laporan akhir analisis kebijakan eksistensi...

90
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI DAN DINAMIKA TRANSFORMASI SERTA TIPOLOGI PETANI SKALA KECIL Oleh Muhammad Iqbal Deri Hidayat Yonas Hangga Saputra Bambang Prasetyo PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014

Upload: duongnhi

Post on 01-Feb-2018

229 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN

EKSISTENSI DAN DINAMIKA TRANSFORMASI SERTA TIPOLOGI PETANI

SKALA KECIL

Oleh

Muhammad Iqbal

Deri Hidayat Yonas Hangga Saputra

Bambang Prasetyo

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN

2014

Page 2: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

ix

RINGKASAN EKSEKUTIF

PENDAHULUAN

Latar Belakang

1. Rumah tangga petani (RTP) merupakan salah satu sumber daya

penting pendukung kelangsungan sektor pertanian. Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia RTP sebagai bagian dari

komunitas pertanian (agricultural “community” development) merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan

komoditas pertanian (agricultural “commodity” development).

2. Satu diantara sumber daya manusia RTP yang patut jadi perhatian adalah yang tergolong ke dalam kategori “gurem” dengan rataan

penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar (skala kecil). Kendati selama satu dasawarsa terakhir (2003-2013) terjadi transformasi

penurunan jumlah RTP gurem nasional sekitar 4,77 juta rumah tangga, eksistensi RTP gurem tersebut tetap harus diupayakan pengembangannya.

3. Upaya pengembangan RTP gurem dimulai dari deskripsi pemahaman terhadap eksistensi dan dinamika transformasinya. Salah satu jalur

masuk (entry point) untuk memahami deskripsi RTP gurem tersebut adalah melalui identifikasi tipologi (special kind of symbolism)

berdasarkan orientasi kegiatan usahataninya yaitu tipologi subsisten, tipologi komersial, dan tipologi transisi. Dari deskripsi pemahaman terhadap eksistensi dan dinamika transformasinya, intervensi

program pengembangan RTP gurem dapat diarahkan sesuai identifikasi keragaan tipologinya. Intervensi program pengembangan

RTP gurem seyogianya dilaksanakan secara kolektif melalui media organisasi kelompok tani.

Tujuan

4. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari

eksistensi dan dinamika transformasi serta tipologi petani tani skala kecil. Secara khusus, tujuannya adalah untuk: (1) mendeskripsikan

eksistensi dan transformasi petani skala kecil; (2) mengindentifikasi tipologi petani skala kecil berdasarkan orientasi kegiatan (subsisten,

komersial, dan transisi), berikut keberadaan organisasi kelompok tani terkait di dalamnya; dan (3) memberikan rekomendasi kebijakan pengembangan petani skala kecil.

METODOLOGI

5. Penelitian menggunakan metode survei deskriptif (descriptive survey method) yang dilaksanakan dalam bentuk pengamatan langsung

Page 3: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

x

terhadap fenomena dan fakta mengenai eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem terkait dengan tipologinya. Tipologi

subsisten diwakili oleh RTP usahatani padi dan palawija. Sementara itu, tipologi komersial direpresentasikan oleh RTP usahatani hortikultura. Selanjutnya, tipologi transisi adalah representasi RTP

wilayah pinggiran kota (peri urban).

6. Penelitian dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat, tepatnya di

Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung. Pada tiap kabupaten dipilih kecamatan, desa, dan kelompok tani yang mewakili masing-

masing kriteria tipologi petani skala kecil. Pertama, tipologi subsisten adalah kelompok tani Ranca Kujang (Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut). Kedua, tipologi

komersial yakni kelompok tani Silih Reksa IV (Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut). Ketiga, tipologi transisi

yaitu kelompok tani Sugih Mukti (Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksistensi dan Dinamika Transformasi Petani Skala Kecil

7. Hasil sensus pertanian tahun 2013 (ST 2013) menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP di Indonesia tercatat

sebanyak 26,14 juta rumah tangga. Dari jumlah tersebut sekitar 25,75 juta rumah tangga (98,53%) merupakan rumah tangga petani (RTP) pengguna lahan pertanian. Baik jumlah RTUP maupun

banyaknya RTP pengguna lahan pertanian mengalami transformasi penurunan selama 10 tahun terakhir (2003-2013) masing-masing

sekitar 16,32 persen dan 15,35 persen. Transformasi penurunan jumlah RTP pengguna lahan pertanian membawa dampak pada

peningkatan luas penguasaan lahan pertanian dari 0,41 hektar per rumah tangga (2003) menjadi 0,89 hektar per rumah tangga (2013).

8. Jumlah RTP gurem tercatat 14,25 juta rumah tangga atau sekitar

55,33 persen dari jumlah RTP pengguna lahan pertanian nasional. Dinamika selama satu dasawarsa terakhir (2003-2013) menunjukkan

bahwa jumlah RTP gurem mengalami transformasi pengurangan absolut sebanyak 4,77 juta rumah tangga, atau rata-rata menurun

sekitar 2,51 persen per tahun.

9. Paralel dengan tingkat nasional, eksistensi dan transformasi RTP gurem bervariasi menurut tingkat wilayah baik regional, provinsi,

kabupaten/kota, maupun kecamatan (termasuk desa). Eksistensi jumlah RTP gurem di Jawa hampir tiga kali lipat dibandingkan di luar

Jawa. Transformasi penurunan jumlah RTP gurem di Jawa juga lebih besar dari pada transformasi penurunan jumlah RTP gurem di luar Jawa (28,24% vs. 15,75%).

Page 4: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xi

10. Eksistensi jumlah RTP gurem Provinsi Jawa Barat (3,4 juta rumah tangga) menempati urutan ketiga setelah Provinsi Jawa Timur dan

Jawa Tengah. Sementara itu dinamika transformasi penurunan RTP gurem provinsi ini (34,37%) menempati urutan kedua setelah Jawa Tengah. Di lokasi penelitian, eksistensi jumlah RTP gurem di

Kabupaten Garut (209.813 rumah tangga) lebih tinggi dibandingkan di Kabupaten Bandung (114.213 rumah tangga). Sebaliknya, proporsi

penurunan RTP gurem Kabupaten Bandung (27,20%) lebih besar dari pada di Kabupaten Garut (19,37%).

11. Deskripsi eksistensi jumlah RTP gurem antar kecamatan contoh penelitian masing-masing 6.588 rumah tangga (Banyuresmi), 3.729 rumah tangga (Cigedug), dan 819 rumah tangga (Bojongsoang).

Proporsi jumlah RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan adalah 82,17 persen (Banyuresmi), 85,61 persen (Cigedug), dan 62,61

persen (Bojongsoang). Sementara itu, transformasi penurunan RTP gurem di Banyuresmi, Cigedug, dan Bojongsoang masing-masing 11,05 persen, 19,69 persen, dan 63,47 persen.

Tipologi Petani Skala Kecil

12. Berdasarkan kriteria tipologi petani yaitu subsisten, komersial, dan transisi yang diwakili oleh tiga kecamatan masing-masing

Banyuresmi, Cigedug, dan Bojongsoang dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, jumlah RTP gurem tertinggi berada pada tipologi subsisten, diikuti oleh tipologi komersial dan transisi. Kedua,

proporsi RTP gurem terbanyak adalah pada tipologi komersial, berikutnya tipologi subsisten dan tipologi transisi. Ketiga,

transformasi penurunan RTP gurem terbesar yaitu pada tipologi transisi, kemudian tipologi komersial dan tipologi subsisten.

13. Eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem tipologi transisi menunjukkan karakteristik yang khas sejalan dengan semakin berkurangnya jumlah rumah tangga pertanian. Sementara itu,

karakteristik RTP gurem tipologi subsisten dan tipologi komersial relatif tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan. Hasil

identifikasi menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan karakteristik mendasar diantara tipologi subsisten, komersial, dan

transisi.

14. Karakteristik tipologi subsisten ditandai dengan kecilnya luas penguasaan lahan yaitu masing-masing 0,42 (lahan sawah) dan 0,22

hektar (lahan kering). Petani yang tidak memiliki lahan (tuna lahan) baik lahan sawah maupun lahan kering masing-masing sekitar 44,44

persen dan 50 persen. Sebagian dari petani tersebut tergolong sebagai buruh tani. Kesempatan untuk menggarap lahan baik melalui pola bagi hasil atau sewa boleh dikatakan terbatas karena petani

Page 5: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xii

pemilik cenderung mengusahakan sendiri lahannya yang notabene skala luasannya cukup sempit. Umumnya panen padi sawah

dilakukan secara “tebasan” karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Sementara itu kebutuhan pokok (beras) umumnya dipenuhi dari pembelian dengan mengandalkan penjualan hasil

panen tanaman lahan kering.

15. Karakteristik tipologi komersial dicirikan oleh kegiatan usahatani yang

beorientasi pasar melalui dukungan kerjasama kemitraan usahatani tanaman kentang antara kelompok tani dengan perusahaan swasta

(PT Indofood Fritolay Makmur). Pola penguasaan lahan terdiri dari garapan milik dan garapan sewa (60% vs. 40%) dengan rataan luas masing-masing 1,65 hektar dan 1,10 hektar. Kendati rataan luas

garapan tersebut jauh di atas standar kategori gurem (<0,5 hektar), kerjasama kemitraan tersebut merepresentasikan keberhasilan.

Secara implisit keberhasilannya dapat dinikmati juga oleh RTP gurem, yaitu sebagai buruh tani pada kerjasama kemitraan tersebut yang notabene kegiatannya memerlukan tenaga kerja intensif.

16. Karakteristik tipologi transisi ditunjukkan oleh rendahnya proporsi petani pemilik penggarap (13,04%) dibandingkan petani penggarap

sewa (34,78%), bayar PBB (30,43%), dan bagi hasil (21,74%). Khusus untuk bayar PBB, petani penggarap membayarkan PBB

(Pajak Bumi dan Bangunan) lahan yang digarap dan kemudian semua hasil garapannya menjadi hak petani penggarap yang bersangkutan. Posisi petani penggarap (terutama penyakap) relatif

lemah karena lahan garapan sewaktu-waktu bisa diambil oleh pemilik untuk dialihfungsikan ke penggunaan non-pertanian.

17. Kecuali di tipologi komersial dan sebagian di tipologi subsisten, peran petani pemilik di tipologi transisi cukup menentukan dalam adopsi

teknologi pertanian. Jika persepsi pemilik ragu terhadap teknologi pertanian yang berimplikasi pada penurunan produktivitas, maka pemilik tersebut menolak untuk menerapkannya. Konsekuensinya,

petani penggarap mengikuti persepsi tersebut karena khawatir terhadap pemutusan hubungan kerja.

Keberadaan Organisasi Kelompok Tani

18. Rataan usia anggota kelompok tani berkorelasi dengan tipologi petaninya, dimana petani tipologi komersial lebih muda dibandingkan petani tipologi subsisten dan transisi. Secara asumtif, usahatani

komersial memerlukan tenaga kerja relatif muda untuk menggarap lahan usahatani secar insentif. Rata-rata usia anggota kelompok tani

tipologi subsisten, komersial, dan transisi masing-masing sekitar 55 tahun, 43 tahun, dan 56 tahun.

Page 6: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xiii

19. Secara ummum, ketertarikan generasi muda untuk terjun di bidang pertanian semakin menurun, terutama di tipologi transisi dan

sebagian di tipologi subsisten. Hal tersebut mengingat semakin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian. Khusus untuk tipologi transisi yang lokasinya berada dekat pertumbuhan ekonomi (peri urban) dengan maraknya alih fungsi lahan pertanian, generasi mudanya lebih banyak bekerja pada sektor non-pertanian dengan

peluang cukup banyak dibandingkan peluang bagi tipologi lain khususnya tipologi subsisten. Sementara itu minat generasi muda

tipologi komersial untuk terjun bekerja pada sektor pertanian relatif masih tinggi karena hasil kegiatan usahataninya cukup menguntungkan.

20. Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) dominan bukan

sebagai petani. Kondisi tersebut mengindikasikan kurang tertibnya administrasi kependudukan yang sekaligus dapat berdampak pada distorsi sasaran penerima manfaat program yang seharusnya untuk

petani tetapi jatuh kepada pihak lain.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Dasar Kebijakan

21. Kebijakan pengembangan petani didasarkan pada kenyataan bahwa petani mempunyai peran sentral dan memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian. Pelaku utama

pembangunan pertanian adalah petani yang pada umumnya berusahatani pada lahan pertanian skala kecil dengan rataan kurang

dari 0,5 hektar, bahkan sebagian tidak memiliki lahan usahatani sendiri (petani penggarap dan buruh tani).

22. Posisi petani pada umumnya cukup lemah dalam memperoleh sarana produksi, pembiayaan usahatani, dan akses pasar. Selain itu, petani dihadapkan pada kecenderungan terjadinya perubahan iklim,

kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak

kepada petani.

Tujuan Kebijakan

23. Tujuan kebijakan pengembangan petani adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan petani dalam rangka meningkatkan

kualitas menuju kesejahteraan yang lebih baik. Disamping itu, tujuan lainnya adalah untuk: (1) melindungi petani dari kegagalan panen

dan risiko harga; (2) menyediakan prasarana dan sarana pertanian dalam mengembangkan usahatani sesuai dengan kebutuhan petani; (3) menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan pertanian

Page 7: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xiv

yang melayani kepentingan usahatani; (4) meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam

menjalankan usahatani yang produktif, maju, modern, bernilai tambah, berdaya saing, mempunyai akses dan pangsa pasar secara berkelanjutan; dan (5) memberikan kepastian hukum bagi

terselenggaranya usahatani secara kondusif.

Isu Kebijakan

24. Pengembangan rumah tangga petani (RTP) skala kecil (gurem)

seyogianya diimplementasikan berdasarkan tipologinya. Hal tersebut mengingat masing-masing tipologi memiliki perbedaan spesifikasi karakteristik eksistensi dan kebutuhan serta orientasi kegiatannya.

Pengembangan tersebut harus dimulai dari pengembangan kapasitas petani termasuk RTP gurem melalui pendidikan dan latihan (diklat),

baik teknis (pengelolaan usahatani) maupun non-teknis (manajerial) berlandaskan konsep agribisnis. Bantuan fisik untuk pembangunan komoditas dilaksanakan secara selektif. Hal tersebut mengingat

akselerasi pembangunan komoditas tergantung pada pengembangan komunitas.

25. Fokus pengembangan petani tipologi subsisten adalah melalui optimalisasi pemanfaatan lahan yang cenderung sempit. Tumpuan

pengembangan petani tipologi komersial yaitu dengan cara meningkatkan kerjasama kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak (terutama petani skala kecil). Sementara itu, inti

pengembangan petani tipologi transisi yakni berupa peningkatan kapasitas keterampilan dalam bidang yang menunjang usahatani

(off-farm) seperti alsintan (alat dan mesin pertanian).

26. Implementasi pengembangan petani adalah secara kolektif melalui

organisasi kelompok tani. Perlu dicatat bahwa kegiatan pengembangan tersebut seyogianya memperhatikan substansi status petani (pemilik dan penggarap). Disamping itu pengecekan KTP

petani seyogianya dilakukan dan bila perlu diiringi dengan pemberian kartu identitas petani guna mempermudah identifikasi dan ketepatan

implementasi kegiatan pengembangan komunitas petani dan komoditas pertaniannya.

Page 8: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xv

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ............................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................... ii EXECUTIVE SUMMARY ......................................................... iii

RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................... xv

DAFTAR TABEL ................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ................................................................ xviii DAFTAR KOTAK ................................................................... xvix

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................. xx DAFTAR SINGKATAN ........................................................... xxi

I. PENDAHULUAN ............................................................ 1 1.1. Latar Belakang .................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah ............................................ 2 1.3. Tujuan Penelitian ................................................ 3

1.4. Keluaran Penelitian .............................................. 4

II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 5 2.1. Pengertian Petani Skala Kecil ............................... 6 2.2. Permasalahan yang Dihadapi Petani Skala Kecil ..... 7

2.3. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Kecil ....... 9

III. METODOLOGI ............................................................. 12 3.1. Kerangka Pemikiran ............................................ 12

3.2. Metode Penelitian ................................................ 13 3.4. Data dan Informasi Penelitian .............................. 13 3.4. Lokasi dan Jadwal Penelitian ................................ 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................ 15

4.1. Eksistensi dan Dinamika Transformasi RTP Gurem 15 4.1.1. Nasional .................................................. 16

4.1.2. Provinsi Jawa Barat .................................. 20 4.1.3. Kabupaten Garut ..................................... 23 4.1.4. Kabupaten Bandung ................................ 25

4.2. Tipologi RTP Gurem ............................................ 27 4.2.1. Tipologi RTP Subsisten ............................. 27

4.2.1.1. Gambaran Umum ...................... 27 4.2.1.2. Pola Penguasaan Lahan ............. 28 4.2.1.3. Sistem Usahatani ...................... 30

4.2.2. Tipologi RTP Komersial ............................. 32 4.2.2.1. Gambaran Umum ...................... 33

Page 9: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xvi

4.2.2.2. Pola Penguasaan Lahan ............. 33 4.2.2.3. Sistem Usahatani ...................... 33

4.2.3. Tipologi RTP Transisi ................................ 38 4.2.3.1. Gambaran Umum ...................... 38 4.2.3.2. Pola Penguasaan Lahan ............. 38

4.2.3.3. Sistem Usahatani ...................... 42 4.3. Keberadaan Organisasi Kelompok Tani.................. 46

4.3.1. Kelompok Tani Tipologi Subsisten ............. 46 4.3.2. Kelompok Tani Tipologi Komersial ............. 49

4.3.3. Kelompok Tani Tipologi Transisi ............. 52 V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..................... 55

5.1. Kesimpulan ......................................................... 55 5.2. Rekomendasi Kebijakan ....................................... 57

DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 59 LAMPIRAN .......................................................................... 62

Page 10: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1. Lokasi Penelitian Eksistensi dan Dinamika Transformasi

serta Tipologi Petani Skala Kecil .................................

14 4.1. Keragaan RTUP Nasional serta Jawa dan Luar Jawa,

2003 dan 2013 .........................................................

16 4.2. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian Nasional

serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013 .................

17 4.3. Keragaan RTP Gurem Nasional serta Jawa dan Luar

Jawa, 2003 dan 2013 ................................................

18

4.4. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan RTP Gurem di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten

Contoh Penelitian, 2003 dan 2013 ..............................

21 4.5. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian dan

RTP Gurem pada Kecamatan Contoh di Kabupaten

Garut, 2003 dan 2013 ...............................................

23 4.6. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan

RTP Gurem pada Kecamatan Contoh (Bojongsoang) di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013 ..........................

25

4.7. Hak dan Kewajiban Petani dan PT IFM dalam Kerjasama Kemitraan Budidaya Tanaman Kentang di Kabupaten Garut, 2014 .............................................

35

Page 11: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

3.1. Kerangka Pemikiran Eksistensi dan Dinamika

Transformasi serta Tipologi Petani Skala Kecil ........

13 4.1. Proporsi Jumlah RTP Gurem terhadap Jumlah RTP

Pengguna Lahan Nasional dan Regional, 2013 ........

19 4.2. Proporsi RTP Gurem Nasional dan Regional, 2013 ... 19

4.3. Proporsi RTP Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2013 ... 22 4.4. Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Garut, 2013 ....... 24 4.5. Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Bandung, 2013 .. 26

Page 12: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xix

DAFTAR KOTAK

Kotak Halaman

4.1. Fenomena Penguasaan Lahan Pertanian di Desa

Cipicung ..................................................................

29 4.2. Sekilas Mengenai Komoditas Kentang di Kabupaten

Garut ......................................................................

34 4.2. Kiprah PT Indofood Fritolay Makmur di Kabupaten

Garut ......................................................................

35 4.4. Fenomena Tenaga Kerja Pertanian di Desa Cigedug ... 36 4.5. Ungkapan Keprihatinan Petani Gurem ....................... 42

4.6. Representasi Keengganan Generasi Muda Bekerja di Pertanian ................................................................

44

Page 13: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Tabel

Halaman

1 Keragaan Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Indonesia, 2003 dan 2013 ...............................

62

2 Keragaan RTUP di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013 ..................................................................

63

3 Keragaan RTUP di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013

64

4 Keragaan RTUP di Kabupaten Bandung, 2003 dan

2013 ..................................................................

65 5 Rataan Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia

menurut Provinsi, 2003 dan 2013 ........................

66 6 Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan di

Gurem di Indonesia, 2003 dan 2013 ....................

67

7 Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013 ......

68

8 Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013 ..........

69

9 Keragaan RTP Pengguna Lahan dan Gurem di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013 ...................

71

10 Keragaan Kelompok Tani “Ranca Kujang”, Desa

Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, 2014 .........................

72

11 Keragaan Kelompok Tani “Silih Reksa IV”, Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut,

Provinsi Jawa Barat, 2014 ...................................

73 12 Keragaan Kelompok Tani “Sugih Mukti”, Desa

Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten

Bandung, Provinsi Jawa Barat, 2014 ....................

74 13 88 Jenis Pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk

(KTP) .................................................................

75

Page 14: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xxi

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Balitbangda Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Balitsa Balai Penelitian Sayuran BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPP Balai Penyuluhan Pertanian BPPSDMP Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya

Manusia Pertanian BPS Badan Pusat Statistik

BPTP Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DAS Daerah Aliran Sungai DIPA Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

DIY Daerah Istimewa Yogyakarta Diklat Pendidikan dan Latihan

DKI Daerah Khusus Ibukota Dkk Dan kawan-kawan DPTPH Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura

Et al et alibi (dan lain-lain) yang muncul dalam naskah FAO Food and Agriculture Organization

Gapoktan Gabungan kelompok tani Gapoktan Gabungan Kelompok Tani

GKP Gabah Kering Panen Gurem Istilah untuk rumah tangga petani pengguna lahan yang

menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar

IFAD International Fund for Agricultural Development IFM Indofood Fritolay Makmur

IFPRI International Food Policy Research Institute Jabar Jawa Barat

Jateng Jawa Tengah Jatim Jawa Timur JITUT Jaringan Irigasi Tingkat Usahatani

Kementan Kementerian Pertanian KK Kepala Keluarga

KPP-E Kredit Ketahanan Pangan dan Energi KTP Kartu Tanda Penduduk

KUR Kredit Usaha Rakyat KUT Kredit Usaha Tani LAKIP Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

LKM Lembaga Keuangan Mikro MH Musim Hujan

MK I Musim Kemarau Pertama MK II Musim Kemarau Kedua MT Musim Tanam

NTP Nilai Tukar Petani PBB Perserikatan Bangsa Bangsa

Page 15: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

xxii

PBB Pajak Bumi dan Bangunan Perda Peraturan Daerah

Perdes Peraturan Desa PLP2B Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Poktan Kelompok tani

PSE-KP Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian PT Perseroan Terbatas

PUAP Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan RI Republik Indonesia

RMU Rice Milling Unit RPTP Rencana Penelitian Tingkat Peneliti RT Rumah Tangga

RTP Rumah Tangga Petani RTRW Rencana Tata Ruang Wialayah

RTUP Rumah Tangga Usaha Pertanian RUU Rancangan Undang Undang SD Sekolah Dasar

SLPTT Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu SMA Sekolah Menengah Atas

SMP Sekolah Menengah Pertama SPOT Systeme Probatoire d'Observation de la Terre

SPP Survei Pendapatan Pertanian SRI System of Rice Intensification ST Sensus Tani (Sensus Pertanian)

SUSEDA Survei Sosial Ekonomi Daerah TA Tahun Anggaran

Tapin Tanam Pindah Tumbak Satuan lokal untuk luas lahan dengan ukuran sekitar 1.428

meter persegi atau 0,14 hektar (1 hektar sama dengan 700 tumbak)

UMK Upah Minimum Kabupaten

UN United Nations UPJA Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian

UU Undang Undang WB World Bank

WFP World Food Program

Page 16: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam pasal 1 (bab ketentuan umum) Undang-undang Nomor 13

tahun 2013 (UU No. 13/2013) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan

Petani (Pemerintah RI, 2013) dijelaskan definisi tentang petani. Menurut

definisi tersebut, petani adalah:

“….warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan usahatani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan”.

