-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
1/24
BAB IV
DASAR-DASAR ETIKA
Fristian Hadinata dan L.G. Saraswati Putri
1. Perbedaan Etika dan Moralitas
Ada dua kata yang seringkali rancu penggunaanya, yaitu etika dan moralitas. Etika
dan moralitas memang dua kata berhubungan erat dan seringkali orang mengunakan
dua kata tersebut secara bergantian, tetapi tidak tepat (Graham, 2010, 1). Kita dapat
memahami perbedaan antara dua kata tersebut dengan cara yang lebih baik, jika kita
mencoba untuk memahami apa makna dua kata tersebut dari interpretasi yang paling
dasar.
Gambar 1 Perbedaan Etika dan Moralitas
Secara etimologis, istilah etika berasal dari kata Yunani " ē thikos " yang bearti "adat",
"kebiasaan", atau "watak" (Pritchard, 2012, 1). Dalam perkembangannya, etika
mengacu kepada seperangkat aturan-aturan, prinsip-prinsip atau cara berpikir yang
menuntun tindakan dari suatu kelompok tertentu. Akan tetapi, kata etika spesifik
mengacu kepada studi sistematis dan filosofis tentang bagaimana kita seharusnya
bertindak (Borchert, 2006, 279). Dalam pengertian yang terakhir ini, etika adalah
133
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
2/24
cabang ilmu filsafat yang menyelidiki suatu sistem prinsip moral dan berusaha untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan radikal seperti:
• Apa artinya baik?• Apa itu keputusan moral?• Apakah moral itu subjektif atau objektif?• Bagaimana menjalani kehidupan yang baik?
Tidak heran jika etika disebut juga filsafat atas moral. Etika punya fokus tentang
bagaimana kita mendefinisikan sesuatu itu baik atau tidak. Dalam rangka untuk
melihat perilaku yang dapat diterima atau tidak dalam situasi tertentu, maka perilaku
etis didefinisikan.
Lain halnya dengan moralitas berasal dari kata Latin "moralis" yang berarti "tata
cara", "karakter", atau "perilaku yang tepat" (Pritchard, 2012, 1). Secara terminologis
moralitas sering kali dirujuk sebagai diferensiasi dari keputusan dan tindakan antara
yang baik atau yang tidak baik. Moralitas mengacu pada nilai baik atau tidak baik
yang disepakati dan diadopsi dalam suatu lingkungan tertentu (Borchert, 2006, 280).
Moralitas biasanya didefinisikan melalui otoritas tertentu. Artinya, moralitas lebihdipahami sebagai suatu keyakinan untuk menjalani hidup yang baik. Karena itu sistem
moralitas seringkali sangat bergantung dengan komutitasnya, misalnya agama atau
budaya tertentu. Lebih lanjut, konsep tentang moral bisa berubah dari waktu ke waktu
dan mengambil makna baru.
Moralitas sangat berhubungan dengan etika karena hal itu adalah objek kajiannya.
Etika adalah suatu abstraksi dalam memahami atau mendefinisikan moral dengan
melakukan refleksi atasnya. Etika membahas persoalan moral pada situasi tertentu
dengan pendekatan tertentu pula. Sedang moralitas tergantung pada pilihan individu,
keyakinan atau agama dalam menentukan hal yang benar atau salah, baik atau buruk.
134
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
3/24
Ada asumsi penting terkait masalah penjelasan moral tentang tanggung jawab etis.
Asumsi tersebut di dalam etika, yaitu pentingnya kehendak bebas di dalam
pertanggungjawaban etis (Sidgwick, 2004, 10), sedang dalam soal moralitas hal ini
biasanya tidak terlalu dipentingkan. Jika pengandaian tentang kehendak bebas tidak ada maka pertanggungjawaban etis tidak bisa diajukan. Hal ini karenakan apa yang
dilakukan seseorang tidak lebih dari sesuatu yang dikontrol. Dengan kata lain,
seseorang tidak bisa diminta pertanggung jawaban etis ketika seseorang itu tidk punya
kehendak bebas --seperti yang boneka yang dikontrol seorang dalang. Asumsi seperti
ini yang menjadi kajian-kajian etika.
2. Klasifikasi Etika
Etika bisa dibagi menjadi berberapa bidang sebagai berikut:
Gambar 2 Pembagian Bidang Etika
135
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
4/24
Jika kita sederhanakan maka akan menjadi sebagai berikut:
Gambar 3 Empat Bidang Etika Utama
2. 1. Etika Normatif
Etika normatif merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan
pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak
secara etis. Dengan kata lain, etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau
keputusan etis. Di samping itu, etika normatif berhubungan dengan pertimbangan-
pertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus dijalankan agar sautu
tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2).
Dalam etika normatif ini muncul teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika
deontologis, etika kebajikan dan lain-lain. Suatu teori etika dipahami bahwa hal
tersebut mengajukan suatu kriteria tertentu tentang bagaimana sesorang harus
bertindak dalam situasi-situasi etis (Williams, 2006, 72). Dalam pengajukan kriteria
norma tersebut, teori etika akan memberikan semacam pernyataan yang secara
normatif mengandung makna seperti "Fulan seharusnya melakukan X" atau "Fulan
seharusnya tidak melakukan X".
Harus dipahami bahwa setiap teori etika didasarkan pada sebuah kriteria tertentu
tentang apa yang etis untuk dilakukan. Kriteria ini disusun berdasarkan prioritas, dimana dari kriteria umum bisa diturunkan menjadi prinsip-prinsip etis yang lebih
136
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
5/24
konkret. Dengan begitu, suatu tindakan dapat disebut etis jika ada kondisi-kondisi
tertentu yang memenuhi prinsip-prinsip etis yang diturunkan dari kriteria umum
dalam sebuh teori etika normatif tersebut.
Misalnya pada teori etika utilitarian, kriteria umum itu adalah suatu tindakan dianggap
benar atau baik jika menghasilkan utilitas paling besar bagi semua orang yang
terpengaruh oleh tindakan atau keputusan tersebut, termasuk orang yang melakukan
tindakan. Lain halnya dengan teori etika deontologis Kant yang punya kriteria umum
sebagai berikut: "Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui keinginan
Anda sendiri dapat menjadi sebuah Hukum Alam yang Universal" (T ä nnsj ö , 2008,
56-58).
2. 2. Etika Terapan
Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik
kepada topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang,
hak-hak binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi menjadi
etika profesi, etika bisnis dan etika lingkungan. Secara umum ada dua fitur yang
diperlukan supaya sebuah permasalahan dapat dianggap sebagai masalah etika
terapan.
