Download - Parasimpatomimetik atau kolinergik
2
1. Parasimpatomimetik atau kolinergik. Efek obat golongan ini menyerupai efek
yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis.
2. Simpatomimetik atau adrenergik yang efeknya menyerupai efek yang
ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis.
3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik menghambat timbulnya efek
akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis.
4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik menghambat timbulnya efek akibat
aktivitas saraf simpatis.
5. Obat ganglion merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2007).
Kolinergik
Obat kolinergik disebut juga parasimpatomimetik, berarti obat yang
bekerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang
secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka
istilah obat kolinergik lebih tepat digunakan.
Ada berbagai reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik dan reseptor
muskarinik dan berbagai subtipenya. Reseptor nikotinik yang terdapat di ganglia
otonom, adrenal medulla dan SSP disebut reseptor nikotinik neuronal (NN),
sedangkan reseptor nikotinik yang terdapat di sambungan saraf-otot disebut
reseptor nikotinik otot (NM). Reseptor muskarinik ada 5 subtipe, yakni M1 di
ganglia dan berbagai kelenjar, M2 di jantung dan M3 di otot polos dan kelenjar.
Reseptor M1 dan M3 menstimulasi fosfolipase C melalui protein G yang belum
dikenal, dan menyebabkan peningkatan kadar Ca++ intrasel sehingga terjadi
kontraksi otot polos dan sekresi kelenjar serta late EPSP pada ganglia. Reseptor
M4 mirip M2, sedangkan M5 mirip M1 (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).
Obat yang bekerja pada transmisi kolinergik, yang banyak digunakan di
klinik umumnya bekerja: (1) mempengaruhi sintesis dan penglepasan asetilkolin,
(2) menduduki reseptor muskarinik atau nikotinik, atau (3) mempengaruhi enzim
3
penghancur asetilkolin. Obat yang menduduki reseptor muskarinik dan dapat
menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitter disebut agonis muskarinik.
Agonis muskarinik dibedakan atas 3 golongan, yaitu:
1. Asetilkolin (ACh)
Ester kolin dengan asam asetat ini merupakan neurotransmitter di berbagai
sinaps dan akhiran saraf sistem saraf simpatis, parasimpatis, dan somatik.
Asetilkolin hanya bermanfaat dalam penelitian dan tidak berguna secara
klinis karena efeknya sangat luas di berbagai organ. Selain itu, kerjanya
terlalu singkat karena segera dihancurkan oleh asetilkolinesterase atau
butirilkolinesterase. ACh pun tidak dapat diberikan per oral, karena
dihidrolisis oleh asam lambung.
2. Ester kolin lainnya
Penambahan gugus metal pada ACh menghasilkan metakolin yang
afinitasnya terhadap asetilkolinesterase jauh lebih rendah sehingga masa
kerjanya lebih panjang. Metakolin juga memperlihatkan selektivitas pada
sistem kardiovaskular. Sementara itu, karbakol dan betanekol yang
merupakan ester kolin dengan karbamat sama sekali bukan substrat
asetilkolinesterase sehingga waktu paruhnya cukup panjang untuk mencapai
jaringan yang perfusinya buruk seperti saluran cerna dan saluran kemih.
3. Alkaloid kolinergik
Dalam golongan ini dikenal 3 alkaloid yaitu muskarin yang berasal dari jamur
Amanita muscaria, pilokarpin yang berasal dari tanaman Pilocarpus
jaborandi dan Pilocarpus microphyllus, dan arekolin yang berasal dari Areca
catechu (pinang) (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).
Antikolinergik
Obat antikolinergik disebut juga parasimpatolitik, berarti obat yang
bekerja menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis.
Antimuskarinik merupakan antikolinergik yang bekerja di alat yang dipersarafi
serabut pascaganglion kolinergik. Antimuskarinik memperlihatkan efek sentral
4
terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi
pada dosis toksik. Penghambat reseptor muskarinik atau antimuskarinik
dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu: (1) alkaloid antimuskarinik, atropin dan
skopolamin; (2) derivat semisintesisnya; dan (3) derivat sintesis (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).
