LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
EKSISTENSI DAN DINAMIKA TRANSFORMASI SERTA TIPOLOGI PETANI
SKALA KECIL
Oleh
Muhammad Iqbal
Deri Hidayat Yonas Hangga Saputra
Bambang Prasetyo
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2014
ix
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1. Rumah tangga petani (RTP) merupakan salah satu sumber daya
penting pendukung kelangsungan sektor pertanian. Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia RTP sebagai bagian dari
komunitas pertanian (agricultural “community” development) merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan
komoditas pertanian (agricultural “commodity” development).
2. Satu diantara sumber daya manusia RTP yang patut jadi perhatian adalah yang tergolong ke dalam kategori “gurem” dengan rataan
penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar (skala kecil). Kendati selama satu dasawarsa terakhir (2003-2013) terjadi transformasi
penurunan jumlah RTP gurem nasional sekitar 4,77 juta rumah tangga, eksistensi RTP gurem tersebut tetap harus diupayakan pengembangannya.
3. Upaya pengembangan RTP gurem dimulai dari deskripsi pemahaman terhadap eksistensi dan dinamika transformasinya. Salah satu jalur
masuk (entry point) untuk memahami deskripsi RTP gurem tersebut adalah melalui identifikasi tipologi (special kind of symbolism)
berdasarkan orientasi kegiatan usahataninya yaitu tipologi subsisten, tipologi komersial, dan tipologi transisi. Dari deskripsi pemahaman terhadap eksistensi dan dinamika transformasinya, intervensi
program pengembangan RTP gurem dapat diarahkan sesuai identifikasi keragaan tipologinya. Intervensi program pengembangan
RTP gurem seyogianya dilaksanakan secara kolektif melalui media organisasi kelompok tani.
Tujuan
4. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari
eksistensi dan dinamika transformasi serta tipologi petani tani skala kecil. Secara khusus, tujuannya adalah untuk: (1) mendeskripsikan
eksistensi dan transformasi petani skala kecil; (2) mengindentifikasi tipologi petani skala kecil berdasarkan orientasi kegiatan (subsisten,
komersial, dan transisi), berikut keberadaan organisasi kelompok tani terkait di dalamnya; dan (3) memberikan rekomendasi kebijakan pengembangan petani skala kecil.
METODOLOGI
5. Penelitian menggunakan metode survei deskriptif (descriptive survey method) yang dilaksanakan dalam bentuk pengamatan langsung
x
terhadap fenomena dan fakta mengenai eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem terkait dengan tipologinya. Tipologi
subsisten diwakili oleh RTP usahatani padi dan palawija. Sementara itu, tipologi komersial direpresentasikan oleh RTP usahatani hortikultura. Selanjutnya, tipologi transisi adalah representasi RTP
wilayah pinggiran kota (peri urban).
6. Penelitian dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat, tepatnya di
Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung. Pada tiap kabupaten dipilih kecamatan, desa, dan kelompok tani yang mewakili masing-
masing kriteria tipologi petani skala kecil. Pertama, tipologi subsisten adalah kelompok tani Ranca Kujang (Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut). Kedua, tipologi
komersial yakni kelompok tani Silih Reksa IV (Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut). Ketiga, tipologi transisi
yaitu kelompok tani Sugih Mukti (Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksistensi dan Dinamika Transformasi Petani Skala Kecil
7. Hasil sensus pertanian tahun 2013 (ST 2013) menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP di Indonesia tercatat
sebanyak 26,14 juta rumah tangga. Dari jumlah tersebut sekitar 25,75 juta rumah tangga (98,53%) merupakan rumah tangga petani (RTP) pengguna lahan pertanian. Baik jumlah RTUP maupun
banyaknya RTP pengguna lahan pertanian mengalami transformasi penurunan selama 10 tahun terakhir (2003-2013) masing-masing
sekitar 16,32 persen dan 15,35 persen. Transformasi penurunan jumlah RTP pengguna lahan pertanian membawa dampak pada
peningkatan luas penguasaan lahan pertanian dari 0,41 hektar per rumah tangga (2003) menjadi 0,89 hektar per rumah tangga (2013).
8. Jumlah RTP gurem tercatat 14,25 juta rumah tangga atau sekitar
55,33 persen dari jumlah RTP pengguna lahan pertanian nasional. Dinamika selama satu dasawarsa terakhir (2003-2013) menunjukkan
bahwa jumlah RTP gurem mengalami transformasi pengurangan absolut sebanyak 4,77 juta rumah tangga, atau rata-rata menurun
sekitar 2,51 persen per tahun.
9. Paralel dengan tingkat nasional, eksistensi dan transformasi RTP gurem bervariasi menurut tingkat wilayah baik regional, provinsi,
kabupaten/kota, maupun kecamatan (termasuk desa). Eksistensi jumlah RTP gurem di Jawa hampir tiga kali lipat dibandingkan di luar
Jawa. Transformasi penurunan jumlah RTP gurem di Jawa juga lebih besar dari pada transformasi penurunan jumlah RTP gurem di luar Jawa (28,24% vs. 15,75%).
xi
10. Eksistensi jumlah RTP gurem Provinsi Jawa Barat (3,4 juta rumah tangga) menempati urutan ketiga setelah Provinsi Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Sementara itu dinamika transformasi penurunan RTP gurem provinsi ini (34,37%) menempati urutan kedua setelah Jawa Tengah. Di lokasi penelitian, eksistensi jumlah RTP gurem di
Kabupaten Garut (209.813 rumah tangga) lebih tinggi dibandingkan di Kabupaten Bandung (114.213 rumah tangga). Sebaliknya, proporsi
penurunan RTP gurem Kabupaten Bandung (27,20%) lebih besar dari pada di Kabupaten Garut (19,37%).
11. Deskripsi eksistensi jumlah RTP gurem antar kecamatan contoh penelitian masing-masing 6.588 rumah tangga (Banyuresmi), 3.729 rumah tangga (Cigedug), dan 819 rumah tangga (Bojongsoang).
Proporsi jumlah RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan adalah 82,17 persen (Banyuresmi), 85,61 persen (Cigedug), dan 62,61
persen (Bojongsoang). Sementara itu, transformasi penurunan RTP gurem di Banyuresmi, Cigedug, dan Bojongsoang masing-masing 11,05 persen, 19,69 persen, dan 63,47 persen.
Tipologi Petani Skala Kecil
12. Berdasarkan kriteria tipologi petani yaitu subsisten, komersial, dan transisi yang diwakili oleh tiga kecamatan masing-masing
Banyuresmi, Cigedug, dan Bojongsoang dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, jumlah RTP gurem tertinggi berada pada tipologi subsisten, diikuti oleh tipologi komersial dan transisi. Kedua,
proporsi RTP gurem terbanyak adalah pada tipologi komersial, berikutnya tipologi subsisten dan tipologi transisi. Ketiga,
transformasi penurunan RTP gurem terbesar yaitu pada tipologi transisi, kemudian tipologi komersial dan tipologi subsisten.
13. Eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem tipologi transisi menunjukkan karakteristik yang khas sejalan dengan semakin berkurangnya jumlah rumah tangga pertanian. Sementara itu,
karakteristik RTP gurem tipologi subsisten dan tipologi komersial relatif tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan. Hasil
identifikasi menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan karakteristik mendasar diantara tipologi subsisten, komersial, dan
transisi.
14. Karakteristik tipologi subsisten ditandai dengan kecilnya luas penguasaan lahan yaitu masing-masing 0,42 (lahan sawah) dan 0,22
hektar (lahan kering). Petani yang tidak memiliki lahan (tuna lahan) baik lahan sawah maupun lahan kering masing-masing sekitar 44,44
persen dan 50 persen. Sebagian dari petani tersebut tergolong sebagai buruh tani. Kesempatan untuk menggarap lahan baik melalui pola bagi hasil atau sewa boleh dikatakan terbatas karena petani
xii
pemilik cenderung mengusahakan sendiri lahannya yang notabene skala luasannya cukup sempit. Umumnya panen padi sawah
dilakukan secara “tebasan” karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Sementara itu kebutuhan pokok (beras) umumnya dipenuhi dari pembelian dengan mengandalkan penjualan hasil
panen tanaman lahan kering.
15. Karakteristik tipologi komersial dicirikan oleh kegiatan usahatani yang
beorientasi pasar melalui dukungan kerjasama kemitraan usahatani tanaman kentang antara kelompok tani dengan perusahaan swasta
(PT Indofood Fritolay Makmur). Pola penguasaan lahan terdiri dari garapan milik dan garapan sewa (60% vs. 40%) dengan rataan luas masing-masing 1,65 hektar dan 1,10 hektar. Kendati rataan luas
garapan tersebut jauh di atas standar kategori gurem (<0,5 hektar), kerjasama kemitraan tersebut merepresentasikan keberhasilan.
Secara implisit keberhasilannya dapat dinikmati juga oleh RTP gurem, yaitu sebagai buruh tani pada kerjasama kemitraan tersebut yang notabene kegiatannya memerlukan tenaga kerja intensif.
16. Karakteristik tipologi transisi ditunjukkan oleh rendahnya proporsi petani pemilik penggarap (13,04%) dibandingkan petani penggarap
sewa (34,78%), bayar PBB (30,43%), dan bagi hasil (21,74%). Khusus untuk bayar PBB, petani penggarap membayarkan PBB
(Pajak Bumi dan Bangunan) lahan yang digarap dan kemudian semua hasil garapannya menjadi hak petani penggarap yang bersangkutan. Posisi petani penggarap (terutama penyakap) relatif
lemah karena lahan garapan sewaktu-waktu bisa diambil oleh pemilik untuk dialihfungsikan ke penggunaan non-pertanian.
17. Kecuali di tipologi komersial dan sebagian di tipologi subsisten, peran petani pemilik di tipologi transisi cukup menentukan dalam adopsi
teknologi pertanian. Jika persepsi pemilik ragu terhadap teknologi pertanian yang berimplikasi pada penurunan produktivitas, maka pemilik tersebut menolak untuk menerapkannya. Konsekuensinya,
petani penggarap mengikuti persepsi tersebut karena khawatir terhadap pemutusan hubungan kerja.
Keberadaan Organisasi Kelompok Tani
18. Rataan usia anggota kelompok tani berkorelasi dengan tipologi petaninya, dimana petani tipologi komersial lebih muda dibandingkan petani tipologi subsisten dan transisi. Secara asumtif, usahatani
komersial memerlukan tenaga kerja relatif muda untuk menggarap lahan usahatani secar insentif. Rata-rata usia anggota kelompok tani
tipologi subsisten, komersial, dan transisi masing-masing sekitar 55 tahun, 43 tahun, dan 56 tahun.
xiii
19. Secara ummum, ketertarikan generasi muda untuk terjun di bidang pertanian semakin menurun, terutama di tipologi transisi dan
sebagian di tipologi subsisten. Hal tersebut mengingat semakin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian. Khusus untuk tipologi transisi yang lokasinya berada dekat pertumbuhan ekonomi (peri urban) dengan maraknya alih fungsi lahan pertanian, generasi mudanya lebih banyak bekerja pada sektor non-pertanian dengan
peluang cukup banyak dibandingkan peluang bagi tipologi lain khususnya tipologi subsisten. Sementara itu minat generasi muda
tipologi komersial untuk terjun bekerja pada sektor pertanian relatif masih tinggi karena hasil kegiatan usahataninya cukup menguntungkan.
20. Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) dominan bukan
sebagai petani. Kondisi tersebut mengindikasikan kurang tertibnya administrasi kependudukan yang sekaligus dapat berdampak pada distorsi sasaran penerima manfaat program yang seharusnya untuk
petani tetapi jatuh kepada pihak lain.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dasar Kebijakan
21. Kebijakan pengembangan petani didasarkan pada kenyataan bahwa petani mempunyai peran sentral dan memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian. Pelaku utama
pembangunan pertanian adalah petani yang pada umumnya berusahatani pada lahan pertanian skala kecil dengan rataan kurang
dari 0,5 hektar, bahkan sebagian tidak memiliki lahan usahatani sendiri (petani penggarap dan buruh tani).
22. Posisi petani pada umumnya cukup lemah dalam memperoleh sarana produksi, pembiayaan usahatani, dan akses pasar. Selain itu, petani dihadapkan pada kecenderungan terjadinya perubahan iklim,
kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak
kepada petani.
Tujuan Kebijakan
23. Tujuan kebijakan pengembangan petani adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan petani dalam rangka meningkatkan
kualitas menuju kesejahteraan yang lebih baik. Disamping itu, tujuan lainnya adalah untuk: (1) melindungi petani dari kegagalan panen
dan risiko harga; (2) menyediakan prasarana dan sarana pertanian dalam mengembangkan usahatani sesuai dengan kebutuhan petani; (3) menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan pertanian
xiv
yang melayani kepentingan usahatani; (4) meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam
menjalankan usahatani yang produktif, maju, modern, bernilai tambah, berdaya saing, mempunyai akses dan pangsa pasar secara berkelanjutan; dan (5) memberikan kepastian hukum bagi
terselenggaranya usahatani secara kondusif.
Isu Kebijakan
24. Pengembangan rumah tangga petani (RTP) skala kecil (gurem)
seyogianya diimplementasikan berdasarkan tipologinya. Hal tersebut mengingat masing-masing tipologi memiliki perbedaan spesifikasi karakteristik eksistensi dan kebutuhan serta orientasi kegiatannya.
Pengembangan tersebut harus dimulai dari pengembangan kapasitas petani termasuk RTP gurem melalui pendidikan dan latihan (diklat),
baik teknis (pengelolaan usahatani) maupun non-teknis (manajerial) berlandaskan konsep agribisnis. Bantuan fisik untuk pembangunan komoditas dilaksanakan secara selektif. Hal tersebut mengingat
akselerasi pembangunan komoditas tergantung pada pengembangan komunitas.
25. Fokus pengembangan petani tipologi subsisten adalah melalui optimalisasi pemanfaatan lahan yang cenderung sempit. Tumpuan
pengembangan petani tipologi komersial yaitu dengan cara meningkatkan kerjasama kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak (terutama petani skala kecil). Sementara itu, inti
pengembangan petani tipologi transisi yakni berupa peningkatan kapasitas keterampilan dalam bidang yang menunjang usahatani
(off-farm) seperti alsintan (alat dan mesin pertanian).
26. Implementasi pengembangan petani adalah secara kolektif melalui
organisasi kelompok tani. Perlu dicatat bahwa kegiatan pengembangan tersebut seyogianya memperhatikan substansi status petani (pemilik dan penggarap). Disamping itu pengecekan KTP
petani seyogianya dilakukan dan bila perlu diiringi dengan pemberian kartu identitas petani guna mempermudah identifikasi dan ketepatan
implementasi kegiatan pengembangan komunitas petani dan komoditas pertaniannya.
xv
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................... ii EXECUTIVE SUMMARY ......................................................... iii
RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................... xv
DAFTAR TABEL ................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ................................................................ xviii DAFTAR KOTAK ................................................................... xvix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................. xx DAFTAR SINGKATAN ........................................................... xxi
I. PENDAHULUAN ............................................................ 1 1.1. Latar Belakang .................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................ 2 1.3. Tujuan Penelitian ................................................ 3
1.4. Keluaran Penelitian .............................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 5 2.1. Pengertian Petani Skala Kecil ............................... 6 2.2. Permasalahan yang Dihadapi Petani Skala Kecil ..... 7
2.3. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Kecil ....... 9
III. METODOLOGI ............................................................. 12 3.1. Kerangka Pemikiran ............................................ 12
3.2. Metode Penelitian ................................................ 13 3.4. Data dan Informasi Penelitian .............................. 13 3.4. Lokasi dan Jadwal Penelitian ................................ 14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................ 15
4.1. Eksistensi dan Dinamika Transformasi RTP Gurem 15 4.1.1. Nasional .................................................. 16
4.1.2. Provinsi Jawa Barat .................................. 20 4.1.3. Kabupaten Garut ..................................... 23 4.1.4. Kabupaten Bandung ................................ 25
4.2. Tipologi RTP Gurem ............................................ 27 4.2.1. Tipologi RTP Subsisten ............................. 27
4.2.1.1. Gambaran Umum ...................... 27 4.2.1.2. Pola Penguasaan Lahan ............. 28 4.2.1.3. Sistem Usahatani ...................... 30
4.2.2. Tipologi RTP Komersial ............................. 32 4.2.2.1. Gambaran Umum ...................... 33
xvi
4.2.2.2. Pola Penguasaan Lahan ............. 33 4.2.2.3. Sistem Usahatani ...................... 33
4.2.3. Tipologi RTP Transisi ................................ 38 4.2.3.1. Gambaran Umum ...................... 38 4.2.3.2. Pola Penguasaan Lahan ............. 38
4.2.3.3. Sistem Usahatani ...................... 42 4.3. Keberadaan Organisasi Kelompok Tani.................. 46
4.3.1. Kelompok Tani Tipologi Subsisten ............. 46 4.3.2. Kelompok Tani Tipologi Komersial ............. 49
4.3.3. Kelompok Tani Tipologi Transisi ............. 52 V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..................... 55
5.1. Kesimpulan ......................................................... 55 5.2. Rekomendasi Kebijakan ....................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 59 LAMPIRAN .......................................................................... 62
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1. Lokasi Penelitian Eksistensi dan Dinamika Transformasi
serta Tipologi Petani Skala Kecil .................................
14 4.1. Keragaan RTUP Nasional serta Jawa dan Luar Jawa,
2003 dan 2013 .........................................................
16 4.2. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian Nasional
serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013 .................
17 4.3. Keragaan RTP Gurem Nasional serta Jawa dan Luar
Jawa, 2003 dan 2013 ................................................
18
4.4. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan RTP Gurem di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten
Contoh Penelitian, 2003 dan 2013 ..............................
21 4.5. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian dan
RTP Gurem pada Kecamatan Contoh di Kabupaten
Garut, 2003 dan 2013 ...............................................
23 4.6. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan
RTP Gurem pada Kecamatan Contoh (Bojongsoang) di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013 ..........................
25
4.7. Hak dan Kewajiban Petani dan PT IFM dalam Kerjasama Kemitraan Budidaya Tanaman Kentang di Kabupaten Garut, 2014 .............................................
35
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
3.1. Kerangka Pemikiran Eksistensi dan Dinamika
Transformasi serta Tipologi Petani Skala Kecil ........
13 4.1. Proporsi Jumlah RTP Gurem terhadap Jumlah RTP
Pengguna Lahan Nasional dan Regional, 2013 ........
19 4.2. Proporsi RTP Gurem Nasional dan Regional, 2013 ... 19
4.3. Proporsi RTP Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2013 ... 22 4.4. Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Garut, 2013 ....... 24 4.5. Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Bandung, 2013 .. 26
xix
DAFTAR KOTAK
Kotak Halaman
4.1. Fenomena Penguasaan Lahan Pertanian di Desa
Cipicung ..................................................................
29 4.2. Sekilas Mengenai Komoditas Kentang di Kabupaten
Garut ......................................................................
34 4.2. Kiprah PT Indofood Fritolay Makmur di Kabupaten
Garut ......................................................................
35 4.4. Fenomena Tenaga Kerja Pertanian di Desa Cigedug ... 36 4.5. Ungkapan Keprihatinan Petani Gurem ....................... 42
4.6. Representasi Keengganan Generasi Muda Bekerja di Pertanian ................................................................
44
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Tabel
Halaman
1 Keragaan Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Indonesia, 2003 dan 2013 ...............................
62
2 Keragaan RTUP di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013 ..................................................................
63
3 Keragaan RTUP di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013
64
4 Keragaan RTUP di Kabupaten Bandung, 2003 dan
2013 ..................................................................
65 5 Rataan Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia
menurut Provinsi, 2003 dan 2013 ........................
66 6 Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan di
Gurem di Indonesia, 2003 dan 2013 ....................
67
7 Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013 ......
68
8 Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013 ..........
69
9 Keragaan RTP Pengguna Lahan dan Gurem di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013 ...................
71
10 Keragaan Kelompok Tani “Ranca Kujang”, Desa
Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, 2014 .........................
72
11 Keragaan Kelompok Tani “Silih Reksa IV”, Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut,
Provinsi Jawa Barat, 2014 ...................................
73 12 Keragaan Kelompok Tani “Sugih Mukti”, Desa
Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten
Bandung, Provinsi Jawa Barat, 2014 ....................
74 13 88 Jenis Pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk
(KTP) .................................................................
75
xxi
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
Balitbangda Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Balitsa Balai Penelitian Sayuran BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPP Balai Penyuluhan Pertanian BPPSDMP Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pertanian BPS Badan Pusat Statistik
BPTP Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DAS Daerah Aliran Sungai DIPA Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
DIY Daerah Istimewa Yogyakarta Diklat Pendidikan dan Latihan
DKI Daerah Khusus Ibukota Dkk Dan kawan-kawan DPTPH Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Et al et alibi (dan lain-lain) yang muncul dalam naskah FAO Food and Agriculture Organization
Gapoktan Gabungan kelompok tani Gapoktan Gabungan Kelompok Tani
GKP Gabah Kering Panen Gurem Istilah untuk rumah tangga petani pengguna lahan yang
menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar
IFAD International Fund for Agricultural Development IFM Indofood Fritolay Makmur
IFPRI International Food Policy Research Institute Jabar Jawa Barat
Jateng Jawa Tengah Jatim Jawa Timur JITUT Jaringan Irigasi Tingkat Usahatani
Kementan Kementerian Pertanian KK Kepala Keluarga
KPP-E Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KTP Kartu Tanda Penduduk
KUR Kredit Usaha Rakyat KUT Kredit Usaha Tani LAKIP Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
LKM Lembaga Keuangan Mikro MH Musim Hujan
MK I Musim Kemarau Pertama MK II Musim Kemarau Kedua MT Musim Tanam
NTP Nilai Tukar Petani PBB Perserikatan Bangsa Bangsa
xxii
PBB Pajak Bumi dan Bangunan Perda Peraturan Daerah
Perdes Peraturan Desa PLP2B Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Poktan Kelompok tani
PSE-KP Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian PT Perseroan Terbatas
PUAP Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan RI Republik Indonesia
RMU Rice Milling Unit RPTP Rencana Penelitian Tingkat Peneliti RT Rumah Tangga
RTP Rumah Tangga Petani RTRW Rencana Tata Ruang Wialayah
RTUP Rumah Tangga Usaha Pertanian RUU Rancangan Undang Undang SD Sekolah Dasar
SLPTT Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu SMA Sekolah Menengah Atas
SMP Sekolah Menengah Pertama SPOT Systeme Probatoire d'Observation de la Terre
SPP Survei Pendapatan Pertanian SRI System of Rice Intensification ST Sensus Tani (Sensus Pertanian)
SUSEDA Survei Sosial Ekonomi Daerah TA Tahun Anggaran
Tapin Tanam Pindah Tumbak Satuan lokal untuk luas lahan dengan ukuran sekitar 1.428
meter persegi atau 0,14 hektar (1 hektar sama dengan 700 tumbak)
UMK Upah Minimum Kabupaten
UN United Nations UPJA Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian
UU Undang Undang WB World Bank
WFP World Food Program
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam pasal 1 (bab ketentuan umum) Undang-undang Nomor 13
tahun 2013 (UU No. 13/2013) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani (Pemerintah RI, 2013) dijelaskan definisi tentang petani. Menurut
definisi tersebut, petani adalah:
“….warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan usahatani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan”.