Pertama, permasalahan tersebut harus kontroversial dalam arti bahwa ada kelompok-
kelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral. Masalah
pembunuhan, misalnya tidak menjadi masalah etika terapan karena semua orang
setuju bahwa praktik tersebut memang dinilai tidak bermoral. Sebaliknya, isu kontrol
senjata akan menjadi masalah etika terapan karena ada kelompok yang mendukung
dan kelompok yang menolak terhadap isu kontrol senjata.
Kedua, sebuah permasalahan menjadi permasalahan etika terapan ketika hal itu punya
dimensi dilema etis. Meskipun ada masalah yang kontroversial dan memiliki dampak
penting terhadap masyarakat, hal itu belum tentu menjadi permasalahan etika terapan.
Kebanyakan masalah yang kontroversial di masyarakat adalah masalah kebijakan
sosial. Tujuan dari kebijakan sosial adalah untuk membantu suatu masyarakat tertentu
berjalan secara efisien yang dilegitimasinya disandarkan pada konvensi tertentu,seperti undang-undang, peraturan-peraturan dan lain-lain (Debashis, 2007, 28-30).
137
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
6/24
Berbeda dengan permasalahan etis yang lebih bersifat universal, seperti kewajiban
untuk tidak berbohong, dan tidak terbatas pada suatu masyarakat tertentu saja.
Seringkali memang isu-isu kebijakan sosial tumpang tindih dengan isu-isu moralitas.
Namun, dua kelompok isu tersebut bisa dibedakan dengan mengunakan kedua
pendekatan yang dilakukan di atas.
Dengan begitu bisa dimengerti bahwa istilah etika terapan digunakan untuk
menggambarkan upaya untuk menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apa
saja yang benar secara moral terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang
kehidupan manusia. Misalnya, bioetika yang berhubungan dengan mengidentifikasipendekatan yang benar untuk persoalan-persoalan seperti euthanasia, penggunaan
embrio manusia dalam penelitian dan lain-lain.
2.3. Etika Deskriptif
Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap 'etis' oleh individu
atau masyarakat. Dengan begitu, etika deskriptif bukan sebuah etika yang mempunyai
hubungan langsung dengan filsafat tetapi merupakan sebuah bentuk studi empiristerkait dengan perilaku-perilaku individual atau kelompok. Tidak heran jika etika
deskriptif juga dikenal sebagai sebuah etika komparatif yang membandingkan antara
apa yang dianggap etis oleh satu individu atau masyarakat dengan individu atau
masyarakat yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan masa
sekarang. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk menggambarkan tentang apa yang
dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis
yang digunakan untuk menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000, 3).
Penyelidikan etka deskriptif juga melibatkan tentang apa yang dianggap oleh
seseorang atau masyarakat sebagai sesuatu yang ideal. Artinya, kajian ini melihat apa
yang bernilai etis dalam diri seseorang atau masyarakat merupakan bagian dari suatu
kultur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Akan tetapi, etika
deskriptif juga memberikan gambaran tentang mengapa satu prinsip etika bisa
ditinggalkan oleh genarasi berikutnya.
138
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
7/24
Oleh karena itu, etika deskriptif melibatkan stud-studi empris seperti psikologi,sosiologi dan antropologi untuk memberikan suatu gambaran utuh. Di sini antropologi
dan sosiologi mampu memberikan segala macam informasi mengenai bagaimana
masyarakat di masa lalu dan sekarang menciptakan standar moral dan bagaimana
masyarakat itu ingin orang bertindak. Sedang, psikologi bisa melakukan sebuah studi
tentang bagaimana seseorang punya kesadaran tentang apa itu baik dan buruk serta
bagaimana seseorang membuat keputusan moral dalam situas nyata dan situasi
hipotetis (Kitchener, 2000, 3).
Akan tetapi, etika deskriptif bisa digunakan dalam argumentasi filosofis terkait
dengan masalah etis tertentu. Observasi yang dilakukan oleh ilmu-ilmu empiris dalam
etika deskripsi seringkali menjadi argumen untuk relativisme etis. Beragamnya
fenomena dan perilaku etis di antarbudaya memberikan pemahaman bahwa apa yang
baik dan buruk tidaklah absolut, tetapi relatif. Dalam konteks ini, moralitas dianggap
relatif pada tingkat antarbudaya. Hal ini juga memberikan pemahaman bahwa
moralitas merupakan sebuah konstruksi sosial sehingga sangat tergantung kepada
subjek etis dalan lingkungannya.
Ringkasnya, etika deskriptif mempertanyakan dua hal berikut:
1. Apa yang seseorang atau masyarakat klaim sebagai "baik"?2. Bagaimana orang bertindak secara nyata ketika berhadapan dengan masalah-
masalah etis?
2. 4. Metaetika
Metaetika berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adala arti
atau makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain,
metaetika merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Artinya, pertanyaan yang
diajukan dalam metaetika adalah apa makna jika kita berkata bahwa sesuatu itu baik?
139
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
8/24
Metaetika juga bisa dimengerti sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi
pernyataan-pernyataan etika, dalam arti bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk
dari pernyataan-pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan
sebagai sesuatu yang bermakna.
Perkembangan metaetika awalnya merupakan jawaban atas tantangan dari Positivisme
Logis yang berkembang pada abad 20-an (Lee, 1986, 8). Kalangan pendukung
Positivisme Logis berpendapat bahwa jika tidak bisa memberikan bukti yang
menunjukkan sebuah pernyataan itu benar, maka pernyataan itu tidak bermakna.
Ketika prinsip dari Positivisme Logis juga diujikan kepada pernyataan-pernyataanetis, maka pernyataan-pernyataan itu harus berdasarkan bukti. Ringkasnya, jika tidak
ada bukti, maka tidak ada makna.
Di sini kata kuncinya adalah apa yang dikenal dengan " naturalistic fallacy ", yaitu
dianggap akan melakukan kesalahan jika kita menarik suatu pernyataan tentang apa
yang seharusnya dari pernyataan tentang apa yang ada. Kesulitan dari bahasa etika
adalah penyataan-pernyataannya tidak selalu berupa fakta. Disinilah peran sentral dari
metaetika yang mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan apa yang dimaksud
dengan bahasa etika dengan intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis punya makna.
Dalam pembahasan ini metaetika biasanya terbagi menjadi dua, yaitu realisme etis
dan nonrealisme etis.
