digital 20159969 rb16z29h hegemoni pemikiran

112
HEGEMONI PEMIKIRAN SEBAGAI WAJAH BARU TOTALITARIANISME (SUATU INTERPRETASI FILOSOFIS TERHADAP TOTALITARIANISME) NANDA DESVITA Z FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA 2007 Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Upload: akbar-prasetya

Post on 23-Oct-2015

42 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

Habermas

TRANSCRIPT

Page 1: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

HEGEMONI PEMIKIRAN

SEBAGAI WAJAH BARU TOTALITARIANISME

(SUATU INTERPRETASI FILOSOFIS TERHADAP TOTALITARIANISME)

NANDA DESVITA Z

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

2007

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

fib
Sticky Note
Silakan klik bookmarks untuk link ke halaman isi
Page 2: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

HEGEMONI PEMIKIRAN

SEBAGAI WAJAH BARU TOTALITARIANISME

(SUATU INTERPRETASI FILOSOFIS TERHADAP TOTALITARIANISME)

Skripsi

diajukan untuk melengkapi

persyaratan mencapai gelar

Sarjana Humaniora

oleh

NANDA DESVITA Z

NPM 0703160205

Program Studi Filsafat

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

2007

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 3: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Skripsi ini telah diujikan pada hari Kamis,

Tanggal 19 Juli 2007

PANITIA UJIAN

Ketua Pembimbing

Dr. Singkop Boas Boangmanalu Rocky Gerung, S.S.

Panitera Pembaca I

Rocky Gerung, S.S. Donny Gahral Adian, M.Hum.

Pembaca II

Budiarto Danujaya, M.Hum.

Disahkan pada hari…….., tanggal….. oleh:

Koordinator Program Studi Dekan

Donny Gahral Adian, M.Hum. Prof. Dr. Ida Sundari Husen

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 4: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Seluruh isi skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Depok, 19 Juli 2007

Penulis

Nanda Desvita Z

NPM. 0703160205

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 5: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 6: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 7: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

PRAKATA

Kecemasanan terhadap semakin mengejawantahnya nilai-nilai kekerasan

dalam kehidupan masyarakat kontemporer baik yang dilakukan negara atau oleh

masyarakat awam, mendorong saya untuk merumuskan kondisi tersebut dalam skripsi

sederhana ini. Setelah melewati proses yang tidak panjang namun cukup melelahkan,

akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Selain

totalitas dan kerja keras penulis, tentu saja keberhasilan skripsi ini tidak dapat

dipisahkan dari pihak-pihak yang telah membantu dalam menyumbangkan berbagai

ide, saran, dan kritik. Semoga pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam setiap

helai halamannya dapat menambah wawasan kita semua.

Terima kasih saya tujukan kepada pembimbing saya Bapak Rocky Gerung,

S.S. yang telah memberikan sumbangan gagasan dan pandangan yang membuka

cakrawala berpikir dalam berbagai kuliah terutama selama masa penulisan skripsi ini.

Kepada kedua dosen penguji; Bapak Donny Gahral Adian, M.Hum (sekaligus

Koordinator Program Studi) dan Bapak Budiarto Danujaya M.Hum, serta Bapak Dr.

Akhyar Yusuf Lubis (sebagai Pembimbing Akademik), terima kasih atas kritik dan

sarannya sehingga mutu dari isi skripsi ini bisa ditingkatkan. Kepada semua dosen

yang telah menyiramkan ilmu kepada saya selama mengikuti kuliah di Program Studi

Filsafat ini hingga saya dapat menuai pencerahan, serta para staf yang telah

membantu kelancaran proses akademis penulis.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 8: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Teman-teman angkatan 2003; teman-teman seperjuangan yang saling

mendukung dan berbagi semangat: Rizal Nova Mujahid (terima kasih Nop, atas

sarannya!), Ira “karax” dan Bidari “bee” Setiarum Sari, (yang selalu membantu di

saat-saat sulitku.. hehe), Rika “kalebot” Febriani, M. Abdul “ochit” Rasyid,

Khairurrijal, Rugun Siahaan, Boy Dimas Kristian, Arief Rahmat Fadilah, Erick

Cahyanta, Stephanie Natalia, Pratiwi Sinaga, Adhi Prayoga, Wilis. Juga kepada

Chevi yang senantiasa mendengarkan keluh-kesah serta tidak pernah lelah

menyemangati saat titik-titik kejenuhan mulai singgah di pikiranku.

Terakhir, skripsi ini saya persembahkan untuk keluarga tercinta yang memberi

dukungan, doa dan harapan sebagai sebuah pelukan kekuatan dan peneguh

semangatku. Hingga ketika harus mengucapkan kata syukur, maka "Betapa Maha

Besarnya Engkau ya Allah! karena telah memberikan kesempatan kepadaku untuk

menjadi seorang mahasiswa, yang membuat rangkaian perjalanan hidupku mendekati

kesempurnaan".

Terima kasih

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 9: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

IKHTISAR

NANDA DESVITA Z. Hegemoni pemikiran sebagai wajah baru

totalitarianisme; suatu interpretasi filosofis terhadap totalitarianisme. (Di bawah

bimbingan Rocky Gerung, S.S.). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas

Indonesia, 2007.

Segala permasalahan yang menjurus pada pemaksaan satu gagasan, identitas,

dan esensi disebut dengan totalitarianisme. Bila penguasa totaliter di era terdahulu

melaksanakan praktek totalitarianisme dengan menggunakan kekerasan dan paksaan

(force), di zaman global yang penuh dengan keberagaman ideologi, cara pandang dan

pemaknaan terhadap kehidupan, penguasa terpaksa mencari upaya lain dalam

melakukan transformasi dan kontrol total dengan membangun suatu standar tunggal

pemaknaan. Itulah sebabnya mengapa peran bahasa dalam menundukkan masyarakat

sangat penting bagi penguasa saat ini. Pemusnahan hebat lewat dominasi interpretasi

terjadi hingga menumpulkan potensi kritis masyarakat dalam ruang kesadaran yang

direkayasa negara hingga mengarahkan masyarakat menjadi manusia-manusia yang

seragaman dalam berpikir (single-minded structure of society). Dengan kata lain,

hegemoni penguasa terhadap pemikiran masyarakat dapat dikatakan sebagai wajah

baru totalitarianisme.

Totalitarianisme yang telah berlalu secara historis meninggalkan benih-

benihnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat kontemporer, yaitu melalui

hegemoni pemikiran dengan bahasa sebagai instrumen kekerasannya. Namun,

perkembangan benih-benih berbahaya tersebut dapat diantisipasi dengan

membudayakan penghargaan terhadap pluralitas dan rasionalitas. Masyarakat

seharusnya mulai memberanikan diri untuk “berperang” argumen dengan berpegang

pada prinsip-prinsip rasionalitas dan menghindari perang fisik seperti yang sering

terjadi di negara kita. Budaya “liar” berperilaku sudah seharusnya ditinggalkan dan

beralih pada budaya “liar” dalam berpikir. Implikasi dari budaya tersebut tentu saja

kehidupan sosial yang diwarnai dengan kompleksitas pemikiran.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 10: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Percaturan politik dunia seakan sulit sekali dipahami oleh masyarakat yang

hanya memiliki pengetahuan dan wawasan yang minim, terutama mengenai

kebenaran realitas sejarah dunia. Dengan latar belakang wawasan yang minim dan

ditambah dengan kurangnya kritisisme dalam berpikir, seseorang maupun suatu

kelompok masyarakat akan menerima begitu saja segala informasi yang “disuguhi”

kepada mereka.

Satu diantara sekian banyak fenomena sejarah dan politik terbesar di abad dua

puluh adalah peristiwa kekerasan yang bernama Holocaust.1 Sejak kehancuran

pemerintahan Hitler, Holocaust menjadi kajian yang sering dibahas di berbagai ruang

perkuliahan. Menurut catatan sejarah dunia, enam juta masyarakat Yahudi tewas dan

menjadi korban kekejaman Hitler dan rezim totaliternya pada masa Perang Dunia II.

Kemunculan totalitarianisme Nazi dan Bolshevik merupakan gambaran paling

dramatis pergulatan politik abad 20. Bentuk totalitarianisme semacam ini tidak lepas

dari upaya membentuk sebuah negara yang bersifat pasti dari segala

ketidakmenentuan karena melibatkan banyak massa. Kurangnya kebijakan negara

1 Penghancuran besar terhadap kehidupan, khususnya dengan pembakaran, namun secara teknis

berarti pembantaian masal dan keji terhadap kaum Yahudi oleh NAZI Jerman di bawah kekuasaan Adolf Hitler pada masa Perang Dunia II. Norman G Finklestein, The Holocaust Industry (Jakarta: Ufuk Press, 2006). hlm x.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 11: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

yang mendukung aspirasi sebagian kelompok memunculkan sentimen diluar

permasalahan kelemahan kerangka politik yang ada seperti kasus Hitler dengan

superioritas ras Arya yang mendorongnya untuk mewujudkan sebuah negara mono-

etnis. Walaupun kemunculan kedua bentuk totalitarianisme tersebut dipengaruhi

gagasan ultranasionalisme namun ketidakmatangan mengakomodasi berbagai aspirasi

oleh negara merupakan juga faktor lain yang menonjol; suatu ketidakmatangan yang

menjadi titik berangkat analisis Hannah Arendt bagi situasi-situasi politik abad 20

yang demikian dramatis di Barat dan juga negara-negara despotisme Timur seperti

India dan Cina.2

Analisanya berangkat dari konsep modernitas yang merupakan situasi dasar

dari peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan politik sepanjang awal abad 20.

Sistem modern merupakan pergeseran radikal ketika kemunculan teknik reproduksi

barang pada abad 18 mengubah sistem ekonomi tradisional yang bersandar pada

produksi manual. Penemuan teknik memungkinkan manusia untuk membuat barang

dalam waktu yang lebih pendek dengan hasil yang lebih banyak. Kondisi ini

memunculkan bergeraknya sistem ekonomi yang memerlukan perhitungan, prakiraan,

dan kesimpulan yang lain dari sistem ekonomi sebelumnya.

Pertanyaan yang sering kali menggerogoti pikiran kita mengenai sejarah

totalitarianisme adalah bagaimana keterkaitannya dengan fenomena antisemitisme

dan imperialisme. Pada satu tingkatan, keterkaitan di antara ketiga fenomena tersebut

merupakan suatu hal yang sangat mengagumkan. Antisemitisme merupakan ideologi 2 Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: A Harvest Book, 1951), hlm. 311

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 12: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

yang telah tersebar luas di Eropa sejak abad ke-19 yang muncul sebagai akibat dari

adanya konsep negara-bangsa di Eropa. Tetapi pada abad dua puluh rezim totaliter

Nazi-lah yang terlebih dahulu memulai secara sistematis melakukan penangkapan

dan membuang orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi.

Fenomena massa yang menjadi ciri khas modernitas abad ke-20,

menggantikan fenomena kelas yang dominan dalam realpolitik di abad ke-19 dan

pada perkembangannya menjadi prakondisi dari lahirnya totalitarianisme. Gerakan

totalitarianisme akan mungkin terjadi di mana terdapat massa yang memiliki minat

terhadap organisasi politik tetapi tidak berkumpul atas dasar kepentingan bersama,

dan mereka tidak memiliki artikulasi kelas yang terungkap dalam tujuan-tujuan yang

jelas, seperti dituliskan Arendt berikut ini:

“Totalitarian movements are possible wherever there are masses who

for one reason or another have acquired the appetite for political organization. Masses are not held together by a consciousness of common interest and they lack that specific class articulateness which is expressed in determined, limited, and obtainable goals. The term masses applies only where we deal with people who either because of sheer numbers, or indifference, or a combination of both, cannot be integrated into any organization based on common interest, into political parties or municipal governments or professional organizations or trade unions. Potentially, they exist in every country and form the majority of those large numbers of neutral, politically indifferent people who never join a party and hardly ever go to the polls.”3

Kombinasi teror dan ideologi adalah karakteristik yang melekat dalam praktek

totalitarianisme. Ideologi yang dianut dalam totalitarianisme memaksakan logikanya

3 Ibid.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 13: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

kepada seluruh aspek kehidupan seakan-akan tidak ada penjelasan lain yang dapat

menerangkan seluruh persoalan di dunia ini selain melalui logika yang dianut oleh

“sang penindas”.

Berbagai kasus seperti "Perang Dingin", “Tatanan Dunia Baru”, Demokrasi

dan lain sebagainya merupakan isu yang sangat popular dikalangan intelektual

kontemporer. Sejak runtuhnya pengaruh Uni Soviet pasca Perang Dingin tahun 1991,

Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara Adikuasa di dunia dan berpengaruh

dalam bidang ekonomi, teknologi, militer, dan human resources, hingga berperan

sebagai “polisi dunia”. Perkembangan ilmu dan tekonologi pun membawa manusia

menuju kancah globalisasi.

Melodrama umat manusia yang kini tengah mengawali fase pertama milenium

ke-tiga dianggap belum mampu mengatasi tembok ideologis sejak perang dingin

berakhir. Terlebih dalam perkembangannya ke depan, pertarungan ideologi antara

kapitalisme dengan komunisme menghasilkan kerugian di pihak komunis dan

kegamangan bagi pihak-pihak yang lemah seperti negara-negara di Dunia Ketiga.

Dalam wilayah internasional, yang terjadi hingga saat ini secara retrospektif jelas

bahwa segi dominan politik dunia adalah ekspansi kontrol kekuasaan dan hegemoni.

Di balik itu, yang mempengaruhi keberhasilan kontrol kekuasaan dan hegemoni

tersebut adalah sejauh mana fakta, kultur dan bahasa, dan aspek-aspek lainnya yang

memainkan peranan dalam realitas sosial.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 14: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Belakangan, popularitas “kebenaran” peristiwa kekejaman Kerajaan Seribu

Tahun Hitler (Hitler’s Tausendjähriges Reich)4 kembali menjadi perbincangan

hangat baik di kalangan akademisi maupun politisi di dunia. Tanggapan atau reaksi

yang muncul pun sungguh beragam dari yang pro atau kontra baik yang

dilatarbelakangi oleh sentimen ideologis maupun berdasarkan prinsip-prinsip

intelektualitas. ‘Kerusuhan’ yang terjadi perihal fenomena kekejaman yang dilakukan

Hitler dan Nazi ini menjadi pemicu timbulnya keinginan penulis untuk mengetahui

lebih dalam mengenai totalitarianisme, apakah konsep tersebut hanya merupakan

gambaran dari praktek kekerasan yang dilakukan Hitler dan Stalin ataukah konsep

tersebut masih bekerja hingga masa kontemporer ini.

Kontemporer merupakan era yang ditandai dengan tidak adanya keseragaman

terhadap segala interpretasi hampir di seluruh aspek kehidupan. Sebagai konsep

politis, totalitarianisme adalah konsep yang dinamis artinya karena dalam rentang

ruang-waktu sejarah ia mengalami sejumlah perubahan atau pergeseran makna. Hal

ini terlihat dengan banyaknya karya tulisan yang menunjukan minat masyarakat yang

cukup besar terhadap konsep dan fenomena tersebut.

Namun yang menimbulkan keresahan bagi saya adalah mengapa di era yang

menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan demokrasi tidak sedikit dari mereka yang

menyatakan “kecurigaan” terhadap Holocaust malah berhadapan dengan hukum,

terutama mereka yang berada di negara-negara Eropa dan Amerika, dan apakah

4 Istilah yang digunakan Hannah Arendt dalam karya momumentalnya The Origins of Totalitarianism

bagi periode kekejaman pemerintahan Hitler yang berjaya selama dua belas tahun. Lihat Ibid.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 15: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

fenomena tersebut merupakan gambaran represi penguasa terhadap kebebasan

manusia dalam berpendapat. Oleh karena itu, penulis berkeinginan meneliti lebih jauh

mengenai kemungkinan besar keberlanjutan fase-fase berikutnya dari totalitarianisme

dan penerapan konsep ini dalam realpolitik sekarang. Asumsi sementara penulis

adalah bahwa totalitarianisme saat ini tidak lagi dilaksanakan dengan jalan tindakan

kekerasan melainkan dengan pemaksaan secara halus cara berpikir atau hegemoni

pemikiran.

Implementasi dari hegemoni pemikiran tersebut dipraktekkan melalui

penggunaan jalur propaganda. Struktur pikiran individu terhisap ke dalam

komunikasi massa dan indoktrinasi, pelenyapan “opini publik” sekaligus orang-orang

yang mengutarakannya. Bahasa dan media massa merupakan instrumen yang sangat

vital bagi penguasa untuk dapat berhasil “mengobok-obok” kesadaran sekaligus

memanipulasinya. Chomsky yang menulis buku tentang kaitan bahasa dan pikiran

menunjukkan peranan teknik-teknik “pabrik pengolahan persetujuan” (manufacturing

consent) untuk mengatur atau justru merekayasa persetujuan yang akan muncul

dalam masyarakat.5

Wacana (discourse) yang tadinya dimengerti sebagai jembatan antara sisi

yang satu dengan lawannya atau kebalikannya (penampakan–realitas, substansi–

atribut, esensi–eksistensi) perlahan menjadi punah dengan semakin berjayanya cara

berpikir dan berperilaku satu dimensi. Bahasa juga dipakai penguasa sebagai

5 Lihat Noam Chomsky. Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris?. Mizan, Bandung. 2001,

terjemahan dari Pirates and Emperors: International Terrorism in the Real World. Amana Bookss, Inc., 1986.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 16: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

instrumen untuk mendominasi alam berpikir masyarakat. Bahasa yang dimanipulasi

adalah ciri rezim totaliter yang mencoba menyetir semesta pembicaraan dan

pemaknaan. Apakah dampak dari hal tersebut? Tentu saja magis dan hipnosis

sekaligus, proyeksi dari gugus imaji yang memberikan gambaran kesatuan yang

semu.

Tingkat penguasaan teknologi yang canggih serta monopoli atas persenjataan

dan pasukan militer adalah fasilitas yang dimiliki oleh rezim totaliter saat ini.

Monopoli yang mendekati total-komplit atas sarana-sarana komunikasi massa serta

mempunyai ideologi resmi negara yang memperjuangkan “kondisi sempurna” dari

umat manusia, dan semua orang yang berada di wilayah negara maupun yang

menjadi target politik mereka harus memeluk ideologi ini. Sistem seperti ini

merupakan sistem yang totaliter dan represif.

Bermula dari prinsip fundamental bahwa upaya kekerasan terhadap warga

merupakan tindakan teror, tidak peduli apakah dalang kejahatan kemanusiaan adalah

kelompok yang terorganisir rapi dari ekstremis atau dari negara paling berkuasa di

dunia, Chomsky dengan istilah yang menyengat dan tanpa kompromi menentang

kebijakan pemerintah Amerika yang melakukan aksinya berdasarkan standar

moralnya sendiri untuk menuntut (memaksa) pihak lain mentaatinya.

Totalitarianisme di satu sisi adalah gerak irasionalitas dari rasionalitas yang

teknologis dan logika dominasi dari rezim, di sisi lain merupakan himpunan dari

individu yang tercetak menjadi tidak kritis dan submisif dalam masyarakat yang

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 17: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

menggelorakan konformitas dan identifikasi diri dengan hal-hal yang dipahami

berdasarkan pemikiran palsu yang diciptakan oleh para penguasa.

Kekuatan politik dan ekonomi yang kuat yang dimiliki oleh penguasa dapat

dengan mudah menjelma menjadi rezim kesadaran yang mendoktrin warga dunia

untuk mengikuti kehendak-kehendak politiknya. Misalnya, politik bahasa dan

kesadaran yang dilancarkan dan mengendap di seluruh pelosok dunia telah cukup

menjadi legitimasi moral bagi Amerika untuk menjustifikasi tindakan terorismenya.6

Begitu juga di beberapa Dunia Ketiga khususnya di kawasan Asia termasuk di

Indonesia, terdapat tendensi kebijakan yang mengarah pada totalitarianisme.

1.2 Rumusan Masalah

Konspirasi segelintir kaum berhasil memanipulasi dunia dan kepentingannya

melalui pengeksploitasian momen sejarah demi suatu tujuan yaitu penguasaan

terhadap dunia. Hal ini memang lazim digunakan oleh setiap penguasa di dunia dan

disetiap periode historis. Keingintahuan yang besar membawa penulis untuk

mengeksplorasi kerja fakta-fakta sejarah yang tersaji dengan begitu saja melalui

common sense menuju suatu perspektif dan arti baru terhadap berbagai istilah dan

peristiwa kekerasan atau tirani yang bekerja di dunia.

6 Terorisme yang dimaksudkan dalam hal ini adalah istilah yang diciptakan dan dikembangkan dalam

kamus yang diterbitkan oleh Amerika, yang mengacu kepada tindakan-tindakan (kekerasan) politik kaum oposisi atau marginal yang berada di luar mainstream politik dunia dan tidak sesuai dengan kebijakan serta kepentingan politik Amerika. Sementara itu, bila Amerika bertindak keras terhadap kelompok lain hal itu disebutnya sebagai “tindakan balasan” atau “serangan-serangan lebih dulu yang sah untuk menghindari terorisme lebih lanjut”. Ibid.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 18: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apakah ada pikiran yang benar-

benar murni datang dari individu atau masyarakat yang tidak palsu? Pemikiran

disebut palsu karena pikiran itu dipaksakan pada individu oleh kepentingan-

kepentingan sosial tertentu dengan cara “manipulasi”. Apakah orang bisa benar-benar

membedakan antara media massa sebagai instrumen informasi dan hiburan dengan

media massa sebagai agen manipulasi dan indoktrinasi? Karena logika yang bermain

dalam alam rasionalitas ini adalah logika dominasi dengan perpaduan yang

mengerikan antara kebebasan dan penindasan, produktivitas dan penghancuran,

pertumbuhan dan regresi. Apakah ada sesuatu yang keliru dengan sistem dan logika

bermain seperti ini?

