Download - Paradoks budaya
Paradoks Budaya : Masih (kah) Kita Indonesia
Paradoks Budaya Indonesia
Paradoks adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis (apa yang dianggap
benar sebagai landasan kesimpulan kemudian; dasar pemikiran; alasan; (2) asumsi; (3)
kalimat atau proposisi yg dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dl logika), yang diakui
kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan tiba pada suatu konflik
atau kontradiksi. (Wikipedia)
Manusia adalah makhluk paradoks, ia punya dua kecenderungan sekaligus yang
kedua-duanya sama-sama benar. Misalnya, manusia adalah makhluk yang berkehendak
bebas, tapi juga tidak bebas. Kenapa? Karena manusia terbatas pada hal-hal misalnya fisik,
psikologis, dan lingkungan.
Dalam hal karya seni budaya, di tingkat internasional, Indonesia sudah
mengumpulkan tiga (3) piagam penghargaan pemilik karya seni agung yang dikeluarkan oleh
badan dunia UNESCO. Ketiga karya seni budaya itu adalah wayang (2003) sebagai Karya
Agung Budaya Lisan Warisan Manusia, lalu keris (2005) dinyatakan sebagai Karya Agung
Warisan Takbenda Budaya Manusia, dan batik (2009) dinyatakan sebagai Daftar
Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia.
Kita semua sudah menyadari, bahwa sejak dahulu bangsa ini memiliki kekayaan
budaya terlengkap di dunia.. Keanekaragaman budaya nusantara dari Sabang sampai
Merauke sudah tak terhitung. Namun sayang, bangsa ini tak mampu melestarikan apalagi
mengembangkan kekayaan budaya bangsa sendiri. Keunggulan kekayaan bangsa Indonesia
dalam bidang seni budaya itu, semestinya menjadi suatu strength (kekuatan)
dan opportunity (peluang) yang menjadi acuan bagi Pemerintah dalam mengambil kebijakan
1
arah pembangunan. Kekuatan dan peluang bangsa kita, mau tidak mau, suka tidak suka,
terdapat pada sektor seni budaya. Semestinya, sektor ini digarap dengan lebih sungguh-
sungguh, dan kesungguhan itu salah satunya dibuktikan dengan pengucuran anggaran belanja
yang ideal. Apakah anggaran belanja untuk sektor seni budaya sudah cukup ideal? Kita lihat
saja faktanya. Salah satu festival kebudayaan bertaraf internasional yang diselenggarakan
oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata secara periodik 3 tahunan, adalah Art Summit
Indonesia (ASI) yang ditahun 2013 digelar untuk ke-7 kalinya. Dalam tiga kali
penyelenggaraan ASI yang terakhir, kisah yang selalu terdengar adalah keterbatasan
anggaran, hingga penyelenggaraan ASI tidak bisa maksimal. Semestinya, dengan berbagai
upaya, ASI dirancang supaya menjadi agenda para seniman luar negeri untuk bisa ikut
tampil. Semestinya pula negara besar dengan kekayaan seni budaya yang sangat melimpah
seperti Indonesia memiliki satu acara seni budaya bertaraf internasional yang bisa menjadi
buah tutur masyarakat dunia, dan merangsang masyarakat dunia pecinta seni budaya untuk
datang mengapresiasi.
Karena minimnya anggaran itu, pencanangan program kerja di sektor seni budaya,
tidak berhasil melahirkan gerakan kolektif. Misalnya di tahun 2010 yang dicanangkan
sebagai tahun kunjungan museum, kenyataannya museum-museum tetap sepi kunjungan.
Lalu, apakah kita benar-benar bangsa yang sadar dan menjunjung tinggi seni budaya?
Paradoks lain muncul ketika Wamendikbud bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti
memberikan gagasan mengenai Rumah Budaya Indonesia (RBI) yang diperuntukan untuk
konsumsi di luar negeri. Perlunya membangun rumah budaya di negara lain merupakan
gagasan yang konstruktif untuk mengangkat citra Indonesia di masyarakat internasional dan
bisa berdampak pada peningkatan pendapatan negara di sektor pariwisata. Akan tetapi,
Direktur Eksekutif Indonesian Publik Institute (IPI), Karyono Wibowo mengatakan gagasan
2
itu terlalu melompat jauh. “Gagasan itu, ibarat melihat bintang tanpa menginjak bumi.