3. Realisme Etis dan Non-Realisme Etis
Ada satu persoalan penting di dalam etika, yaitu pernyataan etika itu objektif atau hal
itu bergantung kepada subjek etika itu sendiri. Persoalan ini menghasilkan dua aliran
besar terkait dengan cara melihat pernyataan etika atau kualitas etis tersebut, yaitu
realisme etis dan nonrealisme etis (Callcut, 2009, 46).
3.1. Realisme Etis
Gagasan realisme etis berpusat pada manusia menemukan kebenaran etis yang
memiliki eksistensi independen di luar dirinya. Konsekuensinya, realisme etis inimengajarkan bahwa kualitas etis atau tidak ada secara independen dari manusia dan
140
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
9/24
pernyataan etis memberikan pengetahuan tentang dunia objektif. Dengan kata lain,
properti etis terlepas dari apa yang orang pikirkan atau rasakan. Hal ini disebut
dengan fakta etis tentang fakta sebuah tindakan. Artinya, jika seseorang mengatakan
bahwa tindakan tertentu salah, maka hal itu adalah kualitasnya yang salah dan ituharus ada di sana dan bersifat independen.
Apa yang diungkapkan di atas biasanya dikenal juga dengan istilah absolutisme etis.
Gagasannya bersandar pada adanya aturan-aturan universal yang tidak berubah dan
berlaku setiap bagi semua orang. Absolutisme etis berpendapat bahwa ada beberapa
aturan moral yang selalu benar dan aturan-aturan tersebut dapat ditemukan sertaberlaku untuk semua orang. Dengan kata lain, tindakan tidak etis atau tindakan yang
melanggar aturan-aturan yang ditemukan itu berkualitas salah di dalamnya sendiri,
terlepas dari keadaan atau konsekuensi dari tindakan-tindakan itu sendiri.
Absolutisme etis mengambil pandangan kemanusiaan universal dan berkeyakinan
bahwa ada satu perangkat aturan untuk semua orang, misalnya seperti Deklarasi Hak
Asasi Manusia.
Masalah bagi etika realis adalah manusia mengikuti keyakinan etis yang berbeda-
beda. Jika memang ada kebenaran etis yang nyata di luar sana, maka manusia
seharusnya bisa menemukannya dan punya keyakinan etis yang sama. Artinya,
realisme etis dalam bentuk absolutisme etis tidak sesuai dengan keragaman budaya
dan tradisi. Di samping keberatan itu, absolutisme moral yang tidak memperhitungkan
konsekuensi dari suatu tindakan atau keadaan etis untuk menghasilkan fakta etis.
Padahal konsekuensi dan keadaan etis itu sangat relevan dengan dengan kategori
tindakan itu baik atau buruk.
3.2. Nonrealisme Etis
Keberatan terhadap realisme etis di atas menimbulkan cara melihat persoalan etis
yang disebut dengan nonrealisme etis. Gagasan utama dari nonrealisme etis adalah
manusia yang menciptakan kebenaran etis (Callcut, 2009, 46). Nonrealisme etis ini
sangat terkait dengan relativisme etis. Relativisme etis yang mengatakan bahwa jikaAnda melihat budaya yang berbeda atau melihat periode yang berbeda dalam sejarah,
141
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
10/24
Anda akan menemukan bahwa hal itu memiliki aturan etis yang berbeda pula. Oleh
karena itu, masuk akal untuk mengatakan bahwa apa yang "baik" mengacu pada
kelompok tertentu di mana orang-orang menyetujuinya menjadi sesuatu yang "baik"
(Williams, 2006, 157). Dengan kata lain, relativisme menghormati keragaman budayadan tindakan manusia yang berbeda pula dalam cara merespon situasi yang berbeda.
Akan tetapi, ada persoalan juga di dalam relativisme etis. Diantaranya adalah kita
merasa bahwa aturan etis memiliki nilai kualitas yang lebih tinggi daripada sekedar
kesepekatan umum dari sekelompok orang. Terkadang kita berpikir bahwa kita bisa
menjadi "baik tanpa sesuai dengan semua aturan masyarakat. Misalnya, keputusanuntuk menjadi seorang vegetarian terkait dengan hak-hak hewan dinilai "baik", walau
masyarakata melihat hal itu bukanlah suatu perkara yang terkait dengan masalah etis,
bahkan memakan daging dianjurkan.
Lebih jauh, relativisme memiliki masalah dengan persoalan tirani mayoritas. Dalam
relativisme etis, jika kebanyakan orang dalam suatu masyarakat setuju dengan aturan
tertentu, itulah akhir dari masalah etis. Apa yang diabaikan dari relativisme etis adalah
banyaknya perbaikjan yang terjadi di dunia dikarenakan orang menentang pandangan
etika yang berlaku --relativisme etis punya kecenderungan untuk menganggap orang-
orang seperti itu berperilaku "buruk". Persoalan yang paling mendasar dari
relativisme etis adalah setiap pilihan "etis atau tidak" menjadi sewenang-wenang
dikarenakan terkait dengan keelompok sosial atau budaya itu sendiri sebagai landasan
etika. Artinya, relativisme moral tidak menyediakan cara untuk mengatasi perbedaan
moral antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
4. Empat Jenis Penyataan Etika
Pengkajian terhadap permasalahan etis pada dasarnya bisa dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Ketika seseorang mengatakan "pembunuhan
itu tidak baik" apa yang dimaksudkannya sesungguhnya? Pertanyaan ini adalah
pertanyaan sederhana, tetapi hal ini adalah cara yang sangat berguna untuk
mendapatkan gagasan yang jelas tentang apa yang terjadi ketika orang berbicaratentang isu-isu etis.
142
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
11/24
Kita bisa melihat ketika orang mengucapkan pernyataan "pembunuhan itu tidak baik",
orang merujuk pada hal yang berbeda. Perbedaan ini memberikan pendekatan yang
berbeda pula untuk melihat persoalan etis (Johnson dan Reath, 2011, 472). Kita dapat
menunjukkan beberapa hal yang berbeda ketika Anda mengatakan 'pembunuhanadalah tidak baik' dengan menulis ulang pernyataan tersebut untuk menunjukkan apa
yang benar-benar dimaksud oleh Anda sebagai berikut:
1. Saya mungkin bermaksud membuat pernyataan tentang fakta etis, seperti
"pembunuhan itu adalah salah". Hal ini adalah realisme moral. Realisme moral
didasarkan pada gagasan bahwa ada fakta-fakta nyata dan objektif terkaitmasalah etis di alam semesta. Pernyataan etis dinilai memberikan informasi
faktual tentang kebenaran.2. Saya mungkin bermaksud hendak menyatakan tentang perasaan saya sendiri
seperti, "saya tidak menyetujui pembunuhan". Hal ini adalah subjektivisme.