Apakah tindakan hegemoni pemikiran oleh sang penguasa adalah upaya

untuk meredam segala bentuk konflik dan menciptakan manusia-manusia yang

seragam dalam cara berpikir dan bertindak? Oleh karena rezim totaliter lebih

menyukai keseragaman dari pada perbedaan dan totalitas dari pada partikularitas

maka hegemoni pemilik kuasa terhadap pemikiran masyarakat dapat dikatakan

sebagai wajah baru totalitarianisme di masa kontemporer.

Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk merumuskan permasalahan yang

hendak dibahas yaitu bagaimana masyarakat modern dan kontemporer bisa

menghasilkan totalitarianisme dengan menggunakan sudut pandang Hannah Arendt

dan Noam Chomsky, serta bahasa sebagai media dalam totalitarianisme di era

kontemporer. Oleh karena skripsi ini merupakan studi mengenai totalitarianisme

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 19: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

dalam real politik masyarakat kontemporer, dengan landasan teori dan fenomena

sejarahnya pada abad dua puluh dan zaman klasik maka dalam penelitian ini penulis

mencoba mengangkat makna totalitarianisme keluar dari satu wilayah negara ke

wilayah internasional.

1.3 Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

pengetahuan akademis kita. Secara metodologis, penulisan skripsi ini ingin

menandaskan argumentasi bahwa totalitarianisme tidak berhenti dengan berakhirnya

masa kekuasaan Hitler atau pun Stalin diera 1950an melainkan terus bergulir

disepanjang sejarah masyarakat kontemporer. Oleh karena sejarah merupakan praktek

kemanusiaan yang memiliki dampak terhadap masa depan manusia maka sejarah

merupakan kunci (keyword) dalam memecahkan persoalan antara peristiwa dan

makna yang terkait dalam kehidupan manusia.

Kita harus tetap waspada terhadap segala macam otoritarianisme dan

totalitarianisme yang terselubung dalam kemasan-kemasan bahasa yang dapat

menggiring kesadaran publik. Hal ini bisa terjadi tidak hanya dalam kancah

internasional, tapi juga dalam ruang lingkup kehidupan sosial yang paling kecil.

Penulisan ini bertujuan guna mencari jawaban terhadap sistem yang menggiring

masyarakat ke arah “perbudakan akali” yang dapat meng-auskan akal pikiran

sehingga akal pikiran tersebut tidak lagi bekerja dengan benar.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 20: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

1.4 Metodologi Penelitian

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian

analisis-interpretatif terhadap sistem perpolitikan kontemporer yang cenderung masih

memiliki karakteristik totalitarianisme. Dalam hal ini penulis berpandangan

bahwasannya untuk memperoleh keakuratan hasil penelitian maka penulis

menggunakan analisa politik kontemporer Noam Chomsky dari sudut pandang

bahasa dan mengelaborasinya dengan konsep rasionalitas instrumental Habermas

sebagai cikal bakal terhambatnya jalur komunikasi masyarakat yang sehat dalam

mencapai konsensus, hingga mencapai taraf hegemoni pemikiran, Di samping itu

juga digunakan sudut pandang Hannah Arendt sebagai landasan dalam memaparkan

asal-usul terjadinya totalitarianisme pada abad dua puluh.

Secara garis besar pengumpulan terhadap data penelitian dilakukan dengan

tinjauan kepustakaan terhadap karya-karya Noam Chomsky dan tinjuan internet di

website resmi Noam Chomsky serta karya-karya Hannah Arendt sebagai data primer

yang dibutuhkan dalam penelitian. Begitu juga dengan data sekunder yang

merupakan karya dari penulis lainnya yang mendukung tema skripsi ini.

1.5 Thesis Statement

Totalitarianisme telah berlalu secara historis, tetapi benih-benihnya dalam

berbagai aspek kehidupan masyarakat kontemporer tetap ada, yaitu melalui hegemoni

pemikiran dengan bahasa sebagai media propaganda, dengan kata lain hegemoni

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 21: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

penguasa terhadap pemikiran masyarakat dapat dikatakan sebagai wajah baru

totalitarianisme.

1.6 Sistematika Penulisan

Secara sistematis skripsi ini ditulis dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri

dari beberapa sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Pada bab

satu penulis berusaha menguraikan latar belakang permasalahan yang disertai dengan

kerangka teoretisnya, tujuan penelitian, batasan dan rumusan permasalahan, metode

penelitian, pernyataan tesis dan sistematika penulisan.

Bab dua adalah deskripsi mengenai sejarah ringkas totalitarianisme yang

bibitnya terdapat dari masa klasik peradaban dunia seperti Pax Romana, hydraulic

totalitarianism, dan transformasi kekuasaan pada masyarakat pra-industri.

Upaya perbandingan konsep totalitarianisme menurut Hannah Arendt dan

Noam Chomsky menjadi bagian dalam bab tiga.

Bab empat merupakan bagian yang menjadi ruang analisa kritis

totalitarianisme yang dilihat dalam masa kontemporer, berisi penjelasan tentang

pemikiran yang dimanufaktur dengan bahasa sebagai media propaganda.

Bab lima adalah bagian penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan

penulisan skripsi. Selain berisi kesimpulan, pada bab ini juga akan ditambah dengan

sub bab kontribusi teoritis dari penulis, relevansi praktis terhadap dunia dan negara

Indonesia dan analisa prospektif.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 22: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

BAB II

SEJARAH RINGKAS KEKERASAN DI BELAKANG

TOTALITARIANISME

Bukan suatu hal yang mengherankan bila kekerasan selalu setia melintasi

sejarah kehidupan manusia karena tradisi kekerasan pada dasarnya telah melekat pada

peradaban manusia dari zaman klasik hingga dewasa ini. Argumentasi tersebut tentu

saja dapat kita periksa kebenarannya dengan melihat pada fakta sejarah yang terjadi

di sepanjang peradaban manusia. Dalam bab ini penulis mencoba mencari gambaran

kekerasan tersebut pada sejarah peradaban Imperium Romawi, sistem pemerintahan

yang despotis pada masyarakat Cina Kuno, dan transformasi kekuasaan pada

masyarakat pra-industri abad ke-14 hingga abad ke-17 sebagai bekal dalam

memahami krisis yang terjadi pada dua abad terakhir.

2.1 Serpihan Kekerasan di Balik Pax Romana (27sM–180M)

Romawi mencapai masa kejayaannya pada periode kekaisaran Augustus

(27sM) sampai berakhirnya masa kekaisaran Marcus Aurelius (180M) yang juga

merupakan seorang ahli filsafat. Kenaikan Augustus Caesar mengakhiri perang sipil

(civil wars) yang berkecamuk pada abad pertama sebelum Masehi dan telah

menimbulkan kekacauan di Republik Roma, kemudian memperbaiki sistem

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 23: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

pemerintahan dan membangun dasar-dasar keamanan dan perdamaian di dalam

negeri (Pax Romana).1

Augustus yang merupakan anak angkat Julius Caesar mewarisi tahta

kekaisaran setelah kematian Julius yang dibunuh oleh beberapa orang anggota Senat

Roma. Kematian Julius tersebut hanya berjarak sebulan setelah ia mengumumkan

dirinya sebagai diktator di seluruh Romawi. Pada periode Pax Romana, daerah

kekuasaan Romawi tersebar luas di sepanjang wilayah Mediterania, dan kontrol

terhadap wilayah-wilayah tersebut berjalan lancar dibawah “Empat Kekaisaran

Romawi” (The Four Emperors).2

Inti dari masa kejayaan Romawi ini adalah bagaimana bekerjanya strategi

pemerintahan mulai dari perebutan kekuasaan, pembangunan militer hingga

kolonialisasi ke daerah-daerah perbatasan, perlawanan terhadap suku Barbar, dan

upaya menjaga stabilitas politik dalam negeri yang kesemuanya tidak terlepas dari

praktek kekereasan.

Ada beberapa hal yang menjadikan makna “damai” (peace) dimasa itu

menjadi relatif, selain memang dibawah Pax Romana daerah kekuasaan Romawi 1 Pax Romana atau Roman Peace adalah bahasa latin bagi masa perdamaian Romawi; seluruh wilayah

yang dikuasai oleh imperium Romawi tunduk di bawah pemerintahan Romawi yang kuat. Meskipun begitu, istilah “Peace” dapat menimbulkan kesalahpahaman terhadap makna perdamaian, karena adanya kandungan kekerasan yang cukup berarti selama berlangsungnya periode tersebut, terutama terhadap sistem pemerintahan Romawi mengenai hukum dan tatanan masyarakat (civil order) di berbagai provinsi atau daerah kekuasan yang merupakan basis bagi sebagian besar sistem pemerintahan Barat saat ini. The History Guide, the Lectures on Ancient and Medieval European History: August Caesar and The Pax Romana. http://www.historyguide.org/ancient.html. Diakses tanggal 10 Juli 2007, pukul 16.40 WIB.

2 Ibid. Di bawah Empat Kekaisaran (Augustus, Claudius, Vespasianus dan Marcus Aurelius) masyarakat Roma berada dalam kondisi yang damai dan terhindar dari gangguan-gangguan kejahatan yang berasal dari dalam dan luar wilayah negara.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 24: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

menjadi damai, tetapi mekanisme penguasaan yang dijalankan terhadap warga negara

cenderung bercorak tirani dan despotis. Hal tersebut tampak pada sistem hukum

dimasa itu seperti hukuman pemotongan tangan dan kepala yang dijatuhkan terhadap

Cicero pemikir terbesar di Roma, menjadi tontonan publik yang ditempatkan di

Forum. Kemudian sikap pemerintah dalam mengatasi perang saudara, dan

pertumpahan darah selama periode invansi kekuasaan.

Kepemimpinan Augustus mematikan peranan lembaga perwakilan dengan

menyatukan semua institusi dibawah kekuasaan dirinya yang memegang sekaligus

peranan sebagai konsul, kepala agama (Pontifex Maximus), sebagai public censor,

dan memerintah berdasarkan prestise yang dimilikinya sebagai seorang Princeps

Civitas (warga negara utama) dan pater patriae (father of country).3

Kediktatoran dan tirani yang dilakukan oleh Augustus tertutupi karena

keberhasilannya dalam menyusun organisasi dan administrasi negara yang menjadi

daya tarik tersendiri yang memukau masyarakatnya. Namun pada masa kekaisaran

Tiberius, anak tiri Augustus, mekanisme kekuasaan yang dijalankan lebih condong

pada kebrutalan. Taktik yang digunakannya dalam mengatasi keadaan di masyarakat

adalah dengan memperdagangkan remaja dan anak-anak sebagai budak. Walaupun

cara ini efektif, namun di samping itu akibat yang ditimbulkan jauh lebih buruk.

After the death of Augustus, Tiberius (42 B.C.-A.D. 37; emperor, A.D.

14-37), the stepson of Augustus, became the leader of the state. A rather dark, vengeful, complex man and a soldier by training, Tiberius was suspicious of the Senate who were equally befuddled by his behavior. The reign of Tiberius

3 Ibid.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 25: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

eventually became a tyranny -- in the wake of his paranoia, dozens of members of the Senate and equestrians were denounced and killed. The reign of Tiberius ended the illusion that the Republic had been restored and revealed some of the future of the Principiate.4

Kekerasan dan kediktatoran kemudian terus menjadi partner bagi sebagian

besar kaisar atau penguasa berikutnya setelah kematian atau akhir dari kekaisaran

Augustus. Para petinggi berlomba-lomba dalam merebut dan menjalankan kekuasaan.

Nero, kaisar yang memerintah pada 54M-68M bertindak kejam dan lalim. Dia tega

membunuh keluarga dan gurunya serta membakar kota Roma (namun agar bisa

menganiaya orang-orang Kristen, kemudian dia menuduh mereka sebagai pelakunya).

Kekejaman juga dilakukan oleh Titus yang menggempur Yerusalem dan

mendeportasi bangsa Yahudi keluar mereka dari negerinya.

Kejayaan Romawi mengalami kemunduran setelah kematian Marcus

Aurelius. Pada akhir abad ke-tiga dapat dikatakan sebagai masa-masa krisis

Imperium Romawi. Tidak ada pemimpin yang dapat menjalankan sistem

pemerintahan dengan baik. Diantara tahun 211M dan 300M, sekitar tujuh puluh

kaisar berlomba-lomba untuk memperoleh kesempatan melakukan kontrol terhadap

pemerintahan sedangkan pada saat yang sama, terjadi disintegrasi di wilayah

perbatasan, suku Barbar mulai masuk menyerang ke dalam wilayah Imperium

Romawi, berbagai kota mendeklarasikan kemerdekaan mereka dari Roma, budak-

budak melakukan pemberontakan, dan tanggung jawab warga terhadap negara hilang

dalam sekejap. Tatanan sosial kemudian dapat diperbaiki, tetapi tidak konsisten 4 Ibid.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 26: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

dengan gagasan Republik atau tujuan August Caesar. Dengan kata lain Pax Romana

menjadi berakhir pada saat itu.

Diocletian (236M-305M) melaksanakan periode “Anarkhisme Militer”

dengan memerintahkan pembunuhan terhadap pengikut agama Kristen (284M-

305M). Tirani terus-menerus berperan dan mempengaruhi proses transformasi

kondisi negara selama abad ketiga ke arah kekacuan. Lebih dari tiga puluh lima

persen tentara militer berasal dari Jerman atau suku Barbar yang bersifat opresif

terhadap warga Roma. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa bangsa Jerman telah

memiliki benih rasisme dari zaman klasik.

Di salah satu sisi Pax Romana dipandang sebagai prestasi besar pemerintahan

Augustus; karena telah membawa keadaan damai bagi penduduk Roma. Tetapi di sisi

lain Pax Romana juga telah menggoreskan nilai dan tradisi kekerasan dalam sejarah

peradaban manusia. Augustus dapat disejajarkan dengan pemimpin despotik seperti

Mao Tse Tung yang memiliki kemiripan dalam menjalankan kekuasaannya. Tetapi

bedanya pengaruh Augustus lebih besar terhadap peradaban dunia Barat yang

diwarisi hingga sekarang.

2.2 Hydraulic Totalitarianism (Oriental Despotism)

Beranjak dari sejarah imperium Romawi, Karl August Wittfogel seorang

berkebangsaan Jerman dan pernah menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh

Hitler dan rezim Nazi-nya, dua Perang Dunia, Revolusi Rusia, dan kegilaan yang

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 27: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

dilakukan oleh rezim Fasis, dalam karyanya Oriental Despotism menemukan total

power pada pemerintahan hidrolik (hydraulic governance) Cina dan India kuno dan

Maoisme yang juga dianggap sebagai penguasa totaliter. Totalitarianisme juga

terdapat di Afrika, seperti kebijakan Shaka Zulu, begitu juga yang terjadi di Soviet.

Totalitarianisme di wilayah tersebut dapat dikategorikan sebagai totalitarianisme di

negara-negara agraris.

Wittfogel menjelaskan mengenai proses kemunculan aparat birokrasi

hidrolik (hydraulic-bureaucratic official state) dan dampaknya terhadap struktur

sosial di Cina dan India dengan menguraikan asal-usul terjadinya kompleksitas

masyarakat dan negara tersebut. Dia mengidentifikasi manajemen air sebagai metode

yang digunakan oleh kaisar-kaisar di Cina dalam menjalankan kekuasaan terhadap

rakyat. Para penguasa membangun “masyarakat hidrolik” yang “bergantung” pada

kompleksitas sistem irigasi.

Comparative analysis reveal basic similarities as well as important dissimilarities between communist totalitarianism and the absolutist regimes that prevailed in traditional Asia, North Africa and certain parts of pre-Columbian America. In both cases we find a state stronger than society, ruling managerial bureaucracy, and a politically pulverized population. In both cases we are faced, not with a multi-centred order comprises several institutional sub-types, so does the single centred. Oriental despotism and communist totalitarianism are separated by significant differences in the range of their managerial operations and in the completeness of their social and ideological control. “the agrarian despotism of the old society, which, at most, was semi-managerial apparatus society combines total political power with total social and intellectual control.5

5 http://www.jstor.org/journals/origins.html. atau lihat Karl A. Wittfogel, Oriental Despotism (New

Haven: Yale University Press, 1957), hlm. 440.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 28: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Biaya pembangunan dan pemeliharaan hidrolik membutuhkan struktur sosial

dan politik dengan eksploitasi terhadap tenaga buruh. Hal ini menggambarkan suatu

praktek despotisme yang berarti bahwa semua yang mengontrol jaringan hidrolik

memiliki karakteristik unik yang kejam dalam memegang supremasi kekuasaan.

Tesis Wittfogel meninggalkan kesan yang penting bagi wacana politik dan

sosial mengenai jenis pemerintahan pada masa perekonomian pra-industri. Pada

masa tersebut, daerah-daerah dengan sistem agrikultur hidrolik ternyata dikuasai oleh

pemerintahan yang despotik dan diktator. Penjelasannya menunjukan kepada kita

bahwa hal signifikan yang membedakan antara totalitarianisme komunis atau Nazi

dengan oriental despotism adalah operasi penguasaan serta kesempurnaan dalam

kontrol sosial dan ideologi.

Kemunculan pemerintahan yang bersifat despotis hingga menjadi totaliter

tersebut menjadi sebuah teori yang menarik sekaligus mengerikan. Ia memulainya

dengan membedakan dua tipe pertanian di masa pra-industri, yaitu:

1. Hydro (pertanian yang terletak pada daerah dengan curah hujan yang baik).

2. Hydrolic (daerah pertanian yang subur tetapi tidak memiliki curah hujan yang

cukup, oleh karenanya diperlukan irigasi dengan teknik hidrolik seperti

bendungan, waduk, saluran irigasi, dan pengontrol banjir).

Pada masyarakat pra-ndustri, pembangungan hidrolik dengan skala besar

membutuhkan tenaga kerja manusia dalam jumlah yang besar pula. Untuk

menghindari protes perihal eksploitasi tenaga kerja maka harus dilakukan tindak

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 29: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

kekerasan dan paksaan (force) seperti pemerintahan despotis ini terhadap mereka,

tetapi paksaan hanya diterapkan dalam batas agrikultur dan tidak dilakukan dalam

proses pertanian; merupakan suatu bentuk semi budak.

The agrodespotic masters were at most semi-managerial. They

administered the large productive and protective water works; but they permitted the peasants to cultivate their land privately; and where circumstances recommended it, they tolerated private handicraft and commerce… in the political sphere Oriental Despotism exerted total power; it demanded total submission and could impose.6

Tidak ada yang dapat menghalangi perkembangan pemerintahan despotis

ketika ia berkuasa karena pemerintahan ini merupakan suatu bangunan besar sistem

kekuasaan yang bersifat sangat destruktif terhadap kehidupan dan property

masyarakat. Penguasa di negara dengan karakter despotis tinggi membentuk kultur

dan ideologi masyarakat yang menguntungkan bagi pihak mereka seperti pertahanan

status quo, kepatuhan dan ketundukan terhadap otoritas, dan struktur sosial yang

hirarkis dan otoriter, serta mengabaikan individualisme, kebebasan dan inovasi dalam

masyarakat. Negara despotis ini tidak dapat dideteksi oleh siapa pun (individu atau

negara), yang membuat mereka berbeda dengan despotisme monarki pada abad

pertengahan Eropa.

Hal tersebut menyiratkan bahwa kekuasaan tidak hanya berasal dari

kepemilikan semata, karena ia dapat bertumpu pada fungsi manajerial dan organisasi

serta kemudian diperkuat oleh tidak adanya jaminan keamanan terhadap kepemilikan

6 Ibid.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 30: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

pribadi. Namun, kekuasaan seperti ini bisa terjadi secara intensif pada masyarakat

yang dihapuskan private property-nya.

Kecanggihan teknologi dan modernisasi serta tingkat kesempurnaan kontrol

terhadap ekonomi membuat totalitarianisme abad 20 di Rusia dan Cina tampak lebih

kuat, dan mampu merembeskan kesuksesan kontrol terhadap masyarakat

dibandingkan dengan totalitarianisme pada pemerintahan despotisme agraris.

2.3 Transformasi Kekuasaan Pada Masyarakat Pra-industri

Masih dalam ruang lingkup yang tidak jauh berbeda, tokoh politik Barrington

Moore mencermati fenomena kekerasan yang terjadi pada pemerintahan pra-industri

di beberapa negara di wilayah Asia, Eropa, dan Afrika. Dia mengeksplorasi

perubahan politik, sosial, dan ekonomi di negara-negara tersebut lalu menjelaskan

hubungan antara struktur sosial yang menjadi faktor determinan (social origins) bagi

basis pembangunan dan modernisasi di negara-negara tersebut, terutama masalah

mengenai kesiapan dan keterbukaan masyarakat dalam perubahan, pembangunan dan

penggunaan teknologi dalam kehidupan mereka, yang menjadi faktor bagi lahirnya

demokrasi, kapitalisme, fasisme atau komunisme dalam masyarakat.

Untuk menjelaskan perubahan kekuasaan di masyarakat, Moore melakukan

penekanan pada pentingnya sejarah negara sejak abad ke-14 hingga dua abad

terakhir. Tahap modernisasi yang diawali dengan komersialisasi pertanian hingga

mencapai perubahan ini menurutnya terjadi dalam fenomena seperti Revolusi

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 31: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Perancis, dan Perang Sipil (civil wars) di Amerika. Berdasarkan fenomena tersebut,

menurutnya modernisasi berkembang dalam tiga cara, yakni demokrasi kapitalisme

atau revolusi borjuis (Revolusi Puritan di Inggris), kapitalisme yang terjadi di Jerman

dan Jepang, serta kelemahan dari gelombang revolusioner dalam melaksanakan reaksi

politik yang memuncak pada fasisme. Kemudian kemunculan komunisme yang

terjadi di Cina dan Rusia. Pada saat revolusi tersebut terjadi, birokrat agraria tidak

begitu kuat sehingga para petani naik mengambil kekuasaan. Inilah yang

dimaksudkannya sebagai bentuk revolusi petani.7

Ketiga “social origins” tersebut membawanya pada kesimpulan bahwa pada

negara-negara modern, warga kelas menengah dipaksa melakukan revolusi sebagai

reaksi terhadap sistem kapitalisme; revolusi yang juga dilakukan oleh kalangan petani

atau pemimpinnya. Tanpa Revolusi Perancis dan Revolusi Puritan, atau Perang

Saudara di Amerika, maka tidak akan terjadi transformasi atau penghancuran

terhadap batas-batas dari zaman sebelumnya dan memberikan jalan bagi modernisasi.

