Download - e-ISSN 2549-6425 JUKEMA
PKPKM
p-ISSN 2088-1592 e-ISSN 2549-6425
JUKEMA Volume 5 | Nomor 1 | Februari 2019: 355 - 396
Jurnal Kesehatan
Masyarakat Aceh
Aceh Public Health Journal
Editor-in-chief | Kepala Editor
Prof. Asnawi Abdullah, MHSM., MSc.HPPF., DLSHTM., PhD.
Deputy Editor-in-chief | Deputi Kepala Editor
Dr. Radhiah Zakaria, M.Sc.
International Board of Advisors | Mitra Bestari
Nizam Ismail, MPH., PhD. | Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Indonesia
Dr. Adang Bachtiar, MPH., DSc. | Universitas Indonesia, Indonesia
Dr. Hermansyah, MPH. | Poltekkes Kemenkes NAD, Indonesia
Dr. Ede Surya Darmawan, MDM. | Universitas Indonesia, Indonesia
Fachmi Ichwansyah, MPH., HR.Dp. PhD. | Loka Litbang. Biomedis Aceh, Indonesia
Prof. Dr. Ridwan, MKes., MSc.PH. | Universitas Hasanuddin, Indonesia Hanifa M. Denny, MPH., PhD. | Universitas Diponegoro, Indonesia
Defriman Djafri, MPH, PhD. | Universitas Andalas, Indonesia
Prof. Dr. Irnawati Marsaulina, MS. | Universitas Sumatera Utara, Indonesia
Prof. Budi Utomo, MPH., PhD. | Universitas Indonesia, Indonesia
Dr. Lal B. Rawal, Med., MA., MPH., PhD. | BRAC University, Bangladesh
Assoc. Prof. Dr. Victor Hoe Chee Wai | UKM, Malaysia Prof. Johannes U. Just Stoelwinder | Monash University, Australia
Dr. Krishna Hort, MMBS., DTCH., DRCOG., MCH., FAFPHM. | University of Melbourne, Australia
Editorial Board | Dewan Penyunting
Fauzi Ali Amin, MKes.
Farida Hanum, MSi.
Vera Nazhira Arifin, MPH.
Editorial Administrator | Administrasi Editor
Agustina, SST., M.Kes dan Surna Lastri, MSi.
Layout | Tata Letak
Phossy Vionica Ramadhana, SKM., MKM.
JUKEMA Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh Aceh Public Health Journal
p-ISSN: 2088-1592 | e-ISSN: 2549-6425
Volume 5, Nomor 1, Februari 2019: 355 - 396
Penerbit:
Pusat Kajian dan Penelitian Kesehatan Masyarakat (PKPKM) Gedung Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Lantai II, Universitas Muhammadiyah Aceh (UNMUHA)
Jl. Muhammadiyah No.93, Bathoh, Lueng Bata, Banda Aceh, Aceh
Telp. (0651) 31054, Fax. (0651) 31053
Email: [email protected] atau [email protected]
Website: http://pps-unmuha.ac.id/pusat-kajian-dan-penelitian-kesehatan-masyarakat/
Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh (Aceh Public Health Journal) atau disingkat dengan JUKEMA merupakan kumpulan
jurnal ilmiah yang memuat artikel hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian di bidang ilmu kesehatan
masyarakat, ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan. Jurnal ini diterbitkan 2 x dalam setahun (Februari dan Oktober) oleh
PKPKM UNMUHA.
p-ISSN: 2088-1592 | e-ISSN: 2549-6425
Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh Aceh Public Health Journal Volume 5, Nomor 1, Februari 2019: 355 – 396
Editorial: Jangan Stress Saat Hamil, Juga Jangan Stress Jika Anak Mengalami Autism Dr. rer. Med. Ns. Marthoenis, M.Sc., MPH 355-356
Hubungan Antara Diet Anak Autisme Dengan Perkembangan Anak Autisme Di Pusat
Layanan Autis Provinsi Bangka Belitung Hamdani Syah Putra Ginting dan Fitrah 357-365
Gambaran Tingkat Stres Pada Orang Tua Dengan Anak Berkebutuhan Khusus
(Tunagrahita) Di SLB Yayasan Bahagia Kota Tasikmalaya
Wawan Rismawan, Meyriana Ulfah, dan Anih Kurnia 366-371
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Di Pesantren Darul
Munawwarah Pidie Jaya Tahun 2018
Hafni Zahara, Linda T.Maas, dan Rahayu Lubis 372-380
Perbedaan Status Gizi Pada Bayi Yang Diberi ASI Eksklusif Dan MP-ASI Dini Di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar Tahun 2017 Phossy Vionica Ramadhana, Asnawi Abdullah, dan Basri Aramico 381-391
Penetuan Angka Lempeng Total (ALT) Pada Ikan Kayu Yang Dijual Di Pasar Peunayong
Kota Banda Aceh
Elfariyanti, Nina Ismayanti 392-396
Template JUKEMA
Formulir
Berlangganan
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 355-356
355
Editorial:
JANGAN STRESS SAAT HAMIL, JUGA JANGAN STRESS JIKA
ANAK MENGALAMI AUTISM
Do not Stress during Pregnancy, also do not Stress if the Child has Autism
Dr. rer. Med. Ns. Marthoenis, M.Sc., MPH1
Department of Psychiatry and Mental Health Nursing Syiah Kuala University 1 [email protected]
Sepasang suami istri yang tinggal disebuah kota di Indonesia begitu bahagia dengan lahirnya
anak pertama mereka. Setelah lebih dari lima tahun menikah, sang istri akhirnya bisa hamil.
Kehamillanya juga berlangsung normal, meski kadang si Istri merasa stress karena kesibukan
di tempat kerja, dan juga cemas dengan kehamilan pertamanya tersebut. Meski begitu, hingga
hari kelahiran si buah hati, tak ada masalah yang berarti yang harus dihadapi pasangan muda
ini. Setelah si bayi lahir, si ibu memilih untuk resign dari pekerjaan, demi bisa memberikan
perhatian yang lebih ke anak semata wayangnya. Sedangkan suaminya tetap bekerja
sebagaimana biasanya.
Tubuh atau fisik si anak tumbuh normal seperti anak-anak lainnya. Kecemasan mulai muncul
sejak si anak berusia dua tahun. Berbeda dengan anak seusia yang sangat ineraktif dengan
orang disekitar, anak mereka sepertinya kurang respon saat diajak berkomunikasi. Si anak
tampak seperti memiliki dunia sendiri dan kurang interaktif ketika namanya dipanggilkan.
Orang tua yang kebetulan berpendidikan tinggi kemudian berkonsultasi tentang keadaan
anaknya ke dokter. Setelah mendapatkan penjelasan mengenai masalah yang dialami
anaknya, pasangan ini bertambah bingung dan stress dengan diagnosa yang diberikan,
Autism.
Autism merupakan suatu gangguan perkembangan yang ditandai dengan kesusahan untuk
berkomunikasi dan interaksi sosial. Secara global ada sekitar 35 juta anak yang menderita
Autism pada tahun 2011. Di Indonesia sendiri, Kemenkes RI mengestimasi sekitar 112.000
anak dengan gangguan ini. Meski penelitian sudah lama dilakukan, penyebab pasti Autism
belum diketahui. Beberapa teori mengaitkan dengan masalah biologis, termasuk kedalamnya
masalah genetik dan perinatal, dan teori psikososial. Riset juga menunjukkan bahwa paparan
terhadap polusi udara selama kehamilan juga meningkatkan resiko terjadinya autism pada
anak yang dilahirkan. Stress yang dialami oleh ibu saat hamil juga berhubungan dengan
Autism. Sedangkan vaksin MMR yang dianggap sebagai penyebab autism pada anak sama
sekali tidak terbukti secara klinis.
Sama seperti anak yang mengalami gangguan perkembangan lainnya, anak-anak dengan
autism memiliki tingkat perawatan kesehatan yang tidak terpenuhi (unmet healthcare need)
yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat umum. Karena itu, ada beberapa strategi
yang direkomendasikan untuk mengatasi ketidaksetaraan dalam memperoleh pelayanan,
termasuk diantaranya adalah: menyediakan materi pendidikan kesehatan yang mudah
dijangkau oleh orang tua, memberdayakan orang tua dan anak-anak yang mengalami masalah
perkembangan, dan meningkatkan pengetahuan serta mengubah sikap pemberi pelayanan
kesehatan.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 355-356
356
Penelitian berkaitan dengan Autism dan gangguan perkembangan lainnya harus berfokus
pada atau mampu memberikan bukti yang lebih baik tentang paket perawatan yang efektif
dan sesuai bagi penderita dan keluarga, bisa menemukan model pelayanan anak-anak autism
dengan sumber daya yang terbatas, bisa melibatkan masyarakat luas untuk peduli tentang
austim dan yang paling penting, bisa mengubah kebijakan sebuah negara untuk lebih
memperhatikan penderita Autism dan gangguan perkembangan lainnya.
Terakhir, penatalaksanaan anak dengan Autism difokuskan pada penanganan stress yang
dialami keluarga khususnya orang tua, meningkatkan kualitas hidup anak, dan mengurangi
ketergantungan. Secara umum, anak yang IQ tinggi cenderung memiliki prognosa yang lebih baik atau memiliki hasil penatalakanaan yang baik pula. Tidak ada satu pendekatan
treatment yang paling baik untuk menangai anak dengan Autism. Tetapi, edukasi terhadap keluarga merupakan salah satu kunci untuk mencapai tujuan dari penatalaksanaan anak
dengan autism. Sekian - Marthoenis.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 357-365
357
HUBUNGAN ANTARA DIET ANAK AUTISME DENGAN
PERKEMBANGAN ANAK AUTISME DI PUSAT LAYANAN AUTIS
PROVINSI BANGKA BELITUNG
Relationship between Children's Autism Diet with the Development of Autism
Children in Bangka Belitung Private Autis Service Center
Hamdani Syah Putra Ginting1, dan Fitrah2
1,2 Jurusan Gizi, Poltekkes Pangkalpinang, Bangka Belitung, Indonesia [email protected] , [email protected]
ABSTRAK
Latar Belakang: Gangguan kesehatan padagangguan perkembangan anak, yang dikenal dengan istilah autisme.
Data UNESCO pada tahun 2011 jumlah anak penyandang autisme di dunia sekitar 35 juta anak. Berdasarkan
data dari Kemenkes RI (2013), bahwa jumlah anak Penyandang Autisme sampai berjumlah 112.000 anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara diet anak autisme dengan perkembangan anak
autisme di Pusat Layanan Autis Provinsi Bangka Belitung. Metode: Metode dalam penelitian ini adalah survey
analitik dengan rancangan cross sectionalstudy.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak autis dan
orang tua berjumlah 26 orang. Hasil: Hasil menunjukkan ada hubungan diet bahan makanan sumber gluten
dengan perkembangan anak autismnilai p=0.005 dan terdapat hubungan antara diet bahan makanan casein
dengan perkembangan anak autisme diperoleh nilai p=0.023. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara diet
bahan makanan sumber gluten dan casein terhadap perkembangan anak autis. Saran perludilakukan sosialisasi
pentingnya pengaturan makan pada anak autis yaitu dengan melakukan pembatasan konsumsi sumber gluten
dan kasein dan meningkatkan motivasi ibu serta membiasakan membaca label informasi gizi pada produk
makanan sebelum dibeli apakah mengandung banyak gluten dan casein.
Kata kunci : Diet Anak Autisme, Perkembagan Anak Autisme
ABSTRACT
Background: Health problems occurred in child development disorder or commonly known as autism. Data
from UNESCO in 2011 described that there are about 35 million children with autism around the world. Based
on data of the Indonesian Ministry of Health (2013), there are around 112,000 children with autism. This study
aimed to determine the relationship between autistic children's diet and the development of autistic children in
the Autism Service Center of Bangka Belitung Province. Methods: The method used in this study was analytic
survey with a cross sectional study design. The populations in this study were autistic children and parents with
26 people in total. Results: Showed that there was a relationship between dietary sources of gluten-based food
and the development of autism children (p=0.005). There was also a relationship between dietary food casein
and the development of autism children (p= 0.023). Conclusion: It can be concluded that there is a relationship
between dietary food sources of gluten and casein to the development of autistic children. Suggestions are
needed to be introduced about the importance of shaping eating habits in autistic children by limiting the
consumption of gluten and casein rich foods. It is also important to increase maternal motivation and
familiarize them to refer to nutritional information labels on food products before buying whether they contain
lots of gluten and casein.
Keywords: Children’s Autism Diet, Development of Autism Children
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 357-365
358
PENDAHULUAN
Autis adalah gangguan perkemba-ngan
yang mencakup bidang komunikasi,
interaksi, serta perilaku yang luas dan
berat. Gejala autis mulai tampak pada anak
usia 18-36 bulan1. Autisme adalah
gangguan perkembangan otak pada anak
yang berakibat tidak dapat berkomuni-kasi
dan tidak dapat mengekspresikan perasaan
dankeinginannya, sehingga perilaku
hubungan dengan orang lain terganggu2.
Saat ini prevalensi anak dengan
kelainan hambatan perkembangan perilaku
telah mengalami peningkatan yang sangat
mengejutkan. Di Pensylvania, Amerika
Serikat, jumlah anak autisma saja dalam
lima tahun terakhir meningkat sebesar
500%, menjadi 40 dari 10.000 kelahiran.
Belum terhitung anak–anak dengan
perilaku lainnya. Data UNESCO
menunjukan bahwa pada tahun 2011
jumlah anak penyandang autisme di dunia
sekitar 35 juta anak, dengan perbandingan
6/1.000 anak, kondisi di USA 11/1.000
anak, dan untuk di Indonesia 8/1.000 anak.
Berasarkan data dari Kemenkes RI, bahwa
jumlah anak Penyandang Autisme sampai
berjumlah 112.000 anak3.
Terdapat berbagai macam teori tentang
penyebab autisme, antara lain teori
psikososial, teori biologis dan teori
imunologi. Teori biologis meliputi faktor
genetik, faktor perinatal, modweel neuro
anatomi, dan hipotesis neurokemistri.Salah
satu kelainan yang terjadi pada anak
autisme adalah kelainan otak, diduga ada
beberapa daerah diotak yang mengalami
disfungsi. Kelainan inilah yang diduga
dapat mendorong timbulnya gangguan
perilaku pada anak autisme4.
Intoleransi terhadap bahan kimia dan
makanan diduga sebagai penyebab
autisme. Makanan pantangan utama
meliputi gandum, susu sapi dan obat
golongan salisilat. Reaksi alergi yang
timbul dapat berupa utikari, asma dan
perilaku yang memburuk. Penelitian
membuktikan bahwa diet mempunyai
kontribusi terhadap kelainan perilaku
walaupun mekanismenya masih tidak jelas
apakah mekanisme alergi, toksik atau
farmakologikal5.
Beberapa jenis makanan seperti
makanan yang mengandung gluten dan
casein merupakan salah satu faktor yang
dapat memperburuk kondisi anak.
Pengaturan makanan yang sesuai dengan
kondisi dan kecukupan zat gizi anak
autisme dapat memperbaiki gangguan
yang diderita anak6. Sejalan dengan
penelitian bahwa diet yang dapat dijalani
oleh penderita autisme adalah diet bebas
zat aditif, bebas jamur, bebas gula murni,
diet eliminasi dan rotasi7.
Pusat layanan autis Provinsi Bangka
Belitung merupakan panti terapi satu–
satunya yang berada di provinsi Bangka
Belitung dan belum pernah dilakukan
penelitian yang berhubungan dengan diet /
konsumsi makanan.Hal itulah yang
mendorong penulis untuk melakukan
penelitian tentang hubungan diet dengan
perkembangan anak autisme.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dengan rancangan
crosssectional study yaitu untuk
mengetahui hubungan diet bebas gluten,
casein, gula murni, zat aditif dan jamur
dengan perkembangan anak autisme.
Lokasi penelitian ini adalah di Pusat
Layanan Autis Provinsi Bangka- Belitung.
Pengumpulan data dilaksanakan pada
bulan Juli–Agustus 2017. Dengan populasi
seluruh anak dan orang tua anak autis
yang tercatat pada data Pusat Layanan
Autis. Teknik sampling yang digunakan
adalah Total Sampling yaitu cara
pengambilan sampel dimana jumlah
sampel sama dengan jumlah populasi,
dengan jumlah 26 orang tua dan anak di
Pusat Layanan Autis Provinsi Bangka
Belitung.
Alat penelitian ini adalah: Kuesioner
sumber bahan makanan berupa food
frequency Questionaire (FFQ) untuk
memperoleh data tentang frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan dan
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 357-365
359
kuesioner perkembangan autisme berupa
daftar check-list deteksi perkembangan
anak autisme berdasarkan WHO (ICD-10).
HASIL
Jenis Kelamin Anak Autis
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Jenis
Kelamin Anak Autis umur 0-18 tahun
di Pusat Layanan Autis Provinsi
Bangka Belitung
Jenis Kelamin n %
Laki-laki 20 76.9 %
Perempuan 6 23.1 %
Total 26 100 %
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan Tabel 1 terdapat 20 orang
anak yang memiliki jenis kelamin laki-laki
dan 6 orang anak dengan jenis kelamin
perempuan dengan masing-masing
presentase sebesar 76.9 % dan 23.1 %.
Asupan Gluten
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Asupan
Makanan Mengandung Gluten Pada
Anak Autis Umur 0-18 Tahun di Pusat
Layanan Autis Provinsi Bangka
Belitung
Asupan Gluten n %
Sering Sekali 8 30.7 %
Jarang 18 69.3 %
Total 26 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan Tabel 2 menunjukan
bahwa dari 26 orang jumlah responden
yang dapat diwawancarai terdapat 8 orang
anak dengan presentase 30.7 % yang
masuk dalam kategori biasa
mengkonsumsi makanan mengandung
Gluten yaitu setiap kali makan atau setiap
hari, sedangkan sisanya atau sebanyak 18
orang dengan presentase 69.3% jarang
mengkonsumsi makanan mengandung
Gluten.
Asupan Kasein
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Asupan
Makanan Mengandung Kasein Pada
Anak Autis Umur 0-18 Tahun di
Pusat Layanan Autis Provinsi Bangka
Belitung
Asupan Kasein n %
Sering Sekali 2 7.7
Jarang Dikonsumsi 19 73.1
Tidak Pernah
Dikonsumsi
5 19.2
Total 26 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan Tabel. 3 menunjukan
bahwa dari 26 orang jumlah responden
yang dapat diwawancarai terdapat 2 orang
anak dengan presentase 7.7% yang masuk
dalam kategori sering sekali
mengkonsumsi makanan mengandung
Kasein yaitu setiap kali makan atau setiap
hari. sedangkan sebanyak 19 orang
dengan presentase 73.1% jarang
mengkonsumsi makanan mengandung
Kasein, dan terdapat 5 orang anak yang
tidak pernah mengkonsumsi makanan
mengandung Kasein dengan prentase
sebesar 19.2%.
