Download - Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran
HEGEMONI PEMIKIRAN
SEBAGAI WAJAH BARU TOTALITARIANISME
(SUATU INTERPRETASI FILOSOFIS TERHADAP TOTALITARIANISME)
NANDA DESVITA Z
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2007
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
HEGEMONI PEMIKIRAN
SEBAGAI WAJAH BARU TOTALITARIANISME
(SUATU INTERPRETASI FILOSOFIS TERHADAP TOTALITARIANISME)
Skripsi
diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai gelar
Sarjana Humaniora
oleh
NANDA DESVITA Z
NPM 0703160205
Program Studi Filsafat
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2007
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Skripsi ini telah diujikan pada hari Kamis,
Tanggal 19 Juli 2007
PANITIA UJIAN
Ketua Pembimbing
Dr. Singkop Boas Boangmanalu Rocky Gerung, S.S.
Panitera Pembaca I
Rocky Gerung, S.S. Donny Gahral Adian, M.Hum.
Pembaca II
Budiarto Danujaya, M.Hum.
Disahkan pada hari…….., tanggal….. oleh:
Koordinator Program Studi Dekan
Donny Gahral Adian, M.Hum. Prof. Dr. Ida Sundari Husen
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Seluruh isi skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Depok, 19 Juli 2007
Penulis
Nanda Desvita Z
NPM. 0703160205
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
PRAKATA
Kecemasanan terhadap semakin mengejawantahnya nilai-nilai kekerasan
dalam kehidupan masyarakat kontemporer baik yang dilakukan negara atau oleh
masyarakat awam, mendorong saya untuk merumuskan kondisi tersebut dalam skripsi
sederhana ini. Setelah melewati proses yang tidak panjang namun cukup melelahkan,
akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Selain
totalitas dan kerja keras penulis, tentu saja keberhasilan skripsi ini tidak dapat
dipisahkan dari pihak-pihak yang telah membantu dalam menyumbangkan berbagai
ide, saran, dan kritik. Semoga pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam setiap
helai halamannya dapat menambah wawasan kita semua.
Terima kasih saya tujukan kepada pembimbing saya Bapak Rocky Gerung,
S.S. yang telah memberikan sumbangan gagasan dan pandangan yang membuka
cakrawala berpikir dalam berbagai kuliah terutama selama masa penulisan skripsi ini.
Kepada kedua dosen penguji; Bapak Donny Gahral Adian, M.Hum (sekaligus
Koordinator Program Studi) dan Bapak Budiarto Danujaya M.Hum, serta Bapak Dr.
Akhyar Yusuf Lubis (sebagai Pembimbing Akademik), terima kasih atas kritik dan
sarannya sehingga mutu dari isi skripsi ini bisa ditingkatkan. Kepada semua dosen
yang telah menyiramkan ilmu kepada saya selama mengikuti kuliah di Program Studi
Filsafat ini hingga saya dapat menuai pencerahan, serta para staf yang telah
membantu kelancaran proses akademis penulis.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Teman-teman angkatan 2003; teman-teman seperjuangan yang saling
mendukung dan berbagi semangat: Rizal Nova Mujahid (terima kasih Nop, atas
sarannya!), Ira “karax” dan Bidari “bee” Setiarum Sari, (yang selalu membantu di
saat-saat sulitku.. hehe), Rika “kalebot” Febriani, M. Abdul “ochit” Rasyid,
Khairurrijal, Rugun Siahaan, Boy Dimas Kristian, Arief Rahmat Fadilah, Erick
Cahyanta, Stephanie Natalia, Pratiwi Sinaga, Adhi Prayoga, Wilis. Juga kepada
Chevi yang senantiasa mendengarkan keluh-kesah serta tidak pernah lelah
menyemangati saat titik-titik kejenuhan mulai singgah di pikiranku.
Terakhir, skripsi ini saya persembahkan untuk keluarga tercinta yang memberi
dukungan, doa dan harapan sebagai sebuah pelukan kekuatan dan peneguh
semangatku. Hingga ketika harus mengucapkan kata syukur, maka "Betapa Maha
Besarnya Engkau ya Allah! karena telah memberikan kesempatan kepadaku untuk
menjadi seorang mahasiswa, yang membuat rangkaian perjalanan hidupku mendekati
kesempurnaan".
Terima kasih
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
IKHTISAR
NANDA DESVITA Z. Hegemoni pemikiran sebagai wajah baru
totalitarianisme; suatu interpretasi filosofis terhadap totalitarianisme. (Di bawah
bimbingan Rocky Gerung, S.S.). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, 2007.
Segala permasalahan yang menjurus pada pemaksaan satu gagasan, identitas,
dan esensi disebut dengan totalitarianisme. Bila penguasa totaliter di era terdahulu
melaksanakan praktek totalitarianisme dengan menggunakan kekerasan dan paksaan
(force), di zaman global yang penuh dengan keberagaman ideologi, cara pandang dan
pemaknaan terhadap kehidupan, penguasa terpaksa mencari upaya lain dalam
melakukan transformasi dan kontrol total dengan membangun suatu standar tunggal
pemaknaan. Itulah sebabnya mengapa peran bahasa dalam menundukkan masyarakat
sangat penting bagi penguasa saat ini. Pemusnahan hebat lewat dominasi interpretasi
terjadi hingga menumpulkan potensi kritis masyarakat dalam ruang kesadaran yang
direkayasa negara hingga mengarahkan masyarakat menjadi manusia-manusia yang
seragaman dalam berpikir (single-minded structure of society). Dengan kata lain,
hegemoni penguasa terhadap pemikiran masyarakat dapat dikatakan sebagai wajah
baru totalitarianisme.
Totalitarianisme yang telah berlalu secara historis meninggalkan benih-
benihnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat kontemporer, yaitu melalui
hegemoni pemikiran dengan bahasa sebagai instrumen kekerasannya. Namun,
perkembangan benih-benih berbahaya tersebut dapat diantisipasi dengan
membudayakan penghargaan terhadap pluralitas dan rasionalitas. Masyarakat
seharusnya mulai memberanikan diri untuk “berperang” argumen dengan berpegang
pada prinsip-prinsip rasionalitas dan menghindari perang fisik seperti yang sering
terjadi di negara kita. Budaya “liar” berperilaku sudah seharusnya ditinggalkan dan
beralih pada budaya “liar” dalam berpikir. Implikasi dari budaya tersebut tentu saja
kehidupan sosial yang diwarnai dengan kompleksitas pemikiran.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Percaturan politik dunia seakan sulit sekali dipahami oleh masyarakat yang
hanya memiliki pengetahuan dan wawasan yang minim, terutama mengenai
kebenaran realitas sejarah dunia. Dengan latar belakang wawasan yang minim dan
ditambah dengan kurangnya kritisisme dalam berpikir, seseorang maupun suatu
kelompok masyarakat akan menerima begitu saja segala informasi yang “disuguhi”
kepada mereka.
Satu diantara sekian banyak fenomena sejarah dan politik terbesar di abad dua
puluh adalah peristiwa kekerasan yang bernama Holocaust.1 Sejak kehancuran
pemerintahan Hitler, Holocaust menjadi kajian yang sering dibahas di berbagai ruang
perkuliahan. Menurut catatan sejarah dunia, enam juta masyarakat Yahudi tewas dan
menjadi korban kekejaman Hitler dan rezim totaliternya pada masa Perang Dunia II.
Kemunculan totalitarianisme Nazi dan Bolshevik merupakan gambaran paling
dramatis pergulatan politik abad 20. Bentuk totalitarianisme semacam ini tidak lepas
dari upaya membentuk sebuah negara yang bersifat pasti dari segala
ketidakmenentuan karena melibatkan banyak massa. Kurangnya kebijakan negara
1 Penghancuran besar terhadap kehidupan, khususnya dengan pembakaran, namun secara teknis
berarti pembantaian masal dan keji terhadap kaum Yahudi oleh NAZI Jerman di bawah kekuasaan Adolf Hitler pada masa Perang Dunia II. Norman G Finklestein, The Holocaust Industry (Jakarta: Ufuk Press, 2006). hlm x.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
yang mendukung aspirasi sebagian kelompok memunculkan sentimen diluar
permasalahan kelemahan kerangka politik yang ada seperti kasus Hitler dengan
superioritas ras Arya yang mendorongnya untuk mewujudkan sebuah negara mono-
etnis. Walaupun kemunculan kedua bentuk totalitarianisme tersebut dipengaruhi
gagasan ultranasionalisme namun ketidakmatangan mengakomodasi berbagai aspirasi
oleh negara merupakan juga faktor lain yang menonjol; suatu ketidakmatangan yang
menjadi titik berangkat analisis Hannah Arendt bagi situasi-situasi politik abad 20
yang demikian dramatis di Barat dan juga negara-negara despotisme Timur seperti
India dan Cina.2
Analisanya berangkat dari konsep modernitas yang merupakan situasi dasar
dari peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan politik sepanjang awal abad 20.
Sistem modern merupakan pergeseran radikal ketika kemunculan teknik reproduksi
barang pada abad 18 mengubah sistem ekonomi tradisional yang bersandar pada
produksi manual. Penemuan teknik memungkinkan manusia untuk membuat barang
dalam waktu yang lebih pendek dengan hasil yang lebih banyak. Kondisi ini
memunculkan bergeraknya sistem ekonomi yang memerlukan perhitungan, prakiraan,
dan kesimpulan yang lain dari sistem ekonomi sebelumnya.
Pertanyaan yang sering kali menggerogoti pikiran kita mengenai sejarah
totalitarianisme adalah bagaimana keterkaitannya dengan fenomena antisemitisme
dan imperialisme. Pada satu tingkatan, keterkaitan di antara ketiga fenomena tersebut
merupakan suatu hal yang sangat mengagumkan. Antisemitisme merupakan ideologi 2 Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: A Harvest Book, 1951), hlm. 311
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
yang telah tersebar luas di Eropa sejak abad ke-19 yang muncul sebagai akibat dari
adanya konsep negara-bangsa di Eropa. Tetapi pada abad dua puluh rezim totaliter
Nazi-lah yang terlebih dahulu memulai secara sistematis melakukan penangkapan
dan membuang orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi.
Fenomena massa yang menjadi ciri khas modernitas abad ke-20,
menggantikan fenomena kelas yang dominan dalam realpolitik di abad ke-19 dan
pada perkembangannya menjadi prakondisi dari lahirnya totalitarianisme. Gerakan
totalitarianisme akan mungkin terjadi di mana terdapat massa yang memiliki minat
terhadap organisasi politik tetapi tidak berkumpul atas dasar kepentingan bersama,
dan mereka tidak memiliki artikulasi kelas yang terungkap dalam tujuan-tujuan yang
jelas, seperti dituliskan Arendt berikut ini:
“Totalitarian movements are possible wherever there are masses who
for one reason or another have acquired the appetite for political organization. Masses are not held together by a consciousness of common interest and they lack that specific class articulateness which is expressed in determined, limited, and obtainable goals. The term masses applies only where we deal with people who either because of sheer numbers, or indifference, or a combination of both, cannot be integrated into any organization based on common interest, into political parties or municipal governments or professional organizations or trade unions. Potentially, they exist in every country and form the majority of those large numbers of neutral, politically indifferent people who never join a party and hardly ever go to the polls.”3
Kombinasi teror dan ideologi adalah karakteristik yang melekat dalam praktek
totalitarianisme. Ideologi yang dianut dalam totalitarianisme memaksakan logikanya
3 Ibid.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
kepada seluruh aspek kehidupan seakan-akan tidak ada penjelasan lain yang dapat
menerangkan seluruh persoalan di dunia ini selain melalui logika yang dianut oleh
“sang penindas”.
Berbagai kasus seperti "Perang Dingin", “Tatanan Dunia Baru”, Demokrasi
dan lain sebagainya merupakan isu yang sangat popular dikalangan intelektual
kontemporer. Sejak runtuhnya pengaruh Uni Soviet pasca Perang Dingin tahun 1991,
Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara Adikuasa di dunia dan berpengaruh
dalam bidang ekonomi, teknologi, militer, dan human resources, hingga berperan
sebagai “polisi dunia”. Perkembangan ilmu dan tekonologi pun membawa manusia
menuju kancah globalisasi.
Melodrama umat manusia yang kini tengah mengawali fase pertama milenium
ke-tiga dianggap belum mampu mengatasi tembok ideologis sejak perang dingin
berakhir. Terlebih dalam perkembangannya ke depan, pertarungan ideologi antara
kapitalisme dengan komunisme menghasilkan kerugian di pihak komunis dan
kegamangan bagi pihak-pihak yang lemah seperti negara-negara di Dunia Ketiga.
Dalam wilayah internasional, yang terjadi hingga saat ini secara retrospektif jelas
bahwa segi dominan politik dunia adalah ekspansi kontrol kekuasaan dan hegemoni.
Di balik itu, yang mempengaruhi keberhasilan kontrol kekuasaan dan hegemoni
tersebut adalah sejauh mana fakta, kultur dan bahasa, dan aspek-aspek lainnya yang
memainkan peranan dalam realitas sosial.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Belakangan, popularitas “kebenaran” peristiwa kekejaman Kerajaan Seribu
Tahun Hitler (Hitler’s Tausendjähriges Reich)4 kembali menjadi perbincangan
hangat baik di kalangan akademisi maupun politisi di dunia. Tanggapan atau reaksi
yang muncul pun sungguh beragam dari yang pro atau kontra baik yang
dilatarbelakangi oleh sentimen ideologis maupun berdasarkan prinsip-prinsip
intelektualitas. ‘Kerusuhan’ yang terjadi perihal fenomena kekejaman yang dilakukan
Hitler dan Nazi ini menjadi pemicu timbulnya keinginan penulis untuk mengetahui
lebih dalam mengenai totalitarianisme, apakah konsep tersebut hanya merupakan
gambaran dari praktek kekerasan yang dilakukan Hitler dan Stalin ataukah konsep
tersebut masih bekerja hingga masa kontemporer ini.
Kontemporer merupakan era yang ditandai dengan tidak adanya keseragaman
terhadap segala interpretasi hampir di seluruh aspek kehidupan. Sebagai konsep
politis, totalitarianisme adalah konsep yang dinamis artinya karena dalam rentang
ruang-waktu sejarah ia mengalami sejumlah perubahan atau pergeseran makna. Hal
ini terlihat dengan banyaknya karya tulisan yang menunjukan minat masyarakat yang
cukup besar terhadap konsep dan fenomena tersebut.
Namun yang menimbulkan keresahan bagi saya adalah mengapa di era yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan demokrasi tidak sedikit dari mereka yang
menyatakan “kecurigaan” terhadap Holocaust malah berhadapan dengan hukum,
terutama mereka yang berada di negara-negara Eropa dan Amerika, dan apakah
4 Istilah yang digunakan Hannah Arendt dalam karya momumentalnya The Origins of Totalitarianism
bagi periode kekejaman pemerintahan Hitler yang berjaya selama dua belas tahun. Lihat Ibid.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
fenomena tersebut merupakan gambaran represi penguasa terhadap kebebasan
manusia dalam berpendapat. Oleh karena itu, penulis berkeinginan meneliti lebih jauh
mengenai kemungkinan besar keberlanjutan fase-fase berikutnya dari totalitarianisme
dan penerapan konsep ini dalam realpolitik sekarang. Asumsi sementara penulis
adalah bahwa totalitarianisme saat ini tidak lagi dilaksanakan dengan jalan tindakan
kekerasan melainkan dengan pemaksaan secara halus cara berpikir atau hegemoni
pemikiran.
Implementasi dari hegemoni pemikiran tersebut dipraktekkan melalui
penggunaan jalur propaganda. Struktur pikiran individu terhisap ke dalam
komunikasi massa dan indoktrinasi, pelenyapan “opini publik” sekaligus orang-orang
yang mengutarakannya. Bahasa dan media massa merupakan instrumen yang sangat
vital bagi penguasa untuk dapat berhasil “mengobok-obok” kesadaran sekaligus
memanipulasinya. Chomsky yang menulis buku tentang kaitan bahasa dan pikiran
menunjukkan peranan teknik-teknik “pabrik pengolahan persetujuan” (manufacturing
consent) untuk mengatur atau justru merekayasa persetujuan yang akan muncul
dalam masyarakat.5
Wacana (discourse) yang tadinya dimengerti sebagai jembatan antara sisi
yang satu dengan lawannya atau kebalikannya (penampakan–realitas, substansi–
atribut, esensi–eksistensi) perlahan menjadi punah dengan semakin berjayanya cara
berpikir dan berperilaku satu dimensi. Bahasa juga dipakai penguasa sebagai
5 Lihat Noam Chomsky. Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris?. Mizan, Bandung. 2001,
terjemahan dari Pirates and Emperors: International Terrorism in the Real World. Amana Bookss, Inc., 1986.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
instrumen untuk mendominasi alam berpikir masyarakat. Bahasa yang dimanipulasi
adalah ciri rezim totaliter yang mencoba menyetir semesta pembicaraan dan
pemaknaan. Apakah dampak dari hal tersebut? Tentu saja magis dan hipnosis
sekaligus, proyeksi dari gugus imaji yang memberikan gambaran kesatuan yang
semu.
Tingkat penguasaan teknologi yang canggih serta monopoli atas persenjataan
dan pasukan militer adalah fasilitas yang dimiliki oleh rezim totaliter saat ini.
Monopoli yang mendekati total-komplit atas sarana-sarana komunikasi massa serta
mempunyai ideologi resmi negara yang memperjuangkan “kondisi sempurna” dari
umat manusia, dan semua orang yang berada di wilayah negara maupun yang
menjadi target politik mereka harus memeluk ideologi ini. Sistem seperti ini
merupakan sistem yang totaliter dan represif.
Bermula dari prinsip fundamental bahwa upaya kekerasan terhadap warga
merupakan tindakan teror, tidak peduli apakah dalang kejahatan kemanusiaan adalah
kelompok yang terorganisir rapi dari ekstremis atau dari negara paling berkuasa di
dunia, Chomsky dengan istilah yang menyengat dan tanpa kompromi menentang
kebijakan pemerintah Amerika yang melakukan aksinya berdasarkan standar
moralnya sendiri untuk menuntut (memaksa) pihak lain mentaatinya.
Totalitarianisme di satu sisi adalah gerak irasionalitas dari rasionalitas yang
teknologis dan logika dominasi dari rezim, di sisi lain merupakan himpunan dari
individu yang tercetak menjadi tidak kritis dan submisif dalam masyarakat yang
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
menggelorakan konformitas dan identifikasi diri dengan hal-hal yang dipahami
berdasarkan pemikiran palsu yang diciptakan oleh para penguasa.
Kekuatan politik dan ekonomi yang kuat yang dimiliki oleh penguasa dapat
dengan mudah menjelma menjadi rezim kesadaran yang mendoktrin warga dunia
untuk mengikuti kehendak-kehendak politiknya. Misalnya, politik bahasa dan
kesadaran yang dilancarkan dan mengendap di seluruh pelosok dunia telah cukup
menjadi legitimasi moral bagi Amerika untuk menjustifikasi tindakan terorismenya.6
Begitu juga di beberapa Dunia Ketiga khususnya di kawasan Asia termasuk di
Indonesia, terdapat tendensi kebijakan yang mengarah pada totalitarianisme.
1.2 Rumusan Masalah
Konspirasi segelintir kaum berhasil memanipulasi dunia dan kepentingannya
melalui pengeksploitasian momen sejarah demi suatu tujuan yaitu penguasaan
terhadap dunia. Hal ini memang lazim digunakan oleh setiap penguasa di dunia dan
disetiap periode historis. Keingintahuan yang besar membawa penulis untuk
mengeksplorasi kerja fakta-fakta sejarah yang tersaji dengan begitu saja melalui
common sense menuju suatu perspektif dan arti baru terhadap berbagai istilah dan
peristiwa kekerasan atau tirani yang bekerja di dunia.
6 Terorisme yang dimaksudkan dalam hal ini adalah istilah yang diciptakan dan dikembangkan dalam
kamus yang diterbitkan oleh Amerika, yang mengacu kepada tindakan-tindakan (kekerasan) politik kaum oposisi atau marginal yang berada di luar mainstream politik dunia dan tidak sesuai dengan kebijakan serta kepentingan politik Amerika. Sementara itu, bila Amerika bertindak keras terhadap kelompok lain hal itu disebutnya sebagai “tindakan balasan” atau “serangan-serangan lebih dulu yang sah untuk menghindari terorisme lebih lanjut”. Ibid.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apakah ada pikiran yang benar-
benar murni datang dari individu atau masyarakat yang tidak palsu? Pemikiran
disebut palsu karena pikiran itu dipaksakan pada individu oleh kepentingan-
kepentingan sosial tertentu dengan cara “manipulasi”. Apakah orang bisa benar-benar
membedakan antara media massa sebagai instrumen informasi dan hiburan dengan
media massa sebagai agen manipulasi dan indoktrinasi? Karena logika yang bermain
dalam alam rasionalitas ini adalah logika dominasi dengan perpaduan yang
mengerikan antara kebebasan dan penindasan, produktivitas dan penghancuran,
pertumbuhan dan regresi. Apakah ada sesuatu yang keliru dengan sistem dan logika
bermain seperti ini?
Apakah tindakan hegemoni pemikiran oleh sang penguasa adalah upaya
untuk meredam segala bentuk konflik dan menciptakan manusia-manusia yang
seragam dalam cara berpikir dan bertindak? Oleh karena rezim totaliter lebih
menyukai keseragaman dari pada perbedaan dan totalitas dari pada partikularitas
maka hegemoni pemilik kuasa terhadap pemikiran masyarakat dapat dikatakan
sebagai wajah baru totalitarianisme di masa kontemporer.
Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk merumuskan permasalahan yang
hendak dibahas yaitu bagaimana masyarakat modern dan kontemporer bisa
menghasilkan totalitarianisme dengan menggunakan sudut pandang Hannah Arendt
dan Noam Chomsky, serta bahasa sebagai media dalam totalitarianisme di era
kontemporer. Oleh karena skripsi ini merupakan studi mengenai totalitarianisme
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
dalam real politik masyarakat kontemporer, dengan landasan teori dan fenomena
sejarahnya pada abad dua puluh dan zaman klasik maka dalam penelitian ini penulis
mencoba mengangkat makna totalitarianisme keluar dari satu wilayah negara ke
wilayah internasional.
1.3 Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
pengetahuan akademis kita. Secara metodologis, penulisan skripsi ini ingin
menandaskan argumentasi bahwa totalitarianisme tidak berhenti dengan berakhirnya
masa kekuasaan Hitler atau pun Stalin diera 1950an melainkan terus bergulir
disepanjang sejarah masyarakat kontemporer. Oleh karena sejarah merupakan praktek
kemanusiaan yang memiliki dampak terhadap masa depan manusia maka sejarah
merupakan kunci (keyword) dalam memecahkan persoalan antara peristiwa dan
makna yang terkait dalam kehidupan manusia.
Kita harus tetap waspada terhadap segala macam otoritarianisme dan
totalitarianisme yang terselubung dalam kemasan-kemasan bahasa yang dapat
menggiring kesadaran publik. Hal ini bisa terjadi tidak hanya dalam kancah
internasional, tapi juga dalam ruang lingkup kehidupan sosial yang paling kecil.
Penulisan ini bertujuan guna mencari jawaban terhadap sistem yang menggiring
masyarakat ke arah “perbudakan akali” yang dapat meng-auskan akal pikiran
sehingga akal pikiran tersebut tidak lagi bekerja dengan benar.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
1.4 Metodologi Penelitian
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian
analisis-interpretatif terhadap sistem perpolitikan kontemporer yang cenderung masih
memiliki karakteristik totalitarianisme. Dalam hal ini penulis berpandangan
bahwasannya untuk memperoleh keakuratan hasil penelitian maka penulis
menggunakan analisa politik kontemporer Noam Chomsky dari sudut pandang
bahasa dan mengelaborasinya dengan konsep rasionalitas instrumental Habermas
sebagai cikal bakal terhambatnya jalur komunikasi masyarakat yang sehat dalam
mencapai konsensus, hingga mencapai taraf hegemoni pemikiran, Di samping itu
juga digunakan sudut pandang Hannah Arendt sebagai landasan dalam memaparkan
asal-usul terjadinya totalitarianisme pada abad dua puluh.
Secara garis besar pengumpulan terhadap data penelitian dilakukan dengan
tinjauan kepustakaan terhadap karya-karya Noam Chomsky dan tinjuan internet di
website resmi Noam Chomsky serta karya-karya Hannah Arendt sebagai data primer
yang dibutuhkan dalam penelitian. Begitu juga dengan data sekunder yang
merupakan karya dari penulis lainnya yang mendukung tema skripsi ini.
1.5 Thesis Statement
Totalitarianisme telah berlalu secara historis, tetapi benih-benihnya dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat kontemporer tetap ada, yaitu melalui hegemoni
pemikiran dengan bahasa sebagai media propaganda, dengan kata lain hegemoni
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
penguasa terhadap pemikiran masyarakat dapat dikatakan sebagai wajah baru
totalitarianisme.
1.6 Sistematika Penulisan
Secara sistematis skripsi ini ditulis dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri
dari beberapa sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Pada bab
satu penulis berusaha menguraikan latar belakang permasalahan yang disertai dengan
kerangka teoretisnya, tujuan penelitian, batasan dan rumusan permasalahan, metode
penelitian, pernyataan tesis dan sistematika penulisan.
Bab dua adalah deskripsi mengenai sejarah ringkas totalitarianisme yang
bibitnya terdapat dari masa klasik peradaban dunia seperti Pax Romana, hydraulic
totalitarianism, dan transformasi kekuasaan pada masyarakat pra-industri.
Upaya perbandingan konsep totalitarianisme menurut Hannah Arendt dan
Noam Chomsky menjadi bagian dalam bab tiga.
Bab empat merupakan bagian yang menjadi ruang analisa kritis
totalitarianisme yang dilihat dalam masa kontemporer, berisi penjelasan tentang
pemikiran yang dimanufaktur dengan bahasa sebagai media propaganda.
Bab lima adalah bagian penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan
penulisan skripsi. Selain berisi kesimpulan, pada bab ini juga akan ditambah dengan
sub bab kontribusi teoritis dari penulis, relevansi praktis terhadap dunia dan negara
Indonesia dan analisa prospektif.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
BAB II
SEJARAH RINGKAS KEKERASAN DI BELAKANG
TOTALITARIANISME
Bukan suatu hal yang mengherankan bila kekerasan selalu setia melintasi
sejarah kehidupan manusia karena tradisi kekerasan pada dasarnya telah melekat pada
peradaban manusia dari zaman klasik hingga dewasa ini. Argumentasi tersebut tentu
saja dapat kita periksa kebenarannya dengan melihat pada fakta sejarah yang terjadi
di sepanjang peradaban manusia. Dalam bab ini penulis mencoba mencari gambaran
kekerasan tersebut pada sejarah peradaban Imperium Romawi, sistem pemerintahan
yang despotis pada masyarakat Cina Kuno, dan transformasi kekuasaan pada
masyarakat pra-industri abad ke-14 hingga abad ke-17 sebagai bekal dalam
memahami krisis yang terjadi pada dua abad terakhir.
2.1 Serpihan Kekerasan di Balik Pax Romana (27sM–180M)
Romawi mencapai masa kejayaannya pada periode kekaisaran Augustus
(27sM) sampai berakhirnya masa kekaisaran Marcus Aurelius (180M) yang juga
merupakan seorang ahli filsafat. Kenaikan Augustus Caesar mengakhiri perang sipil
(civil wars) yang berkecamuk pada abad pertama sebelum Masehi dan telah
menimbulkan kekacauan di Republik Roma, kemudian memperbaiki sistem
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
pemerintahan dan membangun dasar-dasar keamanan dan perdamaian di dalam
negeri (Pax Romana).1
Augustus yang merupakan anak angkat Julius Caesar mewarisi tahta
kekaisaran setelah kematian Julius yang dibunuh oleh beberapa orang anggota Senat
Roma. Kematian Julius tersebut hanya berjarak sebulan setelah ia mengumumkan
dirinya sebagai diktator di seluruh Romawi. Pada periode Pax Romana, daerah
kekuasaan Romawi tersebar luas di sepanjang wilayah Mediterania, dan kontrol
terhadap wilayah-wilayah tersebut berjalan lancar dibawah “Empat Kekaisaran
Romawi” (The Four Emperors).2
Inti dari masa kejayaan Romawi ini adalah bagaimana bekerjanya strategi
pemerintahan mulai dari perebutan kekuasaan, pembangunan militer hingga
kolonialisasi ke daerah-daerah perbatasan, perlawanan terhadap suku Barbar, dan
upaya menjaga stabilitas politik dalam negeri yang kesemuanya tidak terlepas dari
praktek kekereasan.
Ada beberapa hal yang menjadikan makna “damai” (peace) dimasa itu
menjadi relatif, selain memang dibawah Pax Romana daerah kekuasaan Romawi 1 Pax Romana atau Roman Peace adalah bahasa latin bagi masa perdamaian Romawi; seluruh wilayah
yang dikuasai oleh imperium Romawi tunduk di bawah pemerintahan Romawi yang kuat. Meskipun begitu, istilah “Peace” dapat menimbulkan kesalahpahaman terhadap makna perdamaian, karena adanya kandungan kekerasan yang cukup berarti selama berlangsungnya periode tersebut, terutama terhadap sistem pemerintahan Romawi mengenai hukum dan tatanan masyarakat (civil order) di berbagai provinsi atau daerah kekuasan yang merupakan basis bagi sebagian besar sistem pemerintahan Barat saat ini. The History Guide, the Lectures on Ancient and Medieval European History: August Caesar and The Pax Romana. http://www.historyguide.org/ancient.html. Diakses tanggal 10 Juli 2007, pukul 16.40 WIB.
2 Ibid. Di bawah Empat Kekaisaran (Augustus, Claudius, Vespasianus dan Marcus Aurelius) masyarakat Roma berada dalam kondisi yang damai dan terhindar dari gangguan-gangguan kejahatan yang berasal dari dalam dan luar wilayah negara.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
menjadi damai, tetapi mekanisme penguasaan yang dijalankan terhadap warga negara
cenderung bercorak tirani dan despotis. Hal tersebut tampak pada sistem hukum
dimasa itu seperti hukuman pemotongan tangan dan kepala yang dijatuhkan terhadap
Cicero pemikir terbesar di Roma, menjadi tontonan publik yang ditempatkan di
Forum. Kemudian sikap pemerintah dalam mengatasi perang saudara, dan
pertumpahan darah selama periode invansi kekuasaan.
Kepemimpinan Augustus mematikan peranan lembaga perwakilan dengan
menyatukan semua institusi dibawah kekuasaan dirinya yang memegang sekaligus
peranan sebagai konsul, kepala agama (Pontifex Maximus), sebagai public censor,
dan memerintah berdasarkan prestise yang dimilikinya sebagai seorang Princeps
Civitas (warga negara utama) dan pater patriae (father of country).3
Kediktatoran dan tirani yang dilakukan oleh Augustus tertutupi karena
keberhasilannya dalam menyusun organisasi dan administrasi negara yang menjadi
daya tarik tersendiri yang memukau masyarakatnya. Namun pada masa kekaisaran
Tiberius, anak tiri Augustus, mekanisme kekuasaan yang dijalankan lebih condong
pada kebrutalan. Taktik yang digunakannya dalam mengatasi keadaan di masyarakat
adalah dengan memperdagangkan remaja dan anak-anak sebagai budak. Walaupun
cara ini efektif, namun di samping itu akibat yang ditimbulkan jauh lebih buruk.
After the death of Augustus, Tiberius (42 B.C.-A.D. 37; emperor, A.D.
14-37), the stepson of Augustus, became the leader of the state. A rather dark, vengeful, complex man and a soldier by training, Tiberius was suspicious of the Senate who were equally befuddled by his behavior. The reign of Tiberius
3 Ibid.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
eventually became a tyranny -- in the wake of his paranoia, dozens of members of the Senate and equestrians were denounced and killed. The reign of Tiberius ended the illusion that the Republic had been restored and revealed some of the future of the Principiate.4
Kekerasan dan kediktatoran kemudian terus menjadi partner bagi sebagian
besar kaisar atau penguasa berikutnya setelah kematian atau akhir dari kekaisaran
Augustus. Para petinggi berlomba-lomba dalam merebut dan menjalankan kekuasaan.
Nero, kaisar yang memerintah pada 54M-68M bertindak kejam dan lalim. Dia tega
membunuh keluarga dan gurunya serta membakar kota Roma (namun agar bisa
menganiaya orang-orang Kristen, kemudian dia menuduh mereka sebagai pelakunya).
Kekejaman juga dilakukan oleh Titus yang menggempur Yerusalem dan
mendeportasi bangsa Yahudi keluar mereka dari negerinya.
Kejayaan Romawi mengalami kemunduran setelah kematian Marcus
Aurelius. Pada akhir abad ke-tiga dapat dikatakan sebagai masa-masa krisis
Imperium Romawi. Tidak ada pemimpin yang dapat menjalankan sistem
pemerintahan dengan baik. Diantara tahun 211M dan 300M, sekitar tujuh puluh
kaisar berlomba-lomba untuk memperoleh kesempatan melakukan kontrol terhadap
pemerintahan sedangkan pada saat yang sama, terjadi disintegrasi di wilayah
perbatasan, suku Barbar mulai masuk menyerang ke dalam wilayah Imperium
Romawi, berbagai kota mendeklarasikan kemerdekaan mereka dari Roma, budak-
budak melakukan pemberontakan, dan tanggung jawab warga terhadap negara hilang
dalam sekejap. Tatanan sosial kemudian dapat diperbaiki, tetapi tidak konsisten 4 Ibid.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
dengan gagasan Republik atau tujuan August Caesar. Dengan kata lain Pax Romana
menjadi berakhir pada saat itu.
Diocletian (236M-305M) melaksanakan periode “Anarkhisme Militer”
dengan memerintahkan pembunuhan terhadap pengikut agama Kristen (284M-
305M). Tirani terus-menerus berperan dan mempengaruhi proses transformasi
kondisi negara selama abad ketiga ke arah kekacuan. Lebih dari tiga puluh lima
persen tentara militer berasal dari Jerman atau suku Barbar yang bersifat opresif
terhadap warga Roma. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa bangsa Jerman telah
memiliki benih rasisme dari zaman klasik.
Di salah satu sisi Pax Romana dipandang sebagai prestasi besar pemerintahan
Augustus; karena telah membawa keadaan damai bagi penduduk Roma. Tetapi di sisi
lain Pax Romana juga telah menggoreskan nilai dan tradisi kekerasan dalam sejarah
peradaban manusia. Augustus dapat disejajarkan dengan pemimpin despotik seperti
Mao Tse Tung yang memiliki kemiripan dalam menjalankan kekuasaannya. Tetapi
bedanya pengaruh Augustus lebih besar terhadap peradaban dunia Barat yang
diwarisi hingga sekarang.
2.2 Hydraulic Totalitarianism (Oriental Despotism)
Beranjak dari sejarah imperium Romawi, Karl August Wittfogel seorang
berkebangsaan Jerman dan pernah menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh
Hitler dan rezim Nazi-nya, dua Perang Dunia, Revolusi Rusia, dan kegilaan yang
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
dilakukan oleh rezim Fasis, dalam karyanya Oriental Despotism menemukan total
power pada pemerintahan hidrolik (hydraulic governance) Cina dan India kuno dan
Maoisme yang juga dianggap sebagai penguasa totaliter. Totalitarianisme juga
terdapat di Afrika, seperti kebijakan Shaka Zulu, begitu juga yang terjadi di Soviet.
Totalitarianisme di wilayah tersebut dapat dikategorikan sebagai totalitarianisme di
negara-negara agraris.
Wittfogel menjelaskan mengenai proses kemunculan aparat birokrasi
hidrolik (hydraulic-bureaucratic official state) dan dampaknya terhadap struktur
sosial di Cina dan India dengan menguraikan asal-usul terjadinya kompleksitas
masyarakat dan negara tersebut. Dia mengidentifikasi manajemen air sebagai metode
yang digunakan oleh kaisar-kaisar di Cina dalam menjalankan kekuasaan terhadap
rakyat. Para penguasa membangun “masyarakat hidrolik” yang “bergantung” pada
kompleksitas sistem irigasi.
Comparative analysis reveal basic similarities as well as important dissimilarities between communist totalitarianism and the absolutist regimes that prevailed in traditional Asia, North Africa and certain parts of pre-Columbian America. In both cases we find a state stronger than society, ruling managerial bureaucracy, and a politically pulverized population. In both cases we are faced, not with a multi-centred order comprises several institutional sub-types, so does the single centred. Oriental despotism and communist totalitarianism are separated by significant differences in the range of their managerial operations and in the completeness of their social and ideological control. “the agrarian despotism of the old society, which, at most, was semi-managerial apparatus society combines total political power with total social and intellectual control.5
5 http://www.jstor.org/journals/origins.html. atau lihat Karl A. Wittfogel, Oriental Despotism (New
Haven: Yale University Press, 1957), hlm. 440.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Biaya pembangunan dan pemeliharaan hidrolik membutuhkan struktur sosial
dan politik dengan eksploitasi terhadap tenaga buruh. Hal ini menggambarkan suatu
praktek despotisme yang berarti bahwa semua yang mengontrol jaringan hidrolik
memiliki karakteristik unik yang kejam dalam memegang supremasi kekuasaan.
Tesis Wittfogel meninggalkan kesan yang penting bagi wacana politik dan
sosial mengenai jenis pemerintahan pada masa perekonomian pra-industri. Pada
masa tersebut, daerah-daerah dengan sistem agrikultur hidrolik ternyata dikuasai oleh
pemerintahan yang despotik dan diktator. Penjelasannya menunjukan kepada kita
bahwa hal signifikan yang membedakan antara totalitarianisme komunis atau Nazi
dengan oriental despotism adalah operasi penguasaan serta kesempurnaan dalam
kontrol sosial dan ideologi.
Kemunculan pemerintahan yang bersifat despotis hingga menjadi totaliter
tersebut menjadi sebuah teori yang menarik sekaligus mengerikan. Ia memulainya
dengan membedakan dua tipe pertanian di masa pra-industri, yaitu:
1. Hydro (pertanian yang terletak pada daerah dengan curah hujan yang baik).
2. Hydrolic (daerah pertanian yang subur tetapi tidak memiliki curah hujan yang
cukup, oleh karenanya diperlukan irigasi dengan teknik hidrolik seperti
bendungan, waduk, saluran irigasi, dan pengontrol banjir).
Pada masyarakat pra-ndustri, pembangungan hidrolik dengan skala besar
membutuhkan tenaga kerja manusia dalam jumlah yang besar pula. Untuk
menghindari protes perihal eksploitasi tenaga kerja maka harus dilakukan tindak
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
kekerasan dan paksaan (force) seperti pemerintahan despotis ini terhadap mereka,
tetapi paksaan hanya diterapkan dalam batas agrikultur dan tidak dilakukan dalam
proses pertanian; merupakan suatu bentuk semi budak.
The agrodespotic masters were at most semi-managerial. They
administered the large productive and protective water works; but they permitted the peasants to cultivate their land privately; and where circumstances recommended it, they tolerated private handicraft and commerce… in the political sphere Oriental Despotism exerted total power; it demanded total submission and could impose.6
Tidak ada yang dapat menghalangi perkembangan pemerintahan despotis
ketika ia berkuasa karena pemerintahan ini merupakan suatu bangunan besar sistem
kekuasaan yang bersifat sangat destruktif terhadap kehidupan dan property
masyarakat. Penguasa di negara dengan karakter despotis tinggi membentuk kultur
dan ideologi masyarakat yang menguntungkan bagi pihak mereka seperti pertahanan
status quo, kepatuhan dan ketundukan terhadap otoritas, dan struktur sosial yang
hirarkis dan otoriter, serta mengabaikan individualisme, kebebasan dan inovasi dalam
masyarakat. Negara despotis ini tidak dapat dideteksi oleh siapa pun (individu atau
negara), yang membuat mereka berbeda dengan despotisme monarki pada abad
pertengahan Eropa.
Hal tersebut menyiratkan bahwa kekuasaan tidak hanya berasal dari
kepemilikan semata, karena ia dapat bertumpu pada fungsi manajerial dan organisasi
serta kemudian diperkuat oleh tidak adanya jaminan keamanan terhadap kepemilikan
6 Ibid.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
pribadi. Namun, kekuasaan seperti ini bisa terjadi secara intensif pada masyarakat
yang dihapuskan private property-nya.
Kecanggihan teknologi dan modernisasi serta tingkat kesempurnaan kontrol
terhadap ekonomi membuat totalitarianisme abad 20 di Rusia dan Cina tampak lebih
kuat, dan mampu merembeskan kesuksesan kontrol terhadap masyarakat
dibandingkan dengan totalitarianisme pada pemerintahan despotisme agraris.
2.3 Transformasi Kekuasaan Pada Masyarakat Pra-industri
Masih dalam ruang lingkup yang tidak jauh berbeda, tokoh politik Barrington
Moore mencermati fenomena kekerasan yang terjadi pada pemerintahan pra-industri
di beberapa negara di wilayah Asia, Eropa, dan Afrika. Dia mengeksplorasi
perubahan politik, sosial, dan ekonomi di negara-negara tersebut lalu menjelaskan
hubungan antara struktur sosial yang menjadi faktor determinan (social origins) bagi
basis pembangunan dan modernisasi di negara-negara tersebut, terutama masalah
mengenai kesiapan dan keterbukaan masyarakat dalam perubahan, pembangunan dan
penggunaan teknologi dalam kehidupan mereka, yang menjadi faktor bagi lahirnya
demokrasi, kapitalisme, fasisme atau komunisme dalam masyarakat.
Untuk menjelaskan perubahan kekuasaan di masyarakat, Moore melakukan
penekanan pada pentingnya sejarah negara sejak abad ke-14 hingga dua abad
terakhir. Tahap modernisasi yang diawali dengan komersialisasi pertanian hingga
mencapai perubahan ini menurutnya terjadi dalam fenomena seperti Revolusi
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Perancis, dan Perang Sipil (civil wars) di Amerika. Berdasarkan fenomena tersebut,
menurutnya modernisasi berkembang dalam tiga cara, yakni demokrasi kapitalisme
atau revolusi borjuis (Revolusi Puritan di Inggris), kapitalisme yang terjadi di Jerman
dan Jepang, serta kelemahan dari gelombang revolusioner dalam melaksanakan reaksi
politik yang memuncak pada fasisme. Kemudian kemunculan komunisme yang
terjadi di Cina dan Rusia. Pada saat revolusi tersebut terjadi, birokrat agraria tidak
begitu kuat sehingga para petani naik mengambil kekuasaan. Inilah yang
dimaksudkannya sebagai bentuk revolusi petani.7
Ketiga “social origins” tersebut membawanya pada kesimpulan bahwa pada
negara-negara modern, warga kelas menengah dipaksa melakukan revolusi sebagai
reaksi terhadap sistem kapitalisme; revolusi yang juga dilakukan oleh kalangan petani
atau pemimpinnya. Tanpa Revolusi Perancis dan Revolusi Puritan, atau Perang
Saudara di Amerika, maka tidak akan terjadi transformasi atau penghancuran
terhadap batas-batas dari zaman sebelumnya dan memberikan jalan bagi modernisasi.