Efek samping antikolinergik bisa dipisahkan ke dalam 2 tipe, yaitu efek
samping pada sistem saraf pusat dan periferal. Dokter perlu menyesuaikan
kemungkinan efek samping ini agar secara efektif dapat mengobati pasien. Potensi
komplikasi medis dari efek samping antikolinergik adalah cukup besar dan rentan
pada pasien yang usianya lebih tua atau pasien yang punya gejala seperti asma.
Pada efek samping periferal lebih terlihat secara fisik, oleh karena itu lebih mudah
untuk didiagnosa. Gejala khas termasuk kering mulut, sembelit, retensi urin,
penghalang usus besar, membesarnya pupil, pandangan menjadi kabur,
meningkatnya detak jantung, dan berkurangnya jumlah keringat. Ketika efek
samping tidak terlihat serius, dokter perlu waspada karena efek samping ini bisa
menyebabkan komplikasi medis. Pada efek samping sistem saraf pusat, cacat
dalam fungsi kognitif dapat menyebabkan kelainan schizophrenia. Efek samping
lainnya pada otak dan termasuk kelainan konsentrasi cairan pada otak, konfusi,
kelainan dalam proses mengingat (Lieberman, 2004).
Obat dengan aktifitas antikolinergik dapat memproduksi respon antagonis
yang signifikan ketika dibuat kombinasi. Obat seperti atropin dan skopolamin
menghambat reseptor asetilkolin muskarin dan dapat memproduksi pada efek
periferal dan pusat. Pemberian secara bersamaan dari obat dengan aktivitas
antikolinergik dapat memperluas gejala, terutama rentan pada pasien usia tua
dimana usia mempengaruhi penurunan asetilkolin endogen (Horn & Hansten,
2005).
Atropin
Atropin (campuran d- dan l-hiosiamin) terutama ditemukan pada Atropa
belladona dan Datura stramonium.
5
Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf
pusat, merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan
tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar
menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat
menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropin pada mata
menyebabkan midriasis dan siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat
mengurangi sekresi hidung, mulut dan bronkus. Efek atropin pada sistem
kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi
pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung dan menghambat
vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropin sebagai
antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung, sedangkan pada
otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan
retensi urin (Ganiswara, 2001).
Farmakodinamik
Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan
pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase.
Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh
lebih kuat terhadap yang eksogen. Kepekaan reseptor muskarinik terhadap
antimuskarinik berbeda antarorgan. Pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya,
atropin hanya menekan sekresi air liur, mukus bronkus dan keringat, belum jelas
mempengaruhi jantung. Pada dosis yang lebih besar (0,5-1,0 mg) baru terlihat
dilatasi pupil, gangguan akomodasi , dan penghambatan N-vagus sehingga terlihat
takikardia. Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk menghambat peristaltik
usus dan sekresi kelenjar di lambung. Penghambatan pada reseptor muskarinik ini
mirip denervasi serabut pascaganglion kolinergik dan pada keadaan ini biasanya
efek adrenergik menjadi lebih nyata.
- Susunan saraf Pusat
Atropin pada dosis kecil memperlihatkan efek merangsang di susunan saraf
pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek depresi setelah melampaui
fase eksitasi yang berlebihan. Atropine merangsang medulla oblongata dan
pusat lain di otak.
6
- Sistem Kardiovaskular
Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5
mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang, mungkin disebabkan
oleh perangsangan pusat vagus.
- Mata
Alkaloid belladonna menghambat M. contrictor papillae dan M. ciliaris lensa
mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme
akomodasi). Midriasis menyebabkan fotofobia, sedangkan siklopegia
menyebabkan hilangnya kemampuan melihat jarak dekat.
- Saluran napas
Tonus bronkus sangat dipengaruhi oleh system parasimpatis melalui reseptor
M3 demikian juga sekresi kelenjar submukosanya. Alkaloid belladonna
mengurangi secret hidung, mulut, faring, dan bronkus.
- Saluran cerna
Karena bersifat menghambat peristaltis lambung dan usus, atropine juga
disebut sebagai antispasmodik. Penghambatan terhadap asetilkolin eksogen
( atau esterkolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap asetilkolin endogen hanya
terjadi parsial. Atropine menyebabkan berkurangnya sekresi liur dan sebagian
juga sekresi lambung.