Kerumitan terletak pada pelaku utama seperti tuan tanah dan petani serta

distribusi kekuasaan di antara mereka. Hal ini meyebabkan proses komersialisasi

agrikultur berbeda-beda di setiap negara. Di Inggris, kalangan petani dirugikan

dengan adanya perkembangan perkebunan yang secara terus-menerus menjalankan

prinsip komersil.8 Sedangkan di Perancis, kalangan bangsawan yang merenggut hak

7 Lihat Barrington Moore, 1966, Social Origins of Dictatorship and Demokracy: Lord and Peasant

in the Making of the Modern World, hlm. 413. 8 Ibid, hlm 25.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 32: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

petani dengan meminta hasil pertanian dalam jumlah yang lebih tinggi memancing

terjadinya revolusi.

Kerja keras Barrington Moore dalam penelitian yang mengkombinasikan

keterkaitan peristiwa sejarah dan hubungan perubahan sosial, penguasa, petani, serta

kelas borjuis yang menghasilkan rezim diktator dan demokrasi merupakan suatu hal

yang membuka wawasan kita. Moore memfokuskan analisanya pada polemik yang

lebih luas dengan menaruh kecurigaan terhadap bentuk politik dari sistem

perdagangan abad 20, terutama fenomena totalitarianisme yang merupakan efek dari

kapitalisme. Ia mengajukan proposal mengenai perbedaan latar belakang agraris yang

membedakan sistem politik abad dua puluh, terutama komersialisasi pertanian oleh

tuan tanah dan petani.

Tentu saja analisa Marxian mengenai transisi dari feodalisme menuju

kapitalisme mempengaruhi konteks intelektual Moore. Tetapi ia menolak

reduksionisme Marx dan yang lainnya dengan mengatakan bahwa bangsawan

Perancis melakukan tindakan-tindakan politis dalam menarik hasil dari petani,

tampak sangat berbeda dengan manajemen perekonomian dan kekuasaan politik

lokal di Inggris. Ia menjelaskan seperti di bawah ini:

…that any simplified version of Marxism, any notion that the economic substructure somehow automatically determines the political superstructure, can lead one astray. The political mechanism was decisive, and the peasants at the time of the Revolution revealed sound political instinct when they sought to smash these gears and levers.9

9 Ibid. hlm. 64.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 33: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Alanisa Moore merupakan sebuah studi dalam menerangkan mekanisme

politik yang berkaitan dengan transformasi ekonomi dan sangat berpengaruh terhadap

bentuk politik yang dihasilkannya. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah

mengapa cara pergeseran masyarakat agrikultur ke industrialisasi berbeda di setiap

tempat dan hal apa yang melandasi proses industrialisasi di Inggris bermuara kepada

masyarakat yang demokratis.

Problem ini dijawab olehnya dengan menerangkan kondisi sosiogenesis dari

demokrasi, fasis, dan rezim komunis menjadi sudut pandang analisanya dalam

melihat hubungan antara proses industrialisasi dan rezim agraris dalam menghasilkan

sistem politik yang berbeda dan pada saat yang bersamaan menggambarkan

kekerasan-kekerasan yang mendahului perkembangan demokrasi.10

Jenis transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industri

modern seperti yang terjadi di negara-negara kapitalis-demokratis, komunis (Rusia

dan Cina) dan negara demokratis tapi lemah dalam modernisasi (India) ditentukan

melalui bagaimana para tuan tanah dan petani merespons perubahan komersialisasi

agrikultur.

Pertama, terjadinya revolusi dan perang sipil menyebabkan kemunculan

kombinasi antara kapitalisme dan demokrasi liberal. Hal ini terjadi karena aliansi

kaum tuan tanah dan petani dalam merespons revolusi borjuis. Moore memetakan

transisi modernitas di Jepang melalui fasisme, dan jalur komunis di Cina, yang secara 10 Barrington Moore, Jr dalam http://poli.haifa.ac.il/~levi/tocmoore.html. Diakses tanggal 10 Juli

2007, pukul 16.45 WIB.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 34: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

implisit lebih terlihat jelas di Jerman dan Rusia. Baginya, keterbatasan pengaruh

borjuis di Jepang sangat signifikan dibandingkan di Inggris, Perancis, dan di

Amerika.

Akumulasi kapitalisme yang dilakukan oleh kaum borjuis dalam transisi

industri modern memberikan dampak “represif terhadap buruh” agrikultur, dan

pemerasan kepada kaum petani memaksa kebutuhan akan modernisasi. “Revolusi

dari atas” mengeraskan reaksi aliansi borjuis lemah dan pemilik tanah, berujung pada

fasisme. Di Cina, reaksi keras petani dalam menghadapi kaum borjuis dan tuan tanah

menimbulkan Revolusi Cina tetapi ironisnya justru mereka yang menjadi korban

revolusi tersebut. Munculnya rezim kapitalis di satu sisi dan otoritas tradisional yang

demikian kuat di sisi lainnya, membuat negara-negara ini jatuh ke dalam fasisme,

seperti juga German dan Jepang yang disebut sebagai the capitalist and reactionary

form. Pola ini muncul akibat gagalnya revolusi borjuis.

Moore menyebut Perang Sipil (civil war) sebagai petanda peralihan

masyarakat agraris Inggris menuju era industrialisasi dan demokrasi. Elemen-elemen

masyarakat yang berpikir komersil dari kalangan elit petani merupakan kekuatan

oposisi paling utama dalam melawan raja dan upaya kaum bangsawan

mempertahankan status quo mereka, dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya

Perang Sipil disamping faktor lainnya. Tumbuhnya komersialisasi di pedesaan yang

secara langsung menciptakan pasar di daerah tersebut, melahirkan kapitalis agrikultur

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 35: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

pada abad ke-16 dan abad 17 yaitu para tuan tanah dan petani penyewa yang

memiliki garapan luas.

Perang Sipil terjadi ketika kalangan masyarakat (sipil) bergerak menggugat

dominasi kekuasaan kerajaan dan para bangsawan yang di dalamnya terdapat

semacam perang kepentingan antara petani kelas bawah dan para bangsawan. Yang

bisa mempertemukan mereka adalah para petani kelas atas. Para petani kelas atas

inilah yang kemudian menjadi borjuis pada akhir abad 18. Mereka pulalah yang

menyebabkan cikal bakal lahirnya sistem parlementer.

Transformasi yang terjadi di abad 17 dan 18 dengan kekerasan massal melalui

perang sipil berbeda dengan transformasi sosial yang terjadi di abad 19. Di abad ini,

berbagai kepentingan kelas tampak semakin nyata. Kaum petani kelas atas terus

tumbuh dan mengambil peran dalam perubahan sosial, tapi tidak pernah benar-benar

solid, demikian halnya dengan kaum aristokrat.

Barrington Moore memperlihatkan bagaimana masyarakat pra-industri

meletakkan kekerasan, eksploitasi, dan kekuasaan dalam hirarki sosio-politik sebagai

basis tatanan sosial. Kekerasan menjadi penting dalam perkembangan demokrasi

liberal Barat sebagaimana yang dilakukan oleh rezim komunis dan Fasis.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 36: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

2.4 Evaluasi

Memang bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk mencari bibit-bibit

totalitarianianisme dibelakang abad dua puluh. Para teoritisi yang berbicara mengenai

totalitarianisme memiliki sudut pandang berbeda-beda dalam menjelaskan asal-usul

sistem kekuasaan tersebut. Namun jika kita memeriksa kembali sejarah

perkembangan dan transisi setiap periode kekuasaan serta transformasi yang terjadi

dalam masyarakat pra-industri menuju kapitalisme, maka kita akan melihat

keterkaitan antara fenomena tersebut dengan peristiwa dramatis hingga hari ini.

Bagaimana pun, segala tindakan penguasaan terhadap kehidupan publik di

bawah satu genggaman kekuasaan dengan kedaulatan penuh atau sentralisasi

kekuasaan (centralized power) dengan menggunakan paksaan dan kekerasan militer

demi pencapaian tujuan politik telah dijalankan sejak peradaban kuno yang terus

dipraktekkan oleh generasi berikutnya. Corak penguasaan yang berkembang dalam

hal ini memperlihatkan bahwa hanya satu orang yang memiliki kebebasan, yaitu

penguasa.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 37: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

BAB III

KONSEP TOTALITARIANISME:

HANNAH ARENDT & NOAM CHOMSKY

(SEBUAH PERBANDINGAN)

3. 1 Hannah Arendt dan The Origins of Totalitarianism

The practical goal of the movement is to organise as many people as possible within its framework and to set and keep them in motion; a political goal that would constitute the end of the movement simply does not exist.1

Hannah Arendt adalah salah satu pemikir yang sukses menggambarkan

totalitarianisme rezim pemerintahan Hitler dan Bolshevik sebagai fenomena politik

terkejam yang terjadi di pertengahan abad dua puluh, dengan menjelaskan

karakteristik totalitarianisme melalui pendekatan yang cukup berbeda dengan para

tokoh lainnya. Ketertarikannya terutama pada arti dan makna dari totalitarianisme

sebagai suatu peristiwa sejarah yang kemudian mendorongnya untuk mencari

penyebab muncul dan berkembangnya gerakan massa yang terjadi pada era Perang

Dunia II tersebut. Meskipun banyak kalangan intelektual yang mengkritisi

pemikirannya namun kelihaian Arendt dalam mengutarakan kesamaan motif dan

tujuan yang hendak dicapai oleh rezim-rezim tirani membuat pemikirannya menjadi

salah satu standar dalam studi totalitarianisme.

1 Hannah Arendt dalam Simon Tormey, Making Sense of Tiranny, Interpretasions of Totalitarianism,

(New York: Manchester University Press, 1995), hlm 49.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 38: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

3.1.1 Antisemitisme dan Imperialisme sebagai akar Totalitarianisme

Perhatian utama Hannah Arendt tertuju pada berbagai “elemen” sosial dan

politik yang menjadi bibit dari gerakan totaliter yakni, rasisme, anti-Semitisme,

disintegrasi negara-bangsa (nation-state), imperialisme dan aliansi antara massa dan

“kerumunan” (mob)2. Masing-masing elemen tersebut adalah bahan-bahan dasar bagi

rezim totaliter untuk melakukan dominasi total melalui total teror.

Antisemitisme dan imperialisme menjadi preseden historis dari perilaku

politik gerakan totaliter khususnya yang diberlakukan terhadap bangsa Yahudi yang

secara historis dianggap sebagai bangsa Paria. Imperialisme memperkenalkan suatu

struktur administrasi dimana efisiensi tanpa bergantung pada tujuan yang ingin

dicapai adalah unsur yang paling penting daripada kehidupan dan kesejahteraan

bangsa yang dikolonialisasi. Gabungan rasisme dan pembantaian administratif

(sistem birokrasi) ada bersama-sama dalam berbagai aspek imperialisme.3

Imperialisme dan totalitarianisme merupakan gambaran kemelut negara-

bangsa di Eropa. Kebijakan tradisional abad 19 mengenai negara-bangsa tidak lagi

sesuai dengan laju ekspansi kapitalisme dan kebutuhan untuk mendapatkan wilayah

perdagangan baru (ekspansi). Oleh sebab itu, imperialisme juga menandakan

lunturnya gagasan negara-bangsa. Di lain pihak, Nazisme dan Bolshevisme

2 Hannah Arendt membedakan gerakan massa di abad 20 dan organisasi mob di abad 19 dalam

menerangkan psikologi dan mentalitas antara pemimpin totaliter dan pemimpin mob sebelumnya. Lihat Hannah Arendt, 1951, Op cit, hlm 313.

3 Hannah Arendt dalam John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer; Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 278. Terjemahan dari Fifty Key Contemporary Thinkers, (New York: Routledge, 1994).

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 39: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

menghancurkan konsep negara-bangsa tradisional yang bercorak feodal (atau sistem

kelas) dan menggantinya dengan gagasan ekstra-nasionalisme dalam pengertian

mereka sendiri dengan melakukan internalisasi gerakan buruh di kalangan anggota

Bolshevik atau melalui ekspansi polisi oleh Nazi. Keduanya telah memanfaatkan

kehancuran negara-bangsa di Eropa dengan memanipulasi semua nilai-nilai sosial,

politik, dan legal sistem dari negara-bangsa tradisional. Kombinasi dari fenomena

antisemitisme, imperialisme, dan totalitarianisme mengawali suatu “setingan” prahara

di Eropa sejak kehancuran negara feodal yang secara berangsur digantikan oleh

negara-bangsa modern dan berpuncak pada Perang Dunia I dan II.

Menurut Arendt, masyarakat ideal bagi Nazi adalah kesatuan masyarakat yang

berasal dari satu ras dan keturunan bangsa yang sama (the Volksgemeinschaft).4

Rezim totaliter memiliki hasrat untuk mencapai “dominasi total” terhadap setiap

orang yang diberikan atribut “bersalah” (guilty) dikarenakan eksistensi mereka

sebagai entitas otonom yang dapat membahayakan rezim; apakah mereka yang

berasal dari ras yang berbeda (seperti ras Yahudi, Gipsi, dan Slavia), atau orang-

orang yang tidak terlibat dalam keanggotaan partai Nasionalis-Komunis.

Rasisme dan narsisme dengan kadar tinggi yang dimiliki rezim totaliter

terhadap pihak lain tersebut meningkat menjadi hasrat untuk melenyapkan pihak-

pihak yang dianggap dapat merusak kemurnian ras Arya, lalu menguasai segala aspek

kehidupan masyarakat dengan pengendalian dan kontrol terhadap setiap ekspresi di

masyarakat, berujung pada tindakan totaliter. 4 Hannah Arendt,1951, op cit, hlm. 360-361.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 40: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

3.1.2 Totalitarianisme dan Karakteristiknya

Pada dasarnya, istilah totalitarianisme merupakan kata-kata khas abad dua

puluh yang digunakan untuk menggambarkan negara, ideologi, pemimpin dan partai

politik yang menginginkan transformasi dan kontrol total terhadap masyarakatnya.

Pada tahun 1925, Mussolini dalam pidatonya menggunakan kata totaliter untuk

mengungkapkan “la nostra feroce voluntà totalitarian” (our fierce totalitarian will).

Kata totalitarianisme berasal dari kata Italia totalitario, yang artinya komplit, mutlak,

dan pada akhirnya istilah totaliter dengan cepat dipakai sebagai ideologi resmi negara

Italia sebagaimana dirumuskan oleh pemikir rezim fasis, Giovanni Gentile. Beberapa

tahun setelahnya, Mussolini mengadopsi sistem pemikiran totaliter ini dan

menginkorporasikannya ke dalam ideologi negara sebagai ‘lo stato totalitario’

(negara totaliter).5

Konsep totalitarianisme dan ciri khas yang melekat di dalamnya kemudian

menjadi wacana penting bagi karya Hannah Arendt. Menurutnya, untuk memahami

rezim pemerintahan totaliter, kita harus melihat formulasi cara mereka

mengekspresikan permasalahan. Totalitarianisme adalah rezim gerakan massa yang

berkarakter impermanensi, yang memegang kekuasaan dengan membuat segala

sesuatu di sekelilingnya bergerak di bawah kontrol mereka dan rezim ini mempunyai

kemampuan menyesuaikan diri yang luar biasa sekaligus tidak mempunyai

kesinambungan (absence of continuity). Seperti yang dituliskan oleh Arendt:

5 Eugene Kamenka dalam A Companion to Contemporary Political Philosophy, (Blackwell

Publishing,), hlm. 629.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 41: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

This impermanence no doubt has something to do with the proverbial

fickleness of the masses and the fame that rests on them; more likely, it can be traced to the perpetual-motion mania of totalitarism movements which can remain in power only so long as they keep moving and set everything around them in motion. 6

Kejahatan yang dilakukan oleh rezim totaliter dalam masyarakat disebabkan

oleh faktor sosial dan faktor biologis. Faktor sosial tersebut adalah ketimpangan dan

diskriminasi yang mereka alami dalam politik dan kecemburuan sosial terhadap pihak

yang “lebih beruntung”. Semua masalah itu mengakibatkan menumpuknya orang

yang frustrasi yang pada suatu saat akan melimpah dengan luapan emosi dan

kemarahan. Individu dengan segudang problematika sosial tidak dapat mengatasi

masalah yang dihadapinya sehingga individu tersebut mencari bentuk penyelesaian

salah satunya dengan tindakan kekerasan.7

Secara ontologis-antropologis, karakter individu dalam rezim totaliter adalah

manusia massa yang teratomisasi secara sosial (social atomization), mengalami

individualisasi yang ekstrem, apolitis yang memudahkan mereka untuk di-

depolitisasi, tercerabut dari keberakarannya (uprootedness) yaitu; kelas, keluarga,

ruang privat, jati-diri, self-decision sebagai akibat dari proses modernitas seperti

industrialisasi dan urbanisasi mengarah pada perubahan karakter kehidupan modern.

6 Impermanensi (sifat semusim) berkaitan dengan sifat berubah-ubah yang melekat pada massa yang

akan memberi dukungan kepada penguasa totaliter yang mampu memancarkan daya tarik magis kepada mereka, seperti yang dilakukan Hitler dalam usahanya meraih simpati dalam masa-masa perjuangannya. Hannah Arendt, 1951, op cit, hlm, 306.

7 Seperti menangkap dan memenjarakan warga dengan sewenang-wenang, lalu membunuh, dan membantai mereka.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 42: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Modernitas bagi Arendt berarti alienasi; terbentangnya jarak yang begitu

besar antara individu dengan pilihan-pilihan yang harus mereka ambil dalam

hidupnya, hingga tidak berdaya dalam melakukan decision making. Individu dalam

kondisi tersebut merupakan mangsa empuk untuk dimanipulasi, dijadikan target

propaganda dan bulan-bulanan teror, untuk kemudian dicampakkan dalam kamp

konsentrasi di Auswitzsch oleh rezim Nazi atau dibuang ke Siberia oleh rezim

Bolshevik Rusia.8

Masa (mass) dan kerumunan (mob) seperti ini menjadi karakter dari gerakan

totalitarianisme yang rentan terhadap berbagai bentuk propaganda yang dilakukan

oleh organisasi “terdepan” dengan bentuk kebijakan atau dominasi yang muncul saat

gerakan totalitarian berkuasa. Anggota kerumunan massa dengan jumlah besar yang

pada umumnya terdiri dari mereka yang tidak puas dan putus asa terhadap

pemerintahan negara, memungkinkan suatu rezim totaliter untuk mendirikan

pemerintahan totaliter yang sungguh-sungguh. Dengan begitu, gerakan totaliter yang

mengandalkan kekuatan jumlah massa, tidak mungkin hidup di negara-negara yang

berpenduduk relatif kecil. 9

Gerakan-gerakan totaliter memiliki tujuan dan berhasil menghimpun massa

bukan kelas, seperti yang dilakukan oleh partai-partai kepentingan kuno di negara-

negara Eropa dan partai-partai di negara Anglo-Saxson dengan menghimpun warga

negara melalui pendapat serta kepentingan dalam masalah politik. Oleh karena itu,

8 Ibid, hlm. 45. 9 Ibid, hlm. 308.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 43: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

peluang untuk kekuasaan totaliter sangat besar di negara-negara dengan tradisi

despotisme, yaitu tempat di mana manusia hampir tidak habis-habisnya

mengembangkan mesin dominasi total yang makin membesarkan kekuasaan serta

menghancurkan manusia, dan di mana perasaan tidak berguna yang menjadi ciri

manusia massa (suatu gejala baru di Eropa; pengangguran massal dan pertambahan

penduduk selama 150 tahun terakhir).

Gerakan-gerakan totaliter pada saat yang bersamaan menggunakan sekaligus

menyelewengkan kebebasan-kebebasan demokratis justru untuk menghapuskannya.

Yaitu, kebebasan demokratis berdasarkan asas kesamaan di depan hukum, tetapi

kebebasan tersebut mendapat makna serta fungsi secara organik hanya bila warga

negara merasa memiliki dan diwakili oleh kelompok atau membentuk suatu hirarki

sosial dan politik. Runtuhnya sistem kelas tersebut mendorong timbulnya Nazi di

Jerman.

Secara teknologis, rezim totaliter memonopoli komunikasi massa, senjata

pemusnah, dan sentralisasi kontrol perekonomian. Dibawah pemimpin yang diktator,

aparat yang menjalankan kebijakan sang penguasa menjadi elit dalam pemerintahan

yang disebut dengan polisi rahasia. Polisi rahasia (secret police) melaksanakan

tugasnya berdasarkan teori dan teknik psikologi modern. Mereka melakukan total

terror terhadap penduduk dalam bentuk yang berbeda secara radikal dan lebih kejam

dibandingkan dengan aparat pada pemerintahan otoriter awal. Teror dilakukan

terhadap “orang yang sepenuhnya takluk” yaitu orang-orang yang menjadi “korban”

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 44: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

dan yang status yuridisnya bisa dihapuskan dengan sempurna seperti orang-orang

Yahudi.10

Polisi rahasia pada rezim totaliter memiliki tugas utama untuk menangkap

penduduk dengan “kategori” tertentu yang ditentukan oleh pemerintah dan kemudian

melakukan total terror seperti penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan pada kamp

konsentrasi, lembaga peradilan, dan sebagainya. Teror merupakan realisasi hukum

dari sebuah gerakan dimana sang pemimpin berkeinginan agar hukum tersebut dapat

diterapkan dalam kehidupan atau sejarah umat manusia.

“Terror is the realization of the law of movement; its chief aim is to

make it possible for the force of Nature or of History to race freely through mankind, unhindered by any spontaneous human action.”11

Arendt menjelaskan keterkaitan propaganda dan teror yang dilakukan oleh

negara totaliter guna memikat massa melalui penggunaan isyarat-isyarat ancaman

tidak langsung dan terselubung terhadap semua orang yang tidak mengindahkan

ajaran-ajarannya dan kemudian melakukan pembunuhan terhadap massa yang

“bersalah” maupun yang “tidak bersalah”. Propaganda paling efektif yang dilakukan

oleh Nazi adalah cerita konspirasi orang-orang Yahudi untuk menguasai dunia (dan

bahwa) Yahudi adalah simbol kemunafikan dan ketidakjujuran dari seluruh sistem.

