PENGARUH AROMA DAN CITARASA IKAN NILA(Oreochormis niloticus) DENGAN MENGGUNAKAN
BAHAN TAMBAHAN MAKANAN YANGBERBEDA DALAM PENGASAPAN
SKRIPSI
EVA SUPRITA08C10432072
PROGRAM STUDI PERIKANANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS TEUKU UMARMEULABOH
2013
PENGARUH AROMA DAN CITARASA IKAN NILA(Oreochormis niloticus) DENGAN MENGGUNAKAN
BAHAN TAMBAHAN MAKANAN YANGBERBEDA DALAM PENGASAPAN
SKRIPSI
EVA SUPRITA08C10432072
Sebagai Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan padaFakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar
PROGRAM STUDI PERIKANANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS TEUKU UMARMEULABOH
2013
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Pengaruh Aroma dan Citarasa Ikan Nila (Oreochormisniloticus) Dengan Menggunakan Bahan Tambahan MakananYang Berbeda Dalam Pengasapan
Nama : Eva Suprita
NIM : 08C10432072
Program Studi : Perikanan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Ketua
Uswatun Hasanah, S.Si, M.SiNIDN : 0121057802
Anggota
Erlita S.Pi
Mengetahui,
Tanggal Seminar : 17 Juni 2013 Tanggal Lulus :
Ketua Prodi Perikanan
Muhammad Rizal, S.Pi, M.SiNIDN : 0111018301
Dekan Fakultas Perikanan danIlmu Kelautan
Uswatun Hasanah, S.Si, M.SiNIDN : 0121057802
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi/tugas akhir dengan judul :
PENGARUH AROMA DAN CITARASA IKAN NILA (Oreochormisniloticus) DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN
YANG BERBEDA DALAM PENGASAPAN
Yang disusun oleh :
Nama : Eva Suprita
Nim : 08C10432072
Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan
Program Studi : Perikanan
Telah dipertahankan didepan dewan penguji pada tanggal 04 Juli 2013 dan
dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
1. Uswatun Hasanah, S.Si, M.Si(Dosen Penguji I) …………………
2. Erlita, S.Pi(Dosen Penguji II) …………………
3. Ir. Baihaqi(Dosen Penguji III) …………………
4. Afrizal Hendri, S.Pi, M.Si(Dosen Penguji IV) …………………
Alue Penyareng, 04 Juli 2013Dekan Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan
Uswatun Hasanah, S.Si, M.SiNIDN : 0121057802
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Lueng Baroe pada
tanggal 05 Mei 1989, penulis adalah anak pertama
dari empat bersaudara dari pasangan Musa IB dan
Canden. Pada tahun 2002 penulis lulus dari sekolah
SD Negeri 2 Meulaboh dan pada tahun 2005
penulis lulus dari sekolah SMPN 5 Blang Sapek
dan pada tahun 2008 penulis lulus dari sekolah SMAN 2 Kuala dan terdaftar
sebagai mahasiswa Universitas Teuku Umar pada tahun 2008 di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Program Studi Perikanan.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah melaksanakan Praktek Kerja
Lapangan (PKL) di BBAP Ujong Batee Aceh Besar pada tahun 2011. Pada akhir
tahun 2012 penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Aroma dan
Citarasa Ikan Nila (Oreochormis niloticus) Dengan Menggunakan Bahan
Tambahan Makanan Yang Berbeda Dalam Pengasapan” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Teuku Umar.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Aroma dan
Citarasa Ikan Nila (Oreochormis niloticus) Dengan Menggunakan Bahan
Tambahan Makanan Yang Berbeda Dalam Pengasapan adalah karya saya sendiri
dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Alue Penyareng, Maret 2013
Penulis
1. Mahasiswi Prodi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas TeukuUmar2. Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar
ABSTRAK
Pengaruh Aroma dan Citarasa Ikan Nila (Oreochormis niloticus) DenganMenggunakan Bahan Tambahan Makanan Yang Berbeda Dalam
Pengasapan
Oleh :
Eva Suprita1, Erlita2, Uswatun Hasanah2
Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah mengetahui pengaruhpenggunaan bahan tambahan makanan terhadap aroma dan citarasa ikan niladalam pengasapan serta mempelajari pengaruh bahan tambahan makanan yangtepat dalam pembentukan aroma dan citarasa ikan asap. Penelitian inidilaksanakan pada tanggal 01 Desember 2012 sampai dengan 01 Januari 2013yang bertempat di Gampong Lueng Baro Kecamatan Suka Makmue KabupatenNagan Raya. Penelitian ini menggunakan metode pengujian organoleptik yangdidasarkan atas indera penglihatan, indera peraba, indera penciuman, inderaperasa. Uji organoleptik yang dilakukan meliputi uji pembedaan segitiga dan ujikesukaan terhadap aroma dan cita rasa ikan asap dan dilakukan dengan 30 orangpanelis tidak terlatih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat perbedaanpanelis terhadap aroma dan citarasa ikan nila asap yang tertinggi diperoleh padaperlakuan P2 (pemberian larutan asam sunti) yang memiliki rasa yang enak tetapikurang gurih dan memiliki aroma asap yang cukup, tanpa bau tambahanmengganggu namun kurang harum.
Kata kunci : pengasapan, ikan nila, citarasa, aroma, Oreochormis niloticus
1. Student of Fishery Programe, Faculty of Fisheries and Marine Science, University of TeukuUmar2. Lecturer Faculty of Fisheries and Marine Sciences University of Teuku Umar
ABSTRACT
Effect of Smell and Flavor of Tilapia (Oreochormis niloticus) Using DifferentFood Additives in Fumigation
By :
Eva Suprita1, Erlita2, Uswatun Hasanah2
This research aimed to determine the effect of the use of food additives onthe smell and flavor on the fumigation of tilapia and study the effects of foodadditives in the proper formation of the smell and flavor of smoked fish. Theresearch was carried out on December 1, 2012 until January 1, 2013 which tookplace in Lueng Baroe village Suka Makmue Nagan Raya district. This researchuses organoleptic testing method based on the sense of sight, sense of touch, senseof smell, sense of taste. Organoleptic test was conducted on the test and testdistinction triangular love for the smell and flavor of smoked fish and conductedby 30 untrained panelists. The results showed that the degree of differencepanelists for smell and flavor of smoked tilapia highest obtained at P2 treatment(the giving solution of sunti acid) that has a good flavor but less savory and havesmell smoke enough, without the additional smell fragrant but less intrusive.
Keywords: fumigation, tilapia, flavor, aroma, Oreochormis niloticus
RINGKASAN
Eva Suprita, Pengaruh Aroma dan Citarasa Ikan Nila (Oreochormis niloticus)
Dengan Menggunakan Bahan Tambahan Makanan Yang Berbeda Dalam
Pengasapan
Salah satu cara pengolahan ikan yang di terapkan adalah pengasapan.
Pengasapan ikan merupakan penggabungan dari proses penggaraman,
pengeringan, dan pemberian asap untuk mencegah kerusakan ikan. Tujuan
dilaksanakan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penggunaan bahan
tambahan makanan terhadap aroma dan citarasa ikan nila dalam pengasapan serta
mempelajari pengaruh bahan tambahan makanan yang tepat dalam pembentukan
aroma dan citarasa ikan asap. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 01
Desember 2012 sampai dengan 01 Januari 2013 yang bertempat di Gampong
Lueng Baro Kecamatan Suka Makmue Kabupaten Nagan Raya. Penelitian ini
menggunakan metode pengujian organoleptik yang didasarkan atas indera
penglihatan, indera peraba, indera penciuman, indera perasa. Uji organoleptik
yang dilakukan meliputi uji pembedaan segitiga dan uji kesukaan terhadap aroma
dan cita rasa ikan asap dan dilakukan dengan 30 orang panelis tidak terlatih.
Perlakuan yang dilakukan diantaranya adalah perbedaan bahan tambahan dalam
pembuatan ikan asap, yaitu P0 (Tanpa Bahan Tambahan), P1 (asam asetat/asam
cuka) 25% dan P2 (larutan asam sunti) dan P3 (larutan kubis kol). Ikan uji yang
akan digunakan adalah ikan nila dengan berat rata-rata 150-200 gr/ekor yang
didapat melalui pembudidaya daerah setempat. Parameter yang diukur meliputi
aroma dan citarasa pada masing-masing perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat penilaian sensoris panelis terhadap aroma dan citarasa ikan nila
asap yang tertinggi diperoleh pada perlakuan P2 (pemberian larutan asam sunti)
dengan nilai 8,4 (enak, kurang gurih) dan aroma diperoleh nilai sebesar 7,93 (asap
cukup, tanpa bau, kurang harum). Sementara tingkat kesukaan citarasa juga
diperoleh pada P2 dengan nilai rata-rata sebesar 3,73 (suka) dan kesukaan aroma
diperoleh nilai 3,53 (suka).
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmatnya penulis telah dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul
Pengaruh Aroma dan Citarasa Ikan Nila Dengan Menggunakan Bahan
Tambahan Makanan Yang Berbeda Dalam Pengasapan. Selain itu, skripsi ini
disusun berdasarkan keinginan penulis untuk mengetahui lebih lanjut tentang
pengaruh aroma dan citarasa ikan nila asap yang dicampur bahan tambahan
makanan yang berbeda.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan serta
bimbingan dan pengarahan, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Uswatun Hasanah, S.Si, M.Si selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan juga sebagai pembimbing utama yang telah meluangkan waktunya
dalam memberi bimbingan, saran dan dampingan kepada penulis.
2. Ibu Erlita, S.Pi selaku pembimbing anggota yang telah memberikan
bimbingan, arahan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis
selama penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Muhammad Rizal, S.Pi, M.Si selaku ketua jurusan yang telah
meluangkan waktunya dalam memberi bimbingan dan segala bantuan yang
bersifat akademis dan administratif.
4. Seluruh Dosen dan staf Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah
membimbing dan memberikan pengetahuan kepada penulis selama penulis
menempuh pendidikan.
5. Ayahanda dan Ibunda tercinta serta segenap keluarga besar yang telah tulus
dan penuh kasih sayang telah memberikan doa, perhatian, semangat dan
bantuan moril maupun materil serta mencurahkan perhatian lebih kepada
penulis.
6. Teman angkatan 2008 (Fida, Ana n Darmi) dan seluruh angkatan 2008,
Makasih y smuanya.
ii
7. Teman angkatan 2006 dan 2007 serta semua teman-teman yang telah
membantu penulis dalam masa studi hingga sampai penyelesaian skripsi yang
penulis tidak dapat sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, Untuk itu melalui kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan
saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi
ini dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, Amien Ya
Rabbalalamin.
Meulaboh, Maret 2013
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. vii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 11.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 31.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 31.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 41.5 Hipotesis........................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Ikan Nila.......................................................................................... 52.2 Pengolahan ...................................................................................... 62.3 Pengasapan...................................................................................... 72.4 Metode Pengasapan ........................................................................ 8
2.4.1 Metode Pengasapan Panas .................................................... 82.4.2 Metode Pengasapan Dingin .................................................. 92.4.3 Metode pengasapan cair........................................................ 9
2.5 Jenis Alat Pengasap......................................................................... 102.5.1 Oven sederhana..................................................................... 102.5.2 Oven pengasapan tipe drum.................................................. 102.5.3 Oven chorkor ........................................................................ 112.5.4 Ruang pengasapan ................................................................ 11
2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Ikan Asap ................................ 122.6.1 Bahan Mentah (Raw Material).............................................. 122.6.2 Bahan Bakar.......................................................................... 132.6.3 Mutu Dan Volume Asap ....................................................... 132.6.4 Suhu Ruang Pengasapan ....................................................... 132.6.5 Kelembaban Udara Ruang Pengasapan ................................ 142.6.6 Sirkulasi Udara...................................................................... 142.6.7 Lama Pengasapan.................................................................. 142.6.8 Jenis Sumber Asap................................................................ 152.6.9 Perlakuan-Perlakuan Pendahuluan (Pre-Treatments) .......... 15
2.7 Jenis-jenis Ikan Asap Tradisional ................................................... 162.8 Flavor .............................................................................................. 172.9 Uji Organoleptik ............................................................................. 182.10 Panelis ........................................................................................... 192.11 Bahan Makanan Tambahan........................................................... 22
iv
III. METODOLOGI PENELITIAN3.1. Waktu dan Tempat ......................................................................... 263.2 Alat dan Bahan................................................................................ 263.3 Metode Penelitian ........................................................................... 26
3.3.1 Pengadaan Bahan Baku.......................................................... 273.4.2 Pengasapan Ikan ..................................................................... 27
3.4 Parameter Uji .................................................................................. 323.4.2 Uji Penilaian Sensoris ............................................................ 323.4.2 Uji Kesukaan (Uji Hedonik.................................................... 33
3.5 Analisa Data.................................................................................... 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 Hasil ................................................................................................ 35
4.1.1 Uji Penilaian Sensoris Citarasa ............................................... 354.1.2 Uji Penilaian Sensoris Aroma ................................................. 394.1.3 Uji Kesukaan Citarasa ............................................................. 364.1.4 Uji Kesukaan Aroma............................................................... 37
4.2 Pembahasan..................................................................................... 374.2.1 Uji Penilaian Sensoris Citarasa ............................................... 374.2.2 Uji Penilaian Sensoris Aroma ................................................. 394.2.3 Uji Kesukaan Citarasa ............................................................. 414.2.4 Uji Kesukaan Aroma............................................................... 424..2.5 Warna Ikan Asap .................................................................... 44
V. KESIMPULAN DAN SARAN5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 455.2 Saran....................................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Nilai Rata-Rata Uji Sensoris Citarasa Ikan Nila Asap............................... 35
2. Nilai Rata-Rata Uji Sensoris Aroma Ikan Nila Asap................................. 36
3. Nilai Rata-Rata Uji Kesukaan Citarasa Ikan Nila Asap............................ 36
4. Nilai Rata-Rata Uji Kesukaan Aroma Ikan Nila Asap.............................. 37
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Ikan Nila..................................................................................................... 46
2. Alat Pengasapan Ikan................................................................................. 12
3. Grafik Uji Penilaian Sensoris Citarasa Ikan Nila Asap ............................. 38
4. Grafik Uji Penilaian Sensoris Aroma Ikan Nila Asap ............................... 40
5. Grafik Uji Kesukaan Panelis Terhadap Citarasa Ikan Nila Asap .............. 42
6. Grafik Uji Kesukaan Panelis Terhadap Aroma Ikan Nila Asap ................ 43
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuisisoner Penelitian .............................................................................. 46
2. Nilai Uji Penilaian Sensoris Citarasa ..................................................... 50
3. Nilai Uji Penilaian Sensoris Aroma ....................................................... 51
4. Nilai Uji Kesukaan Citarasa................................................................... 52
5. Nilai Uji Kesukaan Aroma..................................................................... 53
6. Foto Kegiatan Pengasapan ...................................................................... 54
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hasil produksi perikanan pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar,
diekspor dan diolah baik secara modern maupun tradisional. Produk hasil olahan
tradisional dapat berupa ikan asin, ikan asap, ikan pindang, dan produk-produk
fermentasi. Jumlah produksi ikan asap di Indonesia pada tahun 2007 mencapai
66.970 ton, masih jauh dibawah produksi ikan asin yaitu 473.679 ton (Irianto dan
Giyatmi, 2009). Hal ini cukup disayangkan karena menurut Setyaningsih et al
(2010), pengasapan memberikan nilai harga yang lebih baik jika dibandingkan
dengan produk perikanan yang diolah dengan penggaraman atau pengeringan saja,
selain itu warna dan flavor yang menarik dari produk hasil pengasapan dapat
meningkatkan permintaannya di pasaran.