Subjektivisme mengajarkan bahwa penilaian etis tidak lebih dari pernyataan
perasaan atau sikap seseorang. Di sini, pernyataan etis tidak mengandung
kebenaran faktual tentang kebaikan atau keburukan. Artinya, Jika seseorang
mengatakan sesuatu itu baik atau buruk, apa yang dia maksudkan tidak lebih
dari perasaan positif atau negatif yang dia miliki terkait sesuatu itu. Jadi, jika
seseorang mengatakan 'pembunuhan adalah tidak baik, apa yang dia apa yang
dia maksud adalah dia tidak menyetujui pembunuhan. Dalam konteks ini,
pernyataan dinilai benar jika orang tersebut memegang sikap yang tepat atau
memiliki perasaan yang tepat seperti yang diungkapkannya. Dengan kata lain,
pernyataan akan salah, jika ternyata orang tesebut tidak memiliki perasaantersebut.
3. Saya mungkin bermaksud untuk mengekspresikan perasaan saya saja
"tidak ada kompromi dengan pembunuhan". Hal ini adalah emotivisme.
Emotivisme adalah pandangan bahwa klaim moral adalah tidak lebih dari
ekspresi persetujuan atau ketidaksetujuan. Hal ini seperti subjektivisme, tetapi
dalam emotivisme pernyataan moral tidak memberikan informasi tentang
perasaan pembicara tentang topik tetapi ungkapan perasaan itu sendiri. Ketika
sebuah emotivis mengatakan "pembunuhan adalah salah" apa yang dimaksud
143
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
12/24
seperti mengatakan "tidak ada kompromi pembunuhan" atau hanya
mengekspresikan wajah ngeri ketika mendengar kata "pembunuhan" dan lain-
lain. Dengan kata lain, jika dilihat dari emotivisme ketika seseorang membuat
penilaian moral apa yang ditunjukkan adalah perasaan tentang sesuatu.4. Saya mungkin bermaksud ingin memberikan instruksi atau larangan, seperti
"jangan melakukan pembunuhan". Hal ini adalah preskriptivisme. Gagasan
preskriptivisme berfokus pada pernyataan etis adalah petunjuk atau
rekomendasi. Jadi jika saya mengatakan sesuatu itu baik, artinya saya
merekomendasikan kepada Anda untuk melakukannya. Sedang, jika saya
mengatakan sesuatu itu buruk, apa yang saya katakan sebenarnya adalah Anda
jangan melakukannya. Hampir selalu ada unsur preskriptif dalam suatu
pernyataan etis. Misalnya, "menghina itu tindakan yang buruk" dapat ditulis
sebagai "orang tidak boleh menghina".
5. Kegunaan Etika
Etika sebenarnya tidak secara langsung mengharuskan orang mengikuti hasil
analisisnya. Hal ini dikarenakan etika sebagai bagian dari filsafat menekankan jikaseseorang menyadari bahwa secara etis lebih baik untuk melakukan sesuatu, maka
akan menjadi tidak rasional untuk orang tidak melakukannya. Artinya tidak ada
intensi dari etika untuk menekan orang untuk melakukan suatu tindakan atau
keputusan etis sesuai dengan pedoman-pedoman tertentu. Akan tetapi, ada kegunaan
dari etika dapat dirumuskan.
Etika menyediakan alat-alat analisis untuk berpikir tentang isu-isu moral.
Dalam konteks ini etika dapat menyediakan sebuah gambaran utuh dan lebih
mengedepankan rasionalitas ketika berhadapan dengan isu-isu tersebut. Memnag
sebagian besar masalah moral yang sering terjadi melibatkan persoalan emosional.
Dalam situasi seperti itu, kita sering membiarkan perasaan-perasaan yang menentukan
keputasan moral kita, sedang nalar kita hanya mengikuti arus perasan-perasaan
tersebut. Di sinilah peran etika, yaitu menawarkan suatu prinsip-prinsip yang
memungkinkan kita untuk mengambil pandangan yang lebih jernih dalam melihat isu-
isu moral. Dengan kata lain, etika memberikan sebuah peta moral atau kerangka
144
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
13/24
berpikir yang bisa digunakan untuk menemukan jalan keluar dari masalah-masalah
moral yang sulit.
Di satu sisi, melalui menggunakan kerangka etika, dua orang yang saling
berdebat mengenai masalah moral dapat menemukan apa yang mereka tidak sepakat
tentang sesuatu, bisa menyadari bahwa mereka hanyalah tidak sepakat pada salah satu
bagian tertentu dari masalah tersebut. Artinya kedua orang tersebut secara umum
setuju pada sesuatu yang lain yang lebih luas mengenai masalah moral tersebut. Di
sisi lain, ada ekspektasi tersedianya jawaban yang benar dan tunggal untuk satu
pertanyaan etis. Bahkan ketika kita tidak bisa mengetahui apa yang benar, kita tetap
menyukai gagasan bahwa untuk satu masalah etis, ada satu jawaban yang tepat. Akan
tetapi, sering tidak ada satu jawaban yang benar. Apa yang ditawarkan etika biasanya
adalah beberapa jawaban yang tepat, atau hanya beberapa jawaban sedikit lebih baik
daripada jawaban yang lain. Setidaknya, seseorang dapat memilih antara jawaban-
jawaban tersebut.
Memang harus dimengerti bahwa etika tidak selalu memberi jawaban yang
tepat untuk masalah moral. Hal ini karenakan masalah-masalah moral, seringkali tidak
ada jawaban yang tunggal. Dalam hal ini, seperangkat prinsip etika hanya dapatditerapkan untuk kasus-kasus tertentu saja. Akan tetapi pada dasarnya semua jenis
prinsip-prinsip etika dapat menghilangkan kebingungan dan memperjelas masalah.
Hal ini dikarenkan persoalan moral sangat sulit dan komplek (Hinman, 2012, 1-6).
Persoalan etis sangat sulit dikarenakan hal itu memaksa kita untuk mengambil
tanggung jawab atas pilihan dan tindakan kita sendiri daripada langsung kembali pada
aturan-aturan dan adat istiadat.