Kerumitan terletak pada pelaku utama seperti tuan tanah dan petani serta
distribusi kekuasaan di antara mereka. Hal ini meyebabkan proses komersialisasi
agrikultur berbeda-beda di setiap negara. Di Inggris, kalangan petani dirugikan
dengan adanya perkembangan perkebunan yang secara terus-menerus menjalankan
prinsip komersil.8 Sedangkan di Perancis, kalangan bangsawan yang merenggut hak
7 Lihat Barrington Moore, 1966, Social Origins of Dictatorship and Demokracy: Lord and Peasant
in the Making of the Modern World, hlm. 413. 8 Ibid, hlm 25.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
petani dengan meminta hasil pertanian dalam jumlah yang lebih tinggi memancing
terjadinya revolusi.
Kerja keras Barrington Moore dalam penelitian yang mengkombinasikan
keterkaitan peristiwa sejarah dan hubungan perubahan sosial, penguasa, petani, serta
kelas borjuis yang menghasilkan rezim diktator dan demokrasi merupakan suatu hal
yang membuka wawasan kita. Moore memfokuskan analisanya pada polemik yang
lebih luas dengan menaruh kecurigaan terhadap bentuk politik dari sistem
perdagangan abad 20, terutama fenomena totalitarianisme yang merupakan efek dari
kapitalisme. Ia mengajukan proposal mengenai perbedaan latar belakang agraris yang
membedakan sistem politik abad dua puluh, terutama komersialisasi pertanian oleh
tuan tanah dan petani.
Tentu saja analisa Marxian mengenai transisi dari feodalisme menuju
kapitalisme mempengaruhi konteks intelektual Moore. Tetapi ia menolak
reduksionisme Marx dan yang lainnya dengan mengatakan bahwa bangsawan
Perancis melakukan tindakan-tindakan politis dalam menarik hasil dari petani,
tampak sangat berbeda dengan manajemen perekonomian dan kekuasaan politik
lokal di Inggris. Ia menjelaskan seperti di bawah ini:
…that any simplified version of Marxism, any notion that the economic substructure somehow automatically determines the political superstructure, can lead one astray. The political mechanism was decisive, and the peasants at the time of the Revolution revealed sound political instinct when they sought to smash these gears and levers.9
9 Ibid. hlm. 64.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Alanisa Moore merupakan sebuah studi dalam menerangkan mekanisme
politik yang berkaitan dengan transformasi ekonomi dan sangat berpengaruh terhadap
bentuk politik yang dihasilkannya. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah
mengapa cara pergeseran masyarakat agrikultur ke industrialisasi berbeda di setiap
tempat dan hal apa yang melandasi proses industrialisasi di Inggris bermuara kepada
masyarakat yang demokratis.
Problem ini dijawab olehnya dengan menerangkan kondisi sosiogenesis dari
demokrasi, fasis, dan rezim komunis menjadi sudut pandang analisanya dalam
melihat hubungan antara proses industrialisasi dan rezim agraris dalam menghasilkan
sistem politik yang berbeda dan pada saat yang bersamaan menggambarkan
kekerasan-kekerasan yang mendahului perkembangan demokrasi.10
Jenis transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industri
modern seperti yang terjadi di negara-negara kapitalis-demokratis, komunis (Rusia
dan Cina) dan negara demokratis tapi lemah dalam modernisasi (India) ditentukan
melalui bagaimana para tuan tanah dan petani merespons perubahan komersialisasi
agrikultur.
Pertama, terjadinya revolusi dan perang sipil menyebabkan kemunculan
kombinasi antara kapitalisme dan demokrasi liberal. Hal ini terjadi karena aliansi
kaum tuan tanah dan petani dalam merespons revolusi borjuis. Moore memetakan
transisi modernitas di Jepang melalui fasisme, dan jalur komunis di Cina, yang secara 10 Barrington Moore, Jr dalam http://poli.haifa.ac.il/~levi/tocmoore.html. Diakses tanggal 10 Juli
2007, pukul 16.45 WIB.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
implisit lebih terlihat jelas di Jerman dan Rusia. Baginya, keterbatasan pengaruh
borjuis di Jepang sangat signifikan dibandingkan di Inggris, Perancis, dan di
Amerika.
Akumulasi kapitalisme yang dilakukan oleh kaum borjuis dalam transisi
industri modern memberikan dampak “represif terhadap buruh” agrikultur, dan
pemerasan kepada kaum petani memaksa kebutuhan akan modernisasi. “Revolusi
dari atas” mengeraskan reaksi aliansi borjuis lemah dan pemilik tanah, berujung pada
fasisme. Di Cina, reaksi keras petani dalam menghadapi kaum borjuis dan tuan tanah
menimbulkan Revolusi Cina tetapi ironisnya justru mereka yang menjadi korban
revolusi tersebut. Munculnya rezim kapitalis di satu sisi dan otoritas tradisional yang
demikian kuat di sisi lainnya, membuat negara-negara ini jatuh ke dalam fasisme,
seperti juga German dan Jepang yang disebut sebagai the capitalist and reactionary
form. Pola ini muncul akibat gagalnya revolusi borjuis.
Moore menyebut Perang Sipil (civil war) sebagai petanda peralihan
masyarakat agraris Inggris menuju era industrialisasi dan demokrasi. Elemen-elemen
masyarakat yang berpikir komersil dari kalangan elit petani merupakan kekuatan
oposisi paling utama dalam melawan raja dan upaya kaum bangsawan
mempertahankan status quo mereka, dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya
Perang Sipil disamping faktor lainnya. Tumbuhnya komersialisasi di pedesaan yang
secara langsung menciptakan pasar di daerah tersebut, melahirkan kapitalis agrikultur
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
pada abad ke-16 dan abad 17 yaitu para tuan tanah dan petani penyewa yang
memiliki garapan luas.
Perang Sipil terjadi ketika kalangan masyarakat (sipil) bergerak menggugat
dominasi kekuasaan kerajaan dan para bangsawan yang di dalamnya terdapat
semacam perang kepentingan antara petani kelas bawah dan para bangsawan. Yang
bisa mempertemukan mereka adalah para petani kelas atas. Para petani kelas atas
inilah yang kemudian menjadi borjuis pada akhir abad 18. Mereka pulalah yang
menyebabkan cikal bakal lahirnya sistem parlementer.
Transformasi yang terjadi di abad 17 dan 18 dengan kekerasan massal melalui
perang sipil berbeda dengan transformasi sosial yang terjadi di abad 19. Di abad ini,
berbagai kepentingan kelas tampak semakin nyata. Kaum petani kelas atas terus
tumbuh dan mengambil peran dalam perubahan sosial, tapi tidak pernah benar-benar
solid, demikian halnya dengan kaum aristokrat.
Barrington Moore memperlihatkan bagaimana masyarakat pra-industri
meletakkan kekerasan, eksploitasi, dan kekuasaan dalam hirarki sosio-politik sebagai
basis tatanan sosial. Kekerasan menjadi penting dalam perkembangan demokrasi
liberal Barat sebagaimana yang dilakukan oleh rezim komunis dan Fasis.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
2.4 Evaluasi
Memang bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk mencari bibit-bibit
totalitarianianisme dibelakang abad dua puluh. Para teoritisi yang berbicara mengenai
totalitarianisme memiliki sudut pandang berbeda-beda dalam menjelaskan asal-usul
sistem kekuasaan tersebut. Namun jika kita memeriksa kembali sejarah
perkembangan dan transisi setiap periode kekuasaan serta transformasi yang terjadi
dalam masyarakat pra-industri menuju kapitalisme, maka kita akan melihat
keterkaitan antara fenomena tersebut dengan peristiwa dramatis hingga hari ini.
Bagaimana pun, segala tindakan penguasaan terhadap kehidupan publik di
bawah satu genggaman kekuasaan dengan kedaulatan penuh atau sentralisasi
kekuasaan (centralized power) dengan menggunakan paksaan dan kekerasan militer
demi pencapaian tujuan politik telah dijalankan sejak peradaban kuno yang terus
dipraktekkan oleh generasi berikutnya. Corak penguasaan yang berkembang dalam
hal ini memperlihatkan bahwa hanya satu orang yang memiliki kebebasan, yaitu
penguasa.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
BAB III
KONSEP TOTALITARIANISME:
HANNAH ARENDT & NOAM CHOMSKY
(SEBUAH PERBANDINGAN)
3. 1 Hannah Arendt dan The Origins of Totalitarianism
The practical goal of the movement is to organise as many people as possible within its framework and to set and keep them in motion; a political goal that would constitute the end of the movement simply does not exist.1
Hannah Arendt adalah salah satu pemikir yang sukses menggambarkan
totalitarianisme rezim pemerintahan Hitler dan Bolshevik sebagai fenomena politik
terkejam yang terjadi di pertengahan abad dua puluh, dengan menjelaskan
karakteristik totalitarianisme melalui pendekatan yang cukup berbeda dengan para
tokoh lainnya. Ketertarikannya terutama pada arti dan makna dari totalitarianisme
sebagai suatu peristiwa sejarah yang kemudian mendorongnya untuk mencari
penyebab muncul dan berkembangnya gerakan massa yang terjadi pada era Perang
Dunia II tersebut. Meskipun banyak kalangan intelektual yang mengkritisi
pemikirannya namun kelihaian Arendt dalam mengutarakan kesamaan motif dan
tujuan yang hendak dicapai oleh rezim-rezim tirani membuat pemikirannya menjadi
salah satu standar dalam studi totalitarianisme.
1 Hannah Arendt dalam Simon Tormey, Making Sense of Tiranny, Interpretasions of Totalitarianism,
(New York: Manchester University Press, 1995), hlm 49.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
3.1.1 Antisemitisme dan Imperialisme sebagai akar Totalitarianisme
Perhatian utama Hannah Arendt tertuju pada berbagai “elemen” sosial dan
politik yang menjadi bibit dari gerakan totaliter yakni, rasisme, anti-Semitisme,
disintegrasi negara-bangsa (nation-state), imperialisme dan aliansi antara massa dan
“kerumunan” (mob)2. Masing-masing elemen tersebut adalah bahan-bahan dasar bagi
rezim totaliter untuk melakukan dominasi total melalui total teror.
Antisemitisme dan imperialisme menjadi preseden historis dari perilaku
politik gerakan totaliter khususnya yang diberlakukan terhadap bangsa Yahudi yang
secara historis dianggap sebagai bangsa Paria. Imperialisme memperkenalkan suatu
struktur administrasi dimana efisiensi tanpa bergantung pada tujuan yang ingin
dicapai adalah unsur yang paling penting daripada kehidupan dan kesejahteraan
bangsa yang dikolonialisasi. Gabungan rasisme dan pembantaian administratif
(sistem birokrasi) ada bersama-sama dalam berbagai aspek imperialisme.3
Imperialisme dan totalitarianisme merupakan gambaran kemelut negara-
bangsa di Eropa. Kebijakan tradisional abad 19 mengenai negara-bangsa tidak lagi
sesuai dengan laju ekspansi kapitalisme dan kebutuhan untuk mendapatkan wilayah
perdagangan baru (ekspansi). Oleh sebab itu, imperialisme juga menandakan
lunturnya gagasan negara-bangsa. Di lain pihak, Nazisme dan Bolshevisme
2 Hannah Arendt membedakan gerakan massa di abad 20 dan organisasi mob di abad 19 dalam
menerangkan psikologi dan mentalitas antara pemimpin totaliter dan pemimpin mob sebelumnya. Lihat Hannah Arendt, 1951, Op cit, hlm 313.
3 Hannah Arendt dalam John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer; Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 278. Terjemahan dari Fifty Key Contemporary Thinkers, (New York: Routledge, 1994).
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
menghancurkan konsep negara-bangsa tradisional yang bercorak feodal (atau sistem
kelas) dan menggantinya dengan gagasan ekstra-nasionalisme dalam pengertian
mereka sendiri dengan melakukan internalisasi gerakan buruh di kalangan anggota
Bolshevik atau melalui ekspansi polisi oleh Nazi. Keduanya telah memanfaatkan
kehancuran negara-bangsa di Eropa dengan memanipulasi semua nilai-nilai sosial,
politik, dan legal sistem dari negara-bangsa tradisional. Kombinasi dari fenomena
antisemitisme, imperialisme, dan totalitarianisme mengawali suatu “setingan” prahara
di Eropa sejak kehancuran negara feodal yang secara berangsur digantikan oleh
negara-bangsa modern dan berpuncak pada Perang Dunia I dan II.
Menurut Arendt, masyarakat ideal bagi Nazi adalah kesatuan masyarakat yang
berasal dari satu ras dan keturunan bangsa yang sama (the Volksgemeinschaft).4
Rezim totaliter memiliki hasrat untuk mencapai “dominasi total” terhadap setiap
orang yang diberikan atribut “bersalah” (guilty) dikarenakan eksistensi mereka
sebagai entitas otonom yang dapat membahayakan rezim; apakah mereka yang
berasal dari ras yang berbeda (seperti ras Yahudi, Gipsi, dan Slavia), atau orang-
orang yang tidak terlibat dalam keanggotaan partai Nasionalis-Komunis.
Rasisme dan narsisme dengan kadar tinggi yang dimiliki rezim totaliter
terhadap pihak lain tersebut meningkat menjadi hasrat untuk melenyapkan pihak-
pihak yang dianggap dapat merusak kemurnian ras Arya, lalu menguasai segala aspek
kehidupan masyarakat dengan pengendalian dan kontrol terhadap setiap ekspresi di
masyarakat, berujung pada tindakan totaliter. 4 Hannah Arendt,1951, op cit, hlm. 360-361.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
3.1.2 Totalitarianisme dan Karakteristiknya
Pada dasarnya, istilah totalitarianisme merupakan kata-kata khas abad dua
puluh yang digunakan untuk menggambarkan negara, ideologi, pemimpin dan partai
politik yang menginginkan transformasi dan kontrol total terhadap masyarakatnya.
Pada tahun 1925, Mussolini dalam pidatonya menggunakan kata totaliter untuk
mengungkapkan “la nostra feroce voluntà totalitarian” (our fierce totalitarian will).
Kata totalitarianisme berasal dari kata Italia totalitario, yang artinya komplit, mutlak,
dan pada akhirnya istilah totaliter dengan cepat dipakai sebagai ideologi resmi negara
Italia sebagaimana dirumuskan oleh pemikir rezim fasis, Giovanni Gentile. Beberapa
tahun setelahnya, Mussolini mengadopsi sistem pemikiran totaliter ini dan
menginkorporasikannya ke dalam ideologi negara sebagai ‘lo stato totalitario’
(negara totaliter).5
Konsep totalitarianisme dan ciri khas yang melekat di dalamnya kemudian
menjadi wacana penting bagi karya Hannah Arendt. Menurutnya, untuk memahami
rezim pemerintahan totaliter, kita harus melihat formulasi cara mereka
mengekspresikan permasalahan. Totalitarianisme adalah rezim gerakan massa yang
berkarakter impermanensi, yang memegang kekuasaan dengan membuat segala
sesuatu di sekelilingnya bergerak di bawah kontrol mereka dan rezim ini mempunyai
kemampuan menyesuaikan diri yang luar biasa sekaligus tidak mempunyai
kesinambungan (absence of continuity). Seperti yang dituliskan oleh Arendt:
5 Eugene Kamenka dalam A Companion to Contemporary Political Philosophy, (Blackwell
Publishing,), hlm. 629.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
This impermanence no doubt has something to do with the proverbial
fickleness of the masses and the fame that rests on them; more likely, it can be traced to the perpetual-motion mania of totalitarism movements which can remain in power only so long as they keep moving and set everything around them in motion. 6
Kejahatan yang dilakukan oleh rezim totaliter dalam masyarakat disebabkan
oleh faktor sosial dan faktor biologis. Faktor sosial tersebut adalah ketimpangan dan
diskriminasi yang mereka alami dalam politik dan kecemburuan sosial terhadap pihak
yang “lebih beruntung”. Semua masalah itu mengakibatkan menumpuknya orang
yang frustrasi yang pada suatu saat akan melimpah dengan luapan emosi dan
kemarahan. Individu dengan segudang problematika sosial tidak dapat mengatasi
masalah yang dihadapinya sehingga individu tersebut mencari bentuk penyelesaian
salah satunya dengan tindakan kekerasan.7
Secara ontologis-antropologis, karakter individu dalam rezim totaliter adalah
manusia massa yang teratomisasi secara sosial (social atomization), mengalami
individualisasi yang ekstrem, apolitis yang memudahkan mereka untuk di-
depolitisasi, tercerabut dari keberakarannya (uprootedness) yaitu; kelas, keluarga,
ruang privat, jati-diri, self-decision sebagai akibat dari proses modernitas seperti
industrialisasi dan urbanisasi mengarah pada perubahan karakter kehidupan modern.
6 Impermanensi (sifat semusim) berkaitan dengan sifat berubah-ubah yang melekat pada massa yang
akan memberi dukungan kepada penguasa totaliter yang mampu memancarkan daya tarik magis kepada mereka, seperti yang dilakukan Hitler dalam usahanya meraih simpati dalam masa-masa perjuangannya. Hannah Arendt, 1951, op cit, hlm, 306.
7 Seperti menangkap dan memenjarakan warga dengan sewenang-wenang, lalu membunuh, dan membantai mereka.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Modernitas bagi Arendt berarti alienasi; terbentangnya jarak yang begitu
besar antara individu dengan pilihan-pilihan yang harus mereka ambil dalam
hidupnya, hingga tidak berdaya dalam melakukan decision making. Individu dalam
kondisi tersebut merupakan mangsa empuk untuk dimanipulasi, dijadikan target
propaganda dan bulan-bulanan teror, untuk kemudian dicampakkan dalam kamp
konsentrasi di Auswitzsch oleh rezim Nazi atau dibuang ke Siberia oleh rezim
Bolshevik Rusia.8
Masa (mass) dan kerumunan (mob) seperti ini menjadi karakter dari gerakan
totalitarianisme yang rentan terhadap berbagai bentuk propaganda yang dilakukan
oleh organisasi “terdepan” dengan bentuk kebijakan atau dominasi yang muncul saat
gerakan totalitarian berkuasa. Anggota kerumunan massa dengan jumlah besar yang
pada umumnya terdiri dari mereka yang tidak puas dan putus asa terhadap
pemerintahan negara, memungkinkan suatu rezim totaliter untuk mendirikan
pemerintahan totaliter yang sungguh-sungguh. Dengan begitu, gerakan totaliter yang
mengandalkan kekuatan jumlah massa, tidak mungkin hidup di negara-negara yang
berpenduduk relatif kecil. 9
Gerakan-gerakan totaliter memiliki tujuan dan berhasil menghimpun massa
bukan kelas, seperti yang dilakukan oleh partai-partai kepentingan kuno di negara-
negara Eropa dan partai-partai di negara Anglo-Saxson dengan menghimpun warga
negara melalui pendapat serta kepentingan dalam masalah politik. Oleh karena itu,
8 Ibid, hlm. 45. 9 Ibid, hlm. 308.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
peluang untuk kekuasaan totaliter sangat besar di negara-negara dengan tradisi
despotisme, yaitu tempat di mana manusia hampir tidak habis-habisnya
mengembangkan mesin dominasi total yang makin membesarkan kekuasaan serta
menghancurkan manusia, dan di mana perasaan tidak berguna yang menjadi ciri
manusia massa (suatu gejala baru di Eropa; pengangguran massal dan pertambahan
penduduk selama 150 tahun terakhir).
Gerakan-gerakan totaliter pada saat yang bersamaan menggunakan sekaligus
menyelewengkan kebebasan-kebebasan demokratis justru untuk menghapuskannya.
Yaitu, kebebasan demokratis berdasarkan asas kesamaan di depan hukum, tetapi
kebebasan tersebut mendapat makna serta fungsi secara organik hanya bila warga
negara merasa memiliki dan diwakili oleh kelompok atau membentuk suatu hirarki
sosial dan politik. Runtuhnya sistem kelas tersebut mendorong timbulnya Nazi di
Jerman.
Secara teknologis, rezim totaliter memonopoli komunikasi massa, senjata
pemusnah, dan sentralisasi kontrol perekonomian. Dibawah pemimpin yang diktator,
aparat yang menjalankan kebijakan sang penguasa menjadi elit dalam pemerintahan
yang disebut dengan polisi rahasia. Polisi rahasia (secret police) melaksanakan
tugasnya berdasarkan teori dan teknik psikologi modern. Mereka melakukan total
terror terhadap penduduk dalam bentuk yang berbeda secara radikal dan lebih kejam
dibandingkan dengan aparat pada pemerintahan otoriter awal. Teror dilakukan
terhadap “orang yang sepenuhnya takluk” yaitu orang-orang yang menjadi “korban”
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
dan yang status yuridisnya bisa dihapuskan dengan sempurna seperti orang-orang
Yahudi.10
Polisi rahasia pada rezim totaliter memiliki tugas utama untuk menangkap
penduduk dengan “kategori” tertentu yang ditentukan oleh pemerintah dan kemudian
melakukan total terror seperti penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan pada kamp
konsentrasi, lembaga peradilan, dan sebagainya. Teror merupakan realisasi hukum
dari sebuah gerakan dimana sang pemimpin berkeinginan agar hukum tersebut dapat
diterapkan dalam kehidupan atau sejarah umat manusia.
“Terror is the realization of the law of movement; its chief aim is to
make it possible for the force of Nature or of History to race freely through mankind, unhindered by any spontaneous human action.”11
Arendt menjelaskan keterkaitan propaganda dan teror yang dilakukan oleh
negara totaliter guna memikat massa melalui penggunaan isyarat-isyarat ancaman
tidak langsung dan terselubung terhadap semua orang yang tidak mengindahkan
ajaran-ajarannya dan kemudian melakukan pembunuhan terhadap massa yang
“bersalah” maupun yang “tidak bersalah”. Propaganda paling efektif yang dilakukan
oleh Nazi adalah cerita konspirasi orang-orang Yahudi untuk menguasai dunia (dan
bahwa) Yahudi adalah simbol kemunafikan dan ketidakjujuran dari seluruh sistem.
