1
LAPORAN KASUS
ANESTESI PADA ATRESIA ESOFAGUS TIPE C
dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya
laporan kasus yang berjudul “Anestesi Pada Atresia Esofagus Tipe C” ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Semoga laporan kasus ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca. Akhir kata, penulis menyadari bahwa laporan kasus yang disusun ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Atas perhatiannya,
penulis mengucapkan banyak terima kasih.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Esofagus ................................................................................................. 2
II. Epidemiologi ......................................................................................................... 2
II. Etiologi .................................................................................................................. 3
IV. Patofisiologi .......................................................................................................... 3
V. Klasifikasi ............................................................................................................. 4
VI. Presentasi Klinis .................................................................................................... 5
VII. Diagnosis ............................................................................................................... 6
VIII. Terapi .................................................................................................................... 7
IX. Penatalaksanaan Anestesia .................................................................................... 7
BAB III
LAPORAN KASUS................................................................................................................. 9
BAB IV
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 19
BAB V
KESIMPULAN ........................................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 24
1
BAB I
PENDAHULUAN
Atresia esofagus didefinisikan sebagai kelainan kongenital berupa gangguan kontinuitas
pada lumen esofagus. Atresia esofagus dapat disertai dengan fistula trakeoesofagus yaitu lumen
penghubung antara bagian proksimal dan atau distal esofagus dengan jalan napas (trakea).
Pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Gibson pada tahun 1967. Terjadi pada 2500-3000
kelahiran hidup, dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak kembar.1,2,3
Etiologi atresia esofagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan
jelas. Adanya hubungan atresia esofagus dengan berbagai kelainan bawaan lainnya,
menunjukkan bahwa lesi ini terjadi akibat adanya gangguan dalam embriogenesis, yang
penyebab pastinya belum teridentifikasi.2
Bayi dengan atresia esofagus akan menunjukkan gejala hipersalivasi dan sesak napas
yang ditimbulkan akibat aspirasi pneumonia. Ketika selang nasogastrik tidak dapat melewati
esofagus maka dapat diduga adanya atresia. Pemeriksaan radiologi memiliki peran penting dalam
mendiagnosis atresia esofagus, menegaskan atresia esofagus dengan fistula atau tanpa fistula dan
mendiagnosis anomali lainnya yang terkait dengan VACTERL.4,5
Pengetahuan dan kemampuan
seorang anestesiologis dalam menangani pasien-pasien dengan kelainan tersebut saat akan sangat
memainkan peranan penting dalam keberhasilan durante operasi. Pemahaman terhadap
komplikasi yang mungkin terjadi dan hasil jangka panjang serta gejala sisa yang muncul setelah
operasi, akan menentukan prognosis dari pasien tersebut1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Esofagus
Esofagus merupakan tabung muskuler yang menghubungkan faring dengan gaster.
Panjang esofagus saat lahir bervariasi antara 8-10 cm dan pada usia 15 tahun sekitar 19 cm.
Esofagus memanjang dari batas bawah kartilago cricoid (setinggi corpus vertebra servikal 6)
hingga ke orifisium kardiak gaster setinggi corpus vertebra thorakal 11. Batas atas pada bayi
baru lahir terletak setinggi corpus vertebra servikal 4 atau 5 dan berakhir lebih tinggi yaitu
setinggi corpus vertebra thorakal 9.6
Berdasarkan regio yang dilewati, esofagus dapat dibagi menjadi esofagus servikal,
esofagus thorakal dan esofagus abdominal. Esofagus servikal di mulai dari ujung orofaring
hingga corpus vertebra cervical 6. Esofagus thorakal berada di sepanjang mediastinum mulai
setinggi corpus vertebra thorakal 10 melintasi diafragma yang merupakan jaringan muskuler kuat
dan membatasi thorax dengan abdomen. Esofagus abdominal mulai setinggi corpus vertebra
thorakal 11, masuk kedalam lambung, membentuk sudut yang tajam disebut cardiac angle.1,6
Esofagus memiliki pembuluh darah yang kompleks sesuai dengan pembagian anatomi
esofagus. Esofagus cervical mendapatkan aliran darah dari arteri tiroid inferior. Esofagus
thorakal mendapat aliran darah dari cabang aorta thorakal dan arteri brakhial. Esofagus
abdominal mendapatkan darah dari artei gastrika sinistra dan aorta abdominal cabang phrenik
sinistra inferior. Begitu juga dengan aliran darah vena.1
II. Epidemiologi
Atresia esofagus merupakan malformasi kongenital yang terjadi pada 2500-3000
kelahiran hidup. Dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak kembar. Angka kejadian
atresia esofagus di amerika serikat sekitar satu pada 4500 kelahiran. Di Finlandia memiliki angka
kejadiaan yang tinggi yaitu satu pada 2440 kelahiran.2,4
Atresia esofagus lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Walaupun
beberapa kasus bersifat sporadik, adanya riwayat keluarga dengan atresia esofagus telah
dilaporkan. Sekitar 6% bayi dengan atresi esofagus merupakan anak kembar. Orang tua yang
memiliki satu bayi dengan atresia esofagus , anak selanjutnya beresiko 0,5-2 % memiliki atresia
3
esofagus. Jika terdapat lebih satu orang keluarga dengan atresia esofagus angka resiko memiliki
kelainan yang sama sekitar 20%.4
III. Etiologi
Adanya hubungan atresia esofagus dengan berbagai kelainan bawaan lainnya,
menunjukkan bahwa lesi ini terjadi akibat adanya gangguan dalam embriogenesis, yang
penyebab pastinya belum teridentifikasi. Adanya gangguan organogenesis pada awal kehamilan
dapat menyebabkan gangguan perkembangan organ secara bersamaan, seperti jantung,
musculoskeletal, gastrointestinal dan genitourinari. Terdapat pola yang simultan dengan kejadian
atresia esofagus yang disebut sebagai VACTERL dan CHARGE. VACTERL merupakan
singkatan dari beberapa kelainan organ yaitu vertebra, malformasi anorektal, malformasi
cardiovascular, atresia esofagus, anomali renal dan limb defect. CHARGE berhubungan dengan
colobomata, penyakit jantung, atresia coana, retardasi mental, hipoplasia genital dan kelainan
telinga. 4,9,10
Etiologi atresia esofagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan
jelas. Kelainan kromosom seperti trisomi 18 dan 21, adanya agen infektif seperti kekurangan
vitamin A dan penggunaan dosis tinggi pil kontrasepsi yang mengandung progesteron selama
kehamilan diduga sebagai penyebab atresia esofagus. 2,4,7
IV. Patofisologi
Esofagus dan trakea berasal dari foregut primitif. Terjadi selama minggu ke empat dan
kelima perkembangan embrio. Pemisahan struktur tubular terjadi pada minggu keempat
kehamilan dan lengkap pada 34-36 hari. Trakhea sebagai divertikulum ventral dari faring
primitif yaitu bagian kaudal dari foregut. Septum trakheoesofaeal berkembang pada tempat
dimana lipatan tracheoesofageal bersatu. Septum ini membagi foregut menjadi bagian ventral
yaitu tabung laringotrakheal dan bagian dorsal (esofagus). Atresia esofagus terjadi jika septum
trakea menyimpang ke posterior. Penyimpangan ini menyebabkan pemisahan yang tidak lengkap
dari esofagus dari tabung laringotracheal dan menghasilkan fistula tracheoesofageal secara
bersamaan.4,8
Atresia esofagus selalu mempengaruhi mortalitas esofagus. Kelainan peristaltik biasanya
terjadi di esofagus segmen distal. Apakah kelainan motalitas merupakan kelainan primer akibat
4
inervasi abnormal seperti kejadian pada abnormalitas distribusi neuropeptida atau akibat
sekunder kerusakan nervus vagal yang terjadi selama operasi perbaikan belum jelas. Tekanan
saat relaksasi di seluruh esofagus secara signifikan lebih tinggi dari pasien normal dan tekanan
pada spinkter esofagus distal berkurang.2
Pada atresia esofagus juga terdapat kelainan pada trakea berupa berkurangnya kartilago
trakea dan peningkatan panjang muskulus transversus pada dinding posterior trakea. Pada
kondisi lanjut dapat menimbulkan trakeomalasia dengan kolaps trakea sekitar 1-2 cm dari fistula.