Bagaimana tidak, pembangunan dan perlindungan budaya di dalam negeri saja masih lemah,
tapi pemerintah sudah akan membangun rumah budaya di luar negeri,” kata Karyono, Sabtu
(15/3/2014).
Disain Rumah Budaya Indonesia (RBI) di Dili, Timor Leste. Foto: Kemendikbud
Kita semua sudah menyadari, bahwa sejak dahulu bangsa ini memiliki kekayaan
budaya terlengkap di dunia. Keanekaragaman budaya nusantara dari Sabang sampai Merauke
sudah tak terhitung. Namun sayang, bangsa ini tak mampu melestarikan apalagi
mengembangkan kekayaan budaya bangsa sendiri karena pemerintah kurang memiliki
perhatian serius untuk melestarikannya. Untuk melestarikan kekayaan budaya tidak bisa
hanya diserahkan pada pemerintah daerah dan masyarakat saja, tapi diperlukan kepedulian
pemerintah pusat baik dalam bentuk regulasi maupun kebijakan, atau apapun namanya untuk
melestarikan dan melindungi seluruh kekayaan budaya bangsa ini. Jika tidak ada kepedulian
pemerintah secara sungguh-sungguh terhadap pelestarian budaya, maka tinggal menunggu
waktu kehancurannya. Dan kata orang bijak, kehancuran suatu bangsa dimulai dari
kehancuran budayanya. Oleh karena itu, mestinya pemerintah dalam hal ini kemendikbud
3
perlu memprioritaskan penataan budaya di dalam negeri sebelum merambah ke luar negeri.
Bila tidak, maka gagasan tersebut hanya sebuah paradoks.
Lalu bagaimana dengan kretek yang merupakan bagian dari budaya Indonesia yang
harus dilestarikan ? Kelompok pro rokok ataupun kretek menganggap bahwa kretek adalah
warisan budaya yang harus dilestarikan. Perlawanan terhadap rokok dianggap sebagai
perlawanan terhadap warisan leluhur. Kretek memang sudah ada di Indonesia sejak zaman
dulu dan terus berkembang hingga kini. Persoalannya adalah apakah kretek harus tetap
dipertahankan? Mari kita melihat berbagai warisan masa lalu bangsa ini. Berbagai minuman
beralkohol seperti tuak, arak atau ballo bahkan telah menjadi minuman khas di setiap daerah
di Indonesia. Melestarikannya dengan cara memuseumkan budaya tersebut mungkin masih
layak untuk dilakukan, tetapi apakah mungkin kita memproduksi minuman beralkohol khas
bangsa sendiri kepada masyarakat Indonesia dengan dalih pelestarian budaya? Menurut
hemat penulis, tidak semua warisan leluhur harus dipertahankan. Kepercayaan animisme dan
dinamisme juga merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang sudah
ditinggalkan karena terbukti dekonstruktif. Ca’doleng-doleng dan pelacuran adalah fenomena
yang tersebar di seluruh penjuru negeri dan diduga sudah ada sejak zaman dulu. Akan tetapi,
tidak mungkin dengan dalih pelestarian warisan masa lalu, kita mempertahankan ca’doleng-
doleng dan pelacuran.
Selain itu permasalahan yang terjadi saat ini adalah bangsa kita telah kehilangan
identitasnya. Secara tidak langsung budaya asli bangsa kita perlahan mulai menghilang dari
tanah air kita, tidak perlu jauh mencontohkan, dalam berbahasa saja kita lebih sering
menggunakan dan membanggakan bahasa asing dari pada menggunakan Bahasa Indonesia.
Menjadi salah satu trend yang di unggulkan ketika bisa menguasai bahasa asing.
4
Sebagai orang Indonesia, saya sangat akrab mendengar betapa kita dinilai sebagai
bangsa yang ramah dan penuh senyum. Persepsi asing yang telah mengkristal, yang tanpa
disadari kita akui kebenarannya. Di sisi lain, telah tertanam pula sejak kecil bahwa bule atau
‘orang barat’ adalah manusia pemuja kebebasan, individualis-dingin yang bertolak-belakang
dengan kehangatan timur kita.