Dari penjelasan di atas ada dua hal pokok yang perlu
digarisbawahi. Pertama, petani adalah perseorangan baik selaku kepala
keluarga maupun bukan sebagai kepala keluarga. Kedua, petani
merupakan perseorangan dan/atau berserta keluarganya. Oleh karena
itu, secara hakiki petani adalah representasi perseorangan dan rumah
tangga (petani, usahatani, pertanian, dan atribut sejenis yang melekat di
dalamnya) yang secara semantik berkonotasi tunggal (bukan jamak)
yaitu “petani dengan rumah tangganya” atau rumah tangga petani (RTP).
Penjabaran UU No. 13/2013 menjelaskan bahwa petani memiliki
peran sentral dan memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan
pembangunan pertanian. Petani disebut sebagai pelaku utama
pembangunan pertanian, tetapi hanya memiliki lahan pertanian dengan
rataan di bawah 0,5 hektar per petani. Sebagian dari petani tidak
memiliki lahan usahatani sendiri, atau disebut sebagai petani penggarap,
bahkan juga buruh tani. Petani pada umumnya mempunyai posisi yang
lemah dalam memperoleh sarana produksi, pembiayaan usahatani, dan
akses pasar.
Terlepas dari definisi dan penjabaran di atas yang selanjutnya
dimanifestasikan dalam bentuk perlindungan dan pemberdayaan petani
yang diatur oleh UU No. 13/2013, eksistensi petani harus dipahami
terlebih dahulu. Sejalan dengan itu, perubahan (transformasi) yang
2
mengiringi kehidupan petani itu sendiri juga tidak kalah pentingnya untuk
dipelajari. Salah satu jalur masuk (entry point) untuk memahami dan
mempelajari eksistensi dan transformasi tersebut adalah melalui
identifikasi tipologi (special kind of symbolism) petani.
1.2. Perumusan Masalah
Petani merupakan salah satu sumber daya penting pendukung
kelangsungan sektor pertanian. Oleh karena itu, pengembangan sumber
daya manusia petani sebagai bagian dari komunitas pertanian
(agricultural “community” development) merupakan elemen penting
dalam menunjang pembangunan komoditas pertanian (agricultural
“commodity” development).
Basis pengembangan sumber daya manusia petani adalah
pemahaman terhadap eksistensi berikut dinamika transformasi serta
tipologi yang melatarbelakanginya. Eksistensi sumber daya manusia
petani perlu dipahami melalui kondisi terkini, sedangkan dinamika
transformasinya patut dipelajari terkait dengan rentang perubahan antar
waktu. Salah satu refleksi eksistensi dan dinamika transformasi sumber
daya manusia petani di Indonesia dapat diamati dari Hasil Sensus
Pertanian (ST).
Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 (ST 2003) menunjukkan bahwa
jumlah rumah tangga pertanian tercatat sebanyak 31,23 juta. Sementara
itu, berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (ST 2013), eksistensi
jumlah rumah tangga pertanian berkurang menjadi 26,14 juta (BPS,
2013). Dengan demikian, selama kurun waktu satu dasawarsa (2003-
2013) terjadi transformasi pengurangan jumlah rumah tangga pertanian
sekitar 5,10 juta atau rata-rata mengalami penurunan sebesar 1,77
persen per tahun. Eksistensi dan dinamika transformasi tersebut
mencakup petani skala kecil yang proporsinya cukup besar yaitu sekitar
3
62,51 persen dan 55,33 persen masing-masing menurut hasil ST 2003
dan ST 2013.
Terjadinya pengurangan atau penurunan jumlah rumah tangga
pertanian termasuk skala kecil merupakan refleksi dari dinamika
transformasi dalam rumah tangga pertanian itu sendiri. Dinamika
transformasi tersebut perlu dipelajari mengingat bahwa sesungguhnya
petani tidak dapat dipandang hanya dari sisi absolut semata, melainkan
perlu ditelusuri melalui tipologi sekaligus permasalahan yang ada di
dalamnya.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini menjadi relevan untuk
dilaksanakan. Salah satu tipologi petani yang menjadi acuan adalah
terkait dengan orientasi kegiatannya yaitu tipologi subsisten, komersial,
dan transisi (IFAD, 2013). Dengan memahami tipologi petani, rancangan
dan implementasi program pembangunan pemerintah (government
intervention) termasuk bimbingan teknis (technical assistance)
diharapkan tepat sasaran, terutama bagi petani skala kecil (termasuk
buruh tani). Program dan bimbingan tersebut seyogianya tidak bersifat
individu melainkan secara kolektif dengan melibatkan organisasi petani
seperti kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan).
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari
eksistensi dan dinamika transformasi serta tipologi petani tani skala kecil.
Secara khusus, tujuannya adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan eksistensi dan transformasi petani skala kecil;
2. Mengindentifikasi tipologi petani skala kecil berdasarkan orientasi
kegiatan (subsisten, komersial, dan transisi), berikut keberadaan
organisasi kelompok tani terkait di dalamnya; dan
3. Memberikan rekomendasi kebijakan pengembangan petani skala kecil.
4
1.4. Keluaran Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan tujuan di atas, keluaran penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Deskripsi eksistensi dan transformasi petani skala kecil;
2. Identifikasi tipologi petani skala kecil berdasarkan orientasi kegiatan
(subsisten, komersial, dan transisi), berikut keberadaan organisasi
kelompok tani terkait di dalamnya; dan
3. Rekomendasi kebijakan pengembangan petani skala kecil.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
Di Indonesia, usaha pertanian didominasi oleh usahatani rumah
tangga. Boleh dikatakan, seluruh produksi bahan pangan domestik
dihasilkan oleh usahatani rumah tangga. Andil perusahaan pertanian
korporasi yang cukup signifikan hanyalah untuk beberapa komoditas
perkebunan dan peternakan seperti kelapa sawit, teh, dan ayam ras.
Oleh karena itu, kinerja sektor pertanian secara umum dan khususnya
keberhasilan pembangunan pertanian dalam mewujudkan tujuan
ketahanan pangan nasional dan meningkatnya pendapatan petani sangat
ditentukan oleh kinerja usahatani rumah tangga, termasuk skala kecil
(Lakollo, dkk., 2010).
Pertanian skala kecil semakin menjadi perhatian dunia terutama
semenjak PBB mengakui keberadaan dan peran pentingnya dalam
mengatasi krisis pangan dunia. Hal tersebut juga dikuatkan dalam pidato
Direktur Jenderal FAO pada acara the World Food Day pada tanggal 16
Oktober 2012 dengan topik “Small-Scale Farmers as A Key to Feeding the
World” (FAO, 2012). .
Di Indonesia, setelah menunggu lama, akhirnya pada tanggal 9
Juli 2013, Rancangan Undang Undang (RUU) Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 19
tahun 2013. (Pemerintah RI, 2013). Lahirnya UU tersebut disemangati
oleh kesadaran bahwa selama ini petani relatif belum memperoleh
perlindungan dan pemberdayaan sebagaimana mestinya, terutama petani
skala kecil.
Hakikat perlindungan dan pemberdayaan petani skala kecil paling
tidak seyogianya ditempuh melalui tiga langkah strategi. Pertama,
pemahaman terhadap pengertian atau definisi petani skala kecil. Kedua,
pengetahuan tentang permasalahan yang dihadapi petani skala kecil.
Ketiga, perencanaan terkait dengan intervensi perlindungan dan
pemberdayaan petani skala kecil.
6
2.1. Pengertian Petani Skala Kecil
Membahas usahatani rumah tangga tidak terlepas dari skala usaha
pertanian yang digeluti petani. Menurut von Braun (2004 dalam
Sumaryanto. 2009), lazimnya petani skala kecil yang selama ini diacu
terkait dengan "smallness" dari segi "size" lahan usahatani dan/atau
jumlah ternak yang dimiliki atau dikelola. Salah satu keterbatasan
pendefinisian seperti itu adalah tiadanya suatu ukuran yang dapat
berlaku umum (untuk semua wilayah dan jenis komoditas). Secara
umum, pada luasan usahatani yang sama, petani tanaman pangan tidak
sebanding dengan petani yang mengusahakan jenis tanaman pertanian
bernilai ekonomi tinggi dengan akses pasar yang sangat baik, begitupun
pada pertanian dengan lahan subur dan berpengairan teknis akan
berbeda dengan petani yang lahan usahataninya kurang subur dan tidak
terfasilitasi pengairan yang memadai.
Definisi lain tentang petani skala kecil paling tidak dapat ditinjau
dari dua sisi, yaitu sisi tenaga kerja dan sisi pendapatan (Narayanan and
Gulati, 2002). Dari sisi tenaga kerja, petani skala kecil adalah rumah
tangga yang mata pencaharian utamanya berusahatani dengan mayoritas
tenaga kerjanya berasal dari dalam keluarga. Sementara itu, dasi sisi
pendapatan, petani skala kecil lazimnya diasosiasikan dengan tingkat
pendapatan yang rendah. Oleh karena, sSecara teoritis terdapat
konvergensi antara skala usaha, tenaga kerja, penerapan teknologi,
akses pasar, dan pendapatan.
Hazel et al., (2007) mendefinisikan bahwa karakteristik petani
skala kecil adalah pelaku usahatani yang menggunakan tenaga kerja
dalam keluarga dengan orientasi subsisten atau menghasilkan kebutuhan
pangan pokok untuk rumah tangga sendiri. Karakteristik lainnya petani
skala kecil tersebut memiliki keterbatasan sumber daya seperti lahan,
modal, tenaga kerja, dan keterampilan (skills). Sementara itu, menurut
the World Bank’s Rural Development Strategy (WB, 2003 dalam Thapa
7
and Gaiha, 2014) basis luas lahan usahatani petani skala kecil adalah di
bawah 2 (dua) hektar. Hasil studi FAO menyimpulkan bahwa petani skala
kecil adalah pelaku usahatani tani dengan keterbatasan sumber daya
relatif terhadap petani lainnya (Thapa dan Gaiha, 2014).
Estimasi dari IFPRI (2007) menggambarkan bahwa sekitar 450
juta (87%) skala kecil dengan luas penguasaan lahan di bawah dua
hektar berada di kawasan Asia dan Pasifik. Posisi pertama dan kedua
ditempati oleh Tiongkok dan India dengan jumlah masing-masing 193
juta dan 93 juta. Negara Asia lainnya yang memiliki jumlah petani skala
kecil cukup banyak adalah Indonesia dan Bangladesh (masing-masing 17
juta) serta Viet Nam (10 juta).
Di Indonesia, secara ofisial Badan Pusat Statistik (BPS, 2014)
mendefiniskan bahwa petani skala kecil adalah yang menguasai lahan
pertanian kurang dari 0,5 hektar. Penguasaan lahan tersebut meliputi
satu atau lebih kegiatan kegiatan usaha tanaman padi, palawija,
hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, budidaya ikan/biota
lain di kolam air tawar/tambak air payau, dan penangkapan satwa liar.
Petani skala kecil tersebut selanjutnya diberi istilah “petani gurem”.
2.2. Permasalahan yang Dihadapi Petani Skala Kecil
Sampai saat ini, sektor pertanian masih berhubungan erat dengan
fenomena kemiskinan. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin
tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Permasalahan
yang terjadi pada sektor pertanian antara lain adalah semakin
meningkatnya jumlah rumah tangga di pedesaan sementara luas lahan
pertanian relatif tetap, atau bahkan mengecil. Menurut Sumaryanto
(2009), secara garis besar penyebab utama mengecilnya skala usahatani
terkait dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian yang jauh
lebih tinggi dibandingkan pertambahan luas areal pertanian baru,
konversi lahan pertanian ke non-pertanian, dan pewarisan. Dengan
8
usaha skala kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usahatani
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup kendati kegiatan
usahatani yang dijalankan sebetulnya relatif cukup menguntungkan.
Kenyataan menunjukkan bahwa sektor pertanian Indonesia
sebagian besar digeluti oleh petani dengan skala usahatani yang relatif
sempit (petani skala kecil). Hal tersebut sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Anantanyu (2008) dimana dengan skala usahatani
sempit dapat menghambat petani meningkatkan pendapatan sehingga
sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Masyarakat pertanian miskin selain
dicirikan oleh skala usahatani yang sempit juga memiliki keterbatasan
dalam hal infrastruktur serta aksesibilitas terhadap modal, teknologi,
informasi, dan pasar sehingga tingkat kapasitas petani dan produktivitas
usahatani (kususnya skala kecil) jadi rendah.
Sesuai dengan karakteristiknya, petani skala kecil memiliki
keterbatasan sumber daya seperti lahan, modal, tenaga kerja, dan
keterampilan (skills). Keterbatasan-keterbatasan tersebut sekaligus
menjadi permasalahan yang dihadapi oleh petani skala kecil.
Pertama, permasalahan terkait dengan keterbatasan terhadap
sumber daya lahan dapat ditunjukkan oleh fenomena dimana dengan
semakin bertambahnya jumlah rumah tangga tani maka rataan luas
penguasaan lahan usahatani juga semakin mengecil (Sumaryanto, 2009).
Kendati ada penambahan luas (pecetakan) lahan usahatani, kondisinya
tidak seimbang dengan pertumbuhan jumlah rumah tangga petani
disamping cukup maraknya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.
Kedua, dalam konteks kekinian, paling tidak petani skala kecil
dihadapkan pada dua tantangan utama, yaitu: (1) eksistensi rantai nilai
(value chain) perdagangan komoditas; dan (2) risiko dan ketidakpastian
terkait dengan degradasi lingkungan dan perubahan iklim (Rahman dan
Smolak, 2014). Kedua tantangan tersebut menjadi permasalahan kritis
9
bagi petani skala kecil terutama jika dikaitkan dengan keterbatasan
sumber daya modal yang dimiliki.
Ketiga, kendati jumlah keberadaan yang cukup banyak dengan
kuantitas ketersediaan tenaga kerja yang juga cukup besar, petani skala
kecil memiliki posisi lemah dalam proses negosiasi dengan pihak luar
(Toulmin, 2013).
Keempat, BPPSDMP (2011) mengisyaratkan bahwa secara umum
kualitas pelaku utama pembangunan pertanian masih tergolong rendah.
Dari segi pendidikan, dari total 39.035.692 orang petani, 39 persen
hanya tamat Sekolah Dasar (SD), 27 persen tidak/belum tamat SD, dan
bahkan sebanyak 9,7 persen tidak atau belum pernah sekolah.
Pendidikan petani yang rendah diposisikan sebagai permasalahan. Petani
skala kecil disebutkan memiliki pola pemikiran yang lemah, sehingga
pemerintah merasa perlu memajukan pola pikir petani yang lemah
tersebut. Upaya memajukan pola pikir tersebut penting mengingat sektor
pertanian cenderung bergerak ke arah sistem inovasi dan tekonologi baru
dengan tuntutan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi,
sehingga mensyaratkan tenaga kerja terdidik dan terampil (Arifin, 2013).
Satu lagi permasalahan yang cukup krusial terkait dengan
regenerasi petani. Hasil Sesnsus Pertanian tahun 2013 (BPS, 2014)
menunjukkan bahwa jumlah petani usia tua (>55 tahun) meningkat
cukup signifikan dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, sementara
jumlah petani usia muda (15-24 tahun) justru menurun. Konsisi tersebut
sekaligus mengiyaratkan bahwa kultur petani kian tergerus dan minat
generasi muda untuk menjadi petani semakin rendah.
2.3. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Skala Kecil
Saat ini secara umum penguasaan lahan yang sempit boleh
dikatakan tidak layak dijadikan sebagai sumber mata pencaharian
(livelihoods) petani skala kecil. Sebagian anggota keluarga petani skala
10
kecil beralih ke pekerjaan non-pertanian dan sebagian lagi seakan
terperangkap dalam kegiatan pertanian subsisten.
IFAD (2013) telah memberikan pedoman (guideline) intervensi
bantuan (support) terhadap petani skala kecil. Di dalamnya antara lain
mencakup: (1) upaya perbaikan kinerja pemasaran input dan output
pertanian, lahan, dan jasa keuangan untuk mengatasi kegagalan pasar
(market failure) yang cenderung diskriminasi terhadap petani skala kecil;
(2) peningkatan investasi dalam bidang penelitian dan pengembangan
(litbang) dan infrastruktur pedesaan berdasarkan kebutuhan petani
(termasuk petani skala kecil); (3) fasilitasi pengorganisasian petani skala
kecil dalam akses terhadap pasar; dan (4) pemberian insentif pada sektor
swasta agar lebih dekat dengan petani skala kecil. Cara terbaik dalam
pelaksanaan intervensi tersebut adalah melalui kerjasama antara pihak
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat ( private partnership)
seraya menciptakan dan mengembangkan kebijakan dan lingkungan
bisnis yang berpotensi untuk ditingkatkan dan dilanjutkan.
Pemerintah Indonesia juga sudah memberikan arahan yang sama
sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 13/2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Strategi perlindungan petani
(termasuk skala kecil) dilakukan melalui: (1) prasarana dan sarana
produksi pertanian; (2) kepastian usaha; (3) harga komoditas pertanian;
(4) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; (5) ganti rugi gagal panen
akibat kejadian luar biasa; (6) sistem peringatan dini dan penanganan
dampak perubahan iklim; dan (7) asuransi Pertanian. Sementara itu,
strategi pemberdayaan petani dilakukan dengan cara: (1) pendidikan dan
pelatihan; (2) penyuluhan dan pendampingan; (3) pengembangan sistem
dan sarana pemasaran hasil pertanian; (4) konsolidasi dan jaminan
luasan lahan pertanian; (5) penyediaan fasilitas pembiayaan dan
permodalan; (6) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan
informasi; dan (7) penguatan kelembagaan petani.
11
Kapasitas petani dalam berproduksi mesti digenjot melalui
peningkatan rataan luas penguasaan lahan. Disamping itu petani juga
harus mendapatkan fasilitasi berupa subsidi input dan output guna
membangkitkan gairah dalam berusahatani yang bernuansa agribisnis.
Aktivitas di luar usahatani (off-farm) seyogianya juga didorong. Hal
tersebut penting dalam rangka meningkatkan diversifikasi sumber
pedapatan, khususnya petani tanaman pangan agar tidak hanya
bertumpu pada kegiatan usahatani (on-farm) semata. Kondisi demikian
sejalan dengan pendapat van Braun (2004 dalam Sumaryanto, 2009)
dimana diversifikasi sumber pendapatan merupakan salah satu strategi
diantara berbagai strategi lainnya seperti spesialisasi dan komersialisasi
serta mencari tambahan pendapatan dari luar usahatani (part time
farmer).
12
III. METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini diilustrasikan pada Gambar 1.
Perlu disadari bahwa eksistensi petani skala kecil mengalami dinamika
transformasi seiring perjalanan waktu. Dalam penelitian ini, dinamika
yang diamati yaitu berdasarkan hasil ST 2003 dan ST 2013 (BPS, 2013).
Eksistensi dan dinamika transformasi petani skala kecil tidak hanya
dilihat secara absolut semata, melainkan perlu diperhatikan dari sisi
tipologinya. Mengacu pada IFAD (2013), tipologi petani skala kecil terdiri
dari tiga kriteria berikut:
1. Tipologi petani yang mengelola usahatani secara subsisten
(subsistence-oriented small farms) yang hanya menjual sebagian hasil
panennya untuk memperoleh pendapatan (cash income) tetapi selalu
membeli (net buyers) kebutuhan pangan sepanjang tahun.
2. Tipologi petani skala kecil komersial (commercial small-scale farmers)
yang sudah berhubungan dengan rantai nilai (value chains)
komoditas. Petani ini biasanya ada yang bekerja penuh atau paruh
waktu (full or part-time farmers) dalam mengelola usahataninya.
3. Tipologi petani skala kecil transisi (small-scale farmers in transition)
yang mengalami perubahan status karena ada peluang menjadi
pelaku kegiatan di luar usahatani (off-farm). Petani tersebut
cenderung merasa lebih baik keluar dari pekerjaan usahatani untuk
mendapatkan pendapatan dari kegiatan di luar usahatani.
Masing-masing tipologi di atas dicirikan oleh karakteristik yang
berbeda dan dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti gambaran umum,
pola penguasaan lahan, sistem usahatani, dan aspek terkait lainnya.
Secara institusional, tipologi tersebut dapat dikaitkan dengan keberadaan
kelompok tani (media organisasi petani). Dari eksistensi dinamika
transformasi tersebut, intervensi program pengembangan petani skala
13
kecil dapat diarahkan sesuai dengan masing-masing tipologinya.
Intervensi tersebut tentunya tidak diimplementasikan kepada petani
secara individu, melainkan dalam bentuk kolektif melalui kelompok tani.
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Eksistensi dan Dinamika Transformasi serta Tipologi Petani Skala Kecil
3.2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei
deskriptif (descriptive survey method). Survei dilaksanakan dalam bentuk
pengamatan langsung terhadap fenomena dan fakta mengenai eksistensi
dan dinamika transformasi petani skala kecil terkait dengan tipologinya.
Tipologi petani skala kecil di lokasi penelitian meliputi tiga kriteria.
Pertama, tipologi subsisten diwakili petani usahatani padi dan palawija.
Kedua, tipologi komersial direpresentasikan oleh petani usahatani
hortikultura. Ketiga, tipologi transisi adalah representasi petani wilayah
pinggiran kota (peri urban).
3.3. Data dan Informasi Penelitian
Data dan informasi berasal dari sumber primer dan sekunder. Data
dan informasi primer diperoleh melalui wawancara dengan petani
Subsisten
Komersial
Transisi
Eksistensi Petani
Skala Kecil
Dinamika Transformasi
Petani Skala Kecil
tipologi
ST 2003 vs ST 2013
Kelompok Tani
Karakteristik (gambaran umum, pola penguasaan lahan, dan
sistem usahatani)
Intervensi Pengembangan Petani Skala Kecil
14
anggota kelompok, petugas, dan pemangku kepentingan (stakeholders)
pertanian, serta pengamatan langsung di lokasi penelitian. Sementara itu,
data dan informasi sekunder dikumpulkan dari dokumentasi laporan pada
masing-masing intansi terkait. Selanjutnya, data dan infromasi yang
dikumpulkan dianalisis secara deskriptif.
3.4. Lokasi dan Jadwal Penelitian
Lokasi penelitian adalah Provinsi Jawa Barat. Provinsi ini
merupakan salah satu sentra produksi pertanian di Indonesia yang
memiliki ketiga kriteria tipologi petani skala kecil sesuai dengan fokus
penelitian ini. Pemilihan lokasi penelitian adalah berdasarkan telaahan
dokumentasi data dan informasi sekunder berikut masukan dari nara
sumber pada institusi terkait.
