Download - Fisiologi Kornea
KERATITIS dan TES FLOURESEIN
Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan "jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesens. Deturgesens, atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting
daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi, dan cedera kimiawi atau flsik
pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
cidera pada epitel hanya menyebabkan edema local sesaat stroma kornea yang akan
menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi. Penguapan air dari film air mata
p,rakornea berakibat film air mata menjadi hipertonik; proses itu dan penguapan
langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma kornea superfisial
untuk merr[riertahankan keadaan dehidrasi.
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh, dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut air
sekaligus.
Kornea memiliki banyak serabut nyeri, kebanyakan lesi kornea, superfisial
maupun dalam (benda acing kornea, abrasi kornea, phlyctenule, keratitis
interstisial), menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat
oleh gesekan palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap
sampai sembuh. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan mem-
biaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan,
terutama kalau letaknya di pusat.
Fotofobia pada penyakit kornea adalah akibat kontraksi iris beradang yang
sakit. Dilatasi pembuluh iris adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi
1
pada ujung saraf kornea. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit
kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini,
yang juga merupakan tanda diagnostik berharga.
Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea,
umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen.
Keratitis Bakterialis
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya
bervariasi dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang
disebabkan bakteri oportunistik (mis., Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphy-
lococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-
chelonei), yang menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar
perlahan dan superfisial.
Ulkus Kornea Pneumokokus
S pneumoniae masih tetap merupakan penyebab ulkus kornea bakteri di banyak
bagian dunia. Sebelum tindakan dakriosistorhinostomi populer„ ulkus
pneumokokus sering terdapat pada pasien dengan sumbatan duktus na-
solakrimalis.
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi
pada kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus
berbatas tegas warna kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur dari
tempat infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan
infiltrasi sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. (Efek merambat ini
menimbulkan istilah "ulkus serpiginosa akut".) Lapis superfisial kornea adalah
yang pertama terlibat, kemudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus
sering bening. Biasanya ada hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea
pneumokokus mengandung diplokokus berbentuk-lancet gram-positif.
Ulkus Kornea Pseudomonas
Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di
tempat epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi
2
ini cenderung cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik
yang dihasilkan organisme ini. Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini
dapat mengenai seluruh kornea. Umumnya terdapat hipopion besar yang
cenderung membesar dengan berkembangnya ulkus. Infiltrat dan eksudat mungkin
berwarna hijaukebiruan. Ini akibat pigmen yang dihasilkan organisme dan
patognomonik untuk infeksi P aeruginosa.
Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus kornea
Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa kontak
lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan
organisme ini bervariasi dari yang sangat jinak sampai yang menghancurkan.
Organisme itu ditemukan melekat pada permukaan lensa kontak lunak. Beberapa
kasus dilaporkan setelah penggunaan larutan lorescein atau obat tetes mata yang
terkontaminasi.
Keratitis Fungi
Ulkus kornea fungi, yang pernah banyak dijumpai pada para pekerja
pertanian, kini makin banyak dijumpai di antara penduduk perkotaan, dengan
dipakainya obat kortikosteroid dalam pengobatan mata. Sebelum era
kortikosteroid, ulkus kornea fungi hanya timbul bila stroma kornea kemasukan
sangat banyak organism, suatu peristiwa yang masih mungkin timbul di daerah
pertanian. Mata yang belum terpengaruhi kortikosteroid masih dapat mengatasi
masukan organisme sedikit-sedikit, seperti lazimnya terjadi pada penduduk
perkotaan.
Ulkus fungi itu indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit
(umumnya infiltrate di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama ulserasi). Lesi
utama dan sering juga lesi satelit merupakan plak endotel dengan tepian tidak
teratur di bawah lesi kornea utama, disertai reaksi kamera anterior yang hebat
dan abses kornea.
Kebanyakan ulkus fungi disebabkan organisme oportunis seperti
Candida, Fusarium, Aspergillus, Penicillium, Cephalosporium, dan lain-lain.
3
Tidak ada ciri khas yang membedakan macam-macam ulkus fungi ini.
Kerokan dari ulkus kornea fungi, kecuali yang disebabkan Candida,
mengandung unsur-unsur hypha; kerokan dari ulkus Candida umumnya
mengandung pseudohyphae atau bentuk ragi, yang menampakkan kuncup-
kuncup khas.