Dari penjelasan di atas ada dua hal pokok yang perlu

digarisbawahi. Pertama, petani adalah perseorangan baik selaku kepala

keluarga maupun bukan sebagai kepala keluarga. Kedua, petani

merupakan perseorangan dan/atau berserta keluarganya. Oleh karena

itu, secara hakiki petani adalah representasi perseorangan dan rumah

tangga (petani, usahatani, pertanian, dan atribut sejenis yang melekat di

dalamnya) yang secara semantik berkonotasi tunggal (bukan jamak)

yaitu “petani dengan rumah tangganya” atau rumah tangga petani (RTP).

Penjabaran UU No. 13/2013 menjelaskan bahwa petani memiliki

peran sentral dan memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan

pembangunan pertanian. Petani disebut sebagai pelaku utama

pembangunan pertanian, tetapi hanya memiliki lahan pertanian dengan

rataan di bawah 0,5 hektar per petani. Sebagian dari petani tidak

memiliki lahan usahatani sendiri, atau disebut sebagai petani penggarap,

bahkan juga buruh tani. Petani pada umumnya mempunyai posisi yang

lemah dalam memperoleh sarana produksi, pembiayaan usahatani, dan

akses pasar.

Terlepas dari definisi dan penjabaran di atas yang selanjutnya

dimanifestasikan dalam bentuk perlindungan dan pemberdayaan petani

yang diatur oleh UU No. 13/2013, eksistensi petani harus dipahami

terlebih dahulu. Sejalan dengan itu, perubahan (transformasi) yang

Page 17: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

2

mengiringi kehidupan petani itu sendiri juga tidak kalah pentingnya untuk

dipelajari. Salah satu jalur masuk (entry point) untuk memahami dan

mempelajari eksistensi dan transformasi tersebut adalah melalui

identifikasi tipologi (special kind of symbolism) petani.

1.2. Perumusan Masalah

Petani merupakan salah satu sumber daya penting pendukung

kelangsungan sektor pertanian. Oleh karena itu, pengembangan sumber

daya manusia petani sebagai bagian dari komunitas pertanian

(agricultural “community” development) merupakan elemen penting

dalam menunjang pembangunan komoditas pertanian (agricultural

“commodity” development).

Basis pengembangan sumber daya manusia petani adalah

pemahaman terhadap eksistensi berikut dinamika transformasi serta

tipologi yang melatarbelakanginya. Eksistensi sumber daya manusia

petani perlu dipahami melalui kondisi terkini, sedangkan dinamika

transformasinya patut dipelajari terkait dengan rentang perubahan antar

waktu. Salah satu refleksi eksistensi dan dinamika transformasi sumber

daya manusia petani di Indonesia dapat diamati dari Hasil Sensus

Pertanian (ST).

Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 (ST 2003) menunjukkan bahwa

jumlah rumah tangga pertanian tercatat sebanyak 31,23 juta. Sementara

itu, berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (ST 2013), eksistensi

jumlah rumah tangga pertanian berkurang menjadi 26,14 juta (BPS,

2013). Dengan demikian, selama kurun waktu satu dasawarsa (2003-

2013) terjadi transformasi pengurangan jumlah rumah tangga pertanian

sekitar 5,10 juta atau rata-rata mengalami penurunan sebesar 1,77

persen per tahun. Eksistensi dan dinamika transformasi tersebut

mencakup petani skala kecil yang proporsinya cukup besar yaitu sekitar

Page 18: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

3

62,51 persen dan 55,33 persen masing-masing menurut hasil ST 2003

dan ST 2013.

Terjadinya pengurangan atau penurunan jumlah rumah tangga

pertanian termasuk skala kecil merupakan refleksi dari dinamika

transformasi dalam rumah tangga pertanian itu sendiri. Dinamika

transformasi tersebut perlu dipelajari mengingat bahwa sesungguhnya

petani tidak dapat dipandang hanya dari sisi absolut semata, melainkan

perlu ditelusuri melalui tipologi sekaligus permasalahan yang ada di

dalamnya.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini menjadi relevan untuk

dilaksanakan. Salah satu tipologi petani yang menjadi acuan adalah

terkait dengan orientasi kegiatannya yaitu tipologi subsisten, komersial,

dan transisi (IFAD, 2013). Dengan memahami tipologi petani, rancangan

dan implementasi program pembangunan pemerintah (government

intervention) termasuk bimbingan teknis (technical assistance)

diharapkan tepat sasaran, terutama bagi petani skala kecil (termasuk

buruh tani). Program dan bimbingan tersebut seyogianya tidak bersifat

individu melainkan secara kolektif dengan melibatkan organisasi petani

seperti kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan).

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari

eksistensi dan dinamika transformasi serta tipologi petani tani skala kecil.

Secara khusus, tujuannya adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan eksistensi dan transformasi petani skala kecil;

2. Mengindentifikasi tipologi petani skala kecil berdasarkan orientasi

kegiatan (subsisten, komersial, dan transisi), berikut keberadaan

organisasi kelompok tani terkait di dalamnya; dan

3. Memberikan rekomendasi kebijakan pengembangan petani skala kecil.

Page 19: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

4

1.4. Keluaran Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan tujuan di atas, keluaran penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Deskripsi eksistensi dan transformasi petani skala kecil;

2. Identifikasi tipologi petani skala kecil berdasarkan orientasi kegiatan

(subsisten, komersial, dan transisi), berikut keberadaan organisasi

kelompok tani terkait di dalamnya; dan

3. Rekomendasi kebijakan pengembangan petani skala kecil.

Page 20: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

Di Indonesia, usaha pertanian didominasi oleh usahatani rumah

tangga. Boleh dikatakan, seluruh produksi bahan pangan domestik

dihasilkan oleh usahatani rumah tangga. Andil perusahaan pertanian

korporasi yang cukup signifikan hanyalah untuk beberapa komoditas

perkebunan dan peternakan seperti kelapa sawit, teh, dan ayam ras.

Oleh karena itu, kinerja sektor pertanian secara umum dan khususnya

keberhasilan pembangunan pertanian dalam mewujudkan tujuan

ketahanan pangan nasional dan meningkatnya pendapatan petani sangat

ditentukan oleh kinerja usahatani rumah tangga, termasuk skala kecil

(Lakollo, dkk., 2010).

Pertanian skala kecil semakin menjadi perhatian dunia terutama

semenjak PBB mengakui keberadaan dan peran pentingnya dalam

mengatasi krisis pangan dunia. Hal tersebut juga dikuatkan dalam pidato

Direktur Jenderal FAO pada acara the World Food Day pada tanggal 16

Oktober 2012 dengan topik “Small-Scale Farmers as A Key to Feeding the

World” (FAO, 2012). .

Di Indonesia, setelah menunggu lama, akhirnya pada tanggal 9

Juli 2013, Rancangan Undang Undang (RUU) Perlindungan dan

Pemberdayaan Petani disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 19

tahun 2013. (Pemerintah RI, 2013). Lahirnya UU tersebut disemangati

oleh kesadaran bahwa selama ini petani relatif belum memperoleh

perlindungan dan pemberdayaan sebagaimana mestinya, terutama petani

skala kecil.

Hakikat perlindungan dan pemberdayaan petani skala kecil paling

tidak seyogianya ditempuh melalui tiga langkah strategi. Pertama,

pemahaman terhadap pengertian atau definisi petani skala kecil. Kedua,

pengetahuan tentang permasalahan yang dihadapi petani skala kecil.

Ketiga, perencanaan terkait dengan intervensi perlindungan dan

pemberdayaan petani skala kecil.

Page 21: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

6

2.1. Pengertian Petani Skala Kecil

Membahas usahatani rumah tangga tidak terlepas dari skala usaha

pertanian yang digeluti petani. Menurut von Braun (2004 dalam

Sumaryanto. 2009), lazimnya petani skala kecil yang selama ini diacu

terkait dengan "smallness" dari segi "size" lahan usahatani dan/atau

jumlah ternak yang dimiliki atau dikelola. Salah satu keterbatasan

pendefinisian seperti itu adalah tiadanya suatu ukuran yang dapat

berlaku umum (untuk semua wilayah dan jenis komoditas). Secara

umum, pada luasan usahatani yang sama, petani tanaman pangan tidak

sebanding dengan petani yang mengusahakan jenis tanaman pertanian

bernilai ekonomi tinggi dengan akses pasar yang sangat baik, begitupun

pada pertanian dengan lahan subur dan berpengairan teknis akan

berbeda dengan petani yang lahan usahataninya kurang subur dan tidak

terfasilitasi pengairan yang memadai.

Definisi lain tentang petani skala kecil paling tidak dapat ditinjau

dari dua sisi, yaitu sisi tenaga kerja dan sisi pendapatan (Narayanan and

Gulati, 2002). Dari sisi tenaga kerja, petani skala kecil adalah rumah

tangga yang mata pencaharian utamanya berusahatani dengan mayoritas

tenaga kerjanya berasal dari dalam keluarga. Sementara itu, dasi sisi

pendapatan, petani skala kecil lazimnya diasosiasikan dengan tingkat

pendapatan yang rendah. Oleh karena, sSecara teoritis terdapat

konvergensi antara skala usaha, tenaga kerja, penerapan teknologi,

akses pasar, dan pendapatan.

Hazel et al., (2007) mendefinisikan bahwa karakteristik petani

skala kecil adalah pelaku usahatani yang menggunakan tenaga kerja

dalam keluarga dengan orientasi subsisten atau menghasilkan kebutuhan

pangan pokok untuk rumah tangga sendiri. Karakteristik lainnya petani

skala kecil tersebut memiliki keterbatasan sumber daya seperti lahan,

modal, tenaga kerja, dan keterampilan (skills). Sementara itu, menurut

the World Bank’s Rural Development Strategy (WB, 2003 dalam Thapa

Page 22: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

7

and Gaiha, 2014) basis luas lahan usahatani petani skala kecil adalah di

bawah 2 (dua) hektar. Hasil studi FAO menyimpulkan bahwa petani skala

kecil adalah pelaku usahatani tani dengan keterbatasan sumber daya

relatif terhadap petani lainnya (Thapa dan Gaiha, 2014).

Estimasi dari IFPRI (2007) menggambarkan bahwa sekitar 450

juta (87%) skala kecil dengan luas penguasaan lahan di bawah dua

hektar berada di kawasan Asia dan Pasifik. Posisi pertama dan kedua

ditempati oleh Tiongkok dan India dengan jumlah masing-masing 193

juta dan 93 juta. Negara Asia lainnya yang memiliki jumlah petani skala

kecil cukup banyak adalah Indonesia dan Bangladesh (masing-masing 17

juta) serta Viet Nam (10 juta).

Di Indonesia, secara ofisial Badan Pusat Statistik (BPS, 2014)

mendefiniskan bahwa petani skala kecil adalah yang menguasai lahan

pertanian kurang dari 0,5 hektar. Penguasaan lahan tersebut meliputi

satu atau lebih kegiatan kegiatan usaha tanaman padi, palawija,

hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, budidaya ikan/biota

lain di kolam air tawar/tambak air payau, dan penangkapan satwa liar.

Petani skala kecil tersebut selanjutnya diberi istilah “petani gurem”.

2.2. Permasalahan yang Dihadapi Petani Skala Kecil

Sampai saat ini, sektor pertanian masih berhubungan erat dengan

fenomena kemiskinan. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin

tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Permasalahan

yang terjadi pada sektor pertanian antara lain adalah semakin

meningkatnya jumlah rumah tangga di pedesaan sementara luas lahan

pertanian relatif tetap, atau bahkan mengecil. Menurut Sumaryanto

(2009), secara garis besar penyebab utama mengecilnya skala usahatani

terkait dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian yang jauh

lebih tinggi dibandingkan pertambahan luas areal pertanian baru,

konversi lahan pertanian ke non-pertanian, dan pewarisan. Dengan

Page 23: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

8

usaha skala kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usahatani

tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup kendati kegiatan

usahatani yang dijalankan sebetulnya relatif cukup menguntungkan.

Kenyataan menunjukkan bahwa sektor pertanian Indonesia

sebagian besar digeluti oleh petani dengan skala usahatani yang relatif

sempit (petani skala kecil). Hal tersebut sesuai dengan apa yang

dikemukakan oleh Anantanyu (2008) dimana dengan skala usahatani

sempit dapat menghambat petani meningkatkan pendapatan sehingga

sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Masyarakat pertanian miskin selain

dicirikan oleh skala usahatani yang sempit juga memiliki keterbatasan

dalam hal infrastruktur serta aksesibilitas terhadap modal, teknologi,

informasi, dan pasar sehingga tingkat kapasitas petani dan produktivitas

usahatani (kususnya skala kecil) jadi rendah.

Sesuai dengan karakteristiknya, petani skala kecil memiliki

keterbatasan sumber daya seperti lahan, modal, tenaga kerja, dan

keterampilan (skills). Keterbatasan-keterbatasan tersebut sekaligus

menjadi permasalahan yang dihadapi oleh petani skala kecil.

Pertama, permasalahan terkait dengan keterbatasan terhadap

sumber daya lahan dapat ditunjukkan oleh fenomena dimana dengan

semakin bertambahnya jumlah rumah tangga tani maka rataan luas

penguasaan lahan usahatani juga semakin mengecil (Sumaryanto, 2009).

Kendati ada penambahan luas (pecetakan) lahan usahatani, kondisinya

tidak seimbang dengan pertumbuhan jumlah rumah tangga petani

disamping cukup maraknya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.

Kedua, dalam konteks kekinian, paling tidak petani skala kecil

dihadapkan pada dua tantangan utama, yaitu: (1) eksistensi rantai nilai

(value chain) perdagangan komoditas; dan (2) risiko dan ketidakpastian

terkait dengan degradasi lingkungan dan perubahan iklim (Rahman dan

Smolak, 2014). Kedua tantangan tersebut menjadi permasalahan kritis

Page 24: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

9

bagi petani skala kecil terutama jika dikaitkan dengan keterbatasan

sumber daya modal yang dimiliki.

Ketiga, kendati jumlah keberadaan yang cukup banyak dengan

kuantitas ketersediaan tenaga kerja yang juga cukup besar, petani skala

kecil memiliki posisi lemah dalam proses negosiasi dengan pihak luar

(Toulmin, 2013).

Keempat, BPPSDMP (2011) mengisyaratkan bahwa secara umum

kualitas pelaku utama pembangunan pertanian masih tergolong rendah.

Dari segi pendidikan, dari total 39.035.692 orang petani, 39 persen

hanya tamat Sekolah Dasar (SD), 27 persen tidak/belum tamat SD, dan

bahkan sebanyak 9,7 persen tidak atau belum pernah sekolah.

Pendidikan petani yang rendah diposisikan sebagai permasalahan. Petani

skala kecil disebutkan memiliki pola pemikiran yang lemah, sehingga

pemerintah merasa perlu memajukan pola pikir petani yang lemah

tersebut. Upaya memajukan pola pikir tersebut penting mengingat sektor

pertanian cenderung bergerak ke arah sistem inovasi dan tekonologi baru

dengan tuntutan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi,

sehingga mensyaratkan tenaga kerja terdidik dan terampil (Arifin, 2013).

Satu lagi permasalahan yang cukup krusial terkait dengan

regenerasi petani. Hasil Sesnsus Pertanian tahun 2013 (BPS, 2014)

menunjukkan bahwa jumlah petani usia tua (>55 tahun) meningkat

cukup signifikan dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, sementara

jumlah petani usia muda (15-24 tahun) justru menurun. Konsisi tersebut

sekaligus mengiyaratkan bahwa kultur petani kian tergerus dan minat

generasi muda untuk menjadi petani semakin rendah.

2.3. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Skala Kecil

Saat ini secara umum penguasaan lahan yang sempit boleh

dikatakan tidak layak dijadikan sebagai sumber mata pencaharian

(livelihoods) petani skala kecil. Sebagian anggota keluarga petani skala

Page 25: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

10

kecil beralih ke pekerjaan non-pertanian dan sebagian lagi seakan

terperangkap dalam kegiatan pertanian subsisten.

IFAD (2013) telah memberikan pedoman (guideline) intervensi

bantuan (support) terhadap petani skala kecil. Di dalamnya antara lain

mencakup: (1) upaya perbaikan kinerja pemasaran input dan output

pertanian, lahan, dan jasa keuangan untuk mengatasi kegagalan pasar

(market failure) yang cenderung diskriminasi terhadap petani skala kecil;

(2) peningkatan investasi dalam bidang penelitian dan pengembangan

(litbang) dan infrastruktur pedesaan berdasarkan kebutuhan petani

(termasuk petani skala kecil); (3) fasilitasi pengorganisasian petani skala

kecil dalam akses terhadap pasar; dan (4) pemberian insentif pada sektor

swasta agar lebih dekat dengan petani skala kecil. Cara terbaik dalam

pelaksanaan intervensi tersebut adalah melalui kerjasama antara pihak

pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat ( private partnership)

seraya menciptakan dan mengembangkan kebijakan dan lingkungan

bisnis yang berpotensi untuk ditingkatkan dan dilanjutkan.

Pemerintah Indonesia juga sudah memberikan arahan yang sama

sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 13/2013 tentang

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Strategi perlindungan petani

(termasuk skala kecil) dilakukan melalui: (1) prasarana dan sarana

produksi pertanian; (2) kepastian usaha; (3) harga komoditas pertanian;

(4) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; (5) ganti rugi gagal panen

akibat kejadian luar biasa; (6) sistem peringatan dini dan penanganan

dampak perubahan iklim; dan (7) asuransi Pertanian. Sementara itu,

strategi pemberdayaan petani dilakukan dengan cara: (1) pendidikan dan

pelatihan; (2) penyuluhan dan pendampingan; (3) pengembangan sistem

dan sarana pemasaran hasil pertanian; (4) konsolidasi dan jaminan

luasan lahan pertanian; (5) penyediaan fasilitas pembiayaan dan

permodalan; (6) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan

informasi; dan (7) penguatan kelembagaan petani.

Page 26: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

11

Kapasitas petani dalam berproduksi mesti digenjot melalui

peningkatan rataan luas penguasaan lahan. Disamping itu petani juga

harus mendapatkan fasilitasi berupa subsidi input dan output guna

membangkitkan gairah dalam berusahatani yang bernuansa agribisnis.

Aktivitas di luar usahatani (off-farm) seyogianya juga didorong. Hal

tersebut penting dalam rangka meningkatkan diversifikasi sumber

pedapatan, khususnya petani tanaman pangan agar tidak hanya

bertumpu pada kegiatan usahatani (on-farm) semata. Kondisi demikian

sejalan dengan pendapat van Braun (2004 dalam Sumaryanto, 2009)

dimana diversifikasi sumber pendapatan merupakan salah satu strategi

diantara berbagai strategi lainnya seperti spesialisasi dan komersialisasi

serta mencari tambahan pendapatan dari luar usahatani (part time

farmer).

Page 27: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

12

III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian ini diilustrasikan pada Gambar 1.

Perlu disadari bahwa eksistensi petani skala kecil mengalami dinamika

transformasi seiring perjalanan waktu. Dalam penelitian ini, dinamika

yang diamati yaitu berdasarkan hasil ST 2003 dan ST 2013 (BPS, 2013).

Eksistensi dan dinamika transformasi petani skala kecil tidak hanya

dilihat secara absolut semata, melainkan perlu diperhatikan dari sisi

tipologinya. Mengacu pada IFAD (2013), tipologi petani skala kecil terdiri

dari tiga kriteria berikut:

1. Tipologi petani yang mengelola usahatani secara subsisten

(subsistence-oriented small farms) yang hanya menjual sebagian hasil

panennya untuk memperoleh pendapatan (cash income) tetapi selalu

membeli (net buyers) kebutuhan pangan sepanjang tahun.

2. Tipologi petani skala kecil komersial (commercial small-scale farmers)

yang sudah berhubungan dengan rantai nilai (value chains)

komoditas. Petani ini biasanya ada yang bekerja penuh atau paruh

waktu (full or part-time farmers) dalam mengelola usahataninya.

3. Tipologi petani skala kecil transisi (small-scale farmers in transition)

yang mengalami perubahan status karena ada peluang menjadi

pelaku kegiatan di luar usahatani (off-farm). Petani tersebut

cenderung merasa lebih baik keluar dari pekerjaan usahatani untuk

mendapatkan pendapatan dari kegiatan di luar usahatani.

Masing-masing tipologi di atas dicirikan oleh karakteristik yang

berbeda dan dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti gambaran umum,

pola penguasaan lahan, sistem usahatani, dan aspek terkait lainnya.

Secara institusional, tipologi tersebut dapat dikaitkan dengan keberadaan

kelompok tani (media organisasi petani). Dari eksistensi dinamika

transformasi tersebut, intervensi program pengembangan petani skala

Page 28: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

13

kecil dapat diarahkan sesuai dengan masing-masing tipologinya.

Intervensi tersebut tentunya tidak diimplementasikan kepada petani

secara individu, melainkan dalam bentuk kolektif melalui kelompok tani.

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Eksistensi dan Dinamika Transformasi serta Tipologi Petani Skala Kecil

3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei

deskriptif (descriptive survey method). Survei dilaksanakan dalam bentuk

pengamatan langsung terhadap fenomena dan fakta mengenai eksistensi

dan dinamika transformasi petani skala kecil terkait dengan tipologinya.

Tipologi petani skala kecil di lokasi penelitian meliputi tiga kriteria.

Pertama, tipologi subsisten diwakili petani usahatani padi dan palawija.

Kedua, tipologi komersial direpresentasikan oleh petani usahatani

hortikultura. Ketiga, tipologi transisi adalah representasi petani wilayah

pinggiran kota (peri urban).

3.3. Data dan Informasi Penelitian

Data dan informasi berasal dari sumber primer dan sekunder. Data

dan informasi primer diperoleh melalui wawancara dengan petani

Subsisten

Komersial

Transisi

Eksistensi Petani

Skala Kecil

Dinamika Transformasi

Petani Skala Kecil

tipologi

ST 2003 vs ST 2013

Kelompok Tani

Karakteristik (gambaran umum, pola penguasaan lahan, dan

sistem usahatani)

Intervensi Pengembangan Petani Skala Kecil

Page 29: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

14

anggota kelompok, petugas, dan pemangku kepentingan (stakeholders)

pertanian, serta pengamatan langsung di lokasi penelitian. Sementara itu,

data dan informasi sekunder dikumpulkan dari dokumentasi laporan pada

masing-masing intansi terkait. Selanjutnya, data dan infromasi yang

dikumpulkan dianalisis secara deskriptif.