Dengan hal tersebut jelas bahwa pada dasarnya totalitarianisme tidak

dilandasi apapun selain mitos yang diciptakannya sendiri. Propaganda dipergunakan

untuk membebaskan pikiran dari pengalaman dan realitas menginjeksikan

10 Lihat Ibid, hlm. 419-437. 11 Hannah Arendt, The Portable Hannah Arendt, (Penguin Books), hlm. xx.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 45: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

“menginjeksikan” suatu makna rahasia kedalam setiap peristiwa yang terbuka dan

kasat mata, dan mencurigai suatu maksud rahasia dibalik tindakan politik publik.12

Propaganda dan teror hadir seperti dua sisi pada satu mata uang yang sama.

Propaganda adalah sebagian paket dari “psychological warfare” (perang psikologis),

sedangkan teror lebih dari pada itu, sebab digunakan oleh rezim totaliter secara terus-

menerus meskipun sasarannya telah diraih. Ketika teror telah mencapai tahap

kesempurnaan, seperti yang terjadi pada kamp konsentrasi maka propaganda menjadi

hilang seutuhnya. Propaganda oleh karena itu merupakan salah satu instrumen

penting bagi totalitarianisme dalam hubungannya dengan negara non-totalitarian,

sedangkan teror adalah esensi bentuk pemerintahannya.

“Propaganda and terror present two sides of the same coin…Propaganda is indeed part and parcel of ‘psychological warfare’; but terror is more. Terror continues to be used by totalitarian regimes even when its psychological aims are achieved. Where the rule of terror is brought to perfection, as in concentration camps, propaganda disappears entirely… propaganda .. is one, and possibly the most important, instrument of totalitarianism for dealing with the non-totalitarian world; terror…is the very essence of its form of government.”13

Begitu mendapat kekuasaan maka totalitarianisme mengembangkan lembaga-

lembaga politik yang yang seluruhnya baru dan menghancurkan tradisi sosial, hukum

dan politik negeri yang bersangkutan. Pemerintahan totaliter selalu mentransformasi

kelas-kelas menjadi massa, mengganti sistem partai dengan gerakan massa,

12 Opcit, 471. 13 Ibid, hlm. 341-344.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 46: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

menggeser pusat kekuasaan dari angkatan bersenjata ke polisi rahasia, dan

membangun politik luar negeri secara terbuka yang mengarah pada dominasi dunia.

Penguasaan dan kontrol yang dilakukan oleh rezim totaliter atas lembaga di

masyarakat tidak memandang apakah lembaga itu terlibat atau tidak di dalam

kegiatan politik karena totalitarianisme bertujuan mengintegrasikan secara

keseluruhan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat tersebut dalam suatu pola

politik tertentu. Totalitarianisme mengimbuhkan teror dengan ideologi sehingga

kompleksitas kehidupan bergejolak dalam suatu prinsip fundamental yang menjadi

tujuan dan keyakinan masyarakat modern (sumbernya yaitu agama, ras, tradisi).

Agama, ras dan tradisi lalu dipolitisasikan untuk suatu kepentingan.

Totalitarianisme menjadi persoalan modernitas dalam realitas politik di suatu

negara yang bersifat tirani, sewenang-wenang, diktator, melakukan perampasan dan

pelucutan hak-hak asasi manusia, yang bertujuan untuk dominasi. Totalitarianisme

yang merupakan kombinasi teror dan ideologi, diwujudkan dalam berbagai aksi

pembantaian atau pembasmian “musuh objektif”, oleh karena itu dapat dikatakan

sebagai crime against humanity.14

Gerakan-gerakan totaliter mengikuti pola-pola yang diterapkan oleh Nazisme

atau Bolshevisme dengan menghimpun masa dengan mengatas-namakan suku atau

kelas bahkan kemanusiaan, dan berpura-pura mengikuti kaidah hukum alam atau

hukum dialektika dan ekonomi. Dalam laporannya mengenai pengadilan Eichmann 14 Hannah Arendt, op cit, hlm. xxiv.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 47: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

(Eichmann in Jerusalem), Arendt mencapai kesimpulan bahwa totalitarianisme

terjadi karena kedangkalan pikiran (deficit of thought) individu yang melakukannya.

Karena kedangkalan yang dimiliki oleh individu, maka kejahatan seperti

totalitarianisme sangat mungkin terjadi. Inilah yang disebutnya dengan “banality of

evil”.15

Totalitarianisme merupakan sistem pemerintahan dan ideologi dimana semua

aktivitas politik, ekonomi, budaya, sosial, pendidikan, dan spiritual berada pada

posisi subordinat terhadap arah kebijakan negara. Karakteristik utama dari

totalitarianisme ini adalah bentuk kekuasaan mutlak abad dua puluh dengan

keterikatan masyarakat massa pada kehendak dan tindakan pemimpin diktator yang

mengontrol sebuah partai politik, karena tanpa pemimpin maka massa hanya berupa

sekumpulan orang-orang bodoh yang tidak berbentuk apapun dan sebaliknya,

ketiadaan massa membuat seorang pemimpin tidak memiliki arti dan juga tidak dapat

bertindak sedikit pun.

3.2 Noam Chomsky dan Neo-Totalitarianisme

Sejumlah kendala masih menghambat kehidupan masyarakat saat ini karena

reinkarnasi liberalisme klasik yang terwujud dalam tatanan dunia baru, kembali

muncul pada skala lebih luas yaitu neoliberalisme. Hipotesis yang diyakini Francis

Fukuyama boleh jadi menghadapi tantangan keras dari banyak kalangan karena

keraguan sebagian besar masyarakat internasional untuk membiarkan puncak 15 Ibid.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 48: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

dialektika peradaban berakhir di kedua anak kembar liberalisme: kapitalisme dan

demokrasi.

Setelah melewati kondisi posmodern yang diakhiri dengan sistem globalisasi

yang menjadi suatu arena pertemuan berbagai kepentingan manusia dalam mengejar

penguasaan teknologi, ekonomi, institusi maupun kebudayaan, masyarakat

kontemporer sekarang memasuki era yang dipenuhi oleh persoalan politik dan

kemanusiaan. Masyarakat saat ini dihadapi dengan isu-isu global seperti perang

nuklir, bencana lingkungan, dan kebijakan pemerintahan di dunia yang mengarah

pada peningkatan praha-praha tersebut.

Asumsi-asumsi yang dibangun dalam standar yang seragam mengenai pasar

bebas memiliki kandungan masalah yang tidak kecil. Hal ini diawali saat kapitalisme

primitif mulai memenetrasi negara-negara berkembang sebagai pasar baru yang

dipaksa berkompetisi di tengah kesenjangan yang berlangsung tajam dan tidak

seimbang. Bahkan yang membuat lebih buruk dari hal tersebut, kesenjangan itu

sendiri terjadi akibat praktik kolonialisme masa lalu yang dilakukan sejumlah negara

yang kini maju karena pemindahan paksa aset dan sumber daya alam. Dengan

kemajuan teknologi yang amat pesat di hampir semua negara metropolis, tentu

menjadikan mereka raksasa disektor perdagangan luar negeri. Meraup laba dalam

jumlah besar sangat mungkin dilakukan pada saat Dunia Ketiga sendiri tengah

mengalami kegagapan mengatasi budaya konsumtif di dalam negeri.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 49: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Power atau kekuasaan bukan hanya menyangkut kekuatan militer tetapi juga

berbagai bidang lainnya seperti budaya dan bahasa. Ada berbagai macam aspek

bahasa dan penggunaannya tetapi hanya sedikit diantaranya yang dapat membawa

kita kepada teori produktif. Sebenarnya wawasan dan pengertian kita menurut

Chomsky berada dalam wilayah struktur gramatikal yaitu, seorang yang mampu

berbahasa memiliki sistem kaidah dan prinsip “generative grammar” dalam wilayah

teknis yang mengasosiasikan suara dan makna dalam beberapa cara yang spesifik.

There are many aspect of language and language use that raise

intriguing questions, but in my judgement only a view have so far led to productive work. In particular, our deepest insight are in the area of formal grammatical structure. A person who knows a language has acquired a system of rules and principles-a “generative grammar”, in technical terms that associates sound and meaning in some specific fashion. 16

Pada awalnya, Chomsky berupaya menjelaskan bagaimana seorang pemakai

bahasa yang ideal bisa membangkitkan dan memahami kalimat-kalimat gramatikal

baru dan unik tanpa harus menemuinya dalam praktek. Kemudian, sekumpulan aturan

transformasi terbatas yang berhingga dan terinci membentuk “konpetensi” seorang

pemakai bahasa yang ideal, dan kompetensi ini akan menghasilkan kalimat-kalimat

gramatikal.

“Kinerja” yang sesuai dengan sejumlah gramatikal tertentu yang diungkapkan

oleh seorang pemakai bahasa memberikan bukti (korpus) untuk melihat kompetensi

orang ini, dan kompetensi ini tidak dengan sendirinya melahirkan suatu apresiasi

16 Noam Chomsky, The Chomsky Reader (New York: Pantheon Books, 1987), hlm. 139-140.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 50: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

yang jernih dan pelaksaan aturan-aturan generatif pada si pemakai bahasa, namun

kompetensi harus dilihat sebagai yang setara dengan cara meng-ada-nya sang

pembicara dalam bahasa. Dengan kata lain, kompetensi adalah kondisi kemungkinan

kemampuan berbahasa; kompetensi menyatu dengan pembicara, lebih dari cara-cara

lainnya.17

Bahasa adalah sejenis sistem aturan dasar yang secara rekursif mendefinisikan

dan membentuk transformasi kalimat. Tata bahasa menjelaskan bagaimana suatu

kalimat dimunculkan. Hal ini terkait dengan kompetensi dasar seorang pembicara-

pendengar yang ideal, suatu kompetensi yang memungkinkan dibentuknya kalimat-

kalimat sempurna dengan potensi jumlah yang tak terbatas. Tata bahasa generatif

menurut Chomsky adalah sekumpulan aturan yang dalam mendefinisikan satu

himpunan (objek) dianggap “membangkit”-kan himpunan ini.18

Chomsky berupaya untuk menyederhanakan teorinya tentang tata bahasa

generatif dengan mengkaitkan pada pengertian tentang “kapasitas kognitif”19 karena

keyakinannya bahwa secara induktif kita tidak bisa menjelaskan kemampuan

berbahasa dan kompetensi bahasa (yang menngisyaratkan kreativitas bahasa) atau

dalam kerangka teori rangsangan-tanggapan, maka dalam upaya mejelaskan sifat

bahasa manusia, Chomsky bersandar pada pengertian bahasa sebagai sesuatu yang

bersifat bawaan dan khas pada manusia. Secara khusus ia terpengaruh oleh

17 Noam Chomsky dalam John Lechte, 2001, Opcit, hlm 88. 18 Noam Chomsky, Language and Mind (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1972), hlm. 126. 19 Lihat Noam Chomsky dalam karyanya Reflection on Language. Bab I dan Passism , (London:

Temple Smith, 1977).

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 51: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

pandangan Descartes tentang bahasa dan pikiran yang terikat begitu berat sehingga

pengetahuan tentang bahasa bisa membuka pengetahuan tentang pikiran manusia

(mind). Oleh sebab itu, bagi penemu tata bahasa generatif ini secara mendasar bahasa

adalah bagian psikologi manusia; psikologi yang dipahami sebagai teori tentang

kemampuan pikiran manusia. Dengan demikian, asal usul kompetensi bahasa lebih

bersifat psikologis daripada linguistik.

Penelitian dan aksi revolusioner yang telah membangun paradigma baru

dalam linguistik yang dilakukan oleh Chomsky dibidang bahasa tersebut membawa

dirinya menjadi kritikus atau aktivis sosial terhadap analisa perpolitikan yang terjadi

di dunia. Tulisan-tulisannya tentang politik adalah sebagai bentuk tanggapan terhadap

kebijakan politik Amerika di kawasan Asia terutama Asia Tenggara yang kemudian

dipandang sebagai suatu tindakan hegemoni yang totaliter.

Teori tentang bahasa menunjukkan keterkaitan para penguasa dengan

penciptaan istilah-istilah dengan tindakan kriminal untuk melancarkan tujuan mereka

terhadap dunia yaitu: penipuan, pembunuhan, genosida, ekosida, dan sebagainya.

Melalui propaganda, penguasa yang “menjual” tindakan-tindakan kriminalnya kepada

publik mencapai tujuannya ketika masyarakat larut dalam istilah yang mereka

ciptakan tersebut. Dengan “kompetensi” bahasa, setiap pihak berpotensi menciptakan

istilah atau bahasa baru sehinggga ketika berhasil menyuntikkan bahasa tersebut ke

dalam pikiran masyarakat maka saat itulah jalan menuju totalitarianisme terbentang

di depan mata.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 52: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Negara-negara Adikuasa menurut Chomsky, secara sistematis dan terus-

menerus telah melukiskan gambaran dunia tertentu pada benak masyarakat. Untuk

memudahkan memori kita dalam menyimpan informasi, peristiwa-peristiwa di dunia

telah diberi “label” berdasarkan rumusan yang mereka ciptakan. Negara-negara

raksasa dengan kekuasaannya berupaya mendominasi masyarakat dengan melakukan

hegemoni wacana (diskursus) dan kesadaran yang tujuannya adalah memanipulasi

belief masyarakat, dan hal ini merupakan suatu bentuk “dominasi total”. Akan tetapi,

tentu saja mekanisme “dominasi total” ini tidak hanya dijalankan oleh penguasa

Adidaya seperti Amerika, melainkan juga dilakukan oleh setiap pemerintahan yang

diktator, represif, dan despotis. Bahkan penguasa di negara-negara miskin atau

golongan negara-negara yang masih rendah kedudukannya dalam tingkat teknologi

dan industri mampu melancarkan aksi yang sama liciknya dengan penguasa

hegemonik terhadap masyarakatnya.

Kemudian Chomsky memusatkan perhatian pada peran media dan komunitas

akademis dalam melakukan manufacturing consent terhadap masyarakat umum

dalam kebijakan-kebijakan Amerika. Menurutnya, media sangat berperan dalam

membentuk opini yang akan muncul dalam masyarakat. Kepemilikan modal dan

legitimasi penguasa juga turut menjadi faktor pemicu ketimpangan dan diskriminasi

yang terjadi dalam tubuh media massa. Media masa berperan aktif dalam

menyampaikan kampanye-kampanye propaganda dan ketentuan-ketentuan politis

lainnya dalam tatanan sosial.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 53: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

The special importance of propaganda in what Walter Lippmann

referred to as the “manufacture of consent” has long been recognized by writers on public opinion, propaganda, and the political requirements of social order.20

Rasionalitas pikiran manusia dikontrol melalui penggunaan kata-kata dan

pemberian makna tertentu. Kita dapat melihat hal ini dengan analogi komputer.

Dewasa ini, kita tidak bebas menentukan filename dan isi tulisan yang kita masukkan

dalam memori kita. Nama arsip dalam memori kita telah dirancang dengan

memproduksi kata atau ungkapan baru yang indah dan disebutnya dengan

Newspeak.21

Sejumlah Newspeak telah diciptakan untuk membatasi pandangan masyarakat

tentang realitas. Saat ini, kita mempunyai dua dunia yaitu dunia yang sebenarnya

(dunia real) dan dunia yang terbentuk dalam pikiran kita (dunia Newspeak).22 Kita

mempunyai kamus yang dikeluarkan oleh Penerbit Adikuasa. Sebagai contohnya,

Chomsky menerangkannya lewat “usulan perdamaian” yang dikemukakan oleh

negara-negara Arab terutama Palestina (betapapun realistisnya) namun pemerintah

Amerika berupaya untuk membuat keputusan negara-negara tersebut tampak sebagai

penolakan, untuk itu diciptakan kata baru untuk usulan yang tidak sama dengan

usulan AS yaitu rejeksionisme.

20 Noam Chomsky & Edwar S. Herman, Manufacturing Consent, (New York: Pantheon Books,

1988), hlm. xi. 21 Pada awalnya istilah Newspeak digunakan oleh George Orwell dalam karya 1984 untuk

menggambarkan kekuasaan rezim Fasis, dan kemudian menjadi inspirasi bagi Chomsky dalam menganalisa politik kontemporer.

22 Ibid.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 54: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Melalui pengendalian makna, masyarakat akan bersimpati kepada AS yang

selalu bersusah payah menciptakan perdamaian dan pada saat yang sama memiliki

pandangan terhadap negara-negara Arab yang selalu menolak perdamaian.

Pengendalian makna menunjukkan adanya dominasi standar tunggal oleh Amerika

yang maksud sebenarnya ialah demi keuntungan pihak Adikuasa itu sendiri.

Pada proses penyebaran dan kontrol makna tersebut penguasa memiliki

channels dengan masyarakat yang menerima informasi, guidence dan direction yaitu

melalui media massa. Namun media massa bukan satu-satunya alat bagi penguasa

dalam melakukan manufacturing consent tetapi kontrol dan arahan dilakukan hampir

di setiap media komunikasi yaitu surat kabar, majalah, dan penerbit buku, radio,

televisi, teater dan juga terhadap semua pelaku dengan legitimasi penguasa. Kontrol

tersebut terlihat pada pelaksanaan censorship.

Censorship is self largely self-censorship, by reporters and commentators who adjust to the realities of source and media organizational requirements, and by people at higher levels within media organizations who are chosen to implement, and have usually internalized, the constraints imposed by proprietary and other market governmental centres of power.23

Kelompok elit yang memiliki akses informasi dan kewenangan pengontrolan

media massa, baik melalui kekuasaan politik yang digenggamnya maupun kekuasaan

ekonomi melalui kepemilikan saham media massa mudah sekali menciptakan

berbagai macam rekayasa guna mempengaruhi masyarakat. Sering kali informasi

yang ditampilkan pada media masa adalah informasi yang telah melalui tahap editing

23 Noam Chomsky and Edward S. Herman, 1988, Op cit, hlm. xii.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 55: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

dengan tujuan dapat membentuk gambaran di benak masyarakat yang sesuai dengan

ketentuan mereka.

Most biased choises in the media arise from the preselection of right

thinking people,internalized preconceptions, and the adaptation if personnel to the constraints of ownership, organization, market, and political power.24

Media masa dijadikan sebagai instrumen bagi penguasa dalam melakukan

tindak kekerasan psikologis. Negara-negara maju yang memiliki keunggulan dari

berbagai segi kehidupan pun tidak luput dari persoalan kekerasan dalam

masyarakatnya, meski dengan perbedaan kualitas maupun kuantitasnya. Dalam kasus

tertentu negara maju melakukan tindakan kekerasan terhadap negara-negara lainnya

dengan alasan melindungi kepentingan global (ekonomi dan keamanan), misalnya

penyerangan Amerika Serikat ke Irak dan invasi Israel ke Palestina, dan sebagainya.

Penguasaan atau kontrol terhadap ekonomi lalu memudahkan penguasa untuk

mengeksploitasi masyarakatnya, menguasai negara asing dan revolusi dunia.

Misalnya, semua proyek pengolahan sumberdaya alam dikendalikan dengan kekuatan

militer. Tipe perekonomian totalitarian memudahkan diktator untuk mengontrol

memori para pekerja dan membuat mereka terikat pada pemerintah atau dengan kata

lain tidak ada seorang pun yang dapat bekerja tanpa ijin dari pemerintah.

Proses penciptaan, “pengisian” dan pembentukan ulang (reshape) atau

manipulasi memori masyarakat dilakukan melalui praktek indoktrinasi dan

propaganda, edukasi, pendidikan moral, atau pembentukan karakter, dan ketika hal 24 Ibid.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 56: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

tersebut dilakukan secara berulang oleh diri kita sendiri. Hal inilah yang disebut

sebagai mekanisme kontrol terhadap cara berpikir masyarakat.

Salah satu tugas utama dari bisnis propaganda adalah “fabrication of

consumers” yang menjadi alat dalam membantu terimbasnya “segala gejala klasik

negara yang berbasis totalitarianisme: atomisasi, apatisme politik dan irasionalitas,

kedangkalan atau banalitas dari proses politik yang demokratis, menunggangi frustasi

yang berkembang dalam masyarakat, dan sebagainya.

Semarak kampanye propaganda melalui media massa dan media komunikasi

lainnya, penguasa sekaligus menularkan daya tarik yang semu terhadap masyarakat

sehingga masyarakat melihat pemimpin sebagai seorang yang memiliki strong

character (sifat jujur, sederhana, lugas dalam pembicaraan, orang yang beriman),

seseorang yang memiliki ketulusan dan kejernihan dari segi moral dengan demikian

masyarakat terlena dengan citraan (imagery) yang ditampilkan sang penguasa yang

kemudian akan menggiring masyarakat keluar dari public opinion.

…one of the primary tasks of business propaganda is the “fabrication of

consumers”, a device that helps induce “all the classic symptmps of state-based totalitarianism: atomization, political apathy and irrationality, the hollowing and banalization of purportedly democratic political processes, mounting popular frustration, and so forth”25

Kekerasan adalah alat bagi penguasa untuk melakukan kontrol (violence is a

powerful instrument of control). Pokok permasalahan yang sering kali terjadi dalam

hal kekerasan adalah ketika kekerasan (besar atau kecil) tidak diwacanakan karena 25 Noam Chomsky, Failed Stateds (New York: A Metropolitan, Owl Book, 2006), hlm. 221.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 57: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

masyarakat terlalu diintimidasi dan tidak berdaya untuk melawannya. Masyarakat

yang seperti ini tampak seperti masyarakat budak (slave society).26

Disalah satu pihak mungkin dapat dikatakan bahwa violence yang terjadi

dalam sejarah panjang kehidupan manusia terutama pada abad dua puluh adalah

karena kegagalan masyarakat modern mengangkat civilized norms. Kekerasan adalah

bagian dari kehidupan modern yang mudah ditelusuri dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat baik dalam sistem birokrasi, Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Sakit,

lingkungan kerja seperti pabrik, maupun dalam wilayah internasional yang meliputi

berbagai akses untuk melakukan kekerasan dalam skala global. Bentuk sistem sosial

yang penuh dengan kekerasan, cepat atau lambat akan mempengaruhi unsur kejiwaan

manusia. Nilai-nilai humanistik memudar, kehidupan manusia menjadi mekanistis

dan tidak lagi peka terhadap penderitaan sesama. Dampak berikutnya, solidaritas

sosial semakin sulit dirajut dan tindakan-tindakan kekerasan semakin sulit

dieliminasi. Struktur kebijakan politik Amerika membentuk sebuah tirani yang

mungkin berbeda dengan tirani pada rezim Joseph Stalin atau pemerintahan Hitler-

Nazi yang lalu. Tirani seperti ini lebih merupakan bentuk teror yang tidak terlihat

dengan kasat mata.