Satu masalah etika adalah hal itu sering digunakan sebagai senjata. Jika
sebuah kelompok percaya bahwa aktivitas tertentu adalah "salah", kemudian dengan
prinsip-prinsip etika digunakan sebagai pembenaran untuk menyerang mereka yang
melakukan aktivitas tersebut.Akan tetapi, etika bukan soal sekedar mencari
pembenaran atas apa yang kita yakin tentang soal benar atau salah dalam suatu
tindakan atau keputusan. Etika memberikan pertimbangan untuk yang melampaui
kepentingan diri sendiri. Dengan kata lain etika sangat memperhitungkan bukan
145
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
14/24
hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain. Dalam konteks ini, etika berkaitan dengan
kepentingan orang lain secara lebih luas.
6. Immanual Kant dan Etika Kewajiban
Dalam karyanya Critique of Practical Reason, Immanuel Kant membahas secara
filosofis tentang apa yang dimaksud dengan moral. Prinsip moral dapat muncul dari
berbagai sumber, diserap dari nilai-nilai agama, kaidah norma masyarakat, maupun
dari hukum yang dibuat oleh negara. Hal-hal ini dapat menjadi referensi bagaimana
seseorang bertingkah laku dan membedakan manakah baik dan buruk. Tetapi bagi
Immanuel Kant, sikap etis tidak datang dari luar individu tersebut. Mengapa
demikian? Ini berkaitan erat dengan era dimana Kant mempopulerkan filsafatnya, iaselalu berkata Sapere Aude! Bila diterjemaahkan, berarti beranilah berpikir secara
mandiri, semangat ini tercermin juga didalam filsafatnya.
Sapere Aude dalam pengertian Kant mendorong individu bahkan dalam urusan
bersikap etis, individu harus dapat memikirkan dan bertindak atas kehendaknya
sendiri. Berbicara tentang tindakan etis, tentunya kita membicarakan tentang agen
moral itu sendiri. Telah dijelaskan sekilas, bahwa untuk Kant, individu harus memiliki
kehendak sendiri untuk berkarakter baik serta bertindak sesuai moral. Namun agen
moral yang dibicarakan oleh Kant, darimanakah ia tahu prinsip mana yang harus ia
jalankan atau tidak? Tentunya ini tidak semudah bila seseorang mematuhi ajaran
agama atau aturan yang sudah ditetapkan masyarakat. Prinsip moral dari Kant
mengharuskan adanya kesadaran untuk bersikap etis.
Meskipun prinsip moral datang dari rasio praktis individu tersebut sebagai agen
moral, Immanuel Kant menekankan bahwa sifat dari prinsip moral itu bukanlah
sesuatu yang partikular, karena untuknya ada hukum universal dimana hukum
tersebut merupakan muara dari segala tujuan etis. Kant menekankan bahwa prinsip ini
bekerja bila setiap orang memperlakukan orang lain dengan prinsip bahwa yang
diperbuat secara individual berdampak serta perlu diperhitungkan dalam tataran
universal, “aku harus melakukan tindakan moral yang dapat diterima sebagai prinsip
moral yang universal”. Uniknya dari prinsip Kant ini, walaupun tujuan besar dari
146
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
15/24
sikap moral adalah untuk mencapai kebaikan bersama tetapi tujuan itu dicapai secara
kesadaran individual yang memiliki otonomi.
Dalam prinsip moral Kant, ia menekankan betapa mendasarnya konsep kewajiban
sebagai dasar dari segala perbuatan etis. Konsep kewajiban inilah yang kemudian
dikenal sebagai prinsip deontologis, yakni yang menyatakan bahwa suatu tindakan
memiliki nilai moral yang baik bila tindakan itu terlepas dari kepentingan individu,
dan hanya bertujuan terhadap prinsip kewajiban tersebut, “kehendak baik tidak
menjadi baik karena apa yang diakibatkan ataupun yang dicapainya,--ataupun
kesesuaiannya untuk mencapai suatu tujuan akhir: kehendak baik itu dinyatakan baik
karena ia menginginkan kebaikan itu sendiri.” 1
Pertanyaan yang timbul adalah; darimanakah kita mengetahui perbuatan mana yang
memiliki nilai kebaikan yang intrinsik secara universal? Bagi Kant, pengetahuan akan
kebaikan itu datang dari rasio praktis kita. Apa yang dimaksud dengan rasio praktis?
Rasio praktis adalah kecerdasan yang datang dari individu sebagai agen moral, yakni
ketika pemahaman tentang kebaikan dan mampu menyesuaikan pilihan-pilihannya
dengan apa yang dipertimbangkan baik secara universal. Tetapi akal tidak cukup bagi
suatu perbuatan yang sesuai moral, untuk Kant, akal harus dijalani dengan kehendak,tetapi kehendak ini hanya memusatkan pada kewajiban, tidak pada motif untuk
menguntungkan dirinya atau tujuan akhir tertentu.
Prinsip moral oleh Kant, tidak lagi menjadi argumen etis, tetapi menjadi keharusan,
karena itulah dinyatakan sebagai Imperatif Kategoris. Ada unsur mengikatnya, dan
mengharuskan kita untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut.
Contoh yang bisa disimak adalah tentang berbohong. Dalam perspektif Kant
berbohong adalah suatu tindakan yang melanggar kebaikan, mengapa? Karena
berbohong secara umum dapat menyebabkan ketidaknyamanan, berbohong kita
ketahui sebagai sesuatu hal yang tidak baik, ini bisa disepakati secara universal
menurut Kant. Tetapi problem filosofis yang muncul adalah bagaimana bila
berbohong untuk suatu tujuan yang baik, benarkah tindakan tersebut? Dalam prinsip
kewajiban, tentunya meskipun berbohong itu untuk suatu hasil akhir yang baik tetap
tidak bisa dikatakan sebagai tindakan yang memiliki nilai moral.1 .lih (ed !"hn #"ttin$ha%& 'a$ian %%anuel )ant& hl%. 382
147
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
16/24
Hal lain yang disampaikan oleh Kant adalah bagaimana ketika melakukan tindakan
etis meski terlepas dari motif individual, hal ini tetaplah dianggap sebagai tindakan
yang bernilai moral. Kant memberikan contoh misalnya seseorang yang tidak
menyukai kehidupannya, karena kehidupannya sangat menyengsarakan, bilamengikuti keinginannya ia ingin segera mengakhiri kehidupannya, tetapi ia menolak
melakukan hal itu karena membunuh diri dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik
secara universal. Meski seseorang yang tidak menyukai prinsip-prinsip kewajiban
tetapi tetap menjalankannya, bagi Kant tindakan itu memiliki nilai moral. Ini untuk
menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan individu haruslah datang dari kesadaran
akan kewajiban untuk berbuat baik, karena hal ini bukanlah pilihan yang berdasarkan
motif atau kesenangan, tetapi atas dasar kewajiban, maka ada penekanan padakeharusan itu.