Dengan hal tersebut jelas bahwa pada dasarnya totalitarianisme tidak
dilandasi apapun selain mitos yang diciptakannya sendiri. Propaganda dipergunakan
untuk membebaskan pikiran dari pengalaman dan realitas menginjeksikan
10 Lihat Ibid, hlm. 419-437. 11 Hannah Arendt, The Portable Hannah Arendt, (Penguin Books), hlm. xx.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
“menginjeksikan” suatu makna rahasia kedalam setiap peristiwa yang terbuka dan
kasat mata, dan mencurigai suatu maksud rahasia dibalik tindakan politik publik.12
Propaganda dan teror hadir seperti dua sisi pada satu mata uang yang sama.
Propaganda adalah sebagian paket dari “psychological warfare” (perang psikologis),
sedangkan teror lebih dari pada itu, sebab digunakan oleh rezim totaliter secara terus-
menerus meskipun sasarannya telah diraih. Ketika teror telah mencapai tahap
kesempurnaan, seperti yang terjadi pada kamp konsentrasi maka propaganda menjadi
hilang seutuhnya. Propaganda oleh karena itu merupakan salah satu instrumen
penting bagi totalitarianisme dalam hubungannya dengan negara non-totalitarian,
sedangkan teror adalah esensi bentuk pemerintahannya.
“Propaganda and terror present two sides of the same coin…Propaganda is indeed part and parcel of ‘psychological warfare’; but terror is more. Terror continues to be used by totalitarian regimes even when its psychological aims are achieved. Where the rule of terror is brought to perfection, as in concentration camps, propaganda disappears entirely… propaganda .. is one, and possibly the most important, instrument of totalitarianism for dealing with the non-totalitarian world; terror…is the very essence of its form of government.”13
Begitu mendapat kekuasaan maka totalitarianisme mengembangkan lembaga-
lembaga politik yang yang seluruhnya baru dan menghancurkan tradisi sosial, hukum
dan politik negeri yang bersangkutan. Pemerintahan totaliter selalu mentransformasi
kelas-kelas menjadi massa, mengganti sistem partai dengan gerakan massa,
12 Opcit, 471. 13 Ibid, hlm. 341-344.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
menggeser pusat kekuasaan dari angkatan bersenjata ke polisi rahasia, dan
membangun politik luar negeri secara terbuka yang mengarah pada dominasi dunia.
Penguasaan dan kontrol yang dilakukan oleh rezim totaliter atas lembaga di
masyarakat tidak memandang apakah lembaga itu terlibat atau tidak di dalam
kegiatan politik karena totalitarianisme bertujuan mengintegrasikan secara
keseluruhan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat tersebut dalam suatu pola
politik tertentu. Totalitarianisme mengimbuhkan teror dengan ideologi sehingga
kompleksitas kehidupan bergejolak dalam suatu prinsip fundamental yang menjadi
tujuan dan keyakinan masyarakat modern (sumbernya yaitu agama, ras, tradisi).
Agama, ras dan tradisi lalu dipolitisasikan untuk suatu kepentingan.
Totalitarianisme menjadi persoalan modernitas dalam realitas politik di suatu
negara yang bersifat tirani, sewenang-wenang, diktator, melakukan perampasan dan
pelucutan hak-hak asasi manusia, yang bertujuan untuk dominasi. Totalitarianisme
yang merupakan kombinasi teror dan ideologi, diwujudkan dalam berbagai aksi
pembantaian atau pembasmian “musuh objektif”, oleh karena itu dapat dikatakan
sebagai crime against humanity.14
Gerakan-gerakan totaliter mengikuti pola-pola yang diterapkan oleh Nazisme
atau Bolshevisme dengan menghimpun masa dengan mengatas-namakan suku atau
kelas bahkan kemanusiaan, dan berpura-pura mengikuti kaidah hukum alam atau
hukum dialektika dan ekonomi. Dalam laporannya mengenai pengadilan Eichmann 14 Hannah Arendt, op cit, hlm. xxiv.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
(Eichmann in Jerusalem), Arendt mencapai kesimpulan bahwa totalitarianisme
terjadi karena kedangkalan pikiran (deficit of thought) individu yang melakukannya.
Karena kedangkalan yang dimiliki oleh individu, maka kejahatan seperti
totalitarianisme sangat mungkin terjadi. Inilah yang disebutnya dengan “banality of
evil”.15
Totalitarianisme merupakan sistem pemerintahan dan ideologi dimana semua
aktivitas politik, ekonomi, budaya, sosial, pendidikan, dan spiritual berada pada
posisi subordinat terhadap arah kebijakan negara. Karakteristik utama dari
totalitarianisme ini adalah bentuk kekuasaan mutlak abad dua puluh dengan
keterikatan masyarakat massa pada kehendak dan tindakan pemimpin diktator yang
mengontrol sebuah partai politik, karena tanpa pemimpin maka massa hanya berupa
sekumpulan orang-orang bodoh yang tidak berbentuk apapun dan sebaliknya,
ketiadaan massa membuat seorang pemimpin tidak memiliki arti dan juga tidak dapat
bertindak sedikit pun.
3.2 Noam Chomsky dan Neo-Totalitarianisme
Sejumlah kendala masih menghambat kehidupan masyarakat saat ini karena
reinkarnasi liberalisme klasik yang terwujud dalam tatanan dunia baru, kembali
muncul pada skala lebih luas yaitu neoliberalisme. Hipotesis yang diyakini Francis
Fukuyama boleh jadi menghadapi tantangan keras dari banyak kalangan karena
keraguan sebagian besar masyarakat internasional untuk membiarkan puncak 15 Ibid.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
dialektika peradaban berakhir di kedua anak kembar liberalisme: kapitalisme dan
demokrasi.
Setelah melewati kondisi posmodern yang diakhiri dengan sistem globalisasi
yang menjadi suatu arena pertemuan berbagai kepentingan manusia dalam mengejar
penguasaan teknologi, ekonomi, institusi maupun kebudayaan, masyarakat
kontemporer sekarang memasuki era yang dipenuhi oleh persoalan politik dan
kemanusiaan. Masyarakat saat ini dihadapi dengan isu-isu global seperti perang
nuklir, bencana lingkungan, dan kebijakan pemerintahan di dunia yang mengarah
pada peningkatan praha-praha tersebut.
Asumsi-asumsi yang dibangun dalam standar yang seragam mengenai pasar
bebas memiliki kandungan masalah yang tidak kecil. Hal ini diawali saat kapitalisme
primitif mulai memenetrasi negara-negara berkembang sebagai pasar baru yang
dipaksa berkompetisi di tengah kesenjangan yang berlangsung tajam dan tidak
seimbang. Bahkan yang membuat lebih buruk dari hal tersebut, kesenjangan itu
sendiri terjadi akibat praktik kolonialisme masa lalu yang dilakukan sejumlah negara
yang kini maju karena pemindahan paksa aset dan sumber daya alam. Dengan
kemajuan teknologi yang amat pesat di hampir semua negara metropolis, tentu
menjadikan mereka raksasa disektor perdagangan luar negeri. Meraup laba dalam
jumlah besar sangat mungkin dilakukan pada saat Dunia Ketiga sendiri tengah
mengalami kegagapan mengatasi budaya konsumtif di dalam negeri.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Power atau kekuasaan bukan hanya menyangkut kekuatan militer tetapi juga
berbagai bidang lainnya seperti budaya dan bahasa. Ada berbagai macam aspek
bahasa dan penggunaannya tetapi hanya sedikit diantaranya yang dapat membawa
kita kepada teori produktif. Sebenarnya wawasan dan pengertian kita menurut
Chomsky berada dalam wilayah struktur gramatikal yaitu, seorang yang mampu
berbahasa memiliki sistem kaidah dan prinsip “generative grammar” dalam wilayah
teknis yang mengasosiasikan suara dan makna dalam beberapa cara yang spesifik.
There are many aspect of language and language use that raise
intriguing questions, but in my judgement only a view have so far led to productive work. In particular, our deepest insight are in the area of formal grammatical structure. A person who knows a language has acquired a system of rules and principles-a “generative grammar”, in technical terms that associates sound and meaning in some specific fashion. 16
Pada awalnya, Chomsky berupaya menjelaskan bagaimana seorang pemakai
bahasa yang ideal bisa membangkitkan dan memahami kalimat-kalimat gramatikal
baru dan unik tanpa harus menemuinya dalam praktek. Kemudian, sekumpulan aturan
transformasi terbatas yang berhingga dan terinci membentuk “konpetensi” seorang
pemakai bahasa yang ideal, dan kompetensi ini akan menghasilkan kalimat-kalimat
gramatikal.
“Kinerja” yang sesuai dengan sejumlah gramatikal tertentu yang diungkapkan
oleh seorang pemakai bahasa memberikan bukti (korpus) untuk melihat kompetensi
orang ini, dan kompetensi ini tidak dengan sendirinya melahirkan suatu apresiasi
16 Noam Chomsky, The Chomsky Reader (New York: Pantheon Books, 1987), hlm. 139-140.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
yang jernih dan pelaksaan aturan-aturan generatif pada si pemakai bahasa, namun
kompetensi harus dilihat sebagai yang setara dengan cara meng-ada-nya sang
pembicara dalam bahasa. Dengan kata lain, kompetensi adalah kondisi kemungkinan
kemampuan berbahasa; kompetensi menyatu dengan pembicara, lebih dari cara-cara
lainnya.17
Bahasa adalah sejenis sistem aturan dasar yang secara rekursif mendefinisikan
dan membentuk transformasi kalimat. Tata bahasa menjelaskan bagaimana suatu
kalimat dimunculkan. Hal ini terkait dengan kompetensi dasar seorang pembicara-
pendengar yang ideal, suatu kompetensi yang memungkinkan dibentuknya kalimat-
kalimat sempurna dengan potensi jumlah yang tak terbatas. Tata bahasa generatif
menurut Chomsky adalah sekumpulan aturan yang dalam mendefinisikan satu
himpunan (objek) dianggap “membangkit”-kan himpunan ini.18
Chomsky berupaya untuk menyederhanakan teorinya tentang tata bahasa
generatif dengan mengkaitkan pada pengertian tentang “kapasitas kognitif”19 karena
keyakinannya bahwa secara induktif kita tidak bisa menjelaskan kemampuan
berbahasa dan kompetensi bahasa (yang menngisyaratkan kreativitas bahasa) atau
dalam kerangka teori rangsangan-tanggapan, maka dalam upaya mejelaskan sifat
bahasa manusia, Chomsky bersandar pada pengertian bahasa sebagai sesuatu yang
bersifat bawaan dan khas pada manusia. Secara khusus ia terpengaruh oleh
17 Noam Chomsky dalam John Lechte, 2001, Opcit, hlm 88. 18 Noam Chomsky, Language and Mind (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1972), hlm. 126. 19 Lihat Noam Chomsky dalam karyanya Reflection on Language. Bab I dan Passism , (London:
Temple Smith, 1977).
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
pandangan Descartes tentang bahasa dan pikiran yang terikat begitu berat sehingga
pengetahuan tentang bahasa bisa membuka pengetahuan tentang pikiran manusia
(mind). Oleh sebab itu, bagi penemu tata bahasa generatif ini secara mendasar bahasa
adalah bagian psikologi manusia; psikologi yang dipahami sebagai teori tentang
kemampuan pikiran manusia. Dengan demikian, asal usul kompetensi bahasa lebih
bersifat psikologis daripada linguistik.
Penelitian dan aksi revolusioner yang telah membangun paradigma baru
dalam linguistik yang dilakukan oleh Chomsky dibidang bahasa tersebut membawa
dirinya menjadi kritikus atau aktivis sosial terhadap analisa perpolitikan yang terjadi
di dunia. Tulisan-tulisannya tentang politik adalah sebagai bentuk tanggapan terhadap
kebijakan politik Amerika di kawasan Asia terutama Asia Tenggara yang kemudian
dipandang sebagai suatu tindakan hegemoni yang totaliter.
Teori tentang bahasa menunjukkan keterkaitan para penguasa dengan
penciptaan istilah-istilah dengan tindakan kriminal untuk melancarkan tujuan mereka
terhadap dunia yaitu: penipuan, pembunuhan, genosida, ekosida, dan sebagainya.
Melalui propaganda, penguasa yang “menjual” tindakan-tindakan kriminalnya kepada
publik mencapai tujuannya ketika masyarakat larut dalam istilah yang mereka
ciptakan tersebut. Dengan “kompetensi” bahasa, setiap pihak berpotensi menciptakan
istilah atau bahasa baru sehinggga ketika berhasil menyuntikkan bahasa tersebut ke
dalam pikiran masyarakat maka saat itulah jalan menuju totalitarianisme terbentang
di depan mata.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Negara-negara Adikuasa menurut Chomsky, secara sistematis dan terus-
menerus telah melukiskan gambaran dunia tertentu pada benak masyarakat. Untuk
memudahkan memori kita dalam menyimpan informasi, peristiwa-peristiwa di dunia
telah diberi “label” berdasarkan rumusan yang mereka ciptakan. Negara-negara
raksasa dengan kekuasaannya berupaya mendominasi masyarakat dengan melakukan
hegemoni wacana (diskursus) dan kesadaran yang tujuannya adalah memanipulasi
belief masyarakat, dan hal ini merupakan suatu bentuk “dominasi total”. Akan tetapi,
tentu saja mekanisme “dominasi total” ini tidak hanya dijalankan oleh penguasa
Adidaya seperti Amerika, melainkan juga dilakukan oleh setiap pemerintahan yang
diktator, represif, dan despotis. Bahkan penguasa di negara-negara miskin atau
golongan negara-negara yang masih rendah kedudukannya dalam tingkat teknologi
dan industri mampu melancarkan aksi yang sama liciknya dengan penguasa
hegemonik terhadap masyarakatnya.
Kemudian Chomsky memusatkan perhatian pada peran media dan komunitas
akademis dalam melakukan manufacturing consent terhadap masyarakat umum
dalam kebijakan-kebijakan Amerika. Menurutnya, media sangat berperan dalam
membentuk opini yang akan muncul dalam masyarakat. Kepemilikan modal dan
legitimasi penguasa juga turut menjadi faktor pemicu ketimpangan dan diskriminasi
yang terjadi dalam tubuh media massa. Media masa berperan aktif dalam
menyampaikan kampanye-kampanye propaganda dan ketentuan-ketentuan politis
lainnya dalam tatanan sosial.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
The special importance of propaganda in what Walter Lippmann
referred to as the “manufacture of consent” has long been recognized by writers on public opinion, propaganda, and the political requirements of social order.20
Rasionalitas pikiran manusia dikontrol melalui penggunaan kata-kata dan
pemberian makna tertentu. Kita dapat melihat hal ini dengan analogi komputer.
Dewasa ini, kita tidak bebas menentukan filename dan isi tulisan yang kita masukkan
dalam memori kita. Nama arsip dalam memori kita telah dirancang dengan
memproduksi kata atau ungkapan baru yang indah dan disebutnya dengan
Newspeak.21
Sejumlah Newspeak telah diciptakan untuk membatasi pandangan masyarakat
tentang realitas. Saat ini, kita mempunyai dua dunia yaitu dunia yang sebenarnya
(dunia real) dan dunia yang terbentuk dalam pikiran kita (dunia Newspeak).22 Kita
mempunyai kamus yang dikeluarkan oleh Penerbit Adikuasa. Sebagai contohnya,
Chomsky menerangkannya lewat “usulan perdamaian” yang dikemukakan oleh
negara-negara Arab terutama Palestina (betapapun realistisnya) namun pemerintah
Amerika berupaya untuk membuat keputusan negara-negara tersebut tampak sebagai
penolakan, untuk itu diciptakan kata baru untuk usulan yang tidak sama dengan
usulan AS yaitu rejeksionisme.
20 Noam Chomsky & Edwar S. Herman, Manufacturing Consent, (New York: Pantheon Books,
1988), hlm. xi. 21 Pada awalnya istilah Newspeak digunakan oleh George Orwell dalam karya 1984 untuk
menggambarkan kekuasaan rezim Fasis, dan kemudian menjadi inspirasi bagi Chomsky dalam menganalisa politik kontemporer.
22 Ibid.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Melalui pengendalian makna, masyarakat akan bersimpati kepada AS yang
selalu bersusah payah menciptakan perdamaian dan pada saat yang sama memiliki
pandangan terhadap negara-negara Arab yang selalu menolak perdamaian.
Pengendalian makna menunjukkan adanya dominasi standar tunggal oleh Amerika
yang maksud sebenarnya ialah demi keuntungan pihak Adikuasa itu sendiri.
Pada proses penyebaran dan kontrol makna tersebut penguasa memiliki
channels dengan masyarakat yang menerima informasi, guidence dan direction yaitu
melalui media massa. Namun media massa bukan satu-satunya alat bagi penguasa
dalam melakukan manufacturing consent tetapi kontrol dan arahan dilakukan hampir
di setiap media komunikasi yaitu surat kabar, majalah, dan penerbit buku, radio,
televisi, teater dan juga terhadap semua pelaku dengan legitimasi penguasa. Kontrol
tersebut terlihat pada pelaksanaan censorship.
Censorship is self largely self-censorship, by reporters and commentators who adjust to the realities of source and media organizational requirements, and by people at higher levels within media organizations who are chosen to implement, and have usually internalized, the constraints imposed by proprietary and other market governmental centres of power.23
Kelompok elit yang memiliki akses informasi dan kewenangan pengontrolan
media massa, baik melalui kekuasaan politik yang digenggamnya maupun kekuasaan
ekonomi melalui kepemilikan saham media massa mudah sekali menciptakan
berbagai macam rekayasa guna mempengaruhi masyarakat. Sering kali informasi
yang ditampilkan pada media masa adalah informasi yang telah melalui tahap editing
23 Noam Chomsky and Edward S. Herman, 1988, Op cit, hlm. xii.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
dengan tujuan dapat membentuk gambaran di benak masyarakat yang sesuai dengan
ketentuan mereka.
Most biased choises in the media arise from the preselection of right
thinking people,internalized preconceptions, and the adaptation if personnel to the constraints of ownership, organization, market, and political power.24
Media masa dijadikan sebagai instrumen bagi penguasa dalam melakukan
tindak kekerasan psikologis. Negara-negara maju yang memiliki keunggulan dari
berbagai segi kehidupan pun tidak luput dari persoalan kekerasan dalam
masyarakatnya, meski dengan perbedaan kualitas maupun kuantitasnya. Dalam kasus
tertentu negara maju melakukan tindakan kekerasan terhadap negara-negara lainnya
dengan alasan melindungi kepentingan global (ekonomi dan keamanan), misalnya
penyerangan Amerika Serikat ke Irak dan invasi Israel ke Palestina, dan sebagainya.
Penguasaan atau kontrol terhadap ekonomi lalu memudahkan penguasa untuk
mengeksploitasi masyarakatnya, menguasai negara asing dan revolusi dunia.
Misalnya, semua proyek pengolahan sumberdaya alam dikendalikan dengan kekuatan
militer. Tipe perekonomian totalitarian memudahkan diktator untuk mengontrol
memori para pekerja dan membuat mereka terikat pada pemerintah atau dengan kata
lain tidak ada seorang pun yang dapat bekerja tanpa ijin dari pemerintah.
Proses penciptaan, “pengisian” dan pembentukan ulang (reshape) atau
manipulasi memori masyarakat dilakukan melalui praktek indoktrinasi dan
propaganda, edukasi, pendidikan moral, atau pembentukan karakter, dan ketika hal 24 Ibid.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
tersebut dilakukan secara berulang oleh diri kita sendiri. Hal inilah yang disebut
sebagai mekanisme kontrol terhadap cara berpikir masyarakat.
Salah satu tugas utama dari bisnis propaganda adalah “fabrication of
consumers” yang menjadi alat dalam membantu terimbasnya “segala gejala klasik
negara yang berbasis totalitarianisme: atomisasi, apatisme politik dan irasionalitas,
kedangkalan atau banalitas dari proses politik yang demokratis, menunggangi frustasi
yang berkembang dalam masyarakat, dan sebagainya.
Semarak kampanye propaganda melalui media massa dan media komunikasi
lainnya, penguasa sekaligus menularkan daya tarik yang semu terhadap masyarakat
sehingga masyarakat melihat pemimpin sebagai seorang yang memiliki strong
character (sifat jujur, sederhana, lugas dalam pembicaraan, orang yang beriman),
seseorang yang memiliki ketulusan dan kejernihan dari segi moral dengan demikian
masyarakat terlena dengan citraan (imagery) yang ditampilkan sang penguasa yang
kemudian akan menggiring masyarakat keluar dari public opinion.
…one of the primary tasks of business propaganda is the “fabrication of
consumers”, a device that helps induce “all the classic symptmps of state-based totalitarianism: atomization, political apathy and irrationality, the hollowing and banalization of purportedly democratic political processes, mounting popular frustration, and so forth”25
Kekerasan adalah alat bagi penguasa untuk melakukan kontrol (violence is a
powerful instrument of control). Pokok permasalahan yang sering kali terjadi dalam
hal kekerasan adalah ketika kekerasan (besar atau kecil) tidak diwacanakan karena 25 Noam Chomsky, Failed Stateds (New York: A Metropolitan, Owl Book, 2006), hlm. 221.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
masyarakat terlalu diintimidasi dan tidak berdaya untuk melawannya. Masyarakat
yang seperti ini tampak seperti masyarakat budak (slave society).26
Disalah satu pihak mungkin dapat dikatakan bahwa violence yang terjadi
dalam sejarah panjang kehidupan manusia terutama pada abad dua puluh adalah
karena kegagalan masyarakat modern mengangkat civilized norms. Kekerasan adalah
bagian dari kehidupan modern yang mudah ditelusuri dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat baik dalam sistem birokrasi, Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Sakit,
lingkungan kerja seperti pabrik, maupun dalam wilayah internasional yang meliputi
berbagai akses untuk melakukan kekerasan dalam skala global. Bentuk sistem sosial
yang penuh dengan kekerasan, cepat atau lambat akan mempengaruhi unsur kejiwaan
manusia. Nilai-nilai humanistik memudar, kehidupan manusia menjadi mekanistis
dan tidak lagi peka terhadap penderitaan sesama. Dampak berikutnya, solidaritas
sosial semakin sulit dirajut dan tindakan-tindakan kekerasan semakin sulit
dieliminasi. Struktur kebijakan politik Amerika membentuk sebuah tirani yang
mungkin berbeda dengan tirani pada rezim Joseph Stalin atau pemerintahan Hitler-
Nazi yang lalu. Tirani seperti ini lebih merupakan bentuk teror yang tidak terlihat
dengan kasat mata.