Meskipun beberapa teori embriologi telah mengungkapkan proses pembentukan malformasi
trakea, tidak semuanya dapat menjelaskan variasi anomali anatomi. Terdapat kejadian cukup
tinggi yang menunjukaan adanya kerusakan jaringan mesenkimal selama minggu ke empat
kehamilan.2,4
V. Klasifikasi
Perbedaan gambaran anatomi atresia esofagus dengan atau tanpa fistula trakeoesofagus
menimbulkan perbedaan dalam hal pengklasifikasiannya, namun salah satu klasifikasi yang
banyak dipakai dan praktis secara klinis ialah sistem klasifikasi oleh Gross dan Vogt yang
membedakan atresia esofagus menjadi 5 tipe sebagai berikut:
1. Tipe A : atresia esofagus terisolasi. Angka kejadiannya sekitar 8% dari semua kasus.
2. Tipe B : atresia esofagus distal dengan fistula yang menghubungkan bagian proksimal
esofagus dengan trakea (fistula trakeoesofagus proksimal) dengan angka kejadian 0,8%.
3. Tipe C : merupakan tipe yang paling sering terjadi yaitu sekitar 88,5% - 90% dimana
terdapat proksimal atresia esofagus disertai fistula trakeoesofagus di bagian distal.
4. Tipe D : atresia esofagus dengan double fistula trakeoesofagus yaitu di bagian proksimal dan
distal esofagus dengan angka kejadian 1,4%. 5. Tipe E : disebut juga tipe-H dimana tidak terdapat atresia esofagus namun terdapat fistula
trakeoesofagus dengan angka kejadian sekitar 4% dari semua kasus. 6. Tipe F : Stenosis esophagus
5
Gambar 1. Klasifikasi atresia esofagus oleh Gross dan Vogt
VI. Presentasi Klinis
Gejala yang dapat terlihat dalam hari pertama setelah kelahiran berupa tidak bisa minum
ASI, tersedak atau muntah dan tidak dapat menelan air liur sehingga terjadi hipersalivasi. Jika
disertai dengan fistula trakeoesofagus proksimal (tipe B) dapat terjadi aspirasi ASI ke paru-paru
karena seluruh ASI yang ditelan bayi akan berakhir di paru-paru sehingga bayi tampak sesak
napas dan sianosis. Adanya ASI (makanan/benda asing) di paru-paru dapat menyebabkan
pneumonia. Distensi abdomen dapat terjadi jika terdapat aliran udara dari trakea ke lambung
melalui fistula trakeoesofagus distal (tipe C dan D). Atresia esofagus tipe D selain adanya fistula
trakeoesofagus distal juga terdapat fistula di bagian proksimal dan merupakan salah satu tipe
yang sulit terdiagnosis. Gejala klinisnya dapat berupa asthma atau batuk yang persisten karena
aspirasi dalam beberapa tahun. Namun, pada tipe D dengan adanya fistula memberikan jalan
bagi ASI dan makanan mencapai lambung melalui fistula proksimal ke trakea dan melalui fistula
distal kembali ke esofagus dan akhirnya ke lambung.
Atresia esofagus tipe E atau disebut juga tipe H merupakan tipe yang sulit didiagnosis
dini dan dapat terdiagnosis setelah bayi tumbuh menjadi anak- anak atau dewasa. Pada tipe ini
tidak terdapat atresia esofagus sehingga makanan dapat mencapai lambung namun, makanan
6
juga dapat masuk ke paru-paru melalui fistula. Begitu juga sebaliknya udara dari trakea dapat
masuk ke lambung melalui fistula sehingga terdapat udara dalam jumlah yang banyak di
abdomen dan tampak distensi abdomen. Gejala tipikal lainnya berupa sering tersedak ketika
makan dan minum, dan pneumonia aspirasi yang berulang. Untuk itu, Bayi dengan atresia
esofagus baik dengan fistula atau tidak memiliki mortalitas yang tinggi
VII. Diagnosis
Diagnosis atresia esofagus sebaiknya ditegakkan sedini mungkin untuk meminimalkan
komplikasi paru, dapat ditegakkan baik pada prenatal maupun postnatal. Diagnosis prenatal
dapat dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi pada ibu. Adanya temuan polihidramnion,
berkurangnya cairan intraluminal usus bayi dan ketidakmampuan mendeteksi lambung janin
pada pemeriksaan ultrasonografi dapat memberikan petunjuk awal atresia esofagus. Adanya
pouch sign yang tampak sebagai bayangan echoik di tengah janin pada usia 26 minggu
kehamilan juga menunjukkan adanya atresia esofagus, tetapi dalam pemeriksaan membutuhkan
pengalaman. Nilai diagnosis prenatal ini sangat rendah kecuali ditemukan pouch sign dan
polihidramnion secara bersamaan. Polihidramnion tanpa pouch sign merupakan indikasi yang
lemah atresia esofagus. Hanya 1 dari 12 pasien dengan polihidramnion dengan atresia esofagus.