Contoh lainnya adalah perbuatan menolong orang lain, meskipun menolong orang
lain adalah tindakan yang baik, bagi Kant, tindakan ini tidak terlalu relevan apakah
datang dari rasa belas kasih, maupun empati. Suatu tindakan menolong orang lain
haruslah datang dari rasa kewajiban, terlepas dari motif pribadi individu tersebut.
Bagi Kant, contoh ini menekankan bahwa prinsip moral dilaksanakan bukan karena
prinsip tersebut sesuai dijalankan untuk suatu tujuan akhir semata, tetapi demi
kewajiban atas kebaikan itu sendiri. Kewajiban itu sifatnya mengingkat dan terlepas
dari kepentingan dari individual tersebut.
Etika kewajiban dari Kant mengingatkan kita betapa pentingnya perbuatan moral
yang patuh pada suatu prinsip moral bahwa kebaikan tersebut intrinsik adanya. Bahwa
suatu tindakan dinyatakan benar atau baik dapat diperiksa oleh rasio praktis kita.
Sebagai agen moral yang bebas dan memiliki kecerdasan, Kant menjelaskan bahwa
melalui kecerdasaannya manusia dapat mencapai pada pemahaman tentang konsep
kebaikan universal. Dimana pemahamannya ini mewajibkannya untuk bersikap etis,
dan melakukan tindakan etis tanpa melibatkan perasaan atau memikirkan tentang
hasilnya saja, tetapi tegas untuk mematuhi suatu prinsip moral, “Kewajiban adalah
tindakan yang dilaksanakan atas dasar keharusan yang dilakukan dikarenakan ada rasa
hormat terhadap hukum.” 2
2 'id. hl%. 384148
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
17/24
7. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian
Teori moral dalam filsafat dapat dipahami menjadi dua aliran besar, yang pertama
adalah deontologis, seperti yang telah dibahas pada bagian Immanuel Kant, yang
kedua adalah kaum konsekuensialis. Apa yang dimaksud dengan etika
konsekuensialis? Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala tindakan
dianggap bernilai secara moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan
tersebut. Tentunya pendekatan konsekuensialis kaum utilitarian sangat bertolak
belakang dengan konsep imperatif dari Immanuel Kant. Konsekuensialis justru
menegaskan bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai baik bila menyebabkan
kebahagiaan bagi individu serta orang-orang disekitarnya. Motif terhadap apa yang
dianggap menyebabkan kebahagiaan dianggap oleh kaum konsekuensialis menjadi
dasar dari suatu perbuatan moral.
Adapula tokoh yang mengembangkan paham etis utilitarian adalah John Stuart Mill.
Utilitarianisme, dari akar kata utility, yang berarti kegunaan, menganggap bahwa
dorongan utama bagi seseorang untuk bersikap etis adalah untuk mencapai
kebahagiaan, “Kredo yang menerima prinsip moral utility, atau kebahagiaan sebagai
fondasi moral meyakini bahwa tindakan dianggap sebagai suatu kebenaran sejauh
tindakan itu memproduksi serta mempromosikan kebahagiaan, akan menjadi
kesalahan bila berlaku terbalik dari kebahagiaan itu.” 3 Cukup jelas dalam pernyataan
ini, bahwa apa yang dianggap secara moral baik adalah keadaan yang menimbulkan
kebahagiaan. Tetapi seringkali pernyataan kaum utilitarian disalahartikan menjadi
pandangan yang secara general memperbolehkan apapun untuk mencapai kebahagian,
inilah kritik terutama bagi kaum utilitarian.
Mill membantah argumen ini dengan mengatakan bahwa seolah-olah pandangan etis
kaum utilitarian terlampau meninggikan kesenangan ragawi semata. Mill menyatakan
bahwa pandangan utilitarian tidak sesederhana itu dalam menggunakan kata
kebahagiaan. Konsep kebahagiaan sebagai suatu tujuan seseorang sesungguhnya
bukanlah murni milik Mill, seorang pemikir Yunani kuno yang bernama Epikurus
yang pertama kali mengutarakan gagasan tersebut. Untuk Mill ada perbedaan
mendasar antara paham Utility yang ia gagas, dan miliki pendahulunya Epikurus,3 'id. 'a$ian !"hn Stuart *ill& hl%. 388
149
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
18/24
kelalaian utama dari Epikurus adalah tidak membahas konsep kebahagiaan secara
mendetil. Dikemudiannya Mill mengkoreksi pandangan dari Epikurus, dengan
menyebutkan bahwa jenis kenikmatan atau kebahagiaan ada yang tinggi dan rendah.
Hirarki ini menjadi penting dalam konsep etis kaum utilitarian, karena Mill berupaya
menyampaikan bahwa ada tingkatan dalam kebahagiaan, dimana pengejaran etis
berurusan dengan kebahagiaan yang bertingkat tinggi, karena itulah kebahagiaan itu
memiliki nilai moral. Klarifikasi ini menunjukan bahwa kebahagiaan yang memiliki
nilai moral atau yang bertujuan etis bagi Mill adalah jenis kebahagiaan yang utama
atau tertinggi, misalnya, kebahagiaan disaat melakukan aktivitas hobi, dengan
kebahagiaan yang didapatkan ketika melakukan kebaikan untuk orang lain bertempat
di tingkatan yang amat berbeda. Itulah konteks kata kebahagiaan sebagai suatu tujuan
etis. Permasalahan yang timbul adalah bila kebahagiaan yang kita tuju sebagai
tindakan yang bermoral, harus dilalui dengan sesuatu yang menyengsarakan kita?
Bukankah prinsip utility menjadi berkontradiksi?
Tentunya problem filosofis ini memberatkan logika dari argumen etis para utilitarian,
tetapi Mill menjawab, bahwa selain adanya tingkatan-tingkatan dari kebahagiaan, atau
klasifikasi kebahagiaan, tentunya tingkatan ini mengimplikasikan suatu anggapanbahwa tidak semua kebahagiaan itu memuaskan kita secara sempurna. Mill secara
gamblang menyatakan bahwa kita harus menyadari bahwa tidak ada kepuasan yang
sempurna itu, meskipun demikian kita harus berupaya untuk memaksimalisasikan
kebahagiaan. Misalnya dalam satu contoh, ketika seseorang harus mengalami rasa
sakit mendonorkan darah demi membantu seorang temannya yang sedang sekarat,
tindakan ini pada dasarnya memang menyengsarakannya, tetapi kebahagiaan untuk
melihat temannya sembuh, atau untuk menolong temannya memberikan kebahagiaan
yang melampaui rasa sakitnya.