Kekuasaan Amerika Serikat diera globalisasi ini banyak dibentuk melalui
mekanisme hegemoni yang manipulatif. Menurut Chomsky, pemerintah Amerika
senantiasa mengkampanyekan demokrasi, HAM, anti-tirani, dan “perang atas teror”.
26 Noam Chomsky on U.S. domestic violence, etc. http://www.chomsky.info/ articles. Diakses tanggal 3 Mei 2007 pukul 19.05 WIB.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Ironinya, peran tentara militer Amerika Serikat di Tepi Barat justru menjustifikasi
terorisme dan kejahatan kemanusiaan. Pemerintah Amerika mensponsori negara
zionis Israel untuk melakukan pelanggaran HAM berat dan menentang hukum
internasional. Dengan pemikiran Arendt dan Chomsky, konsep totaliter kemudian
memasuki fase perkembangan debat ilmiah yang dipenuhi dengan nuansa akademis
dan bukan lagi sekedar manifestasi politik yang real tetapi juga digaungkan dalam
wacana akademis, khususnya filsafat dan ilmu politik.
3.3 Matriks Perbandingan Konsep Totalitarianisme Hannah Arendt dan Noam
Chomsky:
Unsur-unsur
Totalitarisnisme Hannah Arendt Noam Chomsky
Asumsi
Kekuasaan
• Kekuasaan sebagai basis
fondasi politik yang dapat
diperoleh dari solidaritas
individu yang tergabung
dalam masyarakat massa
(dihasilkan melalui
organisasi). Dengan kata
lain, kekuasaan adalah
“solidaritas semu” yang
terbentuk dari kesamaan
nasib, dan solidaritas adalah
• Kekuasaan merupakan
kemampuan suatu pihak
menundukan lawan untuk
turut menjadi pengikut
dalam kebijakan politik
yang diproduksi oleh
penguasa tersebut.
Merupakan kemampuan,
strategi setiap orang, dalam
konteks relasi sosial, yang
kerapkali sebagai upaya
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
kekuasaan.
• Di sisi lain kekuasan yang
seharusnya bukanlah
dominasi dan pemaksaan
melalui kekerasan,
melainkan komunikasi
intersubyektif antara warga
negara yang bebas dan
setara.
• Kekuasaan pada prakteknya
merupakan dominasi dengan
tindak kekerasan.
‘mempengaruhi’ pikiran,
perilaku pihak-pihak lain
untuk melakukan hal yang
sebenarnya bukan
merupakan pilihan mereka
sendiri.
• Mendistorsi adalah
karakteristik yang dimiliki
oleh kekuasaan. Maka, relasi
kekuasaan terjadi dengan
timpang.
• Indoktrinasi ideologi atau
kontrol psikologis
merupakan ekspresi dari
kekuasaan.
• Dominasi melalui
manipulasi.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Kondisi Historis
Perang Dunia I sebagai
awal dari keruntuhan Kelas
menjadi massa dan ketika
meletusnya Perang Dunia II
dan kekalahan di pihak
Jerman menjadi senjata
bagi Hitler untuk
memperoleh dukungan
simpatisannya dengan
menebar propaganda”
negara dalam keadaan
gawat”. Pada saat itu juga
merupakan periode negara-
negara di Eropa dan
Amerika berlomba-lomba
untuk memperoleh
penguasaan terhadap dunia.
Masyarakat kontemporer
hidup dalam arus globalisasi
dan komunikasi yang tak
terbatas ruang dan waktu.
Dengan kemajuan teknologi
di berbagai sektor
kehidupan menimbulkan
semangat imperialisme dan
liberalisme gaya baru, yaitu
neo-liberalisme.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Institusi
Kekerasan
1. Polisi Rahasia.
2. Newspeak
3. Propaganda.
4. Kamp-kamp konsentrasi.
5. Total terror dan total control
pembasmian “musuh-musuh
objektif” (objective enemy)
dari pada senjata yang
bersifat persuasif karena
massa yang akan direkrut
adalah massa yang “bodoh”
secara politik.
6. Penyiksaan dan penahanan
yang sewenang-wenang.
7. Ideologi rasial.
8. Tidak ada ruang untuk
berpikir (thinking), menalar
(reasoning) dan
merefleksikan individualitas.
1. Media massa.
2. Newspeak seperti: Tatanan
Dunia Baru, Perjanjian
Damai, Terorisme, dan
sebagainya.
3. Propaganda.
4. Intervensi melalui serangan
militer.
5. Edukasi.
6. Pendidikan moral (moral
instruction).
7. Ideologi liberal (seperti
kapitalisme dan demokrasi)
8. Terdapat ruang bagi
masyarakat untuk berpikir,
bernalar, dan berefleksi
tetapi pada saat yang sama
tindakan tersebut didistorsi
dan dimanipulasi oleh
penguasa.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Praktek
Totalitarianisme
Kekerasan yang dilakukan
secara fisik, yaitu dengan
membunuh, membantai, dan
membakar para “korban” yang
dikenal dengan istilah Nazi
Final Solution. Pemerintahan
didirikan atas fondasi
ketakutan dan rasa curiga yang
timbal balik diantara penguasa
dan massa.
Diaplikasikan secara halus
(subtle) terhadap mentalitas
dan jiwa (psikologis)
masyarakat yaitu melalui
mekanisme manufacturing
consent yang berupaya
menyesuaikan opini
masyarakat dengan kebijakan
yang telah diatur oleh
penguasa. Praktek
“penjajahan” akal budi
masyarakat dalam struktur
semacam itu, kesetaraan dan
kebebasan dalam
berkomunikasi adalah absurd.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
BAB IV
MANUFAKTUR PEMIKIRAN
DENGAN BAHASA SEBAGAI MEDIA POPAGANDA
…The process of creating and entrenching highly selective, reshape or completely fabricated memories of the past of what we call “indoctrination” or “propanganda” when it is conducted by official enemies, and “education”, “moral instruction” or “character building”, when we do it ourselves. It is a valuable of mechanism of control, since it effectively blocks any understanding of what is happening in the world. 1
Peta sosio-politik masyarakat kontemporer yang berada dalam proses
globalisasi dan teknologi yang semakin menjadi-jadi kompleksitasnya, membuat
manusia yang hidup di dalamnya tidak dapat menghindar dari segala tuntutan
kehausan terhadap informasi dan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. Sistem
teknologi dibidang komputerisasi seperti internet dan satelit luar angkasa
mengasumsikan suatu kondisi tidak ada lagi batasan bagi masyarakat untuk
mengakses informasi dari belahan dunia mana pun dan dengan demikian
mengaburkan jarak antar berbagai negara.
Globalisasi yang dipicu oleh kemajuan teknologi, dipahami sebagai bentuk
fenomena perdagangan internasional yang bersifat free market dimana pertukaran
barang dan jasa dapat dengan mudah hilir mudik di suatu negara. Hal itu pada
akhirnya menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan perang kepentingan,
1 Noam Chomsky, 1987, Op cit, hlm.124.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
seperti kebijakan pasar bebas yang menuntut agresifitas dan kelincahan negara atau
institusi dalam menjaring mangsa pasar yang luas. Dalam kondisi tersebut berbagai
pihak yang memiliki kepentingan akan melakukan suatu upaya (effort) bagaimana
agar ia memperoleh posisi yang lebih unggul dari yang lainnya. Globalisasi oleh
karenanya merupakan paket dari sekumpulan nilai-nilai di bidang ideologi, politik,
ekonomi, budaya, dan lain-lain.
Terorisme, pelanggaran HAM, dan sebagainya yang menjadi fenomena paling
mutakhir di abad ini, merupakan produk dari tertutupnya jalur komunikasi antar-
masyarakat dan telah mengancam kehidupan manusia. Namun, yang menjadi
kegelisahan sekarang adalah bagaimana implikasi dari berbagai kondisi tersebut
terhadap sistem dan cara berpikir masyarakat. Apakah dapat berefleksi terhadap
fenomena dunia atau justru terhanyut dalam tingginya tingkat peradaban dunia yang
berada dalam tatanan high –technology industry.
Dalam bab ini penulis lebih memfokuskan penelitian pada posisi di mana
masyarakat secara tidak sadar telah dibentuk sedemikian rupa pemikirannya sehingga
kemudian ia mengusung, mengafirmasi dan melakukan persetujuan terhadap
rasionalisasi atau ideologi yang terus-menerus dihembuskan ke dalam jiwa mereka,
sedangkan di balik persetujuan tersebut ada kepentingan tertentu untuk manipulasi
dan “penindasan” yang merupakan modus baru dari totalitarianisme. Penindasan
tersebut tentunya tidak hanya terjadi secara fisik seperti yang terjadi di abad ke-dua
puluh tetapi juga terhadap mentalitas dengan jalur pemikiran masyarakat. Proses ini
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
bekerja secara kontinu menyelubungi kehidupan sosial masyarakat sekarang melalui
sistem dan mekanisme yang sangat kompleks yaitu hegemoni.
4.1 Hegemoni: Pengertian, Prinsip, dan Praktek
Secara sederhana pemahaman terhadap hegemoni tertuju kepada suatu konsep
yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci sebagai suatu organisasi konsensus. Peta
pemikiran politiknya mengenai hegemoni berawal dari hasratnya untuk
memperjuangkan agar partai komunis pimpinannya (Italian Communist Party) dapat
merebut kekuasaan negara.
Considered in the thought of Gramsci, hegemony in practical terms
means a class alliance between a leading proletariat and peasantry. Instead he broadened the problem, conceiving of hegemony as a moment of new ideological integration when the allied revolutionary classes (such as workers, soldiers, peasants) seek awareness on a universal level. Through ideological struggle (led by the vanguard, the specific and autonomous interests of the specific classes within the alliance vanish. They are replaced by a new hegemony based on a shared vision. 2
Hegemoni kemudian merupakan suatu gerakan revolusioner yang dilakukan
guna merebut kekuasaan negara (war of manoeuvre/movement). Ketika revolusi telah
tercapai dan kekuasaan dapat direbut maka tindakan selanjutnya yang harus ditempuh
adalah memperjuangkan kelanggengan kekuasaan yang telah diraih. Perjuangan
tersebut akan berhasil jika para intelektual dari semua kelas (termasuk kaum proletar
dan sejarawan) menyatukan diri dan masuk ke parlemen, yaitu wilayah tempat 2 Gramsci dalam William D. Perdeu, Sociological Theory (California: Mayfield Publishing
Company, 1986), hlm. 396.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
terjadinya diskursus (war of position). Dengan demikian hegemoni bukan hubungan
dominasi dengan menggunakan kekerasan dan paksaan (force) seperti sejarah
revolusi yang dilakukan oleh partai komunis di Rusia, melainkan hubungan
persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis di dalam
parlemen.3
Hegemoni dimaksudkan Gramsci terhadap ide keunggulan (predominasi)
suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lainnya, seperti hegemoni kaum borjuis atas
kaum proletar. Hegemoni tersebut tidak hanya merepresentasikan kontrol ekonomi-
politik melainkan juga kemampuan kelas dominan untuk merealisasikan pengaruh
rasionalitas (ideologi) mereka terhadap dunia, oleh karena itu pihak yang ter-
subordinasi akan menerima hal tersebut sebagai pandangan umum yang alamiah yang
disebut dengan common sense atau pandangan umum masyarakat.4 Dengan
penciptaan mekanisme common sense, maka gagasan dari kelompok hegemonis akan
terlihat “alami” (bukan ideologis) dan menjadi salah satu kunci memenangkan
penerimaan publik.
Saat ini, fenomena proses hegemoni bekerja pada situasi ketiadaan reaksi dari
rakyat terhadap rezim yang berkuasa dan rela hidup dalam kondisi “menderita” tanpa
kemampuan untuk melakukan perlawanan karena sang penguasa melakukan
hegemoni terhadap mereka secara invisible. Hegemoni terjadi ketika masyarakat
3 Ibid. Menurut Gramsci, revolusi yang terjadi di Rusia atau di negara-negara komunis lainnya
disebabkan karena masyarakatnya belum masuk ke dalam tingkatan masyarakat maju seperti di Eropa. Oleh sebab itu mereka melakukan revolusi dengan menggunakan paksaan dan kekerasan.
4 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 20.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
kalangan bawah yang dikuasai oleh kelas yang dominan bersepakat dengan ideologi,
gaya hidup, dan cara berpikir dari kelas yang dominan sehingga, kaum tertindas tidak
merasa dijajah oleh kelas yang berkuasa.
Berkaitan dengan hal ini, Habermas dan para tokoh Mahzab Frankfurt lainnya
menujukan perhatian mereka pada teori psikoanalisa Sigmund Freud dalam
menemukan unsur-unsur tidak sadar yang direpresi (termasuk juga interes-interes)
dan memungkinkan individu untuk mengakui dan menerimanya pada tahap sadar.
Massa yang ditindas tetap tertarik secara emosional kepada penguasa yang telah
menindas dan bertindak opresif.
Freud dalam teorinya tentang superego menerangkan bahwasannya agar
seseorang dapat berfungsi secara konstruktif dalam masyarakat, ia harus
mendapatkan value, norma, etika dan sikap-sikap yang sesuai dengan masyarakat.
Superego dalam masyarakat bisa jadi berbentuk rasionalisasi atau ideologi penguasa
yang ditanamkan dalam dunia kehidupan masyarakat. 5
Salah satu prinsip yang bekerja dalam hegemoni adalah kemampuan sebuah
kelas untuk menyuarakan kepentingan kelompok sosial lainnya atas nama dirinya
sendiri. Ada dua cara penyuaraan ini yang sangat berbeda: pertama, kepentingan-
kepentingan kelompok ini diserap untuk menetralisirnya agar tidak berkembang lebih
jauh. Cara artikulasi ini, misalnya diterapkan oleh Orde Baru, dengan 'menyerap'
berbagai kepentingan kelompok, seperti agama, suku atau ras untuk mencegahnya
5 Ibrahim Ali fauzi, Jurgen Habermas, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 56.
Superego dalam hal ini merupakan suatu versi norma yang dipahami sebagai standar perilaku masyarakat yang diinternalisasi ke dalam individu.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
menjadi kekuatan tandingan. Kedua, berbagai kepentingan itu dihisap sedemikian
rupa untuk dihembuskan kembali ke masyarakat dan mendorong berkembangnya
“konsensus” yang kemudian menggiring ke arah pemecahan berbagai kontradiksi
yang ada di antara kelas-kelas sosial yang ada.
Lembaga-lembaga pendidikan dan hukum sangat penting dalam menjalankan
hegemoni tersebut. Pendidikan dan pembuatan kebijakan adalah aktivitas-aktivitas
yang amat penting dalam pembentukan suatu masyarakat yang “tunduk” terhadap
negara maupun penguasa. Meskipun kebudayaan dalam arti tertentu dikonstruksi
berdasar hal keragaman arus maknanya, akan tetapi ada suatu unsur makna yang
dapat saja disebut induk atau dominan.
Proses penciptaan, pemeliharaan, dan reproduksi serangkaian makna dan
praktek otoritatif ini disebut Gramsci dengan hegemoni budaya. Hegemoni bukanlah
sesuatu yang diterima melainkan perlu dimenangkan terus-menerus. Pemenangan
hegemoni secara terus menerus menuntut sebuah kondisi di mana masyarakat yang
dikontrol secara tidak sadar namun dengan sadar menganggukan kepala atas konsepsi
yang disepakati.6
Rasionalitas yang bekerja pada taraf ini adalah rasionalitas dengan motif
mempertahankan kekuasaan yang secara objektif sudah ketinggalan zaman tetapi
disembunyikan dibalik dalih-dalih mengenai imperative teknis di mana sistem
dijalankan dalam struktur super-ego mengikuti karakter sosial yang berlaku. Situasi
ini sejalan dengan sistem ekonomi pada masyarakat kapitalis yang memaksakan diri 6 Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), hlm. 274.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
masuk ke dalam dunia kehidupan individu yang paling dalam dan pada
perkembangan kepribadian masyarakat. Segala hubungan sosial tercermin sebagai
hubungan-hubungan ekonomi yang lepas dari ruang lingkup pribadi di bawah
mekanisme teknis kapitalis.
Dalih-dalih tersebut hanya dimungkinkan oleh kenyataan bahwa rasionalitas
ilmu dan teknologi secara imanen sudah merupakan rasionalitas pengaturan, suatu
rasionalitas penguasaan. Inilah yang menjadi penjelasan Marcuse dalam
menerangkan kandungan politis “rasio teknis” sebagai titik tolak analisis teori tentang
masyarakat kapitalis.7 Menurutnya, rasio yang bekerja pada masyarakat kapitalis
adalah rasionalitas yang mengedepankan nilai-nilai keunggulan antara ilmu, teknik,
dan industri. Teknik yang bersifat sentralistik dan totaliter membentuk sistem yang
menekan bahkan membatasi kebebasan manusia.
Tetapi teori Marcuse ini dikritik oleh Habermas dengan memaparkan dua segi
konstitutif dalam proses interaksi sosial yaitu sistem sosial (negara dan ekonomi), dan
dunia kehidupan (lifeworld) yaitu wilayah terjadinya interaksi dan di sinilah
tersedianya ruang bagi pemahaman yang kritis. Dalam sistem yang mengatur
kehidupan sosial masyarakat, rasionalisasi bekerja berdasarkan rasionalitas bertujuan
(teleological rationality) dari subsistem yang disebut dengan “kerja”.
Rasionalitas ini berkembang dan diorganisasikan seiring kemajuan ilmu
pengetahuan dan kapitalisme dengan birokrasi yang menyusup keras ke wilayah
lifeworld. Rasionalitas bertujuan terealisasi dalam tindakan instrumental 7 Op cit, hlm. 83-84.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
(instrumental action) yang bersifat strategis dan berorientasi pada kesuksesan yang di
dalamnya terdapat upaya untuk mempengaruhi keputusan rasional pihak oposisi. Hal
ini disebut Habermas dengan tindakan bertujuan (teleological action) yang secara
prinsipil berbeda dengan tindakan komunikatif (communicative action) yang
memiliki basis rasional.
Instrumental action is oriented to success; strategic action is the
special case when the actor tries to influence the decisions of a rational opponent. In contrast, "a communicatively achieved agreement has a rational basis; it cannot be imposed by either party, whether instrumentally through intervention in the situation directly or strategically through influencing the decisions of opponents….what comes to pass manifestly through outside influence…cannot count subjectively as agreement. Agreement rests on common convictions"8
Tindakan komunikatif membawa manusia pada pemahaman terhadap dunia
kehidupannya. Konsep tindakan komunikatif ini sangat erat kaitannya dengan bahasa
yang merupakan media komunikasi. Habermas mencoba memahami masyarakat
dalam sudut pandang bahasa dan menjelaskannya melalui konsep diskursus. Bahasa
sebagai media diskursus dalam komunikasi adalah suatu konsep emansipasi.
Menurut Habermas, lifeworld harus dirasionalisasikan karena rasionalisasi
merupakan bagian dari evolusi sosial dan sangat diperlukan bagi emansipasi
masyarakat (rationalization is part of social evolution and necessary for an
emancipated society).9 Rasionalisasi adalah proses di mana klaim kebenaran (claim
8 Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and The
Rationalization of Society, (Boston: Beacon Press, 1984) hlm. 287. 9 Ibid, hlm. 74.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
of validity) tidak diterima berdasarkan keyakinan (faith) semata melainkan diangkat
ke ruang publik (public sphere) untuk dikritik dan didiskusikan secara terbuka oleh
masyarakat awam.
Namun yang terjadi dalam masyarakat kapitalis justru berbeda. Lifeworld
kehilangan power atas ekspansi rasionalitas sistem seperti ekonomi, hukum, dan
birokrasi negara yang sangat dominan. Uang dan kekuasaan mengambil posisi
sebagai media pengendali dunia kehidupan. Intervensi negara yang semakin menjadi-
jadi tidak sejalan dengan lifeworld dan secara terus-menerus mengatasi koordinasi
dalam masyarakat. Oleh karena itu kedudukan lifeworld berada di bawah (subordinat)
koloni “sistem” (colonization of lifeworld) di mana sistem mencengkram fungsi rasio
komunikatif terhadap proses reproduksi kultural, integrasi sosial, dan sosialisasi yang
bekerja dengan menyetir proses rasionalitas yang terjadi dalam kehidupan sosial,
sehingga claim of validity tidak dicapai melalui upaya diskusi publik melainkan
dikendalikan oleh penguasa.10
4.2 Propaganda
Sistem yang mendominasi dan menghegemoni lifeworld terus-menerus
mencari jalan dalam mengupayakan kesinambungan kekuasaannya dan
mempertahankan agar jalur-jalur komunikasi selalu terhambat, dan seandainya
komunikasi tetap terjadi namun komunikasi akan bersifat distortif (distorted
10 Jurgen Habermas, Theory of Communicative Action, Volume Two:Lifeworld and System, (Boston:
Beacon Press, 1984), hlm. 154.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
communication) melalui perangkat propaganda yang merupakan sebuah perangkat
vital dalam mengontrol rasionalitas yang bekerja pada masyarakat, khususnya
masyarakat awam.
