BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes melitus telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan
penyakit ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat dari penyakit diabetes melitus ini kemudian
lebih dikenal dengan nama Diabetic Kidney Disease (DKD) yang sesungguhnya merupakan
komplikasi mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes
mellitus.1
Komplikasi penyakit ini dikaitkan dengan adanya proteinuria, hipertensi dan
gangguan fungsi ginjal yang progresif dengan ekskresi protein pada urin yang berlanjut
dengan penurunan fungsi ginjal. Proteinuria pada umumnya ditemukan dalam perjalanan
penyakit ginjal progresif, peran proteinuria khususnya mikroalbuminuria sebagai petanda
awal nefropati diabetik. disebut sebagai faktor kunci awal yang meramalkan progresivitas
dari glomerulopati diabetik dan dipandang sebagai ukuran keparahan dan pemicu terjadinya
nefropati yang progresif. Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi
gagal ginjal terminal yang memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. Nefropati
diabetik menduduki urutan ketiga (16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan
pielonefritis kronik (18,51%), sebagai penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang
memerlukan cuci darah. Perkembangan penyakit DM menjadi penyakit ginjal stadium akhir
diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terlibat, antara lain : faktor genetik, diet, dan
kondisi medis yang lain seperti hipertensi serta kadar gula darah yang tinggi dan tidak
terkontrol.1,2
1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1 Makroskopis
Ginjal berwarna coklat-kemerahan dan terletak di belakang peritoneum, pada dinding
posterior abdomen di samping kanan dan kiri kolumna vertebralis, dan sebagian besar
tertutup oleh arcus costalis. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah dibanding ginjal kiri,
karena adanya lobus hepar dextra yang besar. Bila diafragma berkontraksi pada waktu
respirasi, kedua ginjal akan turun ke arah vertikal sampai 2,5 cm. Pada kedua margo medialis
ginjal yan gcekung, terdapat celah vertikal yang dibatasi oleh pinggir-pinggir substansi ginjal
yang tebal disebut hilus renalis. Hilus renalis meluas ke suatu ruangan besar disebut sinus
renalis. Hilus renalis dari depan ke belakang dilalui oleh vena renalis dan dua cabang arteri
renalis, ureter dan cabang ketiga arteria renalis. Pembuluh-pembuluh limfatik dan serabut-
serabut simpatis juga melalui hilus.3
Gambar 2.1 Anatomi ginjal
Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda yaitu, korteks
di bagian luar dan medula di bagian dalam. Medula terbagi menjadi baji segitiga yang disebut
piramid. Piramid-piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut kolumna
Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak berccorak karena tersusun dari segmen-segmen
tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila dari tiap piramid membentuk duktus papilaris
2
Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap
duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan
yang disebut kaliks minor3 Beberapa kaliks minor, yang selanjutnya bersatu hingga
membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal.
Vakularisasi ginjal berasal dari arteri renalis. Arteri renalis berasal dari aorta
abdominalis setinggi vertebra lumbal II. Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah sehingga
arteria renalis kanan lebih panjang dari arteria renalis kiri. Setiap arteria renalis bercapang
pada saat masuk ke dalam hilus ginjal. Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing
ginjal ke dalam vena cava inferior yang terletak di sebelah kanan dari garis tengah.3
Gambar 2.2 Vaskularisasi ginjal
Saat arteria renalis masuk ke dalam hilus, arteria tersebut bercabang menjadi arteria
interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk percabangan arkuata
yang melengkung melintasi basis-basis piramid tersebut. Arteria akuarta kemudian
membentuk arteriol interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteriola
interlobularis selanjutnya membentuk arteriol aferen. Masing-masing arteriol aferen akan
menyuplai darah ke glomerulus. Kapiler glomeruli bersatu membentuk arteriol eferen yang
kemudian bercabang-cabang membentuk sistem jaringan portal yang mengelilingi tubulus
disebut kapiler peritubular.3
3
2.2 Mikroskopis
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat
sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi sama. Dengan
demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari semua fungsi tersebut. Setiap
nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus
kontortus proksimal (TKP), lengkung henle, dan tubulus kontortus distal (TKD) kemudian
bermuara pada duktus kolektivus atau duktus pengumpul.
