PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN
INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT EROSI TANAH
Studi Kasus DAS Tinalah Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan S1 pada
Fakultas Geografi UGM
Oleh : Bramantiyo Marjuki
No. Mhs. 04/175633/GE/5579
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI
YOGYAKARTA 2008
i
KATA PENGANTAR
Pertama - tama penulis ingin memanjatkan puji dan syukur sedalam -
dalamnya kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka
penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tulisan ini merupakan laporan dari penelitian yang penulis lakukan guna
memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sains di bidang
geografi pada Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM. Dalam
pelaksanaannya, penulis mengalami berbagai kendala dan hambatan, oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besar kepada nama-nama di bawah ini, karena berkat kebaikan, keiklhasan, dan
pengorbanan mereka, penulis bisa mencapai kondisi sekarang dan dapat
menyelesaikan penyusunan laporan ini. Mereka adalah:
1. Dr. Junun Sartohadi., M.Sc, selaku Ketua Jurusan Geografi Lingkungan
dan Dosen Pembimbing Skripsi, atas begitu besarnya perhatian, gagasan,
masukan, dan ilmu yang telah diberikan, serta akses terhadap Citra SPOT-5
yang digunakan dalam penelitian.
2. Dr. H. Hartono., DEA., DESS, selaku Dekan Fakultas Geografi UGM
yang telah memberikan ijin penelitian.
3. Drs Tukidal Yunianto., M.Sc dan Barandi Sapta Widartono., S.Si.,
M.Si, selaku Dosen Penguji Skripsi, yang dengan segala keramahannya
telah bersedia menguji, mengkritisi hasil penelitian dan memberikan saran-
saran perbaikan yang bermanfaat.
4. Bapak, Ibu, adik-adikku dan keluarga di rumah, atas dukungan moral
dan material selama pelaksaan penelitian dan penulisan laporan skripsi,
sungguh merupakan pengorbanan yang tak mungkin terbalas.
5. Djaka Marwasta., S.Si., M.Si., dan Drs Projo Danoedoro., M.Sc., Ph.D.,
dan., yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi baik secara lisan
maupun melalui email tentang pemrosesan citra dan ekstraksi data biofisik
ii
dari citra penginderaan jauh.
6. Orang-orang baik yang telah membantu dalam kerja lapangan dan
meminjamkan Komputer, Printer, Laptop, GPS, dan Kamera digital, Aspian
Noor, Duwi Jalestari, Putu Perdana Kusuma Wiguna, Samudera Ivan
Supratikno, Romi Nugroho, Aris Widodo, Fara Dwi Sakti Kartika,
Vidyana Arsanti, Wahyu Kuncoro GIL 04, Dini Anggriani SIGPW 04,
Tommy Andryan GIL 03, Kun Hidayati Arifah dan Rahmi PWK FT
UGM 03.
7. Senior asisten Geografi Lingkungan Rino Cahyadi Srijaya Giyanto S.Si
(alm) dan Nugroho Christanto, S.Si yang telah membantu memperoleh
Citra SPOT-5, Muhammad Anggri Setiawan S.Si., M.Sc untuk beberapa
diskusi tentang erosi, dan Guruh Samodra GIL 04 untuk masukan dan
koreksi abstrak.
8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis yang tidak
dapat disebutkan satu per satu, baik dalam pelaksanaan penelitian maupun
penulisan skripsi.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini merupakan cerminan betapa masih
dangkalnya kemampuan penulis dalam bidang Geografi, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat penulis harapkan guna pengembangan kemampuan
akademis penulis. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat
serta balasan atas segala kebaikan yang telah diberikan. Amin.
Yogyakarta, Juli 2008.
Penyusun
Bramantiyo Marjuki
iii
PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN
INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT EROSI TANAH
Studi Kasus DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Oleh
Bramantiyo Marjuki 04/175633/GE/5579
INTISARI
Tujuan daru penelitian ini adalah memetakan kondisi tutupan kanopi vegetasi di DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo menggunakan indeks vegetasi (NDVI) dan mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan analisis regresi antara nilai digital NDVI sebagai variabel bebas dan nilai persentase tutupan kanopi vegetasi sebagai variabel terikat. NDVI dalam penelitian ini diturunkan dari Citra SPOT-5 HRG dengan skala dasar pemetaan adalah 1:50.000. Pengumpulan data lapangan untuk menurunkan model dilakukan secara purposive sampling pada dua kelas penggunaan lahan. Analisis hubungan tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi dilakukan menggunakan tabel silang. Derajat hubungan secara kuantitatif ditentukan menggunakan indeks kappa (κ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan NDVI untuk memetakan tutupan kanopi DAS Tinalah belum memberikan hasil yang memuaskan. Hubungan terbaik diberikan oleh model regresi polinomial orde 2 untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,485 dan nilai determinasi (r2) sebesar 0,235. Untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan hubungan terbaik diberikan model regresi eksponensial dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,305 dan nilai determinasi (r2) sebesar 0,093. Analisis tabel silang antara hasil penilaian tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi menunjukkan tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut dengan nilai (κ) sebagai nilai korelasi sebesar 0,05. Kata kunci: tutupan kanopi, NDVI, tingkat erosi
iv
APPLICATION OF CANOPY COVER MAPPING BASED ON VEGETATION INDEX AND ITS RELATIONSHIP WITH
EROSION RATE Case Study Tinalah Watershed
Kulonprogo Regency, Yogyakarta Special Province
by Bramantiyo Marjuki 04/175633/GE/5579
ABSTRACT
The main objectives of this research are to apply canopy cover mapping based on vegetation index (NDVI) in Tinalah Watershed and to analyze its relationship with erosion rate. Mapping was done through regression analysis between NDVI value as independent variable and percentage fraction canopy cover as dependent variable. SPOT-5 HRG imagery was used to derive NDVI map at scale 1:50.000. Purposive sampling at two landuse class was chosen to obtain field data for model generation. Relationship analysis between vegetation canopy cover and erosion rate was done through cross tabulation analysis. Kappa index (κ) was used to determine its correlation quantitatively. The study result showed that utilization of NDVI for mapping canopy cover over entire study area was not satisfied. Second order polynomial regression model was the best model for estimating vegetation canopy cover in mixed garden land use (r = 0,485 and r2 = 0,235) while exponential regression model was the best model for field crop landuse (r = 0,305 and r2 = 0,093). Cross tabulation analysis between canopy cover derived from fieldwork and qualitative field assessment of soil erosion rate have shown that both of them was not correlated (k=0,05). Keywords= Canopy cover, NDVI, erosion rate
v
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..................................................................................... i INTISARI......................................................................................................... iii ABSTRACT.................................................................................................... iv DAFTAR ISI.................................................................................................... v DAFTAR TABEL................................................................................... ......... vii DAFTAR GAMBAR........................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... ......... x BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah.............................................................. ......... 3 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................. ......... 4 1.4 Manfaat Penelitian................................................................ ......... 4 1.5 Tinjauan Pustaka........................................................................... 5 1.5.1 Tinjauan Teoritis....................................................... ......... 5 1.5.2 Tinjauan Empiris............................................................... 14 1.6 Kerangka Pemikiran....................................................................... 15 1.7 Batasan Operasional....................................................................... 17
BAB II. METODE PENELITIAN 2.1 Pengumpulan Data........................................................................ 19 2.1.1 Macam Data...................................................................... 19 2.1.2 Sumber Data...................................................................... 19 2.1.3 Alat Penelitian................................................................... 19 2.1.4 Penentuan Lokasi Sampel................................................. 20 2.1.5 Metode Pengumpulan Data............................................... 20 2.2 Pengolahan dan Analisis Data....................................................... 26 2.2.1 Analisis Regresi NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.. 26 2.2.2 Analisis Hubungan Tutupan Kanopi dan Tingkat Erosi..... 28 BAB III DESKRIPSI WILAYAH 3.1 Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian....................................... 30 3.2 Iklim............................................................................................... 32 3.2.1 Curah Hujan....................................................................... 32 3.2.2 Suhu................................................................................... 33 3.2.3 Tipe Iklim........................................................................... 34 3.3 Geologi........................................................................................... 36 3.4 Geomorfologi dan Bentuklahan..................................................... 38 3.5 Hidrologi......................................................................................... 41 3.6 Tanah.............................................................................................. 42 3.7 Vegetasi dan Penggunaan Lahan................................................... 46
3.8 Kependudukan dan Sosial Ekonomi............................................... 48
vi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Restorasi Citra................................................................................ 49 4.1.1 Koreksi Geometrik.............................................................. 49 4.1.2 Koreksi Radiometrik........................................................... 51 4.2 Transformasi NDVI........................................................................ 53 4.3 Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan................. 56 4.3.1 Penggabungan Citra............................................................ 56 4.3.2 Pemetaan Penggunaan Lahan.............................................. 59 4.4 Pengukuran Tutupan Kanopi.......................................................... 66 4.5 Pengamatan Bentukan Erosi dan Penilaian Tingkat Erosi Kualitatif......................................................................................... 69 4.6 Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi...... 76 4.7 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Regresi................................... 80 4.8 Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan Tutupan Kanopi Vegetasi.. 85 4.9 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan
Tutupan Kanopi Vegetasi............................................................... 88 BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan..................................................................................... 91 5.2 Saran................................................................................................ 92 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 94 LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL No. Tabel Hal 1.1 Dampak Erosi....................................................................................... 5 1.2 Karakteristik Satelit dan Sensor SPOT-5............................................. 11 1.3 Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5...................................................... 13 2.1 Indikator Tingkat Erosi......................................................................... 26 2.2 Model Regresi Yang Digunakan dan Bentuk Persamaannya............... 27 2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi.................................................................. 28 3.1 Desa Yang Termasuk Dalam DAS Tinalah.......................................... 30 3.2 Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006........ 32 3.3 Suhu Rata-rata Bulanan DAS Tinalah................................................... 34 3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q............................................................ 35 3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian..................................... 35 3.6 Distribusi dan Jenis Batuan DAS Tinalah............................................ 38 3.7 Distribusi Bentuklahan DAS Tinalah................................................... 41 3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah................................. 46 3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah................................................. 48 4.1 Nilai Bias atmosfer Pada Setiap Saluran Citra SPOT-5....................... 52 4.2 Hasil Uji Akurasi Interpretasi Penggunaan Lahan................................ 62 4.3a Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur....... 77 4.3b Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Tegalan................... 77 4.4 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan
Kanopi Vegetasi.................................................................................... 86 4.5 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Tanah..................................................................................................... 87 4.6 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kelas kemiringan Lereng..................................................................................................... 87
viii
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Hal 1.1 Proses Erosi........................................................................................... 6 1.2 Canopy Cover dan Canopy Closure...................................................... 8 1.3 Kurva Pantulan Obyek Vegetasi, Tanah dan Air.................................. 9 1.4 Satelit SPOT-5 dan Konfigurasi Instrumen Pencitraannya.................. 12 1.5 Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG SPOT-5......... 13 1.6 Kerangka Pemikiran.............................................................................. 18 2.1 USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart......................................... 24 2.2 Plot Sampel............................................................................................ 25 2.3 Diagram Alir Penelitian.......................................................................... 29 3.1 Peta Administrasi Desa Di Sekitar DAS Tinalah................................... 31 3.2 Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006.............................................................................................. 33 3.3 Peta Geologi DAS Tinalah..................................................................... 37 3.4 Peta Bentuklahan DAS Tinalah.............................................................. 39 3.5 Peta Tanah DAS Tinalah........................................................................ 44 3.6 Peta Penggunaan Lahan DAS Tinalah................................................... 47 4.1 Perbandingan Citra SPOT-5 Sebelum dan Sesudah Koreksi Geometrik............................................................................................... 50 4.2 Citra Hasil Orthorektifikasi.................................................................... 51 4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah....................................... 54 4.4 Citra NDVI SPOT-5 DAS Tinalah........................................................ 55 4.5 Perbandingan Citra Multispektral, Pankromatik dan Citra Gabungan... 57 4.6 Perbedaan Kenampakan Obyek Pada Citra Komposit 432 dan 321...... 58 4.7 Perbandingan Citra Pankromatik dan Komponen Intensitas Dari Komposit 432......................................................................................... 59 4.8 Citra Gabungan Komposit 432 Menggunakan Transformasi IHS......... 60 4.9 Foto Perbandingan Kenampakan Penggunaan Lahan Pada Citra dan
Kenampakan Lapangan.......................................................................... 63 4.10 Foto Yang Menunjukkan Perbedaan Kondisi Penutup lahan Saat Citra
Direkam dan Kondisi Saat Survei Lapangan.......................................... 65 4.11 Foto Contoh Hasil Estimasi Persentase Tutupan Kanopi...................... 67 4.12 Peta Lokasi Sampel................................................................................. 68 4.13 Foto Kenampakan Pedestal.................................................................... 70 4.14 Foto Armour Layer................................................................................ 70 4.15 Foto Singkapan Akar Pada Tanaman Jagung.......................................... 71 4.16 Foto Gundukan Tanah Di bawah Kanopi Tanaman (tree mound)......... 72 4.17 Foto Akumulasi Material Pada Sisi Sebelah Atas Batang Tanaman...... 72 4.18 Foto Endapan Material Hasil Limpasan Permukaan Di sepanjang Saluran Drainase..................................................................................... 73 4.19 Foto Kenampakan Erosi Alur................................................................. 74 4.20 Foto Erosi Parit...................................................................................... 75
ix
4.21 Grafik Hasil Penilaian Tingkat Erosi Pada 42 Lokasi Sampel................ 76 4.22 Diagram Pencar Hubungan NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi
Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan ........... 78 4.23 Peta Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan DAS Tinalah............................................ 79 4.24a Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur........................................................ 80 4.24b Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Tegalan.................................................................... 81 4.25 Bukti Pengaruh Kabut Terhadap Perbedaan Nilai Pantulan Vegetasi
Saluran XS2 Pada Penutup Lahan Yang Sama dan Pengaruhnya Terhadap Nilai NDVI............................................................................. 82
4.26 Profil Spektral Antara Area A dan Area B Pada Gambar 4.25 ............. 83 4.27a Foto Area Dengan Tutupan Kanopi Jarang Namun Tutupan Tanahnya Rapat...................................................................................... 84 4.27b Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra NDVI.................................................. 84 4.27c Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra Komposit 432.................................... 84 4.28 Foto Lahan Tegalan Dengan Tutupan Tanah Rapat dan Jarang............. 88
x
DAFTAR LAMPIRAN No. Lampiran 1 Hasil Perhitungan Koreksi Radiometrik Kalibrasi Bayangan............... L-1 2. Rekapitulasi Data Lapangan………………………………………...... L-5 3. Hasil Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.... L-7 4. Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Bakosurtanal (dalam
Rahardjo, 1990)...................................................................................... L-10 5. Hasil dan Perhitungan Analisis Tabulasi Silang.................................... L-11 6. Hasil Perhitungan Standar Kesalahan (Standard Error) antara Persentase Tutupan Kanopi Hasil Observasi dan Hasil Prediksi……... L-14 7. Metadata Citra SPOT-5 HRG XS dan PAN………………………….. L-16
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan studi erosi menggunakan pendekatan spatio-temporal
semakin banyak memperoleh perhatian. Hal ini dikarenakan antara lain adanya
kebutuhan data dan penilaian secara cepat (rapid assessment) dalam konteks
regional untuk mengidentifikasi area yang terjadi erosi intensif dan penyusunan
perencanaan konservasi pada lahan – lahan kritis (De Jong, 1999; Vrieling, 2004).
Studi erosi secara spasial dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu
pendekatan kuantitatif menggunakan model erosi dan pendekatan kualitatif
dengan factorial scoring (Vrieling, 2004). Kedua pendekatan tersebut
memerlukan data spasial faktor-faktor erosi yang meliputi faktor iklim, topografi,
tanah dan penutup/penggunaan lahan (Baban dan Yusof, 2001). Tutupan kanopi
merupakan salah satu atribut vegetasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap
erosi. Tutupan kanopi memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak
air hujan terhadap agregat tanah (Morgan, 2001). Jika kondisi tutupan vegetasi di
suatu daerah sangat rapat, maka tanah mendapat perlindungan yang baik dari air
hujan, sehingga erosi dengan intensitas tinggi yang dicirikan dengan adanya
kenampakan erosi alur dan parit kemungkinan besar tidak akan terjadi (De Jong,
1994; Morgan, 1995). Tutupan kanopi merupakan salah satu parameter utama
dalam beberapa model erosi seperti WEPP, RMMF, RUSLE dan SEMMED (De
Jong, 1999; Lanteri et al., 2004; Morgan, 2001).
Tutupan kanopi mempunyai karakteristik distribusi spasial yang bervariasi
dan heterogen. Distribusi ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam
pemetaan tutupan kanopi untuk studi erosi agar dapat diperoleh hasil estimasi
erosi yang akurat dan reliabel (Lanteri et al., 2004), akan tetapi metode untuk
menentukan tutupan kanopi yang telah dikembangkan adalah dengan estimasi dan
pengambilan sampel di lapangan. Metode sampel ini, selain memerlukan waktu
dan biaya yang besar, hasilnya bersifat lokal dan tidak dapat digunakan sebagai
2
masukan untuk studi erosi secara spasial (Lanteri et al., 2004; Lee, tanpa tahun).
Walaupun demikian, metode ini tetap digunakan oleh Yazidi (2003);
Theklehaimanot (2003); Cartagena (2004) dan Setiawan (2006), untuk
memperoleh data spasial tutupan kanopi dengan cara ekstrapolasi hasil
pengambilan sampel ke unit pemetaan yang lebih luas dengan mendasarkan pada
asumsi homogenitas karakteristik di dalam unit pemetaan yang sama. Asumsi
homogenitas dalam unit pemetaan yang dalam kenyataannya heterogen dan
bervariasi dapat menyebabkan ketidakpastian hasil analisis dan prediksi yang
tidak tepat (De Jong, 1994).
Sejak dua dasawarsa terakhir, teknologi penginderaan jauh telah menjadi
sumber data spasial yang efektif untuk studi erosi (Jaroslav et al., 1996 dalam
Yazidi, 2003). Data penginderaan jauh dapat memberikan informasi faktor
pengontrol erosi secara sinoptik pada area yang luas (Lee, tanpa tahun).
Kelebihaan ini memungkinkan data penginderaan jauh dapat digunakan untuk
memetakan obyek di permukaan bumi secara kontinu dan memperbaiki
kelemahan dari teknik sampel. Terlebih bila karakteristik obyek berkorelasi kuat
dengan nilai spektral citra, maka pemetaan dapat dilakukan dengan analisis
digital. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu
produk analisis digital citra penginderaan jauh yang mengandung berbagai macam
informasi vegetasi. Atribut spektral NDVI telah diketahui berkorelasi dengan
berbagai macam atribut vegetasi, termasuk di dalamnya tutupan kanopi (Larsson,
2002).
DAS Tinalah merupakan salah satu sub DAS dari DAS Progo yang
berlokasi di Kabupaten Kulonprogo bagian utara. DAS ini merupakan bagian dari
kawasan perbukitan Menoreh utara yang terbentuk akibat proses vulkanik tua dan
proses struktural pengangkatan (up-lifting) dilanjutkan proses denudasi, termasuk
di dalamnya adalah erosi (Bemmelen, 1970). Sstudi yang dilakukan Hartono
(1994) dan Restele (2004) menyimpulkan bahwa lahan – lahan di DAS Tinalah
didominasi lahan dengan kelas kemampuan VI dan VII dengan faktor pembatas
berupa erosi berat. Proses erosi di DAS ini sudah mencapai taraf berat yang
dicirikan dengan ditemukannya berbagai kenampakan erosi, mulai dari erosi
3
lembar hingga erosi parit di seluruh DAS. Di sisi lain, penggunaan lahan di DAS
Tinalah didominasi oleh kebun dan hutan dengan jenis tanaman berupa tanaman
tahunan dengan kerapatan tutupan vegetasi yang baik. Kontradiksi antara
kerapatan tutupan kanopi dan tingkat erosi yang terjadi di DAS Tinalah
menjadikan topik ini cukup menarik untuk diteliti.
1.2 Perumusan Masalah Studi erosi secara spasial memerlukan integrasi berbagai macam data
spasial faktor erosi. Agar dapat diperoleh hasil yang reliabel dan akurat, data
spasial yang digunakan untuk studi erosi haruslah seakurat mungkin, termasuk
dalam hal ini pertimbangan variabilitas dan heterogenitas fenomena. Kendala
utama dalam penurunan data spasial untuk studi erosi adalah beberapa jenis data
masih diukur dengan metode sampel yang tidak mempunyai dimensi area. Data
hasil pengambilan sampel ini hanya shahih di lokasi pengambilan sampel.
Pemetaan yang dilakukan dengan menggunakan data hasil pengambilan sampel
sering dilakukan dengan cara mengekstrapolasi data ke satuan pemetaan (dari
dimensi titik ke dimensi area). Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima
karena dapat menyebabkan ketidakpastian dan kesalahan hasil pengukuran dan
pemetaan mengingat heterogenitas dan variabilitas di dalam satuan pemetaan
diabaikan. Salah satu atribut vegeasi sebagai faktor erosi yang menghadapi
kendala di atas adalah tutupan kanopi.
Citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi permukaan bumi
secara sinoptik pada area yang luas dalam waktu singkat. Termasuk dalam hal ini
adalah informasi vegetasi dan penutup lahan. NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index) merupakan salah satu teknik analisis digital data penginderaan
jauh untuk memperoleh informasi distribusi spasial vegetasi dan atributnya. NDVI
berkorelasi kuat dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti biomassa, LAI
(Leaf Area Index) dan tutupan kanopi.
Tutupan kanopi vegetasi berpengaruh besar terhadap erosi melalui dua
aspek. Pertama, kanopi tumbuhan dapat menahan air hujan dari kontak langsung
dengan tanah. Dengan tertahannya butir – butir air hujan oleh kanopi vegetasi,
4
energi kinetiknya menjadi berkurang, sehingga ketika sampai di permukaan tanah,
erosivitasnya kecil. Kedua, vegetasi dapat mengintersepsi air hujan sehingga
ketika sampai di permukaan tanah volumenya sudah jauh berkurang. Semakin
rapat tutupan semakin baik perlindungan sehingga erosi yang terjadi semakin
kecil, akan tetapi di DAS Tinalah kondisinya justru berkebalikan.
Bertolak pada masalah tersebut, maka dapat disusun perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah NDVI dapat digunakan sebagai sumber data tutupan kanopi?
2. Bagaimana hubungan tutupan kanopi dengan tingkat erosi tanah di DAS
Tinalah?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan:
1. Menghitung nilai NDVI dari Citra SPOT-5 HRG multispektral.
2. Memetakan penggunaan lahan DAS Tinalah sebagai basis pemetaan
tutupan kanopi pada skala 1:50.000 menggunakan Citra SPOT-5
multispektral dan pankromatik.]
3. Memetakan tutupan kanopi vegetasi pada setiap unit penggunaan lahan di
DAS Tinalah pada skala 1: 50.000 menggunakan data NDVI yang
diintegrasikan dengan pengukuran lapangan
4. Menilai tingkat erosi DAS Tinalah berdasarkan observasi kenampakan
erosi.
5. Mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi hasil pemetaan sebagai salah
satu faktor erosi dengan tingkat erosi tanah di DAS Tinalah.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Dapat memberikan metode alternatif untuk pemetaan tutupan kanopi.
