Download - Laporan Kasus Dr Suryono Herli
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, Puji syukur penyusun panjatkan kehadiran ALLAH SWT atas terselesaikannya tugas Laporan Kasus yang berjudul “Demam Thypoid”.
Tugas ini disusun dalam rangka meningkatkan pengetahuan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Stase Pediatri RSIJ Cempaka Putih. Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Suryono Wibowo, Sp.A sebagai pembimbing.
2. Orang tua yang selalu mendoakan keberhasilan penyusun.
3. Teman-teman sejawat atas dukungan dan kerjasamanya.
Semoga dengan adanya laporan tugas ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan berguna bagi penyusun maupun peserta didik lainnya.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penyusun sangat membutuhkan saran dan kritik untuk membangun laporan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Akhir kata penyusun ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 29 Oktober 2013
Penyusun
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Nur
TTL : Jakarta, 22-08-2005
Usia : 8 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Pisangan timur,Jakarta Timur
Tanggal MRS : 23 Oktober 2013
Ruangan : badar
Dokter Merawat : dr. Suryono wibowo, Sp. A
ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS)
Keluhan Utama : Demam sejak 5 hari SMRS
Riw. Peny. Sekarang : Os demam sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan timbul
perlahan-lahan, makin lama makin meningkat, demam ↑↓,
meningkat pada malam hari, menggigil (-).terdapat
mual,muntah 1 hari yang lali,muntah 1 x sedikit,cair tidak
terdapat darah.terdapat pusing,nafsu makan menurun
BAK lancer.
BAB : kemarin os diare 2x berupa cairan,terdapat ampas,tidak
terdapat lender.
Kemudian pada saat di poliklinik anak rsij cempaka putih,os
diperiksa suhu = 39,2 C
Uji Tubex,IgM 6.0.
Riw. Peny. Dahulu : OS belum pernah sakit seperti ini.
Kejang demam (-), Asma (-), TB (-), tifoid (-), DBD (-)
Riw. Peny. Keluarga : Asma (-), Alergi (-), kejang demam (-), TB (-)
Riw. Pengobatan : Untuk keluhan sekarang, os berobat ke klinik 24 jam, tidak ada perbaikan
Riw. Kehamilan Ibu : Ibu OS rutin ANC di Bidan, selama hamil tidak pernah ada keluhan dan sakit
Riw. Kelahiran : Lahir SC ai partus tak maju, cukup bulan. BB lahir = 3500 gr, PB lahir = 51 cm, langsung menangis
Riw. Imunisasi : Menurut ibu imunisasi lengkap
Riw. Tumbuh Kembang : Tengkurap usia 5 bulan
Duduk usia 7 bulan
Berjalan usia 1 tahun
Kesan Tumbuh Kembang sesuai usia
Riw. Alergi : Tidak ada alergi obat; tidak ada alergi cuaca, debu; tidak ada alergi makanan (telur, susu, udang)
Riw. Makanan : Os diberi ASI sampai usia 6 bulan. MPASI setelah usia 6 bulan
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
TTV : N : 120 x/menit
RR : 24 x/menit
S : 39,2 oC
STATUS ANTROPOMETRI
BB : 19 kg
PB : 129 cm
U : 8 tahun 2 bulan
– BB/U : 19 / 26 x 100 % = 73 % à gizi kurang
– PB/U : 129 / 127 x 100 % = 102 %à normal
– BB/PB : 19 / 26 x 100 % = 73 % à kurang
STATUS GENERALIS
• Kepala : Normochepal
– Bentuk : Normochepal
– Lingkar Kepala : ibu pasien tidak mengetahui
– Ubun-ubun cekung (-)
• Rambut : Hitam pendek, distribusi merata, tidak mudah rontok
• Alis : Madarosis (-/-)
• Mata : Mata tidak cekung
– Konjungtiva : anemis (-)/(-)
– Sklera : ikterik (-)/(-)
• Hidung : Normotia, deviasi septum (-), sekret (-)
• Telinga : Normotia, serumen (-/-)
• Mulut : Bibir pucat (-), stomatitis (-), lidah kotor (+), tonsil = T1-T1, faring
hiperemis (-)
• Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar Tiroid (-)
• Thoraks : normochest
INSPEKSI PALPASI PERKUSI AUSKULTASI PARU normochest,
simetris Bagian dada yang
tertinggal (-) sonor Vesikular +/+