Asupan Recall 1x24 jam
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Asupan
Recall 1x24 Jam pada Anak Autis Umur
0-18 Tahun di Pusat Layanan Autis di
Pusat Layanan Autis Provinsi Bangka
Belitung
Kategori Recall n %
Lebih 20 76.9
Baik 6 23.1
Total 26 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan Tabel 4 didapatkan hasil
20 orang anak yang masuk dalam kategori
asupan makan lebih dengan presentase
76.9%, dan terdapat 6 orang anak dengan
kategori asupan makan baik dengan
presentase sebesar 23.1%.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 357-365
360
Perkembangan Anak Autism
Gambaran perkembangan anak autisme
diperoleh dari pengisian formulir
kuesioner perkembangan anak berupa
daftar check- list berdasarkan WHO (ICD–
10). Pengisian formulir dilakukan oleh
orang tua atau pengasuh terdekat sampel
secara langsung, penjelasan cara pengisian
oleh peneliti dan guru. Pengkategorian
sampel menjadi gejala yang baik dan tidak
baik didasarkan atas gejala awal yang
didapat dengan gejala saat ini. Setelah
dilakukan pengolahan dari hasil pengisian
formulir perkembangan anak autisme
diperoleh distribusi perkemba-ngan sampel
sebagaimana disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Perkembangan pada Anak
Autis Umur 0-18 Tahun di Pusat
Layanan Autis di Pusat Layanan Autis
Provinsi Bangka Belitung
Kategori
Perkembangan n %
Baik 21 80.7
Tidak Baik 5 19.3
Total 26 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan Tabel 5 diperoleh hasil
bahwa sebagian besar sampel, sebanyak 21
anak (80.7%) mengalami perkembangan
baik dan 5 anak (19.3%) perkembangan
yang tidak baik.
Hubungan Diet Bahan Makanan
Sumber Gluten Dengan Perkembangan
Anak Autisme
Hubungan antara variabel diet bahan
makanan sumber gluten dengan
perkembangan anak autisme dapat dilihat
pada Tabel 6. Hubungan dua variabel
tersebut dilakukan pengujian dengan
menggunakan uji statistik chi–square.
Tabel 6. Hubungan Diet Bahan Makanan
Sumber Gluten dengan Perkembangan
Anak Autisme.
Diet bahan
makanan
sumber
gluten
Perkembangan
Total
P
Baik Tidak
Baik
0.005 Baik 21 0 21
Tidak Baik 2 3 5
Total 23 3 26
Sumber: Data Primer, 2017
Pada Tabel 6 dapat dilihat sebanyak 21
anak memiliki diet bahan makanan sumber
gluten baik dan perubahan perkembangan
dalam kategori baik, 2 anak memiliki diet
bahan makanan sumber gluten tidak baik
dan perkembangan tidak baik.3 anak yang
memiliki diet tidak baik dengan kategori
perubahan perkembangan tidak baik.
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p
0.005 (p<0.05) Uji dilakukan dengan
menggunakan Fisher's Exact Test karena
dalam tabel silang terdapat tiga sel yang
memiliki nilai kurang dari 5. Berdasarkan
uji yang telah dilakukan ada hubungan
antara diet bahan makanan sumber gluten
dengan perkembangan anak autisme.
Hubungan Diet Bahan Makanan
Sumber Kasein Dengan Perkembangan
Anak Autisme
Hubungan antara variabel diet bahan
makanan sumber kasein dengan
perkembangan anak autisme dapat dilihat
pada Tabel 7. Hubungan dua variabel
tersebut dilakukan pengujian dengan
menggunakan uji statistik chi–square.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 357-365
361
Tabel 7. Hubungan Diet Bahan
Makanan Sumber Kasein dengan
Perkembangan Anak Autisme.
Sumber: Data Primer, 2017
Pada Tabel 7, dari 18 anak
melaksanakan diet bahan makanan sumber
kasein baik dan memiliki perkembangan
baik, 4 anak melaksanakan diet bahan
makanan sumber kasein tidak baik dan
memiliki perkembangan tidak baik, dari
perkembangan 4 anak yang tidak baik, 4
anak melaksanakan diet bahan makanan
sumber kasein tidak baik.
Hasil pengujian secara statistik
hubungan antara diet bahan makanan
kasein dengan perkembangan anak
autisme diperoleh nilai p=0.023 (p<0.05)
hal ini menunjukan ada hubungan antara
diet dengan perkembangan anak autisme.
PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Hasil penelitian menunjukkan dari
total 26 responden, 20 responden adalah
laki-laki dan 6 perempuan. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya
yang menyatakan bahwa prevalensi
penderita autis lebih banyak ditemukan
pada laki-laki dibandingkan perempuan
4:1.8
Hal ini berkaitan dengan produksi
hormon. Laki-laki lebih banyak
memproduksi hormon testosteron
sedangkan perempuan lebih banyak
memproduksi hormon estrogen. Kedua
hormon tersebut memiliki efek
bertolakbelakang terhadap suatu gen
pengatur fungsi otak yang disebut retinoic
acid related orphan receptor alpha atau
RORA. Hormon testosteron menghambat
kerja RORA sedangkan hormon estrogen
mampu meningkatkan kinerjanya. Apabila
kinerja RORA terhambat maka akan
terjadi berbagai masalah koordinasi tubuh,
misalnya saja gen tersebut seharusnya
melindungi sel saraf dari dampak stress
dan inflamasi namun karena kinerjanya
terhambat maka sel tersebut tidak mampu
bekerja secara baik9.
Urutan kelahiran anak berpengaruh
terhadap pola asuh pada anak autis,
mayoritas responden pada penelitian ini
merupakan anak bungsu dalam
keluarganya. Hal ini tentunya juga
berdampak pada status gizinya, secara
keseluruhan sebagian besar responden
memiliki status gizi normal (96.15%)
namun juga ditemukan pula responden
dengan masalah gizi kurang. Beberapa
permasalahan makan pada anak autis
diantaranya picky eaters (memilih-milih
makanan), kesulitan menerima makanan
baru, dan tantrum atau mengamuk.10
Penderita autis hanya makan
berdasarkan jadwal makan atau makan jika
sudah tiba waktu makan, bukan karena
lapar. Mereka tidak bisa menakar seberapa
banyak makanan yang harus
dikonsumsinya, sehingga baru akan
berhenti jika makanan tersebut habis atau
dihentikan oleh orang lain11. Oleh karena
itu, dukungan dari orangtua dan anggota
keluarga lainnya sangat dibutuhkan untuk
kemajuan perkembangan penderita autis12.
Frekuensi Konsumsi Makanan
Mengandung Gluten dan Kasein.
Penerapan diet pada penderita autis harus
dilakukan secara tetap, teratur dan
berkesinambungan untuk melihat manfaat
dari diet tersebut, hal ini tentunya
membutuhkan pengawasan yang ketat baik
dari orangtua maupun keluarga13. Seluruh
responden (100%) pada penelitian ini
masih mengonsumsi makanan yang
mengandung gluten maupun kasein,
walaupun dalam kadar yang sangat sedikit
dan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan
pada ibu subjek ada beberapa alasan yang
Diet bahan
makanan
sumber
kasein
Perkembangan
Total P n %
Baik 18 0 18
Tidak Baik 4 4 8
Total 22 4 26
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 357-365
362
melatarbelakangi sulitnya menerapkan diet
tersebut diantaranya, faktor psikologis
anak, lingkungan keluarga, keterbatasan
bahan makanan sebagai alternatif
pengganti dan umumnya makanan yang
mengandung gluten maupun kasein
tersebut merupakan makanan kesukaan si
anak, sehingga orangtua merasa tidak tega
jika tidak memberikannya. Implementasi
orangtua dalam menerapkan diet bebas
gluten bebas kasein, saat ini hanya baru
bisa pada tahap mengurangi atau mengatur
frekuensi pemberiannya. Pengaturan
frekuensi makanan tersebut pun bervariasi
disesuaikan dengan kemampuan orangtua
dan kondisi anak.
Berikut beberapa contoh bahan
makanan yang bisa menjadi alternatif
pilihan bagi penderita autis diantaranya
tepung beras, tepung beras merah, tepung
maizena, tepung kedelai, tepung tapioka,
tepung kentang, tepung kanji, tepung
singkong, tepung umbi-umbian, bihun,
soun, sebagai pengganti terigu (gluten),
sedangkan susu kedelai, sari almond, sari
kacang hijau sebagai pengganti susu
(kasein).11
Berdasarkan hasil wawancara,
umumnya ibu responden pada penelitian
ini sudah mengetahui mengenai diet bebas
gluten bebas kasein bagi penderita autis.
Namun, ada beberapa alasan yang
mempengaruhi sulitnya menerapkan diet
tersebut diantaranya keterbatasan alternatif
bahan makanan pengganti dan anak mudah
sakit sehingga apabila makanan tersebut
dibatasi maka orangtua khawatir anak
tersebut akan kekurangan gizi. Penelitian
yang dilakukan di Bandung dan
Yogyakarta menyatakan bahwa diet bebas
gluten bebas casein selain membuat
perilaku autis berkurang juga memiliki
manfaat lainnya, penderita autis yang
orangtuanya konsisten dalam menjalankan
diet tersebut membuat anak mereka
menjadi tidak mudah sakit dibandingkan
saat belum melakukan diet bebas gluten
bebas kasein14.
Frekuensi konsumsi gluten kasein
berada pada skor terendah yaitu 0,
pengaplikasian dietnya pun berbeda
dengan subjek yang memiliki skor
tertinggi yaitu 483. Responden dengan
skor konsumsi terendah memiliki
kebiasaan mengonsumsi makanan yang
mengandung gluten maupun kasein yang
dibatasi maksimal dalam 1 kali/minggu
atau bahkan 1 kali/bulan subjek hanya
boleh mengonsumsi makanan tersebut,
sedangkan subjek dengan skor konsumsi
yang tertinggi memiliki kebiasaan
mengonsumsi makanan yang mengandung
gluten maupun kasein hampir setiap hari
dalam menu makanannya. Sejalan dengan
penelitian tentang makanan yang menjadi
favorit subjek pada penelitian ini antara
lain aneka gorengan yang digoreng
menggunakan tepung terigu, roti, mie,
pasta, cokelat dan susu11.
Perkembangan Anak Autism
Dari pengisian kuesioner yang
dilakukan orang tua atau orang yang
terdekat dengan sampel diperoleh hasil
sebanyak 80.7% sampel mengalami
perbaikan perkembangan lebih baik dari
sebelumnya. Berbagai terapi dilakukan
sehingga perbaikan perkembangan kearah
yang lebih baik mengalami kemajuan.
Panti terapi tempat penelitian ini
menggunakan metode ABA (Applied
Behaviour Analysis).
Penelitian di Ameriks Serikat
membuktikan metode ABA bisa
memperbaiki ketidaknormalan anak
autisme dengan tingkat keberhasilan
mencapai 89%. Penelitian tersebut
menunjukkan keterpaduan metode ABA
dengan intervensi biomedis dengan
keberhasilan secara terperinci 47%
berhasil dengan baik, 42% berhasil dengan
berbagai tingkatan dan 11% lainnya tidak
mengalami kemajuan yang signifikan15.
Pada penelitian ini 19.3% sampel yang
termasuk kategori perkembangan tidak
baik kemungkinkan disebabkan oleh umur
anak autisme pada awal mulai terapi >5
tahun, sebagaimana pernyataan yang
menekankan bahwa perlu dipahami orang
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 357-365
363
tua, bahwa terapi harus dimulai sedini
mungkin sebelum usia 5 tahun.
Perkembangan paling pesat dari otak
manusia terjadi pada usia sebelum 5 tahun,
pucaknya terjadi pada usia 2–3 tahun16.
Oleh karena itu penatalaksanaan terapi
setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lebih
lambat. Pada usia 5–7 tahun
perkembangan otak melambat menjadi
25% dari usia sebelum 5 tahun. Sekalipun
demikian, karena tidak ada pilihan lain,
anak usia lebih dari 5 tahun tetap perlu
diterapi prilakunya.
Hubungan Antara Diet Bahan Makanan
Sumber Gluten Dengan Perkembangan
Anak Autisme
Gluten dan kasein berbeda dalam
keluarga protein. Gluten protein berasal
dari gandum–ganduman, misalnya terigu,
oat, dan barli, sedangkan casein protein
berasal dari susu sapi, keduanya sulit
dicerna. Anak autis harus menghindari
olahan berbahan dasar kedua protein
tersebut. Semua yang berasal dari tepung
terigu merupakan hasil olahan yang
mengandung gluten, seperti roti, makaroni,
spageti, mie, sereal, crackers, tepung
panir, ragi dan bahan pengembang kue.
Produk olahan yang mengandung kasein
adalah susu sapi segar, susu bubuk,
mentega, keju, cokelat, yoghurt, dan es
krim. Mengonsumsi gluten dan kasein
akan membuat anak autis yang mengalami
gangguan pencernaan lebih menderita17.
Hasil penelitian menunjukkan
ditemukannya hubungan antara diet bahan
makanan sumber gluten dengan
perkembangan anak autisme.
Hubungan Antara Diet Bahan Makanan
Sumber Kasein Dengan Perkembangan
Anak Autisme
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan antara diet bahan makanan
sumber kasein dengan perkembangan anak
autisme. Kadar opiod yang tinggi dalam
otak berhubungan dengan perilaku
stereotip. Atas dasar teori kelebihan opioid
pada penyandang autisme maka tahap
pertama dalam terapi adalah
menghilangkan sumber peptida, yaitu
kasein dan gluten18.
Reaksi opioid pada anak autisme
menimbulkan reaksi mencandu serupa
pemakai narkoba. Oleh karena itu, bila
reaksi opioid ini tidak dihentikan, maka
akan mengganggu perkembangan saraf
otak bahkan secara lebih spesifik akan
mempengaruhi bagian temporal lobes otak
yang berfungsi menjaga kesinambungan
kemampuan bicara dan pendengaran.
Sensitivitas anak yang tinggi terhadap
gluten dan kasein sangat berbahaya bagi
perkembangan anak autisme itu sendiri
karena hanya dengan takaran 1 mg saja,
gluten dan kasein dapat berefek sangat
dahsyat sehingga semakin memperburuk
simpton autisme bagi anak yang
menyandangnya.19.
Para ahli sepakat bahwa sebaiknya
anak autis melakukan diet gluten dan
kasein atau diet bebas gluten bebas kasein,
selain diyakini memperbaiki gangguan
pencernaan, diet ini juga bisa mengurangi
gejala atau tingkah laku autistik20.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penderita autis lebih banyak ditemukan
pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Kelompok usia terdiagnosis autis paling
dominan antara 3-5 tahun dan sebagian
besar anak autis merupakan anak bungsu
dalam keluarganya. Seluruh responden
(100%) pada penelitian ini masih
mengonsumsi makanan yang mengandung
gluten bebas kasein namun penerapannya
hanya sebatas mengurangi atau mengatur
frekuensi pemberiannya saja.
Sebanyak 77 % responden penelitian
masih mengkonsumsi makanan sumber
kasein dan hanya 5% saja yang tidak
pernah mengkonsumsi sumber casein
dalam makanan sehari-hari. Berdasarkan
perubahan gejala awal yang didapat
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 357-365
364
responden, diperoleh hasil bahwa sebagian
besar sampel, sebanyak 21 anak (80.7%)
mengalami perkembangan baik dan 5
anak (19.3%) perkembangan yang tidak
baik. Terdapat hubungan antara diet bahan
makanan sumber gluten dan kasein
terhadap perkembangan anak autis.
Saran
Bagi Pusat Layanan Autis dan
Orangtua: Pembaharuan informasi perlu
dilakukan secara rutin oleh terapis untuk
meningkatkan pengetahuan, perilaku, dan
pola makan yang tepat sehingga
diharapkan dapat memperbaiki dan
mendukung perkembangan anak autis
secara optimal. Sosialisasi perlu dilakukan
seperti penyuluhan, pembuatan poster
publikasi mengenai pentingnya pengaturan
makan pada anak autis yaitu dengan
melakukan pembatasan konsumsi sumber
gluten dan kasein dan meningkatkan
motivasi ibu untuk menyiapkan makanan
khusus bagi anak autis serta membiasakan
membaca label informasi gizi pada produk
makanan sebelum dibeli apakah
mengandung banyak gluten dan kasein.
Dianjurkan kepada peneliti lain untuk
terus menggali dan meneliti permasalahan
perilaku makan yang terjadi pada anak
autis khususnya diwilayah Kepulauan
Bangka Belitung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Indiarti M.T., Ma, Aku Sakit Lagi:
Panduan Lengkap Kesehatan Anak
dari A Sampai Z, Yogyakarta: ANDI
Yogyakarta; 2007.
2. Sastra, G., Neuorlinguistik Suatu
Pengantar, Bandung: Alfabeta; 2011.
3. Citydirectory.http://vivirizkiamelia.bl
ogspot.com/ 2012/05/angka-
kejadian-autis-2011.html
4. Widyawati, I., Autisme Masa Kanak,
Prosiding Simposium Temu Ilmiah
Akbar; 2002.
5. Waring, R.H., Dalam Penelitian
Patofisiologi Autisme oleh Emy.
Darto Suharso, Monque Norvitri.
Surabaya; 1999.
6. Prawiningdyah, Y., Penatalaksanaan
Gizi Pada Anak Autis. Temu Ilmiah
Dietitik VI Asosiasi Dietisien
Indonesia DIY; 2003.
7. Sjambali, R., Intervensi Nutrisi Pada
Autisme Dalam Peñatalaksanaan
Holistik Autisme. Jakarta: Konggres
Nasional Autisme Indonesia; 2003.
8. Eko, S., Hubungan Karakteristik
Ibu Dengan Konsumsi Makanan
Yang Mengandung Gluten Dan
Casein Pada Anak Autis. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2007.
9. Alter, M.D., Autism And Increased
Paternal Age Related Changes In
Global Levels Of Gene Expression
Regulation. Public Library of Science
ONE Journal: Februari; 2013.
10. Bandini, L.G., Food Selectivity In
Children With Autism Spectrum
Disorders And Typically Developing
Children. Journal Pediactric; August;
2010.
11. Nugraheni, S.A., Efektivitas Diet
Bebas Gluten Bebas Casein
Terhadap Perubahan Perilaku
Anak Autis. Semarang: Pustaka Rizki
Putra; 2008.
12. Rahmawati, S., Julia M., Hubungan
Antar Pola Konsumsi Gluten Dan
Kasein Dengan Skor CARS
(Childhood Autism Rating Scale)
Pada Anak ASD (Autistic Spectrum
Disorder). Jurnal Gizi Klinik
Indonesia; 2006.
13. Elder, J.H., Shankar, M., Shuster, J.,
The Gluten Free Casein Free Diet
In Autism: Results Of A
Preliminary Double Blind Clinical
Trial. 2006. At
http//web.ebscohost.com diakses pada
tanggal 1 November 2018.
14. Latifah, R.E., Studi Konsumsi Dan
Status Gizi Pada Anak Penyandang
Gangguan Spektrum Autisme Di
Kota Bogor. Bogor: Fakultas
Pertanian: Institut Pertanian Bogor;
2004.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 357-365
365
15. Siswono, Ragam Diet Sehat.
http://www.gizi.net/cgibin/berita/fulln
ews; 2003.
16. Handojo, Y., Autisme. Petunjuk
Praktis Dan Pedoman Materi
Untuk Mengajar Anak Normal,
Autis Dan Prilaku Lain. PT Bhuana
Ilmu Populer Kelompok Gramedia:
Jakarta; 2006.
17. Danuatmaja, B., Menu Autis.
Pustaka Pembangunan Swadaya
Nusantara: Jakarta; 2004.
18. Budhiman, Melly, Shattock, P.,
Endang, A., Langkah Awal
Menanggulangi Autisme Dengan
Memperbaiki Metabolisme Tubuh.
Penerbit Majalah Nirmala: Jakarta;
2002.
19. Hembing, M., Autisma. Tips Dan
Kiat Mengatasi Anak Autisma.
Jakarta; 2003.
