Download - Case HIFEMA TRAUMATIKA.docx
Case Report Session
HIFEMA TRAUMATIKA
Oleh :
Gebby Berri 1110312121
Kevin Maulanda 1210311009
Rika Fadilah 1210312021
Pembimbing :
dr. M. Hidayat, Sp.M (K) / dr. Julita, Sp.M
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
RS Dr. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga orbita,
kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai indra
penglihat. Trauma okuli merupakan salah satu penyebab yang sering menyebabkan kebutaan
unilateral pada anak dan dewasa muda, karena kelompok usia inilah yang sering mengalami
trauma okuli yang parah.1,2
Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli perforans dan
trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli berdasarkan mekanisme
trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan trauma tajam), trauma radiasi (sinar
inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan trauma kimia (bahan asam dan basa). Trauma
okuli merupakan kedaruratan mutlak di bidang ocular emergency. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi akibat trauma okuli adalah erosi kornea, iridoplegia, hifema, iridosiklitis,
subluksasi lensa, luksasi lensa anterior, luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid,
ablasi retina, ruptur koroid, serta avulsi papil saraf optik.1,2,3
Hifema merupakan keadaan dimana terjadi perdarahan pada bilik mata depan dapat
terjadi akibat trauma tumpul pada mata.3 Darah ini berasal dari iris atau badan siliar yang
robek. Hifema dapat juga disebabkan oleh trauma intraoperasi, pecahnya neovaskularisasi,
adanya kanker, atau kelainan vaskuler lain. Menurut salah satu studi yang di lakukan di
Amerika Serikat, kejadian hifema, terutama hifema traumatik, diperkirakan sebanyak 12
kasus per 100.000 orang populasi. Anak-anak dan usia remaja 10-20 tahun memiliki
presentase penderita terbanyak, yaitu sebesar 70%. Hifema lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan wanita dengan perbandingan 3:1.1,2,4,
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu
daerah di antara kornea dan iris (kamera okuli anterior), yang dapat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor
aqueus (cairan mata) yang jernih.2
2.2 Klasifikasi 1,3,4,5,6
1. Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:
a. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan
pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma pada segmen
anterior bola mata.
b. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata)
c. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga
pembuluh darah pecah
d. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah
e. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma)
2. Berdasarkan onset perdarahannya, hifema dibagi menjadi:
a. Hifema primer terjadi langsung sampai 2 hari setelah trauma pada mata
b. Hifema sekunder terjadi 2-5 hari setelah trauma pada mata
3. Berdasarkan darah yang terlihat, hifema diklasifikasikan menjadi
a. Makrohifema, perdarahan terlihat dengan mata telanjang
b. Mikrohifema, perdarahan terlihat apabila menggunakan mikroskop
4. Berdasarkan pemenuhan darah dibilik mata depan, hifema dapat dibagi menjadi:
a. Grade 1, darah mengisi kurang dari 1/3 bilik mata depan
b. Grade 2, darah mengisi 1/3-1/2 bilik mata depan
c. Grade 3, darah mengisis 1/2 – kurang dari seluruh bilik mata depan
d. Grade 4, darah mengisi seluruh bilik mata depan, dikenal dengan total hyphema,
blackball atau 8-ball hyphema
2.3 Etiopatogenesis
Trauma merupakan penyebab tersering dari hifema. Oleh karena itu hifema sering
terjadi terutama pada pasien yang berusia muda. Trauma tumpul pada kornea atau limbus
dapat menimbulkan tekanan yang sangat tinggi, dan dalam waktu yang singkat di dalam bola
mata terjadi penyebaran tekanan ke cairan badan kaca dan jaringan sklera yang tidak elastis
sehingga terjadi perenggangan-perenggangan dan robekan pada kornea, sklera sudut
iridokornea, badan siliar yang dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan sekunder dapat
terjadi oleh karena resorbsi dari pembekuan darah terjadi cepat, sehingga pembuluh darah
tidak mendapat waktu yang cukup untuk meregenerasi kembali, dan menimbulkan
perdarahan lagi.2,5
Hal yang menjadi perhatian utama pada hifema traumatika adalah rebleeding.