Pada musim-musim tertentu tertentu jumlah ikan hasil tangkapan para
nelayan sangat melimpah, sehingga banyak ikan hasil tangkapan yang tidak dapat
terjual dalam keadaan segar, sehingga nelayan menjual dalam bentuk lain.
Mulailah mereka memikirkan cara pengolahan atau pengawetan ikan agar hasil
tangkapan mereka dapat dijual dan di komsumsi. Sebagian masyarakat
menginginkan ikan hasil olahan setengah jadi yang lebih awet. Salah satu cara
pengolahan ikan yang di terapkan adalah pengasapan (Suryanti dan Sulistyowati,
2008).
Pengasapan ikan merupakan penggabungan dari proses penggaraman,
pengeringan, dan pemberian asap untuk mencegah kerusakan ikan. Menurut
Adebowale et al (2008) pengasapan memiliki beberapa keuntungan yaitu
memberikan efek pengawetan, mempengaruhi citarasa, memanfaatkan hasil
2
tangkap yang berlebih ketika tangkapan berlimpah, memungkinkan ikan untuk
disimpan ketika hasil tangkapan menurun, meningkatkan ketersediaan protein
bagi masyarakat sepanjang tahun, membuat ikan lebih mudah dikemas, diangkut
dan dipasarkan, biaya cukup murah dan peralatannya sederhana. Salah satu
pengolahan ikan yang dapat dijadikan ikan asap adalah ikan nila (Oreochromis
niloticus).
Ikan nila (Oreochormis niloticus) merupakan sejenis ikan konsumsi air
tawar. Ikan ini berasal dari Afrika dan mulai diperkenalkan kepada masyarakat
pada tahun 1969, dan kini menjadi ikan peliharaan yang populer di kolam-kolam
air tawar dan di beberapa waduk di Indonesia. Ikan nila memiliki banyak
keunggulan diantaranya reproduksi dan pertumbuhannya lebih cepat daripada ikan
lainnya, dagingnya cukup tebal dan rasanya gurih, serta tidak memiliki tulang-
tulang halus pada dagingnya sehingga mudah untuk dikonsumsi, kandungan
proteinnya tinggi dan harganya pun terjangkau (Suyanto, 2008).
Selain kelebihan tersebut, ikan nila juga memiliki kekurangan seperti ikan-
ikan lainnya yaitu cepat mengalami kerusakan bahkan pembusukan setelah
dipanen. Kerusakan ini disebabkan antara lain karena tubuh ikan memiliki kadar
air yang tinggi yaitu 80%, kandungan gizi yang tinggi sehingga ikan merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lainnya.
Kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh ikan tersebut dapat menghambat usaha
pemasaran hasil perikanan sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi
petani ataupun pedagang. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk
meningkatkan daya simpan dan daya awet produk perikanan pada pascapanen
melalui proses pengolahan ikan (Mayasari, 2011).
3
Dari hasil pengamatan di lapangan, selain dikomsumsi sebagai ikan segar,
ikan ini juga sering dijadikan sebagai ikan olahan yang dikomsumsi oleh
masyarakat di Kabupaten Nagan Raya, teutama di Gampong Lueng Baro. Salah
satu pengolahan yang sering dilakukan adalah pengasapan. Sehubungan dengan
hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi
yang memadai tentang bahan tambahan makanan yang dapat digunakan dalam
proses pengasapan ikan dan dapat menghasilkan ikan asap yang mempunyai
aroma dan cita rasa yang enak serta kualitas yang lebih baik.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh tingkat perbedaan dalam penggunaan bahan tambahan
makanan terhadap aroma, citarasa dan warna ikan nila dalam pengasapan
2. Bagaimana pengaruh tingkat kesukaan panelis dalam penggunaan bahan
tambahan makanan terhadap aroma dan citarasa ikan nila dalam
pengasapan`
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat perbedaan dan kesukaan panelis dalam
penggunaan bahan tambahan makanan terhadap aroma dan citarasa ikan nila
dalam pengasapan
2. Untuk mempelajari pengaruh bahan tambahan makanan yang tepat dalam
pembentukan aroma, citarasa dan warna ikan asap.
4
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Agar hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dasar mengenai
citarasa produk ikan asap tradisional sehingga berbagai karakteristik khas
ikan asap tersebut dapat dipelajari, dipetakan, didokumentasikan dengan
baik yang pada akhirnya akan dapat melindungi produk-produk dalam
negeri dari klaim negara lain.
2. Komponen lain yang teridentifikasi pada penelitian ini dapat bermanfaat
sebagai data dasar untuk mengembangkan produk berupa aroma dan
citarasa ikan asap dan untuk memodifikasi proses pengasapan yang
bertujuan mendapatkan kualitas produk akhir yang lebih baik sehingga
bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi penulis sendiri.
1.4 Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini diduga penggunaan jenis bahan
tambahan makanan mempengaruhi karakteristik aroma dan citarasa produk ikan
asap.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Nila
Ikan nila (Oreochormis niloticus) merupakan jenis ikan yang berasal dari
luar negeri. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah
melalui Direktur Jendral Perikanan. Sesuai dengan nama latinnya Oreochormis
niloticus berasal dari sungai Nil dan danau-danau yang berhubungan dengan
aliran sungai itu. Ikan nila disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya enak
dan tebal seperti daging ikan kakap merah (Suyanto, 2008).
Klasifikasi ikan nila menurut Effendi (2004) adalah : Filum : Chordata,
Subfilum : Vertebrata , Kelas : Osteichthyes, Subkelas : Acanthoptherigii, Ordo :
Percomorphi, Subordo : Percoidea, Famili : Chiclidae, Genus : Oreochromis,
Spesies : Oreochromis niloticus.
Ikan nila mempunyai bentuk tubuh yang pendek. Tubuhnya lebih tebal,
warna tubuhnya hitam keputihan, kepalanya relatif kecil, sisik berukuran besar,
kasar, tersusun rapi, matanya besar, menonjol dan bagian tepinya berwarna putih.
Gurat sisi (linea lateralis) terputus di bagian tengah badannya, dagingnya cukup
tebal dan tidak terdapat duri-duri halus di dalamnya (Arie, 1999).
Sebagaimana umumnya ikan, ikan nila memiliki lima buah sirip, yakni
sirip punggung (dorsal fin), sirip dada (pectoral fin), sirip perut (ventral fin), sirip
anus (anal fin) dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggungnya memanjang dari
bagian atas tutup insang hingga bagian atas sirip ekor, terdapat juga sepasang sirip
dada dan sirip perut yang berukuran kecil. Sirip anusnya hanya satu buah dan
berbentuk agak panjang, sedangkan sirip ekornya berbentuk bulat dan hanya
berjumlah satu buah (Effendi, 2004).
6
Adapun bentuk ikan nila dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini :
Gambar 1. Ikan Nila (Oreochormis niloticus) Sumber : Effendi (2004)
2.2 Pengolahan
Proses Pengolahan dan pengawetan ikan merupakan salah satu bagian
penting dari mata rantai industri perikanan. Tanpa adanya kedua proses tersebut,
peningkatan produksi ikan yang telah dicapai selama ini akan sia-sia, karena
tidak semua produk perikanan dimanfaatkan oleh konsumen dalam keadaan baik.
Pengolahan dan pengawetan bertujuan mempertahankan mutu dan kesegaran ikan
selama mungkin dengan cara menghambat atau menghentikan sama sekali
penyebab kemunduran mutu (pembusukan) maupun penyebab kerusakan ikan
(misalnya aktivitas enzim, mikroorganisme, atau oksidasi oksigen), agar ikan
tetap baik sampai ketangan konsumen (Afrianto dan Liviawaty, 1989).
Usaha Pengolahan ikan di Indonesia sejak tahun-tahun terakhir memiliki
peluang yang sangat baik. Usaha pengolahan ikan tersebut terutama didorong
oleh kebijakan Pemerintah yang memberikan prioritas yang sangat tinggi. Hal ini
berkaitan dengan masih rendahnya masyarakat Indonesia mengkomsumsi ikan.
Usaha pengolahan ikan memang sangat strategis untuk menggerakkan aktivitas
usaha sub sector perikanan. Kegiatan usaha tersebut memungkinkan ikan yang
dihasilkan petani dapat disajikan secara lezat dan menarik selera. Pengolahan
ikan sendiri dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yakni pengolahan tradisional dan
7
pengolahan modern. Kriteria pengelompokan tersebut didasarkan pada tingkat
teknologi yang digunakan, selain tingkat investasi yang ditanamkan (Afrianto dan
Liviawaty, 1989).
Jika dikaji dari perkembangannya, pertumbuhan produksi ikan olahan, rata-
rata mencapai 14%. Namun, sebagian ikan hasil olahan merupakan ikan hasil
laut, sedangkan dari perikanan air tawar relatif masih rendah. Padahal ditinjau
dari kelezatannya cukup banyak ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis
yang tinggi. Misalnya ikan jelawat (Leptobarbus hoeveri Bleker) di Sumatera dan
Kalimantan cukup popular sebagai ikan yang sangat lezat (Afrianto dan
Liviawaty, 1989).
2.3 Pengasapan
Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan
memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia
alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Pengasapan bertujuan untuk
membunuh bakteri, merusak aktifitas enzim, mengurangi kadar air dan menyerap
berbagai senyawa kimia yang berasal dari asap. Ikan yang diasap mempunyai
daya tahan simpan relatif lama, Kulit ikan yang sudah diasapi biasanya akan
menjadi mengkilap.Warna kuning emas sampai kecoklatan dan warna ini timbul
karena terjadinya reaksi kimia antara phenol dari asap dengan oksigen dari udara.
Demikian pula ikan yang telah diasapi mempunyai rasa dan flavor spesifik yang
sedap. Terdapat tiga tahap utama proses pengasapan yaitu penggaraman,
pengasapan dan pengeringan (Heruwati, 2002).
8
2.4 Metode Pengasapan
Metode pengasapan termasuk salah satu metode pengawetan produk
perikanan yang paling tua. Cara melakukan pengasapan banyak mengalami
perkembangan mulai dari metode tradisional hingga modern. Pemilihan metode
pengasapan yang dilakukan akan bergantung pada tujuan produk akhir yang
dikehendaki dan sumber daya yang ada di lingkungan tempat pengasapan.
Beberapa metode pengasapan yang umum dilakukan di Indonesia antara lain ialah
metode pengasapan panas, dingin dan cair (Irianto dan Giyatmi, 2009).
2.4.1 Metode Pengasapan Panas
Pengasapan panas adalah proses dimana ikan diasapi dengan suhu paling
tidak 70 oC sehingga daging menjadi matang selain terkena asap. Karena suhunya
tinggi, waktu pengasapan pun lebih pendek yaitu 6-7 jam dan bahkan ada yang
hanya 4 jam. Lapisan protein larut garam yang disebut pellicle akan terbentuk
pada permukaan daging selama proses. Lapisan ini menyerap sebagian besar
antioksidan dan komponen bakteriostatik dari asap. Penghalang terhadap invasi
bakteri terbentuk pada tahap berikutnya setelah pengerasan. Kebanyakan ikan
asap yang dijual di pasaran saat ini ialah ikan yang diasapi dengan cara panas.
Ikan akan menjadi matang selama proses dan produk dapat dimakan tanpa
pemasakan lebih lanjut (Irianto dan Giyatmi, 2009).
Suhu asap pada beberapa produk tertentu dapat ditingkatkan secara
bertahap menjadi 95 oC. Pengasapan ini seringkali dikombinasikan dengan
penggaraman dan pengeringan yang lebih lama (Whittle & Howgate 2000). Suhu
internal produk pada pengasapan panas mencapai 71,12 oC. Waktu pemasakan
9
yang lebih singkat akan menghasilkan produk dengan kadar air yang lebih tinggi
(Irianto dan Soesilo, 2007).
