LAPORAN KASUS
MANAJEMEN AIRWAY PADA PASIEN DENGAN APPENDISITIS AKUT PERFORATA
Disusun Oleh:
Astrid Bonita M. G 105070106111016
Pendamping :
dr. Pita
Pembimbing :
dr. Taufik Agus S, SpAn
LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiforis, biasanya disebabkan oleh
sumbatan lumen apendiks, obstruksi limfoid, benda asing, dan striktur karena fibrosis akibat
peradangan neoplasma. Apendisitis dapat terjadi pada setiap usia, perbandingan antara pria
dan wanita mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita penyakit ini. Namun penyakit
ini paling sering dijumpai pada dewasa muda antar umur 10 - 30 tahun (Smeltzer, 2002). Satu
dari 15 orang pernah menderita appendisitis dalam hidupnya. Insiden tertinggi terdapat pada
laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki-laki lebih banyak
menderita appendisitis dari pada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun.
Appendisitis jarang terjadi pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun (Smeltzer, 2002).
Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen, yang diperlukan tindakan segera.
Dalam hal ini, kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang sering pada
appendisitis akut adalah nyeri abdomen, mual dan muntah serta diare. Dan komplikasi yang
sering muncul pada appendisitis akut adalah dehidrasi hingga shock, perforasi yang dapat
terjadi dalam 36 jam setelah munculnya gejala. Dapat juga terjadi abses, massa dan perforasi
appendicular. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan
laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi diagnosis appendisitis akut
berkisar 76-92%.
Komplikasi utama appendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi
abses, peritonitis bahkan shock dan perforasi. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%.
Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi terjadi secara umum 24 jam pertama
setelah awitan nyeri. Angka kematian yang timbul akibat terjadinya perforasi adalah 10-15%
dari kasus yang ada, sedangkan angka kematian pasien apendisitis akut adalah 0,2% - 0,8%.
yang berhubungan dengan komplikasi penyakitnya daripada akibat intervensi tindakan
(Sjamsuhidayat, 2005).
Pengobatan appendisitis dapat melalui dua cara yaitu operasi dan non operasi pada kasus
ringan, appendisitis bisa sembuh hanya dengan pengobatan tetapi untuk apendisitis yang
sudah luas infeksinya maka harus segera dilakukam operasi apendiktomi. Apendiktomi adalah
pembedahan untuk mengangkat apendiks yang meradang (Smeltzer, 2002). Pembedahan
segera dilakukan untuk mencegah rupture, terbentuknya abses atau peradangan pada selaput
rongga parut ( peritonitis).
Pengobatan untuk appendisitis akut adalah pembedahan yaitu appendiktomi. Sebelum
pembedahan, pasien diberikan antibiotik perioperatif spektrum luas untuk menekan insiden
infeksi pada luka paska operasi dan pembentukan abses intraabdominal.
Setiap tindakan pembedahan memerlukan penatalaksanaan anastesi yang tepat, termasuk
dalam tindakan apendiktomi kasus appendisitis akut dan sebelum di lakukan tindakan anastesi,
pasien harus dalam kondisi stabil.
Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu
tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi
dapat mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan dengan baik. Riwayat jalan nafas pasien
harus diketahui, bagaimanapun kelayakannya, sebelum memulai perawatan anastesi dan
manajemen saluran nafas pada semua pasien, walaupun dalam waktu yang singkat karena
operasi akan dilakukan segera. Tujuan dari mengetahui riwayat airway adalah untuk
mendeteksi faktor medis, bedah, dan anestesi yang mungkin menunjukkan adanya jalan napas
yang sulit.
Evaluasi tambahan dapat diindikasikan pada beberapa pasien untuk mencirikan
kemungkinan atau adanya antisipasi kesulitan jalan nafas. Temuan dari riwayat airway dan
pemeriksaan fisik mungkin berguna dalam menentukan manajemen airway yang sesuai dengan
pasien.