Sebagai pemikir yang sangat kritis terhadap fenomena politik dan sosial di
dunia, Chomsky menjelaskan bahwasannya meskipun di Amerika kebebasan
berekspresi dijunjung tinggi sebagai komitmen terhadap demokrasi, tetapi kenyataan
memperlihatkan bahwa pemerintah Amerika menggunakan teknik lain untuk
mengatur atau justru merekayasa persetujuan yang akan muncul dalam masyarakat.
Hal ini disebut dengan manufacturing consent yaitu mekanisme kontrol dengan
menggunakan propaganda, public opinion, dan Newspeak yang bertujuan
menghalang-halangi kebebasan berpolitik, mengusung kekerasan dalam masyarakat
yang pada akhirnya menutup berbagai pemahaman atas peristiwa di dunia dan dalam
menentukan keputusan.
What is more, these actions of the national political police were only
one element of government programs extending over many administrations to deter independent political action, stir up violence in the ghettos, and undermine the popular movements that were beginning to engage sectors of the generally marginalized public in the arena of decision-making.11
Propaganda adalah penyebaran informasi mengenai fakta, argumentasi atau
pendapat, berbagai isu, dan kebohongan, untuk mempengaruhi public opinion.
Sejarah munculnya propaganda kontemporer dimulai dengan operasi propaganda
yang dilakukan oleh pemerintahan Wodrow Wilson pada dekade Perang Dunia I. Dia 11 Edwar S. Herman & Noam Chomsky, 1988, Op cit, hlm. 299.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
memiliki andil dalam perang tersebut dan membentuk komisi propaganda resmi
pemerintah (Creel Commission) yang kemudian sukses mengupayakan rakyat
Amerika yang pada waktu itu sangat anti perang menjadi massa yang histeris dan
haus perang, serta bernafsu menghancurkan segala hal yang berbau Jerman.12
Sebagai upaya yang sistematik, propaganda bertujuan untuk memanipulasi
belief, sikap atau aksi masyarakat melalui simbol (kata-kata, gerak atau isyarat,
spanduk, monumen, musik, pakaian, lencana, gaya rambut, disain pada berbagai
media lainnya, dan sebagainya seperti kutipan kalimat di bawah ini:
Propaganda is the more or less systematic effort to manipulate other
people's beliefs, attitudes, or actions by means of symbols (words, gestures, banners, monuments, music, clothing, insignia, hairstyles, designs on coins and postage stamps, and so forth).13
Melalui propaganda penguasa berhasil membuat representasi sebagai
kenyataan dengan merekayasa peristiwa sosial dan sejarah. Terorisme misalnya, kita
memahami istilah tersebut sebagai tindakan yang dilakukan oleh suatu kelompok
atau negara yang dianggap tidak menerapkan sistem demokrasi di negaranya atau
negara demokrasi yang pemimpinnya tidak menerapkan prinsip-prinsip demokrasi.
Afghanistan dan beberapa negara lainnya di Timur Tengah serta negara-
negara di Amerika Latin diberi label sebagai negara teroris (Terrorist States) oleh
Amerika Serikat dan sekutunya. Dalam melakukan teror, negara tersebut
12 Noam Chomsky, Kuasa Media, (Yogyakarta: Pinus, 2005), hlm 16. 13 http://www.britannica.com/eb/article-23825/propaganda. Diakses pada tanggal 3 Mei 2007 pukul
18.15 WIB.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
menggunakan aksi kekerasan seperti bom dan sebagainya yang mengacam
keamanan wilayah lain. Namun konsep ini sepertinya tidak berlaku ketika Amerika
yang melancarkan serangan dan intervensi ke negara lain karena ia bersembunyi di
balik dalih “perlindungan” dan “pertahanan” keamanan diri atau dunia dari musuh
mereka. Salah satu kesuksesan propaganda lain yang diraih oleh Amerika adalah
konsep demokrasi. Pemerintah Amerika memaksakan agar konsep demokrasi
merekalah yang paling benar untuk diterapkan di seluruh negara di dunia.
Perhaps the most spectacular propaganda achievement was the lauding of the president's "vision" to bring democracy to the Middle East in the midst of a display of hatred and contempt for democracy for which no precedent comes to mind.14
Pemerintah Amerika senantiasa mengkampanyekan demokrasi, HAM, anti-
tirani, dan “perang terhadap teror” (war on terror). Ironisnya, peran AS di Tepi Barat
justru menjustifikasi terorisme dan kejahatan kemanusiaan yang ternyata dilakukan
oleh pihaknya sendiri. Lihat saja ketika AS mensponsori negara zionis Israel untuk
melakukan pelanggaran HAM berat terhadap warga negara Palestina dan menentang
hukum internasional.
Seiring dengan persoalan tersebut, media massa sangat berperan dalam
kelancaran propaganda yang dijalankan oleh penguasa sehingga memunculkan
pertanyaan tentang faktor-faktor apa saja yang memungkinkan penampakan media
massa yang kurang memuaskan dan terkesan tidak objektif dalam penyampaian
14 Noam Chomsky, 2003, Dominance and its Dillemas, http://www.chomsky.info/ articles. Diakses
tanggal 3 Mei 2007 pukul 18.59 WIB.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
informasi. Bagi Stuart Hall, media massa cenderung mereproduksi interpretasi yang
menyokong kepentingan kelas yang berkuasa, mereka juga “wilayah pergumulan
ideologi” (a field of ideological struggle).15 Dan di lain pihak, Noam Chomsky
mengutip argumentasi dari Walter Lippmann mengenai hubungan media massa
dalam propaganda:
…the mass media do tend to reproduce interpretations which serve the interests of the ruling class, but they are also 'a field of ideological struggle'. The media signification system is seen as relatively autonomous.16
Namun begitu, media massa bukan satu-satunya alat bagi penguasa dalam
melakukan manufacturing consent. Tetapi, kontrol dan arahan dilakukan hampir di
setiap media komunikasi yaitu, penerbit buku, radio, televisi, teater dan juga
terhadap semua pelaku dengan legitimasi penguasa. Kontrol tersebut terlihat pada
pelaksanaan censhorship. Oleh karena itu, subordinasi media adalah salah satu
syarat bagi sistem propaganda yang dilakukan negara.
Propaganda yang diterapkan oleh rezim totalitarian dengan propaganda dalam
manufacturing consent tampak sedikit berbeda namun pada dasarnya tujuan yang
hendak dicapai tetap sama, yaitu untuk mengintegrasikan common sense dengan
konsepsi penguasa. Chomsky membandingkan propaganda yang bekerja dalam
manufacturing consent yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dengan
propaganda yang dilakukan oleh rezim totalitarian melalui ilustrasi berikut:
15 http://www.aber.ac.uk/media/Documents/marxism/ stuarthall. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul
17.08 WIB. 16 Edwar S. Herman & Noam Chomsky, 1988, op cit, hlm.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
….the U.S. media do not function in the manner of the propaganda system of a totalitarian state. Rather, they permit-indeed, encourage spirited debate, criticism, and dissent, as long as these remain faithfully within the system of presuppositions and principles that constitute an elite consensus, a system so powerful as to be internalized largely without awareness.17
Karena pikiran dibentuk pada individu berdasarkan kepentingan-kepentingan
tertentu dengan cara ‘manipulasi’ maka pemikiran tersebut disebut palsu. Dengan
adanya kontrol dalam wilayah media massa, tujuan yang hendak dicapai tentu saja
suatu kondisi di mana orang-orang awam dengan common sense-nya tidak bisa lagi
membedakan antara media massa sebagai instrumen informasi dan hiburan dengan
media massa sebagai agen manipulasi dan indoktrinasi.
Karena logika yang bermain dalam rasionalitas ini adalah logika dominasi
dengan perpaduan yang mengerikan antara kebebasan dan penindasan, produktivitas
dan penghancuran, pertumbuhan dan regresi. Dalam hal ini terdapat semacam
peningkaran dari penguasa terhadap nilai-nilai luhur manusia sebagai human being
dan oleh sebab itu sistem dan logika yang bermain seperti ini bisa dikatakan keliru.
4.3 Manipulasi Bahasa dan Pemaknaan yang Menghasilkan Misimpressions18
Anarkhisme dan ketangguhan Chomsky dalam mengkritik Amerika (sebagai
state power) dituangkannya dalam analisa kritis mengenai politik saat ini yang
17 Ibid, hlm. 302. 18 Istilah yang digunakan oleh Noam Chomsky dalam menerangkan fenomena hasil gelagat sistem
pemerintahan Amerika Serikat. Lihat Noam Chomsky, 2006, Failed States, New York: Owl Books, hlm 106. Dalam buku tersebut ia menerangkan strategi politik pemerintah Amerika dalam mendominasi “makna” untuk disebarkan ke seluruh wilayah internasional.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
bekerja dengan sistem manipulasi. Ia menganalisa kerja kontrol kuasa dalam tataran
gramatikal yang bekerja dalam politik kontemporer.
Menurut Chomsky, manusia adalah makhluk yang berbahasa (everyone
working on language).19 Bahasa adalah media istimewa di mana makna budaya
dibangun dan dikomunikasikan. Bahasa juga merupakan sarana dan media di mana
kita membangun pengetahuan tentang diri kita dan tentang dunia sosial.
Dalam realitas, ada kalanya bahasa bukan merupakan media netral bagi
pembentukan dan transfer nilai, makna dan pengetahuan yang ada di luar batas-
batasnya, namun bahasa adalah pembangunan nilai-nilai, makna dan pengetahuan
tersebut. Bahasa mengkonstruksi dan menstrukturkan makna yang dapat dan tidak
dapat digunakan pada situasi tertentu oleh penutur 20 seperti yang terjadi pada
Newspeak.
Dalam manufacturing consent bekerja bahasa yang dominatif. Bahasa
digunakan penguasa sebagai instrument untuk menghegemoni dan kemudian
memanipulasi pikiran masyarakat. Bahasa yang dimanipulasi inilah ciri rezim
totaliter yang mencoba menyetir semesta pembicaraan dan pemaknaan. Ia tidak
memberi celah bagi bahasa-bahasa lain karena dianggap sebagai ancaman, dan pada
saat bahasa tersebut digunakan dalam proses penyampaian informasi, maka informasi
yang disampaikan akan berupa informasi yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan.
19 Noam Chomsky dalam The Chomskyan Era, exerpted from the Architecture of Language, 2000. http://www.chomsky.info/ articles. Diakses tanggal 3 Mei 2007 pukul 18.59 WIB. 20 Chris Barker, 2004, Opcit . Yogyakarta: Kreasi Wacana, Op cit, hlm. 69.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Bahasa oleh karena itu hanya menjadi “kaki-tangan” dari sebuah sistem
kekuasaan yang hegemonik, sebuah media untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan
dari ideologi yang dominan. Bentuk dominasi melalui bahasa dan media komunikasi
ini digunakan sedemikian rupa sehingga dominasi tersebut “diakui secara salah”,
tetapi meskipun demikian 'diakui' (recognized) sebagai legitimasi.
Dalam kaitannya dengan sudut pandang Gramsci, pengertian hegemoni tidak
hanya menjelaskan relasi antar kelas-kelas politik (rulling class/ruled class), akan
tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas, seperti relasi gender, ras, agama bahkan
gaya hidup. Konsep hegemoni tidak hanya berkaitan dengan dominasi politik, berupa
kekuatan (force), tetapi juga dengan dominasi lewat budaya, termasuk dominasi
bahasa.21
Controlling system of thought are mediated through society by different
structures of hegemony, including the media, education and religion. For Gramsci, ideological hegemony means that the principal themes of domination (essensial to the continuing control of a rulling class) are redundant in the culture.22
Wilayah yang terakhir inilah yang menjadi ruang penyelidikan studi Noam
Chomsky. Di dalam sebuah sistem kekuasaan tidak hanya diperlukan “kekuatan”
(senjata, militer), tetapi diperlukan juga “penerimaan publik” (public consent) yang
diperoleh lewat mekanisme kepemimpinan kultural, termasuk kepemimpinan bahasa.
21 Lihat karya Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, (New
York: International Publishers, 1971). 22 William D. Perdeu, Op cit. hlm. 396.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Penerimaan publik biasanya diekspresikan melalui mekanisme opini publik
khususnya lewat media komunikasi (koran, televisi, dan sebagainya).
Bila istilah “hegemoni” digunakan dalam pengertiannya yang lebih luas, maka
bahasa dapat dikatakan sebagai bagian dari sebuah sistem “medan perang simbolik”.
Sebuah medan tempat perebutan dominasi bahasa di antara berbagai kepentingan,
lewat berbagai cara dan strategi. Kerap sekali yang digunakan di dalam perebutan
hegemoni adalah strategi kekerasan, khususnya “kekerasan simbol”.23 Kekuatan
bahasa dan simbol memiliki peranan yang sangat sentral bila dibandingkan dengan
kekuatan senjata. Tidak hanya sistem gagasan atau kepercayaan dominan itu sendiri
yang sangat menentukan, tetapi bagaimana keseluruhan proses sosial diatur oleh
makna-makna dan nilai-nilai yang dominan.
Bahasa sebagai sebuah ruang di mana simbol-simbol diproduksi dan
disebarluaskan bukan alat kekuasaan dominan yang diterima secara pasif. Sebaliknya,
bahasa secara total (bersama bahasa tandingan) membentuk sebuah 'ruang' tempat
berlangsungnya suatu “perang bahasa” atau “perang simbol” guna memperebutkan
“penerimaan publik” atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Maka,
23 Kekerasan seperti ini terjadi di sepanjang era Orde Baru di mana simbol dan makna dalam
kehidupan sosial masyarakat selalu dibayangi oleh kekerasan (violence) yang kokoh melalui berbagai perangkat seperti militer, ideologi dari agama tertentu, ketakutan akan “cap” komunis, dan sebagainya. Elemen-elemen ini memiliki respons yang sangat cepat terhadap setiap pergerakan yang muncul di kalangan masyarakat sipil. Oleh karena itu nilai-nilai lokal (local value) tidak mungkin maju (show up) ke wilayah publik. Akan tetapi kemenangan reformasi meruntuhkan kekerasan yang dijalankan rezim otoritarian tersebut. Persoalan selanjutnya adalah “apakah dengan berakhirnya kekerasan dari rezim Orde Baru maka kekerasan (violence) dengan demikian ikut berakhir?” Gejala yang muncul adalah local value yang akhirnya memperoleh kesempatan untuk diaktualisasikan di tataran publik ternyata juga memiliki hasrat untuk mencapai posisi dominan dalam social order sehingga war of maneuver-pun bergulir kembali.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
kekuatan bahasa dan simbol memiliki peranan yang sangat sentral bila dibandingkan
dengan kekuatan senjata. Hal yang sangat menentukan tidak hanya sistem gagasan
atau kepercayaan dominan itu sendiri, tetapi bagaimana keseluruhan proses sosial
diatur oleh makna dan nilai dominan.
Di samping itu, ada hal yang perlu diperhatikan yaitu bila dalam mekanisme
hegemoni aspirasi dari masyarakat sipil “diserap” dan diartikulasikan guna
memenangkan penerimaan publik, maka dalam mekanisme “kekerasan simbol” yang
terjadi adalah sebaliknya. Penerimaan publik tersebut didistorsi sedemikian rupa
sehingga publik menerima kriteria, konsep atau nilai-nilai kelas dominan untuk
menilai diri dan mendefenisikan pandangan hidup mereka.
Konsep kekerasan simbol menciptakan sebuah mekanisme sosial yang di
dalamnya relasi bahasa saling bertautan dengan relasi kekuasaan. Sistem kekuasaan
berupaya melanggengkan posisi dominannya dengan cara mendominasi atau
mendistorsi bahasa yang digunakan dalam komunikasi, tanda-tanda yang
dipertukarkan serta interpretasi terhadap tanda-tanda tersebut. Sehingga, yang
dikembangkan adalah prinsip mono-signification dan monosemy (pertandaan dan
pemaknaan serba tunggal).24
Rasionalitas manusia sekarang ini dikendalikan oleh “kekuatan raksasa”.
Pikiran manusia dikontrol melalui penggunaan kata-kata dan pemberian makna
tertentu. Ada suatu sistem yang mengontrol pikiran masyarakat yang disebut
24 Yasraf Amir Piliang, Bahasa,Politik, dan Nasionalisme, dalam Pikiran Rakyat Cyber Media,
Kamis, 05 September 2002. Diakses pada tanggal 3 Mei 2007 pukul 16.45 WIB.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Chomsky dengan “the American Ideological System”. Nama, istilah, dan makna
dalam memori dirancang dengan memproduksi kata dan ungkapan baru yang “indah”
dan disebutnya dengan Newspeak.
Newspeak seperti yang dikemukakan oleh Orwell pada dasarnya tidak
mengandung kekeliruan atau kesalahan gramatikal tetapi lebih tepatnya
mengekspresikan secara gamblang suatu “ketidakbenaran”. Tujuan dari Newspeak
tidak hanya sebagai media pengekspresian pandangan dunia dan mental, tetapi juga
untuk membuat seluruh cara berpikir yang lainnya menjadi tidak mungkin. Hal ini
berarti, ketika Newspeak telah diadopsi dan diterapkan maka kata-kata di luar konsep
Newspeak segera menjadi punah atau dengan kata lain pemikiran yang menyimpang
dari prinsip tersebut menjadi unthinkable, seperti terlihat dalam kutipan berikut:
The purpose of Newspeak was not only to provide a medium of
expression for the world-view and mental habits proper to the devotees of IngSoc, but to make all other modes of thought impossible. It was intended that when Newspeak had been adopted once and for all and Oldspeak forgotten, a heretical thought - that is, a thought diverging from the principles of IngSoc - should be literally unthinkable, at least so far as thought is dependent on words. Its vocabulary was so constructed as to give exact and often very subtle expression to every meaning that a Party member could properly wish to express, while excluding all other meaning and also the possibility of arriving at them by indirect methods. This was done partly by the invention of new words, but chiefly by eliminating undesirable words and stripping such words as remained of unorthodox meanings, and so far as possible of all secondary meaning whatever. 25
25 http://www.levity.com/corduroy/george-orwell/newspeak/. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul 16.16
WIB.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Kata-kata yang dikonstruksi dalam Newspeak bertujuan untuk memberikan
“keakuratan” yang tampil sangat halus (dan tajam) terhadap setiap pengekspresian
makna oleh seorang anggota partai. Sementara itu kemungkinkan munculnya semua
makna-makna lain (other meaning) secara tidak langsung akan dihalangi. Ini adalah
sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak, yang di baliknya
menyembunyikan pemaksaan dominasi. Anggota partai tidak akan bisa
mempertahankan cengkraman kekuasaannya tanpa “membinatang”-kan
masyarakatnya dengan melancarkan propaganda. Dengan Newspeak, pemerintah
melakukan “kontrol atas realitas”; suatu sistem manipulasi dan kontrol yang sangat
kompleks dengan pengubahan bahasa dan pikiran masyarakat sehari-hari.
Chomsky menerangkan perihal Newspeak dengan berbagai istilah dari
fenomena yang terjadi di dunia ini yang tidak lain merupakan hasil rekayasa Negara
SuperPower dengan tujuan agar terjadi kekeliruan dalam pemikiran masyarakat
(creating misimpression). Terrorist States, Rogue States, dan Failed Stated adalah
istilah Newspeak yang dirumuskan oleh pemerintah Amerika terhadap negara-negara
yang menjadi target politiknya.
Failed States khususnya, dikatakan sebagai negara yang “gagal” dalam
menerapkan sistem demokrasi dalam masyarakat, yaitu negara yang tidak mampu
atau tidak mau melindungi rakyatnya dari kekerasan bahkan kehancuran. Salah satu
contoh negara yang gagal versi Amerika adalah Negara Haiti. Pada tahun 1994,
Amerika melalui Presiden Clinton melakukan intervensi dalam “pemulihan
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
demokrasi” di negara tersebut yang terganggu karena adanya kudeta oleh pihak
militer, tetapi Chomsky menjelaskan pada dasarnya tindakan yang dilakukan oleh
Amerika tidak lain hanya “merongrong” demokrasi masyarakat Haiti, dan
membawanya pada situasi chaos dan represif. Namun kemudian setelah peristiwa
9/11, pengertian Failed States meluas cakupannya ke wilayah internasional, dan ini
terjadi pada pendudukan tentara Amerika di Irak. Makna “failed” yang semula adalah
negara yang “lemah” (weak) kini mencakup “power vacuums”.
..”Failed States” need not be weak, Iraq was not considered a failed
state that threaten US security because it was weak. One legal authority writes that “the aggressive, arbitrary, tyrannical or totalitarian State would equally be regarded as having “failed” – at least according to the norms and standard of modern – day international law”26
Berdasarkan kutipan di atas kita melihat pemerintah Amerika memberikan
karakter Failed States kepada negara yang tidak hanya “lemah” (weak) dalam
menerapkan demokrasi tetapi juga negara yang cenderung mengabaikan hukum
internasional hingga tidak ragu mempraktekkan kekerasan ke negara-negara lain dan
menjalankan kekuasaan secara agresif, lalim, tirani atau totalitarian. Irak dan
Afghanistan adalah negara yang menjadi target penyerangan Amerika Kedua negara
itu oleh Amerika dianggap menyimpan ancaman. Sebuah negara tempat
berpangkalnya teroris internasional dan pemilik nuklir yang bisa mengancam
keamanan siapa pun maka militer Amerika memiliki legitimasi secara internasional
26 Ibid, hlm 108.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
untuk menyerang dan melakukan pendudukan di negara tersebut (khususnya Irak)
selama masa power vacuums.
Dengan demikian, Newspeak adalah metode yang digunakan penguasa dalam
mengontrol pikiran melalui bahasa untuk tujuan mempropaganda believe masyarakat.