Keratitis Virus
Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis herpes simpleks ada dua bentuknya: primer dan rekurens. Keratitis
ini adalah penyebab ulkus kornea paling umum dan penyebab kebutaan kornea
paling umum di Amerika. Bentuk epitelialnya adalah padanan dari herpes labialis,
yang memiliki ciri-ciri imunologik dan patologik sama, juga perjalanan
penyakitnya. Perbedaan satu-satunya adalah bahwa perjalanan klinik keratitis
dapat berlangsung lama karena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga
menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV
pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes
yang secara imunologik tidak kompeten, termasuk pasien yang diobati dengan
kortikosteroid topikal, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak.
Penyakit stroma dan endotel tadinya diduga hanyalah respons imunologik
terhadap partikel virus atau perubahan seluler akibat virus, namun sekarang
makin banyak bukti yang menunjukkan bahwa infeksi virus aktif dapat timbul di
dalam stroma dan mungkin juga sel-sel endotel, selain di jaringan lain dalam
segmen anterior, seperti iris dan endotel trabekel. Ini mengharuskan penilaian
kemungkinan peran relatif replikasi virus dan respons imun hospes sebelum dan
selama pengobatan terhadap penyakit herpes. Kortikosteroid topikal dapat
mengendalikan respons peradangan yang merusak namun memberi peluang
terjadinya replikasi virus. Jadi setiap kali menggunakan kortikosteroid topikal,
harus ditambahkan obat anti-vius. Setiap pasien yang memakai kortikosteroid
topikal selama pengobatan penyakit mata akibat herpes harus dalam pengawasan
seorang oftalmolog.
Studi serologik menunjukkan bahwa hampir semua orang dewasa
4
pernah terpajan virus ini, namun tidak sampai menimbulkan gejala klinik
penyakit. Sesudah infeksi primer, virus ini menetap secara laten di ganglion
trigeminum. Faktor-faktor yang mempengaruhi kambuhnya penyakit ini, termasuk
lokasinya, masih perlu diungkapkan. Makin banyak bukti menunjukkan bahwa
beratnya penyakit, sekurang-kurangnya untuk sebagian, tergantung pada jenis
virusnya. Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 (penyebab
herpei labialis), namun beberapa kasus pada bayi dan dewasi dilaporkan
disebabkan HSV tipe 2 (penyebab genitalis). Lesi kornea kedua jenis ini tidak
dapat bedakan.
Kerokan dan lesi epitel pada keratitis HSV dan cairn dari lesi kulit mengandung
sel-sel raksasa multinuclear. Virus ini dapat dibiakkan pada membran korio-
allantcs embrio telur ayam dan banyak jenis sel jaringan lain. Misalnya, sel
HeLa, dan terbentuk plak-plak khas. Namun kebanyakan kasus, diagnosis dapat
ditegakkan sec klinik berdasarkan ulkus dendritik atau geografik khan dan
sensasi kornea yang sangat menurun, bahkan sari, pai hilang sama sekali.
Keratitis Virus Varicella-Zoster.
Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk: primer
(varicella) dan rekurens (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada
varicella namun sering pada zoster oftalmik. Pada varicella (cacar air), lesi mata
umumnya pada kelopak dan tepian kelopak. Jarang ada keratitis (khan lesi stroma
perifer dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epitelial dengan
tanpa pseudodendrit. Pernah dilaporkan keratitis diskiformis, dengan uveitis
yang lamanya bervariasi.
Berbeda dari lesi kornea varicella yang jarang dan jinak, zoster oftalmik
relatif banyak dijumpai, kerapkali disertai keratouveitis yang bervariasi
beratnya sesuai dengan status kekebalan pasiennya. Meskipun keratouveitis
zoster pada anak umumnya tergolong penyakit jinak, pada orang dewasa
tergolong penyakit berat dan kadang-kadang berakibat kebutaan. Komplikasi
kornea pada zoster oftalmik dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi
kulit di daerah yang di persarafi cabang-cabang nervus nasosiliaris.
5
Berbeda dari keratitis HSV rekurens yang umumnya hanya mengenai
epitel, keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi
epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang ada pseudodendrit linear
yang sedikit mirip dendrit pada keratitis HSV. Keceruhan stroma disebabkan oleh
edema dan sedikit infilmat sel yang pada awalnya hanya subepitelial. Keadaan
ini dapat diikuti penyakit stroma dalam, dengan nekrosis dan vaskularisasi.
Kadang-kadang timbul keratitis discifor-mis dan mirip keratitis disciformis
HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan cirri mencolok dan sering
berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis
yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun akhirnya
sembuh. Skleritis (sklerokeratitis) dapat menjadi masalah berat pada penyakit
VZV mata.