Berdasarkan latar belakang dan data-data tersebut di atas, telah jelas bahwa
tatalaksana jalan napas yang baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi. Sehingga
dalam makalah ini, kami akan membahas tentang manajemen airway pada pasien yang akan
dilakukan RA-SAB.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana penatalaksanaan manajemen jalur napas pada penderita apendisitis perforata.
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui penatalaksanaan manajemen jalur napas pada penderita apendisitis perforata.
1.4 Manfaat Penulisan
Pada penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai tatalaksana pemberian
airway pada penderita apendisitis perforata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Appendisitis
Appendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah
kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer,
2002).
Appendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran
umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh
peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.
a. Gejala Klinis
1. Tanda awal nyeri mulai di epigastrium atau region umbilicus disertai mual dan anorexia.
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5 derajat. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi.
2. Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal
di titik Mc Burney, nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler.
3. Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung, nyeri kanan bawah pada tekanan kiri
(Rovsing’s sign). nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg’s
sign).
b. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan
jumlah serum yang meningkat.
2. Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi
pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
c. Komplikasi
• Perforasi dapat terjadi dalam 36 jam setelah munculnya gejala. Observasi aktif dengan
resusitasi cairan yang adekuat dan pemberian antibiotik sebelum operasi dapat menurunkan
kemungkinan mortalitas dan morbiditas.
• Abses, massa dan perforasi appendicular dapat diterapi dengan antibiotik intravena
untuk mengontrol proses inflamasi dan infeksi.
d. Manajemen
1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala appendisitis seringkali
masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta
melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh diberikan bila dicurigai
adanya appendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan
rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan hitung jenis) diulang secara periodic. Foto
abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain.
Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan
bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
b. Antibiotik.
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotic, kecuali
pada appendisitis gangrenosa atau appendisitis perforate. Penundaan tindakan bedah
sambil memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
2. Operasi
a. Appendiktomi cito (appendicitis akut, abses, dan perforasi)
b. Appendiktomi elektif (appendisitis kronis)
c. Konservatif kemudian operasi elektif (appendisitis infiltrat)
d. Operasi Appendisitis akut disebut : A. Chaud
e. Operasi Appendisitis kronis disebut : A. Froid
3. Pascaoperasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan di
dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien
telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam
posisi Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjai gangguan. Selama itu
pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau
peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x 30
menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan
dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
2.2 Defenisi RA – SAB
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan
obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi
regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang
subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot
rangka. Untuk dapat memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok simpatis, blok
sensoris dan blok motoris maka perlu diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat
anestesi lokal pada SAB dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi yang
dicapai tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade
sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak faktor antara
lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan berat jenis obat. Berat jenis
obat lokal anesthesia dapat diubah–ubah dengan mengganti komposisinya, hiperbarik
diartikan bahwa obat lokal anestesi mempunyai berat jenis yang lebih besar dari berat jenis
cairan serebrospinal, yaitu dengan menambahkan larutan glukosa, namun apabila
ditambahkan NaCl atau aqua destilata akan menjadi hipobarik (Gwinnutt, 2011).
Indikasi:
o Bedah ekstremitas bawah
o Bedah panggul
o Tindakan sekitar rektum perineum
o Bedah obstetrik-ginekologi
o Bedah urologi
o Bedah abdomen bawah
o Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
anesthesia umum ringan
Kontra indikasi absolut:
o Pasien menolak
o Infeksi pada tempat suntikan
o Hipovolemia berat, syok
o Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
o Tekanan intrakranial meningkat
o Fasilitas resusitasi minim
o Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
.