Begitu juga dengan tidak adanya udara gaster, hal ini dapat ditemukan di kelainan lainnya. 1,10
Diagnosis postnatal atresia esofagus dapat dibuat ketika terjadi kesulitan atau
ketidakmampuan selang nasogastrik atau orogastrik melewati esofagus. Normalnya kardiak
lambung pada bayi terletak 17 cm dari gusi bayi, tetapi pada kasus atresia esofagus, selang
berhenti ketika masuk sepanjang 10-12 cm. Foto sinar X babygram memperlihatkan selang
nasogatrik melingkar dalam kantung esofagus proksimal. Untuk memperkirakan celah atau jarak
antara segmen esofagus, selang nasogastrik dimasukkan semaksimal mungkin. Jarak antara
ujung selang dengan karina memperkirakan celah. Jika jarak kurang dari 2-2,5 cm corpus
vertebra merupakan sesuatu yang menguntungkan dalam tindakan operasi.1,4
Radiografi thorax dan abdomen penting dilakukan untuk mendapatkan diagnosis yang
tepat dari atresia esofagus. Selain mengevaluasi letak dari selang nasogastrik, juga dapat menilai
letak distribusi udara usus, arkus aorta, pneumonia aspirasi, kelainan bawaan jantung dan
anomali tulang belakang. 1,10
7
Pemeriksaan dengan barium tidak diindikasikan dalam penegakan diagnosis atresia
esofagus karena adanya resiko tinggi terjadinya tracheobronchitis aspirasi kimia1,4
Penilaian
kardiologi termasuk echocardiografi merupakan rutinitas sebelum dilakukan operasi untuk
mengetahui adanya kelainan jantung bawaan.9
VIII. Terapi
Bayi dengan atresia esofagus memerlukan resusitasi awal. Jika terjadi gangguan
pernapasan maka bayi membutuhkan ventilator. Bayi yang menggunakan ventilator harus segera
di operasi karena terdapat resiko memburuknya gangguan pernapasan dan perforasi lambung.
Operasi dilakukan kurang dari 8 jam setelah pemakaian ventilator.7
Hal yang paling penting pada bayi dengan atresia esofagus tanpa ventilator adalah
pencegahan aspirasi sekresi faring dan refluks isi lambung melalui fistula. Yang pertama
diperlukan adalah pengisapan secara berkala atau aspirasi dari kantong proximal esofagus
menggunakan kateter double lumen bertekanan rendah. Bayi diletakkan dengan kepala lebih
tinggi untuk meminimalkan refluks lambung.7
Sebelum operasi dilakukan tes darah seperti hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa
darah, pembekuan darah dan cross match. Jika kelainan yang berhubungan telah teridentifikasi,
kemudian dinilai tingkat keparahan sebelum operasi dilakukan. Bedah dilakukan dengan anastesi
umum dengan pemasangan pipa endotrakeal. Tujuan prosedur bedah yaitu untuk memisahkan
fistula dan menutupnya pada sisi trachea serta menyambung ujung- ujung segmen esofagus.9
IX. Penatalaksanaan Anestesia
Neonatus dengan TEF memiliki kecendrungan mengalami distensi gaster dan
pneumoperitoneum. Penatalaksanaan anestesia dan bedah akan memberikan fokus utama pada
ventilasi paru tanpa tanpa ventilasi dari fistula. Teknik anestesia yang digunakan meliputi
intubasi trakeal sadar (awake tracheal intubation) dan menghindari penggunaan pelumpuh otot
serta tekanan ventilasi positif yang berlebihan hingga fistula yang ada dapat diidentifikasi dan
dikendalikan7,16
. Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan suction pada proksimal
esophagus, lalu bayi akan diberikan preoksigenasi selama 3 menit dengan ventlasi spontan.
Selanjutnya, dilakukan awake intubation dengan menggunakan endotrakeal tube no 3.0-3.5 mm
(internal diameter) endotracheal tube dengan cuff karena cuff dapat menguntungkan untuk
8
menutup fistula. Asisten dibutuhkan untuk mendengarkan suara nafas. Intubasi biasanya
dilakukan dengan memasukkan endotrakeal tube sedalam dalamnya hingga ke bronkus kanan,
lalu ditarik pelan pelan kira kira 0.5-1.0 cm hingga suara nafas terdengar sama, bevel lubang tube
juga diarahkan ke anterior untuk menghindari intubasi pada fistula.
Pencegahan distensi lambung dapat tercapai dengan penempatan yang tepat dari selang
endotrakea, atau dengan pembuatan lubang gastrostomy terlebih dahulu pada periode preoperatif
dengan anestesia lokal maupun sesaat setelah induksi dilakukan dimana hal ini akan mengurangi
tekanan lambung7.
Pasien kemudian akan diposisikan lateral decubitus kiri atau kanan. Suara nafas harus
diperiksa ulang untuk mendeteksi adanya endobronkial intubasi yang ditandai dengan hilangnya
suara nafas pada paru kiri, sianosis, bradikardia, dan hipotensi.
