Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan
Tanggal Posting 2012-05-08 06:02:17
Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan
generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri. Menjadikan
pendidikan yang steril dari kekayaan budayanya sendiri berpotensi menghasilkan
enclave dalam masyarakat. Oleh karenanya kebudayaan yang tidak menyatu
dengan pendidikan akan cenderung asing bagi kehidupan dan mulai ditinggalkan
oleh masyarakatnya sendiri.
Demikian disampaikan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X saat
menjadi pembicara kunci dalam konggres Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan bertema "Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan Dalam Menghadapi Globalisasi". Diungkapkan
bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan dua proses satu nafas, memiliki
keterkaitan yang berbeda kadarnya dengan kebudayaan. Pendidikan
memerdekakan nurani, pengajaran memerdekakan pikiran. Meski begitu
pengajaran dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan secara umum,
karena ilmu yang diajarkan dan dipelajari merupakan alat pendidikan. "Dengan
demikian perlu ditunjukkan keterpaduan hubungan antara pengajaran,
pendidikan dan kebudayaan," ungkapnya saat mengurai makalah "Menggagas
Renaisans Pendidikan Berbasis Kebudayaan," papar Sultan di ruang Balai Senat,
Senin (7/5).
Sultan menyebut rekomendasi para ahli secara umum berkesimpulan bila
modernitas telah kehabisan tenaga. Sebagai jalan keluar maka dapat diwakili
pandangan Fitjrof Capra, ajakan Kembali pada Paradigma Kebudayaan. Bagi
negeri-negeri yang termodernisasi lanjut dan sebagian telah memasuki apa yang
disebut modernisasi radikal bisa kembali ke paradigma kebudayaan dengan
'berkiblatlah ke Timur'. "Penyederhanaan ini tak lain karena di belahan Timur
anasir-anasir kebudayaan sebagian belum terbekukan dan tersisihkan dalam diri
manusia dan masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat negeri timur,
termasuk Indonesia menanggapinya?. Paling tidak tanggapan dapat dipetakan ke
dalam dua kemungkinan, yaitu tipe 'struktural dan tipe kultural'," ungkap Sultan.
Tipe struktural dapat dianalogikan dengan struktur kereta api bergerbong
panjang yang berjalan di atas rel tunggal. Jika modernitas masyarakat dunia
diletakkan pada garis kontinum, sesuai perspektif dan teori-teori modernisasi,
maka masyarakat tradisional dan semi modern di Timur adalah gerbong-gerbong
belakang yang mengekor jejak gerbong-gerbong masyarakat modern Barat yang
ada dibagian depan.
Ketika gerbong masyarakat Barat telah berkiblat ke kebudayaan Timur
(berbalik arah), masyarakat tradisional dan semi-modern Timur berada di
gerbong belakang justru tetap mengarah ke modernisasi ala Barat. "Dengan kata
lain, masyarakat Timur harus ter-Baratkan sepenuhnya dulu, untuk kemudian
berbalik ke paradigma kebudayaan Timur, jika masih tersisa waktu. Sepanjang
proses itulah hampir pasti yang terjadi adalah krisis terlembaga," tuturnya.
Sedangkan tanggapan Tipe Kultural, dalam pandangan Sultan dapat
dianalogikan dengan Pesta Oahraga Olimpiade. Bahwa dalam Olimpiade terbuka
kedudukan olahraga dan peserta adalah sama (kompetisi-koeksistensi), tetapi
masing-masing tipe olahraga memiliki ciri-ciri tertentu yang dipengaruhi oleh ciri-
ciri alamiah manusia, misalnya ukuran badan atau karakter kultural tertentu.
Jika paradigma kembali ke kebudayaan ditandai dengan kuatnya minat
masyarakat dunia pada olahraga ber-ranah esoterik-spiritual ke-Timuran, yang
notabene dikuasai oleh masyarakat Timur, secara teoritis dan ideal peluang atlet
Timur merajai Olimpiade lebih terbuka dibanding atlet Barat. "Namun bisa jadi
tanggapan empiris masyarakat Timur boleh jadi sebaliknya," ungkapnya.
Mereka yang berpostur badan rata-rata kecil-pendek lebih aktif
mengembangkan olahraga basket ketimbang mendirikan padepokan pencak
silat, maka hampir dipastikan orang Timur kesulitan mencatatkan prestasi di
arena Olimpiade. Namun sebaliknya bila mau mengembangkan padepokan
pencak silat maka kemungkinan orang Timur mencatatkan prestasi gemilang di
olimpiade sangat terbuka. "Karena dasar-dasar pencak silat ada di Timur. Oleh
karena itu, kita sekarang ini sesungguhnya tengah mengalami krisis identitas,"
imbuhnya.
Sementara itu, mantan Mendiknas A. Malik Fadjar dalam makalah
"Spiritualitas Watak Kebangsaan" menegaskan wujud dan perwujudan atau
aplikasi spiritualisasi watak kebangsaan dari sudut pandang "Pembangunan
Karakter Bangsa Melalui Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dalam
Menghadapi Globalisasi" diperlukan pendekatan yang "luwes dan luas." Luwes
dalam arti tidak mengarah kepada penyeragaman dan tidak bersifat indoktrinatif,
dan luas dalam arti mencakup berbagai aspek kehidupan dengan segala
kemajemukannya. (Humas UGM/ Agung)
Pendidikan Karakter Untuk Membangun Manusia Indonesia Yang Unggul
Oleh : Thanon Aria Dewangga, Asdep Bidang Pelaksanaan dan Pelaporan
Persidangan
Ada sebagian kecil kalangan berpandangan bahwa Pemerintah kurang serius dalam
membenahi sektor pendidikan. Sesuatu yangdebatable karena dari berbagai sudut
pandang dan dimensi, pemerintah sangat berkomitmen untuk meningkatkan taraf
pendidikan. Mulai dari 20% anggaran khusus untuk pendidikan, pembangunan
bangunan sekolah-sekolah yang rusak, peningkatan taraf hidup dan kualitas guru
dan lain-lain.