- Otot Polos Lain
Saluran kemih dipengaruhi oleh atropine dalam dosis agak besar (kira-kira 5
mg). Pada pielogram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter, dan kandung
kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin.
- Kelenjar Eksokrin
Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropine ialah kelenjar
liur dalam mulut serta bronkus.
Farmakokinetik
Alkaloid belladona mudah diserap di semua tempat, kecuali di kulit. Dari
sirkulasi darah, atropin cepat memasuki jaringan dan separuhnya mengalami
hidrolisis enzimatik di hepar. Sebagian di ekskresi melalui ginjal dalam bentuk
asal. Waktu paruh atropin sekitar 4 jam.
7
Indikasi dan Kontraindikasi
- Saluran cerna
Antikolinergik digunakan untuk menghambat motilitas lambung dan usus.
Terutama dipakai pada ulkus peptikum dan sebagai pengobatan simptomatik
pada berbagai keadaan misalnya disentri, colitis, diverticulitis, dan kolik
karena obat atau sebab lain. Dalam pengobatan ulkus peptikum, atropin atau
antikolinergik lain dalam dosis yang biasa digunakan tidak cukup untuk
menghambat sekresi asam lambung.
- Saluran Napas
Antikolinergik berguna untuk mengurangi sekresi lendir hidung dan saluran
napas misalnya pada rhinitis akut, koriza dan hay fever, tetapi terapi ini tidak
memeperpendek masa sakit.
- Oftalmologi
Semua pasien yang diberi antimuskarinik sebagai obat tetes mata harus
diperiksa dahulu untuk menyingkirkan adanya glaucoma, karena penyakit ini
merupakan kontraindikasi utama antikolinergik. Peninggian intraokuler terus-
menerus dapat menyebabkan kebutaan.
- Indikasi Lain
Medika praanestesia. Atropine berguna untuk mengurangi sekresi lendir jalan
napas pada anesthesia, terutama anesthesia inhalasi dengan gas yang
merangsang. Kelenjar yang sekresinya dihambat secara baik oleh
antikolinergik ialah kelenjar dan kelenjar ludah.
Efek Samping
Efek samping antimuskarinik hampir semua efek farmakodinamiknya.
Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi, meteorisme sering
terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua dapat terjadi efek sentral
terutama berupa sindrom demensia. Memburuknya retensi urin pada pasien
hipertrofi prostat dan memburuknya penglihatan pada pasien glaucoma,
menyebabkan obat ini kurang diterima. Efek samping sentral kurang pada
pemberian antimuskarinik yang tergolong ammonium kuarterner. Walaupun
8
demikian, selektivitas hanya berlaku pada dosis rendah dan pada dosis toksik
semuanya dapat terjadi.
Muka merah setelah pemberian atropine bukan reaksi alergi melainkan
akibat kompensasi pembuluh darah di wajah. Alergi terhadap atropine jarang
ditemukan (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007).
Fenobarbital
Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil barbiturat merupakan senyawa organik
pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi
penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital
masih merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif, murah. Dosis
efektifnya relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap sebagai efek
samping, dapat diatasi dengan pemberian stimulan sentral tanpa mengurangi efek
antikonvulsinya (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007).
Morfologi Fenobarbital
Fenobarbital mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%
C12H12N2O3 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur; putih tidak berbau; ras agak pahit.
Kelarutan : sangat sukar larut dalam air; larut dalam etanol (95%) P, dalam
eter P, dalam larutan alkali hidroksida dan dalam larutan alkali karbonat.
Khasiat penggunaan : Hipnotikum, sedativum.
Dosis maksimum : sekali 300 mg, sehari 600 mg (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1979).
Fenobarbital merupakan obat anti konvulsi yang paling luas digunakan
karena mempunyai keamanan yang tinggi. Efek sampingnya berupa sedasi sering
menghambat aktivitas kerja setelah konvulsi hilang. Berdasar hal tersebut,
digunakan Adrenalin yang mempunyai sifat analeptik untuk mengurangi efek
hipnotik Fenobarbital tanpa mengurangi efek anti konvulsinya (Ellyas dkk, 2009).