Komplikasi yang berhubungan dengan perdarahan sekunder adalah glaukoma, atrofi optik,
dan corneal blood staining.7
Rebleeding dapat terjadi pada seluruh hifema, tidak tergantung pada ukurannya, dan
paling sering terjadi antara hari ke 2 dan hari ke 5 pasca trauma. Waktu rebleeding ini
kemungkinan berhubungan dengan lisis dan retraksi pembekuan yang terjadi selama periode
ini. Berbagai studi telah mengemukakan pentingnya rebleeding sebagai faktor prognostik
memburuknya kemampuan penglihatan.7
Peningkatan TIO berkembang pada sekitar 50% pasien dengan rebleeding. Kombinasi
peningkatan TIO, disfungsi endotel, dan darah pada bilik anterior merupakan predisposisi
corneal blood staining, yang sulit dideteksi ketika darah berada di aposisi endotel. Sel darah
merah pada bilik anterior melepaskan hemoglobin yang penetrasi ke bagian stroma kornea
posterior, ditempat ia akan diabsorpsi oleh keratosit. Hemoglobin akan dikonversi menjadi
hemosiderin di dalam keratosit, yang akan menyebabkan kematian keratosit. Corneal blood
staining sering berpola sentripetal, bermula dari perifer.7
Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor pada iris,
retinoblastoma, dan kelainan darah yang mungkin diakibatkan karena terjadi suatu kelemahan
dinding-dinding pembuluh darah. Pada proses penyembuhan, hifema dikeluarkan dari bilik
mata depan dalam bentuk sel darah merah melalui sudut bilik mata depan atau kanal scelemn
dan permukaan depan iris. Penyerapan melalui dataran depan iris dipercepat oleh enzim
proteolitik yang dapat berlebihan di dataran depan iris.2,3
Sementara itu darah dalam bilik mata depan tidak sepenuhnya berbahaya, namun bila
jumlahnya memadai maka dapat menghambat aliran humor aquos ke dalam trabekula,
sehingga dapat menimbulkan glaukoma sekunder.
2.4 Diagnosis
Gambaran klinik dari penderita dengan traumatik hifema adalah :
Adanya anamnesa trauma, terutama mengenai matanya.
Ditemukan perdarahan pada bilik depan bola mata (diperiksa dengan flashlight)
Kadang-kadang ditemukan gangguan tajam penglihatan.
Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari konjungtiva dan perikorneal.
Penderita mengeluh nyeri pada mata, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), sering
disertai blefarospasme.
Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya
cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata
depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Otot sfingter pupil
mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah
(blood staining) pada kornea, anisokor pupil.5,6,9,103
Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah mengganggu
media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung dapat mengakibatkan
tekanan intra okuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera anterior oleh darah.
Kenaikan tekanan intra okuler ini disebut glaucoma sekunder. Glaukoma sekunder juga
dapat terjadi akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi
membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama
berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan
kerusakan jaringan kornea.5,9,10
2.5 Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus dapat
menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.
b) Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,
glaukoma.
c) Pengukuran tonometri: mengkaji tekanan intra okuler.
d) Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal
contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
e) Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
f) Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO normal atau
meningkat ringan.
g) Pemeriksaan USG ditujukan untuk mengetahui adanya kekeruhan pada segmen
posterior bola mata, dan dapat diketahui tingkat kepadatan kekeruhannya.
Pemeriksaan USG dilakukan pada keadaan dimana oftalmoskopi tidak dapat
dilakukan oleh adanya kekeruhan kornea, bilik mata depan, lensa, karena berbagai
sebab atau perdarahan di dalam bilik mata depan (hifema penuh).
h) Pemeriksaan foto X-ray dilakukan untuk mengetahui adanya benda asing radioopak di
dalam bola mata pada trauma tembus okuli yang disertai kekeruhan media akibat
perdarahan.
