Download - Buku Putih LUSI - Draft 2
1
Penanganan Semburan Lumpur Panas di Sidoardjo
Latar Belakang
Bencana semburan lumpur panas di Porong-Sidoarjo ini merupakan
bencana yang diakibatkan oleh kegiatan industri, dalam hal ini PT.
Lapindo Brantas, yang sejak awal bencana ini telah berupaya
menunjukkan tanggung jawabnya dalam menanggulangi dampak secara
langsung. Mengingat besarnya dampak semburan lumpur panas
tersebut terhadap kehidupan masyarakat, khususnya di Kabupaten
Sidorajo dan di Jawa Timur pada umumnya, Pemerintah menaruh
perhatian yang besar dalam penanganan dampak semburan lumpur
panas ini. Dalam beberapa kesempatan, Presiden Susilo B. Yudhoyono
memberi arahan agar penanggulangan dampak semburan lumpur panas
di Sidoardjo ini diupayakan sepenuh tenaga dengan memberikan
prioritas pada:
• Pencegahan jatuhnya korban jiwa dan perlindungan keselamatan
penduduk di lokasi kejadian semburan lumpur panas tersebut,
• Upaya memberikan alternatif sumber penghidupan bagi
masyarakat yang terkena dampak langsung dan melindungi
kehidupan masyarakat yang tergantung pada kelestarian
ekosistem Sungai dan Pesisir Laut di kabupaten Sidoardjo dan
sekitarnya.
Kementerian Lingkungan Hidup telah dan akan terus berupaya sekuat
tenaga untuk membantu mencari dan mengembangkan solusi
penanganan lumpur panas di Porong Sidoarjo. Melalui kesempatan ini
kami mengajak para pihak di Jawa Timur untuk mengembangkan
kreatifitas dalam upaya mencari solusi penanganan lumpur panas ini di
dalam koridor ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2
Upaya penegakan peraturan dan standar lingkungan yang telah kita
miliki merupakan tugas mulia dalam menjaga keselamatan masyarakat
setempat, baik yang sudah menjadi korban maupun yang berpotensi
menjadi korban pada bulan-bulan mendatang.
Pada kesempatan terdahulu, KLH menerima masukan dari berbagai
pakar tentang kemungkinan melakukan pembuangan air lumpur yang
telah diolah ke Selat Madura selepas muara sungai Porong. Sampai hari
ini, KLH masih mempelajari alternatif lokasi pelepasan air dari lumpur
panas tersebut yang paling kecil resiko kerusakan lingkungannya.
Perubahan Situasi
Ketika semburan lumpur terjadi pertama kali di sekitar Sumur Banjar
Panji 1 (BJP-1), volume lumpur yang dihasilkan masih pada tingkat
5,000 meter kubik per hari. Lubang semburan terjadi di beberapa
tempat, sebelum akhirnya menjadi satu lubang yang dari waktu ke
waktu menyemburkan lumpur panas dengan volume yang terus
membesar. Bahkan, salah seorang ahli Geologi independen menilai
bahwa semburan lumpur panas di Sidoardjo tidak lagi keluar dari
sebuah lubang akan tetapi melalui sebuah bidang semburan yang cukup
luas dan karenanya hampir tidak mungkin dihentikan semburannya.
Seiring dengan perjalanan
waktu, upaya-upaya untuk
menghentikan semburan
lumpur panas mengalami
kegagalan. Bila tadinya
semburan lumpur
diperkirakan dapat diatasi
dalam satu bulan, ternyata tenggat waktunya mundur menjadi bulan
Juli, dan lalu diundur lagi menjadi awal September. Ketika bulan
3
September tiba, tenggat waktunya ditunda lagi menjadi Desember, dan
saat laporan ini ditulis, Tim Nasional Penanggulangan Semburan
Lumpur di Sidoardjo memperoleh laporan bahwa upaya penghentian
semburan lumpur dengan membuat sumur-sumur pemadam semburan
(relief wells) sebanyak 3 buah mengalami hambatan. Baru satu sumur
pemadaman semburan yang berhasil didirikan dan karenanya
diperkirakan upaya pemadaman dengan relief wells itu baru dapat
menghentikan semburan lumpur paling cepat pada bulan Januari 2007.