Kekuasaan Amerika Serikat diera globalisasi ini banyak dibentuk melalui

mekanisme hegemoni yang manipulatif. Menurut Chomsky, pemerintah Amerika

senantiasa mengkampanyekan demokrasi, HAM, anti-tirani, dan “perang atas teror”.

26 Noam Chomsky on U.S. domestic violence, etc. http://www.chomsky.info/ articles. Diakses tanggal 3 Mei 2007 pukul 19.05 WIB.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 58: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Ironinya, peran tentara militer Amerika Serikat di Tepi Barat justru menjustifikasi

terorisme dan kejahatan kemanusiaan. Pemerintah Amerika mensponsori negara

zionis Israel untuk melakukan pelanggaran HAM berat dan menentang hukum

internasional. Dengan pemikiran Arendt dan Chomsky, konsep totaliter kemudian

memasuki fase perkembangan debat ilmiah yang dipenuhi dengan nuansa akademis

dan bukan lagi sekedar manifestasi politik yang real tetapi juga digaungkan dalam

wacana akademis, khususnya filsafat dan ilmu politik.

3.3 Matriks Perbandingan Konsep Totalitarianisme Hannah Arendt dan Noam

Chomsky:

Unsur-unsur

Totalitarisnisme Hannah Arendt Noam Chomsky

Asumsi

Kekuasaan

• Kekuasaan sebagai basis

fondasi politik yang dapat

diperoleh dari solidaritas

individu yang tergabung

dalam masyarakat massa

(dihasilkan melalui

organisasi). Dengan kata

lain, kekuasaan adalah

“solidaritas semu” yang

terbentuk dari kesamaan

nasib, dan solidaritas adalah

• Kekuasaan merupakan

kemampuan suatu pihak

menundukan lawan untuk

turut menjadi pengikut

dalam kebijakan politik

yang diproduksi oleh

penguasa tersebut.

Merupakan kemampuan,

strategi setiap orang, dalam

konteks relasi sosial, yang

kerapkali sebagai upaya

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 59: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

kekuasaan.

• Di sisi lain kekuasan yang

seharusnya bukanlah

dominasi dan pemaksaan

melalui kekerasan,

melainkan komunikasi

intersubyektif antara warga

negara yang bebas dan

setara.

• Kekuasaan pada prakteknya

merupakan dominasi dengan

tindak kekerasan.

‘mempengaruhi’ pikiran,

perilaku pihak-pihak lain

untuk melakukan hal yang

sebenarnya bukan

merupakan pilihan mereka

sendiri.

• Mendistorsi adalah

karakteristik yang dimiliki

oleh kekuasaan. Maka, relasi

kekuasaan terjadi dengan

timpang.

• Indoktrinasi ideologi atau

kontrol psikologis

merupakan ekspresi dari

kekuasaan.

• Dominasi melalui

manipulasi.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 60: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Kondisi Historis

Perang Dunia I sebagai

awal dari keruntuhan Kelas

menjadi massa dan ketika

meletusnya Perang Dunia II

dan kekalahan di pihak

Jerman menjadi senjata

bagi Hitler untuk

memperoleh dukungan

simpatisannya dengan

menebar propaganda”

negara dalam keadaan

gawat”. Pada saat itu juga

merupakan periode negara-

negara di Eropa dan

Amerika berlomba-lomba

untuk memperoleh

penguasaan terhadap dunia.

Masyarakat kontemporer

hidup dalam arus globalisasi

dan komunikasi yang tak

terbatas ruang dan waktu.

Dengan kemajuan teknologi

di berbagai sektor

kehidupan menimbulkan

semangat imperialisme dan

liberalisme gaya baru, yaitu

neo-liberalisme.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 61: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Institusi

Kekerasan

1. Polisi Rahasia.

2. Newspeak

3. Propaganda.

4. Kamp-kamp konsentrasi.

5. Total terror dan total control

pembasmian “musuh-musuh

objektif” (objective enemy)

dari pada senjata yang

bersifat persuasif karena

massa yang akan direkrut

adalah massa yang “bodoh”

secara politik.

6. Penyiksaan dan penahanan

yang sewenang-wenang.

7. Ideologi rasial.

8. Tidak ada ruang untuk

berpikir (thinking), menalar

(reasoning) dan

merefleksikan individualitas.

1. Media massa.

2. Newspeak seperti: Tatanan

Dunia Baru, Perjanjian

Damai, Terorisme, dan

sebagainya.

3. Propaganda.

4. Intervensi melalui serangan

militer.

5. Edukasi.

6. Pendidikan moral (moral

instruction).

7. Ideologi liberal (seperti

kapitalisme dan demokrasi)

8. Terdapat ruang bagi

masyarakat untuk berpikir,

bernalar, dan berefleksi

tetapi pada saat yang sama

tindakan tersebut didistorsi

dan dimanipulasi oleh

penguasa.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 62: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Praktek

Totalitarianisme

Kekerasan yang dilakukan

secara fisik, yaitu dengan

membunuh, membantai, dan

membakar para “korban” yang

dikenal dengan istilah Nazi

Final Solution. Pemerintahan

didirikan atas fondasi

ketakutan dan rasa curiga yang

timbal balik diantara penguasa

dan massa.

Diaplikasikan secara halus

(subtle) terhadap mentalitas

dan jiwa (psikologis)

masyarakat yaitu melalui

mekanisme manufacturing

consent yang berupaya

menyesuaikan opini

masyarakat dengan kebijakan

yang telah diatur oleh

penguasa. Praktek

“penjajahan” akal budi

masyarakat dalam struktur

semacam itu, kesetaraan dan

kebebasan dalam

berkomunikasi adalah absurd.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 63: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

BAB IV

MANUFAKTUR PEMIKIRAN

DENGAN BAHASA SEBAGAI MEDIA POPAGANDA

…The process of creating and entrenching highly selective, reshape or completely fabricated memories of the past of what we call “indoctrination” or “propanganda” when it is conducted by official enemies, and “education”, “moral instruction” or “character building”, when we do it ourselves. It is a valuable of mechanism of control, since it effectively blocks any understanding of what is happening in the world. 1

Peta sosio-politik masyarakat kontemporer yang berada dalam proses

globalisasi dan teknologi yang semakin menjadi-jadi kompleksitasnya, membuat

manusia yang hidup di dalamnya tidak dapat menghindar dari segala tuntutan

kehausan terhadap informasi dan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. Sistem

teknologi dibidang komputerisasi seperti internet dan satelit luar angkasa

mengasumsikan suatu kondisi tidak ada lagi batasan bagi masyarakat untuk

mengakses informasi dari belahan dunia mana pun dan dengan demikian

mengaburkan jarak antar berbagai negara.

Globalisasi yang dipicu oleh kemajuan teknologi, dipahami sebagai bentuk

fenomena perdagangan internasional yang bersifat free market dimana pertukaran

barang dan jasa dapat dengan mudah hilir mudik di suatu negara. Hal itu pada

akhirnya menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan perang kepentingan,

1 Noam Chomsky, 1987, Op cit, hlm.124.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 64: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

seperti kebijakan pasar bebas yang menuntut agresifitas dan kelincahan negara atau

institusi dalam menjaring mangsa pasar yang luas. Dalam kondisi tersebut berbagai

pihak yang memiliki kepentingan akan melakukan suatu upaya (effort) bagaimana

agar ia memperoleh posisi yang lebih unggul dari yang lainnya. Globalisasi oleh

karenanya merupakan paket dari sekumpulan nilai-nilai di bidang ideologi, politik,

ekonomi, budaya, dan lain-lain.

Terorisme, pelanggaran HAM, dan sebagainya yang menjadi fenomena paling

mutakhir di abad ini, merupakan produk dari tertutupnya jalur komunikasi antar-

masyarakat dan telah mengancam kehidupan manusia. Namun, yang menjadi

kegelisahan sekarang adalah bagaimana implikasi dari berbagai kondisi tersebut

terhadap sistem dan cara berpikir masyarakat. Apakah dapat berefleksi terhadap

fenomena dunia atau justru terhanyut dalam tingginya tingkat peradaban dunia yang

berada dalam tatanan high –technology industry.

Dalam bab ini penulis lebih memfokuskan penelitian pada posisi di mana

masyarakat secara tidak sadar telah dibentuk sedemikian rupa pemikirannya sehingga

kemudian ia mengusung, mengafirmasi dan melakukan persetujuan terhadap

rasionalisasi atau ideologi yang terus-menerus dihembuskan ke dalam jiwa mereka,

sedangkan di balik persetujuan tersebut ada kepentingan tertentu untuk manipulasi

dan “penindasan” yang merupakan modus baru dari totalitarianisme. Penindasan

tersebut tentunya tidak hanya terjadi secara fisik seperti yang terjadi di abad ke-dua

puluh tetapi juga terhadap mentalitas dengan jalur pemikiran masyarakat. Proses ini

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 65: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

bekerja secara kontinu menyelubungi kehidupan sosial masyarakat sekarang melalui

sistem dan mekanisme yang sangat kompleks yaitu hegemoni.

4.1 Hegemoni: Pengertian, Prinsip, dan Praktek

Secara sederhana pemahaman terhadap hegemoni tertuju kepada suatu konsep

yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci sebagai suatu organisasi konsensus. Peta

pemikiran politiknya mengenai hegemoni berawal dari hasratnya untuk

memperjuangkan agar partai komunis pimpinannya (Italian Communist Party) dapat

merebut kekuasaan negara.

Considered in the thought of Gramsci, hegemony in practical terms

means a class alliance between a leading proletariat and peasantry. Instead he broadened the problem, conceiving of hegemony as a moment of new ideological integration when the allied revolutionary classes (such as workers, soldiers, peasants) seek awareness on a universal level. Through ideological struggle (led by the vanguard, the specific and autonomous interests of the specific classes within the alliance vanish. They are replaced by a new hegemony based on a shared vision. 2

Hegemoni kemudian merupakan suatu gerakan revolusioner yang dilakukan

guna merebut kekuasaan negara (war of manoeuvre/movement). Ketika revolusi telah

tercapai dan kekuasaan dapat direbut maka tindakan selanjutnya yang harus ditempuh

adalah memperjuangkan kelanggengan kekuasaan yang telah diraih. Perjuangan

tersebut akan berhasil jika para intelektual dari semua kelas (termasuk kaum proletar

dan sejarawan) menyatukan diri dan masuk ke parlemen, yaitu wilayah tempat 2 Gramsci dalam William D. Perdeu, Sociological Theory (California: Mayfield Publishing

Company, 1986), hlm. 396.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 66: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

terjadinya diskursus (war of position). Dengan demikian hegemoni bukan hubungan

dominasi dengan menggunakan kekerasan dan paksaan (force) seperti sejarah

revolusi yang dilakukan oleh partai komunis di Rusia, melainkan hubungan

persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis di dalam

parlemen.3

Hegemoni dimaksudkan Gramsci terhadap ide keunggulan (predominasi)

suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lainnya, seperti hegemoni kaum borjuis atas

kaum proletar. Hegemoni tersebut tidak hanya merepresentasikan kontrol ekonomi-

politik melainkan juga kemampuan kelas dominan untuk merealisasikan pengaruh

rasionalitas (ideologi) mereka terhadap dunia, oleh karena itu pihak yang ter-

subordinasi akan menerima hal tersebut sebagai pandangan umum yang alamiah yang

disebut dengan common sense atau pandangan umum masyarakat.4 Dengan

penciptaan mekanisme common sense, maka gagasan dari kelompok hegemonis akan

terlihat “alami” (bukan ideologis) dan menjadi salah satu kunci memenangkan

penerimaan publik.

Saat ini, fenomena proses hegemoni bekerja pada situasi ketiadaan reaksi dari

rakyat terhadap rezim yang berkuasa dan rela hidup dalam kondisi “menderita” tanpa

kemampuan untuk melakukan perlawanan karena sang penguasa melakukan

hegemoni terhadap mereka secara invisible. Hegemoni terjadi ketika masyarakat

3 Ibid. Menurut Gramsci, revolusi yang terjadi di Rusia atau di negara-negara komunis lainnya

disebabkan karena masyarakatnya belum masuk ke dalam tingkatan masyarakat maju seperti di Eropa. Oleh sebab itu mereka melakukan revolusi dengan menggunakan paksaan dan kekerasan.

4 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 20.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 67: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

kalangan bawah yang dikuasai oleh kelas yang dominan bersepakat dengan ideologi,

gaya hidup, dan cara berpikir dari kelas yang dominan sehingga, kaum tertindas tidak

merasa dijajah oleh kelas yang berkuasa.

Berkaitan dengan hal ini, Habermas dan para tokoh Mahzab Frankfurt lainnya

menujukan perhatian mereka pada teori psikoanalisa Sigmund Freud dalam

menemukan unsur-unsur tidak sadar yang direpresi (termasuk juga interes-interes)

dan memungkinkan individu untuk mengakui dan menerimanya pada tahap sadar.

Massa yang ditindas tetap tertarik secara emosional kepada penguasa yang telah

menindas dan bertindak opresif.

Freud dalam teorinya tentang superego menerangkan bahwasannya agar

seseorang dapat berfungsi secara konstruktif dalam masyarakat, ia harus

mendapatkan value, norma, etika dan sikap-sikap yang sesuai dengan masyarakat.

Superego dalam masyarakat bisa jadi berbentuk rasionalisasi atau ideologi penguasa

yang ditanamkan dalam dunia kehidupan masyarakat. 5

Salah satu prinsip yang bekerja dalam hegemoni adalah kemampuan sebuah

kelas untuk menyuarakan kepentingan kelompok sosial lainnya atas nama dirinya

sendiri. Ada dua cara penyuaraan ini yang sangat berbeda: pertama, kepentingan-

kepentingan kelompok ini diserap untuk menetralisirnya agar tidak berkembang lebih

jauh. Cara artikulasi ini, misalnya diterapkan oleh Orde Baru, dengan 'menyerap'

berbagai kepentingan kelompok, seperti agama, suku atau ras untuk mencegahnya

5 Ibrahim Ali fauzi, Jurgen Habermas, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 56.

Superego dalam hal ini merupakan suatu versi norma yang dipahami sebagai standar perilaku masyarakat yang diinternalisasi ke dalam individu.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 68: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

menjadi kekuatan tandingan. Kedua, berbagai kepentingan itu dihisap sedemikian

rupa untuk dihembuskan kembali ke masyarakat dan mendorong berkembangnya

“konsensus” yang kemudian menggiring ke arah pemecahan berbagai kontradiksi

yang ada di antara kelas-kelas sosial yang ada.

Lembaga-lembaga pendidikan dan hukum sangat penting dalam menjalankan

hegemoni tersebut. Pendidikan dan pembuatan kebijakan adalah aktivitas-aktivitas

yang amat penting dalam pembentukan suatu masyarakat yang “tunduk” terhadap

negara maupun penguasa. Meskipun kebudayaan dalam arti tertentu dikonstruksi

berdasar hal keragaman arus maknanya, akan tetapi ada suatu unsur makna yang

dapat saja disebut induk atau dominan.

Proses penciptaan, pemeliharaan, dan reproduksi serangkaian makna dan

praktek otoritatif ini disebut Gramsci dengan hegemoni budaya. Hegemoni bukanlah

sesuatu yang diterima melainkan perlu dimenangkan terus-menerus. Pemenangan

hegemoni secara terus menerus menuntut sebuah kondisi di mana masyarakat yang

dikontrol secara tidak sadar namun dengan sadar menganggukan kepala atas konsepsi

yang disepakati.6

Rasionalitas yang bekerja pada taraf ini adalah rasionalitas dengan motif

mempertahankan kekuasaan yang secara objektif sudah ketinggalan zaman tetapi

disembunyikan dibalik dalih-dalih mengenai imperative teknis di mana sistem

dijalankan dalam struktur super-ego mengikuti karakter sosial yang berlaku. Situasi

ini sejalan dengan sistem ekonomi pada masyarakat kapitalis yang memaksakan diri 6 Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), hlm. 274.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 69: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

masuk ke dalam dunia kehidupan individu yang paling dalam dan pada

perkembangan kepribadian masyarakat. Segala hubungan sosial tercermin sebagai

hubungan-hubungan ekonomi yang lepas dari ruang lingkup pribadi di bawah

mekanisme teknis kapitalis.

Dalih-dalih tersebut hanya dimungkinkan oleh kenyataan bahwa rasionalitas

ilmu dan teknologi secara imanen sudah merupakan rasionalitas pengaturan, suatu

rasionalitas penguasaan. Inilah yang menjadi penjelasan Marcuse dalam

menerangkan kandungan politis “rasio teknis” sebagai titik tolak analisis teori tentang

masyarakat kapitalis.7 Menurutnya, rasio yang bekerja pada masyarakat kapitalis

adalah rasionalitas yang mengedepankan nilai-nilai keunggulan antara ilmu, teknik,

dan industri. Teknik yang bersifat sentralistik dan totaliter membentuk sistem yang

menekan bahkan membatasi kebebasan manusia.

Tetapi teori Marcuse ini dikritik oleh Habermas dengan memaparkan dua segi

konstitutif dalam proses interaksi sosial yaitu sistem sosial (negara dan ekonomi), dan

dunia kehidupan (lifeworld) yaitu wilayah terjadinya interaksi dan di sinilah

tersedianya ruang bagi pemahaman yang kritis. Dalam sistem yang mengatur

kehidupan sosial masyarakat, rasionalisasi bekerja berdasarkan rasionalitas bertujuan

(teleological rationality) dari subsistem yang disebut dengan “kerja”.

Rasionalitas ini berkembang dan diorganisasikan seiring kemajuan ilmu

pengetahuan dan kapitalisme dengan birokrasi yang menyusup keras ke wilayah

lifeworld. Rasionalitas bertujuan terealisasi dalam tindakan instrumental 7 Op cit, hlm. 83-84.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 70: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

(instrumental action) yang bersifat strategis dan berorientasi pada kesuksesan yang di

dalamnya terdapat upaya untuk mempengaruhi keputusan rasional pihak oposisi. Hal

ini disebut Habermas dengan tindakan bertujuan (teleological action) yang secara

prinsipil berbeda dengan tindakan komunikatif (communicative action) yang

memiliki basis rasional.

Instrumental action is oriented to success; strategic action is the

special case when the actor tries to influence the decisions of a rational opponent. In contrast, "a communicatively achieved agreement has a rational basis; it cannot be imposed by either party, whether instrumentally through intervention in the situation directly or strategically through influencing the decisions of opponents….what comes to pass manifestly through outside influence…cannot count subjectively as agreement. Agreement rests on common convictions"8

Tindakan komunikatif membawa manusia pada pemahaman terhadap dunia

kehidupannya. Konsep tindakan komunikatif ini sangat erat kaitannya dengan bahasa

yang merupakan media komunikasi. Habermas mencoba memahami masyarakat

dalam sudut pandang bahasa dan menjelaskannya melalui konsep diskursus. Bahasa

sebagai media diskursus dalam komunikasi adalah suatu konsep emansipasi.

Menurut Habermas, lifeworld harus dirasionalisasikan karena rasionalisasi

merupakan bagian dari evolusi sosial dan sangat diperlukan bagi emansipasi

masyarakat (rationalization is part of social evolution and necessary for an

emancipated society).9 Rasionalisasi adalah proses di mana klaim kebenaran (claim

8 Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and The

Rationalization of Society, (Boston: Beacon Press, 1984) hlm. 287. 9 Ibid, hlm. 74.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 71: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

of validity) tidak diterima berdasarkan keyakinan (faith) semata melainkan diangkat

ke ruang publik (public sphere) untuk dikritik dan didiskusikan secara terbuka oleh

masyarakat awam.

Namun yang terjadi dalam masyarakat kapitalis justru berbeda. Lifeworld

kehilangan power atas ekspansi rasionalitas sistem seperti ekonomi, hukum, dan

birokrasi negara yang sangat dominan. Uang dan kekuasaan mengambil posisi

sebagai media pengendali dunia kehidupan. Intervensi negara yang semakin menjadi-

jadi tidak sejalan dengan lifeworld dan secara terus-menerus mengatasi koordinasi

dalam masyarakat. Oleh karena itu kedudukan lifeworld berada di bawah (subordinat)

koloni “sistem” (colonization of lifeworld) di mana sistem mencengkram fungsi rasio

komunikatif terhadap proses reproduksi kultural, integrasi sosial, dan sosialisasi yang

bekerja dengan menyetir proses rasionalitas yang terjadi dalam kehidupan sosial,

sehingga claim of validity tidak dicapai melalui upaya diskusi publik melainkan

dikendalikan oleh penguasa.10

4.2 Propaganda

Sistem yang mendominasi dan menghegemoni lifeworld terus-menerus

mencari jalan dalam mengupayakan kesinambungan kekuasaannya dan

mempertahankan agar jalur-jalur komunikasi selalu terhambat, dan seandainya

komunikasi tetap terjadi namun komunikasi akan bersifat distortif (distorted

10 Jurgen Habermas, Theory of Communicative Action, Volume Two:Lifeworld and System, (Boston:

Beacon Press, 1984), hlm. 154.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 72: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

communication) melalui perangkat propaganda yang merupakan sebuah perangkat

vital dalam mengontrol rasionalitas yang bekerja pada masyarakat, khususnya

masyarakat awam.