3.4. Lokasi dan Jadwal Penelitian

Lokasi penelitian adalah Provinsi Jawa Barat. Provinsi ini

merupakan salah satu sentra produksi pertanian di Indonesia yang

memiliki ketiga kriteria tipologi petani skala kecil sesuai dengan fokus

penelitian ini. Pemilihan lokasi penelitian adalah berdasarkan telaahan

dokumentasi data dan informasi sekunder berikut masukan dari nara

sumber pada institusi terkait.

Dua kabupaten dipilih yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten

Bandung. Kabupaten Garut mewakili tipologi petani skala kecil subsisten

(padi dan palawija) dan komersial (hortikultura). Sementara itu,

Kabupaten Bandung merupakan representasi tipologi petani transisi

wilayah pertanian pinggiran kota. Pada tiap kabupaten dipilih kecamatan,

desa, dan kelompok tani yang mewakili masing-masing kriteria tipologi

petani skala kecil (Tabel 3.1). Jadwal penelitian adalah tanggal 4-11

Desember 2014.

Tabel 3.1. Lokasi Penelitian Eksistensi dan Dinamika Transformasi serta Tipologi

Petani Skala Kecil

No. Uraian Tipologi

Subsisten Komersial Transisi

1. Kabupaten Garut Garut Bandung

2. Kecamatan Banyuresmi Cigedug Bajongsoang

3. Desa Cipicung Cigedug Tegalluar

4. Kelompok tani Ranca Kujang Silih Reksa IV Sugih Mukti

5. Usahatani pokok Padi dan palawija Kentang Padi

Page 30: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini diawali dengan deskripsi tentang eksistensi dan dinamika

transformasi petani skala kecil. Berikutnya identifikasi tipologi petani

skala kecil baik menyangkut karakteristiknya maupun organisasi

kelembagaannya (kelompok tani).

Perlu digarisbawahi bahwa sesuai dengan definisi yang dikeluarkan

oleh (BPS, 2014), rumah tangga petani (RTP) skala kecil disebut sebagai

RTP “gurem” yang selanjutnya digunakan dalam pembahasan ini.

Terminologi “gurem” dipilih karena lebih bersifat ke-Indonesia-an dengan

kategori spesifik dan berbeda dengan kategori internasional serta

sekaligus bukan hanya semata terjemahan dari “small-scale farmers”.

Eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem berhubungan

dengan kondisi waktu tertentu dan perubahan yang terjadi antar waktu.

Acuan untuk itu adalah Hasil Sensus Pertanian (ST 2003 vs. ST 2013).

Sementara itu, tipologi RTP gurem berkorelasi dengan orientasi kegiatan

(subsisten, komersial, dan transisi).

4.1. Eksistensi dan Dinamika Transformasi RTP Gurem

Rumah tangga petani (RTP)1] gurem merupakan bagian dari RTP

pengguna lahan pertanian2] dan Rumah Tangga Usaha Pertanian

(RTUP)3]. Esksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem di Indonesia

bervariasi menurut wilayah baik regional (Jawa vs. luar Jawa) maupun

1] RTP (Rumah Tangga Petani) gurem yakni rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mengusai lahan kurang dari 0,5 hektar (BPS, 2014).

2] RTP pengguna lahan pertanian yaitu rumah tangga usaha pertanian yang melakukan satu atau lebih kegiatan usaha tanaman padi, palawija, hortikultura, perkebunan,

kehutanan, peternakan, budidaya ikan/biota lain di kolam air tawar/tambak air payau, dan penangkapan satwa liar (BPS, 2014).

3] Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) adalah rumah tangga yang salah satu atau

lebih anggota rumah tangganya mengelola usaha pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual, baik usaha pertanian milik sendiri, secara bagi hasil, atau milik orang lain dengan menerima upah, dalam hal ini termasuk jasa

pertanian (BPS, 2014).

Page 31: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

16

provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Variasi tersebut berhubungan erat

dengan jumlah RTP pengguna lahan pertanian berikut ketersediaan lahan

pertanian itu sendiri. Dengan kata lain, semakin bertambah jumlah RTP

pengguna lahan pertanian sementara ketersediaan lahan pertanian

bersifat statis atau mengalami penurunan, maka jumlah RTP petani

gurem semakin meningkat. Data lengkapnya dapat diperhatikan pada

Lampiran Tabel 1 hingga Lampiran Tabel 9.

4.1.1. Nasional

Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 dan 2013 (ST

2003 dan ST 2013), jumlah RTUP di Indonesia masing-masing tercatat

sekitar 31,23 juta rumah tangga dan 26,13 juta rumah tangga (Tabel

4.1). Dengan kata lain, selama satu dasawarsa terakhir (2003-2013)

terjadi penurunan jumlah RTUP sekitar 5,10 juta rumah tangga

(16,32%). Secara regional, jumlah RTUP Jawa lebih tinggi dibandingkan

jumlah RTUP luar Jawa. Secara berurutan, jumlah RTUP lingkup provinsi

tertinggi hingga terendah di Jawa adalah Jawa Timur, Jawa Tengah,

Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta.

Tabel 4.1. Keragaan RTUP Nasional serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013

No. Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan

Absolut %

1. Jawa: 17.955.843 13.428.498 -4.527.345 -25,21

a. Banten 898.021 592.841 -305.180 -33,98

b. DKI Jakarta 52.583 12.287 -40.296 -76,63

c. Jawa Barat 4.345.148 3.058.612 -1.286.536 -29,61

d. Jawa Tengah 5.770.801 4.290.619 -1.480.182 -25,65

e. DI Yogyakarta 574.920 495.781 -79.139 -13,77

f. Jawa Timur 6.314.370 4.978.358 -1.336.012 -21,16

2. Luar Jawa 13.276.337 12.706.972 -569.365 -4,29

3. Indonesia 31.232.180 26.135.470 -5.096.710 -16,32

Sumber: BPS (2014)

Sebagai bagian dari RTUP, jumlah RTP pengguna lahan pertanian

juga berkurang dari 30,42 juta rumah tangga (ST 2003) menjadi 25,75

juta rumah tangga (ST 2013). Dengan kata lain, selama periode 10 tahun

Page 32: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

17

terakhir (2003-2013) jumlah RTP pengguna lahan pertanian mengalami

penurunan sekitar 15,35 persen. Fenomena penurunan RPT pengguna

lahan pertanian baik regional maupun antar provinsi di Jawa berkorelasi

positif dengan fenomena yang terjadi pada RTUP (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian Nasional serta Jawa dan

Luar Jawa, 2003 dan 2013

No. Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan

Absolut %

1. Jawa: 17,624,598 13,323,005 -4,005,672 -24.41

a. Banten 875,287 584,259 -254,527 -33.25

b. DKI Jakarta 47,262 9,515 -36,817 -79.87

c. Jawa Barat 4,242,003 3,039,716 -1,203,674 -28.34

d. Jawa Tengah 5,697,473 4,262,608 -1,317,642 -25.18

e. DI Yogyakarta 573,092 495,401 -55,223 -13.56

f. Jawa Timur 6,189,481 4,931,506 -1,137,789 -20.32

2. Luar Jawa 12,794,984 12,428,262 -760,515 -2.87

3. Indonesia 30,419,582 25,751,267 -4,766,187 -15.35

Sumber: BPS (2014)

Secara nasional, transformasi penurunan RTP pengguna lahan

pertanian telah menimbulkan konsekuensi meningkatnya rataan

penguasaan lahan pertanian selama satu dasawarsa terakhir (2003-

2013), yaitu dari 0,41 hektar per rumah tangga menjadi 0,89 hektar per

rumah tangga, atau meningkat lebih dari 100 persen. Sebagai catatan,

transformasi peningkatan luas lahan pertanian per rumah di Jawa sedikit

lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa. Khusus untuk Provinsi Jawa Barat,

terjadi peningkatan luas penguasaan lahan dari 0,15 hektar per rumah

tangga (2003) menjadi 0,44 hektar per rumah tangga (2013). Akan

tetapi, tidak ada data konkret mengenai rataan penguasaan lahan

pertanian RTP gurem baik nasional, regional, antar provinsi, antar

kabupaten/kota, maupun antar kecamatan. Salah satu cara perhitungan

yang cukup representatif adalah melalui proksi dari proporsi jumlah RTP

gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian.

Eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem di Indonesia

disajikan pada Tabel 4.3. Pada tahun 2003, eksistensi jumlah petani

Page 33: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

18

gurem adalah sekitar 19,02 juta rumah tangga, atau dengan proporsi

sekitar 62,51 persen dari jumlah RTP pengguna lahan pertanian nasional

(ST 2003). Kemudian pada tahun 2013, jumlah RTP gurem tersebut

berkurang menjadi 14,25 juta rumah tangga dengan penurunan proporsi

menjadi 55,33 persen (ST 2013).

Tabel 4.3. Keragaan RTP Gurem Nasional serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013

No. Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan

Absolut %

1. Jawa: 14.184.993 (80,48)

10.179.321 (76,40)

-4.005.672 -4,08

a. Banten 634.415

(72,48)

379.888

(65,02)

-254.527 -7,46

b. DKI Jakarta 45.428 (96,12)

8.611 (90,50)

-36.817 -5,62

c. Jawa Barat 3.501.867 (82,55)

2.298.193 (75,61)

-1.203.674 -6,95

d. Jawa Tengah 4,629,877 (81,26)

3,312,235 (77,70)

-1.317.642 -3,56

e. DI Yogyakarta 479.780

(83,72)

424.557

(85,70)

-55.223 1,98

f. Jawa Timur 4.893.626 (79,06)

3,755,837 (76,16)

-1.137.789 -2,90

2. Luar Jawa 4.830.058 (37,75)

4,069,543 (32,74)

-760.515 -5,01

3. Indonesia 19.015.051

(62,51)

14.248.864

(55,33)

-4.766.187 -7,18

Keterangan: ( ) persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian

Sumber: BPS (2014)

Secara regional, perbandingan eksistensi jumlah RTP gurem

antara Jawa dengan luar Jawa sangat signifikan. Demikian juga halnya

dengan proporsi RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian.

Secara absolut eksistensi jumlah RTP gurem Jawa hampir tiga kali lipat

eksistensi jumlah RTP luar Jawa dengan perbandingan proporsi dua

berbanding satu (Gambar 4.1).

Page 34: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

19

Gambar 4.1. Proporsi Jumlah RTP Gurem terhadap Jumlah RTP Pengguna Lahan Nasional dan Regional, 2013 (Sumber: BPS, 2014)

Proporsi jumlah RTP gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan

pertanian tertinggi dan terendah di Jawa diwakili oleh Provinsi Jawa

Timur dan Provinsi DKI Jakarta (Gambar 4.2). Perlu dikemukakan bahwa

eksistensi RTP gurem di Provinsi DKI Jakarta sudah mendekati ambang

“kelangkaan”. Umumnya RTP gurem di provinsi tersebut berada di

wilayah pinggiran kota (peri-urban).

Gambar 4.2. Proporsi RTP Gurem Nasional dan Regional, 2013 (Sumber: BPS, 2013)

Selama satu dasawarsa terakhir (2002-2010), secara absolut

jumlah RTP gurem Indonesia mengalami transformasi penurunan agregat

82,53%

36,07%

62,51%

78,45%

31,61%

55,33%

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Jawa Luar Jawa Indonesia

ST 2003ST 2013

Banten (2.67%)

DKI Jakarta (0.06%) Jawa Barat

(16.13%)

Jawa Tengah (23.25%)

DI Yoyakarta (2.98%)

Jawa Timur (26.36%)

Luar Jawa (31.23%)

Page 35: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

20

sekitar 4,77 juta rumah tangga (25,07%). Dengan kata lain, selama

periode tersebut telah terjadi dinamika transformasi penurunan jumlah

RTP gurem nasional tahunan sekitar 476.619 rumah tangga atau rata-

rata 2,51 persen per tahun. Sementara itu, agregasi transformasi

penurunan RTP gurem regional adalah 400.567 rumah tangga (2,82%) di

Jawa dan 76.052 rumah tangga (1,57%) di luar Jawa. Dengan kata lain,

secara absolut terdapat ketimpangan transformasi penurunan RTP

regional (Jawa vs. luar Jawa), wlaupun perbandingan persentase

perubahannya relatif tidak begitu menyolok.

Kendati secara agregat terjadi transformasi penurunan jumlah RTP

gurem di Jawa, satu pengecualian ditemukan di Provinsi DI Yogyakarta.

Secara absolut eksistensi jumlah RTP gurem di provinsi tersebut

mengalami penurunan cukup rendah yaitu sekitar 55.223 rumah tangga,

namun proporsi jumlahnya terhadap jumlah RTP pengguna lahan

pertanian setempat mengalami peningkatan secara tipis yaitu 1,98

persen. Dinamika transformasi penurunan jumlah RTP gurem di Provinsi

DI Yogyakarta sedikit berada di atas posisi Provinsi DKI Jakarta tetapi

jauh dibawah keberadaan provinsi lainnya di Jawa (khususnya Jawa

Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur).

4.1.2. Provinsi Jawa Barat

Eksistensi dan transformasi RTUP, RTP pengguna lahan pertanian,

dan RTP gurem di Provinsi Jawa Barat dan kabupaten contoh penelitian

disarikan pada Tabel 4.4. Provinsi Jawa Barat menempati peringkat

ketiga terbanyak dalam hal jumlah RTUP, RTP pengguna lahan pertanian,

dan RTP gurem di Indonesia, yakni setelah Provinsi Jawa Timur dan

Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan hasil ST 2003 dan ST 2013, proporsi jumlah RTP

pengguna lahan pertanian terhadap jumlah RTUP di Provinsi Jawa Barat

masing-masing sekitar 97,63 persen dan 99,38 persen (BPS Jawa Barat,

Page 36: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

21

2014). Selama periode 10 tahun terakhir (2003-2004), jumlah RTUP dan

RTP pengguna lahan pertanian di provinsi ini mengalami penurunan

absolut masing-masing sekitar 1.202.287 rumah tangga (28,34%) dan

1.203.674 rumah tangga (34,37%).

Tabel 4.4. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan RTP Gurem di Provinsi

Jawa Barat dan Kabupaten Contoh Penelitian, 2003 dan 2013

No, Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan

Absolut %

1, RTUP:

a. Provinsi Jawa Barat 4.345.148 3.058.612 -1.286.536 -29,61

b. Kabupaten Garut 320.242 268.628 -51.614 -16,12

c. Kabupaten Bandung 186.663 141.553 -45.110 -24,17

2. RTP pengguna lahan:

a. Provinsi Jawa Barat 4.242.003 3.039.716 -1.202.287 -28,34

b. Kabupaten Garut 315.688 268.177 -47.511 -15,05

c. Kabupaten Bandung 178.056 141.747 -36.309 -20,39

3. RTP gurem:

a. Provinsi Jawa Barat 3.501.867 (82,55)

2.298.193 (75,61)

-1.203.674 -6,95

b. Kabupaten Garut 260.219 (82,43)

209.813 (78,24)

-50.406 -4,19

c. Kabupaten Bandung 156.889

(88,11)

114.213

(80,58)

-42.676 -7,54

Keterangan: ( ) adalah persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian

Sumber: BPS (2014). BPS Jawa Barat (2014). BPS Kabupaten Garut (2014). dan BPS Kabupaten Bandung (2014)

Eksistensi RTUP maupun RTP pengguna lahan pertanian di

kabupaten contoh penelitian (Bandung dan Garut) menunjukkan

perbedaan yang cukup signifikan karena jumlah RTP dan ketersediaan

lahan di masing-masing kabupaten contoh penelitian tersebut juga

berbeda. RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian di Kabupaten Garut

mengalami penurunan absolut selama kurun waktu 10 tahun terakhir

(2003-2013), yaitu masing-masing sekitar 51,614 rumah tangga

(16,12%) dan 47,511 rumah tangga (15,05%). Kendati penurunan

absolut RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian di Kabupaten Bandung

sedikit lebih rendah (45.110 RT dan 36.309 RT), proporsi penurunannya

lebih tinggi (24,17% dan 20,39%) dibandingkan dengan fenomena yang

sama di Kabupaten Garut. Posisi Kabupaten Garut dan Kabupaten

Page 37: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

22

Bandung berada ditengah-tengah diantara RTUP dan RTP pengguna

lahan pertanian tertinggi dan terendah di Provinsi Jawa Barat yang

masing-masing diwakili oleh Kabupaten Sukabumi dan Kota Cimahi.

Eksistensi jumlah jumlah RTP gurem di Provinsi Jawa Barat

masing-masing tercatat sekitar 3,50 juta rumah tangga (ST 2003) dan

2,30 juta rumah tangga (ST 2013). Sementara itu, proporsi jumlah RTP

gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian di provinsi ini

masing-masing sebesar 82,55 persen persen dan 75,62 persen (ST 2003

vs. ST 2013). Selama kurun waktu 2003 hingga 2013, transformasi

penurunan absolut RTP gurem di provinsi ini terhitung sekitar 1,20 juta

rumah tangga atau dengan penurunan proporsi terhadap RTP pengguna

lahan pertanian sebesar 6,95 persen. Secara ringkas proporsi jumlah RTP

gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian terkini (ST 2013)

dapat diperhatikan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Proporsi RTP Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2013 (Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2014)

Eksistensi jumlah RTP gurem di Kabupaten Garut lebih tinggi

dibandingkan dengan aspek yang sama di Kabupaten Bandung. Selama

satu dasawarsa terakhir (2003-2013) transformasi RTP gurem di kedua

kabupaten contoh tersebut mengalami dinamika penurunan secara

absolut masing-masing 50.406 rumah tangga di Kabupaten Garut dan

Kota Depok (93.92%)

Kabupaten Bandung (80.58%)

Kabupaten Garut (78.24%)

Kabupaten Karawang (53.06%)

Kabupaten/Kota Lainnya (78.99%)

Provinsi Jawa Barat (75.61%)

Page 38: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

23

42.676 rumah tangga di Kabupaten Bandung, atau dengan proporsi

penurunan sekitar 4,19 persen (Kabupaten Garut) dan 7,54 persen

(Kabupaten Garut). Sebagai catatan, eksistensi jumlah RTP gurem paling

banyak dan paling sedikit di Provinsi Jawa Barat masing-masing diwakili

oleh Kabupaten Sukabumi dan Kota Cimahi. Akan tetapi, transformasi

penurunan proporsi RTP gurem terendah dan tertinggi di provinsi ini

terdapat di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bandung Barat.

4.1.3. Kabupaten Garut

Eksistensi RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian pada

kecamatan contoh penelitian di Kabupaten Garut berbeda dimana

keragaan jumlahnya di Kecamatan Banyuresmi lebih tinggi dari pada

keragaan jumlah yang ada di Kecamatan Cigedug. Sebaliknya. secara

absolut dan proporsional. penurunan jumlah RTUP dan RTP pengguna

lahan pertanian di Kecamatan Cigedug lebih tinggi dibandingkan dengan

aspek serupa di Kecamatan Banyuresmi (Tabel 4.5).

Tabel 4.5. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian dan RTP Gurem pada

Kecamatan Contoh di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013

No. Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan

Absolut %

1. RTUP:

a. Kecamatan Banyuresmi 8.656 8.024 -632 -7,30

b. Kecamatan Cigedug 5.182 4.356 -826 -15,94

2. RTP pengguna lahan:

a. Kecamatan Banyuresmi 8.624 8.018 -606 -7,03

b. Kabupaten Bandung 5.185 4.356 -829 -15,99

3. RTP gurem:

a. Kecamatan Banyuresmi 7.406 (85,88)

6.588 (82.17)

-818 -3,71

b. Kecamatan Cigedug 4.643

(89,55)

3.729

(85,61)

-914 -3,94

Keterangan: ( ) adalah persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)

Eksistensi jumlah dan proporsi RTP gurem di Kecamatan Cigedug

lebih tinggi dari pada eksistensi jumlah dan proporsi RTP gurem di

Kecamatan Banyuresmi. Kondisi tersebut berbanding lurus dengan

Page 39: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

24

perubahan absolut dan proporsinya. Selama 10 tahun terakhir (2003-

2013), jumlah dan proporsi RTP gurem mengalami dinamika transformasi

penurunan masing-masing 914 rumah tangga (3,94%) di Kecamatan

Cigedug serta 818 rumah tangga (3,71%) di Kecamatan Banyuresmi.

Perlu dikemukakan bahwa proporsi RTP gurem paling tinggi dan paling

rendah di Kabupaten Garut masing-masing terdapat di Kecamatan Garut

Kota dan Kecamatan Cibalong (Gambar 4.4).

Gambar 4.4. Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Garut, 2013 (Sumber: BPS Kabupaten

Garut, 2013)

Kendati proporsi RTP gurem di Kecamatan Cigedug lebih tinggi

dari pada proporsi RTP gurem di Kecamatan Banyuresmi, kedua

kecamatan contoh tersebut memiliki perbedaan terutama dari aspek

agroekosistem dan sistem usahatani. Kecamatan Banyuresmi mewakili

agroekosistem lahan basah dan lahan kering dataran rendah dengan

usahatani pokok tanaman pangan (padi dan palawija) sedangkan

Kecamatan Cigedug merupakan representasi agroekosistem lahan kering

dataran tinggi dengan usahatani pokok tanaman hortikultura (sayuran).

Kendati sama-sama berstatus RTP gurem, orientasi kegiatannya relatif

berbeda dimana RTP gurem di Kecamatan Cigedung lebih bersifat

komersial sementara RTP gurem di Kecamatan Banyuresmi cenderung ke

arah subsisten.

Garut Kota (90,28%)

Cibalong (46,03%)

Cigedug (85,61%)

Banyuresmi (82,17%)

Kecamatan Lainnya

(79,02% )

Kabupaten Garut

(79,24%)

Page 40: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

25

4.1.4. Kabupaten Bandung

Eksistensi dan transformasi RTUP, RTP pengguna lahan pertanian,

dan RTP gurem di kecamatan contoh penelitian (Bojongsoang) dapat

diperhatikan pada Tabel 4.6. Baik jumlah RTUP maupun jumlah RTP

pengguna lahan pertanian di kecamatan tersebut tergolong rendah

dibandingkan dengan yang terdapat pada kecamatan-kecamatan lainnya.

Sebagai catatan. perubahan jumlah RTUP dan RTP pengguna lahan

pertanian Kecamatan Bojongsoang merupakan yang tertinggi di seluruh

Kabupaten Bandung.

Tabel 4.6. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan RTP Gurem pada

Kecamatan Contoh (Bojongsoang) di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013

No. Wilayah ST 2003 ST 2013 Perubahan

Absolut %

1. RTUP

3.790

1.308 -2.482 -65.49

2. RTP pengguna lahan pertanian 2.730

1.308 -1.422 -52.09

3. RTP gurem 2.242

(82.12)

819

(62.61)

-1.423 -19.51

Keterangan: ( ) adalah persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian

Sumber: BPS Kabupaten Bandung (2014)

Kendati proporsi jumlah RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan

pertanian di Kecamatan Bojongsoang termasuk rendah dibandingkan di

kecamatan-kecamatan lainnya, akan tetapi transformasi penurunan

proporsinya paling tinggi di Kabupaten Bandung (Gambar 4.5). Tingginya

transformasi penurunan proporsi jumlah petani gurem di kecamatan

tersebut karena sebagian petani beralih (transisi) dari pekerjaan sektor

pertanian ke pekerjaan non-pertanian.