Perubahan-perubahan tenggat waktu tersebut, menghasilkan skenario
penanganan akumulasi lumpur panas yang berbeda. Rencana
penanggulangan dampak negatif lumpur di dalam waduk/kolam yang
dibangun dengan tanggul-tanggul sementara, terus mengalami
perubahan. Dari dua kolam menjadi lima kolam dan dari ketinggian
tanggul 5 meter menjadi belasan meter.
Permasalahan penanganan lumpur panas ini menjadi jauh lebih berat
akibat membesarnya volume lumpur panas yang disemburkan, dari
antara 40,000 m3 sampai 50,000 m3 menjadi 126,000 m3 per hari,
sehingga yang akan dibuang tidak hanya air dari lumpur tersebut, akan
tetapi keseluruhan lumpur panas yang menyembur di sekitar sumur
Banjar Panji 1. Kebijakan Pemerintah pada akhir bulan September
2006 untuk mengalirkan lumpur panas tersebut ke Kali Porong adalah
kebijakan darurat bencana yang sering dikenal sebagai ‘force
majeur’. Begitu semburan lumpur panasnya berkurang dan turun
kembali menjadi dibawah 50,000 m3 per hari, maka penanganan lumpur
tersebut dikembalikan ke upaya pencegahan meluasnya kerusakan
lingkungan dengan mengolah lumpur di dalam tanggul yang telah
didirikan dan akan terus diperkuat. Air dari lumpur tersebut dapat
dibuang ke Selat Madura setelah melalui proses pengolahan, sehingga
tidak membawa dampak penurunan kualitas air di Selat Madura.
4
Kegagalan menghentikan semburan lumpur panas ini, seperti yang kita
ketahui bersama, menyebabkan banyak anggota masyarakat di
Sidoardjo menjadi korban. Potensi kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan dari pelepasan lumpur ini ke kali Porong dapat meluas ke
kawasan yang melampaui batas wilayah Kabupaten Sidoardjo.
Berdasarkan analisa beberapa laboratorium di dalam dan di luar negeri,
ditemukan bahwa lumpur panas yang keluar dari perut bumi ini
bukanlah bahan yang beracun atau berbahaya. Permasalahan terbesar
dari lumpur panas ini adalah volume yang menyembur sekitar 120,000
sampai 130,000 m3 setiap harinya. Seandainya ke delapan desa di
sekitar sumur BJP-1 ditimbun petis udang sebanyak 12,000 truk setiap
hari, maka bahan makanan yang enak dibuat rujak dan sambal tersebut
akan menenggelamkan rumah, sawah, sekolah dan pabrik disekitarnya.
Apabila petis udang sebanyak satu buah truk tumpah di halaman rumah
kita, akan terjadi kerepotan yang cukup melelahkan untuk
membersihkannya, apalagi bila yang dibuang jumlahnya mencapai
12,000 truk setiap hari selama berbulan-bulan. Bayangkan apa yang
akan terjadi dengan kali Porong, kalau kita menyiram kali tersebut
dengan petis udang sebanyak 12,000 truk setiap hari selama tiga bulan.
Pada akhir bulan Desember 2007, kita akan punya pasokan yang cukup
untuk membuat rujak cingur dan rujak petis bagi semua penduduk Jawa
Timur selama beberapa generasi.
Lalu kenapa lumpur panas itu disetujui untuk dibuang, tanpa
pengolahan, di kali Porong?
Jawabannya sederhana, tidak ada tanggul yang dapat dibangun dalam
waktu singkat untuk menyimpan lumpur panas yang menyembur
dengan volume 126,000 m3 per hari. Kita sudah tiba pada batas
kemampuan teknologi untuk menyimpan lumpur tersebut dalam waduk-
waduk yang dibangun oleh Departemen PU dan satuan Zeni Angkatan
Darat selama 3 bulan terakhir.
Pilihan penyaluran lumpur
panas yang tersedia pada
pertengahan September
2006 hanya tinggal dua.