Persiapan preoperatif terhadap neonatus yang akan menjalani operasi meliputi stabilisasi
kondisi umum pasien. Pemberian cairan infus preoperatif haruslah adekuat guna mencegah
dehidrasi dan hipoglikemia1,2
. Cairan isotonik (normal saline) merupakan pilihan utama untuk
mengoreksi kondisi hipovolemia, yang diikuti dengan pemberian cairan pemeliharaan yang
mengandung glukosa (5% dextrose dalam ¼ normal saline) sebanyak 5 mL/kgBB/jam. Sulfas
atropine ( 0,1 mg/kgbb) diberikan sebelum induksi untuk memblok tonus vagal.6,16
Pelumpuh otot diberikan setelah fistula berhasil diidentifikasi dan dilakukan ligasi,
Induksi inhalasi adalah alternatif dari intubasi sadar. Setelah neonatus ter-anestesi dalam,
intubasi dapat dilakukan tanpa pelumpuh otot yang diikuti dengan ventilasi tekanan positif yang
ringan. Narkotik merupakan pilihan untuk agen analgesia, yang diberikan bersamaan anestesi
volatile untuk pemeliharaan anestesia. Desaturasi akan terjadi saat dokter bedah menahan
pengembangan paru guna guna menarik bagian distal esofagus untuk proses anastamosis. Paru
perlu dikembangkan kembali guna mengembalikan saturasi ke nilai normal, hal ini dapat
dilakukan dengan pemberian PEEP ( positive end expiratory pressure) atau pemberian ventilasi
tekanan positif yang besar sesekali untuk pengembangan paru.16,17,18
Setelah operasi yang tanpa komplikasi maka bayi akan diberikan reverse dengan
neostigmine methylsulfate (0.06 mg/kg) and atropine sulfate (0.2 mg/kg) IV dan diekstubasi
dengan bersamaan melakukan suction pada trakea dan esophagus. Pasien pasien dengan penyulit
preoperative sebelumnya maupun perioperative durante operasi akan dilakukan kontrol ventilasi
dengan ventilasi mekanik terlebih dahulu hingga fungsi respirasi berfungsi normal kembali.16,17
9
BAB III
LAPORAN KASUS
EVALUASI PRAANESTESIA
Identitas Penderita
Nama : Bayi Ni Wayan Sutini
No Rekam Medis : 17055781
Umur : 0 hari (28 Desember 2017)
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Jl. R Tanah Lot Br Beraban Kediri Tabanan
Masuk Rumah Sakit : 28 Desember 2017 pkl 20 : 09 WITA
Diagnosis : Atresia esophagus tipe C + malformasi anorectal tanpa fistel
Jenis Operasi : Thoracotomy + Repair Fistel + Colostomy
Tanggal operasi : 29 Desember 2017
1. Anamnesis/ heteroanamnesis
Pasien dikeluhkan keluar buih lewat mulut dan tidak keluar mekonium sejak lahir. Pasien
riwayat lahir cesaria atas indikasi KPD 13 jam di RS Kasih ibu, langsung menangis
lemah . Setelah lahir pasien sempat diberi air susu ibu, namun langsung dimuntahkan. Di
RS Kasih ibu pasien sempat dipasang OGT tetapi tidak dapat masuk, kemudian pasien
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa Babygram dan didapatkan suspek
Trakeoesofagal fistula, kemudian pasien di rujuk ke RSUP Sanglah. Pasien merupakan
anak kedua dan Berat badan lahir pasien 3000 gram. Riwayat konsumsi obat obatan
selama kehamilan disangkal ibu pasien, riwayat infeksi selama kehamilan juga disangkal.
Riwayat antenatal care rutin di dokter spesialis kandungan setiap bulan dan dilakukan
USG sebanyak tiga kali. Saat lahir, pasien dikatakan langsung menangis lemah dan
ketuban berwarna jernih. Terapi saat ini di triage bedah berupa IVFD Dextose 12,5% 162
10
ml; nacl 3% 12 ml; ca glukonas 3 ml; kcl 3 ml, aminofusin 60 ml; ampicilin 185 mg tiap
8 jam; amikacin 28 mg tiap 12 jam.
Status Present
Kesadaran : ATR lemah
Respirasi : 45 x / menit
Nadi : 150 x / menit
Suhu Axilla : 37,1 oC
Berat Badan : 3000 gram
Saturasi oksigen : 97-98% room air
Neonatal pain scale : 0
2. Status Fisik
1. Sistem Saraf Pusat : Normal , konjungtiva Ikterik +/+
2. Sistem Sirkulasi : bunyi jantung s1 s2 tunggal tanpa murmur
3. Sistem Respirasi : RR 48x/menit bronkovesikular tanpa ronki wheezing,
retraksi subcostal
4. Sistem Hematologi : Normal
5. Sistem Gastro Intestinal : BU (+) normal, distensi (-),
6. Sistem Urogenital : buang air kecil spontan
7. Sistem Metabolik : Normal
8. Sistem Otot Rangka : Akral hangat, capillary refiil time dibawah 2 detik
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Hematologi (28/12/2017) :
WBC 23,54 x103/µL; HGB 20,68 g/dL; HCT 63,23 %; PLT 219 x10
3µL
2. Faal Hemostasis (28/12/2017) :
PT 18,1 detik ( 10,8 – 14,4); APTT 37,4 detik ( 24 - 36); INR 1,58
11
3. Kimia darah (28/12/2017) :
SGOT 152,6 U/L; SGPT 18,5 U/L; alb 4,1 g/dL ; BUN 7,2 mg/dL; Na 134
mmol/L; K 4,89 mmol/L; Cl 96,4 mmol/L; GDS 41 mg/dL.
4. Thorax foto AP (28/12/2018) : Suspek Tracheoesofageal Fistula, Cor dan pulmo
tak tampak kelainan
5. Foto BOF (28/12/2018) : Foto BOF tak tampak kelainan
4. Kesimpulan : Status Fisik ASA 3
MASALAH :
Permasalahan Aktual
- Neonatus (1 hari)
- Kelainan VACTREL berupa Atresia esophagus type C dan malformasi anorektal
tanpa fistel
- Leukositosis (WBC 23,54 x103/µL)
- Transaminitis (SGOT 152,6)
- Pemanjangan Faal Hemostasis (PPT 18,1 ; APTT 37,4 : INR 1,58)
Permasalahan Potensial
- Gangguan hemodinamik
- Spasme
- Aspirasi
- Bradikardia
- Desaturasi
- Hipotermia
- Hipoglikemia
12
5. PERSIAPAN PRAANESTESIA
Informed consent mengenai tindakan operasi dan anestesi, resiko anestesi dan
rencana anestesi yang akan dilakukan dan menandatangani surat perjanjian
persetujuan operasi dan anestesi
Persiapan fisik berupa puasa tetap dilanjutkan sejak awal kelahiran
Persiapan optimalisi keadaan umum pasien di ruangan (telah dilakukan oleh TS
pediatri)
Persiapan darah PRC 2 kolf masing-masing 25 mL
6. MANAJEMEN ANESTESIA
Pra anestesia :
Pasien disiapkan untuk dilakukan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa
endotrakeal nafas kendali dengan persiapan sevoflurane, fentanyl, atrakurium, alat-alat
untuk persiapan anestesi umum serta obat-obat emergensi. Di ruang persiapan :
Pukul 08.00 WITA pasien diterima masuk di ruang persiapan didalam inkubator dengan
infuse line central yang telah terpasang pada brachial dextra, dilakukan pemeriksaan
kelancaran infus dan pemasangan mikroburet, lalu diberi cairan Ringerfundin sesuai
kebutuhan cairan perjam.