Page 41: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

26

Gambar 4.5. Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Bandung, 2013 (Sumber: BPS Kabupaten Bandung, 2013)

Kondisi di atas terutama dilatarbelakangi oleh cukup maraknya alih

fungsi lahan di kecamatan setempat sehingga sebagian dari petani

(terutama generasi muda) meninggalkan pekerjaan pertanian dengan

cara mencari pekerjaan non-pertanian di kota (Bandung). Sebagai

catatan, secara administratif Kecamatan Bojongsoang merupakan wilayah

pinggiran kota (peri urban) yang berbatasan langsung dengan Kota

Bandung, dekat jalan bebas hambatan (toll way) antara Buah Batu dan

Kota Bandung, dengan geliat pembangunan yang cukup gencar

(progressive) termasuk dalam memanfaatkan lahan pertanian setempat.

Dari uraian di atas, secara umum dapat dikemukakan bahwa

eksistensi jumlah RTP gurem di Indonesia baik di tingkat nasional,

regional, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan (termasuk desa)

cukup tinggi dengan proporsi agregat di atas 70 persen dari jumlah RTP

pengguna lahan pertanian. Sebagai perbandingan, proporsi Jawa dan

luar Jawa relatif cukup timpang (58,92% vs. 35,25%).

Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir (2003-2013),

transformasi jumlah RTP gurem menunjukkan dinamika penurunan RPT

gurem dengan agregasi sekitar 7 persen. Ada beberapa indikasi terkait

Margahayu (91,29%)

Bojongsoang (62,61%)

Kecamatan Lainnya

(79,43%)

Kabupaten Bandung

(80,68%)

Page 42: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

27

transformasi penurunan jumlah RTP gurem tersebut. Pertama, pada

tingkat nasional ada kecenderungan bahwa transformasi pengurangan

jumlah RPT gurem relatif menimbulkan transformasi penambahan jumlah

RPT bukan gurem. Kedua, pada tingkat regional terdapat peluang

perubahan status (mutasi) RPT gurem usahatani tanaman pangan ke

usahatani perkebunan pada wilayah-wilayah sentra perkebunan seperti di

Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain. Ketiga, pada tingkat

kabupaten/kota dan kecamatan (termasuk desa), transformasi

penurunan RTP gurem cenderung menjadikan anggota keluarga

meninggalkan pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian.

Kecenderungan tersebut lebih memungkinkan terjadi pada kalangan

generasi muda terutama di lokasi-lokasi dekat pertumbuhan ekonomi.

Fenomena tersebut perlu dikaji lebih jauh karena luasnya bentangan

geografis Indonesia dengan ragam karakteristik antar wilayah.

4.2. Tipologi RTP Gurem

Tipologi RTP gurem dibahas dalam sub-bab berikut dengan fokus

pada keragaan karakteristik pada masing-masing lokasi penelitian.

Karakteristik tersebut meliputi gambaran umum, pola penguasaan lahan,

dan sistem usaha pertanian. Di dalamnya sekaligus termasuk keberadaan

organisasi kelompok tani.

4.2.1. Tipologi RTP Subsisten

Tipologi RTP gurem subsisten dalam penelitian ini diwakili oleh

Kecamatan Banyuresmi (Kabupaten Garut), tepatnya di Desa Cipicung.

Kelompok tani contoh yang diambil adalah “Ranca Kujang”.

4.2.1.1. Gambaran Umum

Kecamatan Banyuresmi merupakan salah satu dari 42 kecamatan

di Kabupaten Garut. Kecamatan tersebut memiliki wilayah administratif

seluas 5.183 hektar dimana sekitar 3.200 hektar (62%) difungsikan untuk

Page 43: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

28

lahan pertanian (sawah, tegalan/lahan kering, dan kebun campuran (BPP

Banyuresmi, 2014). Satu diantara 15 desa di Kecamatan Banyuresmi

dijadikan sebagai contoh penelitian. Desa tersebut adalah Cipicung yang

memiliki lahan sawah dan tegalan/lahan kering masing-masing dengan

luasan sekitar 50 hektar dan 90 hektar.

Sawah di Desa Cipicung tergolong jenis tadah hujan dengan pola

tanam padi-padi-bera. Dengan kata lain, tanaman padi dibudidayakan

dua kali setahun yaitu pada musim hujan/MH (November/Desember-

Maret/April) dan musim kemarau (April/Mei-Juli/Agustus). Sistem tanam

padi adalah secara tapin (tanam pindah) dari persemaian. Tahun 2015

sebagian lahan sawah direncanakan untuk ditanami kedelai pada MK I,

sehingga pola tanamnya menjadi padi-kedelai-bera dan sebagian lagi

tetap padi-padi-padi. Sementara itu, pola tanam pada lahan kering

adalah jagung-jagung-kedelai.

4.2.1.2. Pola Penguasaan Lahan

Satuan ukuran lahan di Desa Cipicung adalah “tumbak”4]. Rataan

penguasaan lahan sawah di desa ini adalah di bawah 0,5 hektar per

rumah tangga petani. Dengan kata lain, penguasaan lahan di Desa

Cipicung termasuk kategori sempit (Kotak 4.1).

Pola penguasaan lahan terdiri dari garapan milik dan garapan

bukan milik (sakap/bagi hasil dan sewa). Pemilikan lahan umumnya

berasal dari warisan dan proses jual beli. Pola sakap/bagi hasil yang

umumnya diterapkan adalah pemilik mendapatkan dua pertiga bagian

(70%) sedangkan penggarap memperoleh sepertiga porsi (30%).

Implementasinya, semua biaya sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida,

dsb.) ditanggung oleh pemilik. Setelah panen, semua biaya sarana

produksi tersebut diperhitungkan menjadi bagian dari bagi hasil, sisanya

4] Tumbak adalah satuan lokal untuk luas lahan dengan ukuran sekitar 1.428 meter

persegi atau 0,14 hektar (1 hektar ekivalen 700 tumbak)

Page 44: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

29

dibagi dua antara pemilik dan penggarap. Sementara itu, sewa lahan

biasanya hanya berlaku untuk sawah. Besaran nilai sewa lahan sawah

adalah Rp 4.000 per tumbak per musim tanam atau sekitar Rp 2,8 juta

per hektar per musim tanam.

Kotak 4.1. Fenomena Penguasaan Lahan Pertanian di Desa Cipicung

Sempitnya penguasaan lahan sawah membuat sebagian petani di Desa Cipicung mencari pekerjaan sambilan seperti buruh pembuatan batu bata (rataan kapasitas 600 batu bata/orang/hari). Sebagai catatan, di desa

setempat ada tiga lokasi pembuatan batu bata. Sebagian lagi (terutama anak muda usia dibawah 30 tahun) bekerja di industri air mineral, pembuatan sosis, dan peternakan ayam, serta bangunan dan transportasi

ojeg. Hanya sekitar 5-10 persen anak muda (usia di bawah 40 tahun) di desa ini yang bekerja pada sektor pertanian.

Sebagian warga juga ada yang migrasi musiman ke Jakarta dan Bandung menjadi pedagang asongan dan tukang sol sepatu. Migrasi tersebut dikenal dengan istilah “murba” yang kegiatannya biasa

dilaksanakan pada saat menunggu panen padi tiba. Sebagai catatan, pekerja dari Garut yang cukup dikenal di beberapa kota dengan embel-

embel “Asgar (Asli Garut)” sebagian besar berasal dari Kecamatan Banyuresmi (termasuk Desa Cipicung).

Harga lahan sawah di Desa Cipicung berikisar antara Rp 1-10 juta

per tumbak (sekitar Rp 700 juta/hektar hingga Rp 7 milyar/hektar).

Variasi harga lahan sawah tersebut tergantung lokasi keberadaanya.

Dengan harga sebesar itu, sebagian petani setempat merasa tergiur

untuk menjual lahan (alih fungsi lahan).

Fenomena alih fungsi lahan relatif cukup marak terjadi di Desa

Cipicung, khususnya selama tiga tahun terakhir. Faktor pemicunya antara

lain karena: (1) implementasi pola warisan; (2) untuk biaya naik haji; dan

(3) tawaran pengembang (developer) perumahan. Sebagai catatan,

sekitar tiga hektar lahan sawah di desa ini telah beralih fungsi menjadi

perumahan “Rabain” dengan harga jual sekitar Rp 3 juta per tumbak (Rp

2,1 milyar/ha). Kendati ada wacana penerapan Perda (Peraturan Daerah)

tentang PLP2B (Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan),

namun implementasinya baru pada tahap sosialisasi.

Page 45: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

30

4.2.1.3. Sistem Usahatani

Usahatani pokok di Desa Cipicung adalah padi dan palawija

(Jagung dan kedelai). Varietas padi yang banyak ditanam petani di desa

setampat adalah Ciherang (MH) dan Sarinah (MK I). Sementara itu untuk

varietas jagung dan kedelai masing-masing Hibrida Pioner dan Grobogan

yang dominan dibudidayakan pada lahan kering (tegalan).

Jumlah penggunaan benih padi adalah sekitar tiga kilogram per

100 tumbak (sekitar 20 kg/ha). Jenis dan dosis pupuk yang biasa

digunakan petani adalah urea (100 kg/hektar) dan ponska (300

kg/hektar). Harga pupuk masing-masing untuk urea (Rp 2.100/kg) dan

ponska (Rp 2.900/kg).

Secara perhitungan kasar, upah jasa traktor untuk pengolahan

lahan adalah sekitar Rp 2,1 juta per hektar (Rp 3.000/tumbak). Upah

tenaga kerja5] untuk pengolahan lahan lainnya (cangkul, dsb.) yaitu Rp

800 ribu per hektar. Upah tanam dan penyiangan masing-masing sekitar

Rp 1 juta per hektar. Biaya pupuk dan pestisida sekitar Rp 2,5 juta per

hektar. Total biaya usahatani padi adalah sekitar Rp 6-7 juta per hektar.

Rataan produktivitas padi (gabah kering panen/GKP) pada MH

dan MK di Desa Cipicung masing-masing sekitar 7-8 kwintal per 100

tumbak (5,3 ton/ha) dan 5-6 kwintal per 100 tumbak (3,9 ton/ha).

Sebagai catatan, produktivitas padi di desa setempat termasuk kategori

rendah karena cukup tingginya intenstas serangan hama tikus, terutama

selama tiga musim tanam terakhir.

Dengan harga gabah GKP berkisar antara Rp 3.800 sampai dengan

Rp 4.000 per kilogram, maka akan diperoleh penerimaan (pendapatan

kotor) sekitar Rp 2.128.000 hingga Rp 3.200.000 per 100 tumbak per

5] Upah harian buruh tani di Desa Cipicung adalah sekitar Rp 30 ribu per orang per hari

(laki-laki) dan Rp 20 ribu per orang per hari (perempuan). Pekerjaan berlangsung sekitar 4-5 jam per hari (dapat makan). Sementara itu kalau upah harian lepas (tanpa makan) untuk buruh tani laki-laki (Rp 45 ribu/orang/hari) dan perempuan (Rp

35 ribu/orang/hari) dengan lama jam kerja yang sama (4-5 jam/hari).

Page 46: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

31

musim musim (Rp 14,9-17,6 juta/hektar/MT). Akan tetapi penerimaan

tersebut masih dipotong biaya lainnya seperti bagi hasil dan sewa lahan.

Hal tersebut mengingat petani di lokasi penelitian banyak yang tidak

memiliki lahan (petani penggarap), apalagi luas lahan yang digarap

umumnya sempit (<0,5 ha). Kendati perhitungannya belum rinci, namun

dapat digarisbawahi bahwa pendapatan riil petani dari usahatani padi

dengan luasan sempit tersebut masih tergolong kategori rendah (pas-

pasan). Konsekuensinya, petani cenderung segera menjual hasil

panennya secara tebasan karena desakan kebutuhan ekonomi rumah

tangga. Kebutuhan pokok (beras) umumnya dipenuhi dari pembelian

dengan mengandalkan penjualan hasil tanaman lahan kering.

Panen padi di Desa Cipicung banyak dilakukan secara sistem

“tebasan” karena petani memerlukan uang yang sifatnya mendesak. Nilai

tebasan berkisar antara Rp 1,6-2 juta per 100 tumbak (sekitar Rp 12

juta/ha). Penebas biasanya pelaku perdagangan (bandar) lama dan baru

(dadakan). Biasanya petani lebih menyukai bandar baru dibandingkan

bandar lama karena harganya relatif sedikit lebih mahal. Sebagai catatan,

penebas berasal dari lokasi setempat.

Keberadaan lahan kering (tegalan) di Desa Cipicung relatif sedikit

lebih luas dibandingkan lahan sawah. Jenis tanaman yang umumnya

dibudidayakan pada lahan kering adalah jagung (2 musim tanam/tahun)

dan kacang-kacangan (kacang panjang, kedelai, dll.). Khusus untuk

kedelai, jenis tanaman ini relatif belum menunjukkan hasil yang optimal

(masih bersifat untung-untungan). Secara umum boleh dikatakan jarang

ada penerapan sistem sakap dan sistem sewa pada lahan kering. Hanya

sebagian kecil sistem sewa yang berlaku, yaitu khusus untuk budidaya

tanaman sayuran. Oleh karena itu, petani setempat cenderung

mengusahakan budidaya tanaman pada lahan kering masing-masing.

Rataan produktivitas jagung (pipilan kering) di Desa Cipicung

adalah sekitar 8 kwintal per 100 tumbak (5,6 ton/hektar). Harga jagung

Page 47: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

32

pipilan kering adalah sekitar Rp 3.000 per kilogram. Sebagai

perbandingan, harga jagung pipilan basah dan tongkol basah masing-

masing sekitar Rp 1.000 per kilogram dan Rp 2.000 per kilogram.

Sebagai catatan, harga kedelai (kering ose) adalah sekitar Rp 7.000 per

kilogram. Di desa ini pernah dilaksanakan kemitraan usahatani jagung

dengan pihak swasta pada tahun 2011. Kemitraan tersebut tidak

berlanjut karena telatnya penyaluran sarana produksi, rendahnya harga

panen jagung, dan terlambatnya pengambilan hasil panen (risiko).

Dengan adanya sistem bagi hasil dan panen tebasan, maka secara

tidak langsung modal usahatani berasal dari pemilik lahan dan penebas.

Modal dari pemilik adalah dalam bentuk biaya sarana produksi sedangkan

modal dari penebas biasanya diberikan dalam bentuk pinjaman uang

sebagai tanda pengikat. Sebagian lagi modal usahatani berasal dari milik

sendiri. Sementara itu, pemasaran hasil pertanian ditujukan kepada

penebas dan ke pedagang setempat.

Permasalahan yang dialami petani Desa Cipicung antara lain: (1)

tanam tidak serempak karena kekurangan tenaga kerja; (2) intensitas

serangan hama tikus cukup tinggi (tidak hanya pada tanaman padi tetapi

juga jagung dan cabai); dan (3) kendala air (tergantung curah hujan)

tetapi dampaknya tidak seberat serangan hama tikus. Paling tidak ada

dua hal pokok yang diinginkan petani setempat, yaitu: (1) kestabilan

harga; dan (2) pemanfaatan lahan pekarangan serta pelatihan kerajinan.

4.2.2. Tipologi Rumah Tangga Petani (RTP) Komersial

Tipologi RTP gurem komersial dalam penelitian ini diwakili oleh

Kecamatan Cigedug (Kabupaten Garut), tepatnya di Desa Cigedug.

Kelompok contah yang mewakili desa tersebut adalah “Silih Reksa IV”.

4.2.2.1. Gambaran Umum

Desa Cigedug merupakan salah satu desa yang berada di

Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Desa ini

Page 48: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

33

terletak di daerah dataran tinggi dengan posisi sekitar 1.200 meter di

atas permukaan laut (DPTPH Garut, 2014). Desa Cigedug memiliki luas

wilayah sekitar 1.138,20 hektar, terdiri dari lahan sawah (3,90 hektar),

lahan kering/tegalan (644,87 hektar), lahan perkebunan (67 hektar),

fasilitas umum (4,14 hektar), dan lahan hutan (172,39 hektar). Lahan

kering dimanfaatkan untuk tanaman sayuran dan buah-buahan (76,9%),

tanaman keras (22%), dan kolam air tawar (1,1%).

4.2.2.2. Pola Penguasaan Lahan

Pola penguasaan lahan yang paling banyak ditemui di Desa

Cigedug adalah garapan milik dan garapan bukan milik (sewa). Sistem

sewa lebih mengemuka dibandingkan sistem sakap atau bagi hasil karena

jenis budidaya usahatani di desa ini adalah tanaman hortikultura yang

bernilai ekonomi tinggi dengan modal relatif besar.

Rataan luas lahan yang digarap petani Desa Cigedug adalah

sekitar 0,51 hektar dengan luas lahan tersempit dan terluas masing-

masing 0,1 hektar dan 4 hektar. Sementara itu, dari hasil wawancara

dengan anggota kelompok tani “Silih Reksa IV” diperoleh informasi

bahwa kisaran luas penguasaan lahan yaitu 0,5-10 hektar per rumah

tangga petani.

4.2.2.3. Sistem Usahatani

Usaha tani pokok di Desa Cigedug adalah kentang varietas

Granola, Atlantik, dan Vanda (Kotak 4.2) serta cabai jenis rawit dan cabai

besar. Sebagian petani di desa ini melakukan kerjasama kemitraan

dengan PT Indofood Fritolay Mandiri (IFM) untuk kentang varietas

Atlantik dan cabai rawit serta PT Heinz ABC untuk cabai besar.

Sekitar 200 orang petani Kecamatan Cigedug dan kecamatan

lainnya dan sekitarnya menjalin kerjasama kemitraan dengan

perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Jumlah anggota kemitraan

Page 49: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

34

bertambah terus karena dukungan harga yang menarik (favorable) dari

perusahaan.

Kotak 4.2. Sekilas Mengenai Komoditas Kentang di Kabupaten Garut

Kentang merupakan komoditas sayuran yang banyak terdapat di

wilayah pegunungan Kabupaten Garut. Sebagian besar varietas kentang yang dibudidayakan adalah Granola serta sebagian kecil Atlantik dan Vanda. Kecamatan produsen utama kentang adalah Cikajang dan Pasirwangi.

Kecamatan lainnya seperti Samarang, Bayongbong, Cisurupan, Sukaresmi, Cigedug, dan Wanaraja berfungsi sebagai kawasan pengembangan.

Selain digunakan sebagai sayuran, komoditas kentang dapat diolah menjadi bahan makanan olahan lain seperti keripik dan dodol yang pada saat ini banyak diusahakan pada skala rumah tangga (home industri). Untuk

varietas Atlantik dan Vanda atau yang di kenal sebagai kentang industri, diproduksi untuk bahan pembuatan keripik kentang melalui implementasi

kerjasama kemitraan dengan perusahaan swasta (PT IFM).

Kerjasama kemitraan antara petani setempat dengan PT IFM

sudah berlangsung sejak 21 tahun yang lalu (Kotak 4.3). Implementasi

kerjasama kemitraan adalah berlandaskan kesepakatan terkait dengan

hak dan kewajiban antara kedua belah pihak yang hingga saat sekarang

masih tetap berlaku (Tabel 4.7).

Bibit merupakan “faktor kunci” usahatani kentang. Ketersediaan

bibit Atlantis tergantung dari impor (Australia dan Scotlandia).

Sebelumnya impor bibit kentang tersebut berasal dari Kanada.

Penyediaan bibit tergantung pada pasokan impor dan kapasitas pabrik PT

IFM dalam pengolahan kentang (350 ton/pengolahan/hari). Sebagai

catatan, Indonesia sangat tergantung pada bibit kentang impor.

Kebutuhan bibit kentang Atlantis adalah sekitar 1 ton per hektar

dengan produktivitas 30 ton per hektar (dapat ditanam untuk dua musim

tanam). Sebagai perbandingan, kebutuhan bibit kentang Granola adalah

sekitar 4 ton per hektar dengan produktivitas yang hampir sama (30

ton/hektar).

Page 50: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

35

Kotak 4.3.

Kiprah PT Indofood Fritolay Makmur di Kabupaten Garut

PT Indofood Fritolay Makmur (IPM) adalah perusahaan pengolahan kentang yang telah melakukan kerjasama kemitraan dengan petani kentang

di Kabupaten Garut sejak tahun 1993. Perusahaan ini menyediakan bibit unggul kentang bersertifikasi (varietas Atlantis) bagi petani dan melatih

semua ketua kelompok tani yang dibentuk untuk tujuan kemitraan agar terampil dalam pembibitan kentang. Pembibitan yang dimaksud adalah dengan perlakuan teknis berupa pembelahan umbi bibit kentang menjadi dua

sehingga penggunaannya lebih efisien.

PT IFM merupakan salah satu pelaku industri yang memberi pengaruh

terhadap perkembangan penggunaan varietas kentang di Kabupaten Garut. Perusahaan industri makanan tersebut memang sengaja menjalin kerjasama kemitraan dengan petani kentang di berbagai daerah termasuk Kabupaten

Garut guna memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku ke pabriknya.

Pada awalnya, para petani peserta kerjasama kemitraan adalah mereka yang memiliki hubungan dekat dengan perwakilan PT IFM. Pemilihan petani

peserta berikutnya adalah berdasarkan rekomendasi petani peserta terdahulu. Para petani yang mengikuti kerjasama kemitraan boleh dikatakan

petani mampu (kaya) yang memiliki lahan luas dan modal besar, karena PT IFM sendiri tidak mau mengambil risiko kegagalan hanya karena kurangnya modal petani dalam pembelian sarana produksi dan biaya pengelolaan

usahatani kentang. Belakangan, petani peserta kerjasama kemitraan tersebut banyak yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah karena

semakin akrabnya hubungan kepercayaan (trust) diantara kedua belah pihak.

Tabel 4.7. Hak dan Kewajiban Petani dan PT IFM dalam Kerjasama Kemitraan Budidaya

Tanaman Kentang di Kabupaten Garut, 2014

Petani PT IFM

1. Membeli bibit yang disediakan

PT IFM.

2. Melakukan budidaya kentang sesuai anjuran PT IFM.

3. Menjual hasil kepada PT IFM.

4. Membayar kredit bibit secara “yarnen” (bayar setelah panen)

kepada PT IFM

1. Menyediakan bibit untuk petani dengan

kualitas terjamin. 2. Memfasilitasi penyediaan sarana produksi

lain bagi petani yang memerlukan.

3. Melakukan pembinaan teknis budidaya terhadap petani dengan pendampingan agro-supervisor. dan

4. Menampung hasil petani dengan harga dan spesifikasi produksi yang telah disepakati.

Sumber : Saptana dkk. (2005) dalam Iqbal (2008)

Sekitar 30 persen biaya produksi kentang dialokasikan untuk bibit.

Kebutuhan bibit adalah sekitar 2-3 ton per hektar (kentang bulat) atau 1-

1,5 ton per hektar (kentang yang dibelah). Harga normal bibit kentang

adalah Rp 15.000 per kilogram. Akan tetapi, petani hanya membayar Rp

Page 51: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

36

12.500 per kilogram karena ada subsidi harga dari perusahaan sebesar

Rp 2.500 per kilogram.

