Download - Konflik SDH Bogor
-
ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN
(Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
MOH. ILHAM
A14201060
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
-
RINGKASAN MOH. ILHAM. Analisa Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Dibimbing oleh Dra. WINATI WIGNA, MDS.
Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan
sumberdaya alam di Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap alam, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Kebutuhan akan sumberdaya alam mengalami peningkatan bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya angka kematian, dan perkembangan infrastuktur yang pesat hingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat, antara yang kaya dan miskin, kota dan desa, kawasan bagian Barat dan Timur, dan juga antara laki-laki dan perempuan.
Pada masa lalu, konflik sumberdaya alam, seringkali ditutup-tutupi karena berbagai alasan; dan apabila terjadi konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan pihak yang lemah tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, era reformasi telah merubah keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah berani melawan yang kuat dengan berbagai cara, mulai dari tuntutan biasa, protes, demonstrasi, sampai benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai mengakui bahwa konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera ditanggulangi dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Bagaimana PT. Hevindo dapat bertahan lama di wilayah Nanggung, padahal terjadi konflik dengan masyarakat dan elemen pemerintahan desa, dan bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik dan lembaga-lembaga yang terlibat konflik merupakan pertanyaan utama yang secara spesifik diungkap dengan mempertanyakan: bagaimana karakteristik pihak-pihak yang terlibat konflik pengelolaan sumberdaya alam, mengapa konflik pengelolaan sumberdaya alam terjadi di Desa Curugbitung dan bertahan lama, bagaimana karakteristik konflik yang terjadi, serta bagaimana upaya-upaya pengelolaan dan hasil akhir konflik yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik.
Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain sebagainya dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman (Ibrahim, 2002). Konflik merupakan salah satu proses sosial yang bersifat disosiatif, selain persaingan (competition) dan pertentangan. Sebenarnya proses sosial disosiatif tidaklah selalu bersifat negatif, ada kalanya jika diatur sedemikian rupa dapat menghasilkan hal-hal yang positif.
Penelitian ini dilakukan di Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, sejak bulan November 2005 hingga Maret 2006. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan strategi studi kasus intrinsik, dimana peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kasus khusus.
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik pengelolaan sumberdaya alam di Desa Curugbitung, ada yang secara langsung maupun tidak langsung. Pihak yang teridentifikasi terlibat secara langsung, yaitu PT. Hevindo dan masyarakat Desa Curugbitung, selain itu adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, pemerintahan desa, pengusaha bangunan dan peternakan, LSM RMI, LSM HuMa,
-
KCP, KPN, mantan lurah, Polsek Nanggung, pemerintahan Kecamatan Nanggung, Badan Perencanaan Daerah, dan Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor.
Penyebab konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Desa Curugbitung lebih disebabkan oleh perbedaan kepentingan, pemahaman, pembatasan akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya, keterpurukan ekonomi, juga karena perubahan iklim politik setelah reformasi dan krisis moneter. Kekuatan masing-masing pihak dan dukungan dari pihak lain, menjadikan konflik yang terjadi bertahan lama.
Karakteristik konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Desa Curugbitung dilihat dari wujud dan level konflik. Menurut wujudnya, konflik yang terjadi cenderung tertutup (laten) dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal tersebut terjadi karena kecakapan para elit lokal (tokoh masyarakat) untuk meredam terjadi konflik hingga tidak dapat terbaca oleh pihak-pihak di luar wilayah tersebut, meskipun pernah mencuat dan terbuka. Menurut levelnya, konflik vertikal dialami antara masyarakat dengan PT. Hevindo, sedangkan konflik horizontal terjadi antara pihak PT. Hevindo dengan TNGH-S, dengan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, LSM, dan Pemerintah lokal.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh masing-masing pihak belum mencapai hasil akhir yang baik. Setiap solusi yang dilakukan tidak menyelesaikan konflik sampai keakarnya dan terbukti hanya bisa bertahan selama beberapa waktu saja, karena konflik yang terjadi selalu berubah wujud dari laten menjadi mencuat, laten kembali, kemudian laten dan terbuka.
Pendekatan akomodasi adalah pendekatan yang paling memungkinkan sebagai pendekatan penyelesaian konflik dan konsultasi publik sebagai salah satu bentuk yang ditawarkan oleh APK (Alternatif Penyelesaian Konflik). Pendekatan politis, administrasi, dan hukum belum bisa dilakukan.
Jawaban atas pertanyaan utama penelitian ini tentang bagaimana PT. Hevindo dapat bertahan lama, padahal terjadi konflik dengan masyarakat dan elemen pemerintahan desa, serta Bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik dan lembaga-lembaga yang terlibat konflik, antara lain: (1) Keterlibatan banyak pihak yang memiliki kekuatan masing-masing, serta membagi dukungan mereka kepada pihak perusahaan, salah satu pihak utama konflik menjadikan perusahaan ini tetap ada; (2) Kekuatan terbesar yang ada di pihak perusahaan dipicu oleh kekuatan hukum yang dimiliki perusahaan, sebagai pemilik sah HGU di Desa tersebut; (3) Hubungan dekat dengan pihak-pihak yang berkuasa di masa lalu, dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap elit-elit lokal dan keberadaan organiasai lokal yang belum optimal menjadikan perusahaan belum mendapatkan perlawanan yang berat dari masyarakat, namun hal ini masih akan terus berkembang dengan menguatnya kekuatan sosial dalam masyarakat.
-
ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN
(Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
MOH. ILHAM
A14201060
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
-
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (STUDI KASUS MASYARAKAT DESA CURUGBITUNG, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR, PROPINSI JAWA BARAT) INI ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA TULIS PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA SUMBER DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN SECARA JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, 8 Juni 2006
MOH. ILHAM A14201060
-
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS PERTANIAN
Dengan ini kami menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh:
Nama : MOH. ILHAM NRP : A14201060 Judul : ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dra. WINATI WIGNA, MDS. NIP. 131 284 835
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. SUPIANDI SABIHAM, M. Agr NIP. 130 422 698 .
Tanggal Lulus Ujian: 5 Juni 2006
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Aprill 1983 di Sumenep, Jawa Timur.
Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan H. Moh. Sadik DM.
dan Hj. R. Ermaningsih. Pendidikan yang ditempuh oleh penulis pertama kali adalah
SDN Masalima IV, Kecamatan Masalembu, Kabupaten Sumenep, tahun 1987-1993.
Dilanjutkan ke SDN Bangselok III, Kecamatan Kota Sumenep, Jawa Timur semenjak
1993-1995. Penulis melanjutkan ke SLTPN 4 Sumenep di kota yang sama pada
tahun 1995-1998. Sekolah Menengah Umum ditempuh penulis di SMUN 1 Sumenep,
pada tahun 1998-2001. Pada tahun 2001 pula, penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) pada
Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Komunikasi dan
pengembangan Masyarakat (KPM) sebagai angkatan 38.
Selama bersekolah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakulikuler
seperti PMR, OSIS dan Majelis Perwakilan Kelas (MPK). Penulis pernah menjabat
sebagai Ketua organisasi pemuda kemasyarakatan pada tahun 1996 1999, dan
menjadi Ketua Seksi Pengembangan Iman dan Takwa terhadap Tuhan YME, OSIS
SMUN 1 Sumenep, periode 1999-2000. Begitu pula pada masa kuliah, penulis aktif
dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai Ketua
Komisi Keuangan DPM KM IPB periode 2001-2002, Ketua Humas UKM Komunitas
Layar IPB (KLIP) periode 2002-2004, Dirjen Kebijakan Kabupaten Bogor-
Departemen Kebijakan Daerah BEM KM IPB periode 2003-2004, Menteri Sekretaris
Kabinet BEM KM IPB periode 2004-2005, Relawan LSM Rimbawan Muda Indonesia
(RMI) sejak September 2004-2005, GASISMA (Ikatan Keluarga Mahasiswa Madura)
Tarbiyah Club, Trainer lepas pada beberapa Training Center. Penulis aktif sebagai
asisten dosen untuk MK. Pengantar Ilmu Kependudukan periode 2003-2004 selama
satu semester, dan penulis juga aktif sebagai MC, moderator dan pembicara pada
berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh beberapa organisasi di IPB dan luar
kampus.
MOH. ILHAM A14201060
-
i
KATA PENGANTAR ALHAMDULILLAHIROBBILALAMIN. Puji syukur kehadirat Allah SWT
penggenggam langit dan bumi, Maha pembolak-balik hati dan pemilik setiap
jiwa. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa izin dari-Nya. Penulisan
skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
(SP.) pada Fakultas Pertanian IPB. Penulis mengambil judul Analisa Konflik
Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus
Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,
Propinsi Jawa Barat).
Skripsi ini terdiri dari enam bab, yakni: pendahuluan, pendekatan
teoritis, pendekatan lapang, profil wilayah penelitian, analisa konflik
pengelolaan sumberdaya alam, serta bab kesimpulan dan saran. Skripsi ini
terwujud atas bantuan dan doa dari berbagai pihak. Terima kasih kepada Ibu
Dra. Winati Wigna, MDS., selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing
skripsi, yang selalu mendorong dan memberi semangat, masukan, bimbingan,
dan perbaikan bagi kemajuan penulis selama studi dan pembuatan skripsi ini
(Terima kasih bu, atas kesabaran Anda selama ini, terima kasih untuk
semuanya.....bu!). Bapak Ir. Fredian Tonny, MS., selaku dosen penguji utama
dan Bapak Martua Sihaloho, SP, Msi. selaku dosen penguji wakil departemen.