Pukul 08.30 WITA pasien didorong masuk ke kamar operasi
Di kamar operasi :
Penderita tiba di kamar operasi pukul 08.30 WITA dan dilakukan pemasangan monitor,
didapatkan nadi 145-155 kali permenit, saturasi didapatkan 96%. Setelah semua alat-alat
anestesi dan resusitasi serta obat-obat anestesi dan resusitasi siap, pasien diberikan
preoksigenasi dengan oksigen 6 liter/menit. Pasien diberikan premedikasi berupa sulfas
atropine 0,1 mg intravena pada pkl 08.40 WITA. Dilakukan pemberian ko-induksi
dengan fentanyl 3 mcg secara perlahan-lahan dan Induksi dengan sevoflurane sambil
tetap mempertahankan nafas spontan pasien dan sesekali dibantu dengan assisted
ventilation. Tiga menit kemudian didapatkan nadi 135 x/menit dengan saturasi 97%,
13
dilakukan laringoskopi intubasi tanpa pemberian obat pelumpuh otot dengan pipa
endotrakea no 2,5 tanpa cuff. Setelah dievaluasi pengembangan paru kanan dan kiri
simetris, dilakukan fiksasi lalu diikuti pemasangan packing di daerah supraglotis.
Pemeliharaan anestesi dengan compressed air, Oksigen, sevoflurane. Kendali nafas
dilakukan dengan assisted nafas spontan dengan pemberian PEEP ( positive end
expiratory pressure ) untuk mencegah kolapsnya paru. Fraksi oksigen diatur hingga
mencapai target saturasi diatas 88%. Dilakukan posisi pasien durante operasi lateral
dekubitus kiri. Prinsip-prinsip pencegahan hipotermia dilakukan dengan blanket warmer
dan infus warmer. Dilakukan tindakan thorakotomi dan anastomose esophagus pada pkl
09.40. Operasi berlangsung selama 3 jam 30 menit dengan perdarahan (± 5 cc). Saturasi
selama durante operasi didapatkan 89 – 97% dengan fraksi oksigen 50-80%. Sesaat
setelah operasi berakhir, pasien diposisikan dalam keadaan supine, pasien mengalami
desaturase hingga ke angka terendah 84% walaupun telah diberikan fraksi oksigen 80%,
dilakukan ventilasi manual dengan pemberian PEEP, perlahan saturasi perifer naik ke
96% dengan fraksi oksigen 60%. Pasien tidak diekstubasi dan direncakan dibawa ke
NICU dengan controlled ventilation. Pemeliharaan kecukupan cairan durante operasi
dengan cairan kristaloid 170 ml. Produksi urin didapatkan 0,6 ml/kgbb/jam. Analgetika
pasca operasi dengan fentanyl 40 mcg/24 jam via syringe pump dan metamizole 30 ml
tiap 8 jam intravena. pasien dirawat pasca operasi di NICU. Pada durante operasi
ditemukan atresia esophagus fistula pada bagian distal trakea dan dilakukan end to end
anastomose esophagus.
14
7. Follow Up NICU
Hari I
Terapi Laboratorium
Status fisik
SSP : DPO IVFD Dextose 12,5% 162 AGD : pH 7,37; PO2 129,3;
Resp : On ventilator PCAC ml; nacl 3% 12 ml; ca PCO2 24,2 ; HCO3- 13,5 ; SO2C
FiO2 60% RR 40 Peep 6 glukonas 3 ml; kcl 3 ml, 98,6% ; BEecf -11,8 ; TCO2 14,3
SpO2 96% aminofusin 60 ml; ampicilin Kimia : BUN 30,5 ; SC 1,39
KV : Nadi 145x/menit 185 mg tiap 8 jam;
GIT : distensi – amikacin 28 mg tiap 12
UG : produksi urin : 0,3 jam,
ml/kgbb/jam Fentanyl 40 mcg/24 jam;
Suhu : 38,2 Metamizole 30 mg IV tiap 8
jam
Atracurium 1,5 mg
Hari II
Terapi Laboratorium
Status fisik
SSP : DPO IVFD Dextose 12,5% 153 AGD : pH 7,42 ; PO2 117,2 ;
Resp : On ventilator PCAC ml; nacl 3% 24 ml; ca PCO2 27,7 ; HCO3- 17,5 ; SO2C
FiO2 50% RR 40 Peep 6 glukonas 3 ml; kcl 3 ml, 98,4% ; BEecf -7,0 ; TCO2 18,3
SpO2 96% aminofusin 90 ml; ampicilin
KV : Nadi 135x/menit 185 mg tiap 8 jam; amikacin
GIT : distensi – 28 mg tiap 12 jam,
UG : produksi urin : 0,2 Fentanyl 40 mcg/24 jam;
ml/kgbb/jam Metamizole 30 mg IV tiap 8
Suhu : 37,8 jam
Midazolam 2 mg/jam
Albumin 0,6 ml/jam
15
Hari III
Terapi Laboratorium
Status fisik
SSP : DPO IVFD Dextose 12,5% 153 AGD : pH 7,39 ; PO2 181,2 ;
Resp : On ventilator PCAC ml; nacl 3% 24 ml; ca PCO2 29,3; HCO3- 17,4 ; SO2C
FiO2 40% RR 40 Peep 6 glukonas 3 ml; kcl 3 ml, 99,3% ; BEecf - 7,5 ; TCO2 18,3
SpO2 95% aminofusin 120 ml; Kimia : Procalcitonin 24,25 ; Alb
KV : Nadi 125x/menit ampicilin 185 mg tiap 8 1,9 ; Na 127 ; K 5,01 ; Cl 98,8 ;
GIT : distensi – jam; amikacin 28 mg tiap 12 Ca 7,1 ; Alb 2,7
UG : produksi urin : 0,2 jam, DL : WBC 15,37 ; HB 11,09;
ml/kgbb/jam Fentanyl 40 mcg/24 jam; HCT 34,31 ; PLT 10,76
Suhu : 38,3 Metamizole 30 mg IV tiap 8
jam
Midazolam 2 mg/jam
Albumin 0,6 ml/jam
Hari IV
Terapi Laboratorium
Status fisik
SSP : DPO IVFD Dextose 12,5% 107 AGD : pH 7,31; PO2 126 ; PCO2
Resp : On ventilator PCAC ml; nacl 3% 24 ml; ca 38,4 ; HCO3- 19,00 ; SO2C
