Download - Case Report Spasmofilia 2
CASE REPORT
Spasmofilia
Disusun oleh:
Nawar Najla Mastura (1102010204)
Pembimbing:
dr. Sofie Minawati, SpS
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum dr. Slamet Garut
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
2014
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Ferdiansyah
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Cigedug
Agama : Islam
Pekerjaan : Satpam
Pendidikan : SMA
Tanggal masuk RS : 10 Oktober 2014
No. CM : 707464
II. SUBYEKTIF
Diambil dari auto dan allo anamnesa pada tanggal 13 Oktober 2014
Keluhan Utama :
Tubuh terasa kaku sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Slamet Garut dengan keluhan tubuh terasa kaku
yang dirasakan sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan kaku dirasakan
pasien pada bagian wajah, tangan dan kaki. Pasien merasa mulutnya kaku tidak bisa
dibuka dan juga tidak bisa bicara, kemudian tangannya juga kaku dengan kelima jari
merapat dan menguncup, kaki pada posisi lurus dan terasa kaku. Kejadian tersebut
berlangsung pada saat pasien sedang tidur.
Sebelumnya, pasien mengeluh demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Demam dirasakan hilang timbul, demam muncul kurang lebih selama 1 jam dan
menghilang selama 2 jam. Ketika demam tinggi, pasien mengaku BAB nya mencret
2
sebanyak 4 kali berupa cairan dengan ampas, namun tidak ada darah maupun lendir.
BAK tidak ada keluhan. Pasien sudah mengkonsumsi obat paramex sebanyak 3 kali
untuk menurunkan demam.
Kurang lebih 18 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri kepala,
mual, tetapi tidak disertai muntah, kesemutan, dan nyeri di seluruh tubuh. Riwayat
penyakit maag diakui pasien dan pasien suka makan makanan pedas dan asam.
Kebiasaan minum kopi disangkal.
Pasien mengaku bahwa selama ini pola makannya tidak teratur, akibat
pekerjaannya yang banyak menyita waktu. Pasien mengaku dalam satu hari hanya
makan sekali bahkan kadang-kadang sampai tidak makan sama sekali dalam sehari.
Pasien juga mengaku jarang makan nasi dan lebih sering memakan mie instan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku sebelumnya pernah mengalami gejala serupa 5 tahun
yang lalu, dan dirawat di rumah sakit. Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis,
penyakit jantung dan trauma disangkal. Riwayat merokok disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama pada keluarga disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berasal dari keluarga yang cukup. Pasien dirawat di ruang rawat inap
kelas II. Pasien berobat di rumah sakit dengan menggunakan BPJS.
III. OBJEKTIF ( 13 Oktober 2014 )
Status Present
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15 (E4.M6.V5)
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 64 x/ menit
3
Respirasi : 20 x/ menit
Suhu : 36,5 oC
Kepala : Normocephal
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, trakea tidak deviasi
Status Interna
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula kiri
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV parasternal kanan
Batas jantung atas : ICS II parasternal
Batas jantung kiri : ICS V midclavicula kiri
Auskultasi : BJ I – II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Simetris hemitoraks kanan-kiri saat statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus vokal dan taktil simetris hemitorak kanan-kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada keempat Kuadran abdomen
Palpasi : NT/NK/NL : -/-/-. Hepar, lien, ginjal tidak diraba.