Sebagai pemikir yang sangat kritis terhadap fenomena politik dan sosial di

dunia, Chomsky menjelaskan bahwasannya meskipun di Amerika kebebasan

berekspresi dijunjung tinggi sebagai komitmen terhadap demokrasi, tetapi kenyataan

memperlihatkan bahwa pemerintah Amerika menggunakan teknik lain untuk

mengatur atau justru merekayasa persetujuan yang akan muncul dalam masyarakat.

Hal ini disebut dengan manufacturing consent yaitu mekanisme kontrol dengan

menggunakan propaganda, public opinion, dan Newspeak yang bertujuan

menghalang-halangi kebebasan berpolitik, mengusung kekerasan dalam masyarakat

yang pada akhirnya menutup berbagai pemahaman atas peristiwa di dunia dan dalam

menentukan keputusan.

What is more, these actions of the national political police were only

one element of government programs extending over many administrations to deter independent political action, stir up violence in the ghettos, and undermine the popular movements that were beginning to engage sectors of the generally marginalized public in the arena of decision-making.11

Propaganda adalah penyebaran informasi mengenai fakta, argumentasi atau

pendapat, berbagai isu, dan kebohongan, untuk mempengaruhi public opinion.

Sejarah munculnya propaganda kontemporer dimulai dengan operasi propaganda

yang dilakukan oleh pemerintahan Wodrow Wilson pada dekade Perang Dunia I. Dia 11 Edwar S. Herman & Noam Chomsky, 1988, Op cit, hlm. 299.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 73: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

memiliki andil dalam perang tersebut dan membentuk komisi propaganda resmi

pemerintah (Creel Commission) yang kemudian sukses mengupayakan rakyat

Amerika yang pada waktu itu sangat anti perang menjadi massa yang histeris dan

haus perang, serta bernafsu menghancurkan segala hal yang berbau Jerman.12

Sebagai upaya yang sistematik, propaganda bertujuan untuk memanipulasi

belief, sikap atau aksi masyarakat melalui simbol (kata-kata, gerak atau isyarat,

spanduk, monumen, musik, pakaian, lencana, gaya rambut, disain pada berbagai

media lainnya, dan sebagainya seperti kutipan kalimat di bawah ini:

Propaganda is the more or less systematic effort to manipulate other

people's beliefs, attitudes, or actions by means of symbols (words, gestures, banners, monuments, music, clothing, insignia, hairstyles, designs on coins and postage stamps, and so forth).13

Melalui propaganda penguasa berhasil membuat representasi sebagai

kenyataan dengan merekayasa peristiwa sosial dan sejarah. Terorisme misalnya, kita

memahami istilah tersebut sebagai tindakan yang dilakukan oleh suatu kelompok

atau negara yang dianggap tidak menerapkan sistem demokrasi di negaranya atau

negara demokrasi yang pemimpinnya tidak menerapkan prinsip-prinsip demokrasi.

Afghanistan dan beberapa negara lainnya di Timur Tengah serta negara-

negara di Amerika Latin diberi label sebagai negara teroris (Terrorist States) oleh

Amerika Serikat dan sekutunya. Dalam melakukan teror, negara tersebut

12 Noam Chomsky, Kuasa Media, (Yogyakarta: Pinus, 2005), hlm 16. 13 http://www.britannica.com/eb/article-23825/propaganda. Diakses pada tanggal 3 Mei 2007 pukul

18.15 WIB.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 74: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

menggunakan aksi kekerasan seperti bom dan sebagainya yang mengacam

keamanan wilayah lain. Namun konsep ini sepertinya tidak berlaku ketika Amerika

yang melancarkan serangan dan intervensi ke negara lain karena ia bersembunyi di

balik dalih “perlindungan” dan “pertahanan” keamanan diri atau dunia dari musuh

mereka. Salah satu kesuksesan propaganda lain yang diraih oleh Amerika adalah

konsep demokrasi. Pemerintah Amerika memaksakan agar konsep demokrasi

merekalah yang paling benar untuk diterapkan di seluruh negara di dunia.

Perhaps the most spectacular propaganda achievement was the lauding of the president's "vision" to bring democracy to the Middle East in the midst of a display of hatred and contempt for democracy for which no precedent comes to mind.14

Pemerintah Amerika senantiasa mengkampanyekan demokrasi, HAM, anti-

tirani, dan “perang terhadap teror” (war on terror). Ironisnya, peran AS di Tepi Barat

justru menjustifikasi terorisme dan kejahatan kemanusiaan yang ternyata dilakukan

oleh pihaknya sendiri. Lihat saja ketika AS mensponsori negara zionis Israel untuk

melakukan pelanggaran HAM berat terhadap warga negara Palestina dan menentang

hukum internasional.

Seiring dengan persoalan tersebut, media massa sangat berperan dalam

kelancaran propaganda yang dijalankan oleh penguasa sehingga memunculkan

pertanyaan tentang faktor-faktor apa saja yang memungkinkan penampakan media

massa yang kurang memuaskan dan terkesan tidak objektif dalam penyampaian

14 Noam Chomsky, 2003, Dominance and its Dillemas, http://www.chomsky.info/ articles. Diakses

tanggal 3 Mei 2007 pukul 18.59 WIB.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 75: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

informasi. Bagi Stuart Hall, media massa cenderung mereproduksi interpretasi yang

menyokong kepentingan kelas yang berkuasa, mereka juga “wilayah pergumulan

ideologi” (a field of ideological struggle).15 Dan di lain pihak, Noam Chomsky

mengutip argumentasi dari Walter Lippmann mengenai hubungan media massa

dalam propaganda:

…the mass media do tend to reproduce interpretations which serve the interests of the ruling class, but they are also 'a field of ideological struggle'. The media signification system is seen as relatively autonomous.16

Namun begitu, media massa bukan satu-satunya alat bagi penguasa dalam

melakukan manufacturing consent. Tetapi, kontrol dan arahan dilakukan hampir di

setiap media komunikasi yaitu, penerbit buku, radio, televisi, teater dan juga

terhadap semua pelaku dengan legitimasi penguasa. Kontrol tersebut terlihat pada

pelaksanaan censhorship. Oleh karena itu, subordinasi media adalah salah satu

syarat bagi sistem propaganda yang dilakukan negara.

Propaganda yang diterapkan oleh rezim totalitarian dengan propaganda dalam

manufacturing consent tampak sedikit berbeda namun pada dasarnya tujuan yang

hendak dicapai tetap sama, yaitu untuk mengintegrasikan common sense dengan

konsepsi penguasa. Chomsky membandingkan propaganda yang bekerja dalam

manufacturing consent yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dengan

propaganda yang dilakukan oleh rezim totalitarian melalui ilustrasi berikut:

15 http://www.aber.ac.uk/media/Documents/marxism/ stuarthall. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul

17.08 WIB. 16 Edwar S. Herman & Noam Chomsky, 1988, op cit, hlm.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 76: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

….the U.S. media do not function in the manner of the propaganda system of a totalitarian state. Rather, they permit-indeed, encourage spirited debate, criticism, and dissent, as long as these remain faithfully within the system of presuppositions and principles that constitute an elite consensus, a system so powerful as to be internalized largely without awareness.17

Karena pikiran dibentuk pada individu berdasarkan kepentingan-kepentingan

tertentu dengan cara ‘manipulasi’ maka pemikiran tersebut disebut palsu. Dengan

adanya kontrol dalam wilayah media massa, tujuan yang hendak dicapai tentu saja

suatu kondisi di mana orang-orang awam dengan common sense-nya tidak bisa lagi

membedakan antara media massa sebagai instrumen informasi dan hiburan dengan

media massa sebagai agen manipulasi dan indoktrinasi.

Karena logika yang bermain dalam rasionalitas ini adalah logika dominasi

dengan perpaduan yang mengerikan antara kebebasan dan penindasan, produktivitas

dan penghancuran, pertumbuhan dan regresi. Dalam hal ini terdapat semacam

peningkaran dari penguasa terhadap nilai-nilai luhur manusia sebagai human being

dan oleh sebab itu sistem dan logika yang bermain seperti ini bisa dikatakan keliru.

4.3 Manipulasi Bahasa dan Pemaknaan yang Menghasilkan Misimpressions18

Anarkhisme dan ketangguhan Chomsky dalam mengkritik Amerika (sebagai

state power) dituangkannya dalam analisa kritis mengenai politik saat ini yang

17 Ibid, hlm. 302. 18 Istilah yang digunakan oleh Noam Chomsky dalam menerangkan fenomena hasil gelagat sistem

pemerintahan Amerika Serikat. Lihat Noam Chomsky, 2006, Failed States, New York: Owl Books, hlm 106. Dalam buku tersebut ia menerangkan strategi politik pemerintah Amerika dalam mendominasi “makna” untuk disebarkan ke seluruh wilayah internasional.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 77: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

bekerja dengan sistem manipulasi. Ia menganalisa kerja kontrol kuasa dalam tataran

gramatikal yang bekerja dalam politik kontemporer.

Menurut Chomsky, manusia adalah makhluk yang berbahasa (everyone

working on language).19 Bahasa adalah media istimewa di mana makna budaya

dibangun dan dikomunikasikan. Bahasa juga merupakan sarana dan media di mana

kita membangun pengetahuan tentang diri kita dan tentang dunia sosial.

Dalam realitas, ada kalanya bahasa bukan merupakan media netral bagi

pembentukan dan transfer nilai, makna dan pengetahuan yang ada di luar batas-

batasnya, namun bahasa adalah pembangunan nilai-nilai, makna dan pengetahuan

tersebut. Bahasa mengkonstruksi dan menstrukturkan makna yang dapat dan tidak

dapat digunakan pada situasi tertentu oleh penutur 20 seperti yang terjadi pada

Newspeak.

Dalam manufacturing consent bekerja bahasa yang dominatif. Bahasa

digunakan penguasa sebagai instrument untuk menghegemoni dan kemudian

memanipulasi pikiran masyarakat. Bahasa yang dimanipulasi inilah ciri rezim

totaliter yang mencoba menyetir semesta pembicaraan dan pemaknaan. Ia tidak

memberi celah bagi bahasa-bahasa lain karena dianggap sebagai ancaman, dan pada

saat bahasa tersebut digunakan dalam proses penyampaian informasi, maka informasi

yang disampaikan akan berupa informasi yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

19 Noam Chomsky dalam The Chomskyan Era, exerpted from the Architecture of Language, 2000. http://www.chomsky.info/ articles. Diakses tanggal 3 Mei 2007 pukul 18.59 WIB. 20 Chris Barker, 2004, Opcit . Yogyakarta: Kreasi Wacana, Op cit, hlm. 69.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 78: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Bahasa oleh karena itu hanya menjadi “kaki-tangan” dari sebuah sistem

kekuasaan yang hegemonik, sebuah media untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan

dari ideologi yang dominan. Bentuk dominasi melalui bahasa dan media komunikasi

ini digunakan sedemikian rupa sehingga dominasi tersebut “diakui secara salah”,

tetapi meskipun demikian 'diakui' (recognized) sebagai legitimasi.

Dalam kaitannya dengan sudut pandang Gramsci, pengertian hegemoni tidak

hanya menjelaskan relasi antar kelas-kelas politik (rulling class/ruled class), akan

tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas, seperti relasi gender, ras, agama bahkan

gaya hidup. Konsep hegemoni tidak hanya berkaitan dengan dominasi politik, berupa

kekuatan (force), tetapi juga dengan dominasi lewat budaya, termasuk dominasi

bahasa.21

Controlling system of thought are mediated through society by different

structures of hegemony, including the media, education and religion. For Gramsci, ideological hegemony means that the principal themes of domination (essensial to the continuing control of a rulling class) are redundant in the culture.22

Wilayah yang terakhir inilah yang menjadi ruang penyelidikan studi Noam

Chomsky. Di dalam sebuah sistem kekuasaan tidak hanya diperlukan “kekuatan”

(senjata, militer), tetapi diperlukan juga “penerimaan publik” (public consent) yang

diperoleh lewat mekanisme kepemimpinan kultural, termasuk kepemimpinan bahasa.

21 Lihat karya Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, (New

York: International Publishers, 1971). 22 William D. Perdeu, Op cit. hlm. 396.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 79: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Penerimaan publik biasanya diekspresikan melalui mekanisme opini publik

khususnya lewat media komunikasi (koran, televisi, dan sebagainya).

Bila istilah “hegemoni” digunakan dalam pengertiannya yang lebih luas, maka

bahasa dapat dikatakan sebagai bagian dari sebuah sistem “medan perang simbolik”.

Sebuah medan tempat perebutan dominasi bahasa di antara berbagai kepentingan,

lewat berbagai cara dan strategi. Kerap sekali yang digunakan di dalam perebutan

hegemoni adalah strategi kekerasan, khususnya “kekerasan simbol”.23 Kekuatan

bahasa dan simbol memiliki peranan yang sangat sentral bila dibandingkan dengan

kekuatan senjata. Tidak hanya sistem gagasan atau kepercayaan dominan itu sendiri

yang sangat menentukan, tetapi bagaimana keseluruhan proses sosial diatur oleh

makna-makna dan nilai-nilai yang dominan.

Bahasa sebagai sebuah ruang di mana simbol-simbol diproduksi dan

disebarluaskan bukan alat kekuasaan dominan yang diterima secara pasif. Sebaliknya,

bahasa secara total (bersama bahasa tandingan) membentuk sebuah 'ruang' tempat

berlangsungnya suatu “perang bahasa” atau “perang simbol” guna memperebutkan

“penerimaan publik” atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Maka,

23 Kekerasan seperti ini terjadi di sepanjang era Orde Baru di mana simbol dan makna dalam

kehidupan sosial masyarakat selalu dibayangi oleh kekerasan (violence) yang kokoh melalui berbagai perangkat seperti militer, ideologi dari agama tertentu, ketakutan akan “cap” komunis, dan sebagainya. Elemen-elemen ini memiliki respons yang sangat cepat terhadap setiap pergerakan yang muncul di kalangan masyarakat sipil. Oleh karena itu nilai-nilai lokal (local value) tidak mungkin maju (show up) ke wilayah publik. Akan tetapi kemenangan reformasi meruntuhkan kekerasan yang dijalankan rezim otoritarian tersebut. Persoalan selanjutnya adalah “apakah dengan berakhirnya kekerasan dari rezim Orde Baru maka kekerasan (violence) dengan demikian ikut berakhir?” Gejala yang muncul adalah local value yang akhirnya memperoleh kesempatan untuk diaktualisasikan di tataran publik ternyata juga memiliki hasrat untuk mencapai posisi dominan dalam social order sehingga war of maneuver-pun bergulir kembali.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 80: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

kekuatan bahasa dan simbol memiliki peranan yang sangat sentral bila dibandingkan

dengan kekuatan senjata. Hal yang sangat menentukan tidak hanya sistem gagasan

atau kepercayaan dominan itu sendiri, tetapi bagaimana keseluruhan proses sosial

diatur oleh makna dan nilai dominan.

Di samping itu, ada hal yang perlu diperhatikan yaitu bila dalam mekanisme

hegemoni aspirasi dari masyarakat sipil “diserap” dan diartikulasikan guna

memenangkan penerimaan publik, maka dalam mekanisme “kekerasan simbol” yang

terjadi adalah sebaliknya. Penerimaan publik tersebut didistorsi sedemikian rupa

sehingga publik menerima kriteria, konsep atau nilai-nilai kelas dominan untuk

menilai diri dan mendefenisikan pandangan hidup mereka.

Konsep kekerasan simbol menciptakan sebuah mekanisme sosial yang di

dalamnya relasi bahasa saling bertautan dengan relasi kekuasaan. Sistem kekuasaan

berupaya melanggengkan posisi dominannya dengan cara mendominasi atau

mendistorsi bahasa yang digunakan dalam komunikasi, tanda-tanda yang

dipertukarkan serta interpretasi terhadap tanda-tanda tersebut. Sehingga, yang

dikembangkan adalah prinsip mono-signification dan monosemy (pertandaan dan

pemaknaan serba tunggal).24

Rasionalitas manusia sekarang ini dikendalikan oleh “kekuatan raksasa”.

Pikiran manusia dikontrol melalui penggunaan kata-kata dan pemberian makna

tertentu. Ada suatu sistem yang mengontrol pikiran masyarakat yang disebut

24 Yasraf Amir Piliang, Bahasa,Politik, dan Nasionalisme, dalam Pikiran Rakyat Cyber Media,

Kamis, 05 September 2002. Diakses pada tanggal 3 Mei 2007 pukul 16.45 WIB.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 81: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Chomsky dengan “the American Ideological System”. Nama, istilah, dan makna

dalam memori dirancang dengan memproduksi kata dan ungkapan baru yang “indah”

dan disebutnya dengan Newspeak.

Newspeak seperti yang dikemukakan oleh Orwell pada dasarnya tidak

mengandung kekeliruan atau kesalahan gramatikal tetapi lebih tepatnya

mengekspresikan secara gamblang suatu “ketidakbenaran”. Tujuan dari Newspeak

tidak hanya sebagai media pengekspresian pandangan dunia dan mental, tetapi juga

untuk membuat seluruh cara berpikir yang lainnya menjadi tidak mungkin. Hal ini

berarti, ketika Newspeak telah diadopsi dan diterapkan maka kata-kata di luar konsep

Newspeak segera menjadi punah atau dengan kata lain pemikiran yang menyimpang

dari prinsip tersebut menjadi unthinkable, seperti terlihat dalam kutipan berikut:

The purpose of Newspeak was not only to provide a medium of

expression for the world-view and mental habits proper to the devotees of IngSoc, but to make all other modes of thought impossible. It was intended that when Newspeak had been adopted once and for all and Oldspeak forgotten, a heretical thought - that is, a thought diverging from the principles of IngSoc - should be literally unthinkable, at least so far as thought is dependent on words. Its vocabulary was so constructed as to give exact and often very subtle expression to every meaning that a Party member could properly wish to express, while excluding all other meaning and also the possibility of arriving at them by indirect methods. This was done partly by the invention of new words, but chiefly by eliminating undesirable words and stripping such words as remained of unorthodox meanings, and so far as possible of all secondary meaning whatever. 25

25 http://www.levity.com/corduroy/george-orwell/newspeak/. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul 16.16

WIB.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 82: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Kata-kata yang dikonstruksi dalam Newspeak bertujuan untuk memberikan

“keakuratan” yang tampil sangat halus (dan tajam) terhadap setiap pengekspresian

makna oleh seorang anggota partai. Sementara itu kemungkinkan munculnya semua

makna-makna lain (other meaning) secara tidak langsung akan dihalangi. Ini adalah

sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak, yang di baliknya

menyembunyikan pemaksaan dominasi. Anggota partai tidak akan bisa

mempertahankan cengkraman kekuasaannya tanpa “membinatang”-kan

masyarakatnya dengan melancarkan propaganda. Dengan Newspeak, pemerintah

melakukan “kontrol atas realitas”; suatu sistem manipulasi dan kontrol yang sangat

kompleks dengan pengubahan bahasa dan pikiran masyarakat sehari-hari.

Chomsky menerangkan perihal Newspeak dengan berbagai istilah dari

fenomena yang terjadi di dunia ini yang tidak lain merupakan hasil rekayasa Negara

SuperPower dengan tujuan agar terjadi kekeliruan dalam pemikiran masyarakat

(creating misimpression). Terrorist States, Rogue States, dan Failed Stated adalah

istilah Newspeak yang dirumuskan oleh pemerintah Amerika terhadap negara-negara

yang menjadi target politiknya.

Failed States khususnya, dikatakan sebagai negara yang “gagal” dalam

menerapkan sistem demokrasi dalam masyarakat, yaitu negara yang tidak mampu

atau tidak mau melindungi rakyatnya dari kekerasan bahkan kehancuran. Salah satu

contoh negara yang gagal versi Amerika adalah Negara Haiti. Pada tahun 1994,

Amerika melalui Presiden Clinton melakukan intervensi dalam “pemulihan

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 83: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

demokrasi” di negara tersebut yang terganggu karena adanya kudeta oleh pihak

militer, tetapi Chomsky menjelaskan pada dasarnya tindakan yang dilakukan oleh

Amerika tidak lain hanya “merongrong” demokrasi masyarakat Haiti, dan

membawanya pada situasi chaos dan represif. Namun kemudian setelah peristiwa

9/11, pengertian Failed States meluas cakupannya ke wilayah internasional, dan ini

terjadi pada pendudukan tentara Amerika di Irak. Makna “failed” yang semula adalah

negara yang “lemah” (weak) kini mencakup “power vacuums”.

..”Failed States” need not be weak, Iraq was not considered a failed

state that threaten US security because it was weak. One legal authority writes that “the aggressive, arbitrary, tyrannical or totalitarian State would equally be regarded as having “failed” – at least according to the norms and standard of modern – day international law”26

Berdasarkan kutipan di atas kita melihat pemerintah Amerika memberikan

karakter Failed States kepada negara yang tidak hanya “lemah” (weak) dalam

menerapkan demokrasi tetapi juga negara yang cenderung mengabaikan hukum

internasional hingga tidak ragu mempraktekkan kekerasan ke negara-negara lain dan

menjalankan kekuasaan secara agresif, lalim, tirani atau totalitarian. Irak dan

Afghanistan adalah negara yang menjadi target penyerangan Amerika Kedua negara

itu oleh Amerika dianggap menyimpan ancaman. Sebuah negara tempat

berpangkalnya teroris internasional dan pemilik nuklir yang bisa mengancam

keamanan siapa pun maka militer Amerika memiliki legitimasi secara internasional

26 Ibid, hlm 108.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 84: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

untuk menyerang dan melakukan pendudukan di negara tersebut (khususnya Irak)

selama masa power vacuums.

Dengan demikian, Newspeak adalah metode yang digunakan penguasa dalam

mengontrol pikiran melalui bahasa untuk tujuan mempropaganda believe masyarakat.