Pilihan pertama adalah
meneruskan upaya
penangangan lumpur di
lokasi semburan dengan membangun waduk tambahan di sebelah
tanggul-tanggul yang ada sekarang. Dengan sedikit upaya untuk
5
menggali lahan ditempat yang akan dijadikan waduk tambahan tersebut,
daya tampungnya menjadi lebih besar.
Masalahnya, untuk membebaskan lahan disekitar waduk diperlukan
waktu, begitu juga untuk menyiapkan tanggul yang baru, sementara
musuh terbesar kita adalah berlangsung semburan lumpur secara terus
menerus, dari hari ke hari dengan volume yang terus membesar.
Pilihan kedua adalah
membuang langsung
lumpur panas itu ke kali
Porong. Sebagai tempat
penyimpanan lumpur, Kali
Porong ibarat waduk yang
telah tersedia, tanpa perlu
digali, memiliki potensi volume penampungan lumpur panas yang
cukup besar. Dengan kedalaman 10 meter di bagian tengah kali tersebut,
bila separuhnya akan diisi lumpur panas Sidoardjo, maka potensi
penyimpanan lumpur di Kali Porong sekitar 300,000 m3 setiap
kilometernya. Dengan kata lain, kali Porong dapat membantu
menyimpan lumpur sekitar 5 juta m3, atau akan memberikan tambahan
waktu sampai lima bulan bila volume lumpur yang dipompakan ke Kali
Porong tidak melebihi 50,000 m3 per hari. Bila yang akan dialirkan ke Kali Porong adalah keseluruhan lumpur
yang menyembur sejak awal Oktober 2006, maka volume lumpur yang
akan pindah ke Kali Porong mencapai 10 juta m3 pada bulan Desember
2006. Volume lumpur yang begitu besar membutuhkan frekuensi dan
volume penggelontoran air dari Sungai Brantas yang tinggi, dan
kegiatan pengerukan dasar sungai yang terus menerus, agar Kali Porong
tidak berubah menjadi waduk lumpur. Sedangkan untuk mencegah
pengembaraan koloida lumpur Sidoardjo di perairan Selat Madura,
diperlukan upaya pengendapan dan stabilisasi lumpur tersebut di
kawasan pantai Sidoardjo.
Relokasi Penduduk Korban Lumpur
Keputusan untuk memberikan Ganti Untung penduduk yang rumah dan
sawahnya tenggelam oleh lumpur panas Sidoardjo sudah menjadi tekad
pemerintah sejak bulan Juli 2006. Sampai bulan September 2006,
tercatat 8 (delapan) desa, yaitu Siring, Kedungbendo, Jatirejo,
Renokenongo, Pejarakan, Mindi, Besuki dan Kedungcangkring,
6
dinyatakan berada diatas lahan yang tidak layak huni sehingga
penduduknya harus direlokasi.
Kepada penduduk dari delapan desa tersebut diberikan tiga alternatif
pilihan, mulai dari 1) pembayaran untuk penggantian rumah dan lahan
yang tenggelam, lalu penduduk akan pindah ke rumah baru yang
mereka pilih sendiri, 2) penggantian rumah dan lahan yang tenggelam
dengan rumah dan lahan yang lebih baik di kawasan pemukiman baru
dengan fasilitas setara real estate, 3) penggantian rumah saja tanpa
penggantian untuk lahan yang tenggelam.
Lokasi baru pemukiman penduduk korban lumpur Sidoardjo berada di
kawasan sebelah barat Kecamatan Porong. Proses negosiasi dengan
masyarakat korban dan proses pembebasan lahan pemukiman baru
sudah dimulai, dan diharapkan selesai dalam tiga bulan mendatang.
Antisipasi kegagalan mengehentikan semburan lumpur.
Salah satu usaha yang berjalan seiring dengan penerapan pilihan
pengaliran lumpur ke Kali Porong adalah persiapan lokasi
penampungan lumpur di tempat lain, misalnya di bekas lokasi galian
tambang pasir di Ngoro atau di Kali Mati, sehingga terhitung sejak
Januari 2007, sudah dapat diterapkan konsep pengelolaan lumpur yang
berjangka waktu beberapa tahun. Sebuah kemajuan dari pengelolaan
lumpur saat ini yang hanya
merencanakan sejauh dua
sampai tiga bulan ke depan.
Kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan dari kebijakan
pengaliran jutaan m3 lumpur
yang menyerupai petis udang ini ke Selat Madura akan sangat luas, bila
yang dilakukan adalah sekedar mengalirkan lumpur tersebut ke Kali
Porong. Sekitar 16,000 hektar tambak di sepanjang dan di sekitar muara
Kali Porong akan mengalami
proses sedimentasi dalam skala
yang besar dan sangat cepat.
Kabupaten Sidoardjo akan
menjadi daerah yang rawan
banjir bila terjadi pendangkalan
di Kali Porong. Selain itu
perairan Selat Madura akan
7
menjadi keruh, karena sebagian besar lumpur tersebut tidak bisa
mengalir keluar dari Selat Madura.
Untuk mengurangi dampak negatif pendangkalan Kali Porong, akan
dilakukan pengerukan dasar Kali Porong secara berkala sehingga dapat
dicegah terjadinya pendangkalan sungai pada tingkat yang
menyebabkan timbulnya banjir. Penimbunan dasar Kali Porong dengan
lumpur panas Sidoardjo diperkirakan oleh para pakar dapat
memperlancar arus air
dan mengurangi proses
sedimentasi, sampai batas
tertentu. Bila batas
pendangkalan tersebut
terlampaui, akan terjadi
kerusakan lingkungan.
Pendangkalan tersebut akan meningkatkan intensitas banjir pada musim
hujan dan pencemaran tambak ikan dan udang di sepanjang dan di
muara Kali Porong.
Untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan Kali Porong sebagai
saluran pembuangan lumpur bagi masyarakat pemanfaat air Kali
Porong, diusulkan agar sebagian aliran air di Kali Porong disalurkan
lewat pipa atau saluran terbuka pada bagian hulu sebelum titik
pembuangan lumpur untuk menjamin pasokan air bagi keperluan irigasi
dan pertambakan masyarakat di bagian hilirnya.
Studi beberapa pakar dari perguran tinggi di Jawa Timur menemukan
bahwa air laut di Selat Madura hanya mengalir bolak-balik dari Barat ke
Timur dan dari Timur ke Barat sesuai dengan pasang naik dan pasang
surutnya perairan Selat Madura. Puluhan ribu masyarakat kabupaten
Sidoarjo, kabupaten Pasuruan, kotamadya Surabaya dan mungkin
kabupaten Probolinggo yang hidupnya bergantung pada tambak udang
dan ikan akan terancam sumber kehidupannya. Berkurangnya
pendapatan nelayan yang menangkap ikan lemuru, ikan layang dan ikan
tongkol sejak belasan kilometer di timur muara Kali Porong sampai ke
sebelah Timur Selat Madura, adalah dampak yang sangat mungkin
dirasakan sejak pertengahan tahun 2007, apabila lumpur Sidoardjo di
buang ke Selat Madura.
Seandainya pihak BP Migas dan Lapindo Brantas berhasil
menghentikan semburan lumpur tersebut sebelum tanggal 5 Oktober,
tidak akan ada dampak negatif yang tersisa di kali Porong dan
dikawasan sekitar lokasi semburan. Bila semburan lumpur tersebut
8
berhenti akhir pekan ini, maka upaya penanggulangan kerusakan
lingkungannya hanyalah terbatas pada kegiatan rehabilitasi kawasan
seluas 400an hektar yang sudah berubah menjadi bukit lumpur dengan
ketinggian belasan meter dari permukaan tanah sekitarnya.
Kegagalan menghentikan semburan lumpur sampai hari ini, tidak
mengurangi tekad Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengurangi
dampak negatif lumpur tersebut, meskipun pilihan-pilihan upaya
penanggulangan dampaknya semakin terbatas karena volume semburan
lumpur setiap harinya terus bertambah besar.