2.4.2 Metode Pengasapan Dingin
Ikan yang melalui proses pengasapan dingin didefinisikan sebagai ikan
asap yang dihasilkan dengan perlakuan asap pada suhu dimana produk mengalami
koagulasi protein yang tidak sempurna Pengasapan dingin biasanya diterapkan di
daerah beriklim sedang. Sedangkan di Indonesia pengasapan dingin jarang
digunakan. Spesies ikan tropis dapat di asap secara dingin pada suhu yang lebih
tinggi dibandingkan spesies ikan yang berasal dari perairan beriklim sedang
karena proteinnya terdenaturasi pada suhu yang lebih tinggi (Djarijah, 2004).
2.4.3 Metode pengasapan cair
Aroma asap dalam metode ini dihasilkan tanpa melalui proses pengasapan,
melainkan dengan penambahan cairan bahan pengasap (Smoking Agent) ke dalam
produk. Bahan baku ikan direndam dalam cuka kayu (Wood Acid) yang didapat
dari hasil ekstrak penguapan kering unsur kayu atau dari hasil ekstrak yang
ditambahi pewangi kayu yang hampir sama dengan aroma asap, setelah itu ikan
dipanaskan dan menjadi produk akhir. Metode penambahan bahan pengasap ke
dalam ikan dapat dilakukan melalui penuangan langsung, pengolesan atau
penyemprotan. Keuntungan proses ini ialah tidak memerlukan ruang tempat
pengasapan atau alat pengasap, namun aroma produk yang dihasilkan lebih
rendah dari aroma produk yang diasapi dengan proses pengasapan sesungguhnya
(Hadiwiyoto, 1993).
10
2.5 Jenis Alat Pengasap
Terdapat dua jenis alat pengasap yaitu alat tradisional dan alat mekanis.
Pergerakan asap dan udara hangat pada alat tradisional tergantung seluruhnya dari
aliran udara dan perpindahan panas alami. Udara biasanya dialirkan melalui
cerobong yang dirancang khusus untuk pengasapan dingin atau panas. Asap
bergerak akibat konveksi udara melalui ikan yang digantung diatas sumber asap,
sementara itu asap pada alat mekanis bergerak disekeliling ikan secara vertikal
maupun horizontal karena adanya kipas dan dilengkapi dengan pengatur suhu
(Whittle & Howgate 2000). Beberapa jenis oven pengasap menurut Berkel et. al,
(2004) ialah :
2.5.1 Oven Sederhana
Oven ini menggunakan kisi terbuka dan ikan ditempatkan di atasnya
dengan bara api di bawahnya. Kapasitasnya kecil dan selama proses akan banyak
terjadi kehilangan asap. Perkembangan dari tipe ini ialah oven yang dibuat dari
lapisan lumpur kering atau tanah liat atau drum yang dilengkapi dengan kisi-kisi
di bagian atasnya.
2.5.2 Oven Pengasapan Tipe Drum
Oven ini terdiri dari beberapa drum-oil yang ditempatkan di atas drum-oil
lainnya (menumpuk). Pinggiran lingkarannya harus cocok ukurannya satu sama
lain. Kantung yang basah ditempatkan diatas pinggiran lingkaran pada drum yang
paling atas. Sistem ini digunakan agar proses pengasapan berlangsung secara
efisien. Urutan drum atau ikan di dalam drum harus diubah secara berkala karena
drum bagian bawah akan mendapatkan asap yang paling panas. Kekurangannya
11
ialah suhu sulit dikendalikan dan produk akhir tidak terasapi secara merata.
Kelebihannya ialah bahan untuk membuat oven berasal dari bahan yang berbiaya
rendah.
2.5.3 Oven Chorkor
Oven pengasap yang besar dan persegi empat ini cocok untuk mengasapi
ikan yang lebih kecil ukurannya. Alat ini terdiri dari sebuak kotak tempat api
berbentuk persegi empat yang diatasnya terdapat beberapa nampan kawat kasa
yang diberi bingkai kayu dan ditumpuk. Ikan diletakkan di atas nampan dan kayu
dibakar pada kotak api. Lapisan paling atas dapat ditutupi dengan triplek atau
seng. Selama pengasapan berlangsung, nampan-nampan tersebut dapat ditukar
posisinya.
2.5.4 Ruang Pengasapan
Ruang pengasapan ini sebaiknya memiliki luas paling tidak 2 x 2 m.
Sebuah drum-oil ditempatkan pada lantai tanah atau batu. Tempat berdirinya
drum ini diupayakan agar kedap api. Dasar drum dihilangkan dan sedikit di atas
dasarnya dibuat rangka kisi sebagai tempatmenyalakan api. Pintu dibuat di dalam
drum untuk mengatur aliran udara dan lubang asap di atasnya dipotong. Ruang
pengasapan di bagian atasnya diletakkan rak-rak untuk menyusun ikan. Dinding
memiliki penahan untuk menyandarkan tiang-tiang yang dapat dipindahkan. Ikan
dapat digantung pada tiang-tiang ini. Dinding dan atap harus ditutup sehingga
asap tidak dapat keluar. Katup ventilasi atau tutup tingkap pada atap ruang
pengasapan perlu dibuat untuk mengatur sirkulasi asap (Balai Pengkajian
12
Teknologi Pertanian Riau, 2001). Kontruksi bangunan tempat pengasapan dapat
dilihat pada gambar 2 dibawah ini:
Gambar 2. Alat Pengasapan Ikan (Loka Pengkajian Teknologi Samarinda, 1999)
2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Ikan Asap
Agar proses pengolahan ikan asap berjalan dengan baik dan dapat
menghasilkan produk akhir dengan karakteristik yang sesuai dengan tujuan
produksi, maka sebaiknya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses
pengasapan harus diperhatikan. Menurut Moeljanto (1992), faktor-faktor yang
mempengaruhi mutu akhir produk asap dapat dikelompokkan menjadi :
2.6.1 Bahan Mentah (Raw Material)
Seperti halnya dengan cara-cara pengawetan ikan lainnya,pengasapan
tidak dapatmenyembunyikan atau menutupi karakteristik-karakteristik dari ikan
yang sudah mundur mutunya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan ikan asap yang
bermutu baik harus menggunakan bahan mentah (ikan) yang masih segar.
Sebagian besar dari penyebab rendahnya mutu ikan asap ialah digunakannya ikan-
ikan yang sudah hampir busuk yang akan menghasilkan produk akhir yang
12
Teknologi Pertanian Riau, 2001). Kontruksi bangunan tempat pengasapan dapat
dilihat pada gambar 2 dibawah ini:
Gambar 2. Alat Pengasapan Ikan (Loka Pengkajian Teknologi Samarinda, 1999)
2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Ikan Asap
Agar proses pengolahan ikan asap berjalan dengan baik dan dapat
menghasilkan produk akhir dengan karakteristik yang sesuai dengan tujuan
produksi, maka sebaiknya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses
pengasapan harus diperhatikan. Menurut Moeljanto (1992), faktor-faktor yang
mempengaruhi mutu akhir produk asap dapat dikelompokkan menjadi :
2.6.1 Bahan Mentah (Raw Material)
Seperti halnya dengan cara-cara pengawetan ikan lainnya,pengasapan
tidak dapatmenyembunyikan atau menutupi karakteristik-karakteristik dari ikan
yang sudah mundur mutunya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan ikan asap yang
bermutu baik harus menggunakan bahan mentah (ikan) yang masih segar.
Sebagian besar dari penyebab rendahnya mutu ikan asap ialah digunakannya ikan-
ikan yang sudah hampir busuk yang akan menghasilkan produk akhir yang
12
Teknologi Pertanian Riau, 2001). Kontruksi bangunan tempat pengasapan dapat
dilihat pada gambar 2 dibawah ini:
Gambar 2. Alat Pengasapan Ikan (Loka Pengkajian Teknologi Samarinda, 1999)
2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Ikan Asap
Agar proses pengolahan ikan asap berjalan dengan baik dan dapat
menghasilkan produk akhir dengan karakteristik yang sesuai dengan tujuan
produksi, maka sebaiknya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses
pengasapan harus diperhatikan. Menurut Moeljanto (1992), faktor-faktor yang
mempengaruhi mutu akhir produk asap dapat dikelompokkan menjadi :
2.6.1 Bahan Mentah (Raw Material)
Seperti halnya dengan cara-cara pengawetan ikan lainnya,pengasapan
tidak dapatmenyembunyikan atau menutupi karakteristik-karakteristik dari ikan
yang sudah mundur mutunya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan ikan asap yang
bermutu baik harus menggunakan bahan mentah (ikan) yang masih segar.
Sebagian besar dari penyebab rendahnya mutu ikan asap ialah digunakannya ikan-
ikan yang sudah hampir busuk yang akan menghasilkan produk akhir yang
13
lembek, lengket dan permukaannya tidak cemerlang. Selain dari kesegarannya,
Faktor-faktor lainnya juga dapat menentukan mutu dari produk akhir, misalnya
pengaruh musim dan kondisi ikan tersebut. Baru-baru ini telah ditemukan bahwa
ikan asap yang dibuat dari ikan yang baru memijah mempunyai rupa dan rasa
yang kurang memuaskan bila dibandingkan dengan ikan asap yang dibuat dari
ikan-ikan gemuk dan dalam kondisi yang sangat baik.
2.6.2 Bahan Bakar
Jenis bahan bakar yang digunakan sebaiknya memenuhi tiga syarat, yaitu:
keras, tidak mudah terbakar, tidak mengandung resin, dapat menghasilkan asap
dalam jumlah besar dalam waktu lama. Jenis bahan bakar yang banyak digunakan
di Indonesia ialah kayu turi, jati, bakau, serbuk gergaji, merang, ampas tebu,
tempurung dan sabut kelapa.
2.6.3 Mutu Dan Volume Asap
Mutu dan volume asap tergantung dari jenis kayu yang digunakan.
Sebaiknya digunakan jenis kayu yang mampu menghasilkan asap dengan
kandungan unsur fenol dan asam organik yang cukup tinggi dan lambat terbakar.
Volume asap yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan asap yang bersifat
bakterisidal dan asap yang dihasilkan harus bersih dari kotoran-kotoran.
2.6.4 Suhu Ruang Pengasapan
Suhu ruang pengasapan yang rendah akan menghasilkan asap yang ringan
sehingga volume asap yang melekat pada ikan menjadi lebih banyak dan merata.
Jika suhu ruang pengasapan tinggi, maka permukaan terluar tubuh ikan akan
14
menjadi cepat kering dan mengeras, sehingga penguapan air terhalang dan proses
pembusukan masih mungkin terjadi pada bagian dalam daging ikan.
2.6.5 Kelembaban Udara Ruang Pengasapan
Kelembaban dalam ruang tertutup akan meningkat seiring dengan semakin
lamanya waktu pengasapan. Kelembaban udara ruang pengasapan yangrendah
akan menyebabkan cairan dalam tubuh ikan lebih mudah menguap, proses
pengasapan lebih cepat sehingga aktivitas bakteri penyebab kebusukan dan
ketengikan dapat segera dihambat. Kelembaban awal sebesar 90 % akan
memaksimalkan penyerapan asap, tetapi kelembaban akhir 70 % banyak
digunakan karena pada kondisi tersebut terjadi penyerapan asap yang maksimal
dengan kejadian case harderning yang paling minimal.
2.6.6 Sirkulasi Udara
Sirkulasi udara yang baik dalam ruang pengasapan menjamin mutu ikan
asap yang lebih sempurna, karena suhu dan kelembaban ruang tetap konstan
selama proses pengasapan berlangsung. Aliran asap berjalan dengan lancar dan
kontinyu sehingga partikel asap yang menempel menjadi lebih banyak dan
merata.
2.6.7 Lama Pengasapan
Lama pengasapan dapat mempengaruhi nilai gizi ikan dan umur
simpannya. Proses pengasapan dan pengeringan dapat mengurangi kandungan
beberapa vitamin dalam ikan seperti A, D, B dan juga mempengaruhi turunnya
nilai ketersediaan asam amino. Ikan asap yang diasapi dengan metode pengasapan
dingin menggunakan suhu 30 oC dan waktu pengasapan minimal 24 jam dapat
15
disimpan selama dua minggu. Daya bakterisidal juga tergantung dari lama
pengasapan yang dilakukan.
2.6.8 Jenis Sumber Asap
Pemilihan jenis kayu yang digunakan harus benar-benar memperhatikan
bentuk dan asalnya, misalnya apakah serbuk kayu yang digunakan berasal dari
jenis kayu keras atau kayu lunak. Kadar air yang tinggi dalam kayu akan
menurunkan kadar fenol dan meningkatkan senyawa karbonil serta flavor produk
menjadi lebih asam. Ukuran partikel kayu juga harus diperhatikan, jika terlalu
besar akan mengurangi luas permukaan kontak kayu dengan panas sehingga
proses pirolisis kurang sempurna (Yudono et al, 2007). Penggunaan serbuk
gergaji untuk mengasapi akan menghasilkan produk pengasapan dengan kualitas
tinggi. Api pada serbuk gergaji tidak mudah terkena udara sehingga serbuk gergaji
akan membara dan tidak terbakar. Hal ini akan menyebabkan ikan yang diasapi
berwarna coklat keemasan dan tidak gosong. Penggunaan kayu menyebabkan api
yang dihasilkan menjadi lebih panas dengan asap yang lebih sedikit sehingga
terdapat kemungkinan ikan akan gosong bukan terasapi (Noble, 2006).
2.6.9 Perlakuan-Perlakuan Pendahuluan (Pre-Treatments)
Di daerah-daerah perikanan, beberapa jenis ikan asap dibuat dari ikan utuh
atau sudah disaingi kadang-kadang tanpa kepala. Lainnya dalam bentuk sayatan
(fillet) atau dibelah dengan berbagai cara, masing-masing dengan karakteristik
tertentu. Satu hal yang harus diingat yaitu cara apapun yang dilakukan ikan harus
benar-benar dibersihkan sebelum dilakukan proses pengawetan yang sebenarnya.