Dua kabupaten dipilih yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten
Bandung. Kabupaten Garut mewakili tipologi petani skala kecil subsisten
(padi dan palawija) dan komersial (hortikultura). Sementara itu,
Kabupaten Bandung merupakan representasi tipologi petani transisi
wilayah pertanian pinggiran kota. Pada tiap kabupaten dipilih kecamatan,
desa, dan kelompok tani yang mewakili masing-masing kriteria tipologi
petani skala kecil (Tabel 3.1). Jadwal penelitian adalah tanggal 4-11
Desember 2014.
Tabel 3.1. Lokasi Penelitian Eksistensi dan Dinamika Transformasi serta Tipologi
Petani Skala Kecil
No. Uraian Tipologi
Subsisten Komersial Transisi
1. Kabupaten Garut Garut Bandung
2. Kecamatan Banyuresmi Cigedug Bajongsoang
3. Desa Cipicung Cigedug Tegalluar
4. Kelompok tani Ranca Kujang Silih Reksa IV Sugih Mukti
5. Usahatani pokok Padi dan palawija Kentang Padi
15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini diawali dengan deskripsi tentang eksistensi dan dinamika
transformasi petani skala kecil. Berikutnya identifikasi tipologi petani
skala kecil baik menyangkut karakteristiknya maupun organisasi
kelembagaannya (kelompok tani).
Perlu digarisbawahi bahwa sesuai dengan definisi yang dikeluarkan
oleh (BPS, 2014), rumah tangga petani (RTP) skala kecil disebut sebagai
RTP “gurem” yang selanjutnya digunakan dalam pembahasan ini.
Terminologi “gurem” dipilih karena lebih bersifat ke-Indonesia-an dengan
kategori spesifik dan berbeda dengan kategori internasional serta
sekaligus bukan hanya semata terjemahan dari “small-scale farmers”.
Eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem berhubungan
dengan kondisi waktu tertentu dan perubahan yang terjadi antar waktu.
Acuan untuk itu adalah Hasil Sensus Pertanian (ST 2003 vs. ST 2013).
Sementara itu, tipologi RTP gurem berkorelasi dengan orientasi kegiatan
(subsisten, komersial, dan transisi).
4.1. Eksistensi dan Dinamika Transformasi RTP Gurem
Rumah tangga petani (RTP)1] gurem merupakan bagian dari RTP
pengguna lahan pertanian2] dan Rumah Tangga Usaha Pertanian
(RTUP)3]. Esksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem di Indonesia
bervariasi menurut wilayah baik regional (Jawa vs. luar Jawa) maupun
1] RTP (Rumah Tangga Petani) gurem yakni rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mengusai lahan kurang dari 0,5 hektar (BPS, 2014).
2] RTP pengguna lahan pertanian yaitu rumah tangga usaha pertanian yang melakukan satu atau lebih kegiatan usaha tanaman padi, palawija, hortikultura, perkebunan,
kehutanan, peternakan, budidaya ikan/biota lain di kolam air tawar/tambak air payau, dan penangkapan satwa liar (BPS, 2014).
3] Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) adalah rumah tangga yang salah satu atau
lebih anggota rumah tangganya mengelola usaha pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual, baik usaha pertanian milik sendiri, secara bagi hasil, atau milik orang lain dengan menerima upah, dalam hal ini termasuk jasa
pertanian (BPS, 2014).
16
provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Variasi tersebut berhubungan erat
dengan jumlah RTP pengguna lahan pertanian berikut ketersediaan lahan
pertanian itu sendiri. Dengan kata lain, semakin bertambah jumlah RTP
pengguna lahan pertanian sementara ketersediaan lahan pertanian
bersifat statis atau mengalami penurunan, maka jumlah RTP petani
gurem semakin meningkat. Data lengkapnya dapat diperhatikan pada
Lampiran Tabel 1 hingga Lampiran Tabel 9.
4.1.1. Nasional
Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 dan 2013 (ST
2003 dan ST 2013), jumlah RTUP di Indonesia masing-masing tercatat
sekitar 31,23 juta rumah tangga dan 26,13 juta rumah tangga (Tabel
4.1). Dengan kata lain, selama satu dasawarsa terakhir (2003-2013)
terjadi penurunan jumlah RTUP sekitar 5,10 juta rumah tangga
(16,32%). Secara regional, jumlah RTUP Jawa lebih tinggi dibandingkan
jumlah RTUP luar Jawa. Secara berurutan, jumlah RTUP lingkup provinsi
tertinggi hingga terendah di Jawa adalah Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta.
Tabel 4.1. Keragaan RTUP Nasional serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013
No. Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan
Absolut %
1. Jawa: 17.955.843 13.428.498 -4.527.345 -25,21
a. Banten 898.021 592.841 -305.180 -33,98
b. DKI Jakarta 52.583 12.287 -40.296 -76,63
c. Jawa Barat 4.345.148 3.058.612 -1.286.536 -29,61
d. Jawa Tengah 5.770.801 4.290.619 -1.480.182 -25,65
e. DI Yogyakarta 574.920 495.781 -79.139 -13,77
f. Jawa Timur 6.314.370 4.978.358 -1.336.012 -21,16
2. Luar Jawa 13.276.337 12.706.972 -569.365 -4,29
3. Indonesia 31.232.180 26.135.470 -5.096.710 -16,32
Sumber: BPS (2014)
Sebagai bagian dari RTUP, jumlah RTP pengguna lahan pertanian
juga berkurang dari 30,42 juta rumah tangga (ST 2003) menjadi 25,75
juta rumah tangga (ST 2013). Dengan kata lain, selama periode 10 tahun
17
terakhir (2003-2013) jumlah RTP pengguna lahan pertanian mengalami
penurunan sekitar 15,35 persen. Fenomena penurunan RPT pengguna
lahan pertanian baik regional maupun antar provinsi di Jawa berkorelasi
positif dengan fenomena yang terjadi pada RTUP (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian Nasional serta Jawa dan
Luar Jawa, 2003 dan 2013
No. Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan
Absolut %
1. Jawa: 17,624,598 13,323,005 -4,005,672 -24.41
a. Banten 875,287 584,259 -254,527 -33.25
b. DKI Jakarta 47,262 9,515 -36,817 -79.87
c. Jawa Barat 4,242,003 3,039,716 -1,203,674 -28.34
d. Jawa Tengah 5,697,473 4,262,608 -1,317,642 -25.18
e. DI Yogyakarta 573,092 495,401 -55,223 -13.56
f. Jawa Timur 6,189,481 4,931,506 -1,137,789 -20.32
2. Luar Jawa 12,794,984 12,428,262 -760,515 -2.87
3. Indonesia 30,419,582 25,751,267 -4,766,187 -15.35
Sumber: BPS (2014)
Secara nasional, transformasi penurunan RTP pengguna lahan
pertanian telah menimbulkan konsekuensi meningkatnya rataan
penguasaan lahan pertanian selama satu dasawarsa terakhir (2003-
2013), yaitu dari 0,41 hektar per rumah tangga menjadi 0,89 hektar per
rumah tangga, atau meningkat lebih dari 100 persen. Sebagai catatan,
transformasi peningkatan luas lahan pertanian per rumah di Jawa sedikit
lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa. Khusus untuk Provinsi Jawa Barat,
terjadi peningkatan luas penguasaan lahan dari 0,15 hektar per rumah
tangga (2003) menjadi 0,44 hektar per rumah tangga (2013). Akan
tetapi, tidak ada data konkret mengenai rataan penguasaan lahan
pertanian RTP gurem baik nasional, regional, antar provinsi, antar
kabupaten/kota, maupun antar kecamatan. Salah satu cara perhitungan
yang cukup representatif adalah melalui proksi dari proporsi jumlah RTP
gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian.
Eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem di Indonesia
disajikan pada Tabel 4.3. Pada tahun 2003, eksistensi jumlah petani
18
gurem adalah sekitar 19,02 juta rumah tangga, atau dengan proporsi
sekitar 62,51 persen dari jumlah RTP pengguna lahan pertanian nasional
(ST 2003). Kemudian pada tahun 2013, jumlah RTP gurem tersebut
berkurang menjadi 14,25 juta rumah tangga dengan penurunan proporsi
menjadi 55,33 persen (ST 2013).
Tabel 4.3. Keragaan RTP Gurem Nasional serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013
No. Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan
Absolut %
1. Jawa: 14.184.993 (80,48)
10.179.321 (76,40)
-4.005.672 -4,08
a. Banten 634.415
(72,48)
379.888
(65,02)
-254.527 -7,46
b. DKI Jakarta 45.428 (96,12)
8.611 (90,50)
-36.817 -5,62
c. Jawa Barat 3.501.867 (82,55)
2.298.193 (75,61)
-1.203.674 -6,95
d. Jawa Tengah 4,629,877 (81,26)
3,312,235 (77,70)
-1.317.642 -3,56
e. DI Yogyakarta 479.780
(83,72)
424.557
(85,70)
-55.223 1,98
f. Jawa Timur 4.893.626 (79,06)
3,755,837 (76,16)
-1.137.789 -2,90
2. Luar Jawa 4.830.058 (37,75)
4,069,543 (32,74)
-760.515 -5,01
3. Indonesia 19.015.051
(62,51)
14.248.864
(55,33)
-4.766.187 -7,18
Keterangan: ( ) persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian
Sumber: BPS (2014)
Secara regional, perbandingan eksistensi jumlah RTP gurem
antara Jawa dengan luar Jawa sangat signifikan. Demikian juga halnya
dengan proporsi RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian.
Secara absolut eksistensi jumlah RTP gurem Jawa hampir tiga kali lipat
eksistensi jumlah RTP luar Jawa dengan perbandingan proporsi dua
berbanding satu (Gambar 4.1).
19
Gambar 4.1. Proporsi Jumlah RTP Gurem terhadap Jumlah RTP Pengguna Lahan Nasional dan Regional, 2013 (Sumber: BPS, 2014)
Proporsi jumlah RTP gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan
pertanian tertinggi dan terendah di Jawa diwakili oleh Provinsi Jawa
Timur dan Provinsi DKI Jakarta (Gambar 4.2). Perlu dikemukakan bahwa
eksistensi RTP gurem di Provinsi DKI Jakarta sudah mendekati ambang
“kelangkaan”. Umumnya RTP gurem di provinsi tersebut berada di
wilayah pinggiran kota (peri-urban).
Gambar 4.2. Proporsi RTP Gurem Nasional dan Regional, 2013 (Sumber: BPS, 2013)
Selama satu dasawarsa terakhir (2002-2010), secara absolut
jumlah RTP gurem Indonesia mengalami transformasi penurunan agregat
82,53%
36,07%
62,51%
78,45%
31,61%
55,33%
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Jawa Luar Jawa Indonesia
ST 2003ST 2013
Banten (2.67%)
DKI Jakarta (0.06%) Jawa Barat
(16.13%)
Jawa Tengah (23.25%)
DI Yoyakarta (2.98%)
Jawa Timur (26.36%)
Luar Jawa (31.23%)
20
sekitar 4,77 juta rumah tangga (25,07%). Dengan kata lain, selama
periode tersebut telah terjadi dinamika transformasi penurunan jumlah
RTP gurem nasional tahunan sekitar 476.619 rumah tangga atau rata-
rata 2,51 persen per tahun. Sementara itu, agregasi transformasi
penurunan RTP gurem regional adalah 400.567 rumah tangga (2,82%) di
Jawa dan 76.052 rumah tangga (1,57%) di luar Jawa. Dengan kata lain,
secara absolut terdapat ketimpangan transformasi penurunan RTP
regional (Jawa vs. luar Jawa), wlaupun perbandingan persentase
perubahannya relatif tidak begitu menyolok.
Kendati secara agregat terjadi transformasi penurunan jumlah RTP
gurem di Jawa, satu pengecualian ditemukan di Provinsi DI Yogyakarta.
Secara absolut eksistensi jumlah RTP gurem di provinsi tersebut
mengalami penurunan cukup rendah yaitu sekitar 55.223 rumah tangga,
namun proporsi jumlahnya terhadap jumlah RTP pengguna lahan
pertanian setempat mengalami peningkatan secara tipis yaitu 1,98
persen. Dinamika transformasi penurunan jumlah RTP gurem di Provinsi
DI Yogyakarta sedikit berada di atas posisi Provinsi DKI Jakarta tetapi
jauh dibawah keberadaan provinsi lainnya di Jawa (khususnya Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur).
4.1.2. Provinsi Jawa Barat
Eksistensi dan transformasi RTUP, RTP pengguna lahan pertanian,
dan RTP gurem di Provinsi Jawa Barat dan kabupaten contoh penelitian
disarikan pada Tabel 4.4. Provinsi Jawa Barat menempati peringkat
ketiga terbanyak dalam hal jumlah RTUP, RTP pengguna lahan pertanian,
dan RTP gurem di Indonesia, yakni setelah Provinsi Jawa Timur dan
Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan hasil ST 2003 dan ST 2013, proporsi jumlah RTP
pengguna lahan pertanian terhadap jumlah RTUP di Provinsi Jawa Barat
masing-masing sekitar 97,63 persen dan 99,38 persen (BPS Jawa Barat,
21
2014). Selama periode 10 tahun terakhir (2003-2004), jumlah RTUP dan
RTP pengguna lahan pertanian di provinsi ini mengalami penurunan
absolut masing-masing sekitar 1.202.287 rumah tangga (28,34%) dan
1.203.674 rumah tangga (34,37%).
Tabel 4.4. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan RTP Gurem di Provinsi
Jawa Barat dan Kabupaten Contoh Penelitian, 2003 dan 2013
No, Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan
Absolut %
1, RTUP:
a. Provinsi Jawa Barat 4.345.148 3.058.612 -1.286.536 -29,61
b. Kabupaten Garut 320.242 268.628 -51.614 -16,12
c. Kabupaten Bandung 186.663 141.553 -45.110 -24,17
2. RTP pengguna lahan:
a. Provinsi Jawa Barat 4.242.003 3.039.716 -1.202.287 -28,34
b. Kabupaten Garut 315.688 268.177 -47.511 -15,05
c. Kabupaten Bandung 178.056 141.747 -36.309 -20,39
3. RTP gurem:
a. Provinsi Jawa Barat 3.501.867 (82,55)
2.298.193 (75,61)
-1.203.674 -6,95
b. Kabupaten Garut 260.219 (82,43)
209.813 (78,24)
-50.406 -4,19
c. Kabupaten Bandung 156.889
(88,11)
114.213
(80,58)
-42.676 -7,54
Keterangan: ( ) adalah persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian
Sumber: BPS (2014). BPS Jawa Barat (2014). BPS Kabupaten Garut (2014). dan BPS Kabupaten Bandung (2014)
Eksistensi RTUP maupun RTP pengguna lahan pertanian di
kabupaten contoh penelitian (Bandung dan Garut) menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan karena jumlah RTP dan ketersediaan
lahan di masing-masing kabupaten contoh penelitian tersebut juga
berbeda. RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian di Kabupaten Garut
mengalami penurunan absolut selama kurun waktu 10 tahun terakhir
(2003-2013), yaitu masing-masing sekitar 51,614 rumah tangga
(16,12%) dan 47,511 rumah tangga (15,05%). Kendati penurunan
absolut RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian di Kabupaten Bandung
sedikit lebih rendah (45.110 RT dan 36.309 RT), proporsi penurunannya
lebih tinggi (24,17% dan 20,39%) dibandingkan dengan fenomena yang
sama di Kabupaten Garut. Posisi Kabupaten Garut dan Kabupaten
22
Bandung berada ditengah-tengah diantara RTUP dan RTP pengguna
lahan pertanian tertinggi dan terendah di Provinsi Jawa Barat yang
masing-masing diwakili oleh Kabupaten Sukabumi dan Kota Cimahi.
Eksistensi jumlah jumlah RTP gurem di Provinsi Jawa Barat
masing-masing tercatat sekitar 3,50 juta rumah tangga (ST 2003) dan
2,30 juta rumah tangga (ST 2013). Sementara itu, proporsi jumlah RTP
gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian di provinsi ini
masing-masing sebesar 82,55 persen persen dan 75,62 persen (ST 2003
vs. ST 2013). Selama kurun waktu 2003 hingga 2013, transformasi
penurunan absolut RTP gurem di provinsi ini terhitung sekitar 1,20 juta
rumah tangga atau dengan penurunan proporsi terhadap RTP pengguna
lahan pertanian sebesar 6,95 persen. Secara ringkas proporsi jumlah RTP
gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian terkini (ST 2013)
dapat diperhatikan pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Proporsi RTP Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2013 (Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2014)
Eksistensi jumlah RTP gurem di Kabupaten Garut lebih tinggi
dibandingkan dengan aspek yang sama di Kabupaten Bandung. Selama
satu dasawarsa terakhir (2003-2013) transformasi RTP gurem di kedua
kabupaten contoh tersebut mengalami dinamika penurunan secara
absolut masing-masing 50.406 rumah tangga di Kabupaten Garut dan
Kota Depok (93.92%)
Kabupaten Bandung (80.58%)
Kabupaten Garut (78.24%)
Kabupaten Karawang (53.06%)
Kabupaten/Kota Lainnya (78.99%)
Provinsi Jawa Barat (75.61%)
23
42.676 rumah tangga di Kabupaten Bandung, atau dengan proporsi
penurunan sekitar 4,19 persen (Kabupaten Garut) dan 7,54 persen
(Kabupaten Garut). Sebagai catatan, eksistensi jumlah RTP gurem paling
banyak dan paling sedikit di Provinsi Jawa Barat masing-masing diwakili
oleh Kabupaten Sukabumi dan Kota Cimahi. Akan tetapi, transformasi
penurunan proporsi RTP gurem terendah dan tertinggi di provinsi ini
terdapat di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bandung Barat.
4.1.3. Kabupaten Garut
Eksistensi RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian pada
kecamatan contoh penelitian di Kabupaten Garut berbeda dimana
keragaan jumlahnya di Kecamatan Banyuresmi lebih tinggi dari pada
keragaan jumlah yang ada di Kecamatan Cigedug. Sebaliknya. secara
absolut dan proporsional. penurunan jumlah RTUP dan RTP pengguna
lahan pertanian di Kecamatan Cigedug lebih tinggi dibandingkan dengan
aspek serupa di Kecamatan Banyuresmi (Tabel 4.5).
Tabel 4.5. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian dan RTP Gurem pada
Kecamatan Contoh di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013
No. Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan
Absolut %
1. RTUP:
a. Kecamatan Banyuresmi 8.656 8.024 -632 -7,30
b. Kecamatan Cigedug 5.182 4.356 -826 -15,94
2. RTP pengguna lahan:
a. Kecamatan Banyuresmi 8.624 8.018 -606 -7,03
b. Kabupaten Bandung 5.185 4.356 -829 -15,99
3. RTP gurem:
a. Kecamatan Banyuresmi 7.406 (85,88)
6.588 (82.17)
-818 -3,71
b. Kecamatan Cigedug 4.643
(89,55)
3.729
(85,61)
-914 -3,94
Keterangan: ( ) adalah persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)
Eksistensi jumlah dan proporsi RTP gurem di Kecamatan Cigedug
lebih tinggi dari pada eksistensi jumlah dan proporsi RTP gurem di
Kecamatan Banyuresmi. Kondisi tersebut berbanding lurus dengan
24
perubahan absolut dan proporsinya. Selama 10 tahun terakhir (2003-
2013), jumlah dan proporsi RTP gurem mengalami dinamika transformasi
penurunan masing-masing 914 rumah tangga (3,94%) di Kecamatan
Cigedug serta 818 rumah tangga (3,71%) di Kecamatan Banyuresmi.
Perlu dikemukakan bahwa proporsi RTP gurem paling tinggi dan paling
rendah di Kabupaten Garut masing-masing terdapat di Kecamatan Garut
Kota dan Kecamatan Cibalong (Gambar 4.4).
Gambar 4.4. Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Garut, 2013 (Sumber: BPS Kabupaten
Garut, 2013)
Kendati proporsi RTP gurem di Kecamatan Cigedug lebih tinggi
dari pada proporsi RTP gurem di Kecamatan Banyuresmi, kedua
kecamatan contoh tersebut memiliki perbedaan terutama dari aspek
agroekosistem dan sistem usahatani. Kecamatan Banyuresmi mewakili
agroekosistem lahan basah dan lahan kering dataran rendah dengan
usahatani pokok tanaman pangan (padi dan palawija) sedangkan
Kecamatan Cigedug merupakan representasi agroekosistem lahan kering
dataran tinggi dengan usahatani pokok tanaman hortikultura (sayuran).
Kendati sama-sama berstatus RTP gurem, orientasi kegiatannya relatif
berbeda dimana RTP gurem di Kecamatan Cigedung lebih bersifat
komersial sementara RTP gurem di Kecamatan Banyuresmi cenderung ke
arah subsisten.
Garut Kota (90,28%)
Cibalong (46,03%)
Cigedug (85,61%)
Banyuresmi (82,17%)
Kecamatan Lainnya
(79,02% )
Kabupaten Garut
(79,24%)
25
4.1.4. Kabupaten Bandung
Eksistensi dan transformasi RTUP, RTP pengguna lahan pertanian,
dan RTP gurem di kecamatan contoh penelitian (Bojongsoang) dapat
diperhatikan pada Tabel 4.6. Baik jumlah RTUP maupun jumlah RTP
pengguna lahan pertanian di kecamatan tersebut tergolong rendah
dibandingkan dengan yang terdapat pada kecamatan-kecamatan lainnya.
Sebagai catatan. perubahan jumlah RTUP dan RTP pengguna lahan
pertanian Kecamatan Bojongsoang merupakan yang tertinggi di seluruh
Kabupaten Bandung.
Tabel 4.6. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan RTP Gurem pada
Kecamatan Contoh (Bojongsoang) di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013
No. Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan
Absolut %
1. RTUP
3.790
1.308 -2.482 -65.49
2. RTP pengguna lahan pertanian 2.730
1.308 -1.422 -52.09
3. RTP gurem 2.242
(82.12)
819
(62.61)
-1.423 -19.51
Keterangan: ( ) adalah persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian
Sumber: BPS Kabupaten Bandung (2014)
Kendati proporsi jumlah RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan
pertanian di Kecamatan Bojongsoang termasuk rendah dibandingkan di
kecamatan-kecamatan lainnya, akan tetapi transformasi penurunan
proporsinya paling tinggi di Kabupaten Bandung (Gambar 4.5). Tingginya
transformasi penurunan proporsi jumlah petani gurem di kecamatan
tersebut karena sebagian petani beralih (transisi) dari pekerjaan sektor
pertanian ke pekerjaan non-pertanian.
26
Gambar 4.5. Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Bandung, 2013 (Sumber: BPS Kabupaten Bandung, 2013)
Kondisi di atas terutama dilatarbelakangi oleh cukup maraknya alih
fungsi lahan di kecamatan setempat sehingga sebagian dari petani
(terutama generasi muda) meninggalkan pekerjaan pertanian dengan
cara mencari pekerjaan non-pertanian di kota (Bandung). Sebagai
catatan, secara administratif Kecamatan Bojongsoang merupakan wilayah
pinggiran kota (peri urban) yang berbatasan langsung dengan Kota
Bandung, dekat jalan bebas hambatan (toll way) antara Buah Batu dan
Kota Bandung, dengan geliat pembangunan yang cukup gencar
(progressive) termasuk dalam memanfaatkan lahan pertanian setempat.