Kontra indikasi Relatif:
o Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
o Kelainan neurologis
o Kelainan psikis
o Pembedahan dengan waktu lama
o Penyakit jantung
o Nyeri punggung
o Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal
Komplikasi :
o Hipotensi Berat
o Bradikardia
o Hipoventilasi
o Trauma pembuluh darah
o Trauma saraf
o Mual muntah
o Gangguan pendengaran
o Blok spinal tinggi atau spinal total
2.3 Anatomi Jalan Nafas (Airway)
Jalan nafas manusia terbagi menjadi 2, yaitu: hidung, yang menuju ke arah nasofaring
(pars nasalis), dan mulut, yang menuju ke arah orofaring (pars oralis). Saluran ini dipisahkan
secara anterior oleh langit-langit mulut, tetapi mereka bergabung secara posterior di dalam
faring.
Faring adalah suatu bentuk-U fibromuscular yang meluas dari dasar tengkorak ke tulang
rawan krikoid di pintu masuk ke esofagus. Faring membuka secara anterior ke dalam rongga
hidung, mulut, pangkal tenggorokan, dan nasofaring, orofaring, dan laringofaring (pars
laringea), berturut-turut. Nasofaring terpisah dari orofaring oleh satu garis khayal yang meluas
ke posterior.
Di dasar dari lidah, epiglottis secara fungsional memisahkan orofaring dari laringofaring
(atau hipofaring). Epiglotis mencegah aspirasi dengan menutup glottis selama menelan. Laring
adalah suatu tulang rangka kartilago yang disatukan oleh ligamen dan otot.
Laring
terdiri atas sembilan tulang rawan: thyroid, cricoid, epiglottic,dan arytenoids (sepasang),
corniculate, dan cuneiform.
Gambar 2.1 Anatomi Jalan Nafas
2.4 Manajemen Jalan Nafas (Airway)
Pada pasien dalam keadaan anestesia posisi terlentang dan tidak sadar, tonus otot jalan
napas atas, otot genioglossus hilang sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan
menyebabkan obstruksi jalan napas baik total maupun parsial. Keadaan ini sering terjadi dan
harus cepat diketahui serta dikoreksi dengan beberapa cara misalnya manuver triple jalan
nafas, pemasangan pharyngeal airway, pemasangan laryngeal mask airway (LMA),
pemasangan endotracheal tube (ETT). Obstruksi juga dapat disebabkan karena spasme laring
pada saat anestesia ringan dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh sekret.
Tanda-tanda obstruksi jalan nafas:
• Suara nafas tambahan (Stridor, gargling, snoring)
• Nafas cuping hidung
• Retraksi trakea
• Retraksi dinding dada
• Tidak adanya udara ekspirasi
2.5 Oral & Nasal Airways
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya, kelemahan dari otot genioglossus)
pada pasien-pasien yang di anestesi menyebabkan lidah dan epiglottis untuk jatuh ke belakang
dinding posterior dari faring.
Pasien sadar atau pasien-pasien teranestesi ringan atau anestesi regional dapat batuk
atau bahkan berkembang menjadi laringospasme selama penyisipan jalan nafas jika refleks
laringeal masih intact. Penempatan dari suatu oral airway kadang-kadang dimudahkan dengan
supresi refleks jalan nafas dan, sebagai tambahan, kadang-kadang dengan penekanan lidah
dengan suatu spatel lidah.
Panjang suatu nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak dari ceruk hidung ke meatus
telinga, dan harus kira-kira 2-4 cm lebih panjang dibanding oral airway.
Oleh karena resiko dari epistaxis, nasal airway harus tidak digunakan untuk:
1. pasien-pasien yang mendapat anticoagulan atau
2. pada anak-anak dengan adenoid yang menonjol.
3. Juga, nasal airway tidak boleh digunakan pada setiap pasien yang mempunyai fraktur
basilar tengkorak.
Setiap tube yang disisipkan melalui hidung (misalnya, nasal airway, nasogastric kateter,
nasotracheal kateter) harus dilumasi dan dimasukkan sepanjang dasar dari saluran nasal, tidak
seperti usaha orang baru untuk melakukan, melalui apeks saluran nasal untuk menghindari
trauma konka hidung. Nasal airway biasanya lebih ditoleransi dibanding oral airway pada
pasien-pasien dengan anestesi ringan.