Perlakuan pendahuluan yang paling umum dilakukan ialah penggaraman.
16
Sekarang pada umumnya penggaraman dilakukan dengan cara penggaraman
basah atau larutan (brinesalting). Untuk mendapatkan perlakuan yang seragam
campuran air garam dan ikan harus sekali-sekali diaduk.
Untuk mendapatkan ikan asap yang bermutu baik, larutan garam yang
digunakan harus mempunyai kejenuhan antara 70 – 80%. Larutan di atas 100%
akan merusak produk yaitu dengan terbentuknya kristal-kristal garam di atas
permukaan ikan. Sebaliknya bilamenggunakan larutan garam yang kejenuhannya
di bawah 50 % akan menghasilkan ikan asapyang kurang baik mutunya. Karena
banyaknya garam yang terserap oleh ikan yang merupakan hal yang
sangat penting pada proses pengawetan, maka kepekatan garam dalam larutan
harus selalu dikontrol. Setiap kelompok ikan (batch) harus menggunakan larutan
garam baru dan wadah-wadah harus dibersihkan, yaitu untuk mencegah terjadinya
pencemaran ikan oleh bakteri-bakteri dan kotoran-kotoran yang berasal dari
insang dan sisik ikan-ikan yang telah digarami sebelumnya. Efek lain yang dapat
timbulkan oleh pemakaian larutan garam bekas ialah adanya protein ikan yang
melarut dan ini akan membentuk gumpalan-gumpalan yang akan menempel pada
ikan hingga menyebabkan rupa ikan tidak menarik lagi.
2.7 Jenis-jenis Ikan Asap Tradisional
Jenis ikan yang biasa diasapi diantaranya ialah ikan bandeng, tembang,
lemuru, kembung, selar, tongkol, dan cakalang (Margono et al, 2000). Setiap jenis
ikan secara teori dapat diasapi tetapi ikan yang berlemak lebih banyak dipilih
karena dapat mencegah terbentuknya tekstur daging yang kering dan tidak
diinginkan dan dapat menyerap lebih banyak citarasa asap. Produk ikan asap
tradisional cenderung lebih asin dan terlalu kering serta memiliki citarasa asap
17
yang kuat jika akan dijual ke pasaran. Penggunaan garam dan asap pada produk
pengasapan modern hanya ditujukan terutama untuk memberi citarasa produk dan
biasanya pengasapannya dilakukan dengan intensitas asap rendah dan sedang
(mild and light smoking) (Whittle & Howgate, 2000).
Beberapa daerah di Indonesia memiliki komoditas ikan asap yang khas
karena adanya perbedaan bahan baku, jenis bahan bakar, jenis alat dan kondisi
pengasapan maupun metode pengasapan yang digunakan, tetapi kadang-kadang
ada juga produk ikan asap yang sama dikenal dengan nama berbeda di daerah lain.
Beberapa produk ikan asap khas Indonesia ialah ikan salai di Sumatera Selatan,
Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan; ikan asar di Maluku dan
ikan fufu di Sulawesi Utara dan Gorontalo; ikan pe atau iwak panggang di Jawa
Tengah dan Jawa Timur; serta ikan kayu di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara dan Papua Barat (Giyatmi et al, 2000).
2.8 Flavor
Flavor merupakan kombinasi antara rasa dan aroma dan dapat dipengaruhi
oleh sensasi rasa sakit (pedas, menyengat), panas dan dingin, dan sensasi nyata
sentuhan (tactile) ketika bahan pangan dikonsumsi. Flavor pada dasarnya
dirasakan oleh reseptor rasa di dalam mulut dan reseptor aroma di dalam hidung.
Komponen flavor pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu komponen flavor yang
berperan sebagai rasa dan komponen yang berperan sebagai aroma.
Flavor makanan merupakan hal yang sangat penting karena konsumen
lebih memilih makanan dengan citarasa yang lebih enak. Aroma merupakan salah
satu komponen penting pada flavor. Aroma makanan pada umumnya merupakan
campuran yang seimbang antara komponen-komponen aroma. Komposisi
18
komponen aroma yang dihasilkan pada proses pengasapan tergantung pada
jumlah oksigen yang tersedia untuk pembakaran, suhu pada zona api, jenis kayu
yang dibakar, bahan tambahan yang dipakai dan kadar air kayu yang digunakan.
2.9 Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
penginderaan. Penginderaan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu
kesadaran atau pengenalan alat indra akan sifat-sifat benda karena adanya
rangsangan yang diterima alat indra yang berasal dari benda tersebut. Pengindraan
dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indra mendapat rangsangan
(stimulus). Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya rangsangan dapat
berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau tidak menyukai akan
benda penyebab rangsangan. Kesadaran, kesan dan sikap terhadap rangsangan
adalah reaksi psikologis atau reaksi subyektif. Pengukuran terhadap nilai / tingkat
kesan, kesadaran dan sikap disebut pengukuran subyektif atau penilaian subyektif.
Disebut penilaian subyektif karena hasil penilaian atau pengukuran sangat
ditentukan oleh pelaku atau yang melakukan pengukuran (Meilgaard et al, 1999).
Uji organoleptik sering juga disebut dengan pengujian secara subyektif
dengan bantuan panca indera manusia untuk menilai daya terima suatu bahan,
dapat juga untuk menilai karakteristik mutu, dan dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui sifat-sifat citarasa suatu bahan. Uji organoleptik skala hedonik
dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap suatu produk
melalui penilaian terhadap beberapa atribut produk seperti penampakan, warna,
aroma, rasa, dan tekstur. Menurut Winarno (1997), penentuan bahan makanan
pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya citarasa,
19
warna, tekstur dan nilai gizinya. Pengukuran obyektif hasilnya sangat ditentukan
oleh kondisi obyek atau sesuatu yang diukur. Demikian pula karena pengukuran
atau penilaian dilakukan dengan memberikan rangsangan atau benda rangsang
pada alat atau organ tubuh (indra), maka pengukuran ini disebut juga pengukuran
atau penilaian subyketif atau penilaian organoleptik atau penilaian indrawi. Yang
diukur atau dinilai sebenarnya adalah reaksi psikologis (reaksi mental) berupa
kesadaran seseorang setelah diberi rangsangan, maka disebut juga penilaian
sensorik (Meilgaard et al, 1999).
Rangsangan yang dapat diindra dapat bersifat mekanis (tekanan, tusukan),
bersifat fisis (dingin, panas, sinar, warna), sifat kimia (bau, aroma, rasa).
Kemampuan memberikan kesan dapat dibedakan berdasarkan kemampuan alat
indra memberikan reaksi atas rangsangan yang diterima. Kemampuan tersebut
meliputi kemampuan mendeteksi ( detection ), mengenali (recognition),
membedakan ( discrimination ), membandingkan ( scalling ) dan kemampuan
menyatakan suka atau tidak suka ( hedonik ). Perbedaan kemampuan tersebut
tidak begitu jelas pada panelis. Sangat sulit untuk dinyatakan bahwa satu
kemampuan sensori lebih penting dan lebih sulit untuk dipelajari. Karena untuk
setiap jenis sensori memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda, dari yang
paling mudah hingga sulit atau dari yang paling sederhana sampai yang komplek
(rumit) (Setyaningsih et al, 2004).
2.10 Panelis
Untuk melaksanakan suatu penilaian pada pengujian inderawi atau uji
sensoris, diperlukan panelis yang bertindak sebagai instrument atau alat
20
pengujian. Menurut Kartika dkk (1987), Pertimbangan diadakannya seleksi
panelis berdasarkan adanya perbedaan dari masing-masing individu dalam hal :
a. Ketepatan dan kemampuan mengadakan pengujian dalam suatu saat.
Kemampuan mengindera berbeda dalam 3 hal, di antara individu, di antara
produk dan waktu yang berbeda meskipun untuk individu yang sama dan
produk yang sama pula.
b. Tingkat kemampuan atau kepekaan dalam mengindera, perbedaan-perbedaan
sifat inderawi yang spesifik dari suatu bahan.
c. Perhatian terhadap pekerjaan pengujian inderawi dan kesediaannya
meluangkan waktu secara periodik untuk melakukan pengujian inderawi.
Dalam penilaian suatu mutu atau analisis sifat-sifat sensorik suatu
komoditi, panel bertindak sebagai instrumen atau alat. Panel ini terdiri dari orang
atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan
subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Menurut (Stone dan
Sidel, 2004), dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panel, yaitu panel
perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel konsumen
dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian
dalam melakukan penilaian organoleptik.
Panel Perseorangan
Penel perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan
spesifik yang sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang
sangat intensif. Panel perseorangan sangat mengenal sifat, peranan dan cara
pengolahan bahan yang akan dinilai dan menguasai metode-metode analisis
organoleptik dengan sangat baik. Keuntungan menggunakan panelis ini adalah
21
kepekaan tinggi, bias dapat dihindari, penilaian efisien dan tidak cepat fatik. Panel
perseorangan biasanya digunakan untuk mendeteksi jangan yang tidak terlalu
banyak dan mengenali penyebabnya. Keputusan sepenuhnya ada pada seorang.
Panel Terbatas
Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi
sehingga bias lebih di hindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor
dalam penilaian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan pengaruh
bahan baku terhadap hasil akhir. Keputusan diambil berdiskusi diantara anggota-
anggotanya.
Panel Terlatih
Panel terlatih terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup
baik. Untuk menjadi terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan.
Panelis ini dapat menilai beberapa rangsangan sehingga tidak terlampau spesifik.
Keputusan diambil setelah data dianalisis secara bersama.
Panel Agak Terlatih
Panel agak terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumya dilatih untuk
mengetahui sifat-sifat tertentu.. panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan
terbatas dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat
menyimpang boleh tidak digunakan dalam keputusannya
Panel Tidak Terlatih
Panel tidak terlatih terdiri dari 25-30 orang awam yang dapat dipilih
berdasarkan jenis suku-suku bangsa, tingkat sosial dan pendidikan. Panel tidak
terlatih hanya diperbolehkan menilai alat organoleptik yang sederhana seperti sifat
kesukaan, tetapi tidak boleh digunakan dalam . untuk itu panel tidak terlatih
22
biasanya dari orang dewasa dengan komposisi panelis pria sama dengan panelis
wanita.
Panel Konsumen
Panel konsumen terdiri dari 30 hingga 100 orang yang tergantung pada
target pemasaran komoditi. Panel ini mempunyai sifat yang sangat umum dan
dapat ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.
Panel Anak-anak
Panel yang khas adalah panel yang menggunakan anak-anak berusia 3-10
tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian produk-
produk pangan yang disukai anak-anak.
2.11 Bahan Makanan Tambahan
a. Asam Cuka (Asam Asetat)
Asam cuka merupakan salah satu gugus asam karboksilat yang paling
sederhana. Cuka atau yang mempunyai nama lain asam asetat, asam etanoat atau
asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa
asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2.
Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau
CH3CO2H. Asam asetat murni atau disebut juga asam asetat glasial adalah cairan
higroskopis tak berwarna yang memiliki titik beku 16.7 °C (Ririh et al, 1998).
Manfaat cuka sangat banyak. Selain sebagai pemberi rasa dan aroma pada
masakan, cuka juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet, antiseptik,
desinfecktan dan obat-obatan. Sebagai obat cuka dapat menurunkan kolesterol,
kontrol diet, dan kontrol gula darah pada penderita diabetes. Asam cuka encer
23
merupakan golongan asam lemah yang paling aman bagi tubuh. Selain dalam
makanan, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air dalam
rumah tangga (Sari dan Keman, 2005).
Selain digunakan dalam industri makanan dan rumah tangga, asam asetat
juga digunakan dalam industri produksi polimer dan berbagai macam serat dan
kain, dan industri obat-obatan. Asam asetat yang digunakan dalam industri
makanan haruslah asam cuka makan. Asam asetat encer, seperti pada cuka, tidak
berbahaya. Namun konsumsi asam asetat yang lebih pekat berbahaya bagi
manusia maupun hewan. Hal itu dapat menyebabkan kerusakan pada sistem
pencernaan, dan perubahan yang mematikan pada keasaman darah (Sari dan
Keman, 2005).
b. Asam Sunti
Asam sunti adalah sejenis bumbu dapur khas yang sering digunakan oleh
masyarakat Aceh yang terbuat dari belimbing wuluh, karena dapat memberikan
cita rasa, warna dan kekentalan pada masakan. Asam sunti dapat ditemukan di
penjual bumbu dapur pasar tradisional Aceh dan di supermarket bagian bumbu
dapur Indonesia (Hayati, 2002).
Proses pembuatan asam sunti dilakukan dengan penggaraman dan
penjemuran dibawah sinar matahari. Penggaraman dan penjemuran dilakukan
berulang sampai kering atau kandungan air dalam belimbing berkurang. Asam
sunti yang dihasilkan berwarna coklat dan teksturnya kenyal. Asam sunti dapat
disimpan lama sampai satu tahun bahkan lebih lama tanpa adanya perubahan
warna dan tekstur. Hal ini dikarenakan kandungan asam dan garam yang cukup
24
tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses pembusukan oleh
mikroorganisme (Hayati, 2002).