Misalnya, isu peledakan bom yang dilakukan oleh musuh, meskipun pada

kenyataannya pemboman tersebut dilakukan oleh anggota pemerintah sendiri tetapi

jasa Newspeak telah berhasil membuat masyarakat percaya terhadap pemberitaan

yang disebarkan atas manipulasi negara. Implikasi dari Newspeak adalah

Doublethink, yaitu perangkat lain bagi penguasa dalam mengalihkan pemahaman

masyarakat terhadap dunia serta menyembunyikan kejahatan pemerintah dari

masyarakat dan di dalam tubuh pemerintah itu sendiri, inilah yang diterapkan oleh

rezim totalitarianisme awal.27

Kata-kata berikutnya adalah "terorisme". Terorisme sepadan dengan

pemahaman fundamentalisme dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika

merespons modernitas. Fundamentalisme adalah reaksi terhadap kegagalan

sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan

(Lifeworld), sekularisasi telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisional

mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya, juga identitas,

membuat para individu di dalam masyarakat terasing dari komunitasnya.

27 http://www.levity.com/corduroy/george-orwell/doublethink/. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul

18.29 WIB.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 85: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Terorisme pada mulanya berarti tindakan kekerasan yang disertai dengan

sadisme sebagai reaksi dari kaum fundamentalis, dalam perspektif Amerika,

terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompok-

kelompok kecil. Pembunuhan tiga orang Israel di Larnaca adalah terorisme, tetapi

penyerbuan sasaran sipil di Tunisia, pembantaian Sabra dan Satila, dan penyiksaan

warga Palestina disebut "pembalasan" atau "tindakan mendahului" (preemptive)

sebagai pencegahan terhadap aksi teroris.

Belakangan muncul Newspeak baru yang lebih indah, yaitu "tatanan dunia

baru" (new world order). Dalam Kamus Adikuasa, rangkaian kata ini berarti sistem

ekonomi dan militer dunia yang sepenuhnya tunduk kepada hegemoni Amerika

Serikat. Ketika pesawat-pesawat tempur meluluh-lantakan kota Baghdad, menyerang

kawasan-kawasan sipil, membunuh lebih dari setengah juta rakyat sipil waktu itu, dan

jutaan orang lagi sesudahnya, Amerika sedang menegakkan tatanan dunia baru.

4.4 Penciptaan Manusia-manusia yang Seragam dalam Cara Berpikir dan

Bertindak

Hegemoni yang terjadi pada era posmodern bekerja dalam lingkup budaya

melalui kapitalisme yang telah mencengkram wilayah paling kecil kehidupan

masyarakat. Masyarakat di dunia ke-tiga umumnya tidak merasa bahwa dirinya

dieksploitasi oleh negara industri maju. Proses internalisasi nilai yang dilakukan

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 86: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

negara maju ke negara dunia ketiga melalui aparat kebudayaan seperti Film, TV,

Internet, Musik, dan lain sebagainya, telah bekerja dengan sempurna.

Seperti penjelasan Fredric Jameson, posmodernisme hanyalah bentuk baru

logika kapitalisme modern. Bentuk ini tidak hanya berurusan dengan persoalan

kapital semata melainkan pembentukan kesadaran masyarakat yang digiring pada

dominasi budaya kultural tertentu sehingga hasilnya kesadaran manusia sekarang

dipenuhi oleh citra semata.28 Dalam masyarakat industri maju, dimensi wacana

menjadi tertutup dan mencirikan karakter totaliter dari bahasa. Wacana secara

perlahan punah dengan semakin jayanya cara berpikir dan berperilaku satu dimensi

seperti yang diterangkan oleh Herbert Marcuse dalam tesisnya mengenai manusia

satu dimensi.

The products indoctrinate and manipulate; they promote a false

consciousness which is immune against its falsehood... Thus emerges a pattern of one-dimensional thought and behaviour.29

Pada masa kontemporer, orang cenderung untuk melukiskan realitas dengan

narasi yang berakar pada diri sendiri. Lebih lanjut, persoalan mengenai narasi

menjadi begitu penting untuk mengkostruksikan ilmu dan pengetahuan di mana

kehidupan berada pada situasi dunia yang global dan maya. Itulah sebabnya mengapa

peran bahasa dalam menundukan masyarakat sangat penting bagi penguasa saat ini.

Keterlibatan negara dalam kehidupan sosial masyarakat kini tidak lagi hanya

28 Chris Barker, op. cit, hlm. 162-163. 29 Herbert Marcuse dalam Marxist Media Theory. http://www.aber.ac.uk/media/Documents/marxism/

stuarthall. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul 17.08 WIB.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 87: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

bergerak pada ruang publik (public sphere), tetapi menjurus ke ruang privat.

Pemusnahan hebat lewat dominasi interpretasi terjadi hingga menumpulkan potensi

kritis masyarakat dalam ruang kesadaran yang direkayasa negara.

One-dimensional thought thus pervades, distorts, and shapes the

irrational culture. It is sitematically promoted by mass media, by politicians, by the makers and shapers of language and its symbols. The one-dimensional being, shorn of the ability to critically evaluate the conventional wisdom, internalizes a set of simple phrases and slogans by which the world is defined.30

Bahasa yang dimanipulasi adalah ciri rezim totaliter saat ini yang mengontrol

pembicaraan (speech) dan pemaknaan (interprete). Dampak dari hal tersebut adalah

magis dan hipnosis sekaligus, imaji yang memberikan gambaran kesatuan yang semu

dan kemudian mengarahkan manusia pada keseragaman dalam berpikir dan

bertindak. Rezim totaliter pada dasarnya memang lebih menyukai keseragaman dari

pada perbedaan serta totalitas dari pada partikularitas.

Totalitarianisme di satu sisi adalah gerak irasionalitas dari rasionalitas yang

teknologis dan logika dominasi dari rezim, di sisi lain merupakan himpunan dari

individu yang tercetak menjadi tidak kritis dan submisif dalam masyarakat yang

menggelorakan konformitas dan identifikasi diri dengan hal-hal yang dipahami

berdasarkan pemikiran palsu yang diciptakan oleh para penguasa. Kekuatan politik

dan ekonomi yang cukup luar biasa yang dimiliki Amerika sebagai salah satu

contohnya dapat dengan mudah menjelma menjadi rezim kesadaran yang mendoktrin

30 Herbert Marcuse dalam William D. Perdue, 1986, op.cit, hlm. 380.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 88: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

warga dunia untuk mengikuti kehendak-kehendak politiknya. Politik bahasa dan

kesadaran yang dilancarkan mengendap di seluruh pelosok dunia telah cukup menjadi

legitimasi moral bagi Amerika untuk menjustifikasi tindakan terorismenya.

Sosok seperti Hitler pun tahu persis bahwa repetisi (rekaya citra bangsa

Yahudi) bisa mencapai fungsinya yang paling ekstrem: kebohongan terbesar, ketika

diulang secara terus-menerus dengan ekspresi yang meyakinkan (indoktrinasi), akan

dilaksanakan dan diterima sebagai kebenaran sehingga berdampak destruktif: pesan

yang sama yang diulang dapat merongrong otonomi jiwa, kebebasan berpikir, dan

cenderung kondusif untuk melahirkan ketundukan (submisif).

4.5 Praktek Totalitarianisme di Indonesia

Menurut sejarah, Indonesia terjebak dalam sistem Orde Baru di era

pemerintahan Soeharto yang otoriter sekaligus totaliter, berdasarkan karakteristik

yang melekat dalam totalitarianisme seperti pemberlakuan satu ideologi dan partai

tunggal dalam kehidupan negara. Negara mengintervensi pembentukan opini publik

dengan dalih pemeliharaan stabilitas nasional dengan menciptakan lembaga-lembaga

yang memangkas partisipasi politik warga negara, mengawasi media massa dan pers

melalui sensor secara ketat demi keamanan nasional, menstigma para oposan (label

yang diwariskan terhadap seluruh anggota keluarga dan kerabat yang pernah terlibat

dalam partai komunis atau menjadi tahanan politik), dan merintangi pembentukan

kelompok-kelompok politis spontan.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 89: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Pemerintah saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa

negara sudah dilengkapi dengan DPR/MPR untuk menampung aspirasi publik,

sementara lembaga perwakilan ini berada di bawah dominasi eksekutif. Hal ini

tampak sebagai upaya pemerintah dalam menekan ruang publik dan membuat

warganya jatuh pada isolasi dan apatisme, masyarakat seperti inilah yang mudah

diayunkan kedalam proses pembentukan manusia yang seragam dalam cara berpikir.

Karena tidak ditopang oleh aktivitas komunikasi antar warga negaranya, maka

institusi seperti ini sebenarnya rapuh dan satu-satunya jalan keluar untuk

mempertahankan bentuk kekuasaan adalah dominasi dengan instrumen kekerasan.

Militer adalah fondasi dari kekuasaan yang berfungsi sebagai “pemaksa” bagi

terciptanya legitimasi untuk pemerintahan Orde Baru tersebut. Rezim ini tidak hanya

dibangun atas dasar pemaksaan dan kekerasan tetapi juga praktek brutal dan sadis

melalui pembunuhan dan penyiksaan terhadap sejumlah besar warga masyarakat. Hal

tersebut dapat kita lihat pada praktek dominasi Orde Baru pada kasus operasi militer

di Aceh dan Papua, dengan mengatasnamakan persatuan dan kesatuan bangsa (yang

juga dipromosikan oleh Hitler dan rezim Nazinya).

Pancasila lalu menjadi salah satu produk Newspeak yang dikukuhkan selama

berjayanya tampuk kekuasaan Orde Baru. Pancasila dijadikan sebagai ideologi yang

mengikat masyarakat yang beraneka ragam dan sebagai sebuah jembatan dalam

melintasi jarak antara berbagai suku, agama, etnis dan golongan. Sehingga makna

Pancasila digunakan sebagai legitimasi kekuasaan pemerintah. Namun, di balik

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 90: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

semua makna yang terkandung di dalamnya, penguasa dengan semena-mena

menyelewengkan nilai-nilai Pancasila untuk kepentingan politik mereka. Pancasila

menjadi doktrin yang totaliter yang membatasi kebebasan berpikir masyarakat

Indonesia.

Permasalahan semakin rumit dengan praktek indoktrinasi seperti penataran P4

yang merupakan tafsir Pancasila dalam kehidupan bernegara, telah diterapkan kapada

seluruh warga negara mulai dari pendidikan sekolah dasar hingga mahasiswa di

perguruan tinggi serta para pegawai. Namun pada saat yang bersamaan, pendidikan

yang terkandung dari P4 tersebut dengan mudah dilanggar oleh para elit pemerintah

karena P4 tiada lain hanya penafsiran tunggal yang dibalut totalitarianisme.

Fenomena lain yang mencerminkan adanya praktek totaliter di Indonesia pada

masa pemerintahan Orde Baru adalah munculnya berbagai macam “istilah” yang

sebenarnya adalah garis batas bagi masyarakat dalam bertindak. Paham nasionalisme

yang selalu ditanamkan pemerintah merupakan “ancaman” terhadap mereka yang

beraksi diluar kebijakan negara. Sehingga terdapat semacam ketakutan dan

kecemasan masyarakat dituduh komunis atau kader Gerakan Pengacau Keamanan

Nasional yang sewaktu-waktu bisa saja dilabelkan kepada mereka.

Partai Golkar yang berdiri kokoh selama tiga puluh dua tahun di atas

kehidupan publik mencerminkan karakteristik lainnya dari tindakan totaliter rezim

Orde Baru, yaitu sebagai partai tunggal yang disimbolkan atau disubordinasikan oleh

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 91: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

satu sosok pemimpin; Soeharto. Partai ini terorganisasi secara hirarkis dan

kekuasaannya melampaui atau memiliki keterkaitan yang erat dengan birokrat negara.

Selanjutnya, pada masa tersebut juga terjadi monopoli yang mendekati total-

komplet atas sarana-sarana komunikasi massa. Kalangan pers atau jurnalistik ditekan

sedemikian kuatnya hingga mereka pun tidak berdaya untuk menampilkan informasi

secara objektif karena telah melalui tahap editing (censorship) terlebih dahulu

sebelum disampaikan kepada publik.

Sedemikian besarnya pengaruh dari kontrol dan dominasi total penguasa

(negara) terhadap kehidupan publik pada akhirnya membentuk suatu struktur

masyarakat yang bercorak homogeni; tidak ada pengakuan terhadap keberagaman

masyarakat.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 92: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Rangkaian tragedi kemanusiaan yang mewarnai sejarah panjang kehidupan

terutama pada abad 20 dan abad 21 seperti dua Perang Dunia, Nazisme, Stalinisme,

Rasisme, dan Terorisme mendesak kita untuk mengasah ulang makna konsep-konsep

yang lahir dari zaman Pencerahan. Elemen traumatis berupa kekerasan yang

ditinggalkan oleh semua tragedi kemanusiaan belakangan terutama peristiwa teror

adalah akibat negatif atau berkeliarannya krisis modernitas yang tidak lagi kondusif

terhadap fenomena kehidupan masyarakat dunia.

Dalam bab-bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan bagaimana gerakan

totalitarianisme muncul dan berkembang pada masa Perang Dunia II dan ternyata

masih saja berlanjut hingga sekarang dimana masyarakatnya adalah manusia-manusia

yang memiliki akses sangat besar dalam mengkonsumsi komunikasi dan informasi.

Kekerasan adalah alat bagi penguasa untuk melakukan kontrol. Di salah satu

pihak mungkin dapat dikatakan bahwa kekerasan yang terjadi dalam sejarah panjang

kehidupan manusia terutama pada abad dua puluh adalah karena kegagalan

masyarakat modern mengangkat civilized norms, seperti totalitarianisme yang terjadi

di Jerman pada dekade tiga puluhan oleh Hitler dan rezim Nazi-nya atau Stalin

dengan rezim Bolshevik-nya di Rusia. Kekerasan (violence) merupakan “modus

1

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 93: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

penguasaan”. Banyak tindakan yang dilakukan oleh penguasa yang mencerminkan

kekerasan. Namun, pada skripsi ini penulis mengarahkan makna violence sebagai

bagian dari kehidupan modern dan kontemporer dalam pengertian berbagai kekerasan

yang dengan mudah dapat ditelusuri pada bagian terdalam kehidupan sehari-hari

masyarakat.

Bagi Arendt, totalitarianisme tidak hanya merupakan fenomena politik baru di

zaman modern dengan gerakan dari rezim totaliter yang diktator dan despotis, tetapi

juga sebagai bencana besar bagi kehidupan Barat sehingga analisa mengenai

totalitarianisme tidak hanya suatu ketertarikan historis namun juga terikat pada proses

self understanding dan juga pemahaman terhadap makna kehidupan masyarakat

modern.

Arendt adalah satu di antara mereka yang mengatakan bahwa totalitaianisme

secara radikal merupakan fenomena baru dan belum pernah terjadi sebelumnya.

Totalitarianisme di zaman Arendt menggambarkan kejatuhan sistem ekonomi, politik

dan moral selama dan sesudah Perang Dunia I. Maka, tentu saja akan terjadi

kekeliruan apabila kita menggunakan perspektif ini dalam mencari akar

totalitarianisme dari masa klasik, karena menurutnya totalitarianisme adalah sesuatu

yang unik, bukan bentuk ekstrim dari sistem yang pernah ada sebelumnya, dan oleh

karena totalitarianisme memperlihatkan sesuatu yang baru (novelty) dari tipe rezim

dan krisis yang terjadi pada masa kejayaan rezim tersebut.

2

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 94: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Totalitarianisme tidak dapat dipisahkan dari persoalan ideologi, karena pada

dasarnya ideologi berisi semua unsur totaliter. Karena ideologi tidak membutuhkan

kemampuan untuk berpikir dan menilai, karena itu ideologi memerlukan metode

seperti propaganda dan teror. Ideologi mampu memasukkan pemahaman pada setiap

orang kemudian menjadi kepercayaan yang tertanam tanpa disadari. Kepercayaan

yang dipoles sedemikian rupa sehingga atau bukan kepercayaan yang alamiah.

Ideologi adalah citra ideal yang dikemas seperti fakta oleh penguasa dan dipahami

masyarakat sebagai realitas konkrit. Oleh sebab itu ideologi sama halnya seperti ilusi.

Inilah yang kemudian oleh Arendt disebut tirani logika. Tirani logika diawali

dengan tunduknya pikiran pada logika penguasa sebagai proses yang berlangsung

terus-menerus, dilumpuhkannya manusia untuk melahirkan gagasan-gagasan dan

kemudian menciptakan masyarakat massa. Individu di dalamnya adalah seseorang

yang tidak mampu lagi berpikir kritis, tidak bisa mengambil jarak terhadap keyakinan

dirinya dan ilusi-ilusinya. Rezim totaliter mengumpulkan massa yang ‘buta’ dalam

bidang politik kemudian memupuk mereka dengan dalil-dalil ideologi sang pemimpin

sehingga individu massa yang tergabung dalam kerumunan tersebut layaknya seperti

boneka yang siap memberikan loyalitasnya terhadap penguasa dalam bentuk tindakan

apa pun termasuk memutus nafas para korban.

Bila pada abad 20 situasi perpolitikan dunia diselimuti dengan bentuk politik

yang keras dilakukan oleh penguasa negara, kini walaupun masa kekejaman tersebut

telah berlalu secara historis tetapi karakteristik yang bercirikan totaliter tersebut

3

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 95: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

masih berdiri di atas tampuk pemikiran masyarakat kontemporer. Salah satunya

terlihat pada logika dan dominasi pemikiran dari suatu kelompok terhadap kelompok

lain. Oleh sebab kondisi historis manusia yang telah berubah maka upaya penaklukan

masyarakat agar bisa dikendalikan dalam genggaman penguasa dilakukan dengan

cara yang lebih ‘lunak’ yaitu lewat pengendalian cara berpikir massa.

Totalitarianisme dijalankan melalui hegemoni pemikiran dengan bahasa sebagai

media propaganda.

Kecemasan masyarakat Dunia Ketiga sekarang tentu amat beralasan. Terlebih

bila memperhatikan efek globalisasi yang berhasil memunculkan rezim internasional

yang memiliki tafsir kebenaran tunggal dan memiliki sudut pandang hukumnya

sendiri. Apalagi saat ini negara-negara maju di Amerika dan Eropa sedang gencar

memberikan bantuan pinjaman dengan sejumlah persyaratan yang umumnya

mengarah pada kebijakan negara Superpower, di mana praktik-praktik perdagangan

bebas mendapatkan justifikasi lembaga-lembaga keuangan internasional.

Bila kita merujuk kepada pemikiran Antonio Gramsci, maka hegemoni dapat

diciptakan melalui interaksi antara ideologi, kapabilitas material, serta institusi. Salah

satu contohnya adalah asumsi sederhana bahwa Amerika mempunyai institusi seperti

WTO atau IMF; mempunyai ideologi yang terus disanjungnya yakni demokrasi dan

kapitalisme; serta memiliki kekuatan ekonomi dan militer sebagai penyokong

kapabilitas materialnya. Bahkan Amerika dengan senang hati memberikan bantuan

4

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 96: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

militer kepada suatu negara (yang merupakan klien politiknya) untuk menyiksa dan

melakukan kekerasan terhadap rakyatnya.

Penciptaan Newspeak dan kampanye propaganda sebagai prioritas dalam

mengupayakan dan memperoleh simpati masyarakat serta menggiring pemikiran

mereka ke dalam pola berpikir yang bercorak homogeni implikasi dari Newspeak dan

propaganda adalah Doublethink yang mengakibatkan kontradiksi belief sekaligus

penerimaan dalam pikiran seseorang. Propaganda totaliter bertujuan membangun

suatu dunia yang dapat menandingi dunia nyata, yang kendala utamanya adalah

bahwa dunia khayalan ini tidak logis, tapi konsisten dan terorganisasikan.

Manipulasi atau kebohongan sistematis terhadap seluruh dunia hanya dapat

dilakukan di bawah kekuasaan totaliter, dimana sifat khayalan kehidupan sehari-hari

dan peran propaganda tetap terus diperlukan untuk mengilhami massa. Dalam hal ini,

kekerasan dari manipulasi bahasa sehingga menghasilkan kekeliruan pemaknaan

sangat berperan bagi keberlangsungan tindakan-tindakan yang totaliter. Selanjutnya,

karena kompetensi bahasa dimiliki oleh setiap orang, maka kemungkinan terjadinya

aksi totaliter kapan, di mana, dan oleh pihak-pihak manapun dapat terjadi.

Di dalam karya-karya Noam Chomsky, kita bisa tersentak membaca praktik-

praktik media besar dunia yang hanya berfungsi sebagai propaganda dari kepentingan

kelompok tertentu saja. Opini lain yang bertentangan dengan interes-interes itu tidak

akan banyak mendapatkan pemberitaan. Ini yang tidak banyak diketahui, terutama

bagi mereka yang hanya membaca secara ‘dangkal’ adanya kebebasan berpendapat

5

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 97: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

yang ia baca di kalangan pers. Ketegasan sikapnya terhadap pemerintah AS hingga

detail yang sangat perinci dan dengan keyakinan yang tak kunjung padam, dia

seringkali mengulang argumennya bahwa kita tidak dapat menyebut terorisme yang

dilakukan pihak yang lemah terhadap pihak yang kuat tanpa melakukan konfrontasi

juga atas “terorisme yang tak dapat disebutkan namun jauh lebih ekstrem dari pihak

yang kuat terhadap pihak yang lemah”.

Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat dan

sekutunya perihal invasi Irak dan berbagai negara lemah lainnya menimbulkan reaksi

dan diskursus dari kalangan masyarakat terutama warga Amerika sendiri yang

statusnya adalah sebagai intelektual organik, seperti Noam Chomsky dan banyak

tokoh lainnya yang dengan keras mengecam kebijakan-kebijakan tersebut dengan

suatu keinginan agar masyarakat dunia benar-benar dapat hidup dalam situasi di

mana esensi demokrasi yang sebenarnya benar-benar dicapai.