9
Cara Pemberian Obat
Absorpsi dari zat obat merupakan factor yang sangat penting dalam
memilih cara pemberian obat yang tepat.
Cara oral
Obat paling sering digunakan dengan pemberian oral. Walaupun beberapa
obat yang digunakan secara oral dimaksudkan larut dalam mulut, sebagian besar
dari obat yang digunakan secara oral adalah ditelan. Dari semua ini sebagian besar
dimaksudkan untuk efek sistemik dari obat, yang dihasilkan setelah terjadi
absorpsi pada berbagai permukaan sepanjang saluran cerna. Beberapa obat ditelan
untuk kerja lokal pada daerah yang terbatas dalam saluran cerna, yang
dimungkinkan karena tidak larut dan atau daya absorpsi yang tidak baik melalui
cara ini.
Dibandingkan dengan cara lainnya, cara oral dianggap paling alami, tidak
sulit, menyenangkan dan aman dalam hal pemberian obat. Hal-hal yang tidak
menguntungkan pada pemberian secara oral termasuk respons obat yang lambat
(bila dibandingkan dengan obat-obat yang diberikan secara perenteral);
kemungkinan absorbsi obat yang tidak teratur, yang tergantung pada faktor-faktor
seperti perbaikan yang mendasar, jumlah atau jenis makanan dalam saluran cerna;
dan perusakan beberapa obat oleh reaksi dari lambung atau oleh enzim-enzim dari
saluran cerna.
Obat-obat diberikan secara oral dalam bentuk sediaan farmasi yang
beragam, masing-masing dengan keuntungan terapeutik yang mengakibatkan
penggunaannya yang selektif oleh dokter. Bentuk yang paling populer adalah
tablet, kapsul, suspensi dan berbagai larutan sediaan farmasi (Ansel, 1989).
Cara Parenteral
Obat yang diberikan dengan cara parenteral adalah sesuatu yang
disuntikkan melalui lubang jarum yang runcing ke dalam tubuh pada berbagai
tempat dan dengan bermacam-macam kedalaman. Tiga cara utama dari pemberian
parenteral adalah subkutan, intramuskular (IM) dan intravena (IV) walaupun ada
yang lain seperti intrakardiak dan intraspinal.
10
Obat-obat yang rusak atau diinaktifkan dalam sistem saluran cerna atau
tidak diabsorbsi dengan baik untuk memberikan respons memuaskan, dapat
diberikan secara parenteral. Cara perenteral juga disukai bila dibutuhkan absorbs
yang segera, seperti pada keadaan darurat. Satu hal yang merugikan dari
pemberian parenteral adalah bahwa sekali obat yang sudah disuntikkan, tidak bisa
ditarik lagi. Secara farmasi, preparat-preparat yang dapat disuntikkan biasanya
berupa suspensi atau larutan steril dari suatu zat obat dalam air atau dalam minyak
nabati yang sesuai.
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit
atau selaput lendir. Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan atau
mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan
sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau dosis ganda (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1979).
- Injeksi subkutan
Pemberian subkutan (hipodermik) dari obat-obat meliputi injeksi melalui
lapisan kulit ke dalam jaringan longgar di bawah kulit. Biasanya, injeksi
subkutan dibuat dalam bentuk larutan dalam air atau sebagai suspensi dan
relatif diberikan dalam volume yang kecil yaitu 2 mL atau kurang.
- Injeksi intramuskular
Injeksi intramuskular diberikan jauh ke dalam otot rangka, umumnya pada
otot pinggul atau pinggang. Tempat penyuntikan dipilih yang bahaya
pengrusakan terhadap saraf atau pembuluh darahnya kecil. Obat-obat yang
memedihkan jaringan di bawah kulit seringkali diberikan secara
intramuskular. Juga jumlah volume yang lebih besar (2 sampai 5 mL)
seringkali diberikan intramuskular daripada subkutan.
- Injeksi intravena
Dalam pemberian obat secara intravena, larutan air disuntikkan ke dalam
vena dengan kecepatan yang sepadan dengan efisiensi, keselamatan,
menyenangkan bagi pasien dan lamanya reaksi obat yang diinginkan.