FiO2 30% RR 40 Peep 6 glukonas 3 ml; kcl 3 ml, 98,3% ; BEecf - 7,2 ; TCO2 20,20
SpO2 95% aminofusin 120 ml;
KV : Nadi 140x/menit ampicilin 185 mg tiap 8
GIT : distensi – jam; amikacin 28 mg tiap 12
UG : produksi urin : 0,2 jam,
ml/kgbb/jam Fentanyl 40 mcg/24 jam;
Suhu : 37,7 Metamizole 30 mg IV tiap 8
Midazolam 2 mg/jam
Albumin 0,6 ml/jam
16
Hari V
Terapi Laboratorium
Status fisik
SSP : DPO IVFD Dextose 12,5% 147 AGD : pH 7,35 ; PO2 159,2 ;
Resp : On ventilator PCAC ml; nacl 3% 12 ml; ca PCO2 32,6 ; HCO3- 17,6 ; SO2C
FiO2 30% RR 40 Peep 6 glukonas 3 ml; kcl 3 ml, 99,0% ; BEecf - 8,0 ; TCO2 18,6
SpO2 95% aminofusin 120 ml; Kimia : Alb 2,2
KV : Nadi 135x/menit ampicilin 185 mg tiap 8
GIT : distensi – jam; amikacin 28 mg tiap 12
UG : produksi urin : 0,3 Fentanyl 40 mcg/24 jam;
ml/kgbb/jam Metamizole 30 mg IV tiap 8
Suhu : 37,9 Midazolam 2 mg/jam
Albumin 0,6 ml/jam
Hari VI
Terapi Laboratorium
Status fisik
SSP : DPO IVFD Dextose 12,5% 138 AGD : pH 6,84 ; PO2 55,90 ;
Resp : On ventilator PCAC ml; nacl 3% 16 ml; ca PCO2 32,7 ; HCO3- 5,4; SO2C
FiO2 30% RR 40 Peep 6 glukonas 3 ml; kcl 3 ml ; 62,9% ; BEecf -28,4 ; TCO2 6,4
SpO2 96% cefoperazone sulbactam 185 DL : WBC 19,17 ; HB 6,61 ;
KV : Nadi 145x/menit mg tiap 8 jam; amikacin 28 HCT 17,91 ; PLT 13,17
GIT : distensi – mg tiap 12 Kimia : bilirubin 18,67; bilirubin
UG : produksi urin : 0,3 Fentanyl 40 mcg/24 jam; direk 15,61 ; bilirubin indirek
ml/kgbb/jam Metamizole 30 mg IV tiap 8 3,06; BUN 61,0; SC 0,99 ; Na
Suhu : 38,1 Midazolam 1 mg/jam 124 ; K 4,59 ; Cl 94,1 ; Alb 2,4 ;
Albumin 0,6 ml/jam Procalcitonin 55,6
Transfuse PRC 3x15 ml Faal hemostasis : PT 20,2; APTT
Transusi TC 2x25 ml 46,2; INR 1,8
17
Hari VII
Terapi Laboratorium
Status fisik
SSP : DPO IVFD Dextose 12,5% 138 AGD : pH 7,28 ; PO2 140,7 ;
Resp : On ventilator PCAC ml; nacl 3% 16 ml; ca PCO2 33,5 ; HCO3- 15,5 ; SO2C
FiO2 30% RR 40 Peep 6 glukonas 3 ml; kcl 3 ml ; 98,5% ; BEecf – 11,2 ; TCO2
SpO2 95% cefoperazone sulbactam 185 16,6
KV : Nadi 135x/menit mg tiap 8 jam; amikacin 28 Kimia : Na 122 ; K 8,35 ; Cl 90,5
GIT : distensi – mg tiap 12 ; Kolesterol total 35 ; HDL 4 ;
UG : produksi urin : 0,2 Fentanyl 40 mcg/24 jam; LDL 3 ; TG 61 ; Ca 8,6 ; GDS 10
ml/kgbb/jam Metamizole 30 mg IV tiap 8 DL : WBC 58,45 ; HB 6,16 ;
Suhu : 38,3 Albumin 0,6 ml/jam HCT 18,05 ; PLT 14,57
Transfuse PRC 3x15 ml Faal hemostasis : PT 45,9 ; APTT
Transusi TC 2x30 ml 64,7 ; INR 5,03
Hari VIII
Terapi Laboratorium
Status fisik
SSP : DPO IVFD Dextose 12,5% 138 AGD : pH 7,15; PO2 56,4; PCO2
Resp : On ventilator PCAC ml; nacl 3% 16 ml; ca 37,8; HCO3- 13,00 ; SO2C
FiO2 50% RR 40 Peep 6 glukonas 3 ml; kcl 3 ml ; 81,0% ; BEecf – 15,80 ; TCO2
SpO2 94% cefoperazone sulbactam 185 14,2
KV : Nadi 120x/menit mg tiap 8 jam; amikacin 28
GIT : distensi – mg tiap 12
UG : produksi urin : 0,15 Fentanyl 40 mcg/24 jam;
ml/kgbb/jam Metamizole 30 mg IV tiap 8
Suhu : 38,7 Albumin 0,6 ml/jam
Transfuse PRC 3x15 ml
Transusi TC 2x30 ml
18
Hari IX :
Pkl 09.00 WITA pasien ditemukan dalam desaturasi 50% dan bradikardia 40x/menit, telah
dilakukan resusitasi selama 30 menit namun pasien meninggal pkl 09.30 WITA.
19
BAB IV
PEMBAHASAN
Atresia diartikan sebagai kelainan kongenital berupa tidak adanya pembukaan normal
dari suatu saluran di tubuh. Fistula berarti hubungan abnormal antara dua struktur epitelial pada
tubuh. Atresia esofagus dan fistula trakeoesofageal merupakan kelainan kongenital yang
dicirikan dengan formasi yang tidak lengkap dari tubuler esofagus atau adanya hubungan yang
abnormal antara esofagus dan trakhea.
Pemeriksaan radiologi memiliki peran penting dalam mendiagnosis atresia esofagus,
menegaskan atresia esofagus dengan fistula atau tanpa fistula dan mendiagnosis anomali lainnya
yang terkait dengan VACTERL. Pemeriksaan pertama yang dilakukan adalah foto thorax
proyeksi AP dan lateral serta foto abdomen proyeksi AP atau foto babygram. Dipastikan leher
dan trakea terlihat baik. Kantong proximal esofagus tampak terisi udara atau sekresi yang tampak
sebagai massa di posterior trakea, melengkung di anterior trakea. Jika terdapat hubungan antara
trakea dan esofagus, maka lambung akan terisi udara. Jika tidak terdapat hubungan maka sistema
usus tak terisi udara. Lima persen bayi dengan atresia esofagus memiliki kelainan lainnya yang
melibatkan jantung, sistema usus, vertebra yang juga dapat terlihat pada pemeriksaan foto polos.