2. Dapat memberikan informasi hubungan tutupan kanopi dengan intensitas
erosi secara empiris berdasarkan kenampakan erosi yang terjadi.
5
3. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana Geografi
Lingkungan pada Fakultas Geografi UGM.
1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Tinjauan Teoritis
1.5.1.1 Erosi, Proses Erosi dan Faktor yang Mempengaruhi Erosi
Erosi adalah hilang atau terkikisnya tanah atau bagian – bagian tanah dari
suatu tempat yang terangkut oleh media alami (air dan angin) te tempat lain
(Arsyad, 1989). Erosi menyebabkan berbagai kerusakan tanah dan lahan seperti
hilangnya lapisan atas tanah yang subur, berkurangnya kemampuan tanah untuk
menyerap dan menahan air, memicu banjir dan pendangkalan. Secara rinci
dampak dari erosi disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 1.1 Dampak Erosi
Bentuk Dampak
Dampak di tempat kejadian erosi
Dampak di luar tempat kejadian
Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman
Pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan tubuh air lainnya
Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah
Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya
Peningkatan penggunaan energi untuk produksi
Menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air
Kerusakan banguan konservasi dan bangunan lainnya
Kerusakan ekosistem perairan
Langsung
Pemiskinan petani dan pemilik/penggarap tanah
Meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan
Berkurangnya alternatif penggunaan lahan
Kerugian oleh memendeknya umur waduk
Tidak langsung
Timbulnya tekanan untuk membuka lahan baru
Meningkatkan frekuensi dan besar banjir
(Arsyad, 1989)
Proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu (1)
penghancuran struktur tanah menjadi butir – butir primer oleh energi tumbuk butir
– butir hujan yang menimpa tanah (Dh) dan perendaman oleh air yang tergenang
dan pemindahan butir – butir tanah oleh percikan hujan (Th) dan (2)
6
penghancuran struktur tanah (Di) diikuti pengangkutan butir – butir tanah tersebut
(Ti) oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Secara skematis proses tersebut
dapat dijelaskan dengan Gambar 1.1.
(Arsyad, 1989)
Gambar 1.1 Diagram yang Menunjukkan Proses terjadinya erosi
Erosi merupakan hasil interaksi faktor – faktor yang mempengaruhi dan
menyebabkan erosi yang bekerja terhadap tanah. Faktor – faktor tersebut meliputi
iklim, topografi, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan (Arsyad, 1989).
Faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Karakteristik hujan
yang mempengaruhi erosi antara lain besarnya curah hujan, intensitas dan
distribusi. Kombinasi ketiga aspek hujan ini menentukan kekuatan dispersi hujan
terhadap tanah dan kecepatan limpasan permukaan (Utomo, 1994).
Faktor topografi yang berpengaruh terhadap erosi adalah panjang dan
kemiringan lereng. Panjang lereng berpengaruh terhadap volume limpasan,
volume limpasan semakin bertambah dengan bertambahnya panjang lereng.
7
Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kecepatan limpasan. Pada lereng curam
kecepatan limpasan lebih tinggi daripada lereng landai (Utomo, 1994).
Sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi antara lain tekstur, struktur,
bahan organik, permeabilitas, dan kedalaman tanah. Tanah bertekstur pasir
mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, sehingga dapat mengurangi volume
limpasan. Tanah bertekstur pasir halus juga mempunyai kapasitas infiltrasi yang
tinggi, namun butir-butirnya mudah terangkut limpasan. Tanah bertekstur
lempung mudah tersuspensi oleh hujan dan pori-porinya dapat tersumbat,
sehingga dapat menyebabkan erosi berat. Struktur tanah juga berpengaruh
terhadap kapasiltas infiltrasi. Struktur granuler mempunyai kapasitas infiltrasi
yang lebih besar daripada struktur yang lebih mantap. Bahan organik menghambat
aliran limpasan, sehingga limpasan lebih lambat sekaligus meningkatkan infiltrasi.
Tanah yang dangkal dan permeabilitasnya cepat lebih peka erosi daripada tanah
yang dalam dan permeabilitasnya cepat. Kedalaman tanah juga berpengaruh
terhadap kapasitas infiltrasi (Utomo, 1994).
Vegetasi berpengaruh terhadap erosi karena vegetasi dapat melindungi
tanah dari kekuatan perusak hujan melalui penahanan dan intersepsi butir hujan
oleh kanopi vegetasi. Tertahannya hujan oleh kanopi dapat mengurangi kecepatan
jatuh butir hujan dan mengurangi energi hujan ketika mencapai permukaan tanah
serta memberikan waktu lebih untuk infiltrasi, sehingga volume dan kecepatan
limpasan berkurang. Vegetasi melalui perakaran juga mempengaruhi sifat tanah
dalam wujud memperbesar ketahanan massa tanah dari daya rusak hujan dan
limpasan serta memperbesar kapasitas infiltrasi melalui peningkatan porositas
(Utomo, 1994).
1.5.1.2 Kanopi dan Tutupan Kanopi
Kanopi merupakan lapisan paling atas dalam kumpulan vegetasi, yang
dibentuk oleh mahkota (kumpulan daun) tanaman dan menutupi lapisan di
bawahnya. Derajat kerapatan kanopi sering dinyatakan dengan tutupan kanopi
(canopy cover) yang didefinisikan sebagai persentase area permukaan tanah yang
tertutup kanopi proyeksi vertikal dari kanopi vegetasi (Lanteri et al., 2004).
8
Walaupun demikian, konsepsi tutupan kanopi masih belum sepenuhnya
terbakukan. Terdapat dua konsep tentang tutupan kanopi berkaitan dengan teknik
pengukuran yang digunakan, yaitu canopy cover dan canopy closure. (Jennings et
al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006). Definisi canopy cover telah disebutkan di
atas, sedangkan definisi canopy closure adalah proporsi bidang langit (open sky)
yang ditutupi tumbuhan jika dilihat dari suatu titik. Perbedaan antara canopy
cover dan canopy closure dapat dilihat pada Gambar 1.2. Kerancuan lain
berkaitan dengan konsepsi tutupan kanopi adalah pertimbangan celah diantara
mahkota tanaman sebagai bagian dari kanopi atau tidak. Hal ini penting karena
akan berpengaruh terhadap hasil akhir estimasi. Untuk itu Rauitiainen et al.,
(1995) dalam Korhonen et al, (2006) memperkenalkan konsep tutupan kanopi
tradisional dan tutupan kanopi efektif. Perbedaan dari dua konsep tersebut adalah
tutupan kanopi tradisional menganggap celah di antara mahkota tumbuhan sebagai
bagian dari kanopi, sedangkan tutupan kanopi efektif tidak. Berdasarkan tinjauan
di atas, maka konsep tutupan kanopi yang sesuai dengan pengaruh kanopi
terhadap erosi dan ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh
adalah tutupan kanopi efektif. Konsepsi tutupan kanopi efektif ini yang digunakan
dalam penelitian ini.
(a) (b)
Gambar 1.2 Canopy Cover (a) dan Canopy Closure (b),
(Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006),
9
1.5.1.3 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
Vegetasi, sebagaimana tanah dan air, mempunyai karakteristik spektral
yang unik dalam merespon energi elektromagnetik matahari yang mengenainya.
Vegetasi menyerap banyak energi pada spektrum tampak (terutama biru dan
merah), namun banyak memantulkan energi pada spektrum inframerah dekat
(Gambar 1.3). Vegetasi hijau menyerap banyak radiasi matahari pada spektrum
merah untuk digunakan sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis,
sedangkan energi pada spektrum inframerah dekat tidak mencukupi untuk
mensintesiskan molekul – molekul organik dalam tumbuhan. Penyerapan energi
pada spektrum ini hanya akan menyebabkan pemanasan yang berlebihan pada
tumbuhan dan berpotensi merusak metabolisme tumbuhan, oleh karena itu
dipantulkan dengan kuat (Gates, 1980 dalam Lee, tanpa tahun).
(A = tanah kering, B = Tanah lembab, C = Vegetasi, D = air)
Gambar 1.3. Kurva Pantulan Obyek Tanah, Vegetasi dan Air (Lillesand dan Kiefer, 2004)
Implikasi hal di atas terhadap data penginderaan jauh adalah pada saluran
merah citra penginderaan jauh multispektral, vegetasi hijau akan berona gelap dan
mempunyai nilai pantulan yang rendah, sedangkan pada saluran inframerah dekat
justru sebaliknya (Hoffer, 1978). Dengan transformasi indeks vegetasi, informasi
respon vegetasi dari saluran merah dan inframerah dekat dapat dikombinasikan
untuk memperoleh informasi vegetasi dengan hasil lebih baik daripada analisis
dua saluran secara terpisah (Schreiber, 2007).
10
Indeks vegetasi adalah suatu formula transformasi matematis yang
mengkombinasikan dua atau lebih saluran pada citra penginderaan jauh yang
ditujukan untuk memperoleh informasi vegetasi dengan lebih baik. Berbagai
macam indeks vegetasi telah dikembangkan, namun NDVI merupakan indeks
yang paling banyak diaplikasikan (Lee, tanpa tahun).
NDVI dapat dikalkulasi dengan menggunakan rumus berikut:
)()(
REDNIRREDNIR
+− (1)
NIR = saluran infra merah dekat
RED = saluran merah (Schreiber, 2007)
1.5.1.4 Hubungan NDVI Dengan Tutupan Kanopi
Nilai spektral NDVI berkaitan dengan banyak atribut dan karakteristik
kanopi seperti biomasaa, produktivitas daun, leaf area index, PAR
(Photosynthecally Active Radiation) dan tutupan kanopi (Jensen, 1991; Larsson,
2002). Dilihat dari hubungannya dengan obyek vegetasi dan tutupan kanopi
vegetasi, nilai -1 hingga 0 dari citra NDVI mengindikasikan obyek bukan
vegetasi. Nilai positif rendah (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran
merah berselisih sedikit) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan rendah,
sedangkan nilai positif tinggi (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran
merah berselisih banyak) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan/tutupan
tinggi (Schreiber, 2007; Lee, tanpa tahun).
1.5.1.5 Sistem Penginderaan Jauh Satelit SPOT-5
Satelit SPOT-5 merupakan generasi kelima dari keluarga Satelit SPOT
(Système pour d’Observation de la Terre). SPOT-5 diluncurkan pada tanggal 4
Mei 2002 dengan membawa tiga instrumen penginderaan jauh untuk berbagai
misi pemetaan tematik sumberdaya. Instrumen-instrumen penginderaan jauh pada
Satelit SPOT-5 merupakan perbaikan dari instrumen generasi satelit sebelumnya.
Instrumen tersebut adalah Instrumen HRG (High Resolution Geometric) yang
11
merupakan instrumen penerus HRV (High Resolution Visible) pada satelit SPOT
1-4 dengan resolusi spasial dan spektral yang lebih baik, instrumen HRS (High
Resolution Stereoscopic) yang merupakan instrumen pencitraan stereo untuk
pemetaan topografi, dan terakhir adalah VEGETATION-2 untuk pemetaan dan
monitoring vegetasi dalam skala global (SPOT Image, 2006). Karakteristik umum
dari Satelit SPOT dari SPOT-1 hingga 5 dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Karakteristik Satelit dan Instrumen Pencitraan SPOT-5 dan Satelit
Sebelumnya
Satelit Paramater
SPOT-5 SPOT-4 SPOT-1,2,3
Peluncuran 4 Mei 2002 24 Maret 1998 1. 22 Februari 1986
2. 22 Januari 1990
3. 20 September 1993
Masa Kerja 5 tahun 5 tahun 3 tahun
Orbit Sinkron Matahari Sinkron Matahari Sinkron Matahari
Waktu melintasi ekuator
(waktu lokal)
10.30 10.30 10.30
Ketinggian orbit (ekuator) 822 km 822 km 822 km
Periode Orbit 101,4 menit 101,4 menit 101,4 menit
Sudut inklinasi 98,7 derajat 98,7 derajat 98,7 derajat
Siklus Orbit 26 hari 26 hari 26 hari
Instrumen Resolusi tinggi
- Saluran spektral
- Julat Spektral
- Luas Liputan
- Resolusi Radiometrik
- Resolusi Temporal
2 Sensor HRG
- 2 pankromatik (5m) yang
bisa dikombinasikan
menjadi 1 pankromatik (2,5
m)
- 3 VNIR (10m)
- 1 SWIR (20m)
- P : 0,48-0,71 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm
- 60 x 60 km hingga 80 km
- 8 bits
- 2 hingga 3 hari
2 Sensor HRVIR
- 1 Pankromatik (10m)
- 3 VNIR (20m)
- 1 SWIR (20m)
- M : 0,61-0,68 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm
- 60 x 60 km hingga 80 km
- 8 bits
- 2 hingga 3 hari
2 Sensor HRV
- 1 Pankromati (10m)
- 3 VNIR (20m)
- P : 0,48-0,71 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- 60 x 60 km hingga 80 km
- 8 bits
- 2 hingga 3 hari
Sumber: SPOT Image (2006)
12
Gambar 1.4 Satelit SPOT5 dan Instrumen Pencitraannya
(SPOT Image, 2006)
Instrumen HRG pada Satelit SPOT-5 merupakan instrumen yang
menghasilkan citra dengan resolusi tinggi pada mode multispektral (10 meter) dan
mode pankromatik (5 meter). Citra Pankromatik dari dua Instrumen HRG dengan
resolusi 5 meter dapat diintegrasikan untuk menurunkan citra sintesis pankromatik
dengan resolusi spasial 2,5 meter yang disebut Supermode (SPOT Image, 2006).
Citra turunan ini dapat digabungkan dengan citra multispektral untuk memperoleh
citra berwarna pada resolusi spasial 2,5 meter. Instrumen HRG merekam
permukaan bumi melalui mekanisme pushbroom scanning baik melalui
perekaman nadir atau off nadir viewing sebagaimana instrumen HRV. Mekanisme
perekaman nadir dan off nadir Sensor HRG SPOT-5 dapat dilihat pada Gambar
1.4. Kapabilitas perekaman off nadir memungkinkan instrumen HRG dapat
digunakan untuk memperoleh citra stereo untuk analisis tiga dimensi dan ekstraksi
DEM. Perekaman data pada Instrumen HRG SPOT-5 menggunakan detektor
berupa CCD linear array sebanyak 6000 detektor (Richards dan Jia, 2006). Citra
yang diperoleh dari instrumen HRG dipasarkan dengan berbagai macam tingkat
pemrosesan yang dapat dilihat pada Tabel 1.3.
13
Gambar 1.5 Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG Satelit SPOT-5
(SPOT Image, 2006)
Tabel 1.3
Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5\HRG
Level Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Akurasi posisi
1A
- Normalisasi respon CCD untuk memperbaiki variasi radiometrik yang dikarenakan perbedaan sensitivitas detektor
- Pengaruh eksternal (atmosfer) belum dikoreksi.
- N/A < 50 meter
1B - Sama dengan 1A - Distorsi geometrik sistematik sudah terkoreksi (distorsi panoramik, efek rotasi bumi, variasi ketinggian orbit)
< 30 meter
2A - Sama dengan 1A - Pemrosesan level 1B - Transformasi koordinat ke UTM - Orthorektifikasi tanpa menggunakan
GCP, hanya menggunakan informasi ephemeris sensor plus DEM dengan resolusi 1 km
< 30 meter
2B (Precision) - Sama dengan 1A - Pemrosesan Level 2A - Penggunaan GCP untuk koreksi
geometrik guna memperoleh ketelitian posisi yang lebih baik
Tergantung akurasi GCP
3 (Ortho) - Sama dengan 1A - Pemrosesan Level 2A - Orthorektifikasi menggunakan DEM
berkualitas tinggi dan GCP untuk mengkoreksi distorsi geometrik akibat pengaruh medan
< 10 meter, tergantung akurasi GCP dan DEM
Sumber: SPOT Image (2006).
14
Instrumen HRG dapat beroperasi pada mode multispektral dan
pankromatik. Dibanding instrumen HRV dan HRVIR pada satelit sebelumnya,
instrumen HRG mempunyai banyak perbaikan dari segi resolusi spasial dan
spektral. Resolusi spasial instrumen HRG mempunyai resolusi spasial 10 meter
untuk mode multispektral dan 5 meter untuk mode pankromatik. Resolusi spasial
ini lebih baik dari instrumen HRV dan HRVIR yang resolusi spasialnya 20 meter
untuk mode multispektral dan 10 meter untuk mode pankromatik. Terlebih dengan
menggunakan supermode, dua instrumen HRG pada satelit SPOT-5 dapat
menghasilkan citra pankromatik sintesis dengan resolusi 2,5 meter. Perbaikan dari
segi resolusi spasial ini memungkinkan Citra SPOT-5 dapat digunakan untuk
berbagai aplikasi yang memerlukan detil spasial tinggi dan pemetaan skala detil
yang tidak dapat dilakukan oleh Citra SPOT dari satelit sebelumnya. Selain
resolusi spasial, resolusi spektral instrumen HRG juga lebih baik dari instrumen
HRV dengan adanya penambahan Saluran Inframerah Gelombang Pendek (SWIR)
dengan julat spektral 1500-1750 nm. Penambahan saluran ini membuat instrumen
HRG mempunyai lebih banyak pilihan komposit warna untuk interpretasi visual
dan kapabilitas yang lebih baik dalam klasifikasi multispektral daripada instrumen
HRV. Selain itu citra dari instrumen HRG ini juga dapat dieksploitasi untuk
aplikasi-aplikasi yang memanfaatkan kelebihan spektral saluran SWIR seperti
analisis spektral lahan perkotaan, analisis kelembaban tanah dan kandungan air
pada vegetasi. Aplikasi –aplikasi semacam ini tidak dapat diterapkan dengan
menggunakan Citra SPOT dari Instrumen HRV (SPOT Image, 2006).
1.5.2 Tinjauan Empiris
Studi yang mengkaji hubungan antara tutupan kanopi dan NDVI telah
dilakukan oleh Gitelson (2004) yang melakukan studi penggunaan indeks vegetasi
untuk ekstraksi karakteristik biofisik tumbuhan menggunakan citra NOAA-
AVHRR di Israel. Hasil yang diperoleh menunjukkan korelasi yang kuat antara
tutupan kanopi dan NDVI pada berbagai jenis tumbuhan (R2 = 0,94-0,98).
Kancheva, Borisova (2006) memperoleh nilai R2 sebesar 0,95 dan 0,97 dalam
studi hubungan tutupan kanopi dan NDVI pada dua jenis tanah yang berbeda di
15
Bulgaria menggunakan LANDSAT TM. Hasil serupa juga diperoleh Nagler et al,
(2003) dengan hasil nilai R2 antara NDVI dan tutupan kanopi sebesar 0,82. Studi
dilakukan menggunakan foto udara multispektral di lembah Sungai Colorado
Amerika. Carreiras et al., (2006) memperoleh nilai R2 sebesar 0,72 dalam studi
estimasi tutupan kanopi di daerah Mediteran Portugal menggunakan LANDSAT
TM.
Studi ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh untuk
studi erosi pernah dilakukan Lanteri et al., (2004) menggunakan citra MODIS di
daerah semi arid California Amerika. Hasil studi menunjukkan NDVI dan tutupan
kanopi mempunyai korelasi positif kuat (R= 0,88), sehingga persamaan regresi
dapat diturunkan dan diaplikasikan untuk mengkalibrasi persentase tutupan
kanopi ke seluruh area penelitian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Data
tutupan kanopi yang diperoleh kemudian digunakan sebagai masukan model erosi
WEPP.
Studi erosi di DAS Tinalah sendiri pernah dilakukan oleh beberapa
peneliti antara lain Wiraswasti (2005); Ariyanto (2004); Setiawan (2005); Restele
(2004); Kumalawati (2005), dengan fokus studi yang berbeda – beda, mulai dari
evaluasi praktek konservasi hingga valuasi ekonomi erosi terhadap lahan
pertanian. Dari beberapa studi erosi yang telah dilakukan, terutama oleh Hartono
(1994) dan Restele (2004), keduanya menyimpulkan bahwa tingkat erosi di DAS
Tinalah termasuk dalam kategori sedang hingga berat.
1.6. Kerangka Pemikiran Erosi tanah oleh air merupakan proses yang bervariasi, heterogen dan
dinamis secara spasial dan temporal. Variabilitas ini ditentukan oleh variabilitas
topografi, iklim, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan yang merupakan faktor –
faktor erosi oleh tenaga air. Pengaruh vegetasi terhadap erosi salah satunya
berasal dari kondisi tutupan kanopi. Vegetasi dengan kondisi tutupan kanopi yang
baik dapat melindungi tanah dari erosivitas hujan, sehingga ketika mencapai
permukaan tanah, energi dan kemampuannya untuk melepas butir tanah dari
agregat tanah sudah jauh berkurang. Selain itu vegetasi dengan kondisi tutupan
16
baik juga mempunyai kemampuan untuk mengintersepsi air hujan yang lebih
besar sehingga dapat mengurangi volume hujan yang sampai ke permukaan tanah
serta memberi waktu yang lebih banyak untuk proses infiltrasi. Kombinasi dari
tiga aspek di atas menjadikan kemungkinan terjadinya erosi pada lahan dengan
kondisi penutup vegetasi yang baik cukup rendah.
Studi erosi dan pemodelan erosi secara spasial dan temporal memerlukan
data masukan faktor-faktor yang terlibat dalam proses erosi diatas yang
mengakomodasi variabilitas spasial dan temporal faktor-faktor tersebut. Pada
kenyataannya, selain data topografi, data faktor – faktor erosi yang diperlukan
untuk studi erosi dan pemodelan erosi sebagian besar berasal dari data sampel
yang sejatinya bersifat data titik, dimana data ini hanya shahih dan akurat hanya
pada lokasi pengambilan sampel. Untuk memenuhi kebutuhan data pada lingkup
regional, data hasil pengambilan sampel sering diekstrapolasi ke unit area yang
lebih luas dengan asumsi homogenitas karakteristik pada satu unit area.
Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima karena variabilitas dan
heterogenitas fenomena menjadi tidak diperhatikan. Terlebih dalam kenyataannya,
faktor-faktor erosi mempunyai variabilitas dan heterogenitas yang besar. Salah
satu faktor erosi yang datanya secara konvensional dikumpulkan dengan teknik
sampel adalah tutupan kanopi vegetasi. Penggunaan sampel dalam pemetaan
tutupan kanopi lebih dipilih karena pemetaan secara menyeluruh memerlukan
waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Sejak tahun 1972, data penginderaan jauh satelit telah digunakan untuk
memperoleh informasi permukaan bumi, pada cakupan area yang luas, dalam
waktu yang singkat. Jenis data ini dapat memberikan informasi distribusi spasial
dan temporal secara sinoptik, sehingga variabilitas dan heterogenitas fenomena
dapat dipetakan dengan baik. Perolehan informasi vegetasi dan karakteristiknya
saat ini telah menjadi salah satu fokus utama dalam bidang penginderaan jauh.
Terlebih saat ini telah diketahui bahwa atribut spektral data penginderaan jauh
berkorelasi dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti leaf area index,
biomassa, Photosyntecally active radiation dan tutupan kanopi. Dengan demikian,
data penginderaan jauh mempunyai potensi sebagai sumber data spasial tutupan
17
kanopi vegetasi sebagai data masukan dalam studi dan pemodelan erosi, dengan
beberapa kelebihan dibanding data hasil pengambilan sampel yang diekstrapolasi.