11
- Injeksi intradermal
Obat suntik ini diberikan ke dalam korium dari kulit, yang biasanya dalam
jumlah sekitar sepersepuluh milliliter. Tempat yang lazim untuk
penyuntikkan adalah lengan dan punggung. Penyuntikan seringkali dilakukan
sebagai pengukuran diagnostik seperti pada tuberkulin dan tes alergi (Ansel,
1989).
IV. ALAT DAN BAHAN1. Hewan percobaan :
Mencit jantan
2. Bahan obat :
- Fenobarbital
- Atropin
- Pilokarpin
3. Alat :
Papan berukuran 40 x 30 cm yang diletakan di atas papan lain dengan
ukuran yang sama. Papan pertama membuat sudut 10o dengan papan
kedua, sehingga membentuk segitiga. Papan bagian atas diberi alas 4 cm.
Setelah itu kertas saring ditaburi bubur biru metilen sebagai lapisan tipis.
V. PROSEDURAlat – alat untuk percobaan dipersiapkan. Kemudian, hewan percobaan
dipilih secara acak, ditimbang dan diberi tanda pengenal. Pada waktu T=0 mencit
pertama diberi atropin p.o. segera setelah pemberian fenobarbital i.p. Sedangkan
mencit kedua dan ketiga hanya diberi fenobarbital. Pada T=15 menit, mencit
kedua diberi atropin s.c. Dan pada T=45 menit, semua mencit diberi pilokarpin
s.c. Lalu, masing – masing mencit diletakkan di atas kertas saring (1 mencit 1
kotak). Penempatan mencit dilakukan sedemikian sehingga mulutnya berada tepet
di atas kertas sarimg. Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya dan
diulangi hal yang sama selama 25 menit. Besarnya noda yang terbentuk di kertas
saring diamati dan ditandai. Diameter noda diukur dan dihitung persentase
12
inhibisi yang diberikan oleh atropin. Data hasil perhitungan dimasukkan ke dalam
tabel dan dibuat grafik inhibisi per satuan waktu.
VI. HASIL PENGAMATAN
DATA PENGAMATAN
MENCIT BOBOTVOLUME PEMBERIAN
Fenobarbital i.p. Atropin p.o. Atropin s.c. Pilokarpin s.c.
1 24,8 0,62 0,62 - 0,62
2 24,5 0,6125 - 0,6125 0,6125
3 26,7 0,6675 - - 0,6675
BB (konversi) = 20 mg
Volume maksimal = 0,5 mL
Volume obat yang diberi :
Mencit IV= berat
BB (kon )xvol=24 ,8
20x 0,5 mL=0 , 62mL
I IIIII
13
Mencit IIV= berat
BB(kon )xvol=24 ,5
20x 0,5 mL=0 ,6125 mL
Mencit IIIV= berat
BB(kon )xvol=26 , 7
20x 0,5 mL=0 ,6675 mL
Perlakuan Mencit Diameter Saliva (cm)
5’ 10’ 15’ 20’ 25’ Jumlah
Atropinp.o.
1 - - - - -2 - - - - -3 - - - - -4 - - - - -
Jumlah - - - - - -Rata2 - - - - - -
Atropins.c.