Pada kasus ini bayi berusia 0 hari dengan kecurigaan atresia esofagus dengan fistula
proksimal dan distal. keluar buih lewat mulut dan tidak keluar mekonium sejak lahir. Pasien
riwayat lahir cesaria atas indikasi KPD 13 jam di RS Kasih ibu, langsung menangis lemah.
Setelah lahir pasien sempat diberi air susu ibu, namun langsung dimuntahkan. Di RS Kasih ibu
pasien sempat dipasang OGT tetapi tidak dapat masuk, kemudian pasien dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa Babygram dan didapatkan suspek Trakeoesofagal fistula.
Menentukan klasifikasi atresia esofagus yang mungkin adalah tipe A, tipe B, tipe C dan
tipe D. Tipe E dapat disingkirkan karena pada tipe ini selang nasogastrik dapat melewati
esofagus dan berada di gaster. Pada tipe F selang masih mungkin melewati stenosis hingga ke
gaster. Ujung dari selang nasogastrik yang baik dalam menilai atresia esofagus adalah ujung
dalam posisi melingkar. Kemudian di nilai adanya udara di dalam gaster. namun pada klinis
didapatkan nilai saturasi perifer room air 94-96% sehingga tipe atresia esofagus yang mungkin
adalah tipe C dan tipe D.
20
Atresia esofagus tipe C angka kejadiannya paling sering dibanding tipe lainnya.
Gambaran foto polos akan tampak selang nasogastrik tidak dapat masuk ke lambung dan tampak
lambung terisi udara. Tidak didapatkan gambaran aspirasi pneumonia. Dengan menganalisa foto
polos dapat menentukan tipe dari atresia esofagus dengan tepat. Pada kasus ini didapatkan
proyeksi nasogastric tube setinggi Thorakal 3 hal ini sesuai dengan adanya kemungkinan tipe
atresia esophagus tipe C atau tipe D. tetapi karena dari gambaran thorak tidak didapatkan
gambaran aspirasi pneumonia tetapi klinis menunjukkan adanya gejala distress nafas maka
belum dapat dipastikan tipe C atau D.
Beberapa kesulitan ditemukan selama manajemen anestesi termasuk ventilasi yang tidak
efektif karena pipa endotrakea ditempatkan di fistula, dilatasi lambung, komorbid penyakit
kelaianan kongenital lainnya terutama jantung dan aspirasi paru sebelumnya. Manajemen
anestesi berfokus pada ventilasi paru paru tanpa ventilasi fistula. Prinsip ventilasi pada pasien ini
adalah dengan memberikan frekuensi pernafasan yang sedikit lebih tinggi dengan volume tidal
yang lebih kecil. Hal ini agar ventilasi semenit tetap tercapai sesuai kebutuhan tanpa memberikan
tekanan yang berlebih sehingga tidak menghalangi pandangan lapangan operasi operator. Teknik
ini meliputi intubasi trakea dan menghindari pelumpuh otot dan ventilasi positif yang berlebihan
sampai fistel terkoreksi seperti yang dikerjakan pada pasien ini. Pada pasien ini pasien diberikan
sungkup oksigen 100% dengan mempertahankan nafas spontan dan ventilasi tekanan positif
diberikan minimal karena distensi lambung akan memperberat kompresi paru ipsi maupun
kontralateral. Intubasi dilakukan tanpa pemberian pelumpuh otot. pasien diinduksi dengan
sevoflurane hingga terhipnosis maka sebelum induksi pasien telah dipremedikasi dengan sulfas
atropine untuk menekan respon vagal. Induksi anestesia pada pasien ini dilakukan dengan obat
anestesi inhalasi sevoflurane pada konsentrasi 2,5 % sesuai dosis konsentrasi pasien infant.
Induksi pada pasien pediatrik lebih baik menggunakan agen inhalasi dikarenakan ventilasi
semenit yang tinggi sehingga distribusi obat akan lebih baik serta klirens yang cepat karena
melalui proses difusi di paru. Sevoflurane dipilih karena tidak merangsang peningkatan produksi
sekresi saluran nafas, sehingga tidak semakin memperbesar kemungkinan terjadinya aspirasi
pada pasien ini.
Kontrol nafas dipertahankan hingga target saturasi diatas 94%, pada pasien ini saturasi
ditargetkan saturasi diatas 88% dikarenakan dengan modal saturasi 94-96% room air
kemungkinan telah terjadi pneumonia aspirasi pada pasien. Pemberian cairan infus sebaiknya
21
diberikan cairan yang mengandung glukosa, namun pada pasien ini diberikan kristaloid dengan
pertimbangan kristaloid merupakan cairan utama untuk resusitasi pada durante operasi, terutama
pada operasi dengan insensible water loss yang besar yaitu gastrointestinal..1,6
Operasi ini
dilakukan dengan posisi lateral dekubitus kiri melalui torakotomi di celah iga keempat kanan.
Waktu yang dibutuhkan untuk pembedahan kurang lebih 2-4 jam dengan perkiraan perdarahan
10 ml/kg. Pasca operasi pasien akan dirawat di ruang neonatal intensif care.
Hipotermia akan meningkatkan konsumsi oksigen, maka temperature lingkungan
dihangatkan hingga 30 -40 celcius karena neonates sangat berisiko terjadi hipotermia. Nyeri juga
dapat meningkatkan konsumsi oksigen, penatalaksaan pasien ini sudah tepat dengan pemberian
blanket warmer, infus warmer dan memasang monitor suhu. Untuk penanganan nyeri dipilih
penggunaan opioid fentanyl untuk mengurangi rangsangan simpatis. Fentanyl merupakan
analgetik opioid pilihan karena fentanyl tidak menurunkan aliran darah ke hepar atau
menurunkan suplai oksigen jika diberikan dengan dosis yang sedang.
Selama operasi paru akan diretraksi untuk memudahkan lapangan pandang operasi. Hal
ini menyebabkan desaturasi terutama bila paru dependen memiliki fungsi yang kurang optimal.
Jika pasien tidak mentolerir manipulasi operator, maka penghentian sementara operasi
dibutuhkan untuk mengembalikan ventilasi dan oksigenasi. Pada pasien ini, desaturasi terjadi
saat pasien diposisikan ke supine, hal ini dapat terjadi karena terjadi atelectasis pada paru
dependen, hal ini dapat diantisipasi dengan pemberian PEEP pada pasien.