2.6 Tatalaksana 2,3,11,12
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak berjalan
demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan penderita hifema traumatik
ini masih banyak diperdebatkan, namun pada dasarnya adalah :
1) Menghentikan perdarahan.
2) Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
3) Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat
absorbsi.
4) Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain.
5) Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan traumatik
hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan dengan cara
konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.
Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi
1. Tirah baring (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat (diberi
alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45o (posisi semi fowler). Hal ini akan mengurangi
tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah
perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli mengenai tirah baring sempurna ini
sebagai tindakan pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus traumatik hifema.
Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan tirah baring kesempurnaan absorbsi
dari hifema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder.
Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan perdarahan
sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih pada anak-anak, sehingga kalau perlu
harus diikat tangan dan kakinya ke tempat tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.
2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di antara
para ahli. Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena trauma yaitu untuk mengurangi
pergerakan bola mata yang sakit.
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah mutlak, tapi
cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan menekan
komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan seperti :
Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteral,
berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC,
Coagulen, Transamin, vit K dan vit C. Pada hifema yang baru dan terisi darah segar diberi
obat anti fibrinolitik (di pasaran obat ini dikenal sebagai transamine/ transamic acid)
sehingga bekuan darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan
untuk memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan terjadinya
perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250 mg dan hanya kira-kira
5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat timbulkan gangguan transportasi
cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio kornea. Selama pemberiannya
jangan lupa pengukuran tekanan intra okular.
Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika
atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-
sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti dan
midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. Pemberian midriatika dianjurkan bila
didapatkan komplikasi iridiocyclitis. Akhirnya beberapa penelitian membuktikan bahwa
pemberian midriatika dan miotika bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua
kali sehari akan mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat
saja.
Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oral
sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler. Bahkan
Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian intravena urea, manitol dan gliserin
untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan bahwa cara ini tidak rutin.
Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intra okular, berilah diamox, glyserin,
nilai selama 24 jam. Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas
normal, lakukan parasentesa yaitu pengeluaran drah melalui sayatan di kornea Bila
tekanan intra okular turun sampai normal, diamox terus diberikan dan dievaluasi setiap
hari. Bila tetap normal tekanan intra okularnya dan darahnya masih ada sampai hari ke 5-
9 lakukan juga parasentesa.
Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi iritis
dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika.
Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma sekunder, tanda
imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada pengurangan dari tingginya hifema
dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5 hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik
dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau
tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea
dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila
ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.
Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior perifer bila
hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari. Intervensi
bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari keseluruhan indikasinya adalah
sebagai berikut :
1. Empat hari setelah onset hifema total
2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4 hari (untuk
mencegah atrofi optic)
4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari dengan tekanan
25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
5. Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk mencegah
peripheral anterior synechiae)
6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya dengan
tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika Tekanan Inta Ocular
menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari, pembedahan tidak boleh ditunda.
Suatu studi mencatat atrofi optic pada 50 persen pasien dengan total hifema ketika
pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan
sickle cell hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah :
1. Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan cairan/darah
dari bilik depan bola mata dengan teknik sebagai berikut : dibuat insisi kornea 2 mm
dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila
dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan akan
keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan
garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahut.
Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika darah masih tetap
terdapat dalam COA pada hari 5-9.
2. Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka korneoscleranya
sebesar 1200
2.7 Komplikasi 12
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatic hifema adalah perdarahan
sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis, selain komplikasi dari traumanya sendiri
berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan irido dialysis. Besarnya komplikasi
juga sangat tergantung pada tingginya hyphaema.
1. Perdarahan Sekunder
Insidensinya sangat bervariasi, antara 10-40 persen. Perdarahan sekunder ini timbul
karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan
primernya.
2. Glaukoma Sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh tersumbatnya
trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah. Adanya darah dalam COA
dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur-unsur darah menutupi
sudut COA dan trabekula sehingga terjadinya glaukoma.Glaukoma sekunder dapat
pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga
terjadi gangguan pengaliran cairan mata.