1 - - - - -2 - - - - -3 - - - - -4 - - - - -
Jumlah - - - - - -Rata2 - - - - - -
Kontrol
1 - 3,1 3,1 2,25 1,62 3 3,8 3,7 3 2,33 - - 1 1,3 1,84 4,5 4 4,1 4 4,2
Jumlah 7,5 10,9 11,9 10,55 9,9 50,75Rata2 1,875 2,725 2,975 2,6375 2,475 9,7125
TOTAL 7,5 10,9 11,9 10,55 9,9 50,75
AnalisisHipotesisHo : t1 = 0, artinya seluruh perlakuan memberikan efek yang sama terhadap mencit.H1 : tidak demikian
Tabel Anava
14
Sumber Variasi Dk Jk KT Fhit
Rata-rata 1 42,93 42,93
188,68Waktu (blok) 4 0,9 0,225
Pemberian obat (perlakuan) 2 85,85 42,925
Kekeliruan eksperimen (E) 8 1,82 0,2275
Kekeliruan subsampling 45 39,46 0,88
TOTAL 60 170,96
Perhitungan :DkRata-rata = 1Waktu = (b-1) = 5-1 = 4Pemberian obat = (p-1) = 3-1 = 2Kekeliruan eksperimen = (b-1)(p-1) = 4.2 = 8Total = 60Kekeliruan subsampling = 60-(1+4+2+8)=45
Jk
Ry= J2
n=50 ,752
60=42 ,93
By=7,52+10 ,92+11 ,92+10 ,552+9,92
3 x 4−42 ,93=0 ,90
Py=0+0+50 , 752
4 x 5−42 , 93=85 ,85
Sb=0+0+0+0+0+0+0+0+0+0+7,52+10 , 92+11 ,92+10 ,552+9,92
4−42 , 93
= 88,57
Ey = Sb – (By+Py)= 88,57 - (0,90+85,85)= 1,82
Sy = Σy2 – Ry – Sb = 170,89 – 42,93 – 88,5 = 39,46
Dengan α = 5% = 0.05Ftabel = F(2.8) = 4.46
Fhitung =
15
Karena Fhit > Ftabel, maka Ho ditolak. Artinya semua pemberian obat tidak
memberikan efek yang sama terhadap mencit.
16
VII. PEMBAHASAN
Sistem saraf otonom merupakan sistem yang bekerja mengendalikan dan
mengatur keseimbangan fungsi-fungsi intern tubuh yang berada diluar pengaruh
kesadaran. Salah satu jaringan saraf yang bekerja dibawah sistem saraf otonom
adalah jaringan saraf yang mensyarafi kelenjar-kelenjar, termasuk diantaranya
kelenjar saliva.
Percobaan ini dilakukan untuk menguji aktivitas obat antikolinergik pada
jaringan saraf kelenjar saliva dengan cara pemberian obat yang berbeda. Prinsip
pada percobaan ini adalah pemberian zat kolinergik (pilokarpin) pada hewan
percobaan (mencit) menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi
oleh zat antikolinergik (atropin).
Hewan percobaan dibagi ke dalam tiga kelompok yang masing-masing
diberi empat perlakuan yang bervariasi. Perlakuan pada menit pertama (T=0’)
untuk ketiga kelompok mencit adalah pemberian fenobarbital secara intra
peritoneal . Pada kelompok mencit pertama langsung dilanjutkan dengan
pemberian atropin secara per oral dan pada kelompok mencit ketiga diberikan
PGA secara per oral. Pada kelompok mencit kedua, perlakuan selanjutnya adalah
pemberian atropin secara sub-cutan setelah menit ke-15 (T=15’). Setelah menit
ke-45 (T=45’), pada ketiga kelompok diberikan pilokarpin secara sub kutan.
17
Fenobarbital termasuk golongan obat hipnotik sedatif, yaitu obat yang
menghilangkan kegelisahan, sebagai penenang dan menyebabkan depresi ringan
pada Sistem Saraf Pusat. Pemberian fenobarbital pada hewan percobaan berfungsi
untuk membatasi aktivitas dan bangkitan agar hewan percobaan mudah ditangani
dan respon yang timbul dari perlakuan dapat diamati dengan baik.
Pilokarpin merupakan obat golongan kolinergik yang memiliki efek
muskarinik diantaranya merangsang kelenjar saliva, dan pada percobaan ini
pemberian pilokarpin berfungsi untuk merangsang kelenjar saliva mencit sehingga
terjadi salivasi dan hipersalivasi sebagai target dari efek obat antikolinergik yang
diuji yaitu atropin.
Atropin termasuk golongan obat antikolinergik yang bekerja memblok
asetilkolin endogen maupun eksogen. Kelenjar eksokrin yang paling jelas
dipengaruhi oleh atropin ialah kelenjar liur dalam mulut. Dalam percobaan ini,
diamati kerja atropin yang menginhibisi terjadinya pengeluaran air liur (saliva)
berlebih yang ditimbulkan dari pemberian pilokarpin.