1. Status Psikis
Cara berfikir : Dalam batas normal
Perasaan hati : Dalam batas normal
Tingkah laku : Dalam batas normal
Ingatan : Dalam batas normal
Kecerdasan : Dalam batas normal
4
2. Status Neurologis
A. Kepala
Bentuk : Normocephalus
Nyeri tekan : (-)
Simetris : (+)
Pulsasi : (-)
B. Leher
Sikap : Dalam batas normal
Pergerakan : Dalam batas normal
Kaku kuduk : (-)
C. Nervus kranialis
N. I (olfaktorius)
Subyektif : Tidak dilakukan
Dengan bahan : Tidak dilakukan
N. II (optikus)
Tajam penglihatan : Tidak dilakukan
Lapang peglihatan : Tidak dilakukan
Melihat warna & fundus okuli : Tidak dilakukan
N. III (oculomotor)
Sela mata : Simetri kanan kiri sama
Pergerakan bulbus : Baik kesegala arah
Strabismus : (-)
Nistagmus : (-)
Eksopftalmus : (-)
Pupil
Besarnya : ± 2 mm
Bentuknya : Simetris bulat isokor
Refleks cahaya : (+/+)
Refleks konsensual : Tidak dilakukan
5
Refleks konvergensi : Tidak dilakukan
Melihat kembar : (-/-)
N. IV (trochlearis)
Pergerakan mata (bawah-dalam) : Baik
Sikap bulbus : Simetris
Melihat kembar : (-)
N. V (trigeminus)
Membuka mulut : Dalam batas normal
Menguyah : Dalam batas normal
Mengigit : Dalam batas normal
Reflek kornea : Tidak dilakukan
Sensibilitas muka : Dalam batas normal
N.VI (abducens)
Pergerakan mata (ke lateral) : Dalam batas normal
Sikap bulbus : Simetris
Melihat kembar : (-)
N.VII (fascialis)
Mengerutkan dahi : Simetris kanan = kiri
Menutup mata : Dalam batas normal
Memperlihatkan gigi : Plica nasolabialis simetris
Bersiul : Tidak dilakukan
Perasaan lidah
2/3 bagian depan lidah : Tidak dilakukan
N.VIII ( vestibulo cochlear)
Detik arloji : Baik
Suara berbisik : Tidak dilakukan
Tes Weber : Tidak dilakukan
Tes Rinne : Tidak dilakukan
Tes Swabach : Tidak dilakukan
N.IX (glosofaringeus)
Perasaan lidah
6
(1/3 bagian belakang) : Tidak dilakukan
Sensibilitas faring : Tidak dilakukan
N.X (vagus)
Arkus faring : Dalam batas normal
Uvula : Tidak deviasi
Berbicara : Dalam batas normal
Menelan : Dalam batas normal
N.XI (asesorius)
Menengok : Dalam batas normal
Mengangkat bahu : Dalam batas normal
N.XII (hipoglosus)
Pergerakan lidah : Dalam batas normal
Lidah deviasi : (-)
Artikulasi : Dalam batas nrmal
D. Fungsi luhur
Dalam batas normal
E. Badan dan anggota gerak
1. Badan
Respirasi : Torako abdominal
Bentuk kolumna vetebralis : Dalam batas normal
Pergerakan kolumna vetebralis : Dalam batas normal
Refleks kulit perut atas : Tidak dilakukan
Refleks kulit perut tengah : Tidak dilakukan
Refleks kulit perut bawah : Tidak dilakukan
2. Anggota gerak atas
Motorik : +/+
Pergerakan : +/+
Kekuatan : 5 5
7
Tonus : Baik
Atropi : (-)
Refleks
Biceps : +/+
Trisep : +/+
Brakio Radialis : +/+
Radius : +/+
Ulna : +/+
Hoffman/trommer : Tidak dilakukan
Sensibilitas : Dalam batas normal
Taktil : Dalam batas normal
Nyeri : (-)
Suhu : Dalam batas normal
Diskriminasi 2 titik : Tidak dilakukan
Lokalis : Tidak dilakukan
Getar : Tidak dilakukan
3. Anggota gerak bawah
Motorik : +/+
Pergerakan : +/+
Kekuatan :
5 5
Tonus : Baik
Atropi : (-)
Sensibilitas : Dalam batas normal
Taktil : Dalam batas normal
Nyeri : (-)
Suhu : Dalam batas normal
Diskriminasi 2 titik : Tidak dilakukan
Lokalis : Tidak dilakukan
Getar : Tidak dilakukan
8
Refleks fisiologis
Patella : +/+
Achilles : +/+
Refleks patologis
Babinsky : (-/-)
Chaddock : (-/-)
Openhaeim : (-/-)
Gordon : (-/-)
Schaefer : (-/-)
Mendel Bechtrew : Tidak dilakukan
Rosolimo : Tidak dilakukan
Klonus paha : (-/-)
Klonus kaki : (-/-)
Chvostex’s sign : (-)
Trousseau’s sign : (-)
Test Laseque : (-)
Test brudzinsky I/II/III/IV : (-)
Test kernig : (-)
Meningial Sign : Kaku kuduk (-)
Patrick : Tidak dilakukan
Kontra patrick : Tidak dilakukan
F. Koordinasi, Gait dan keseimbangan
Cara berjalan : Tidak dilakukan
Test Romberg : Tidak dilakukan
Disdiadokokinesis : Tidak dilakukan
Ataksia : Tidak dilakukan
Rebound phenomen : Tidak dilakukan
9
G. Gerakan – gerakan abnormal
Tremor : (-)
Athetosis : (-)
Mioklonik : (-)
Khorea : (-)
H. Fungsi vegetatif
Miksi : Lancar
Defekasi : Mencret
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANGI. Hasil laboratorium
(tanggal 11 Oktober 2014 pukul 09.29)
ElektrolyteNatrium 133 mEq/L (135-145)Kalium 4,4 mEq/L (3,6-5,5)Klorida 100 mEq/L (96-106)Kalsium (Ca Bebas) 2,45 mEq/L (4,7-5,2)
V. RINGKASAN
Subyektif
- Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan tubuh terasa kaku sejak 1 jam sebelum
masuk rumah sakit. Kejadian berlangsung saat pasien sedang tidur
- Keluhan mulut kaku tidak bisa dibuka dan juga tidak bisa bicara, tangan kaku dengan
kelima jari merapat dan tertekuk kearah dalam, kaki pada posisi lurus dan terasa
kaku.