Pada dasarnya asam sunti banyak digunakan dalam masakan-masakan
khas Aceh. Asam sunti terutama dipakai sebagai bumbu dalam masakan ikan,
misalnya tumis ikan (terutama ikan tongkol), asam ke'eung (ikan bilih), pepes
ikan, tumis sayur, masakan sayur lemak, ikan kemamah (ikan kayu). Sebagai
perangsang untuk menambah selera makan, asam sunti dapat dibuat sebagai bicah
asam udeng. Selain itu, Kandungan asam (6.08 gr/100 gr bahan) dan garam
(27,4%) yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses
pembusukan oleh mikroorganisme dan memberikan efek pengawetan pangan,
khususnya pada ikan (Hayati, 2002).
c. Kubis Kol
Kubis (Brassica oleracea) merupakan salah satu jenis sayuran yang
banyak tumbuh di daerah dataran tinggi. Sayuran ini bersifat mudah layu, rusak
dan busuk. Namun, kubis mempunyai peranan yang penting untuk kesehatan
karena cukup banyak mengandung vitamin, mineral, karbohidrat, protein dan
sedikit lemak yang sangat diperlukan tubuh manusia Pada umumnya yang
dimaksud dengan kata kubis adalah kol yang berbentuk kepala, sedang
sebenarnya varietas kubis ada bermacam-macam. Namun secara umum kubis
terbagi dalam 3 kelompok besar, yaitu kubis putih, kubis merah, dan kubis savoy
(Pracaya, 2003).
Kubis merupakan jenis sayuran yang mempunyai peran penting untuk
kesehatan karena mengandung mineral dan vitamin yang sangat dibutuhkan tubuh
manusia. Mineral yang terkandung dalam kubis antara lain adalah kalsium, besi,
25
fosfor, dan sulfur. Sebagai sayuran, kubis dapat membantu pencernaan,
menetralkan zat-zat asam, dan memperlancar buang air besar (Pracaya, 2003).
Vitamin yang terkandung dalam kubis di antaranya adalah vitamin C, B1, B2, dan
provitamin A. Vitamin-vitamin tersebut berperan sebagai zat pengatur dan
pelindung yang sangat penting dalam tubuh serta menjaga kesehatan badan
(Sunarjono, 2004).
26
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 01 November sampai dengan 01
Desember 2012 yang bertempat di Gampong Lueng Baro Kecamatan Suka
Makmue Kabupaten Nagan Raya.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : drum oil, tungku
pengasapan, kayu, tempurung kelapa, sekam padi, seng plat 2 mm, bambu, paku,
ember plastik, toples, sendok, plastik pembungkus, telenan, pisau, kayu bakar,
kawat jarring, alat tulis dan lembar kuisioner.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah ikan uji (ikan nila), garam dapur.
larutan asam sunti, larutan kubis kol, asam asetat (asam cuka) 25 % 50 ml dan air
tawar.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pengujian organoleptik. Menurut
Meilgaard et. al, (1999), uji organoleptik (Sensory Evaluation) didasarkan atas
indera penglihatan, indera peraba, indera penciuman, indera perasa. Pengukuran
terhadap nilai atau tingkat kesan, kesadaran dan sikap disebut pengukuran
subyektif atau penilaian subyektif.
Menurut Badan Standardisasi Nasional (SNI 2725.1: 2009), skala
penilaian organoleptik untuk produk ikan asap yaitu 1-9 (keterangan lembar
penilaian sensori dapat dilihat pada Lampiran 7) dengan persyaratan mutu dan
keamanan pangan minimal 7. Kemudian sampel yang diujikan diberi kode secara
27
acak dan panelis dengan jumlah 30 orang diminta memberikan penilaian.
Parameter yang diuji meliputi citarasa dan aroma. Uji organoleptik yang
dilakukan meliputi uji penilaian sensori, uji kesukaan terhadap aroma dan cita rasa
ikan asap dan pengamatan warna ikan asap secara visual.
Pada uji kesukaan ini panelis diminta tanggapan pribadinya terhadap
tingkat kesukaannya terhadap produk atau kebalikannya. Tingkat-tingkat
kesukaan ini disebut skala hedonik seperti sangat suka, suka, biasa, kurang suka,
dan tidak suka. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik dengan
angka mutu menurut tingkat kesukaan.
Dalam uji organoleptik ini disajikan 3 buah sampel sekaligus secara acak.
Penyajian contoh dalam uji perbedaan sedapat mungkin dibuat seragam agar tidak
terdapat kesalahan karena pengaruh penyajian contoh.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, tahap pertama yaitu persiapan bahan
baku, tahap kedua pengasapan ikan dan tahap ketiga yaitu uji panelis
3.3.1 Pengadan Bahan Baku
Ikan asap atau produk perikanan harus memiliki kualitas yang baik,
dipersiapkan dengan baik dan dikemas sehingga tetap menarik dan aman untuk
dikonsumsi. Bahan baku yang dipakai dalam penelitian ini adalah ikan nila yang
di pelihara pada air tawar dan berukuran 15-20 cm dan berat rata-rata 150-200
gr/ekor. Ikan tersebut didapat melalui pembudidaya daerah setempat. Jumlah
sampel yang digunakan yaitu 20-25 ekor ikan nila.
3.3.2 Pengasapan Ikan
Ikan yang akan diasapi adalah berbentuk fillet. Hal ini lakukan karena
semakin luas daerah permukaan ikan maka akan semakin banyak jumlah partikel
28
asap yang dapat diserap selama pengasapan dan produk dapat kering dengan lebih
baik. Bagian dalam ikan dikeluarkan dengan hati-hati agar tidak merusak
penampilan fisik produk. Sisik ikan dipisahkan dan dibuang isi perutnya termasuk
insang dan dibelah pada bagian sampai ke kepala. Penggaraman dilakukan dengan
cara penggaraman basah atau larutan (brine salting). Penggaraman menyebabkan
daging ikan menjadi lebih kompak, karena garam menarik air dan
menggumpalkan protein dalam daging ikan. Pada konsentrasi tertentu, garam
dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Disamping itu garam juga menyebabkan
daging ikan menjadi enak. Ikan direndam dalam larutan garam dengan dosis 25 %
dari berat total ikan yang diasap dalam 1 liter air selama 15 hingga 30 menit dan
kemudian ditiris (Kurniawan, 2008). Makin banyak garam yang dipakai, maka
rasa ikan asap makin asin sedangkan bila garam terlalu sedikit maka keasinan ikan
asap menjadi berkurang.
Pengeringan dilakukan jika permukaan ikan masih mengandung kadar air
yang tinggi maka hal ini dapat mengakibatkan produk akhir menjadi tidak
menghasilkan warna khas ikan asap yaitu warna kuning kecoklatan. Pengeringan
dilakukan dengan cara dikering anginkan selama 30-40 menit agar permukaan
ikan mengering.
Alat pengasapan yang dipakai adalah drum oil dengan diameter 60 cm dan
tinggi 1,25 m. Cara pembuatan tempat pengasapan antara lain :
Rumah asap dibuat dari kayu dan seng dengan ukuran panjang 1,2 m lebar 1
m dan tinggi 2 m dan terdiri atas tiga bagian yaitu rak, dapur dan penutup
bagian atas.
29
Dinding ruang dapur dibuat dari seng dengan tiang penyangga dari kayu dan
tinggi 75 cm.
Tempat pengapian dibuat dari drum oli yang sudah dibelah. Drum diberi
kaki dan rel untuk memudahkan menambah dan membersihkan bahan
bakar.
Diantara tungku atau drum diberi rak pembatas dengan seng plat yang telah
dilubangi dengan diameter 1 – 1,5 cm untuk meratakan aliran panas atau
asap kedalam ruang pengasapan.
Rak dibuat dari bingkai kayu yang beralaskan bambu dengan tinggi rak 15
cm.
Tutup rumah asap dibuat seperti atap rumah yang ada pada bagian atas
diberi celah memanjang untuk keluarnya asap.
Pengasapan dilakukan menggunakan metode pengasapan panas yaitu
dengan suhu berkisar 60 – 80 oC selama 6-7 jam atau sampai dihasilkan ikan asap
kering dengan kuning keemasan atau kuning kecoklatan. Adapun proses
pengasapan adalah sebagai berikut :
Bagian dasar lemari asap diisi dengan kayu keras, kemudian dibakar.
Setelah kayu dan tempurung kelapa terbakar, api dipadamkan sehingga
kayu tetap membara sambil mengeluarkan asap.
Kemudian ikan yang telah dibelah diletakkan di atas rak-rak yang dibuat
sambil menjaga kayu dan tempurung tetap mengeluarkan asap.
Jika permukaan ikan telah kering, ikan sesekali dibalik agar semua bagian
ikan dapat terasapi.
30
Setelah ikan asap yang benar-benar kering atau telah masak, Ikan
didinginkan sebelum dikemas, jika tidak maka ikan asap akan menjadi lembek,
lembab dan asam atau berjamur. Setelah itu ikan asap dikemas dalam plastik
pembungkus dan disimpan dalam kaleng yang tertutup rapat.
Menurut Suyanti dan Sulistiowaty (2008), Bahan Tambahan Makanan
(BTM) adalah bahan-bahan yang ditambahkan kedalam makanan selama
produksi, pengolahan, pengemasan, atau menyimpan untuk tujuan tertentu. Bahan
tambahan yang digunakan adalah larutan asam sunti dan asam cuka 25%. Adapun
cara perlakuan penambahan bahan tambahan adalah sebagai berikut :
Asam Cuka
Proses pangasapan diawali dengan pembuatan larutan perlakuan sesuai
dengan kosentrasi yang telah ditentukan. Cara pembuatan larutan asam cuka
adalah dengan pengenceran. Sebelum dilakukan pengenceran, ditentukan terlebih
dahulu jumlah sampel cairan di encerkan dengan menggunakan rumus pengenceran
sebagai berikut :
n1.V1 = n2.V2
Keterangan :
n1 = Nilai kadar asam cuka acuan (%)
V1 = Volume kadar asam cuka acuan (ml)
n2 = Nilai kadar asam cuka yang diinginkan (%)
V2 = Volume kadar asam cuka yang diinginkan (ml)
Sumber : (Sulistyanto et al, 2007).
Konsentrasi larutan yang digunakan adalah 5 % asam asetat (asam cuka)
dalam volume pengenceran 250 ml air. Pembuatan larutan dilakukan dengan cara
mengencerkan asam asetat (25%) sebanyak 50 ml menjadi 5 % dengan
31
menggunakan perhitungan rumus diatas. Larutan asam cuka ditambahkan air
sebanyak 250 ml. Kemudian ikan direndam ke dalam larutan tersebut selama 30
menit. Setelah itu, ikan ditiriskan sampai permukaannya mengering.
Larutan Asam Sunti
Konsentrasi larutan asam sunti yang digunakan adalah sebanyak 150 ml.
Asam sunti ditimbang sebanyak 100 gram dan ditambahkan air sebanyak 2 liter.
Kemudian diblender hingga menghasilkan larutan sebanyak 150 ml. Kemudian
ikan direndam ke dalam larutan tersebut selama 30 menit. Setelah itu, ikan
ditiriskan sampai permukaannya mengering.
Larutan Kubis Kol
Konsentrasi larutan kubis kol yang digunakan adalah larutan yang telah
difermentasi sebanyak 150 ml. Kubis kol ditimbang sebanyak 3 ons dan dicampur
garam sebanyak ditambahkan air sebanyak 2 liter. Setelah itu kubis kol di
fermentasi selama 1 minggu baru kemudian diperas airnya hingga menghasilkan
larutan sebanyak 150 ml. Kemudian ikan direndam ke dalam larutan tersebut
selama 30 menit. Setelah itu, ikan ditiriskan sampai permukaannya mengering.
Perlakuan yang dilakukan diantaranya adalah perbedaan bahan tambahan
dalam pembuatan ikan asap, yaitu :
P0 = Tanpa Bahan Tambahan
P1 = Asam Asetat (asam cuka) 25%
P2 = Larutan Asam Sunti
P3 = Larutan Kubis Kol
32
3.4 Parameter Uji
3.4.1 Uji Penilaian Sensoris
Uji penilaian sensoris dilakukan terhadap aroma dan rasa ikan nila asap.
Parameter uji diberi skor 1, 3, 5, 7 dan 9 (lampiran 1) dan dilakukan dengan 30
orang panelis tidak terlatih. Adapun prosedur dari uji penilaian sensoris adalah
sebagai berikut:
1. Masing-masing sampel diletakkan pada wadah atau piring berwarna putih agar
dapat dilihat perbedaan warnanya dengan jelas. Tiap sampel diberi kode
perlakuan yang berbeda.
2. Air minum disediakan untuk mencuci mulut sebelum dan sesudah mencicipi
sampel uji.
3. Pengujian ini dilakukan dalam suatu ruangan dimana antara satu panelis
dengan panelis lain dibatasi oleh sekat sehingga antar panelis tidak dapat
berkomunikasi.
4. Panelis diharapkan tidak dalam keadaan lapar maupun kenyang karena dapat
mempengaruhi hasil uji organoleptik terhadap sampel.
5. Kepada panelis diberikan formulir penilaian tingkat kesukaan panelis terhadap
sifat organoleptik (contoh formulir pada lampiran 1)
6. Panelis diminta untuk menilai aroma dan rasa ikan asap terhadap sampel yang
disajikan dengan memberi nilai berupa angka yang terdiri dari angka 1, 3, 5, 7,
dan 9 pada setiap kolom sampel yang dianggap sesuai dengan tingkat penilaian
panelis.
7. Panelis yang diambil untuk menguji sampel bukan perokok aktif
33
3.4.2 Uji Kesukaan (Uji Hedonik)
Untuk uji kesukaan terhadap aroma dan citarasa caranya sama dengan uji
penilaian sensoris. Panelis diminta untuk menyatakan tingkat kesukaannya
diantara ketiga sampel yang akan di uji engan memberi nilai berupa angka yang
terdiri dari 0 – 5. Hasil penilaiannya dituliskan dalam formulir isian seperti yang
terdapat pada lampiran 1.
3.5 Analisa Data
Uji kesukaan juga disebut uji hedonik. Panelis dimintakan tanggapan
pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan). Penggunaan skala
hedonik digunakan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Metode yang
digunakan pada organoleptik ini adalah scoring test dengan menggunakan panelis
tidak terlatih sebanyak 30 orang. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui
tingkat perbedaan dan tingkat kesukaan terhadap aroma dan citarasa ikan asap.
Data yang didapatkan dari panelis di tabulasikan dalam bentuk tabel statistik.