20. Danuatmaja, B., Terapi Anak Autis
Di Rumah, Pustaka Pembangunan
Swadaya Nusantara: Jakarta; 2003.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 366-371
366
GAMBARAN TINGKAT STRES PADA ORANG TUA DENGAN
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (TUNAGRAHITA)
DI SLB YAYASAN BAHAGIA KOTA TASIKMALAYA
Description Level of Parents Stress Who Have the Children with Tunagrahita in
SLB Yayasan Bahagia Kota Tasikmalaya
Wawan Rismawan1, Meyriana Ulfah2, Anih Kurnia3 1,2,3,Program Studi D Iii Keperawatan, Stikes Bth Tasikmalaya, Jl.Cilolohan No.36 Tasikmalaya Kp.46115
[email protected] , [email protected] , [email protected]
ABSTRAK
Latar Belakang: Orang tua berharap memiliki anak yang sehat, baik fisik maupun mental, namun keberadaan
anak berkebutuhan khusus dalam keluarga akan menjadi stressor tersendiri bagi setiap anggota keluarga karena
dapat menjadi beban bagi keluarga baik secara mental maupun materil. Stres yang dialami oleh orang tua
dengan anak berkebutuhan khusus berpengaruh pada perkembangan anak. Tujuan penelitian untuk mengetahui
tingkat stres orang tua dengan anak berkebutuhan khusus (tunagrahita) dan klasifikasi anak tunagrahita di SLB
Yayasan Bahagia Tasikmalaya. Metode: Rancangan penelitian deskriftif kuantitatif dengan teknik sampling
accidental. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 orang tua siswa/siswi tunagrahita di SLB Yayasan Bahagia
Tasikmalaya. Teknik pengumpulan data menggunakan alat ukur observasi dan kuesioner dass 42. Hasil:
Peneliti mendapatkan hasil bahwa anak tunagrahita sedang 20 orang (66.7%) sedangkan anak tunagrahita ringan
10 orang (33.3%) dan tidak ada anak tunagrahita berat (0%). Tingkat stres orang tua yang peneliti dapatkan,
yaitu stres ringan 29 orang (96.7%), stres sedang 1 orang (3.3%) dan tidak ada stres berat (0%). Kesimpulan:
Peneliti dapat memberikan kesimpulan bahwa anak tunagrahita sedang lebih banyak dari anak tunagrahita
ringan dan tingkat stres yang dialami orang tua lebih banyak tingkat stres ringan dari tingkat stres sedang atau
berat. Saran: adanya penelitian lanjutan tentang teknik menurunkan stress pada orang tua dengan anak
tunagrahita.
Kata Kunci: Orang Tua, Tunagrahita, Tingkat Stres
ABSTRACT
Background: each parentmight expect to have a healthy child, both physically and mentally. For those parents
who have the children with special needs, they will have a different feeling, like a stressor. It can be a burden
for the family both mentally and materially. The parents who experienced stressed of the children with special
needs will affect to the development of children. Aims: to know the classification of (tunagrahita) children in
SLB Yayasan Bahagia Tasikmalaya, and to know the level of stress parents who have the children with special
needs (tunagrahita) in SLB Yayasan Bahagia Tasikmalaya Methods: this research design is a quantitative
descriptive type with accidental sampling technique. The sample in this research are 30 parents of
students/teachers tunagrahita in SLB Yayasan Bahagia Tasikmalaya. Data collection techniques used were
observation tools and questionnaires dass 42. Result: the researcher found the result that the children were
slightly tunagrahita 20 people (66.7%), while the middle tunagrahita children 10 people (33.3%)and there is no
high tunagrahita children (0%). The parent’s stress level that recoded by researchers; mild stress 29 people
(96.7%), moderate stress 1 person (3.3%) and there is no serious stress (0%). Conclusions: researcher can
conclude that the tunagrahita children in the middle position more than in mild tunagrahita children, and the
parents stress level are milder than moderate stress levels. Recommendations: advanced research on techniques
to reduce stress in parents with children tunagrahita.
Keywords: Parents, Tunagrahita, Stress Level.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 366-371
367
PENDAHULUAN
Keluarga merupakan lembaga paling
utama yang bertanggung jawab dalam
menjamin kesejahteraan sosial dan
kelestarian biologis anak, karena di tengah
keluarga, anak dilahirkan dan dididik
hingga dewasa (Kartono, 1992 dalam
Devina & Penny, 2016). Orang tua
berharap memiliki anak yang sehat, baik
fisik maupun mental, akan tetapi pada
kenyataannya tidak semua pasangan
dikaruniai anak sehat dan justru
mendapatkan anak dengan berkebutuhan
khusus (Mawardah dkk 2012).
Keberadaan anak berkebutuhan khusus
dalam keluarga akan menjadi stressor
tersendiri bagi setiap anggota keluarga
karena dapat menjadi beban bagi keluarga
baik secara mental maupun materil
(Napolion, 2010). Orang tua memerlukan
waktu untuk beradaptasi sehingga
akhirnya dapat menerima anak
berkebutuhan khusus meskipun masih ada
orang tua yang menolak anaknya (Kyle &
Carman, 2015). Stres yang dialami oleh
orang tua dengan anak berkebutuhan
khusus berpengaruh pada perkembangan
anak. Seseorang baru bisa mengatasi stres
ketika ia telah berhasil menyesuaikan diri
dengan keadaan yang dihadapi
(Susanandari, 2009). Penyesuaian diri
yang dimaksudkan yaitu, salah satunya
orang tua mampu menampilkan anaknya
ke masyarakat luas (Wardhani dkk, 2012 ).
Berdasarkan sensus penduduk tahun
2010 terdapat 17.374 orang di Indonesia
yang mengalami berkebutuhan khusus
berusia ≥ 10 tahun (Primadi, 2014). Di
Jawa Barat menurut sensus penduduk
tahun 2010 terdapat 358.557 orang yang
mengalami berkebutuhan khusus sedang
dan terdapat 1.952.225 orang yang
mengalami berkebutuhan khusus parah
(Sensus Penduduk, 2014).
Terdapat 6 Sekolah Luar Biasa (SLB)
yang ada di Kota Tasikmalaya. SLB
Tamansari dengan jumlah murid tahun
2017/2018 sebanyak 130 orang, SLB
Yayasan Pendidikan Patriot dengan jumlah
murid tahun 2017/2018 sebanyak 87
orang, SLB Aisyiyah Kawalu dengan
jumlah murid tahun 2017/2018 sebanyak
131 orang, SLB Yayasan Bahagia dengan
jumlah murid tahun 2017/2018 sebanyak
179 orang, SLB ABC Yayasan Insan
Sejahtera dengan jumlah murid tahun
2017/2018 sebanyak 76 orang dan SLB
ABC Argasari Lestari dengan jumlah
murid tahun 2017/2018 sebanyak 65 orang
(Dapodikbud, 2018).
Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui klasifikasi anak berkebutuhan
khusus (tunagrahita) di SLB Yayasan
Bahagia Tasikmalaya dan mengetahui
tingkat stres orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus (tunagrahita) di SLB
Yayasan Bahagia Tasikmalaya.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang telah dilakukan
adalah penelitian yang berjenis kuantitatif
deskriptif, dimana peneliti telah
mengetahui tentang Gambaran Tingkat
Stres Pada Orang Tua Dengan Anak
Berkebutuhan Khusus (Tunagrahita) di
SLB Yayasan Bahagia Kota Tasikmalaya.
Populasi yang diteliti adalah orang tua
baik ayah atau ibu dari 120 orang
siswa/siswi SLB Yayasan Bahagia Kota
Tasikmalaya. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah orang tua
dengan anak berkebutuhan khusus
(tunagrahita) di SLB Yayasan Bahagia
Kota Tasikmalaya yang ada pada saat
dilakukan penelitian di SLB Yayasan
Bahagia Kota Tasikmalaya dalam kurun
waktu. Sampel yang sesuai kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi adalah 30 orang tua
dari anak berkebutuhan khusus
(tunagrahita).
Pada penelitian ini metode
pengumpulan datanya menggunakan
observasi dan kuesioner Depression
Anxiety and Stress Scale (DASS 42),
terdiri dari 42 pertanyaan yang mencakup
3 skala untuk mengukur keadaan
emosional negatif seperti depresi, ansietas,
dan stres.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 366-371
368
Cara pengumpulan data dengan
metode observasi yaitu peneliti
menentukan klasifikasi anak tunagrahita
dengan menggunakan data sekunder dari
satuan kelas atau satuan pendidikan yang
mana sudah diklasifikasikan oleh sekolah
saat anak mendaftar kesekolah tersebut,
sedangkan metode kuesioner responden
dikumpulkan diruangan, instrumen DASS
42 dibagikan kepada responden, instrumen
diambil kembali setelah diisi oleh
responden, namun hanya 26 responden
yang mengisi kuesioner di SLB Yayasan
Bahagia dikarenakan ketidak hadiran
responden pada saat peneliti sedang
melakukan penelitian sedangkan 4
responden mengisi kuesioner dirumah
ditunggu oleh peneliti.
HASIL
Penelitian ini dilakukan di SLB
Yayasan Bahagia Tasikmalaya. SLB
Yayasan Bahagia Tasikmalaya merupakan
sekolah yang dikhususkan untuk anak
berkebutuhan khusus. SLB Yayasan
Bahagia berlokasi Jln. Taman Pahlawan
No. 20, Cikalang, Kec. Tawang, Kota
Tasikmalaya. Penelitian dilakukan pada
bulan Mei tanggal 02,03,21,22,28,30,31
tahun 2018.
Total responden dalam penelitian ini
berjumlah 30 responden yang didapatkan
dengan menggunakan teknik accidental
sampling dari tanggal 02-31 Mei 2018,
dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1 Distribusi Sampel Berdasarkan
Klasifikasi Tunagrahita di SLB
Yayasan Bahagia Tasikmalaya Tahun
2018
No Klasifikasi Frekuensi Presentase
1. Tunagrahita Ringan 10 33.3
2. Tunagrahita Sedang 20 66.7
3. Tunagrahita Berat 0 0
Total 30 100.0
Sumber: Data Sekunder, Juni 2018
Berdasarkan Tabel 1 di atas bahwa
klasifikasi tunagrahita sedang lebih banyak
20 (66.7%) dari pada tunagrahita lainnya,
bahkan tunagrahita berat tidak ditemukan
(0%).
Tabel 2 Distribusi Sampel Berdasarkan
Tingkat Stres Orang Tua Dengan Anak
Tunagrahita di SLB Yayasan Bahagia
Tasikmalaya Tahun 2018
No Tingkat Stres Frekuensi Presentase
1. Stres Ringan 29 96.7
2. Stres Sedang 1 3.3
3. Stres Berat 0 0
Total 30 100.0
Sumber: Data Primer, Juni 2018
Berdasarkan Tabel 2 di atas bahwa
tingkat stres yang paling banyak dialami
responden, yaitu stres ringan 29 responden
(96.7%), sedangkan yang berat tidak ada
(0%).
PEMBAHASAN
Responden penelitian ini adalah orang
tua dengan anak tunagrahita yang ada pada
saat peneliti melakukan penelitian di SLB
Yayasan Bahagia Tasikmalaya. Responden
yang berhasil peneliti peroleh yaitu 30
orang dengan responden yang ada pada
saat peneliti melakukan penelitian
sebanyak 24 orang tua dan responden yang
peneliti kunjungi kerumah sebanyak 6
orang tua.
Berdasarkan hasil penelitian peneliti
telah mengetahui klasifikasi anak
tunagrahita di SLB Yayasan Bahagia
Tasikmlaya bahwa anak tunagrahita ringan
10 orang (33.3%), anak tunagrahita sedang
20 orang (66.7%) dan anak tunagrahita
berat tidak ada (0%). Ramawati, (2012)
terdapat 33 anak (50.8%) yang berada di
kelas C1 atau kategori tunagrahita sedang
dan sebanyak 32 anak berada pada kelas C
atau kategori tunagrahita ringan (49.2%)
hasil ini sama dengan yang peneliti
peroleh.
Berdasarkan hasil penelitian Peneliti
telah mengetahui tingkat stres orang tua
dengan anak berkebutuhan khusus
(tunagrahita) di SLB Yayasan Bahagia
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 366-371
369
Tasikmalaya bahwa responden dengan
tingkat stres ringan 29 (3.3%) dan stres
berat tidak ada (0%). Menurut Napolion
(2010) bahwa dukungan kepada partisipan
dalam merawat anak dengan tunagrahita
mutlak ada, karena apabila dukungan
tersebut tidak didapatkan maka akan
menimbulkan konsekuensi emosional
seperti marah, depresi dan perilaku
menyimpang. Sedangkan menurut
Purwandari (2013) menunjukkan bahwa
stres sedang paling banyak dialami
responden yang memiliki anak tipe
tunagrahita, yaitu 55 orang stres sedang
dan stres ringan 43 orang, namun
penelitian ini tidak sependapat dengan
hasil yang peneliti dapatkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
peneliti lakukan di SLB Yayasan Bahagia
Tasikmalaya pada bulan Mei 2018 yang
mengacu pada tujuan khusus serta telah
dijabarkan sebelumnya dipembahasan,
dapat disimpulkan bahwa: Peneliti telah
mengetahui klasifikasi anak tunagrahita di
SLB Yayasan Bahagia Tasikmlaya bahwa
anak tuna grahita ringan 10 orang (33.3%),
anak tuna grahita sedang 20 orang (66.7%)
dan anak tuna grahita berat tidak ada (0%).
Peneliti telah mengetahui tingkat stres
orang tua dengan anak berkebutuhan
khusus (tuna grahita) di SLB Yayasan
Bahagia Tasikmalaya bahwa responden
dengan tingkat stres ringan 29 orang tua
(96.7%), stres sedang 1 orang tua (3.3%)
dan stres berat tidak ada (0%).
Saran
Diharapkan orang tua dapat
memfasilitasi anak tunagrahita untuk hadir
dalam proses belajar mengajar di sekolah
luar biasa, seperti: meluangkan waktu
untuk mengantar anak ke sekolah.
Diharapkan SLB Yayasan Bahagia dapat
meningkatkan pembaruan data (seperti:
alamat) terkait siswa/siswinya.
Diharapkan lembaga pendidikan dapat
memberikan waktu satu semester untuk
fokus melakukan penelitian dan
menambahkan satu mata kuliah dalam
keperawatan terkait anak berkebutuhan
khusus. Bagi peneliti lain dapat
direncanakan penelitian lanjutan tentang
teknik menurunkan stress pada orang tua
dengan anak tunagrahita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Apriliyanti, D., Hubungan
Kemampuan Manajemen Stres
Dengan Tingkat Stres Pada
Orangtua Anak Tunagrahita Di
Slbn 1 Palangkaraya, 2017, 43–46
tersedia dalam https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/ANN/article/download/ 1164/1 079, diakses pda 28
Juli 2018.
2. Darmono, Peran Orang Tua Dalam
Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus, 2017, tersedia dalam
http://ejournal.iaingawi.ac.id/
index.php/almabsut/%09
article/view/21/14, diakses pada 31
Januari 2018.
3. Desiningrum, Psiokologi Anak
Berkebutuhan Khusus, 2016,
tersedia dalam
http://eprints.undip.ac.id/51629/1/Dini
e_Ratri__
Buku_Psikologi_ABK_2016.pdf,
diakses pada 13 April 2018.
4. Devina & Penny, Gambaran Proses
Penerimaan Diri Ibu Yang
Memiliki Anak Dileksia, Vol 3. Hal
44–52; 2016.
5. Donsun, Metodologi Penelitian
Keperawatan, Yogyakarta:
Pustakabaru press; 2016.
6. Fauzi, Hubungan Pola Asuh Orang
Tua Dengan Motivasi Anak
Berolahraga Di Akademi Futsal Maestro Bandung Universitas
Pendidikan Indonesia; 2015. tersedia
dalam
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 366-371
370
http://repository.upi.edu/20820/5/S_P
KR_110302 2_Chapter2.pdf, diakses
pada 18 April 2018
7. Kyle & Carman, S., Buku Ajar
Keperawatan Pediatri Ed. 2, Vol. 2,
Jakarta: EGC; 2015.
8. Lubis., Penyesuaian Diri Orang Tua
Yang Memiliki Anak Autis, 2009.
tersedia dalam
https://s3.amazonaws.com/acade
mia.edu.documents/40850329/09E012
32_donlod.pdf?AWSAccessKeyId=KI
AIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires
=1517221868&Signature=skVc5nn7v
DbHOXQOsG8zcIImww%3D&respo
nsecontentdisposition=inline%3Bfilen
ame%3D09E01232_donlod.pdf,
diakses pada 29 Januari 2018.
9. Mawardah, dkk., Relationship
Between Active Coping With
Parenting Stress In Mother Of
Mentally Retarded Child, 2012,
tersedia dalam
https://media.neliti.com/media/publica
tions/61891-ID-
relationship%0A%09between-active-
coping-with.pd%0A, diakses pada 15
Februari 2018
10. Napolion, K., Pengalaman Keluarga
Dalam Merawat Anak Tuna
Grahita, 2010, tersedia dalam
http://lib.ui.ac.id/file?file
=digital/20282858T%20Kens%20Na
polion.pdf, diakses pada 31 Januari
2018
11. Nasir & Muhith, Dasar-dasar
Keperawatan Jiwa: Pengantar dan
Teori, Jakarta: Salemba Medika;
2011.
12. Ningsih, Inilah Perkembangan Data
Kependudukan Kota Tasikmalaya,
2017, tersedia dalam
www.cakrawalamedia.co.id/inilah-
perkembangan-data-%09ke
pendudukan-kota-tasikmalaya, diakses
pada 16 Februari 2018.
13. Notoatmodjo, Metodologi Penelitian
Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta;
2014.
14. Pozo, dkk., Psychological
Adaptation in Parents of Children,
2011, tersedia dalam
https://cdn.intechopen.com/pdfs-
wm/20034.pdf, diakses pada 15
Februari 2018.
15. Primadi, Situasi Penyandang
Disabilitas, 2014, tersedia dalam
https://doi.org/ 10.1007/s13398-014-
0173-7.2, diakses pada 20 Februari
2018.
16. Purwandari, Gambaran Tingkat
Stres Orang Tua Dengan Anak
Tuna Grahita Dan Tuna Daksa Di
Yayasan Pembinaan Anak Cacat
(YPAC) Medan Tahun 2013,
tersedia dalam
https://slavestore.123dok.com/cdn/dis
k1_slv191_id_pdf/2016/11_09/147
868015414927, diakses pada 27 Juli
2018
17. Ramadhany, dkk., Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan
Tingkat Stres Pengasuhan Pada Ibu
Yang Memiliki Anak Tunagrahita
Di SLB Dharma Bhakti Dharma
Pertiwi, 2017, tersedia dalam
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/inde
x.php/agro/article/
download/1802/pdf, diakses pada 27
Juli 2018
18. Ramanda, Dinamika Penerimaan
Ibu Terhadap Anak Tuna Grahita,
2008, tersedia dalam
http://repository.uinjkt.ac.id/
dspace/bitstream/123456789/244 91/
%09 1/AJENG NIDAR RAMANDA-
PSI.pdf, diakses pada 3 Maret 2018.
19. Ramawati, D., Kemampuan
Perawatan Diri Anak Tuna Grahita
Berdasarkan Faktor Eksternal Dan
Internal Anak, Jurnal Keperawatan
Indonesia; 2012, tersedia dalam
http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/32/32, diakses pada 27 Juli
2018.
20. Saryono, Kumpulan Instrumen
Penelitian Kesehatan, Yogyakarta:
Nuha Medika; 2011.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 366-371
371
21. Sensus Penduduk, Penyandang
Disabilitas Pada Anak, 2014,
tersedia dalam
https://mailattachment.googleusercont
ent.com/
attachment/u/0/?ui=2&ik=8%09f0df4
9bd5%09&vie, diakses pada 20
Februari 2018.