Dari uraian di atas, secara umum dapat dikemukakan bahwa
eksistensi jumlah RTP gurem di Indonesia baik di tingkat nasional,
regional, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan (termasuk desa)
cukup tinggi dengan proporsi agregat di atas 70 persen dari jumlah RTP
pengguna lahan pertanian. Sebagai perbandingan, proporsi Jawa dan
luar Jawa relatif cukup timpang (58,92% vs. 35,25%).
Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir (2003-2013),
transformasi jumlah RTP gurem menunjukkan dinamika penurunan RPT
gurem dengan agregasi sekitar 7 persen. Ada beberapa indikasi terkait
Margahayu (91,29%)
Bojongsoang (62,61%)
Kecamatan Lainnya
(79,43%)
Kabupaten Bandung
(80,68%)
27
transformasi penurunan jumlah RTP gurem tersebut. Pertama, pada
tingkat nasional ada kecenderungan bahwa transformasi pengurangan
jumlah RPT gurem relatif menimbulkan transformasi penambahan jumlah
RPT bukan gurem. Kedua, pada tingkat regional terdapat peluang
perubahan status (mutasi) RPT gurem usahatani tanaman pangan ke
usahatani perkebunan pada wilayah-wilayah sentra perkebunan seperti di
Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain. Ketiga, pada tingkat
kabupaten/kota dan kecamatan (termasuk desa), transformasi
penurunan RTP gurem cenderung menjadikan anggota keluarga
meninggalkan pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian.
Kecenderungan tersebut lebih memungkinkan terjadi pada kalangan
generasi muda terutama di lokasi-lokasi dekat pertumbuhan ekonomi.
Fenomena tersebut perlu dikaji lebih jauh karena luasnya bentangan
geografis Indonesia dengan ragam karakteristik antar wilayah.
4.2. Tipologi RTP Gurem
Tipologi RTP gurem dibahas dalam sub-bab berikut dengan fokus
pada keragaan karakteristik pada masing-masing lokasi penelitian.
Karakteristik tersebut meliputi gambaran umum, pola penguasaan lahan,
dan sistem usaha pertanian. Di dalamnya sekaligus termasuk keberadaan
organisasi kelompok tani.
4.2.1. Tipologi RTP Subsisten
Tipologi RTP gurem subsisten dalam penelitian ini diwakili oleh
Kecamatan Banyuresmi (Kabupaten Garut), tepatnya di Desa Cipicung.
Kelompok tani contoh yang diambil adalah “Ranca Kujang”.
4.2.1.1. Gambaran Umum
Kecamatan Banyuresmi merupakan salah satu dari 42 kecamatan
di Kabupaten Garut. Kecamatan tersebut memiliki wilayah administratif
seluas 5.183 hektar dimana sekitar 3.200 hektar (62%) difungsikan untuk
28
lahan pertanian (sawah, tegalan/lahan kering, dan kebun campuran (BPP
Banyuresmi, 2014). Satu diantara 15 desa di Kecamatan Banyuresmi
dijadikan sebagai contoh penelitian. Desa tersebut adalah Cipicung yang
memiliki lahan sawah dan tegalan/lahan kering masing-masing dengan
luasan sekitar 50 hektar dan 90 hektar.
Sawah di Desa Cipicung tergolong jenis tadah hujan dengan pola
tanam padi-padi-bera. Dengan kata lain, tanaman padi dibudidayakan
dua kali setahun yaitu pada musim hujan/MH (November/Desember-
Maret/April) dan musim kemarau (April/Mei-Juli/Agustus). Sistem tanam
padi adalah secara tapin (tanam pindah) dari persemaian. Tahun 2015
sebagian lahan sawah direncanakan untuk ditanami kedelai pada MK I,
sehingga pola tanamnya menjadi padi-kedelai-bera dan sebagian lagi
tetap padi-padi-padi. Sementara itu, pola tanam pada lahan kering
adalah jagung-jagung-kedelai.
4.2.1.2. Pola Penguasaan Lahan
Satuan ukuran lahan di Desa Cipicung adalah “tumbak”4]. Rataan
penguasaan lahan sawah di desa ini adalah di bawah 0,5 hektar per
rumah tangga petani. Dengan kata lain, penguasaan lahan di Desa
Cipicung termasuk kategori sempit (Kotak 4.1).
Pola penguasaan lahan terdiri dari garapan milik dan garapan
bukan milik (sakap/bagi hasil dan sewa). Pemilikan lahan umumnya
berasal dari warisan dan proses jual beli. Pola sakap/bagi hasil yang
umumnya diterapkan adalah pemilik mendapatkan dua pertiga bagian
(70%) sedangkan penggarap memperoleh sepertiga porsi (30%).
Implementasinya, semua biaya sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida,
dsb.) ditanggung oleh pemilik. Setelah panen, semua biaya sarana
produksi tersebut diperhitungkan menjadi bagian dari bagi hasil, sisanya
4] Tumbak adalah satuan lokal untuk luas lahan dengan ukuran sekitar 1.428 meter
persegi atau 0,14 hektar (1 hektar ekivalen 700 tumbak)
29
dibagi dua antara pemilik dan penggarap. Sementara itu, sewa lahan
biasanya hanya berlaku untuk sawah. Besaran nilai sewa lahan sawah
adalah Rp 4.000 per tumbak per musim tanam atau sekitar Rp 2,8 juta
per hektar per musim tanam.
Kotak 4.1. Fenomena Penguasaan Lahan Pertanian di Desa Cipicung
Sempitnya penguasaan lahan sawah membuat sebagian petani di Desa Cipicung mencari pekerjaan sambilan seperti buruh pembuatan batu bata (rataan kapasitas 600 batu bata/orang/hari). Sebagai catatan, di desa
setempat ada tiga lokasi pembuatan batu bata. Sebagian lagi (terutama anak muda usia dibawah 30 tahun) bekerja di industri air mineral, pembuatan sosis, dan peternakan ayam, serta bangunan dan transportasi
ojeg. Hanya sekitar 5-10 persen anak muda (usia di bawah 40 tahun) di desa ini yang bekerja pada sektor pertanian.
Sebagian warga juga ada yang migrasi musiman ke Jakarta dan Bandung menjadi pedagang asongan dan tukang sol sepatu. Migrasi tersebut dikenal dengan istilah “murba” yang kegiatannya biasa
dilaksanakan pada saat menunggu panen padi tiba. Sebagai catatan, pekerja dari Garut yang cukup dikenal di beberapa kota dengan embel-
embel “Asgar (Asli Garut)” sebagian besar berasal dari Kecamatan Banyuresmi (termasuk Desa Cipicung).
Harga lahan sawah di Desa Cipicung berikisar antara Rp 1-10 juta
per tumbak (sekitar Rp 700 juta/hektar hingga Rp 7 milyar/hektar).
Variasi harga lahan sawah tersebut tergantung lokasi keberadaanya.
Dengan harga sebesar itu, sebagian petani setempat merasa tergiur
untuk menjual lahan (alih fungsi lahan).
Fenomena alih fungsi lahan relatif cukup marak terjadi di Desa
Cipicung, khususnya selama tiga tahun terakhir. Faktor pemicunya antara
lain karena: (1) implementasi pola warisan; (2) untuk biaya naik haji; dan
(3) tawaran pengembang (developer) perumahan. Sebagai catatan,
sekitar tiga hektar lahan sawah di desa ini telah beralih fungsi menjadi
perumahan “Rabain” dengan harga jual sekitar Rp 3 juta per tumbak (Rp
2,1 milyar/ha). Kendati ada wacana penerapan Perda (Peraturan Daerah)
tentang PLP2B (Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan),
namun implementasinya baru pada tahap sosialisasi.
30
4.2.1.3. Sistem Usahatani
Usahatani pokok di Desa Cipicung adalah padi dan palawija
(Jagung dan kedelai). Varietas padi yang banyak ditanam petani di desa
setampat adalah Ciherang (MH) dan Sarinah (MK I). Sementara itu untuk
varietas jagung dan kedelai masing-masing Hibrida Pioner dan Grobogan
yang dominan dibudidayakan pada lahan kering (tegalan).
Jumlah penggunaan benih padi adalah sekitar tiga kilogram per
100 tumbak (sekitar 20 kg/ha). Jenis dan dosis pupuk yang biasa
digunakan petani adalah urea (100 kg/hektar) dan ponska (300
kg/hektar). Harga pupuk masing-masing untuk urea (Rp 2.100/kg) dan
ponska (Rp 2.900/kg).
Secara perhitungan kasar, upah jasa traktor untuk pengolahan
lahan adalah sekitar Rp 2,1 juta per hektar (Rp 3.000/tumbak). Upah
tenaga kerja5] untuk pengolahan lahan lainnya (cangkul, dsb.) yaitu Rp
800 ribu per hektar. Upah tanam dan penyiangan masing-masing sekitar
Rp 1 juta per hektar. Biaya pupuk dan pestisida sekitar Rp 2,5 juta per
hektar. Total biaya usahatani padi adalah sekitar Rp 6-7 juta per hektar.
Rataan produktivitas padi (gabah kering panen/GKP) pada MH
dan MK di Desa Cipicung masing-masing sekitar 7-8 kwintal per 100
tumbak (5,3 ton/ha) dan 5-6 kwintal per 100 tumbak (3,9 ton/ha).
Sebagai catatan, produktivitas padi di desa setempat termasuk kategori
rendah karena cukup tingginya intenstas serangan hama tikus, terutama
selama tiga musim tanam terakhir.
Dengan harga gabah GKP berkisar antara Rp 3.800 sampai dengan
Rp 4.000 per kilogram, maka akan diperoleh penerimaan (pendapatan
kotor) sekitar Rp 2.128.000 hingga Rp 3.200.000 per 100 tumbak per
5] Upah harian buruh tani di Desa Cipicung adalah sekitar Rp 30 ribu per orang per hari
(laki-laki) dan Rp 20 ribu per orang per hari (perempuan). Pekerjaan berlangsung sekitar 4-5 jam per hari (dapat makan). Sementara itu kalau upah harian lepas (tanpa makan) untuk buruh tani laki-laki (Rp 45 ribu/orang/hari) dan perempuan (Rp
35 ribu/orang/hari) dengan lama jam kerja yang sama (4-5 jam/hari).
31
musim musim (Rp 14,9-17,6 juta/hektar/MT). Akan tetapi penerimaan
tersebut masih dipotong biaya lainnya seperti bagi hasil dan sewa lahan.
Hal tersebut mengingat petani di lokasi penelitian banyak yang tidak
memiliki lahan (petani penggarap), apalagi luas lahan yang digarap
umumnya sempit (<0,5 ha). Kendati perhitungannya belum rinci, namun
dapat digarisbawahi bahwa pendapatan riil petani dari usahatani padi
dengan luasan sempit tersebut masih tergolong kategori rendah (pas-
pasan). Konsekuensinya, petani cenderung segera menjual hasil
panennya secara tebasan karena desakan kebutuhan ekonomi rumah
tangga. Kebutuhan pokok (beras) umumnya dipenuhi dari pembelian
dengan mengandalkan penjualan hasil tanaman lahan kering.
Panen padi di Desa Cipicung banyak dilakukan secara sistem
“tebasan” karena petani memerlukan uang yang sifatnya mendesak. Nilai
tebasan berkisar antara Rp 1,6-2 juta per 100 tumbak (sekitar Rp 12
juta/ha). Penebas biasanya pelaku perdagangan (bandar) lama dan baru
(dadakan). Biasanya petani lebih menyukai bandar baru dibandingkan
bandar lama karena harganya relatif sedikit lebih mahal. Sebagai catatan,
penebas berasal dari lokasi setempat.
Keberadaan lahan kering (tegalan) di Desa Cipicung relatif sedikit
lebih luas dibandingkan lahan sawah. Jenis tanaman yang umumnya
dibudidayakan pada lahan kering adalah jagung (2 musim tanam/tahun)
dan kacang-kacangan (kacang panjang, kedelai, dll.). Khusus untuk
kedelai, jenis tanaman ini relatif belum menunjukkan hasil yang optimal
(masih bersifat untung-untungan). Secara umum boleh dikatakan jarang
ada penerapan sistem sakap dan sistem sewa pada lahan kering. Hanya
sebagian kecil sistem sewa yang berlaku, yaitu khusus untuk budidaya
tanaman sayuran. Oleh karena itu, petani setempat cenderung
mengusahakan budidaya tanaman pada lahan kering masing-masing.
Rataan produktivitas jagung (pipilan kering) di Desa Cipicung
adalah sekitar 8 kwintal per 100 tumbak (5,6 ton/hektar). Harga jagung
32
pipilan kering adalah sekitar Rp 3.000 per kilogram. Sebagai
perbandingan, harga jagung pipilan basah dan tongkol basah masing-
masing sekitar Rp 1.000 per kilogram dan Rp 2.000 per kilogram.
Sebagai catatan, harga kedelai (kering ose) adalah sekitar Rp 7.000 per
kilogram. Di desa ini pernah dilaksanakan kemitraan usahatani jagung
dengan pihak swasta pada tahun 2011. Kemitraan tersebut tidak
berlanjut karena telatnya penyaluran sarana produksi, rendahnya harga
panen jagung, dan terlambatnya pengambilan hasil panen (risiko).
Dengan adanya sistem bagi hasil dan panen tebasan, maka secara
tidak langsung modal usahatani berasal dari pemilik lahan dan penebas.
Modal dari pemilik adalah dalam bentuk biaya sarana produksi sedangkan
modal dari penebas biasanya diberikan dalam bentuk pinjaman uang
sebagai tanda pengikat. Sebagian lagi modal usahatani berasal dari milik
sendiri. Sementara itu, pemasaran hasil pertanian ditujukan kepada
penebas dan ke pedagang setempat.
Permasalahan yang dialami petani Desa Cipicung antara lain: (1)
tanam tidak serempak karena kekurangan tenaga kerja; (2) intensitas
serangan hama tikus cukup tinggi (tidak hanya pada tanaman padi tetapi
juga jagung dan cabai); dan (3) kendala air (tergantung curah hujan)
tetapi dampaknya tidak seberat serangan hama tikus. Paling tidak ada
dua hal pokok yang diinginkan petani setempat, yaitu: (1) kestabilan
harga; dan (2) pemanfaatan lahan pekarangan serta pelatihan kerajinan.
4.2.2. Tipologi Rumah Tangga Petani (RTP) Komersial
Tipologi RTP gurem komersial dalam penelitian ini diwakili oleh
Kecamatan Cigedug (Kabupaten Garut), tepatnya di Desa Cigedug.
Kelompok contah yang mewakili desa tersebut adalah “Silih Reksa IV”.
4.2.2.1. Gambaran Umum
Desa Cigedug merupakan salah satu desa yang berada di
Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Desa ini
33
terletak di daerah dataran tinggi dengan posisi sekitar 1.200 meter di
atas permukaan laut (DPTPH Garut, 2014). Desa Cigedug memiliki luas
wilayah sekitar 1.138,20 hektar, terdiri dari lahan sawah (3,90 hektar),
lahan kering/tegalan (644,87 hektar), lahan perkebunan (67 hektar),
fasilitas umum (4,14 hektar), dan lahan hutan (172,39 hektar). Lahan
kering dimanfaatkan untuk tanaman sayuran dan buah-buahan (76,9%),
tanaman keras (22%), dan kolam air tawar (1,1%).
4.2.2.2. Pola Penguasaan Lahan
Pola penguasaan lahan yang paling banyak ditemui di Desa
Cigedug adalah garapan milik dan garapan bukan milik (sewa). Sistem
sewa lebih mengemuka dibandingkan sistem sakap atau bagi hasil karena
jenis budidaya usahatani di desa ini adalah tanaman hortikultura yang
bernilai ekonomi tinggi dengan modal relatif besar.
Rataan luas lahan yang digarap petani Desa Cigedug adalah
sekitar 0,51 hektar dengan luas lahan tersempit dan terluas masing-
masing 0,1 hektar dan 4 hektar. Sementara itu, dari hasil wawancara
dengan anggota kelompok tani “Silih Reksa IV” diperoleh informasi
bahwa kisaran luas penguasaan lahan yaitu 0,5-10 hektar per rumah
tangga petani.
4.2.2.3. Sistem Usahatani
Usaha tani pokok di Desa Cigedug adalah kentang varietas
Granola, Atlantik, dan Vanda (Kotak 4.2) serta cabai jenis rawit dan cabai
besar. Sebagian petani di desa ini melakukan kerjasama kemitraan
dengan PT Indofood Fritolay Mandiri (IFM) untuk kentang varietas
Atlantik dan cabai rawit serta PT Heinz ABC untuk cabai besar.
Sekitar 200 orang petani Kecamatan Cigedug dan kecamatan
lainnya dan sekitarnya menjalin kerjasama kemitraan dengan
perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Jumlah anggota kemitraan
34
bertambah terus karena dukungan harga yang menarik (favorable) dari
perusahaan.
Kotak 4.2. Sekilas Mengenai Komoditas Kentang di Kabupaten Garut
Kentang merupakan komoditas sayuran yang banyak terdapat di
wilayah pegunungan Kabupaten Garut. Sebagian besar varietas kentang yang dibudidayakan adalah Granola serta sebagian kecil Atlantik dan Vanda. Kecamatan produsen utama kentang adalah Cikajang dan Pasirwangi.
Kecamatan lainnya seperti Samarang, Bayongbong, Cisurupan, Sukaresmi, Cigedug, dan Wanaraja berfungsi sebagai kawasan pengembangan.
Selain digunakan sebagai sayuran, komoditas kentang dapat diolah menjadi bahan makanan olahan lain seperti keripik dan dodol yang pada saat ini banyak diusahakan pada skala rumah tangga (home industri). Untuk
varietas Atlantik dan Vanda atau yang di kenal sebagai kentang industri, diproduksi untuk bahan pembuatan keripik kentang melalui implementasi
kerjasama kemitraan dengan perusahaan swasta (PT IFM).
Kerjasama kemitraan antara petani setempat dengan PT IFM
sudah berlangsung sejak 21 tahun yang lalu (Kotak 4.3). Implementasi
kerjasama kemitraan adalah berlandaskan kesepakatan terkait dengan
hak dan kewajiban antara kedua belah pihak yang hingga saat sekarang
masih tetap berlaku (Tabel 4.7).
Bibit merupakan “faktor kunci” usahatani kentang. Ketersediaan
bibit Atlantis tergantung dari impor (Australia dan Scotlandia).
Sebelumnya impor bibit kentang tersebut berasal dari Kanada.
Penyediaan bibit tergantung pada pasokan impor dan kapasitas pabrik PT
IFM dalam pengolahan kentang (350 ton/pengolahan/hari). Sebagai
catatan, Indonesia sangat tergantung pada bibit kentang impor.
Kebutuhan bibit kentang Atlantis adalah sekitar 1 ton per hektar
dengan produktivitas 30 ton per hektar (dapat ditanam untuk dua musim
tanam). Sebagai perbandingan, kebutuhan bibit kentang Granola adalah
sekitar 4 ton per hektar dengan produktivitas yang hampir sama (30
ton/hektar).
35
Kotak 4.3.
Kiprah PT Indofood Fritolay Makmur di Kabupaten Garut
PT Indofood Fritolay Makmur (IPM) adalah perusahaan pengolahan kentang yang telah melakukan kerjasama kemitraan dengan petani kentang
di Kabupaten Garut sejak tahun 1993. Perusahaan ini menyediakan bibit unggul kentang bersertifikasi (varietas Atlantis) bagi petani dan melatih
semua ketua kelompok tani yang dibentuk untuk tujuan kemitraan agar terampil dalam pembibitan kentang. Pembibitan yang dimaksud adalah dengan perlakuan teknis berupa pembelahan umbi bibit kentang menjadi dua
sehingga penggunaannya lebih efisien.
PT IFM merupakan salah satu pelaku industri yang memberi pengaruh
terhadap perkembangan penggunaan varietas kentang di Kabupaten Garut. Perusahaan industri makanan tersebut memang sengaja menjalin kerjasama kemitraan dengan petani kentang di berbagai daerah termasuk Kabupaten
Garut guna memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku ke pabriknya.
Pada awalnya, para petani peserta kerjasama kemitraan adalah mereka yang memiliki hubungan dekat dengan perwakilan PT IFM. Pemilihan petani
peserta berikutnya adalah berdasarkan rekomendasi petani peserta terdahulu. Para petani yang mengikuti kerjasama kemitraan boleh dikatakan
petani mampu (kaya) yang memiliki lahan luas dan modal besar, karena PT IFM sendiri tidak mau mengambil risiko kegagalan hanya karena kurangnya modal petani dalam pembelian sarana produksi dan biaya pengelolaan
usahatani kentang. Belakangan, petani peserta kerjasama kemitraan tersebut banyak yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah karena
semakin akrabnya hubungan kepercayaan (trust) diantara kedua belah pihak.
Tabel 4.7. Hak dan Kewajiban Petani dan PT IFM dalam Kerjasama Kemitraan Budidaya
Tanaman Kentang di Kabupaten Garut, 2014
Petani PT IFM
1. Membeli bibit yang disediakan
PT IFM.
2. Melakukan budidaya kentang sesuai anjuran PT IFM.
3. Menjual hasil kepada PT IFM.
4. Membayar kredit bibit secara “yarnen” (bayar setelah panen)
kepada PT IFM
1. Menyediakan bibit untuk petani dengan
kualitas terjamin. 2. Memfasilitasi penyediaan sarana produksi
lain bagi petani yang memerlukan.
3. Melakukan pembinaan teknis budidaya terhadap petani dengan pendampingan agro-supervisor. dan
4. Menampung hasil petani dengan harga dan spesifikasi produksi yang telah disepakati.
Sumber : Saptana dkk. (2005) dalam Iqbal (2008)
Sekitar 30 persen biaya produksi kentang dialokasikan untuk bibit.
Kebutuhan bibit adalah sekitar 2-3 ton per hektar (kentang bulat) atau 1-
1,5 ton per hektar (kentang yang dibelah). Harga normal bibit kentang
adalah Rp 15.000 per kilogram. Akan tetapi, petani hanya membayar Rp
36
12.500 per kilogram karena ada subsidi harga dari perusahaan sebesar
Rp 2.500 per kilogram.
Upah pengolahan lahan budidaya kentang (cara manual) adalah
sekitar Rp 1.500 per patok atau Rp 3,75 juta per hektar. Biaya sarana
produksi lainnya ditanggung oleh petani dan pengadaannya diperoleh
dari kios-kios setempat. Pemeliharaan tanaman kentang dilakukan oleh
buruh tani dengan nilai upah (di luar makan) masing-masing Rp 20.000-
25.000 per orang per hari (laki-laki) dan Rp 15.000 per orang per hari
(perempuan). Lama waktu kerja adalah sekitar 4-5 jam per hari.
Fenomena tenaga kerja pertanian setampat disajikan pada Kotak 4.4.