Terima kasih atas kesempatan, kesediaan dan masukan yang diberikan
kepada penulis. PT. Hevea Indonesia, KPC, Pemerintah Desa dan Masyarakat
Curugbitung yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.
Kepada Keluargaku, Mama, Bapak, dan Mba Elly-kuatas setiap doa,
dorongan, pengorbanan, cinta dan kasih yang selalu dicurahkantiada henti
syukurku karena memiliki kalian....Para Pejuang Dakwah 1421 H (Jangan
pernah berhenti berjuang hingga keadilan dan kebenaran ditegakkan di muka
bumi, LLAHU AKBAR!!!), Saudara-saudariku di Perwira 6 (mantapkan niat tuk
gapai ridho-Nya),
Seluruh keluargaku di KPM 38, Gus, Ri, Nang, Gun, Her, Vid, Nu, Fan,
dan para wanita yang merindukan lelaki sejati di dekatnya, terima kasih sobat,
telah menjadi bagian terindah dalam hidupku..., BEM KM IPB Kabinet
Perjuangan (JAKDA-qu), Kabinet Pengabdian BEM KM Pa De Doni, Da I
Irmon, Abang Afif Suqro, A Martin, Tedjo, Omen Bakti, Darma, Bang Jali,
Mas Naryo, Wiek, Tis Mpok Nite, Vien, Dece, Cha2, Jv, Desma, Ima, dll.) KLIP,
DPM KM 01.02, RMI, dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis
-
ii
dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, yang tidak bisa penulis
sebutkan satu-persatu. Terima kasih atas segalanya. Semoga Allah SWT
membalas semua kebaikan kalian dan meridhoi apa-apa yang kita lakukan.
Aaaamiiin.
Tiada yang sempurna, selain Sang Maha Pencipta, saya hanya
manusia yang tak akan pernah sempurna, begitupun dengan karya ini. Segala
macam kritik dan saran demi perbaikan karya ini, saya terima dengan senang
hati, alamatkan langsung ke [email protected].
Bogor, 8 Juni 2006
MOH. ILHAM
-
iii
DAFTAR ISI
RINGKASAN KATA PENGANTAR .................................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR ................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
i
iii
v
v
v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 6
1.2.1 Orde Baru, Krisis Ekonomi, dan Desentralisasi ............ 6
1.2.2 Peningkatan Frekuensi Konflik ..................................... 7
1.2.3 Penataan Kebijakan Pemerintah secara Terpusat ....... 8
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 9
1.4 Kegunaan Penelitian ............................................................... 10
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ........................................................... 11 2.1 Tinjauan Pustaka .................................................................... 11
2.1.1 Konflik ............................................................................ 11
2.1.2 Pengelolaan Konflik ....................................................... 18
2.1.3 Masyarakat Sekitar Hutan ............................................. 22
2.2 Hipotesa Pengarah ................................................................. 24
2.3 Batasan Konsep ...................................................................... 26
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ........................................................ 28 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 28
3.2 Metode Penelitian ................................................................... 29
3.3 Metode Pengumpulan Data .................................................... 30
3.3.1 Karakteristik Data .......................................................... 30
3.3.2 Penentuan Kasus dan Pengambilan Subjek Penelitian 31
3.3.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................ 31
3.3 Teknik Analisa Data ................................................................ 35
3.3.1 Reduksi Data ................................................................. 35
3.3.2 Penyajian Data .............................................................. 36
3.3.3 Penarikan Kesimpulan .................................................. 36
-
iv
BAB IV PROFIL WILAYAH PENELITIAN ................................................. 37
4.1 Kondisi Umum dan Prasarana ................................................ 37
4.2 Agraria ..................................................................................... 42
4.3 Pola Pembagian Kerja dan pasar Tenaga Kerja ..................... 43
4.4 Kelembagaan dan Organisasi ................................................. 44
4.5 Profil PT. Hevea Indonesia ..................................................... 45
BAB V ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM .. 48 5.1 Sejarah Konflik ........................................................................ 48
5.2 Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Konflik ................................. 59
5.2.1 PT. Hevea Indonesia ..................................................... 59
5.2.2 Masyarakat (Penggarap) .............................................. 61
5.2.3 Pihak-Pihak Lain ............................................................ 62
5.3 Penyebab Konflik .................................................................... 66
5.4 Karakteristik Konflik ................................................................. 71
5.5 Pengelolaan dan Hasil Akhir Konflik ....................................... 75
5.6 Peta Kekuatan Pihak-Pihak yang Berkonflik Langsung .......... 83
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 86 6.1 Kesimpulan ............................................................................. 86
6.2 Saran ....................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
-
v
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Distribusi Penduduk Menurut Golongan Umur Bulan Maret 2006 ....... 39
2. Topografi Tanah Perkebunan Nanggung ............................................. 46
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam ............ 25
2. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 32
3. Kondisi Fisik Persawahan Curugbitung .............................................. 39
4. Kantor Desa Curugbitung ................................................................... 41
5. Lokasi Tempat Penggalian Teras Di Lahan PT. Hevindo ................... 51
6. Salah Satu Lahan HGU yang Telah Digarap oleh Masyarakat .......... 56
7. Kandang Ayam di Lahan HGU PT. Hevindo ....................................... 56
8. Karakteristik Pihak-Pihak yang terlibat Konflik ................................. 65
9. Pola Hubungan Pihak-Pihak Terlibat Konflik ...................................... 66
10. Wujud Konflik Antara Masyarakat Desa Curugbitung dan PT. Hevea Indonesia ...
74
11. Proses Pengelolaan Konflik Antara PT. Hevindo dan Masyarakat Desa Curugbitung dengan Pendekatan Akomodasi ...........................
80
12. Upaya-Upaya Pengelolaan Konflik di Desa Curugbitung yang Berkaitan dengan Wujud Konflik .........................................................
82
13. Kekuatan Pihak-Pihak Yang Terlibat Konflik Secara Langsung Antara Pt. Hevindo Dengan Masyarakat Desa Curugbitung ...............
83
14. Potensi Kekuatan Pihak Berkonflik Menurut Level Konflik (Konflik Vertikal) ...........................................................................................
85
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Wilayah Kecamatan Nanggung
2. Peta Desa Wilayah Desa Curugbitung
3. Contoh-1 Surat Aplikasi Penyelesaian Konflik dari Perusahaan HGU
4. Contoh-2 Surat Aplikasi Penyelesaian Konflik dari Perusahaan HGU
5. Pengalaman Selama Penelitian
6. Contoh Catatan Lapangan
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan
sumberdaya alam di Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang
berkepentingan terhadap alam, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan
dan tujuannya. Kebutuhan akan sumberdaya alam mengalami peningkatan
bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan
standar hidup, turunnya angka kematian, dan perkembangan infrastuktur yang pesat
hingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat, antara yang kaya dan
miskin, kota dan desa, kawasan bagian Barat dan Timur, dan juga antara laki-laki
dan perempuan.
Kemerdekaan Indonesia mengalihkan kekuasaan kolonial atas tanah
pada negara ternyata tetap tidak berpihak pada masyarakat, terutama petani.
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan 71 persen luas daratan
Indonesia dikategorikan sebagai kawasan kehutanan. Pada kenyataannya,
kawasan yang dikategorikan hutan ini dapat saja terwujud pemukiman turun-
temurun tanpa hak kepemilikan atau hutan tak berpohon. Perkebunan besar
(milik negara dan swasta) tercatat seluas 3,55 juta hektar pada tahun 2002.
Rata-rata luas lahan kebun dengan Hak Guna Usaha (HGU) pada perusahaan
swasta besar sekitar 530 hektar, sedangkan perkebunan besar negara rata-rata
seluas 2.800 hektar (Hidayati, 2003).
Lebih lanjut diungkapkan oleh Hidayati (2003) bahwa Departemen
Pertanian mencatat rata-rata luas kepemilikan rakyat atas perkebunan swadaya
pada tahun 2002 hanya sekitar 0,7 hektar. Di Pulau Jawa, luasan penguasaan
lahan per keluarga pada tahun 1993 bahkan hanya 0,41 hektar. Diperkirakan
rata-rata luas lahan milik keluarga semakin menyusut. Tak terhitung jumlah
-
2
petani yang hanya menjadi penggarap tanpa lahan. Tekanan ekonomi akibat
ketidakadilan penguasaan lahan melukai harga diri dan merampas eksistensi
sosial petani, dan menjadi pendorong kuat gerakan petani. Gerakan petani
dilakukan untuk memulihkan kembali eksistensi mereka.
Pembangunan sosial-ekonomi di Indonesia dicirikan oleh perpaduan dari
pertanian berorientasi pasar dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, industrialisasi
dan urbanisasi, eksploitasi hutan berskala luas, migrasi, tekanan demografi yang
semakin meningkat, perubahan-perubahan hubungan keluarga dan kerabat. Di masa
Orde Baru, negara mempunyai peran utama dan menonjol dalam pembangunan
ekonomi, yang dievaluasi kembali sejak awal reformasi. Intervensi pemerintah dalam
manajemen sumberdaya alam semakin meningkat sehingga banyak sumberdaya
yang pengelolaannya berpindah dari penduduk lokal kepada pemerintah.
Mitchell, et al. (2000) menegaskan bahwa setiap masyarakat selalu terdiri
dari individu dan kelompok yang mempunyai nilai-nilai, kepentingan, keinginan,
harapan, dan prioritas yang berbeda, atau bahkan terdapat ketidakcocokan
diantara karakter-karakter tersebut, sehingga sangat penting menjadikan
pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam sebagai suatu proses
pengelolaan konflik. Hal ini berkaitan dengan pengelolaan hubungan antar
manusia dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Pada kondisi ekstrim,
perbedaan kepentingan dan harapan tersebut dapat mendorong konflik
bersenjata pada suatu bangsa atau antar bangsa.