22. Sinungan, Gambaran Penerimaan
Orang Tua yang Memiliki Anak
Adhd (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder ) Di Jakarta
Barat, 2012, tersedia dalam
http://eprints.binus.ac.id/14435/1/201
2-1-00567-PS abstrak.pdf, diakses
pada 07 Februari 2018.
23. Siregar, Persepsi Orang Tua
Terhadap Pentingnya Pendidikan
Bagi Anak, 2017, tersedia dalam
http://ojs.uma.ac.id/index.php/
jppuma/article/view/548, diakses pada
18 April 2018
24. Sunaryo, Psikologi Untuk
Keperawatan, Ed.2, Jakarta: EGC;
2014.
25. Susanandari., Gambaran
Penyesuaian Diri, 2009, tersedia
dalam http://lib.ui
.ac.id/file?file=digital/124601-
649.1DWIgGambaran
penyesuaianpendahulu an.pdf diakses
pada 15 Februari 2018.
26. Rahayu, Hubungan Antara
Perhatian Orang Tua Dan Konsep
Diri Dengan Kemandirian Belajar
Siswa Kelas X SMA Negeri 1
Gamping Tahun 2015/2016, 2016,
tersedia dalam
http://repository.upy.ac.id/1157/1/Arti
kel.pdf, diakses pada 18 April 2018
27. Tim Dapodikbud., Sekolah Kita,
terdapat dalam
http://sekolah.data.kemdik bud.go.id/,
diakses pada 16 April 2018.
28. Wardhani, dkk., Hubungan Antara
“Personal Adjustment” dengan
Penerimaan Terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus Pada Ibu
Yang Memiliki Anak Berkebutuhan
Khusus Di RSUD X, 2012, tersedia
dalam http://proceeding.u
nisba.ac.id/index.php/sosial/article/do
wnload/204/pdf, diakses pada 15
Februari 2018.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 372-380
372
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
DERMATITIS DI PESANTREN DARUL MUNAWWARAH
PIDIE JAYA TAHUN 2018
The Factors Correlated with the Incidence of Dermatitis at Pesantren Darul
Munawwarah, Pidie Jaya, in 2018
Hafni Zahara1, Linda T.Maas2, Rahayu Lubis3 1, 2 Department of Health Promotion and Behavioral Sciences, University of Sumatera Utara, Medan,
Indonesia 3Department of Health Epidemiology, University of Sumatera Utara, Medan, Indonesia
[email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Latar Belakang: Dermatitis merupakan peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap
pengaruh faktor eksogen dan endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa eflorensasi polimorfik (eritama,
edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Menurut badan kesehatan dunia World Health
Organization (WHO) pada survei American Academy of Allergy, Asthma and Immunology (AAAAI) Tahun
2013, dermatitis merupakan masalah kulit yang umum dimana terdapat 5.7 juta kunjungan dokter pertahun
akibat penyakit dermatitis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan personal hygiene
santri dan peran pimpinan santri terhadap kejadian dermatitis di Pesantren Darul Munawwarah Pidie Jaya Tahun
2018. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik menggunakan desain cross sectional dengan sampel
sebanyak 90 responden dari total populasi 1480 orang. Teknik pengambilan sampel adalah random sampling.
Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuisioner dan observasi langsung. Analisis data dilakukan
dengan uji Chi-Square dan uji Regresi Logistik Berganda menggunakan Software SPSS 22. Hasil penelitian
menunjukkan responden yang menderita dermatitis sebanyak 52.2% dan sebanyak 47.8% tidak dermatitis. Hasil
uji chi-square menunjukkan variabel yang berhubungan secara signifikan terhadap kejadian dermatitis adalah
sikap (p=0.027) dan personal hygiene (p=0.003), sedangkan variabel pengetahuan (p=0.184) dan peran
pimpinan (p=0.333) tidak memiliki hubungan yang signifikan. Kesimpulan: Semakin baik sikap dan perilaku
personal hygiene santri maka semakin sedikit kejadian dermatitis pada santri. Selanjutnya, diharapkan kepada
santri untuk lebih memperhatikan personal hygiene (kebersihan diri) baik dari hal yang terkecil dan terbesar.
Kata Kunci: Dermatitis, Pengetahuan, Sikap, Personal Hygiene, Peran Pimpinan Santri
ABSTRACT Background: Dermatitis is skin inflammation (epidermis and dermis) as a response to exogenous and
endogenous factors which causes clinical disorders such as polymorphic efflorescence (eritama, edema,
papules, vesicles, squama, olichenification) and itchiness. According to the World Health Organization (WHO)
in the American Academy of Allergy, Asthma, and Immunology (AAAAI) survey, in 2013, dermatitis was skin
problems with 5.7 million patients each year. The objective of the research was to analyze the correlation of
personal hygiene and the role of the management of the Pesantren with the incidence of dermatitis at the
Pesantren (Islamic Boarding School) Darul Munawwarah, Pidie Jaya, in 2018. Methods: The research used
cross sectional design. The population was 1.480 students, and 90 of them were used as the samples, taken by
using simple random sampling technique. The data were gathered by conducting interviews with questionnaires
and direct observation and analyzed by using Chi Square test and multiple logistic regression analysis with
SPSS 22 Software. Results: The result of the research showed that 52.2% of the respondents suffered from
dermatitis and 47.8% of the respondents did not. The result of chi square test showed that the variables which
had significant correlation with the incidence of dermatitis were attitude (p=0.027) and personal hygiene
(p=0.0-03), while the variables of knowledge (p=0.184) and the role of management (p=0.333) did not have
significant correlation. Conclusion: The conclusion was that the better the students’ attitude and personal
hygiene, the fewer of them suffered from dermatitis. It is recommended that the students pay more attention to
personal hygiene.
Keywords: Dermatitis, Knowledge, Attitude, Personal Hygiene, Role of the Pesantren Management
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 372-380
373
PENDAHULUAN
Penyakit kulit merupakan suatu
penyakit yang menyerang pada permukaan
tubuh, dan disebabkan oleh berbagai
macam penyebab. Penyakit kulit adalah
penyakit infeksi yang paling umum terjadi
pada orang-orang dari segala usia.
Sebagian besar pengobatan infeksi kulit
membutuhkan waktu yang lama untuk
menunjukkan efek. Masalahnya menjadi
lebih mencemaskan jika penyakit tidak
merespon terhadap pengobatan. Tidak
banyak statistik yang membuktikan bahwa
frekuensi yang tepat dari penyakit kulit,
namun kesan umum sekitar 10-20 persen
pasien mencari nasehat medis jika
menderita penyakit pada kulit15.
Personal hygiene merupakan perilaku
perawatan diri individu mempertahankan
kesehatannya. Oleh karena itu, personal
hygiene merupakan salah satu pencegahan
primer yang spesifik. Personal hygiene
menjadi aspek yang penting dalam
menjaga kesehatan individu karena
personal hygiene dapat meminimalkan
masuknya mikroorganisme, terjadi
penyakit, baik penyakit kulit, penyakit
infeksi, penyakit mulut dan penyakit
saluran cerna atau bahkan dapat
menghilangkan fungsi bagian tubuh
tertentu8. Pemeliharaan personal hygiene
sangat menentukan status kesehatan, di
mana individu secara sadar dan atas
inisiatif pribadi menjaga kesehatan dan
mencegah terjadinya penyakit. Upaya
kebersihan diri ini mencakup tentang
kebersihan rambut, mata, telinga, gigi,
mulut, kulit, kuku, serta kebersihan dalam
berpakaian. Salah satu upaya personal
hygiene adalah merawat kebersihan kulit
karena kulit berfungsi untuk melindungi
permukaan tubuh, memelihara suhu tubuh
dan mengeluarkan kotoran-kotoran
tertentu. Mengingat kulit penting sebagai
pelindung organ-organ tubuh, maka kulit
perlu dijaga kesehatannya. Penyakit kulit
dapat disebabkan oleh jamur, virus,
kuman, parasit2.
Dermatitis adalah peradangan kulit
(epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan
endogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa eflorensasi polimorfik (eritama,
edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda
polimorfik tidak timbul bersamaan, bahkan
mungkin hanya beberapa (oligomorfik).
Dermatitis cendrung residif dan menjadi
kronis14. Dampak yang ditimbulkan dari
penyakit dermatitis tergantung dari daya
imunitas penderita. Bisa jadi dampak dari
reaksi satu orang berbeda dengan orang
lainnya meskipun penyebabnya sama.
Tetapi apabila seseorang yang menderita
penyakit dermatitis yang sudah parah,
maka pada kulit akan terjadi kelepuhan
dan sangat berbahaya bagi kulit13.
Menurut badan kesehatan dunia World
Health Organization (WHO) pada survei
American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology (AAAAI) Tahun 2013,
dermatitis merupakan masalah kulit yang
umum dimana terdapat 5.7 juta kunjungan
dokter pertahun akibat penyakit dermatitis.
Pada umumnya penyakit dermatitis sering
terjadi pada remaja atau dewasa yang
berlangsung lama, kemudian cenderung
menurun dan membaik (sembuh) setelah
usia 30 tahun, jarang sampai usia
pertengahan, hanya sebagian kecil terus
berlangsung sampai tua13.
Berdasarkan Data Ditjen Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI Tahun
2014, ditemukan jumlah kasus penyakit
kulit dan jaringan subkutan lainnya
terdapat 15.6%, di mana penyakit
dermatitis mencapai 66.3%7.
Pondok Pesantren adalah sekolah
Islam berasrama (Islamic boarding school)
dan pendidikan umum yang kebanyakan
ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu
pendidikan agama Islam daripada ilmu
umum. Para pelajar pesantren disebut
sebagai santri belajar pada sekolah ini,
sekaligus tinggal pada asrama yang
disediakan oleh pesantren9. Asrama
merupakan tempat tinggal bersama para
santri selama menimba ilmu di Pesantren.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 372-380
374
Tinggal bersama dengan sejumlah santri
dalam satu asrama akan beresiko tertular
berbagai penyakit, penularan terjadi bila
kebersihan pribadi dan lingkungan tidak
terjaga dengan baik. Perilaku hidup bersih
dan sehat terutama kebersihan
perseorangan di pondok Pesantren pada
umumnya kurang mendapatkan perhatian
dari santri itu sendiri5.
Dukungan atau bimbingan dari ustadz
atau pengasuh sangat berpengaruh
terhadap perilaku pencegahan penyakit
kulit. Pondok pesantren merupakan tempat
pendidikan santri di bawah bimbingan
seorang Ustadz atau Kyai. Santri yang ada
di pondok pesantren pada dasarnya sama
saja dengan anak didik di sekolah umum
yang harus berkembang, yang perlu
mendapat perhatian khusus terutama
kesehatan dan pertumbuhannya16.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Pidie Jaya pada Tahun 2016 terdapat 2222
kasus dermatitis, data di Puskesmas Kuta
Krueng menunjukkan penyakit dermatitis
meningkat dari 530 kasus dermatitis di
Tahun 2015 menjadi 1193 kasus kasus di
Tahun 2016, serta dari bulan Januari-Mei
2017 terdapat 604 kasus dermatitis di
wilayah kerja Puskesmas Kuta Krueng,
385 kasus dermatitis atau 63.7% dari total
604 kasus dermatitis terdapat pada santri
Darul Munawwarah10.
Setelah dilakukan studi pendahuluan
yang dilakukan oleh peneliti pada bulan
Juni 2017 di Pesantren Darul
Munawwarah Pidie Jaya. Peneliti
mendapatkan informasi bahwa pondok
pesantren terbagi 2 bagian yaitu pondok
putri dan pondok putra dan diperoleh data
terdapat 3980 santri dengan rincian jumlah
santri putra 2500 orang dan jumlah santri
putri 1480 orang. Pondok Pesantren Darul
Munawarah merupakan pendidikan santri
untuk mempelajari atau mendalami
pengetahuan agama Islam tanpa
pendidikan formal lainnya. Hasil
wawancara dengan pengurus Pondok
Pesantren Darul Munawwarah didapatkan
bahwa santri perempuan berumur 19-27
tahun, santri memperoleh izin pulang
dalam setahun 2x, izin pulang hanya
berlaku 3 hari pada bulan selain
Ramadhan, pada bulan Ramadhan santri
diperbolehkan untuk pulang kerumah atau
tetap menetap di pesantren. Dan dari hasil
observasi didapati pada bilik (kamar),
terdapat lebih dari 60% kamar dihuni tidak
sesuai dengan kapasitasnya, per kamar
dihuni antara 20-35 santri dengan ukuran
kamar 8x6 meter, fasilitas tempat tidur
santri menggunakan kasur lantai yang
biasanya ditempati oleh 1 atau 2 santri dan
tidak menggunakan seprei, dan tak jarang
pula ditemui bergantian fasilitas tempat
tidur antar santri, serta ada yang menjemur
baju didalam kamar tidak terkena sinar
matahari, hal tersebut berdampak pada
terjadinya kontak langsung antara kulit
dengan kulit antara penderita dermatitis
dengan yang bukan penderita dermatitis
yang berujung pada penularan terjadinya
penyakit dermatitis.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian ini merupakan
penelitian analitik dengan menggunakan
desain cross sectional. Populasi dalam
penelitian ini adalah santri putri kelas 1, 2
dan 3 yang berada di Pondok Pesantren
Darul Munawarah yang berjumlah 1480
santri. Sampel dalam penelitian ini
berjumlah 90 santri. Tehnik pengambilan
sampel menggunakan Stratificied Random
Sampling. Instrument penelitian ini
menggunakan kuesioner dan data masalah
kesehatan santri di Puskesmas Kuta
Krueng.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 372-380
375
HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik di Pondok
Pesantren Darul Munawwarah Pidie Jaya
Karakteristik n %
Kelompok Umur
15-17 Tahun 34 37.8
18-20 Tahun 56 62.2
Kelas
1 31 34.4
2 29 32.2
3 30 33.3
Lama Menetap di Pesantren
≥ 1 Tahun 64 71.1
< 1 Tahun 26 28.9
Berapa Kali Pulang Dalam 6 Bulan
1 kali 38 42.2
2 kali 38 42.2
3 kali 12 13.3
> 3 kali 2 2.2
Jumlah 90 100
Responden sebanyak 34 responden
(37.8%) berumur 18-20 tahun dan
sebanyak 56 responden (62.2%) berumur
15-17 tahun, responden kelas 1 sebanyak
31 orang atau 34.4%, reponden kelas 2
sebanyak 29 orang atau 32.2 %, responden
kelas 3 sebanyak 30 orang atau 33.3 % dan
sebanyak 71.1% atau 64 responden
menetap lebih atau sama dengan 1 tahun.
Selanjutnya responden pulang kerumah
dalam waktu 6 bulan sebanyak 42.2% 1
dan 2 kali dalam 6 bulan, 13.3% responden
pulang 3 kali pulang dalam 1 bulan dan
yang pulang > 3 kali sebanyak 2.2%.
Pengetahuan
Tabel 2. Hubungan Pengetahuan terhadap Kejadian Dermatitis
di Pesantren Darul Munawwarah Pidie jaya
Variabel
Kejadian Dermatitis
Jumlah p Dermatitis
Tidak
Dermatitis
Pengetahuan N % N % n %
Baik 38 49.4 39 50.6 77 100 0.184
Kurang 9 69.2 4 30.8 13 100
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 372-380
376
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa dari 77 responden dengan
pengetahuan baik, sebanyak 38 responden
(49.4%) mengalami kejadian dermatitis,
sedangkan dari 13 responden dengan
pengetahuan kurang sebanyak 69.2%
mengalami kejadian dermatitis.
Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh
nilai p= 0.184 hal ini berarti nilai p> 0.05
sehingga Ho diterima. Hal ini berarti tidak
ada hubungan signifikan antara
pengetahuan dengan kejadian dermatitis.
Sikap
Tabel 3. Hubungan Sikap terhadap Kejadian Dermatitis
di Pesantren Darul Munawwarah Pidie Jaya
Variabel
Kejadian Dermatitis
Jumlah
P Dermatitis
Tidak
Dermatitis
Sikap N % n % N %
Baik 31 45.6 37 54.4 68 100 0.027
Kurang 16 72.7 6 27.3 22 100
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa dari 68 responden dengan
sikap baik, sebanyak 31 responden
(45.6%) mengalami kejadian
dermatitis, sedangkan dari 22 responden
memiliki sikap kurang sebanyak 16
responden (72.7%) mengalami kejadian
dermatitis. Berdasarkan hasil uji Chi
square diperoleh nilai p= 0.027 hal ini
berarti nilai nilai p < 0.05 sehingga Ho
ditolak. Hal ini berarti ada hubungan
signifikan antara sikap dengan kejadian
dermatiti
Personal Hygiene
Tabel 4. Hubungan Personal Hygiene terhadap Kejadian Dermatitis
di Pesantren Darul Munawwarah Pidie Jaya
Variabel Kejadian Dermatitis
Jumlah
p Dermatitis Tidak
Dermatitis
Personal Hygiene n % n % n %
Baik 18 37.5 30 62.5 48 100 0.003
Kurang 29 69.0 13 31 42 100
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa dari 48 responden dengan
personal hygiene baik sebanyak 18
responden (37.5%) mengalami kejadian
dermatitis, sedangkan dari 42 responden
dengan personal hygiene kurang sebanyak
29 responden (69%) mengalami kejadian
dermatitis. Berdasarkan hasil uji Chi
square diperoleh nilai p=0.003 hal ini
berarti nilai p<0.05 sehingga Ho ditolak.
Hal ini berarti ada hubungan personal
hygiene dengan kejadian dermatitis
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 372-380
377
Air Bersih
Tabel 5. Hasil Observasi Air Bersih di Pesantren Darul Munawwarah Pidie Jaya
No. Observasi Penyediaan Air Bersih Hasil ukur
1. Apakah tersedia sarana air bersih ? Ya
2. Sarana air bersih yang digunakan ? (artesis) Ya
3.
Bagaimana kualitas fisiknya ?
1. Keruh
2. Berasa
3. Berbau
Keruh
4. Apakah kuantitasnya mencukupi ? Ya
5. Apakah tersedia air yang mengalir untuk
berwudhu ?
Ya
Hasil observasi pada penyediaan air
bersih di Pesantren Darul Munawwarah
Pidie Jaya sudah baik. Sarana air bersih
yang digunakan sumur artetis, secara
kualitas fisik air yang digunakan tidak
berasa dan tidak berbau namun berkeruh
bila musim hujan tiba. Secara kuantitas air
tercukupi, kemudian air yang mengalir
(kran) digunakan untuk berwudhu tidak
mencukupi dengan jumlah santri yang ada
di pesantren, sebagian santri berwudhu
didalam satu bak terbuka secara bersama-
sama menggunakan gayung.
Karakteristik Ruangan
Tabel 6. Hasil Observasi Karakteristik Ruangan
di Pesantren Darul Munawwarah Pidie Jaya
No. Observasi Karakteristik Ruangan Hasil ukur
1. Kepadatan penghuni Ya
2. Ventilasi Ya
3. Pencahayaan Tidak Sesuai
4. Kelembaban ruangan Tidak Sesuai
5. Suhu ruangan Tidak Sesuai
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat
karakteristik ruangan yang digunakan oleh
santri di Pesantren Darul Munawwarah
Pidie Jaya. Hasil observasi menunjukkan
bahwa terjadi kepadatan penghuni di
dalam setiap ruangan yang digunakan di
pesantren tersebut. Ventilasi ruangan yang
digunakan hanya sebagian kamar yang
mencukupi untuk siklus keluar masuk
udara ke dalam ruangan santri. Selain itu,
kelembaban ruangan santri juga tidak
sesuai. Selanjutnya pencahayaan dan suhu
ruangan santri ditemukan tidak sesuai.