- 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh demam. Demam dirasakan
hilang timbul. BAB mencret ketika demam, BAK dalam batas normal.
- ± 18 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri kepala, mual, muntah
(-), kesemutan, dan nyeri di seluruh tubuh.
- Pola makan pasien tidak teratur.
10
- Pasien pernah mengalami gejala serupa 5 tahun yang lalu dan di rawat di RS.
Obyektif
Status Present
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15 (E4.M6.V5)
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 64 x/ menit
Respirasi : 20 x/ menit
Suhu : 36,5 oC
Jantung : Dalam batas normal
Paru dan abdomen : Dalam batas normal
Status Psikis
Dalam batas normal
Status Interna
Cor : BJ I-II reg murmur (-), Gallop (-)
Pulmo: VBS ka = ki Rh-/-, Wh-/-
Status Neurologis
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Saraf Otak : Pupil bulat isokor
Motorik : 5 5
5 5
Tonus : Baik
Sensorik : Dalam batas normal
Fungsi Luhur : Baik
Fungsi vegetatif : Mencret
Refleks fisiologis : (+ / +)
11
Refleks patologis : (-/-)
VI. Diagnosis
Spasmofilia
VII.Rencana Awal
Rencana Diagnosis
EMG
Cek ulang elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida) 3 hari setelah terapi
Rencana terapi
Terapi umum
Monitor tanda vital T,N,R.S
Monitor tanda-tanda kejang
Terapi khusus
Drip Ca glukonas 1 amp dalam RL 20 gtt/menit
Inj. Stesolid 10 mg IV BP
Inj. Ketorolac 2x1 amp IV
Inj. Ranitidin 2x1 amp IV
Kalxetin 20 mg 1-0-0 PO
Paracetamol tab 3x500mg PO
VIII. Rencana edukasi
• Hindari kelelahan fisik dan stress
• Olahraga yang teratur
• Istirahat yang cukup
• Pola makan teratur
• Diet tinggi kalsium dan magnesium
IX. Prognosis
12
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
I. FOLLOW UP
11/10/14 S/ KU: Tubuh terasa kaku sejak 1 jam SMRS
RPS: Pasien datang dengan keluhan tubuh terasa
kaku yang dirasakan sejak 1 jam SMRS. Keluhan
kaku dirasakan pasien pada bagian wajah, tangan
dan kaki. Mulut kaku tidak bisa dibuka dan juga
tidak bisa bicara, tangan kaku dengan kelima jari
merapat dan tertekuk kearah dalam, kaki pada
posisi lurus dan terasa kaku. Kejadian tersebut
berlangsung pada saat pasien sedang tidur.
± 1 minggu SMRS. Demam dirasakan hilang
timbul, demam muncul selama ± 1 jam dan
menghilang selama 2 jam. Ketika demam tinggi,
pasien mengaku BAB nya mencret sebanyak 4 kali
berupa cairan dengan ampas, namun tidak ada
darah maupun lendir. BAK tidak ada keluhan.
Pasien sudah mengkonsumsi obat paramex 3x
untuk menurunkan demam.
± 18 jam SMRS, pasien mengeluh nyeri kepala,
mual, muntah (-), kesemutan, dan nyeri di seluruh
tubuh.