Yang saat ini dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama
dengan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoardjo
adalah melakukan pengkajian yang mendalam terhadap resiko
kerusakan lingkungan bila lumpur tersebut dipindahkan ke bekas lokasi
galian tambang di Ngoro, di Kali Mati, di Kali Porong dan di beberapa
titik di kawasan pantai di sekitar muara sungai Porong. Alternatif
pembentukan delta di muara Kali Porong atau lahan basah baru dengan
hutan bakau di kawasan pantai sebelah utara muara Kali Porong adalah
dua alternatif lokasi penempatan lumpur Sidoardjo, yang merupakan
bagian dari solusi jangka panjang pengelolaan lumpur tersebut.
9
Para pakar yang melakukan simposium di ITS pada minggu kedua
September, menyampaikan informasi bahwa kawasan pantai di
Kabupaten Sidoardjo mengalami proses reklamasi pantai secara alamiah
dalam beberapa dekade terakhir disebabkan oleh proses sedimentasi dan
dinamika perairan Selat Madura. Setiap tahunnya, pantai Sidoardjo
bertambah 40 meter. Sehingga upaya membentuk kawasan lahan basah
di pantai yang terbuat dari lumpur panas Sidoardjo, merupakan hal yang
selaras dengan proses alamiah reklamasi pantai yang sudah berjalan
beberapa dekade terakhir. Sebesar apa pantai rawa buatan di Sidoardjo
tersebut dapat dibentuk tergantung dari hasil kajian yang akan dilakukan
dalam waktu singkat, terutama untuk menentukan lokasi yang
memungkinkan tanaman mangrove atau hutan bakau tumbuh dengan
baik. Dengan mengumpulkan lumpur panas Sidoardjo ke tempat yang
kemudian menjadi lahan basah yang akan ditanami oleh mangrove,
lumpur tersebut dapat dicegah masuk ke Selat Madura sehingga tidak
mengancam kehidupan nelayan tambak di kawasan pantai Sidoardjo dan
nelayan penangkap ikan di Selat Madura. Pantai rawa baru yang akan
menjadi lahan reklamasi tersebut dikembangkan menjadi hutan bakau
yang lebat dan subur, yang bermanfaat bagi pemijahan ikan, daerah
penyangga untuk pertambakan udang dan sekalihgus. Pantai baru
dengan hutan bakau diatasnya dapat ditetapkan sebagai kawasan
lindung yang menjadi sumber inspirasi dan sarana pendidikan bagi
masyarakat terhadap pentingnya pelestarian kawasan pantai. Keputusan Rapat Kabinet pada pertengahan minggu ketiga September
2006 untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali
Porong, merupakan pilihan yang terbaik dari beberapa pilihan buruk
yang tersedia. Tidak saja keputusan itu dilakukan karena terjadinya
peningkatan volume semburan lumpur dari 50,000 meter kubik per hari
menjadi 126,000 meter kubik per hari, tetapi juga karena Keputusan
10
Rapat Kabinet tersebut dapat memberikan waktu untuk mengupayakan
penghentian semburan lumpur tersebut dan sekaligus mempersiapkan
alternatif penanganan yang lain, seperti pembentukan lahan basah
(rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.
Langkah untuk melakukan adaptasi terhadap kenyataan membukitnya
jutaan meter kubik lumpur yang menyembur di sekitar sumur BJP-1
juga sudah mulai dilakukan. Persiapan revisi Tata Ruang Kabupaten
sedang berjalan, begitu pula kegiatan untuk memindahkan jalur jalan tol
dan jalur kereta api yang semakin hari semakin rawan dari timbunan
lumpur panas, akibat berlanjutnya semburan lumpur panas tersebut.
Pemanfaatan Lumpur Sidoardjo
Pemerintah juga melanjutkan upaya pemanfaatan lumpur yang terus
menggunung di Porong Sidoardjo tersebut. Salah satu lokasi industri
pemanfaatan lumpur yang sudah diusulkan adalah di Ngoro.