Rhonki -/-
inspirasi dan ekspirasi
Wheezing -/-
JANTUNG Ictus cordis tidak terlihat
Ictus cordis teraba Tidak dilakukan
BJ 1 & 2 tunggal,
murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN cembung, petekie (-)
Supel, turgor kulit baik,
Hepatosplenomegali (-)
Timpani Bising usus (+)
Ekstremitas
atas bawah
Sianosis : -/- -/-
Akral : hangat hangat
Udem : -/- -/-
RCT : < 2” <2”
• Anus & Genitalia : dalam batas normal, fimosis (-)
Laboratorium 23 oktober 2013
Jenis 23-10-2013
Hb 12,0 g/dl
Leukosit 4,81 x 10 3 /µL
Trombosit 266x 10 3/µL
Hematokrit 35 %
Uji anti salmonella IgM
Tubex
6.0 (+)
RESUME :
An.Nur datang ker rumah sakit,dengan keluhan demam sejak 5 hari smrs,disertai muntah 1 x,cair,darah (-).disertai sakit perut,Bab terdapat 2 x cair sejak 1 hari smrs,(-)darah,(-)lender.terdapat penurunan nafsu makan
Pemeriksaan fisik : suhu : 39,2 C
Nadi :120 x /menit
RR : 24 x /menit
Coated tounge (+)
Gizi kurang
Assesment :
Demam Thypoid dengan gizi kurang
R/
Infus asering 20 tpm
Ceftriaxone dalam dextrose 5%,1 gr
Tempra Forte 4 dd 1
Cervic 2 dd 1
Dumin sup (extra),Bila panas > 39C
Follow Up
Tanggal S O A P
24-10-
2013
Demam (+),
Sakit Perut (+)
Bab 1 x ,normal
Bak Normal
S : 37,8°C
N : 120x / menit
R : 22 x / menit
Lab : hb : 10.1
Leuko : 4.78
Trombo : 250
Ht : 33
Tubex : 6.0 (+)
Demam
thyfoid
Th/ lanjutkan
Cek H2TL
Tanggal S O A P
25-10-
2013
Demam (-),
Sakit Perut
(-)
Bab 1
x ,normal
Bak Normal
Nafsu makan
baik
S : 36,9°C
N : 90x / menit
R : 22 x /
menit
Lab : hb : 12.1
Leuko : 6.78
Trombo : 250
Demam
thyfoid
Th/
lanjutkan
Cek H2TL
Bila t.a.a
blpl
Ht : 33
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TYPHOID
1. DEFINISI
Demam typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakterimia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe
usus dan Peyer’s patch.
Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan dengan gejala demam lebih dari 1 minggu, gangguan pencernaan dan
gangguan kesadaran.
2. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella enterica sevoar typhi (S. Typi), bakteri gram
negatif, mempunyai flagela (motil), tidak berkapsul, tidak menghasilkan spora dan
fakultatif anaerob. Kuman ini mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks
yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multipel antibiotik.
Kuman ini dapat hidup baik dalam suhu tubuh manusia maupun suhu yang sedikit
lebih rendah, serta mati dalam suhu 70°C ataupun oleh antiseptic. Sangat mirip namun
tidak terlalu menyebabkan kesakitan yang berat disebabkan oleh S. Paratyphi A dan
terkadang oleh S. Paratyphi B (Schotmulleri) dan S. Paratyphi C (Hirschfeldii).
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam typhoid disebabkan S. Typhi,
sisanya disebabkan oleh S. Paratyphi.
Salmonella typhosa mempunyai 3 antigen, yaitu:
- Antigen O à Ohne Hauch à antigen somatic (tidak menyebar), dari tubuh
kuman
- Antigen H à Hauch (menyebar), terdapat pada flagel dan bersifat termolabil
- Antigen Vi àKapsul à merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi antigen O terhadap fagositosis.
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukkan tiga macam antibodi yaitu aglutinin. Sampai saat ini, demam typhoid masih
merupakan masalah kesehatan karena:
- Kesehatan lingkungan yang kurang memadai
- Penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat
- Serta tingkat sosial-ekonomi dan pendidikan yang kurang
3. EPIDEMIOLOGI
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam typhoid di Indonesia
pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi
15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981
sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu
dari 19.596 menjadi 26.000 kasus.
Kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah
pedesaan 358/100.000 penduduk per tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk per tahun atau sekitar 600.000 dan 1,5 juta kasus per tahun. Perbedaan insidens
di perkotaan berhubungan dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta
sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan
lingkungan. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada
91% kasus.
4. PATOGENESIS
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,
yaitu:
(1) Penempelan dan invasi sel sel M peyer’s patch,
(2) Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag peyer’s patch, nodus
limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial.
(3) Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah
(4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia bersama makanan dan
minuman yang tidak higienis yang terkontaminasi feses atau urin secara fecal-oral
transmision. Pada saat melewati lambung, dengan suasana asam (pH < 2), sebagian kuman
akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus tepatnya di
ileum dan yeyunum akan menembus dinding usus.
Penyakit ini timbul tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
1. Jumlah organisme yang ditelan.
Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan S. Typhi sebanyak 105-109 yang
tertelan.
2. Kadar keasaman dalam lambung
Keasaman lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH
2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat.
Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam tubuh
Kuman Salmonella typhi masuk kedalam tubuh melalui makanan/minuman yang
tercemar ke dalam tubuh melalui mulut.Setelah kuman sampai di lambung maka mula-
mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana
asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkan.
Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan sekurang-kuraangnya 105 – 109 yang
tertelan melalui makanan dan minuman.Pada saat melewati lambung dengan suasana asam
(pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi,
pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, Inhibitor pompa proton atau antasida
dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis bakteri. Sebagian kuman yang masuk ke
lambung akan dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke usus halus yaitu
kuman yang memiliki pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus kuman
berusaha menghanyutkan kuman dengan usaha pertahanan tubuh nonspesifik yaitu oleh
kekuatan peristaltik usus.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat
pada sel sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus,
tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi peyer’s patch,
merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus
halus, mengikuti aliran ke kelenjer limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sitemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan
oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu maka Salmonella typhi akan
keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk kedalam sirkulasi sistemik.
Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang
disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan
peyer patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara
langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Eksresi organisme di empedu
dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.
Bakterimia I (1 – 7 hari)
Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (106-109) masuk
kedalam tubuh manusia melalui esofagus, kuman masuk kedalam lambung dan sebagian
lagi kuman masuk kedalam usus halus. Di usus halus, kuman mencapai jaringan limfoid
plaque peyeri di ileum terminalis yang sudah mengalami hipertropi (ditempat ini sering
terjadi perdarahan dan perforasi). Lalu kuman menembus lamina propria, kemudian masuk
ke aliran limfe dan mencapai kelenjer mesenterial yang mengalami hipertrofi. Melalui
duktus thoracicus, sebagian kuman masuk kedalam aliran yang menimbulkan Bakterimia
I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus, dan masuk kembali kedalam hati.
Bakterimia II (6 hari – 6 minggu)
Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk kedalam hati lalu kuman
ditangkap dan bersarang sebagian di RES: plaque peyeri di ileum terminalis, hati, lien,
bagian lain sistem RES, kemudian masuk kembali ke aliran darah dan menimbulkan
Bakterimia II lalu menyebar ke seluruh tubuh.
Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan
oleh endotoksin Salmonella typhi yang berperan pada patogenesis demam tifoid karena
salmonella typhi membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat
Salmonella typhi berkembang biak dan endotoksin Salmonella typhi merangsang sintesis
dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
Pada dasarnya tifus abdominalis merupakan penyakit retikuloendotelial sistem yang
menunjukkan diri terutama pada jaringan limfoid usus, limpa, hati dan sumsum tulang. Di
usus, jaringan limfoid terletak di antemesenterial pada dindingnya, dan di namai Plaque
peyeri.
Usus yang terserang tifus umumnya ileum terminal atau distal, tetapi terkadang bagian
lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi pada minggu I. Pada permukaan
plaque peyeri penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrate
atau hiperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu pertama infeksi terjadi nekrosis dan
tukak. Tukak ini lebih besar di ileum dari pada di kolon sesuai dengan ukuran plaque
peyeri yang ada disitu. Kebanyakan tukaknya itu dangkal, kadang lebih dalam sampai
menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah
penderita sembuh biasannya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan parut dan
fibrosis.
Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjer limfe
mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjer membesar dan melunak. Limpa biasannya
juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel Polimorfonuklear dan
mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu
selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita
dapat tetap mengandung bakteri dan penderita menjadi pembawa kuman.
Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni bakteri. Itu
sebabnya pada minggu minggu pertama ditemukan kumannya dalam air kemih. Bila
sembuh, penderita menjadi pembawa kuman yang menularkan lewat kemihnya. Parotitis
dan orkitis kadang bisa ditemukan, sedangkan Bronkitis hampir selalu ada, kadang
pneumonia dapat juga terjadi. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus
abdominalis lebih sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumococcus.
Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran
miokarditis. Biasanya Tekanan Darah turun dengan Nadi lambat (Bradikardi Relatif )
akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama V.femoralis,
V.sefana, dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi zenker berupa
hilangnya striae transversalis disertai pembengkakan otot.Otot yang sering terserang
adalah otot diafragma. M.rektus abdominis dan otot paha. Hal ini yang mendasari
kelemahan otot pada penderita demam tifoid. Toksin di otot dapat juga menyebabkan
rupture spontan disertai perdarahan local. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses
di otot bersangkutan. Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses .Osteomielitis
dapat berlangsung bertahun tahun . Yang paling sering terkena adalah tibia, sternum, iga,
dan ruas tulang belakang . Pada demam tifoid sering di dapat gambaran piogenik disertai
adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang ditunjukkan
dengan gambaran leukopenia disertai hilangnya sel Polimorfonuklear dan eosinofil dan
bertambahnya sel mononuklear.
5. MANIFESTASI KLINIS
Pada anak, periode inkubasi demam typhoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara
10-14 hari. Masa inkubasi yang tersingkat 4 hari jika infeksi melalui makanan, bisa sampai
30 hari jika infeksi melalui minuman. Gejala klinis demam typhoid sangat bervariasi, dari
gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi
dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.
Gejala demam typhoid pada anak-anak biasa lebih ringan jika dibandingkan dengan
penderita dewasa. Pada minggu pertama sakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi pada umumnya yaitu:
Demam
Nyeri kepala, nyeri otot
Anoreksia, mual, muntah, obstipasi, perasaan tidak enak diperut
Batuk-batuk
Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi menjadi lebih jelas, berupa:
Demam
Bradikardi relatif
Lidah yang khas (kotor ditengah dan tepi,ujung merah,lidah tremor)
Hepatomegali
Splenomegali
Meteorismus
Gangguan mental atau kesadaran
Dari literatur lain diperjelas lagi bahwa selama masa inkubasi dapat ditemukan gejala
prodromal yaitu:
Perasaan tidak enak badan
Lesu
Nyeri kepala
Pusing
Tidak bersemangat
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
(1) Demam
Pada kasus-kasus yang khas, Demam berlangsung 3 minggu bersifat remiten. Selama
minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari (step-ladder
temprature chart), kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi
pada akhir minggu pertama. Pada minggu kedua penderita terus dalam keadaan demam,
dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun perlahan secara lisis dan kembali
normal kembali pada akhir minggu ketiga, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap.
(2) Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat napas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden), lidah ditutupi selaput kotor (coated tongue) ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan perut kembung (meteorismus), hati dan
limpa membesar (hepatomegali dan spleenomegali) disertai nyeri pada perabaan, biasanya
didapatkan konstipasi akan tetapi mungkin juga normal bahkan dapat terjadi diare.
(3) Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak begitu dalam yaitu apatis
sampai somnolen, jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.Disamping gejala-gejala yang biasa
ditemukan tersebut mungkin juga dapat ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota
gerak dapat ditemukan roseola yaitu (bercak mukopapuler) bintik-bintik kemerahan karena
emboli basil dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam, ukuran 1
– 6 mm ditemukan 40 % - 80 % penderita dan berlangsung singkat ( 2 – 3 hari ). Bercak ini
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung pada orang
kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Jika tidak ada
komplikasi dalam 2 – 4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan
letargi menetap 1 – 2 bulan. Kadang-kadang ditemukan bradikardi pada anak besar dan
mungkin pula ditemukan epistaksis.