Upah pengolahan lahan budidaya kentang (cara manual) adalah

sekitar Rp 1.500 per patok atau Rp 3,75 juta per hektar. Biaya sarana

produksi lainnya ditanggung oleh petani dan pengadaannya diperoleh

dari kios-kios setempat. Pemeliharaan tanaman kentang dilakukan oleh

buruh tani dengan nilai upah (di luar makan) masing-masing Rp 20.000-

25.000 per orang per hari (laki-laki) dan Rp 15.000 per orang per hari

(perempuan). Lama waktu kerja adalah sekitar 4-5 jam per hari.

Fenomena tenaga kerja pertanian setampat disajikan pada Kotak 4.4.

Kotak 4.4. Fenomena Tenaga Kerja Pertanian di Desa Cigedug

Ketersediaan tenaga kerja pertanian cukup bermasalah di Desa Cigedug

karena banyak yang mengusahakan lahan pertaniannya secara sendiri-sendiri, termasuk generasi muda petani. Di desa ini ada semacam “distorsi

fenomena” dimana generasi muda lebih berminat bekerja di pertanian dari pada melanjutkan pendidikan sekolah.

Generasi muda Desa Cigedug yang melanjutkan pendidikan ke jenjang

perguruan tinggi boleh dikatakan minor. Awalnya generasi muda bekerja sebagai buruh tani dan beberapa periode kemudian mulai menyewa lahan untuk diusahakan sendiri. Konsekuensinya, jumlah petani makin bertambah

sementara ketersediaan tenaga kerja menjadi berkurang.

Karena kekurangan tenaga kerja, beberapa petani ada yang

meninggalkan usahatani dan mencari kerja ke luar daerah (terutama pada musim kemarau). Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja tersebut, jalan keluarnya adalah dengan mendatangkan tenaga kerja dari luar desa melalui

fasilitasi antar jemput.

Tanaman kentang dibudidayakan selama 1-2 musim tanam per

tahun (100 hari/musim tanam). Produktivitas kentang berkisar antara 18-

20 ton per hektar per musim tanam. Produktivitas kentang yang ditanam

pada musim kemarau lebih baik dari pada di musim hujan. Dengan harga

panen Rp 5.400 per kilogram6], petani memperoleh penerimaan antara

6] Harga panen kentang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara PT IFM dengan

petani (saat ini Rp 5.400/kg). Harga tersebut berada di atas rata-rata harga pasar

Page 52: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

37

Rp 97,2 hingga Rp 108 juta per hektar per musim tanam. Dengan biaya

produksi lebih kurang Rp 90 juta per musim tanam, maka secara

hitungan kasar pendapatan petani berkisar antara Rp 7,2 juta sampai Rp

18 juta per hektar per musim tanam.

Sumber modal usahatani kentang berasal dari modal sendiri dan

pinjaman. Sebagai catatan, sekitar 80 persen anggota kelompok tani

“Silih Reksa IV” melakukan kegiatan usahatani dengan modal sendiri.

Sisanya (20%) bersumber dari pinjaman ke kios-kios setempat.

Petani di lokasi penelitian jarang yang berhubungan (akses)

dengan lembaga perbankan, misalnya dalam memanfaatkan fasilitas

kredit (KUR/Kredit Usaha Rakyat, KPPE/Kredit Ketahanan Pangan dan

Energi, dsb.). Hal tersebut disamping karena prosedurnya relatif rumit,

juga disebabkan oleh tidak sinkronnya kebijakan antara bank pusat

dengan bank daerah. Kerumitan prosedur tersebut diantaranya terkait

dengan agunan kredit (sertifikat tanah). Petani merasakan bahwa

pengurusan sertifikat tanah cukup berbelit-belit dan memakan waktu

lama. Petani beranggapan bahwa tanpa sertifikat dan tanpa pinjaman

kredit, petani bisa mengurus lahan usahatani (tergantung usaha). Selain

itu, petani merasa terbebani kalau memanfaatkan kredit yang harus

dibayar secara reguler dan tepat waktu plus bunga pinjaman serta

kekhawatiran terhadap fenomena kredit macet yang nantinya dirasa

malah makin memberatkan petani. Di sisi lain, bank setempat boleh

dikatakan cukup trauma dengan kasus KUT (Kredit Usaha Tani) dan

adanya kredit fiktif.

Petani di lokasi penelitian menginginkan agar pemerintah dapat

mengontrol stabilitas harga. Selain itu petani setempat juga

mendambakan bantuan/pembinaan terkait dengan mekanisasi seperti

traktor (satu set dengan singkal dan rotary) dan cultivator untuk

yang hanya berkisar antara Rp 5.000 per kilogram hingga Rp 5.200 per kilogram

(termasuk varietas Atlantik).

Page 53: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

38

mengatasi kekurangan tenaga kerja. Petani di lokasi penelitian tidak

merasa keberatan seandainya pemerintah mencabut subsidi pupuk, asal

dijalankan secara konsisten.

4.2.3. Tipologi Rumah Tangga Petani (RTP) Transisi

Tipologi RTP gurem subsisten dalam penelitian ini diwakili oleh

Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Adapun

kelompok tani contohnya adalah “Sugih Mukti”.

4.2.3.1. Gambaran Umum

Bojongsoang adalah satu dari 31 kecamatan yang berada di

bawah Pemerintahan Kabupaten Bandung. Kecamatan ini memiliki luas

wilayah sekitar 2.568,3 hektar dengan posisi geografis sebagai pintu

gerbang perbatasan dengan Kota Bandung. Secara administratif

Kecamatan Bojongsoang enam desa yaitu Bojongsoang, Lengkong,

Cipagalo, Buahbatu, Tegalluar, dan Bojongsari (BPS Kabupaten Bandung,

2014). Dua desa terakhir merupakan lokasi contoh dalam penelitian ini.

Desa Tegalluar memiliki luas wilayah sekitar 682,5 hektar dan

merupakan desa yang terluas (26%) di Kecamatan Bojongsoang. Desa ini

mewakili tipe agroekosistem sawah tadah hujan yang luasnya lebih

kurang 400 hektar. Sementara itu, Desa Bojongsari memiliki luas wilayah

513 hektar dengan tipe agroekosistem sawah irigasi semi teknis sekitar

235 hektar. Kedua desa tersebut berbatasan langsung dengan wilayah

administratif Kota Bandung.

4.2.3.2. Pola Penguasaan Lahan

Fenomena penguasaan lahan di Desa Tegalluar dan Desa

Bojongsari merupakan representasi fenomena penguasaan lahan di

Kabupaten Bandung secara keseluruhan. Fakta menunjukkan bahwa

salah satu permasalahan terkait eksistensi lahan pertanian di kabupaten

ini adalah terus berlangsungnya alih fungsi lahan pertanian ke non-

Page 54: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

39

pertanian. Sebagai catatan, data interpretasi citra SPOT (Systeme

Probatoire d'Observation de la Terre) menunjukkan bahwa alih fungsi

lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi di Kabupaten Bandung

pada tahun 2004 hingga tahun 2011 adalah sekitar 1.898,34 hektar

(4,96%). Pada tahun 2011, lahan pertanian yang dilindungi RTRW

Kabupaten Bandung adalah seluas 18.498 hektar atau sekitar 50,78

persen dari total luas lahan pertanian di kabaupaten ini. Sisanya, yaitu

sekitar 17.940 hektar (49,25%) direncanakan untuk dialihfungsikan ke

penggunaan non-pertanian (Kecamatan Bojongsoang, 2012).

Konsekuensinya, eksistensi lahan pertanian menjadi semakin menyempit.

Fenomena di atas menimbulkan dampak baik langsung maupun

tidak langsung terhadap kehidupan petani setempat, terutama yang

mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian

keluarga. Sebagai catatan, berdasarkan hasil SUSEDA (Survei Sosial

Ekonomi Daerah) tahun 2009, sekitar 14 persen penduduk Kabupaten

Bandung bekerja di sektor pertanian (BPS Kabupaten Bandung, 2010).

Paling tidak ada tiga faktor penyebab terjadinya penyempitan

lahan pertanian di lokasi penelitian. Pertama, adanya fragmentasi atau

penyusutan kepemilikan lahan pertanian karena pola pewarisan.

Akibatnya, sebagian dari lahan tersebut dijual karena dianggap tidak

mencukupi untuk diusahakan secara optimal. Hasil penjualan tersebut

direncanakan untuk modal usaha di luar sektor pertanian. Akan tetapi

tidak sedikit petani yang beruntung dari hasil penjualan lahan tersebut,

sehingga akhirnya sebagian menjadi petani penggarap atau buruh tani di

lahannya sendiri. Kedua, alih fungsi lahan melalui transaksi penjualan

kepada perorangan atau pengusaha dari luar desa yang notabene kurang

mengerti atau tidak menghiraukan eksistensi lahan pertanian di lokasi

setempat. Biasanya, sebelum dialihfungsikan ke penggunaan non-

pertanian, lahan pertanian tersebut boleh digarap sampai batas waktu

yang tidak ditentukan. Namun petani diliputi rasa kekhawatiran

Page 55: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

40

mengingat alih fungsi penggunaan lahan yang dimaksud bisa terjadi dan

mengakibatkan petani penggarapnya kehilangan pekerjaan kapan saja.

Ketiga, implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3/2008 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengakibatkan beberapa

lahan pertanian beralihfungsi ke penggunaan non-pertanian.

Fenomena jual beli lahan cukup marak di lokasi penelitian. Hal

tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) secara geografis

lokasinya berada di bagian wilayah cekungan daerah aliran sungai (DAS)

Citarum yang sering mengalami kebanjiran, terutama pada saat musim

huja; dan (2) secara administratif letaknya berbatasan dengan Kota

Bandung dengan geliat pembangunan cukup gencar, khususnya untuk

industri dan pemukiman.

Fenomena alih fungsi lahan pada lokasi penelitian menunjukkan

bahwa frekuensinya lebih tinggi di Desa Tegalluar dari pada di Desa

Bojongsari. Hal tersebut karena lokasi Desa Tegalluar relatif lebih dekat

ke Kota Bandung dibandingkan dengan Desa Bojongsari.

Sekitar 70 persen lahan sawah di Desa Tegalluar telah beralih

fungsi dan umumnya jatuh ke tangan orang dari luar desa. Diantara

pemilik dari luar desa tersebut ada yang memiliki lahan sawah sekitar 4-5

hektar per orang. Sebagian dari lahan yang dimaksud digarap oleh petani

setempat dan sebagian lagi diusahakan petani dari luar desa.

Desa Tegalluar boleh dikatakan lebih rentan terhadap alih fungsi

lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian dibandingkan dengan

Desa Bojongsari. Berpijak dari kondisi tersebut, Desa Bojongsari

menyusun Peraturan Desa (Perdes) yang rencananya akan diterapkan

pada Januari 2015. Perdes tersebut antara lain mengatur tentang: (1)

kontrak pengusahaan lahan; (2) kegiatan notaris tanah sesuai dengan

administrasi pemerintahan desa; dan (3) registrasi desa terkait dengan

pajak tanah. Ketiga peraturan tersebut terutama ditujukan untuk

penertiban administrasi lahan yang dikuasai oleh pemilik dari luar desa.

Page 56: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

41

Fenomena eksistensi lahan sebagaimana dikemukakan di atas

menimbulkan dampak pada pola penguasaan lahan di lokasi penelitian.

Selain pola pemilikan yang semakin terbatas skalanya, pola lainnya

adalah berupa bagi hasil, sewa, dan gadai. Pola bagi hasil yang ada

yaitu: (1) bagi hasil setengah atau paroan (50% vs 50%) dimana biaya

penggarapan ditanggung penggarap sedangkan bibit dan pupuk dibiayai

oleh pemilik; (2) bagi hasil setengah atau paroan (50% vs. 50%) setelah

dipotong biaya yang sebelumnya ditanggung pemilik berdasarkan

konversi hasil panen; (3) bagi hasil sepertiga atau mertelu dimana

penggarap mendapatkan bagian 70 persen dan pemilik memperoleh

bagian 30 persen dengan ketentuan seluruh biaya ditanggung oleh

penggarap; (4) bayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Sebagai catatan,

pola bayar PBB paling banyak diminati dan jadi rebutan karena dengan

membayarkan PBB sekitar Rp 1,6 juta per hektar pe tahun, penggarap

dapat menikmati seluruh hasil panen garapannya.

Paling tidak ada dua pola sewa lahan yang cukup menonjol di

lokasi penelitian. Pertama, sewa lahan senilai tiga kilogram per tumbak

(2,1 ton/hektar). Pola sewa lahan seperti ini lebih banyak dilakukan

dimana penggarap membayarkan sebagian sewanya (uang muka) di awal

(sebelum digarap) dengan perhitungan harga gabah hasil panen musim

tanam sebelumnya. Kedua, sewa lahan Rp 5.000 per tumbak (Rp 3,5

juta/hektar) per musim tanam. Pola ini berlaku pada budidaya tanaman

ketimun (45 hari/musim tanam) dimana penyewanya berasal dari luar

desa (Baleendah). Sementara itu pola penguasaan lahan lainnya adalah

gadai gabah (potong pinjaman) dengan perhitungan Rp 1 juta untuk 1

kwintal gabah.

Dari uraian di atas dapat secara umum dapat dikemukakan bahwa

fenomena “guremisasi” cukup gencar terjadi di lokasi penelitian. Dengan

kata lain skala pemilikan lahan petani menjadi sempit atau bahkan ada

petani yang tidak memiliki lahan lagi (tuna lahan). Fenomena tersebut

Page 57: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

42

berlangsung melalui proses perjalanan waktu sehingga menimbulkan

dampak sosial seperti tersaji pada Kotak 4.5. Khusus untuk Tegalluar,

boleh dikatakan setiap hari investor mencari lahan di desa ini. Kondisi

tersebut seiring dengan adanya beberapa isu antara lain terkait dengan

wacana pengembangan Desa Tegalluar menjadi satelit Kota Bandung.

Kotak 4.5.

Ungkapan Keprihatinan Petani Gurem

Ungkapan keprihatinan petani gurem di Kecamatan Bojongsoang

adalah “Hirup ripuh, bathin nyeri” (hidup susah, batin sakit). Menyadari hal tersebut, petani setempat hanya dapat berikhtiar dan berusaha sesuai kondisi yang ada. Fenomena tersebut umumnya diwariskan kepada anak

agar tidak mengikuti jejak orang tuanya sebagai “petani”.

Secara tidak langsung gambaran di atas berdampak pada kurang/tidak

berminatnya generasi muda terjun dalam pekerjaan pertanian. Situasi tersebut diperparah lagi dengan pola pewarisan lahan pertanian yang menjadikan skalanya makin menyempit sehingga tidak dapat diandalkan

sebagai sumber mata pencaharian pokok.

4.2.3.3. Sistem Usahatani

Pola tanam pada lahan sawah di Desa Tegalluar adalah padi-padi-

bera dengan jadwal musim tanam masing-masing untuk MH (Januari-

April/Mei) dan MK I (Juni/Juli-Oktober). Jenis padi yang umum digunakan

adalah varietas Ciherang. Beberapa orang petani pernah mengusahakan

tanaman jagung tetapi kurang berhasil. Sementara itu, pola tanam di

Desa Bojongsari yaitu padi-padi-ketimun.

Sumber pengairan lahan sawah berasal irigasi dan pompa air. Nilai

sewa pompa air masing-masing untuk pompa air milik perorangan dan

kelompok masing-masing 700 kilogram per hektar per musim tanam

(pompa air milik kelompok) dan 670 kilogram per hektar per musim

tanam (pompa air milik perorangan). Keberadaan pompa air tersebut

sangat diperlukan, khususnya selama musim kemarau.

Ketersediaan traktor baik milik pribadi maupun punya kelompok

relatif cukup. Nilai sewa traktor masing-masing untuk milik pribadi dan

Page 58: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

43

punya kelompok adalah Rp 1,4 juta per hektar dan Rp 1,2 juta per

hektar. Nilai sewa tersebut dibagi antara operator (40%) dan pemilik

traktor (60%). Biaya bahan bakar (solar) serta makan, rokok, bir

(penghangat badan) operator, dan lain-lain ditanggung pemilik traktor.

Upah tanam padi masing-masing Rp 30-35 ribu per orang per hari

(tenaga kerja luar Bojongsoang) dan Rp 40 ribu per orang per hari

(tenaga kerja setempat). Tenaga kerja dari luar dijemput dan diantar

oleh pemilik (pengguna tenaga kerja). Sebagai catatan, tenaga kerja

setempat diambil oleh petani kaya karena pekerjaannya lumintu (terus

menerus) pada lahan yang cukup luas. Sebaliknya, petani yang memiliki

lahan sempit kesulitan mencari tenaga kerja setempat.

Penggunaan pupuk boleh dikatakan cukup tinggi karena petani

menganggap lahannya kurang subur. Sementara itu, upah tenaga kerja

cukup mahal, masing-masing untuk laki-laki (Rp 50.000/orang/hari) dan

perempuan (Rp 40.000/orang/hari) selama lima jam kerja per hari.

Selain mengalami krisis lahan, lokasi penelitian juga menghadapi

krisi tenaga kerja. Petani yang mau terjun ke sawah adalah yang berusia

di atas 50 tahun. Bagi yang berusia di bawah 50 tahun bekerja di

bangunan, pabrik, dan jenis pekerjaan lain di kota. Salah satu industri

yang cukup banyak menyerap tenaga kerja terutama generasi muda

setempat adalah pabrik tekstil “PT Angguna”. Kekurangan tenaga kerja

didatangkan dari luar desa seperti Ciparay dan Selokan Jeruk. Sebagai

ilustrasi, fenomena keengganan generasi muda setempat untuk

menggeluti pekerjaan di sektor pertanian disajikan pada Kotak 4.6.

Dulu tenaga kerja yang cari panen, tetapi sekarang pemilik yang

cari tenaga kerja panen. Dulu perhitungan upah panen adalah sekitar 10

kilogram per kwintal, tetapi sekarang naik menjadi 20 kilogram per

kwintal ditambah biaya angkut.

Rataan produktivitas padi MH adalah sekitar 8 kwintal per 100

tumbak (5,6/hektar), sedangkan padi MK sekitar 6 kwintal per 100

Page 59: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

44

tumbak (4,2 ton/hektar). Secara hitungan kasar, 100 tumbak (0,14

hektar) lahan sawah menghasilkan sekitar 8 kwintal GKP. Dengan harga

Rp 3.750 per kilogram, diperoleh penerimaan sekitar Rp 3 juta. Setelah

dipotong biaya produksi sekitar Rp 2 juta, maka pendapatan hanya Rp 1

juta. Dengan kata lain, petani hanya memperoleh keuntungan sekitar 30

persen dari hasil produksi. Melalui sakap, nilai keuntungan tersebut akan

semakin berkurang lagi (tergantung polanya). Perhitungan tersebut

merupakan fakta umum mengingat rataan luas penguasaan lahan sawah

cukup sempit (bukan dalam skala hektaran).

Kotak 4.6. Representasi Keengganan Generasi Muda Bekerja di Pertanian

Dua kasus generasi muda yang enggan bekerja di sektor pertanian direpresentasikan oleh Asep (usia 30 tahun) dan Agus (usia 25 tahun) yang masing-masing berprofesi sebagai jasa transportasi ojeg dan karyawan

pabrik roti. Pertama, Asep pernah menjadi buruh tani sebelumnya dengan nilai upah Rp 40 ribu per hari. Tetapi dengan mengeluti pekerjaan jasa

transportasi ojeg, Asep memperoleh rataan pendapatan sekitar Rp 80 ribu per hari. Asep menyatakan bahwa kalau upah buruh tani meningkat, maka yang bersangkutan mau kembali menggeluti pekerjaan pertanian. Sesekali

Asep turun membantu usahatani orang tua yang hanya memiliki lahan sawah seluas 50 tumbak (0,07 hektar). Kedua, Agus bekerja di pabrik roti

dengan perolehan gaji Rp 80 ribu per hari ditambah makan dan jaminan kesehatan BPJS. Orang tua Agus memiliki lahan sawah seluas 100 tumbak (0,14 hektar), tetapi Agus boleh dikatakan tidak pernah turun ke sawah

membantu orang tuanya. Menurut Agus pekerjaan di non-pertanian “lebih pasti” dibandingkan di pertanian.

Sebagai catatan, tenaga kerja setempat yang bekarja di Kota Bandung umumnya terkait dengan kegiatan industri dan bangunan. UMR (Upah Minimum Regional) Kota Bandung (Rp 2,7 juta/orang/bulan) lebih tinggi

dibandingkan UMR Kabupaten Bandung (Rp 1,9 juta/orang/bulan).

Selama ini perhatian pemerintah terhadap generasi muda lebih cenderung mengarah pada sektor non-pertanian (industri). Oleh karena itu

perlu diadakan pendidikan dan latihan (diklat) yang lebih intensif dan tepat guna untuk generasi muda pertanian.

Harga jual gabah kering panen (GKP) adalah sekitar Rp 3,700-

3,800 per kilogram pada saat panen. Padahal kalau petani mau

menunggu, harganya bisa mencapai Rp 4,000 per kilogram. Namun

petani keburu harus menjual karena desakan kebutuhan keluarga

Page 60: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

45

disamping adanya kendala ketersediaan fasilitas penyimpanan. Bertitik

tolak dari kendala tersebut sebagian petani menjual hasil panen padinya

secara “tebasan”, terutama pada musim hujan. Nilai tebasan berkisar

antara Rp 5.000 per tumbak hingga Rp 6.000 per tumbak (Rp 3,5-4,2

juta per hektar). Perbandingan proporsi antara tebasan dengan bukan

tebasan antar musim tanam masing-masing pada musim hujan (50% vs.

50%) dan pada musim kemarau (60% vs. 40%). Sebagai catatan,

sebagian besar (90%) hasil panen padi dijual dan sisanya (10%) untuk

pemenuhan konsumsi rumah tangga.

Desa contoh penelitian memiliki keterbatasan fasilitas lantai jemur

karena sempitnya ketersediaan lahan. Kondisi tersebut mendorong petani

untuk segera menjual GKP disamping karena tuntutan kebutuhan uang.

Satu-satunya fasilitas lantai jemur yang cukup memadai hanya tersedia di

kecamatan dengan kapasitas penjemuran sekitar 4,5 juta ton gabah.

Selain permasalahan sempitnya lahan dampak dari alih fungsi dan

fragmentasi lahan, permasalahan krusial lainnya yang dihadapi petani di

lokasi penelitian adalah modal usahatani. Sebagian besar petani

(khususnya penggarap) memperoleh fasilitas modal dari pemilik lahan

dan pedagang (tengkulak). Besarnya modal dari masing-masing sumber

tersebut bervariasi, yaitu tergantung kesepakatan antar penyedia dan

peminjam modal. Dengan kata lain, tidak ada ketentuan formal yang

mengatur kesepakatan tersebut, namun posisi petani berada di pihak

yang lemah.

Alternatif lain, misalnya melalui lembaga keuangan formal,

kurang/tidak terjangkau oleh petani. Pengajuan pinjaman oleh petani

(kelompok tani) boleh dikatakan tidak mendapat respon dari lembaga

perbankan. Penyebabnya karena posisi petani lemah dari sisi agunan

yang menjadi persyaratan mutlak bagi bank. Bukti temuan sederhana

(anecdotal evidence) menujukkan bahwa realisasi kredit sepeda motor

lebih mudah dibandingkan realisasi kredit usahatani. Hal tersebut karena

Page 61: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

46

kredit sepeda motor dapat dicicil bulanan sementara kredit usahatani

tidak dapat dicicil musiman (per musim tanam).