Misalnya, isu peledakan bom yang dilakukan oleh musuh, meskipun pada
kenyataannya pemboman tersebut dilakukan oleh anggota pemerintah sendiri tetapi
jasa Newspeak telah berhasil membuat masyarakat percaya terhadap pemberitaan
yang disebarkan atas manipulasi negara. Implikasi dari Newspeak adalah
Doublethink, yaitu perangkat lain bagi penguasa dalam mengalihkan pemahaman
masyarakat terhadap dunia serta menyembunyikan kejahatan pemerintah dari
masyarakat dan di dalam tubuh pemerintah itu sendiri, inilah yang diterapkan oleh
rezim totalitarianisme awal.27
Kata-kata berikutnya adalah "terorisme". Terorisme sepadan dengan
pemahaman fundamentalisme dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika
merespons modernitas. Fundamentalisme adalah reaksi terhadap kegagalan
sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan
(Lifeworld), sekularisasi telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisional
mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya, juga identitas,
membuat para individu di dalam masyarakat terasing dari komunitasnya.
27 http://www.levity.com/corduroy/george-orwell/doublethink/. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul
18.29 WIB.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Terorisme pada mulanya berarti tindakan kekerasan yang disertai dengan
sadisme sebagai reaksi dari kaum fundamentalis, dalam perspektif Amerika,
terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompok-
kelompok kecil. Pembunuhan tiga orang Israel di Larnaca adalah terorisme, tetapi
penyerbuan sasaran sipil di Tunisia, pembantaian Sabra dan Satila, dan penyiksaan
warga Palestina disebut "pembalasan" atau "tindakan mendahului" (preemptive)
sebagai pencegahan terhadap aksi teroris.
Belakangan muncul Newspeak baru yang lebih indah, yaitu "tatanan dunia
baru" (new world order). Dalam Kamus Adikuasa, rangkaian kata ini berarti sistem
ekonomi dan militer dunia yang sepenuhnya tunduk kepada hegemoni Amerika
Serikat. Ketika pesawat-pesawat tempur meluluh-lantakan kota Baghdad, menyerang
kawasan-kawasan sipil, membunuh lebih dari setengah juta rakyat sipil waktu itu, dan
jutaan orang lagi sesudahnya, Amerika sedang menegakkan tatanan dunia baru.
4.4 Penciptaan Manusia-manusia yang Seragam dalam Cara Berpikir dan
Bertindak
Hegemoni yang terjadi pada era posmodern bekerja dalam lingkup budaya
melalui kapitalisme yang telah mencengkram wilayah paling kecil kehidupan
masyarakat. Masyarakat di dunia ke-tiga umumnya tidak merasa bahwa dirinya
dieksploitasi oleh negara industri maju. Proses internalisasi nilai yang dilakukan
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
negara maju ke negara dunia ketiga melalui aparat kebudayaan seperti Film, TV,
Internet, Musik, dan lain sebagainya, telah bekerja dengan sempurna.
Seperti penjelasan Fredric Jameson, posmodernisme hanyalah bentuk baru
logika kapitalisme modern. Bentuk ini tidak hanya berurusan dengan persoalan
kapital semata melainkan pembentukan kesadaran masyarakat yang digiring pada
dominasi budaya kultural tertentu sehingga hasilnya kesadaran manusia sekarang
dipenuhi oleh citra semata.28 Dalam masyarakat industri maju, dimensi wacana
menjadi tertutup dan mencirikan karakter totaliter dari bahasa. Wacana secara
perlahan punah dengan semakin jayanya cara berpikir dan berperilaku satu dimensi
seperti yang diterangkan oleh Herbert Marcuse dalam tesisnya mengenai manusia
satu dimensi.
The products indoctrinate and manipulate; they promote a false
consciousness which is immune against its falsehood... Thus emerges a pattern of one-dimensional thought and behaviour.29
Pada masa kontemporer, orang cenderung untuk melukiskan realitas dengan
narasi yang berakar pada diri sendiri. Lebih lanjut, persoalan mengenai narasi
menjadi begitu penting untuk mengkostruksikan ilmu dan pengetahuan di mana
kehidupan berada pada situasi dunia yang global dan maya. Itulah sebabnya mengapa
peran bahasa dalam menundukan masyarakat sangat penting bagi penguasa saat ini.
Keterlibatan negara dalam kehidupan sosial masyarakat kini tidak lagi hanya
28 Chris Barker, op. cit, hlm. 162-163. 29 Herbert Marcuse dalam Marxist Media Theory. http://www.aber.ac.uk/media/Documents/marxism/
stuarthall. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul 17.08 WIB.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
bergerak pada ruang publik (public sphere), tetapi menjurus ke ruang privat.
Pemusnahan hebat lewat dominasi interpretasi terjadi hingga menumpulkan potensi
kritis masyarakat dalam ruang kesadaran yang direkayasa negara.
One-dimensional thought thus pervades, distorts, and shapes the
irrational culture. It is sitematically promoted by mass media, by politicians, by the makers and shapers of language and its symbols. The one-dimensional being, shorn of the ability to critically evaluate the conventional wisdom, internalizes a set of simple phrases and slogans by which the world is defined.30
Bahasa yang dimanipulasi adalah ciri rezim totaliter saat ini yang mengontrol
pembicaraan (speech) dan pemaknaan (interprete). Dampak dari hal tersebut adalah
magis dan hipnosis sekaligus, imaji yang memberikan gambaran kesatuan yang semu
dan kemudian mengarahkan manusia pada keseragaman dalam berpikir dan
bertindak. Rezim totaliter pada dasarnya memang lebih menyukai keseragaman dari
pada perbedaan serta totalitas dari pada partikularitas.
Totalitarianisme di satu sisi adalah gerak irasionalitas dari rasionalitas yang
teknologis dan logika dominasi dari rezim, di sisi lain merupakan himpunan dari
individu yang tercetak menjadi tidak kritis dan submisif dalam masyarakat yang
menggelorakan konformitas dan identifikasi diri dengan hal-hal yang dipahami
berdasarkan pemikiran palsu yang diciptakan oleh para penguasa. Kekuatan politik
dan ekonomi yang cukup luar biasa yang dimiliki Amerika sebagai salah satu
contohnya dapat dengan mudah menjelma menjadi rezim kesadaran yang mendoktrin
30 Herbert Marcuse dalam William D. Perdue, 1986, op.cit, hlm. 380.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
warga dunia untuk mengikuti kehendak-kehendak politiknya. Politik bahasa dan
kesadaran yang dilancarkan mengendap di seluruh pelosok dunia telah cukup menjadi
legitimasi moral bagi Amerika untuk menjustifikasi tindakan terorismenya.
Sosok seperti Hitler pun tahu persis bahwa repetisi (rekaya citra bangsa
Yahudi) bisa mencapai fungsinya yang paling ekstrem: kebohongan terbesar, ketika
diulang secara terus-menerus dengan ekspresi yang meyakinkan (indoktrinasi), akan
dilaksanakan dan diterima sebagai kebenaran sehingga berdampak destruktif: pesan
yang sama yang diulang dapat merongrong otonomi jiwa, kebebasan berpikir, dan
cenderung kondusif untuk melahirkan ketundukan (submisif).
4.5 Praktek Totalitarianisme di Indonesia
Menurut sejarah, Indonesia terjebak dalam sistem Orde Baru di era
pemerintahan Soeharto yang otoriter sekaligus totaliter, berdasarkan karakteristik
yang melekat dalam totalitarianisme seperti pemberlakuan satu ideologi dan partai
tunggal dalam kehidupan negara. Negara mengintervensi pembentukan opini publik
dengan dalih pemeliharaan stabilitas nasional dengan menciptakan lembaga-lembaga
yang memangkas partisipasi politik warga negara, mengawasi media massa dan pers
melalui sensor secara ketat demi keamanan nasional, menstigma para oposan (label
yang diwariskan terhadap seluruh anggota keluarga dan kerabat yang pernah terlibat
dalam partai komunis atau menjadi tahanan politik), dan merintangi pembentukan
kelompok-kelompok politis spontan.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Pemerintah saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa
negara sudah dilengkapi dengan DPR/MPR untuk menampung aspirasi publik,
sementara lembaga perwakilan ini berada di bawah dominasi eksekutif. Hal ini
tampak sebagai upaya pemerintah dalam menekan ruang publik dan membuat
warganya jatuh pada isolasi dan apatisme, masyarakat seperti inilah yang mudah
diayunkan kedalam proses pembentukan manusia yang seragam dalam cara berpikir.
Karena tidak ditopang oleh aktivitas komunikasi antar warga negaranya, maka
institusi seperti ini sebenarnya rapuh dan satu-satunya jalan keluar untuk
mempertahankan bentuk kekuasaan adalah dominasi dengan instrumen kekerasan.
Militer adalah fondasi dari kekuasaan yang berfungsi sebagai “pemaksa” bagi
terciptanya legitimasi untuk pemerintahan Orde Baru tersebut. Rezim ini tidak hanya
dibangun atas dasar pemaksaan dan kekerasan tetapi juga praktek brutal dan sadis
melalui pembunuhan dan penyiksaan terhadap sejumlah besar warga masyarakat. Hal
tersebut dapat kita lihat pada praktek dominasi Orde Baru pada kasus operasi militer
di Aceh dan Papua, dengan mengatasnamakan persatuan dan kesatuan bangsa (yang
juga dipromosikan oleh Hitler dan rezim Nazinya).
Pancasila lalu menjadi salah satu produk Newspeak yang dikukuhkan selama
berjayanya tampuk kekuasaan Orde Baru. Pancasila dijadikan sebagai ideologi yang
mengikat masyarakat yang beraneka ragam dan sebagai sebuah jembatan dalam
melintasi jarak antara berbagai suku, agama, etnis dan golongan. Sehingga makna
Pancasila digunakan sebagai legitimasi kekuasaan pemerintah. Namun, di balik
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
semua makna yang terkandung di dalamnya, penguasa dengan semena-mena
menyelewengkan nilai-nilai Pancasila untuk kepentingan politik mereka. Pancasila
menjadi doktrin yang totaliter yang membatasi kebebasan berpikir masyarakat
Indonesia.
Permasalahan semakin rumit dengan praktek indoktrinasi seperti penataran P4
yang merupakan tafsir Pancasila dalam kehidupan bernegara, telah diterapkan kapada
seluruh warga negara mulai dari pendidikan sekolah dasar hingga mahasiswa di
perguruan tinggi serta para pegawai. Namun pada saat yang bersamaan, pendidikan
yang terkandung dari P4 tersebut dengan mudah dilanggar oleh para elit pemerintah
karena P4 tiada lain hanya penafsiran tunggal yang dibalut totalitarianisme.
Fenomena lain yang mencerminkan adanya praktek totaliter di Indonesia pada
masa pemerintahan Orde Baru adalah munculnya berbagai macam “istilah” yang
sebenarnya adalah garis batas bagi masyarakat dalam bertindak. Paham nasionalisme
yang selalu ditanamkan pemerintah merupakan “ancaman” terhadap mereka yang
beraksi diluar kebijakan negara. Sehingga terdapat semacam ketakutan dan
kecemasan masyarakat dituduh komunis atau kader Gerakan Pengacau Keamanan
Nasional yang sewaktu-waktu bisa saja dilabelkan kepada mereka.
Partai Golkar yang berdiri kokoh selama tiga puluh dua tahun di atas
kehidupan publik mencerminkan karakteristik lainnya dari tindakan totaliter rezim
Orde Baru, yaitu sebagai partai tunggal yang disimbolkan atau disubordinasikan oleh
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
satu sosok pemimpin; Soeharto. Partai ini terorganisasi secara hirarkis dan
kekuasaannya melampaui atau memiliki keterkaitan yang erat dengan birokrat negara.
Selanjutnya, pada masa tersebut juga terjadi monopoli yang mendekati total-
komplet atas sarana-sarana komunikasi massa. Kalangan pers atau jurnalistik ditekan
sedemikian kuatnya hingga mereka pun tidak berdaya untuk menampilkan informasi
secara objektif karena telah melalui tahap editing (censorship) terlebih dahulu
sebelum disampaikan kepada publik.
Sedemikian besarnya pengaruh dari kontrol dan dominasi total penguasa
(negara) terhadap kehidupan publik pada akhirnya membentuk suatu struktur
masyarakat yang bercorak homogeni; tidak ada pengakuan terhadap keberagaman
masyarakat.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Rangkaian tragedi kemanusiaan yang mewarnai sejarah panjang kehidupan
terutama pada abad 20 dan abad 21 seperti dua Perang Dunia, Nazisme, Stalinisme,
Rasisme, dan Terorisme mendesak kita untuk mengasah ulang makna konsep-konsep
yang lahir dari zaman Pencerahan. Elemen traumatis berupa kekerasan yang
ditinggalkan oleh semua tragedi kemanusiaan belakangan terutama peristiwa teror
adalah akibat negatif atau berkeliarannya krisis modernitas yang tidak lagi kondusif
terhadap fenomena kehidupan masyarakat dunia.
Dalam bab-bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan bagaimana gerakan
totalitarianisme muncul dan berkembang pada masa Perang Dunia II dan ternyata
masih saja berlanjut hingga sekarang dimana masyarakatnya adalah manusia-manusia
yang memiliki akses sangat besar dalam mengkonsumsi komunikasi dan informasi.
Kekerasan adalah alat bagi penguasa untuk melakukan kontrol. Di salah satu
pihak mungkin dapat dikatakan bahwa kekerasan yang terjadi dalam sejarah panjang
kehidupan manusia terutama pada abad dua puluh adalah karena kegagalan
masyarakat modern mengangkat civilized norms, seperti totalitarianisme yang terjadi
di Jerman pada dekade tiga puluhan oleh Hitler dan rezim Nazi-nya atau Stalin
dengan rezim Bolshevik-nya di Rusia. Kekerasan (violence) merupakan “modus
1
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
penguasaan”. Banyak tindakan yang dilakukan oleh penguasa yang mencerminkan
kekerasan. Namun, pada skripsi ini penulis mengarahkan makna violence sebagai
bagian dari kehidupan modern dan kontemporer dalam pengertian berbagai kekerasan
yang dengan mudah dapat ditelusuri pada bagian terdalam kehidupan sehari-hari
masyarakat.
Bagi Arendt, totalitarianisme tidak hanya merupakan fenomena politik baru di
zaman modern dengan gerakan dari rezim totaliter yang diktator dan despotis, tetapi
juga sebagai bencana besar bagi kehidupan Barat sehingga analisa mengenai
totalitarianisme tidak hanya suatu ketertarikan historis namun juga terikat pada proses
self understanding dan juga pemahaman terhadap makna kehidupan masyarakat
modern.
Arendt adalah satu di antara mereka yang mengatakan bahwa totalitaianisme
secara radikal merupakan fenomena baru dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Totalitarianisme di zaman Arendt menggambarkan kejatuhan sistem ekonomi, politik
dan moral selama dan sesudah Perang Dunia I. Maka, tentu saja akan terjadi
kekeliruan apabila kita menggunakan perspektif ini dalam mencari akar
totalitarianisme dari masa klasik, karena menurutnya totalitarianisme adalah sesuatu
yang unik, bukan bentuk ekstrim dari sistem yang pernah ada sebelumnya, dan oleh
karena totalitarianisme memperlihatkan sesuatu yang baru (novelty) dari tipe rezim
dan krisis yang terjadi pada masa kejayaan rezim tersebut.
2
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Totalitarianisme tidak dapat dipisahkan dari persoalan ideologi, karena pada
dasarnya ideologi berisi semua unsur totaliter. Karena ideologi tidak membutuhkan
kemampuan untuk berpikir dan menilai, karena itu ideologi memerlukan metode
seperti propaganda dan teror. Ideologi mampu memasukkan pemahaman pada setiap
orang kemudian menjadi kepercayaan yang tertanam tanpa disadari. Kepercayaan
yang dipoles sedemikian rupa sehingga atau bukan kepercayaan yang alamiah.
Ideologi adalah citra ideal yang dikemas seperti fakta oleh penguasa dan dipahami
masyarakat sebagai realitas konkrit. Oleh sebab itu ideologi sama halnya seperti ilusi.
Inilah yang kemudian oleh Arendt disebut tirani logika. Tirani logika diawali
dengan tunduknya pikiran pada logika penguasa sebagai proses yang berlangsung
terus-menerus, dilumpuhkannya manusia untuk melahirkan gagasan-gagasan dan
kemudian menciptakan masyarakat massa. Individu di dalamnya adalah seseorang
yang tidak mampu lagi berpikir kritis, tidak bisa mengambil jarak terhadap keyakinan
dirinya dan ilusi-ilusinya. Rezim totaliter mengumpulkan massa yang ‘buta’ dalam
bidang politik kemudian memupuk mereka dengan dalil-dalil ideologi sang pemimpin
sehingga individu massa yang tergabung dalam kerumunan tersebut layaknya seperti
boneka yang siap memberikan loyalitasnya terhadap penguasa dalam bentuk tindakan
apa pun termasuk memutus nafas para korban.
Bila pada abad 20 situasi perpolitikan dunia diselimuti dengan bentuk politik
yang keras dilakukan oleh penguasa negara, kini walaupun masa kekejaman tersebut
telah berlalu secara historis tetapi karakteristik yang bercirikan totaliter tersebut
3
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
masih berdiri di atas tampuk pemikiran masyarakat kontemporer. Salah satunya
terlihat pada logika dan dominasi pemikiran dari suatu kelompok terhadap kelompok
lain. Oleh sebab kondisi historis manusia yang telah berubah maka upaya penaklukan
masyarakat agar bisa dikendalikan dalam genggaman penguasa dilakukan dengan
cara yang lebih ‘lunak’ yaitu lewat pengendalian cara berpikir massa.
Totalitarianisme dijalankan melalui hegemoni pemikiran dengan bahasa sebagai
media propaganda.
Kecemasan masyarakat Dunia Ketiga sekarang tentu amat beralasan. Terlebih
bila memperhatikan efek globalisasi yang berhasil memunculkan rezim internasional
yang memiliki tafsir kebenaran tunggal dan memiliki sudut pandang hukumnya
sendiri. Apalagi saat ini negara-negara maju di Amerika dan Eropa sedang gencar
memberikan bantuan pinjaman dengan sejumlah persyaratan yang umumnya
mengarah pada kebijakan negara Superpower, di mana praktik-praktik perdagangan
bebas mendapatkan justifikasi lembaga-lembaga keuangan internasional.
Bila kita merujuk kepada pemikiran Antonio Gramsci, maka hegemoni dapat
diciptakan melalui interaksi antara ideologi, kapabilitas material, serta institusi. Salah
satu contohnya adalah asumsi sederhana bahwa Amerika mempunyai institusi seperti
WTO atau IMF; mempunyai ideologi yang terus disanjungnya yakni demokrasi dan
kapitalisme; serta memiliki kekuatan ekonomi dan militer sebagai penyokong
kapabilitas materialnya. Bahkan Amerika dengan senang hati memberikan bantuan
4
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
militer kepada suatu negara (yang merupakan klien politiknya) untuk menyiksa dan
melakukan kekerasan terhadap rakyatnya.
Penciptaan Newspeak dan kampanye propaganda sebagai prioritas dalam
mengupayakan dan memperoleh simpati masyarakat serta menggiring pemikiran
mereka ke dalam pola berpikir yang bercorak homogeni implikasi dari Newspeak dan
propaganda adalah Doublethink yang mengakibatkan kontradiksi belief sekaligus
penerimaan dalam pikiran seseorang. Propaganda totaliter bertujuan membangun
suatu dunia yang dapat menandingi dunia nyata, yang kendala utamanya adalah
bahwa dunia khayalan ini tidak logis, tapi konsisten dan terorganisasikan.
Manipulasi atau kebohongan sistematis terhadap seluruh dunia hanya dapat
dilakukan di bawah kekuasaan totaliter, dimana sifat khayalan kehidupan sehari-hari
dan peran propaganda tetap terus diperlukan untuk mengilhami massa. Dalam hal ini,
kekerasan dari manipulasi bahasa sehingga menghasilkan kekeliruan pemaknaan
sangat berperan bagi keberlangsungan tindakan-tindakan yang totaliter. Selanjutnya,
karena kompetensi bahasa dimiliki oleh setiap orang, maka kemungkinan terjadinya
aksi totaliter kapan, di mana, dan oleh pihak-pihak manapun dapat terjadi.
Di dalam karya-karya Noam Chomsky, kita bisa tersentak membaca praktik-
praktik media besar dunia yang hanya berfungsi sebagai propaganda dari kepentingan
kelompok tertentu saja. Opini lain yang bertentangan dengan interes-interes itu tidak
akan banyak mendapatkan pemberitaan. Ini yang tidak banyak diketahui, terutama
bagi mereka yang hanya membaca secara ‘dangkal’ adanya kebebasan berpendapat
5
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
yang ia baca di kalangan pers. Ketegasan sikapnya terhadap pemerintah AS hingga
detail yang sangat perinci dan dengan keyakinan yang tak kunjung padam, dia
seringkali mengulang argumennya bahwa kita tidak dapat menyebut terorisme yang
dilakukan pihak yang lemah terhadap pihak yang kuat tanpa melakukan konfrontasi
juga atas “terorisme yang tak dapat disebutkan namun jauh lebih ekstrem dari pihak
yang kuat terhadap pihak yang lemah”.
Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat dan
sekutunya perihal invasi Irak dan berbagai negara lemah lainnya menimbulkan reaksi
dan diskursus dari kalangan masyarakat terutama warga Amerika sendiri yang
statusnya adalah sebagai intelektual organik, seperti Noam Chomsky dan banyak
tokoh lainnya yang dengan keras mengecam kebijakan-kebijakan tersebut dengan
suatu keinginan agar masyarakat dunia benar-benar dapat hidup dalam situasi di
mana esensi demokrasi yang sebenarnya benar-benar dicapai.