2.6 Teknik Pembebasan Jalan Nafas Manual
2.6.1 Jaw-thrust maneuver
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong kedepan pada
sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher. Karena lidah melekat pada rahang bawah, maka
lidah ikut tertarik dan jalan napas terbuka.
Gambar 2.2 Jaw Thrust Manuver
2.6.2 Head tillt-Chin lift
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan
epiglotis terbuka, sniffing positon, posisi cium, posisi hirup.
Gambar 2.3 Head tillt-Chin lift
2.6.3 Triple manuver air way (gabungan 1,2,3)
Letekkan pasien pada posisi terlentang, kepala tengadah rahang didorong kedepan,
mulut dibuka dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing lainnya, bersiihkan
dahulu sebelum memberikan napas buatan. (Latief, 2009)
2.7 Teknik Pembebasan Jalan Nafas Dengan Alat
2.7.1. Pharyngeal Airway
Jika manuver triple kurang berhasil, maka dapat dipasang oro-pharyngeal airway (OPA)
atau naso-pharyngeal airway (NPA).
• OPA : berbentuk pipa pipih lengkung seperti huruf C berlubang di tengahnya dengan
salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien
menggigit lubang tetap paten sehingga aliran udara tetap terjamin. OPA juga dipasang bersama
pipa trakea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut dari gigitan pasien.
• NPA : berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut.
Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan
jelly.
Gambar 2.4 Pemasangan Pipa Orofaring dan Nasofaring
2.7.2 Face mask
Face mask mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke
jalan nafas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk
bernafas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea
lewat mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan
pembuatnya.
Ukuran 03 untuk
bayi baru lahir, 02-
01 untuk anak
kecil, 2-3 untuk
anak besar dan 4-5 untuk dewasa. Sebagian sungkup muka dari bahan transparan supaya
udara ekspirasi kelihatan (berembun) atau kalau ada muntahan atau bibir terjepit terlihat.
Gambar 2.5 Face Mask
2.7.3. Laryngeal Mask Airway
LMA adalah alat jalan nafas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan
ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembangkempiskan seperti balon pada pipa
trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk
menjaga supaya tetap paten. Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa
bantuan laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan di antaranya supaya dapat
dipasang langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan jika intubasi trakea diramalkan
mengalami kesulitan. LMA memang tidak dapat mengganti kedudukan intubasi trakea, tetapi
terletak di antara face mask dan intubasi trakea. Pemasangan hendaknya menunggu anestesia
cukup dalam atau menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut, faring-
laring. Setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa nafasnya tergigit maka dapat dipasang
gulungan kain kasa atau OPA.
2.6.4. Endotracheal Tube
ETT atau pipa trakea mengantar gas anestesi langsung ke dalam trake dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa
trakea dapat dimasukkan melalui mulut
(endotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube).
2.6.5. Laringoskopi dan Intubasi
Gambar 2.7 Skema Penampakan Laringoskopi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glotis sehingga ujung distalnya berada kira-kira di pertengahan trakea antara pita suara dan
bifukarsio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
• Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun : kelainan anatomi, bedah khusus, bedah
posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain
• Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya, saat resusitasi memungkinan
penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang
• Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Komplikasi intubasi :
• Selama intubasi : trauma gigi-geligi, laserasi bibir gusi laring, merangsang saraf simpatis,
intubasi bronkus, intubasi esofagus, aspirasi, spasme bronkus
• Setelah ekstubasi: spasme laring, aspirasu, gangguan fonasi, edema glotis-subglotis,
infeksi laring faring trakea.