Pemanfaatan lumpur dalam skala industri, akan mengurangi kebutuhan
lahan untuk menyimpan lumpur dan membuka lapangan kerja baru,
yang berguna bagi penduduk yang rumah dan sawahnya sudah
tenggelam akibat semburan lumpur tersebut.
Lumpur panas Sidoardjo tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan, bahan pembuatan jalan raya, sebagai campuran pupuk dan
berbagai pemanfaatan lain. Kemungkinan untuk mengubah “bencana
lumpur” menjadi “anugerah lumpur” terbuka luas. Peran aktif sektor
swasta, instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan
perguruan tinggi akan memudahkan pengelolaan dampak lingkungan
dan sosial yang kian hari kian bertambah seiring dengan berlanjutnya
kegiatan semburan lumpur panas tersebut.
Kerjasama yang baik antar stakeholders di Sidoarjo maupun di Jawa
Timur dan Jakarta, dapat mencegah meluasnya konflik dan mengurangi
11
kesimpang-siuran informasi, terutama yang menyangkut dampak dari
pilihan langkah penanganan semburan lumpur panas tersebut, yang
telah dan yang akan dilakukan.
Permasalahan yang perlu segera diatasi
Musim hujan sudah di ambang pintu. Antisipasi terhadap datangnya
hujan dengan mengalirkan lumpur ke pantai melalui Kali Porong akan
menghasilkan masalah-masalah baru. Persoalan pertama yang harus
diatasi adalah menemukan cara yang paling efektif untuk mengalirkan
lumpur yang kental, serupa petis udang tersebut, ke pantai. Meskipun
tersedia teknologi pemompaan lumpur melalui pipa sepanjang 18 km ke
tepi pantai, diperlukan sumber tenaga listrik yang sangat besar dan
pembiayaan yang mencapai ratusan juta dollar untuk menerapkan
pilihan transportasi lumpur ini.
Alternatif transportasi lain, disampaikan oleh Departemen Perhubungan,
menggunakan beberapa kapal keruk yang sambung menyambung dari
lokasi masuknya lumpur ke Kali Porong sampai ke tepi pantai
Sidoardjo. Usulan ini, meskipun diatas kertas terkesan sederhana, perlu
diuji kehandalannya dengan sesegera mungkin mendatangkan beberapa
kapal keruk ke Kali Porong.
Persoalan yang kedua adalah pemilihan teknologi pembuatan lahan
basah atau rawa buatan di tepi pantai Sidoardjo. Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP), yang menjadi promotor usulan ini merencanakan
untuk menerapkan teknologi reklamasi yang digunakan Singapura,
bahkan dengan mendatangkan kontraktor internasional yang sudah
bekerja bertahun-tahun melakukan reklamasi disana. Untuk keperluan
pembuatan lahan basah baru dengan bahan baku lumpur Sidoardjo ini,
12
pihak DKP bahkan sudah memiliki anggaran yang cukup besar untuk
bisa dengan segera memulai penerapan gagasan tersebut.
Berbagai aspek teknis pengelolaan lumpur tersebut dari BJP-1 sampai
pantai Sidoardjo masih harus dianalisa dan diperdebatkan sehingga
dapat dipilih teknologi pengelolaan
lumpur yang handal dan yang tidak
berdampak negatif terhadap
kelangsungan hidup masyarakat pantai
dan nelayan yang sebagian besar berada
di bawah garis kemiskinan.
Bukan matinya ikan, terumbu karang dan bentos yang menjadi fokus
kepedulian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), akan tetapi nasib
puluhan ribu nelayan dan petambak di sepanjang pantai barat pulau
Jawa dan pantai selatan dan timur pulau Madura yang dipertaruhkan
dalam kebijakan mengalirkan
lumpur panas Sidoardjo ke
Selat Madura. Oleh karenanya,
KLH pada saat ini
mempersiapkan titik-titik
pemantauan di sepanjang Kali Porong,
pantai Sidoardjo dan di Selat Madura, yang
akan berfungsi sebagai mekanisme deteksi
dini seandainya teknologi yang dipilih oleh
Tim Nasional Penanggulangan Semburan
Lumpur di Sidoardjo kemudian ditemukan menyebabkan masalah baru
yang mengancam kehidupan
masyarakat Jawa Timur yang lain.