Oleh karena itu, karakteristik ruangan
santri harus disesuaikan dengan kebutuhan
santri, agar santri dapat terhindari dari
segala penyakit kulit, khususnya
dermatitis.
.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 372-380
Magister Kesehatan Masyarakat 378
Peran Pimpinan Santri
Tabel 7. Hubungan Peran Pimpinan terhadap Kejadian Dermatitis
di Pesantren Darul Munawwarah Pidie Jaya
Variabel
Kejadian Dermatitis
Jumlah
p Dermatitis Tidak
Dermatitis
Peran Pimpinan Santri n % n % N %
Baik 11 44.0 14 56.0 25 100 0.333
Kurang 36 55.4 29 44.6 65 100
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa dari 25 responden dengan
peran pimpinan santri baik, sebanyak 11
responden (44%) mengalami kejadian
dermatitis, sedangkan dari 65 responden
dengan peran pimpinan santri kurang
sebanyak 36 responden (55.4%)
mengalami kejadian dermatitis.
Berdasarkan hasil uji Chi square diperoleh
nilai p= 0.333 hal ini berarti nilai p< 0.05
sehingga Ho diterima. Hal ini berarti tidak
ada hubungan antara peran pimpinan santri
dengan kejadian dermatitis.
Kejadian Dermatitis
Tabel 8.Distribusi Kejadian Dermatitis di Pesantren Darul Munawwarah
Pidie Jaya
Kejadian Dermatitis Jumlah %
Ya 47 52.2
Tidak 43 47.8
Jumlah 90 100
Tabel diatas menunjukkan bahwa
sebanyak 52.2 % atau 47 santri menderita
dermatitis dan sebanyak 47.8% atau 43
santri tidak menderita dermatitis.
PEMBAHASAN
Hubungan Pengetahuan Terhadap
Kejadian Dermatitis
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara
pengetahuan dengan kejadian dermatitis di
Pesantren Darul Munawwarah (p=0.184).
Menurut asumsi peneliti, sebagian
responden sudah tahu apa yang dimaksud
dengan kebersihan diri, sebanyak 94.4%
responden mengetahui tujuan dari menjaga
kebersihan diri, dan 76.7% responden
mengetahui faktor-faktor yang bisa
menyebabkan terjadinya dermatitis. Rata-
rata responden memiliki pengetahuan yang
baik, namun seseorang yang memiliki
pengetahuan yang baik tidak menjamin
seseorang tersebut terhindar dari penyakit
dermatitis, karena mengetahui belum tentu
memiliki kesadaran untuk berperilaku.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Rahmayani11 yang
menyatakan bahwa p-value=1.00 > α 0.05
yang menunjukkan tidak ada hubungan
antara pengetahuan dengan frekuensi
kejadian penyakit kulit.
Hubungan Sikap Terhadap Kejadian
Dermatitis
Hasil Penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara sikap dengan kejadian
dermatitis di Pesantren Darul
Munawwarah (p=0.027). Hasil Penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 372-380
379
dilakukan oleh Aswin2 yang
menyimpulkan bahwa ada pengaruh sikap
terhadap kejadian iritasi kulit. Penelitian
yang sama juga dilakukan oleh Fauziah,
dkk6 yang menyatakan bahwa sikap
mempunyai hubungan signifikan dengan
kejadian dermatitis pada petani rumput
laut di Dusun PuntondoTakalar.
Hubungan Personal Hygiene Terhadap
Kejadian Dermatitis
Hasil Penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara personal hygiene dengan
kejadian dermatitis di Pesantren Darul
Munawwarah (p= 0.003). Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Safriyanti, dkk12 yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara variabel personal hygiene (p=0.045)
dengan kejadian dermatitis. Personal
hygiene yang buruk sangat berdampak
bagi kesehatan, karena menetap dalam
jangka waktu yang lama di pesantren
memungkinkan seseorang terjangkit oleh
penyakit tertentu, terutama dermatitis.
Oleh karena itu pemeliharaan personal
hygiene diperlukan untuk mencegah dari
segala penyakit.
Hubungan Peran Pimpinan Santri
Terhadap Kejadian Dermatitis
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara peran
pimpinan santri dengan kejadian dermatitis
di Pesantren Darul Munawwarah
(p=0.333). Meskipun tidak terdapat
hubungan peran pimpinan santri dengan
kejadian dermatitis, pihak pesantren tetap
harus meningkatkan pengawasan terhadap
santriwati untuk selalu menjaga kebersihan
kamar dan lingkungan sekitar agar
terhindar dari berbagai penyakit termasuk
dermatitis.
Asumsi peneliti berdasarkan
pengamatan dan data yang diperoleh dari
wawancara singkat dengan responden,
peran pimpinan santri memiliki peran yang
sangat penting dalam mengayomi,
mengarahkan dan mendidik santri dalam
hal kebersihan. Dukungan dan bimbingan
dari ustadz maupun ustadzah akan sangat
berpengaruh terhadap pencegahan
penyakit dermatitis. Hal ini bisa dilakukan
salah satu dengan cara untuk menciptakan
suasana atau lingkungan yang dapat
mendorong santri dalam menjaga
kebersihan diri dan meningkatkan
pengawasan kepada santri untu kselalu
menjaga kebersihan kamar dan lingkungan
sekitar agar terhindar dari berbagai
penyakit terutama dermatitis.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil Penelitian yang telah dilakukan
di Pesantren Darul Munawwarah, tidak
ada hubungan yang signifikan antara
variabel pengetahuan dengan kejadian
dermatitis (p=0.184). Secara keseluruhan
pengetahuan santri terhadap kejadian
dermatitis sudah baik dan merata. Adanya
hubungan sikap dengan kejadian
dermatitis (p=0.027) . Artinya, penentuan
sikap santri terhadap kejadian dermatitis
masih belum baik. Adanya hubungan yang
signifikan antara variabel personal hygiene
dengan kejadian dermatitis (p=0.003).
Rata-rata Personal hygiene santri masih
kurang baik, Seperti saling bertukar-tukar
mukennah dan pakaian sesama temannya.
Tidak ada hubungan yang signifikan antara
variabel peran pimpinan dengan kejadian
dermatitis. Artinya, peran pimpinan
terhadap kejadian dermatitis sudah baik
dan merata, sehingga variabel peran
pimpinan tidak mempengaruhi kejadian
dermatitis santri di Pondok Pesantren
Darul Munawwarah.
Saran
Diharapkan bagi pihak pesantren untuk
membuat program berbasis preventif dan
promotif dibawah naungan
POSKESTREN (pos kesehatan pesantren)
misalnya membuat program kamar sehat,
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 372-380
380
dan menciptakan suasana atau lingkungan
yang dapat mendorong santri dalam
menjaga personal hygiene (kebersihan
diri) yaitu dengan menempelkan poster
tentang personal hygiene (kebersihan diri)
di lingkungan pesantren, sehingga
terciptanya suasana yang bernuansakan
kesehatan dengan tujuan meningkatkan
kesehatan dan wawasan santri tentang
kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Akmal, S., Semiarty, R., dan Gayatri,
Hubungan Personal Hygiene
Dengan Kejadian Skabies Di
Pondok Pendidikan Islam Darul
Ulum Paralik Air Pacah Kecamatan
Koto Tangah, FK Universitas
Andalas; 2013.
2. Aswin, B., Pengaruh Pengetahuan,
Sikap Dan Upaya Pencegahan
Terhadap Kejadian Iritasi Kulit
Pada Pekerja Pengemasan Ikan Di
Kecamatan Tanjung Tiram
Kabupaten Batu Bara, FKM USU;
2012.
3. Chandra, B., Pengantar Kesehatan
Lingkungan, Jakarta: EGC; 2012.
4. Dinkes Pidie Jaya., Profil Kesehatan
Pidie Jaya, Aceh; 2017.
5. Depkes., Pendidikan Agama Dan
Pendidikan Keagamaan, Jakarta:
Depkes; 2007.
6. Fauziah, dkk., Hubungan Lama
Kontak Dan Perilaku Kerja
Terhadap Kejadian Dermatitis
Petani Rumput Laut Dusun
Puntondo Takalar, Universitas
Hasanuddin: Makassar; 2015.
7. Kemenkes RI., Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2014, Jakarta;
2014.
8. Laily, S., Pentingnya Hygiene
Untuk Kesehatan, Jakarta: CV
Segung Seto; 2012.
9. Nanda, M., Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian
Dermatitis Pada Santri Di
Pesantren Modern Al Mukhlisin
Tanjung Morawa Kabupaten Deli
Serdang. Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara; 2014.
10. Puskesmas Kuta Krueng., Profil
Puskesmas, Aceh; 2017.
11. Rahmayani, S., Rahamlia, S., Dewi
Y.I., Hubungan Pengetahuan Dan
Perilaku Dengan Frekuensi
Kejadian Penyakit Kulit Pada
Masyarakat Pengguna Air
Kuantan, Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Riau; 2014.
12. Safriyanti, Lestari, H., Ibrahim, K.,
Hubungan Personal Hygiene, Lama
Kontak Dan Riwayat Penyakit
Kulit Dengan Kejadian Dermatitis
Kontak Pada Petani Rumput Laut
Di Desa Akuni Kecamatan
Tinanggea Kabupaten Konawe
Selatan, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Halu Oleo;
2016.
13. Sartiwi, W., Pengaruh Pendidikan
Kesehatan Terhadap Pengetahuan
Santri Tentang Pencegahan
Penyakit Dermatitis Di Pondok
Pesantren Darussalam Auduri
Sumani Kecamatan X Koto
Singkarak, Stikes Syedza Saintika
Padang; 2016.
14. Sri, A.., Surja. D., Ilmu Penyakit
Kulit Dan Kelamin, Jakarta: FKUI;
2010.
15. Susanto, R.C., Ari, M.G.A., Made.,
Penyakit Kulit Dan Kelamin,
Yogyakarta: Nuha Medika; 2013.
16. Wahyuningsih, B.D., Hubungan
Dukungan Pengasuh Tentang
Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
Santri Dengan Pencegahan Skabies
Di Pondok Pesantren Darul
Dakwah, Stikes Bina Sehat PPNI
Mojokerto; 2016.
JUKEMA
Vol. 5, No. 1, Februari 2019: 381-391
381
PERBEDAAN STATUS GIZI PADA BAYI YANG DIBERI ASI
EKSKLUSIF DAN MP-ASI DINI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KOTA
JANTHO KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN 2017
The Difference in Nutrition Status in Infants Who are Given Exclusive and Early
MP-ASI in the Working Area of Puskesmas Jantho City Regency at Aceh Besar
Year 2017
Asnawi Abdullah1, Basri Aramico2, Phossy Vionica Ramadhana3 1,2,3Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah AcehBanda Aceh, Aceh 23245
[email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Latar Belakang: Gizi masyarakat mempengaruhi kecerdasan dan kesejahteraan, akan tetapi banyak bayi yang
mengalami rawan gizi karena pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) yang terlalu dini. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui perbedaan status gizi pada bayi yang diberi ASI eksklusif dan MP-ASI dini di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar tahun 2017. Metode: Penelitian ini dilakukan
dngan metode deskriptif analitik dengan desain case control. Populasi dalam penelitian ini adalah adalah semua
bayi usia 7-12 bulan berstatus gizi baik dan kurang di wilayah kerja Puskesmas Jantho. Pengambilan sampel
menggunakan rumus studi kasus kontrol sehingga diperoleh sebanyak 58 bayi dengan status gizi baik dan 58
bayi dengan status gizi kurang. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi bayi kurang yang
diberikan MP-ASI sebesar 75.9% lebih besar dibandingkan dengan status gizi bayi baik sebesar 41.4%.
Sedangkan pada status gizi bayi kurang yang diberikan ASI eksklusif hanya sebesar 24.1% namun pada bayi
dengan status gizi bayi baik diperoleh 58.6%. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa, ada perbedaan status
gizi bayi yang diberi ASI eksklusif dan MP-ASI dini, ada hubungan antara status gizi dengan pemberian ASI
eksklusif ibu, pemberian MP-ASI dini, tingkat pendidikan, pendapatan orang tua, paritas, jarak kelahiran,
pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, personal hygiene, perawatan payudara, produksi ASI, lingkungan
sosial dan Inisiasi Menyusu Dini. Ketika dilakukan analisis lebih lanjut berdasarkan analisis multivariat paritas
merupakan faktor yang paling dominan terhadap status gizi bayi. Kesimpulan: Peneliti dapat memberikan
kesimpulan bahwa bayi yang mengalami gizi kurang lebih banyak pada bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif.
Dimana faktor yang paling dominan disebabkan oleh paritas.
Kata Kunci: Status Gizi, Pemberian ASI, MP-ASI
ABSTRACT
Background: Community nutrition affects intelligence and welfare, but many babies are prone to nutrition due
to the introduction of MP-ASI (escort food) that is too early. The purpose of this research is to determine the
difference in nutrition status in infants who are given exclusive and early MP-ASI in the work area of Jantho
City District Aceh Besar Regency in 2017. Method: This research is done by the analytical descriptive method
with case control design. The population in this study is all infants aged 7-12 months of good nutrition and less
in the working area of Jantho Puskesmas. Sampling using case control study formula so obtained as much as 58
infants with good nutritional status and 58 infants with less nutritional status. Results: The results showed that
the nutritional status of infants less than the MP-ASI was 75.9% larger than the infant's nutritional status of
either 41.4%. While in the nutritional status of infants given exclusive breast milk is only 24.1% but in infants
with a nutritional status of infants is either obtained by 58.6%. The results of bivariate analysis showed that
there is a difference in infant nutrition status that is given exclusive ASI and MP-ASI early, there is a
relationship between the nutritional status with mother's exclusive BREAST feeding, early MP-ASI
administration, education level, parental income, parity, Birth distance, health services, environmental
sanitation, personal hygiene, breast care, breast production, social environment and initiation of breastfeeding.
When done further analysis based on a multivariate analysis of parity is the most dominant factor against the
status of infant nutrition. Conclusion: Researchers can conclude that infants who are experiencing less
nutrition in infants who are not given exclusive breast milk. Where the most dominant factor is caused by parity.
Keywords: Nutritional Status, Breast Feeding, MP-ASI
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 381-391
382
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan
yang optimal, yang pada akhirnya
meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Arah kebijaksanaan
pembangunan bidang kesehatan adalah
untuk meningkatkan derajat kesehatan,
termasuk di dalamnya keadaan gizi
masyarakat dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup serta kecerdasan dan
kesejahteraan pada umumnya (Suhardjo,
2007).
Gizi masyarakat mempengaruhi
kecerdasan dan kesejahteraan, akan tetapi
banyak bayi yang mengalami rawan gizi
karena ASI (Air Susu Ibu) banyak diganti
oleh susu formula dengan jumlah dan cara
yang tidak sesuai kebutuhan. Diperkirakan
80% dari jumlah ibu yang melahirkan
mampu untuk menghasilkan air susu ibu
dalam jumlah yang cukup untuk keperluan
bayinya secara penuh tanpa makanan
tambahan bahkan ibu yang gizinya kurang
baikpun dapat menghasilkan ASI cukup
tanpa makanan tambahan selama tiga
bulan pertama (Endang, 2007).
Selama ini persepsi masyarakat, anak
yang tidak diberikan ASI eksklusif
memiliki anak yang lebih sehat dengan
berat badan yang lebih baik dibandingkan
dengan bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Hal ini tidak berarti bahwa berat badan
yang lebih besar pada bayi yang mendapat
susu formula lebih baik dibanding bayi
yang mendapat ASI. Berat badan berlebih
pada bayi yang mendapat susu formula
justru menandakan terjadinya kegemukan
(obesitas) (Kemenkes RI, 2011).
Laporan tahunan puskesmas Kota
Jantho tahun 2015, persentase bayi yang
mendapat ASI eksklusif 36,7%. Data
tersebut menunjukan bahwa pemberian
ASI eksklusif masih rendah hanya 36,7%
dari keseluruhan bayi. Lebih dari setengah
bayi yang berusia antara 0-6 bulan tidak
mendapatkan ASI eksklusif dengan kata
lain lebih dari separuh bayi tersebut
mendapatkan makanan pendamping ASI
sebagai penunjang nutrisinya. Selain itu
juga terdapat kasus gizi kurang 3,8%
(Puskesmas Kota Jantho, 2015).
Berdasarkan permasalahan tersebut,
maka diperlukan study untuk mengetahui
perbedaan status gizi pada bayi yang diberi
ASI eksklusif dan MP-ASI dini di wilayah
kerja puskesmas Kota Jantho Kabupaten
Aceh Besar tahun 2017.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah
dengan metode deskriptif analitik dengan
desain case control (1:1). Penelitian ini
dilakukan di wilayah kerja puskesmas
Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar
dengan jumlah 13 desa, yang kemudian
diambil 20% dari 13 desa yang ada di
wilayah kerja puskesmas, sehingga
didapatkan 3 desa sebagai sampel.
Populasi dalam penelitian ini adalah
semua bayi usia 7-12 bulan dengan status
gizi baik dan kurang di wilayah kerja
Puskesmas Kota Jantho Kabupaten Aceh
Besar tahun 2017. Dimana populasi kasus
adalah bayi usia 7-12 bulan dengan status
gizi kurang, sedangkan yang menjadi
populasi kontrol adalah bayi usia 7-12
bulan dengan status gizi baik.
Adapun tehnik pengambilan sampel
menggunakan metode cluster sampling
dengan penentuan besar sampel
menggunakan rumus case control yaitu 58
bayi dengan status gizi kurang (kasus)
serta 58 bayi dengan status gizi baik
(kontrol).
Penelitian ini metode pengumpulam
data menggunakan kuesioner, dimana
peneliti menanyakan langsung kepada
responden. Kemudian data yang dilakukan
analisis univariat, bivariat, dan multivariat
menggunakan STATA 12.
HASIL
Berdasarkan karakteristik responden
pada penelitian menunjukkan bahwa dari
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 381-391
383
116 responden yang status gizinya pada
kategori kurang normal sebanyak 50%,
dimana jika dilihat berdasarkan prevalensi
tersebut pada pemberian ASI secara
eksklusif, pendidikan, personal hygiene,
perawatan payudara, produksi ASI dan
pelaksaan IMD masih menunjukkan lebih
dari setengah responden dengan prevalensi
yang kurang baik. Sehingga bisa
berdampak pada status gizi bayi di wilayah
kerja Puskesmas Kota Jantho. Sedangkan
pada karakteristik lainnya menunjukkan
prevalensi yang cukup baik.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Di Wilayah Kerja Puskesmas
Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar Tahun 2017
No. Karakteristik Subjek Frekuensi
(n = 116)
Persentase
(%)
1 Status Gizi
- Gizi Baik
- Gizi Kurang
58
58
50
50
2 Pemberian ASI
- ASI Eksklusif
- Non eksklusif
48
68
41.38
58.62
3 MP - ASI
- Ya
- Tidak
68
48
58.62
41.38
4 Pendidikan
- Tinggi
- Sedang
22
94
18.97
81.03
5 Pendapatan
- Tinggi
- Rendah
76
40
65.52
34.48
6 Paritas
- Berisiko
- Tidak Berisiko
38
78
32.76
67.24
7 Jarak Kelahiran
- Berisiko
- Tidak Berisiko
53
64
44.83
55.17
8 Pelayanan Kesehatan
- Memanfaatkan
- Tidak Memanfaatkan
86
30
74.14
25.86
9 Sanitasi Lingkungan
- Baik
- Kurang
56
60
48.28
51.72
10 Personal Hygiene
- Baik
- Kurang
41
75
35.34
64.66
11 Perawatan Payudara
- Ya
- Tidak
27
89
23.28
76.72
12 Produksi ASI
- Cukup
- Tidak Cukup
44
72
37.93
62.07
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 381-391
384
No. Karakteristik Subjek Frekuensi
(n = 116)
Persentase
(%)
13 Lingkungan Sosial
- Baik
- Kurang
65
51
56.03
43.97
14 Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
- Ya
- Tidak
53
63
45.69
54.31
Perbedaan Status Gizi Bayi antara Bayi yang Mendapatkan ASI eksklusif dan MP-ASI
Tabel 2. Analisa T-Test Status Gizi Bayi Yang Mendapatkan ASI Eksklusif Dan Mp-
ASI Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar Tahun 2017
No. Status Gizi Bayi N Rank Sum Expected P Value
1. ASI Eksklusif 48 2228 2808 0.002
2. MP-ASI 68 4558 3978
Kelompok ASI Eksklusif bila dilihat
dari rank sum (2228) dibawah nilai
expected (2808) maka bayi pada kelompok
ASI Eksklusif lebih baik dibandingkan
dengan bayi pada kelompok MP-ASI yang
dapat dilihat dari rank sum (4558)
melebihi nilai expected (3978). Hasil uji
statistik diperoleh nilai p-value = 0,002
pada taraf signifikan α=0,05. Maka
keputusan hipotesis menolak Ho.