Sebelum dilakukan pemberian zat-zat, hewan percobaan terlebih dahulu
ditimbang berat badannya untuk menentukan jumlah obat (volume obat) yang
disuntikkan pada masing-masing hewan percobaan. . Setelah menghitung volume
obat yang akan diberikan, selanjutnya pemberian obat dilakukan pada masing-
masing mencit pada tiap kelompok uji.
Tepat setelah pemberian pilokarpin, masing-masing mencit diletakkan
pada papan yang telah dilapisi kertas saring dan dibagi menjadi tiga lajur dimana
setiap lajur dibagi menjadi lima kotak. Masing-masing lajur digunakan untuk
pengujian saliva mencit untuk tiap kelompok. Mencit ditempatkan di atas kertas
saring pada alat (1 mencit per kotak) yang telah dipersiapkan sedemikian rupa
dimana di bawahnya diberi metilen blue yang akan memberikan warna biru
apabila kertas tersebut terbasahi (oleh air liur). Penempatan mencit haruslah
sedemikian sehingga mulutnya berada tepat di atas kertas. Setiap 5 menit mencit
ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas, kemudian dilakukan hal yang
sama selama 25 menit sampai kotak yang paling atas. Penempatan mencit pada
18
kotak harus ditahan agar tidak banyak pergerakan yang dapat mempengaruhi
pengukuran diameter saliva yang terbentuk.
Pengamatan mencit kelompok uji petama
Mencit pertama diberikan fenobarbital secara peroral pada menit ke-0,
atropin secara peroral pada menit ke-0, dan pilokarpin secara subkutan pada menit
ke-45. Dari hasil pengukuran diameter saliva, mencit ini tidak mengeluarkan
saliva selama waktu percobaan. Artinya, atropin yang diberikan secara peroral
efektif menghambat pengeluaran saliva mencit. Atropin memblok asetilkolin
endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang
eksogen. Atropin juga menghambat aktivitas kelenjar eksokrin, yaitu kelenjar liur
dalam mulut serta bronkus. Atropin yang diberikan secara peroral mengalami
absorpsi melalui saluran cerna yang umumnya terjadi secara difusi pasif, dan
mengalami metabolisme di saluran cerna, sehingga akan mengurangi jumlah obat
yang diserap untuk mencapai sirkulasi sistemik. Akibatnya konsentrasi obat akan
berkurang dan membutuhkan waktu cukup lama untuk memberikan efek yang
diharapkan.
Sebaliknya pilokarpin tidak menunjukkan kerja yang efektif dalam
merangsang pengeluaran saliva mencit. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya
saliva yang dikeluarkan mencit. Pilokarpin mengakibatkan efek nikotinik,
terutama menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat, kelenjar air mata,
dan kelenjar ludah. Seharusnya, pada menit-menit awal, mencit mengeluarkan
saliva akibat dari efek pemberian pilokarpin secara subkutan, karena setelah
penyuntikan, obat masuk ke tempat yang terdekat sekitar pembuluh darah dan
memasukinya dengan cara difusi atau fitrasi sehingga langsung masuk ke sistem
peredaran. Konsentrasi obat juga tidak banyak berkurang karena tidak harus
melalui metabolisme tubuh dan efek yang diharapkan dapat langsung terjadi.
Oleh karena itu seharusnya mencit mengeluarkan saliva pada menit-menit awal
karena pengaruh pilokarpin dan kemudian mengeluarkan saliva karena pengaruh
atropin.
19
Pengamatan mencit kelompok uji kedua
Mencit kedua diberikan fenobarbital secara peroral pada menit ke-0,
atropin secara subkutan pada menit ke-15, dan pilokarpin secara subkutan pada
menit ke-45. Dari hasil pengukuran diameter saliva mencit, tidak ditemukan
adanya pengeluaran saliva. Hal ini berarti atropin yang diberikan secara subkutan
efektif menghambat pengeluaran saliva mencit. Namun, pilokarpin tidak
memberikan efek untuk merangsang pengeluaran saliva pada mencit, walaupun
juga diberikan secara subkutan. Hal ini mungkin terjadi akibat kesalahan
praktikan ketika menyuntikkan obat ke mencit, yang mengakibatkan tidak seluruh
obat masuk, contohnya pada pemberian subkutan, obat yang disuntikkan keluar
lagi melalui tengkuk, sehingga distribusi zat aktif tidak sempurna dan efek yang
diharapkan tidak terjadi. Selain itu pemberian atropin yang lebih dahulu daripada
pilokarpin juga mempengaruhi respon mecit. Atropin akan menghambat efek
asetikolin di kelenjar yaitu efek muskarinik dan efeknya di SSP dan merintangi
penerusan impuls dalam sel-sel gangllion. Sehingga pemberian pilokarpin tidak
mempengaruhi sekresi saliva mencit.