1.7 Batasan Operasional
Daerah aliran sungai adalah seluruh daerah yang dialiri sebuah sungai atau anak
sungai yang berhubungan sedemikia rupa sehingga semua aliran yang
berasal dari daerah itu keluar sebagai keluaran tunggal (Sutikno, 1985).
Erosi adalah proses pelepasan partikel – partikel tanah dari massa tanah oleh
tenaga erosi seperti air dan angin (Morgan, 1995)
NDVI adalah indeks yang dihitung dari hasil pengukuran pantulan obyek pada
saluran merah dan inframerah citra satelit penginderaan jauh (Lanteri et
al.,, 2006)
Tingkat Erosi adalah besarnya erosi yang terjadi pada suatu permukaan tanah
(Arsyad, 1989)
Tutupan Kanopi adalah proporsi dari area permukaan tanah yang tertutup oleh
proyeksi vertikal dari kanopi tumbuhan (Lanteri et al, 2004).
18
Erosi
Faktor erosi Erosi aktual
Erosi potensial
Topografi
Vegetasi
Tanah
Iklim
Variasi spasial dan temporal
Pengambilan l
ekstrapolasi
Pemetaan Terabaikan
Citra PJ
Berkorelasi
Terakomodasi
Nilai spektral
Pemetaan
Tutupan kanopi
Peta tutupan kanopi
Korelasi
NDVI
Gambar 1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian
18
19
BAB II
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan - tujuan penelitian, penelitian dilakukan melalui
beberapa tahap sebagai berikut:
2.1 Pengunpulan Data 2.1.1 Macam Data
Untuk dapat memperoleh data tutupan kanopi yang diturunkan dari citra
dan bagaimana hubungannya dengan erosi yang terjadi, diperlukan beberapa
macam data yang dikategorikan menjadi data primer dan data sekunder. Adapun
yang termasuk dalam data primer adalah:
1. Data hasil pengukuran tutupan kanopi di lapangan.
2. Data bentukan erosi dan karakterisiknya.
Adapun yang termasuk dalam data sekunder adalah:
1. Data NDVI daerah penelitian.
2.1.2 Sumber Data
Data di atas, sebagian dapat diperoleh dari sumber data berikut:
1. Citra SPOT-5 HRG1 XS resolusi 10 meter dan PAN resolusi 2,5 meter
tingkat pemrosesan 1A, rekaman Mei 2006.
2. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 Tahun 2001 Lembar
Sendangagung.
2.1.3 Alat Penelitian
Alat penelitian yang diperlukan untuk memperoleh data adalah sebagai
berikut:
1. Peralatan Lapangan untuk pengukuran persentase tutupan kanopi dan
bentukan erosi yang meliputi pita ukur, meteran, dan abney level.
2. GPS Garmin 60 untuk memperoleh koordinat titik pengukuran.
3. Kamera digital untuk perekam kenampakan visual di lapangan.
20
4. Checklist untuk mencatat data lapangan.
5. Perangkat lunak untuk menjalankan model dan analisis data, yang
meliputi:
1. ILWIS 3.4 Open Source Version untuk pemrosesan dan analisis
data spasial serta penurunan model regresi tutupan kanopi.
2. ENVI 4.3 untuk orthorektifikasi Citra SPOT-5 dan pembuatan
Citra NDVI.
3. ArcGIS ArcInfo 9.2 untuk pembuatan peta secara kartografis.
4. Microsoft Excell 2003 untuk analisis tabel silang.
2.1.4` Penentuan Lokasi Sampel
Penentuan lokasi observasi dan pengukuran persentase tutupan kanopi
dilakukan dengan menggunakan plot kuadrat. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive sampling dikarenakan hanya dua kelas penggunaan
lahan yang menjadi fokus penelitian. Selain itu pada unit penggunaan lahan yang
areanya cukup luas, sampel diambil beberapa kali agar dapat diperoleh data yang
signifikan secara statistik untuk menurunkan model regresi.
2.1.5 Metode Pengumpulan Data
A. Orthorektifikasi dan Koreksi Radiometrik Citra
Citra penginderaan jauh mengandung berbagai distorsi radiometrik dan
geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber data spasial yang akurat,
distorsi ini harus dihilangkan. Penelitian ini menggunakan citra SPOT 5 HRG1
Level 1A. Berdasarkan SPOT technical guide (2006), citra level 1A merupakan
citra yang sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum terkoreksi
geometrik. Karena baru terkoreksi radiometrik sistem, distorsi radiometrik yang
disebabkan pengaruh hamburan atmosfer dan perawanan masih belum tereduksi.
Oleh karena itu, distorsi radiometrik dan geometrik citra harus dikoreksi terlebih
dulu sebelum digunakan sebagai sumber informasi tematik.
Menurut Danoedoro (1996), terdapat tiga metode sederhana untuk
mengkoreksi distorsi radiometrik citra penginderaan jauh, yaitu:
21
1. Penyesuaian histogram,
2. Penyesuaian regresi,
3. Kalibrasi bayangan,
Metode penyesuaian histogram dan penyesuaian regresi tidak dapat diaplikasikan
pada citra SPOT yang digunakan untuk penelitian. Hal ini dikarenakan kedua
metode tersebut memerlukan informasi nilai spektral dari obyek air jernih dan
dalam untuk menentukan nilai bias dan offset, sedangkan citra yang digunakan
tidak meliput obyek air jernih dan dalam. Sebagai alternatifnya, metode kalibrasi
bayangan yang digunakan. Selain itu, metode kalibrasi bayangan juga memiliki
kelebihan dibanding metode penyesuaian histogram dan regresi karena dapat
mengkompensasi hamburan atmosfer yang tidak homogen pada seluruh liputan
citra, sehingga nilai offset yang diperoleh lebih mewakili.
Metode kalibrasi bayangan menggunakan informasi nilai spektral dari
obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan (obyeknya sama). Dari
pembandingan nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan
akan diketahui nilai bias akibat hamburan atmosfer dari setiap saluran. Mengingat
gangguan atmosfer tidak homogen di semua tempat, maka pembacaan nilai
spektral piksel dilakukan beberapa kali secara menyebar di seluruh liputan citra.
Penentuan nilai bias rata-rata ditentukan dengan menggunakan analisis regresi
antara nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan. Rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut:
(1 )Eit A xEis D Aλ λ λ λ λ= + − (2)
Eitλ = nilai piksel obyek tertutup awan
Eisλ = nilai piksel obyek tidak tertutup awan
Dλ = Nilai bias
(Danoedoro, 1996)
Nilai baru hasil koreksi ditentukan berdasarkan rumus berikut:
DNi DNo Dλ= − (3)
DNi = nilai piksel sesudah dikoreksi
DNo = nilai piksel sebelum dikoreksi (Danoedoro, 1996)
22
Koreksi geometrik citra dapat dilakukan dengan menggunakan
transformasi dua dimensi maupun tiga dimensi (Petrie, 2006). Transformasi tiga
dimensi disebut juga orthorektifikasi. Pemilihan teknik orthorektifikasi untuk
mengkoreksi distorsi geometrik citra didasarkan pada pertimbangan akurasi yang
lebih baik dan ketersediaan data pendukung. Transformasi dua dimensi persamaan
polinomial tidak dipilih karena transformasi ini tidak dapat mengkompensasi
variasi ketinggian medan yang dapat menyebabkan pergeseran bayangan atau
relief displacement (Harintaka, 2003). Orthorektifikasi dilakukan menggunakan
DEM sebagai sumber data elevasi dan informasi orientasi internal dan eksternal
sensor dalam bentuk koefisien RPC (Rational Polynomial Coefficient). DEM
diperoleh dari data kontur peta RBI yang diinterpolasi linier. Informasi koefisien
RPC diperoleh dari header citra.
B. Pembuatan Peta Unit Penggunaan Lahan Sebagai Satuan Pemetaan
Jenis vegetasi yang berbeda mempunyai kondisi penutupan yang berbeda.
Selain itu, vegetasi dengan kondisi tutupan yang sama namun jenisnya berbeda,
pengaruhnya terhadap erosi juga berbeda. Oleh karena itu, analisis kondisi tutupan
kanopi dengan menggunakan data NDVI harus dilakukan secara terpisah pada
setiap jenis vegetasi. Hal ini dikarenakan NDVI tidak dapat membedakan jenis
vegetasi karena NDVI berkaitan dengan karakteristik internal vegetasi, bukan
pada jenis vegetasinya. Skala dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1:50.000. Skala tersebut terlalu kecil untuk pemetaan vegetasi hingga tingkat
jenis. Oleh karena itu unit penggunaan lahan digunakan sebagai alternatif satuan
pemetaan untuk membedakan jenis vegetasi. Asumsi yang digunakan adalah di
dalam satu unit penggunaan lahan, jenis dan karakteristik vegetasinya relatif
homogen.
Pembuatan Peta penggunaan lahan skala 1:50.000 diturunkan dari citra
SPOT-5. Teknik yang digunakan adalah interpretasi visual dengan mendasarkan
pada kunci interpretasi citra. Klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan
mengikuti klasifikasi penggunaan lahan menurut BAKOSURTANAL dalam
Rahardjo (1990). Skema klasifikasi dapat dilihat pada lampiran 4.
23
Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua citra, yaitu
citra multispektral (XS) dengan resolusi spasial 10 meter dan citra Pankromatik
(PAN) dengan resolusi spasial 2,5 meter. Citra multispektral dengan resolusi
spasial 10 meter sering kali dianggap kurang detil untuk memperoleh informasi
penggunaan lahan pada skala 1: 50.000 (Richards dan Jia, 2006), oleh karena itu
informasi dari citra pankromatik perlu ditambahkan untuk mencapai standar
kerincian informasi untuk pemetaan penggunaan lahan menurut
BAKOSURTANAL. Untuk itu, citra multispektral dan pankromatik digabungkan
dengan menggunakan teknik pan-sharpening. Algoritma pan-sharpening yang
dipilih digunakan adalah transformasi IHS (Intensity Hue Saturation). Pemilihan
algoritma ini didasarkan pertimbangan algoritma IHS dapat memberikan hasil
citra dengan kontras yang baik dan layak untuk interpretasi visual.
C. Transformasi NDVI
Citra NDVI diturunkan dari saluran XS2 (tampak merah) dan XS3
(inframerah dekat) dari citra SPOT-5. Penurunannya dilakukan menggunakan
rumus transformasi berikut:
SPOT NDVI = (5)
XS2 = SPOT XS saluran 2 (merah)
XS3 = SPOT XS saluran 3 (inframerah dekat)
Nilai NDVI hasil kalkulasi berkisar antara -1 hingga +1. Nilai di sekitar 0 hingga
-1 mengindikasikan obyek bukan vegetasi, sedangkan nilai positif rendah hingga
+1 menunjukkan obyek vegetasi dengan berbagai variasi tutupan kanopi.
D Estimasi Tutupan Kanopi di Lapangan
Menurut Korhonen et al, (2006), penentuan tutupan kanopi di lapangan
melalui pengukuran langsung dapat dilakukan menggunakan alat pengukur
(Densiometer, Cajanus Tube), Fotografi (Hemisferikal dan standar) dan estimasi
oskular. Teknik pengambilan sampelnya dapat secara plot (point sampling)
maupun transek (line intercept sampling). Karena konsep tutupan kanopi yang
)23()23(
XSXSXSXS
+−
24
digunakan dalam penelitian ini adalah tutupan kanopi efektif, maka teknik yang
dapat digunakan adalah fotografi standar dengan sudut pandang (angle of view)
kamera kecil atau estimasi oskular. Dalam penelitian ini metode estimasi tutupan
kanopi yang digunakan adalah estimasi oskular dengan menggunakan USDA FIA
Canopy Cover Estimation Chart pada Gambar 2.1.
.
Gambar 2.1. USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart (Jennings et al., 1999 dalam
Korhonen et al., 2006)
Pengukuran dilakukan mengikuti prosedur yang dilakukan Korhonen et al,
(2006). Pengukuran dilakukan pada plot sampel berukuran 40 x 40 meter. Lima
pengamatan diambil pada setiap plot, meliputi satu pengamatan di tengah plot dan
empat yang lain di arah barat laut, tenggara, timur laut dan barat daya pusat plot
dengan jarak kurang lebih 15 meter . Representasi plot dapat dilihat pada Gambar
2.2.
25
Gambar 2.2 Plot Pengukuran
E. Pengukuran Tingkat Erosi di Lapangan
Menurut Linden (1980), penentuan tingkat erosi di lapangan dapat
dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Dalam penelitian ini, penentuan
tingkat erosi dilakukan secara kualitatif berdasarkan kenampakan erosi di
lapangan. Bentuk – bentuk erosi yang dapat dijadikan indikator tingkat erosi
antara lain kenampakan erosi alur, parit, pedestal, singkapan akar tanaman,
armour layer dan tree mound (Stocking, dan Murnaghan, 2001). Tingkat erosi
secara kualitatif ditentukan menggunakan kriteria tingkat erosi menurut Morgan
(1995) sebagai berikut:
40 m
15 m
1
2 3
4 5
26
Tabel 2.1 Indikator Tingkat Erosi di Lapangan
Kelas Indikator
Sangat ringan Tidak terdapat akar pohon yang nampak di permukaan, tidak ada
kenampakan pedestal, tidak terdapat permukaan yang keras
Ringan Akar pohon terlihat di atas permukaan tanah, terdapat
kenampakan pedestal dan gundukan tanah yang terlindungi
vegetasi (tree mound) dengan kedalaman 1-10 mm, terdapat
sedikit permukaan kasar (armour layer)
Sedang Akar pohon yang kelihatan, pedestal dan gundukan tanah dengan
ketinggian 1-5 cm, terdapat permukaan yang mengeras.
Berat Akar pohon yang nampak, pedestal dan gundukan tanah
berkedalaman 5-10 cm, kenampakan material kasar (armour
layer) yang renggang, terdapat erosi alur dengan kedalaman
kurang dari 8 cm.
Sangat Berat Terdapat erosi parit, terdapat erosi alur dengan kedalaman lebih
dari 8 cm
Sumber: Analisis, 2008 berdasarkan Morgan, 1995
2.2 Pengolahan dan Analisis Data 2.2.1 Pembuatan Model Regresi untuk Estimasi Tutupan Kanopi dari
Citra NDVI
Untuk memperoleh data spasial tutupan kanopi daerah penelitian, analisis
regresi digunakan untuk menurunkan hubungan antara persentase tutupan kanopi
hasil pengukuran lapangan dengan nilai digital NDVI. Berdasarkan penelitian-
penelitian yang telah dilakukan, nilai NDVI berkorelasi kuat dengan persentase
tutupan kanopi, oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa nilai digital NDVI
sangat dipengaruhi oleh kerapatan tutupan kanopi. Dengan demikian penggunaan
analisis regresi untuk memperoleh hubungan fungsional antara NDVI dan
persentase tutupan kanopi dapat diterima. Walaupun demikian, linearitas
hubungan antara persentase tutupan kanopi vegetasi dan nilai NDVI belum dapat
27
diketahui dengan baik. Hasil dari berbagai penelitian sebelumnya memperlihatkan
adanya variabilitas hubungan antara nilai NDVI dan persentase tutupan kanopi
pada lokasi geografis yang berbeda, mulai dari hubungan linier (Larsson, 2002)
hingga polinomial orde dua (Purevdorj et al., 1998). Oleh karena itu analisis
regresi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan lima model regresi
yang meliputi model regresi linear, polinomial orde dua, power, eksponensial dan
logaritmik. Bentuk persamaan regresi pada setiap model ditunjukkan pada Tabel
2.2.
Tabel 2.2 Model Regresi Yang Digunakan Beserta Bentuk Persamaannya
Model Persamaan
Linear y = α + βx Logaritmik y = α + βLn(x) Polinomial orde 2 y = α + β1x + β2x2 Power y = αxβ Eksponensial y = αeβx
Sumber: ILWIS User guide
Tujuan penelitian adalah memprediksi nilai persentase tutupan kanopi dari
nilai digital NDVI, maka formula diatas diterapkan pada NDVI dan persentase
tutupan kanopi dengan NDVI sebagai variabel independen (X) dan persentase
tutupan kanopi sebagai variabel (Y). NDVI sebagai variabel independen karena
NDVI merupakan variabel yang sudah diketahui nilainya, dan persentase tutupan
kanopi (% CC) merupakan variabel yang akan diprediksi. Persamaan pada Tabel
2.2 digunakan untuk mengkalibrasi citra NDVI menjadi peta persentase tutupan
kanopi. Hasil dari pemetaan kemudian diklasifikasikan untuk analisis lebih lanjut
dengan berpedoman pada klasifikasi tutupan kanopi menurut Keputusan Dirjen
RRL Departemen Kehutanan No. 041/Kpts/V/1998 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Kriteria penentuan dapat dilihat pada
Tabel 2.3.
28
Tabel 2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi
Tutupan kanopi Kelas > 80% Sangat baik 61 – 80% Baik 41- 60% Sedang 21 - 40% Buruk < 20% Sangat buruk
Sumber: Departemen Kehutanan (2004)
2.2.2 Analisis Hubungan Kelas Tutupan Kanopi dengan Tingkat Erosi
Tanah.
Analisis hubungan antara persentase tutupan kanopi dengan tingkat erosi
tanah dilakukan menggunakan teknik tabulasi silang. Tabulasi silang lebih dipilih
karena kedua variabel yang dihubungkan mempunyai sifat data ordinal. Indeks
kappa (Campbell, 2002) digunakan untuk menilai derajat hubungan antara dua
variabel hasil operasi tabulasi silang secara kuantitatif. Indeks kappa (κ)
mempunyai nilai berkisar dari -1 hingga +1 yang mengindikasikan besar dan arah
hubungan antara dua variabel. Nilai indeks ditentukan dari persamaan 6. Metode
perhitungan untuk menentukan parameter observed value dan expected value dari
tabel silang mengacu pada Campbell (2002). ‘
(6)
(Campbell, 2002)
exp1 exp
observed ectedected
κ −=
−
29
Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000
Data kontur
Interpolasi linier
DEM
Citra SPOT-5 XS dan PAN level 1A
Orthorektifikasi dan koreksi radiometrik
Citra terkoreksi
NDVI
Survei lapangan
1. Pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan
2. Pengukuran tingkat erosi di lapangan
Analisis korelasi dan regresi
Peta persentase tutupan kanopi
Tabulasi silang
Transformasi NDVI
Data tingkat erosi tanah
Data hasil pengukuran persentase tutupan kanopi
Informasi hubungan tingkat erosi dan tutupan kanopi
Gambar 2.3 Diagram Alir Penelitian
Input
Proses
Output sementara
Output akhir
XS PAN
Transformasi IHS
Interpretasi visual Citra gabungan
Peta penggunaan lahan
Keterangan:
29
30
BAB III
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
3.1 Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian DAS Tinalah terletak di Pegunungan Progo Barat (West Progo Mountains)
bagian utara. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah
Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang Kabupaten Kulonprogo. DAS Tinalah
dibatasi:
1. Kabupaten Magelang di sebelah utara
2. Desa Kebonharjo Kecamatan Samigaluh dan Desa Purwosari Kecamatan
Girimulyo di sebelah selatan.
3. Kecamatan Kalibawang di sebelah timur.
4. Kabupaten Purworejo di sebelah barat.
Secara geografis daerah penelitian terletak antara 110o 08’ 15’’-110o 13’
00’’ BT dan 07o 38’ 45’’-07o 43’ 15’’ LS. Peta administrasi DAS Tinalah disajikan
dalam Gambar 3.1. Berdasarkan peta tersebut, DAS Tinalah terdiri dari beberapa
desa di Kecamatan Samigaluh dan satu desa di Kecamatan Kalibawang. Nama
desa dan luas wilayah disajikan pada tabel 3.1.
Tabel 3.1
Desa yang Termasuk dalam Wilayah DAS Tinalah
Desa Kecamatan Luas wilayah (ha)
Luas wilayah (%)
Banjararum Kalibawang 163.42 3.73Purwoharjo Samigaluh 943.98 21.55Banjarsari Samigaluh 775.84 17.71Pagerharjo Samigaluh 159.26 3.64Gerbosari Samigaluh 1055.08 24.09Ngargosari Samigaluh 608.83 13.90Sidoharjo Samigaluh 673.61 15.38Luas Keseluruhan 4380.02 100.00Sumber : Analisis Peta administrasi Kabupaten Kulonprogo
31
31
32
III.2 Iklim Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi erosi. Pengaruh
iklim terutama adalah pada kecepatan pelapukan batuan, pembentukan bahan
induk tanah, dan parameter erosivitas hujan yang meliputi curah hujan, energi dan
intensitas hujan. Parameter iklim yang penting untuk diketahui dalam kaitannya
dengan erosi antara adalah curah hujan, suhu dan tipe iklim.
3.2.1 Curah Hujan
Curah hujan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan data hujan dari
stasiun hujan terdekat. Stasiun tersebut meliputi stasiun Samigaluh yang berada di
dalam lokasi penelitian dan tiga stasiun di sekitarnya yang meliputi stasiun
Kaligesing, Kalibawang dan Kenteng. Hasil analisis curah hujan rata – rata
bulanan selama 10 tahun (1997-2006) dari keempat stasiun disajikan dalam tabel
3.2 dan grafik 3.1.
Tabel 3.2
Curah Hujan Rata-rata Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1997-2006 (mm)
Bulan Kaligesing Kenteng Kalibawang SamigaluhJanuari 434,7 248,1 359,8 333,3Februari 470,8 241,4 396,2 389,1Maret 363,6 208,2 302,2 401,9April 306,0 180,2 174,8 237,6Mei 159,6 89,4 98,3 134,5Juni 59,7 36,5 61,0 48,4Juli 59,0 20,2 22,7 43,3Agustus 2,8 7,0 19,4 17,1September 10,8 10,0 11,4 11,9Oktober 154,0 97,9 184,4 211,7November 290,6 172,2 189,7 292,5Desember 613,8 254,9 300,1 347,5Curah hujan tahunan 2925,3 1566,0 2119,9 2468,6Sumber : Perhitungan data sekunder, 2008
33
Sumber: Perhitungan data sekunder, 2008
Gambar 3.2
Dari tabel dan grafik diatas dapat diketahui bahwa bulan – bulan terbasah
adalah sekitar november hingga april, dan bulan kering sekitar mei hingga
september. Bulan dengan curah hujan tertinggi dari Desember hingga Februari
dengan curah hujan terbesar 600 mm. Dalam kaitannya dengan laju erosi, bulan –
bulan ini merupakan waktu dimana erosi intensif terjadi.
3.2.2 Suhu
Suhu merupakan salah satu komponen iklim yang secara tidak langsung
berpengaruh terhadap erosi. Gambaran fluktuasi curah hujan dan suhu di daerah
penelitian dapat menjelaskan bagaimana iklim berpengaruh terhadap erosi.