Gambar 2.3 Nefron ginjal
Fungsi primer ginjal adalah menghasilkan urin dan mempertahankan stabilitas
komposisi CES sehingga nefron merupakan satuan terkecil ginjal. Susunan nefron di dalam
ginjal membentuk dua daerah khusus yaitu daerah sebelah luar yang tampak granuler yaitu
korteks ginjal, sedangkan daerah bagian dalam berupa segitiga-segitiga bergaris yaitu
piramida ginjal yang secara kolektif disebut sebagai medula ginjal.4 Setiap nefron terdiri dari
komponen vaskuler dan komponen tubulus. Bagian dominan pada komponen vaskuler adalah
glomerulus, suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut
dari darah yang melewatinya. Cairan yang sudah terfiltrasi kemudian mengalir ke komponen
tubulus nefron.4
Pada saat memasuki ginjal, arteri renalis secara sistematis tebagi-bagi untuk akhirnya
menjadi pembuluh-pembuluh halus yaitu arteriol aferen dengan setiap pembuluh tersebut
memperdarahi sebuah nefron. Arteriol aferan menyalurkan darah ke kapiler glomerulus, yang
menyatu untuk membentuk arteriol eferen. Arteriol eferan adalah satu-satunya arteriol di
4
dalam tubuh yang mendapat darah dari kapiler.3,4 Biasanya arteriol bercabang-cabang
menjadi kapiler yang kemudian menyatu kembali menjadi venula. Di kapiler glomerulus,
tidak terjadi ekstraksi O2 atau nutrien dari darah untuk dipakai oleh jaringan ginjal serta tidak
terjadi penambahan zat sisa dari jaringan di sekitar kapiler.4 Arteriol eferen kemudian terbagi-
bagi menjadi serangkaian kapiler kedua yaitu kapiler peritubulus yang memperdarahi
jaringan ginjal dan penting dalam pertukaran antara sistem tubulus dan darah selama
perubahan cairan yang difiltrasi menjadi urin. Kapiler-kapiler peritubulus menyatu untuk
membentuk venula yang akhirnya mengalir ke vena renalis.
Komponen tubulus dari setiap nefron adalah suatu saluran berongga berisi cairan yang
terbentuk oleh satu lapisan sel epitel. Komponen tubulus berawal dari kapsul Bowman,suatu
invaginasi berdinding rangkap yang melingkupi glomerulus untuk mengumpulkan cairan
yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus.5 Glomerulus dan kapsul Bowman yang terkait di
korteks menyebabkan gambaran daerah korteks yang granuler.
Dari kaspul Bowman, cairan yang difiltrasi mengalir ke dalam tubulus proksimal,
yang seluruhnya terletak di dalam korteks. Segmen berikutnya lengkung Henle, membentuk
lengkungan tajam berbentuk U atau yang terbenam ked alam medula ginjal. Pars desendens
lengkung Henle terbenam dari korteks ke dalam medula, pars asendens berjalan kembali ke
atas ke dalam korteks. Pars ascendens kembali ke daerah glomerulus dari nefronnya sendiri,
tempat saluran tersebut melewati garpu yang dibentuk oleh arteriol aferen dan eferen. 6 Sel-sel
tubulus dan sel-sel vaskuler membentuk aparatus jukstaglomerular, suatu struktur yang
berperan penting dalam mengatur fungsi ginjal. Kemudian tubulus kembali membentuk
gelungan menjadi tubulus distal, yang seluruhnya juga terletak di korteks. Tubulus distal
mengalirkan isinya ke dalam duktus atau tubulus pengumpul. Setiap duktus pengumpul
terbenam ke dalam medula untuk mengosongkan isinya ke dalam pelvis ginjal.7
5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Nefropati diabetik
Definisi
Nefropati diebetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus
yang ditandai dengan albuminuria menetap (300mg/jam atau >200µg/menit) pada minimal 2
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.1,2,8,9
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekitar 20,8 juta orang, atau 7,0% dari populasi, diperkirakan
memiliki diabetes, dengan kejadian yang berkembang. Sekitar sepertiga dari populasi ini, 6,2
juta, diperkirakan tidak terdiagnosis dengan diabetes tipe 2. Prevalensi diabetes lebih tinggi
pada kelompok ras dan etnis tertentu, mempengaruhi sekitar 13% dari Afrika Amerika, 9,5%
dari Hispanik, dan 15% dari penduduk asli Amerika, terutama dengan tipe 2 diabetes.1, 2
Sekitar 20% sampai 30% dari semua penderita diabetes akan mengembangkan bukti