3. Hemosiderosis Kornea
Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder disertai
kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karena hemosiderosis tidak selalu
permanen, tapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (dua
tahun). Insidensinya 1-10 persen. Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan
siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan
4. Sinekia Posterior
Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini akibat dari
iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang mendapat terapi
medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien dengan evakuasi bedah pada
hifema.
5. Atrofi optic
Disebbakan karena peningkatan tekanan intraokuler
2.8 Prognosis
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli
anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma,
prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam
beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung
pada seberapa besar glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila
tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah
buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.
BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : QA
Usia : 6 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
No. RM : 946097
Masuk RS : 17 Mei 2016
ANAMNESIS
Pasien perempuan usia 6 tahun dirawat di Bangsal Mata RSUP M Djamil masuk
melalui IGD RSUP M Djamil rujukan dari dokter spesialis mata dengan:
Keluhan Utama
Mata kiri kabur dan merah sejak ± 5 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
Mata kiri kabur dan merah sejak ± 5 hari yang lalu
Saat ini, mata kiri masih terasa kabur tetapi mata merah sudah tidak ada
Sebelumnya mata kiri pasien terkena lemparan sendal jepit saat bermain dengan
sepupunya
Mata kiri nyeri, tetapi keluhan sakit kepala tidak ada
Riwayat memakai kacamata tidak ada
Pasien sudah berobat ke dokter mata 3 hari yang lalu, diberi obat polydex 4x1 OS ed,
metylprednisolon tab 4x½ tab dan sirup enervon C, kemudian pasien dirujuk ke RSUP
M.Djamil.
Riwayat luka yang lama sembuhnya (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
- Tidak pernah sakit mata seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat luka yang lama sembuhnya (-)
STATUS OFTALMOLOGI
Tanggal 19 Mei 2016Oculli Dextra Oculli Sinistra
Visus tanpa koreksi 5/5 5/10
Visus dengan koreksi - -
Refleks fundus (+) (+)
Supersilia/siliaMadarosis (-)Trikiasis (-)
Madarosis (-)Trikiasis (-)
Palpebra superiorEdema (-)
Hiperemis (-)Edema (-)
Hiperemis (-)
Palpebra inferiorEdema (-)
Hiperemis (-)Edema (-)
Hiperemis (-)
Apparat Lakrimal Hiperlakrimasi (-) Hiperlakrimasi (-)
Konjungtiva Tarsalis Hiperemis (-)Edema (-)
Hiperemis (-)
Konjungtiva Forniks Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konjungtiva BulbiInjeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-)
Injeksi konjungtiva (-)Injeksi siliar (-)
Sklera Putih Putih
Kornea Bening Bening
COA Cukup dalam Koagulum (+) menempel di iris
Iris Coklat Coklat
Pupil Bulat, reflex +/+, Ø 3 mm bulat, reflex +↓/+↓, Ø 6 mm semimidriasis (SA)
Lensa Bening Bening
Korpus Vitreum Bening Sulit dinilai
Fundus- Media- Papil- Pemb. darah- Retina- Makula
BeningBulat, batas tegas, c/d 0,3-0,4
aa:vv = 2:3Perdarahan (-), eksudat (-)
Refleks fovea (+)
Sulit dinilai
TIO Normal (palpasi) Tidak dilakukan
Posisi bola mata Ortho Ortho
Gerakan bola mata Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
DIAGNOSIS
Hifema traumatika OS grade I hari ke-6
ANJURAN TERAPI
Medikamentosa : - Polydex ed 4 x 1 OS
- Prednison 3 x 4 mg oral
- Homatro ed 3 x 1 OS
ANJURAN PADA PASIEN
- Mengurangi risiko terjadinya trauma
-
FOLLOW UP
Tanggal 20 Mei 2016
- Pasien sudah tidak ada indikasi rawat dan sudah dibolehkan pulang
BAB 4
DISKUSI
Telah diperiksa seorang perempuan berusia 6 tahun dengan diagnosis hifema
traumatika grade I okuli sinistra. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis, didapatkan keluhan mata kiri merah sejak ±5 hari yang lalu
yang disertai nyeri. Keluhan juga disertai dengan pandangan mata kiri kabur. Riwayat trauma
pada mata kiri (+). Dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tidak ditemukan
kelainan pada okuli dekstra sedangkan pada okuli sinistra ditemukan visus 5/10 dan pada
COA ditemukan koagulum yang menempel di iris. Pemeriksaan dengan funduskopi
didapatkan media keruh sehingga papil, perdarahan, retina, dan makula sulit dinilai.