Pengaruh suhu terutama pada proses pelapukan batuan yang menjadi sumber
bahan induk tanah. Fluktuasi suhu yang ekstrim dapat menyebabkan laju
pelapukan batuan yang lebih intensif dan mempercepat pembentukan bahan induk
tanah. Stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah tidak menyediakan data suhu, oleh
karena itu, data suhu rerata bulanan di daerah penelitian dihitung dengan
menggunakan data dari ketinggian tempat dalam PSBA UGM (2004). Rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut:
T max = 32,11 – 0,00618*h
T min = 23,09 – 0,00642*h (6)
Keterangan : Tmax/min : suhu udara maksimum/minimum
Grafik Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun Hujan Daerah Penelitian (1997-2006)
0,0
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
600,0
700,0
Januari Maret Mei Juli September November
Bulan
Cura
h hu
jan
(mm
)
Stasiun Kaligesing
Stasiun KentengStasiun kalibawangStasiun Samigaluh
34
h : ketinggian tempat (mdpl)
23,09 dan 0,00642 : tetapan untuk perhitungan suhu minimum
32,11 dan 0,00618 : tetapan untuk perhitungan suhu maksimum
Rumus di atas pernah digunakan PSBA UGM (2004) untuk menentukan
suhu bulanan rata-rata di kabupaten Purworejo, mengingat daerah penelitian
dengan Kabupaten Purworejo masih berada pada satu jalur pegunungan, dapat
diasumsikan kondisi iklimnya tidak jauh berbeda, dengan demikian maka rumus
() dapat digunakan untuk menghitung suhu bulanan rata – rata di DAS Tinalah.
Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Suhu rata-rata bulanan di DAS Tinalah
Ketinggian Suhu maksimum (oC) Suhu minimum (oC) 300 30,26 21,16 400 29,64 20,52 500 29,02 19,88 600 28,4 19,24 700 27,78 18,6 800 27,17 17,95
Sumber: Hasil analisis, 2008
Daerah penelitian mempunyai ketinggian antara 300 hingga 800 meter.
Berdasarkan nilai ketinggian rata-rata daerah penelitian tersebut, maka dapat
diperkirakan suhu maksimum dan minimum daerah penelitian, yaitu berkisar 17
hingga 30 oC untuk suhu maksimum. Fluktuasi suhu sebesar 13 oC relatif cukup
untuk dapat mempercepat proses pelapukan batuan dan pembentukan bahan induk
tanah. Proses pembentukan bahan induk tanah yang relatif cepat ditambah curah
hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang terjal menyebabkan laju kehilangan
tanah yang tinggi di daerah penelitian.
3.2.3 Tipe Iklim
Tipe iklim daerah penelitian dapat ditentukan dengan menggunakan
klasifikasi iklim sistem Schmidt-Ferguson. Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson
mendasarkan pada banyaknya bulan basah dan bulan kering untuk menentukan
tipe iklim suatu daerah. Penentuan bulan basah dan bulan kering menggunakan
klasifikasi Mohr sebagai berikut:
35
a. Bulan basah apabila CH lebih dari 100 mm per bulan.
b. Bulan lembab apabila CH antara 60-100 mm per bulan.
c. Bulan kering apabila CH kurang dari 60 mm per bulan.
Tipe iklim menurut sistem Schmidt-Ferguson ditentukan berdasarkan nilai
Q (quotient). Nilai Q ditentukan berdasarkan rumus berikut:
Rata-rata jumlah bulan kering Q = X 100% (7)
Rata-rata jumlah bulan basah
Tipe iklim ditentukan berdasarkan nilai Q dalam Tabel 3.3 sebagai berikut:
Tabel 3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q
Golongan Nilai Q Keterangan
A 0,000 ≤ Q ≤ 0,143 Sangat basah
B 0,143 ≤ Q ≤ 0,333 Basah
C 0,333 ≤ Q ≤ 0,600 Agak basah
D 0,600 ≤ Q ≤ 1,000 Sedang
E 1,000 ≤ Q ≤ 1,670 Agak kering
F 1,670 ≤ Q ≤ 3,000 Kering
G 3,000 ≤ Q ≤ 7,000 Sangat kering
H 7,000 ≤ Q Luar biasa kering
Sumber: Wisnubroto dan Aminah (1986)
Hasil perhitungan dan penentuan tipe iklim dari empat stasiun hujan di
sekitar daerah penelitian terlampir dalam Tabel 3.4.
Tabel 3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian
Stasiun Rata-rata bulan basah
Rata-rata bulan kering
Q Golongan Keterangan
Samigaluh 8 4 0,428 C Agak basah Kalibawang 7 3 0,714 D Sedang Kenteng 6 4 0,667 D Sedang Kaligesing 8 4 0,5 C Agak basah
Sumber: Pengolahan data sekunder, 2008
36
Berdasarkan hasil perhitungan, stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah
mempunyai rasio kurang lebih 7 bulan basah dan 3 bulan kering. Oleh karena itu
daerah penelitian termasuk dalam iklim agak basah hingga sedang.
3.3 Geologi Secara geologis, DAS Tinalah termasuk dalam kawasan Perbukitan Progo
Barat yang membentang sepanjang jurus utara-selatan mulai dari bagian barat
Kabupaten Kulonprogo hingga bagian timur Kabupaten Purworejo. Menurut
Bemmelen (1970), Perbukitan Progo Barat mempunyai struktur kubah (dome)
dengan proses evolusi geologis yang cukup kompleks. Proses geologi yang
membentuk perbukitan ini dimulai pada Masa Eosen. Pada masa ini Alas
Nanggulan terbentuk. Pada kurun waktu Oligosen hingga Miosen Awal, aktivitas
geologi di daerah ini didominasi oleh aktivitas vulkanik tiga gunung api tua, yaitu
Gunungapi Gajah, Ijo dan Menoreh yang merupakan gunung api termuda di
bagian utara. Material dari tiga gunung api tersebut didominasi oleh breksi
andesit. Seiring dengan berakhirnya aktivitas vulkanik Gunungapi Menoreh,
daerah ini mengalami proses pengangkatan (uplifting) yang pertama. Pada kurun
waktu Miosen Bawah-Tengah, bagian yang terangkat mengalami penenggelaman
(subsidence) hingga di bawah permukaan laut. Pada waktu ini Formasi
Jonggrangan yang terdiri dari batu gamping, lignit dan marl mulai terbentuk dan
diendapkan, diikuti pembentukan Formasi Sentolo di sebelah selatan pada Miosen
Tengah. Masih dalam kurun waktu yang sama, proses pengangkatan dimulai lagi
di bagian selatan. Bagian utara tetap berupa dataran rendah dan peneplain dengan
sisa Gunungapi Menoreh membentuk igir dengan ketinggian 700 meter.
Pengangkatan terakhir baru terjadi pada masa Pleistosen Tengah yang membentuk
perbukitan dengan struktur kubah dengan puncak yang datar.
37
37
38
Dengan latar belakang geologi di atas, maka di daerah penelitian
setidaknya kini terdapat empat formasi batuan utama. Deskripsi karakteristik tiap
formasi batuan disajikan dalam Tabel 3.6.
Tabel 3.6
Distribusi dan Jenis Formasi Batuan di Daerah Penelitian
No. Formasi Batuan Kode Litologi Waktu pembentukan/pengendapan
1. Andesit Tua Tmoa Breksi volkanik (lahar) dengan sisipan lava andesit dan batupasir tufan.
Oligosen Akhir – Miosen Awal
2. Jonggrangan Tmj Napal tufan, batupasir gampingan dengan sisipan lignit, dan ke arah atas berubah menjadi batugamping berlapis dan batugamping terumbu
Miosen Awal– Tengah
3. Endapan koluvial
Qc Material koluvial hasil rombakan formasi andesit tua
Pleistosen-Holosen
4. Endapan Merapi Muda
Qa tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava
Pleistosen-Holosen (Kuarter)
Sumber: Peta Geologi Yogyakarta Skala 1:100.000 Direktorat Geologi Indonesia (2004)
3.4 Geomorfologi dan Bentuk Lahan Berdasarkan Peta Bentuk lahan DAS Tinalah, secara umum, terdapat tiga
proses geomorfologi yang membentuk konfigurasi bentuk lahan di daerah
penelitian, yaitu proses struktural, denudasional dan fluvial. Proses struktural
berupa pengangkatan (uplifting) dan penenggelaman (subsidence) yang terjadi
pada masa Miosen hingga Pleistosen yang kemudian menyebabkan terbentuknya
jalur patahan di beberapa tempat. Pengangkatan Kubah Progo menyebabkan Plato
Jonggrangan reliefnya naik yang kemudian terdenudasi dan tersolusi kuat,
sehingga sebagian besar material gampingan kini menghilang dan digantikan
material dibawahnya (material volkanik tua). Sisa – sisa dari Plato Jonggrangan di
daerah penelitian masih dapat ditemui di daerah hilir berupa perbukitan struktural
gamping dengan tingkat pengikisan yang bervariasi. Perbukitan ini merupakan
sisa dari Plato Jonggrangan di daerah penelitian yang terdenudasi sehingga
morfologinya berubah menjadi perbukitan.
39
39
40
Proses denudasional merupakan proses dominan dan yang paling
berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kondisi bentuk lahan di
daerah penelitian. Hal ini tidak lepas pula dari pengaruh iklim yang relatif basah
dengan fluktuasi curah hujan dan temperatur yang tinggi, sehingga pelapukan,
terutama pelapukan mekanis terjadi secara intensif. Material lapukan kemudian
terdeposisi melalui mekanisme erosi dan longsoran ke daerah bawah. Proses erosi
terjadi secara intensif yang dicirikan dengan kenampakan – kenampakan erosi
berat seperti alur dan parit yang lebar dan dalam hingga mencapai batuan dasar.
Dikarenakan bekerja pada satuan litologi yang relatif seragam (batuan andesit
tua), hasil proses denudasi di daerah penelitian juga relatif seragam membentuk
susunan morfoaransemen perbukitan, lereng, lembah, walaupun tingkat
pengikisannya bervariasi pada setiap satuan bentuk lahan. Satuan – satuan bentuk
lahan ini diklasifikasikan sebagai perbukitan dan lereng denudasional dengan
tingkat pengikisan bervariasi.
Proses fluvial terjadi di daerah lembah antar perbukitan dimana disini
terjadi akumulasi limpasan permukaan membentuk jaringan Sungai Tinalah.
Proses fluvial yang terjadi berupa pengangkutan dan pengendapan material hasil
proses denudasi di sepanjang aliran Sungai Tinalah dan membentuk dataran
aluvial sungai di hilir. Di beberapa bagian DAS, material aluvium ini bercampur
dengan material koluvium dari perbukitan diatasnya membentuk dataran fluvio-
koluvial. Secara lebih rinci, bentuk lahan yang terdapat di DAS Tinalah dapat
dilihat pada Tabel 3.7 dan Gambar 3.4.
41
Tabel 3.7
Distribusi Bentuk Lahan di Daerah Penelitian
Nama Bentuk Lahan Luas (Ha) Dataran Aluvial Endapan Vulkanik Merapi Muda 0,4Dataran Aluvial Sungai Tinalah 2,3Dataran Fluvio-Koluvial 2,9Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Napal Tuf Terkikis Sedang 35,7Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Napal Tuf, Gamping Terkikis Kuat 53,7Kompleks Perbukitan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Sedang 27Lembah Antar Perbukitan 35,5Lembah Sungai Tinalah 4,6Lereng Atas Perbukitan Denudasional Andesit, Breksi Andesit Terkikis Kuat 16,4Lereng Bawah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat 11,8Lereng Kaki Koluvial 46,8Lereng Kaki Koluvial Gamping Koral 0,4Lereng Kaki Koluvial Gamping Tersisip 7,4Lereng Landai Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Lemah 24Lereng Landai Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Gamping Koral Terkikis Ringan 7Lereng Tengah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat 48,3Lereng Terjal Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat 29,1Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat 30,5Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Ringan 18,3Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Sedang 7,7
Sumber: Peta Bentuk Lahan DAS Tinalah
3.5 Hidrologi Kondisi iklim, geologi dan geomorfologi sangat menentukan kondisi
hidrologi suatu DAS, baik air permukaan maupun air tanah. Kondisi iklim daerah
penelitian termasuk dalam kategori agak basah menurut klasifikasi Schmidt-
Ferguson. Hujan yang tersedia relatif cukup untuk mengalirkan sungai sepanjang
tahun. Oleh karena itu Sungai Tinalah termasuk dalam kategori sungai perenial.
Jenis pola aliran sungai di DAS Tinalah termasuk dalam tipe dentritik dengan
distribusi cabang sungai yang relatif rapat. Terbentuknya pola aliran sungai
dentritik di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh struktur geologi dan litologi
Pegunungan Progo Barat yang didominasi batuan breksi andesit. Pola aliran
sungai yang rapat dengan beberapa anak sungai masih berupa parit alam yang
42
lebar dan dalam hingga mengikis batuan induk mengindikasikan bahwa proses
erosi telah berlangsung intensif dalam jangka waktu yang lama.
Litologi yang bersifat masif berupa andesit dan gamping merupakan
penyebab langkanya air tanah di daerah penelitian, terutama di daerah perbukitan.
Dua jenis batuan di atas tidak mampu menyimpan air dalam jumlah besar.
Terlebih perbukitan yang ada mempunyai kemiringan lereng yang relatif terjal,
sehingga sebagian besar material hasil rombakan dan pelapukan langsung tererosi
dan terendapkan di lereng kaki dan dataran aluvial. Dua hal diatas yang
menyebabkan aquifer tidak dapat berkembang dengan baik di daerah perbukitan.
Walaupun demikian, pada area dengan solum tanah yang cukup tebal, aquifer
lokal dan dangkal dapat terbentuk. Lapisan ini biasanya langsung mengalami
kontak dengan batuan induk yang dicirikan dengan munculnya mata air dan
rembesan. Aquifer di daerah penelitian terbentuk di daerah bentuk lahan lereng
kaki koluvial dan dataran aluvial yang merupakan tempat akumulasi dan
pengendapan material hasil proses fluvial dan denudasional.
3.6 Tanah Pembentukan tanah di DAS Tinalah dikontrol oleh faktor – faktor
pembentukan tanah, terutama oleh iklim, topografi, batuan dan waktu. Kombinasi
ketiga faktor tersebut mempengaruhi jenis tanah yang terbentuk di daerah
penelitian. Bahan induk tanah di DAS Tinalah berasal dari tiga formasi batuan,
yaitu Andesit Tua, Jonggrangan dan Nanggulan. Pada setiap bahan induk yang
berasal dari formasi berbeda, jenis tanah yang terbentuk juga berbeda. Kondisi
iklim yang fluktuatif mempercepat proses pelapukan batuan, sehingga
pembentukan bahan induk tanah berlangsung cepat. Namun demikian, curah
hujan yang tinggi juga membawa konsekuensi tingkat erosi dan longsoran yang
tinggi sehingga sebagian besar material biasanya langsung tererosi dan
terakumulasi di lereng bawah. Oleh karena itu, tanah di daerah perbukitan dan
lereng atas biasanya mempunyai ciri - ciri solum tanah yang tipis. Kondisi iklim
di daerah penelitian kondisinya relatif sama (sedang hingga agak basah), sehingga
praktis proses pembentukan tanah di daerah penelitian ditentukan oleh topografi
43
dan batuan sebagai sumber bahan induk tanah. Tanah yang terbentuk pada batuan
yang sama namun kondisi reliefnya berbeda, tanah yang terbentuk dan
perkembangannya juga berbeda.
Berdasarkan Peta Tanah DAS Tinalah pada Gambar 3.4, ordo tanah yang
berkembang di daerah penelitian adalah ordo Entisol, Inceptisol dan Alfisol.
Berikut ini diuraikan karakteristik setiap ordo.
1. Entisol
Ordo Entisol merupakan tanah yang paling mendominasi di daerah
penelitian. Entisol merupakan ordo tanah belum berkembang. Ciri khas dari ordo
ini yang juga ditemui pada tanah di daerah penelitian adalah horison-horisonnya
belum terdiferensiasi secara jelas. Tanah Entisol di daerah penelitian berkembang
terutama di bentuk lahan perbukitan dengan kemiringan lereng relatif terjal, oleh
karena itu kepekaannya terhadap erosi juga relatif tinggi. Solum tanahnya pada
umumnya tipis. Hal ini dikarenakan material hasil lapukan yang merupakan bahan
induk tanah kebanyakan langsung tererosi sebelum mengalami pedogenesis.
Karena belum menunjukkan kecenderungan perkembangan ke ordo lain, Tanah
Entisol di daerah penelitian diklasifikasikan ke dalam subordo Orthents. Rejim
kelembabannya termasuk dalam kategori tropis, sehingga termasuk dalam group
Troporthents. Pada area yang solum tanahnya tipis akibat sering tererosi, Alfisol
yang terbentuk diklasifikasikan lebih detil ke dalam subgroup Lithic.
44
44
45
2. Inceptisol
Inceptisol merupakan ordo tanah yang baru berkembang yang dicirikan
dengan diferensiasi antar horison yang mulai tampak. Subordo Inceptisol yang
berkembang di daerah penelitian adalah eutropepts karena mempunyai
karakteristik rejim tropis dengan kejenuhan basa yang tinggi. Ciri lainnya adalah
kedalaman tanahnya tipis (di bawah 30 cm) sehingga termasuk dalam subgroup
lithic dan sebagian lainnya mempunyai sifat yang khas sehingga termasuk dalam
subgroup typic. Di lapangan, tanah ini berkembang di bentuk lahan lereng kaki
perbukitan dengan kemiringan lereng 8 sampai 20%. Bahan induknya sebagian
besar berasal dari material koluvium dari perbukitan di atasnya. Tingkat
kesuburannya secara umum lebih baik daripada Entisol dengan kepekaan erosi
yang lebih rendah.
3. Alfisol
Alfisol merupakan tanah yang sedang berkembang. Salah satu penciri dari
ordo ini adalah adanya horison argilik yang merupakan hasil proses iluviasi.
Subordo Alfisol yang berkembang di daerah penelitian adalah udalfs karena
memiliki rejim kelembaban udik. Ciri lain dari sifat Tanah Alfisol di DAS Tinalah
adalah horison argilik yang ada perkembangannya belum maksimal yang dicirikan
dengan tidak jelasnya perbedaan antara horison argilik dan non argilik, sehingga
dimasukkan dalam group Hapludalfs. Pada umumnya, ciri khas group Hapludalfs
hampir semua ditemui di Tanah Alfisol di daerah penelitian. Adanya sifat ini
memungkinkan tanah Alfisol di daerah penelitian dapat diklasifikasi secara lebih
rinci ke dalam subgroup Typic Hapludalfs. Tanah Alfisol di daerah penelitian
berkembang di bentuk lahan lereng perbukitan dengan batuan dasar breksi andesit
dan gamping. Tekstur tanahnya didominasi lempung dengan kedalaman tanah
antara 50 hingga 100 cm. Sebagian dari Alfisol ini terdapat secara asosiasi dan
kompleks baik dengan ordo Entisol maupun Inceptisol, terutama pada bentuk
lahan dengan kemiringan lereng bervariasi.
46
3.7 Vegetasi dan Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil intepretasi citra SPOT hasil operasi penggabungan citra
dan kerja lapangan, daerah penelitian didominasi penggunaan lahan kebun dan
tegalan. Tanaman yang ada pada penggunaan lahan kebun antara lain jati, mahoni,
akasia, sengon, cengkeh dan ketela. Sedangkan jenis tanaman yang terdapat di
penggunaan lahan ladang berupa tanaman semusim seperti kacang tanah, kedelai,
ketela, dan jagung. Proporsi dan jenis penggunaan lahan yang terdapat di DAS
Tinalah dapat dilihat pada Tabel 3.8. Permukiman penduduk di DAS Tinalah
mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar. Konsentrasi permukiman
terbesar di Desa Gerbosari dimana desa ini merupakan ibukota Kecamatan
Samigaluh. Penggunaan lahan sawah tadah hujan berada pada bentuk lahan lereng
kaki dan dataran aluvial.
Tabel 3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah
No Penggunaan lahan Luas (Ha) 1 Sawah irigasi 48,1 2 Sawah tadah hujan 463,0 3 Kebun 3029,9 4 Ladang 367,2 5 Permukiman 450,4 6 Semak 72,0
Total 4430,5 Sumber: Hasil interpretasi Citra SPOT-5 Pan sharpened resolusi spasial 2,5 meter (2006).
Vegetasi pada setiap bentuk penggunaan lahan mempunyai karakteristik
tutupan yang berbeda. Penggunaan lahan kebun didominasi vegetasi strata pohon
dengan tutupan vertikal kanopi yang tebal dan ketinggiannya bisa mencapai lebih
dari 5 meter. Penggunaan lahan ladang dan semak didominasi vegetasi strata
pohon dan semak dengan ketinggian kanopi maksimal 5 meter. Ketebalan kanopi
vegetasi di penggunaan lahan ladang pada umumnya lebih tipis dari vegetasi pada
penggunaan lahan kebun. Penggunaan lahan sawah didominasi vegetasi strata
herba dan rumput yang termasuk dalam kategori penutupan tanah (ground cover)
dengan ketinggian di bawah 2 meter. Karakteristik vegetasi yang berbeda pada
setiap bentuk penggunaan lahan menyebabkan erosi yang terjadi juga berbeda.
47
47
48
3.8 Kependudukan dan Sosial-Ekonomi Kondisi lingkungan fisik berupa perbukitan sangat mempengaruhi kondisi
kependudukan dan sosial ekonomi penduduk di sekitar DAS Tinalah. Berdasarkan
data PODES 2005 Kabupaten Kulonprogo, jumlah penduduk di DAS Tinalah
sekitar lima puluh ribu jiwa yang tersebar di beberapa desa. Desa Gerbosari yang
berada di bagian tengah DAS merupakan desa dengan jumlah penduduk dan luas
permukiman terbesar, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.9. Hal ini dikarenakan
Desa Gerbosari merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh dimana segala aktivitas
ekonomi terpusat di sini, sehingga penduduk banyak yang terkonsentrasi di desa
ini. Permukiman di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang
menyebar tidak teratur (random). Keberadaan permukiman biasanya di bawah
lereng perbukitan dan dibangun dengan memotong lereng. Pemotongan lereng
untuk pembangunan permukiman menyebabkan daerah penelitian memiliki
tingkat kerawanan longsor yang tinggi. Mata pencaharian penduduk sebagian
besar di sektor pertanian dan perkebunan. Ketergantungan yang tinggi pada
sumber daya alam yang ada menyebabkan degradasi lahan, terutama erosi
berdampak nyata terhadap kondisi perekonomian penduduk DAS. Keterbatasan
kemampuan lahan daerah penelitian untuk mendukung berbagai penggunaan
menyebabkan penduduk tidak dapat memanfaatkan lahan yang ada secara
optimal. Oleh karena itu tidak heran apabila Kecamatan Samigaluh merupakan
salah satu kecamatan termiskin di Kabupaten Kulonprogo.
Tabel 3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah
Nama Desa Laki-Laki (jiwa)
Perempuan (jiwa)
Jumlah Luas permukiman
(ha)
Kepadatan penduduk pada
permukiman (jiwa/ha)
Banjarsari 1951 1969 3920 42.8 91.6Purwoharjo 1998 2209 4207 38.5 109.3Sidoharjo 2601 2501 5102 61.8 82.6Gerbosari 2857 2569 5426 63.8 85.0Ngargosari 2018 2001 4019 38.7 103.9
Jumlah 24106 24678 48784 Sumber: Analisis data PODES 2005.
49
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan utama dari studi ini adalah memprediksi dan memetakan tutupan
kanopi vegetasi dengan menggunakan atribut spektral citra penginderaan jauh dan
mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi kualitatif yang
dinilai dari bentukan erosi yang terjadi. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian
dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan, mulai dari pemrosesan
citra dan pembuatan peta dasar, kerja lapangan pengamatan erosi dan pengukuran
persentase tutupan kanopi vegetasi. Bagian ini akan menguraikan tentang jalannya
penelitian yang telah dilakukan dan hasil - hasil yang diperoleh, mulai dari
pemrosesan citra hingga analisis tabulasi silang untuk melihat hubungan antara
tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi.
