnya kasa (kasa dengan veselin), ditambah dengan
kasa penyerap, dan dibalu dengan pembalut elastis.4
Infeksi luka terjadi jika luka yang terkontaminasi dijahit tanpa pembilasan dan eksisi
(pengangkatan jaringan) yang memadai. Pada keadaan demikian, luka harus dibuka kembali,
dibiarkan terbuka dan penderita diberi antibiotik sesuai dengan hasil biakan dari cairan luka atau
nanah.4
Komplikasi Vulnus
Pengobatan terhadap luka bisa saja dilakukan, tetapi komplikasi yang menyertainya harus
mendapat perhatian yang patut diwaspadai. Luka yang mendapat tindakan bedah (misal jahitan)
daapt memiliki komplikasi yang serius jika tidak ditangani dengan baik. Luka bedah pada
umunya diklasifikasikan sebagai bersih (Kelas I), bersih terkontaminasi (Kelas II),
terkontaminasi (Kelas III) atau kotor (IV).4
Luka bersih. Luka kelas I pada traktus GIT dan respiratorius yang tidak dibuka selama
perjalanan operasi. Penyebab infeksinya dapat berupa bakteri aerob endogen seperti stafilokokus
yang memasuki luka pada waktu pembedahan berlangsung.
Luka bersih terkontaminasi. Luka kelas II berhubungan dengan pembedahan terencana
traktus GIT atau respiratoriusnya telah dibuka sewaktu operasi berlangsung. Penyebab primer
infeksi adalah mikroflora endogen dari organ yang telah direseksi.4
Luka terkontaminasi. Luka kelas III mencakup luka yang ditemukan pada peradangan
akut (tanpa pembentukan pus) atau tumpahan hebat isi GIT. Infeksi terutama disebabkan oleh
bakteri endogen.4
Luka kotor. Luka kelas IV mencakup luka yang dijumpai nanah (pus) berlebihan pada
operasi, biasanya akibat perforasi suatu organ; dan infeksi terutama disebabkan oleh mikroflora
endogen yang terlibat.4
Berdasarkan kasus yang didapat, kemungkinan yang terjadi pada pasien yang mengalami
infeksi dari kakinya yang luka tersebut adalah akibat dari luka kotor pascaoperasi yang ia alami,
sehingga memungkinkan bakteri clostridium tetani menginfeksi luka tersebut sehingga
menyebabkan komplikasi tetanus, yang bermula dari tindakan penanganan luka yang disertai
tdak diberikannya antibiotik dalam penangan selanjutnya.
| Penatalaksanaan pada Tetanus 8
Faktor-faktor non-antibiotika yang mempengaruhi komplikasi dan angka infeksi luka
(vulnus) pascabedah dapat berupa teknik cuci prabedah, kerusakan pada sarung tangan operasi,
bahan-nahan sawar dan sistem udara beraliran laminar didalam kamar bedah, peralatan bedah
yang kurang steril , dll.4
Pengobatan infeksi luka
Terapi meliputi pemberian penisilin parenteral serta debridemen segera agresif atas
seluruh jaringan yang terkena infeksi. Terapi tepat infeksi yang terletak profunda pada penderita
bedah tersering memerlukan terapi operatif dan antimikorba (antibiotik). Dalam kebanyakan
infeksi bedah, terapi antibiotika saja idak akan menyebabkan kesembuhan, sehingga harus
dilakukan intervensi bedah, yakni eksplorasi untuk menentukan luas keterlibatan infeksi. Pada
waktu eksplorasi, jaringan nekrotik yang tak mungkin hidup harus dieksisis luas. Kematian
jaringan dapat dieprkirakan bila dijumpai daerah yang berbau bususk dan gangrenosa. Jaringan
sekitarnya dapat dibuka untuk melihat ada tidaknya persediaan darah yang aktif.4
Terapi bedah bagi abses memerlukan insisi dan drainase nanah (pus) setempat. Setelah
drainase materi purulenta yang mencakup bakteri, leukosit dan debris, maka pengisian dengan
antiseptik yang berulang akan menutup lubang abses dengan jaringan normal. Bila abses terletak
profunda, maka diperlukan juga antibiotika parenteral untuk mencegah invasi bakteri dalam
jaringan sekitarnya atau dalamperedaran darah pada waktu dilakukan drainase bedah. Selama
melakukan drainase, eksplorasi manual dapat mendeteksi bidang jaringan di antara lokasi pus
yang harus diputuskan untuk memebebaskan semua infeksi lokalisata. Drainase mekanik tertutup
diperlukan pada infeksi terletak profunda, sehingga dapat terjadi dekompresi yang tuntas untuk
membantu mencegah kekambuhan infeksi.4
Tetanus
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang menginfeksi suatu luka yang cukup
dalam, yang berkembang baik dalam suasana kondisi anaerob. Hal ini merupakan komplikasi
yang terjadi akibat dari luka (terutama luka robek yang melintasi sawar kulit tubuh manusia)
yang tidak terawat atau ditangani dengan baik.