Namun, berbagai fakta yang terjadi di hadapan mata membuat saya bertanya, masih
relevankah persepsi-persepsi itu? Ironis, keramahan itu kerap terlupakan untuk bangsa
sendiri, terjadi di Indonesia, negara yang justru terkenal dengan berbagai aturan adat, norma
kesopanan, dan ajaran-ajaran agama yang kuat dan menopang berbagai sendi kehidupan.
Dimana-mana sekarang muncul perpecahan, korupsi, diskriminasi dan kemiskinan.
Dari perspektif pelaku, kebudayaan adalah tindakan. Kebudayaan merupakan respons
strategis atas tantangan-tantangan zaman yang digunakansebagai pedoman tingkah laku
kolektif. Kebudayaan kental dengan suasana praktik membangun solidaritas untuk
memperkuat diri dan kelompok. Kebudayaan juga berkembang karena ada proses interaktif
dan negosiatif antarpelaku dari kelompok lain. Dalam taraf tertentu, bahkan kebudayaan
adalah pedoman untuk melakukan perlawanan dan gerakan sosial kolektif dalam menuntut
hak.
Dari perspektif pengelola, termasuk pemangku kepentingan dan negara, kebudayaan
adalah kumpulan kearifan lokal dan juga etos atau nilai-nilai yang dianggap kepribadian
luhur. Definisi kedua ini lebih puitis dan populer, tetapi tidak cukup operasional untuk
membuka sekat-sekat ketidakadilan, kritik, dan dialog. Justru malah menciptakan
kebingungan paradoksal. Misalnya, mengapa orang Indonesia yang ramah-ramah ini makin
lama makin keji saja terhadap perbedaan kepercayaan?
5
Lalu, apakah kita benar-benar ramah dan hangat? Saya yakin, tidak saya seorang diri yang
mempertanyakan ini.
Lalu kemudian kenapa K-Pop bisa sangat terkenal di Indonesia? Kenapa Reog Ponorogo dan
Batik diklaim negera tetangga?
Terlalu banyak kontradiksi, tumpang tindih dan pertanyaan yang tidak akan ada habisnya.
Solusi :
Untuk melestarikan kekayaan budaya tidak bisa hanya diserahkan pada pemerintah
daerah dan masyarakat saja, tapi diperlukan kepedulian pemerintah pusat baik dalam bentuk
regulasi maupun kebijakan, atau apapun namanya untuk melestarikan dan melindungi seluruh
kekayaan budaya bangsa ini.
Sesuai dengan Teori Disonansi Kognitif dan Difusi Inovasi, Pemerintah diharapkan
mampu menyelesaikan paradoks kebudayaan Indonesia. Dari sudut pandang Teori Disonansi
Kognitif, disonansi kebudayaan Indonesia harus dikurangi dan mengembalikan
konsistensinya, Pemerintah harus termotivasi membuat sebuah program unggulan yang
berkaitan dengan pengembalian marwah kebudayaan Indonesia, sebuah program yang harus
direncanakan dan dianggarkan dengan baik mengingat betapa kayanya budaya Indonesia,
termasuk juga merealisasikan pelestarian budaya lewat kepedulian masyarakat Indonesia
terhadap budayanya sendiri. Program ini nantinya disebarluaskan dengan cara-cara yang
kreatif sesuai Teori Difusi Inovasi, sehingga gagasan atau ide-ide pelestarian budaya dapat
terdifusi ke masyarakat dalam jangka waktu tertentu.
6
Misalnya saja kebudayaan dapat dilestarikan dalam dua bentuk yaitu :
A. Culture Knowledge
Merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara membuat suatu pusat informasi
mengenai kebudayaan yang dapat difungsionalisasi kedalam banyak bentuk/teknologi.