4.1 Restorasi Citra Citra penginderaan jauh mengalami berbagai macam kesalahan baik
radiometrik maupun geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber informasi
tematik sumber daya, kesalahan – kesalahan ini harus dikoreksi terlebih dulu.
Citra SPOT 5 HRG yang digunakan dalam penelitian mempunyai tingkat
pemrosesan 1A yang berarti sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum
terkoreksi geometrik.
4.1.1 Koreksi Geometrik
Citra SPOT 5 tingkat pemrosesan 1A yang digunakan dalam penelitian
masih bersifat data mentah (raw image), artinya kesalahan geometrik sistematik
dan non sistematik yang diakibatkan mekanisme perekaman sebagai aspek
internal sensor dan sifat-sifat bumi sebagai aspek eksternal masih belum
diperbaiki, sehingga citra perlu dikoreksi geometrik. Koreksi geometrik untuk
memperbaiki kesalahan geometrik dilakukan dengan menggunakan transformasi
tiga dimensi atau orthorektifikasi. Orthorektifikasi citra dalam penelitian ini
dilakukan menggunakan RPC dan informasi elevasi dari DEM ataupun titik
50
kontrol tanah. Jika citra yang digunakan tidak mempunyai informasi RPC,
informasi RPC dapat diperoleh dengan menerapkan model persamaan RPC
dengan menggunakan minimal tujuh titik kontrol tanah (untuk transformasi orde
1) hingga 39 (untuk transformasi orde3) (Harintaka dkk, 2006). Dikarenakan citra
SPOT yang digunakan telah mengandung informasi RPC dalam header citranya,
maka orthorektifikasi dalam penelitian ini dilakukan tanpa menggunakan titik
kontrol tanah. Informasi ketinggian pada setiap piksel citra diperoleh dari DEM
(digital elevation model) yang diturunkan dari data kontur Peta Rupabumi.
Perbandingan citra sebelum dan sesudah koreksi geometrik dapat dilihat pada
Gambar 4.1.
(a) (b)
Gambar 4.1. Citra SPOT-5 sebelum koreksi geometrik (a) dan sesudah koreksi geometrik
(b)
Ketelitian posisi citra hasil koreksi dapat dinilai secara kualitatif maupun
kuantitatif dengan menggunakan RMSE (root mean square error). Dalam
penelitian ini, ketelitian posisi dinilai secara kualitatif dengan menggunakan data
vektor dari Peta Rupabumi Indonesia Bakosurtanal Skala 1:25.000 (Harintaka,
51
2003). Pembandingan dilakukan dengan mentumpangsusunkan antara citra hasil
koreksi dengan obyek sungai yang diturunkan dari Peta RBI. Hasil
orthorektifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari Gambar tersebut, obyek
sungai dari peta RBI ternyata dapat tepat berimpit dengan kenampakan sungai dari
peta. Hasil ini menunjukkan bahwa orthorektifikasi menghasilkan ketelitian posisi
yang tinggi.
Gambar 4.2 Citra hasil orthorektifikasi
4.1.2 Koreksi Radiometrik
Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini sudah terkoreksi
radiometrik sistematik. Terkoreksi radiometrik sistematik dapat diartikan bahwa
kesalahan – kesalahan radiometrik yang berkaitan dengan mekanisme internal
sensor sudah dikoreksi oleh stasiun penerima, namun demikian faktor eksternal
sensor seperti pengaruh hamburan atmosfer belum tentu sudah terkoreksi
(Danoedoro, komunikasi pribadi). Pengaruh hamburan atmosfer dapat
diidentifikasi jika terdapat obyek air yang mempunyai nilai piksel lebih dari 0
pada saluran inframerah gelombang pendek (saluran 4 pada sensor SPOT-5).
52
Secara teori, obyek air yang jernih, tenang dan dalam seharusnya mempunyai nilai
piksel tidak jauh dari 0. Hal ini dikarenakan obyek air banyak menyerap sinyal
elektromagenik matahari pada saluran inframerah gelombang pendek, sehingga
respon spektral air pada saluran ini biasanya sangat lemah. Namun jika nilainya
bukan 0, maka bisa dipastikan telah terjadi penambahan informasi spektral yang
mencapai sensor yang tidak berasal dari obyek air di permukaan bumi, melainkan
dari hamburan atmosfer (Danoedoro, 1996). Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan pada seluruh area liputan citra, kenampakan air yang jernih dan dalam
(Waduk Sermo) ternyata tidak menunjukkan nilai 0 pada saluran 4 (saluran
inframerah gelombang pendek), sehingga bisa dipastikan bahwa ada pengaruh
hamburan atmosfer yang menyebabkan peningkatan respon spektral.
Koreksi radiometrik citra dilakukan dengan menggunakan metode
kalibrasi bayangan. Tahapan dalam koreksi diawali dengan pengambilan pasangan
sampel nilai piksel yang merepresentasikan obyek penutup lahan yang sama, yang
berada di daerah yang tertutup bayangan awan (Eis) dan daerah yang tidak
tertutup bayangan awan (Eit). Dari pembacaan yang dilakukan, diperoleh 10 titik
sampel pengamatan yang tersebar merata di seluruh area liputan citra. Informasi
nilai piksel pada setiap titik sampel dapat dilihat pada lampiran 1.
Penentuan nilai bias atmosfer (Dλ) dilakukan dengan menggunakan
analisis regresi antara Eit dan Eis. Persamaan regresi linier yang diperoleh
kemudian disubstitusikan ke persamaan 2 untuk memperoleh nilai Dλ. dan nilai
bias (Dλ) yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.2. Hasil analisis regresi dan
persamaan yang diperoleh serta perhitungan lengkap dapat dilihat pada lampiran
1.
Tabel 4.1 Nilai Bias Atmosfer Setiap Saluran Citra SPOT-5
Nama Saluran Nilai bias (Dλ)
Saluran 1 (Hijau) 36
Saluran 2 (Merah) 21
Saluran 3 (Inframerah dekat/NIR) 33
Saluran 4 (Inframerah gelombang pendek/SWIR) 21
Sumber: Hasil analisis kalibrasi bayangan, 2008
53
Hasil koreksi radiometrik pada tabel menunjukkan saluran XS1 SPOT
merupakan saluran yang paling terpengaruh oleh kondisi atmosfer berupa
hamburan yang menyebabkan penambahan pantulan spektral, sehingga respon
spektral yang direkam sensor tidak mencerminkan hasil interaksi obyek dengan
tenaga matahari yang sebenarnya. Berdasarkan hasil analisis, nilai biasnya cukup
tinggi yaitu berkisar 20 hingga 36. Semakin bertambah panjang gelombang,
pengaruh hamburan seakin berkurang yang ditandai dengan penurunan nilai bias.
Hasil analisis menunjukkan saluran 2, 3 dan 4 mempunyai nilai bias yang lebih
rendah dari saluran 1.
Hasil yang diperoleh dari operasi restorasi citra adalah citra yang minim
kesalahan baik secara radiometrik maupun geometrik untuk digunakan dalam
tahapan analisis berikutnya, yaitu pembuatan citra NDVI dan ekstraksi data
tutupan kanopi.
4.2 Transformasi NDVI NDVI dirancang untuk dapat memilahkan obyek vegetasi dan bukan
vegetasi secara cepat dengan menggunakan informasi karakteristik pantulan
vegetasi pada saluran merah dan inframerah dekat. Pantulan vegetasi yang tinggi
pada saluran inframerah dekat dan sebaliknya pada saluran merah menyebabkan
obyek vegetasi mengumpul di kisaran nilai positif tinggi pada citra NDVI,
sedangkan obyek tanah air yang pantulannya lebih tinggi pada saluran merah
mengumpul pada nilai positif rendah hingga nol untuk obyek air, dan negatif
rendah untuk obyek tanah dan lahan terbangun. Dengan karakteristik tersebut,
maka obyek vegetasi, tanah dan air dapat dibedakan dengan mudah menggunakan
teknik density slicing.
Berdasarkan hasil analisis, NDVI yang diperoleh mempunyai karakteristik
julat nilai digital antara -0,5 hingga 0,89. Dari histogram citra pada Gambar 4.3
dapat diketahui bahwa frekuensi nilai digital kebanyakan mengumpul di julat 0,4
hingga 0,8. Hasil ini menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi penutup
lahan vegetasi. Hasil inspeksi pada seluruh bagian citra menunjukkan nilai
ambang batas (treshold) untuk membedakan obyek vegetasi dan bukan vegetasi
54
adalah 0,4. Dengan demikian maka nilai di bawah 0,4 dari citra NDVI tidak
digunakan dalam analisis regresi untuk menurunkan model tutupan kanopi. Nilai
yang digunakan adalah julat 0,4 hingga 1 yang mencerminkan obyek vegetasi
dengan kondisi tutupan yang bervariasi.
Gambar 4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah
Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
-0,5
0
-0,2
0
-0,1
0
-0,1
0
0,00
0,05
0,11
0,17
0,23
0,29
0,35
0,41
0,47
0,53
0,59
0,65
0,71
0,77
0,83
0,89
Nilai NDVI
Frek
uens
i
55
55
56
4.3 Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan 4.3.1 Penggabungan Citra
Pemetaan penggunaan lahan pada skala 1:50.000 memerlukan citra
penginderaan jauh dengan resolusi spasial sama atau lebih tinggi dari 10 meter
(Richards dan Jia, 2006). Persyaratan ini menyebabkan citra SPOT-5
multispektral tidak selalu dapat digunakan untuk menurunkan informasi
penggunaan lahan pada skala yang menjadi tujuan penelitian. Hambatan ini dapat
diatasi dengan menggunakan citra pakromatik yang direkam pada waktu yang
sama dengan citra multispektral, namun mempunyai resolusi dan detil spasial
yang lebih baik (2,5 meter). Namun demikian, citra ini hanya dapat
divisualisasikan secara monokromatik karena direkam pada saluran tunggal. Oleh
karena itu, pembedaan obyek dari segi spektral hanya bisa dilakukan dari
identifikasi perbedaan rona pada citra. Hal ini membawa kesulitan tersendiri
karena saluran pankromatik SPOT hanya peka pada saluran hijau – merah (0,51-
0,73µm), sehingga obyek tertentu seperti vegetasi berdaun jarum kerapatan jarang
dan tanah terbuka menunjukkan respon spektral yang hampir seragam sehingga
sukar dibedakan dari ronanya. Permasalahan di atas yang mendasari dilakukannya
penggabungan citra (image fusion) antara citra multispektral dan pankromatik.
Dengan digabungkannya kedua citra, kelebihan –kelebihan dari citra multispektral
dan pankromatik dapat diintegrasikan menjadi citra baru yang memiliki kerincian
informasi spektral citra multispektral sekaligus kedetilan spasial citra pakromatik.
Hasil operasi penggabungan citra dengan susunan komposit warna 432 dan
perbandingannya dengan citra asal dapat dilihat pada Gambar 4.5
57
(a) (b) (c)
Gambar 4.5 Citra multispektral (a), Citra Pankromatik (b) dan Citra gabungan (c)
Penggunaan komposit warna 432 dan algoritma transformasi IHS
(Intensity Hue Saturation) untuk menggabungkan citra multispektral dan
pankromatik memberikan beberapa kelebihan dilihat dari aspek kegunaannya
untuk interpretasi penggunaan lahan. Pelibatan saluran 4 (SWIR) yang peka
terhadap kandungan air dalam penyusunan komposit warna memberikan
keuntungan berupa kemudahan dalam membedakan obyek tanah terbuka lembab
(berasosiasi dengan penggunaan lahan sawah) dan lahan terbangun. Sebaliknya,
pada susunan komposit warna semu standar 321 SPOT yang biasa diterapkan
pada Citra SPOT 1-3, lahan terbuka lembab dan lahan terbangun tidak dapat
dibedakan dengan mudah. Hal ini disebabkan pada saluran 1 dan 2, kedua obyek
tersebut mempunyai karakteristik spektral yang mirip. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 4.6.
58
Gambar 4.6 Perbedaan Kenampakan Obyek Pada Komposit 321 dan 432
Penggunaan transformasi IHS untuk penggabungan citra memberikan
kelebihan berupa hasil citra yang dapat mensimulasikan komposit warna alami
(natural color composite). Efek warna alami ini dapat terjadi karena adanya
perbedaan karakteristik spektral citra pankromatik yang diinjeksikan sebagai
komponen intensitas dan komponen intensitas citra multispektral. Citra
pankromatik kepekaan sensornya hanya mencapai spektrum merah sehingga
pantulan obyek vegetasi relatif rendah namun relatif tinggi untuk obyek air,
sedangkan komponen intensitas citra multispektral komposit 432 justru
menunjukkan karakteristik yang sebaliknya sebagai akibat penggunaan saluran 3
dan 4. Akibat dari adanya perbedaan karakteristik spektral ini adalah ketika
transformasi balik (inverse transformation) ke sistem RGB dilakukan, obyek
vegetasi mengalami pengurangan intensitas menghasilkan warna yang lebih gelap
dan mendekati warna alami obyek, sedangkan obyek air ditingkatkan
intensitasnya menghasilkan warna biru yang lebih cerah. Citra hasil transformasi
dapat dilihat pada Gambar 4.8.
321 432
Lahan terbangun
Tanah terbuka lembab
59
(a) (b)
Gambar 4.7 Citra SPOT Pankromatik (a) dan Komponen Intensitas dari Citra SPOT
Multispektral Komposit 432 (b)
4.3.2 Pemetaan Penggunaan Lahan
Kondisi tutupan kanopi vegetasi memberikan perlindungan terhadap tanah
dari proses erosi. Jenis vegetasi berbeda mempunyai efektivitas perlindungan
terhadap erosi yang berbeda. Pemetaan penutup/penggunaan lahan sering
dilakukan untuk menilai peran dan pengaruh vegetasi terhadap erosi (Vierling,
2006). Dalam studi ini, pemetaan penggunaan lahan dilakukan untuk melihat
perbedaan pengaruh jenis dan kondisi tutupan kanopi vegetasi terhadap tingkat
erosi. Asumsi yang digunakan adalah pada penggunaan lahan berbeda, jenis dan
tutupan kanopi vegetasinya juga berbeda, sehingga pengaruhnya terhadap erosi
juga berbeda. Dengan mendasarkan pada asumsi ini, kelas penggunaan lahan
berfungsi sebagai strata dalam penentuan lokasi sampel pengukuran tutupan
kanopi vegetasi dan lokasi pengamatan bentuk erosi untuk menilai tingkat erosi.
60
60
61
Peta penggunaan lahan dalam studi ini diturunkan dari interpretasi visual
Citra SPOT-5 hasil penggabungan saluran multispektral dan pankromatik. Operasi
penggabungan citra multispektral komposit 432 dan pankromatik menggunakan
transformasi IHS memberikan hasil citra gabungan yang mendekati komposit
warna alami. Efek warna alami dan kontras citra pankromatik yang dapat
dipertahankan pada citra gabungan membuat proses interpretasi dan deduksi
penggunaan lahan dapat dilakukan dengan mudah dibanding penggunaan citra
multispektral dan pankromatik secara terpisah. Integrasi kerincian spektral citra
multispektral dan kerincian spasial citra pankromatik memungkinkan pembedaan
bentuk – bentuk penggunaan lahan yang sebelumnya sulit dibedakan pada citra
multispektral menjadi lebih mudah. Penggunaan lahan tertentu seperti sawah
dapat diidentifikasi dan dideliniasi dengan mudah dari bentuk penggunaan lahan
lain seperti kebun dan permukiman. Berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan,
sebanyak enam kelas penggunaan lahan utama dapat diperoleh sesuai dengan
skema klasifikasi yang digunakan. Penggunaan lahan kebun dengan jenis vegetasi
campuran merupakan penggunaan lahan dominan di DAS Tinalah (Tabel 3.7).
Ketelitian hasil interpretasi secara keseluruhan (overall accuracy) adalah
sebesar 95% sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.2. Uji akurasi dilakukan
menggunakan matriks kesalahan atau error matrix (Campbell, 2002). Pengujian
dilakukan dengan membandingkan data hasil interpretasi sebagai data klasifikasi
dan data pengamatan penggunaan lahan di lapangan sebagai data referensi.
Distribusi lokasi sampel pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.12.
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kesalahan interpretasi terbesar
adalah pada penggunaan lahan tegalan yang salah terklasifikasikan sebagai kebun
(User Accuracy sebesar 90%). Demikian pula sebaliknya. Kesalahan ini
disebabkan karena kedua jenis penggunaan lahan ini tidak dapat dibedakan
dengan mudah menggunakan kunci interpretasi citra seperti pola dan tekstur,
walaupun resolusi spasial citra yang digunakan sudah cukup detil (2,5 meter).
Kesamaan karakteristik dan jenis vegetasi pada kedua penggunaan lahan tersebut
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi. Penggunaan lahan kebun
didominasi oleh tanaman berkayu dan keras seperti jati, mahoni, dan kelapa.
62
Tanaman – tanaman ini juga ditemui pada penggunaan lahan tegalan, walaupun
frekuensinya tidak sebanyak pada penggunaan lahan kebun. Kesamaan jenis
vegetasi ini yang menyebabkan batas antara penggunaan lahan kebun dan tegalan
susah diidentifikasi. Karakteristik setiap kelas penggunaan lahan pada citra dan
bukti kenampakan sesungguhnya di lapangan dapat dilihat pada Gambar 4.9.
Tabel 4.2 Hasil Uji Akurasi Interpretasi Penggunaan Lahan
Data Hasil Klasifikasi
Permukiman Kebun
campur Semak belukar
Tegalan Sawah Irigasi
Sawah Tadah hujan
Total Producer's Accuracy (%)
Permukiman 12 0 0 0 0 0 12 100
Kebun campur 0 28 0 0 0 0 28 100
Semak belukar 0 0 2 0 0 0 2 100
Tegalan 0 3 0 7 0 0 10 100
Sawah irigasi 0 0 0 0 2 0 2 100 Dat
a R
efer
ensi
Sawah tadah hujan 0 0 0 0 0 13 13 100
Total 12 31 2 7 2 13 64
User Accuracy (%) 100 90 100 100 100 100 96 Sumber : Hasil analisis (2008)
63
Gambar 4.9
Foto Kenampakan Penggunaan Lahan Pada Citra dan Kenampakan Sesungguhnya di Lapangan untuk Sawah (a), Tegalan (b), Kebun (c) dan
Lahan terbangun (d)
64
Dinamika temporal vegetasi dan penutup lahan di daerah penelitian juga
merupakan salah satu faktor penyebab sulitnya pembedaan penggunaan lahan
kebun dan tegalan. Dinamika ini nampak jelas terutama pada penggunaan lahan
sawah dan tegalan dimana perubahannya bisa mencapai skala harian. Dengan
selisih waktu yang cukup signifikan antara tanggal perekaman citra (Mei 2006)
dan survei lapangan (April 2008), tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi penutup
dan penggunaan lahan di daerah penelitian telah banyak berubah. Pada saat citra
direkam, sebagian besar penggunaan lahan sawah berada pada kondisi pasca
panen dengan penutup lahan berupa tanah terbuka lembab yang dicirikan dengan
warna biru cerah pada citra, namun pada waktu survei lapangan dilakukan,
kondisi penutup lahan pada penggunaan lahan sawah berada pada tahap
pertumbuhan maksimum. Bukti dari uraian di atas dapat dilihat pada Gambar
4.10a dan 4.10b. Ketidaksesuaian ini menjadikan penggunaan indeks vegetasi
untuk menentukan persentase tutupan kanopi pada penggunaan lahan sawah tidak
dapat diaplikasikan karena nilai digital NDVI tidak mencerminkan kondisi
tutupan di lapangan. Dengan adanya ketidak sesuaian ini, untuk selanjutnya
analisis hubungan tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi pada penggunaan
lahan sawah tidak dilakukan karena bisa dipastikan hasilnya tidak akan shahih dan
memuaskan.
65
(a) (b) Gambar 4.10 Foto Kondisi penutupan lahan pada penggunaan lahan sawah
pada saat citra direkam (a) dan kondisi penutupan lahan pada saat survei lapangan dilakukan (b)
Faktor terakhir yang menjadi kendala dalam pemetaan penggunaan lahan
daerah penelitian adalah kualitas citra. Citra SPOT-5 Pankromatik resolusi 2,5
meter yang digunakan dalam operasi penggabungan citra sebenarnya bukan
merupakan citra yang direkam pada resolusi 2,5 meter murni, melainkan
merupakan citra sintesis hasil penggabungan dua citra pankromatik indentik
resolusi 5 meter dari sensor HRG1 dan HRG2 satelit SPOT-5 (SPOT IMAGE,
2006). Karena merupakan citra sintesis hasil proses resampling, maka kualitas dan
detil spasial citra kurang begitu tajam dan citra tampak sedikit kabur (blur).
Kurang tajamnya detil spasial citra berimplikasi pada sulitnya identifikasi jenis
vegetasi dan pembedaan penggunaan lahan kebun dan tegalan di daerah
penelitian.
66
4.4 Kerja Lapangan Pengukuran Persentase Tutupan Kanopi Pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan dilakukan untuk
memperoleh data referensi guna menurunkan model regresi. Pengukuran
dilakukan secara purposive sampling pada kelas penggunaan lahan kebun campur
dan tegalan. Pengukuran dan observasi lapangan dilakukan selama kurang lebih
tiga minggu, yaitu pada minggu pertama hingga ketiga bulan April 2008. Selain
pengukuran tutupan kanopi, pengamatan bentuk erosi dan pengumpulan data
referensi untuk menilai akurasi hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra juga
dilakukan pada waktu yang sama. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan
teknik estimasi oskular sebagaimana telah diuraikan pada butir 2.1.5.
Berdasarkan hasil survei lapangan yang telah dilakukan, sebanyak 42
sampel dapat dikumpulkan, meliputi 29 sampel pada penggunaan lahan kebun
campur, 12 sampel pada penggunaan lahan tegalan dan 1 sampel pada
penggunaan lahan semak. Pengamatan pada penggunaan lahan sawah tidak
dilakukan dikarenakan alasan sebagaimana telah dijelaskan pada butir 4.3.2.
Sedangkan pengamatan pada penggunaan lahan permukiman tidak dilakukan
karena diasumsikan pada penggunaan lahan ini tutupan kanopi vegetasinya adalah
0%. Distribusi spasial dari sampel yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.12.