Pendidikan adalah elemen penting dalam pembangunan bangsa karena melalui
pendidikan, dasar pembangunan karakter manusia dimulai. Yang masih hangat
dalam pikiran penulis, yang terlahir di era 70-an, di sekolah dasar kita dibekali
pendidikan karakter bangsa seperti PMP dan PSPB sampai akhirnya diberikan
bekal lanjutan model Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Pendidikan karakter merupakan salah satu hal penting untuk
membangun dan mempertahankan jati diri bangsa. Sayang, pendidikan karakter di
Indonesia perlu diberi perhatian lebih khusus karena selama ini baru menyentuh
pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai. Pendidikan karakter yang
dilakukan belum sampai pada tingkatan interalisasi dan tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Pendidikan di Indonesia saat ini cenderung lebih mengedepankan penguasaan
aspek keilmuan dan kecerdasan, namun mengabaikan pendidikan karakter.
Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau
etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan. Sebagian orang mulai tidak
memperhatikan lagi bahwa pendidikan tersebut berdampak pada perilaku
seseorang. Padahal pendidikan diharapkan mampu menghadirkan generasi yang
berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik , dan harus sejak dini.
Meski manusia memiliki karakter bawaan, tidak berarti karakter itu tak dapat diubah.
Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat, suatu latihan yang
terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik dan tidak terlepas dari faktor
lingkungan sekitar. Era keterbukaan informasi akibat globalisasi mempunyai faktor-
faktor negatif antara lain mulai lunturnya nilai-nilai kebangsaan yang dianggap
sempit seperti patriotisme dan nasionalisme yangdianggap tidak cocok dengan nilai-
nilai globalisasi dan universalisasi.
Kekhawatiran terhadap pembangunan karakter bangsa yang dimulai dari pendidikan
usia dini menjadi perhatian khusus dari Presiden SBY. Dalam beberapa kesempatan
Sidang Kabinet, Presiden dan Wakil Presiden mendiskusikan hal-hal yang menjadi
perhatian masyarakat dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain
masih adanya isu dan tantangan sosial yang seharusnya dapat dipecahkan atas
hasil kontribusi sektor pendidikan. Sebagai contoh, meskipun bangsa ini telah
memiliki falsafah Pancasila dan ajaran agama, tetapi masih banyak terjadi aksi
kekerasan antar komunal atau antar umat beragama.
Presiden dalam kunjungannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
saat memberikan arahan dalam Sidang Kabinet Terbatas tanggal 31 Agustus
2012 yang membahas Program Strategis Pemerintah di bidang
Pendidikan berharap perlu ada kontribusi yang dapat disumbangkan oleh sektor
pendidikan untuk memperkuat toleransi, baik nilai sikap mental dan perilaku bagi
bangsa yang majemuk untuk lebih baik lagi. Sikap toleransi harus dibangun,
diajarkan, dan diperkuat kepada anak didik hingga tingkat wajib belajar 9 atau 12
tahun, sehingga diharapkan dapat membuahkan sesuatu yang baik. Wajib belajar 9
tahun dapat dikatakan sebagai formative years, yaitu waktu untuk membentuk
karakter, nilai, sikap, dan perilaku bagi perjalan kehidupan manusia. Jika pemerintah
dapat mengajarkan sikap toleransi dengan metodologi yang tepat, maka hal ini akan
melekat lama.
Tidak hanya dalam kesempatan di Sidang Kabinet, dalam beberapa acara antara
lain National Summit dan Peringatan Hari Ibu, Presiden SBY menekankan
pentingnya nation character building . Kutipan pernyataan Presiden SBY adalah
sebagai berikut: “Dalam era globalisasi, demokrasi, dan modernisasi dewasa ini,
watak bangsa yang unggul dan mulia adalah menjadi kewajiban kita semua untuk
membangun dan mengembangkannya. Character building penting, sama dengan
national development yang harus terus menerus dilakukan. Marilah kita berjiwa
terang, berpikir positif, dan bersikap optimistis. Dengan sikap seperti itu, seberat
apapun persoalan yang dihadapi bangsa kita, insya Allah akan selalu ada jalan, dan
kita akan bisa terus meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia”.
Poin dari pernyataan di atas adalah pendidikan karakter mempunyai fungsi strategis
bagi kemajuan bangsa, harus ada komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter
sebagai bagian dari jati diri bangsa. Komitmen yang harus kita jalankan semua,
mengacu kepada 5 nilai karakter bangsa untuk menjadi manusia unggul yang
disampaikan oleh Presiden SBY yaitu :
1. Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan berperilaku baik;
2. Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional;
3. Manusia Indonesia ke depan menjadi manusia yang inovatif dan terus mengejar
kemajuan;
4. Memperkuat semangat “Harus Bisa”, yang terus mencari solusi dalam setiap
kesulitan;
5. Manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa,Negara
dan tanah airnya.
(Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional 2011,
Jumat 20Mei 2011)
Pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer of knowledge, tetapi
juga harus mampu membangun karakter atau character building dan perilaku.
Dengan hakekat pendidikan dan dibangun metodologi yang tepat, maka diharapkan
dapat dibangun intellectual curiosity dan membangun common sense. Tidak bisa
ditunda lagi, generasi penerus bangsa harus serius untuk dibekali pendidikan
karakter agar dapat memenuhi 5 nilai manusia unggul di atas.