nefropati, meskipun persentase yang lebih tinggi dari tipe 1 pasien berkembang menjadi
ESRD.2
Etiologi
Penyebab pasti dari nefropati diabetik tidak diketahui, tetapi berbagai mekanisme
yang didalilkan adalah hiperglikemia (menyebabkan hiperfiltrasi dan cedera ginjal), produk
glikosilasi, dan aktivasi sitokin.8
Kontrol glikemik mencerminkan keseimbangan antara asupan makanan dan
glukoneogenesis dan pengambilan atau pemanfaatan jaringan melalui penyimpanan sebagai
glikogen atau lemak dan oksidasi. Keseimbangan ini diatur oleh produksi insulin dari sel β di
pankreas. Insulin juga mengatur kerja metabolisme glukosa pada hati, otot rangka, dan
jaringan lemak. Ketika ada resistensi insulin, insulin tidak dapat menekan glukoneogenesis
hepatik, yang menyebabkan hiperglikemia. Secara bersamaan, resistensi insulin di jaringan
adiposa dan otot rangka menyebabkan peningkatan lipolisis, menyebabkan hiperlipidemia
selain hiperglikemia. 8,9,10
6
Bukti menunjukkan bahwa ketika ada resistensi insulin, pankreas dipaksa untuk
meningkatkan produksi insulin, yang menekankan sel β, akhirnya mengakibatkan kelelahan
sel-β. Kadar glukosa darah tinggi dan tingkat tinggi asam lemak jenuh menjadi media
inflamasi, yang mengakibatkan aktivasi dari sistem kekebalan tubuh, yang menghasilkan
aktivasi transkripsi nuklir faktor-kappa B (NF-kB), dan pelepasan mediator inflamasi,
termasuk, interleukin (IL)-1β dan tumor necrosis factor (TNF)-α, menyebabkan resistensi
insulin sistemik dan kerusakan sel-β sebagai akibat dari insulitis autoimun.8,9
Resistensi insulin akibat lebih lanjut mengarah ke tingkat glukosa yang tinggi,
bersama dengan tingkat asam lemak bebas tinggi dan IL-1, yang mengarah ke glucotoxicity,
lipotoxicity, dan IL-1 toksisitas, mengakibatkan kematian sel-β apoptosis. Hiperglikemia juga
meningkatkan ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β) dalam glomeruli dan protein
matriks, khususnya dirangsang oleh sitokin ini. TGF-β dan faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF) dapat berkontribusi pada hipertrofi selular dan meningkatkan sintesis
kolagen dan dapat menyebabkan perubahan vaskular diamati pada orang dengan nefropati
diabetes. [5, 6] Hiperglikemia juga dapat mengaktifkan protein kinase C, yang dapat
berkontribusi penyakit ginjal dan komplikasi vaskular diabetes lainnya.8,9 [7]
Faktor genetik bahkan keluarga atau mungkin juga memainkan peran. Beberapa bukti
telah diperoleh untuk polimorfisme pada gen untuk angiotensin-converting enzyme (ACE)
merupakan predisposisi nefropati. Namun, penanda genetik definitif belum diidentifikasi.
Baru-baru ini, peran faktor epigenetik, khususnya mikro-RNA, telah muncul sebagai
mekanisme berkontribusi lain.10 [8]
Secara ringkas faktor-faktor etiologis timbulnya nefropati diabetik antara lain :8
1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140 – 160 mg/dl [7.7 –
8.8 mmol/l]); dimana A1C > 7 – 8 %
2. Faktor-faktor genetis
3. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan LFG, peningkatan
tekanan intraglomerulus)
4. Hipertensi sistemik
5. Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)
6. Inflamasi
7. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
8. Asupan protein berlebih
9. Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advanced glycation
end products, peningkatan produksi sitokin)
7
10. Pelepasan growth factors
11. Kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein
12. Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membrana basalis glomerulus)
13. Gangguan ion pump (peningkatan Na+ - H+ pump dan penurunan Ca2+ - ATPase pump)
14. Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
15. Aktivasi protein kinase C
Klasifikasi
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes mellitus oleh Mogensen dibagi
menjadi 5 tahap :8
Tahap 1 Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakan, Laju filtrasi
glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat.