Kotak 4.4. Fenomena Tenaga Kerja Pertanian di Desa Cigedug
Ketersediaan tenaga kerja pertanian cukup bermasalah di Desa Cigedug
karena banyak yang mengusahakan lahan pertaniannya secara sendiri-sendiri, termasuk generasi muda petani. Di desa ini ada semacam “distorsi
fenomena” dimana generasi muda lebih berminat bekerja di pertanian dari pada melanjutkan pendidikan sekolah.
Generasi muda Desa Cigedug yang melanjutkan pendidikan ke jenjang
perguruan tinggi boleh dikatakan minor. Awalnya generasi muda bekerja sebagai buruh tani dan beberapa periode kemudian mulai menyewa lahan untuk diusahakan sendiri. Konsekuensinya, jumlah petani makin bertambah
sementara ketersediaan tenaga kerja menjadi berkurang.
Karena kekurangan tenaga kerja, beberapa petani ada yang
meninggalkan usahatani dan mencari kerja ke luar daerah (terutama pada musim kemarau). Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja tersebut, jalan keluarnya adalah dengan mendatangkan tenaga kerja dari luar desa melalui
fasilitasi antar jemput.
Tanaman kentang dibudidayakan selama 1-2 musim tanam per
tahun (100 hari/musim tanam). Produktivitas kentang berkisar antara 18-
20 ton per hektar per musim tanam. Produktivitas kentang yang ditanam
pada musim kemarau lebih baik dari pada di musim hujan. Dengan harga
panen Rp 5.400 per kilogram6], petani memperoleh penerimaan antara
6] Harga panen kentang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara PT IFM dengan
petani (saat ini Rp 5.400/kg). Harga tersebut berada di atas rata-rata harga pasar
37
Rp 97,2 hingga Rp 108 juta per hektar per musim tanam. Dengan biaya
produksi lebih kurang Rp 90 juta per musim tanam, maka secara
hitungan kasar pendapatan petani berkisar antara Rp 7,2 juta sampai Rp
18 juta per hektar per musim tanam.
Sumber modal usahatani kentang berasal dari modal sendiri dan
pinjaman. Sebagai catatan, sekitar 80 persen anggota kelompok tani
“Silih Reksa IV” melakukan kegiatan usahatani dengan modal sendiri.
Sisanya (20%) bersumber dari pinjaman ke kios-kios setempat.
Petani di lokasi penelitian jarang yang berhubungan (akses)
dengan lembaga perbankan, misalnya dalam memanfaatkan fasilitas
kredit (KUR/Kredit Usaha Rakyat, KPPE/Kredit Ketahanan Pangan dan
Energi, dsb.). Hal tersebut disamping karena prosedurnya relatif rumit,
juga disebabkan oleh tidak sinkronnya kebijakan antara bank pusat
dengan bank daerah. Kerumitan prosedur tersebut diantaranya terkait
dengan agunan kredit (sertifikat tanah). Petani merasakan bahwa
pengurusan sertifikat tanah cukup berbelit-belit dan memakan waktu
lama. Petani beranggapan bahwa tanpa sertifikat dan tanpa pinjaman
kredit, petani bisa mengurus lahan usahatani (tergantung usaha). Selain
itu, petani merasa terbebani kalau memanfaatkan kredit yang harus
dibayar secara reguler dan tepat waktu plus bunga pinjaman serta
kekhawatiran terhadap fenomena kredit macet yang nantinya dirasa
malah makin memberatkan petani. Di sisi lain, bank setempat boleh
dikatakan cukup trauma dengan kasus KUT (Kredit Usaha Tani) dan
adanya kredit fiktif.
Petani di lokasi penelitian menginginkan agar pemerintah dapat
mengontrol stabilitas harga. Selain itu petani setempat juga
mendambakan bantuan/pembinaan terkait dengan mekanisasi seperti
traktor (satu set dengan singkal dan rotary) dan cultivator untuk
yang hanya berkisar antara Rp 5.000 per kilogram hingga Rp 5.200 per kilogram
(termasuk varietas Atlantik).
38
mengatasi kekurangan tenaga kerja. Petani di lokasi penelitian tidak
merasa keberatan seandainya pemerintah mencabut subsidi pupuk, asal
dijalankan secara konsisten.
4.2.3. Tipologi Rumah Tangga Petani (RTP) Transisi
Tipologi RTP gurem subsisten dalam penelitian ini diwakili oleh
Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Adapun
kelompok tani contohnya adalah “Sugih Mukti”.
4.2.3.1. Gambaran Umum
Bojongsoang adalah satu dari 31 kecamatan yang berada di
bawah Pemerintahan Kabupaten Bandung. Kecamatan ini memiliki luas
wilayah sekitar 2.568,3 hektar dengan posisi geografis sebagai pintu
gerbang perbatasan dengan Kota Bandung. Secara administratif
Kecamatan Bojongsoang enam desa yaitu Bojongsoang, Lengkong,
Cipagalo, Buahbatu, Tegalluar, dan Bojongsari (BPS Kabupaten Bandung,
2014). Dua desa terakhir merupakan lokasi contoh dalam penelitian ini.
Desa Tegalluar memiliki luas wilayah sekitar 682,5 hektar dan
merupakan desa yang terluas (26%) di Kecamatan Bojongsoang. Desa ini
mewakili tipe agroekosistem sawah tadah hujan yang luasnya lebih
kurang 400 hektar. Sementara itu, Desa Bojongsari memiliki luas wilayah
513 hektar dengan tipe agroekosistem sawah irigasi semi teknis sekitar
235 hektar. Kedua desa tersebut berbatasan langsung dengan wilayah
administratif Kota Bandung.
4.2.3.2. Pola Penguasaan Lahan
Fenomena penguasaan lahan di Desa Tegalluar dan Desa
Bojongsari merupakan representasi fenomena penguasaan lahan di
Kabupaten Bandung secara keseluruhan. Fakta menunjukkan bahwa
salah satu permasalahan terkait eksistensi lahan pertanian di kabupaten
ini adalah terus berlangsungnya alih fungsi lahan pertanian ke non-
39
pertanian. Sebagai catatan, data interpretasi citra SPOT (Systeme
Probatoire d'Observation de la Terre) menunjukkan bahwa alih fungsi
lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi di Kabupaten Bandung
pada tahun 2004 hingga tahun 2011 adalah sekitar 1.898,34 hektar
(4,96%). Pada tahun 2011, lahan pertanian yang dilindungi RTRW
Kabupaten Bandung adalah seluas 18.498 hektar atau sekitar 50,78
persen dari total luas lahan pertanian di kabaupaten ini. Sisanya, yaitu
sekitar 17.940 hektar (49,25%) direncanakan untuk dialihfungsikan ke
penggunaan non-pertanian (Kecamatan Bojongsoang, 2012).
Konsekuensinya, eksistensi lahan pertanian menjadi semakin menyempit.
Fenomena di atas menimbulkan dampak baik langsung maupun
tidak langsung terhadap kehidupan petani setempat, terutama yang
mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian
keluarga. Sebagai catatan, berdasarkan hasil SUSEDA (Survei Sosial
Ekonomi Daerah) tahun 2009, sekitar 14 persen penduduk Kabupaten
Bandung bekerja di sektor pertanian (BPS Kabupaten Bandung, 2010).
Paling tidak ada tiga faktor penyebab terjadinya penyempitan
lahan pertanian di lokasi penelitian. Pertama, adanya fragmentasi atau
penyusutan kepemilikan lahan pertanian karena pola pewarisan.
Akibatnya, sebagian dari lahan tersebut dijual karena dianggap tidak
mencukupi untuk diusahakan secara optimal. Hasil penjualan tersebut
direncanakan untuk modal usaha di luar sektor pertanian. Akan tetapi
tidak sedikit petani yang beruntung dari hasil penjualan lahan tersebut,
sehingga akhirnya sebagian menjadi petani penggarap atau buruh tani di
lahannya sendiri. Kedua, alih fungsi lahan melalui transaksi penjualan
kepada perorangan atau pengusaha dari luar desa yang notabene kurang
mengerti atau tidak menghiraukan eksistensi lahan pertanian di lokasi
setempat. Biasanya, sebelum dialihfungsikan ke penggunaan non-
pertanian, lahan pertanian tersebut boleh digarap sampai batas waktu
yang tidak ditentukan. Namun petani diliputi rasa kekhawatiran
40
mengingat alih fungsi penggunaan lahan yang dimaksud bisa terjadi dan
mengakibatkan petani penggarapnya kehilangan pekerjaan kapan saja.
Ketiga, implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3/2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengakibatkan beberapa
lahan pertanian beralihfungsi ke penggunaan non-pertanian.
Fenomena jual beli lahan cukup marak di lokasi penelitian. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) secara geografis
lokasinya berada di bagian wilayah cekungan daerah aliran sungai (DAS)
Citarum yang sering mengalami kebanjiran, terutama pada saat musim
huja; dan (2) secara administratif letaknya berbatasan dengan Kota
Bandung dengan geliat pembangunan cukup gencar, khususnya untuk
industri dan pemukiman.
Fenomena alih fungsi lahan pada lokasi penelitian menunjukkan
bahwa frekuensinya lebih tinggi di Desa Tegalluar dari pada di Desa
Bojongsari. Hal tersebut karena lokasi Desa Tegalluar relatif lebih dekat
ke Kota Bandung dibandingkan dengan Desa Bojongsari.
Sekitar 70 persen lahan sawah di Desa Tegalluar telah beralih
fungsi dan umumnya jatuh ke tangan orang dari luar desa. Diantara
pemilik dari luar desa tersebut ada yang memiliki lahan sawah sekitar 4-5
hektar per orang. Sebagian dari lahan yang dimaksud digarap oleh petani
setempat dan sebagian lagi diusahakan petani dari luar desa.
Desa Tegalluar boleh dikatakan lebih rentan terhadap alih fungsi
lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian dibandingkan dengan
Desa Bojongsari. Berpijak dari kondisi tersebut, Desa Bojongsari
menyusun Peraturan Desa (Perdes) yang rencananya akan diterapkan
pada Januari 2015. Perdes tersebut antara lain mengatur tentang: (1)
kontrak pengusahaan lahan; (2) kegiatan notaris tanah sesuai dengan
administrasi pemerintahan desa; dan (3) registrasi desa terkait dengan
pajak tanah. Ketiga peraturan tersebut terutama ditujukan untuk
penertiban administrasi lahan yang dikuasai oleh pemilik dari luar desa.
41
Fenomena eksistensi lahan sebagaimana dikemukakan di atas
menimbulkan dampak pada pola penguasaan lahan di lokasi penelitian.
Selain pola pemilikan yang semakin terbatas skalanya, pola lainnya
adalah berupa bagi hasil, sewa, dan gadai. Pola bagi hasil yang ada
yaitu: (1) bagi hasil setengah atau paroan (50% vs 50%) dimana biaya
penggarapan ditanggung penggarap sedangkan bibit dan pupuk dibiayai
oleh pemilik; (2) bagi hasil setengah atau paroan (50% vs. 50%) setelah
dipotong biaya yang sebelumnya ditanggung pemilik berdasarkan
konversi hasil panen; (3) bagi hasil sepertiga atau mertelu dimana
penggarap mendapatkan bagian 70 persen dan pemilik memperoleh
bagian 30 persen dengan ketentuan seluruh biaya ditanggung oleh
penggarap; (4) bayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Sebagai catatan,
pola bayar PBB paling banyak diminati dan jadi rebutan karena dengan
membayarkan PBB sekitar Rp 1,6 juta per hektar pe tahun, penggarap
dapat menikmati seluruh hasil panen garapannya.
Paling tidak ada dua pola sewa lahan yang cukup menonjol di
lokasi penelitian. Pertama, sewa lahan senilai tiga kilogram per tumbak
(2,1 ton/hektar). Pola sewa lahan seperti ini lebih banyak dilakukan
dimana penggarap membayarkan sebagian sewanya (uang muka) di awal
(sebelum digarap) dengan perhitungan harga gabah hasil panen musim
tanam sebelumnya. Kedua, sewa lahan Rp 5.000 per tumbak (Rp 3,5
juta/hektar) per musim tanam. Pola ini berlaku pada budidaya tanaman
ketimun (45 hari/musim tanam) dimana penyewanya berasal dari luar
desa (Baleendah). Sementara itu pola penguasaan lahan lainnya adalah
gadai gabah (potong pinjaman) dengan perhitungan Rp 1 juta untuk 1
kwintal gabah.
Dari uraian di atas dapat secara umum dapat dikemukakan bahwa
fenomena “guremisasi” cukup gencar terjadi di lokasi penelitian. Dengan
kata lain skala pemilikan lahan petani menjadi sempit atau bahkan ada
petani yang tidak memiliki lahan lagi (tuna lahan). Fenomena tersebut
42
berlangsung melalui proses perjalanan waktu sehingga menimbulkan
dampak sosial seperti tersaji pada Kotak 4.5. Khusus untuk Tegalluar,
boleh dikatakan setiap hari investor mencari lahan di desa ini. Kondisi
tersebut seiring dengan adanya beberapa isu antara lain terkait dengan
wacana pengembangan Desa Tegalluar menjadi satelit Kota Bandung.
Kotak 4.5.
Ungkapan Keprihatinan Petani Gurem
Ungkapan keprihatinan petani gurem di Kecamatan Bojongsoang
adalah “Hirup ripuh, bathin nyeri” (hidup susah, batin sakit). Menyadari hal tersebut, petani setempat hanya dapat berikhtiar dan berusaha sesuai kondisi yang ada. Fenomena tersebut umumnya diwariskan kepada anak
agar tidak mengikuti jejak orang tuanya sebagai “petani”.
Secara tidak langsung gambaran di atas berdampak pada kurang/tidak
berminatnya generasi muda terjun dalam pekerjaan pertanian. Situasi tersebut diperparah lagi dengan pola pewarisan lahan pertanian yang menjadikan skalanya makin menyempit sehingga tidak dapat diandalkan
sebagai sumber mata pencaharian pokok.
4.2.3.3. Sistem Usahatani
Pola tanam pada lahan sawah di Desa Tegalluar adalah padi-padi-
bera dengan jadwal musim tanam masing-masing untuk MH (Januari-
April/Mei) dan MK I (Juni/Juli-Oktober). Jenis padi yang umum digunakan
adalah varietas Ciherang. Beberapa orang petani pernah mengusahakan
tanaman jagung tetapi kurang berhasil. Sementara itu, pola tanam di
Desa Bojongsari yaitu padi-padi-ketimun.
Sumber pengairan lahan sawah berasal irigasi dan pompa air. Nilai
sewa pompa air masing-masing untuk pompa air milik perorangan dan
kelompok masing-masing 700 kilogram per hektar per musim tanam
(pompa air milik kelompok) dan 670 kilogram per hektar per musim
tanam (pompa air milik perorangan). Keberadaan pompa air tersebut
sangat diperlukan, khususnya selama musim kemarau.
Ketersediaan traktor baik milik pribadi maupun punya kelompok
relatif cukup. Nilai sewa traktor masing-masing untuk milik pribadi dan
43
punya kelompok adalah Rp 1,4 juta per hektar dan Rp 1,2 juta per
hektar. Nilai sewa tersebut dibagi antara operator (40%) dan pemilik
traktor (60%). Biaya bahan bakar (solar) serta makan, rokok, bir
(penghangat badan) operator, dan lain-lain ditanggung pemilik traktor.
Upah tanam padi masing-masing Rp 30-35 ribu per orang per hari
(tenaga kerja luar Bojongsoang) dan Rp 40 ribu per orang per hari
(tenaga kerja setempat). Tenaga kerja dari luar dijemput dan diantar
oleh pemilik (pengguna tenaga kerja). Sebagai catatan, tenaga kerja
setempat diambil oleh petani kaya karena pekerjaannya lumintu (terus
menerus) pada lahan yang cukup luas. Sebaliknya, petani yang memiliki
lahan sempit kesulitan mencari tenaga kerja setempat.
Penggunaan pupuk boleh dikatakan cukup tinggi karena petani
menganggap lahannya kurang subur. Sementara itu, upah tenaga kerja
cukup mahal, masing-masing untuk laki-laki (Rp 50.000/orang/hari) dan
perempuan (Rp 40.000/orang/hari) selama lima jam kerja per hari.
Selain mengalami krisis lahan, lokasi penelitian juga menghadapi
krisi tenaga kerja. Petani yang mau terjun ke sawah adalah yang berusia
di atas 50 tahun. Bagi yang berusia di bawah 50 tahun bekerja di
bangunan, pabrik, dan jenis pekerjaan lain di kota. Salah satu industri
yang cukup banyak menyerap tenaga kerja terutama generasi muda
setempat adalah pabrik tekstil “PT Angguna”. Kekurangan tenaga kerja
didatangkan dari luar desa seperti Ciparay dan Selokan Jeruk. Sebagai
ilustrasi, fenomena keengganan generasi muda setempat untuk
menggeluti pekerjaan di sektor pertanian disajikan pada Kotak 4.6.
Dulu tenaga kerja yang cari panen, tetapi sekarang pemilik yang
cari tenaga kerja panen. Dulu perhitungan upah panen adalah sekitar 10
kilogram per kwintal, tetapi sekarang naik menjadi 20 kilogram per
kwintal ditambah biaya angkut.
Rataan produktivitas padi MH adalah sekitar 8 kwintal per 100
tumbak (5,6/hektar), sedangkan padi MK sekitar 6 kwintal per 100
44
tumbak (4,2 ton/hektar). Secara hitungan kasar, 100 tumbak (0,14
hektar) lahan sawah menghasilkan sekitar 8 kwintal GKP. Dengan harga
Rp 3.750 per kilogram, diperoleh penerimaan sekitar Rp 3 juta. Setelah
dipotong biaya produksi sekitar Rp 2 juta, maka pendapatan hanya Rp 1
juta. Dengan kata lain, petani hanya memperoleh keuntungan sekitar 30
persen dari hasil produksi. Melalui sakap, nilai keuntungan tersebut akan
semakin berkurang lagi (tergantung polanya). Perhitungan tersebut
merupakan fakta umum mengingat rataan luas penguasaan lahan sawah
cukup sempit (bukan dalam skala hektaran).
Kotak 4.6. Representasi Keengganan Generasi Muda Bekerja di Pertanian
Dua kasus generasi muda yang enggan bekerja di sektor pertanian direpresentasikan oleh Asep (usia 30 tahun) dan Agus (usia 25 tahun) yang masing-masing berprofesi sebagai jasa transportasi ojeg dan karyawan
pabrik roti. Pertama, Asep pernah menjadi buruh tani sebelumnya dengan nilai upah Rp 40 ribu per hari. Tetapi dengan mengeluti pekerjaan jasa
transportasi ojeg, Asep memperoleh rataan pendapatan sekitar Rp 80 ribu per hari. Asep menyatakan bahwa kalau upah buruh tani meningkat, maka yang bersangkutan mau kembali menggeluti pekerjaan pertanian. Sesekali
Asep turun membantu usahatani orang tua yang hanya memiliki lahan sawah seluas 50 tumbak (0,07 hektar). Kedua, Agus bekerja di pabrik roti
dengan perolehan gaji Rp 80 ribu per hari ditambah makan dan jaminan kesehatan BPJS. Orang tua Agus memiliki lahan sawah seluas 100 tumbak (0,14 hektar), tetapi Agus boleh dikatakan tidak pernah turun ke sawah
membantu orang tuanya. Menurut Agus pekerjaan di non-pertanian “lebih pasti” dibandingkan di pertanian.
Sebagai catatan, tenaga kerja setempat yang bekarja di Kota Bandung umumnya terkait dengan kegiatan industri dan bangunan. UMR (Upah Minimum Regional) Kota Bandung (Rp 2,7 juta/orang/bulan) lebih tinggi
dibandingkan UMR Kabupaten Bandung (Rp 1,9 juta/orang/bulan).
Selama ini perhatian pemerintah terhadap generasi muda lebih cenderung mengarah pada sektor non-pertanian (industri). Oleh karena itu
perlu diadakan pendidikan dan latihan (diklat) yang lebih intensif dan tepat guna untuk generasi muda pertanian.
Harga jual gabah kering panen (GKP) adalah sekitar Rp 3,700-
3,800 per kilogram pada saat panen. Padahal kalau petani mau
menunggu, harganya bisa mencapai Rp 4,000 per kilogram. Namun
petani keburu harus menjual karena desakan kebutuhan keluarga
45
disamping adanya kendala ketersediaan fasilitas penyimpanan. Bertitik
tolak dari kendala tersebut sebagian petani menjual hasil panen padinya
secara “tebasan”, terutama pada musim hujan. Nilai tebasan berkisar
antara Rp 5.000 per tumbak hingga Rp 6.000 per tumbak (Rp 3,5-4,2
juta per hektar). Perbandingan proporsi antara tebasan dengan bukan
tebasan antar musim tanam masing-masing pada musim hujan (50% vs.
50%) dan pada musim kemarau (60% vs. 40%). Sebagai catatan,
sebagian besar (90%) hasil panen padi dijual dan sisanya (10%) untuk
pemenuhan konsumsi rumah tangga.
Desa contoh penelitian memiliki keterbatasan fasilitas lantai jemur
karena sempitnya ketersediaan lahan. Kondisi tersebut mendorong petani
untuk segera menjual GKP disamping karena tuntutan kebutuhan uang.
Satu-satunya fasilitas lantai jemur yang cukup memadai hanya tersedia di
kecamatan dengan kapasitas penjemuran sekitar 4,5 juta ton gabah.
Selain permasalahan sempitnya lahan dampak dari alih fungsi dan
fragmentasi lahan, permasalahan krusial lainnya yang dihadapi petani di
lokasi penelitian adalah modal usahatani. Sebagian besar petani
(khususnya penggarap) memperoleh fasilitas modal dari pemilik lahan
dan pedagang (tengkulak). Besarnya modal dari masing-masing sumber
tersebut bervariasi, yaitu tergantung kesepakatan antar penyedia dan
peminjam modal. Dengan kata lain, tidak ada ketentuan formal yang
mengatur kesepakatan tersebut, namun posisi petani berada di pihak
yang lemah.
Alternatif lain, misalnya melalui lembaga keuangan formal,
kurang/tidak terjangkau oleh petani. Pengajuan pinjaman oleh petani
(kelompok tani) boleh dikatakan tidak mendapat respon dari lembaga
perbankan. Penyebabnya karena posisi petani lemah dari sisi agunan
yang menjadi persyaratan mutlak bagi bank. Bukti temuan sederhana
(anecdotal evidence) menujukkan bahwa realisasi kredit sepeda motor
lebih mudah dibandingkan realisasi kredit usahatani. Hal tersebut karena
46
kredit sepeda motor dapat dicicil bulanan sementara kredit usahatani
tidak dapat dicicil musiman (per musim tanam).
4.3. Keberadaan Organisasi Kelompok Tani
Kelompok tani merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam
Undang Undang Nomor 19 tahun 2013 (pasal 1) tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani. Menurut Undang Undang tersebut, kelompok
tani adalah “kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas
dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial,
ekonomi, sumber daya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk
meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota”.