Dari hasil di atas maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
yang bermakna antara status gizi bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif dan yang
mendapatkan MP-ASI di wilayah kerja
Puskesmas Kota Jantho.
Faktor Risiko Status Gizi Bayi
Tabel 3. Hubungan Faktor Risiko Status Gizi Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Jantho Kabupaten Aceh Besar Tahun 2017
No. Faktor Risiko
Status Gizi Bayi Total OR
(95% CI)
P
Value Baik Kurang
n % n % n %
1. Pemberian ASI
ASI Eksklusif 34 58.6 14 24.1 48 41.4
Non ASI
Eksklusif 24 41.4 44 75.9 68 58.6 4.5 (2.0-9.9) 0.002
2. MP-ASI
Tidak 34 58.6 14 24.1 48 41.4
Ya 24 41.4 44 75.9 68 58.6 4.5 (2.0-9.9) 0.002
3. Pendidikan
Tinggi 19 32.8 3 5.2 22 18.9
Menengah 39 67.2 55 94.8 94 81.1 8.9 (2.5-32.3) 0.001
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 381-391
385
No. Faktor Risiko
Status Gizi Bayi Total OR
(95% CI)
P
Value Baik Kurang
n % n % n %
4. Pendapatan Tinggi 53 91.4 23 39.7 76 65.5
Rendah 5 8.6 35 60.3 40 34.5 16.1 (5.6-46.4) 0.004
5. Paritas Tidak Berisiko 57 98.3 21 36.2 78 67.2
Berisiko 1 1.7 37 63.8 38 32.8 100.4 (12.9-778.8) 0.001
6. Jarak
Kelahiran
Tidak Berisiko 49 84.5 15 25.9 64 55.2
Berisiko 9 15.5 43 74.1 52 44.8 15.6 (6.2-39.3) 0.002
7. Pelayanan Kesehatan Memanfaatkan 57 98.3 29 50 86 74.1
Tidak
Memanfaatkan 1 1.7 29 50 30 25.9 57 (7.4-439.7) 0.003
8. Sanitasi Lingkungan
Baik 39 67.2 17 29.3 56 48.3
Kurang 19 32.7 41 70.7 60 51.7 4.9 (2.3-10.9) 0.004
9. Personal Hygiene
Baik 33 56.9 8 13.8 41 35.3
Kurang 25 43.1 50 86.2 75 64.7 8.3 (3.3-20.5) 0.006
10. Perawatan Payudara
Ya 21 36.2 6 10.3 27 23.3
Tidak 37 63.8 52 89.7 89 76.7 4.9 (1.8-13.4) 0.002
11. Produksi ASI
Cukup 33 56.9 11 18.9 44 37.9
Tidak Cukup 25 43.1 47 81.1 72 62.1 5.6 (2.4-13.0) 0.002
12. Lingkungan Sosial
Baik 54 93.1 11 18.9 65 56.1
Kurang 4 6.9 47 81.1 51 43.9 57.7 (17.2-193.3) 0.008
13. IMD
Ya 37 63.8 16 27.6 53 45.7
Tidak 21 36.2 42 72.4 63 54.3 4.6 (2.1-10.2) 0.009
Berdasarkan tabel diatas, faktor risiko
tersebut memiliki hubungan dengan status
gizi bayi. Dimana pemenuhan kebutuhan
anak harus diperhatikan bukan hanya dari
asupan gizi saja melainkan juga pada
kesehatannya. Jika dilihat berdasarkan
nilai odd ratio, paritas memiliki faktor
risiko paling besar. Hal tersebut
disebabkan oleh jumlah anak yang terlalu
banyak membuat kebutuhannya tidak
terpenuhi secara maksimal.
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 381-391
386
Faktor Risiko Yang Paling Dominan Terhadap Status Gizi Bayi
Faktor Risiko Dominan Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Bayi Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar Tahun 2017
No. Faktor Risiko Odds Ratio CI 95%
P-value Lower Upper
1 Pemberian ASI 19.698 1.772 219.034 0,015
2 Produksi ASI 4.959 0.735 33.468 0,100
3 Lingkungan Sosial 7.316 1.011 52.923 0,049
4 Paritas 227.264 5.052 10223.600 0,005
5 Jarak Kelahiran 6.102 1.105 33.699 0,038
6 Pelayanan Kesehatan 19.911 0.910 435.603 0,057
7 Sanitasi Lingkungan 3.463 0.557 21.517 0,183
Hasil analisis multivariat
menggunakan model regresi logistik
menunjukkan bahwa ibu yang memberikan
MP-ASI memiliki risiko 20 kali lebih
besar memiliki bayi status gizi kurang
dibandingkan dengan ibu yang
memberikan ASI eksklusif (OR=19.698,
CI95%=1.772-219.034, p-value=0.015),
ibu yang produksi ASInya tidak cukup
memiliki risiko 5 kali lebih besar memiliki
bayi status gizi kurang dibandingkan
dengan ibu yang produksi ASInya cukup
(OR=4.959, CI95%=0.735-33.468, p-
value=0.100), ibu yang lingkungan
sosialnya kurang memiliki risiko 7 kali
lebih besar memiliki bayi status gizi
kurang dibandingkan dengan ibu yang
lingkungan sosialnya baik (OR=7.316,
CI95%=1.011-52.923, p-value=0.49), ibu
dengan paritas berisiko memiliki risiko
227 lebih besar memiliki bayi status gizi
kurang dibandingkan dengan ibu dengan
parisitas tidak berisiko (OR=227.264,
CI95%=5.052-10223.600, p-value=0.005),
ibu dengan jarak kelahiran berisiko
memiliki risiko 6 kali lebih besar memiliki
bayi status gizi kurang dibandingkan
dengan ibu yang jarak kelahirannya tidak
berisiko (OR=6.102, CI95%=1.105-
33.699, p-value=0.038), ibu yang tidak
memanfaatkan pelayanan kesehatan
memiliki risiko 20 kali lebih besar
memiliki bayi status gizi kurang
dibandingkan dengan ibu yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan
(OR=19.911, CI95%=0.910-435.603, p-
value=0.057), ibu dengan sanitasi
lingkungan kurang memiliki risiko 3 kali
lebih besar memiliki bayi dengan status
gizi kurang dibandingan dengan ibu yang
sanitasi lingkungannya baik (OR=3.463,
CI95%=0.557-21.517, p-value=0.183).
PEMBAHASAN
Perbedaan Status Gizi Bayi yang
Diberikan ASI Eksklusif dan MP-ASI
Hasil penelitian yang telah dilakukan,
menunjukkan bahwa kelompok ASI
Eksklusif bila dilihat dari rank sum (2228)
dibawah nilai expected (2808) maka bayi
pada kelompok ASI Eksklusif lebih baik
dibandingkan dengan bayi pada kelompok
MP-ASI yang dapat dilihat dari rank sum
(4558) melebihi nilai expected (3978).
Hasil uji statistik diperoleh nilai p-
value=0.002 pada taraf signifikan α=0.05.
Maka keputusan hipotesis menolak Ho,
artinya bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara status gizi bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif dan yang
mendapatkan MP-ASI di wilayah kerja
Puskesmas Kota Jantho.
Status gizi tidak hanya dipengaruhi
oleh pola makan, tetapi juga dipengaruhi
oleh kesehatan. Menurut Siswanto (2010)
yang mempengaruhi masalah gizi terdiri
dari pola makan, penyakit infeksi, tingkat
pengetahuan, tingkat pendidikan, dan
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 381-391
387
ekonomi. Pola makan yang diberikan juga
bergantung dari tingkat ekonomi keluarga
dan pengetahuan mengenai makanan sehat
dan bergizi.
Hal ini sesuai dengan temuan
Khasanah (2011) yang menyimpulkan
pada bayi usia 0-6 bulan zat gizi yang
dibutuhkan oleh bayi dapat dipenuhi
dengan pemberian ASI secara eksklusif.
Asumsi peneliti, terdapat perbedaan
pemberian ASI ekslusif dan ASI non
ekslusif terhadap perubahan berat badan
pada bayi. Walaupun perbedaan berat
badan tidak terlalu jauh, namun ASI
ekslusif sangat unggul dalam memenuhi
kebutuhan bayi untuk pertumbuhan bayi
selama enam bulan pertama. Berat badan
bayi yang mendapat ASI ekslusif lebih
ringan dibandingkan dengan berat badan
bayi yang mendapatkan ASI non ekslusif,
namun jika dilihat pada Kartu Menuju
Sehat, bayi yang mendapat ASI ekslusif
memiliki berat badan dalam rentang
normal, sedangkan bayi yang mendapat
ASI non ekslusif memiliki berat badan
pada rentang obesitas.
Hubungan Faktor Risiko Status Gizi
Bayi
Hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh peneliti menunjukkan bahwa ada
hubungan antara pemberian ASI dengan
status gizi, dimana hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai p-value 0.002
lebih kecil dari nilai < 0.05. Peneliti
menemukan bahwa di wilayah kerja
puskesmas Kota Jantho pada tahun 2017,
dari 116 bayi usia 7-12 bulan diantaranya
berstatus gizi kurang akan tetapi diberikan
ASI eksklusif. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan ibu memberikan ASI akan
tetapi tidak sampai mengosongkan isi
payudara. Ibu rata-rata hanya memberikan
ASI selama 5-10 menit.
Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian oleh Kurnia, dkk (2013), bahwa
ada hubungan antara pemberian ASI
eksklusif dengan status gizi bayi. Dimana
ibu yang memberikan ASI eksklusif
cenderung memiliki bayi dengan status
gizi lebih baik dari pada ibu yang tidak
memberikan ASI eksklusif.
Berdasarkan hasil penelitian
menujukkan bahwa ada hubungan
pemberian MP-ASI terlalu dini dengan
status gizi bayi. Dimana hasil uji statistik
menunjukkan nilai p-value=0.002 lebih
kecil dari nilai < 0.05. Kenyataanya
dilapangan, ada ibu yang memberikan MP-
ASI terlalu dini akan tetapi memiliki bayi
dengan status gizi baik. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar ibu memberikan
makanan yang memiliki karbohidrat yang
tinggi.
Penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Risa
(2013), bahwa ada hubungan antara
pemberian MP-ASI terhadap status gizi
bayi. Dimana anak yang diberikan MP-
ASI pada usia ≥ 6 bulan memiliki status
gizi lebih baik dibandingankan dengan
anak yang diberikan MP-ASI terlalu dini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan antara pendidikan dengan
status gizi, dimana hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai p-value 0.001
lebih kecil dari nilai < 0.05.
Hasil dilapangan masih ada ibu
berpendidikan tinggi, akan tetapi memiliki
bayi dengan status gizi kurang. Hal ini
disebabkan karena berbagai faktor yaitu
faktor pemberian ASI eksklusif, pemberian
MP-ASI dini, pendapatan orang tua,
paritas, jarak kelahiran, pelayanan
kesehatan, sanitasi lingkungan, personal
hygiene, perawatan payudara, produksi
ASI, lingkungan sosial, IMD.
Penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Parindifaraj (2014),
menunjukkan bahwa faktor pendidikan ibu
yang kurang dari SMA memiliki
kemungkinan 1.3 kali lebih banyak
terjadinya status gizi kurang pada anak
batita dibandingkan ibu yang
berpendidikan lebih dari SMA. Terdapat
hubungan bermakna antara tingkat
pendidikan ibu dengan status gizi anak,
dimana ibu berlatar pendidikan rendah
kemungkinan anaknya berstatus gizi
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 381-391
388
kurang 13% lebih tinggi dibandingkan ibu
yang berpendidikan lebih tinggi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
ada hubungan antara pendapatan dengan
status gizi, dimana hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai p-value 0.004
lebih kecil dari nilai < 0.05.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
bahwa terdapat ibu yang pendapatannya
tinggi akan tetapi memiliki bayi dengan
status gizi kurang. Hal ini disebabkan
karena kebanyak ibu tidak cukup produksi
ASI nya dan merasa mampu membeli susu
formula. Akan tetapi terdapat bayi yang
gizinya baik hal ini dikarenakan jarak
kelahiran antara 1 anak dengan anak yang
lain terlalu dekat, sehingga asupan gizi
pada bayi tidak terpenuhi. Sedangkan ibu
yang pendapatannya rendah tetapi status
gizinya baik, hal ini dikarenakan ibu
secara rutin menkonsumsi makanan dan
sayuran yang bergizi terutama yang ada di
sekelilingnya seperti daun katuk dan susu
kedelai yang dapat meningkatkan produksi
ASI.
Penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Parindifaraj (2014), yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara
pendapatan orang tua dengan status gizi
bayi. Dimana keluarga dengan pendapatan
kurang UMR, cenderung memiliki bayi
dengan status gizi kurang dibandingkan
dengan pendapatan orang tua lebih dari
UMR.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
ada hubungan antara paritas dengan status
gizi, dimana hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai p-value 0.001
lebih kecil dari nilai < 0.05.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
bahwa terdapat ibu yang kategori
paritasnya tidak berisiko tetapi terdapat
bayi yang gizinya kurang, hal ini
dikarenakan ibu kurang memanfaatkan
pelayanan kesehatan sehingga informasi
yang dimiliki oleh ibu dalam
meningkatkan status gizi bayi kurang
maksimal. Sedangkan ibu yang kategori
paritasnya berisiko tetapi status gizinya
baik, hal ini dikarenakan ibu secara rutin
melakukan pemeriksaan ke tempat
pelayanan kesehatan sehingga ibu dapat
mengontrol dan memberikan makanan
yang baik kepada bayinya, sebab ibu telah
diberikan pemahaman oleh petugas
kesehatan tentang peningkatan asupan
gizinya.
Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Agesti, dkk
(2016) yang menyebutkan bahwa ada
hubungan peritas dengan status gizi bayi.
Dimana ibu dengan jumlah anak >2
berisiko 16 kali lebih besar mempunyai
balita dengan status gizi yang tidak
normal, dibandingkan dengan ibu dengan
jumlah anak ≤2.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
ada hubungan antara jarak kelahiran
dengan status gizi, dimana hasil uji
statistik menunjukkan bahwa nilai p-value
0.002 lebih kecil dari nilai < 0.05.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
bahwa terdapat ibu yang jarak
kehamilannya tidak berisiko tetapi terdapat
bayi yang gizinya kurang, hal ini
dikarenakan ibu tidak memberikan ASI
secara eksklusif kepada bayi. Sedangkan
ibu yang jarak kehamilannya berisiko
tetapi status gizinya baik, hal ini
dikarenakan ibu memberikan ASI
eksklusif kepada bayi walaupun ibu tidak
memberikan ASI kepada bayi sampai bayi
berumur 2 tahun, tetapi setelah bayi
mendapatkan ASI eksklusif, ibu
memberikan makanan pendamping ASI
yang cukup kepada bayi sehingga asupan
gizinya semakin maksimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan antara pelayanan kesehatan
dengan status gizi, dimana hasil uji
statistik menunjukkan bahwa nilai p-value
0.003 lebih kecil dari nilai < 0.05.
Berdasarkan hasil lapangan
didapatkan bahwa ada ibu yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan akan
tetapi memiliki bayi dengan status gizi
kurang. Hal ini disebabkan karena, ada ibu
yang menerima penyuluhan akan tetapi
tidak menerapkan pada kesehariannya.
Selain itu kebanyakan ibu menerima
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 381-391
389
kapsul vitamin A tetapi membuang kapsul
tersebut.
Penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Ratu (2010), bahwa ada
hubungan antara pelayanan kesehatan
dengan status gizi bayi. Dimana ibu yang
tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan
lebih berisiko terjadinya malnutrisi pada
bayi dibandingkan dengan keluarga yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan
dengan baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan antara sanitasi lingkungan
dengan status gizi, dimana hasil uji
statistik menunjukkan bahwa nilai p-value
0.004 lebih kecil dari nilai < 0.05.
Aspek sanitasi lingkungan sangat
menentukan kondisi kesehatan bayi.
Kurangnya perhatian keluarga terutama
ibu, dalam hal sanitasi lingkungan dapat
meningkatkan kerentanan bayi terhadap
penyakit infeksi dan mengurangi
kesempatan anak untuk mengeksplorasi
lingkungan. Penyakit infeksi mempunyai
kontribusi terhadap kekurangan energi,
protein, dan zat gizi lain karena
menurunnya nafsu makan sehingga tingkat
kecukupan gizi menjadi berkurang (Erna
dan Setiyowati, 2012).
Penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Tjeptjep (2011), bahwa ada
hubungan antara sanitasi lingkungan
dengan status gizi. Dimana bayi yang
tumbuh di lingkungan tidak sehat
berpeluang satu kali lebih besar akan
mengalami status gizi buruk dibandingkan
dengan bayi yang berstatus gizi baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan antara personal hygiene
dengan status gizi, dimana hasil uji
statistik menunjukkan bahwa nilai p-value
0.006 lebih kecil dari nilai < 0.05.
Masih ada ibu yang berada di wilayah
kerja puskesmas Kota Jantho yang kurang
menyadari kebersihan diri. Mereka tidak
mengetahui bahwa salah satu faktor
terpenting dari kesehatan anak adalah dari
seorang ibu. Si ibu bahkan sebelum
menyusui anaknya tidak mencuci tangan,
karena merasa hal tersebut tidak perlu
dilakukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan antara perawatan payudara
dengan status gizi, dimana hasil uji
statistik menunjukkan bahwa nilai p-value
0.002 lebih kecil dari nilai < 0.05.
Sebagian besar ibu di wilayah kerja
puskesmas Kota Jantho melakukan
perawatan payudara hanya dengan
pemijatan peyudara sekali setelah
melahirkan dengan tukang pijat. Setelah
itu tidak ada lagi melakukan perawatan
payudara, walaupun ibu merasa payudara
terasa sakit, tegang, dan tidak cukup ASI.
Penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Yayuk
(2013), bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara perawatan payudara
dengan produksi ASI, sehingga berisiko
terhadap status gizi bayi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan antara produksi ASI dengan
status gizi, dimana hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai p-value 0.02
lebih kecil dari nilai < 0.05.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
bahwa terdapat ibu yang produksi ASInya
cukup tetapi terdapat bayi yang gizinya
kurang, hal ini dikarenakan ibu tidak
mengkonsumsi makanan-makanan yang
mengandung gizi tinggi, serta jarak
kelahiran yang telalu dekat menyebabkan
bayi tidak mendapatkan gizi yang cukup.