Monitor seperti elektrokardiogram, saturasi oksigen, end tidal CO2 dan temperature harus
dipasang. Stetoskop precordial diletakkan disebelah kiri untuk memastikan dan monitoring suara
nafas dan adanya kenungkinan pipa trakea tergeser selama operasi. Pada kasus dimana
bronkoskopi tidak dikerjakan, maka untuk konfirmasi pipa trakea dapat digunakan cara lain yaitu
setelah induksi intubasi mainstream kanan lalu diikuti withdrawal perlahan pipa trakea hingga
suara nafas terdengar disisi kiri, teknik ini yang dikerjakan pada pasien. Pada pasien dengan
fistel, pipa dengan cuff memiliki keuntungan untuk menutup fistula, tetapi pada kasus ini
dikarenakan keterbatasan alat, maka tidak dikerjakan. Bevel lubang pipa tetap diarahkan ke sisi
anterior untuk menghindari intubasi pada fistula.
Pada post operasi, pertimbangan untuk dilakukan ekstubasi harus dipikirkan secara
matang. Pada pasien yang dilakukan ekstubasi sekitar 30% akan mengalami reintubasi untuk
membersihkan secret, dan trakeomalasia yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Pada
22
pasien ini dipilih kontrol ventilasi terlebih dahulu mengingat kemungkinan telah terjadi
pneumonia aspirasi sebelumnya mengingat modal saturasi room air dibawah 95%. Hal ini juga
dilakukan untuk menghindari dan mengamankan jalan nafas jika terjadi komplikasi seperti
trakeomalasia dan kebocoran anastomose.
23
BAB V
KESIMPULAN
Seorang bayi laki laki, 0 hari datang kerumah sakit dengan keluar buih lewat mulut dan
tidak keluar mekonium sejak lahir. Pasien riwayat lahir cesaria atas indikasi KPD 13 jam di RS
Kasih ibu, langsung menangis lemah . Setelah lahir pasien sempat diberi air susu ibu, namun
langsung dimuntahkan. Di RS Kasih ibu pasien sempat dipasang OGT tetapi tidak dapat masuk,
kemudian pasien dilakukan pemeriksaan penunjang berupa Babygram dan didapatkan suspek
Trakeoesofagal fistula. Pasien didiagnosis dengan atresia esophagus dengan fistula distal dan
proksimal. Koreksi anastomse pada pasien ini merupakan tantangan yang besar bagi seorang
anesthesiologist. Manajemen anestesi yang baik menggunakan teknik sleep non apnea tanpa
pelumpuh otot dan mempertahankan nafas spontan dengan assisted ventilation dapat menjadi
pilihan pada kasus ini. Operasi berlangsung lancar dengan hemodinamik stabil durante operasi.
Pasien meninggal setelah perawatan hari ke-9 karena pneumonia yang semakin
memberat. Penangan Pneumonia pada neonatus memerlukan kemampuan neonatal intensive care
yang komprehensif, dimana harus adanya kerjasama antara Konsultan Anestesia Pediatri dengan
TS Pediatri konsultan PICU dan TS Bedah Anak agar pasien pasien kritis post end to end
anastomose esophagus dapat bertahan hidup mengingat Berdasarkan klasifikasi spitz untuk
mengetahui tingkat kelangsungan hidup berdasarkan berat badan lahir dan kelainan
kardiovaskular pada Grup 1 bila berat badan lahir > 1500 gram tanpa kelainan kardiovaskular
tingkat mortalitas hanya 3%.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Boia ES. Mittal A. Esophageal atresia and tracheoesopahgeal malformation. Jurnalul
Pediatrului. 2005; 8: 41-9.
2. Spitz L. Oesophageal atresia. Orphanet Journal of Rare Disease. 2007; 2: 24.
3. Tandon RK. Sharma S. Shinha SK. Esophageal atresia: factors influencing survival-
experience at Indian tertiary center. Journal Indian Association Pediatric Surgery. 2008;
13: 1-6.
4. Bambini DA. Tracheoesophageal Fistula and Esophageal Atresia. In: Arensman RM,
Bambini DA, Almond PS, editors. Pediatric surgery. Landes Bioscience; 2000. pp 318-
24.
5. Beale P. Lakho K. Oesophageal atresia. Available from : www.global-
help.org/.../books/help_pedsurgeryaf
6. Viswanatha B. Esophagus Anatomy. Medscape (Updated: Oct 14,2011, Cited: 2013 Nov
23). Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1948973-overview
7. Johnson PR. Oesophageal atresia. Infant. 2005; 1: 163-7.
8. Clark DC. Esophageal Atresia and Tracheoesophageal Fistula. American Family
Physician (Updated: Feb 15,1999, Cited: 2013 Nov 23). Available from :
http://www.aafp.org/afp/1999/0215/p910.html.
9. Hollwarth M. Esophageal Atresia and Tracheoesophageal Fistula. In: Puri P, Hollwarth
M, editors. Pediatric surgery. Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2009. pp 329-338.
10. Gupta KA. Guglani B. Imaging of congenital anomalies of the gastrointestinal tract.
Indian Journal Pediatric. 2005; 72 (5) : 403-14.
11. Berocal T. Tores I. Guiterezz J. Congenital anomaly of the upper gastrointestinal tract.
Radiographic; 1999: 855-72.
12. Vogel S. Paediatric gastrointestinal radiology. Auckland Distric Health Board. 2012; 1-7.
13. Serrao E. Santos A. Gaivao A. Congenital esophageal stenosis: a rare case of dysphagia.
Journal of Radiology Case Report. 2010; 4(6): 8-14.
14. Broemling N, Campbell F. Anesthetic management of congenital tracheoesophageal
fistula. Pediatric Anesthesia21(2011) 1092–1099.
25
15. Robins et al. Anesthetic Management of Acquired Tracheoesophageal Fistula : A Brief
Report. Anesthesia & Analgesia : October 2001 p 903-905
16. Gayle et al. Anesthetic Considerations For The Neonate with Tracheoesophageal Fistula.
M.E.J. Anesth 19 (6) 2008.
17. Diego MG, Manolo RL. Anesthetic management of Esophageal Atresia Tipe III with
Tracheoesophageal Fistula in Premature Infant without Invasive Monitoring : A Case
Report.. 2015. Journal of Anesthesia & Critical Care 2(4) : 00063.
18. Wong et al. Airway and Ventilatory Management Options in Congenital
Tracheoesophageal Fistula Repair. 2015. Journal of Cardiothoracic and vascular
anesthesia. April : pp 515 – 520