KOMPASIANA
Tunggu..! begitu yang ada didalam benak kita ketika mendengar kata Pembangunan
Karakter. Terlintas kata itu seperti sebuah proyek pembangunan masa depan yang
luar biasa dikarena sudah memuncaknya kehilangan karakter sebuah bangsa. Jika
pantas Bangsa ini disebut kehilangan karakter? Ini seperti kebiasaan membuang
sampah sembarang, sebuah prilaku yang sangat buruk namum tidak mustahil untuk
dirubah. Tulisan ini akan beranjak bersemangat dari ungkapan kekecewaan
presiden soekarno pada tahun 1957 dalam pidato tahuhan : “ semula kita mencita
citakan , bahwa dialam kebebasan dan kemerdekaan , kita akan dapat
mengembangkan segala daya cipta kita untuk membangung sehebat-hebatnya,
membangun satu pemerintahan nasional yang kokoh-kuat, membangun satu
angkatan perang yang kokoh kompak , membangun satu industry modern yang
sanggup memepertinggi taraf hidup rakyat kita, membangu satu pertranian yang
modern guna mempertinggi hasil bumi , membangun satu kebudayaan nasional
yang menunjukan kepribadian bangsa “ . ini menuntun kita kepada tiga pertanyaan
yang kemungkinan akan sedikit banyaknya mengarahkan bagaimana kita
seahrusnya cepat bertindak memperbaiki sistem pendidikan kita
Refelkesi anak sekolah? Benarkah mengajari ke- mandiri-isme
Sejak kita masi sekolah dahulu sering orang tua atau kebanyakan seorang ayah
akan mengatakan “ nak kamu arus rajin belajar supaya pintar, kalo mau pintar yang
harus belajar ! di sekolah kamu akan belajar”. Walau pada kenyataan semuanya
bertolak belakang dengan apa yang terjadi .Seandainya sang anak bisa berbicara
jujur secara dewasa mungkin anak tersebut akan bertanya “BUAT apa aku sekolah,
dan sekolah untuk apa, trus kalo pintar memangnya kenapa? “. saya sedang tidak
mengada ngada atau naïf tapi ini lah yang sedang terjadi, anak anak kita masih
belum terkontaminasi dengan budaya karakter bangsa (ketidakjelasan pemahaman)
dilapangan justru yang terlihat kebiasaan budaya alay atau kegalauan yang menurut
hemat penulis tidak memprogresskan sebuah karaker wajar saja disebut
memanusiakan kesalahan. Sejogya anak-anak tetap la anak anak namum anak
tentu akan menjadi dewasa yang kelak akan menggantikan dewasa tua. Maksudnya
mereka pasti akan menjadi generasi bangsa yang meneruskan estafet bangsa ini,
inilah yang seharusnya menjadi kekhwatiran kita karena ini serius seperti kutipan
bung karno diawal sampai 55 taun berlalu untuk masa sekarang masih relevan untuk
di ajukan sebagai bentuk kemunduran, peristiwa yg sebenarnya menjadi bukti
betapa kegalauan pendidikan kita sedang terjadi. Padahal berbagai cara suda
dilakukan, apa ada yang salah? Ini mirip reduplikasi masalah karena menguapnya
ide-ide tentang penerapan karakter bangsa seperti mandiri, toleran, gotongroyong
dll. Mengapa kita terlihat sulit mengatur dan membajak pikiran anak-anak yang pada
usia belajarnya mudah untuk menerapkan doktrin dan ideology Negara. Pendidikan
nasional harusnya menjadi alat Negara untuk mendidik rakyatnya sesuai dengan
konsep pendidikan kita. Pendidikan kerakyatan.
Tanpa melupakan Beberapa pengalaman yang saya lalu sebagai pengajar sekitar
2009 adalah bagaimana nasehat saya kepada seorang anak didik menjadi tidak
berguna kemudian mentah karena nasehat ( mimpi) tidak sesuai dengan yang
dilihatnya (fakta) padahal saya sudah beursaha semaksimal mungkin untuk lebih
mengaktifan semangat anak didik tersebut, ini lah yang membuatnya menjadi
berbeda, bagaimana kita akan berbicara menghargai orang lain sedangkan tindakan
menghina presiden dan pemerintahan menjadi tontonan setiap hari. Bagaimana
anak anak laki tersebut dapat menghargai seorang gadis sedangkan hampir dengan
mudahnya dia mendapatkan akses untuk meliat film film kartun yang ditambah ;lagi
dengan berita pers yang kualitasnya bisa disebut murahan. Inilah dilema Negara
dunia ketiga yang punya romantisme kegagalan dan punya budaya lupa, kita tidak
boleh biarkan ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa realita pendidikan kita ini bagaimanapun bentuknya
ada ruang Alpa yang terlihat dalam hal ini yang memberikan pengaruh buruk yang
signifikan dan intoleran kebaikan. Padahal dengan usia yang sangat muda akan
sangat mudah mengatakan mereka harus berkarakter namun bukan berarti
memaksa tanpa aturan,Jangan paksa mereka belajar tapi paksa mereka mencintai
negaranya kemudian katakan “ kalo engkau cinta Negara , belajarmu karena itu
bukti cintamu pada negara”. Ini akan menyalurkan nasionalisme mereka. mengindari
tawuran dan penyakit anak nakal.
Mitos karakter pendidika ?? menguapnya..(kewibawaan peadogois)!
Dahulu ada pameo yang mengatakan ijajah sudah cukup untuk dapat mencari
kerja ,ngapain susa-susah belajar, lebih baik beli aja khan lebih mudah,
karakter gampang itu tinggal dibiasakan..! nah lo..gimana menurut anda. Saya
yakin beberapa dari anda pasti setuju tapi sebagian juga tidak setuju. Baik kita
luruskan pemaknaan yang salah soal diatas, yang pertama ijajah memang menjadi
syarat untuk bekerja kususnya profesi mengajar minimal D4 ini sangat jelas tertera
di UU guru dan dosen no 14 th 2005 serta pp no 9 th 2005 tentang standard
nasional pendidikan,yang kedua belajar bukan soal susah atau payah belajar tapi
pessoal kemauan titik.Ketiga , membeli ijaha saya piker gampang , sepanjang
perjalanan saya mengikuti perkuliahan ada kampus tepatnya kampus ruko tetapi
memiliki kompetensi untuk mengeluarkan ijajah ini teman-teman menyebutnya
kampus “terdaftar/terakreditasi”. Kasus ijajah palsu yang baru-baru saja terjadi di
unimed adalah contoh nyata betapa ijajah mudah dibeli di
lapangan. Keempat, tetapi ketika profesi ini arus dikaitkan dengan karakter , wah
terdengar runyam karena pada faktanya pembangunan karakter kita masih
mengadat ngadat di tengah jalan, sulit menemukan karakter yang benar-benar
karakter membangun. Inilah saya takutkan barangkali ketika suatu saat seoraqng
siswa bertanya “ kenapa bapak ngomong arus rajin sedangkan bapak/ibu saja malas
masuk atau bapak aja ngajarnya asal-asalan tidak komitmen. Ingatlah pepatah
kontraproduktif, “setiap Tahun murid lebih pintar daripada gurusya”. Jadi untuk
meningkatan kualitas pendidikan tentunya membutuh banyak sekali pengembangan
pemngembangan didalam komponen-kompnen pendidikan . salah satunya adalah
ketersediannya guru professional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak
sekali guru-guru kita yang tidak bersikap professional , banyak yang mengajar asal-
asalan. Para guru tersebut (sebagian) cenderung mengganggap anak didik seperti
air gelas kosong yang siap di isi air atau kain puti yang siap diberi warna seingga
suasana kelas mirip seperti ceramah dan berceramah. Masih untung kalo oknum
guru tersebut menggunakan 100 teknik gaya ceramah jika tidak yang dilakukannya
pasti gaya monoton, memuakan dan membosankan hingga pada akhirnya anak
didik menguap-nguap atau menetes air liurnya ke meja. Padaal gaya-gaya tersebut
mirip seperti dagelan politik yang tengah beredar di media yang intinya sangat amat
mematikan daya kreatifitas anak didik, percaya atau tidak saudara boleh
memperhatikan anak didik yang sedang berproses belajar mengajar monoton (asal-
asalan) maka anak anak tersebut akan enggan atau bahkan tidak peduli. Rata –rata
mereka akan sulit untuk mengutarakan pendapatnya maupun bertanya , wajar saja
kalau mereka akan bertindak duduk, diam, dengar PERCAKAPAN MONOLOG
GURU MEMBOSANKAN.