Sebagai bentuk tanggung jawab moralnya sebagai intelektual dalam karya-
karyanya Chomsky hanya ingin mengatakan tentang kebenaran (bukan berpendapat
tentang kebenaran atau berteori tentangnya) dan membongkar kebohongan-
kebohongan, baik itu yang berkaitan dengan demokrasi, human rights, kapitalisme,
media, kekuasaan, dan sebagainya terutama yang berkaitan dengan pemerintah
Amerika dan counterpartnya yaitu korporat-korporat besar yang mengatur dunia.
Tesis Chomsky yang didukung studi kasus historis, dokumen, dan analisis
yang luas, termasuk salah satu daftar hitam dalam deretan musuh intelektual Amerika
6
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
namun pada kenyataannya digunakan oleh kalangan intelektual yang luas di AS dan
luar negeri yang akan berpaling kepada Chomsky untuk mendengar suara dari akal
sehat dan nurani yang telah disampaikannya selama puluhan tahun yang merindukan
dan memperjuangkan demokrasi tanpa unsur-unsur totaliter.
Di mana kondisi keseragaman dan penyeragaman menjadi nyata dan pluralitas
ditolak demi berdiri tegaknya suatu tatanan tunggal yang mencakup segalanya
(totalitas) di situlah benih-benih totalitarianisme berkecambah yang siap tumbuh dan
berkembang. Totalitariasnisme mengandung makna sebagai tindakan against
humanity karena pada dasarnya tindakan tersebut melakukan dominasi terhadap
masyarakat dengan menekan dan menghalangi manusia untuk eksis di dunia
berdasarkan statusnya sebagai human being. Kekerasan yang diakibatkan oleh
gerakan totaliter mematikan unsur-unsur manusia yang paling esensial sifatnya.
Selama berabad-abad, pelecehan terhadap martabat manusia sangat lazim
terjadi. Dengan meningkatkan kesadaran kolektif, penguasa totaliter melakukannya
dengan cara lain, tidak lagi di bawah kubah tempat pemusnahan, melainkan di bawah
media disuasi; media massa dan komunikasi lainnya. Di masa kontemporer ini teror
tidak lagi digunakan sebagai sarana untuk memusnahkan dan menakut-nakuti lawan,
melainkan sebagai sarana untuk mengendalikan massa rakyat yang sungguh-sungguh
patuh. Teror, bagaimanapun menjadi bentuk pemerintahan hanya pada
perkembangannya yang terakhir.
7
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Dengan menggunakan teori emansipasi Habermas, kita dapat memahami
bahwasannya patologi dan krisis yang mengendap dalam masyarakat modern berupa
distorsi komunikasi dalam masyarakat global menjadi aspek-aspek berbahaya yang
dikandung globalisasi seperti terorisme bahkan bayang-bayang gerakan
totalitarianisme. Rasio dari “sistem” tersebut mendistorsi rasionalitas masyarakat
yang membentuk konsensus berdasarkan logika yang dikendalikan oleh penguasa.
Proses manufacturing consent terjadi pada saat tidak terpenuhinya klaim kebenaran
(claim of validity) yang seharusnya dicapai melalui konsensus (diskursus publik)
melainkan telah dikendalikan oleh penguasa.
Melalui dominasi terhadap media massa, tujuan-tujuan ideal jurnalisme yang
universal seperti mengembangkan cara berpikir rasional, mendorong egalitarianisme,
menghargai pluralitas masyarakat, dan menghormati hak asasi manusia, punah dalam
sekejap.
5.2 Kontribusi Teoritis
Motif dan tujuan yang hendak dicapai oleh penguasa yang berkarakter
totaliter adalah penguasaan dan dominasi terhadap dunia. Dari dua sudut pandang
pemahaman Arendt dan Chomsky tersebut, terlihat bahwa tujuan dari rezim totaliter
selalu sama, yaitu membatasi individu, menjinakkannya, mensubordinasikannya, dan
menaklukannya ke dalam rasionalitas penguasa.
8
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Tugas utama para intelektual adalah menembus secara kritis suatu realitas
sosial untuk menemukan esensi realitas tersebut. Esensi realitas sosial adalah sesuatu
yang tersembunyi di balik permukaan, dari sesuatu yang tampak atau dari fakta-fakta
yang diperkirakan, esensi itulah yang membuat fakta-fakta sebagai sesungguhnya.1
Bagi mereka yang berjuang mengupayakan kebebasan, tiada hal yang lebih penting
dibandingkan pemahaman mengenai mekanisme dan praktek indoktrinasi. Hal ini
sangat mudah dipahami dalam masyarakat totalitarian yang di dalamnya terjadi
sistem ”brainwashing under freedom” terhadap apa yang dipermasalahkan, suatu
kondisi ini mempengaruhi kesadaran.
Dalam pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat
dinetralkan jika toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang
partisipatoris. Toleransi mengandaikan sikap warga negara terhadap yang lainnya
berdasarkan hak dan kewajiban yang sama sehingga tidak ada ruang bagi otoritas
tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat
ditoleransi dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung
jawab niscaya diletakkan dalam konteks yang sama. Penekankan terhadap pentingnya
toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat demokratis atau global, harus
dipandang secara positif baik etis maupun politis. Toleransi dipandang secara etis
karena mengandaikan kebenaran dari yang lain. Ia dipandang secara politis karena
mampu membentuk konsensus rasional dengan demokrasi konstitusional sebagai
sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi. 1 Ibrahim Ali Fauzi. 2003. Jurgen Habermas. Hlm. 44.
9
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Pentingnya penerapan rasionalitas komunikatif sebagai jalan keluar dari
kekerasan ideologis saat ini dalam mengatasi distorsi-distorsi komunikasi ialah agar
masyarakat dengan sesegera mungkin membangun diskursus etika yang merupakan
prosedur argumentasi moral atau suatu justifikasi normatif untuk mencapai
kesesuaian kepentingan antar-anggota masyarakat (generalizable interest). Dalam
prakteknya, ide ini memunculkan pemikiran tentang situasi perbincangan ideal (ideal
speech situation).2
Interpretasi anarkis Chomsky terhadap tanggung jawab (responsibility)
menunjukan bahwa merupakan tanggung jawab para intelektual untuk berbicara
tentang kebenaran (truth) dan mempermasalahkan ketidakbenaran. Seseorang tidak
dapat memahami dan dengan mudah menyimpulkan bahwa kebenaran adalah sesuatu
yang diapit oleh sekumpulan konsep atau tanki berpikir (think tanks). Anarkismenya
ini menunjukan bahwa korelasi antara power dan sosial status adalah sebagai sebuah
bentuk dominasi yang merupakan faktor eksternal penentu suatu kebenaran.
Segala bentuk dominasi, penggunaan kekerasan, paksaan dan monopoli harus
disingkirkan dari arena politis, karena hanya dengan itulah tatanan ruang publik yang
sehat dapat tercipta. Di samping itu, aktivitas politik juga merupakan aktivitas
tindakan komunikatif antara individu-individu yang saling mengungkapkan
kediriannya. Melalui proses pengungkapan kedirian itu, individu-individu dalam
masyarakat yang majemuk akan semakin menegaskan identitasnya, dan memperoleh
2 Ibid, hlm. 124.
10
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
hidup yang bermakna. Dengan aktivitas politis, orang membangun jaringan relasi satu
sama lain, dan jaringan relasi itu, akhirnya, memungkinkan lahirnya solidaritas.
Pada akhinya, penulis menarik kesimpulan bahwasannya pemerintahan yang
kebijakannya bergerak secara totaliter seperti yang telah banyak terjadi disepanjang
kehidupan manusia modern memperlihatkan ketimpangan antara value dengan
peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya totaliter kearah penaklukan
global merupakan jalan keluar destruktif dari semua kendala. Kemenangannya
sekaligus kehancuran bagi kemanusiaan (humanity), karena di manapun
totalitarianisme berjaya ia mulai meremukkan hakikat manusia.
Ada pun yang menjadi persoalan penting di sini adalah bagaimana bahasa,
makna, dan nilai-nilai dominan tersebut selalu dipertanyakan, digugat, ditantang,
dilawan lewat berbagai bentuk perjuangan intelektual. Dewasa ini sejarah kekejaman
totalitarianisme telah menimbulkan berbagai pemahaman kritis yang baru dari
masyarakat dan kalangan intelektual dunia. Oleh sebab tidak hanya merupakan
penguasaan atas negara-bangsa, namun telah masuk ke level individu maka, upaya
menghalangi pertumbuhan benih-benih totalitarianisme atau hegemoni yang bersifat
totaliter di muka bumi ini dapat dilakukan dengan memberdayakan akal warga
negara, melatih diri menjadi masyarakat yang kritis dan pembiasaan cara berpikir
yang dialektis.
11
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
5.3 Relevansi Praktis
Noam Chomsky melihat skema totalitarianisme melalui cara yang berbeda
dengan Hannah Arendt, dan seandainya filsuf yang banyak belajar dari Heidegger
dan karl Jasper itu masih dapat hidup hingga masa kontemporer ini maka ia akan
bersepakat bahwasannya tidak hanya Nazi dan Bolshevik yang merupakan rezim
totaliter tetapi masih banyak negara-negara di dunia yang pada dasarnya juga
melakukan tindakan crime against humanity tersebut.
Begitulah mungkin sebagian besar kebijakan pemerintah Amerika Serikat
sebagai (state power) yang terbukti dengan perlakuan sadistis-nya terhadap Irak dan
kepada negara-negara di dunia dengan dalih demokratisasi, yang dilakukan terutama
oleh pemerintahan George W Bush sekarang. Setelah Perang Dunia II Amerika
memakai teori negara gagal (Failed States) untuk menyerang negara lain. Disamping
itu juga menciptakan “musuh-musuh fiktif” untuk menunjang suksesi kampanye
propaganda negara tersebut.
Kebijakan-kebijakan politik dalam dan luar negeri Amerika menggambarkan
bahasa, simbol dan media pada kenyatannya tidak hanya digunakan sebagai alat
komunikasi, tetapi sekaligus sebagai alat kekuasaan, khususnya “dominasi kekuasaan
melalui kekerasan pemikiran”. Merupakan asumsi yang wajar apabila kita menyebut
AS melalui pemerintah George W Bush sebagai “penguasa totaliter bentuk baru” dan
demokrasi liberal serta kapitalisme menjadi ideologi totaliter tersebut, sebab hanya
dengan mengatas-namakan demokrasi, tentara Amerika Serikat mampu melakukan
12
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
pembantaian dan kekerasan di Irak dan negara-negara seperti Nikaragua, Haiti, dan
sebagainya.
Bangsa Indonesia sebenarnya sudah cukup lama mengalami totalitarianisme
dengan kualitas yang sedikit berbeda tetapi rezim Orde Baru menjadi pengalaman
empiris rakyat Indonesia yang menunjukkan betapa hegemoni kesadaran melalui
penciptaan dan penerapan “istilah-istilah baru” (Newspeak) telah mampu
mengendalikan nalar politik masayarakat. Masyarakat dikenalkan dengan istilah-
istilah “Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)”, “Kelompok Kiri (Komunis)”, “Anti-
Pancasila”, dan sebagainya yang pada dasarnya merupakan istilah-istilah yang
digunakan untuk mendefinisikan gerakan-gerakan oposisi yang menentang dan
bereaksi terhadap tindakan totalitarian rezim tersebut.
Konsep Pancasila misalnya, apakah masih bisa dijadikan sebagai ideologi
bangsa Indonesia ataukah hanya sekedar mitos hasil konstruksi penguasa yang
mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi radikal sebagai jalan
menuju dinamisasi pemikiran akan menghasilkan perbedaan tafsir dan justru ini
sangat bermanfaat sebagai bentuk dinamisasi pemikiran.
Akhirnya Pancasila dapat menjadi sebagai ideologi yang terbuka bukan
sesuatu yang tertutup dan bebas tafsir bagi masyarakat Indonesia kemudian
merupakan ideologi yang terbuka yang memungkinkan bisa masuknya berbagai
pengaruh. Dengan kata lain, perkembangan nilai itu sejalan dengan perkembangan
13
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
masyarakat. Karenanya Pancasila mesti terbuka dan membuka tutup yang
menghalanginya bersentuhan dengan nilai-nilai plural dari luar.
Orde Baru yang menyandarkan legitimasinya pada dominasi dan kekerasan,
akhirnya runtuh melalui proses komunikasi yang emansipatif antara masyarakat
dalam pembentukan kembali ruang publik Indonesia yang komunikatif pada 21 Mei
1998. Tetapi distorsi komunikasi yang bekerja selama era pemerintahan Soeharto
meninggalkan persoalan yang tetap membelenggu banyak orang. Salah satu
contohnya adalah pertikaian antar etnis dan kelompok seperti pertikaian yang terjadi
di Poso dan daerah lainnya yang sebenarnya disebabkan oleh kesalahpahaman
persepsi terhadap identitas, dan akibat prasangka serta stigmatisasi.
Konflik-konflik horizontal tersebut timbul karena terputusnya komunikasi
yang inklusif, egaliter, dan bebas dominasi yang intensif antar warganegara yang
memiliki identitas yang beragam. Setiap orang dan setiap kelompok terkurung dalam
problematika pribadi maupun kelompoknya semata. Mereka memandang “yang lain”
(the other) sebagai musuh dan ancaman, dan bukan sebagai partner komunikasi untuk
bersama-sama merealisasikan kebebasan dan kesetaraan.
Beranjak dari pemikiran Arendt dan anarkhisme Chomsky serta beberapa
konsep yang lainnya yang mendukung analisa mengenai wajah baru totalitarianisme
ini, sebenarnya penulis hendak mengatakan bahwa upaya untuk menata Indonesia
dari kemelut panjang, salah satunya yang terpenting adalah dengan menata kembali
14
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
sistem sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang telah dirusak Orde Baru selama
puluhan tahun yang lalu.
5.4 Analisa Prospektif
Realitas selalu memiliki kejutan-kejutan yang tak terduga dan totalitarianisme
adalah salah satu dari sekian banyak kejutan tidak terduga itu. Ia merupakan sebuah
sistem yang membangun struktur bersifat resiprokal dan keseragaman makna
dibawah kode-kode tindakan yang konsisten dan terorganisir dan pada akhirnya
mengarah kepada kekerasan psikologis. Ciri ini terdapat dalam berbagai aspek dan
bentuknya. Terpisah dari ideologi baik agama dan lainnya, segala permasalahan yang
menjurus pada pemaksaan satu gagasan, identitas, dan esensi, maka hal itu disebut
dengan totalitarianisme.
Kekerasan merupakan ujung tombak dari gerakan totalitarianisme yang
menjadi nilai riil dan dominan serta dengan perkembangan waktu akan menjadi suatu
sistem yang terintegrasi dan membudaya dalam masyarakat. Nilai ini secara praktis
akan membentuk dan mengkonstruksi semua institusi negara dan masyarakat, karena
hal inilah yang menjadi basis dalam mengatur eksistensi kekuasaan serta menjadi
sumber legitimasi tertinggi.
Tindakan totaliter tidak hanya terjadi di tataran kekuasaan negara tetapi
sewaktu-waktu juga dapat terjadi di wilayah yang paling kecil dalam masyarakat.
Kekuatan terbesar yang dapat memenangkan tindakan-tindakan yang bertendensi
15
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
totaliter adalah sifat demagogi penguasa dalam memanipulasi jalan pikiran atau
rasionalitas masyarakat.
Angan-angan terbesar dari totalitarianisme adalah menjadikan “dirinya”
sebagai satu-satunya sistem yang menjalankan mekanisme penguasaan terhadap
masyarakat. Dengan demikian digunakanlah kediktatoran dan teror terhadap berbagai
aspek kehidupan masyarakat. Tetapi, karakter diktator dan teror saja tidak cukup bagi
fondasi rezim totaliter karena di samping hal tersebut tentu saja hal yang paling
penting adalah bagaimana menjauhkan nilai kebebasan (freedom) dan kesadaran
pentingnya rasionalitas dari setiap individu.
Walaupun penguasa totaliter telah memperoleh tujuannya, namun ia selalu
berupaya mencari jalan dan membangun kekuatan-kekuatan baru untuk menghalangi
munculnya resistensi, yaitu dengan terus-menerus menekan pikiran masyarakat. Oleh
sebab itu, jalan pikiran yang “terkontrol” merupakan ancaman paling berbahaya bagi
manusia pada saat ini dan masa yang akan datang.
Untuk menghalangi laju gerakan neo-totalitarianisme khususnya di negara-
negara yang masih lemah dalam menjamin keamanan dan kebebasan berpendapat
bagi individu, maka satu-satunya cara yang efektif adalah dengan membangun suatu
mekanisme penyaluran ide-ide dan gagasan rasional masyarakat; dengan
membudayakan penghargaan terhadap pluralitas dan rasionalitas. Masing-masing
budaya harus hidup dengan keunikannya, namun tetap bersandar pada prinsip yang
16
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
sama, itulah kemanusiaan (humanity). Dengan mengedepankan rasionalitas, maka
masyarakat akan memahami bahwa kemanusiaan itu tidak tunggal, melainkan plural.
Oleh karena rasionalitas atau akal sehat manusia yang labil akan senantiasa
terkungkung dan tidak dapat terbebas dari jeratan totalitarianisme, maka masyarakat
seharusnya mulai memberanikan diri untuk “berperang” argumen atau pendapat
dengan berpegang pada prinsip-prinsip rasionalitas dan menghindari perang fisik
seperti yang sering terjadi di negara kita. Budaya “liar” berperilaku sudah seharusnya
ditinggalkan dan beralih pada budaya “liar” dalam berpikir. Implikasi dari budaya
tersebut tentu saja kehidupan sosial yang diwarnai dengan kompleksitas pemikiran
dan bukan kompleksitas kekerasan fisik. Dengan menempatkan rasionalitas sebagai
garda terdepan dalam kehidupan, maka cara berpikir yang berbasis pada satu standar
tunggal kebenaran dan pemikiran (single-minded structure of society) yang geraknya
berpacu seiring dengan perkembangan zaman dapat segera diantisipasi.
17
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
BIBLIOGRAFI
BUKU
Alexander, George (ed.). 1990. Reflection on Chomsky. Oxford : Cambridge Mass, Basil
Blackwell.
Arendt, Hannah, 1951, The Origins of Totalitarianism. New York : Harcourt Brace and World.
……..., 1969. On Violence. New York : Harcourt Brace & Company.
………., (ed), The Portable Hannah Arendt. London: Penguin Books.
………, 1958. The Human Condition. Chicago : University of Chicago Press.
Barker, Chris, 2004, Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Botha, Rudolf P. 1989. Challenging Chomsky: The Generative Garden Game. Oxford and New
York : Basil Blackwell.
Chomsky, Noam, 1988, Language and Problems of Knowledge: The Managus Lectures.
Cambrige : MIT Press.
………., 2002, On Nature and Language. Cambridge : Cambrige University Press.
………., 2005, Kuasa Media. Yogyakarta: Pinus.
………., 1987, The Chomsky Reader. New York : Pantheon Books.
………., 1976, Reflection on Language. London : Temple Smith & Fontana Books.
………., 1988, Rules and Representation. Oxford : Basil Blackwell.
………., 1957, Syntactic Structures. Paris : Mouton.
………., 1972, Studies on Semantic in Generative Grammar. Paris : Mouton.
Chomsky, Noam & Herman, Edward S, 1988, Manufacturing Consent: the Political Economy of
The Mass Media. New York : Panteon Books.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
Fauzi, Ibrahim Ali, 2003, Jurgen Habermas. Jakarta: Teraju.
Finkelstein, Norman G, 2006, The Holocaust Industry. Jakarta: Ufuk Press.
Gramsci, Antonio, 1971, Selection from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. New York:
International Publishers.
Habermas, Jurgen, 1984, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and The
Rationalization of Society. Boston: Beacon Press.
………, 1987, Theory of Communicative Action, Volume Two: Lifeworld and System. Boston:
Beacon Press.
Halberstam, Michael, 1999, Totalitarianism and The Modern Conception of Politics. USA : Yale
University.
Lechte, John, 1994, Fifty Key Contemporary Thinkers. London: Routledge.
Lyons, John, 1977, Chomsky. Hassock : Harvester Press.
Tormey, Simon, 1995, Making Sense of Tyranny : Interpretasion of Totalitarianism. New York :
Manchester University Press.
Simon, Roger, 1999, Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar.
Somerville, John and Santoni, E (ed), 1963, Social and Political Philosophy. New York : Anchor
Books.
WEBSITE
http://www.chomsky.info/articles. Diakses tanggal 3 Mei 2007 pukul 19.05 WIB.
http://www.britannica.com/eb/article-23825/propaganda. Diakses pada tanggal 3 Mei 2007 pukul
18.15 WIB.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
http://www.levity.com/corduroy/george-orwell/newspeak/. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul
16.16 WIB.
http://www.aber.ac.uk/media/Documents/marxism/stuarthall. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul
17.08 WIB.
The History Guide, the Lectures on Ancient and Medieval European History: August Caesar and
The Pax Romana.
http://www.historyguide.org/ancient.html. Diakses tanggal 10 Juli 2007, pukul 16.40 WIB.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007
RIWAYAT HIDUP
NANDA DESVITA Z, lahir di Padang, 31 Desember 1985,
adalah bungsu dari sembilan bersaudara, anak dari kedua suami istri
Zaili Boy dan Darmiwati. Ia memperoleh pendidikan dasar dan
menengahnya di Padang dan mendapat ijazah Sekolah Menengah
Atas Negeri 2 Padang, Jurusan Sosial pada tahun 2003. Melanjutkan studi di Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Program Studi Filsafat, dari tahun
2003 – 2007, hingga memperoleh gelar Sarjana Humaniora dengan skripsi yang
berjudul Hegemoni Pemikiran sebagai Wajah Baru Totalitarianisme: Suatu
Interpretasi Filosofis terhadap Totalitarianisme.
Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007