Pada masa lalu, konflik sumberdaya alam, seringkali ditutup-tutupi karena
berbagai alasan; dan apabila terjadi konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan
yang lemah, dan pihak yang lemah tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun,
era Reformasi telah merubah keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah
berani melawan yang kuat dengan berbagai cara, mulai dari tuntutan biasa, protes,
demonstrasi, sampai benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai
-
3
mengakui bahwa konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera
ditanggulangi dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Setelah tumbangnya Presiden Soeharto, orang mulai secara terbuka
mengajukan tuntutan reformasi agraria melalui perubahan undang-undang pokok
tentang tanah dan sumber daya alam. Adapun pokok persoalan yang mereka bahas
adalah Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA 1960), sebuah
perundang-undangan yang pada awalnya ditujukan untuk membatasi sistem
pemilikan tanah, pembagian tanah dan penghapusan tanah absentee yang biasa
dipraktekkan para tuan tanah. Undang-undang ini juga memberikan pengakuan
terhadap sistem pemilikan komunal dan individual, serta mendorong pelaksanaan
pendaftaran tanah. Namun pembagian tanah itu tidak dapat berjalan seluruhnya
selama lima tahun sebelum rejim Presiden Soeharto berkuasa.
Ketika Presiden Soeharto berkuasa, landreform dianggap sesuatu praktek
yang berbau kiri dan komunis. Oleh karena itu, pemerintah menghentikan praktek
pendistribusian tanah dan sebagai gantinya, pemerintah mengeluarkan berbagai
peraturan yang membuat UUPA semakin terbatas, termasuk undang-undang yang
mengatur larangan pengambilalihan lahan secara paksa oleh negara. Pemerintah
memang tidak menghapuskan sama sekali UUPA 1960. Namun sayangnya, praktek
di lapangan menunjukkan kenyataan bahwa pembagian dan penguasaan tanah
sekarang ini bukannya jatuh ke tangan petani kecil dan tak bertanah, tetapi malah
semakin banyak dikuasai oleh para pengusaha besar dan elit politik. Suatu praktek
yang jelas sangat bertentangan dengan gagasan dasar UUPA 1960. Lebih parah
lagi, UU Pokok Kehutanan 1967 yang menempatkan persoalan tanah hutan di luar
jangkauan hukum UUPA yang menjadi dasar pengalihan lahan hutan kepada para
pengusaha perkayuan (Down To Earth, 1999).
Setelah rejim Presiden Soeharto tumbang, tuntutan pelaksanaan landreform
kembali mencuat. Bersama-sama dengan organisasi-organisasi petani yang baru
dibentuk, kalangan LSM yang peduli terhadap masalah hak-hak masyarakat desa
-
4
dan pengelolaan sumber daya alam mulai melancarkan desakan perubahan.
Diantaranya adalah Konsorsium Pembaruan Agraria--KPA, sebuah konsorsium
berbagai LSM dan organisasi petani di Indonesia yang berbasis di Bandung, Jawa
Barat dan WALHI. Mereka menyerukan pemulihan hak-hak kepemilikan tanah rakyat,
baik tanah pertanian bagi petani dan tanah ulayat bagi masyarakat adat.
Memfokuskan perhatian dan kritik mereka terhadap kegiatan proyek pendaftaran
tanah Bank Dunia. Menurut mereka, proyek itu sama sekali mengabaikan pengakuan
terhadap hak adat dalam bentuk kepemilikan tanah. Selain itu, ia bersifat diskriminatif
terhadap perempuan dan cenderung mempercepat komoditisasi tanah (Down To
Earth, 1999).
Direktorat Jendral Perkebunan dalam Kompas (2003) menyebutkan bahwa
penyebab/pemicu konflik perkebunan sampai Agustus 2003, lebih berkaitan dengan
sengketa tanah, baik di sektor swasta (225 kasus), maupun negeri seperti PTPN
(350 kasus). Di sektor swasta, secara berturut-turut di sebabkan oleh garapan dan
okupasi1 (39 kasus), ganti rugi dan tuntutan masyarakat untuk pengembalian tanah
(30 kasus), tanah masyarakat yang diambil perusahaan (18 kasus), tanah adat/ulayat
(15 kasus), tuntutan masyarakat terhadap pergantian areal plasma (6 kasus),
tumpang tindih alokasi lahan untuk perusahaan perkebunan (5 kasus), tumpang
tindih antara perkebunan dan kawasan hutan, masyarakat berkeberatan atas
perpanjangan/pemberian izin HGU, ingin ikut sebagai peserta plasma, dan
kelambatan konversi plasma (3 kasus), HGU cacat hukum, tuntutan masyarakat
terhadap tanah yang sedang dalam proses HGU, tanah yang diperjualbelikan, dan
penggunaan lahan tanpa izin (2 kasus), serta keinginan untuk memiliki lahan (1
kasus). Selain itu ada sengketa lain, seperti tuntutan nilai kredit yang memberatkan,
perusakan tanaman, dan penjarahan produksi sebanyak 22 kasus.
Sedangkan di sektor PTPN, penyebab konflik perkebunan hingga bulan
Agustus 2003, antara lain: garapan (166 kasus), tuntutan masyarakat untuk
1 Penyerobotan lahan oleh masyarakat.
-
5
pengembalian tanah (55 kasus), tanah masyarakat yang diambil perusahaan (34
kasus), ganti rugi (25 kasus), tuntutan masyarakat terhadap tanah yang sedang
dalam proses HGU (14 kasus), okupasi (10 kasus), keinginan untuk memiliki lahan (8
kasus), tuntutan masyarakat terhadap pergantian areal plasma dan masyarakat
berkeberatan atas perpanjangan/pemberian izin HGU (6 kasus), adat/ulayat (5
kasus), okupasi oleh instansi pemerintah dan atau pemerintah daerah (3 kasus),
penggunaan lahan tanpa izin, tumpang tindih alokasi lahan untuk perusahaan
perkebunan, dan ingin ikut sebagai peserta plasma (2 kasus), tumpang tindih antara
perkebunan dan kawasan hutan, HGU cacat hukum, dan tanah diperjualbelikan (1
kasus), serta terdapat sengketa lainnya sebanyak 9 kasus.
Pertentangan kepentingan biasanya terjadi antara perusahaan pemegang
Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti PT. Hevea
Indonesia (Hevindo) yang berada di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat dengan masyarakat sekitar. Hal yang sering dirasakan adalah masyarakat
lokal terlantar, tersisih dan akses terhadap sumberdaya alam menjadi tidak ada
terutama lahan. Masyarakat desa berjuang merebut/mengambil alih tanah-tanah
kosong milik HGU yang sudah hampir puluhan tahun ini tidak termanfaatkan dengan
melakukan aksi pendudukan lahan-lahan tersebut di berbagai lokasi HGU, meski
sebagian besar cara yang digunakan belum berujung pada tindakan-tindakan radikal.
Teridentifikasi pula benturan kepentingan antara perusahaan dengan pihak lain,
dalam hal ini Perum Perhutani Unit III Jawa Barat yang menimbulkan persengketaan
yang sampai saat ini masih belum ada penyelesaian (Stalemate), terutama tentang
tata batas. Permasalahan ini juga melibatkan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGH-S) sebagai pihak yang menerima pelimpahan lahan dari Perhutani.
-
6
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Orde Baru, Krisis Ekonomi, dan Desentralisasi
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan berlakunya desentralisasi, konflik
yang sebelumnya laten mulai bermunculan ke permukaan dan juga memunculkan
berbagai konflik baru. Hal ini terutama disebabkan nuansa reformasi yang membuka
kesempatan untuk menyalurkan kehendak dan aspirasi masyarakat yang selama ini
sengaja atau tidak, ditutupi oleh rezim Orde Baru. Eforia ini juga mendorong pihak
yang lemah dan selalu dipinggirkan di masa lalu, untuk berani menuntut hak-hak
mereka yang selama ini diserobot dan dilecehkan oleh pihak yang lebih kuat.
Krisis ekonomi sejak awal pertengahan tahun 1997 dan memuncak di awal
tahun 1998, serta kebutuhan mendesak untuk menanam tanaman pangan, semakin
memperuncing ketegangan antara masyarakat desa di satu pihak dengan para
pemilik modal dan negara di lain pihak. Hal ini juga mendorong peningkatan konflik di
berbagai sektor, termasuk sektor pengelolaan sumberdaya alam. Keterpurukan
ekonomi menyebabkan masyarakat semakin terdorong untuk melakukan
penjarahan/perambahan hutan serta penyerobotan lahan yang dianggap sebagai
cara termudah untuk mendapatkan uang (Mitchell, et al., 2000). Tidaklah
mengherankan kalau akhir-akhir ini kita sering melihat dan mendengar dari media
massa berbagai kasus kekerasan dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Selain itu, tekanan kebutuhan akan pangan dan lahan di pedesaan juga
meningkat akibat kembalinya para buruh yang terkena PHK ke pedesaan. Bersama
dengan jutaan penduduk desa lainnya, mereka terpuruk dalam jurang kemiskinan
yang dalam. Situasi ini diperparah dengan gagalnya target program Jaring
Pengaman Sosial (JPS) dalam mengatasi jutaan orang Indonesia yang kelaparan.