Hasil monolog guru Inilah yang disebutkan oleh susilo dengan sebutan “generasi
bisu”. Siswa akan bahagia merona jika kemudian gurunya tidak masuk . Dampaknya
pendidikan kita tetap saja terpuruk. Jika ini di biarkan terus terjadi maka sebuah
tamparan keras tengah melanda seisi dunia pendidikan kita ditenga carut marutnya
maslaah pendidikan di Indonesia dan menambah daftar runyam penyakit
pendidikan. Dan sulit rasanya berkompetisi dengan bangsa lain kalo sistemnya
masih seperti ini. Yang mestinya harus kita sadari bersama pembangunan karakter
akan terjadi dimulai dari bagaimana pengajarnya mampu menstranfer ilmunya dan
kebijaksananya kepada siswanya. Pengajar harus memahami kompetensi yang
harus dicapai peserta didik kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pembelajaran.
Memang waktu yang cukup lama akan sangat diperlukan karena perlu pengulangan
Penalaran dan kecermatan peserta didik yang tinggi. Kompetensi ini akan diraih jika
karakter sebuah mahasiswa pendidikan benar benar menjadi karakter
pendidik. Seinggga nantinya ketika mahasiswa tersebut terjun ke dunia pendidikan
maka dengan mudahnya karakter itu disalurkan kepada anak didiknya yang tentunya
inti dari pendidikan adalah membangun kebudayaan dan perikehidupan serta ikut
mencerdaskan bangsa sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri, kuat dan
terbaik karena berawal dari karakter asli bangsa. Kemudia Gaya mengajar juga
mencerminkan sifat dan keluhuran gurus tersebut bagaimana dia mengaplikasi
semua karakter dalam berbagai interaksi proses belajar mengajar , melakukan
varian pengajaran dan kreatif dalam menuntaskan mata pelajaran serta komitmen
teguh terhadap sumpahnya sebagai pengajar. Guru yang baik adalah guru yang
professional, guru yang mampu memotivasi anak didiknya dan menjadi teman dan
orang tua yang baik, yang dapat menyusun scenario pengajaran yang sesuai
dengan individu individu cerdas didalam kelas sebagai tanggungjawabnya
(khususnya guru wali) , guru yang memilik stlye sstratak (strategi dan takttik ) dalam
menghadapi anak didiknya sesuai tingkat kesulitannya masing masing anak.
Menciptakan ujian yang adil dan berimbang sesuai kapasitas anak. Inilah lah yang
membedakan guru dengan profesi lain, . dengan begini kemungkinan menghancur
budaya menghina guru seperti guru dikator, guru killer, guru goblokk..akan sirna
dengan meningkatnya profesionalitasnya.guru memiliki dimensi professional yang
lain TIDAK Meminjam istilah dari agama islam, budaya pembodohan berjamaah
akan musnah ditelan closet.
Pengajaran?
Mengutip perkataan ki hajar dewantara “ pengajaran nasional itula pengajaran yang
selaras dengan kehidupan bangsa (maatschappelijk) dan keidupan bsangsa yang
artinya mewujudkan suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang “nasional”. dan
kata nasional disini yang dimaksud adala “untuk seluruh rakyat Indonesia “ dan “
kembali kepada milik sendiri”.
Dalam konteks nasional ki hajar dewantara bermaksud menekan kan pentingnya
kemandirian (zelfstandigheid)dan hak mengatur diri-sendiri (zelf-beschikkingsrecctht)
Terjebak dalam paragdiman pendidikan yang menurut Bahrudin ” pada umumnya
cara pandang terhadap dunia pendidikan bias makna. Pendidikan telah
terlembagakan sedemikian rupa menjadi sekolahan”. Disatu sisi untuk
mencerdaskan disatu sisi muncul sebagai kekuatan industry. Sekolah terjebak mirip
seperti perusaan bidang jasa. Para keluarga dan siswanya yang datang kesekolah
tidak lebih hanyala sebagai konsemen belaka. Aroma kapitalistik terjadi antara
keduanya , ada penjual dan pembeli. parameter keberhasilan diliat dari seberapa
banyak siswa yang mendaftarkan sekolah tersebut bukan seberapa siswa yang
tercerahkan khususnya mereka yang ber ekonmi kuat, dan prestise sekolah sangat
mempengaruhi kehidupan, biar dungu asal trendi. Lingkaran ini terlallu memuja
sistem pemasaran. Ini adadalah sistem yang keliru menurut ideology kita
bahkan dengan jelas para pendiri bangsa menempatkan pendidikan sebagai
landasan dan pengawal tegaknya masyarakat bukan menjadi peluang ekonomi
kapital. Hal itu seperti tercamtum di dalam pasal 31 yang tertulis :
1. setiap warga Negara berhak memperoleh pengajaran
2. pemerintah mengusahakan dan menyelenggrakan satu sistem pengajaran
nasional yang di atur undang-undang. Undang ini secara tersirat menolak kapitalistik
pendidikan.
Ayo gerakan bersama.