Contoh ini juga dapat digunakan untuk memahami pandangan etis kaum utilitarian
yang sangat berbeda dengan deontologi Kantian. Mill mengkritik bagaimana Kant
dengan mudahnya meniadakan peran individu yang memiliki kesadaran untuk
bermotif moral. Pada filsafat moral Kant, ia menekankan bahwa individu tidak boleh
memiliki kepentingan disaat ia berbuat kebaikan, tujuannya adalah kewajibanterhadap kebaikan itu sendiri. Mill menganggap prinsip deontologi ini sangatlah tidak
150
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
19/24
realistis, karena mengabaikan aspek kepekaan individu untuk berkendak serta
menginginkan kebaikan. Menginginkan kebaikan dalam arti utilitarian adalah
keinginan kebaikan tidak saja untuk individu itu sendiri, tetapi mencakup orang-orang
yang mungkin mendapatkan dampak dari perbuatan itu. Atas alasan inilah Millmenekankan niat baik serta pertimbangan kebahagiaan untuk sebanyak mungkin
orang-orang.
Prinsip etis utilitarian ini untuk mengenyahkan anggapan bahwa bila prinsip terutama
manusia adalah kebahagiaan maka ia hanya akan melakukan sesuatu hal yang
menguntungkan bagi dirinya sendiri, sebaliknya karena ia menyadari bahwakebahagiaan itu untuk kebahagiaan semuanya, maka ia terdorong untuk bersikap etis.
Mengapa motif menjadi sedemikian penting untuk kaum utilitarian? Mill menjelaskan
bahwa hanya ketika seseorang berkeinginan untuk bertindak etis maka ia dapat
mempertanggung jawabkan pilihan yang telah ia lakukan. Ia tidak dapat mengelak
dengan mengatakan bahwa, ia hanya menjalankan suatu perintah, atau ia hanya
mengikuti hukum tanpa memikirkan akibatnya. Motif dan konsekuensi menjadi dua
hal yang sangat penting dalam prinsip etis utilitarian, karena seseorang bermotif untuk berbuat baik, maka ia diharuskan untuk mempertimbangkan hasil akhir dari pilihan
yang akan ia ambil.
Penjelasan dari John Stuart Mill memberikan kita perspektif yang berbeda tentang
suatu tindakan moral. Bila pandangan yang mendominasi adalah pandangan yang
mengatakan bahwa prinsip moral itu didasari atas kewajiban, Mill mengkritik dengan
mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari kita bertindak yang bernilai moral.
Sebagai konsekuensialis, Mill menjelaskan bahwa dalam melakukan apapun kita
terpaut dengan hasil akhir dari suatu pilihan, dan bagi kaum utilitarian, konsekuensi
yang dipikirkan adalah bagaimana multiplikasi suatu kebahagiaan, dan menghindari
kesengsaraan. Seperti yang telah ditekankan oleh Mill, kebijaksanaan yang utama
serta memiliki nilai moral adalah mengejar kebahagiaan, “Dengan demikian,
meningkatkan kebahagiaan, menurut etika utilitarian, merupakan objek dari
kebijaksanaan”4
4 'id. hl%. 390151
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
20/24
8. W.D Ross; Intuisi dan Kewajiban
Telah dibahas dua aliran besar dalam filsafat moral, yakni pandangan deontologi
dengan pandangan konsekuensialis. Dalam bagian ini akan dibahas tentang
bagaimana pandangan moral intuitif dari seorang etikus bernama W.D Ross. Bila
Kant menegaskan bahwa rasio praktis memungkinkan kita memisahkan mana
kebaikan dan mana keburukan, atau maxim kewajiban yang harus kita lakukan, dalam
pandangan Ross, ia menggunakan penjelasan intuisi. Apa yang dimaksud dengan
intuisi?
Ross berargumen bahwa seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan apa yang
bernilai baik maupun buruk. Ia mengkritik pandangan utilitarian yang terlalumenekankan pada konsep kebahagiaan, bahkan mensejajarkan kebahagiaan sebagai
kebaikan. Bagi Ross, kebahagiaan tidak dapat secara mudah disamakan dengan
kebaikan, justru kebaikan adalah bentuk nilai moral yang lebih tinggi. Jadi tujuan
moral adalah mencapai kebaikan bukan kebahagiaan. Ross mengkritik pandangan etis
dari kaum utilitarian sebagai pandangan hedonistik, yakni bertujuan hanya pada
kebahagiaan tanpa membedah lebih tajam perbedaan mendasar antara kebahagiaan
dan kebaikan. Meskipun ketika seseorang berbuat kebaikan, dan kebaikan itu
menyebabkan rasa senang, kesenangan itu tidak relevan dengan suatu prinsip moral,
justru untuk Ross, yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang signifikan adalah
benarnya tindakan individu tersebut.
Senada dengan Kant, Ross adalah seorang filosof moral yang menekankan bahwa
tindakan etis haruslah terlepas dari kepentingan individual. Bila dalam argumen
utilitarian ditekankan bahwa motif merupakan hal yang mendasar, bagi Ross, motif
menunjukan bahwa seseorang bertindak etis bukan karena tindakan itu benar secara
prinsipil, tapi tindakan itu menguntungkan baginya. Ross berargumen bahwa diluar
dari kebahagiaan terdapat berbagai hal yang menurutnya lebih tepat untuk dijadikan
prinsip tindakan moral yakni kebaikan melalui karakter yang mulia, atau berdasarkan
intelegensia. Sehingga untuk Ross premis yang mengatakan bahwa kebenaran moral
adalah memperbanyak kebahagiaan bagi semakin banyak orang dikoreksi menjadi
kebenaran moral adalah memperbanyak kebaikan bagi semakin banyak orang.
152
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
21/24
Pembedaan antara kebahagiaan dan kebaikan bagi Ross menjadi distingsi penting,
bahwa dari kedua hal tersebut kebaikan adalah yang tertinggi.