Dari pemetaan penggunaan lahan yang telah dilakukan, diketahui bahwa
pengunaan lahan di daerah penelitian didominasi oleh penggunaan lahan kebun,
oleh karena itu proporsi sampel pada penggunaan lahan ini lebih banyak untuk
mengakomodasi variabilitas parameter pada lokasi yang berbeda. Sesuai dengan
teknik pengambilan sampel yang digunakan, pengamatan dilakukan sebanyak
lima kali pada setiap plot sampel. Hasil dari pengamatan di setiap plot kemudian
dirata-ratakan untuk memperoleh nilai persentase tutupan kanopi pada plot yang
bersangkutan. Contoh hasil estimasi pada lahan kebun dengan tutupan kanopi
berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.11
67
Gambar 4.11 Foto Contoh Hasil Estimasi Tutupan Kanopi
68
68
69
4.5 Pengamatan Bentuk Erosi dan Penilaian Tingkat Erosi
Kualitatif Pengamatan bentuk erosi di lapangan bertujuan untuk menilai secara
kualitatif tingkat erosi di lapangan. Bentukan erosi yang terjadi pada suatu lahan
merupakan indikator intensitas laju kehilangan tanah pada area pengamatan. Dari
pengamatan yang telah dilakukan selama satu bulan (April 2008), terdapat
setidaknya tujuh macam bentukan yang ditemui pada lahan – lahan di DAS
Tinalah. Bentukan erosi tersebut antara lain pedestal, material kasar di permukaan
tanah (armour layer), gundukan tanah di bawah pohon (tree mound), singkapan
akar tanaman (root exposure), endapan tanah pada saluran drainase (sedimen in
drains), akumulasi endapan tanah di sisi sebelah atas tanaman pada lereng yang
miring (build up against tree trunk/plant stem), alur (rill) dan parit (gully).
Pedestal merupakan bentukan yang paling sering ditemui pada sebagian
besar area pengamatan di daerah penelitian. Pedestal adalah suatu kolom tanah
yang menyerupai tiang, yang diatasnya ditutupi oleh material resisten (akar, batu),
yang berfungsi sebagai material pelindung (capping material). Pedestal
disebabkan proses pemecahan partikel tanah (soil detachment) pada lahan dengan
kekasaran permukaan yang bervariasi. Ketika terjadi hujan, partikel tanah di
sekitar pedestal terpecah dari agregat tanah akibat tumbukan dengan butir-butir
hujan dan kemudian terangkut oleh limpasan permukaan. Partikel-partikel tanah
dalam pedestal sendiri tidak terpengaruh percikan hujan karena adanya material
pelindung yang menyerap kekuatan perusak dari butir – butir hujan. Di daerah
penelitian, pedestal ditemui pada penggunaan lahan kebun dan tegalan dengan
berbagai variasi tutupan kanopi vegetasi, kemiringan lereng, penutupan tanah,
sifata tanah dan praktek konservasi tanah. Perbedaan ketinggian pedestal
mencerminkan perbedaan intensitas erosi yang terjadi pada suatu area
pengamatan.
70
(a) (b)
Gambar 4.13 Foto Kenampakan Pedestal dengan Material Pelindung Batu (a) dan Akar Tanaman (b)
Armour layer juga merupakan bentukan yang sering ditemui pada berbagai
area pengamatan. Armour layer adalah konsentrasi partikel – partikel kasar di
permukaan tanah yang umumnya tersebar secara acak pada tanah atas (top soil).
Bentukan ini terjadi karena limpasan permukaan hanya mampu mengangkut
partikel tanah yang berukuran halus, sedangkan partikel yang lebih kasar
tertinggal di permukaan tanah. Di daerah penelitian, bentukan ini kebanyakan
terbentuk pada penggunaan lahan tegalan dengan tutupan kanopi (canopy cover)
vegetasi dan penutupan tanah (ground cover) yang jarang. Tutupan kanopi dan
tutupan tanah yang jarang menyebabkan proses pemecahan partikel tanah (soil
detachment) dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan
berlangsung tanpa adanya penghalang.
Gambar 4.14 Foto Armour Layer Pada Penggunaan Lahan Tegalan dengan Tutupan Kanopi dan Tutupan Tanah Jarang
71
Bentukan erosi lain seperti singkapan akar, tree mound, dan sediment in
drains ditemui hanya pada beberapa lokasi pengamatan. Singkapan akar
disebabkan partikel tanah di sekitar batang tanaman mengalami pemecahan dan
pemindahan oleh aliran batang (stemflow). Pemecahan dan pemindahan material
di sekitar batang tanaman menyebabkan penurunan permukaan tanah dan
selanjutnya menyebabkan akar tanaman menjadi tersingkap. Kedalaman
singkapan akar menunjukkan intensitas erosi yang terjadi.
Gambar 4.15 Foto Singkapan Akar (root exposure) Pada Tanaman Jagung
Tree mound merupakan bentukan erosi berupa permukaan tanah di bawah
kanopi pohon yang lebih tinggi dari permukaan di sekitarnya yang tidak tertutup
kanopi. Bentukan ini terjadi karena area yang tidak terlindungi kanopi tererosi
lebih intensif daripada area yang terlindungi kanopi. Ketinggian permukaan tanah
pada tree mound menunjukkan permukaan tanah semula sebelum tererosi.
Bentukan ini ditemui terutama pada penggunaan lahan kebun dengan vegetasi
dominan berupa pohon.
72
Gambar 4.16
Foto Gundukan Tanah di bawah Kanopi Tanaman (tree mound)
Bentukan akumulasi tanah di sisi sebelah atas tanaman (build up against
tree trunk/plant stem) merupakan bentukan erosi berupa akumulasi material hasil
erosi pada sisi sebelah atas tanaman. Bentukan ini terjadi karena material hasil
pemecahan partikel tanah yang terbawa oleh limpasan permukaan terhalang oleh
batang tanaman, sehingga kemudian terendapkan di sisi sebelah atas dari batang
tanaman. Bentukan ini terjadi pada penggunaan lahan kebun dengan kemiringan
lereng lebih dari 15%. Ketebalan material mengindikasikan intensitas proses erosi
yang terjadi.
Gambar 4.17 Foto Akumulasi Material Pada Sisi Sebelah Atas Batang Tanaman Pada Lereng Lebih Dari 15%
Bentukan akumulasi sedimen pada saluran drainase (sediment in drains)
terjadi pada penggunaan lahan kebun yang dibuat teras, dan tegalan. Ciri khas
bentukan ini berupa adanya endapan material berukuran halus di sepanjang
saluran drainase. Material yang terendapkan ini berasal dari lahan di atas saluran
73
drainase. Terkonsentrasinya limpasan permukaan yang membawa material hasil
pemecahan butir hujan pada saluran drainase merupakan penyebab terjadinya
bentukan ini. Material yang terangkut ini kemudian terendapkan di sepanjang
saluran akibat berkurangnya kecepatan dan kemampuan limpasan untuk
mengangkut material. Kedalaman material sedimen mengindikasikan seberapa
besar tingkat erosi yang terjadi.
Gambar 4.18 Foto Endapan Material Hasil Limpasan Permukaan di sepanjang Saluran Drainase Pada Penggunaan Lahan Tegalan.
Bentukan yang mengindikasikan erosi berat hingga sangat berat seperti
alur (rill) dan parit (gully) jarang ditemui selama observasi lapangan dilakukan.
Dari 42 lokasi pengamatan, hanya ditemui tiga lokasi yang terdapat erosi alur, dan
tiga lokasi yang terdapat erosi parit. Penyebab jarangnya ditemukan kenampakan
erosi alur di daerah penelitian disebabkan sebagian besar lahan di daerah
penelitian sudah terkonservasi dalam bentuk teras. Praktek konservasi tanah
berupa teras pada lereng landai hingga curam menyebabkan konsentrasi limpasan
permukaan yang dapat berkembang menjadi erosi alur tidak terjadi. Selain itu,
berdasarkan pengamatan oskular, sebagian besar lahan di daerah penelitian
mempunyai tutupan kanopi vegetasi dan atau tutupan tanah yang rapat. Tutupan
kanopi yang rapat memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak butir
hujan dalam bentuk penahanan butir hujan oleh kanopi, sehingga ketika butir
hujan mencapai permukaan tanah, erosivitasnya sudah berkurang dan mengurangi
jumlah partikel tanah yang terlepas. Adanya penutupan tanah (ground cover) yang
74
rapat mencegah terjadinya limpasan permukaan, sehingga pelepasan dan
pengangkutan material oleh limpasan permukaan tidak terjadi.
Di daerah penelitian, erosi alur terbentuk pada penggunaan lahan tegalan
yang baru mengalami pembajakan tanah (tillage), sehingga belum terdapat
vegetasi yang tumbuh di atasnya. Sebagai akibatnya, proses pemecahan partikel
tanah dan pengangkutan material hasil pemecahan oleh limpasan permukaan
terjadi secara hebat karena tanah berada dalam kondisi terbuka dan tanpa
perlindungan. Erosi alur yang terbentuk di lokasi penelitian mempunyai
kedalaman rata-rata 4 cm. Dengan kedalaman tersebut, maka tingkat erosi pada
daerah pengamatan termasuk dalam kategori berat. Selain pada tegalan yang baru
dibajak, erosi alur juga terjadi pada area-area yang baru mengalami longsor lahan.
Material hasil longsoran besar yang umurnya relatif baru pada umumnya memiliki
karakteristik material yang bersifat lepas, penutupan tanah yang jarang, lereng
yang panjang (lebih dari 5 meter) dan kemiringan lereng lebih dari 8%.
Kombinasi faktor-faktor di atas menyebabkan limpasan permukaan terkonsentrasi
pada area tertentu dan membentuk depresi memanjang atau alur (rill). Proses
pemecahan dan pengangkutan material terjadi sepanjang alur ini.
(a) (b)
Gambar 4.19 Foto Erosi Alur Pada Daerah Bekas Longsoran (a) dan Tegalan yang Baru Dibajak (b)
Erosi parit merupakan bentuk perkembangan dari erosi alur. Erosi alur
yang tidak segera dikontrol dalam jangka waktu lama akan semakin lebar dan
dalam. Jika kedalaman alur mencapai lebih dari 30 cm, maka alur ini dapat
dikategorikan sebagai parit. Perkembangan parit akan semakin intensif jika lereng
75
di daerah terbentuknya parit cukup panjang dan tanah berada dalam kondisi
terbuka tanpa tutupan vegetasi dalam jangka waktu lama. Di daerah penelitian,
erosi parit lebih sering ditemukan daripada erosi alur. Kedalaman rata-rata erosi
parit di daerah penelitian sekitar 0,5 hingga 1 meter dengan lebar hingga mencapai
4 meter. Erosi parit yang ditemui di daerah penelitian merupakan bentukan
permanen, kompleks dan terbentuk dalam jangka waktu lama. Kompleksitas
pembentukan dan perkembangan erosi parit di daerah penelitian tidak dapat
dijelaskan hanya dengan mendasarkan pada hasil analisis dan pengamatan faktor-
faktor pengaruh erosi pada satu waktu saja. Oleh karena itu, dalam studi ini
analisis hubungan tingkat erosi kualitatif berdasarkan kenampakan erosi yang
terjadi dengan kondisi tutupan kanopi vegetasi hanya dibatas sampai pada erosi
alur.
Gambar 4.20 Foto Erosi Parit Pada Penggunaan Lahan Tegalan
Bentuk – bentuk erosi di atas merupakan bukti proses erosi yang terjadi di
area pengamatan dan dapat dijadikan alat untuk menilai tingkat erosi area
pengamatan secara kualitatif (Linden, 1980). Penilaian dilakukan dengan
mendasarkan pada kriteria tingkat erosi kualitatif menurut Morgan (1995) yang
76
disesuaikan menjadi 5 kelas. Acuan klasifikasi mengikuti tabel 2.1. Penilaian
dilakukan pada 42 lokasi pengamatan. Hasil penilaian dapat dilihat pada grafik
4.2.
Gambar 4.21 Grafik Hasil Penilaian Tingkat Erosi Pada 42 Lokasi Pengamatan
Hasil tabulasi pada Gambar 4.21 menunjukkan bahwa sebagian besar area
pengamatan mempunyai tingkat erosi sangat ringan. Tingkat erosi sangat ringan
diindikasikan dengan tidak ditemukannya bentukan–bentukan yang
memperlihatkan adanya erosi pada lokasi pengamatan, sedangkan erosi sangat
berat diindikasikan dengan ditemukannya erosi alur yang dalam dan erosi parit.
4.6 Analisis Regresi Untuk Pemetaan Persentase Tutupan
Kanopi Berdasarkan survei lapangan yang telah dilakukan, diperoleh 42 sampel
persentase tutupan kanopi pada penggunaan lahan kebun campur dan tegalan.
Data persentase tutupan kanopi ini kemudian diregresikan dengan data nilai
digital NDVI untuk memprediksi secara deterministik persentase tutupan kanopi
vegetasi seluruh DAS untuk penggunaan lahan kebun campur dan tegalan.
Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan lima model regresi yang meliputi
Hasil Penilaian Tingkat Erosi Berdasarkan Observasi Kenampakan Erosi Di Lapangan
02468
10121416
Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat berat
Tingkat Erosi
Frek
uens
i
77
satu model regresi linear dan empat model regresi non linear. Hasil analisis regresi
beserta koefisien korelasi (r), koefisien determinasi (r2) dan model yang
dihasilkan untuk setiap kelas penggunaan lahan dapat dilihat pada tabel 4.3.a dan
4.3.b sebagai berikut.
Tabel 4.3.a. Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur
Model R r2 Persamaan Linear 0,481 0,232 y = 109,39x - 5,3485 Logaritmik 0,478 0,223 y = 73,964Ln(x) + 97,884 Polinomial orde 2 0,485 0,235 y = 207,64x2 - 175,17x + 91,354 Power 0,473 0,224 y = 105,53x1,1494 Eksponensial 0,475 0,226 y = 21,278e1,6958x
Sumber: Hasil analisis (2008)
Tabel 4.3.b. Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Tegalan
Model r r2 Persamaan Linear 0,207 0,043 y = 106,1x - 25,463 Logaritmik 0,205 0,042 y = 64,895Ln(x) + 71,601 Polinomial orde 2 0,211 0,045 y = 460,76x2 - 465,87x + 150,6 Power 0,299 0,089 y = 143,69x3,4591 Eksponensial 0,305 0,093 y = 0,7813e5,7209x
Sumber: Hasil analisis (2008)
Hasil analisis regresi pada tabel 4.3.a dan 4.3.b menunjukkan bahwa
model regresi non linear polinomial orde 2 merupakan model terbaik untuk
memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi pada penggunaan lahan kebun
yang diindikasikan dengan koefisien korelasi dan koefisien determinasi yang lebih
baik dari model yang lain. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Purevdorj
et al., (1998), yang menyimpulkan bahwa persamaan regresi polinomial orde 2
merupakan model terbaik untuk memprediksi tutupan kanopi vegetasi dari nilai
indeks vegetasi. Untuk penggunaan lahan tegalan, model terbaik adalah regresi
eksponensial. Diagram pencar yang menunjukkan hubungan antara nilai digital
NDVI (x) dan persentase tutupan kanopi (y) pada setiap kelas penggunaan lahan
78
dapat dilihat pada Gambar 4.22. Model regresi terbaik untuk setiap kelas
penggunaan lahan kemudian diaplikasikan pada citra NDVI untuk menghasilkan
peta persentase tutupan kanopi vegetasi di DAS Tinalah. Hasil pemetaan
kemudian diklasifikasikan menjadi 5 kelas tutupan berdasarkan skema klasifikasi
Departemen Kehutanan pada Tabel 2.2. Peta kelas tutupan kanopi vegetasi yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.23.
(a) (b)
Gambar 4.22 Diagram Pencar Hubungan NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi Vegetasi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur (a) dan Tegalan (b)
79
79
80
4.7 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Regresi dan Pemetaan
Tutupan Kanopi Hasil analisis regresi antara nilai digital NDVI SPOT dan persentase
tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan menunjukkan nilai koefisien korelasi
terbaik adalah 0,485 dengan koefisien determinasi sebesar 0,235 untuk vegetasi
pada penggunaan lahan kebun campur dan koefisien korelasi sebesar 0,305
dengan koefisien determinasi sebesar 0,093 untuk vegetasi pada penggunaan
lahan tegalan. Jika dibandingkan dengan berbagai penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan, hasil ini menunjukkan bahwa hubungan antara nilai digital NDVI
dari citra multispektral SPOT-5 dan nilai persentase tutupan kanopi hasil
pengukuran lapangan tidak begitu kuat. Dengan nilai korelasi dan determinasi
yang rendah, maka prediksi nilai suatu variabel menggunakan analisis regresi
akan memberikan hasil yang tingkat kepercayaannya rendah. Jika hasil prediksi
persentase tutupan kanopi dalam bentuk peta pada Gambar 4.23 dibandingkan
dengan data persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan sebagai data
referensi (grafik 4.4a dan 4.4b) dapat dilihat bahwa persamaan regresi yang
dihasilkan tidak dapat memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi di daerah
penelitian dengan tepat. Standar kesalahannya bahkan mencapai 13,5% untuk
vegetasi pada penggunaan lahan kebun dan 33,5% untuk vegetasi pada
penggunaan lahan tegalan.
Gambar 4.24a
Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Prediksi dan Nilai Hasil Pengukuran Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur
0
20
40
60
80
100
120
2 3 5 8 10 13 14 17 19 20 21 22 23 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nomor sampel
Per
sent
ase
Tutu
pan
Kan
opi (
%)
Nilai referensiNilai prediksi
81
Gambar 4.24b
Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa penggunaan data NDVI dari Citra
SPOT-5 untuk memprediksi dan memetakan tutupan kanopi vegetasi di DAS
Tinalah menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Hasil yang kurang
memuaskan ini besar kemungkinan disebabkan kurang idealnya beberapa faktor
dan kondisi yang sangat berpengaruh terhadap baik buruknya hasil prediksi.
Faktor tersebut antara lain kualitas radiometrik citra, perbedaan temporal antara
citra yang digunakan dan waktu penelitian yang cukup signifikan, serta kondisi
medan yang kurang ideal.
Penggunaan nilai spektral citra penginderaan jauh untuk mengekstraksi
atribut – atribut biofisik memerlukan citra dengan kualitas radiometrik yang baik.
Yang dimaksud dengan kualitas radiometrik yang baik disini antara lain adalah
pengaruh gangguan atmosfer dalam bentuk hamburan dan serapan yang minimal.
Adanya hamburan dan serapan akibat pengaruh atmosfer dapat menyebabkan
penambahan atau pengurangan intensitas radiansi yang diterima sensor, sehingga
radiansi yang terekam tidak mewakili interaksi antara obyek dengan tenaga
iradiansi matahari. Radiansi yang tidak mencerminkan interaksi tenaga-obyek
dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaan nilai radiansi ini untuk
mengekstrak atribut obyek. Berdasarkan inspeksi menyeluruh pada seluruh area
liputan Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa
Perbandingan Nilai Persentase Tutupan kanopi Hasil Prediksi dan Nilai Hasil Pengukuran Untuk Penggunaan Lahan Tegalan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 4 6 7 9 11 12 15 16 18 24 25 26
Nomor sampel
Pers
enta
se T
utup
an K
anop
i (%
)
Nilai referensiNilai prediksi
82
citra yang digunakan masih belum terbebas dari pengaruh atmosfer berupa adanya
kabut tipis (haze), walaupun citra sudah dikoreksi radiometrik. Kabut ini nampak
terutama di bagaian hilir daerah penelitian. Adanya kabut tipis menyebabkan
peningkatan pantulan spektral vegetasi secara seragam pada saluran XS1 (hijau)
dan XS2 (merah), sehingga nilai NDVI yang diturunkan dari salah satu dari dua
saluran tersebut tidak mewakili interaksi iradiansi matahari dan respon spektral
vegetasi pada area yang tertutup kabut. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis
profil spektral (spectral profile) area yang dilingkari merah pada Gambar 4.25.
Profil Spektral dapat dilihat pada Gambar 4.26. Dari Gambar 4.26 dapat dilihat
bahwa nilai spektral pada saluran XS1 hingga XS3 untuk area A mempunyai nilai
yang lebih tinggi dari yang seharusnya (area B). Nilai yang lebih tinggi ini terjadi
karena ada penambahan tenaga akibat pengaruh kabut dan hamburan atmosfer
yang disebut path radiance (Richards dan Jia, 2006). Implikasi dari hal di atas
terhadap tujuan penelitian ini adalah nilai NDVI Citra SPOT-5 yang digunakan
dalam penelitian ini menjadi tidak berkorelasi dengan persentase tutupan kanopi
vegetasi.
(a) (b)
Gambar 4.25 Bukti Pengaruh Kabut Terhadap Perbedaan Nilai Pantulan Vegetasi Saluran XS2 Pada Penutup Lahan Yang Sama (a) dan Pengaruhnya
Terhadap Nilai NDVI (b).
83
Gambar 4.26 Profil Spektral Antara Area A dan Area B Pada Gambar 4.25
(Area A dan B Penutup Lahannya Sama)
Faktor kedua adalah perbedaan temporal ntara waktu perekaman citra dan
pelaksanaan penelitian yang cukup signifikan. Sebagaimana telah diuraikan pada
butir 4.3.2, waktu perekaman citra dan waktu validasi berselisih hampir dua tahun.
Dalam kurun waktu dua tahun, tentunya telah terjadi perubahan besar terhadap
karakteristik dan komposisi vegetasi daerah penelitian. Walaupun perubahan ini
tidak terlalu nampak untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur yang
didominasi tanaman keras berumur panjang, namun pada penggunaan lahan
tegalan perubahan ini nampak jelas terlihat. Pengamatan pada beberapa lokasi
sampel memperlihatkan adanya perbedaan komposisi vegetasi pada citra dan
kondisi terkini (Gambar 4.7b pada butir 4.3.2). Bukti ini merupakan salah satu
jawaban atas rendahnya korelasi antara nilai NDVI dan persentase tutupan kanopi
vegetasi pada penggunaan lahan tegalan.
Faktor terakhir adalah adanya pengaruh tutupan tanah (ground cover)
berupa rumput yang rapat pada area dengan tutupan kanopi jarang. Kondisi
ditemui pada penggunaan lahan kebun campur dengan tutupan kanopi vegetasi
yang kurang rapat (open mixed garden) dan tegalan. Adanya penutupan tanah
berupa rumput pada area dengan tutupan kanopi jarang menyebabkan respon
spektral dari area tersebut dipengaruhi oleh gabungan interaksi penutup tanah
(ground cover) dan tutupan kanopi (canopy cover), sehingga hasil akhirnya adalah
0
20
40
60
80
100
120
XS 1 XS 2 XS 3 XS 4
Saluran Citra SPOT-5
Nila
iSpe
ktra
lArea AArea B
84
nilai NDVI di area tersebut tetap tinggi walaupun tutupan kanopinya jarang.
Kondisi di atas ditunjukkan pada Gambar 4.27. Gambar 4.27a menunjukkan
penggunaan lahan kebun campur dengan tutupan kanopi jarang namun tutupan
tanahnya rapat. Pengaruh tutupan tanah terhadap nilai NDVI ditunjukkan pada
Gambar 4.27b yang menunjukkan lokasi pada Gambar 4.27a. Nilai NDVI rata-
rata pada lokasi tersebut adalah 0,73. Nilai ini cukup tinggi untuk area dengan
tutupan kanopi jarang, sehingga dari sini bisa dipastikan adanya pengaruh respon
spektral dari tutupan tanah.