Walau bagaimana pun pelaksanaan ini memerlukan kerjasama yang ekstra jika kita
ingin anak-anak kita menjadi berkarakter kuat sebagai bangsa Indonesia, dimana
setiap pasal demi pasal dan ayat demi ayat dasar Negara kita ini menjadi baju dan
otak dari pikiran anak-anak Indonesia, namum itu pun butuh kebersamaan kita
karena mengingat banyak hal yang kita butuhkan selain ketersediaan tenaga
pendidik, sarana dan prasarana pendidikan yang sangat dibutuhkan, dan juga
dibutuhkan biaya operasional pendidikan, manajemen sekolah, kepedulian
stakeholders sekolah. Dan walau perdebatan mengenai prubahan dan pergantian
kurikulum , materi pelajaran , distribusi materi informasi, filsterisasi pembelajran.
Inovasi pembelajaran , sertifikasi guru ,PLPG, kompetensi siswa, mahal nya biaya
sekolah, buku mahal, biaya seragam, rendahnya pengargaan guru, dan lainnya
sebagainya akan terus terjadi bukan berarti itu akan menjadi masalah kedepannya
dikarena itu lah bukti bahwa para pemikir dan masyarakat peduli pendidikan
menyusun dan menyiapkan landasan pendidikan kita kedepannya. Jika kita
mempertanyaankannya maka kita peduli dengan sayarat Semuanya menjadi elemen
pendidikan (siswa, guru, pemerintah, swasta) bersatu untuk bekerja sama semua
solusi pasti akan menjadi jurus sakti untuk mengkarakterkan anak anak bangsanya
serta mengejar tercapainya kurikulum nasional dan visi Indonesia 2030 sekaligus
mengejar ketertinggalan dari Malaysia, singapura, dan lain lain lain pasti akan diraih.
Amin .
POSKOTA NEWS.COM
JAKARTA (Pos Kota) – Di tengah terjangan arus globalisasi atau modernisasi yang
melanda dari sekala penjuru generasi muda rentan terpengaruh oleh budaya asing
yang tidak sesuai dengan norma-norma ketimuran.
Selain itu, dalam batas tertentu harus globalisasi dan modernisasi dapat mengikis
rasa kebangsaan ke generasi muda. Bila hal ini tidak disikapi dengan bijak, generasi
muda akan kehilangan karakter kebangsaannya.
“Pembentukan karakter bangsa sangat penting agar masyarakat dan generasi muda
tidak gampang terombang-ambing oleh masuknya budaya asing, ” kata
Wamendikbud, Wiendu Nuryanti, Rabu (28\11).
Karena itu diperlukan upaya untuk kembali membangkitkan dan memperkuat tradisi
dan budaya sendiri dalam menghadapi masuknya kebudayaan dan nilai-nilai asing
yang tidak sesuai dengan norma ke-Indonesiaan.
Wiendu menjelaskan Indonesia yang memiliki beragam kekayaan tradisi di setiap
daerah jika di kelola secara baik dan benar dapat menjadi kekuatan dan melahirkan
karakter bangsa Indonesia yang kuat.
Dalam pengertian ini lanjut Wiendu Indonesia yang berkarakter adalah bagaimana
menjadikan budaya dan tradisi khas yang kita miliki bisa memperkuat kepribadian
secara personal dan bangsa keseluruhan.
“Salah satu cara menumbuhkan karakter tersebut adalah menanamkan kembali
nilai-nilai dan tradisi budaya negeri, sehingga membentuk karakter ke-Indonesiaan,”
katanya.
Karena itu, kata dia Kemendikbud melakukan upaya Penguatan Karakter Bangsa
terutama di kalangan generasi muda dengan menyelenggarakan program yang
terkait dengan Pembangunan Karakter Bangsa, salah satunya dengan
menyelenggarakan program yang terkait dengan Pembangunan karakter Bangsa,
salah satunya dengan menyelenggarakan sosialisasi Indonesia Berkarakter di
sejumlah daerah di tanah air.
Wiendu menambahkan, Salah satu bentuk sosialisasi adalah dengan diskusi dan
pemutaran film-film yang terkait dengan pembentukan karakter bangsa. “Diskusi dan
pemutaran film akan diselenggarakan disejumlah kota diantaranya: Palembang,
Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Makassar,
Sulawesi Selatan, Denpasar, Bali, dan Jayapura, Papua,” jelas Wiendu.
Adapun film-film yang diputar adalah film dokumenter mengenai warisan dunia
(world heritage) yang dimiliki Indonesia, antara lain Noken, Subak, Batik, Wayang,
Prambanan, Keris, dan Sangiran.
Wiendu mengharapkan melalui sosialisasi seperti ini generasi muda akan dapat
menarik pelajaran dan contoh dari kearifan budaya Indonesia yang tercermin dalam
tradisi dan budaya lokal, mulai hidup rukun, tolong-menolong, saling menghargai,
dan etika bermasyarakat serta bagaimana beragama di tengah multikultarisme
masyarakat Indonesia.
“Melalui tema besar “Indonesia Berkarakter” di harapkan akan tumbuh dan
berkembang nilai-nilai karakter kebangsaan di kalangan generasi muda yang kuat
dan selanjutnya dapat membawa Indonesia lebih maju dan lebih baik. Indonesia,
Aku Bangga ,” kata Wiendu.
Pengembangan Karakter dan Kepribadian Mahasiswa Penting Bagi Dunia
Pendidikan
Universitas Jenderal Sudirman
Krisis multidimensional merupakan masalah besar yang sedang dihadapi bangsa
Indonesia. Karakter bangsa yang berada di titik nadir merupakan tantangan bagi
dunia pendidikan. Tidak terkecuali bagi UNSOED sebagai salah satu cikal bakal
lahirnya pejuang muda yang melahirkan generasi yang intelektual ikut bertanggung
jawab dalam perbaikan bangsa. Memiliki kompetensi akademik yang unggul secara
intelektual dan memilki ketrampilan sesuai dengan Visi, Misi dan Tujuan Fakultas
Ekonomi UNSOED menjadi landasan dilaksanakannya kegiatan PKKM
(Pengembangan Karakter dan Kepribadian Mahasiswa) yang diikuti oleh mahasiswa
baru tahun akademik 2012/2013. Kegiatan PKKM ini diselenggarakan selama dua
hari, dimulai pada 4 - 5 September 2012 bertempat di gedung A, gedung C, gedung
D dan gedung G Fakultas Ekonomi UNSOED. Jumlah peserta PKKM sekitar 929
mahasiswa baru dengan Trainer dari dosen Fakultas Ekonomi UNSOED dan
mahasiswa lama sebagai Co-trainer dengan satgas yang terdiri dari 2 mahasiswa
lama (Rabu,5/9/12).