Tahap 2 Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerulus
tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat
perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik.
Terdapat pula peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan
matriks mesangium).
Tahap 3 Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. Laju
filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju eksresi
albumin dalam urin adalah 20-200mg/menit(30-300mg/24jam). Tekanan darah mulai
meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrane basalis
dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
Tahap 4 merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih
jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering
ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun
dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tekanan darah.
Tahap 5 Timbulnya gagal ginjal terminal. Ini adalah tahap gagal ginjal atau End
Stage Renal Failure, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga penderita
menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan tindakan khusus yaitu
terapi pengganti, dialysis maupun cangkok ginjal.
8
Tabel1. Tahap nefropati diabetik
Tahap Kondisi ginjal AER LFG TD Prognosis1 Hipertrofi
hiperfungsiN N Reversible
2 Kelainan struktur N/N
Mungkin reversibel
3 Mikroalbuminuria persisten
20-200 mg/menit / N
Mungkin reversibel
4 Makroalbuminuria proteinuria
>200 mg/menit
Rendah Hipertensi Mungkin bisa stabilisasi
5 Uremia Tinggi/rendah <10 ml/menit
Hipertensi Kesintasan 2 tahun + 50%
AER: Albumin excretion rate, LFG:laju filtrasi glomerulus, N:normal, TD:tekanan darah
Patofisiologi
Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik
dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brener dkk menunjukan bahwa saat jumlah nefron
mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat
akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi pada nefron yang sehat lambat laun
akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.8,9,10
Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi pada nefropati diabetic ini masih
belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh afek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai hormone vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin
dan glucagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan langsung hipertrofi sel,
sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein
kinase-C(PKC) yang termasuk kedalam serin-threonin kinase yang memiliki fungsi pada
vascular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel, dan permeabilitas kapiler.
Hiperglikemi kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan
protein (reaksi mallard dan Browning) Pada awalnya glukosa yang mengikat residu amino
secara non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk
mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk
amadori. Jika proses ini berlanjut akan terbentuk Advanced Glication End-Products (AGEs)
yang irreversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler
seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuclear,
juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric
9
Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan
nodul serta fibrosis tubulointerstisialis sesuai tahap-tahap dari Mogensen.8,9,10
Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi akibat
glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor
hemodinamik diawali dengan peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II.
Angiotensin II juga berperan dalam perjalanan nefropati diabetik. Angiotensin II berperan
baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain
merangsang vasokonstriksi sistemik, meningkatnya tahanan kapiler arteriol glomerulus,
pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstraselular, serta stimulasi
chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar
prorenin, aktivitas faktor non Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya
gangguan endotel kapiler sehingga hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya
kerusakan ginjal, juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes.9
Dari faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta yang akan menyebabkan
proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan
akumulasi ektraceluler matrik yang berperan dalam terjadinya Nefropati diabetik.8,9,10
Gambar 1. Patofisologi nefropati diabetik
10
Patologi
Fungsi barrier filtrasi glomerulus sebagai penyaring biologis yang kompleks berbeda
dengan kapiler dalam tubuh lainnya, kapiler glomerulus sangat permeabel terhadap air dan
relatif kedap molekul besar. Permeabilitas tersebut mungkin karena struktur tiga lapis unik
membran filtrasi glomerulus terdiri dari glycocalyx endotel, membran basal glomerulus, dan
podocytes(glomerular sel epitel visceral). Perubahan patologis berkembang sebelum
munculnya mikroalbuminuria. Tingkat keparahan kerusakan glomerulus sebanding dengan
nilai LFG, durasi DM, dan regulasi glukosa darah. Secara histologis, gambaran utama yang
tampak adalah penebalan membrane basalis, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks
ekstraseluler; penimbunan kolagen tipe IV, laminin dan fibronektin) yang kemudian akan
menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan atau difus (kimmelstiel Wilson), hyalinosis
arterioral aferen dan eferen, serta fibrosis tubuloinsterstisial.11
Tabel 2. Klasifikasi patologis nefropati Diabetetik secara histologi dibagi menjadi empat tahap kerusakan glomerulus.11
I Penebalan membrane basalis glomerulus
Biopsi tidak memenuhi kriteria II, III, atau IV GBM 395nm pada wanita dan 430 nm pada laki-laki usia 9tahun dan lebih.