6. DIAGNOSIS
IAnamnesis
Keluhan:
o Demam
o Nyeri kepala (frontal)
o Kurang enak diperut
o Nyeri tulang, persendian dan otot
o Konstipasi, Obstipasi
o Mual,Muntah
Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan
gejala toksik umum, seperti letargi, sakit kepala, demam dan bradikardi. Demam ini khas
karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti naik tangga sampai dengan suhu 400 C atau
410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala, malaise dan menggigil. Ciri utama demam tifoid
adalah demam menetap yang persisten ( 4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak diobati ).
Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya
kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya
disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas biasanya
5 sampai 14 hari, tetapi dapat sampai 5 minggu. Pada kasus ringan dan sedang, penyakit
biasannya berlangsung 4 minggu. Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise,
anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan, letargi dan demam.
Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi dan
hampir selalu disertai nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak jarang di
temukan epistaksis. Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi
sering ada, namun diare juga ditemukan.
Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam kontinu) dan penderita
tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan pencernaan. Diare dapat
mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan berat ini berlangsung sampai
dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita mengalami delirium bahkan sampai koma
akibat endotoksemia.
Pada minggu ketiga tampak gejala fisik lain berupa bradikardi relatif limpa membesar
lunak. Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun
dan keadaan umum tampak membaik. Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai dua
minggu setelah demam hilang.kekambuhan ini dapat ringan dapat juga berat, dan mungkin
terjadi sampai dua atau tiga kali.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
o Demam yang tinggi
o Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut
o Bradikardi relatif
o Hepatosplenomegali
o Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) dengan diameter 2 – 5 mm
terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut
agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan.Kelainan yang berjumlah kurang
lebih 20 buah ini hanya tampak selama 2 – 4 hari pada minggu pertama> Bintik
merah muda juga dapat berubah menjadi perdarahan kecil yang tidak mudah
menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang ditemukan pada
orang Indonesia)
o Jantung membesar dan melunak
o Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang menurun,
kesadaran menurun, suhu badan meningkat, nyeri perut dan defans muskuler akibat
rangsangan peritoneum.
o Perdarahan usus sering muncul hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau
darah segar.
o Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi, bising
usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani. Selain itu,
pada colok dubur terasa sfinger yang lemah dan ampulanya kosong. Penderita
biasannya mengeluh nyeri perut, muntah dan kurva suhu – denyut nadi
menunjukkan tanda salib maut.
o Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma,
sering disertai gambaran ileus paralitik
Pemeriksaan Laboratorium
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat dibuat diagnosis “Observasi
tifus abdominalis”. Untuk memastikan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan:
(1) Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong diagnosa
a. Pemeriksaan darah tepi
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia. Pada
permulaan sakit, mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan
darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana akan
tetapi sangat berguna untuk membantu diagnosis yang tepat.
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Dapat digunakan untuk menyokong diagnosa, pemeriksaan ini tidak termasuk
pemeriksaan rutin sederhana. Terdapat sumsum tulang berupa hiperaktif RES
dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem eritropoeisis, granulopoeisis dan
trombopoiesis berkurang.
(2) Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosis
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella typhosa dan pemeriksaan
widal adalah pemeriksaan yang dapat dipakai untuk membuat diagnosis tifus
abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada waktu
masuk dan setiap minggu berikutnya.
a. Biakan Empedu
Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita biakan dalam
minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses,
mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, pemeriksaan
yang positif dari contoh darah yang digunakan untuk menegakkan diagnosis,
sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses 2 kali berturut-turut
digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan tidak
menjadi pembawa kuman (karier).
b. Biakan Darah
Seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja positif
setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjer limfe atau
jaringan retikuloendotelial lainnya.sering masih positif setelah darah steril.
Biakan darah positif ditemukan pada 70% - 80% penderita pada minggu
pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ketiga, biakan darah positif hanya pada
10 penderita. Setelah minggu keempat penyakit sangat jarang kuman ditemukan
dalam darah. Bila terjadi relaps maka biakan darah akan positif kembali.
Pada penelitian mendeteksi DNA kuman Salmonell typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat dan metode penggandaan DNA dengan polymerase
chain reaction (PRC). Cara ini dilaporkan dapat mengidentifikasi kuman dalam
jumlah yang amat sedikit.