Pengembangan Karakter dan Kepribadian Mahasiswa perlu mensinergikan dengan
model pendidikan, dimana mengingat akan sebuah karakter perlu ditumbuhkan
sejak awal karena penumbuhan aspek afektif memerlukan jangka waktu yang
lama. Secara khusus pengembangan pendidikan karakter dan kepribadian
mahasiswa dikembangkan dengan menggunakan model pengintegrasian nilai
secara tidak langsung (nuturrant effect) sehingga mahasiswa di samping menguasai
kompetensi yang berkaitan dengan mata kuliahnya juga memiliki karakter yang
diperlukan. Model yang dikembangkan mengintegrasikan karakter rasa ingin tahu
tinggi (eksploratif), kreatif, kritis, berani mencoba, yakin bisa melakukan (self
efficacy), bertanggung jawab terhadap tugas, kerjasama, disiplin, kerja keras,
mampu mengatur diri dan merefleksi diri untuk mencapai tujuan (self regulatory).
Selain itu, model perkuliahan diharapkan juga menjadi model pembelajaran aktif dan
model pendidikan karakter terintegrasi dengan mata kuliah/mata pelajaran
berkarakter.
Dengan kegiatan ini diharapkan bisa mengantarkan mahasiswa baru memasuki
lingkungan baru yang menuntut kemandirian, kerjasama, kedewasaan dan integritas
berpikir, bersikap dan bertindak.
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Membangun Mahasiswa Berkarakter
“When wealth is lost, nothing is lost. When health is lost, something is lost. When
character is lost, everything is lost.”
Ungkapan di atas – yang sering Saya dengar dari Prof. Yoyo Mulyana dulu –
rasanya penad dengan realita kehidupan yang kita alami sebagai bangsa pada hari
ini. Krisis dan bencana yang berkali-kali dialami bangsa ini tak juga membuat kita
mampu mengambil pelajaran darinya untuk kemudian bangkit kembali menjadi
bangsa yang besar dan bermartabat. Bahkan tak sedikit pemuka agama, intelektual,
dan rohaniwan yang meyakini kondisi kehidupan bangsa yang makin buruk dan
terpuruk. Dan semua terjadi karena makin hilangnya jatidiri kita sebagai bangsa.
Bangsa ini mengalami krisis identitas, krisis kepemimpinan, krisis keteladanan,
hingga krisis moral. Korupsi yang makin menggurita dan melibatkan banyak petinggi
negara merupakan simptoma yang nyata dan tak terbantahkan. Juga hukum yang
tak mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, kolusi, nepotisme, dan praktik-
praktik immoral para penyelenggara negara merupakan indikasi lain yang menjadi
tontonan masyarakat setiap hari. Sementara itu, berbagai perilaku kekerasan di
kalangan masyarakat, ketidakpedulian, intoleransi, perjudian, serta berbagai
kriminalitas yang makin kerap terjadi menjadi semacam bukti yang menunjukkan
bahwa bangsa ini sedang sakit. Inilah akar persoalan yang kita hadapi sebagai
bangsa yang semuanya berakar pada makin tergerusnya moralitas sebagai inti dari
karakter manusia, jatidiri bangsa.
Tidak hanya menjalar di kalangan politisi dan rakyat biasa, KKN juga telah
menjangkiti komunitas yang menjadi garda moral masyarakat. Ulama yang harusnya
memberikan tuntunan bagi masyarakat kini beralih profesi menjadi entertainer yang
dituntut untuk menjadi tontonan dan memuaskan dahaga masyarakat akan hiburan,
tentu dengan tarif komersil yang setara dengan kelas “keartisannya”. Senada
dengan itu, tak sedikit ulama di kampung-kampung yang memperjualbelikan ilmu
dan pengaruhnya. Mulai dari menawarkan “mahar” untuk menebus wafak dan
berbagai produk kesaktian instan, hingga menerima dana hibah dan hadiah umroh
gratisan sebagai kompensasi atas dukungannya dalam Pemilu dan Pemilukada.
Simptoma yang serupa tapi tak sama juga menggejala di masyarakat kampus yang
selama ini diyakini sebagai dunia ideal. Korupsi dalam segala bentuk dan modusnya
kini nyaris akrab dengan kehidupan kampus sehari-hari. Mulai dari praktik titip-
menitip dalam penerimaan mahasiswa baru, kolusi dan nepotisme dalam
penerimaan pegawai dan dosen, korupsi dan manipulasi dalam proyek-proyek dan
kegiatan kampus, berbagai tindak plagiarism yang makin marak, hingga praktik jual-
beli nilai, skripsi, bahkan gelar kesarjanaan. Semua bukan lagi isapan jempol,
namun benar-benar nyata terjadi di kampus-kampus kita.
Dampak sistemik dari itu semua tentu mudah dihipotesiskan, atmosfir akademik
makin kering kerontang. Seminar dan kelompok-kelompok diskusi makin langka
ditemukan. Perkuliahan terlaksana hanya sebagai rutinitas tanpa makna, sekedar
menggugurkan kewajiban untuk “menghalalkan” honor atau gaji yang diterimanya
setiap bulan. Perkuliahan gagal menjadi sarana transfer ilmu pengetahuan karena
orientasi mendapatkan nilai telah menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Kampus kehilangan kebijaksanaannya akibat tergerusnya intelektualitas oleh
pragmatisme yang meraja, yang tercermin dari hilangnya martabat, kewibawaan,
dan keberadaban warga kampus dalam setiap sikap dan tindakannya. Hilangnya
sikap kritis masyarakat kampus serta maraknya kebebasan berpendapat dan
berekspresi yang jauh dari nilai-nilai intelektualitas yang beradab, merupakan gejala
yang sangat mudah ditemukan akhir-akhir ini. Dan mahasiswa pun kehilangan
keteladanan akibat kelangkaan figur akademisi yang dapat dijadikan sebagai raw
model dalam mengembangkan sikap dan kepribadiannya. Memang tak mudah untuk
memutus mata rantai kultur yang telah sangat patologis ini, kendati tak berarti bahwa
ini tak mungkin untuk dilakukan. Artikel ini sekedar menawarkan gagasan guna
meretas harapan dalam mengeradikasi patologi di atas. Semoga.