(a) (b) (c)
Gambar 4.27 Foto Area Dengan Tutupan Kanopi Jarang Namun Tutupan Tanahnya Rapat (a), Lokasi Gambar a Pada Citra NDVI (b) dan Lokasi
Gambar a Pada Citra Komposit 432 (c)
Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa penggunaan atribut
spektral citra penginderaan jauh untuk memprediksi dan memetakan kondisi
tutupan kanopi masih belum optimal. Tidak idealnya beberapa faktor mulai dari
kualitas citra, hingga kondisi medan yang kompleks sangat mempengaruhi akurasi
hasil estimasi. Walaupun demikian, jika melihat kembali hasil pemetaan pada
Gambar4.23, nampak jelas adanya kelebihan pendekatan ini dalam pemetaan
tutupan kanopi vegetasi, yaitu terakomodasinya variabilitas tutupan di dalam
satuan pemetaan (mapping unit). Sebagaimana nampak pada peta, variabilitas
tutupan pada penggunaan lahan kebun campur yang mendominasi daerah
penelitian dapat terpetakan dengan baik. Informasi variabilitas tutupan ini sangat
berharga sebagai masukan dalam model erosi berbasis SIG raster untuk
memprediksi laju kehilangan tanah tahunan (annual soil loss) suatu daerah aliran
sungai, sebagaimana telah diuraikan oleh De Jong (1994).
85
4.8 Analisis Hubungan Tutupan Kanopi dan Tingkat Erosi Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah melihat bagaimana erosi terjadi
pada lahan dengan kondisi tutupan vegetasi berbeda. Untuk menjawab tujuan ini,
maka hasil dari observasi bentukan erosi di lapangan kemudian dikorelasikan
dengan hasil prediksi kondisi tutupan kanopi vegetasi dari data NDVI SPOT-5
menggunakan teknik tabulasi silang (cross tabulation). Penggunaan citra
penginderaan jauh untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi
memungkinkan area - area dengan tutupan kanopi berbeda dapat diidentifikasi
untuk kemudian diobservasi bagaimana respon erosi yang terjadi pada area
tersebut. Walaupun demikian, hasil analisis regresi memperlihatkan bahwa
korelasi NDVI sebagai prediktor untuk memprediksi persentase tutupan kanopi
vegetasi dengan data sampel hasil pengukuran persentase tutupan kanopi vegetasi
di lapangan sebagai data referensi kurang memuaskan. Korelasi yang kurang
signifikan menyebabkan hasil prediksi mempunyai bias yang besar, sehingga
validitasnya akan meragukan jika data hasil prediksi ini dihubungkan dengan hasil
analisis tingkat erosi. Sebagai alternatifnya, data hasil pengukuran persentase
tutupan kanopi di lapangan digunakan untuk menilai hubungan antara tingkat
erosi dan kondisi tutupan kanopi vegetasi. Derajat korelasi ditentukan dengan
menggunakan indeks kappa (κ). Hasil analisis ditunjukkan pada tabel 4.4
Tabel 4.4
86
Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi
Tingkat erosi
sangat berat berat sedang ringan sangat ringan total
sangat buruk 0 1 1 1 1 4
buruk 1 1 0 0 1 3
sedang 2 3 2 1 2 10
baik 3 5 2 3 4 17 Tut
upan
kan
opi
sangat baik 0 0 2 2 4 8
total 6 10 7 7 12 10 Sumber: Hasil analisis (2008)
Hasil penentuan indeks kappa (κ) dari Tabel 4.4 di atas menunjukkan tidak
ada korelasi yang signifikan antara kondisi tutupan kanopi vegetasi dan tingkat
erosi di lapangan. Nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,05. Tidak adanya
korelasi antara tutupan kanopi dan tingkat erosi mengindikasikan bahwa tutupan
kanopi kurang berpengaruh terhadap tingkat erosi di daerah penelitian. Untuk
mengidentifikasi faktor yang lebih berpengaruh terhadap tingkat erosi di daerah
penelitian, tingkat erosi dicoba dihubungkan dengan dua faktor yang juga
mempengaruhi erosi, yaitu faktor topografi berupa kemiringan lereng dan faktor
penutupan tanah (ground cover). Kedua jenis data tersebut dikumpulkan
bersamaan dengan pengumpulan data lain pada waktu kerja lapangan dilakukan.
Penutupan tanah diestimasi secara visual (oscular estimation) dengan
menggunakan acuan yang sama dengan acuan untuk menentukan persentase
tutupan kanopi (Gambar 2.1). Hasil estimasi kemudian diklasifikasikan menjadi 5
kelas dengan mengacu pada pedoman yang sama dengan klasifikasi tutupan
kanopi vegetasi (Tabel 2.2). Kemiringan lereng area pengamatan ditentukan
dengan menggunakan peta lereng yang diturunkan dari DEM SRTM yang
digunakan dalam orthorektifikasi citra. Kelas kemiringan lereng yang diacu
adalah kelas kemiringan lereng dalam Jamulya (1987). Hasil tabulasi silang dari
kedua faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan 4.6.
Tabel 4.5
87
Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Tanah Tingkat erosi
sangat berat berat Sedang ringan sangat ringan total
sangat buruk 1 3 1 3 1 9
buruk 1 4 2 0 0 7
sedang 0 0 4 1 0 5
baik 1 0 0 4 5 10 Tut
upan
tana
h
sangat baik 0 0 2 2 7 11 total 3 7 9 10 13 20
Sumber: Hasil analisis (2008)
Tabel 4.6 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kelas kemiringan Lereng
Tingkat erosi
sangat ringan ringan sedang berat sangat berat total
datar 0 0 0 1 0 1 landai 1 1 1 1 0 4 miring 4 0 3 1 1 9 curam 9 3 0 2 1 15
kela
s ler
eng
sangat curam 0 5 3 3 2 13 total 14 9 7 8 4 8
Sumber: Hasil analisis (2008)
Hasil pada Tabel 4.4, 4.5 dan 4.6 memperlihatkan bahwa tingkat erosi di
daerah penelitian lebih berkorelasi dengan penutup tanah dari pada kemiringan
lereng dan tutupan kanopi vegetasi. Indeks kappa untuk hubungan tingkat erosi
dan tutupan tanah adalah sebesar 0,34, sedangkan untuk hubungan tingkat erosi
dan kemiringan lereng hanya 0,03.
88
4.9 Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Hubungan Tutupan
Kanopi Vegetasi dan Tingkat Erosi Hasil tabulasi silang antara tingkat erosi tanah dan tutupan kanopi vegetasi
menunjukkan korelasi yang lemah antara dua variabel tersebut. Korelasi yang
lebih baik ditunjukkan oleh hubungan tingkat erosi dan tutupan tanah. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa tingkat erosi di daerah penelitian lebih
dipengaruhi dan berhubungan dengan penutup tanah daripada tutupan kanopi
vegetasi. Berdasarkan hasil observasi lapangan, pada dasarnya kenampakan yang
mengindikasikan adanya erosi seperti pedestal, armour layer dan singkapan akar
memang lebih banyak ditemui pada lahan dengan tutupan tanah jarang daripada
tutupan tanah rapat, walaupun kondisi tutupan kanopi pada kedua area
pengamatan tersebut sangat rapat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.27 yang
menunjukkan dua area pengamatan dengan tutupan kanopi yang termasuk dalam
kategori jarang namun kondisi tutupan tanahnya berbeda.
(a) (b)
Gambar 4.28 Foto Lahan Tegalan Dengan Tutupan Tanah Rapat (a) dan Jarang (b)
Gambar 4.28a menunjukkan lahan dengan kondisi penutup tanah yang
rapat. Adanya tutupan tanah yang rapat menyebabkan butir hujan yang mencapai
permukaan tanah ditahan oleh penutup tanah berupa rumput ataupun serasah.
Penahanan butir hujan oleh penutup tanah menyebabkan proses pemecahan tanah
jauh lebih kecil intensitasnya daripada ketika tanah berada dalam kondisi terbuka.
89
Penutupan tanah yang rapat juga mampu mencegah terjadinya limpasan
permukaan dengan intensitas tinggi ketika terjadi hujan lebat. Pengurangan
intensitas limpasan permukaan menyebabkan pengangkutan partikel tanah oleh
limpasan permukaan jauh berkurang dan tanah menjadi lebih stabil.
Kondisi berbeda terjadi pada Gambar 4.28b yang menunjukkan lahan
tegalan yang berada dalam kondisi terbuka tanpa penutup tanah. Tanah yang
berada dalam kondisi terbuka menyebabkan proses pemecahan butir tanah dari
agregat tanah dan pengangkutan partikel tanah hasil pemecahan oleh limpasan
permukaan terjadi secara hebat dan merata pada seluruh area pengamatan. Bukti
ini dapat dilihat pada Gambar 4.28b yang memperlihatkan adanya kenampakan
gundukan tanah sisa permukaan awal. Kedua area pengamatan pada Gambar 4.28
berada pada lahan dengan kondisi tutupan kanopi vegetasi yang jarang. Untuk
area dengan kondisi tutupan kanopi sangat rapat, selama tutupan tanahnya kurang
rapat maka erosi ringan hingga sedang masih dapat terjadi yang diindikasikan
dengan ditemukannya kenampakan yang mengindikasikan erosi ringan seperti
pedestal, singkapan akar dan armour layer. Hal ini terjadi karena kanopi vegetasi
tidak berlaku sebagai pelindung tanah yang efektif sebagaimana halnya tutupan
tanah. Ketika terjadi hujan, kanopi vegetasi dapat menahan butir hujan agar tidak
langsung jatuh ke tanah, namun butir - butir hujan ini akan berkumpul di ujung
daun dan akhirnya jatuh ke tanah sebagai aliran daun (leafdrop) yang ukurannya
bisa jadi lebih besar dari ukuran normal. Sebagai akibatnya, jika tanah dalam
kondisi tanpa tutupan atau tutupannya kurang rapat, maka butir - butir hujan
berukuran besar tersebut mampu memecahkan partikel tanah dalam jumlah yang
signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas, dapat diketahui bahwa
hubungan erosi dan faktor yang mempengaruhinya bersifat kompleks dan saling
terkait satu sama lain. Kompleksitas ini menyebabkan bentuk hubungan antar
faktor dan tingkat erosi yang terjadi tidak terlihat nyata. Kondisi tutupan kanopi
vegetasi yang seharusnya dapat mencerminkan perlindungan terhadap tanah dari
butir hujan ternyata tidak berkorelasi dengan tingkat erosi. Hal ini disebabkan
karena adanya pengaruh tutupan tanah yang juga berperan dalam mencegah
90
pemecahan partikel tanah dari agregat tanah dan mencegah terjadinya limpasan
permukaan dalam debit yang besar.
91
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan tahapan penelitian yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh
dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal berkaitan
dengan tujuan penelitian yang telah tercapai sebagai berikut:
1. Penggunaan indeks vegetasi NDVI yang diintegrasikan dengan data
lapangan untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi di daerah
penelitian belum memberikan hasil yang memuaskan. Hubungan terbaik
diberikan oleh model regresi polinomial orde 2 untuk vegetasi pada
penggunaan lahan kebun campur dengan nilai korelasi yang diperoleh
sebesar 0,485. Untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan, model
regresi eksponensial merupakan model terbaik dengan nilai korelasi yang
diperoleh sebesar 0,305.
2. Penggunaan indeks vegetasi untuk mengestimasi persentase tutupan
kanopi vegetasi dapat memberikan informasi distribusi dan variabilitas
spasial kondisi tutupan kanopi. Informasi ini sangat berharga sebagai
masukan dalam pemodelan erosi berbasis SIG raster.
3. Berdasarkan hasil observasi kenampakan erosi dan penilaian tingkat erosi
secara kualitatif di lapangan, Sebagian besar lahan di DAS Tinalah
mempunyai tingkat erosi yang termasuk dalam kategori sangat ringan..
4. Analisis hubungan tingkat erosi dan kondisi tutupan kanopi vegetasi
berdasarkan hasil pengukuran lapangan menggunakan tabulasi silang
belum menunjukkan hubungan yang signifikan. Nilai korelasi yang
diperoleh sangat rendah, yaitu sebesar 0,05. Hubungan yang lebih kuat
ditunjukkan oleh hubungan tingkat erosi dan tutupan tanah dengan nilai
korelasi sebesar 0,34.
92
5.2 Saran Mendasarkan pada jalannya penelitian yang telah dilakukan, kendala yang
dihadapi serta hasil yang diperoleh, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Perlu adanya penelitian lanjutan dengan menggunakan citra yang
mempunyai kualitas radiometrik yang lebih baik (minim perawanan dan
pengaruh kabut) dari citra yang digunakan dalam penelitian ini.
Berdasarkan analisis iklim (subbab 3.2), Bulan Juni-Agustus merupakan
bulan yang cukup kering dan perawanan dalam kondisi minimal, serta
kondisi atmosfer biasanya cukup cerah. Citra yang direkam dalam bulan-
bulan ini akan dapat memberikan informasi yang optimal untuk studi
vegetasi di daerah penelitian. Citra dengan kualitas radiometrik yang baik
akan dapat memberikan hubungan antara nilai digital NDVI dan
persentase tutupan kanopi yang lebih nyata. Perbedaan tanggal perekaman
citra dan validasi lapangan juga disarankan tidak berbeda terlalu jauh
(kurang dari dua bulan), mengingat vegetasi mempunyai sifat dinamis dan
kondisi fenologisnya dapat berubah dalamskala harian hingga tahunan.
2. Perlu adanya penelitian pemodelan erosi berbasis SIG raster dengan
menggunakan data persentase tutupan kanopi yang diturunkan dari citra
penginderaan jauh. Saran ini didasarkan pada hasil penelitian yang
menunjukkan citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi
variabilitas distribusi spasial tutupan kanopi, sebagaimana variabilitas
kondisi topografi yang dapat dimodelkan dengan menggunakan DEM.
Kajian dan evaluasi terhadap reabilitas keluaran model berupa prediksi
laju kehilangan tanah juga perlu dilakukan.
3. Memperhatikan rendahnya akurasi hasil pemetaan tutupan kanopi dengan
menggunakan Citra SPOT-5 pada skala 1: 50.000, maka pemetaan tutupan
kanopi menggunakan indeks vegetasi dari citra SPOT-5 disarankan
dilakukan pada skala yang tidak lebih detil dari 1: 100.000.
4. Perlu adanya perhatian yang lebih baik pada kondisi penutupan tanah
dalam setiap studi erosi di daerah penelitian. Hal ini dikarenakan dari hasil
93
penelitian telah diketahui bahwa penutupan tanah lebih berpengaruh secara
signifikan terhadap tingkat erosi daripada faktor erosi yang lain seperti
kemiringan lereng dan tutupan kanopi vegetasi.
94
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2005). ILWIS 3.3 Academic User Guide. Enschede: ITC. Ariyanto, K.N. (2004). Evaluasi Konservasi Tanah Cara Teras Bangku di DAS
Tinalah Kabupaten Kulonprogo. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM
Arsyad, S. (1989). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB. Baban, M.J.S., dan Yusof, K.W. (2001). Modelling Soil Erosion in Tropical
Environments using Remote Sensing and Geographical Information Systems. Hydrological Sciences Journal 46, 191-198.
Bemmelen, R.W.V. (1949). The Geology of Indonesia, Vol 2. Goverment Printing
Office. The Haque Campbell, J.B. (2002). Introduction to Remote Sensing (Third edition). New
York: Guilford Press. Carreiras, M.J.B., Pereira, J.M.C., dan Pereira, J.S. (2006). Estimation of Tree
Canopy Cover in Evergreen Oak Woodlands using Remote Sensing. Forest Ecology And Management 223, 45-53.
Cartagena, D.F. (2005). Remotely Sensed Land Cover Parameter Extraction for
Watershed Erosion Modelling. M.Sc Thesis. ITC. Enschede. Danoedoro, P. (1989). Hubungan antara Nilai Digital Citra Multispektral SPOT
dengan Konsentrasi Klorofil di Lereng Gunung Merapi Bagian Selatan. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Danoedoro, P. (1996). Pengolahan Citra Digital, Teori dan Aplikasinya dalam
Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. De Jong, S. M. (1994). Application of Reflective Remote Sensing to Land
Degradation Studies in Mediteranian Environment. Utrecht: Netherlands Geographical Studies.
De Jong, S. M., Parrachini, M. L., Bertolo, F., Folving, S., Megier, J., dan De
Roo, A. P. J. (1999). Regional Assessment of Soil Erosion using the Distributed Model SEMMED and Remotely Sensed Data. Catena 37, 291-308.
95
Departemen Kehutanan. (2004). Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis.http:www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/skdirjenRLPS/isi1670.htm tanggal akses 19 Januari 2008 Pukul 12.45
Gitelson, A.A. (2004). Wide Dynamic Range Vegetation Index for Remote
Quantification of Biophysical Characteristics of Vegetation. Journal Of Plant Physiology 161, 165-173.
Harintaka. (2003). Penggunaan Persamaan Kolinier Untuk Rektifikasi Citra
Satelit SPOT Secara Parsial. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM.
Harintaka., Heliani, L.S., dan Nugroho, P.D. (2006). Evaluasi Ketelitian RPC
untuk Orthorektifikasi Citra Satelit IKONOS. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM
Hartono, B. (1994). Perencanaan Konservasi Lahan dengan Pendekatan Tingkat
Bahaya Erosi dan Kemampuan Lahan di DAS Tinalah Kulonprogo. Skripsi S1. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM
Hoffer, R. M. (1978). Biological and Physical Considerations in Applying
Computer-aided Analysis Techniques to Remote Sensor Data. Dalam Swain, P. H. and Davis, S. M. (1978). Remote Sensing: The Quantitative Approach, Bab 5, 227-289. New York: Mc Graw Hill.
Jamulya. (1987). Lingkungan Non Biotik. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Jensen, J. R. (1991). The Measurement of Mangrove Characteristics in South- West Florida using SPOT Multispectral Data. Geocarto International, 13–21.
Kancheva, R., dan Borisova, D. (2006). Spectral Unmixing for Information Extraction. ISPRS Commission VII Mid-term Symposium "Remote Sensing: From Pixels to Processes", Enschede, the Netherlands. http://www.itc.nl/isprsc7/symposium/proceedings/PS01_4.pdf. Tanggal akses 14 Desember 2007 pukul 6.45.
Kumalawati, R. (2005). Valuasi Ekonomi Resiko Bencana Alam Gerak Massa
Batuan dan Erosi Terhadap Lahan Pertanian di DAS Tinalah Kulonprogo. Thesis S2. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Korhonen, L., Korhonen, K.T., Rautiainen, M. dan Stenberg, P. (2006).
Estimation of forest canopy cover:a comparison of field measurement techniques. Silva Fennica 40(4), 577–588.
96
Lanteri, D.G., Huete, A., Kim, H. K., dan Didan, K. (2004). Estimation of the Fraction Canopy Cover from Multispectral Data to be used in a Water Soil Erosion Prediction Model. Gayana 68, 239-245. Di akses dari situs http://www.scielo.cl/scielo.php?pid=S071765382004000200043danscript=sci_arttext. Tanggal akses 14 Desember 2007 pukul 6.15.
Larsson, H. (2002). Acacia Canopy Cover Changes in Rawashda Forest Reserve,
Kassala Province, Eastern Sudan, Using Linear Regression NDVI Models. International Journal of Remote Sensing 23, 335-339.
Lee, K.S. (t,t). Remote Sensing Methodology to Monitor Vegetation Cover in Northeast
Asia http://www.klter.org/EVENTS/Conference00/html/leegusung.htm, tanggal akses 21 Desember 2007 pukul 06:45
Lillesand, T.M., Kiefer, R.F., dan Chipman, J. (2004). Remote Sensing and Image
Interpretation (5 ed). New York: John Wiley and Son. Linden, V.P. (1980). Introduction to Principles of Erosion and the Application of
Some Soil Conservation Measures (Unpublished Lecture Notes). Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Morgan, R. P. C. (1995). Soil Erosion and Conservation (Second edition ed.).
Harlow: Longman. _________. (2001). A Simple Approach to Soil Loss Prediction: a Revised
Morgan-Morgan-Finney Model. Catena 44, 305-322. Nagler, P. L., Glenn, E. P., Thompson, T. L., dan Huete, A. (2003). Leaf Area
Index and Normalized Difference Vegetation Index as Predictors of Canopy Characteristics and Light Interception by Riparian Species on the Lower Colorado River. Agricultural and Forest Meteorology 125, 1–17.
Petrie, G. (2006). Rectification and Georeferencing of Optical Imagery. Dalam
Aronoff, S. (2006). Remote Sensing for GIS Managers. California: ESRI Press.
Rahardjo, N. (1990). Penggunaan Citra SPOT untuk Pemetaan Bahaya Erosi di
DAS Alang Wonogiri Jawa Tengah. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Restele, L.O. (2004). Tingkat Bahaya Erosi DAS Tinalah Kulonprogo Daerah
Istimewa Yogyakarta. Thesis S2. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM Richards, J. A., dan Jia, X.P. (2006). Remote Sensing Digital Image Analysis, An
Introduction (4th edition). Berlin: Springer-Verlag.
97
Schreiber, K.V. (2007). An Approach to Monitoring and Assessment of Desertification using Integrated Geospatial Technologies. Di akses dari situs http://ams.confex.com/ams/pdfpapers/111209.pdf. Tanggal akses 14 Desember 2007 pukul 6.32.
Setiawan, C. (2005). Arahan Penggunaan Lahan Daerah Rawan Gerak Massa di
DAS Tinalah Kulonprogo. Thesis S2. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.
Setiawan, M.A. (2006). Soil Erosion Risk Assesment: Financial Loss Approach
(Case Study Sub Catchment of Progo Watershed, Central Java, Indonesia). M.Sc Thesis. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM
SPOT Image. (2006). SPOT-5 Technical Guide. Diakses dari situs:
http://www.spotimage.fr/automne_modules_files/standard/public/p229_14f50983b6319ae4d5ec6becb005a0c5SPOT_IMAGE_QUALITY_PERFORM_20070415.pdf . Tanggal akses 6 Januari 2008 pukul 12.43.
Stocking, M. dan Murnaghan, N. (2001). Handbook for Field Assessment of Land
Degradation. London: Earthscan. Sugiyono. (2003). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sutikno. 1985. Geomorfologi, Konsep dan Terapannya. Yogyakarta : Fakultas
Geografi UGM. Teklehaimanot, G. (2003). Use of Simple Field Tests and Revised MMF Model
for Assessing Soil Erosion: (Case study Lom Kao Area, Thailand). M.Sc Thesis. ITC. Enschede.
Tim KKL III Geografi Lingkungan. (2007). Evaluasi Sumberdaya Wilayah DAS
Tinalah dan DAS Kayangan Kulonprogo. Laporan Akhir KKL III. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM
Tim PSBA UGM. (2004). Penyusunan Strategi Penanganan Daerah Rawan
Bencana di Kabupaten Purworejo. Laporan Akhir. Purworejo: BAPPEDA Kabupaten Purworejo Jawa Tengah.
Utomo, W. H.. (1994). Erosi dan Konservasi Tanah. Malang: IKIP. Vrieling, A. (2004). Satellite Remote Sensing for Water Erosion Assessment: A
Review. Catena 65, 2-18. Wiraswasti, Y. (2005). Hubungan Tingkat Torehan Pada Setiap Bentuk Lahan
Terhadap Perkembangan Tanah di DAS Tinalah Kulonprogo DIY.skripsi S1. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
98
Wisnubroto, S., Nitisapto, M., dan Aminah, S. L. (1986). Asas - asas Meteorologi
Pertanian. Jakarta: Ghalia. Yazidhi, B. (2003). A Comparative Study of Soil Erosion Modeling in Lom Kao
Phetchabun, Thailand. M.Sc Thesis. ITC, Enschede..