Tujuannya adalah untuk edukasi ataupun untuk kepentingan pengembangan kebudayaan itu
sendiri dan potensi kepariwisataan daerah. Dengan demikian para generasi muda dapat
mengetahui tentang kebudayaanya sendiri. (Mempelajari Inovasi)
B. Culture Experience
Merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung kedalam sebuah
pengalaman kultural. Contohnya, jika kebudayaan tersebut berbentuk tarian, maka
masyarakat dianjurkan untuk belajar dan berlatih dalam menguasai tarian tersebut. Dengan
demikian dalam setiap tahunnya selalu dapat dijaga kelestarian budaya kita ini.
(Pengadopsian + Pengembangan Jaringan Sosial)
Selain dilestarikan dalam dua bentuk diatas, kita juga dapat melestarikan kebudayaan
dengan cara mengenal budaya itu sendiri. Dengan hal ini setidaknya kita dapat
mengantisipasi pencurian kebudayaan yang dilakukan oleh negara - negara lain. Penyakit
masyarakat kita ini adalah mereka terkadang tidak bangga terhadap produk atau
kebudayaannya sendiri. Kita lebih bangga terhadap budaya-budaya impor yang sebenarnya
tidak sesuai dengan budaya kita sebagai orang timur. Budaya daerah banyak hilang dikikis
zaman. Oleh sebab kita sendiri yang tidak mau mempelajari dan melestarikannya. Akibatnya
kita baru bersuara ketika negara lain sukses dan terkenal dengan budaya yang mereka curi
secara diam-diam.
7
Salah satu kebijakan pemerintah yang pantas didukung adalah penampilan
kebudayaan-kebudayaan daerah disetiap event-event akbar nasional, misalnya tari-tarian ,
lagu daerah, dan sebagainya. Semua itu harus dilakukan sebagai upaya pengenalan kepada
generasi muda, bahwa budaya yang ditampilkan itu adalah warisan dari leluhurnya. Bukan
berasal dari negara tetangga. Demikian juga upaya-upaya melalui jalur formal pendidikan.
Masyarakat harus memahami dan mengetahui berbagai kebudayaan yang kita miliki.
Pemerintah juga dapat lebih memusatkan perhatian pada pendidikan muatan lokal
kebudayaan daerah.
Jika tidak ada kepedulian pemerintah secara sungguh-sungguh terhadap pelestarian
budaya, maka tinggal menunggu waktu kehancurannya. Dan kata orang bijak, kehancuran
suatu bangsa dimulai dari kehancuran budayanya.
8
Kesimpulan:
1. Segala peristiwa bersifat mendua (yin dan yang) dan hal yang bertentangan itu selalu
ada di semua hal, menyatu padu, tak bisa dipisahkan.
2. Paradoks ada karena kebenaran yang sudah diketahui baru 10%. 90% nya kebenaran
yang mesti kita cari. Bagaimana mungkin semua bisa dipastikan kalau kebenarannya
masih belum kita tahu?
3. Karenanya, paradoks jangan dilenyapkan sama sekali, melainkan dapat menjadi
alternatif pemikiran untuk terus mencari kebenaran.
4. Paradoks bukanlah cacat. Tetapi untuk dicari apa sebab di baliknya.
5. Paradoks adalah kekuatan kalau kita mau dan mampu mempergunakannya.
6. Paradoks itu sendiri sudah merupakan peluang, kalau kita mampu memanfaatkannya,
menjadi energi yang timbul setelah ada proses pencarian dan evaluasi diri.
Referensi :
1. https://id.wikipedia.org/
9
2. http://www.kompasiana.com/infodatabroker.blogspot.com/paradoks-manusia-
indonesia_54f67ba2a333117d028b4e02
3. http://gugahjanari.blogspot.co.id/2011/03/paradoks-budaya-2010.html
4. http://myyearatvoa.tumblr.com/post/68153864689/paradoks-budaya-timur-amerika
5. http://www.academia.edu/11001280/
Komunikasi_Sosial_Pembangunan_dengan_Teori_Komunikasi
6. http://www.gapuranews.com/blog/rumah-budaya-indonesia-di-luar-negeri-paradoks/
7. http://www.koalisiseni.or.id/negara-dan-krisis-kebudayaan-kompas-30-agustus-2014/
8. http://raisreskiawan.blogspot.co.id/2013/06/paradoks-rokok.html
10