Karakter Mahasiswa Seharusnya
Tak mudah untuk mendefinisikan karakter mahasiswa (Untirta) yang ideal, apalagi
dengan segudang persoalan yang patologis tersebut di atas. Pendekatan filosofis
yang radikal lebih dari sekedar perlu untuk dilakukan mengingat bahasan tentang
karakter itu sendiri merupakan tema yang radikal, terlebih tema ini pun menjadi
kebutuhan mendasar bagi Untirta yang tengah meretas jalan untuk menemukan
jatidirinya sebagai perguruan tinggi negeri baru di provinsi yang juga baru.
Secara filosofis memahami dimensi ontologis hingga aksiologis dari mahasiswa
dalam konteks ruang dan waktu merupakan cara paling mendasar guna
menemukenali jatidiri dimaksud. Dengan pendekatan inilah karakter mahasiswa
(Untirta) satu persatu dapat didefinisikan sebagai berikut:
Pertama, mahasiswa adalah bagian dari entitas akademik di sebuah perguruan
tinggi sehingga kemudian disebut sebagai akademisi dalam arti “member of an
academy”. Perguruan tinggi adalah wadah yang harusnya memberi bentuk bagi
entitas yang bernaung didalamnya. Dengan demikian karakter pertama yang harus
dimiliki mahasiswa adalah karakter seorang pembelajar, yang haus akan ilmu
pengetahuan dan kebenaran, intelektual yang senantiasa berpikir kritis dalam
memecahkan masalah dan fenomena sosial maupun alam yang terjadi, yang tunduk
patuh pada etika akademik dan ilmu pengetahuan, yang sadar akan kebebasan
akademik dan kebebasan mimbar akademiknya secara beradab dan
bertanggungjawab, serta sadar akan tanggung jawab moralnya untuk
mendayagunakan ilmu pengetahuan bagi sebesar-besarnya kebaikan dan
kesejahteraan masyarakat.
Kedua, Untirta sebagai wadah memiliki karakteristik yang integral dengan nilai
sosio-historis masyarakat dan daerah tempatnya berada. Karenanya, karakteristik
inilah yang harusnya menjadi pembeda dengan mahasiswa perguruan tinggi lain.
Dalam hal ini, karakter dan warisan Sultan Ageng Tirtayasa harusnya menjadi
sumber nilai dalam membangun jatidiri sivitas akademikanya. Jiwa kepemimpinan
yang merakyat dan patriotis dilandasi oleh pendekatan saintifik serta religiusitas
yang tinggi, merupakan karakter dasar Sultan Ageng Tirtayasa yang harus
disemayamkan sebagai karakter sivitas akademika Untirta.
Ketiga, mahasiswa Untirta merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya kesadaran akan
eksistensi formalnya tersebut harusnya telah terinternalisasi sebagai karakter
mahasiswa Untirta, sehingga mahasiswa secara sadar menjadi bagian dari upaya
sadar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjung tinggi kepentingan
bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi/golongan, taat azas terhadap
konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku, serta bertanggung jawab
terhadap masa depan bangsa dan negaranya.
Keempat, mahasiswa Untirta merupakan anak bangsa yang menjadi bagian inheren
dari masyarakat. Mahasiswa merupakan representasi dari rakyat baik dalam konteks
kekinian maupun masa depan. Dan mahasiswa adalah duta para orang tua, yang
diutus oleh orang tuanya untuk menjalankan misi pribadi dan keluarga. Karenanya,
mahasiswa Untirta tidak boleh tercerabut dari akar sosiologisnya saat “bertahta” di
menara gading. Mahasiswa harus tetap menjadi bagian dari masyarakat, mampu
berempati terhadap segenap persoalan masyarakat, serta menjadi bagian produktif
untuk meretas jalan keluar terhadap persoalan-persoalan tersebut. Karenanya
diperlukan karakter mahasiswa yang kritis sekaligus empatif dalam menyuarakan
kehendak masyarakatnya, serta kreatif dan inovatif dalam menjawab tantangan
serta permasalahan yang dihadapi masyarakat yang notabene merupakan orang tua
yang mengutus mereka sebagai duta.
Kelima, mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat dunia yang bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa. Kesadaran akan kebhinekaan ini merupakan karakter dasar
guna membangun sikap toleran, saling menghormati, dan humanis guna dapat
bekerjasama secara sinergis dalam mewujudkan tatanan masyarakat dunia yang
adil dan sejahtera.
Dan keenam, mahasiswa merupakan insan yang tak boleh terpental jauh dari
eksistensi transedentalnya sebagai mahluk Tuhan yang membawa misi kenabian
guna dapat menjadi khalifah di muka bumi yang bertanggung jawab terhadap
kelangsungan hidup serta kesejahteraan semua mahluk yang ada di muka bumi.
Karenanya, mahasiswa Untirta haruslah pribadi-pribadi yang taat dalam
menjalankan ibadah formalnya serta mampu mewujudkan hakikat ibadah yang
dijalaninya tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Keenam kesadaran eksistensial inilah yang harusnya menjadi landasan dalam
membangun paradigma dan metoda dalam melakukan pembinaan karakter
mahasiswa, sehingga internalisasi akan dimensi aksiologis dan eksistensinya itu
dapat berlangsung secara alamiah dan manusiawi. Tentu bukan proses yang
mudah, apalagi dalam wadah organisasi perguruan tinggi yang kompleks dan
seringkali terkendala oleh kultur birokrasi yang lambat, inefisien, dan formalistik. Lalu
bagaimana dan darimana harus memulainya?
Kepemimpinan yang Kuat
Jika iron will mutlak dibutuhkan untuk mengubah nasib seseorang, maka dibutuhkan
kepemimpinan yang kuat untuk mengubah banyak orang beserta tatanan relasi yang
dibangun diantara mereka. Inilah kata kunci pertama yang Saya yakini justru
merupakan bagian dari akar persoalan bangsa ini. Krisis moralitas yang begitu akut
hampir-hampir tak menyisakan figur-figur pemimpin yang kredibel untuk
mewujudkan idealitas peran kepemimpinannya. Strong leadership dimaksud tentu
bukan dalam arti otoritarianisme maupun totalitarianism, melainkan pemimpin yang
mampu menjadi teladan dalam setiap perkataan dan perbuatannya, berani
melakukan terobosan-terobosan yang mampu mengikis habis keputusasaan, apati,
dan ketidakpastian yang dialami masyarakatnya, serta menjadi inspirasi bagi tumbuh
kembangnya inisiatif masyarakatnya untuk memberdayakan dirinya sendiri secara
mandiri.