Meskipun terdapat keserupaan dalam filsafat moral Ross dengan Kant, ada perbedaan
penting antara Ross dan Kant, Ross mengkritik kewajiban sempurna dari Kant. Ia
mendebat bahwa kewajiban sempurna mengandaikan bahwa tidak ada perselisihan
menyangkut tindakan moral mana yang harus diprioritaskan. Sementara itu bagi Ross,
kita kerap dibenturkan dengan dilema moral yang tidak dapat dengan sederhananya
diselesaikan dengan prinsip mengikat imperatif Kant. Di satu sisi Ross menyetujui
adanya kewajiban, tetapi kewajiban yang ia maksudkan bukanlah kewajiban
sempurna yang dijelaskan oleh Kant, kewajiban yang ia maksudkan adalah kewajiban
dengan syarat atau kondisional.
Untuk mempermudah pembedaan antara kewajiban imperatif Kant dengan kewajiban
kondisional dari Ross adalah melalui contoh berikut; prinsip moral dari Kant akan
melarang kita dari tindakan berbohong, karena menurut Kant berbohong melanggar
prinsip kewajiban imperatif yang universal. Tetapi bagaimana bila keadaannya,
seseorang harus memilih antara berbohong atau mengatakan kejujuran, tetapi hasil
dari kejujurannya akan menyebabkan kematian orang lain? Dari contoh semacam iniRoss memaparkan bahwa secara intuitif kita memahami bahwa manakah prioritas
dalam dilema moral semacam ini. Bila dari perspektif Kant secara imperatif individu
itu harus menyampaikan kejujuran, meski kejujuran itu menyebabkan kematian orang
lain, karena prinsip moral dari Kant mengandalkan kewajiban yang mengikat bukan
suatu hasil akhir. Ross mengkritik konsep kewajiban ini, justru dari pilihan antara
kejujuran dan kematian, kita memiliki pemahaman bahwa nyawa seseorang jauh lebih
mendesak untuk didahulukan.
Ide moral semacam ini disebut oleh Ross sebagai Prima Facie, “Prima facie
menunjukan bahwa sesungguhnya pada pandangan awal yang muncul adalah situasi
moral yang hanya kemunculan semata, tetapi apa yang dimaksud dengan Prima Facie
adalah situasi moral yang dapat ditelaah secara objektif.” 5 Penelaahan secara objektif
yang dimaksud oleh Ross adalah, faktanya manusia memiliki kecerdasan untuk
membandingkan pilihan moral manakah yang paling menyebakan kebaikan utama.5 'id. 'a$ian +., -"ss& hl%. 407
153
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
22/24
Melalui cara ini menurut Ross maka kita dapat menghindarkan generalisasi yang
dapat mengakibatkan pada keburukan, seperti dalam contoh menyampaikan kejujuran
yang mengakibatkan kematian bagi orang lain. Prima Facie menekankan tentang
bagaimana seseorang merefleksikan pilihan-pilihan moralnya, sebelum ia bertindak.
Ross menyebutkan tentang berbagai macam kewajiban yang membutuhkan
pertimbangan individu dalam kejadian-kejadian aktual, ia menyusunya sebagai
berikut; 1) Fidelitas atau yang menyangkut perihal bagaimana seseorang memegang
janji atau komitmennya, 2) Kewajiban atas rasa terimakasih, ketika kita berkewajiban
atas jasa yang sudah ditunjukan oleh orang lain, 3) Kewajiban berdasarkan keadilan,
hal ini menyangkut perihal pembagian yang merata yang berhubungan dengan
kebaikan orang banyak, 4) Kewajiban beneficence, atau bersikap dermawan, dan
menolong orang lain sebagai tanggung jawab sosial, 5) Kewajiban untuk merawat dan
menjaga diri sendiri, 6) Kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain.
Enam tipe dari Prima Facie yang dijelaskan oleh Ross menunjukan bahwa dalam
kondisi-kondisi tertentu kita kerap terbentur untuk memutuskan diantara pilihan-
pilihan moral. Dalam suatu situasi yang amat mendesak, Ross menekankan pada
kemampuan intuitif manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan iniditujukan untuk mencari tahu pilihan manakah yang dimungkinkan menyebabkan
kebaikan yang tertinggi. Pertimbangan intuitif ini bagi Ross sangat vital, karena
intuisi bukanlah pertimbangan yang serampangan, tetapi pertimbangan yang
menggunakan segala aspek kecerdasan dan sensibilitas individu tersebut. Dengan
demikian maka ia dapat menghindarkan dirinya dari pilihan yang menyebabkan
keburukan untuk dirinya maupun terhadap orang disekitarnya.
154
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
23/24
Daftar Pustaka
Borchert, Donald M (Ed.). 2006. Encyclopedia of Philosophy Vol. III .Farmington Hills: Thomson Gale
Callcut, Daniel. 2009. Reading Bernard Williams . London dan New York:Routledge
Debashis, Guha. 2007. Practical and Professional Ethics Vol. 1: The Primer of Applied Ethics . New Delhi: Concept Publishing Co
Graham, Gordon. 2010. Theories of Ethics: An Introduction to MoralPhilosophy with a Selection of Classic Readings . London dan New York: Routledge
Hinman, Lawrence M. 2012. Ethics: A Pluralistic Approach to Moral Theory .California: Wadsworth Publishing
Johnson, Oliver A. dan Reath, Andrews. 2011. Ethics: Selections fromClassic and Contemporary Writers . California: Wadsworth Publishing
Kagan, Shelly. 1997. Normative Ethics . New York: Dimensions of Philosophy
Kitchener, Karen Strohm. 1999. Foundations of Ethical Practice, Research, and Teaching in Psychology and Counseling . London: LawrenceErlbaum Associates
Lee, Keekok. 1985. A New Basis for Moral Philosophy (International Libraryof Philosophy) . London: Routledge Kegan & Paul
MacIntyre, Alasdair. 1997. A Short History of Ethics: A History of MoralPhilosophy from the Homeric Age to the Twentieth Century . London dan New York:Routledge
155
-
8/18/2019 Dokumen.tips Bab IV Dasar Dasar Etika Fristian Hadinata Dan Lg Saraswati Putri
24/24
Pritchard, Michael S. 2012. What is Ethics? . Michigan: Department ofPhilosophy, Western Michigan University & Theodore Goldfarb
Sidgwick, Henry. 2004. Outlines of the History of Ethics. Montana: KessingerPublishing
T ä nnsj ö , Torbj ö rn. 2008 Understanding Ethics: Introduction to MoralTheory . Edinburgh: Edinburgh University Press
Williams, Bernard. 2006. Ethics and the Limits of Philosophy . London danNew York: Routledge
Cottingham, John. 1996. An Anthology: Western Philosophy . UK: BlackwellPublisher
Singer, Peter. 1993. Practical Ethics. New York: Cambridge University Press.
156