RPD: Pasien mengaku sebelumnya pernah
mengalami gejala serupa 5 tahun yang lalu, dan
dirawat di RS. HT (-), DM (-), penyakit jantung
(-), merokok (-), penyakit maag (+)
O/ Ku = CM KS = SS
Pd/
Pt/ - Drip Ca glukonas 1 amp dalam RL 20 gtt/menit- Inj. Stesolid 10 mg IV BP- Inj. Ketorolac 2x1 amp IV- Inj. Ranitidin 2x1amp IV- Kalxetin 20 mg 1-0-0 PO- Paracetamol tab 3x500mg PO
13
T = 110/70 R = 20 N = 68 x/mnt S = 36,5 oC SI = COR : BJ I-II reg M (-), G (-) PULMO : VBS ka=ki Rh -/-, Wh -/- SN = RM : KK (-) Mata : Pupil bulat isokor GBM : Baik kesegala arah N. VII, X II : baik Motorik: 5 5 Sensorik : Baik
5 5
FL : Baik RF : +/+
FV : Baik RP : -/-
A/ Spasmofilia
13/10/14 S/ -nyeri kepala -pusingO/ Ku = CM KS = SS T = 100/60 R = 20 x/mnt N = 64 x/mnt S = 36,3 oC SI = COR : BJ I-II reg M (-), G (-) PULMO : VBS ka=ki Rh -/-, Wh -/- SN = RM : KK (-) Mata : Pupil bulat isokor GBM : Baik kesegala arah N. VII, X II : baik Motorik: 5 5 Sensorik : Baik
5 5
FL : Baik RF : +/+
FV : Baik RP : -/-
A/ Spasmofilia
Pd/
Pt/ - Drip Ca glukonas 1 amp dalam RL 20 gtt/menit- Inj. Stesolid 10 mg IV BP- Inj. Ketorolac 2x1 amp IV- Inj. Ranitidin 2x1amp IV- Kalxetin 20 mg 1-0-0 PO- Paracetamol tab 3x500mg PO
14/10/14 S/ nyeri kepala perbaikanO/ Ku = CM KS = SS T = 100/70 R = 20 x/mnt N = 70 x/mnt S = 36,2 oC SI = COR : BJ I-II reg M (-), G (-) PULMO : VBS ka=ki Rh -/-, Wh -/- SN = RM : KK (-) Mata : Pupil bulat isokor GBM : Baik kesegala arah
Pd/ Cek lab darah lengkap + elektrolit (Na, K, Ca, Cl) 3 hari lagi
Pt/ - Drip Ca glukonas 1 amp dalam RL 20 gtt/menit- Inj. Stesolid 10 mg IV BP
14
N. VII, X II : baik Motorik: 5 5 Sensorik : Baik
5 5
FL : Baik RF : +/+
FV : Baik RP : -/-
A/ Spasmofilia
- Inj. Ketorolac 2x1 amp IV- Inj. Ranitidin 2x1amp IV- Kalxetin 20 mg 1-0-0 PO- Paracetamol tab 3x500mg PO
15/10/14 S/ nyeri kepala perbaikanO/ Ku = CM KS = SS T = 100/80 R = 20 x/mnt N = 80 x/mnt S = 36,5 oC SI = COR : BJ I-II reg M (-), G (-) PULMO : VBS ka=ki Rh -/-, Wh -/- SN = RM : KK (-) Mata : Pupil bulat isokor GBM : Baik kesegala arah N. VII, X II : baik Motorik: 5 5 Sensorik : Baik
5 5
FL : Baik RF : +/+
FV : Baik RP : -/-
A/ Spasmofilia
Pd/
Pt/ - Drip Ca glukonas 1 amp dalam RL 20 gtt/menit- Inj. Stesolid 10 mg IV BP- Inj. Ketorolac 2x1 amp IV- Inj. Ranitidin 2x1amp IV- Kalxetin 20 mg 1-0-0 PO- Paracetamol tab 3x500mg PO
16/10/14 S/ pusingO/ Ku = CM KS = SS T = 110/70 R = 20 x/mnt N = 64 x/mnt S = 36,2 oC SI = COR : BJ I-II reg M (-), G (-) PULMO : VBS ka=ki Rh -/-, Wh -/- SN = RM : KK (-) Mata : Pupil bulat isokor GBM : Baik kesegala arah N. VII, X II : baik Motorik: 5 5 Sensorik : Baik
5 5
FL : Baik RF : +/+
FV : Baik RP : -/-
A/ Spasmofilia
Pd/
Pt/ BLPL- Kalxetin tab 1x20mg PO- Paracetamol tab 3x500mg PO- Hi-Bone 1x60mg PO- Myores 2x2mg PO
15
PEMBAHASAN
I. Definisi
Spasmofilia merupakan suatu keadaan dimana terjadi hiperiritabilitas susunan
saraf (neuromuskular) yang bermanifestasi sebagai kejang otot, dan berbagai gejala
neuro astenia berupa nyeri kepala, gelisah, gangguan gastro intestinal, palpitasi, sinkop,
sampai kejang tonik.