Early warning system yang akan
dibangun KLH dalam waktu singkat
ini diharapkan mampu mencegah
meluasnya kerusakan lingkungan
yang telah terjadi di sekitar BJP-1.
Adalah tugas Kementerian Lingkungan Hidup untuk menggalang
kemampuan berbagai pihak dalam mengendalikan dampak yang
mungkin timbul dari penerapan beberapa pilihan tersebut, sampai ke
ujung batas penguasaan ilmu pengetahuan kita.
---
13
DAFTAR PUSTAKA
Awad, A., 2006. Overview of Risk Factors Associated With Disposal of Sidoarjo Mud at Sea. Symposium Presentation Report, Prepared for UNDP & Ministry of Environment Jakarta, Indonesia. Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya 12 p.
Bachtiar, A., 2006. Banjarpanji ”Mud Volcano in the Making” Tinjauan Geologi Lumpur Porong. Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 43 hal.
Diposaptono, S., 2006. Dampak Pembuangan Air Lumpur Lapindo ke Laut Terhadap Lingkungan Pesisir dan Laut. Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 142 hal.
Djajadiningrat, A. 2006. Mengenal Lebih Dalam Semburan Lumpur Panas Kasus Porong Sidoarjo. Paper Pendukung, Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 6 hal.
Hadi, M.S., 2006. Telaah -- Sudahkah Alam Jadi Acuan Dalam Kasus Lumpur Sidoarjo. Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 4 hal.
Indonesia Petroleum Association (IPA) dan Environment and Safety Committee (ESC). 2006. Pembuangan Lumpur Porong – Sidoarjo ke Laut? Paper Pendukung, Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 7 hal.
Soesilo, Indrojono, Kepala BRKP Departemen Kelautan dan Perikanan, ”Rawa Buatan Dari Lumpur Sidoardjo”, Persentasi pada Rapat Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoardjo, 29/9/2006.
ITS Surabaya, 2006. Integrated G-G Study of Mud Extrusion And Its Controlling Factors in Banjarpanji Area. Paper Pendukung, Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 23 hal.
Lubis, S., 2006. Dimana Tempat Yang Pantas Bagi Lumpur Porong Diendapkan, Dasar Laut Selat Madura?: Tinjauan Aspek Geologi
Kelautan. Paper Pendukung, Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 9 hal.
McLachlan-Karr, J., 2006. Sidoarjo Mud Emergency Response, Consultant Report Ecological Engineering Approach. Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 26 p.
Prartono, T., 2006. Fate Material Lumpur Panas Banjar Panji I, Kabupaten Sidoarjo ke Lingkungan Laut. Paper Pendukung, Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 11 hal.
Prijatna, R., 2006. Apakah Laut Menjadi Pilihan Terakhir?. Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 31 hal.
Pudjiastuti, L., 2006. Karakteristik Semburan Lumpur Panas Porong Sidoarjo. Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 18 hal.
Putra, K. S., A. Awad, and J. McLachlan Karr, 2006. Disposal of Sidoarjo Mud to the Aquatic Environment: An Overview of Risk Factors. Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 22 hal.
Rumiati, A.T., 2006. Dampak Sosial Semburan Lumpur Porong dan Usulan Penanganannya. Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 11 hal.
Tim Pusarpedal Deputi VII KLH, 2006. Hasil Pemantauan Kualitas Lingkungan di Sekitar Semburan Lumpur Panas Wilayah PT Lapindo Brantas Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Paper Pendukung, Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 33 hal.
Usman, E., M. Salahuddin, DAS. Ranawijaya dan J. P. Hutagaol, 2006. Alternatif Tempat Penempatan Akhir Lumpur Sidoarjo Berdasarkan Aspek Geologi Kelautan. Paper Pendukung, Simposium Nasional: Pembuangan Lumpur Porong-Sidoarjo ke Laut? Surabaya. 13 hal.
14
Penanganan Semburan Lumpur Panas di Sidoardjo
KEMENTRIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Oktober 2006
www.menlh.go.id