Sedangkan ibu yang produksi ASInya
kurang tetapi status gizinya baik, hal ini
dikarenakan ibu memberikan MP-ASI
kepada bayi secara lengkap sehingga
asupan gizi bayi terpenuhi serta menjaga
agar sanitasi lingkungan tetap dalam
keadaan bersih, agar bayi tidak mudah
terkena sakit.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
bahwa terdapat ibu yang lingkungan
sosialnya baik tetapi terdapat bayi yang
gizinya kurang, hal ini dikarenakan ibu
jarang memberikan ASI kepada bayi, bayi
sering menangis saat sedang menyusui,
serta ibu jarang melakukan pemijatan
payudara sehingga menyebabkan ASInya
kurang. Sedangkan ibu yang lingkungan
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 381-391
390
sosialnya kurang baik tetapi status gizinya
baik, hal ini dikarenakan ibu memberikan
bayi ASI eksklusif, ibu melakukan
perawatan payudara, dan ibu hanya
melakukan pantangan terhadap hal-hal
yang betul-betul berbahaya bagi bayi dan
ibu dan dapat dijelaskan secara medis.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ada
hubungan antara lingkungan sosial dengan
status gizi, dimana hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai p-value 0.008
lebih kecil dari nilai < 0.05.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
bahwa kenyataannya masih ada ibu di
wilayah kerja puskesmas Kota Jantho tidak
melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) setelah melahirkan. Hal ini
disebabkan karena masih banyak ibu tidak
mengetahui apa itu IMD dan IMD itu perlu
dilakukan. Ibu berpendapat bahwa petugas
kesehatan tidak memberitahu mereka,
walaupun hampir semua ibu di wilayah
kerja puskesmas Kota Jantho
persalinannya di tolong oleh tenaga
kesehatan. Diperoleh nilai p-value = 0.009
lebih kecil dari nilai < 0.05. Maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara
IMD dengan status gizi bayi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan ditemukan bahwa ada perbedaan
antara bayi yang diberikan ASI eksklusif
dan MP-ASI dengan status gizi bayi.
Dimana jika dilihat dari faktor risiko yang
berhubungan dengan status gizi bayi ada
pada pemberian ASI, pemberian MP-ASI,
tingkat pendidikan ibu, tingkat pendapatan
ibu, paritas, jarak kelahiran, pelayanan
kesehatan, sanitasi lingkungan, personal
hygiene, perawatan payudara, produksi
ASI, lingkungan sosial, dan IMD. Dan
faktor paling dominan ada pada paritas.
SARAN
Diharapkan kepada kader posyandu
agar dapat meningkatkan kualitas
kesehatan dan pengoptimalan
perkembangan anak. Perlunya dilakukan
penyuluhan dan pembinaan kepada ibu-ibu
di wilayah kerja Puskesmas Kota Jantho
Kabupaten Aceh Besar, mengenai
manfaat memberikan ASI eksklusif, cara
memberikan ASI yang membantu produksi
kelancaran ASI sejak lahir terutama bagi
ibu-ibu yang akan melahirkan anak
pertama kali untuk meningkatkan
pengetahuan ibu tentang pentingnya
memberikan ASI eksklusif. Dan bagi ibu
yang menyusui bayi tidak hanya ketika
bayi menagis tetapi hendaknya ibu
menyusui bayinya 2 jam sekali, karena
ASI dalam lambung bayi akan kosong
dalam waktu 2 jam sehingga bayi akan
mudah merasa lapar dan nutrisi bayi tidak
terpenuhi, serta merubah kebiasaan dalam
memberikan MP-ASI seperti pisang, air
putih, susu botol, bubur dan lainnya
sebelum bayi mencapai 6 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Agesti L., Amatus Y. I., Rina K.,
Hubungan Karakteristik Ibu
Dengan Status Gizi Balita Yang
Berkunjung Di Puskesmas Bahu
Mandi, 2016, vol. 4, no. 1.
2. Endang L. A., Gizi Dan Kesehatan
Masyarakat, Departemen Gizi Dan
Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia, Edisi I, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
3. Erna, K., Setiyowati R., Pengaruh
Pelayanan Kesehatan Terhadap
Gizi Buruk Anak Usia 6-24 Bulan, 2012, vol. 6, no. 4, Halaman 158-162.
4. Kemenkes, Standar Antropometri
Penilaian Status Gizi Anak, Jakarta:
Direktorat Bina Gizi, 2011.
5. Khasanah, N., Asi Atau Susu
Formula Ya?, Jogjakarta: Flashbook,
2011.
6. Kurnia, W. G., Muliarti., Dewi S. W.,
Hubungan Pemberian ASI
Eksklusifdengan Status GiziBalita
6-24 Bulan di
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 381-391
391
KampungKajarianBuleleng, 2013,
vol. 2, no. 1, p.p. 184-192, ISSN:
2303-3142.
7. Parindifaraj, S., Gambaran
Karakteristik Ibu Dan Anak
Terhadap Kejadian Gizi Kurang
Pada Anak Balita Di Desa Sukawati
Gianyar Tahun 2014, 2014, vol. 4,
no. 1, p.p. 102-112, ISSN: 2089-9084.
8. Puskesmas Kota Jantho Kabupaten
Aceh Besar, Laporan Tahunan
Pueskesmas Kota Jantho, Aceh
Besar 2015.
9. Ratu, A.D.S., Analisis Pemanfaatan
Program Pelayanan Kesehatan
Status Gizi Balita, 2010, vol. 5, no. 2,
p.p. 76-83.
10. Risa, W., Hubungan Pemberian
MP-ASI Dini Dengan Status Gizi
Bayi Umur 0-6 Bulan Di Wilayah
Kerja Puskesmas Rowo Tengah
Kabupaten Jember, 2013, vol. 1, no.
1, p.p. 47-53.
11. Suhardjo, Perencanaan Pangan Dan
Gizi, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.
12. Tjetjep, S., H., Hubungan Sanitasi
Lingkungan, Morbiditas, Dan
Status Gizi Balita Di Indonesia, 2011, PGM 34 (2), p.p. 104-113.
13. Yayuk, N., Luluk, H., Faktor Yang
Mempengaruhi Perawatan
Payudara Dengan Gangguan
Produksi ASI, 2013, vol. 4, no. 2,
p.p. 11-16, ISSN: 1907-1396.
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 392-396
392
PENENTUAN ANGKA LEMPENG TOTAL (ALT) PADA IKAN KAYU
YANG DIJUAL DI PASAR PEUNAYONG KOTA BANDA ACEH
Determination of Total Plate Count (TPC) in Wooden Fish Sold in
Peunayong Market Banda Aceh
Elfariyanti1, Nina Ismayanti2
1,2 Akademi Analis Farmasi dan Makanan, Banda Aceh, 23241, Indonesia
ABSTRAK
Latar Belakang: Ikan kayu merupakan salah satu jenis produk olahan ikan yang telah mengalami rangkaian
proses seperti perebusan dan pengasapan bertingkat hingga teksturnya menjadi sekeras kayu dan berwarna
coklat tua kehitaman. Ikan kayu merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak akibat cemaran mikroba
yang disebabkan salah satunya karena kondisi lingkungan yang memungkinkan pertumbuhan mikroba.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai Angka Lempeng Total (ALT) pada ikan kayu yang dijual di
pasar Peunayong kota Banda Aceh apakah sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh SNI 2691-3:2017 yaitu
sebesar 1,0 x 106 kol/g. Metode: Analisis yang digunakan dalam penelitian ini secara kuantitatif menggunakan
prinsip Angka lempeng Total (ALT). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ikan kayu yang dijual di pasar
Peunayong kota Banda Aceh, sedangkan sampel yang digunakan adalah ikan kayu dengan variasi waktu
produksi yaitu 1 minggu, 2 minggu dan 1 bulan. Hasil penelitian didapatkan bahwa sampel dengan waktu
produksi 1 minggu nilai ALT nya sebesar 8,06 x 103 kol/g, waktu produksi 2 minggu sebesar 5,04 x 104 kol/g
dan waktu produksi 1 bulan sebesar 2,80 x 106 kol/g. Dapat disimpulkan bahwa sampel dengan waktu produksi
1 minggu dan 2 minggu memenuhi syarat yang ditetapkan SNI, sedangkan sampel dengan waktu produksi 1
bulan tidak memenuhi syarat SNI.
Kata kunci: Ikan kayu, ALT, mikroba, pasar Peunayong
ABSTRACT
Background: Wooden fish is one type of processed fish product that has undergone a series of processes such
as boiling and smoking stage until the texture becomes wood-hard and dark-brown in color. Wooden fish is very
easily damaged due to microbial contamination caused by environmental conditions that allow microbial to
growth. The aim of this study is to determine the Total Plate Count (TPC) in wooden fish sold in the Peunayong
market Banda Aceh. The result was referred to the requirements set by SNI 2691-3: 2017, which is equal to 1,0
x 106 col/g. Method: The principle of TPC was used as quantitative analysis in this study. The population were
all wooden fish sold in the Peunayong market Banda Aceh. The samples used were wooden fish with variations
in production time, namely 1 week, 2 weeks and 1 month. The results showed that samples with 1 week
production time had TPC value of 8,06 x 103 col/g, 2 weeks production time 5,04 x 104 col/g and 1 month
production time 2.80 x 106 col/g. It can be concluded that samples with 1 week and 2 weeks production time
meet the requirements set by SNI, while samples with 1 month production time do not meet SNI requirements.
Key words: Wooden fish, TPC, microbial, Peunayong market
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 392-396
393
PENDAHULUAN
Perairan Aceh merupakan salah satu
perairan di Indonesia yang banyak
menghasilkan ikan tongkol (Muklis, 2008
dan Syamsunnisak 2016). Oleh karena itu,
ikan tongkol ini merupakan ikan yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat Aceh
tidak hanya dalam keadaan segar tetapi
juga dalam keadaan diawetkan yang
dikenal dengan nama ikan kayu,
masyarakat Aceh mengenalnya dengan
istilah keumamah (Zulfikar, 2018).
Pengolahan ikan tongkol atau ikan tuna
segar menjadi ikan kayu merupakan proses
pengolahan ikan yang sudah dilakukan
secara turun temurun oleh masyarakat
Aceh (Sulaiman, 2014). Pengolahannya
sangat sederhana namun dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lama apabila
dilakukan dengan proses yang higienis.
Proses pengolahannya diawali dengan
perebusan, pengasapan dan pengeringan.
Prinsip pengeringan ini dilakukan karena
mikroorganisme membutuhkan air untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakannya,
apabila kadar air dalam bahan rendah,
maka mikroorganisme tidak dapat tumbuh
dan reaksi-reaksi kimia tidak dapat
berlangsung di dalamnya (Sulaiman,
2014). Walaupun pengolahan ikan kayu
melalui proses pengeringan , tidak
menutup kemungkinan produk ikan kayu
tersebut tercemar bakteri dikarenakan
terkontaminasi dengan udara, kondisi
tempat penyimpanan dan lama waktu
penyimpanan ( Sulistiani, dkk., 2017).
Terdapat beberapa parameter
mikrobiologi untuk menentukan kualitas
produk olahan ikan. Angka Lempeng Total
(ALT) merupakan salah satu metode
kuantitatif yang digunakan untuk
mengetahui jumlah mikroba pada suatu
sampel atau produk dengan menggunakan
media padat dengan hasil akhir berupa
koloni yang dapat diamati secara visual
dan dihitung, interpretasi hasil berupa
angka dalam koloni per mL/g. Cara yang
digunakan antara lain dengan cara tuang,
cara tetes dan cara sebar (Fardiaz dalam
Susanti, dkk., 2016).
Badan Standar Nasional Indonesia
(SNI) nomor 2691-3:2017 menetapkan
nilai Angka Lempeng Total terhadap
produk ikan kayu tidak boleh melebihi 1,0
x 106 kol/g. Apabila jumlahnya melebihi
syarat yang ditetapkan, maka produk
tersebut sudah tidak layak dikomsumsi
karena dapat menimbulkan penyakit bagi
konsumen seperti kemerah-merahan pada
kulit, alergi, , mual, muntah, sakit perut
dan diare (Etika, 2017).
Penelitian sebelumnya melaporkan
bahwa nilai ALT ikan kayu yang
diproduksi di kota Kendari melebihi syarat
yang ditetapkan SNI yaitu 5,0 x 105 CFU/
mL, dimana produk ikan kayu tongkol
nilai ALT nya sebesar 7,5 x 105 CFU/ mL
dan produk ikan kayu cakalang sebesar 6,0
x 105 CFU/ mL ( Nabila, 2017). Hal ini
tidak menutup kemungkinan terjadi di kota
Banda Aceh, dimana produk ikan kayu
yang dijual di pasar Peunayong kota
Banda Aceh nilai ALT nya melebihi dari
syarat yang ditetapkan.
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ikan kayu yang dijual di pasar
Peunayong kota Banda Aceh, sedangkan
sampel yang digunakan adalah ikan kayu
dengan kriteria waktu produksi 1 minggu,
2 minggu dan 1 bulan.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah inkubator, autoklaf,
timbangan analitik, tabung reaksi, gelas
kimia, Erlenmeyer, pipet tetes cawan petri,
botol pengencer gelas ukur dan kapas
steril.
Bahan-bahan yang digunakan adalah
ikan kayu, Mueller Hinton Agar (MHA),
aquades dan alkohol 96%.
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 392-396
394
Gambar 1. Ikan kayu (keumamah) Aceh
Prosedur Kerja
Sterilisasi
Sterilisasi alat-alat dan media yang
digunakan dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit.
Persiapan Media MHA
Ditimbang 14 gram MHA dan
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer,
kemudian ditambahkan aquades sebanyak
400 mL, dipanaskan sampai larutan
mendidih.
Persiapan Sampel
Sebanyak 1 gram ikan kayu
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi 9
mL aquades, kemudian dihomogenkan
dengan mixer. Homogenat ini merupakan
larutan pengenceran 10-1. Dengan
menggunakan pipet steril ambil 1 mL
homogenat di atas kemudian dimasukkan
ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 mL
aquades untuk mendapatkan pengenceran
10-2. Siapkan pengenceran selanjutnya 10-3
dengan mengambil 1 mL homogenat dari
pengenceran 10-2 ke dalam 9 mL aquades.
Lakukan hal yang sama untuk pengenceran
10-4 dan 10-5 (Nabila, dkk., 2017).
Tahap Analisis
Pipet I mL larutan dari setiap
pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5
kemudian dimasukkan masing-masing ke
dalam cawan petri steril. Lakukan secara
duplo untuk setiap pengenceran.
Selanjutnya tambahkan 10 mL media
MHA yang sudah didinginkan ke dalam
masing-masing cawan petri yang sudah
berisi sampel. Agar sampel dan media
dapat tercampur sempurna, maka
dilakukan pemutaran cawan ke depan ke
belakang dan ke kiri ke kanan. Inkubasi
cawan-cawan tersebut dalam inkubator
selama 48 jam pada suhu 35 oC. lakukan
kontrol tanpa sampel dengan
mencampurkan larutan pengencer aqudes
dengan media MHA. Selanjutnya hitung
cawan-cawan yang mempunyai jumlah
koloni 30-300 kol/g (Nabila, dkk., 2017).
Angka Lempeng Total (ALT) dihitung
menggunakan persamaaan:
N =
……(Pers. 1)
Dimana:
N = Jumlah koloni sampel (kol/g)
Σc = Jumlah koloni pada semua cawan
yang dihitung
n1 = Jumlah cawan pada pengenceran
pertama yang dihitung
n2 = Jumlah cawan pada pengenceran
kedua yang dihitung
d = Pengenceran pertama yang dihitung
HASIL
Penelitian ini menguji banyaknya
cemaran mikroba (Angka Lempeng Total)
pada produk ikan kayu yang dijual di pasar
Peunayong kota Banda Aceh dengan
variasi waktu produksi. Prinsip pengujian
ini menggunakan metode cawan agar
tuang atau pour plate yaitu dengan
menanam contoh ke dalam cawan petri
terlebih dahulu kemudian ditambahkan
media agar yang dilakukan secara duplo.
ALT merupakan salah satu cara untuk
mempermudah dalam pengujian
mikroorganisme dari suatu produk, adanya
mikroorganisme dapat dilakukan dengan
pengamatan secara visual atau dengan
kaca pembesar pada media penanaman,
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 392-396
395
kemudian dihitung untuk standar terhadap
mikroorganisme (SNI-2691:2017).
Sampel ikan kayu yang dipakai untuk
analisis sebanyak 1 gram, larutan aquades
sebagai pengencer dan MHA sebagai
media. Hasil pengujian dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Nilai ALT Ikan kayu
Berdasarkan Waktu Produksi
No Sampel Nilai ALT
(kol/g)
1 1 minggu 8,06 x 103
2 2 minggu 5,04 x 104
3 1 bulan 2,80 x 106
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat
dilihat bahwa nilai ALT sampel ikan kayu
berbeda tergantung dari masa produksi.
Nilai ALT untuk masa produksi 1 minggu
sebesar 8,06 x 103 kol/g, 2 minggu sebesar
5,04 x 103 kol/g dan 1 bulan sebesar 2,80 x
106 kol/g. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa ikan kayu dengan
masa produksi 1 minggu dan 2 minggu
memenuhi syarat yang ditetapkan SNI-
2691-3:2017, sedangkan ikan kayu dengan
masa produksi 1 bulan melebihi ketentuan
SNI.
Ikan kayu merupakan bahan pangan
yang sangat mudah rusak akibat mikroba.
Amir (2018) mengatakan bahwa penyebab
ikan kayu mudah rusak karena kondisi
lingkungan yang memungkinkan sebagai
tempat pertumbuhan mikroba, proses
pengolahan yang tidak higienis dan
kondisi penyimpanan produk. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan di pasar
Peunayong, pedagang membiarkan saja
ikan kayu tersebut di udara terbuka tidak
dikemas dengan kemasan yang baik,
akibatnya kualitas pangan tersebut cepat
rusak karena terkontaminasi dengan air
dan udara di sekitarnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ikan kayu dengan masa produksi 1
minggu dan 2 minggu nilai ALT nya
masih dalam batas yang disyaratkan oleh
SNI-2691-3:2017 yaitu tidak melebihi dari
1,0 x 106 kol/g, sedangkan ikan kayu
dengan masa produksi 1 bulan tidak
memenuhi syarat yang ditetapkan SNI.
Saran
Adapun saran dari penelitian ini
adalah:
1) Hendaknya peneliti selanjutnya dapat
melanjutkan uji mikrobiologi untuk
menentukan jenis mikroba yang
terdapat pada ikan kayu yang dijual di
pasar Peunayong kota Banda Aceh,
baik dari jenis bakteri gram positif,
negatif dan jamur.
2) Informasi ini diharapkan dapat
memberi pengetahuan kepada
masyarakat agar mengkonsumsi ikan
kayu yang tidak melebihi 1 bulan dari
masa produksi. Selain itu, kualitas
penyimpanan bahan juga diperhatikan
agar terhindar dari serangan penyakit
akibat terinfeksi bakteri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Etika, N.M., 2017., 5 Jenis Bakteri
yang Paling Sering Menyebabkan
Keracunan Makanan ( https://hellosehat.com/hidup-
sehat/tips-sehat/bakteri-penyebab-
keracunan-makanan/amp/) Diakses 10
Februari 2019.
2. Muklis., Pemetaan Daerah
Penangkapan Ikan Cakalang
(katsuwonus pelamis) dan Tongkol
(euthynnus affinis) di Perairan
Utara Nanggroe Aceh Darussalam.