4.3. Keberadaan Organisasi Kelompok Tani

Kelompok tani merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam

Undang Undang Nomor 19 tahun 2013 (pasal 1) tentang Perlindungan

dan Pemberdayaan Petani. Menurut Undang Undang tersebut, kelompok

tani adalah “kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas

dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial,

ekonomi, sumber daya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk

meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota”.

Dari definisi di atas dapat digarisbawahi bahwa kelompok tani

merupakan kumpulan (organisasi) dengan tujuan untuk meningkatkan

serta mengembangkan usaha anggota. Implementasi kegiatan program

dalam rangka peningkatan serta pengembangan petani sejatinya

ditempuh melalui media kelompok tani karena sifatnya kolektif (bukan

individu).

Dalam penelitian ini tiga kelompok tani dijadikan sebagai contoh

representasi tipologi petani. Kelompok tani tersebut terdiri dari: (1)

kelompok tani tipologi subsisten Ranca Kujang; (2) kelompok tani tipologi

komersial); dan (3) kelompok tani tipologi transisi. Masing-masing

kelompok tani tersebut ditelusuri terkait dengan karakteristik

keberadaannya di masing-masing lokasi contoh penelitian.

4.3.1. Kelompok Tani Tipologi Subsisten

Kelompok tani tipologi subsisten diwakili oleh “Ranca Kujang”.

Kelompok tani ini merupakan salah satu dari lima kelompok tani dibawah

gabungan kelompok tani (gapoktan) “Banyu Hurip” di Desa Cipicung,

Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut. Kelompok tani tersebut berdiri

Page 62: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

47

sekitar tahun 1997 dengan jumlah anggota 36 orang petani terdiri dari 25

orang laki-laki dan 9 orang perempuan (Lampiran Tabel 10).

Umur anggota anggota kelompok tani “Ranca Kujang” berkisar

antara 33 tahun hingga 80 tahun (rata-rata 55 tahun). Tingkat

pendidikan anggota kelompok tani masing-masing SD (58,33%), SMP

(22,22%), SMA (16,67%), dan perguruan tinggi (2,78%).

Dari semua anggota kelompok tani “Ranca Kujang”, hanya 20

petani (55,56%) yang memiliki sawah. Dari 20 petani tersebut, 18 petani

(90%) diantaranya memiliki lahan kering/tegalan. Rataan pemilikan

sawah dan lahan kering/tegalan diantara pemilik kedua lahan tersebut

masing-masing 0,42 hektar per petani dan 0,22 hektar per petani. Kedua

rataan tersebut termasuk kategori gurem (<0,5 hektar/petani), sehingga

cenderung diusahakan sendiri oleh pemiliknya. Petani yang tidak memiliki

baik lahan sawah maupun lahan kering/tegalan (tuna lahan) masing-

masing 16 petani (44,44%) dan 18 petani (50%). Sebagian dari petani

tersebut tergolong sebagai buruh tani. Kesempatan untuk menggarap

lahan baik melalui pola bagi hasil atau sewa boleh dikatakan terbatas

karena petani pemilik cenderung mengusahakan sendiri lahannya yang

notabene skala luasnya cukup sempit. Dengan kata lain, proporsi petani

yang bersatus sebagai buruh tani dalam kelompok tani ini cukup tinggi

(hampir 50%).

Dengan status petani seperti di atas, implementasi suatu program

relatif sulit dipastikan jaminan keberlanjutannya. Satu informasi yang

cukup menarik diperoleh terkait dengan program inovasi teknologi

dimana implementasinya tergantung pada pemilik lahan. Dengan kata

lain, penggarap tidak dapat mengimplementasi program jika tidak

mendapat persetujuan dari pemilik. Selama ini implementasi suatu

program ditengarai hanya melihat eksistensi kolektivitas kelompok tani

dan cenderung kurang memperhatikan status anggotanya.

Page 63: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

48

Satu hal menarik lainnya juga ditemukan dalam penelitian ini. Dari

pengecekan terhadap 25 orang petani yang menghadiri sosialisasi

kegiatan “Pestisida Nabati” bersamaan dengan kegiatan penelitian ini,

diperoleh informasi yang cukup mengejutkan. Informasi tersebut

berkaitan dengan identitas jenis pekerjaan yang tercantum dalam KTP

(kartu tanda penduduk), dimana tidak satu orang pun diantara petani

tersebut yang berprofesi sebagai “petani”. Jenis pekerjaan yang

umumnya tercantum dalam KTP petani adalah wiraswasta atau buruh

harian lepas. Fenomena ini cukup mengherankan, namun ketika

dikonfirmasi dengan petani diperoleh beberapa penjelasan seperti: (1)

petani hanya menyerahkan isian KTP kepada petugas setempat; (2)

petani merasa cukup gengsi dengan pekerjaan sebagai petani

dibandingkan wiraswasta yang notabene menurut petani pekerjaan

pertanian sekaligus merupakan bagian dari wiraswasta; dan (3) jenis

pekerjaan yang ada untuk pengisian KTP terbatas pada jenis pekerjaan

tertentu (tidak termasuk petani di dalamnya).

Kendati fenomena di atas relatif sepele, namun hal tersebut dapat

dianggap sebagai kurang tertibnya administrasi. Dampak sampingannya

bisa saja bantuan yang seharusnya diterima petani jatuh ke tangan

bukan petani. Sebagai ilustrasi, salah satu komponen program kebijakan

kredit dan lahan pertanian di Thailand, dimana pemerintah memberikan

kartu kredit diiringi dengan peluncuran “kartu identitas petani” untuk

mempermudah identifikasi dan penyaluran subsidi (Rauf, 2013). Berpijak

dari kasus yang ditemui pada penelitian ini dan pelajaran dari Thailand,

perlu kiranya penelahaan lebih lanjut dengan cakupan yang lebih luas

terkait dengan identitas formal petani di Indonesia guna mendukung

implementasi program pembangunan pertanian yang tepat sasaran.

Beberapa program dan pelatihan telah diimplementasikan di

lokasi penelitian (lingkup Kecamatan Banyuresmi). Program dan pelatihan

tersebut diantaranya: (1) SRI (System of Rice Intensification) di Desa

Page 64: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

49

Sukaratu; (2) SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu)

padi, jagung, dan kedelai di Desa Sukaratu dan Desa Cipicung; (4) SL-

Kontigensi di Desa Sukaratu; (5) UPJA (Usaha Pelayanan Jasa Alsintan)

traktor, pompa air, terpal di Desa Sukaratu; (6) PUAP (Pengembangan

Usaha Agribisnis Pedesaan) di Desa Cipicung dan Desa Sukaratu; (7)

JITUT (Jaringan Irigasi Tingkat Usahatani) di Desa Cipicung; (8) Kirmir

drainase di Desa Sukaratu; (9) pestisida nabati di Desa Cipicung; dan

(10), pelatihan cabai, SRI, agribisnis, LKM Gapoktan (Lembaga Keuangan

Mikro-Gabungan Kelompok Tani), peningkatan mutu SDM (sumber daya

manusia), dan jajar legowo (BPTP/Balai Pengkajian Teknologi Pertanian).

Sebagai catatan, Kecamatan Banyuresmi sering dijadikan lokasi

penerapan program yang acapkali juga dikunjungi oleh petugas instansi

pertanian. Dampak program boleh dikatakan hanya pada tataran

implementasi, sedangkan penyebarannya relatif kurang berlanjut.

4.3.2. Kelompok Tani Tipologi Komersial

Kelompok tani tipologi direpresentasikan oleh “Silih Reksa IV”.

Kelompok tani ini merupakan salah satu diantara lima kelompok tani

lainnya (Silih Reksa I sampai V). Keenam kelompok tani Silih Reksa

tersebut menyebar di beberapa lokasi sentra hortikultura seperti Cibahu,

Wanaraja, Sucinaraya, Sukaresmi, Pasirwangi, Cisurupan, Cikajang,

Cigedug, dan Wanaraja. Diantara lokasi-lokasi tersebut, kelompok tani

yang paling banyak anggotanya adalah di Cigedug.

Kelompok tani “Silih Reksa” dibentuk sekitar tahun 1993 dengan

tujuan untuk wadah kerjasama kemitraan dengan PT Indofood Fritolay

Mandiri (IFM) berlandaskan saling membutuhkan (mitra) dalam hal

budidaya usahatani tanaman kentang. Usahatani tersebut berlanjut

(sustainable) karena ada kemitraan yang salah satu kunci dasarnya

terletak pada penyediaan bibit yang difasilitasi oleh perusahaan mitra.

Page 65: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

50

Pembentukan kelompok tani Silih Reksa IV adalah berdasarkan

domisili karena lahan usahataninya berpencar-pencar. Jumlah anggota

kelompok tani ini tercatat 25 orang petani (Lampiran Tabel 11). Usia

anggota kelompok berkisar antara 25 tahun hingga 60 tahun (rataan 43

tahun). Sebaran tingkat pendidikan yaitu SD (60%), SMP (28%), dan

SMA (12%).

Rataan penguasaan lahan adalah 2,75 hektar per petani, terdiri

dari lahan garapan milik (1,65 hektar/petani) dan garapan sewa (1,10

hektar/petani). Sebagai catatan, dari 25 orang petani anggota kelompok

tani “Silih Reksa IV”, semuanya menggarap lahan milik sendiri dan sewa.

Dari temuan ini dapat dikatakan bahwa status anggota kelompok tani ini

jauh berada di atas kategori gurem.

Tingginya rataan penguasaan lahan mengindikasikan bahwa

petaninya termasuk golongan berada. Oleh karena itu tidak heran jika

kerjasama kemitraan antara PT IFM dengan petani setempat bertahan

kelangsungannya sejak tahun 1993 yang lalu. Selama kurun waktu 21

tahun hingga saat sekarang, keikutsertaan petani dalam kerjasama

kemitraan tersebut telah berjalan secara turun temurun. Akan tetapi,

keikutsertaan petani dalam kerjasama kemitraan yang dimaksud adalah

bersifat non-reguler (on and off), tergantung musim dan curah hujan.

Sebagian petani ada yang ikut kemitraan pada musim hujan sedangkan

pada musim kemarau tidak ikut kemitraan (menanam jagung).

Kerjasama kemitraan budidaya tanaman kentang antara PT IFM

dengan petani setempat relatif berjalan rapi dimana selain menyediakan

bibit kentang (varietas Atlantis) kepada petani, perusahaan yang

bersangkutan juga menyiapkan rencana kerja (work plan) kegiatan. Di

tingkat lapangan, PT IFM menugaskan 9 orang teknisi.

Bimbingan lapangan dari perusahaan relatif berlangsung secara

teratur dan kondusif dalam mendukung kapasitas petani mengusahakan

tanaman kentang. Berbekal dari kapasitas tersebut, petani cukup selektif

Page 66: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

51

dalam memanfaatkan sarana produksi seperti pestisida yang cukup

gencar dipromosikan oleh formulator seperti Bioworld (perusahaan

Malaysia dan Singapura) dan Royal Agro (perusahaan domestik).

Disamping sebetulnya hal tersebut diawasi oleh petugas lapang PT IFM.

Selain fasilitasi dukungan bimbingan teknis, kelompok tani “Silih

Reksa IV” diwacanakan akan menerima fasilitas bantuan penyediaan

gudang penyimpanan hasil panen (kerjasama dengan petani). Mengingat

kelompok tani belum memiliki gudang penyimpanan, maka wacana

tersebut disambut baik melalui partisipasi petani secara cicilan dan pada

gilirannya akan dimiliki oleh kelompok tani.

Sebelumnya, kelompk tani “Silih Reksa IV” telah memperoleh

bantuan bantuan fasilitas “cool room” dari Direktorat Jenderal

Hortikultura pada tahun 2011. Cool room tersebut dioperasikan dengan

menggunakan blower (kipas angin), bukan “cold storage” yang harus

dilengkapi dengan pendingin. Cool room difungsikan sebagai tempat

untuk kegiatan sortiran dan pengemasan sayuran. Tahun lalu (2012),

kelompok tani ini juga mendapatkan bantuan satu unit kendaraan mobil

pick up dari Kementerian Pertanian.

Belakangan ini kelompok tani “Silih Reksa IV” melaksanakan

kegiatan penelitian “uji residu pestisida kentang” dengan Balitsa (Balai

Penelitian Sayuran) Lembang melalui dana bantuan Negeri Belanda.

Kegiatan tersebut sudah berlangsung selama tiga musim tanam, dimana

hasilnya menunjukkan bahwa residu pestisida pada kentang masih

rendah dibandingkan residu pestisida pada cabai, kol, dan sebagainya.

Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa implementasi

kerjasama kemitraan kesannya seolah-olah “eksklusif”. Hal tersebut

cukup kontradiktif dengan kenyataan bahwa dari hasil ST 2003 dan ST

2013 terdata proporsi RTP gurem di lokasi setempat (Kecamatan

Cigedug) masing-masing sekitar 89,55 persen dan 85,61 persen.

Agregasi proporsi RTP gurem tersebut tentunya menyebar pada

Page 67: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

52

beberapa sub-sektor pertanian. Terlepas dari semua itu, kelompok tani

“Silih Reksa IV” dapat dianggap sebagai representasi tipologi petani

komersial yang cukup berhasil dalam menjalankan usahataninya. Secara

implisit keberhasilan tersebut juga dinikmati RTP gurem yang sebagian

menjadi buruh tani pada usahatani kentang yang notabene kegiatannya

memerlukan tenaga kerja intensif. Perlu dicatat bahwa semua anggota

kelompok tani “Silih Reksan IV” (menurut pengakuan pengurusnya)

berprofesi sebagai petani sebagaimana tercantum dalam kolom

pekerjaan KTP (Kartu Tanda Penduduk) masing-masing.

4.3.3. Kelompok Tani Tipologi Transisi

Representasi kelompok tani tipologi komersial adalah “Sugih

Mukti” Kelompok tani ini terdapat di Desa Tegalluar, Kecamatan

Bojongsoang, Kabupaten Jawa Barat. Kelompok tani ini dibentuk sekitar

tahun 2000 dengan jumlah anggota 23 orang (Lampiran Tabel 12).

Kelompok tani “Sugih Mukti” dibentuk berbasiskan domisili. Basis

pembentukan seperti ini lazim diterapkan di wilayah administratif

kabupaten, sedangkan di wilayah administratif kota basis

pembentukannya adalah berdasarkan hamparan. Hal demikian karena

lokasi pemukiman warga kabupaten cenderung menyatu sedangkan

tempat tinggal warga perkotaan cenderung terpencar.

Usia anggota kelompok tani “Sugih Mukti” berkisar antara 38

tahun hingga 75 tahun (rataan 56 tahun). Dengan kata lain, rataan usia

anggota kelompok tani ini relatif sudah cukup tua. Sementara itu,

sebaran tingkat pendidikan anggotanya masing-masing SD (60,87%),

SMP (21,74%), SMA (13,04%), dan perguruan tinggi (4,35%).

Ditinjau dari sisi penguasaan lahan pertanian, hanya tiga petani

(13,04%) yang berstatus sebagai pemilik penggarap dan sisanya yaitu 20

petani (86,96%) berstatus penggarap (bukan pemilik). Dari 20 orang

petani petani penggarap bukan pemilik tersebut rinciannya adalah

Page 68: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

53

penyewa (40%), penyakap (25%), dan bayar PBB (35%). Status yang

terakhir adalah petani penggarap membayarkan PBB (Pajak Bumi dan

Bangunan) lahan yang digarap dan kemudian semua hasil garapannya

menjadi hak petani penggarap yang bersangkutan. Besar nilai PBB

tergantung lokasi lahan, namun kisarannya adalah antara Rp 1,5 juta per

hektar per tahun hingga Rp 1,6 juta per hektar per tahun.

Terdapat beberapa fenomena terkait dengan penguasaan lahan

pertanian di lokasi penelitian. Pertama, penentuan pola penguasaan

lahan tergantung pada kesepakatan awal antara pemilik baru dengan

penggarapnya. Biasanya penerapan pola penguasaan lahan tersebut

dilakukan oleh pemilik baru (dari proses jual beli). Sementara itu, pemilik

lahan yang tidak menjual lahannya umumnya sebagai petani penggarap

di lahan sendiri.

Kedua, tidak semua pemilik lahan menguasakan lahan kepada

penggarap dengan pola yang sama. Mereka umumnya menguasakan

lahannya untuk digarap sementara oleh petani pemilik lahan pertama,

namun dalam batas waktu yang tidak ditentukan, kapanpun lahan

tersebut akan digunakan oleh pemilik. Konsekuensinya, petani yang

menggarap lahan tersebut harus menyerahkan sepenuhnya kepada

pemilik (tanpa syarat). Biasanya setelah tidak digarap, lahan pertanian

tersebut dialihfungsikan ke lahan non-pertanian (pabrik atau gudang).

Ketiga, penyerahan penguasaan lahan dari pemilik kepada petani

penggarap dapat menyebabkan pengelolaannya menjadi tidak optimal.

Bahkan pada beberapa kasus terjadi hak wewenang pengelolaan lahan

dialihkan ke petani penggarap berikutnya. Dalam hal ini petani

penggarap pertama berperan jadi manajer atau hanya sebagai perantara

saja. Keberadaan petani penggarap sifatnya musiman (ganti-ganti)

sehingga relatif sulit diarahkan untuk kegiatan suatu program.

Keempat, pengaruh pemilik cukup tinggi dalam pengelolaan

lahan, bahkan lebih menentukan dibandingkan peran penggarap lahan.

Page 69: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

54

Misalnya, apabila penggarap lahan mau menerapkan anjuran teknologi

baru, pemilik lahan memiliki kekhawatiran terhadap kegagalan

(penurunan produksi) yang berimplikasi pada berkurangnya bagi hasil

atau pendapatan yang diperoleh. Jika tidak mengikuti kehendak pemilik

lahan, dampaknya dapat berupa pemutusan hubungan kerjasama. Oleh

karena itu, peran pemilik lahan cukup menentukan dalam penerapan

teknologi dan peningkatan produktivitas lahan.

Satu fenomena yang cukup menggelitik (surprise) ditemukan yaitu

terkait dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Banyak KTP petani yang

identitas pekerjaannya bukan sebagai petani, tetapi malahan sebagai

wiraswasta atau buruh harian lepas. Fenomena tersebut juga ditemui

pada anggota kelompok tani yang telah dibahas sebelumnya, kecuali

kelompok tani “Silih Reksa IV”.

Menurut informasi yang diperoleh, pilihan pekerjaan yang ada

dalam KTP setempat hanya ada enam, yaitu PNS, TNI/Polri,

wiraswasta,swasta, guru/dosen, dan buruh harian lepas. Konfirmasi

kebenarannya perlu dilacak lebih lanjut. Sebetulnya ada 88 pilihan jenis

pekerjaan dalam kolom pekerjaan pada KTP (Lampiran Tabel 13).

Kelompok tani “Sugih Mukti” sudah memperoleh beberapa fasilitas

dari pemerintah seperti bantuan pompa air irigasi, pelatihan SRI (System

of Rice Intensification), SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman

Terpadu), dan SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu),

serta studi banding. Terkait dengan pelatihan, petani menginginkan

pelatihan yang betul-betul cocok dengan usahatani setempat. Sementara

itu, satu hal yang menjadi catatan dalam studi banding adalah kurang

tepatnya lokasi sasaran kunjungan. Adakalanya petani dibawa ke lokasi

yang sebetulnya kalah maju dibandingkan lokasi petani sendiri. Harapan

petani yaitu agar pemerintah lebih mementingkan subsidi harga yang

dirasa lebih efektif dari pada subsidi sarana produksi seperti pupuk.

Selain itu, diharapkan juga agar ada alternatif terobosan mengingat

Page 70: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

55

petani rentan terhadap rayuan investor terkait dengan penjualan lahan

yang berujung pada alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-

pertanian.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Kesimpulan

Dari deskripsi eksistensi dan dinamika transformasi berikut

identifikasi tipologi petani skala kecil (rumah tangga petani gurem) di

atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Eksistensi rumah tangga petani (RTP) skala kecil (gurem) cukup

menonjol di Indonesia. Jumlah RTP gurem tercatat 14,25 juta rumah

tangga atau sekitar 55,33 persen dari jumlah RTP pengguna lahan

pertanian nasional. Dinamika selama satu dasawarsa terakhir (2003-

2013) menunjukkan bahwa jumlah RTP gurem mengalami

transformasi pengurangan absolut sebanyak 4,77 juta rumah tangga,

atau rata-rata menurun sekitar 2,51 persen per tahun.

2. Eksistensi dan transformasi RTP gurem bervariasi menurut tingkat

wilayah baik regional, provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan

(termasuk desa). Akan tetapi, terdapat ketimpangan yang cukup

signifikan dimana eksistensi jumlah RTP gurem di Jawa hampir tiga

kali lipat dibandingkan di luar Jawa. Sementara itu transformasi

penurunan jumlah RTP gurem di Jawa juga lebih besar dari pada

3. Secara tipologi, eksistensi jumlah RTP gurem dan proporsinya

terhadap RTP pengguna lahan pertanian berbanding terbalik dengan

dinamika transformasinya. Eksistensi jumlah RTP gurem dan

proporsinya terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian yang

paling tinggi terdapat pada tipologi subsisten, kemudian diikuti oleh

tipologi komersial dan tipologi transisi. Sementara itu dinamika

Page 71: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

56

transformasi RTP gurem yang ditunjukkan oleh fenomena penurunan

yang paling besar adalah pada tipologi transisi tertinggi, berikutnya

pada tipologi komersial dan tipologi subsisten. Kondisi tersebut

antara lain berhubungan dengan ketersediaan dan penguasaan lahan

pertanian pada masing-masing tipologi.

4. Karakteristik petani di lokasi penelitian memiliki beberapa perbedaan

substantif menurut tipologinya. Pertama, rataan luas penguasaan

lahan pertanian (sawah) pada tipologi subsisten adalah di bawah 0,5

hektar dengan proporsi buruh tanggi yang cukup tinggi. Sementara

itu panen padi cenderung dilakukan secara “tebasan” karena desakan

kebutuhan ekonomi rumah tangga. Kedua, karakteristik tipologi

dicirikan oleh kegiatan usahatani yang beorientasi pasar melalui

dukungan kerjasama kemitraan yang cukup berhasil sehingga secara

implisit juga dinikmati oleh RTP gurem yang bekerja sebagai buruh

dalam kegiatan usahatani yang bersangkutan. Ketiga, secara

spesifik tipologi transisi ditandai oleh rendahnya proporsi antara

petani pemilik penggarap dibandingkan dengan petani penggarap

(13,04% vs. 86,96%). Selain itu alih fungsi lahan pertanian ke

penggunaan non-pertanian cukup gencar pada tipologi ini karena

lokasinya berada dekat pertumbuhan ekonomi (peri urban).

5. Peran petani pemilik di tipologi transisi cukup menentukan dalam

adopsi teknologi pertanian, khususnya di tipologi transisi.

Konsekuensinya, petani penggarap mengikuti persepsi tersebut

karena khawatir terhadap pemutusan hubungan kerja.

6. Rataan usia anggota kelompok tani relatif sudah tergolong kategori

tua, terutama di tipologi subsisten dan transisi (>55 tahun). Sejalan

dengan itu, ketertarikan generasi muda untuk terjun di bidang

pertanian semakin menurun, terutama di tipologi transisi dan

sebagian di tipologi subsisten.