Dari definisi di atas dapat digarisbawahi bahwa kelompok tani
merupakan kumpulan (organisasi) dengan tujuan untuk meningkatkan
serta mengembangkan usaha anggota. Implementasi kegiatan program
dalam rangka peningkatan serta pengembangan petani sejatinya
ditempuh melalui media kelompok tani karena sifatnya kolektif (bukan
individu).
Dalam penelitian ini tiga kelompok tani dijadikan sebagai contoh
representasi tipologi petani. Kelompok tani tersebut terdiri dari: (1)
kelompok tani tipologi subsisten Ranca Kujang; (2) kelompok tani tipologi
komersial); dan (3) kelompok tani tipologi transisi. Masing-masing
kelompok tani tersebut ditelusuri terkait dengan karakteristik
keberadaannya di masing-masing lokasi contoh penelitian.
4.3.1. Kelompok Tani Tipologi Subsisten
Kelompok tani tipologi subsisten diwakili oleh “Ranca Kujang”.
Kelompok tani ini merupakan salah satu dari lima kelompok tani dibawah
gabungan kelompok tani (gapoktan) “Banyu Hurip” di Desa Cipicung,
Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut. Kelompok tani tersebut berdiri
47
sekitar tahun 1997 dengan jumlah anggota 36 orang petani terdiri dari 25
orang laki-laki dan 9 orang perempuan (Lampiran Tabel 10).
Umur anggota anggota kelompok tani “Ranca Kujang” berkisar
antara 33 tahun hingga 80 tahun (rata-rata 55 tahun). Tingkat
pendidikan anggota kelompok tani masing-masing SD (58,33%), SMP
(22,22%), SMA (16,67%), dan perguruan tinggi (2,78%).
Dari semua anggota kelompok tani “Ranca Kujang”, hanya 20
petani (55,56%) yang memiliki sawah. Dari 20 petani tersebut, 18 petani
(90%) diantaranya memiliki lahan kering/tegalan. Rataan pemilikan
sawah dan lahan kering/tegalan diantara pemilik kedua lahan tersebut
masing-masing 0,42 hektar per petani dan 0,22 hektar per petani. Kedua
rataan tersebut termasuk kategori gurem (<0,5 hektar/petani), sehingga
cenderung diusahakan sendiri oleh pemiliknya. Petani yang tidak memiliki
baik lahan sawah maupun lahan kering/tegalan (tuna lahan) masing-
masing 16 petani (44,44%) dan 18 petani (50%). Sebagian dari petani
tersebut tergolong sebagai buruh tani. Kesempatan untuk menggarap
lahan baik melalui pola bagi hasil atau sewa boleh dikatakan terbatas
karena petani pemilik cenderung mengusahakan sendiri lahannya yang
notabene skala luasnya cukup sempit. Dengan kata lain, proporsi petani
yang bersatus sebagai buruh tani dalam kelompok tani ini cukup tinggi
(hampir 50%).
Dengan status petani seperti di atas, implementasi suatu program
relatif sulit dipastikan jaminan keberlanjutannya. Satu informasi yang
cukup menarik diperoleh terkait dengan program inovasi teknologi
dimana implementasinya tergantung pada pemilik lahan. Dengan kata
lain, penggarap tidak dapat mengimplementasi program jika tidak
mendapat persetujuan dari pemilik. Selama ini implementasi suatu
program ditengarai hanya melihat eksistensi kolektivitas kelompok tani
dan cenderung kurang memperhatikan status anggotanya.
48
Satu hal menarik lainnya juga ditemukan dalam penelitian ini. Dari
pengecekan terhadap 25 orang petani yang menghadiri sosialisasi
kegiatan “Pestisida Nabati” bersamaan dengan kegiatan penelitian ini,
diperoleh informasi yang cukup mengejutkan. Informasi tersebut
berkaitan dengan identitas jenis pekerjaan yang tercantum dalam KTP
(kartu tanda penduduk), dimana tidak satu orang pun diantara petani
tersebut yang berprofesi sebagai “petani”. Jenis pekerjaan yang
umumnya tercantum dalam KTP petani adalah wiraswasta atau buruh
harian lepas. Fenomena ini cukup mengherankan, namun ketika
dikonfirmasi dengan petani diperoleh beberapa penjelasan seperti: (1)
petani hanya menyerahkan isian KTP kepada petugas setempat; (2)
petani merasa cukup gengsi dengan pekerjaan sebagai petani
dibandingkan wiraswasta yang notabene menurut petani pekerjaan
pertanian sekaligus merupakan bagian dari wiraswasta; dan (3) jenis
pekerjaan yang ada untuk pengisian KTP terbatas pada jenis pekerjaan
tertentu (tidak termasuk petani di dalamnya).
Kendati fenomena di atas relatif sepele, namun hal tersebut dapat
dianggap sebagai kurang tertibnya administrasi. Dampak sampingannya
bisa saja bantuan yang seharusnya diterima petani jatuh ke tangan
bukan petani. Sebagai ilustrasi, salah satu komponen program kebijakan
kredit dan lahan pertanian di Thailand, dimana pemerintah memberikan
kartu kredit diiringi dengan peluncuran “kartu identitas petani” untuk
mempermudah identifikasi dan penyaluran subsidi (Rauf, 2013). Berpijak
dari kasus yang ditemui pada penelitian ini dan pelajaran dari Thailand,
perlu kiranya penelahaan lebih lanjut dengan cakupan yang lebih luas
terkait dengan identitas formal petani di Indonesia guna mendukung
implementasi program pembangunan pertanian yang tepat sasaran.
Beberapa program dan pelatihan telah diimplementasikan di
lokasi penelitian (lingkup Kecamatan Banyuresmi). Program dan pelatihan
tersebut diantaranya: (1) SRI (System of Rice Intensification) di Desa
49
Sukaratu; (2) SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu)
padi, jagung, dan kedelai di Desa Sukaratu dan Desa Cipicung; (4) SL-
Kontigensi di Desa Sukaratu; (5) UPJA (Usaha Pelayanan Jasa Alsintan)
traktor, pompa air, terpal di Desa Sukaratu; (6) PUAP (Pengembangan
Usaha Agribisnis Pedesaan) di Desa Cipicung dan Desa Sukaratu; (7)
JITUT (Jaringan Irigasi Tingkat Usahatani) di Desa Cipicung; (8) Kirmir
drainase di Desa Sukaratu; (9) pestisida nabati di Desa Cipicung; dan
(10), pelatihan cabai, SRI, agribisnis, LKM Gapoktan (Lembaga Keuangan
Mikro-Gabungan Kelompok Tani), peningkatan mutu SDM (sumber daya
manusia), dan jajar legowo (BPTP/Balai Pengkajian Teknologi Pertanian).
Sebagai catatan, Kecamatan Banyuresmi sering dijadikan lokasi
penerapan program yang acapkali juga dikunjungi oleh petugas instansi
pertanian. Dampak program boleh dikatakan hanya pada tataran
implementasi, sedangkan penyebarannya relatif kurang berlanjut.
4.3.2. Kelompok Tani Tipologi Komersial
Kelompok tani tipologi direpresentasikan oleh “Silih Reksa IV”.
Kelompok tani ini merupakan salah satu diantara lima kelompok tani
lainnya (Silih Reksa I sampai V). Keenam kelompok tani Silih Reksa
tersebut menyebar di beberapa lokasi sentra hortikultura seperti Cibahu,
Wanaraja, Sucinaraya, Sukaresmi, Pasirwangi, Cisurupan, Cikajang,
Cigedug, dan Wanaraja. Diantara lokasi-lokasi tersebut, kelompok tani
yang paling banyak anggotanya adalah di Cigedug.
Kelompok tani “Silih Reksa” dibentuk sekitar tahun 1993 dengan
tujuan untuk wadah kerjasama kemitraan dengan PT Indofood Fritolay
Mandiri (IFM) berlandaskan saling membutuhkan (mitra) dalam hal
budidaya usahatani tanaman kentang. Usahatani tersebut berlanjut
(sustainable) karena ada kemitraan yang salah satu kunci dasarnya
terletak pada penyediaan bibit yang difasilitasi oleh perusahaan mitra.
50
Pembentukan kelompok tani Silih Reksa IV adalah berdasarkan
domisili karena lahan usahataninya berpencar-pencar. Jumlah anggota
kelompok tani ini tercatat 25 orang petani (Lampiran Tabel 11). Usia
anggota kelompok berkisar antara 25 tahun hingga 60 tahun (rataan 43
tahun). Sebaran tingkat pendidikan yaitu SD (60%), SMP (28%), dan
SMA (12%).
Rataan penguasaan lahan adalah 2,75 hektar per petani, terdiri
dari lahan garapan milik (1,65 hektar/petani) dan garapan sewa (1,10
hektar/petani). Sebagai catatan, dari 25 orang petani anggota kelompok
tani “Silih Reksa IV”, semuanya menggarap lahan milik sendiri dan sewa.
Dari temuan ini dapat dikatakan bahwa status anggota kelompok tani ini
jauh berada di atas kategori gurem.
Tingginya rataan penguasaan lahan mengindikasikan bahwa
petaninya termasuk golongan berada. Oleh karena itu tidak heran jika
kerjasama kemitraan antara PT IFM dengan petani setempat bertahan
kelangsungannya sejak tahun 1993 yang lalu. Selama kurun waktu 21
tahun hingga saat sekarang, keikutsertaan petani dalam kerjasama
kemitraan tersebut telah berjalan secara turun temurun. Akan tetapi,
keikutsertaan petani dalam kerjasama kemitraan yang dimaksud adalah
bersifat non-reguler (on and off), tergantung musim dan curah hujan.
Sebagian petani ada yang ikut kemitraan pada musim hujan sedangkan
pada musim kemarau tidak ikut kemitraan (menanam jagung).
Kerjasama kemitraan budidaya tanaman kentang antara PT IFM
dengan petani setempat relatif berjalan rapi dimana selain menyediakan
bibit kentang (varietas Atlantis) kepada petani, perusahaan yang
bersangkutan juga menyiapkan rencana kerja (work plan) kegiatan. Di
tingkat lapangan, PT IFM menugaskan 9 orang teknisi.
Bimbingan lapangan dari perusahaan relatif berlangsung secara
teratur dan kondusif dalam mendukung kapasitas petani mengusahakan
tanaman kentang. Berbekal dari kapasitas tersebut, petani cukup selektif
51
dalam memanfaatkan sarana produksi seperti pestisida yang cukup
gencar dipromosikan oleh formulator seperti Bioworld (perusahaan
Malaysia dan Singapura) dan Royal Agro (perusahaan domestik).
Disamping sebetulnya hal tersebut diawasi oleh petugas lapang PT IFM.
Selain fasilitasi dukungan bimbingan teknis, kelompok tani “Silih
Reksa IV” diwacanakan akan menerima fasilitas bantuan penyediaan
gudang penyimpanan hasil panen (kerjasama dengan petani). Mengingat
kelompok tani belum memiliki gudang penyimpanan, maka wacana
tersebut disambut baik melalui partisipasi petani secara cicilan dan pada
gilirannya akan dimiliki oleh kelompok tani.
Sebelumnya, kelompk tani “Silih Reksa IV” telah memperoleh
bantuan bantuan fasilitas “cool room” dari Direktorat Jenderal
Hortikultura pada tahun 2011. Cool room tersebut dioperasikan dengan
menggunakan blower (kipas angin), bukan “cold storage” yang harus
dilengkapi dengan pendingin. Cool room difungsikan sebagai tempat
untuk kegiatan sortiran dan pengemasan sayuran. Tahun lalu (2012),
kelompok tani ini juga mendapatkan bantuan satu unit kendaraan mobil
pick up dari Kementerian Pertanian.
Belakangan ini kelompok tani “Silih Reksa IV” melaksanakan
kegiatan penelitian “uji residu pestisida kentang” dengan Balitsa (Balai
Penelitian Sayuran) Lembang melalui dana bantuan Negeri Belanda.
Kegiatan tersebut sudah berlangsung selama tiga musim tanam, dimana
hasilnya menunjukkan bahwa residu pestisida pada kentang masih
rendah dibandingkan residu pestisida pada cabai, kol, dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa implementasi
kerjasama kemitraan kesannya seolah-olah “eksklusif”. Hal tersebut
cukup kontradiktif dengan kenyataan bahwa dari hasil ST 2003 dan ST
2013 terdata proporsi RTP gurem di lokasi setempat (Kecamatan
Cigedug) masing-masing sekitar 89,55 persen dan 85,61 persen.
Agregasi proporsi RTP gurem tersebut tentunya menyebar pada
52
beberapa sub-sektor pertanian. Terlepas dari semua itu, kelompok tani
“Silih Reksa IV” dapat dianggap sebagai representasi tipologi petani
komersial yang cukup berhasil dalam menjalankan usahataninya. Secara
implisit keberhasilan tersebut juga dinikmati RTP gurem yang sebagian
menjadi buruh tani pada usahatani kentang yang notabene kegiatannya
memerlukan tenaga kerja intensif. Perlu dicatat bahwa semua anggota
kelompok tani “Silih Reksan IV” (menurut pengakuan pengurusnya)
berprofesi sebagai petani sebagaimana tercantum dalam kolom
pekerjaan KTP (Kartu Tanda Penduduk) masing-masing.
4.3.3. Kelompok Tani Tipologi Transisi
Representasi kelompok tani tipologi komersial adalah “Sugih
Mukti” Kelompok tani ini terdapat di Desa Tegalluar, Kecamatan
Bojongsoang, Kabupaten Jawa Barat. Kelompok tani ini dibentuk sekitar
tahun 2000 dengan jumlah anggota 23 orang (Lampiran Tabel 12).
Kelompok tani “Sugih Mukti” dibentuk berbasiskan domisili. Basis
pembentukan seperti ini lazim diterapkan di wilayah administratif
kabupaten, sedangkan di wilayah administratif kota basis
pembentukannya adalah berdasarkan hamparan. Hal demikian karena
lokasi pemukiman warga kabupaten cenderung menyatu sedangkan
tempat tinggal warga perkotaan cenderung terpencar.
Usia anggota kelompok tani “Sugih Mukti” berkisar antara 38
tahun hingga 75 tahun (rataan 56 tahun). Dengan kata lain, rataan usia
anggota kelompok tani ini relatif sudah cukup tua. Sementara itu,
sebaran tingkat pendidikan anggotanya masing-masing SD (60,87%),
SMP (21,74%), SMA (13,04%), dan perguruan tinggi (4,35%).
Ditinjau dari sisi penguasaan lahan pertanian, hanya tiga petani
(13,04%) yang berstatus sebagai pemilik penggarap dan sisanya yaitu 20
petani (86,96%) berstatus penggarap (bukan pemilik). Dari 20 orang
petani petani penggarap bukan pemilik tersebut rinciannya adalah
53
penyewa (40%), penyakap (25%), dan bayar PBB (35%). Status yang
terakhir adalah petani penggarap membayarkan PBB (Pajak Bumi dan
Bangunan) lahan yang digarap dan kemudian semua hasil garapannya
menjadi hak petani penggarap yang bersangkutan. Besar nilai PBB
tergantung lokasi lahan, namun kisarannya adalah antara Rp 1,5 juta per
hektar per tahun hingga Rp 1,6 juta per hektar per tahun.
Terdapat beberapa fenomena terkait dengan penguasaan lahan
pertanian di lokasi penelitian. Pertama, penentuan pola penguasaan
lahan tergantung pada kesepakatan awal antara pemilik baru dengan
penggarapnya. Biasanya penerapan pola penguasaan lahan tersebut
dilakukan oleh pemilik baru (dari proses jual beli). Sementara itu, pemilik
lahan yang tidak menjual lahannya umumnya sebagai petani penggarap
di lahan sendiri.
Kedua, tidak semua pemilik lahan menguasakan lahan kepada
penggarap dengan pola yang sama. Mereka umumnya menguasakan
lahannya untuk digarap sementara oleh petani pemilik lahan pertama,
namun dalam batas waktu yang tidak ditentukan, kapanpun lahan
tersebut akan digunakan oleh pemilik. Konsekuensinya, petani yang
menggarap lahan tersebut harus menyerahkan sepenuhnya kepada
pemilik (tanpa syarat). Biasanya setelah tidak digarap, lahan pertanian
tersebut dialihfungsikan ke lahan non-pertanian (pabrik atau gudang).
Ketiga, penyerahan penguasaan lahan dari pemilik kepada petani
penggarap dapat menyebabkan pengelolaannya menjadi tidak optimal.
Bahkan pada beberapa kasus terjadi hak wewenang pengelolaan lahan
dialihkan ke petani penggarap berikutnya. Dalam hal ini petani
penggarap pertama berperan jadi manajer atau hanya sebagai perantara
saja. Keberadaan petani penggarap sifatnya musiman (ganti-ganti)
sehingga relatif sulit diarahkan untuk kegiatan suatu program.
Keempat, pengaruh pemilik cukup tinggi dalam pengelolaan
lahan, bahkan lebih menentukan dibandingkan peran penggarap lahan.
54
Misalnya, apabila penggarap lahan mau menerapkan anjuran teknologi
baru, pemilik lahan memiliki kekhawatiran terhadap kegagalan
(penurunan produksi) yang berimplikasi pada berkurangnya bagi hasil
atau pendapatan yang diperoleh. Jika tidak mengikuti kehendak pemilik
lahan, dampaknya dapat berupa pemutusan hubungan kerjasama. Oleh
karena itu, peran pemilik lahan cukup menentukan dalam penerapan
teknologi dan peningkatan produktivitas lahan.
Satu fenomena yang cukup menggelitik (surprise) ditemukan yaitu
terkait dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Banyak KTP petani yang
identitas pekerjaannya bukan sebagai petani, tetapi malahan sebagai
wiraswasta atau buruh harian lepas. Fenomena tersebut juga ditemui
pada anggota kelompok tani yang telah dibahas sebelumnya, kecuali
kelompok tani “Silih Reksa IV”.
Menurut informasi yang diperoleh, pilihan pekerjaan yang ada
dalam KTP setempat hanya ada enam, yaitu PNS, TNI/Polri,
wiraswasta,swasta, guru/dosen, dan buruh harian lepas. Konfirmasi
kebenarannya perlu dilacak lebih lanjut. Sebetulnya ada 88 pilihan jenis
pekerjaan dalam kolom pekerjaan pada KTP (Lampiran Tabel 13).
Kelompok tani “Sugih Mukti” sudah memperoleh beberapa fasilitas
dari pemerintah seperti bantuan pompa air irigasi, pelatihan SRI (System
of Rice Intensification), SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu), dan SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu),
serta studi banding. Terkait dengan pelatihan, petani menginginkan
pelatihan yang betul-betul cocok dengan usahatani setempat. Sementara
itu, satu hal yang menjadi catatan dalam studi banding adalah kurang
tepatnya lokasi sasaran kunjungan. Adakalanya petani dibawa ke lokasi
yang sebetulnya kalah maju dibandingkan lokasi petani sendiri. Harapan
petani yaitu agar pemerintah lebih mementingkan subsidi harga yang
dirasa lebih efektif dari pada subsidi sarana produksi seperti pupuk.
Selain itu, diharapkan juga agar ada alternatif terobosan mengingat
55
petani rentan terhadap rayuan investor terkait dengan penjualan lahan
yang berujung pada alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-
pertanian.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1. Kesimpulan
Dari deskripsi eksistensi dan dinamika transformasi berikut
identifikasi tipologi petani skala kecil (rumah tangga petani gurem) di
atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Eksistensi rumah tangga petani (RTP) skala kecil (gurem) cukup
menonjol di Indonesia. Jumlah RTP gurem tercatat 14,25 juta rumah
tangga atau sekitar 55,33 persen dari jumlah RTP pengguna lahan
pertanian nasional. Dinamika selama satu dasawarsa terakhir (2003-
2013) menunjukkan bahwa jumlah RTP gurem mengalami
transformasi pengurangan absolut sebanyak 4,77 juta rumah tangga,
atau rata-rata menurun sekitar 2,51 persen per tahun.
2. Eksistensi dan transformasi RTP gurem bervariasi menurut tingkat
wilayah baik regional, provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan
(termasuk desa). Akan tetapi, terdapat ketimpangan yang cukup
signifikan dimana eksistensi jumlah RTP gurem di Jawa hampir tiga
kali lipat dibandingkan di luar Jawa. Sementara itu transformasi
penurunan jumlah RTP gurem di Jawa juga lebih besar dari pada
3. Secara tipologi, eksistensi jumlah RTP gurem dan proporsinya
terhadap RTP pengguna lahan pertanian berbanding terbalik dengan
dinamika transformasinya. Eksistensi jumlah RTP gurem dan
proporsinya terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian yang
paling tinggi terdapat pada tipologi subsisten, kemudian diikuti oleh
tipologi komersial dan tipologi transisi. Sementara itu dinamika
56
transformasi RTP gurem yang ditunjukkan oleh fenomena penurunan
yang paling besar adalah pada tipologi transisi tertinggi, berikutnya
pada tipologi komersial dan tipologi subsisten. Kondisi tersebut
antara lain berhubungan dengan ketersediaan dan penguasaan lahan
pertanian pada masing-masing tipologi.
4. Karakteristik petani di lokasi penelitian memiliki beberapa perbedaan
substantif menurut tipologinya. Pertama, rataan luas penguasaan
lahan pertanian (sawah) pada tipologi subsisten adalah di bawah 0,5
hektar dengan proporsi buruh tanggi yang cukup tinggi. Sementara
itu panen padi cenderung dilakukan secara “tebasan” karena desakan
kebutuhan ekonomi rumah tangga. Kedua, karakteristik tipologi
dicirikan oleh kegiatan usahatani yang beorientasi pasar melalui
dukungan kerjasama kemitraan yang cukup berhasil sehingga secara
implisit juga dinikmati oleh RTP gurem yang bekerja sebagai buruh
dalam kegiatan usahatani yang bersangkutan. Ketiga, secara
spesifik tipologi transisi ditandai oleh rendahnya proporsi antara
petani pemilik penggarap dibandingkan dengan petani penggarap
(13,04% vs. 86,96%). Selain itu alih fungsi lahan pertanian ke
penggunaan non-pertanian cukup gencar pada tipologi ini karena
lokasinya berada dekat pertumbuhan ekonomi (peri urban).
5. Peran petani pemilik di tipologi transisi cukup menentukan dalam
adopsi teknologi pertanian, khususnya di tipologi transisi.
Konsekuensinya, petani penggarap mengikuti persepsi tersebut
karena khawatir terhadap pemutusan hubungan kerja.
6. Rataan usia anggota kelompok tani relatif sudah tergolong kategori
tua, terutama di tipologi subsisten dan transisi (>55 tahun). Sejalan
dengan itu, ketertarikan generasi muda untuk terjun di bidang
pertanian semakin menurun, terutama di tipologi transisi dan
sebagian di tipologi subsisten.
57
7. Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang
tercantum pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) dominan bukan
sebagai petani. Kondisi tersebut mengindikasikan kurang tertibnya
administrasi kependudukan yang sekaligus dapat berdampak pada
distorsi sasaran program yang seharusnya untuk petani tetapi jatuh
kepada pihak lain.