2.7 Metode pemberian oksigen
2.7.1 Nasal canule
Indikasi pemberian nasal canule adalah Memberikan oksigen dengan konsentrasi relatif rendah
saat kebutuhan oksigen minimal. Pasien yang bernapas spontan tetapi membutuhkan alat
bantu nasal canule untuk memenuhi kebutuhan oksigen (keadaan sesak atau tidak sesak).
Nasal canule Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan o2 kontinu dengan
aliran 2 – 4L/mnt dengan konsentrasi o2 sama dengan kateter nasal.
- Keuntungan
Pemberian o2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah memasukkan
kanul dibandingkan kateter, pasien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir
pasien dan nyaman.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi o2 lebih dari 44%, suplai o2 berkurang bila klien bernafas
lewat mulut, mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.
2.7.2 Simpel facemask
Merupakan alat pemberian o2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt dengan konsentrasi o2 40
– 60%.
- Keuntungan
Konsentrasi o2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau nasal canule, system
humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat
digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
- Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi o2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan
penumpukan co2 jika aliran rendah.
2.7.3 Rebreathing mask
Suatu tehinik pemberian o2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80% dengan aliran 8 –
12l/mnt. Memiliki kantong yang terus mengembang baik, saat inspirasi maupun ekspirasi. Pada
saat inspirasi, oksigen masuk dari sungkup melalui lubang antara sungkup dan kantung
reservoir, ditambah oksigen dari kamar yang masuk dalam lubang ekspirasi pada kantong.
Udara inspirasi sebagian tercampur dengan udara ekspirasi sehingga konsentrasi CO2 lebih
tinggi daripada simple face mask. Indikasi pemberian kepada pasien dengan kadar tekanan
CO2 yang rendah.
- Keuntungan
Konsentrasi o2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan
Selaput lendir
- Kerugian
Tidak dapat memberikan o2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat menyebabkan
penumpukan co2 , kantong o2 bisa terlipat
2.7.4 Non-rebreathing mask
Merupakan tehinik pemberian o2 dengan konsentrasi o2 mencapai 99% dengan aliran 8 –
12l/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi. Pada prinsipnya,
udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi karena mempunyai 2 katup, 1 katup
terbuka pada saat inspirasi dan tertutup saat pada saat ekspirasi, dan 1 katup yang fungsinya
mencegah udara kamar masuk pada saat inspirasi dan akan membuka pada saat ekspirasi.
Indikasi kepada pasien dengan kadar tekanan CO2 yang tinggi.
- Keuntungan:
Konsentrasi o2 yang diperoleh dapat mencapai100%, tidak mengeringkan selaput lendir.
- Kerugian
Kantong o2 bisa terlipat
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. G
Usia : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Ds. Bulurejo RT 8/3 Tempursari, Lumajang,
Pekerjaan : Swasta
Status Pernikahan : Menikah
Tinggi Badan : 166 cm
Berat Badan : 60 kg
No. Register : 11235xxx / 1513xxx
Tanggal MRS : 7 Mei 2015
Tanggal Anestesi : 7 Mei 2015
Lama Anestesi : 21.30 – 00.20( 2 jam 50 menit)
Diagnosa Pra Bedah : Appendisitis akut perforate + SIRS
Jenis Pembedahan : Appendectomy per Laparotomy dan Repair
Jenis Anestesi : RA SAB
3.2 Persiapan Pre Operasi
3.2.1 Anamnesis Pre Operasi (7 Mei 2015)
A : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan dan obat-obatan
M : Pasien pernah menjalani pengobatan penyakit TB (Tuberkulosis) Paru 1 tahun yang
lalu. Saat ini pasien tidak mengonsumsi obat apapun
P : Pasien dinyatakan bebas TB tanggal 5 Februari 2015. Riwayat hipertensi (-), riwayat
diabetes mellitus (-), riwayat penyakit jantung (-), riwayat penyakit asma (-).
L : Pasien makan terakhir pukul 07.00
E : Pasien datang ke UGD RSSA Malang pada tanggal 7 Mei 2015 pada pukul 16.50.