IIa Ekspansi mesangial ringan Biopsy tidak memenuhi kriteria III atau IVEkspansi mesangial ringan pada 25% mesangium yang diobservasi
IIb Ekspansi mesangial berat Biopsy tidak memenuhi kriteria III atau IVEkspansi mesangial berat pada 25% mesangium yang diobservasi
III Nodular sklerosis(Kimmelstiel – Wilson lesion)
Biopsy tidak memenuhi kriteria IV AtSekurangnya satu membuktikan lesi Kimmelstiel –Wilson (nodular sklerosis)
IV diabetik glomerulosklerosis Global glomerular sklerosis pada 50% lesi glomeruli dari kelas I-III
Gambar 2. Kelas I struktur halus glomerulus normal dengan glomerular basement tipis membran dan mesangium. HE noda, X 400.
11
Gambar 3 kelas II Ekspansi difus mesangium (bintang) dan penebalan difus dari membran basal glomerulus. Stain PAS, X400
Gambar 4 Kelas III nefropati diabetik. Nodul sklerotik (Kimmelstiel-Wilson) dalam diabetes nodular nefropati (panah). Aferen dan eferen arteriol hyalinosis karakteristik untuk diabetes nefropati (bintang). Panah di sudut kanan bawah menunjukkan penebalan basement tubular membran. Noda Mallory, X 100
Gambar 5 kelas IV Cap fibrin (panah) adalah karakteristik untuk nefropati diabetik. Hal ini disebabkan oleh insudasi dan akumulasi protein plasma glycosilasi antara endotelium glomerulus dan membran basement glomerulus. Ekspansi difus mesangium ditunjuk oleh bintang empat titik. Noda PAS, X 200
12
Diagnosis
Diagnosis biasanya didasarkan pada anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
evaluasi laboratorium, dan pencitraan ginjal. Biopsi ginjal hanya direkomendasikan dalam
situasi khusus. Diagnosis nefropati diabetik mudah ditegakan pada pasien diabetes (> 10
tahun durasi diabetes), terutama jika retinopati juga hadir.8,9,11,122
Manifestasi klinis dapat terlihat berdasarkan sistem klasifikasi yang diusulkan
Mogensen itu, tahap 1 nefropati diabetik ditandai oleh ginjal membesar (hipertrofi) dan
hiperfiltrasi glomerulus dapat mengakibatkan gejala berupa poliuria; tekanan darah sistemik
biasanya normal.8,9[6] Tahap 2 mungkin secara klinis belum menunjukan gejala signifikan
yaitu, dengan yang normal ekskresi albumin urin (UEA) dan tekanan darah sistemik, bersama
dengan normal atau laju filtrasi glomerulus meningkat (LFG).8,9[6]Pada tahap 3, tekanan
darah sistemik sering meningkat, dan mikroalbuminuria dapat ditemukan.8,9 [6] Tahap 4
ditandai dengan albuminuria klinis atau proteinuria.11,12[6] Tahap 5, atau dikenal sebagai gagal
ginjal stadium akhir, terkait dengan glomerulosklerosis, hipertensi sistemik, dan penurunan
LFG yang nyata(<10 mL / menit).8,9,11
Pemeriksaan laboratorium
Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan kemungkinan adanya penurunan
fungsi ginjal harus diperiksa, demikian saat pasien sudah mendapatkan pengobatan rutin.
Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Asociation adalah pemeriksaan
terhadap mikroalbuminuria serta pemantauan kreatinin serum dan kreatini klirens.Terdapat
beberapa cara untuk melakukan penyaringan mikro-albuminuria. dengan memeriksa albumin
dalam urin pertama pada pagi hari. Skrining untuk mikroalbuminuria dapat dilakukan dengan
tiga metode: 1) pengukuran albumin-kreatinin rasio dalam koleksi acak tempat; 2)
pengumpulan 24 jam, yang memungkinkan pengukuran simultan kreatinin; dan 3) sewaktu. 8,10
Tabel 3 laju ekskresi albumin urinKondisi Laju eksresi albumin urin Perbandingan
Albumin urin-kreatinin µg/mg
24 jam(mg/hari) Sewaktu (µg/menit)
Normoalbuminuria <30 <20 <30Mikroalbuminuria 30-300 20-200 30-300Makroalbuminuria >300 >200 >300
13
Gambar 2. Tes mikroalbuminuria
Serum dan Elektroforesis urin
Serum dan elektroforesis urin dilakukan terutama untuk membantu menyingkirkan
kemungkinan multiple myeloma dan untuk mengklasifikasikan proteinuria (yang
mendominasi diglomerulus pada nefropati diabetik).9
USG
USG ginjal biasanya digunakan untuk mengamati ukuran ginjal. Pada tahap awal nefropati
diabetik, ukuran ginjal dapat memberbesar (hipertrofi) sebagai akibat dari dari hiperfiltrasi.
Dengan semakin progresifnya penyakit ini ukuran ginjal berkurang dalam ukuran dari
glomerulosklerosis. Selain itu, USG ginjal dapat menilai untuk hyperechogenicity yang
menunjukkan penyakit ginjal kronis dan dapat membantu dalam mengesampingkan penyakit
obstruksi, polycystic dan penyakit ginjal lainnya.9,10,11
14
Biopsi
Biopsi ginjal tidak secara rutin diindikasikan pada semua kasus nefropati diabetes, terutama
pada orang dengan riwayat khas dan perkembangan khas penyakit. Hal ini diindikasikan jika
diagnosis diragukan, atau jika terdapat gejala atipikal.9,10,11
Gambar 3. Alur evaluasi proteinuria8
Penatalaksaan
Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda progresifitas penyakit
ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien sebelum menjadi gagal ginjal terminal.
1. Evaluasi
pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Asociation antara lain pemeriksaan
terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin.4
15
Proteinuria pada diabetik
Singkirkan infeksi saluran kemihSedimen urin : eritrosit, leukositUSG GinjalJika diduga glomerulonephritis, Serologi ANCA, antibody DNA, Antibodi DNA, C3, C4
Nefropati diabetik khas-DM tipe 1> 10 tahun-Retinopati-Mikroalbuminuria sebelumnya+-Tidak ada hematuria makroskopik-Tidak ada eritrositUSG Normal
Proteinuria tidak khas-DM tipe 1 <10 tahun-Tidak ada retinopati-Proteinuria (nefrotik) tanpa melalui mikroalbuminuria dulu-Hematuria makroskopik-Cast eritrosit
Tidak khas-Azotemia dengan proteinuria <1g/hari-Nekrosis papiler (piuria, hematuria)-Tuberkulosis (piuria, hematuria)-Penyakit renovaskuler lain
Tidak perlu biopsi ginjal
Biopsi ginjalTidak perlu biopsi
ginjal
Tabel 4 Pemantauan fungsi ginjal pada pasien diabetes Tes Evaluasi awal Follow upPenentuan mikroalbuminuria
Sesudah pengendalian gula darah awal (dalam 3bulan diagnosis ditegakkan)
Diabetes tipe 1:tiap tahun setelah 5 tahunDiabetes tipe 2 tiap tahun setelah diagnosis ditegakkan
Klirens kreatinin Saat awal diagnosis ditegakkan
Tiap 1-2 tahun sampai filtrasi glomerulus <100ml/menit/1.73 kemudian tiap tahun atau lebih sering.
Kreatinin serum Saat awal diagnosis ditegakkan
Tiap tahun atau lebih sering tergantung laju perubahan fungsi ginjal.
Untuk mempermudah evaluasi, National Kidney Foundation menganjurkan
perhitungan laju filtrasi glomerulus dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault,
yaitu:8
Klirens Kreatinin∗¿(140−umur ) x Berat Badan
72 x Kreatinin Serumx (0,85 untuk wanita)
*) LFG dalam ml/menit/1,73 m2
2. Terapi
Pada prinsipnya pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah dengan:8
Pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes);
Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat anti hipertensi);
Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE inhibitor dan atau ARB);
Pengendalian faktor-faktor komorbiditas lain (pengendalian kadar lemak, mengurangi
obesitas, dll).