II. Etiologi
Dengan ditemukannya hipokalsemia dan hipomagnesemia pada penderita
spasmofilia, harus dipikirkan adanya suatu gangguan metabolik dari kation-kation
tersebut pada susunan saraf sebagai inti gangguannya. Dikatakan penurunan kalsium ion
dalam plasma akan menuju kearah hipereksitabilitas/hiperirritabilitas neuron yang
menimbulkan gejala spasmofilia. Ansietas yang menginduksi hiperventikasi akan
menimbulkan hipokapnia sehingga terjadi peningkatan eksitabilitas aksonal yang akan
menimbulkan gejala klinik spasmofilia. Sementara Day (1990 ) dalam studi kasusnya
menyebutkan tiga generasi mempunyai gejala klinik yang mirip, hal ini memberi
keyakinan bahwa spasmofilia diturunkan secara dominan pada gangguan berupa
hiperiritabilitas neuronal. Pada kesempatan lain Riggs (1992) dalam penelitiannya
menyatakan spasmofilia terjadi secara turun-temurun dan penyebarannya luas.
III. Patofisiologi
Pertama, pada keadaan tekanan darah rendah, aliran darah kedalam kelenjar
paratiroid berkurang, sehingga produksi hormon paratiroid juga menurun. Kedua, pada
keadaan renjatan anafilaktik ion kalsium plasma darah masuk kedalam sel mast dan sel
lekosit basofil. Ketiga, absobsi kalsium dalam ginjal berkurang (2,5). Gejala-gejala yang
timbul kemudian setelah kerja berat mungkin disebabkan kadar ion kalsium darah yang
16
menurun karena terikat oleh asam laktat yang terbentuk bila metabolisma dalam otot
kurang sempurna.
Pada keadaan kadar ion kalsium yang menurun hebat, timbul tetani dengan
gejalagejala spasmus carpopedal, yaitu fleksi plantar kedua kaki, fleksi tangan disertai
menguncupnya jari-jari. Mungkin terjadi laringospasmus. Bila derajat penurunan kadar
kalsium tidak begitu banyak, terjadi keadaan tetani laten atau spasmofilia. Pada keadaan
hipokalsemi ini iritabilitas saraf dan otot meninggi. Iritabilitas saraf dan otot tergantung
pada kosien: Na+ OHCa++ Mg++ H+ Demikianlah iritabilitas saraf otot meninggi pada
keadaan hipokalsemia, hipomagnesemia, alkalosis, hipernatremia, atau kombinasi
keadaan-keadaan ini.
Seperti yang dijelaskan oleh Maruli dkk hipokalsemia yang sering terjadi pada
spasmofilia akibat kelainan sistim regulasi homeostatik konsentrasi kalsium dalam darah
Dalam darah 45 % total kalsium darah terikat dengan albumin, 10% sebagai ion
komplek, 45 % sisanya dalam bentuk ion. Fraksi ion yang diatur oleh hormon tiroid dan
Vitamin D ternyata berpengaruh terhadap fungsi neuromuskuler dan neuropsikiatri (lO).
Paci .A dkk (1984) melakukan penelitian pada 82 anak dengan umur antara 2-12
tahun mendapatkan 46 orang menderita spasmofilia, dari 46 orang tersebut 31
diantaranya didapatkan dengan hipokalsemia. Rangsangan neuromuskuler diatur
menurut hukum LOEB dimana ada keseimbangan antara ion K,N.OH disatu pihak dan
Ca, Mg, H dilain pihak. Penurunan kadar kalsium atau jumlah kalsium total dalam
darah akan menuju kearah hipereksitasi dalam arti praktis. Pada kesempatan lain Nuti
dkk (1987) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna
kadar kalsium plasma antara yang menderita spasmofilia dengan yang tidak menderita
spasmofilia.
Pada kesempatan lain dikatakan spasmofilia atau tetani laten terjadi akibat
hipokalsemia seperti yang dikatakan oleh Fehlinger (1985 ),begitu juga hipomagnesium
juga dikatakan signifikan menyebabkan spasmofilia. Riggs 1989 menunjukkan bahwa
hipokalsimea dan hipomagnesimea menyebabkan sistim saraf pusat maupun perifer
menjadi irritebel dengan kejang dan respek terhadap tetani. Namun dari penelitian
Widiastuti S.tentang kalsium darah arteri dan vena disimpulkan tidak terdapat perbedaan
17
laporan karya ilmiah akhir yang bermakna antara kalsium darah penderita spasmofilia
dengan yang non spasmofilia.