Identifikasi kuman melalui Uji Serologi
(1) Pemeriksaan Widal
Dasar pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita
dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif
ialah bila terjadi reaksi aglutinasi.yang bertujuan untuk menentukan adanya
antibodi, yaitu agglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita tifoid.
Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan yaitu
pengenceran tertinggi yang dapat menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat
diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O.Titer yang bernilai
1/200 atau lebih atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk
membuat diagnosa. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis,
karena dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama
sembuh. Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita sungguh-
sungguh menderita tifus abdominalis sebagaimana terbukti pada autopsi setelah
penderita meninggal dunia.
Sebaliknya titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut:
Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, Karena infeksi basil Coli
patogen dalam usus.
Pada Neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat
Terdapat infeksi silang dengan ricketsia.
Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya kuman peroral atau pada keadaan
infeksi subklinis.
Antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap salmonella typhi akan positif
dalam serum pada:
(a) Pasien demam tifoid
(b) Orang yang pernah tertular Salmonella.
(c) Orang yang pernah di vaksinasi terhadap demam tifoid
Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka didalam tubuh pasien membuat antibodi
(aglutinin), yaitu:
(a) Aglutinin O
Aglutinin O adalah antibody yang dibuat karena rangsangan dari antigen O yang
berasal dari tubuh kuman.
(b) Aglutinin H
Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H yang
berasal dari flagella kuman.
(c) Aglutinin Vi
Aglutinin Vi adalah antibody yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi yang
berasal dari simpai kuman.
Dari ketiga aglutinin diatas, hanya aglutinin O dan aglutinin H yang
ditentukan titernya untuk menegakkan diagnosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu:
(a) Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien
- Keadaan umum pasien
- Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
- Pengobatan dini dengan antibiotik
- Penyakit-penyakit tertentu
- Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid
- Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
(b) Faktor-faktor yang berhubungan dengan teknis
- Aglutinasi silang
- Konsentrasi suspense antigen
- Strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen
Interpretasi uji Widal, yaitu:
Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita demam
tifoid
Tidak ada consensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai
diagnostik pasti untuk demam tifoid
Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendahtidak menyingkirkan diagnosis
demam tifoid.
Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septicemia karena Salmonella lain.
Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan pasien,
karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin akan tetap
berada dalam darah untuk waktu yang lama.
Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab demam
tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama pula.
(2) Tubex TF
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim
dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian
lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini
dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara
rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
Interpretasi tes Tubex TF:
Scoring 2 : (-)
Scoring 3 :(Borderline,ulangi pemeriksaan 3 – 5 hari
kemudian)
Scoring 4 – 5 : (+) Lemah
Scoring 6 – 10 : (+) Kuat ,indikasi mutlak
(3) Metode enzyme immunoassay (EIA)
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap
IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah
endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan
efisiensi uji sebesar 84%.Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan
spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M ini
dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk
mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien
(4) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada
sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji
ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan
dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk
(2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi
antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
(5) pemeriksaan dipstik.
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan
alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8%
bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan
dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif
sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.
Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3%
yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya
serokonversi pada penderita demam tifoid Uji ini terbukti mudah dilakukan,
hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau
di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.
Diagnosis Pasti
Bila ditemukan kuman Salmonella typhi dari darah, urin, tinja, dan sumsum tulang
belakang, cairan duodenum, atau rose spots. Berkaitan dengan pathogenesis maka kuman
lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang diawal penyakit, Sedangkan pada
stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan positif memastikan demam tifoid,
namun hasil yang negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya bergantung
pada beberapa faktor, seperti:
Jumlah darah yang diambil
Perbandingan volume darah dan media empedu
Waktu pengambilan darah
Menurut Watson jumlah rata-rata kuman 7,6 per ml darah, walaupun penderita dalam
keadaan bakterimia, sehingga untuk biakan diperlukan 5 – 10 ml darah. Untuk menetralisir
efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat pertumbuhan
kuman, maka darah harus diencerkan 5 - 10 kali, waktu pengambilan darah yang paling
baik ialah saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik. Karena setelah
pemberian antibiotik kuman sudah sukar ditemukan dalam darah.