Page 72: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

57

7. Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang

tercantum pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) dominan bukan

sebagai petani. Kondisi tersebut mengindikasikan kurang tertibnya

administrasi kependudukan yang sekaligus dapat berdampak pada

distorsi sasaran program yang seharusnya untuk petani tetapi jatuh

kepada pihak lain.

5.2. Implikasi Kebijakan

Dari kesimpulan di atas, implikasi kebijakan dari penelitian ini

meliputi beberapa aspek. Aspek-aspek implikasi kebijakan tersebut

meliputi:

1. Pengembangan rumah tangga petani (RTP) skala kecil (gurem)

seyogianya diimplementasikan berdasarkan tipologinya. Hal tersebut

mengingat masing-masing tipologi memiliki perbedaan spesifikasi

karakteristik eksistensi dan kebutuhan serta orientasi kegiatannya.

Pengembangan tersebut harus dimulai dari pengembangan kapasitas

petani termasuk RTP gurem melalui pendidikan dan latihan (diklat),

baik teknis (pengelolaan usahatani) maupun non-teknis (manajerial)

berlandaskan konsep agribisnis. Bantuan fisik untuk pembangunan

komoditas dilaksanakan secara selektif. Hal tersebut mengingat

akselerasi pembangunan komoditas tergantung pada pengembangan

komunitas.

2. Fokus pengembangan petani tipologi subsisten adalah melalui

optimalisasi pemanfaatan lahan yang cenderung sempit. Tumpuan

pengembangan petani tipologi komersial yaitu dengan cara

meningkatkan kerjasama kemitraan yang menguntungkan kedua

belah pihak (terutama petani skala kecil). Sementara itu, inti

pengembangan petani tipologi transisi yakni dalam bentuk

peningkatan kapasitas keterampilan dalam bidang yang menunjang

usahatani (off-farm) seperti alsintan (alat dan mesin pertanian).

Page 73: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

58

3. Implementasi pengembangan petani adalah secara kolektif melalui

oganisasi kelompok tani. Perlu dicatat bahwa kegiatan

pengembangan petani harus memperhatikan substansi statusnya

(pemilik dan penggarap). Disamping itu pengecekan KTP petani

seyogianya dilakukan dan bila perlu diiringi dengan pemberian kartu

identitas petani guna mempermudah identifikasi dan ketepatan

implementasi kegiatan pengembangan komunitas petani dan

komoditas pertaniannya.

Page 74: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

59

DAFTAR PUSTAKA

Anantanyu. S. 2008. Tipe Petani dan Strategi Pengembangan Kelembagaan Kelompok Tani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah). Jurnal M’Power, Vol. 8, No. 8: 35-48, Oktober 2008. Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta.

Anonim. 88 Jenis Pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).

https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=pekerjaan+di+kolom+KTP (Januari 2015)

Arifin, B. 2013. Tenaga Kerja Sektor Pertanian: Hasil dari Transformasi Struktural. Makalah pada Seminar “Ekonomi Ketenagakerjaan”. Kamar Dagang Indonesia. Jakarta.

BPP Banyuresmi, 2014. Programa Penyuluhan Kecamatan Banyuresmi. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Banyuresmi. Banyuresmi.

BPPSDMP. 2011. Rencana Strategis Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.

BPS Kabupaten Bandung. 2014a. Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Bandung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. Soreang.

BPS Kabupaten Bandung. 2014b. Kecamatan Bojongsoang Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. Soreang.

BPS Kabupaten Bandung. Survei Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) tahun 2009. Soreang.

BPS Kabupaten Garut. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten

Garut. Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut. Garut.

BPS Provinsi Jawa Barat. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 Provinsi

Jawa Barat. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Bandung.

BPS. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 (Angka Tetap). Berita Resmi

Statistik Nomor 90/12/Th. XVI, 2 Desember 2013. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

DPTPH Garut. 2014. Laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Hortikultura Kabupaten Garut. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut. Garut.

FAO. 2012. Small-Scale Farmers as A Key to Feeding the World. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.

<permaculturenews.org/.../un-small-farmer> (Desember 2014).

Hazell, P., J. Anderson, N. Balzer, A. H. Clemmensen, U. Hess, and F. Rispoli. 2010. Potential for Scale and Sustainability in Weather

Index for Agricultre and Rural Livelihoods. International Fund for Agricultural Development and World Food Program (IFAD-WFP).

Page 75: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

60

<http://www.ifad.org/rural finance/pub/weather.pdf> (Desember 2014).

IFAD. 2013. New Directions for Smallholder Agriculture (edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom.

IFPRI. 2007. The Future of Small Farms. Proceeding of Research Workshop. International Food Policy Research Institute.

Washington D.C.

Iqbal, M. 2008. Perspektif Sistem Kemitraan Agribisnis Kentang di

Kabupaten Garut, Jawa Barat. Artikel dalam Buletin Ristek Volume. 7, Nomor 2, Desember 2008. Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Jawa Barat. Bandung.

Kecamatan Bojongsoang. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah akecamatan Bojongsoang. Bojongsoang.

Narayanan, S. and A. Gulati. 2002. Globalization and the Smallholders: A Review of Issue, Approaches, and Implications. Market and Structural Studies Division. International Food Policy Researc

Institute. Washington D. C.

Pemerintah RI. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta.

Pemerintah RI. 2013. Undang Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta.

Pemerintah RI. 2013. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta.

Rahman, A. dan J. Smolak. 2013. Financing Smallholder Farmers in

Developing Countries in New Directions for Smallholder Agriculture (edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom.

Rauf, L. 2013. Menuju Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) 2015: Tantangan dan Peluang. Studi Kasus Thailand. Makalah

disampaikan pada Workshop Nasional Kesiapan Sektor Pertanian menghadapi ASEAN Economic Community (AEC). Kedutaan

Republik Indonesia untuk Kerajaan Thailand. Bangkok.

Sumaryanto. 2009. Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global. Makalah pada Seminar Nasional “Peningkatan Daya

Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani”. Bogor, 14 Oktober 2009.

Page 76: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

61

Thapa, G. and R. Gaiha. 2013. Smaalholder farming in Asia and the Pacific: Challenges and Opportnities in New Directions for

Smallholder Agriculture (edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom.

Toulmin, C. 2013. Securing a Future for Smallholder Farmers in an Era of Climate Change in New Directions for Smallholder Agriculture

(edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom.

Page 77: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

62

LAMPIRAN

Lampiran Tabel 1. Keragaan Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Indonesia, 2003 dan 2013

No. Provinsi 2003 2013 Perubahan

Absolut %

1. Aceh 699.370 644.851 -54.519 -7,80

2. Sumatera Utara 1.492.104 1.327.759 -164.345 -11,01

3. Sumatera Barat 709.351 644.610 -64.741 -9,13

4. Riau 541.050 581.517 40.467 7,48

5. Jambi 414.986 431.589 16.603 4,00

6. Sumatera Selatan 971.458 958.724 -12.734 -1,31

7. Bengkulu 280.964 277.136 -3.828 -1,36

8. Lampung 1.293.192 1.226.455 -66.737 -5,16

9. Kepulauan Bangka Belitung 139.315 124.970 -14.345 -10,30

10. Kepulauan Riau 74.195 69.991 -4.204 -5,67

11. DKI Jakarta 52.583 12.287 -40.296 -76,63

12. Jawa Barat 4.345.148 3.058.612 -1,286.536 -29,61

13. Jawa Tengah 5.770.801 4.290.619 -1,480.182 -25,65

14. DI Yogyakarta 574.920 495.781 -79.139 -13,77

15. Jawa Timur 6.314.370 4.978.358 -1,336.012 -21,16

16. Banten 898.021 592.841 -305.180 -33,98

17. Bali 492.394 408.233 -84.161 -17,09

18. Nusa Tenggara Barat 719.875 600.613 -119.262 -16,57

19. Nusa Tenggara Timur 729.483 778.854 49.371 6,77

20. Kalimantan Barat 614.738 627.638 12.900 2,10

21. Kalimantan Tengah 302.414 270.914 -31.500 -10,42

22. Kalimantan Selatan 471.972 432.328 -39.644 -8,40

23. Kalimantan Timur 203.179 180.614 -22.565 -11,11

24. Kalimantan Utara 38.948 44.735 5.787 14,86

25. Sulawesi Utara 324.374 253.503 -70.871 -21,85

26. Sulawesi Tengah 396.622 401.891 5.269 1,33

27. Sulawesi Selatan 1.082.251 980.946 -101.305 -9,36

28. Sulawesi Tenggara 314.011 316.262 2.251 0,72

29. Gorontalo 133.083 122.515 -10.568 -7,94

30. Sulawesi barat 167.098 185.847 18.749 11,22

31. Maluku 184.376 175.362 -9.014 -4,89

32. Maluku Utara 129.246 130.233 987 0,76

33. Papua Barat 75.790 70.223 -5.567 -7,35

34. Papua Barat 280.502 438.658 158.156 56,38

Indonesia 31.232.184 26.135.469 5.096.715 -16,32

Sumber: BPS (2014)

Page 78: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

63

Lampiran Tabel 2. Keragaan RTUP di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013

No. Kabupaten/Kota 2003 2013 Perubahan

Absolut %

1. Bogor 255.744 204.437 -51.307 -20,06

2. Sukabumi 354.800 291.754 -63.046 -17,77

3. Cianjur 327.903 283.033 -44.870 -13,68

4. Bandung 187.728 141.833 -45.895 -24,45

5. Garut 320.852 268.601 -52.251 -16,29

6. Tasikmalaya 321.367 282.639 -38.728 -12,05

7. Ciamis 349.461 275.431 -74.030 -21,18

8. Kuningan 165.327 113.287 -52.040 -31,48

9. Cirebon 192.755 89.002 -103.753 -53,83

10. Majalengka 204.867 156.640 -48.227 -23,54

11. Sumedang 174.068 134.446 -39.622 -22,76

12. Indramayu 270.749 166.292 -104.457 -38,58

13. Subang 240.628 158.135 -82.493 -34,28

14. Purwakarta 103.730 73.115 -30.615 -29,51

15. Karawang 261.133 123.143 -137.990 -52,84

16. Bekasi 204.883 85.598 -119.285 -58,22

17. Bandung Barat 181.795 137.581 -44.214 -24,32

18. Kota Bogor 22.114 4.591 -17.523 -79,24

19. Kota Sukabumi 10.901 5.601 -5.300 -48,62

20. Kota Bandung 11.370 4.526 -6.844 -60,19

21. Kota Cirebon 7.475 2.384 -5.091 -68,11

22. Kota Bekasi 59.512 6.424 -53.088 -89,21

23. Kota Depok 46.028 9.918 -36.110 -78,45

24. Kota Cimahi 5.387 2.800 -2.587 -48,02

25. Kota Tasikmalaya 38.987 21.268 -17.719 -45,45

26. Kota Banjar 25.584 16.133 -9.451 -36,94

Provinsi Jawa Barat 4.345.148 3.058.612 -1.286.536 -29,61

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (2014)

Page 79: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

64

Lampiran Tabel 3. Keragaan RTUP di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013

No. Kecamatan 2003 2013 Perubahan

Absolut %

1. Cisewu 8.507 8.611 104 1,22

2. Caringin 7.154 7.080 -74 -1,03

3. Talegong 8.071 7.615 -456 -5,65

4. Bungbulang 11.975 11.911 -64 -0,53

5. Mekarmukti 3.613 4.031 418 11,57

6. Pamulihan 3.201 3.219 18 0,56

7. Pakenjeng 13.448 12.180 -1.268 -9,43

8. Cikelet 8.147 7.867 -280 -3,44

9. Pameungpeuk 6.097 4.622 -1.475 -24,19

10. Cibalong 8.028 7.387 -641 -7,98

11. Cisompet 10.620 9.670 -950 -8,95

12. Peundeuy 4.217 4.716 499 11,83

13. Singajaya 9.134 9.180 46 0,50

14. Cihurip 3.900 3.625 -275 -7,05

15. Cikajang 9.339 9.500 161 1,72

16. Banjarwangi 10.192 7.595 -2.597 -25,48

17. Cilawu 12.589 9.952 -2.637 -20,95

18. Bayongbong 10.334 7.794 -2.540 -24,58)

19. Cigedug 5.178 4.358 -820 -15,84

20. Cisurupan 15.637 11.442 -4.195 -26,83

21. Sukaresmi 4.483 4.051 -432 -9,64

22. Samarang 7.958 4.829 -3.129 -39,32

23. Pasirwangi 7.859 6.499 -1.360 -17,31

24. Tarogong Kidul 5.161 2.613 -2.548 -49,37

25. Tarogong Kaler 6.825 5.448 -1.377 -20,18

26. Garut Kota 5.118 4.088 -1.030 -20,13

27. Karangpawitan 9.009 4.952 -4.057 -45,03

28. Wanaraja 5.396 3.977 -1.419 -26,30

29. Sucinaraja 4.622 3.759 -863 -18,67

30. Pangatikan 3.857 2.930 -927 -24,03

31. Sukawening 5.750 5.172 -578 -10,05

32. Karangtengah 2.772 2.786 14 0,51

33. Banyuresmi 8.638 8.022 -616 -7,13

34. Leles 8.214 7.798 -416 -5,06

35. Leuwigoong 5.633 4.249 -1.384 -24,57

36. Cibatu 8.043 5.871 -2.172 -27,00

37. Kersamanah 4.820 3.396 -1.424 -29,54

38. Cibiuk 3.774 3.477 -297 -7,87

39. Kadungora 7.406 6.108 -1.298 -17,53

40. Blubur Limbangan 11.715 8.106 -3.609 -30,81

41. Selaawi 6.906 5.652 -1.254 -18,16

42. Malangbong 17.512 12.463 -5.049 -28,83

Kabupaten Garut 320.852 268.601 -52.251 -16,29

Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)

Page 80: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

65

Lampiran Tabel 4. Keragaan RTUP di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013

No.

Kecamatan 2003 2013 Perubahan

Absolut %

1. Ciwidey 8.239 7.157 -1.082 -13,13

2. Rancabali 7.138 6.122 -1.016 -14,23

3. Pasir Jambu 8.809 6.521 -2.288 -25,97

4. Cimaung 7.701 5.819 -1.882 -24,44

5. Pangalengan 12.305 12.731 426 3,46

6. Kertasari 6.800 8.811 2.011 29,57

7. Pacet 12.984 10.686 -2.298 -17,70

8. Ibun 8.173 6.287 -1.886 -23,08

9. Paseh 7.344 6.810 -534 -7,27

10. Cikancung 8.214 5.192 -3.022 -36,79

11. Cicalengka 6.490 3.490 -3.000 -46,22

12. Nagreg 3.889 3.610 -279 -7,17

13. Rancaekek 8.435 4.303 -4.132 -48,99

14. Majalaya 4.932 3.760 -1.172 -23,76

15. Solakanjeruk 3.589 3.084 505 -14,07

16. Ciparay 9.269 5.778 -3.491 -37,66

17. Baleendah 5.133 3.593 -1.540 -30,00

18. Arjasari 10.727 7.686 -3.041 -28,35

19. Banjaran 6.054 4.240 -1.814 -29,96

20. Cangkuan 4.363 2.504 -1.859 -42,61

21. Pameungpeuk 2.440 1.709 -731 -29,96

22. Katapang 2.444 1.852 -592 -24,22

23. Soreang 4.871 2.423 -2.448 -50,26

24. Kutawaringin 8.368 4.694 -3.674 -43,91

25. Margaasih 1.904 1.708 -196 -10,29

26. Margahayu 459 286 -173 -37,69

27. Dayeuhkolot 574 397 -177 -30,84

28. Bojongsoang 3.790 1.308 -2.482 -65,49

29. Cileunyi 1.677 2.898 1.221 72,81

30. Cilengkrang 4.565 2.806 -1.759 -38,53

31. Cimenyan 6.048 3.568 -2.480 -41,01

Kabupaten Bandung 187.728 141.833 -45.895 -24.45

Sumber: BPS Kabupaten Bandung (2014)

Page 81: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

66

Lampiran Tabel 5. Rataan Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia menurut Provinsi, 2003 dan 2013

No. Provinsi 2003 2013 Perubahan

Absolut %

1. Aceh 1,33 1,03 -0,30 -22,56

2. Sumatera Utara 0,46 1,08 0,62 134,78

3. Sumatera Barat 0,50 0,96 0,46 92,00

4. Riau 1,15 2,64 1,49 129,57

5. Kepulauan Riau 0,25 0,93 0,68 272,00

6. Jambi 1,29 2,47 1,18 91,47

7. Sumatera Selatan 1,03 1,95 0,92 89,32

8. Kepulauan Bangka Belitung 0,57 1,80 1,23 215,79

9. Bengkulu 1,16 1,76 0,60 51,72

10. Lampung 0,75 1,10 0,35 46,67

11. DKI Jakarta 0,01 0,17 0,16 1.600,00

12. Jawa Barat 0,15 0,44 0,29 193,33

13. Banten 0,20 0,54 0,34 170,00

14. Jawa Tengah 0,22 0,37 0,15 68,18

15. DI Yogyakarta 0,17 0,27 0,10 58,82

16. Jawa Timur 0,22 0,39 0,17 77,27

17. Bali 0,28 0,50 0,22 78,57

18. Nusa Tenggara Barat 0,37 0,66 0,29 78,38

19. Nusa Tenggara Timur 0,90 0,92 0,02 2,22

20. Kalimantan Barat 1,54 2,65 1,11 72,08

21. Kalimantan Tengah 1,31 3,10 1,79 136,64

22. Kalimantan Selatan 0,55 1,28 0,73 132,73

23. Kalimantan Timur 0,64 2,52 1,88 293,75

24. Kalimantan Utara 1,13 2,85 1,72 152,21

25. Sulawesi Utara 0,56 1,34 0,78 139,29

26. Gorontalo 0,54 1,10 0,56 103,70

27. Sulawesi Tengah 1,12 1,72 0,60 53,57

28. Sulawesi Selatan 0,68 1,12 0,44 64,71

29. Sulawesi Barat 1,05 1,43 0,38 36,19

30. Sulawesi Tenggara 1,00 1,63 0,63 63,00

31. Maluku 0,79 0,89 0,10 12,66

32. Maluku Utara 1,24 1,75 0,51 41,13

33. Papua 0,43 0,49 0,06 13,95

34. Papua Barat 0,48 0,73 0,25 52,08

Indonesia 0,41 0,89 0,48 117,07

Sumber: BPS (2014)

Page 82: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

67

Lampiran Tabel 6. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan di Gurem di Indonesia, 2003 dan 2013

No. Provinsi Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Proporsi RTP Gurem (%)

2003 2013 Perubahan

2003 2013 Perubahan

2003 Perubahan

Absolut % Absolut % Absolut %

1. Aceh 691.454 637.778 -53.676 -7,76 248.823 276.729 27.906 11,22 35,99 43,39 7,40

2. Sumatera Utara 1.451.813 1.308.393 -143.420 -9,88 751.330 570.185 -181.145 -24,11 51,75 43,58 -8,17

3. Sumatera Barat 695.739 640.695 -55.044 -7,91 357.797 275.135 -82.662 -23,10 51,43 42,94 -8,48

4. Riau 511.395 568.070 56.675 11,08 125.418 68.560 -56.858 -45,33 24,52 12,07 -12,46

5. Kepulauan Riau 401.052 426.647 25.595 6,38 101.836 65.499 -36.337 -35,68 25,39 15,35 -10,04

6. Jambi 946.858 949.801 2.943 0,31 218.091 110.932 -107.159 -49,13 23,03 11,68 -11,35

7. Sumatera Selatan 275.769 275.559 -210 -0,08 49.147 35.974 -13.173 -26,80 17,82 13,05 -4,77

8. Kepulauan Bangka Belitung 1.272.932 1.218.927 -54.005 -4,24 447.126 362.148 -84.978 -19,01 35,13 29,71 -5,42

9. Bengkulu 127.412 117.488 -9.924 -7,79 52.891 26.069 -26.822 -50,71 41,51 22,19 -19,32

10. Lampung 56.086 50.230 -5.856 -10,44 28.379 20.545 -7.834 -27,60 50,60 40,90 -9,70

11. Banten 875.287 584.259 -291.028 -33,25 634.415 379.888 -254.527 -40,12 72,48 65,02 -7,46

12. DKI Jakarta 47.262 9.515 -37.747 -79,87 45.428 8.611 -36.817 -81,04 96,12 90,50 -5,62

13. Jawa Barat 4.242.003 3.039.716 -1.202.287 -28,34 3.501.867 2.298.193 -1.203.674 -34,37 82,55 75,61 -6,95

14. Jawa Tengah 5.697.473 4.262.608 -1.434.865 -25,18 4.629.877 3.312.235 -1.317.642 -28,46 81,26 77,70 -3,56

15. DI Yogyakarta 573.092 495.401 -77.691 -13,56 479.780 424.557 -55.223 -11,51 83,72 85,70 1,98

16. Jawa Timur 6.189.481 4.931.506 -1.257.975 -20,32 4.893.626 3.755.837 -1.137.789 -23,25 79,06 76,16 -2,90

17. Bali 485.531 404.507 -81.024 -16,69 313.111 257.181 -55.930 -17,86 64,49 63,58 -0,91

18. Nusa Tenggara Barat 686.172 587.617 -98.555 -14,36 446.040 350.131 -95.909 -21,50 65,00 59,58 -5,42

19. Nusa Tenggara Timur 722.039 770.864 48.825 6,76 224.987 289.917 64.930 28,86 31,16 37,61 6,45

20. Kalimantan Barat 594.483 616.894 22.411 3,77 120.575 81.286 -39.289 -32,58 20,28 13,18 -7,11

21. Kalimantan Tengah 273.806 261.227 -12.579 -4,59 45.564 29.083 -16.481 -36,17 16,64 11,13 -5,51

22. Kalimantan Selatan 450.903 420.352 -30.551 -6,78 193.773 133.853 -59.920 -30,92 42,97 31,84 -11,13

23. Kalimantan Timur 180.515 165.413 -15.102 -8,37 56.075 27.326 -28.749 -51,27 31,06 16,52 -14,54

24. Kalimantan Utara 34.595 39.369 4.774 13,80 9.084 6.343 -2.741 -30,17 26,26 16,11 -10,15

25. Sulawesi Utara 300.834 246.394 -54.440 -18,10 103.154 72.055 -31.099 -30,15 34,29 29,24 -5,05

26. Gorontalo 372.636 387.258 14.622 3,92 69.935 74.073 4.138 5,92 18,77 19,13 0,36

27. Sulawesi Tengah 1.049.449 950.241 -99.208 -9,45 408.673 338.108 -70.565 -17,27 38,94 35,58 -3,36

28. Sulawesi Selatan 293.555 299.926 6.371 2,17 72.188 63.809 -8.379 -11,61 24,59 21,27 -3,32

29. Sulawesi Barat 118.257 117.248 -1.009 -0,85 44.791 40.959 -3.832 -8,56 37,88 34,93 -2,94

30. Sulawesi Tenggara 160.863 179.814 18.951 11,78 43.560 50.696 7.136 16,38 27,08 28,19 1,11

31. Maluku 178.497 170.169 -8.328 -4,67 68.913 78.140 9.227 13,39 38,61 45,92 7,31

32. Maluku Utara 124.480 127.865 3.385 2,72 19.679 21.857 2.178 11,07 15,81 17,09 1,28

33. Papua 71.131 65.458 -5.673 -7,98 39.344 37.570 -1.774 -4,51 55,31 57,40 2,08

34. Papua Barat 266.728 424.058 157.330 58,99 169.774 305.380 135.606 79,87 63,65 72,01 8,36

Indonesia 30.419.582 25.751.267 -4.668.315 -15,35 19.015.051 14.248.864 -4.766.187 -25,07 62,51 55,33 -7,18