Sebagai bentuk tanggung jawab moralnya sebagai intelektual dalam karya-

karyanya Chomsky hanya ingin mengatakan tentang kebenaran (bukan berpendapat

tentang kebenaran atau berteori tentangnya) dan membongkar kebohongan-

kebohongan, baik itu yang berkaitan dengan demokrasi, human rights, kapitalisme,

media, kekuasaan, dan sebagainya terutama yang berkaitan dengan pemerintah

Amerika dan counterpartnya yaitu korporat-korporat besar yang mengatur dunia.

Tesis Chomsky yang didukung studi kasus historis, dokumen, dan analisis

yang luas, termasuk salah satu daftar hitam dalam deretan musuh intelektual Amerika

6

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 98: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

namun pada kenyataannya digunakan oleh kalangan intelektual yang luas di AS dan

luar negeri yang akan berpaling kepada Chomsky untuk mendengar suara dari akal

sehat dan nurani yang telah disampaikannya selama puluhan tahun yang merindukan

dan memperjuangkan demokrasi tanpa unsur-unsur totaliter.

Di mana kondisi keseragaman dan penyeragaman menjadi nyata dan pluralitas

ditolak demi berdiri tegaknya suatu tatanan tunggal yang mencakup segalanya

(totalitas) di situlah benih-benih totalitarianisme berkecambah yang siap tumbuh dan

berkembang. Totalitariasnisme mengandung makna sebagai tindakan against

humanity karena pada dasarnya tindakan tersebut melakukan dominasi terhadap

masyarakat dengan menekan dan menghalangi manusia untuk eksis di dunia

berdasarkan statusnya sebagai human being. Kekerasan yang diakibatkan oleh

gerakan totaliter mematikan unsur-unsur manusia yang paling esensial sifatnya.

Selama berabad-abad, pelecehan terhadap martabat manusia sangat lazim

terjadi. Dengan meningkatkan kesadaran kolektif, penguasa totaliter melakukannya

dengan cara lain, tidak lagi di bawah kubah tempat pemusnahan, melainkan di bawah

media disuasi; media massa dan komunikasi lainnya. Di masa kontemporer ini teror

tidak lagi digunakan sebagai sarana untuk memusnahkan dan menakut-nakuti lawan,

melainkan sebagai sarana untuk mengendalikan massa rakyat yang sungguh-sungguh

patuh. Teror, bagaimanapun menjadi bentuk pemerintahan hanya pada

perkembangannya yang terakhir.

7

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 99: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Dengan menggunakan teori emansipasi Habermas, kita dapat memahami

bahwasannya patologi dan krisis yang mengendap dalam masyarakat modern berupa

distorsi komunikasi dalam masyarakat global menjadi aspek-aspek berbahaya yang

dikandung globalisasi seperti terorisme bahkan bayang-bayang gerakan

totalitarianisme. Rasio dari “sistem” tersebut mendistorsi rasionalitas masyarakat

yang membentuk konsensus berdasarkan logika yang dikendalikan oleh penguasa.

Proses manufacturing consent terjadi pada saat tidak terpenuhinya klaim kebenaran

(claim of validity) yang seharusnya dicapai melalui konsensus (diskursus publik)

melainkan telah dikendalikan oleh penguasa.

Melalui dominasi terhadap media massa, tujuan-tujuan ideal jurnalisme yang

universal seperti mengembangkan cara berpikir rasional, mendorong egalitarianisme,

menghargai pluralitas masyarakat, dan menghormati hak asasi manusia, punah dalam

sekejap.

5.2 Kontribusi Teoritis

Motif dan tujuan yang hendak dicapai oleh penguasa yang berkarakter

totaliter adalah penguasaan dan dominasi terhadap dunia. Dari dua sudut pandang

pemahaman Arendt dan Chomsky tersebut, terlihat bahwa tujuan dari rezim totaliter

selalu sama, yaitu membatasi individu, menjinakkannya, mensubordinasikannya, dan

menaklukannya ke dalam rasionalitas penguasa.

8

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 100: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Tugas utama para intelektual adalah menembus secara kritis suatu realitas

sosial untuk menemukan esensi realitas tersebut. Esensi realitas sosial adalah sesuatu

yang tersembunyi di balik permukaan, dari sesuatu yang tampak atau dari fakta-fakta

yang diperkirakan, esensi itulah yang membuat fakta-fakta sebagai sesungguhnya.1

Bagi mereka yang berjuang mengupayakan kebebasan, tiada hal yang lebih penting

dibandingkan pemahaman mengenai mekanisme dan praktek indoktrinasi. Hal ini

sangat mudah dipahami dalam masyarakat totalitarian yang di dalamnya terjadi

sistem ”brainwashing under freedom” terhadap apa yang dipermasalahkan, suatu

kondisi ini mempengaruhi kesadaran.

Dalam pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat

dinetralkan jika toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang

partisipatoris. Toleransi mengandaikan sikap warga negara terhadap yang lainnya

berdasarkan hak dan kewajiban yang sama sehingga tidak ada ruang bagi otoritas

tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat

ditoleransi dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung

jawab niscaya diletakkan dalam konteks yang sama. Penekankan terhadap pentingnya

toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat demokratis atau global, harus

dipandang secara positif baik etis maupun politis. Toleransi dipandang secara etis

karena mengandaikan kebenaran dari yang lain. Ia dipandang secara politis karena

mampu membentuk konsensus rasional dengan demokrasi konstitusional sebagai

sistem yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi. 1 Ibrahim Ali Fauzi. 2003. Jurgen Habermas. Hlm. 44.

9

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 101: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Pentingnya penerapan rasionalitas komunikatif sebagai jalan keluar dari

kekerasan ideologis saat ini dalam mengatasi distorsi-distorsi komunikasi ialah agar

masyarakat dengan sesegera mungkin membangun diskursus etika yang merupakan

prosedur argumentasi moral atau suatu justifikasi normatif untuk mencapai

kesesuaian kepentingan antar-anggota masyarakat (generalizable interest). Dalam

prakteknya, ide ini memunculkan pemikiran tentang situasi perbincangan ideal (ideal

speech situation).2

Interpretasi anarkis Chomsky terhadap tanggung jawab (responsibility)

menunjukan bahwa merupakan tanggung jawab para intelektual untuk berbicara

tentang kebenaran (truth) dan mempermasalahkan ketidakbenaran. Seseorang tidak

dapat memahami dan dengan mudah menyimpulkan bahwa kebenaran adalah sesuatu

yang diapit oleh sekumpulan konsep atau tanki berpikir (think tanks). Anarkismenya

ini menunjukan bahwa korelasi antara power dan sosial status adalah sebagai sebuah

bentuk dominasi yang merupakan faktor eksternal penentu suatu kebenaran.

Segala bentuk dominasi, penggunaan kekerasan, paksaan dan monopoli harus

disingkirkan dari arena politis, karena hanya dengan itulah tatanan ruang publik yang

sehat dapat tercipta. Di samping itu, aktivitas politik juga merupakan aktivitas

tindakan komunikatif antara individu-individu yang saling mengungkapkan

kediriannya. Melalui proses pengungkapan kedirian itu, individu-individu dalam

masyarakat yang majemuk akan semakin menegaskan identitasnya, dan memperoleh

2 Ibid, hlm. 124.

10

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 102: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

hidup yang bermakna. Dengan aktivitas politis, orang membangun jaringan relasi satu

sama lain, dan jaringan relasi itu, akhirnya, memungkinkan lahirnya solidaritas.

Pada akhinya, penulis menarik kesimpulan bahwasannya pemerintahan yang

kebijakannya bergerak secara totaliter seperti yang telah banyak terjadi disepanjang

kehidupan manusia modern memperlihatkan ketimpangan antara value dengan

peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya totaliter kearah penaklukan

global merupakan jalan keluar destruktif dari semua kendala. Kemenangannya

sekaligus kehancuran bagi kemanusiaan (humanity), karena di manapun

totalitarianisme berjaya ia mulai meremukkan hakikat manusia.

Ada pun yang menjadi persoalan penting di sini adalah bagaimana bahasa,

makna, dan nilai-nilai dominan tersebut selalu dipertanyakan, digugat, ditantang,

dilawan lewat berbagai bentuk perjuangan intelektual. Dewasa ini sejarah kekejaman

totalitarianisme telah menimbulkan berbagai pemahaman kritis yang baru dari

masyarakat dan kalangan intelektual dunia. Oleh sebab tidak hanya merupakan

penguasaan atas negara-bangsa, namun telah masuk ke level individu maka, upaya

menghalangi pertumbuhan benih-benih totalitarianisme atau hegemoni yang bersifat

totaliter di muka bumi ini dapat dilakukan dengan memberdayakan akal warga

negara, melatih diri menjadi masyarakat yang kritis dan pembiasaan cara berpikir

yang dialektis.

11

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 103: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

5.3 Relevansi Praktis

Noam Chomsky melihat skema totalitarianisme melalui cara yang berbeda

dengan Hannah Arendt, dan seandainya filsuf yang banyak belajar dari Heidegger

dan karl Jasper itu masih dapat hidup hingga masa kontemporer ini maka ia akan

bersepakat bahwasannya tidak hanya Nazi dan Bolshevik yang merupakan rezim

totaliter tetapi masih banyak negara-negara di dunia yang pada dasarnya juga

melakukan tindakan crime against humanity tersebut.

Begitulah mungkin sebagian besar kebijakan pemerintah Amerika Serikat

sebagai (state power) yang terbukti dengan perlakuan sadistis-nya terhadap Irak dan

kepada negara-negara di dunia dengan dalih demokratisasi, yang dilakukan terutama

oleh pemerintahan George W Bush sekarang. Setelah Perang Dunia II Amerika

memakai teori negara gagal (Failed States) untuk menyerang negara lain. Disamping

itu juga menciptakan “musuh-musuh fiktif” untuk menunjang suksesi kampanye

propaganda negara tersebut.

Kebijakan-kebijakan politik dalam dan luar negeri Amerika menggambarkan

bahasa, simbol dan media pada kenyatannya tidak hanya digunakan sebagai alat

komunikasi, tetapi sekaligus sebagai alat kekuasaan, khususnya “dominasi kekuasaan

melalui kekerasan pemikiran”. Merupakan asumsi yang wajar apabila kita menyebut

AS melalui pemerintah George W Bush sebagai “penguasa totaliter bentuk baru” dan

demokrasi liberal serta kapitalisme menjadi ideologi totaliter tersebut, sebab hanya

dengan mengatas-namakan demokrasi, tentara Amerika Serikat mampu melakukan

12

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 104: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

pembantaian dan kekerasan di Irak dan negara-negara seperti Nikaragua, Haiti, dan

sebagainya.

Bangsa Indonesia sebenarnya sudah cukup lama mengalami totalitarianisme

dengan kualitas yang sedikit berbeda tetapi rezim Orde Baru menjadi pengalaman

empiris rakyat Indonesia yang menunjukkan betapa hegemoni kesadaran melalui

penciptaan dan penerapan “istilah-istilah baru” (Newspeak) telah mampu

mengendalikan nalar politik masayarakat. Masyarakat dikenalkan dengan istilah-

istilah “Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)”, “Kelompok Kiri (Komunis)”, “Anti-

Pancasila”, dan sebagainya yang pada dasarnya merupakan istilah-istilah yang

digunakan untuk mendefinisikan gerakan-gerakan oposisi yang menentang dan

bereaksi terhadap tindakan totalitarian rezim tersebut.

Konsep Pancasila misalnya, apakah masih bisa dijadikan sebagai ideologi

bangsa Indonesia ataukah hanya sekedar mitos hasil konstruksi penguasa yang

mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi radikal sebagai jalan

menuju dinamisasi pemikiran akan menghasilkan perbedaan tafsir dan justru ini

sangat bermanfaat sebagai bentuk dinamisasi pemikiran.

Akhirnya Pancasila dapat menjadi sebagai ideologi yang terbuka bukan

sesuatu yang tertutup dan bebas tafsir bagi masyarakat Indonesia kemudian

merupakan ideologi yang terbuka yang memungkinkan bisa masuknya berbagai

pengaruh. Dengan kata lain, perkembangan nilai itu sejalan dengan perkembangan

13

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 105: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

masyarakat. Karenanya Pancasila mesti terbuka dan membuka tutup yang

menghalanginya bersentuhan dengan nilai-nilai plural dari luar.

Orde Baru yang menyandarkan legitimasinya pada dominasi dan kekerasan,

akhirnya runtuh melalui proses komunikasi yang emansipatif antara masyarakat

dalam pembentukan kembali ruang publik Indonesia yang komunikatif pada 21 Mei

1998. Tetapi distorsi komunikasi yang bekerja selama era pemerintahan Soeharto

meninggalkan persoalan yang tetap membelenggu banyak orang. Salah satu

contohnya adalah pertikaian antar etnis dan kelompok seperti pertikaian yang terjadi

di Poso dan daerah lainnya yang sebenarnya disebabkan oleh kesalahpahaman

persepsi terhadap identitas, dan akibat prasangka serta stigmatisasi.

Konflik-konflik horizontal tersebut timbul karena terputusnya komunikasi

yang inklusif, egaliter, dan bebas dominasi yang intensif antar warganegara yang

memiliki identitas yang beragam. Setiap orang dan setiap kelompok terkurung dalam

problematika pribadi maupun kelompoknya semata. Mereka memandang “yang lain”

(the other) sebagai musuh dan ancaman, dan bukan sebagai partner komunikasi untuk

bersama-sama merealisasikan kebebasan dan kesetaraan.

Beranjak dari pemikiran Arendt dan anarkhisme Chomsky serta beberapa

konsep yang lainnya yang mendukung analisa mengenai wajah baru totalitarianisme

ini, sebenarnya penulis hendak mengatakan bahwa upaya untuk menata Indonesia

dari kemelut panjang, salah satunya yang terpenting adalah dengan menata kembali

14

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 106: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

sistem sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang telah dirusak Orde Baru selama

puluhan tahun yang lalu.

5.4 Analisa Prospektif

Realitas selalu memiliki kejutan-kejutan yang tak terduga dan totalitarianisme

adalah salah satu dari sekian banyak kejutan tidak terduga itu. Ia merupakan sebuah

sistem yang membangun struktur bersifat resiprokal dan keseragaman makna

dibawah kode-kode tindakan yang konsisten dan terorganisir dan pada akhirnya

mengarah kepada kekerasan psikologis. Ciri ini terdapat dalam berbagai aspek dan

bentuknya. Terpisah dari ideologi baik agama dan lainnya, segala permasalahan yang

menjurus pada pemaksaan satu gagasan, identitas, dan esensi, maka hal itu disebut

dengan totalitarianisme.

Kekerasan merupakan ujung tombak dari gerakan totalitarianisme yang

menjadi nilai riil dan dominan serta dengan perkembangan waktu akan menjadi suatu

sistem yang terintegrasi dan membudaya dalam masyarakat. Nilai ini secara praktis

akan membentuk dan mengkonstruksi semua institusi negara dan masyarakat, karena

hal inilah yang menjadi basis dalam mengatur eksistensi kekuasaan serta menjadi

sumber legitimasi tertinggi.

Tindakan totaliter tidak hanya terjadi di tataran kekuasaan negara tetapi

sewaktu-waktu juga dapat terjadi di wilayah yang paling kecil dalam masyarakat.

Kekuatan terbesar yang dapat memenangkan tindakan-tindakan yang bertendensi

15

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 107: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

totaliter adalah sifat demagogi penguasa dalam memanipulasi jalan pikiran atau

rasionalitas masyarakat.

Angan-angan terbesar dari totalitarianisme adalah menjadikan “dirinya”

sebagai satu-satunya sistem yang menjalankan mekanisme penguasaan terhadap

masyarakat. Dengan demikian digunakanlah kediktatoran dan teror terhadap berbagai

aspek kehidupan masyarakat. Tetapi, karakter diktator dan teror saja tidak cukup bagi

fondasi rezim totaliter karena di samping hal tersebut tentu saja hal yang paling

penting adalah bagaimana menjauhkan nilai kebebasan (freedom) dan kesadaran

pentingnya rasionalitas dari setiap individu.

Walaupun penguasa totaliter telah memperoleh tujuannya, namun ia selalu

berupaya mencari jalan dan membangun kekuatan-kekuatan baru untuk menghalangi

munculnya resistensi, yaitu dengan terus-menerus menekan pikiran masyarakat. Oleh

sebab itu, jalan pikiran yang “terkontrol” merupakan ancaman paling berbahaya bagi

manusia pada saat ini dan masa yang akan datang.

Untuk menghalangi laju gerakan neo-totalitarianisme khususnya di negara-

negara yang masih lemah dalam menjamin keamanan dan kebebasan berpendapat

bagi individu, maka satu-satunya cara yang efektif adalah dengan membangun suatu

mekanisme penyaluran ide-ide dan gagasan rasional masyarakat; dengan

membudayakan penghargaan terhadap pluralitas dan rasionalitas. Masing-masing

budaya harus hidup dengan keunikannya, namun tetap bersandar pada prinsip yang

16

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 108: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

sama, itulah kemanusiaan (humanity). Dengan mengedepankan rasionalitas, maka

masyarakat akan memahami bahwa kemanusiaan itu tidak tunggal, melainkan plural.

Oleh karena rasionalitas atau akal sehat manusia yang labil akan senantiasa

terkungkung dan tidak dapat terbebas dari jeratan totalitarianisme, maka masyarakat

seharusnya mulai memberanikan diri untuk “berperang” argumen atau pendapat

dengan berpegang pada prinsip-prinsip rasionalitas dan menghindari perang fisik

seperti yang sering terjadi di negara kita. Budaya “liar” berperilaku sudah seharusnya

ditinggalkan dan beralih pada budaya “liar” dalam berpikir. Implikasi dari budaya

tersebut tentu saja kehidupan sosial yang diwarnai dengan kompleksitas pemikiran

dan bukan kompleksitas kekerasan fisik. Dengan menempatkan rasionalitas sebagai

garda terdepan dalam kehidupan, maka cara berpikir yang berbasis pada satu standar

tunggal kebenaran dan pemikiran (single-minded structure of society) yang geraknya

berpacu seiring dengan perkembangan zaman dapat segera diantisipasi.

17

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 109: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

BIBLIOGRAFI

BUKU

Alexander, George (ed.). 1990. Reflection on Chomsky. Oxford : Cambridge Mass, Basil

Blackwell.

Arendt, Hannah, 1951, The Origins of Totalitarianism. New York : Harcourt Brace and World.

……..., 1969. On Violence. New York : Harcourt Brace & Company.

………., (ed), The Portable Hannah Arendt. London: Penguin Books.

………, 1958. The Human Condition. Chicago : University of Chicago Press.

Barker, Chris, 2004, Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Botha, Rudolf P. 1989. Challenging Chomsky: The Generative Garden Game. Oxford and New

York : Basil Blackwell.

Chomsky, Noam, 1988, Language and Problems of Knowledge: The Managus Lectures.

Cambrige : MIT Press.

………., 2002, On Nature and Language. Cambridge : Cambrige University Press.

………., 2005, Kuasa Media. Yogyakarta: Pinus.

………., 1987, The Chomsky Reader. New York : Pantheon Books.

………., 1976, Reflection on Language. London : Temple Smith & Fontana Books.

………., 1988, Rules and Representation. Oxford : Basil Blackwell.

………., 1957, Syntactic Structures. Paris : Mouton.

………., 1972, Studies on Semantic in Generative Grammar. Paris : Mouton.

Chomsky, Noam & Herman, Edward S, 1988, Manufacturing Consent: the Political Economy of

The Mass Media. New York : Panteon Books.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 110: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

Fauzi, Ibrahim Ali, 2003, Jurgen Habermas. Jakarta: Teraju.

Finkelstein, Norman G, 2006, The Holocaust Industry. Jakarta: Ufuk Press.

Gramsci, Antonio, 1971, Selection from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. New York:

International Publishers.

Habermas, Jurgen, 1984, The Theory of Communicative Action, Volume One: Reason and The

Rationalization of Society. Boston: Beacon Press.

………, 1987, Theory of Communicative Action, Volume Two: Lifeworld and System. Boston:

Beacon Press.

Halberstam, Michael, 1999, Totalitarianism and The Modern Conception of Politics. USA : Yale

University.

Lechte, John, 1994, Fifty Key Contemporary Thinkers. London: Routledge.

Lyons, John, 1977, Chomsky. Hassock : Harvester Press.

Tormey, Simon, 1995, Making Sense of Tyranny : Interpretasion of Totalitarianism. New York :

Manchester University Press.

Simon, Roger, 1999, Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar.

Somerville, John and Santoni, E (ed), 1963, Social and Political Philosophy. New York : Anchor

Books.

WEBSITE

http://www.chomsky.info/articles. Diakses tanggal 3 Mei 2007 pukul 19.05 WIB.

http://www.britannica.com/eb/article-23825/propaganda. Diakses pada tanggal 3 Mei 2007 pukul

18.15 WIB.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 111: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

http://www.levity.com/corduroy/george-orwell/newspeak/. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul

16.16 WIB.

http://www.aber.ac.uk/media/Documents/marxism/stuarthall. Diakses tanggal 3 Mei 2007, pukul

17.08 WIB.

The History Guide, the Lectures on Ancient and Medieval European History: August Caesar and

The Pax Romana.

http://www.historyguide.org/ancient.html. Diakses tanggal 10 Juli 2007, pukul 16.40 WIB.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007

Page 112: Digital 20159969 RB16Z29h Hegemoni Pemikiran

RIWAYAT HIDUP

NANDA DESVITA Z, lahir di Padang, 31 Desember 1985,

adalah bungsu dari sembilan bersaudara, anak dari kedua suami istri

Zaili Boy dan Darmiwati. Ia memperoleh pendidikan dasar dan

menengahnya di Padang dan mendapat ijazah Sekolah Menengah

Atas Negeri 2 Padang, Jurusan Sosial pada tahun 2003. Melanjutkan studi di Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Program Studi Filsafat, dari tahun

2003 – 2007, hingga memperoleh gelar Sarjana Humaniora dengan skripsi yang

berjudul Hegemoni Pemikiran sebagai Wajah Baru Totalitarianisme: Suatu

Interpretasi Filosofis terhadap Totalitarianisme.

Hegemoni pemikiran..., Nanda Desvita Z, FIB UI, 2007