7. DIAGNOSIS BANDING
Bila terdapat demam lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang dapat
menerangkan demam itu belum jelas, perlulah dipertimbangkan pula penyakit selain tifus
abdominalis, yaitu penyakit sebagai berikut:
Paratifoid A,B,C
Influenza
Malaria
Tuberkulosis
Dengue
Salmoneilosis
Pneumonia lobaris
8. KOMPLIKASI
1. Relaps, febris timbul kembali setelah ± 10 hari afebris atau setelah 3 minggu
diberikan terapi kloramfenikol. Relaps kronik jarang terjadi tetapi dapat ditemukan
setelah beberapa bulan, terutama dengan penderita yang mendapat terapi tidak
adekuat (Manson-Bahr), limfa yang tetap teraba adalah gejala penting dari
impending relaps. Insidensi 10% - 20%.
Patogenesa :
Penderita diserang oleh banyak strain tetapi hanya satu strain yang bermanifestasi,
sedang strain yang lainnya bersembunyi, waktu relaps disebabkan oleh kuman yang
tersembunyi. Chloramfenikol menghambat atau memperlambat pembentukkan
antibodi, sehingga memudahkan relaps tapi justru relaps pada titer antibodi yang
tinggi hal ini dibuktikan dengan titer widal, yaitu penularan bukan oleh karena
kekebalan. Salmonella typhi istirahat dalam sel dan baru aktif pada saat sel tubuh
tersebut mati.
2. Perdarahan usus, biasanya timbul pada hari ke 14 - ke 21 dari perjalanan penyakit.
Dapat berupa perdarahan yang minimal sampai perdarahan tersembunyi yang masif.
Yang ditandai dengan :
a. Penurunan suhu mendadak.
b. Tanda-tanda shock.
Tensi turun mendadak sampai dibawah normal
Nadi cepat dan kecil
Sianosis.
Tachypnoe.
Kulit dingin dan lembab.
Perdarahan per ani yang tidak selalu tampak.
3. Perforasi usus, biasanya muncul pada akhir minggu ke III, umumnya terjadi di daerah
sekitar 60cm dari bagian akhir ileum. Dengan gejala yang kita dapatkan adalah:
KU buruk.
Reaksi tubuh dan mental menjadi lambat.
Tiba-tiba menjadi gelisah dan mengeluh nyeri perut.
Muntah-muntah.
Suhu tiba-tiba turun.
Pernafasan cepat dan hanya menggunakan otot-otot intercostal.
Dinding perut tegang, defence musculare, terutama di perut sebelah kanan (pada
lokasi ileum).
Pekak hati menghilang.
Perkusi menjadi tympani.
Bising usus menurun sampai hilang.
Foto RO BNO : tampak udara bebas dalam rongga perut terutama dibawah
diafragma. Preperitoneal fat hilang karena terdapat oedem dan pengumpulan
exudat.
4. Miokarditis, keluhan klinis terjadi pada minggu ke II sampai minggu ke III, berupa :
Takikardia.
Nadi kecil dan lemah.
Bunyi jantung redup.
Gallop rhythm.
Tekanan darah turun atau peningkatan tekanan vena tanpa ada gejala
dekompresi lain.
5. Cholecystitis
6. Thypoid toxic, secara klinis terjadi perubahan mental yang terdiri dari disorientasi,
kebingungan, delirium > 5 hari, yang dapat diikuti dengan/tanpa munculnya gejala
neurologis : afasia, ataxia, perubahan refleks, konvulsi dan lain-lainnya. Thypoid
toxic dapat dibagi menjadi :
a. Meningocerebral
Demam > 6 hari dan menjadi delirium, setengah sadar atau tidak sadar.
Selalu ada kaku kuduk.
Tanda kernig dapat positif atau negatif.
Refleks tendo menjadi meninggi terutama APR.
Liquor cerebro spinal normal.
Prognosa: dapat sembuh sempurna
b. Encephalitis diffus
Demam tinggi diikuti penurunan kesadaran.
Refleks tendo dapat positif atau menurun, refleks dinding perut negatif.
Rangsang meningen negatif.
Setelah berlangsung lebih dari 1 minggu akan sembuh sempurna.
c. Encephalitis akut
Tiba-tiba hiperpireksia.
Tidak sadar dan kejang umum 24 jam setelah onset.
Bisa timbul kejang ulang.
Prognosa : buruk
d. Meningitis akut
Liquor cerebro spinal : jernih dengan pleositosis ringan.