| Penatalaksanaan pada Tetanus 9
Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu
dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian tidak
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan.8
Tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di negara
beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang, sering terjadi di Brazil, Filipina,
Vietnam, Indonesia, dan negara lain di benua Asia. Di negara yang telah maju seperti Amerika
Serikat, tetanus sudah sangat jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan
baik di samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena tingkat
kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka kurang
diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan
terhadap tetanus.10 Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua.7
Tetanus dapat merupakan komplikasi penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangren.
Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan, absorsi dan
adanya porte d’entrée.
Port of entry tidak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui:
1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.
2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik.
3. OMP, caries gigi.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
5. Penjahitan luka robek yang tidak steril.
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini berspora dan
bersifat obligat anaerob, bukan saja tidak bisa hidup dengan udara tapi bakteri ini juga selalu
mati dengan adanya O2, kecuali bila bakteri ini wujud dalam bentuk endospore. Selalu dijumpai
| Penatalaksanaan pada Tetanus 10
pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang
terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut.11 Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk
oval, menyerupai drumstick. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun jika ia
menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, tahan
terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadapa berbagai disinfektan dan pendidihan
selama 20 menit.
Clostridium tetani tidak bersifat invasif. Kumannya tetap berada di luka. Spora akan
menjadi bentuk vegetatif dan eksotoksin akan dibentuk apabila keadaannya memungkinkan yaitu
keadaan anaerob yang biasanya terjadi karena adanya jaringan nekrotik, adanya garam kalsium,
adanya kuman piogenik lainnya, vaskularisasi yang tersumbat, dan bekas pemotongan tali
pusat.9,12
Clostridium tetani menghasilkan neurotoxin, suatu eksotoksin, tetanospasmin yang
dilepaskan ketika sel lisis.8-9 Tetanospasmin bertanggung jawab untuk menimbulkan manifestasi
klinik dari tetanus yaitu kejang opistotonus dan kekakuan pada wajah, leher, perut dan anggota
gerak.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, yaitu bakteri
masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama
tetanus neonatorum.11
Gambar Clostridium tetani 11
Faktor-Faktor Resiko
Kemungkinan terserang tetanus semakin besar pada individu yang9:
| Penatalaksanaan pada Tetanus 11
Tidak mendapat vaksinasi lengkap atau tidak melakukan pengulangan. Usia tua juga
memperbesar resiko terserang tetanus karena imunitas terhadap tetanus sudah menurun.
Mengalami luka bakar dan luka robek.
Mengalami injeksi intramuskuler.
Bertato.
Frosbite yang sering ditemukan pada pendaki gunung.
Infeksi gigi seperti periodontal abscesses.
Mengalami luka tembus pada mata.
Infeksi pada luka pemotongan tali pusar.
Diabetes mellitus (mengalami gangren atau borok).
Mengalami luka kronik seperti borok, abses, gangren, dan operasi.
Patofisiologi
Tetanus dapat terjadi apabila tubuh terkena luka dan luka tersebut kemudian
terkontaminasi oleh spora dari Clostridium tetani.10 Bentuk spora dari bakteri akan berubah
menjadi vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut
(anaerobic) dan kemudian mengeluarkan eksotoksin yang menyebar ke seluruh bagian tubuh
melalui peredaran darah dan sistem limpa. Dua macam eksotoksin yang dihasilkan, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Kuman tetanusnya sendiri akan tetap tinggal di daerah luka,
sehingga tidak ada penyebaran kuman.
Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal
dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
end plate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf
tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke
SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf
tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu Gama Aminobutyric Acid (GABA) dan
glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk
kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi
kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia
| Penatalaksanaan pada Tetanus 12
timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami
kejang umum yang spontan.
Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi
namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.13
Gejala Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu). Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:10
Localized tetanus (Tetanus Lokal)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda
dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa
berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari
klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian
profilaksis antitoksin.
Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar
1–2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada
daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Generalized tetanus (Tctanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan
otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya
kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin)
yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding
perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran
nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan
| Penatalaksanaan pada Tetanus 13
pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun
bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak
stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan
hanya berdasarkan gejala klinis.
Klasifikasi tingkat keparahan tetanus10:
Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernapasan, tanpa
spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
Derajat II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang Nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang,
gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.