Gregory dkk.l987 mengatakan spasmofilia merupakan kelainan fungsional yang
disebabkan oleh hipereksitabilitas dari sistim saraf (11) Lazuardi S (1995) menjelaskan
bahwa spasmofilia sama dengan sindroma hiperventilasi , dimana ansietas yang
menginduksi hiperventilasi akan menimbulkan hipokapnia dan hipokalsemia, keadaan ini
bermanifestasi sebagai parestesi pada muka dan tangan. Hal ini terjadi bila PC02 turun
sampai 20 mmHg namun aktivitas EMG spontan baru akan terlihat bila PC02 menurun
lagi sebesar 4 mmHg. Penurunan PC02 akan meningkatkan eksitabilitas akson kutan dan
motorik saraf perifer dan perubahan perubahan kelistrikan selaput akson disebabkan oleh
menurunnya kadar ion kalsium plasma. Diperkirakan pula letupan spontan kutan tersebut
adalah sama dengan potensial repetitif pada pemeriksaan spasmofilia. Dengan
menghirup udara dalam kantung bermaksud meningkatkan kadar PC02 sehingga terjadi
eksitabilitas aksonal menurun dan akan menormalisasi kadar kalsium.
Day.1990 .meneliti kasus spamofilia dimana tiga generasi mempunyai gejala
yang mirip, hal ini memberi keyakinan bahwa spasmofilia diturunkan secara dominan
pada gangguan berupa hiperirritabilitas neuronat.
Riggs (1992) meneliti bahwa spasmofilia terjadi secara turun temurun dan
penyebarannya luas.
Griggs .C.R, (1994) menyebutkan bahwa spasmofilia adalah normokalsemi tetani
idiopatik yang bersifat herediter dan didapat . Kelainan yang didapat mirip dengan
neuromiotonia "Isaac's syndrome" yang mana hipereksitabilitas saraf perifer meningkat
menjadi kram otot dan gerakan menyentak "twitching" (J).
Dikatakan spasmofilia bersifat herediter, dimana pada keadaan herediter terdapat
gen-gen tertentu yang tidak ada atau fungsinya tidak optimal. Disebutkan bahwa gen
adalah protein,protein yang berfungsi sebagai protein enzim. Protein enzirn berfungsi
sebagai metabolisme neuron, pada metabolismc neuron terjadi sintesa zat-zat aktif
yang penting yang digunakan dalam penghantaran impuls. Disamping itu dalam
metabolisme neuron terjadi sintesa protein aktif baik yang bersifat enzim dan zat-zat
lainnya untuk pengganti. Juga terjadi pembentukan energi yang diperlukan untuk
18
memelihara potensial listrik(Na, K). Bila terjadi gangguan dalam metabolisme neuron
maka terjadi suatu keadaan hipereksitabilitas dengan berbagai gejala klinisnya.
IV. Gejala klinis
Gejala klinik spasmofilia yang sering dikeluhkan oleh pasien sangat
bervariasi misalnya spasme laring, spasme karpopedal, nyeri perut, nyeri kepala,
kelelahan, ketakutan, emosi labil, vertigo, kram otot, sedangkan gambaran yang
khas biasanya didahului dengan rasa kesemutan pada ekstrimitas terutama tangan
dan daerah mulut disertai parestesia didaerah bibir dan lidah Setelah itu timbul rasa
tegang dan spasme pada otot-otot mulut, tangan dan tungkai bawah, juga meluas ke
daerah mulut, muka dan bagian tubuh lainnya. Kontraksi tonik pada otot-otot distal
lengan dan otot-otot interosea menyebabkan gambaran spasme karpopedal dimana jari-
jari dalam keadaan fleksi pada persendian metakarpopalangeal dan ekstensi pada sendi
interpalangeal, jari-jari dalam keadaan aduksi serta ibu jari dalam keadaan aduksi
dan eksitasi sedangkan pada kaki dijumpai plantar fleksi dipergelangan kaki dengan
aduksi jari-jari kaki.
Paci A dkk (1984) dalam penelitiannya menyebutkan gejala klinik yang sering
muncul adalah nyeri kepala tegang, kram, spasme abdominal, ansietas ,chvosteks sign.
Widiastuti-Samekto (1987) dalam penelitian terhadap 62 pasien dengan keluhan nyeri
kepala, sering pusing (dizzines ), parestesia, kram, nyeri otot, malas. Tes provokasi EMG
positif sebanyak 98,3%, dari pemeriksaan dengan hati-hati didapatkan 80,6 %
diantaranya sering mengalami sakit kepala atau dizzines 59,6% diantaranya dengan
parestesia sepintas, 64,5 % mengalami tangannya terasa dingin, 59,7% terasa tegang di
tengkuk, 29% mengalami spasme atau kram pada ekstrimitas, 11,3% dengan keluhan
dispepsia atau nyeri lambung, 8,1% dengan gangguan cardiovaskular : nyeri
dada, palpitasi dan 91,9 didapatkan Chvosteks sign positif.