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk
mengobati herpes zoster oftalmik, khususnya pada pasien yang kekebalannya
terganggu. Dosis oralnya adalah 800 mg lima kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi
hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan (rash). Peran anti-virus
topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk
mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan
kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan
untuk mengurangi insidens dan hebatnya neuralgia pasca-herpes, namun
risiko komplikasi steroid cukup bermakna. Savangnya acyclovir sistemik hanya
sedikit berpengaruh terhadap timbulnya neuralgia pasta-herpes. Namun de-
mikian, keadaan ini sembuh-sendiri, dan menenangkan pasien dapat membantu
sebagai pelengkap analgetika
Keratitis Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup-bebas yang terdapat di dalam air
tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh
Acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna
lensa kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri.
6
Infeksi ini juga ditemukan pada bukan pemakai lensa kontak, setelah
terpapar pada air atau tanah tercemar.
Gejala awal adalah rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan
kliniknya, kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea
indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural. Bentuk-bentuk awal penyakit
ini, dengan perubahan-perubahan hanya terbatas pada epitel kornea, semakin
banyak ditemukan. Keratitis Acanthamoeba sering disalah-diagnosiskan
sebagai keratitis herpes.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di atas
media khusus. Biopsi kornea mungkin diperlukan. Sediaan histopatologik
menampakkan adanya bentuk-bentuk amuba (kista atau trofozoit). Larutan dan
kotak lensa kontak harus dibiak. Sering bentuk amuba dapat ditemukan pada
larutan kotak penyimpan lensa kontak.
Diagnosis diferensial meliputi keratitis fungi, keratitis herpes, keratitis
mikobakterial, dan infeksi Nocardia dari kornea.
Pada tahap awal penyakit, debridement epitel ada faedahnya. Terapi
dengan obat umumnya dimulai dengan isethionate propamidine topikal
(larutan 1%) secara intensif dan tetes mata neomycin (Tabel 6-2 dan 63).
Biquanide polyhexamethylene (larutan 0,01-0,02%), dikombinasi dengan obat
lain atau sendiri, kini makin populer. Agen lain yang mungkin berguna adalah
paromomycin dan berbagai imidazole topikal dan oral seperti ketoconazole,
miconazole, dan itraconazole. Acanthamoeba spp mungkin menunjukkan
sensitivitas obat yang bervariasi dan dapat menjadi resisten terhadap obat.
Terapi juga dihambat oleh kesanggupan organisme membentuk kista di dalam
stroma kornea, sehingga memerlukan terapi yang lama. Kortikosteroid topikal
mungkin diperlukan untuk mengendalikan reaksi radang di dalam kornea.
Mungkin diperlukan keratoplasti pada penyakit yang telah lanjut untuk
menghentikan berlanjutnya infeksi atau setelah resolusi dan terbentuknya parut
untuk memulihkan penglihatan. Begitu organisme ini sampai di sklera, terapi
obat dan bedah tidak berguna lagi.
7
P E N G G U N A A N F L U O R E S E I N D I A G N O S T I K
Fluoresein memiliki sifat menyerap cahaya pada panjang gelombang
biru dan memancarkan fluoresensi hijau. Aplikasi fluoresein pada
mata dapat mengidentifikasi abrasi kornea (yaitu hilangnya sel epitel
permukaan) dan kebocoran akueous humor dari mata
Untuk memeriksa suatu abrasi:
· larutan lemah fluoresein diaplikasikan pada mata;
· mata diperiksa dengan cahaya biru;
· area abrasi akan berfluoresensi menjadi hijau terang.
Untuk menentukan apakah cairan bocor dari dalam mata (misal
setelah cedera tembus kornea):
· larutan fluoresein 2% yang tidak berfluoresensi diaplikasikan pada
mata;
· mata diperiksa dengan cahaya biru;
· pewarna, yang terdilusi oleh akueous yang bocor, menjadi
berwarna hijau terang ketika bercampur dengan fluoresein gelap.
8
(a) Abrasi kornea (lapisan epitel kornea telah rusak); (b) fluoresein mewarnai area yang rusak secara uniform; (c) kornea yang mengalami perforasi menyebabkan akueous bocor (kebocoron di sini dilindungi oleh lensa kontak lunak); (d) zat fluoresein berfluoresensi ketika terdilusi oleh akueous yang bocor.
9