Pasien mengeluhkan sakit di perut sebelah kanan sejak 1 minggu yang lalu. Badan
panas sejak 3 hari yang lalu.Pasien muntah 2 kali pukul 06.00.
3.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre Operasi (7 Mei 2015)
B1 : Airway paten, nafas spontan, vesikular, RR 22x/mnt regular, simetris, rhonki (-),
wheezing (-), struma (-), massa di leher (-) Stiffness (-), buka mulut > 3 jari, TMD 6
cm, Mallampati Score I, pernafasan cuping hidung (-), gigi geligi (dbn), gigi palsu
(-), oklusi (dbn), gerak leher bebas, nyeri telan (-), trakhea di tengah, saturasi
oksigen 98%room air.
B2 : Akral hangat, kering, merah, CRT < 2 detik, Tax: 37,2oC, N: 96 x/mnt regular kuat
angkat, TD: 140/90 mmHg, S1S2tunggal reguler, murmur (-) , gallop (-).
B3 : Compos mentis, GCS 456, PBI 3mm/3mm, reflek cahaya +/+
B4 : BAK Spontan, terpasang kateter dengan produksi urine 350cc
B5 : Flat, soefl, BU (+) normal, nyeri Mc Burney (+), meteorismus (-)
RT : nyeri arah jam 10-11
B6 : Edema (-), anemis (-), sianosis (-), ikterik (-)
3.3 Pemeriksaan Penunjang
3.3.1 Pemeriksaan Lab
Darah Lengkap
Hb : 15,10 gr/dl (N : 13,4 - 17,7)
Leukosit : 15,53103/µl (N : 4,3- 10,3)
Trombosit : 323103/µl (N : 142 -424)
Hematokrit : 44,70 % (N : 40,0 - 47,0)
Faal Hemostasis
PPT : 10,90 detik (N: 9,4 – 11,3)
INR : 1,05 (N: 0,8 – 1,30)
APTT : 31,60 detik (N: 24,6 – 30,6)
Kimia Klinik
Ureum : 15,90 mg/dL (N: 16,6 – 48,5)
Kreatinin : 0,84 mg/dL (N: < 1,2)
Serum Elektrolit
Natrium : 142 mmol/L (N : 136 – 145)
Kalium : 4,20 mmol/L (N : 3,5 – 5,0)
Chlorida : 107 mmol/L (N : 98 – 106)
3.4 Laporan Anestesi Pre-Operatif
Assessment : ASA 2 dengan SIRS, riwayat TB
Diagnosa prabedah : Appendisitis akut perforata
Keadaan prabedah (7 Mei 2015, pukul 21.00 WIB) :
o BB: 60 kg, TB: 166 cm
o Tax: 37,2oC, N: 96 x/mnt, TD: 140/90 mmHg, RR: 22x/mnt
o Terakhir makan tanggal 7 Mei 2015 pukul 07.00 WIB
Jenis tindakan : Appendectomy per Laparotomi
3.5 Persiapan Pre Operatif
3.5.1 Di UGD
Surat persetujuan operasi dan surat persetujuan tindakan anestesi
Puasa: (+) sejak pukul 07.00 WIB – 21.00 WIB (± 14 jam)
IVFD RL500 cc
Premedikasi (7 Mei 2015, diberikan 1 jam preoperatif) :
1. Inj.Metoclopramide 10 mg IV
2. Inj. Ranitidine 50 mg IV
3. Inj.Ciprofloxacine 400 mg IV
Sedia PRC 2 Labu
3.5.2 Di Kamar Operasi
Scope → stetoskop, laringoskop
Tubes → ETT (cuffed) kink size 7,5
Airway → orotracheal airway
Tape → plester untuk fiksasi
Introducer → untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector → penyambung antara pipa dan ventilator
Suction → memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
Peralatan monitor :
tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut, dan EKG.
Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi :
sulfas atropin, lidokain, adrenalin, efedrin.