Derajat III (berat)
Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex berkepanjangan, frekuensi
pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
Derajad (IV) sangat berat
Derajat 4 dengan gangguan otonomik berat melibatkan system kadiovaskular. Hipertensi
berat takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia,salah satunya dapat
menetap.
Tabel 1.
Keempat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips):
Tolah ukur Nilai
Masa inkubasi
Kurang 48 jam 5
2-5 hari 4
6-10 hari 3
11-14 hari 2
lebih 14 hari 1
Lokasi infeksi Internal/umbilikal 5
Leher, kepala, dinding tubuh 4
Ekstremitas proksimal 3
| Penatalaksanaan pada Tetanus 14
Ekstremitas distal 2
Tidak diketahui 1
Imunisasi
Tidak ada 10
Mingkin ada/ibu mendapat 8
Lebih dari 10 tahun yang lalu 4
Kurang dari 10 tahun 2
Proteksi lengkap 0
Faktor yang
memberatkan
Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa 10
Keadaan yang tidak langsung membahayakan
jiwa 8
Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
A.S.A.** derajat 1
** Sistim penilaian untuk menentukan risiko penyulit
Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya ataupun konsekuensi dari terapinya
(terjadi perubahan fisiologi kardiovaskular, ginjal dan respirasi).7-8
Komplikasi pada jalan nafas:
Aspirasi* (Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air didalam rongga
mulut karena pasien mengalami disfagia, dan keadaan ini memungkinkan terjadinya
aspirasi serta dapat menyebabkan pneumonia aspirasi)
Laringospasme/ obstruksi* (karena efek toksin yang menggangu neuromuskular
mengakibatkan spasme otot, spasme dapat terjadi pada otot laring)
Obstruksi berkaitan dengan sedatif*
Komplikasi pada respirasi:
Apnea*
Hipoksia*
| Penatalaksanaan pada Tetanus 15
Gagal nafas tipe 1* (atelektasis, aspirasi, pneumonia)
Gagal nafas tipe 2* (spasme laringeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan)
ARDS*
Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan seprti pneumonia
Komplikasi trakeostomi seperti stenosis trakea
Komplikasi pada kardiovaskuler:
Takikardia*, hipertensi*, iskemia*
Brakikardia*, hipotensi*
Takiartitmia*, brakiaritmia*
Asistol*
Gagal jantung*
Komplikasi pada ginjal:
Gagal ginjal curah tinggi*
Gagal ginjal oligouria*
Stasis urin dan infeksi
Komplikasi pada gastrointestinal:
Stasis gastter
Ileus
Diare
Pendarahan*
Komplikasi lainnya:
Pernurunan berat badan*
Tromboembolus*
Sepsis dengan gagal organ multipel*
Decubitus
Fraktur vertebra selama spasme )dapat terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat
pada waktu sedang kejang)
Ruptur tendon akibat spasme
*Komplikasi yang mengancam jiwa.
| Penatalaksanaan pada Tetanus 16
Penatalaksanaan
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organism yang terdapat dalam
tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang
terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisir; dan efek dari toksin yang
telah terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi.7
Penatalaksanaan umum:
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.7 Dan tujuan tersebut
dapat diperinci seperti berikut:
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penatalaksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.7,10
Obat-obatan : 10
Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan Tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/12 jam secafa IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan
preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi
| Penatalaksanaan pada Tetanus 17
2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena,
dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan
Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-
6000 U,satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena
TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk
menggunakan Tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U,
dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc
cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah
diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar.
Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
Tetanus selesai.
Tabel 2: PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN LUKA
RIWAYAT
IMUNISASILuka bersih, Kecil Luka Lainnya
(dosis) Tet. Toksoid
(TT)
Antitoksin Tet.Toksoid
(TT)
Antitoksin
| Penatalaksanaan pada Tetanus 18
Tidak
diketahui
ya tidak ya ya
0 – 1 ya tidak ya ya
2 ya tidak ya tidak*
3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak
Keterangan:
* : Kecuali luka > 24 jam
** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun (8, 16)
*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun (8,16)
Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada Tetanus Neonatorum adalah kejang klonik yang hebat,
muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat–obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.
Tabel 3: JENIS ANTIKONVULSAN
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam
Meprobamat
Klorpromasin
Fenobarbital
0,5 – 1,0 mg/kg
Berat badan / 4 jam (IM)
300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
Stupor, Koma
Tidak Ada
Hipotensi
Depressi pernafasan
Pengobatan menurut Adam .R.D. (1): Pada saat onset
3000 - 6000 unit, Tetanus immune globulin satu kali saja.
1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri
tetracycline 2 gram sehari.
Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
| Penatalaksanaan pada Tetanus 19
Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan tuk
mencegah cyanosis dan apnoe.
Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.
Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam
sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.
Pengobatan menurut Gilroy:
Kasus ringan : Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan
barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
Kasus berat :
1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team ).
2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap
satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.
3. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga dengan
respirator oleh tenaga yang berpengalaman.
4. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam
mencegah conjunctivitis.
5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari.
6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.
7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA.
8. Rontgen foto thorax.
9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan
pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan
beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
Pencegahan
Imunisasi aktif
Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu,
ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi).
| Penatalaksanaan pada Tetanus 20
Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita
usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT lifelong-card).
Pencegahan pada luka
Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang.
Luka ringan dan bersih.
o Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin.
o Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.
Luka sedang/berat dan kotor.
o Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus immunoglobulin 250-
500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain.
o Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U,
tetanus imunoglobulin 250-500 U(3).
Prognosis
Tetanus dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari selalu merupakan tetanus berat dimana
interval antara gejala pertama dan spasme generalisata adalah 3 hari atau kurang. Angka
kematian pada kasus ini adalah 80%. Sementara tetanus dengan masa inkubasi 7-10 hari dapat
berupaa tetanus sedang yang angka kematiannya bervariasi. Tetanus dengan masa inkubasi lebih
dari 10 hari biasanya merupakan tetanus ringan, terkadang tidak terjadi spasme generalisata,
prognosisnya baik.10
Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana : 9
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Prognosis tetanus neonatus jelek apabila:9-10
Umur bayi kurang dari 7 hari.
Masa inkubasi 7 hari atau kurang.
Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam.
| Penatalaksanaan pada Tetanus 21
Dijumpai kejang otot.
Jika bayi selamat dari tetanus neonatus, terdapat resiko yang meningkat untuk kerusakan
otak permanen dengan perkembangan yang terganggu dan kesulitan gerakan motorik.9
Kesimpulan
Pemeriksaan tetanus dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan darah, dan diagnosis. Setelah melakukan pemeriksaan barulah dilakukan tindakan
pengobatan seperti pemberian globulin anti tetanus, debridemen luka, dan antitoksin tetanus. Jika
pasien telah mengalami kejang, maka pasien diberikan obat yang bersifat melemaskan otot dan
untuk sedasi digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau diazepam. Pada tetanus berat kadang
diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil alih pernapasan memakai
respirator.
Pencegahan dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu perawatan luka yang adekuat dan
imunisasi aktif, penggunaan profilaksis antitoksin dan pemberian penisilin.
Masa inkubasi dan periode onset (periode awal yaitu masa dari timbulnya gejala klinis pertama
sampai timbul kejang) merupakan faktor yang menentukan prognosis. Kematian tertinggi yang
diakibatkan oleh tetanus yaitu anak-anak ( balita dan bayi) dan lansia.
Hipotesis diterima, Pasien mengalami Vulcus Laceratum yang mengakibatkan Tetanus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yulianto Arie. Luka terkena benda tajam, hati-hati tetanus. Diunduh dari:
http://www.tanyadokteranda.com/artikel/2007/07/luka-terkena-benda-tajam-hati-hati-
tetanus. 15 November 2012.
| Penatalaksanaan pada Tetanus 22
2. Batticaca F.B. Bab 8: Asuhan keprawatan klien dengan tetanus. Jakarta. 2008. P126-127.
3. Brooks A.G, Buthel S.J, Morse A.S. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC; 2007.
4. Henry N, Harun A. Buku ajar blok 12 ilmu bedah. Jakarta: FK Ukrida; 2012.
5. Beverly W. Kamus ringkas kedokteran stedman untuk profesi kesehatan. Edisi 4. Jakarta:
EGC; 2005.
6. Bickley S. Lynn. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 5. Jakarta:
EGC; 2008. Hal 15.
7. Sudoyo Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta: EGC; 2007. Hal 1777-1785.
8. Ismanoe G. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing; 2009: Bab 445.
9. Dire DJ. Tetanus [jurnal]: Deparment of emergency medicine. University of Texas-Houston.
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/786414-diagnosis. 1 5 November
2012.
10. Ritarwan K. Tetanus [jurnal]. Bagian Neurologi FK USU/ RSU H. Adam Malik. Diunduh
dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf. 15
November 2010 2 .
11. Adams. R.D. Tetanus: Principles of New'ology. New York: McGraw-Hill; 2007. H.1205-
1207.
12. Rahim A, Lintong M, Suharto, Jasodiwondo S. Buku Ajar Mikrobiologi kedokteran: Batang
positif gram. Edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara Publishing. Bab 19.
13. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. 2. 2004;Jakarta: EGC hlm.21-24.
| Penatalaksanaan pada Tetanus 23