Tatalaksana nonfarmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang sehat yang
meliputi olahraga rutin, diet, menghentikan kebiasaan merokok serta membatasi konsumsi
alkohol. Olahraga rutin yang dianjurkan ADA adalah dengan berjalan 3 – 5 km/hari dengan
kecepatan sekitar 10 – 12 menit/km, 4 sampai 5 kali seminggu.8 Pembatasan asupan garam
dianjurkan sebanyak 4 – 5 g/hari (atau 68 – 85 meq/hari) serta pembatasan intake protein 0,8-
1.0 g/kgBB perhari pada penderita diabetes dan CKD stadium awal. 0,8g/kgBB pada CKD
stadium lanjut dapat membantu meningkatkan fungsi ginjal.12
The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) dan United Kingdom
Prospective Diabetes Study (UKPDS) telah definitif menunjukkan bahwa terapi intensif
diabetes secara signifikan dapat mengurangi risiko perkembangan mikroalbuminuria dan
nefropati diabetik. Rekomendasi kontrol glikemik untuk semua pasien dengan diabetes di
American Diabetes Association "Standar Pelayanan Medik bagi Penderita Diabetes
16
Mellitus".Penurunan A1C sampai nilain dibawah sekitar 7% mengurangi komplikasi
mikrovaskular maupun makrovaskular oleh karena itu nilai A1C pada dewasa diharapkan
<7%.8,11,12
Beberapa agen antihyperglycemic tampaknya sangat berguna. Rosiglitazone,
dibandingkan dengan glyburide, telah terbukti menurunkan UAE pada pasien dengan
diabetes tipe 2. Hal ini menunjukkan efek yang menguntungkan dalam pencegahan
komplikasi ginjal diabetes 2 (110) Jenis. Selain itu, penggunaan agen antihyperglycemic
harus mempertimbangkan fungsi ginjal. Metformin tidak boleh digunakan ketika serum
kreatinin >1,5 mg/dl pada pria dan >1,4 mg/dl pada wanita karena peningkatan risiko asidosis
laktat (111).11 Sulfonilurea dan metabolitnya, kecuali glimepiride, dieliminasi melalui
ekskresi ginjal dan tidak boleh digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal
(112).11,12 Repaglinide (113) dan nateglinide (114) memiliki durasi kerja yang pendek, dan
memiliki profil keamanan pada pasien dengan gangguan ginjal. Namun, pada titik ini,
sulfonilurea dan insulin secretagogues biasanya tidak terlalu efektif karena rendahnya
produksi insulin endogen yang dihasilkan dalam jangka panjang. Dengan demikian, sebagian
besar pasien diabetes tipe 2 dengan nefropati diabetes harus diobati dengan insulin.12
Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah < 130/80 mmHg. Obat anti
hipertensi yang dianjurkan antara lain ACE inhibitor atau ARB, sedangkan pilihan lain
adalah diuretik, kemudian beta blocker atau calcium channel blocker.8,9,11,12
Tabel 5 pengobatan pada pasien diabetes dengan atau tanpa mikroalbuminuria8
Tanpa mikroalbuminuria
mikroalbuminuria Albuminuria klinis/Insufisiensi ginjal
A1C <6-7% <6-7% <7-8%Tekanan darah 120-130/80 120-130/80 120-13-/80Mean Arterial pressure
90-95 90-95 90-95
Asupan protein >1.0-1.2 0.8-1.0 0.6-0.8Walaupun pasien nefropati diabetik memiliki tekanan darah normal, penelitian
muktahir menunjukan bahwa pemberian ACE-I dan ARB dapat mencegah laju penurunan
fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa efek ini dicapai akibat penurunan tekanan darah,
penurunan tekanan intraglomerulus, peningkatan aliran darah ginjal, penurunan proteinuria,
efek natriuretik serta pengurangan proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi matriks, sitokin
dansintesa growth factor, disamping hambatan altivasi, proliferasi dan migrasi makrofag,
serta perbaikan sensitivitas terhadap insulin.8 Ketika ACE inhibitor atau ARB digunakan
monitor serum kreatinin dan nilai potassium.12
17
Pada pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat laju
filtrasi glomerulus mencapai 10-12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin < 15 ml/menit
atau serum kreatinin > 6 mg/dl) dianjurkan untuk memulai dialysis (hemodialisis atau