Malahan, bantuan itu sering tidak sampai pada orang yang benar-benar
membutuhkannya. Untuk mengatasi kesulitan ini, penjarahan sepertinya menjadi
jalan keluar. Di berbagai tempat, bahan makanan, produk perkebunan, kayu jati, atau
gudang-gudang beras menjadi obyek jarahan--singkatnya adalah segala sesuatu
-
7
yang bisa dijual dan dimakan. Media pun banyak memberitakan pembajakan yang
sering terjadi di rute-rute tertentu terhadap angkutan bahan makanan dan komoditi
lainnya (Down To Earth, 1999).
1.2.2 Peningkatan Frekuensi Konflik
Berdasarkan hasil observasi terhadap artikel media massa nasional, 359
peristiwa konflik di sektor kehutanan telah terjadi dari Januari 1997 sampai dengan
Juni 2003. Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 konflik di sektor kehutanan
cenderung meningkat cukup tajam. Jumlah konflik meningkat hampir empat kali lipat
pada tahun 1999 dibandingkan dengan tahun 1997. Pada tahun 2000 jumlah konflik
melonjak drastis sampai 153 kejadian. Angka ini mengalami penurunan kembali
pada tahun 2001 dan 2002. Namun berdasarkan data sampai dengan bulan Juni
2003, jumlah konflik cenderung meningkat kembali (Wulan, et al., 2004).
Lebih lanjut Wulan, et al. (2004) menemukan juga bahwa dari 359 kasus
konffik yang berhasil dicatat, 39 persen diantaranva terjadi di areal HIT, 34 persen di
KK (termasuk hutan lindung dan taman nasional), dan 27 persen di areal HPH.
Diketahu pula bahwa frekuensi konflik meningkat drastis pada awal pelaksanaan
desentralisasi tahun 2000. Pada masa Orde Baru dan masa Transisi, konflik di areal
HTI lebih sering terjadi dibandingkan dengan konflik di HPH dan kawasan
konservasi, sedangkan di masa Desentralisasi, konflik di kawasan konservasi dan
areal HTI lebih banyak dibandingkan dengan konflik di areal HPH. Faktor penyebab
konflik yang paling sering terjadi di berbagai kawasan (36 persen) adalah
ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakat di sekitarnya.
Pada tahun 2002, Forest Watch Indonesia (FWI) menerbitkan laporan "Potret
Keadaan Hutan Indonesia" yang banyak mendapatkan perhatian dari berbagai
kalangan (FWI dan GFW, 2001). Sebagaimana dipaparkan dalam laporan tersebut,
konflik pengelolaan sumberdaya hutan telah berlangsung lama, sejalan dengan
kebijakan HPH pada tahun 1970-an. Sejak itu, berbagai konflik antara perusahaan
-
8
HPH dan masyarakat sering bermunculan. Penyebabnya antara lain karena
masyarakat lokal merasakan ketidakadilan yang terkait dengan sistem pengelolaan
hutan skala besar yang menyebabkan akses masyarakat terhadap sumberdaya
hutan menjadi terbatas. Konflik semacam ini tidak hanya terjadi di areal HPH, tetapi
juga sering ditemukan di kawasan HTI, perkebunan dan kawasan lindung seperti
taman nasional. Pembatasan akses terhadap sumber daya tersebut menyebabkan
berkurangnya jaminan sosial dalam masyarakat.
1.2.3 Penataan Kebijakan Pemerintah secara Terpusat
Rumusan kebijakan yang tumpang tindih dan penetapan rumusan kebijakan
secara sepihak oleh pemerintah, terutama tentang pengelolaan sumberdaya alam,
secara tidak langsung telah menuntut banyak masyarakat lokal untuk membatasi
akses terhadap sumberdaya alam sekitarnya. Seiring dengan perubahan jaman,
pengelolaan konflik perlu dijadikan wacana pembelajaran bagi semua pihak. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang kasus-kasus konflik
pengelelolaan sumberdaya alam lain, misal di sektor pertanian dan perkebunan.
Penelitian ini membahas tentang kasus pengelolaan sumberdaya alam yang
terjadi di Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat,
terutama kasus konflik antara masyarakat dan pemegang HGU (Hak Guna Usaha)
yang ada di desa tersebut sejak tahun 1980. Menurut hasil observasi yang dilakukan
oleh RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment dan HuMa-
Perhimpunan untuk Pembaharuan Hukum Agraria, bahwa di desa tersebut
ditemukan konflik di beberapa sektor dengan perusahaan-perusahaan pemegang
HPH dan HGU (Hak Guna Usaha), baik di sektor perkebunan, peternakan maupun
kehutanan. PT. Hevea Indonesia (Hevindo) merupakan salah satu pemegang HGU
yang salah satu wilayah afdelling mereka berada di Desa Curugbitung. Sejak hadir di
wilayah Nanggung tahun 1980-an, perusahaan ini telah mengalami konflik dengan
masyarakat dan elemen pemerintahan desa hingga saat ini. Daya tarik kasus ini
-
9
adalah adanya konflik yang bertahan lama di suatu tempat (Desa Curugbitung) yang
sampai saat ini belum ditemukan jalan keluarnya, sehingga menarik untuk diteliti.
Dibandingan dengan 2 wilayah afdeling PT. Hevindo yang lain, Desa Curugbitung
memiliki organisasi lokal yang cukup kuat, yang dapat digunakan untuk
memperjuangkan hak-hak petani, sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya
konflik. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana PT. Hevindo dapat bertahan
lamasekitar 20 tahunanpadahal terjadi konflik dengan masyarakat dan elemen
pemerintahan desa, serta Bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik
dan lembaga-lembaga yang terlibat konflik?
Dari pertanyaan tersebut, dapat diuraikan pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut ini:
1. Bagaimana karakteristik pihak-pihak yang terlibat konflik pengelolaan
sumberdaya alam masyarakat Desa Curugbitung?
2. Mengapa konflik pengelolaan sumberdaya alam terjadi di Desa Curugbitung
dan bertahan lama?
3. Bagaimana karakteristik konflik yang terjadi di Desa Curugbitung?
4. Bagaimana upaya-upaya pengelolaan dan hasil akhir konflik yang telah
dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Untuk menggambarkan karakteristik pihak-pihak yang terlibat konflik
pengelolaan sumberdaya alam masyarakat Desa Curugbitung.
2. Untuk menjelasakan konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di
Desa Curugbitung dan bertahan lama.
3. Untuk memaparkan karakteristik konflik yang terjadi di Desa Curugbitung.
4. Untuk mengidentifikasi upaya-upaya pengelolaan dan hasil akhir konflik yang
telah dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik.
-
10
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya informasi mengenai konflik
pengelolaan sumberdaya alam masyarakat desa sekitar hutan, terutama mengenai
upaya-upaya pengelolaan konflik sumberdaya alam yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang terlibat konflik, serta hasil akhirnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan inspirasi kepada pembaca untuk melakukan kajian yang lebih
mendalam terhadap konflik, serta dapat dijadikan bahan rujukan bagi perencanaan
pengelolaan konflik, terutama konflik pengelolaan sumberdaya alam pada
masyarakat desa hutan.
-
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konflik
Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk
memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan
lain sebagainya, dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk
memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan
kekerasan atau ancaman (Ibrahim, 2002). Konflik merupakan salah satu proses
sosial yang bersifat disosiatif, selain persaingan (competition) dan
pertentangan. Sebenarnya proses sosial disosiatif tidaklah selalu bersifat
negatif, ada kalanya jika diatur sedemikian rupa dapat menghasilkan hal-hal
yang positif.
Menurut Fisher et al. (2000) konflik adalah hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki,
sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup,
tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan
masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara
hubungan-hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang
meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian
menimbulkan masalah-masalah diskriminasi.
Menurut Mitchell, et al. (2000) dan Hendricks (2004) konflik merupakan
sesuatu yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif dan negatif. Aspek
positif muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan
sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam
gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalapahaman.
-
12
Konflik juga bermanfaat, yaitu ketika mempertanyakan status quo. Sedangkan
menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik adalah benturan yang terjadi antara
dua pihak atau lebih yang disebabkan karena adanya perbedaan kondisi sosial
budaya, nilai, status, dan kekuasaan, dimana masing-masing pihak memiliki
kepentingan terhadap sumberdaya alam.
Menurut Penyebabnya, konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam
dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam dan kebutuhan yang
selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam.
Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang
berbeda atas sumberdaya yang sama, yang berakibat pada munculnya konflik-
konflik antar berbagai unsur masyarakat (Fuad dan Maskanah, 2000; Mitchell, et
al., 2000). Selain itu, diungkapkan juga bahwa sumberdaya alam yang terbatas
sangat rentan terhadap datangnya perubahan, sehingga inisiatif-inisiatif
industrialisasi telah menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya
alam itu sendiri. Perubahan kondisi sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi,
hukum dan politik menciptakan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-
kebutuhan baru terhadap sumberdaya hutan. Pada akhirnya, apabila faktor-
faktor tersebut mengalami ketidaksesuaian, maka akan ada suatu potensi
konflik.
Selain itu Dorcey (1986) dalam Mitchell, et al. (2000) dan Wirajardjo, et al.
(eds.) (2001) mengungkapkan bahwa penyebab dasar konflik dalam pengelolaan
sumberdaya alam antara lain:
1. Perbedaan pengetahuan atau pemahaman, juga disebut konflik data. Terjadi
ketika kelompok kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil
keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat
mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan
cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.