Maruli dkk (1992) meneliti 70 kasus yang dengan tes provokasi EMG positif
didapatkan gejala klinis sebagai berikut : nyeri kepala atau dizines sebanyak 58,6% ,
kram dan nyeri otot sebanyak 37,1% parestesia 20% tangan terasa dingin 18,6% , terasa
dingin pada lengan dan kaki sebanyak 15,7 %.
19
Hiperiritabilitas saraf somatik terjadi pada spasme otot dan berubah mengalami
distropia sebagai hasil dari nyeri yang kronis seperti; nyeri tengkuk, bahu tangan,
punggung, nyeri kepala tegang, nyeri disini sebagai konsekuensi dari metabolisme yang
meningkat dan sirkulasi darah yang menurun pada otot tersebut. Impuls nyeri itu sendiri
akan menyebabkan iritasi saraf motorik dalam keadaan kronik dan sebagai hasil dari
suatu keadaan yang disebut sirkulus vitiosus seperti yang dikemukakan oleh Travel &
Simons 1983.
Pemeriksaan Chvostek yang positif sebagai indikasi adanya hipereksitabilitas
serat-serat motorik pada saraf fasialis. Komponen simpatik dari sistim saraf otonom
(vasomotor sudomotor) memberikan rasa dingin pada tangan dan kaki ' parestesia pada
tangan dan kaki, sedangkan komponen parasimpatis memberikan gejala nyeri lambung,
dispnea, dan nyeri dada. Berdasarkan gejala klinik diatas, timbul pertanyaan apakah
dapat menerangkan bahwa gejala klinik yang disebabkan oleh hipereksitabilitas sistim
saraf somatik dan gejala klinik yang disebabkan oleh hipereksitabilitas sistim saraf
otonom dapat dijadikan pegangan untuk mendiagnosis spasmofilia. Hal ini telah
dibuktikan oleh Widiastuti-Samekto (1995 ). Dalam penelitian tersebut
direkomendasikan enam item gejala dan tanda (nyeri kepala tegang,krams, "Chovsteks
Sign" positif,tangan dan kaki terasa dingin dan basah, parestesia, nyeri dada/lambung
terasa tidak enak dengan sensitivitas 80 % (95% confidence interval 70-90% dan
spesifisitas 80 % (95 % conviden interval 70%-90%) oleh karena itu dengan 2 gejala
somatik dan satu gejala otonom dapat menegakkan diagnosis spasmofilia tanpa
pemeriksaan tes propokasi EMG.
V. Diagnosis
Sebelum melakukan pemeriksaan EMG, pemeriksaan yang lebih sederhana dapat
dilakukan pemeriksaan tanda fisik yang berhubungan dengan hiperiiritebel sistim
neuromuskuler. Pemeriksaan tersebut antara lain Ianda Chvosteks yang
ditimbulkan melalui ketukan pada bagian lunak dari pertengahan garis ujung telinga ke
ujung mulut tepat dibawah apophyse zygomaticus. Reaksi positif terdiri alas tiga
tingkatan:
Tingkat 1, bila reaksinya hanya dibibir
20
Tingkat 2, bila reaksinya menjalar ke ujung hidung
Tingkat 3, bila reaksinya seluruh muka ikut berkontraksi.
Tanda lain yang tidak kalah pentingnya adalah Ianda Trousseau, kompresi
lengan atas dengan manset tensi meter ,dimana mula-mula timbul rasa
kesemutan pada distal ekstrimitas, kemudian timbul kejang pada jari-jari dan
tangan yang membentuk suatu konus. Disamping itu dapat dilakukan modifikasi tehnik
ini dengan tehnik Von Bonsdorff dimana manset tensi meter dipertahankan selama I 0
menit kemudian dibuka dilakukan hiperventilasi ,akan timbul spasme karpopedal yang
khas.
Pemeriksaan EMG pada spasmofilia merupakan baku emas dalam
menegakkan diagnosis.Pada basil pemeriksaan terlihat gambaran duplet,triplet juga
multiplet yang mana merupakan potensial aksi yang repetitif dimana gelombang
yang belakangan cenderung mempunyai amplitudo yang besar. Spasmofillia
positifterlihat adanya potensial repetitif spontan dengan frekwensi I 00 sampai 200
cps yang bermanifestasi sebagai duplet,triplet,kwadriplet atau mmultiplet selama dua
menit.Gradasi pemeriksaan ini adalah sebagai berikut :
Ringan (+): 2-6 potensial repetitifdalam waktu lebih dari 2 menit setelah
hiperventilasi.
Sedang (+ + ): sekelompok potensial repetitif lebih dari 2 menit setelah
hiperventilasi atau 2-6 kelompok potensial repetitif selama lebih dari 2 menit
setelah 10 menit iskemmia.