Integralitas ikhtiar barulah menjadi kata kunci kedua yang relevan diketengahkan
mengingat bahwa pendidikan merupakan upaya sistemik yang melibatkan banyak
faktor dan aktor di dalamnya. Dalam konteks perguruan tinggi, perlu ada
keterpaduan dalam segala aktivitas yang dilaksanakan oleh setiap orang pada
setiap peran yang dijalankan di setiap unit-unit kerjanya. Perlu ada skenario
pembiasaan yang dilakukan secara terstruktur dan sistemik dalam membangun
kebiasaan yang positif, tidak hanya bagi mahasiswa namun juga bagi seluruh dosen
dan karyawan. Pembelajaran harus dimaknai tidak hanya sebagai aktivitas
perkuliahan di kelas, namun seluruh proses dan interaksi yang terjadi di dalam
maupun di luar kampus. Karenanya, interaksi di luar kelas pun merupakan bagian
inheren dari peran dan eksistensi mahasiswa yang tak boleh bertabrakan satu
dengan yang lain sehingga kesatupaduan pribadi (bukan split personality)
mahasiswa dalam berpikir dan bertindak di dalam dan di luar kelas dapat terbangun.
Dan kata kunci ketiga tentulah reward and punishment. Keseimbangan dalam
memberikan kompensasi maupun sanksi merupakan keharusan dalam membangun
harmoni sosial.Reward dalam segala ragam bentuknya merupakan stimulan yang
dibutuhkan guna memotivasi masyarakat untuk melakukan sesuatu.
Sementara punishment merupakanearly warning system guna mencegah seseorang
untuk melakukan sesuatu yang dilarang. Kepastian dan ketegasan dalam
menerapkan keduanya tentu diperlukan dalam membangun kewibawaan dan
martabat suatu sistem sosial, sehingga terbangun pula penghormatan dan
kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan dan sistem tersebut sebagai
umpan baliknya. Dan pada akhirnya kontrol dan sanksi sosial terbangun sebagai
bonus dari adanya kebutuhan masyarakat akan harmoni sosial serta penghormatan
dan kepercayaan publik terhadap kapasitas dan kredibilitas sistem tersebut dalam
memenuhi hajat hidup mereka.
Penutup
Sejarah mencatat adanya keunggulan karakter suatu bangsa sebagai pilar utama
kejayaan dan resiliensi peradaban bangsa tersebut. Dan sejarah pun mencatat
kehancuran peradaban suatu bangsa pun terjadi karena keterpurukan moral yang
melanda bangsa tersebut. Karenanya, persoalan karakter ini bukanlah persoalan
kecil dan sederhana karena eksistensinya yang penting sebagai core of civilization.
Itu sebabnya mengapa Allah menurunkan para nabi dan rasul serta kitabullah untuk
memperbaiki karakter umat manusia. Rasulullah SAW., bahkan diberikan misi
khusus untuk menyempurnakan akhlak ummat manusia (nobel qualities of
character).
Kesadaran setiap bangsa akan pentingnya karakter bagi bangsanya telah
mendorong setiap bangsa untuk melakukan pelembagaan dan internalisasi ideologi
bagi bangsanya. Indoktrinasi adalah cara efektif di masa lalu kendati cepat lekang
digerus jaman seiring dengan bangkitnya kesadaran global akan harkat dan
martabat manusia. Pendekatan yang lebih manusiawi melalui pendidikan yang
mampu membebaskan pikiran tampaknya jauh lebih tepat diterapkan di era yang
telah makin terbuka saat ini. Juga jauh lebih efektif dalam jangka panjang kendati
membutuhkan proses yang lama serta kesungguhan komitmen yang prima.
Sepenggal bait refrain pada lagu Hymne Untirta berikut ini tampaknya sangat
relevan dengan pendekatan dimaksud, “Harapan ku serahkan padamu almamater,
Universitas Tirtayasa tempat ilmu yang abadi. Yang membawa kemajuan, pembebas
pikiran bangsa.” Semoga..
SRIPOKU.COM, PALEMBANG --- Pihak Rektorat Universitas Muhammadiyah
Palembang (UMP), mengimbau seluruh mahasisiwa baru untuk bergabung dalam
wadah organisasi di lingkungan intren kampus. Hal ini disampaikan Wakil Rektor
(WR) III UMP Abid Djazuli, kepada Sripoku.com, Selasa (16/10/2012).
“Aktif dalam sebuah organisasi kampus, merupakan salah satu langkah
pembentukan karakter dalam diri seorang mahasiswa. Jadi dianjurkan agar setiap
mahasisiwa untuk terlibat aktif dalam organisasi di lingkungan UMP,” ujar Abid.
Abid menjelaskan, aktif dalam organisasi kampus dari berbagai bidang, dinilai
mampu sebagai pembentukan pribadi seseorang mahasiswa. Selain itu,
pengalaman sebagai mahasisiwa yang berorganisasi, bisa menjadi bekal ketika
akan bersaing pada dunia kerja jika dibandingan dengan mahasiswa yang hanya
aktif dalam aktivitas perkuliahan saja.
Prestasi mahasisiwa bukan saja ditunjang dengan prestasi akademik. Faktor
pengalaman mahasisiwa dalam organiasi kampus, juga sebagai salah satu faktor
penting untuk menunjang suksesnya mahasiswa kelak setelah selesa kuliah.
“Terbukti saya memantau mahasiswa yang aktif organisasi kampus, mereka lebih
bisa berkompetisi pasca dari selesai kuliah. Secara sikap pribadi, mahasisiwa yang
aktif oranisasi kampus tampak lebih tegas,” ujarnya.
Tingkatan organisasi kampus di lingkungan UMP, Abid menjelaskan terbagi menjadi
dua. Pertama organisasi tingkat universitas dan kedua organisasi tingkat fakultas.
Setiap organisasi yang ada merupakan kegiatan positif sebagai wadah penyaluran
aktivitas mahasisiwa di luar waktu perkuliahan.
“Dalam satu minggu, kegiatan organisasi kampus diadakan tiga kali tergantung dari
kepengurusannya. Jadi, dari pada nongkrong-nonkrong lebih baik ikut organisasi
kampus,” ujarnya.