Pengamatan mencit kelompok uji ketiga
Mencit ketiga diberikan fenobarbital secara peroral pada menit ke-0 dan
pilokarpin secara subkutan pada menit ke-45. Mencit ini diamati sebagai kontrol
positif. Dari hasil pengukuran saliva, seluruh mencit memberikan respon
mengeluarkan saliva. Hal ini terjadi karena mencit tidak diberikan zat penginhibisi
air liur (atropin).
Kumpulan data yang diperoleh dari kelompok praktikum lain
memperlihatkan data yang tidak seragam. Kondisi ini terjadi akibat perbedaan
kemampuan praktikan dalam memberikan obat ke hewan percobaan, perbedaan
keakuratan dosis obat yang disuntikkan ke hewan percobaan, dan perbedaan berat
badan mencit pada tiap kelompok. Ketidakseragaman data ini menyebabkan data
percobaan yang diperoleh kurang akurat.
20
Berdasarkan analisis anava yang dilakukan, didapat kesimpulan bahwa
semua pemberian obat tidak memberikan efek yang sama terhadap mencit. Namun
berdasarkan hasil percobaan, pemberian atropin secara peroral dan subkutan
memiliki efek yang sama.
Data hasil percobaan dapat digambarkan dalam suatu kurva dan grafik
diameter saliva mencit terhadap waktu. Pada kurva terlihat bahwa kurva kontrol
menunjukkan grafik yang tidak stabil. Seharusnya, grafik ini makin meningkat
seiring meningkatnya waktu, karena kelenjar saliva mencit tidak diinhibisi oleh
atropin. Pada kurva pemberian obat secara peroral dan subkutan, diperoleh hasil
yang sama yaitu tidak ada diameter saliva yang terukur.
Dari data percobaan diketahui bahwa efektivitas atropin yang diberikan
secara peroral dan subkutan adalah sama yaitu menghambat sekresi saliva mencit.
Hal ini juga ditunjukkan oleh besarnya persen inhibisi atropin yang diberikan
secara peroral dan subkutan adalah sama yaitu 100%. Hasil yang didapat dari
percobaan ini tidak sesuai dengan teori, dimana pemberian atropin secara
subkutan seharusnya memberikan efek yang lebih cepat karena langsung
memasuki pembuluh darah sehingga dapat langsung bekerja. Sedangkan pada
pemberian secara peroral obat terlebih dahulu masuk dalam organ pencernaan dan
mengalami metabolisme, setelah melalui saluran pencernaan barulah obat
berdifusi ke pembuluh darah sehingga efek yang diinginkan lebih lambat.
VIII. KESIMPULAN Kesimpulan dari percobaan ini adalah :
1. Persen inhibisi untuk atropin yang diberikan secara per oral adalah 100 %.
2. Persen inhibisi untuk atropin yang diberikan secara subkutan adalah
100%.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
aIndonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Gaya Baru.
Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi
Ketiga. Departemen Kesehatan Repulbik Indonesia. Jakarta.
Ellyas, I.S., Samigun, dan Bambang S.T. 2009. Efek Analeptik Adrenalin.
http://www.farmako.uns.ac.id/index.php?hal=riset&no_riset=17 (27 Maret
2009)
Ganiswara. 2001. Preanestesi dan Anestesi Sebelum Operasi. Error! Hyperlink
reference not valid. (27 Maret 2009)
Lieberman, J.A. 2004. Managing Anticholinergic Side Effects. Error! Hyperlink
reference not valid. April 2009)
Horn, J.R., dan Philip Hansten, PharmD. 2005. Cholinergic–Anticholinergic Drug
Interactions. http://www.hanstenandhorn.com/hh-article08-05.pdf (4 April
2009)