3.6 Durante Operatif
3.6.1 Laporan Anestesi Durante Operatif
Jenis anestesi : RA-SAB
Teknik anestesi : pasien duduk desinfeksi identifikasi L3 – L4 insersi
spinocain 27 G LCS (+), jernih (+), barbotage (+), darah (-) insersi regimen
anastesi spinal
Lama anestesi : 21.30-00.20 (2 jam 50 menit)
Lama operasi : 22.00-00.15 (2 jam 15 menit)
Posisi : Supine
Infus : 1 line di tangan kiri 18G
Regimen anastesi : Bupivacain heavy 0,5% 20 mg + MO 0,1 mg + Catapres 30
mcg + Fentanyl 25 mcg
3.6.2 Tindakan Anestesi Umum Dengan RA-SAB
Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite
pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya
kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal
anestesi.
Posisi pasien :
a) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan
paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi
pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan
diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi
ini digunakan terutama bila diinginkan saddle block.
c) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit
ditutupi dengan “doek” bolong steril.
Cara penusukan :
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin
kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala
(PDPH=post duran puncture headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan
stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di
ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi
dibatalkan.Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar
adalah likuor yang jernih.Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1
menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan
tempat tusukan.Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik
obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
3.6.3 Pemberian Cairan
Jam ke I : 220 cc (M+O)
Jam ke II : 220 cc (M+O)440 cc
Jam ke III : 220 cc (M+O)660 cc
Cairan masuk :
Pre operatif : NS 500 cc
Durante operatif : RL 500 cc
NS 500 cc
Cairan keluar :
Pre operatif : urin 500 cc//kgBB/ 6 jam
Puasa 15 jam
Durante operatif : urin ± 100 cc
perdarahan ± 100 cc
EBV = 70 x 60 kg = 4200 cc
ABL = 15,10–10 x 4200 = 1419 cc
15,10
M = (4x10)+(2x10)+(1x40) = 100 cc/jam
O = 2 x 60 = 120 cc
3.7 Post Operatif
3.7.1 Laporan Anestesi Post Operatif di Ruang Pulih Sadar
Pasien masuk RR jam 00.30
Keluhan pasien : mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (+) VAS 3
Pemeriksaan fisik :
B1 : airway paten, napas spontan, RR 12x/menit, vesikular, regular, simetris,
retraksi (-), rhonki (-), wheezing (-), pernafasan cuping hidung (-), terpasang
nasal canule 4 lpm dengan saturasi O2 100%.
B2 : akral hangat, kering, merah, N: 88x/menit, TD: 116/61 mmHg, S1S2 single
regular murmur (-) gallop (-), CRT< 2 detik
B3 : compos mentis, GCS 456, PBI 3mm/3mm, reflek cahaya +/+
B4 : produksi urine (+), terpasang kateter ukuran 16 Fr, urin ± 600 cc (PU = 0,8
cc/kgBB/jam)
B5 : flat, soefl, BU (+) normal, mual (-), muntah (-), meteorismus (-).
B6 : mobilitas terbatas, anemis (-), sianosis (-), ikterik (-)
Bromage score : 3
Pasien keluar RR jam 02.30
3.7.2 Terapi Pasca Bedah
IVFD NS/Aminofluid = 2 : 1
Antibiotika : sesuai TS Bedah Digestif
Obat-obatan lain : - Inj. Ketorolac 3 x 30 mg IV
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg IV
Minum / makan : puasa sementara
3.7.3 Monitoring
Awasi tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, pernafasan, dan suhu
Muntah, nyeri, inisiasi makan/minum ditangani sesuai instruksi pasca anestesi
Ketinggian blok
Cek DL post operasi
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Preoperatif
4.1.1 Penilaian Preoperatif
4.1.1.1 History Taking
Berdasarkan history taking dengan metode AMPLE pada kunjungan preoperative
tanggal 07 Mei 2015, didapatkan bahwa tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan
maupun alergi makanan. Pasien tidak sedang menjalani pengobatan apapun. Tidak
didapatkan riwayat hipertensi, dabetes mellitus. Pasien mengeluhkan sakit di perut
sebelah kanan sejak 1 minggu yang lalu, badan panas sejak 3 hari yang lalu dan pasien
muntah 2 kali pukul 06.00 pagi.