L-1
LAMPIRAN 1
HASIL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA SPOT-5 HRG XS DENGAN
MENGGUNAKAN METODE KALIBRASI BAYANGAN
1. SALURAN 1 (HIJAU)
1.1 Hasil pengambilan sampel
1.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)
Persamaan yang diperoleh : y = 0,42x + 20,892 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ (1 – Aλ)
Sehingga, Aλ = 0,42
20,892 = Dλ (1 – Aλ)
Dengan demikian, 20,892 = Dλ (1 – 0,42)
20,892 = Dλ (0,58)
Dλ = 20,892 / 0,58 = 36 (nilai pembulatan)
Eit Eis
49 42
51 38
61 47
51 39
61 48
58 48
64 45
52 49
53 45
55 41
Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 1 Citra SPOT-5
y = 0,42x + 20,892
0
10
20
30
40
50
60
0 10 20 30 40 50 60 70
Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)
Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)
L-2
2. SALURAN 2 (MERAH)
2.1 Hasil pengambilan sampel
2.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)
Persamaan yang diperoleh : y = 0,4621x + 11,283 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ(1–Aλ)
Sehingga, Aλ = 0,4621
11,283 = Dλ (1 – Aλ)
Dengan demikian, 11,283 = Dλ (1 – 0,4621)
11,283 = Dλ (0,5379)
Dλ = 11,283 / 0,5379 = 21 (nilai pembulatan)
Eit Eis
34 27
37 26
47 36
36 25
58 41
54 36
55 30
45 37
37 32
41 28
Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 2 Citra SPOT-5
y = 0,4621x + 11,283
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 10 20 30 40 50 60 70
Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)
Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)
L-3
3. SALURAN 3 (INFRAMERAH DEKAT)
3.1 Hasil pengambilan sampel
3.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)
Persamaan yang diperoleh : y = 0,213x + 26,027 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ(1–Aλ)
Sehingga, Aλ = 0,213
26,027 = Dλ (1 – Aλ)
Dengan demikian, 26,027 = Dλ (1 – 0,213)
26,027 = Dλ (0,787)
Dλ = 26,027 / 0,787 = 33 (nilai pembulatan)
Eit Eis
116 50
163 58
148 59
154 58
72 46
69 39
32 25
68 49
160 57
167 64
Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 3 Citra SPOT-5
y = 0,213x + 26,027
0
10
20
30
40
50
60
70
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)
Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)
L-4
4. SALURAN 4 (INFRAMERAH GELOMBANG PENDEK)
4.1 Hasil pengambilan sampel
4.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)
Persamaan yang diperoleh : y = 0,3x + 14,519 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ(1–Aλ)
Sehingga, Aλ = 0,3
14,519 = Dλ (1 – Aλ)
Dengan demikian, 14,519 = Dλ (1 – 0,3)
14,519 = Dλ (0,7)
Dλ = 14,519 / 0,7 = 21 (nilai pembulatan)
Eit Eis
86 37
96 43
121 49
108 46
130 62
127 39
28 23
103 50
113 54
124 53
Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 4 Citra SPOT-5
y = 0,3x + 14,519
0
10
20
30
40
50
60
70
0 20 40 60 80 100 120 140
Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)
Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)
TITIK X Y TOPONIMI TINGKAT EROSI INDIKATOR EROSI PENGGUNAAN
LAHANJENIS VEGETASI
DOMINAN
KELAS KEMIRINGAN
LERENG
TUTUPAN TANAH
KELAS TUTUPAN
TANAH
TUTUPAN KANOPI
KELAS TUTUPAN KANOPI
1 412895 9147186 duwet Sedang pedestal 5cm, akar pohon tersingkap semak, jati, sengon, rumput sangat curam 95% Sangat rapat 93% Sangat baik
2 412579 9147470 duwet Sedang gundukan 2 cm, pedestal 4cm kebun campur bambu, jati sangat curam 50% Sedang 45% Sedang
3 411632 9147662 junut Berat pedestal 7cm kebun campur jati, kelapa, bambu curam 30% Jarang 60% Sedang4 411750 9147933 junut Sangat berat parit,alur 13 cm Tegalan kacang tanah, ketela sangat curam 70% Rapat 55% Sedang
5 411529 9148301 Besole Berat akar pohon nampak, pedestal 7 cm kebun campur bambu, jati, kelapa sangat curam 20% Jarang 70% Baik
6 410859 9148816 Besole Sangat ringan - Tegalan ketela curam 45% Sedang 80% Baik7 410603 9148792 Taman Sedang pedestal 5cm Tegalan ketela miring 30% Jarang 76% Baik8 410373 9148352 Dlingseng Sangat ringan - Kebun campur jati, Kelapa miring 15% Sangat jarang 85% Sangat baik
9 410209 9148726 Dlingseng Sedang pedestal, gundukan tanah 5,5 cm, armour layer Tegalan ketela landai 3% Sangat jarang 3% Sangat buruk
10 410637 9149657 Sendangmulyo Sangat ringan - Kebun campur Jati, mahoni landai 80% Rapat 70% Baik
11 409822 9146851 Ngumpil Berat
alur kedalaman 3cm, pedestal 5-6 cm, armour layer renggang, gundukan tanah di sekitar tanaman 5 cm
tegalan ketela, jati, mahoni sangat curam 10% Sangat jarang 20% Buruk
12 409491 9149618 Sendangmulyo Sangat ringan - tegalan ketela, kelapa curam 95% Sangat rapat 10% Sangat buruk13 411524 9149271 Tukharjo Sangat ringan - Kebun campur jati bambu, miring 85% Sangat rapat 85% Sangat baik
14 409755 9150155 Pengos A Sangat ringan - Kebun campur jati bambu, mahoni, sengon curam 80% Rapat 75% Baik
15 409005 9150684 PengosB Sangat berat parit kedalaman 48 cm, pedestal 7,5 cm Tegalan kelapa, pisang, ketela sangat curam 80% Rapat 30% Buruk
16 407325 9151547 Ngroto Berat alur kedalaman 1 cm, pedestal 7 cm tegalan ketela, kelapa sangat curam 20% Jarang 45% Sedang
17 410993 9149623 Taman Ringanarmour layer sedikit, treemound dangkal 1cm, akarpohon tersingkap
Kebun campur Jati, kelapa, mahoni sangat curam 10% Sangat jarang 70% Baik
18 410678 9150251 Tukmudal Ringanarmour layer sedikit, treemound dangkal 1cm, akarpohon tersingkap
Tegalan ketela, kelapa sangat curam 80% Rapat 45% Sedang
19 410657 9150774 Gebang Ringanpedestal 1cm, armour layer, singkapan akar 1,5cm, tree mound 30mm
Kebun campur bambu, kelapa, melinjo, jati, mahoni, curam 70% Rapat 85% Sangat baik
20 410873 9150936 Sumoroto Sedang pedestal 4 cm, armour layer, treemound 3 cm Kebun campur pisang, jati, mahoni, kelapa sangat curam 20% Jarang 55% Sedang
21 411614 9151397 Sumoroto Sangat berat pedestal 10 cm, alur lebih dari 8 cm, Kebun campur jati, kelapa, mahoni curam 30% Jarang 60% Sedang
LAMPIRAN 2REKAPITULASI DATA PENGUKURAN LAPANGAN
22 409312 9151860 Bleder Sangat ringan - Kebun campur Jati, melinjo, kelapa miring 80% Rapat 70% Baik23 409278 9150874 Pengos B Sangat ringan - hutan jati, kelapa curam 95% Sangat rapat 85% Sangat baik
24 410091 9150742 Gebang Berat pedestal 8 cm, treemound 7 cm, tegalan, ketela miring 15% Sangat jarang 5% Sangat buruk
25 408562 9147958 Balong II Ringan armour layer renggang, sedimen in drain Tegalan, ketela sangat curam 5% Sangat jarang 15% Sangat buruk
26 408241 9148437 Balong I Sangat ringan - Tegalan, pisang, ketela, mahoni, kelapa curam 85% Sangat rapat 45% Sedang
27 407594 9148715 Klendrekan Sedang pedestal 4cm, armour layer renggang Kebun campur bambu, mahoni, jati miring 60% Sedang 90% Sangat baik
28 406683 9148943 Klendrekan Sangat ringan - Kebun campur kelapa, mahoni curam 80% Rapat 50% Sedang
29 408481 9151805 Clumprit Berat pedestal 10 cm Kebun campur pisang, jati, kelapa, bambu landai 45% Sedang 55% Sedang
30 407111 9153130 Ngalian gunung Sangat ringan - Kebun campur pisang, jati, kelapa curam 95% Sangat rapat 35% Buruk
31 406490 9153043 Ngaliyan Ringan pedestal 1cm, build up tree 6 cm Kebun campur jati, kelapa, bambu,
cengkeh curam 65% Rapat 63% Baik
32 406023 9152413 Pucung Sedang pedestal 4cm, armour layer Kebun campur jati, pisang, bambu miring 60% Sedang 75% Baik
33 405511 9151966 Sreguyu Sangat ringan - Kebun campur jati, bambu,kelapa, pisang, mahoni curam 80% Rapat 90% Sangat baik
34 407415 9153022 ngaliyan gunung B Sangat berat parit, pedestal 13 cm Kebun campur jati miring 3% Sangat jarang 67% Baik
35 408221 9152669 Jati Berat pedestal dan treemound 10 cm, singkapan akar 12 cm Kebun campur jati, kelapa, ketela curam 10% Sangat jarang 80% Baik
36 408622 9152816 Manggermalang Ringan pedestal 1cm, Kebun campur jati, bambu, landai 85% Sangat rapat 83% Sangat baik37 410008 9152968 Manggermalang Ringan pedestal 1cm Kebun campur jati, kelapa , mahoni curam 85% Sangat rapat 98% Sangat baik
38 406387 9149223 Bendo Sangat ringan - Kebun campur jati, kelapa, mahoni, cengkeh curam 95% Sangat rapat 70% Baik
39 407176 9149527 Jomblangan 12 Berat alur 3 cm Kebun campur jati, melinjo, cengkeh, mahoni, bambu, kelapa datar 25% Jarang 78% Baik
40 405198 9149163 Plempungan Sangat ringan - Kebun campur cengkeh miring 95% Sangat rapat 3% Sangat buruk41 405451 9150482 Kalinongko Ringan singkapan akar Kebun campur bambu, jati sangat curam 80% Rapat 70% Baik
42 405607 9151444 Suren Ringan singkapan akar, tree mound 1cm Kebun campur jati, kelapa, bambu sangat curam 60% Sedang 70% Baik
LAMPIRAN 3
Hasil Analisis Regresi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan lahan Kebun Campur
Model Description
MOD_1Persentase tutupan kanopivegetasi (%)LinearLogarithmicQuadraticPowera
Exponentiala
Nilai NDVIIncluded
Unspecified
,0001
Model Name1Dependent Variable
12345
Equation
Independent VariableConstantVariable Whose Values Label Observations inPlots
Tolerance for Entering Terms in Equations
The model requires all non-missing values to be positive.a.
Case Processing Summary
29000
Total CasesExcluded Casesa
Forecasted CasesNewly Created Cases
N
Cases with a missing value in any variable are excluded from the analysis.a.
Variable Processing Summary
29 29
0 0
0 0
0 00 0
Number of Positive Values
Number of ZerosNumber of Negative Values
User-MissingSystem-Missing
Number of MissingValues
Persentasetutupankanopi
vegetasi (%)
Dependent
Nilai NDVI
IndependentVariables
Model Summary and Parameter Estimates
Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%)
,232 8,152 1 27 ,008,229 8,008 1 27 ,009,235 3,994 2 26 ,031,224 7,780 1 27 ,010,226 7,868 1 27 ,009
EquationLinearLogarithmicQuadraticPowerExponential
R Square F df1 df2 Sig.Model Summary
The independent variable is Nilai NDVI.
Page 1
Model Summary and Parameter Estimates
Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%)
-5,349 109,39497,884 73,96491,354 -175,166 207,636
105,531 1,14921,278 1,696
EquationLinearLogarithmicQuadraticPowerExponential
Constant b1 b2Parameter Estimates
The independent variable is Nilai NDVI.
Hasil analisis Regresi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Tegalan
Model Description
MOD_2Persentase tutupan kanopivegetasi (%)LinearLogarithmicQuadraticPowera
Exponentiala
Nilai NDVIIncluded
Unspecified
,0001
Model Name1Dependent Variable
12345
Equation
Independent VariableConstantVariable Whose Values Label Observations inPlots
Tolerance for Entering Terms in Equations
The model requires all non-missing values to be positive.a.
Case Processing Summary
2916
00
Total CasesExcluded Casesa
Forecasted CasesNewly Created Cases
N
Cases with a missing value in any variable are excluded from the analysis.a.
Variable Processing Summary
13 13
0 0
0 0
0 016 16
Number of Positive Values
Number of ZerosNumber of Negative Values
User-MissingSystem-Missing
Number of MissingValues
Persentasetutupankanopi
vegetasi (%)
Dependent
Nilai NDVI
IndependentVariables
Page 2
Model Summary and Parameter Estimates
Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%)
,043 ,492 1 11 ,498,042 ,482 1 11 ,502,045 ,234 2 10 ,795,089 1,081 1 11 ,321,093 1,131 1 11 ,310
EquationLinearLogarithmicQuadraticPowerExponential
R Square F df1 df2 Sig.Model Summary
The independent variable is Nilai NDVI.
Model Summary and Parameter Estimates
Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%)
-25,463 106,09871,601 64,895
150,605 -465,869 460,765143,690 3,459
,781 5,721
EquationLinearLogarithmicQuadraticPowerExponential
Constant b1 b2Parameter Estimates
The independent variable is Nilai NDVI.
Page 3
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Tingkat IV
DAERAH BERVEGETASI DAERAH PERTANIAN Sawah irigasi
Sawah tadah hujan
Sawah lebak
Sawah pasang surut
Ladang/Tegalan
Perkebunan Cengkeh
Coklat
Karet
Kelapa
Kelapa sawit
Kopi
Panili
Tebu
Teh
Tembakau
Perkebunan campuran
Tanaman campuran
DAERAH BUKAN PERTANIAN Hutan Lahan kering Hutan bambu
Hutan campuran
Hutan jati
Hutan pinus
Hutan lain-lain
Hutan lahan basah Hutan bakau
Hutan campuran
Hutan nipah
Hutan sagu
Belukar
Semak
Padang rumput
Savana
Padang alang-alang
rumput rawa
DAERAH TAK BERVEGETASI LAHAN TERBUKA Pertambangan terbuka
LAHAR DAN LAVA
BETING PANTAI
GOSONG SUNGAI
GUMUK PASIR
PERMUKIMAN DAN LAHAN BUKAN
PERTANIAN YANG BERKAITAN PERMUKIMAN
BANGUNAN INDUSTRI
JARINGAN JALAN
JARINGAN JALAN KERETA API
JARINGAN LISTRIK TEGANGAN TINGGI
PELABUHAN UDARA
PELABUHAN LAUT
PERAIRAN DANAU
WADUK
TAMBAK IKAN
TAMBAK GARAM
RAWA
SUNGAI
ANJIR PELAYARAN
SALURAN IRIGASI
TERUMBU KARANG
GOSONG PANTAI/DANGKALAN
LAMPIRAN 4
SKEMA KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN BAKOSURTANAL (dalam Rahardjo, 1990)
L-11
LAMPIRAN 5
HASIL ANALISIS TABULASI SILANG 1. Tingkat erosi dan Tutupan Kanopi
1.A Hasil Tabulasi Silang
Tingkat erosi
sangat berat berat sedang ringan sangat ringan total
sangat buruk 0 1 1 1 1 4 buruk 1 1 0 0 1 3 sedang 2 3 2 1 2 10 baik 3 5 2 3 4 17
Tutu
pan
kano
pi
sangat baik 0 0 2 2 4 8
total 6 10 7 7 12 10
1.B Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang
grand total 42
total correct 10
observed correct 0,24
1.C Analisis batas (Marginal analysis)
24 40 28 28 48
18 30 21 21 36
60 100 70 70 120
102 170 119 119 204
48 80 56 56 96
1.D Rekapitulasi Hasil Analisis Batas
grand total 1764
diagonal entries 339expected agreement by change 0,19
Indeks kappa 0,06
L-12
2. Tingkat erosi dan Tutupan Tanah
2.A Hasil Tabulasi Silang
Tingkat erosi sangat berat berat sedang ringan sangat ringan total
sangat buruk 1 3 1 3 1 9 buruk 1 4 2 0 0 7 sedang 0 0 4 1 0 5 baik 1 0 0 4 5 10
grou
nd c
over
sangat baik 0 0 2 2 7 11 total 3 7 9 10 13 20
2.B Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang
grand total 42
total correct 20
observed correct 0,48
2.C Hasil Analisis Batas (Marginal analysis)
27 63 81 90 117
21 49 63 70 91
15 35 45 50 65
30 70 90 100 130
33 77 99 110 143
2.D Rekapitulasi Hasil Analisis Batas
grand total 1764
diagonal entries 364expected agreement by change 0,206
Indeks kappa 0,34
L-13
3. Tingkat erosi dan Kemiringan lereng
3.A Hasil Tabulasi Silang
Tingkat erosi sangat ringan ringan sedang berat sangat berat total
datar 0 0 0 1 0 1landai 1 1 1 1 0 4miring 4 0 3 1 1 9curam 9 3 0 2 1 15
kela
s ler
eng
sangat curam 0 5 3 3 2 28total 14 9 7 8 4 18
3.B Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang
grand total 42
total correct 8
observed correct 0,190
3.C Hasil Analisis Batas (Marginal analysis)
14 9 7 8 4
56 36 28 32 16
126 81 63 72 36
210 135 105 120 60
182 117 91 104 52
3.D Rekapitulasi Hasil Analisis Batas
grand total 1764
diagonal entries 285expected agreement by change 0,161
Indeks kappa 0,03
L-14
LAMPIRAN 6 HASIL PERHITUNGAN STANDAR KESALAHAN (STANDARD ERROR) ANTARA PERSENTASE TUTUPAN KANOPI HASIL OBSERVASI DAN
HASIL PREDIKSI 1, Penggunaan Lahan Kebun Campur
No. Hasil Observasi (%) Hasil Prediksi (%) Selisih Selisih kuadrat 2 45 59 -14 196
3 60 66 -6 36
5 70 65 5 25
8 85 65 20 400
10 70 62 8 64
13 85 63 22 484
14 75 67 8 64
17 70 62 8 64
19 73 64 9 81
20 55 67 -12 144 21 60 61 -1 1
22 70 70 0 0
23 85 81 4 16
27 90 79 11 121
28 50 77 -27 729
29 55 74 -19 361
30 35 59 -24 576
31 63 77 -14 196
32 75 75 0 0
33 90 83 7 49
34 67 70 -3 9
35 80 75 5 25
36 83 72 11 121
37 98 68 30 900
38 70 74 -4 16
39 78 71 7 49
40 70 68 2 4
41 70 77 -7 49 42 70 83 -13 169
Total 4949
Variansi 183,30
Standar kesalahan 13,5
L-15
2. Penggunaan Lahan tegalan
No. Hasil Observasi (%) Hasil Prediksi (%) Selisih Selisih kuadrat
1 93 36 57 3249
4 55 19 36 1296
6 80 24 56 3136
7 76 20 56 3136
9 3 16 -13 169
11 20 34 -14 196
12 10 28 -18 324
15 30 30 0 0
16 45 43 2 4
18 45 40 5 25
24 5 32 -27 729
25 15 16 -1 1
26 45 38 7 49
Total 12314
Variansi 1119,45
Standar kesalahan 33,46 3. Rumus Standar kesalahan (Purevdorj et al, 1998)
SE =
2
1
( )
2
n
ii
X X
n=
−
−
∑
Dimana : n = jumlah pengamatan
X = Persentase Tutupan kanopi hasil observasi
= Persentase Tutupan kanopi hasil estimasi
X
L-16
LAMPIRAN 7 METADATA CITRA SPOT5\HRG XS DAN PAN
1. Citra SPOT5\HRG XS (Multispektral) Type Spot SYSTEM SCENE level 1A
Layer SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:11 1 J
Format DIMAP
Raster GEOTIFF
General Information
Map Name SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:11 1 J
Geometric Processing Level RAW
Radiometric Processing Level SYSTEM
Image dimensions
Number of columns 6000 Number of rows 6000 Number of spectral bands 4
Pixel size 10 meter
Dataset framing
Vertice Longitude (DEG) Latitude (DEG) Row Col #1 110.157267 -7.540804 1 1 #2 110.687844 -7.658809 1 6000 #3 110.568688 -8.189485 6000 6000 #4 110.037362 -8.071444 6000 1
Dataset sources
ID 52923650605160302111J K_J 292365 SAT 7 DATE 2006-05-16 TIME 03:02:17 (GMT) INSTRUMENT HRG1 SENSOR J INCIDENCE_ANGLE 3.402875 (degree)
L-17
VIEWING_ANGLE 2.994461 (degree) SUN_AZIMUTH 40.146684 (degree) SUN_ELEVATION 54.829878 (degree)
BAND DESCRIPTION
BAND 1 Type : XS1 Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.327033 Bias : 0.000000 BAND 2 Type : XS2 Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.597198 Bias : 0.000000 BAND 3 Type : XS3 Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.748925 Bias : 0.000000 BAND 4 Type : SWIR Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 10.741221 Bias : 0.000000
Coordinate Reference System
Geocoding tables identification EPSG(5.2) Horizontal Coordinate System type GEOGRAPHIC Horizontal coordinate system identification name WGS 84
Production
Production Date 2006-05-30T00:20:27.000000 Job identification S_CSA_000000000008940_1 Product type identification SPOT_SCENE Dataset Producer Identification MACRES Producer link http://www.macres.gov.my
2. Citra SPOT5\HRG PAN (Pankromatik)
Type Spot SYSTEM SCENE level 1A
Layer SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:09 1 T
Format DIMAP
Raster GEOTIFF
L-18
General Information
Map Name SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:09 1 T
Geometric Processing Level RAW
Radiometric Processing Level SYSTEM
Image dimensions
Number of columns 24000 Number of rows 24000 Number of spectral bands 1 Pixel size 2.5 meter
Dataset framing
Vertice Longitude (DEG) Latitude (DEG) Row Col #1 110.157633 -7.540439 1 1 #2 110.688114 -7.659162 1 24000 #3 110.568938 -8.189931 24000 24000 #4 110.037706 -8.071169 24000 1
Dataset sources
ID 52923650605160302091A K_J 292365 SAT 7 DATE 2006-05-16 TIME 03:02:15 INSTRUMENT HRG1 SENSOR A INCIDENCE_ANGLE 3.393865 () VIEWING_ANGLE 2.994461 () SUN_AZIMUTH 40.156607 () SUN_ELEVATION 54.825037 ()
BAND DESCRIPTION
BAND 1 Type : PAN Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.425000 Bias : 0.704517
ID 52923650605160302091B K_J 292365 SAT 7
L-19
DATE 2006-05-16 TIME 03:02:15 INSTRUMENT HRG1 SENSOR B INCIDENCE_ANGLE 3.394281 () VIEWING_ANGLE 2.994461 () SUN_AZIMUTH 40.156370 () SUN_ELEVATION 54.824757 ()
BAND DESCRIPTION
BAND 1 Type : PAN Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.425000 Bias : 0.704517
Coordinate Reference System
Geocoding tables identification EPSG(5.2) Horizontal Coordinate System type GEOGRAPHIC Horizontal coordinate system identification name WGS 84
Production
Production Date 2006-05-30T01:30:05.000000 Job identification S_CSA_000000000008942_1 Product type identification SPOT_SCENE Dataset Producer Identification MACRES Producer link http://www.macres.gov.my