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Uji Penilaian Sensoris Citarasa
Citarasa merupakan salah satu parameter yang diukur dalam penilaian mutu
dan tingkat penerimaan konsumen terhadap ikan asap. Pengukuran citarasa dilakukan
dengan metode organoleptik yang melibatkan panelis. Nilai rata-rata citarasa ikan
asap dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Nilai Rata-Rata Uji Sensoris Citarasa Ikan Nila Asap
Perlakuan NilaiRata-Rata
Citarasa Warna
Tanpa Bahan
Tambahan4,33 Tidak enak dengan rasa
tambahan mengganggu Kecoklatan
Asam Asetat 5,47 Tidak enak, Tidak gurih. PucatKecoklatan
Larutan Asam Sunti 8,4 Enak, Kurang gurih. KuningKecoklatan
Larutan Kubis Kol 5,87 Tidak enak, Tidak gurih CoklatKehitaman
Berdasarkan Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa perbedaan terhadap
citarasa ikan asap diperoleh pada perlakuan pemberian larutan asam sunti (P2)
dengan nilai rata-rata 8,4. Pada pemberian kubis kol (P3) diperoleh nilai 5,87 dan
pemberian asam asetat (P1) diperoleh nilai sebesar 5,47. Sementara pada kontrol
(pemberian larutan garam) menunjukkan nilai sebesar 4,33.
4.1.2 Uji Penilaian Sensoris Aroma
Di industri pangan, uji terhadap aroma dianggap penting karena cepat
dapat memberikan penilaian terhadap hasil produksinya, apakah produksinya
35
disukai atau tidak disukai oleh konsumen (Soekarto, 1990). Nilai rata-rata aroma
ikan nila asap dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2. Nilai Rata-Rata Uji Sensoris Aroma Ikan Nila Asap
Perlakuan NilaiRata-Rata Aroma Warna
Tanpa Bahan Tambahan 5,53 Netral Kecoklatan
Asam Asetat 6,73Netral, sedikit bautambahan
PucatKecoklatan
Larutan Asam Sunti 7,93
Kurang harum, asapcukup, tanpa bautambahanmengganggu
KuningKecoklatan
Larutan Kubis Kol 6,93 Netral, sedikit bautambahan.
CoklatKehitaman
Berdasarkan Tabel 2 diatas, nilai rata-rata aroma ikan nila asap yang
paling tinggi terdapat pada perlakuan P2 (7,93) diikuti dengan perlakuan P3 (6,93)
dan yang terendah P1 (6,73) Sementara pada P0 diperoleh nilai 5,53 yang berarti
lebih rendah dari semua perlakuan.
4.1.3 Uji Kesukaan Citarasa
Berdasarkan hasil pengujian aroma pada panelis terhadap citarasa ikan nila
asap dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini :
Tabel 3. Nilai Rata-Rata Uji Kesukaan Citarasa Ikan Nila Asap
Perlakuan Nilai Rata-Rata Tingkat Kesukaan Warna
Tanpa Bahan Tambahan 2,6 Kurang Suka Kecoklatan
Asam Asetat 2,1 Kurang Suka PucatKecoklatan
Larutan Asam Sunti 3,73 Suka KuningKecoklatan
Larutan Kubis Kol 1,23 Netral CoklatKehitaman
36
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tertinggi dengan citarasa
terhadap tingkat kesukaan ikan nila asap pada perlakuan dengan pemberian
larutan asam sunti (P2) mempunyai nilai tertinggi sebesar 3,73. Pada perlakuan P1
diperoleh nilai 2,1 dan pada perlakuan P3 diperoleh nilai 1,23. Sementara pada
kontrol (tanpa bahan tambahan), mempunyai nilai rata-rata yaitu sebesar 2,6.
4.1.4 Uji Kesukaan Aroma
Berdasarkan hasil pengujian aroma pada panelis terhadap aroma ikan nila
asap dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini :
Tabel 4. Nilai Rata-Rata Uji Kesukaan Aroma Ikan Nila Asap
Perlakuan Nilai Rata-Rata Tingkat Kesukaan Warna
Tanpa Bahan Tambahan 1,63 Netral Kecoklatan
Asam Asetat 1,3 Netral PucatKecoklatan
Larutan Asam Sunti 3,53 Suka KuningKecoklatan
Kubis Kol 1,2 Netral CoklatKehitaman
Berdasarkan Tabel 4 diatas, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata aroma
terhadap tingkat kesukaan ikan nila asap yang tertinggi diperoleh pada perlakuan
larutan asam sunti (P2) yaitu 3,2. Kemudian diikuti perlakuan kubis kol (P3)
diperoleh nilai yaitu 2,3, selanjutnya diikuti pada perlakuan asam asetat (P1)
sebesar 1,9 dan yang terendah pada P0 (kontrol) yaitu sebesar 1,7.
37
4.2. Pembahasan
4.2.1 Uji Penilaian Sensoris Citarasa
Hasil pengujian oleh panelis menunjukkan bahwa masing - masing sampel
ikan asap memiliki nilai yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa keempat
sampel ikan asap memiliki deskripsi dan karakteristik yang berbeda satu sama lain
sehingga dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa perbedaan-perbedaan yang ada
pada masing-masing sampel ikan asap tersebut dapat dikenali melalui pengujian
sensoris dengan baik. Nilai rata-rata uji penilaian sensoris citarasa ikan nila asap
dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini :
Gambar 3. Grafik Uji Penilaian Sensoris Citarasa Ikan Nila Asap
Nilai tertinggi citarasa ikan nila asap terdapat pada P2 (pemberian larutan
asam sunti) dengan nilai 8,4. Berdasarkan hasil pengujian panelis sebanyak 30
orang, 22 orang diantaranya menyatakan pada perlakuan P3 memiliki rasa enak
dan kurang gurih. Hal ini diduga karena kandungan asam (6.08 gr/100 gr bahan)
dan garam (27,4%) yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses
pembusukan oleh mikroorganisme dan memberikan efek pengawetan pangan serta
dapat meningkatkan citarasa, khususnya pada ikan (Saptriyawati, 2010). Menurut
0
2
4
6
8
10
Nila
i Uji
Peni
laia
n Se
nsor
is C
itara
sa
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
37
4.2. Pembahasan
4.2.1 Uji Penilaian Sensoris Citarasa
Hasil pengujian oleh panelis menunjukkan bahwa masing - masing sampel
ikan asap memiliki nilai yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa keempat
sampel ikan asap memiliki deskripsi dan karakteristik yang berbeda satu sama lain
sehingga dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa perbedaan-perbedaan yang ada
pada masing-masing sampel ikan asap tersebut dapat dikenali melalui pengujian
sensoris dengan baik. Nilai rata-rata uji penilaian sensoris citarasa ikan nila asap
dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini :
Gambar 3. Grafik Uji Penilaian Sensoris Citarasa Ikan Nila Asap
Nilai tertinggi citarasa ikan nila asap terdapat pada P2 (pemberian larutan
asam sunti) dengan nilai 8,4. Berdasarkan hasil pengujian panelis sebanyak 30
orang, 22 orang diantaranya menyatakan pada perlakuan P3 memiliki rasa enak
dan kurang gurih. Hal ini diduga karena kandungan asam (6.08 gr/100 gr bahan)
dan garam (27,4%) yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses
pembusukan oleh mikroorganisme dan memberikan efek pengawetan pangan serta
dapat meningkatkan citarasa, khususnya pada ikan (Saptriyawati, 2010). Menurut
P0 P1 P2 P3
Nila
i Uji
Peni
laia
n Se
nsor
is C
itara
sa
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
37
4.2. Pembahasan
4.2.1 Uji Penilaian Sensoris Citarasa
Hasil pengujian oleh panelis menunjukkan bahwa masing - masing sampel
ikan asap memiliki nilai yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa keempat
sampel ikan asap memiliki deskripsi dan karakteristik yang berbeda satu sama lain
sehingga dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa perbedaan-perbedaan yang ada
pada masing-masing sampel ikan asap tersebut dapat dikenali melalui pengujian
sensoris dengan baik. Nilai rata-rata uji penilaian sensoris citarasa ikan nila asap
dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini :
Gambar 3. Grafik Uji Penilaian Sensoris Citarasa Ikan Nila Asap
Nilai tertinggi citarasa ikan nila asap terdapat pada P2 (pemberian larutan
asam sunti) dengan nilai 8,4. Berdasarkan hasil pengujian panelis sebanyak 30
orang, 22 orang diantaranya menyatakan pada perlakuan P3 memiliki rasa enak
dan kurang gurih. Hal ini diduga karena kandungan asam (6.08 gr/100 gr bahan)
dan garam (27,4%) yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses
pembusukan oleh mikroorganisme dan memberikan efek pengawetan pangan serta
dapat meningkatkan citarasa, khususnya pada ikan (Saptriyawati, 2010). Menurut
Nila
i Uji
Peni
laia
n Se
nsor
is C
itara
sa
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
38
Badan Standardisasi Nasional (SNI 2725.1: 2009), skala penilaian organoleptik
untuk produk ikan asap yaitu 1-9 (keterangan lembar penilaian sensori dapat
dilihat pada lampiran 7) dengan persyaratan mutu dan keamanan pangan minimal
7.
Selain itu, kandungan senyawa-senyawa karbonil yang ada dalam asap
memiliki peranan pada pewarnaan dan citarasa produk asapan, hal ini ditegaskan
menurut Pearson dan Tauber dalam Febriani (2006), menyatakan komponen-
komponen asap yang melekat pada produk akibat pengasapan, seperti asam
propanol, butirat, laktat dan fenol akan menimbulkan rasa khas asap. Ikan asap
yang bermutu bagus memiliki rasa yang lezat, enak, rasa asap terasa lembut
sampai tajam, tanpa rasa getir atau pahit, dan tidak terasa tengik (Adawyah,
2007).
Sementara pada perlakuan pengasapan pada pemberian asam asetat (P3)
diperoleh nilai sebesar 5,87 dengan rasa ikan asap yang tidak enak dan tidak
gurih. Rasa yang tidak gurih pada ikan nila asap diduga ditimbulkan dari adanya
asam-asam organik yang terkandung di dalam asap yang bercampur dengan asam
asetat (asam cuka) perlakuan pada ikan atau hasil reaksi penguraian dari
komponen-komponen ikan asap yang dapat menghasilkan rasa yang tidak enak
dan tidak gurih. Selain itu, tingkat keasaman juga memberikan pengaruh terhadap
citarasa produk akhir. Pada perlakuan dengan asam asetat (P1) ikan nila asap juga
terasa tidak enak dan tidak gurih. Hal ini diduga karena asam asetat (asam cuka)
yang memiliki tingkat keasaman yang tinggi sehingga perlakuan asam asetat
memiliki rasa yang tidak enak. Keasaman yang tinggi meninggalkan rasa asam
yang tidak disukai (Misnawi dkk, 2006).
39
4.2.2 Uji Penilaian Sensoris Aroma
Hasil pengujian oleh panelis menunjukkan bahwa perbedaan aroma ikan
nila asap terdapat pada P2 (pemberian larutan asam sunti) dengan nilai 7,93.
Berdasarkan hasil pengujian panelis sebanyak 30 orang, menyatakan pada
perlakuan P2 diperoleh nilai yang tertinggi yaitu 7,93. Hal ini berarti bahwa pada
perlakuan P2 memiliki aroma yang kurang harum, tanpa bau tambahan
mengganggu namun memiliki aroma asap yang cukup. Hal ini diduga karena pada
ikan nila asap dengan penggunaan larutan asam sunti tercampur dengan sempurna
pada saat perendaman ikan dengan larutan tersebut. Selain itu kandungan asam
yang ada dalam asam asetat dengan senyawa fenol dalam asap yang dihasilkan
pada pengasapan mampu menghasilkan aroma ikan asap yang khas. Nilai rata-rata
uji penilaian sensoris terhadap aroma ikan nila asap dapat dilihat pada Gambar 4
dibawah ini : :
Gambar 4. Grafik Uji Penilaian Sensoris Aroma Ikan Nila Asap
Menurut Maga (1987), menyatakan, bahwa karakteristik flavour pada
produk asapan disebabkan oleh adanya komponen fenol, karbonil dan asam yang
terabsorbsi pada permukaan produk. Selain itu daging ikan nila tidak terlalu tebal
dibandingkan bahan baku ikan asap lainnya sehingga partikel asap dapat lebih
0
2
4
6
8
Nila
iUji
Peni
laia
n Se
nsor
is A
rom
a
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
39
4.2.2 Uji Penilaian Sensoris Aroma
Hasil pengujian oleh panelis menunjukkan bahwa perbedaan aroma ikan
nila asap terdapat pada P2 (pemberian larutan asam sunti) dengan nilai 7,93.
Berdasarkan hasil pengujian panelis sebanyak 30 orang, menyatakan pada
perlakuan P2 diperoleh nilai yang tertinggi yaitu 7,93. Hal ini berarti bahwa pada
perlakuan P2 memiliki aroma yang kurang harum, tanpa bau tambahan
mengganggu namun memiliki aroma asap yang cukup. Hal ini diduga karena pada
ikan nila asap dengan penggunaan larutan asam sunti tercampur dengan sempurna
pada saat perendaman ikan dengan larutan tersebut. Selain itu kandungan asam
yang ada dalam asam asetat dengan senyawa fenol dalam asap yang dihasilkan
pada pengasapan mampu menghasilkan aroma ikan asap yang khas. Nilai rata-rata
uji penilaian sensoris terhadap aroma ikan nila asap dapat dilihat pada Gambar 4
dibawah ini : :
Gambar 4. Grafik Uji Penilaian Sensoris Aroma Ikan Nila Asap
Menurut Maga (1987), menyatakan, bahwa karakteristik flavour pada
produk asapan disebabkan oleh adanya komponen fenol, karbonil dan asam yang
terabsorbsi pada permukaan produk. Selain itu daging ikan nila tidak terlalu tebal
dibandingkan bahan baku ikan asap lainnya sehingga partikel asap dapat lebih
P0 P1 P2 P3Nila
iUji
Peni
laia
n Se
nsor
is A
rom
a
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
39
4.2.2 Uji Penilaian Sensoris Aroma
Hasil pengujian oleh panelis menunjukkan bahwa perbedaan aroma ikan
nila asap terdapat pada P2 (pemberian larutan asam sunti) dengan nilai 7,93.