Electro encephalograph : gambaran encephalopati.
e. Bisa terjadi karena dikaitkan dengan sistem imunologis atau kekebalan seseorang.
f. Dapat dikaitkan pula dengan kepribadian seseorang, orang yang gampang histeris,
akan lebih gampang jatuh ke dalam toxic typhoid.
g. Pasien dalam keadaan delirium / bicara ngaco / berteriak-teriak dan mengalami
agitasi.
h. Terdapat gerakan-gerakan seperti menarik-narik seprei.
7. Hepatitis typhosa
8. Pneumotyphoid
9. Pankreatitis typhosa
10. Carrier typhosa, setelah 6 bulan diperiksa 3 x berturut-turut selang 1 bulan masih
tetap positif (pada pemeriksaan faeces yang dibiakkan).
9. PENATALAKSANAAN
1. Terapi secara umum
(1). Non medikamentosa
Perawatan :
Istirahat sampai dengan bebas demam 1 minggu tetapi
sebaiknya sampai akhir minggu ke III oleh karena bahaya perdarahan dan perforasi.
Tujuannya untuk :
Mempercepat penyembuhan.
Mencegah perforasi usus.
Karena banyak gerak akan menyebabkan gerakan peristaltik
meningkat, dengan peningkatan peristaltik maka akan terjadi peningkatan dari
aktifitas pembuluh darah, hal ini akan meningkatkan kadar toksin yang masuk ke
dalam darah, dapat menyebabkan peningatan dari suhu tubuh.
Mobilisasi berangsur-angsur dilakukan setelah pasien 3 hari
bebas demam.
Dietetik :
Harus cukup kalori, protein, cairan dan elektrolit.
Makanan mudah dicerna
Prinsip pengelolaan dietetik pada typhoid padat dini, rendah
serat/rendah selulosa.
Setelah demam reda,dpt diberikan makan yang lebih padat
Harus diberikan rendah serat karena pada typoid abdominalis
ada luka di ileum terminale bila banyak selulosa maka akan menyebabkan
peningkatan kerja usus, hal ini menyebabkan luka makin hebat.
(2). Medika mentosa:
• Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari
atau 5-7 hari setelah demam
• Ampisilin 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4x pemberian I.V
• Amoksilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4x pemberian oral
• Sefalosporin generasi III:
• Sefriakson 100 mg/kgBB/hari dibagi 1 atau 2 dosis (maks 4 gr/hari) selama 5-7 hari.
• Sefotaksim 150-200 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis
• Cefixime oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari
10. PENCEGAHAN
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Salmonella typhi didalam air mati apabila dipanasi setinggi 570 C untuk beberapa menit atau
dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 570C beberapa menit dan secara merata juga
dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu Negara/daerah
tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah
serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu
menekan angka kejadian demam tifoid.
Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang
berisi:
Kuman yang dimatikan
Kuman hidup
Komponen Vi dari Salmonella typhi
Vaksin yang berisi kuman Salmonell typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella
paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara
pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang
terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang
berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari, member daya perlindungan 6 tahun. Vaksi Ty-21a
diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian dilapangan didapat hasil efikasi
proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi
komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan
perlindungan 60-70% selama 3 tahun.
11. PROGNOSIS
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi
antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang, angka
mortalitasnya > 10%, biasannya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.typhi ≥
3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada
anak-anak rendak dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier
kronis dibandingkan dengan populasi umum.Walaupun karier urin kronis juga dapat
terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.
DAFTAR PUSTAKA
Hassan, Rusepno dkk Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, FKUI. 2002
Prof.Herry Garna,dr.,Sp.A(K),Ph.D, Heda Melinda Nataprawira,dr.Sp.A(K),M.Kes.
Pedoman diagnosis dan terapi,Edisi Ke-3, Ilmu Kesehatan Anak, Universitas
Padjadjaran. 2004
Juwono,rahmat.Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:FKUI. 2003
Pusponegoro, hardiono.,dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.Edisi I.Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2004
Robert M. Kliegman and friends, Nelson Essentials of Pediatrics, 5th edition, Elsevier
Saunders,USA. 2006
Saefullah M noer.Buku Ajar penyakit dalam.Jilid I.Edisi ketiga.Jakarta:Balai penerbit
FKUI.2002
Soedarmo,sumarmo.,dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis .Edisi kedua.Jakarta:Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2002