5.2. Implikasi Kebijakan
Dari kesimpulan di atas, implikasi kebijakan dari penelitian ini
meliputi beberapa aspek. Aspek-aspek implikasi kebijakan tersebut
meliputi:
1. Pengembangan rumah tangga petani (RTP) skala kecil (gurem)
seyogianya diimplementasikan berdasarkan tipologinya. Hal tersebut
mengingat masing-masing tipologi memiliki perbedaan spesifikasi
karakteristik eksistensi dan kebutuhan serta orientasi kegiatannya.
Pengembangan tersebut harus dimulai dari pengembangan kapasitas
petani termasuk RTP gurem melalui pendidikan dan latihan (diklat),
baik teknis (pengelolaan usahatani) maupun non-teknis (manajerial)
berlandaskan konsep agribisnis. Bantuan fisik untuk pembangunan
komoditas dilaksanakan secara selektif. Hal tersebut mengingat
akselerasi pembangunan komoditas tergantung pada pengembangan
komunitas.
2. Fokus pengembangan petani tipologi subsisten adalah melalui
optimalisasi pemanfaatan lahan yang cenderung sempit. Tumpuan
pengembangan petani tipologi komersial yaitu dengan cara
meningkatkan kerjasama kemitraan yang menguntungkan kedua
belah pihak (terutama petani skala kecil). Sementara itu, inti
pengembangan petani tipologi transisi yakni dalam bentuk
peningkatan kapasitas keterampilan dalam bidang yang menunjang
usahatani (off-farm) seperti alsintan (alat dan mesin pertanian).
58
3. Implementasi pengembangan petani adalah secara kolektif melalui
oganisasi kelompok tani. Perlu dicatat bahwa kegiatan
pengembangan petani harus memperhatikan substansi statusnya
(pemilik dan penggarap). Disamping itu pengecekan KTP petani
seyogianya dilakukan dan bila perlu diiringi dengan pemberian kartu
identitas petani guna mempermudah identifikasi dan ketepatan
implementasi kegiatan pengembangan komunitas petani dan
komoditas pertaniannya.
59
DAFTAR PUSTAKA
Anantanyu. S. 2008. Tipe Petani dan Strategi Pengembangan Kelembagaan Kelompok Tani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah). Jurnal M’Power, Vol. 8, No. 8: 35-48, Oktober 2008. Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta.
Anonim. 88 Jenis Pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).
https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=pekerjaan+di+kolom+KTP (Januari 2015)
Arifin, B. 2013. Tenaga Kerja Sektor Pertanian: Hasil dari Transformasi Struktural. Makalah pada Seminar “Ekonomi Ketenagakerjaan”. Kamar Dagang Indonesia. Jakarta.
BPP Banyuresmi, 2014. Programa Penyuluhan Kecamatan Banyuresmi. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Banyuresmi. Banyuresmi.
BPPSDMP. 2011. Rencana Strategis Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
BPS Kabupaten Bandung. 2014a. Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Bandung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. Soreang.
BPS Kabupaten Bandung. 2014b. Kecamatan Bojongsoang Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. Soreang.
BPS Kabupaten Bandung. Survei Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) tahun 2009. Soreang.
BPS Kabupaten Garut. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten
Garut. Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut. Garut.
BPS Provinsi Jawa Barat. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 Provinsi
Jawa Barat. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Bandung.
BPS. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 (Angka Tetap). Berita Resmi
Statistik Nomor 90/12/Th. XVI, 2 Desember 2013. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.
DPTPH Garut. 2014. Laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Garut. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut. Garut.
FAO. 2012. Small-Scale Farmers as A Key to Feeding the World. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
<permaculturenews.org/.../un-small-farmer> (Desember 2014).
Hazell, P., J. Anderson, N. Balzer, A. H. Clemmensen, U. Hess, and F. Rispoli. 2010. Potential for Scale and Sustainability in Weather
Index for Agricultre and Rural Livelihoods. International Fund for Agricultural Development and World Food Program (IFAD-WFP).
60
<http://www.ifad.org/rural finance/pub/weather.pdf> (Desember 2014).
IFAD. 2013. New Directions for Smallholder Agriculture (edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom.
IFPRI. 2007. The Future of Small Farms. Proceeding of Research Workshop. International Food Policy Research Institute.
Washington D.C.
Iqbal, M. 2008. Perspektif Sistem Kemitraan Agribisnis Kentang di
Kabupaten Garut, Jawa Barat. Artikel dalam Buletin Ristek Volume. 7, Nomor 2, Desember 2008. Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Jawa Barat. Bandung.
Kecamatan Bojongsoang. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah akecamatan Bojongsoang. Bojongsoang.
Narayanan, S. and A. Gulati. 2002. Globalization and the Smallholders: A Review of Issue, Approaches, and Implications. Market and Structural Studies Division. International Food Policy Researc
Institute. Washington D. C.
Pemerintah RI. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta.
Pemerintah RI. 2013. Undang Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta.
Pemerintah RI. 2013. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta.
Rahman, A. dan J. Smolak. 2013. Financing Smallholder Farmers in
Developing Countries in New Directions for Smallholder Agriculture (edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom.
Rauf, L. 2013. Menuju Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) 2015: Tantangan dan Peluang. Studi Kasus Thailand. Makalah
disampaikan pada Workshop Nasional Kesiapan Sektor Pertanian menghadapi ASEAN Economic Community (AEC). Kedutaan
Republik Indonesia untuk Kerajaan Thailand. Bangkok.
Sumaryanto. 2009. Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global. Makalah pada Seminar Nasional “Peningkatan Daya
Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani”. Bogor, 14 Oktober 2009.
61
Thapa, G. and R. Gaiha. 2013. Smaalholder farming in Asia and the Pacific: Challenges and Opportnities in New Directions for
Smallholder Agriculture (edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom.
Toulmin, C. 2013. Securing a Future for Smallholder Farmers in an Era of Climate Change in New Directions for Smallholder Agriculture
(edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom.
62
LAMPIRAN
Lampiran Tabel 1. Keragaan Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Indonesia, 2003 dan 2013
No. Provinsi 2003 2013 Perubahan
Absolut %
1. Aceh 699.370 644.851 -54.519 -7,80
2. Sumatera Utara 1.492.104 1.327.759 -164.345 -11,01
3. Sumatera Barat 709.351 644.610 -64.741 -9,13
4. Riau 541.050 581.517 40.467 7,48
5. Jambi 414.986 431.589 16.603 4,00
6. Sumatera Selatan 971.458 958.724 -12.734 -1,31
7. Bengkulu 280.964 277.136 -3.828 -1,36
8. Lampung 1.293.192 1.226.455 -66.737 -5,16
9. Kepulauan Bangka Belitung 139.315 124.970 -14.345 -10,30
10. Kepulauan Riau 74.195 69.991 -4.204 -5,67
11. DKI Jakarta 52.583 12.287 -40.296 -76,63
12. Jawa Barat 4.345.148 3.058.612 -1,286.536 -29,61
13. Jawa Tengah 5.770.801 4.290.619 -1,480.182 -25,65
14. DI Yogyakarta 574.920 495.781 -79.139 -13,77
15. Jawa Timur 6.314.370 4.978.358 -1,336.012 -21,16
16. Banten 898.021 592.841 -305.180 -33,98
17. Bali 492.394 408.233 -84.161 -17,09
18. Nusa Tenggara Barat 719.875 600.613 -119.262 -16,57
19. Nusa Tenggara Timur 729.483 778.854 49.371 6,77
20. Kalimantan Barat 614.738 627.638 12.900 2,10
21. Kalimantan Tengah 302.414 270.914 -31.500 -10,42
22. Kalimantan Selatan 471.972 432.328 -39.644 -8,40
23. Kalimantan Timur 203.179 180.614 -22.565 -11,11
24. Kalimantan Utara 38.948 44.735 5.787 14,86
25. Sulawesi Utara 324.374 253.503 -70.871 -21,85
26. Sulawesi Tengah 396.622 401.891 5.269 1,33
27. Sulawesi Selatan 1.082.251 980.946 -101.305 -9,36
28. Sulawesi Tenggara 314.011 316.262 2.251 0,72
29. Gorontalo 133.083 122.515 -10.568 -7,94
30. Sulawesi barat 167.098 185.847 18.749 11,22
31. Maluku 184.376 175.362 -9.014 -4,89
32. Maluku Utara 129.246 130.233 987 0,76
33. Papua Barat 75.790 70.223 -5.567 -7,35
34. Papua Barat 280.502 438.658 158.156 56,38
Indonesia 31.232.184 26.135.469 5.096.715 -16,32
Sumber: BPS (2014)
63
Lampiran Tabel 2. Keragaan RTUP di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013
No. Kabupaten/Kota 2003 2013 Perubahan
Absolut %
1. Bogor 255.744 204.437 -51.307 -20,06
2. Sukabumi 354.800 291.754 -63.046 -17,77
3. Cianjur 327.903 283.033 -44.870 -13,68
4. Bandung 187.728 141.833 -45.895 -24,45
5. Garut 320.852 268.601 -52.251 -16,29
6. Tasikmalaya 321.367 282.639 -38.728 -12,05
7. Ciamis 349.461 275.431 -74.030 -21,18
8. Kuningan 165.327 113.287 -52.040 -31,48
9. Cirebon 192.755 89.002 -103.753 -53,83
10. Majalengka 204.867 156.640 -48.227 -23,54
11. Sumedang 174.068 134.446 -39.622 -22,76
12. Indramayu 270.749 166.292 -104.457 -38,58
13. Subang 240.628 158.135 -82.493 -34,28
14. Purwakarta 103.730 73.115 -30.615 -29,51
15. Karawang 261.133 123.143 -137.990 -52,84
16. Bekasi 204.883 85.598 -119.285 -58,22
17. Bandung Barat 181.795 137.581 -44.214 -24,32
18. Kota Bogor 22.114 4.591 -17.523 -79,24
19. Kota Sukabumi 10.901 5.601 -5.300 -48,62
20. Kota Bandung 11.370 4.526 -6.844 -60,19
21. Kota Cirebon 7.475 2.384 -5.091 -68,11
22. Kota Bekasi 59.512 6.424 -53.088 -89,21
23. Kota Depok 46.028 9.918 -36.110 -78,45
24. Kota Cimahi 5.387 2.800 -2.587 -48,02
25. Kota Tasikmalaya 38.987 21.268 -17.719 -45,45
26. Kota Banjar 25.584 16.133 -9.451 -36,94
Provinsi Jawa Barat 4.345.148 3.058.612 -1.286.536 -29,61
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (2014)
64
Lampiran Tabel 3. Keragaan RTUP di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013
No. Kecamatan 2003 2013 Perubahan
Absolut %
1. Cisewu 8.507 8.611 104 1,22
2. Caringin 7.154 7.080 -74 -1,03
3. Talegong 8.071 7.615 -456 -5,65
4. Bungbulang 11.975 11.911 -64 -0,53
5. Mekarmukti 3.613 4.031 418 11,57
6. Pamulihan 3.201 3.219 18 0,56
7. Pakenjeng 13.448 12.180 -1.268 -9,43
8. Cikelet 8.147 7.867 -280 -3,44
9. Pameungpeuk 6.097 4.622 -1.475 -24,19
10. Cibalong 8.028 7.387 -641 -7,98
11. Cisompet 10.620 9.670 -950 -8,95
12. Peundeuy 4.217 4.716 499 11,83
13. Singajaya 9.134 9.180 46 0,50
14. Cihurip 3.900 3.625 -275 -7,05
15. Cikajang 9.339 9.500 161 1,72
16. Banjarwangi 10.192 7.595 -2.597 -25,48
17. Cilawu 12.589 9.952 -2.637 -20,95
18. Bayongbong 10.334 7.794 -2.540 -24,58)
19. Cigedug 5.178 4.358 -820 -15,84
20. Cisurupan 15.637 11.442 -4.195 -26,83
21. Sukaresmi 4.483 4.051 -432 -9,64
22. Samarang 7.958 4.829 -3.129 -39,32
23. Pasirwangi 7.859 6.499 -1.360 -17,31
24. Tarogong Kidul 5.161 2.613 -2.548 -49,37
25. Tarogong Kaler 6.825 5.448 -1.377 -20,18
26. Garut Kota 5.118 4.088 -1.030 -20,13
27. Karangpawitan 9.009 4.952 -4.057 -45,03
28. Wanaraja 5.396 3.977 -1.419 -26,30
29. Sucinaraja 4.622 3.759 -863 -18,67
30. Pangatikan 3.857 2.930 -927 -24,03
31. Sukawening 5.750 5.172 -578 -10,05
32. Karangtengah 2.772 2.786 14 0,51
33. Banyuresmi 8.638 8.022 -616 -7,13
34. Leles 8.214 7.798 -416 -5,06
35. Leuwigoong 5.633 4.249 -1.384 -24,57
36. Cibatu 8.043 5.871 -2.172 -27,00
37. Kersamanah 4.820 3.396 -1.424 -29,54
38. Cibiuk 3.774 3.477 -297 -7,87
39. Kadungora 7.406 6.108 -1.298 -17,53
40. Blubur Limbangan 11.715 8.106 -3.609 -30,81
41. Selaawi 6.906 5.652 -1.254 -18,16
42. Malangbong 17.512 12.463 -5.049 -28,83
Kabupaten Garut 320.852 268.601 -52.251 -16,29
Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)
65
Lampiran Tabel 4. Keragaan RTUP di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013
No.
Kecamatan 2003 2013 Perubahan
Absolut %
1. Ciwidey 8.239 7.157 -1.082 -13,13
2. Rancabali 7.138 6.122 -1.016 -14,23
3. Pasir Jambu 8.809 6.521 -2.288 -25,97
4. Cimaung 7.701 5.819 -1.882 -24,44
5. Pangalengan 12.305 12.731 426 3,46
6. Kertasari 6.800 8.811 2.011 29,57
7. Pacet 12.984 10.686 -2.298 -17,70
8. Ibun 8.173 6.287 -1.886 -23,08
9. Paseh 7.344 6.810 -534 -7,27
10. Cikancung 8.214 5.192 -3.022 -36,79
11. Cicalengka 6.490 3.490 -3.000 -46,22
12. Nagreg 3.889 3.610 -279 -7,17
13. Rancaekek 8.435 4.303 -4.132 -48,99
14. Majalaya 4.932 3.760 -1.172 -23,76
15. Solakanjeruk 3.589 3.084 505 -14,07
16. Ciparay 9.269 5.778 -3.491 -37,66
17. Baleendah 5.133 3.593 -1.540 -30,00
18. Arjasari 10.727 7.686 -3.041 -28,35
19. Banjaran 6.054 4.240 -1.814 -29,96
20. Cangkuan 4.363 2.504 -1.859 -42,61
21. Pameungpeuk 2.440 1.709 -731 -29,96
22. Katapang 2.444 1.852 -592 -24,22
23. Soreang 4.871 2.423 -2.448 -50,26
24. Kutawaringin 8.368 4.694 -3.674 -43,91
25. Margaasih 1.904 1.708 -196 -10,29
26. Margahayu 459 286 -173 -37,69
27. Dayeuhkolot 574 397 -177 -30,84
28. Bojongsoang 3.790 1.308 -2.482 -65,49
29. Cileunyi 1.677 2.898 1.221 72,81
30. Cilengkrang 4.565 2.806 -1.759 -38,53
31. Cimenyan 6.048 3.568 -2.480 -41,01
Kabupaten Bandung 187.728 141.833 -45.895 -24.45
Sumber: BPS Kabupaten Bandung (2014)
66
Lampiran Tabel 5. Rataan Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia menurut Provinsi, 2003 dan 2013
No. Provinsi 2003 2013 Perubahan
Absolut %
1. Aceh 1,33 1,03 -0,30 -22,56
2. Sumatera Utara 0,46 1,08 0,62 134,78
3. Sumatera Barat 0,50 0,96 0,46 92,00
4. Riau 1,15 2,64 1,49 129,57
5. Kepulauan Riau 0,25 0,93 0,68 272,00
6. Jambi 1,29 2,47 1,18 91,47
7. Sumatera Selatan 1,03 1,95 0,92 89,32
8. Kepulauan Bangka Belitung 0,57 1,80 1,23 215,79
9. Bengkulu 1,16 1,76 0,60 51,72
10. Lampung 0,75 1,10 0,35 46,67
11. DKI Jakarta 0,01 0,17 0,16 1.600,00
12. Jawa Barat 0,15 0,44 0,29 193,33
13. Banten 0,20 0,54 0,34 170,00
14. Jawa Tengah 0,22 0,37 0,15 68,18
15. DI Yogyakarta 0,17 0,27 0,10 58,82
16. Jawa Timur 0,22 0,39 0,17 77,27
17. Bali 0,28 0,50 0,22 78,57
18. Nusa Tenggara Barat 0,37 0,66 0,29 78,38
19. Nusa Tenggara Timur 0,90 0,92 0,02 2,22
20. Kalimantan Barat 1,54 2,65 1,11 72,08
21. Kalimantan Tengah 1,31 3,10 1,79 136,64
22. Kalimantan Selatan 0,55 1,28 0,73 132,73
23. Kalimantan Timur 0,64 2,52 1,88 293,75
24. Kalimantan Utara 1,13 2,85 1,72 152,21
25. Sulawesi Utara 0,56 1,34 0,78 139,29
26. Gorontalo 0,54 1,10 0,56 103,70
27. Sulawesi Tengah 1,12 1,72 0,60 53,57
28. Sulawesi Selatan 0,68 1,12 0,44 64,71
29. Sulawesi Barat 1,05 1,43 0,38 36,19
30. Sulawesi Tenggara 1,00 1,63 0,63 63,00
31. Maluku 0,79 0,89 0,10 12,66
32. Maluku Utara 1,24 1,75 0,51 41,13
33. Papua 0,43 0,49 0,06 13,95
34. Papua Barat 0,48 0,73 0,25 52,08
Indonesia 0,41 0,89 0,48 117,07
Sumber: BPS (2014)
67
Lampiran Tabel 6. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan di Gurem di Indonesia, 2003 dan 2013
No. Provinsi Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Proporsi RTP Gurem (%)
2003 2013 Perubahan
2003 2013 Perubahan
2003 Perubahan
Absolut % Absolut % Absolut %
1. Aceh 691.454 637.778 -53.676 -7,76 248.823 276.729 27.906 11,22 35,99 43,39 7,40
2. Sumatera Utara 1.451.813 1.308.393 -143.420 -9,88 751.330 570.185 -181.145 -24,11 51,75 43,58 -8,17
3. Sumatera Barat 695.739 640.695 -55.044 -7,91 357.797 275.135 -82.662 -23,10 51,43 42,94 -8,48
4. Riau 511.395 568.070 56.675 11,08 125.418 68.560 -56.858 -45,33 24,52 12,07 -12,46
5. Kepulauan Riau 401.052 426.647 25.595 6,38 101.836 65.499 -36.337 -35,68 25,39 15,35 -10,04
6. Jambi 946.858 949.801 2.943 0,31 218.091 110.932 -107.159 -49,13 23,03 11,68 -11,35
7. Sumatera Selatan 275.769 275.559 -210 -0,08 49.147 35.974 -13.173 -26,80 17,82 13,05 -4,77
8. Kepulauan Bangka Belitung 1.272.932 1.218.927 -54.005 -4,24 447.126 362.148 -84.978 -19,01 35,13 29,71 -5,42
9. Bengkulu 127.412 117.488 -9.924 -7,79 52.891 26.069 -26.822 -50,71 41,51 22,19 -19,32
10. Lampung 56.086 50.230 -5.856 -10,44 28.379 20.545 -7.834 -27,60 50,60 40,90 -9,70
11. Banten 875.287 584.259 -291.028 -33,25 634.415 379.888 -254.527 -40,12 72,48 65,02 -7,46
12. DKI Jakarta 47.262 9.515 -37.747 -79,87 45.428 8.611 -36.817 -81,04 96,12 90,50 -5,62
13. Jawa Barat 4.242.003 3.039.716 -1.202.287 -28,34 3.501.867 2.298.193 -1.203.674 -34,37 82,55 75,61 -6,95
14. Jawa Tengah 5.697.473 4.262.608 -1.434.865 -25,18 4.629.877 3.312.235 -1.317.642 -28,46 81,26 77,70 -3,56
15. DI Yogyakarta 573.092 495.401 -77.691 -13,56 479.780 424.557 -55.223 -11,51 83,72 85,70 1,98
16. Jawa Timur 6.189.481 4.931.506 -1.257.975 -20,32 4.893.626 3.755.837 -1.137.789 -23,25 79,06 76,16 -2,90
17. Bali 485.531 404.507 -81.024 -16,69 313.111 257.181 -55.930 -17,86 64,49 63,58 -0,91
18. Nusa Tenggara Barat 686.172 587.617 -98.555 -14,36 446.040 350.131 -95.909 -21,50 65,00 59,58 -5,42