Sementara pemeriksaan tekanan intraokuler dengan palpasi tidak dilakukan. Berdasarkan
temuan tersebut maka ditegakkan diagnosis hifema traumatika OS grade I.
Berdasarkan literatur, hifema dapat terbentuk akibat tindakan medis, inflamasi,
neoplasia ataupun traumatik. Gaya-gaya kontusif sering merobek pembuluh – pembuluh
darah di iris dan merusak sudut bilik mata depan. Darah di dalam aquos dapat membentuk
suatu lapisan yang dapat terlihat (hifema). Beratnya hifema dinilai dari banyaknya darah
dalam bilik mata depan. Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade.
Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga kamera okuli anterior, grade II : darah mengisi
sepertiga hingga setengah kamera okuli anterior, grade III : darah mengisi hampir total
kamera okuli anterior dan grade IV: darah memenuhi seluruh kamera okuli anterior.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah bed rest elevasi 30º- 45º dan farmakoterapi
medikamentosa. Menurut literatur bed rest dengan elevasi tersebut pada pasien hifema akan
meningkatkan pemecahan darah dan menurunkan tekanan vena, yang akan membantu
menurunkan TIO. Penatalaksanaan medikamentosa dilakukan dengan pemberian
kortikosteroid yang bertujuan untuk menurunkan proses inflamasi. Siklopegik diberikan
untuk meningkatkan kenyamanan pasien dengan mengurangi nyeri dan untuk mencegah
terjadinya sinekia posterior. Kortikosteroid dan Siklopegik bersama-sama akan mengurangi
risiko perdarahan sekunder (rebleeding), dimana kortikosteroid akan menstabilkan barrier
darah ocular dan secara langsung menghambat fibrinolysis. Siklopegik mengurangi gerakan
iris dan mengurangi stress pembuluh darah yang ruptur.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam. Sesuai dengan literatur, bila tajam
penglihatan 5/10 dan tidak ada komplikasi yang terjadi maka prognosis penderita adalah baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S. Hifema, dalam: Ilmu Penyakit Mata.Edisi 3. FKUI, Jakarta, 2007
2. Ilyas, S.Hifema. Dalam : Kedaruratan dalam Ilmu penyakit Mata. Edisi 3. FKUI: Jakarta.
2007
3. Balatay A, Ibrahim H. Traumatic Hyphema. Dohuk Medical Journal 2008. Available at
URL: www.uod.ac
4. Sheppard JD. Hyphema. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview pada
tanggal 30 Mei 2016 pukul 09.00
5. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Ophtalmologi umum edisi 17th. Jakara: Widya
Medika, 2008. Hal
6. Kuhn F, Pieramici D. Mechanical Globe Injuri: Anterior Chamber. Dalam: Ocular trauma
principles and practice. New York:Thieme.2002.
7. American Academy of Ophtalmology. Traumatic Hyphema, dalam: External Disease and
Cornea. LEO, 2011-2012
8. Hapus!
9. Hapus!
10. Behbehani A, Abdelmoaty S, Aljazaf A. Traumatic Hyphema. Dalam Studi Journal og
Ophtalmology, Volume 3, No. 3 July-September.2006
11. Sheppard, John D, Jr, MD, MMSC. Hyphema. Available at:
http://www.emedicine.com/med/EYE/ topic.2884.htm. last up date: 3rd November 2006
12. dr. Admadi Soeroso, Perdarahan Bilik Depan Bola Mata Akibat Rudapaksa (Traumatic
Hyphaema) Bagian llmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret/RSU Mangkubumen Surakarta