Sumber: BPS (2014)

Page 83: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

68

Lampiran Tabel 7. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013

No. Kabupaten/Kota

Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Proporsi RTP Gurem (%)

2003 2013 Perubahan

2003 2013 Perubahan

2003 2013 Perubahan Absolut % Absolut %

1. Bogor 249.566 203.585 -45.981 -18,42 215.322 165.696 -49.626 -23,05 86,28 81,39 -4,89

2. Sukabumi 348.403 290.771 -57.632 -16,54 282.047 228.343 -53.704 -19,04 80,95 78,53 -2,42

3. Cianjur 324.570 282.247 -42.323 -13,04 259.438 219.691 -39.747 -15,32 79,93 77,84 -2,10

4. Bandung 178.056 141.747 36.309 -20,39 156.889 114.213 42.676 -27,20 88,11 80,58 -7,54

5. Garut 315.688 268.177 -47.511 -15,05 260.219 209.813 50.406 -19,37 82,43 78,24 -4,19

6. Tasikmalaya 318.101 282.463 -35.638 -11,20 259.660 235.687 -23.973 -9,23 81,63 83,44 1,81

7. Ciamis 346.466 274.567 -71.899 -20,75 275.040 205.511 -69.529 -25,28 79,38 74,85 -4,54

8. Kuningan 163.841 113.120 -50.721 -30,96 141.409 94.595 -46.814 -33,11 86,31 83,62 -2,69

9. Cirebon 179.527 85.061 -94.466 -52,62 151.597 52.384 -99.213 -65,45 84,44 61,58 -22,86

10. Majalengka 202.604 156.468 -46.136 -22,77 171.420 123.863 -47.557 -27,74 84,61 79,16 -5,45

11. Sumedang 172.164 134.394 -37.770 -21,94 139.933 103.764 -36.169 -25,85 81,28 77,21 -4,07

12. Indramayu 257.588 162.455 -95.133 -36,93 195.872 91.415 -104.457 -53,33 76,04 56,27 -19,77

13. Subang 233.318 157.102 -76.216 -32,67 183.652 103.136 -80.516 -43,84 78,71 65,65 -13,06

14. Purwakarta 102.068 72.436 -29.632 -29,03 84.962 56.459 -28.503 -33,55 83,24 77,94 -5,30

15. Karawang 253.446 121.509 -131.937 -52,06 197.393 64.475 -132.918 -67,34 77,88 53,06 -24,82

16. Bekasi 199.633 84.089 -115.544 -57,88 161.396 45.812 -115.584 -71,62 80,85 54,48 -26,37

17. Bandung Barat 176.335 137.021 -39.314 -22,30 156.816 120.226 -36.590 -23,33 88,93 87,74 -1,19

18. Kota Bogor 21.692 4.507 -17.185 -79,22 20.851 4.127 -16.724 -80,21 96,12 91,57 -4,55

19. Kota Sukabumi 10.803 5.586 -5.217 -48,29 9.991 4.521 -5.470 -54,75 92,48 80,93 -11,55

20. Kota Bandung 10.914 4.503 -6.411 -58,74 9.838 3.506 -6.332 -64,36 90,14 77,86 -12,28

21. Kota Cirebon 6.853 2.181 -4.672 -68,17 6.646 1.995 -4.651 -69,98 96,98 91,47 -5,51

22. Kota Bekasi 57.049 6.213 -50.836 -89,11 56.163 5.771 -50.392 -89,72 98,45 92,89 -5,56

23. Kota Depok 44.761 9.491 -35.270 -78,80 43.764 8.914 -34.850 -79,63 97,77 93,92 -3,85

24. Kota Cimahi 5.028 2.779 -2.249 -44,73 4.823 2.607 -2.216 -45,95 95,92 93,81 -2,11

25. Kota Tasikmalaya 38.320 21.250 -17.070 -44,55 35.025 18.387 -16.638 -47,50 91,40 86,53 -4,87

26. Kota Banjar 25.209 15.994 -9.215 -36,55 21.701 13.282 -8.419 -38,80 86,08 83,04 -3,04

Jawa Barat 4,242,003 3.039.716 1.202.287 -28,34 3.501.867 2.298.193 1.203.674 -34,37 82,55 75,61 -6,95

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (2014)

Page 84: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

69

Lampiran Tabel 8. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013

No. Kecamatan

Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Proporsi RTP Gurem (%)

2003 2013 Perubahan

2003 2013 Perubahan

2003 2013 Perubahan Absolut % Absolut %

1. Cisewu 8.461 8.609 148 1,75 6.153 6.666 513 8,34 72,72 77,43 4,71

2. Caringin 7.025 7.044 19 0,27 4.046 4.137 91 2,25 57,59 58,73 1,14

3. Talegong 8.061 7.613 -448 -5,56 6.465 6.248 -217 -3,36 80,20 82,07 1,87

4. Bungbulang 11.924 11.908 -16 -0,13 9.021 8.532 -489 -5,42 75,65 71,65 -4,00

5. Mekarmukti 3.586 4.029 443 12,35 2.112 2.850 738 34,94 58,90 70,74 11,84

6. Pamulihan 3.185 3.214 29 0,91 2.592 2.409 -183 -7,06 81,38 74,95 -6,43

7. Pakenjeng 13.364 12.161 -1.203 -9,00 9.957 8.812 -1.145 -11,50 74,51 72,46 -2,04

8. Cikelet 7.949 7.733 -216 -2,72 5.594 4.729 -865 -15,46 70,37 61,15 -9,22

9. Pameungpeuk 5.715 4.565 -1.150 -20,12 4.530 3.577 -953 -21,04 79,27 78,36 -0,91

10. Cibalong 7.911 7.348 -563 -7,12 4.216 3.382 -834 -19,78 53,29 46,03 -7,27

11. Cisompet 10.357 9.669 -688 -6,64 8.335 7.003 -1.332 -15,98 80,48 72,43 -8,05

12. Peundeuy 4.216 4.717 501 11,88 2.483 3.040 557 22,43 58,89 64,45 5,55

13. Singajaya 9.094 9.174 80 0,88 7.620 7.931 311 4,08 83,79 86,45 2,66

14. Cihurip 3.905 3.625 -280 -7,17 3.222 3.050 -172 -5,34 82,51 84,14 1,63

15. Cikajang 9.236 9.489 253 2,74 7.786 7.470 -316 -4,06 84,30 78,72 -5,58

16. Banjarwangi 10.196 7.597 -2.599 -25,49 8.488 6.213 -2.275 -26,80 83,25 81,78 -1,47

17. Cilawu 12.057 9.941 -2.116 -17,55 11.266 8.777 -2.489 -22,09 93,44 88,29 -5,15

18. Bayongbong 10.351 7.792 -2.559 -24,72 9.284 6.721 -2.563 -27,61 89,69 86,26 -3,44

19. Cigedug 5.185 4.356 -829 -15,99 4.643 3.729 -914 -19,69 89,55 85,61 -3,94

20. Cisurupan 15.548 11.437 -4.111 -26,44 13.612 9.690 -3.922 -28,81 87,55 84,73 -2,82

21. Sukaresmi 4.386 4.046 -340 -7,75 3.787 3.295 -492 -12,99 86,34 81,44 -4,90

22. Samarang 7.993 4.823 -3.170 -39,66 6.998 3.814 -3.184 -45,50 87,55 79,08 -8,47

23. Pasirwangi 7.752 6.482 -1.270 -16,38 6.417 5.062 -1.355 -21,12 82,78 78,09 -4,69

24. Tarogong Kidul 5.101 2.591 -2.510 -49,21 4.635 2.065 -2.570 -55,45 90,86 79,70 -11,17

25. Tarogong Kaler 6.753 5.440 -1.313 -19,44 5.733 4.421 -1.312 -22,89 84,90 81,27 -3,63

26. Garut Kota 5.133 4.083 -1.050 -20,46 4.726 3.686 -1.040 -22,01 92,07 90,28 -1,79

27. Karangpawitan 9.014 4.935 -4.079 -45,25 7.988 3.606 -4.382 -54,86 88,62 73,07 -15,55

28. Wanaraja 5.291 3.974 -1.317 -24,89 4.461 3.131 -1.330 -29,81 84,31 78,79 -5,53

29. Sucinaraja 4.628 3.755 -873 -18,86 3.826 3.088 -738 -19,29 82,67 82,24 -0,43

30. Pangatikan 3.716 2.928 -788 -21,21 3.301 2.365 -936 -28,36 88,83 80,77 -8,06

Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)

Page 85: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

70

Lampiran Tabel 8. Lanjutan.....

No. Kecamatan

Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Proporsi RTP Gurem (%)

2003 2013 Perubahan

2003 2013 Perubahan

2003 2013 Perubahan Absolut % Absolut %

31. Sukawening 5.770 5.157 -613 -10,62 5.124 4.338 -786 -15,34 88,80 84,12 -4,69

32. Karangtengah 2.774 2.788 14 0,50 2.203 2.254 51 2,32 79,42 80,85 1,43

33. Banyuresmi 8.624 8.018 -606 -7,03 7.406 6.588 -818 -11,05 85,88 82,17 -3,71

34. Leles 8.106 7.783 -323 -3,98 6.897 6.211 -686 -9,95 85,09 79,80 -5,28

35. Leuwigoong 5.561 4.249 -1.312 -23,59 4.949 3.572 -1.377 -27,82 88,99 84,07 -4,93

36. Cibatu 7.573 5.878 -1.695 -22,38 6.838 5.148 -1.690 -24,71 90,29 87,58 -2,71

37. Kersamanah 4.638 3.396 -1.242 -26,78 4.233 3.049 -1.184 -27,97 91,27 89,78 -1,49

38. Cibiuk 3.783 3.478 -305 -8,06 3.178 2.864 -314 -9,88 84,01 82,35 -1,66

39. Kadungora 7.232 6.115 -1.117 -15,45 6.342 5.074 -1.268 -19,99 87,69 82,98 -4,72

40. Blubur Limbangan 11.205 8.105 -3.100 -27,67 9.320 6.078 -3.242 -34,79 83,18 74,99 -8,19

41. Selaawi 6.644 5.648 -996 -14,99 5.741 4.723 -1.018 -17,73 86,41 83,62 -2,79

42. Malangbong 16.685 12.484 -4.201 -25,18 14.691 10.415 -4.276 -29,11 88,05 83,43 -4,62

Kabupaten Garut 315.688 268.177 -47.511 -15,05 260.219 209.813 -50.406 -19,37 82,43 78,24 -4,19

Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)

Page 86: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

71

Lampiran Tabel 9. Keragaan RTP Pengguna Lahan dan Gurem di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013

No. Kecamatan

Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Proporsi RTP Gurem (%)

2003 2013 Perubahan

2003 2013 Perubahan

2003 2013 Perubahan Absolut % Absolut %

1. Ciwidey 8.021 7.156 -865 -10,78 7.200 6.328 -872 -12,11 89,76 88,43 -1,34

2. Rancabali 4.445 6.127 -.682 37,84 4.098 5.464 1.366 33,33 92,19 89,18 -3,01

3. Pasirjambu 8.787 6.536 -2.251 -25,62 7.866 5.298 -2.568 -32,65 89,52 81,06 -8,46

4. Cimaung 7.705 5.818 -1.887 -24,49 6.853 4.455 -2.398 -34,99 88,94 76,57 -12,37

5. Pangalengan 11.575 12.726 1.151 9,94 10.097 10.358 261 2,58 87,23 81,39 -5,84

6. Kertasari 6.747 8.842 2.095 31,05 6.153 7.452 1.299 21,11 91,20 84,28 -6,92

7. Pacet 12.650 10.689 -1.961 -15,50 11.435 9.300 -2.135 -18,67 90,40 87,01 -3,39

8. Ibun 8.198 6.321 -1.877 -22,90 7.388 5.669 -1.719 -23,27 90,12 89,69 -0,43

9. Paseh 6.887 6.822 (65 -0,94 6.117 5.564 -553 -9,04 88,82 81,56 -7,26

10. Cikancung 8.133 5.206 -2.927 -35,99 6.999 4.143 -2.856 -40,81 86,06 79,58 -6,48

11. Cicalengka 6.005 3.486 -2.519 -41,95 5.312 2.817 -2.495 -46,97 88,46 80,81 -7,65

12. Nagreg 3.859 3.610 -249 -6,45 3.060 2.598 -462 -15,10 79,30 71,97 -7,33

13. Rancaekek 7.092 4.341 -2.751 -38,79 5.890 2.993 -2.897 -49,19 83,05 68,95 -14,10

14. Majalaya 4.935 3.750 -1.185 -24,01 4.447 3.085 -1.362 -30,63 90,11 82,27 -7,84

15. Solokanjeruk 3.664 3.098 (566 -15,45 3.212 2.249 -963 -29,98 87,66 72,60 -15,07

16. Ciparay 8.801 5.782 -3.019 -34,30 7.794 4.231 -3.563 -45,71 88,56 73,18 -15,38

17. Baleendah 4.922 3.591 -1.331 -27,04 4.195 2.632 -1.563 -37,26 85,23 73,29 -11,94

18. Arjasari 10.491 7.686 -2.805 -26,74 9.087 6.212 -2.875 -31,64 86,62 80,82 -5,79

19. Banjaran 6.067 4.233 -1.834 -30,23 5.467 3.463 -2.004 -36,66 90,11 81,81 -8,30

20. Cangkuang 4.411 2.541 -1.870 -42,39 3.833 2.054 -1.779 -46,41 86,90 80,83 -6,06

21. Pameungpeuk 2.305 1.708 -597 -25,90 2.028 1.185 -843 -41,57 87,98 69,38 -18,60

22. Katapang 2.397 1.853 -544 -22,70 2.097 1.413 684 -32,62 87,48 76,25 -11,23

23. Soreang 4.789 2.419 -2.370 -49,49 4.426 1.766 -2.660 -60,10 92,42 73,01 -19,41

24. Kutawaringin 8.349 4.692 -3.657 -43,80 7.297 3.675 -3.622 -49,64 87,40 78,32 -9,07

25. Margaasih 1.885 1.710 -175 -9,28 1.804 1.483 -321 -17,79 95,70 86,73 -8,98

26. Margahayu 449 287 -162 -36,08 438 262 -176 -40,18 97,55 91,29 -6,26

27. Dayeuhkolot 605 402 -203 -33,55 564 287 -277 -49,11 93,22 71,39 -21,83

28. Bojongsoang 2.730 1.308 -1.422 -52,09 2242 819 -1.423 -63,47 82,12 62,61 -19,51

29. Cileunyi 1.670 2.909 1.239 74,19 1.503 2.197 694 46,17 90,00 75,52 -14,48

30. Cilengkrang 3.484 2.526 -958 -27,50 3.053 2.066 -987 -32,33 87,63 81,79 -5,84

31. Cimenyan 5.998 3.572 -2.426 -40,45 4.934 2.695 -2.239 -45,38 82,26 75,45 -6,81

Kabupaten Bandung 178.056 141.747 -36.309 -20,39 156.889 114.213 -42.676 -27,20 88,11 80,58 -7,54

Sumber: BPS Kabupaten Bandung (2014)

Page 87: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

72

Lampiran Tabel 10. Keragaan Kelompok Tani Ranca Kujang, Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, 2014

No. Nama Umur (tahun) Pendidikan Luas Milik (hektar)

Sawah Tegalan

1. Asep 48 SMA 0 0,36

2. Sumarna 49 SMP 0 0,21

3. Irman 33 S-1 0 0,43

4. Odir 49 SPMA 1,00 0

5. Ibu Elis 75 SR 1,29 0,57

6. Ibu Ira 75 SR 1,50 0,00

7. Anwar 40 SMP 0 0

8. Agus 43 SMP 0,29 0,21

9. Usup 45 SD 1,00 0

10. Aun 65 SD 0,29 0,07

11. Tata 75 SR 0,06 0

12. Iwan 60 SD 0,04 0

13. Udi 80 SR 0,06 0

14. Uton 50 SMP 0 0

15. Uhi 75 SD 1,00 0,43

16. Endo 65 SD 0,21 0,21

17. Enda 75 SR 0,29 0,11

18. Icang 40 SD 0,57 0,14

19. Inda 55 SMP 0 0

20. Adin 84 SR 0 0

21. Ibu Maya 65 SD 0,10 0,14

22. Sule 60 SD 0,14 0,21

23. Rahmat 41 SD 0 0

24. Dede 80 SR 0 0

25. Ayi 48 SD 0 0

26. Dayat 55 SD 0 0,06

27. Ibu Adetini 65 SD 0,04 0

28. Ibu Rosmani 42 SD 0,07 0

29. Ibu Aisah 42 SD 0 0

30. Ibu Neneng 35 SMA 0,14 0,10

31. Ibu Atik 35 SMA 0 0,06

32. Ibu Masitoh 37 SMP 0 0

33. Gugun 40 SMA 0 0

34. Jeje 40 SMP 0 0

35. Mamat 75 SMA 0,14 0,21

36. Bidin 45 SMP 0,21 0,21

Rataan/Total 55 - 0,42 0,22

Sumber: Kelompok Tani Ranca Kujang (2014)

Page 88: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

73

Lampiran Tabel 11. Keragaan Kelompok Tani Silih Reksa IV, Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, 2014

No. Nama Umur

(tahun) Pendidikan

Luas Garapan (hektar)

Milik Sewa Total

1. H. Bubun 49 SMP 4,50 3,00 7,50

2. H. Uyu Wahyudin 46 SMP 1,20 0,80 2,00

3. Dedi Ermawan 36 SMP 0,90 0,60 1,50

4. Cuncun Nirwana 35 SMP 3,00 2,00 5,00

5. H. Itang 43 SMA 1,80 1,20 3,00

6. H. Lukman 37 SMA 4,50 3,00 7,50

7. H. Asep Nurjaman 30 SMP 1,80 1,20 3,00

8. Awab 46 SD 0,90 0,60 1,50

9. Oto 60 SD 0,60 0,40 1,00

10. Odik 60 SD 0,60 0,40 1,00

11. H. Afifudin 40 SD 1,20 0,80 2,00

12. H. Engkos 60 SD 3,00 2,00 5,00

13. Endang 42 SD 0,45 0,30 0,75

14. Kodir 47 SD 0,60 0,40 1,00

15. H. Said 40 SMP 6,00 4,00 10,00

16. Hendar 36 SD 0,60 0,40 1,00

17. Maman 40 SD 0,60 0,40 1,00

18. Mumu 40 SD 0,30 0,20 0,50

19. Anan 56 SD 0,60 0,40 1,00

20. Wiwin 38 SD 0,30 0,20 0,50

21. H. Ajen 45 SMA 4,50 3,00 7,50

22. Adek 25 SMP 0,30 0,20 0,50

23. Daman 35 SD 0,60 0,40 1,00

24. Iyet 32 SD 0,60 0,40 1,00

25. H. Nana 60 SD 1,80 1,20 3,00

Rata-rata 43 - 1,65 2,75 1,10

Sumber: Kelompok Tani Silih Reksa IV (2014)

Page 89: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

74

Lampiran Tabel 12. Keragaan Kelompok Tani Sugih Mukti, Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, 2014

No. Nama Umur (tahun) Pendidikan Garapan

Luas (hektar) Status

1. Ayub 58 SMP 4,00 Bayar PBB

2. Usep 60 SD 4,50 Bayar PBB

3. Udin 54 SMA 1,00 Bayar PBB

4. Jainudin 52 SMP 1,00 Bayar PBB

5. Bunyamin 48 SMA 0,70 Bayar PBB

6. Endon 45 SMA 0,42 Bayar PBB

7. Sodik 75 SD 1,00 Sewa

8. Yusuf 55 SMP 1,00 Sewa

9. Asep Edi 38 Sarjana 0,70 Bagi hasil

10. Cecep 52 SD 0,70 Bagi hasil

11. Dadang 45 SMP 0,56 Sewa

12. Saep 47 SD 0,49 Milik

13. Iding 70 SD 2,00 Milik

14. Saik 58 SD 1,00 Sewa

15. Engkos 58 SMP 0,35 Sewa

16. Nandang 48 SD 0,42 Sewa

17. Endid 60 SD 0,35 Bagi hasil

18. Apong 60 SD 1,00 Bagi hasil

19. Wanda 58 SD 2,00 Bagi hasil

20. Nana 60 SD 0,35 Sewa

21. Bandi 55 SD 0,42 Sewa

22. Didi 60 SD 13,00 Milik

23. Ganda 75 SD 0,70 Bayar PBB

Rata-rata 56 - 1,64 -

Sumber: Kelompok Tani Sugih Multi (2014)

Page 90: LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN EKSISTENSI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2014_05.pdf · Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum

75

Lampiran Tabel 13. 88 Jenis Pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP)

No. Jenis Pekerjaan No. Jenis Pekerjaan

1. Akuntan 45. Pelaut

2. Anggota BPK 46. Pembantu rumah tangga

3. Anggota DPD 47. Penata busana

4. Anggota DPRD Kabupaten/Kota 48. Penata rambut

5. Anggota DPRD Propinsi 49. Penata rias

6. Anggota DPR-RI 50. Pendeta

7. Anggota kabinet/kementerian 51. Peneliti

8. Anggota Mahkamah Konstitusi 52. Pengacara

9. Apoteker 53. Pensiunan

10. Arsitek 54. Penterjemah

11. Belum/tidak bekerja 55. Penyiar radio

12. Biarawati 56. Penyiar televisi

13. Bidan 57. Perancang busana

14. Bupati 58. Perangkat desa

15. Buruh harian lepas 59. Perawat

16. Buruh nelayan/perikanan 60. Perdagangan

17. Buruh peternakan 61. Petani/pekebun

18. Buruh tani/perkebunan 62. Peternak

19. Dokter 63. Pialang

20. Dosen 64. Pilot

21. Duta besar 65. Presiden

22. Gubernur 66. Promotor acara

23. Guru 67. Psikiater/psikolog

24. Imam masjid 68. Seniman

25. Industri 69. Sopir

26. Juru masak 70. Tabib

27. Karyawan BUMD 71. Tentara Nasional Indonesia

28. Karyawan BUMN 72. Transportasi

29. Karyawan honorer 73. Tukang batu

30. Karyawan swasta 74. Tukang cukur

31. Kepala desa 75. Tukang gigi

32. Kepolisian RI 76. Tukang jahit

33. Konstruksi 77. Tukang kayu

34. Konsultan 78. Tukang las/pandai besi

35. Mekanik 79. Tukang listrik

36. Mengurus rumah tangga 80. Tukang sol sepatu

37. Nelayan/perikanan 81. Ustadz/mubaligh

38. Notaris 82. Wakil Bupati

39. Paraji/dukun beranak 83. Wakil Gubernur

40. Paranormal 84. Wakil Presiden

41. Pastur 85. Wakil Walikota

42. Pedagang 86. Walikota

43. Pegawai Negeri Sipil 87. Wartawan

44. Pelajar/mahasiswa 88. Wiraswasta

Sumber: https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=pekerjaan+di+kolom+KTP