Beberapa konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena hal ini disebabkan
-
13
kurangnya komunikasi di antara orang-orang yang berkonflik. Konflik data
lainnya bisa jadi karena memang disebabkan informasi dan atau tata cara
yang dipakai oleh orang-orang untuk mengumpulkan datanya tidak sama.
2. Perbedaan nilai. Hal disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak
bersesuaian, baik itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah
kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya. Nilai
menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak.
Sebagai contoh, mungkin ada kesepakatan tentang bentuk suatu persoalan
serta cara penyelesaiannya, akan tetapi terjadi perbedaan pokok pada titik
akhir yang dituju.
3. Perbedaan kepentingan. Perbedaan ini dapat menimbulkan konflik
walaupun berbagai pihak menerima fakta dan interpretasi yang sama serta
mempunyai kesamaan nilai. Akan tetapi konflik dapat saja muncul bukan
karena perbedaan pengetahuan atau karena perbedaan nilai tapi karena
perbedaan tentang siapa yang diuntungkan atau siapa yang dirugikan. Juga
dapat terjadi ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk
memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Misalnya
pada masalah yang mendasar (uang, sumber daya fisik, waktu, dll.),
masalah tata cara (sikap dalam menangani masalahnya) atau masalah
psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat, dll.).
4. Perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok yang
berkepentingan. Terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat,
salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif
yang berulang (repetitif). Masalah-masalah ini sering menghasilkan konflik-
konflik yang tidak realistis atau tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi
bahkan ketika kondisi obyektif untuk terjadinya konflik, seperti terbatasnya
sumber daya atau tujuan-tujuan bersama yang eksklusif, tidak ada.
MasaIah hubungan antar manusia seperti yang disebut di atas, sering kali
-
14
memicu pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik
destruktif yang tidak perlu.
Lebih lanjut Wirajardjo, et al. (eds.) (2001) menyebutkan bahwa dari
pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa
penyebab pokok konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang bersifat
struktural. Konflik yang terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan
kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal
untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk
menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain
persoalan geografis dan faktor sejarah/waktu seringkali dijadikan alasan untuk
memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya
menguntungkan pada satu pihak tertentu.
Koentjaraningrat dan Ajamiseba (1994) menyatakan bahwa konflik dapat
terjadi karena perubahan sosial budaya yang begitu cepat terhadap pegangan
dan pola kehidupan tradisional, menyebabkan masyarakat kehilangan jati
dirinya dan merasa tercabut dari akar budayanya, yang selanjutnya menjadikan
mereka apatis dan agresif. Dampak sosial budaya yang negatif tersebut dapat
menciptakan suatu gerakan destruktif.
Anau, et al. (2002) menyebutkan pula bahwa benturan kepentingan antara
perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain juga dapat menimbulkan
persengketaan, yang kadang-kadang sampai berlarut-larut dan tidak terselesaikan
dalam jangka waktu yang lama. Benturan-benturan kepentingan juga terjadi antara
masyarakat atau kelompok masyarakat karena masalah batas desa atau wilayah
adat yang tidak jelas atau karena perebutan sumberdaya tertentu.
Menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik dapat berwujud tertutup
(laten), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent)
dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya
berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. seringkali
-
15
salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang
paling potensial sekalipun. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan
dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya
perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses peyelesaian
masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan
konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam
perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin
pula telah mencapai jalan buntu. Ditambahkan oleh Hae, et al. (2001), bahwa
konflik bisa berwujud meningkat (eskalasi). Konflik Eskalasi merupakan konflik
yang mengalami peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada daerah
konflik Ambon misalnya, eskalasi ditandai dengan penggunaan senjata rakitan
maupun organik. Padahal, awalnya dua pihak yang bertikai hanya menggunakan
senjata tumpul dan senjata tajam.
Seperti yang telah disebutkan oleh beberapa penulis di atas, bahwa
sebagian besar konflik atas sumberdaya alam mempunyai sebab-sebab ganda,
biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak yang
bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Karena sering kali menjadi rumit,
sangat penting untuk mendefinisikan permasalahan pokok atau penyebab
pertikaian dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai.
Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik
vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di
lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan
makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horisontal,
terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini,
kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk
menentukan siapakah lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).
Bila diamati lebih jauh, terdapat beberapa karakteristik dari konflik
seperti yang dijelaskan Hendricks (1996), yakni: (1) Dengan meningkatnya
-
16
konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; (2) Keinginan untuk menang
meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; (3) Orang yang
menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi yang lain, seiring dengan
meningkatnya konflik; (4) Strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat
konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; (5)
Konflik dapat melampaui tahapan yang lazim; (6) Seseorang dapat menjadi
individu yang berbeda selama berada dalam konflik.
Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik (Hae, et al., 2000),
antara lain:
1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap
kelompok cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah
yang sebelumnya tak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas
warganya. Akibat pertikaian yang berlangsung 20 tahun lebih di Belfast,
pemisahan kelompok Nasionalis (yang kebanyakan Protestan) dan
kelompok prokemerdekaan (yang kebanyakan Katolik) sudah sampai
pembuatan tembok setinggi 5 meter. Demikian pula di Ambon, walaupun
belum ada tembok pemisah, segregasi wilayah kelompok Muslim dan
Kristen sudah terjadi. Senada dengan hal itu Soekanto (1990)
menyebutnya dengan timbulnya solidaritas in-group. Ikatan yang
semakin erat antar anggota kelompok, dan bahkan bersedia berkorban
demi keutuhan kelompok. Atau sebaliknya, goyah dan retaknya
persatuan kelompok. Hal ini terjadi apabila pertentangan antar
golongan dalam satu kelompok tertentu.
2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan
dalam tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya negatif, untuk
merendahkan pihak lawan.
3. Demonisasi (penjelek-jelekan). Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi
demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematik ini
-
17
menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul,
misalnya: "Si A itu dari suku X, hati-hati...., orang yang bersuku X itu
pembunuh berdarah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan
peminum darah manusia".
4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan, pada
kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke
mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran,
radio, dan televisi.
5. Pemaksaan (koersi). Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok
sendiri atau kelompok lain.
6. Mobilitas sumberdaya manusia. Selalu ada penggalangan massa yang
cepat dan solid.
7. Citra cermin. Setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri. Ia
akan selalu berkaca pada dirinya tanpa melihat sisi pandang orang lain
atau lawannya.
8. Pengakuan citra diri, yang berhubungan dengan misalnya menyetujui
bahwa saya adalah musuh orang/kelompok lain. Pernyataan yang biasa
muncul "ya, saya memang musuhnya. Saya akan siap meladeni,.... dan
seterusnya.
Selanjutnya Soekanto (1990) menambahkan akibat-akibat tersebut
dengan:
9. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Bentuk
pertentangan terdahsyat yaitu peperangan yang telah menyebabkan
penderitaan yang berat, baik bagi pemenang maupun bagi pihak yang
kalah, dalam bidang kebendaan maupun bagi jiwa-raga manusia.
10. Akomodasi. Dominasi dan takluknya salah satu pihak apabila kekuatan
pihakpihak yang bertentangan seimbang, maka mungkin akan timbul
akomodasi.
-
18
Tumpang tindihnya kepentingan semua pihak pada suatu wilayah
sumberdaya alam yang sama, menyebabkan konflik seolah-olah menjadi hal yang
tidak dapat dihindarkan. Berbagai peraturan yang dibuat untuk untuk mengatur
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam ternyata sangat tidak membantu
karena saling bertentangan dan tumpang tindih, yang berakibat semakin
meningkatkan intensitas konflik atas sumberdaya alam.
Merujuk pada gambaran tersebut di atas maka tepatlah bahwa pada
dasarnya konflik itu nyata, bisa destruktif bisa konstruktif, dan kadangkala tidak
bisa diselesaikan. Tapi yang penting adalah bagaimana respon terhadap konflik
tersebut, bagaimana nilai dan wawasan baru ditumbuhkan agar dapat
menghadapi dan mengelola konflik.
2.1.2 Pengelolaan Konflik
Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan
keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat
mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui meja hukum. Terdapat
beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik, yaitu: (1) Lebih menekankan
pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi
tawar menawar; (2) Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian; (3)
Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan. Seorang mediator
yang tidak memihak biasanya diperlukan dalam penyelesaian sengketa
(Maguire dan Boiney, 1994 dalam Mitchell, et al., 2000).
Ketika sengketa muncul dan berkaitan dengan perbedaan kepentingan
tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, ada empat pendekatan yang dapat
dipakai, yaitu: politis, administratif, hukum, dan alternatif penyelesaian konflik (APK).
APK terdiri dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. APK muncul
sebagai jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga
sebagai jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat
-
19
lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. APK juga dikembangkan
untuk menghindari model pihak pemenang dan pihak yang kalah, yang dihasilkan
oleh pendekatan hukum (Mitchell, et al., 2000).
Selain itu, terdapat pendekatan lain dalam melihat penyelesaian konflik, yaitu
pendekatan akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu
untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses.
Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti kenyataan adanya
suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang-perorangan atau
kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan
nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai suatu
proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan
suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan dan
merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa
menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
Adapun bentuk-bentuk akomodasi sebagai suatu proses menurut Young dan
Mack (1959) dalam Soekanto (1990) dan Ibrahim (2002), adalah sebagai berikut:
1. Coercion adalah suau bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh
karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana
salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan
dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (secara
langsung), maupun secara psikologis (secara tidak langsung).