peritoneal dialisis), walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya
terapi pengganti ginjal ini dimulai . Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal yang lain adalah
cangkok ginjal, dan pada kasus nefropati diabetik di negara maju sudah sering dilakukan
cangkok ginjal dan pankreas sekaligus.8,12
3. Rujukan
Baik ADA maupun ISN dan NKF menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang
ahli dalam perawatan nefropati diabetik jika laju filtrasi glomerulus mencapai <
60ml/men/1,73m², atau jika kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau hiperkalemi, serta
rujukan kepada konsultan nefrologi jika LFG mencapai <30 ml/men/1,73 m2, atau lebih awal
jika pasien berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan
prognosis pasien diragukan.8,11,12
KOMPLIKASI
Komplikasi dari nefropati diabetik adalah penyakit gagal ginjal kronik (CKD). Penurunan
nefron dan fungsi ginjal yang progresif, ditandai dengan semakin meningkatnya ureum dan
kreatinin serta laju filtrasi glomerulus yang <60 ml/menit/1.73.9
PROGNOSIS
Secara keseluruhan prevalensi dari mikroalbuminuria dan makroalbuminuria pada
kedua tipe diabetes melitus diperkirakan 30-35%. Mikroalbuminuria juga dikaitkan dengan
peningkatan risiko penyakit pembuluh darah koroner dan perifer dan kematian akibat
penyakit kardiovaskular pada populasi nondiabetes umum.5
ESRD (end stage of renal disease) adalah penyebab utama kematian, akuntansi untuk
59-66% kematian pada pasien dengan DM tipe 1 dan nefropati. Dalam sebuah penelitian
prospektif di Jerman, tingkat kelangsungan hidup 5 tahun kurang dari 10% pada populasi
lanjut usia dengan DM tipe 2 dan tidak lebih dari 40% pada populasi yang lebih muda dengan
DM tipe 1.5
18
Insiden kumulatif dari ESRD pada pasien dengan proteinuria dan DM tipe 1 adalah
50% 10 tahun setelah onset proteinuria, dibandingkan dengan 3-11% 10 tahun setelah onset
proteinuria pada pasien Eropa dengan DM tipe 2.5
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Gross JL, De Azevedo MJ, Silveiro SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T.
Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment. Diabetes care.
2007;28(1):164-76.
2. Abdel-Rahman EM, Alhamad T, Reeves WB, Awad AS. Management of Diabetic
Nephropathy in the Elderly: Special Considerations. Journal of nephrology &
therapeutics. 2012;(2):5
3. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. 6thEd. Jakarta:EGC;
2006.p.250-4
4. Guyton H. Buku Aajar Fisiologi Kedokteran. 11thEd. Jakarta;EGC;2008.p.324-5
5. American Diabetes Association. Nephropathy in Diabetes. Diabetes
Care.2004;27(suppl 1):S79-S83.
6. Michelle A, Roett MD, LieglS MD. Diabetic Nephrophaty. American Family
Physician. 2012;85(9):883-889.
7. Saud B. diabetic nephropathy. Available at:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/
nephrology/diabetic-nephropathy/. Accessed on 7 July,2014.
8. Hendromartono. Nefropati diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 th ed. Jakarta:
Interna Publishing; 2009. p.1943-6.
9. Battuman V, Schmidt RJ. Soman AS.Diabetic Nephropathy. Updated: May,28 2014.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/238946-overview. Accssed on 6
July, 2014.
10. Ekinci EI, Jerums G, Skene A, Crammer P, Power D. Renal structure in normoalbuminuric and albuminuric patients with type 2 diabetes and impaired renal function. Diabetes care. 2013;36(11):3620-6
11. Tervaert TWC, Mooyaart AL, Amann K, Cohen AH, Cook HT, Drachenberg CB et
al. on behalf of the Renal pathology Society :Pathologic Classification of Diabetic
Nephropathy. Journal of the American Society of Nephrology.
12. American Diabetes Association. Executive Summary: Standards of Medical Care in
Diabetes 2013. Diabetes care.2013;36(suppl1):S34-5
.
20