Berdasarkan hasil pengujian panelis sebanyak 30 orang, menyatakan pada
perlakuan P2 diperoleh nilai yang tertinggi yaitu 7,93. Hal ini berarti bahwa pada
perlakuan P2 memiliki aroma yang kurang harum, tanpa bau tambahan
mengganggu namun memiliki aroma asap yang cukup. Hal ini diduga karena pada
ikan nila asap dengan penggunaan larutan asam sunti tercampur dengan sempurna
pada saat perendaman ikan dengan larutan tersebut. Selain itu kandungan asam
yang ada dalam asam asetat dengan senyawa fenol dalam asap yang dihasilkan
pada pengasapan mampu menghasilkan aroma ikan asap yang khas. Nilai rata-rata
uji penilaian sensoris terhadap aroma ikan nila asap dapat dilihat pada Gambar 4
dibawah ini : :
Gambar 4. Grafik Uji Penilaian Sensoris Aroma Ikan Nila Asap
Menurut Maga (1987), menyatakan, bahwa karakteristik flavour pada
produk asapan disebabkan oleh adanya komponen fenol, karbonil dan asam yang
terabsorbsi pada permukaan produk. Selain itu daging ikan nila tidak terlalu tebal
dibandingkan bahan baku ikan asap lainnya sehingga partikel asap dapat lebih
Nila
iUji
Peni
laia
n Se
nsor
is A
rom
a
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
40
meresap ke dalam bagian tertentu pada permukaan ikan nila asap dan mudah
dideteksi oleh panelis. Sementara pada perlakuan dengan pemberian larutan kubis
kol (P3) diperoleh nilai 6,93 yang memiliki aroma yang netral dan sedikit bau
tambahan. Hal ini diduga karena kandungan larutan kubis kol yang ada pada ikan
masih tertinggal pada ikan dan tidak diserap dalam daging ikan sehingga
menyebabkan ikan berbau sedikit bau bahan tambahan. Menurut Bligh et al
(1988), pengeringan dapat mendorong terjadinya oksidasi dan ketengikan pada
lemak sehingga dapat menurunkan nilai organoleptik bau.
Ikan yang baru mengalami proses pengasapan memiliki aroma asap yang
lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau
asing, tanpa bau apek dan asam (Adawyah, 2007). Ikan yang telah diasapi selain
lebih awet juga memiliki rasa dan aroma yang sedap. Aroma dan rasa tersebut
juga bisa berasal dari asap yang diberikan. Semakin tinggi konsentrasi asap yang
diberikan maka aroma dan rasa asap pada ikan pun akan semakin meningkat
(Afrianto dan Liviawaty, 1989).
4.2.3 Uji Kesukaan Citarasa
Hasil pengujian oleh panelis menunjukkan bahwa perbedaan citarasa ikan
nila asap terdapat pada P2 (pemberian larutan asam sunti) dengan nilai 3.. Tingkat
kesukaan yang diuji pada panelis berhubungan erat dengan perbedaan citarasa
antar perlakuan. Berdasarkan hasil pengujian panelis sebanyak 30 orang, tingkat
kesukaan yang tertinggi diperoleh pada perlakuan P2 dengan nilai 3,73. Pada
perlakuan P2 panelis menyatakan rasa suka. Kesukaan panelis terhadap citarasa
pada perlakuan P2 diduga karena pada perlakuan P2 memiliki rasa yang enak
walaupun kurang gurih.
41
Sementara pada P0 dan P1 tingkat kesukaan panelis terhadap citarasa ikan
nila asap menyatakan kurang suka. Hal ini disebabkan citarasa pada perlakuan P1
dan P0 memiliki rasa yang tidak enak dan tidak gurih. Selain itu, pengujian pada
panelis juga dilakukan satu hari setelah pengasapan sehingga citarasa ikan nila
asap mulai berkurang. Pada perlakuan P3, panelis menyatakan netral terhadap
tingkat kesukaannya. Hal ini juga diduga karena pada P3 juga memiliki rasa yang
tidak enak dan tidak gurih. Nilai rata-rata uji kesukaan panelis terhadap citarasa
ikan nila asap dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini :
Gambar 5. Grafik Uji Kesukaan Panelis Terhadap Citarasa Ikan Nila Asap
4.2.4 Uji Kesukaan Aroma
Hasil pengujian oleh panelis (Tabel 4) menunjukkan bahwa nilai terbaik
citarasa ikan nila asap terdapat pada P2 (pemberian larutan asam sunti) dengan
nilai 3,53. Hal ini berarti pada perlakuan P2 panelis menyatakan rasa suka
terhadap tingkat kesukaan aroma ikan nila asap. Senyawa yang memberikan
karakteristik aroma pada produk kering hasil perikanan sebagian berasal dari
oksidasi lemak dan hidrolisis lemak sementara sebagian lainnya dapat berasal dari
makanan dan kondisi hidup atau budidaya ikan lainnya (Doe, 1998).
0
1
2
3
4
Nila
iUji
Keu
kaan
Cita
rasa
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
41
Sementara pada P0 dan P1 tingkat kesukaan panelis terhadap citarasa ikan
nila asap menyatakan kurang suka. Hal ini disebabkan citarasa pada perlakuan P1
dan P0 memiliki rasa yang tidak enak dan tidak gurih. Selain itu, pengujian pada
panelis juga dilakukan satu hari setelah pengasapan sehingga citarasa ikan nila
asap mulai berkurang. Pada perlakuan P3, panelis menyatakan netral terhadap
tingkat kesukaannya. Hal ini juga diduga karena pada P3 juga memiliki rasa yang
tidak enak dan tidak gurih. Nilai rata-rata uji kesukaan panelis terhadap citarasa
ikan nila asap dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini :
Gambar 5. Grafik Uji Kesukaan Panelis Terhadap Citarasa Ikan Nila Asap
4.2.4 Uji Kesukaan Aroma
Hasil pengujian oleh panelis (Tabel 4) menunjukkan bahwa nilai terbaik
citarasa ikan nila asap terdapat pada P2 (pemberian larutan asam sunti) dengan
nilai 3,53. Hal ini berarti pada perlakuan P2 panelis menyatakan rasa suka
terhadap tingkat kesukaan aroma ikan nila asap. Senyawa yang memberikan
karakteristik aroma pada produk kering hasil perikanan sebagian berasal dari
oksidasi lemak dan hidrolisis lemak sementara sebagian lainnya dapat berasal dari
makanan dan kondisi hidup atau budidaya ikan lainnya (Doe, 1998).
P0 P1 P2 P3Nila
iUji
Keu
kaan
Cita
rasa
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
41
Sementara pada P0 dan P1 tingkat kesukaan panelis terhadap citarasa ikan
nila asap menyatakan kurang suka. Hal ini disebabkan citarasa pada perlakuan P1
dan P0 memiliki rasa yang tidak enak dan tidak gurih. Selain itu, pengujian pada
panelis juga dilakukan satu hari setelah pengasapan sehingga citarasa ikan nila
asap mulai berkurang. Pada perlakuan P3, panelis menyatakan netral terhadap
tingkat kesukaannya. Hal ini juga diduga karena pada P3 juga memiliki rasa yang
tidak enak dan tidak gurih. Nilai rata-rata uji kesukaan panelis terhadap citarasa
ikan nila asap dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini :
Gambar 5. Grafik Uji Kesukaan Panelis Terhadap Citarasa Ikan Nila Asap
4.2.4 Uji Kesukaan Aroma
Hasil pengujian oleh panelis (Tabel 4) menunjukkan bahwa nilai terbaik
citarasa ikan nila asap terdapat pada P2 (pemberian larutan asam sunti) dengan
nilai 3,53. Hal ini berarti pada perlakuan P2 panelis menyatakan rasa suka
terhadap tingkat kesukaan aroma ikan nila asap. Senyawa yang memberikan
karakteristik aroma pada produk kering hasil perikanan sebagian berasal dari
oksidasi lemak dan hidrolisis lemak sementara sebagian lainnya dapat berasal dari
makanan dan kondisi hidup atau budidaya ikan lainnya (Doe, 1998).
Nila
iUji
Keu
kaan
Cita
rasa
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
42
Nilai rata-rata uji kesukaan panelis terhadap aroma ikan nila asap dapat
dilihat pada Gambar 6 dibawah ini :
Gambar 6. Grafik Uji Kesukaan Panelis Terhadap Aroma Ikan Nila Asap
Pada perlakuan P0, P1 dan P3 panelis menyatakan netral. Kurangnya
kesukaan panelis terhadap aroma pada perlakuan P0, P1 dan P3 diduga
disebabkan oleh kondisi aroma ikan nila asap setelah pengasapan sudah tidak
terlalu berbau khas asap dikarenakan pengujian aroma pada panelis dilakukan satu
hari setelah dilakukan pengasapan. Menurut Adawyah (2007), Ikan yang baru
mengalami proses pengasapan memiliki aroma asap yang lembut sampai cukup
tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa bau apek
dan asam.
Selain itu, aroma yang tidak diinginkan ini juga disebabkan karena
terjadinya oksidasi lemak selama penyimpanan. Lemak dan protein yang dipecah
oleh bakteri perusak yang mencemari ikan asap akan menghasilkan aroma yang
tidak diinginkan. Aroma ini berasal dari metabolit-metabolit sederhana yang
dihasilkan oleh bakteri. Timbulnya aroma yang tidak diinginkan pada ikan asap
selain disebabkan oleh proses oksidasi lemak selama penyimpanan juga
0
1
2
3
4N
ilaiU
ji K
asuk
aan
Aro
ma
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
42
Nilai rata-rata uji kesukaan panelis terhadap aroma ikan nila asap dapat
dilihat pada Gambar 6 dibawah ini :
Gambar 6. Grafik Uji Kesukaan Panelis Terhadap Aroma Ikan Nila Asap
Pada perlakuan P0, P1 dan P3 panelis menyatakan netral. Kurangnya
kesukaan panelis terhadap aroma pada perlakuan P0, P1 dan P3 diduga
disebabkan oleh kondisi aroma ikan nila asap setelah pengasapan sudah tidak
terlalu berbau khas asap dikarenakan pengujian aroma pada panelis dilakukan satu
hari setelah dilakukan pengasapan. Menurut Adawyah (2007), Ikan yang baru
mengalami proses pengasapan memiliki aroma asap yang lembut sampai cukup
tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa bau apek
dan asam.
Selain itu, aroma yang tidak diinginkan ini juga disebabkan karena
terjadinya oksidasi lemak selama penyimpanan. Lemak dan protein yang dipecah
oleh bakteri perusak yang mencemari ikan asap akan menghasilkan aroma yang
tidak diinginkan. Aroma ini berasal dari metabolit-metabolit sederhana yang
dihasilkan oleh bakteri. Timbulnya aroma yang tidak diinginkan pada ikan asap
selain disebabkan oleh proses oksidasi lemak selama penyimpanan juga
P0 P1 P2 P3
Nila
iUji
Kas
ukaa
n A
rom
a
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
42
Nilai rata-rata uji kesukaan panelis terhadap aroma ikan nila asap dapat
dilihat pada Gambar 6 dibawah ini :
Gambar 6. Grafik Uji Kesukaan Panelis Terhadap Aroma Ikan Nila Asap
Pada perlakuan P0, P1 dan P3 panelis menyatakan netral. Kurangnya
kesukaan panelis terhadap aroma pada perlakuan P0, P1 dan P3 diduga
disebabkan oleh kondisi aroma ikan nila asap setelah pengasapan sudah tidak
terlalu berbau khas asap dikarenakan pengujian aroma pada panelis dilakukan satu
hari setelah dilakukan pengasapan. Menurut Adawyah (2007), Ikan yang baru
mengalami proses pengasapan memiliki aroma asap yang lembut sampai cukup
tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa bau apek
dan asam.
Selain itu, aroma yang tidak diinginkan ini juga disebabkan karena
terjadinya oksidasi lemak selama penyimpanan. Lemak dan protein yang dipecah
oleh bakteri perusak yang mencemari ikan asap akan menghasilkan aroma yang
tidak diinginkan. Aroma ini berasal dari metabolit-metabolit sederhana yang
dihasilkan oleh bakteri. Timbulnya aroma yang tidak diinginkan pada ikan asap
selain disebabkan oleh proses oksidasi lemak selama penyimpanan juga
Nila
iUji
Kas
ukaa
n A
rom
a
P0 : Tanpa Bahan Tambahan, P1 : Asam Asetat, P2 : Larutan Asan Sunti,P3 : Kubis Kol
43
dipengaruhi oleh bahan organik (bahan bakar) yang digunakan dalam proses
pengasapan. Kayu yang mengandung damar, rusak, lapuk atau berjamur tidak
baik untuk pengasapan ikan karena menimbulkan bau dan rasa yang kurang enak
(Adawyah 2007).
4.2.5 Warna Ikan Asap
Hasil pengujian pengamatan secara visual menunjukkan bahwa masing -
masing sampel ikan asap memiliki warna yang berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa keempat sampel ikan asap memiliki deskripsi dan karakteristik yang
berbeda satu sama lain. Pada perlakuan P1 (asam asetat) menunjukkan warna
yang pucat kecoklatan, pada perlakuan P2 (larutan asam sunti) menunjukkan
warna kuning kecoklatan dan pada perlakuan P3 (kubis kol) menunjukkan warna
coklat kehitaman. Sementara pada P0 (tanpa bahan tambahan) menunjukkan
warna kecoklatan.