2. Compromise adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat
saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian
terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan
compromise adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan
dan memahami keadaan pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya.
3. Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila
pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri.
-
20
Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah
pihak atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihak-
pihak yang bertentangan.
4. Mediation adalah suatu bentuk akomodasi yang hampir menyerupai
arbitration. Pada mediation diundang pihak ketiga yang netral dalam soal
perselisihan yang ada. Pihak ketiga tersebut tugas utamanya adalah
mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak
ketiga hanyalah sebagai penasehat belaka dan dia tidak mempunyai
wewenang untuk memberi keputusan penyelesaian perselisihan tersebut.
5. Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-
keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu
persetujuan bersama.
6. Toleration juga sering dinamakan t o l e r a n t - p a r t i c i p a t i o n , ini
merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal
bentuknya. Kadang-kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa
direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang-
perorangan atau kelompok-kelompok manusia untuk sedapat mungkin
menghindarkan diri dari suatu perselisihan.
7. Stalemate merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang
bertentangan berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan
pertentangannya karena mempunyai kekuatan yang seimbang. Hal ini
disebabkan oleh karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada
kemungkinan lagi untuk maju atau mundur.
8. Adjudication yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Membandingkan dari delapan bentuk akomodasi tersebut, bentuk
mediation dan compromise dipandang lebih efektif daripada bentuk-bentuk
akomodasi lainnya, karena sifatnya lebih lunak daripada coercion, dan membuka
kesempatan bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi.
-
21
Oleh karena itu di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam
keadaan tenteram; cara-cara persuasive (proses pengendalian sosial tanpa
kekerasan) mungkin akan lebih diterima daripada menggunakan cara-cara
coercive (proses pengendalian sosial dengan cara kekerasan dan paksaan),
karena biasanya kekerasan dan paksaan akan melahirkan reaksi negatif dan
pihak-pihak tertentu akan selalu mencari-cari kesempatan dan menunggu
saatnya dimana pihak lawan berada dalam keadaan lemah.
Meskipun penyelesaian konflik ada yang diselesaikan melalui jalur
hukum pengadilan, Namun kebanyakan kasus konflik pada saat ini tidak
diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi diantara perusahaan dan
para warga yang menuntut dengan penengah pemerintah daerah. Oleh karena
itu, peranan pemerintah daerah, serta konteks sosial dan politik dapat dikatakan
mempengaruhi proses dan solusi sengketa tanah di Indonesia (Sakai, 2002).
Selanjutnya, berhubungan dengan pengelolaan konflik tersebut
dijelaskan pula dalam UU no. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan
hutan (LH). Dalam pasal 30 dinyatakan bahwa:
(1) Penyelesaian sengketa LH dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa; (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana LH sebagaimana diatur UU ini; (3) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Dalam pasal 31 dinyatakan bahwa:
"Penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terladi atau terulangnya dampak negatif terhadap LH."
Dalam pasal 32 dinyatakan bahwa:
"Dalam penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ke tiga baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil
-
22
keputusan rnaupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketa LH."
2.1.3 Masyarakat Sekitar Hutan
Kompas (2003) menuliskan bahwa Sebanyak 71 persen dari seluruh
areal [perkebunan] di seluruh Indonesia berada dalam kawasan hutan.,
sebagian besar masyakarat hidup tanpa memiliki tanah tapi mereka hidup di
pinggir enclave (daerah kantong) perkebunan besar atau di pinggir hutan
perhutani. Tidak berbeda dengan keadaan yang terjadi di wilayah afdeling
perusahaan Hevindo, yang salah satunya adalah Desa Curugbitung.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/1991 yang
dimaksud dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-
kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan
sekitar hutan. Hotte (2001) menyatakan bahwa hak yang dimiliki oleh
masyarakat sekitar hutan memerlukan pengakuan oleh orang lain. Dalam
merealisasikannya dapat menimbulkan benturan-benturan yang apabila
terdapat rasa tidak adil dalam merealisasikan hak tersebut akan menjadi
pemicu bagi timbulnya konflik.
Menurut Soekanto (1990), masyarakat lokal atau masyarakat setempat
menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal pada suatu wilayah
tertentu secara geografis dalam batas-batas tertentu, interaksi yang lebih
intensif diantara angota-anggotanya dibandingkan dengan penduduk di luar
batas wilayah tersebut. Di samping faktor tempat tinggal, dasar pokok
masyarakat lokal dibentuk oleh community sentiment, yakni perasaan diantara
para anggotanya bahwa mereka saling memerlukan dan bahwa tanah yang
mereka tempati memberikan kehidupan kepada mereka semua.
Nasendi dan Masud (1996) menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi
masyarakat desa sekitar hutan relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan
karena rendahnya tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran
-
23
akan fungsi hutan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan akan
sangat menentukan keberhasilan pengusahaan hutan (pemanfaatan dan
pelestarian hutan). Masalah deforestasi, degradasi hutan, kebakaran hutan,
pencurian hasil hutan dan tekanan-tekanan terhadap hutan lainnya merupakan
tantangan dan ancaman yang dapat timbul sebagai akibat dari permasalahan
sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan yang seharusnya dikembangkan dan
diakomodasikan dengan tepat serta terarah dalam kegiatan pengusahaan
hutan.
Konflik dengan masyarakat sekitar hutan dapat terjadi karena selama ini
pembangunan kehutanan belum memperhatikan kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Ketertinggalan dari segi ekonomi menyebabkan timbulnya sikap
resistensi dari masyarakat terhadap pihak luar yang mengelola hutan. Sikap
inilah yang merupakan potensi laten terjadinya konflik dalam pengelolaan
sumberdaya hutan (Nugraha, 1999). Oleh karena itu, Darusman (1993)
menyatakan bahwa masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus lebih
diperhatikan dalam pembangunan sektor kehutanan (dalam
pengelolaan/pengusahaan hutan), karena mereka adalah bagian atau unsur dari
ekosistem hutan yang saling tergantung. Mereka memiliki kekuatan yang sangat
besar, yang apabila tidak diperhatikan dapat menjadi kekuatan perusak yang
sangat dahsyat, seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Sebaliknya bila diperhatikan
dapat menjadi kekuatan pendukung yang juga sangat dahsyat. Lebih lanjut,
Darusman (1993) menyatakan bahwa dampak positif pembangunan kehutanan
bagi masyarakat di daerah (masyarakat pedesaan sekitar hutan) masih sangat
kecil karena belum menggunakan cara-cara yang tepat dimana kegiatan
masyarakat belum terkait secara kuat atau terlibat langsung dengan kegiatan
kehutanan itu sendiri.
-
24
2.2 Hipotesa Pengarah
1. Dalam pengelelolaan sumberdaya alam terdapat dua komponen penting
yang diberikan hak oleh negara untuk mengelola SDA, yaitu masyarakat lokal
dan lembaga yang diberikan wewenang oleh pemerintah dengan batas waktu
tertentu. Lembaga yang diberi wewenang tersebut, salah satunya berupa
Hak Guna Usaha dengan batas waktu tertentu.
2. Dalam pengelolaan sumberdaya alam bisa timbul permasalahan, yang
sekaligus menjadi penyebab terjadinya konflik diantara pihak yang
berkepentingan terhadap SDA. Pengelolaan sumberdaya alam yang
dilakukan oleh pemegang HGU belum dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar, sehingga berkembang pola hubungan disosiatif.
Hubungan inilah yang dapat berkembang menjadi sebuah konflik.
3. Permasalahan yang timbul diantaranya bisa karena tata batas, perbedaan
kepentingan, masuknya pihak luar ke dalam kawasan, pembatasan akses,
ketidakadilan pemeretaan hasil pengelolaan, keterpurukan ekonomi
masyarakat, salah persepsi atau stereotif negatif, serta dapat juga
disebabkan karena kerusakan lingkungan.
4. Adanya intervensi dari pihak lain terhadap konflik yang sedang terjadi dapat
merupakan penyebab meningkatnya konflik.
5. Perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan dasar hukum yang
digunakan merupakan penyebab sulitnya memperoleh penyelesaian dan
penanggulangan konflik yang ideal.
6. Konflik dapat berakibat pada pembatasan akses masyarakat lokal,
kerusakan lingkungan, penjarahan hutan, perambahan hutan, tindakan
agresif dan apatis dari masyarakat, hilangnya jati diri masyarakat, juga dapat
terjadi kerugian materi dan sosial.
7. Persoalan pengelolaan SDA ini tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, tapi
lebih memiliki multi-faktor penyebab/sumber terjadinya konflik. Penyebab
-
25
yang satu bisa menjadi penyebab bagi yang lainnya, atau akibat konflik yang
satu bisa menjadi pemicu konflik yang lainnya.
8. Pengelolaan konflik bisa berakibat pada timbulnya perundingan dan
kesepakatan bersama yang kemudian menuju pada distribusi manfaat dari
SDA berjalan seimbang.
9. Bentuk pengelolaan bisa dengan cara coercion, compromise, arbitration,
mediation, conciliation, toleration, stalemate, dan adjudication.
10. Pengelolaan konflik yang berhasil akan mengakibatkan pengelolaan
sumberdaya yang seimbang, terutama mengenai distribusi manfaat.