Thesis Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor, 2008.
3. Nabila, L., Tamrin dan Isamu T. K.,.
Karakteristik, Kimia dan Mikroba
Ikan Kayu Cakalang (katsuwonus
JUKEMA
Vol. 5, No.1, Februari 2019: 392-396
396
pelamis) dan Ikan Tongkol
(euthynnus affinis) yang
Diproduksi di Kota Kendari. Jurnal
Sains dan Teknologi Pangan, Vol
2(3): 530-541, 2017
4. Sulaiman, I., Perbandingan Metode
pengeringan dan Jenis Ikan pada
Pengujian Organoleptik Ikan Kayu
Khas Aceh (Keumamah). Jurnal
Agroindustri, Vol 4(1): 40-47, 2014.
5. Sulistiani, N., Tamrin dan Isamu T.
K., Identifikasi Kapang Ikan Kayu
Jenis Cakalang (katsuwonus
pelamis) dan Ikan Tongkol
(euthynnus affinis) yang
Diproduksi di Kota Kendari. Jurnal
Sains dan Teknologi Pangan, Vol
2(2): 425-434, 2017.
6. Standar Nasional Indonesia (SNI-
2691)., Ikan Kayu. Jakarta: Badan
Standar Nasional, 2017.
7. Syamsunisak, Rahmah, A. dan
Musman, M., Penentuan Daerah
Penangkapan Ikan Tongkol
(euthynnus affinis) Berdasarkan
Sebaran Suhu Permukaan Laut di
Perairan Idi Rayeuk Kabupaten
Aceh Timur. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kelautan dan Perikanan
Unsyiah, Vol 1(3): 419-424, 2016.
8. Susanti, D., Darmanto, Y. S. dan
Agustini, T. W., Kualitas Pengolahan
Ikan Kayu Di Kabupaten Sikka.
Prosiding Seminar Nasional Kelautan,
Universitas Trunojoyo Madura, 2016.
9. Zulfikar., Keumamah, si Ikan Kayu
Warisan Para Pejuang Aceh. (https://merahputih.com./post/read/ke
umamah-si-ikan-kayu-warisan-para-
pejuang-aceh) Diakses pada Tanggal
10 Februari 2019.
10. Amir, N., Mutusalach dan Fahrul.,.
Mutu dan Keamanan Pangan
Produk Ikan Asap di
KabupatenBulukumba Provinsi
Sulawesi Selatan. Jurnal Agribisnis
Perikanan, Vol 11(2) :15-21, 2018.
JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0
Halaman Template JUKEMA
JUDUL DALAM BAHASA INDONESIA (ALL CAPS, 14 POINT FONT,
BOLD, CENTERED)
(kosong satu spasi tunggal,14 pt)
Judul dalam Bahasa Inggris, Title Case, (13 pt, Italic, Centered) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulis Pertama1, Penulis Kedua
2 dan Penulis Ketiga
3(12 pt, Centered, Bold)
1Nama Jurusan/Fakultas, Nama Universitas/Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (Title Case,
10 pt, centered) 2Nama Jurusan/Fakultas, Nama Universitas/Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (Title Case,
10 pt, centered) 3Nama Jurusan/Fakultas, Nama Universitas/Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara (Title Case,
10 pt, centered) 1alamat@email, 2alamat@email, 3alamat@email
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
ABSTRAK (12 pt, BOLD, CAPITAL)
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt) Untuk naskah dalam bahasa Indonesia, abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan
jenis huruf Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Untuk naskah dalam bahasa Inggris, abstraknya
tidak perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Abstrak sebaiknya menyatakan Masalah Penelitian,
Tujuan Penelitian, Metode, Hasil, Saran dan jumlah kata tidak melebihi 250 kata.
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt) Kata kunci: Maksimum 5 Kata Kunci, 10 pt, Title Case
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
ABSTRACT (12 pt, BOLD, CAPITAL)
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt) For manuscript in Indonesian, abstract should be written in Indonesian and English using Times New
Roman font, size 10 pt, and single spacing, completed with English title written in bold at the beginning of
the English abstract. No need to translate the abstract of manuscript written in English into Indonesian. The
abstract should state Research Problem, Research Objectives, Methods, Results, Recommendation. The
abstract should be no more than 250 words.
(kosong satu spasi tunggal, 12 pt) Keywords: Maksimum 5 Kata Kunci, Dalam Bahasa Inggris, 10 pt, Italic,Title Case
(kosong dan lanjut ke lembar berikutnya)
JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0
Halaman Template JUKEMA
PENDAHULUAN (12 pt, BOLD,
CAPITAL) (kosong satu spasi,12 pt)
Petunjuk penulisan ini dibuat untuk
keseragaman format penulisan dan
kemudahan untuk penulis dalam proses
penerbitan naskah di jurnal ini. Naskah
ditulis dengan Times New Roman ukuran
12 pt, spasi tunggal, justified dan tidak
ditulis bolak-balik pada satu halaman.
Naskah ditulis dalam bentuk dua
kolom dengan jarak antara kolom 1 cm
pada kertas berukuran A4 (210 mm x 297
mm) dengan margin atas 2.54 cm, bawah
2.54 cm, kiri dan kanan masing-masing
2.54 cm. Panjang naskah hendaknya tidak
melebihi 10 halaman termasuk gambar,
tabel dan referensi, apabila jauh melebihi
jumlah tersebut maka dianjurkan untuk
dibuat dalam seri.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia
atau bahasa Inggris. Apabila ditulis dalam
bahasa Inggris sebaiknya telah memenuhi
standar data bahasa Inggris baku.
Judul naskah hendaknya singkat dan
informatif serta diusahakan tidak melebihi
4 baris. Jika naskah bukan dalam bahasa
Inggris maka naskah dilengkapi dengan
abstrak dalam bahasa Inggris yang diawali
dengan judul dalam bahasa Inggris seperti
contoh di atas.
Keyword dalam bahasa Inggris
dituliskan di bawah abstrak untuk
mendeskripsikan isi dari naskah.
Dianjurkan untuk menggunakan daftar
keyword yang biasa digunakan di jurnal
atau jika sesuai dapat mengikuti klasifikasi
berikut: metode teoritis, metode
eksperimen, fenomena, obyek penelitian
dan aplikasinya.
Naskah disusun dalam 5 subjudul
PENDAHULUAN, METODE
PENELITIAN, HASIL,
PEMBAHASAN, KESIMPULAN DAN
SARAN. Subjudul ditulis dengan huruf
kapital. UCAPAN TERIMA KASIH
(apabila ada) diletakkan setelah subjudul
KESIMPULAN DAN SARAN.
Sebaiknya penggunaan subsubjudul
dihindari, apabila diperlukan maka ditulis
dengan Title Case (huruf depan saja yang
Kapital kecuali kata sambung). Jarak
antara paragraf adalah satu spasi
tunggal. Penggunaan catatan kaki/footnote
sebisa mungkin dihindari.
Notasi sebaiknya ringkas dan jelas
serta konsisten dengan cara penulisan yang
baku. Simbol/lambang ditulis dengan jelas
dan dapat dibedakan seperti penggunaan
angka 1 dan huruf l (juga angka 0 dan
huruf O) perlu dibedakan dengan jelas.
Singkatan sebaiknya tidak digunakan dan
harus dituliskan secara lengkap. Istilah
asing ditulis dengan huruf Italic. Angka
perlu dituliskan dalam bentuk kata jika
digunakan pada awal kalimat.
Tabel ditulis dengan Times New
Roman berukuran 10-11 pt dan diletakkan
berjarak satu spasi tunggal di bawah judul
tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf
berukuran 12 pt, Bold dan ditempatkan di
atas tabel dengan format seperti terlihat
pada contoh. Penomoran tabel
menggunakan angka Arab. Jarak tabel
dengan paragraf adalah satu spasi tunggal
(12 pt).
Tabel diletakkan segera setelah
penunjukkannya dalam naskah. Kerangka
tabel menggunakan garis setebal 1 pt
(garis horizontal saja). Apabila tabel
memiliki lajur yang cukup banyak, dapat
digunakan format satu kolom pada
setengah atau satu halaman penuh. Jika
judul pada setiap lajur tabel cukup panjang
dan rumit maka lajur diberi nomor dan
keterangannya diberikan di bagian bawah
tabel. Tabel diletakkan pada posisi paling
atas atau paling bawah dari setiap halaman
dan jangan diapit oleh kalimat.
(satu spasi tunggal, 12 pt)
Tabel 1. Jumlah Pengujian WFF
Triple NA=15 atau NA=8 (satu spasi tunggal, 12pt)
NP
NC 3 4 8 10
3 1200 2000 2500 3000
5 2000 2200 2700 3400
8 2500 2700 16000 22000
JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0
Halaman Template JUKEMA
10 3000 3400 22000 28000
(satu spasi tunggal, 10 pt)
Gambar ditempatkan simetris dalam
kolom berjarak satu spasi tunggal dari
paragraf. Gambar diletakkan pada posisi
paling atas atau paling bawah dari setiap
naskah. Gambar diberi nomor dan diurut
dengan angka Arab. Keterangan gambar
diletakkan di bawah gambar dan berjarak
satu spasi tunggal dari gambar. Penulisan
keterangan gambar menggunakan huruf
berukuran 9 pt, bold dan diletakkan seperti
pada contoh. Jarak keterangan gambar
dengan paragraf adalah dua spasi tunggal.
Gambar yang telah dipublikasikan oleh
penulis lain harus mendapat izin tertulis
penulisnya dan penerbitnya.
Gambar akan dicetak hitam-putih,
kecuali jika memang perlu ditampilkan
berwarna. Penulis dikenakan biaya
tambahan untuk cetak warna lebih dari
satu halaman. Font yang digunakan dalam
pembuatan gambar atau grafik sebaiknya
yang umum dimiliki setiap pengolah kata
dan sistem operasi seperti Symbol, Times
New Romans dan Arial dengan ukuran
tidak kurang dari 9 pt. (kosong satu spasi,12 pt)
(kosong satu spasi tunggal, 10pt)
Gambar 1. Pelabelan Pohon
T Sesuai dengan Urutan Tampilan (kosong satu spasi,12 pt)
Penurunan persamaan matematis atau
formula tidak perlu dituliskan
keseluruhannya secara detil, cukup
diberikan bagian yang terpenting, metode
yang digunakan dan hasil akhirnya. Cara
penulisan acuan dalam naskah
menggunakan angka Arab dan diurut
sesuai dengan penunjukkannya dalam
naskah.
Persamaan reaksi atau matematis
diletakkan simetris pada kolom, diberi
nomor secara berurutan yang diletakkan di
ujung kanan dalam tanda kurung. Apabila
penulisan persamaan lebih dari satu baris
maka penulisan nomor diletakkan pada
baris terakhir. Penggunaan huruf sebagai
simbol matematis dalam naskah ditulis
dengan huruf miring (italic) seperti x (kosong satu spasi,12 pt)
∞ ∑1 (di < t, N (di ) = n) (1)
µ(n, t ) = i =1
∫σ =01 (N(σ ) = n) dσ
(kosong satu spasi,12 pt) Persamaan (1) di atas diperoleh
dengan format Style sebagai berikut:
Variabel: Times New Romans Italic dan
LC Greek: Symbol Italic. Format ukuran:
Full 10 pt, Subscript/Superscript 8 pt, Sub-
subscript/Sub-superscript 6 pt, Symbol 11
pt dan Sub-symbol 9 pt.
Referensi angka ditulis dengan format
superscript tanpa tanda kurung seperti
“… Zhang et. al. ….” (kosong satu spasi tunggal,12 pt)
KESIMPULAN DAN SARAN (kosong satu spasi tunggal,12 pt)
Kesimpulan. Tidak boleh ada referensi
pada sesi kesimpulan. Saran. Tidak boleh
ada referensi pada sesi saran. (kosong satu spasi tunggal,12 pt) DAFTAR PUSTAKA (kosong satu spasi tunggal, 12pt)
Penulisan daftar acuan diurut sesuai
dengan urutan penunjukkannya dalam
naskah dengan menggunakan angka Arab
seperti terlihat pada contoh. Acuan harus
memuat inisial dan nama penulis, nama
jurnal atau judul buku, volume, editor (jika
ada), penerbit dan kotanya, tahun
penerbitan dan halaman. Nama penulis
hanya disebutkan sampai penulis ke enam
kemudian diikuti dengan et. al. atau dkk.
Penulisan nama diawali dengan nama
keluarga diikuti inisial tanpa tanda titik (.)
maupun koma (,). Antara penulis satu
dengan yang lainnya dipisahkan dengan
tanda koma (,). Nama jurnal ditulis
dengan singkatan yang lazim digunakan.
Hindari penggunaan abstrak sebagai bahan
JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0
Halaman Template JUKEMA
acuan. Artikel yang belum diterbitkan
tetapi dalam proses cetak dapat digunakan
sebagai bahan acuan dengan
mencantumkan keterangan “in press”.
Hindari mengacu pada personal
communication. (kosong satu spasi tunggal,12 pt) Artikel dalam Jurnal
1. Zhang Z., Wu F., Zandvliet H.J.W.,
Poelsema B., Metiu H., Lagally
M.G., et. al., ‘Radical Styloid
Impingement after Triscaphe
Arthrodesis’, Journal Hand
Surgery; 1989. vol. 14, no. 2, p.p.
297-301.
2. The Cardiac Society, ‘Exercise
Training’, Journal Hand Surgery;
1988. vol. 13, no. 5, p.p. 50-53.
Tersedia dari: ProQuest. [23 Juni
2016].
3. Bustamante, C., ‘Health in Society’,
Journal of Health; 2015. vol. 19, no.
1, p.p. 455-463. Tersedia dari:
<http://lj,libraryjournal.com/2015/09/
health/>. [2 Juli 2016]
Buku dan Buku Elektronik
4. Olsen J.A., Principles in Health
Economics and Policy, Oxford:
Oxford University Press; 2009.
5. Pauly M.V., McGuire T.G. and
Barros P.P., Handbook of Health
Economics, Amsterdam: London:
North Holland; 2012.
6. Jones, M.D. (ed.), Management in
Australia, London: Academic Press;
1998.
7. World Bank., World Development
Report 2015. Mind, Society, and
Behavior, Washington, D.C.: World
Bank Group; 2015.
8. Olsen J.r., Greene N., Saracci R. dan
Trichopoulos D., Teaching
Epidemiology: A Guide for
Teachers in Epidemiology, Public
Health and Clinical Medicine.
Oxford: Oxford University Press;
2015. Tersedia dari:
<http://ezproxy.lib.monash.edu.au/lo
gin?url=http://dx.doi.org/10.1093/acp
rof:oso/9780199685004.001.0001.>
Internet/website
9. Improve Indigenous Housing Now,
Government Told; 2007. Tersedia
dari:
<http://www.architecture.com.au/i-
cms?page=10220>. [8 Februari
2009].
10. Jones, MD n.d., Commentary on
Indigenous Housing Initiatives.
Tersedia dari:
<http://www.architecture.com.au>.
[6 Juni 2009].
11. National Gallery, Episode seventy
one (September 2012), The National
Gallery Monthly Podcast,
(podcast); September 2012. Tersedia
dari:
<http://www.nationalgallery.org.uk/p
odcast>. [26 Oktober 2012].
Konfrensi dan Proseding
12. Riley, D., 'Industrial Relations in
Australian Education', in Contemporary Australasian
industrial relations: proceedings of
the sixth AIRAANZ conference, ed.
D. Blackmur, AIRAANZ, Sydney;
1992.
13. Fan, W., Gordon, M.D. dan Pathak,
R.,'Personalization of Search
Engine Services for Effective
Retrieval and Knowledge
Management'. Proceedings of the
twenty-first international conference
on information systems; 2000.
Tersedia dari: ACM Portal: ACM
Digital Library. [24 Juni 2004].
14. Brown, S. dan Caste, V. 'Integrated
Obstacle Detection Framework'.
Artikel dipresentasikan di IEEE
Intelligent Vehicles Symposium,
IEEE, Detroit, MI; 2004.
Koran
15. Meryment, E., 'Distaff Winemakers
Raise A Glass of Their Own to
Their Own', The Australian; 7
Oktober 2006. Tersedia dari: Factiva.
[2 February 2007].
16. Hilts, P.J., 'In Forcasting Their
Emotions, Most People Flunk
Out', The New York Times; 16
JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0
Halaman Template JUKEMA
Februari 1999. Tersedia dari:
<http://www.nytimes.com>. [19
Februari 2000].
Paten
17. Cookson, A.H., Particle Trap for
Compressed Gas Insulated
Transmission Systems, U.S. Patent
4554399; 1985.
JUKEMA
Vol. 0, No. 0, Februari 2000: 0 - 0
Formulir Berlangganan Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh
Aceh Public Health Journal ISSN: 2008- 1592
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : ..........................................................
Alamat : ..........................................................
..........................................................
Telepon : ..........................................................
E-mail : ..........................................................
Bersedia untuk menjadi pelanggan JUKEMA dengan biaya
Rp. 100.000,-/tahun/2 edisi (sudah termasuk ongkos kirim).
.........................., ..............
(........................................)
Pembayaran ditransfer ke:
FKM-UNMUHA
Bank Syariah Mandiri
No Rekening: 0 100 260 484
Bukti transfer berikut formulir ini dikembalikan ke:
Redaksi JUKEMA
PKPKM. Gedung Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Lantai II
Universitas Muhammadiyah Aceh (UNMUHA)
Jl. Muhammadiyah No. 93. Bathoh, Lueng Bata, Banda Aceh,
Indonesia, 23245
Telp: 0651-28422 e-mail: [email protected]
p-ISSN: 2088-1592 | e-ISSN: 2549-6425
Jurnal Kesehatan
Masyarakat Aceh
Aceh Public Health Journal Volume 5, Nomor 1, Februari 2019: 355-396
Editorial: Jangan Stress Saat Hamil, Juga Jangan Stress Jika Anak Mengalami Autism Dr. rer. Med. Ns. Marthoenis, M.Sc., MPH
Hubungan Antara Diet Anak Autisme Dengan Perkembangan Anak Autisme Di Pusat Layanan Autis Provinsi Bangka Belitung Hamdani Syah Putra Ginting dan Fitrah Gambaran Tingkat Stres Pada Orang Tua Dengan Anak Berkebutuhan Khusus (Tunagrahita) Di SLB Yayasan Bahagia Kota Tasikmalaya Wawan Rismawan, Meyriana Ulfah, dan Anih Kurnia Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Di Pesantren Darul Munawwarah Pidie Jaya Tahun 2018 Hafni Zahara, Linda T.Maas, dan Rahayu Lubis Perbedaan Status Gizi Pada Bayi Yang Diberi ASI Eksklusif Dan MP-ASI Dini Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Jantho Kabupaten Aceh Besar Tahun 2017 Phossy Vionica Ramadhana, Asnawi Abdullah, dan Basri Aramico Penetuan Angka Lempeng Total (ALT) Pada Ikan Kayu Yang Dijual Di Pasar Peunayong Kota Banda Aceh Elfariyanti, Nina Ismayanti
Alamat PKPKM: Gedung Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh Lantai II Jln. Muhammadiyah No.93 Bathoh-lueng Bata Banda Aceh, Indonesia (23245) Telpon : 0651 - 28422 Fax : 0651 - 31053 Email : [email protected] Website: http://pps-unmuha.ac.id/pusat-kajian-dan-penelitian-kesehatan-masyarakat/
Volume 5 | Nomor 1 | Februari 2019 : 355 – 396 Jurnal Kesehatan Masyarakat Aceh | Aceh Public Health Journal PKPKM