.
4.1.1.2 Pemeriksaan Fisik
B1 – Breathing
Pada breathing, tidak ada masalah pada pasien. Laju pernapasan 19x/ menit.
B2 – Blood
Pada blood, ditemukan laju denyut nadi sebanyak 80x/menit.
B3 – Brain
Dalam batas normal.
B4 – Bladder
Pasien dipasang kateter dengan produksi urin 350cc.
B5 – Bowel
Pada bowel, ditemukan Flat, soefl, BU (+) Normal, Nyeri Mc Burney (+)
B6 – Bone/Body
Dalam batas normal.
4.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Luas cakupan pemeriksaan preanestesi telah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
pasien dan prosedur bedah yang direncanakan.
Hasil pemeriksaan dalam rentang beberapa jam sebelum operasi untuk Darah Lengkap,
Faal Homeostatis, ureum, creatinin dan serum elektrolit. Dapat disimpulkan hasil pemeriksaan
didapatkan Leukosit meningkat.
4.1.1.4 Kesimpulan Penilaian Preoperatif
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien tidak
menderita penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari, sehingga diklasifikasikan
dengan ASA-2 SIRS dengan apendisitis akut perforata.
4.1.2 Masukan Oral
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah menjalani puasa selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting
Guideline Pre-operatif - American Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2
jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam
preoperasi, dimana pasien telah berpuasa dan tidak mengkonsumsi makanan sejak jam 7.00.
4.1.3 Terapi Cairan
Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari pasien ini (berat badan 65 kg):
Jam ke I : 220 cc (M+O)
Jam ke II : 220 cc (M+O) 440 cc
Jam ke III : 220 cc (M+O) 660 cc
4.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi dan rumatan anestesi.
Mengurangi mual muntah pasca operasi
Mengurangi resiko aspirasi isi lambung
Pada pasien ini diberikan 1 jam sebelum operasi, dengan obat premedikasi berupa inj.
Metoclopramide dan inj. Ranitidine 50 mg. Metoclopramide dan Ranitidin diberikan untuk
profilaksis dari PONV (post operatif nausea vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti
emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan metoclopramide dikarenakan obat ini
mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus
sfingter esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume
cairan lambung sehingga efek-efek ini akan meminimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.
Metoclopramide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan
dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu
metoclopramide juga berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor triggerzone
pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.
Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga
dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia
aspirasi.
BAB V
PENUTUP
Pasien adalah laki-laki usia 39 tahun dengan apendisitis akut perforata, yang dilakukan operasi
apendiktomi pada tanggal 07 Mei 2015. Pasien datang dengan keluhan sakit perut sebelah
kanan, badan panas dan muntah. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi regional
dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi
regional. Evaluasi pre operasi pada pasien tidak menunjukan adanya kelainan yang menjadi
kontraindikasi dilakukannya anestesi regional. Dari pemeriksaan fisik ditemukan laju
pernapasan pasien 19 kali/menit sehinga selama operasi berlangsung pasien hanya diberikan
nasal canule 4 lpm untuk mensuport kebutuhan oksigen pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Gwinnutt, Carl. L. 2011. Catatan Kuliah Anestesi Klinis ed.3; alih bahas: Susanto, Diana; editor
Bahasa Indonesia; Wisurya, K.,Surya, N., Hippy, Indah. Jakarta: EGC
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI:3-8.
R. Sjamsuhidajat. Jong, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah . Edisi 2. Jakarta : EGC.
Smeltzer, S. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8.
Jakarta : EGC.