Berat (+++) : langsung tetani setelah hiperventilasi atau lebih dari 6 kelompok
per detik potensial repetitif selama minimal 2 menit setelah 10
menit iskemia.
Amat berat (++++): langsung tetani atau kelompok potensial repetitifselama fase
iskemik.
Seperti kita ketahui bahwa hiperventilasi diinduksi oleh hipokapnia, maka pelu
juga dilakukan pemeriksaan tekanan PC02 agar dapat dilakukan breathing retraining.
Begitu juga pemeriksaan kadar kalsium plasma perlu dilakukan agar dapat mengobati
kausa yang mendasari spasmofilia.Namun beberapa peneliti mengatakan bahwa
kalsum tidak
21
mempunyai perbedaan yang bermakna secara statistik antara pasien spasmofilia
maupun yang tidak spasmofilia.
Di Indonesia saat ini alat EMG tidak merata terdapat didaerah daerah tingkat II
disamping SDM kita yang tidak memadai serta memerlukan biaya yang mahal , sehingga
mendorong Widiastuti Samekto meneliti Gejala-gejala klinik yang dapat dipakai dalam
mendiagnosis spasmofilia.Dalam penelitiannya direkomendasikan 6 item yang
mempunyai nilai diagnostik tinggi ; yakni :
1. Kaku otot,
2. Nyeri otot sebagai konsekuensi spasme kronnik,
3. Spasme akut,
4. Chovsteks sign.
5. Simpatik komponen (basah atau berkeringat pada tangan atau kaki,
parestesia)
6. Parasimpatik komponen ( nyeri/diskomporm epigastrium, nyeri dada).
VI. Penatalaksanaan
Pada keadaan akut dapat diberikan kalsium, terutama kalsium glukonas 10%
sebanyak 10-20 mililiter intravena atau secara oral diberikan kalsium laktat 12 gram/hari
atau kalsium glukonas 16 gram/hari. Bila hipokalsemi sangat berat dapat diberikan 100
milliliter kalsium glukonas 10% dalam 1 liter dektrose 5% secara lambat, lebih dari 4
jam.
Bila masih belum dapat mengatasi tetani, dapat diberikan magnesium karena
tetani sering berhubungan dengan hipomagnesia dengan dosis 2 mililiter magnesium
sulfat 50% secara intra muskuler.
Di samping hal tersebut di atas, dapat diberikan juga hidroklortiazid (HCT)
dengan dosis 50-100 miligram/hari, vitamin D, koreksi pH darah bila ada alkalosis dan
hormon paratirold.
Sebagai tambahan dapat diberikan obat-obat penenang. Tizanidine, bekerja
sebagai miotonolitik untuk mengatasi spasme dan juga berefek analgesik.
22
VII. Prognosis
Spasmofilia dapat disembuhkan. Pasien biasanya dapat diberikan asupan
suplemen kalsium, magnesium dan kalium. Selain itu pasien juga perlu memperbaiki
pola diet dengan mengonsumsi makanan-makanan yang banyak mengandung
sumber kalsium, kalium dan magnesium. Selain itu, pasien juga perlu berolahraga
ringan dan melakukan pemijatan otot untuk relaksasi otot.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Lazuardi.S. Spasmofilia dan nyeri kepala. Dalam .Neurona majalah kedokteran
neurosains) OSSI vol2 (4) 1995: 27-35.
2. Griggs R.C. Muscle spasm, cramps and episodic weakness. In Horriso11 principles of
internal medicine. J D Wilson et a! (eds.) 13 th ed. New York Me Grow Hill inc. 1994.
3. Widiastuti .M.S .Simple clinical symtoms and signs for diagnosing spasmophilia . To
graduate program Gajah Mada University. Yogyakarta.1995
4. Manili M, Anna M.G; Hadinoto S. Spasmofilia aspek klinis dan elektromiografi.
Dalam : Kejang Otot.Editor Hadinoto S,Soetedjo, Timotius J. Semarang.Badan
penerbit Universitas Diponogoro. 1995: 39-47.
5. Paci. A, Sartucci. F, Rossi B,Migliaccio P, Palleri R. Clinical manifestation of
spasmophilia in developing age. Pediatr Med Chir 1984. 6 (6) :823-829.
6. Nuti R, TurchettiV, Martini G, Righig, Galli M, Lore F. Pathophysiological aspects of
calcium metabolism spasmophilia.Biomed Pharmacother.1987. 41(2): 96-100
7. Riggs J E.Neurological manifestation of fluid and electrolyt disturbances .Neurol Clin
1989. 7(3): 509-523.
8. Utama J .Spasmofilia, Majalah Kedokteran Indonesia 1972 :22: 93-98.
24