Sedangkan yang tidak berhasil akan kembali terus berkonflik, dan jika
memungkin akan terjadi pengelolaan kembali terhdap konflik yang pernah
dan masih terjadi. Lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 1. di halaman
berikutnya.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam
Keterangan:
Lembaga Pemerintah (BUMN), Swasta, dan
Koperasi Pengelolaan
SDA
Tidak Menimbulkan Permasalahan
Menimbulkan Permasalahan
Konflik Pengelolaan SDA
Masyarakat Lokal
Penyebab Konflik
Tata Batas Perbedaan
Kepentingan Masuknya Pihak Luar Pembatasan Akses Ketidakadilan
Pemeretaan Hasil Keterpurukan Ekonomi Salah Persepsi atau
Stereotif Kerusakan Lingkungan
Akibat Konflik
Akses Masyarakat Lokal Terbatas
Kerusakan Lingkungan
Penjarahan Hutan Tindakan Agresif
dan Apatis Kerugian Materi
dan Sosial Kelangkaan SDA
Pengelolaan Konflik
Pendekatan Administrasi Pendekatan Hukum Pendekatan APK Pendekatan Politis Pendekatan Akomodasi
Pengelolaan Tidak Berhasil Pengelolaan Konflik Berhasil
: Aksi (Diteliti) : Reaksi (Tidak Diteliti): Tidak diteliti
-
26
2.3 Batasan Konsep
Batasan konsep ini digunakan sebagai proyeksi awal tentang kasus yang
terjadi di lokasi penelitian, tidak digunakan sebagai alat ukur dalam kasus ini.
Beberapa konsep yang dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pengelolaan sumberdaya alam adalah usaha yang dilakukan oleh
seseorang/kelompok orang dan atau lembaga yang diberi wewenang oleh
pemerintah seperti perusahan perkebunan, peternakan, dan kehutanan
pemegang HGU dan atau HPH untuk mengelola, menjaga, dan
memanfaatkan sumberdaya alam.
2. Konflik merupakan suatu "perwujudan perbedaan cara pandang" antara
berbagai pihak terhadap obyek yang sama, yaitu sumberdaya alam.
Bentuknya bisa berupa keluhan saja sampai pada tingkat kekerasan dan
perang.
3. Penyebab konflik adalah segala sesuatu yang menjadi pemicu terjadinya
konflik, seperti perbedaan kepentingan, perbedaan penafsiran mengenai
kewenangan dalam pengelolaan SDA, batas-batas
pengeloaan/kepemilikan lahan, degradasi manfaat suatu SDA dan
kerusakan mutu lingkungan, dan perubahan status kawasan hutan.
4. Pihak-pihak yang terlibat adalah pihak yang mempunyai kepentingan
dan/atau terkait dengan konflik, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Pihak yang terlibat langsung adalah mereka yang bersengketa
karena masalah tata batas, akses dan sebagainya. Sedangkan pihak yang
tidak terlibat langsung misalnya LSM (Ornop) yang mempunyai kepedulian
terhadap konflik, atau organisasi lain seperti Dinas Kehutanan, perguruan
tinggi, maupun lembaga penelitian.
5. Penyelesaian konflik merupakan suatu upaya atau inisiatif yang dilakukan
untuk mengatasi dan mencari jalan keluar dari suatu peristiwa konflik.
-
27
Inisiatif ini bisa datang dari para pihak yang terlibat dalam konflik atau dari
pihak ketiga yang tidak terlibat dalam konflik. Bentuk upaya yang
ditempuh bisa bermacam-macam, mulai dari yang sangat sederhana
sampai ke tingkat pengadilan dengan menempuh jalur hukum.
-
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi ini berdasarkan
informasi yang diperoleh dari hasil penelitian RMI-The Indonesian Institute for
Forest and Environment dan HuMa-Perhimpunan Untuk Pembaharuan Hukum
Agraria, bahwa masyarakat Desa Curugbitung memiliki konflik di beberapa sektor
dengan perusahaan-perusahaan pemengang HGU (Hak Guna Usaha), baik di
sektor perkebunan, peternakan dan kehutanan. Hingga saat penelitian ini
berakhir, RMI dan HuMa masih melakukan pendampingan kepada masyarakat di
kecamatan Nanggung, terutama desa yang sedang mengalami konflik. Selain hal
itu peneliti mempertimbangkan kemudahan mengakses lokasi penelitian untuk
kelengkapan data kebutuhan penelitian ini. Sebelumnya peneliti juga merupakan
salah satu relawan dari RMI untuk program kerja sama inventarisasi data konflik
kehutanan dan sumberdaya alam di Kawasan Ekosistem Halimun dan Jawa
Barat. Jika dibandingkan dengan dua wilayah afdeling lainya, yaitu: Desa Cisarua
dan Desa Nanggung, sebenarnya Desa Curugbitung paling memenuhi syarat
untuk mengelola konflik dengan baik, karena terdapat organisasi lokal yang
dibentuk khusus untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Desa Curugbitung
terhadap lahan, termasuk melakukan perlawanan terhadap tindakan yang
dilakukan oleh perusahaan, bahkan yang terjadi konflik masih bertahan lama
sampai saat ini, meski wujudnya laten.
Tahap awal penelitian ini sudah dimulai sejak bulan November 2005, guna
mencari data awal untuk menentukan tema, masalah, tujuan dan unit analisis
-
29
yang akan diteliti. Adapun pelaksanaan penelitian ini efektif dilakukan selama
bulan Desember 2005 hingga akhir bulan Maret 2006.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana peneliti
mengumpulkan data tertulis dan kata-kata lisan dari subjek penelitian dan
informan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bogdan dan Taylor (1975) dalam
Moleong (2001) bahwa metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar
(setting) dan individu secara holistik. Penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang mengambil fakta berdasarkan pemahaman subjek penelitian (verstehen),
mengetengahkan hasil pengamatan itu secara rinci (thick description), seraya
menghindari komitmen terhadap model teoritik terdahulu (Agusta, 1998),
sehingga hasil dari penelitian ini bisa berupa suatu verifikasi teori, penyanggahan
teori, penambahan atau penguatan terhadap suatu teori.
Menurut Sitorus (1998), peneliti memberi penekanan pada sifat bentukan
sosial realitas, hubungan akrab antara peneliti dan apa yang dikajinya, serta
kendala situsional yang menyertai penelitian. Peneliti juga memberi penekanan
pada sifat sarat nilai penelitian. Peneliti mencari jawaban atas pertanyaan
bagaimana pengalaman sosial dibentuk dan diberi makna. Dalam kasus konflik
pengelolaan sumberdaya alam ini, peneliti menekankan pada bentukan sosial
realitas yang terjadi di Desa Curugbitung, hubungan akrab antara peneliti dan
subjek peneliti, serta kendala-kendala situasional yang terjadi di lapangan. Sifat
sarat nilai penelitian ini diperoleh dari hasil diskusi dan wawancara mendalam
dengan informan yang mengalami sendiri proses sosial tersebut, sehingga
mereka mampu memberi nilai-nilai secara subjektif yang tidak akan mampu
diberikan oleh orang yang tidak mengalami sendiri proses sosial tersebut.
-
30
Strategi penelitian yang dipilih adalah studi kasus, yang mana peneliti
memilih suatu kasus yaitu konflik pengelolaan sumberdaya alam untuk diteliti
dengan menggunakan serumpun metode penelitian. Studi kasus sesuai
digunakan dengan alasan: (1) Pertanyaan penelitian berkenaan dengan
bagaimana atau mengapa konflik pengelolaan sumberdaya alam dapat terjadi
pada masyarakat Desa Curugbitung, (2) Peluang peneliti sangat kecil untuk
mengontrol peristiwa/gejala sosial yang terjadi, baik dikalangan masyarakat
Curugbitung maupun pada perusahaan Hevindo, serta pihak lainnya; (3)
Pumpunan (focus) penelitian adalah peristiwa/gejala sosial masa kini dalam
konteks kehidupan nyata yaitu peristiwa konflik pengelolaan sumberdaya alam di
Desa Curugbitung (Yin, 1996 dalam Sitorus, 1998)
3.3 Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Karakteristik Data
Jenis data yang paling memadai untuk penelitian kualititatif (eksploratif-
deskriptif) adalah data kualitatif. Menurut Taylor dan Bogdan (1984) dalam
Sitorus (1998), data kualitatif adalah data deskriptif berupa kata-kata lisan atau
tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati.
Sedangkan, Patton (1990) dalam Sitorus (1998), mengemukakan bahwa data
kualitatif dapat dipilah kedalam tiga kategori yaitu: (1) Hasil pengamatan, yaitu
uraian (deskripsi) rinci mengenai situasi, kejadian/peristiwa, orang-orang,
interaksi, dan perilaku yang diamati secara langsung di lapangan; (2) Hasil
pembicaraan, yaitu kutipan langsung dari pernyataan orang-orang tentang
pengalaman, sikap, keyakinan, dan pandangan/pemikiran mereka dalam
kesempatan mendalam; dan (3) Bahan tertulis, yaitu petikan atau keseluruhan
bagian dari dokumen, surat-menyurat, rekaman, dan kasus historis (sejarah).
-
31
3.2.2 Penentuan Kasus dan Pengambilan Subjek Penelitian 1
Studi kasus yang dipilih adalah studi kasus intrinsik, dimana peneliti ingin
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kasus khusus. Alasan
pemilihan atas kasus tersebut bukan karena ia mewakili kasus-kasus lain atau
karena ia menggambarkan suatu sifat atau masalah khusus, melainkan karena
dengan segala kekhususan dan kebersahajaannya sendiri (Stake, 1994 dalam
Sitorus, 1998). Kasus konflik pengelolaan sumberdaya alam di Kawasan
Ekosistem Halimun, Desa Curugbitung merupakan gejala sosial yang menarik
untuk diteliti, karena berhubungan dengan kehidupan nyata masyarakat dalam
mempertahankan hidup dengan bergantung pada pemanfaatan lahan kosong
perusahaan Hevindo, walaupun tidak diijinkan oleh direksi, dan segala
konsekuensi yang diterimanya.