19. Nusa Tenggara Timur 722.039 770.864 48.825 6,76 224.987 289.917 64.930 28,86 31,16 37,61 6,45
20. Kalimantan Barat 594.483 616.894 22.411 3,77 120.575 81.286 -39.289 -32,58 20,28 13,18 -7,11
21. Kalimantan Tengah 273.806 261.227 -12.579 -4,59 45.564 29.083 -16.481 -36,17 16,64 11,13 -5,51
22. Kalimantan Selatan 450.903 420.352 -30.551 -6,78 193.773 133.853 -59.920 -30,92 42,97 31,84 -11,13
23. Kalimantan Timur 180.515 165.413 -15.102 -8,37 56.075 27.326 -28.749 -51,27 31,06 16,52 -14,54
24. Kalimantan Utara 34.595 39.369 4.774 13,80 9.084 6.343 -2.741 -30,17 26,26 16,11 -10,15
25. Sulawesi Utara 300.834 246.394 -54.440 -18,10 103.154 72.055 -31.099 -30,15 34,29 29,24 -5,05
26. Gorontalo 372.636 387.258 14.622 3,92 69.935 74.073 4.138 5,92 18,77 19,13 0,36
27. Sulawesi Tengah 1.049.449 950.241 -99.208 -9,45 408.673 338.108 -70.565 -17,27 38,94 35,58 -3,36
28. Sulawesi Selatan 293.555 299.926 6.371 2,17 72.188 63.809 -8.379 -11,61 24,59 21,27 -3,32
29. Sulawesi Barat 118.257 117.248 -1.009 -0,85 44.791 40.959 -3.832 -8,56 37,88 34,93 -2,94
30. Sulawesi Tenggara 160.863 179.814 18.951 11,78 43.560 50.696 7.136 16,38 27,08 28,19 1,11
31. Maluku 178.497 170.169 -8.328 -4,67 68.913 78.140 9.227 13,39 38,61 45,92 7,31
32. Maluku Utara 124.480 127.865 3.385 2,72 19.679 21.857 2.178 11,07 15,81 17,09 1,28
33. Papua 71.131 65.458 -5.673 -7,98 39.344 37.570 -1.774 -4,51 55,31 57,40 2,08
34. Papua Barat 266.728 424.058 157.330 58,99 169.774 305.380 135.606 79,87 63,65 72,01 8,36
Indonesia 30.419.582 25.751.267 -4.668.315 -15,35 19.015.051 14.248.864 -4.766.187 -25,07 62,51 55,33 -7,18
Sumber: BPS (2014)
68
Lampiran Tabel 7. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013
No. Kabupaten/Kota
Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Proporsi RTP Gurem (%)
2003 2013 Perubahan
2003 2013 Perubahan
2003 2013 Perubahan Absolut % Absolut %
1. Bogor 249.566 203.585 -45.981 -18,42 215.322 165.696 -49.626 -23,05 86,28 81,39 -4,89
2. Sukabumi 348.403 290.771 -57.632 -16,54 282.047 228.343 -53.704 -19,04 80,95 78,53 -2,42
3. Cianjur 324.570 282.247 -42.323 -13,04 259.438 219.691 -39.747 -15,32 79,93 77,84 -2,10
4. Bandung 178.056 141.747 36.309 -20,39 156.889 114.213 42.676 -27,20 88,11 80,58 -7,54
5. Garut 315.688 268.177 -47.511 -15,05 260.219 209.813 50.406 -19,37 82,43 78,24 -4,19
6. Tasikmalaya 318.101 282.463 -35.638 -11,20 259.660 235.687 -23.973 -9,23 81,63 83,44 1,81
7. Ciamis 346.466 274.567 -71.899 -20,75 275.040 205.511 -69.529 -25,28 79,38 74,85 -4,54
8. Kuningan 163.841 113.120 -50.721 -30,96 141.409 94.595 -46.814 -33,11 86,31 83,62 -2,69
9. Cirebon 179.527 85.061 -94.466 -52,62 151.597 52.384 -99.213 -65,45 84,44 61,58 -22,86
10. Majalengka 202.604 156.468 -46.136 -22,77 171.420 123.863 -47.557 -27,74 84,61 79,16 -5,45
11. Sumedang 172.164 134.394 -37.770 -21,94 139.933 103.764 -36.169 -25,85 81,28 77,21 -4,07
12. Indramayu 257.588 162.455 -95.133 -36,93 195.872 91.415 -104.457 -53,33 76,04 56,27 -19,77
13. Subang 233.318 157.102 -76.216 -32,67 183.652 103.136 -80.516 -43,84 78,71 65,65 -13,06
14. Purwakarta 102.068 72.436 -29.632 -29,03 84.962 56.459 -28.503 -33,55 83,24 77,94 -5,30
15. Karawang 253.446 121.509 -131.937 -52,06 197.393 64.475 -132.918 -67,34 77,88 53,06 -24,82
16. Bekasi 199.633 84.089 -115.544 -57,88 161.396 45.812 -115.584 -71,62 80,85 54,48 -26,37
17. Bandung Barat 176.335 137.021 -39.314 -22,30 156.816 120.226 -36.590 -23,33 88,93 87,74 -1,19
18. Kota Bogor 21.692 4.507 -17.185 -79,22 20.851 4.127 -16.724 -80,21 96,12 91,57 -4,55
19. Kota Sukabumi 10.803 5.586 -5.217 -48,29 9.991 4.521 -5.470 -54,75 92,48 80,93 -11,55
20. Kota Bandung 10.914 4.503 -6.411 -58,74 9.838 3.506 -6.332 -64,36 90,14 77,86 -12,28
21. Kota Cirebon 6.853 2.181 -4.672 -68,17 6.646 1.995 -4.651 -69,98 96,98 91,47 -5,51
22. Kota Bekasi 57.049 6.213 -50.836 -89,11 56.163 5.771 -50.392 -89,72 98,45 92,89 -5,56
23. Kota Depok 44.761 9.491 -35.270 -78,80 43.764 8.914 -34.850 -79,63 97,77 93,92 -3,85
24. Kota Cimahi 5.028 2.779 -2.249 -44,73 4.823 2.607 -2.216 -45,95 95,92 93,81 -2,11
25. Kota Tasikmalaya 38.320 21.250 -17.070 -44,55 35.025 18.387 -16.638 -47,50 91,40 86,53 -4,87
26. Kota Banjar 25.209 15.994 -9.215 -36,55 21.701 13.282 -8.419 -38,80 86,08 83,04 -3,04
Jawa Barat 4,242,003 3.039.716 1.202.287 -28,34 3.501.867 2.298.193 1.203.674 -34,37 82,55 75,61 -6,95
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (2014)
69
Lampiran Tabel 8. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013
No. Kecamatan
Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Proporsi RTP Gurem (%)
2003 2013 Perubahan
2003 2013 Perubahan
2003 2013 Perubahan Absolut % Absolut %
1. Cisewu 8.461 8.609 148 1,75 6.153 6.666 513 8,34 72,72 77,43 4,71
2. Caringin 7.025 7.044 19 0,27 4.046 4.137 91 2,25 57,59 58,73 1,14
3. Talegong 8.061 7.613 -448 -5,56 6.465 6.248 -217 -3,36 80,20 82,07 1,87
4. Bungbulang 11.924 11.908 -16 -0,13 9.021 8.532 -489 -5,42 75,65 71,65 -4,00
5. Mekarmukti 3.586 4.029 443 12,35 2.112 2.850 738 34,94 58,90 70,74 11,84
6. Pamulihan 3.185 3.214 29 0,91 2.592 2.409 -183 -7,06 81,38 74,95 -6,43
7. Pakenjeng 13.364 12.161 -1.203 -9,00 9.957 8.812 -1.145 -11,50 74,51 72,46 -2,04
8. Cikelet 7.949 7.733 -216 -2,72 5.594 4.729 -865 -15,46 70,37 61,15 -9,22
9. Pameungpeuk 5.715 4.565 -1.150 -20,12 4.530 3.577 -953 -21,04 79,27 78,36 -0,91
10. Cibalong 7.911 7.348 -563 -7,12 4.216 3.382 -834 -19,78 53,29 46,03 -7,27
11. Cisompet 10.357 9.669 -688 -6,64 8.335 7.003 -1.332 -15,98 80,48 72,43 -8,05
12. Peundeuy 4.216 4.717 501 11,88 2.483 3.040 557 22,43 58,89 64,45 5,55
13. Singajaya 9.094 9.174 80 0,88 7.620 7.931 311 4,08 83,79 86,45 2,66
14. Cihurip 3.905 3.625 -280 -7,17 3.222 3.050 -172 -5,34 82,51 84,14 1,63
15. Cikajang 9.236 9.489 253 2,74 7.786 7.470 -316 -4,06 84,30 78,72 -5,58
16. Banjarwangi 10.196 7.597 -2.599 -25,49 8.488 6.213 -2.275 -26,80 83,25 81,78 -1,47
17. Cilawu 12.057 9.941 -2.116 -17,55 11.266 8.777 -2.489 -22,09 93,44 88,29 -5,15
18. Bayongbong 10.351 7.792 -2.559 -24,72 9.284 6.721 -2.563 -27,61 89,69 86,26 -3,44
19. Cigedug 5.185 4.356 -829 -15,99 4.643 3.729 -914 -19,69 89,55 85,61 -3,94
20. Cisurupan 15.548 11.437 -4.111 -26,44 13.612 9.690 -3.922 -28,81 87,55 84,73 -2,82
21. Sukaresmi 4.386 4.046 -340 -7,75 3.787 3.295 -492 -12,99 86,34 81,44 -4,90
22. Samarang 7.993 4.823 -3.170 -39,66 6.998 3.814 -3.184 -45,50 87,55 79,08 -8,47
23. Pasirwangi 7.752 6.482 -1.270 -16,38 6.417 5.062 -1.355 -21,12 82,78 78,09 -4,69
24. Tarogong Kidul 5.101 2.591 -2.510 -49,21 4.635 2.065 -2.570 -55,45 90,86 79,70 -11,17
25. Tarogong Kaler 6.753 5.440 -1.313 -19,44 5.733 4.421 -1.312 -22,89 84,90 81,27 -3,63
26. Garut Kota 5.133 4.083 -1.050 -20,46 4.726 3.686 -1.040 -22,01 92,07 90,28 -1,79
27. Karangpawitan 9.014 4.935 -4.079 -45,25 7.988 3.606 -4.382 -54,86 88,62 73,07 -15,55
28. Wanaraja 5.291 3.974 -1.317 -24,89 4.461 3.131 -1.330 -29,81 84,31 78,79 -5,53
29. Sucinaraja 4.628 3.755 -873 -18,86 3.826 3.088 -738 -19,29 82,67 82,24 -0,43
30. Pangatikan 3.716 2.928 -788 -21,21 3.301 2.365 -936 -28,36 88,83 80,77 -8,06
Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)
70
Lampiran Tabel 8. Lanjutan.....
No. Kecamatan
Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Proporsi RTP Gurem (%)
2003 2013 Perubahan
2003 2013 Perubahan
2003 2013 Perubahan Absolut % Absolut %
31. Sukawening 5.770 5.157 -613 -10,62 5.124 4.338 -786 -15,34 88,80 84,12 -4,69
32. Karangtengah 2.774 2.788 14 0,50 2.203 2.254 51 2,32 79,42 80,85 1,43
33. Banyuresmi 8.624 8.018 -606 -7,03 7.406 6.588 -818 -11,05 85,88 82,17 -3,71
34. Leles 8.106 7.783 -323 -3,98 6.897 6.211 -686 -9,95 85,09 79,80 -5,28
35. Leuwigoong 5.561 4.249 -1.312 -23,59 4.949 3.572 -1.377 -27,82 88,99 84,07 -4,93
36. Cibatu 7.573 5.878 -1.695 -22,38 6.838 5.148 -1.690 -24,71 90,29 87,58 -2,71
37. Kersamanah 4.638 3.396 -1.242 -26,78 4.233 3.049 -1.184 -27,97 91,27 89,78 -1,49
38. Cibiuk 3.783 3.478 -305 -8,06 3.178 2.864 -314 -9,88 84,01 82,35 -1,66
39. Kadungora 7.232 6.115 -1.117 -15,45 6.342 5.074 -1.268 -19,99 87,69 82,98 -4,72
40. Blubur Limbangan 11.205 8.105 -3.100 -27,67 9.320 6.078 -3.242 -34,79 83,18 74,99 -8,19
41. Selaawi 6.644 5.648 -996 -14,99 5.741 4.723 -1.018 -17,73 86,41 83,62 -2,79
42. Malangbong 16.685 12.484 -4.201 -25,18 14.691 10.415 -4.276 -29,11 88,05 83,43 -4,62
Kabupaten Garut 315.688 268.177 -47.511 -15,05 260.219 209.813 -50.406 -19,37 82,43 78,24 -4,19
Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)
71
Lampiran Tabel 9. Keragaan RTP Pengguna Lahan dan Gurem di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013
No. Kecamatan
Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Proporsi RTP Gurem (%)
2003 2013 Perubahan
2003 2013 Perubahan
2003 2013 Perubahan Absolut % Absolut %
1. Ciwidey 8.021 7.156 -865 -10,78 7.200 6.328 -872 -12,11 89,76 88,43 -1,34
2. Rancabali 4.445 6.127 -.682 37,84 4.098 5.464 1.366 33,33 92,19 89,18 -3,01
3. Pasirjambu 8.787 6.536 -2.251 -25,62 7.866 5.298 -2.568 -32,65 89,52 81,06 -8,46
4. Cimaung 7.705 5.818 -1.887 -24,49 6.853 4.455 -2.398 -34,99 88,94 76,57 -12,37
5. Pangalengan 11.575 12.726 1.151 9,94 10.097 10.358 261 2,58 87,23 81,39 -5,84
6. Kertasari 6.747 8.842 2.095 31,05 6.153 7.452 1.299 21,11 91,20 84,28 -6,92
7. Pacet 12.650 10.689 -1.961 -15,50 11.435 9.300 -2.135 -18,67 90,40 87,01 -3,39
8. Ibun 8.198 6.321 -1.877 -22,90 7.388 5.669 -1.719 -23,27 90,12 89,69 -0,43
9. Paseh 6.887 6.822 (65 -0,94 6.117 5.564 -553 -9,04 88,82 81,56 -7,26
10. Cikancung 8.133 5.206 -2.927 -35,99 6.999 4.143 -2.856 -40,81 86,06 79,58 -6,48
11. Cicalengka 6.005 3.486 -2.519 -41,95 5.312 2.817 -2.495 -46,97 88,46 80,81 -7,65
12. Nagreg 3.859 3.610 -249 -6,45 3.060 2.598 -462 -15,10 79,30 71,97 -7,33
13. Rancaekek 7.092 4.341 -2.751 -38,79 5.890 2.993 -2.897 -49,19 83,05 68,95 -14,10
14. Majalaya 4.935 3.750 -1.185 -24,01 4.447 3.085 -1.362 -30,63 90,11 82,27 -7,84
15. Solokanjeruk 3.664 3.098 (566 -15,45 3.212 2.249 -963 -29,98 87,66 72,60 -15,07
16. Ciparay 8.801 5.782 -3.019 -34,30 7.794 4.231 -3.563 -45,71 88,56 73,18 -15,38
17. Baleendah 4.922 3.591 -1.331 -27,04 4.195 2.632 -1.563 -37,26 85,23 73,29 -11,94
18. Arjasari 10.491 7.686 -2.805 -26,74 9.087 6.212 -2.875 -31,64 86,62 80,82 -5,79
19. Banjaran 6.067 4.233 -1.834 -30,23 5.467 3.463 -2.004 -36,66 90,11 81,81 -8,30
20. Cangkuang 4.411 2.541 -1.870 -42,39 3.833 2.054 -1.779 -46,41 86,90 80,83 -6,06
21. Pameungpeuk 2.305 1.708 -597 -25,90 2.028 1.185 -843 -41,57 87,98 69,38 -18,60
22. Katapang 2.397 1.853 -544 -22,70 2.097 1.413 684 -32,62 87,48 76,25 -11,23
23. Soreang 4.789 2.419 -2.370 -49,49 4.426 1.766 -2.660 -60,10 92,42 73,01 -19,41
24. Kutawaringin 8.349 4.692 -3.657 -43,80 7.297 3.675 -3.622 -49,64 87,40 78,32 -9,07
25. Margaasih 1.885 1.710 -175 -9,28 1.804 1.483 -321 -17,79 95,70 86,73 -8,98
26. Margahayu 449 287 -162 -36,08 438 262 -176 -40,18 97,55 91,29 -6,26
27. Dayeuhkolot 605 402 -203 -33,55 564 287 -277 -49,11 93,22 71,39 -21,83
28. Bojongsoang 2.730 1.308 -1.422 -52,09 2242 819 -1.423 -63,47 82,12 62,61 -19,51
29. Cileunyi 1.670 2.909 1.239 74,19 1.503 2.197 694 46,17 90,00 75,52 -14,48
30. Cilengkrang 3.484 2.526 -958 -27,50 3.053 2.066 -987 -32,33 87,63 81,79 -5,84
31. Cimenyan 5.998 3.572 -2.426 -40,45 4.934 2.695 -2.239 -45,38 82,26 75,45 -6,81
Kabupaten Bandung 178.056 141.747 -36.309 -20,39 156.889 114.213 -42.676 -27,20 88,11 80,58 -7,54
Sumber: BPS Kabupaten Bandung (2014)
72
Lampiran Tabel 10. Keragaan Kelompok Tani Ranca Kujang, Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, 2014
No. Nama Umur (tahun) Pendidikan Luas Milik (hektar)
Sawah Tegalan
1. Asep 48 SMA 0 0,36
2. Sumarna 49 SMP 0 0,21
3. Irman 33 S-1 0 0,43
4. Odir 49 SPMA 1,00 0
5. Ibu Elis 75 SR 1,29 0,57
6. Ibu Ira 75 SR 1,50 0,00
7. Anwar 40 SMP 0 0
8. Agus 43 SMP 0,29 0,21
9. Usup 45 SD 1,00 0
10. Aun 65 SD 0,29 0,07
11. Tata 75 SR 0,06 0
12. Iwan 60 SD 0,04 0
13. Udi 80 SR 0,06 0
14. Uton 50 SMP 0 0
15. Uhi 75 SD 1,00 0,43
16. Endo 65 SD 0,21 0,21
17. Enda 75 SR 0,29 0,11
18. Icang 40 SD 0,57 0,14
19. Inda 55 SMP 0 0
20. Adin 84 SR 0 0
21. Ibu Maya 65 SD 0,10 0,14
22. Sule 60 SD 0,14 0,21
23. Rahmat 41 SD 0 0
24. Dede 80 SR 0 0
25. Ayi 48 SD 0 0
26. Dayat 55 SD 0 0,06
27. Ibu Adetini 65 SD 0,04 0
28. Ibu Rosmani 42 SD 0,07 0
29. Ibu Aisah 42 SD 0 0
30. Ibu Neneng 35 SMA 0,14 0,10
31. Ibu Atik 35 SMA 0 0,06
32. Ibu Masitoh 37 SMP 0 0
33. Gugun 40 SMA 0 0
34. Jeje 40 SMP 0 0
35. Mamat 75 SMA 0,14 0,21
36. Bidin 45 SMP 0,21 0,21
Rataan/Total 55 - 0,42 0,22
Sumber: Kelompok Tani Ranca Kujang (2014)
73
Lampiran Tabel 11. Keragaan Kelompok Tani Silih Reksa IV, Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, 2014
No. Nama Umur
(tahun) Pendidikan
Luas Garapan (hektar)
Milik Sewa Total
1. H. Bubun 49 SMP 4,50 3,00 7,50
2. H. Uyu Wahyudin 46 SMP 1,20 0,80 2,00
3. Dedi Ermawan 36 SMP 0,90 0,60 1,50
4. Cuncun Nirwana 35 SMP 3,00 2,00 5,00
5. H. Itang 43 SMA 1,80 1,20 3,00
6. H. Lukman 37 SMA 4,50 3,00 7,50
7. H. Asep Nurjaman 30 SMP 1,80 1,20 3,00
8. Awab 46 SD 0,90 0,60 1,50
9. Oto 60 SD 0,60 0,40 1,00
10. Odik 60 SD 0,60 0,40 1,00
11. H. Afifudin 40 SD 1,20 0,80 2,00
12. H. Engkos 60 SD 3,00 2,00 5,00
13. Endang 42 SD 0,45 0,30 0,75
14. Kodir 47 SD 0,60 0,40 1,00
15. H. Said 40 SMP 6,00 4,00 10,00
16. Hendar 36 SD 0,60 0,40 1,00
17. Maman 40 SD 0,60 0,40 1,00
18. Mumu 40 SD 0,30 0,20 0,50
19. Anan 56 SD 0,60 0,40 1,00
20. Wiwin 38 SD 0,30 0,20 0,50
21. H. Ajen 45 SMA 4,50 3,00 7,50
22. Adek 25 SMP 0,30 0,20 0,50
23. Daman 35 SD 0,60 0,40 1,00
24. Iyet 32 SD 0,60 0,40 1,00
25. H. Nana 60 SD 1,80 1,20 3,00
Rata-rata 43 - 1,65 2,75 1,10
Sumber: Kelompok Tani Silih Reksa IV (2014)
74
Lampiran Tabel 12. Keragaan Kelompok Tani Sugih Mukti, Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, 2014
No. Nama Umur (tahun) Pendidikan Garapan
Luas (hektar) Status
1. Ayub 58 SMP 4,00 Bayar PBB
2. Usep 60 SD 4,50 Bayar PBB
3. Udin 54 SMA 1,00 Bayar PBB
4. Jainudin 52 SMP 1,00 Bayar PBB
5. Bunyamin 48 SMA 0,70 Bayar PBB
6. Endon 45 SMA 0,42 Bayar PBB
7. Sodik 75 SD 1,00 Sewa
8. Yusuf 55 SMP 1,00 Sewa
9. Asep Edi 38 Sarjana 0,70 Bagi hasil
10. Cecep 52 SD 0,70 Bagi hasil
11. Dadang 45 SMP 0,56 Sewa
12. Saep 47 SD 0,49 Milik
13. Iding 70 SD 2,00 Milik
14. Saik 58 SD 1,00 Sewa
15. Engkos 58 SMP 0,35 Sewa
16. Nandang 48 SD 0,42 Sewa
17. Endid 60 SD 0,35 Bagi hasil
18. Apong 60 SD 1,00 Bagi hasil
19. Wanda 58 SD 2,00 Bagi hasil
20. Nana 60 SD 0,35 Sewa
21. Bandi 55 SD 0,42 Sewa
22. Didi 60 SD 13,00 Milik
23. Ganda 75 SD 0,70 Bayar PBB
Rata-rata 56 - 1,64 -
Sumber: Kelompok Tani Sugih Multi (2014)
75
Lampiran Tabel 13. 88 Jenis Pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP)
No. Jenis Pekerjaan No. Jenis Pekerjaan
1. Akuntan 45. Pelaut
2. Anggota BPK 46. Pembantu rumah tangga
3. Anggota DPD 47. Penata busana
4. Anggota DPRD Kabupaten/Kota 48. Penata rambut
5. Anggota DPRD Propinsi 49. Penata rias
6. Anggota DPR-RI 50. Pendeta
7. Anggota kabinet/kementerian 51. Peneliti
8. Anggota Mahkamah Konstitusi 52. Pengacara
9. Apoteker 53. Pensiunan
10. Arsitek 54. Penterjemah
11. Belum/tidak bekerja 55. Penyiar radio
12. Biarawati 56. Penyiar televisi
13. Bidan 57. Perancang busana
14. Bupati 58. Perangkat desa
15. Buruh harian lepas 59. Perawat
16. Buruh nelayan/perikanan 60. Perdagangan
17. Buruh peternakan 61. Petani/pekebun
18. Buruh tani/perkebunan 62. Peternak
19. Dokter 63. Pialang
20. Dosen 64. Pilot
21. Duta besar 65. Presiden
22. Gubernur 66. Promotor acara
23. Guru 67. Psikiater/psikolog
24. Imam masjid 68. Seniman
25. Industri 69. Sopir
26. Juru masak 70. Tabib
27. Karyawan BUMD 71. Tentara Nasional Indonesia
28. Karyawan BUMN 72. Transportasi
29. Karyawan honorer 73. Tukang batu
30. Karyawan swasta 74. Tukang cukur
31. Kepala desa 75. Tukang gigi
32. Kepolisian RI 76. Tukang jahit
33. Konstruksi 77. Tukang kayu
34. Konsultan 78. Tukang las/pandai besi
35. Mekanik 79. Tukang listrik
36. Mengurus rumah tangga 80. Tukang sol sepatu
37. Nelayan/perikanan 81. Ustadz/mubaligh
38. Notaris 82. Wakil Bupati
39. Paraji/dukun beranak 83. Wakil Gubernur
40. Paranormal 84. Wakil Presiden
41. Pastur 85. Wakil Walikota
42. Pedagang 86. Walikota
43. Pegawai Negeri Sipil 87. Wartawan
44. Pelajar/mahasiswa 88. Wiraswasta
Sumber: https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=pekerjaan+di+kolom+KTP