3.2.3 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer dan
data sekunder. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, laporan-laporan
penelitian sebelumnya dan studi dokumen yang ada pada pihak-pihak terkait,
seperti RMI, Pemerintahan Desa, serta Dinas Pertanian dan Perkebunan
Kabupaten Bogor. Pengumpulan data primer diperoleh melalui observasi
langsung di lapangan, wawancara mendalam dengan informan di lapangan.
Informan diperoleh dengan teknik bola salju. Teknik ini dilakukan dengan
menanyai beberapa informan kunci dan meminta mereka untuk
merekomendasikan informan lain. Penjabaran teknik pengumpulan data dapat
dilihat pada Gambar 2. di halaman berikutnya.
1 Istilah yang digunakan untuk responden dalam penelitian kualitatif (Agusta, 1998)
-
32
Gambar 2. Teknik Pengumpulan Data
Masalah Data yang Diperlukan Sumber Data
Profil Kawasan Penelitian
Sejarah, administrasi, geografis dan topologi desa
Karekteristik penduduk Orientasi nilai dan sosial budaya masyarakat Kelembagaan masyarakat Potensi Agraria
Data monografi desa
Observasi lapang Wawancara
mendalam Informan
Deskripsi konflik pengelolaan sumberdaya alam pada masyarakat desa sekitar hutan
Sejarah konflik Bentuk konflik Deskripsi area sengketa/konflik Luas area konflik Riwayat area konflik Status hak area Dasar status hak Fungsi area konflik Pengklaim
Observasi lapang Wawancara
mendalam Informan Studi literatur,
Dokumen Diskusi Lembaga
Karakteristik Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik pengelolaan sumberdaya alam pada masyarakat desa sekitar hutan
Pihak-pihak yang bersengketa Pihak-pihak lain yang terlibat dalam konflik Intervensi pihak luar Yang hendak diperoleh oleh masing-masing
pihak Kekuatan, legitimasi, dan keinginan masing-
masing pihak Wujud dan level konflik yang terjadi Persepsi masing-masing pihak terhadap
konflik dan Persepsi masing-masing pihak terhadap pihak
lain yang terlibat konflik
Observasi lapang Wawancara
mendalam Informan Studi Literatur,
Dokumen Diskusi Lembaga
Karakteristik konflik pengelolaan sumberdaya hutan pada masyarakat desa sekitar hutan
Pokok persolaan konflik Penyebab terjadinya konflik Kebijakan pemerintah Pihak luar yang masuk kawasan Tata Batas area pengelolaan SDA Kepentingan masing-masing pihak Akses masyarakat terhadap SDA Pemeretaan hasil pengelolaan SDA Keterpurukan ekonomi masyarakat Kerusakan lingkungan
Wawancara mendalam
Informan Studi Literatur,
Dokumen Diskusi Lembaga
Upaya-upaya yang pernah atau telah di tempuh, dalam pengelolaan konflik sumberdaya alam di Desa Curugbitung
Pendekatan politis, administrasi, pendekatan hukum, pendekatan akomodasi, pendekatan Alternatif Penyelesaian Konflik (APK)
Upaya penanganan konflik oleh masyarakat, perusahaan, dan pihak-pihak yang terlibat konflik
Hasil akhir pengelolaan konflik
Wawancara mendalam
Informan Studi Literatur,
Dokumen Diskusi Lembaga
Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan diskusi dengan pihak
RMI mengenai hal-hal yang sudah dilakukan dalam pendampingan termasuk
penanganan konflik yang ada di Desa Curugbitung. Selain itu juga mengenai
-
33
berbagai strategi advokasi dan pembelajaran terhadap petani di desa tersebut.
Setelah dari diskusi tersebut peneliti mendapatkan beberapa informasi tentang
siapa-siapa saja pihak yang bisa dihubungi untuk dimintai keterangan mengenai
kasus konflik tersebut, yang kemudian nama tersebut peneliti jadikan subjek
penelitian, yang sebagian besar dijadikan informan2 dalam penelitian ini.
Sesampai di lokasi bertemu dengan salah satu relawan RMI yang sudah akrab
sejak sama-sama menjadi relawan RMI dalam program yang sama, kemudian
peneliti diajak bertemu salah satu tokoh agama di desa, dan sehari setelahnya
bertemu kepala desa di kantor desa.
Informan kunci dibagi dalam dua kategori, dengan maksud agar data yang
didapatkan tidak tercampur dan memudahkan peneliti untuk menganalisa data
dari masing-masing pihak. Kategori pertama, informan dari pihak masyarakat dan
pemerintahan desa dan kategori kedua berasal dari pihak perusahaan dan
pemerintahan kabupaten. Informan pertama berasal dari staf fasilitator RMI yang
sedang konsen menangani kasus konflik kehutanan, kemudian diperoleh
informan dari kategori satu, diantaranya ketua KPC, dan 5 anggota kelompok
petani penggarap di areal perkebunan yang terkena aksi pencabutan dan
pelarangan tanaman dari perusahaan, kepala desa, sekdes, 2 orang kepala
dusun, dan 2 orang RW, selain itu juga ada 2 orang pekerja batu bata yang lokasi
pembuatannya berada dalam kawasan konflik, dan 1 orang dari RMI. Karena
selama ini menurut beberapa informan kategori pertama, menyebutkan kalau
pihak perusahaan sangat tertutup, maka peneliti berinisiatif untuk meminta
rekomendasi dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor agar peneliti
dapat melakukan wawancara dengan pihak perusahaan. Setelah itu, peneliti
menetapkan salah satu staf dinas tersebut untuk menjadi informan tentang
perusahaan PT. Hevindo dan meminta data tentang perusahaan tersebut.
2 Pada waktu pelaksanaan penelitian di lapang, sebagian besar subjek penelitian ditanyai tentang
kehidupan diri mereka sendiri, keluarga dan lingkungannya.
-
34
Walaupun menggunakan rekomendasi, pimpinan perusahaan tetap menolak
untuk menunjukkan beberapa data-data yang dibutuhkan dalam penelitian, meski
sebelumnya peneliti telah melakukan wawancara dengan manager kebun dan 2
orang kepala divisi perusahaan. Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
akhirnya diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, dan
beberapa data sekunder dari hasil penelitian sebelumnya tentang perusahaan
tersebut.
Pada saat melakukan wawancara mendalam, peneliti berusaha untuk
melakukan pendekatan informal lebih dahulu terhadap para informan dan juga
masyarakat desa. Pendekatan informal dilakukan dengan lebih membaurkan diri
dalam kegiatan masyarakat, seperti pengajian, kegiatan kursus, rapat-rapat kecil
KPC, ombrolan santai sekaligus memperkenalkan diri dan maksud kedatangan
kepada mereka, dan makan bersama keluarga salah satu RW. Setiap akhir
wawancara peneliti selalu menekankan bahwa kedatangan peneliti kali ini ke
Desa Curugbitung untuk melakukan penelitian, bukan sebagai relawan RMI,
terutama pada informan KPC. Setelah hubungan informal terjalin, peneliti mulai
mengarah pada hal serius tentang topik penelitian. Kadang kala peneliti
menggunakan alat perekam sebagai dokumentasi penelitian untuk wawancara
yang dilakukan dalam jumlah 4-6 orang sekaligus dan catatan saku dengan
sebelumnya meminta izin kepada informan sebelum dimulai wawancara, karena
dengan begitu mereka merasa dihargai.
Hasil wawancara dengan informan dan observasi, peneliti berusaha untuk
langsung menuliskannya ke dalam catatan harian. Hal ini dilakukan sesegera
mungkin begitu peneliti tiba dari wawancara dengan informan, sehingga
memudahakan peneliti mengingat kembali data-data yang diperoleh selama
wawancara. Sebelum pencatatan selesai, sedapat mungkin peneliti menghindari
pembicaraan dengan orang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerancuan
dalam mengingat data. Ketertutupan pihak perusahaan, ketakutan pihak-pihak
-
35
yang berkonflik terutama bagi masyarakat sendiri, menjadi salah satu hambatan
dalam pencarian informasi yang lebih dalam.
3.3 Teknik Analisa Data
Berdasarkan pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus
(1998), bahwa analisis data kualitatif mencakup reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan, ketiga jalur analisis data tersebut menjadi acuan dalam
tulisan ini. Penelitian ini dinyatakan selesai jika data dalam kondisi jenuh, yaitu
saat peneliti menanyakan kepada informan yang diwawancarai tentang informan
lain yang direkomendasikan, jawabannya tetap berkisar pada informan-informan
sebelumnya yang sudah penulis wawancarai.
3.3.1 Reduksi Data
Sebelum kegiatan analisis data dilakukan, seluruh data beserta maknanya
menurut informan telah dicatat dalam catatan lapang. Data selanjutnya disunting
untuk menentukan kelengkapan dan keabsahan data. Data yang tidak sesuai
dipisahkan, sehingga yang ada hanya data yang sesuai dengan pertanyaan
penelitian. Kelengkapan data diperoleh apabila data tersebut sudah bisa
menjawab masalah dan tujuan penelitian. Keabsahan data dicek ulang dengan
cara membandingkan antar data, mencari manakah data yang paling sesuai
dengan yang peneliti lihat di lapangan atau menemukan manakah yang paling
banyak kesamaan datanya. Peneliti juga melakukan wawancar