Salah satu efek yang diperoleh dari hasil pengasapan adalah terjadinya
pewarnaan (pencoklatan). Perubahan warna tersebut terjadi akibat berlangsungnya
reaksi antara komponen fenol dalam asap dengan komponen protein dan gula
dalam daging ikan. Selain itu, juga terjadi reaksi maillard antara gugus amino
dengan gula dalam daging ikan akibat proses pemanasan selama pengasapan
(Winarno 1992). Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), asap dapat berperan
sebagai pemberi warna pada tubuh ikan sehingga ikan yang diawetkan dengan
proses pengasapan berwarna kuning keemasan dan dapat membangkitkan selera
konsumen untuk menikmatinya. Semakin tinggi konsentrasi asap yang diberikan
maka warna ikan pun akan semakin gelap atau kecokelatan.
44
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah citarasa ikan asap
terbaik diperoleh pada perlakuan pemberian larutan asam sunti (P2) yang
memiliki rasa yan enak dengan nilai rata-rata 8,4. Aroma ikan asap diperoleh pada
perlakuan pemberian larutan asam sunti (P2) yang memiliki arom asap yang
cukup dan tanpa bau tambahan mengganggu dengan nilai rata-rata 7,93. Tingkat
kesukaan citarasa ikan asap diperoleh pada perlakuan pemberian larutan asam
sunti (P2) yang menyatakan suka dengan nilai tertinggi yaitu 3,73. Tingkat
kesukaan aroma ikan asap diperoleh pada perlakuan pemberian larutan asam sunti
(P2) yang menyatakan suka dengan nilai tertinggi yaitu 3,53.
5.2 Saran
Dari kesimpulan diatas maka dapat disarankan bahwa penggunaan bahan
makanan tambahan perlu diperhatikan dalam hal pengadukan dan pengeringan
ikan. Selain itu disarankan pada proses pengasapan perlu diperhatikan dengan
baik agar menghasilkan ikan asap yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta. 160hlm.
Adebowale B. A, Dongo LN, Jayeola CO, Orisajo SB. 2008. Comparative QualityAssesment Of Fish (Clarias gariepinus) Smoked With Cocoa PodHusk And Three Other Different Smoking Material. J FoodTechnol.. 6:5-8.
Afrianto E , Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.Yogyakarta. 129 hal.
Arie, U. 1999. Pembenihan dan Pembesaran Nila GIFT. Penebar Swadaya,Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2009. Spesifikasi Ikan Asap. SNI 2725. 1: 2009.Jakarta : BSN.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. 2001. Pengasapan Ikan. BalaiPengkajian Teknologi Pertanian Riau. Pekanbaru.
Berkel BM van, Boogard B van de, Heijnen C. 2004. Preservation Of Fish andMeat. Wageningen . Agromisa Foundation. 86 hlm.
Bligh, E.G., S.J. Shaw, and A.D. Woyewoda. 1988. Effects of Drying andSmoking on Lipids of Fish in J.R. Burt (Ed.) Fish Smoking andDrying : The Effect of Smoking and Drying on The NutritionalProperties of Fish. Journal. Elsevier Applied Science, London.
Djarijah A. S. 2004. Sale Ikan Lele. Kanisius. Yogyakarta. 59 hlm.
Doe P E. 1998. Fish Drying and Smoking: Production and Quality. TechnomicPublication. Pennsylvania. 245 hlm.
Effendi, I. 2004. Usaha budidaya Ikan Nila. Penerbit CV. simplek, Jakarta. 201hal.
Giyatmi. 1998. Isolasi dan Identifikasi Kapang Pada Pembuatan Ikan Kayu(Katsuobushi) Cakalang (Katsuwonus pelamis) Dengan FermentasiAlami. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Liberty.Yogyakarta. 275 hlm.
Hayati R. 2002. Kajian Pengeringan dan Penggaraman Belimbing Wuluh(Averrhoa billimbi L). Tesis. Fakultas Pertanian. Institut PertanianBogor. Bogor. 105 hal.
Heruwati ES. 2002. Pengolahan Ikan Secara Tradisional. Prospek dan PeluangPengembangan Perikanan. Jurnal Litbang Pertanian. 21:92-99.Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Irianto H. E, Giyatmi S. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.Universitas Terbuka. Jakarta. 530 hlm.
Irianto H. E, Soesilo I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.dalam: Makalah Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia. 21November 2007. Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu. Bogor.hlm 1-20
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Data Indikator Kinerja UmumTahun 2010. Pusat Data Statistik dan Informasi KementerianKelautan dan Perikanan. Jakarta. 16 hlm.
Kurniawan R. 2008. Pengaruh Konsentrasi Larutan Garam Dan Waktu FermentasiTerhadap Kwalitas Kecap Ikan Lele. Jurnal Teknik Kimia Vol.2.No.2. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknologi Industri Itenas.Bandung
Lyhs U. 2002. Lactic Acid Bacteria Associated With The Spoilage Of FishProducts. disertasi. Helsinki: Department of Food andEnvironmental Hygiene Faculty of Veterinary Medicine Universityof Helsinki.
Mayasari D. 2011. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Tempurung Kelapa terhadapMutu Ikan Nila (Oreochormis niloticus) Asap. Skripsi. UniversitasAndalas. Padang.
Maga J A. 1987. The Flavor Chemistry of Wood Smoke. Food ReviewInternational. 3:139-183.
Margono T, Suryati D, Hartinah S. 2000. Buku Panduan Tegnologi Pangan. PusatInformasi Wanita Dalam Pembangunan bekerja sama dengan SwissDevelopment Coorperation (PDII-LIPI). Jakarta.
Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3Edition. Boca Raton: CRC Press. 387 hlm.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PenebarSwadaya. Jakarta. 259 hlm.
Noble AC. 2006. Sensory Analysis of Food Flavor. dalam : Voilley A, Etievant P,editor. Flavour in Food. Woodhead Publishing Limited. Boca Ratonhlm 62-80.
Pracaya. 2003. Kol Alias Kubis. PT Penebar Swadaya, Jakarta. 96 hlm.
Saptriyawati E. 2010. Identifikasi Mikroorganisme Pada Bumbu Dapur “AsamSunti” Asal Belimbing Wuluh. Laporan Penelitian. Fakultas MIPA.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sari F I dan Keman S. 2005. Efektifitas Larutan Asam Cuka Untuk MenurunanKandungan Logam Berat Cadmium Dalam Daging Kerang Bulu.Jurnal kesehatan lingkungan. Vol 1. No 2. Fakultas KesehatanMasyarakat. Universitas Airlangga. Surabaya.
Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori Untuk IndustriPangan dan Agro. Bogor: IPB Press. 180 hlm.
Sulistyanto B F, Hidayat H, Setiawan, dan Atika N. 2007. Alat Pengukur KadarAlkohol Berbasis Mikrokontroller AT89S52. Tugas Akhir D-3.Politeknik Negeri Semarang. Semarang.
Sunarjono H. 2004. Bertanam 30 Jenis Sayur. PT Penebar Swadaya. Jakarta. 58hlm.
Suryanti U dan Sulistyowati, 2008. Kajian Penggunaan Bahan TambahanMakanan Terhadap Sifat Organoleptik dan Daya Awet Ikan Asap.Jurnal. Vol 1. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Farming. Semarang.64 hal.
Suyanto R. 2008. Nila. Jakarta. Penebar Swadaya. 105 hal.
Stone H and Sidel J L. 2004. Sensory Evaluation and Practices. 3rd Edition. SanDiego. Elsevier Academic Press. 377 hlm.
Whittle K J, Howgate P. 2000. Glossary of Fish Technology Terms. PreparedUnder Contract to The Fisheries Industries Division of the Food andAgriculture Organization of the United Nations [TerhubungBerkala].http://www.onefish.org/global/FishTechnologyGlossaryFeb02.pdf [13 Februari 2013]
Winarno F G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yudhastuti, Ririh, Lilis Sulistyorini, Windu Purnomo. (1998). Pengaruh LogamBerat Hg, Cd dan Pb Pada Ikan Konsumsi Terhadap KesehatanMasyarakat di Kotamadya Surabaya. Laporan Penelitian. LembagaPenelitian Unair. Surabaya.
Yudono B, Pertiwi SE, Munawar. 2007. Perbaikan Proses Produksi Asap CairPada Industri Kecil Asap Cair di Desa Sembawa KabupatenBanyuasin Sumatera Selatan. Di Dalam Prosiding SeminarPembahasan Hasil Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat.Program Penerapan Ipteks dan Vucer Universitas Sriwijaya.Indralaya, 6-7 Desember. hlm 47-55.
48
Lampiran 1.
KUISIONER PENELITIAN
Kuesioner ini merupakan instrumen pengumpulan data dalam rangka penyusunan
skripsi dengan judul:
“PENGARUH AROMA DAN CITARASA IKAN NILA (Oreochormis niloticus)
DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN YANG
BERBEDA DALAM PENGASAPAN”
Oleh:
Eva Suprita/08C10432072
Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Teuku Umar
A. INFORMASI UMUM
Biodata Panelis Pengujian Orgaoleptik
Nama panelis :..............................................
Nomor Urut :………………
Umur :…………………………..
Alamat :………………………..
Pekerjaan :……………………….
Tanggal Pengujian :....................................
PETUNJUK PENGISIAN : Isilah kuisioner ini berdasarkan hasil pengujiananda pada tempat yang telah disediakan dengan jelas. Pada setiap kolomdisediakan petunjuk berupa kode sampel yang di uji.
49
B. LEMBAR PENGISIAN
1. Uji Penilaian Sensoris
Lembar Penilaian Sensori Ikan Nila Asap Terhadap Citarasa dan Aroma
Spesifikasi NilaiKode Contoh
P0 P1 P2 P3
1. Rasa Enak, gurih. 9 Enak, kurang gurih. 7 Kurang enak, tidak gurih. 5 Tidak enak dengan rasa
tambahan mengganggu.3
Basi. 1
2. Aroma (Bau) Harum asap cukup, tanpa bau
tambahan mengganggu.9
Kurang harum, asap cukup,tanpa bau tambahanmengganggu.
7
Netral, sedikit bau tambahan. 5 Bau tambahan kuat, tercium
bau amoniak dan tengik.3
Busuk, bau amoniak kuat dantengik
1
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (SNI 2725.1: 2009)
2. Uji Kesukaan (Uji Hedonik)
Lembar Penilaian Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Citarasa dan Aroma
Nilai Skala Uji Kesukaan
Skala Hedonik Skala NumerikAmat Sangat Suka 5Sangat Suka 4Suka 3Agak Suka 2Netral 1Tidak Suka 0
6 Skala Hedonik
Berilah tanda (√) pada nilai yang dipilih sesuai dengan kode contoh yang diuji
51
Lampiran 2. Nilai Uji Penilaian Sensoris Citarasa
Nama Desa Panelis PerlakuanP0 P1 P2 P3
Lueng Baro
1 3 3 7 92 1 3 9 73 1 3 9 54 3 1 9 55 3 1 9 36 5 7 9 77 1 1 9 38 3 5 9 39 5 7 9 710 3 3 7 5
Blang Sapek
11 3 5 9 712 5 5 9 313 3 7 7 914 7 5 9 515 5 3 5 316 5 7 9 717 5 7 7 318 5 5 9 519 5 9 7 920 7 9 9 7
Suak Bilie
21 5 7 9 722 5 5 9 523 1 7 9 924 5 9 9 725 5 7 7 726 7 9 9 727 5 3 7 328 7 7 9 729 7 7 9 530 5 7 9 7
Total 130 164 252 176Rata-Rata 4,33 5,47 8,4 5,87
52
Lampiran 3. Nilai Uji Penilaian Sensoris Aroma
Nama Desa Panelis PerlakuanP0 P1 P2 P3
Lueng Baro
1 7 7 9 52 5 5 9 73 3 5 7 74 7 7 9 95 7 5 9 76 3 9 7 77 5 7 5 58 5 5 7 79 7 7 9 910 5 9 7 9
Blang Sapek
11 5 7 9 712 7 7 9 713 5 9 9 714 7 7 7 715 5 5 9 516 7 7 5 917 3 7 7 318 7 7 9 919 5 9 7 920 7 3 7 7
Suak Bilie
21 7 9 9 522 3 7 9 323 7 3 7 724 5 7 9 925 5 9 9 726 3 7 9 927 5 7 7 728 7 9 7 929 7 7 9 730 5 3 7 3
Total 166 202 238 208Rata-Rata 5,53 6,73 7,93 6,93
53
Lampiran 4. Nilai Uji Kesukaan Citarasa
Nama Desa Panelis PerlakuanP0 P1 P2 P3
Lueng Baro
1 3 3 3 32 3 3 4 33 3 3 3 34 3 3 3 35 2 2 2 26 3 3 3 37 3 3 3 38 3 3 3 49 2 2 2 210 3 3 3 3
Blang Sapek
11 2 2 4 012 3 3 4 013 2 0 5 214 2 0 5 315 3 3 4 016 3 2 5 017 3 0 5 018 3 3 4 019 3 3 5 320 2 3 4 0
Suak Bilie
21 2 3 4 022 3 2 4 023 3 2 2 024 1 2 4 025 3 0 4 026 3 3 4 027 1 2 4 028 2 0 4 029 3 2 4 030 3 0 4 0
Sub Total 24 16 38 0Total 78 63 112 37
Rata-Rata 2,6 2,1 3,73 1,23
54
Lampiran 5. Nilai Uji Kesukaan Aroma
Nama Desa Panelis PerlakuanP0 P1 P2 P3
Lueng Baro
1 1 1 4 12 3 3 3 33 1 1 3 34 1 2 3 25 1 1 4 16 3 3 3 37 1 1 3 38 2 2 4 29 2 3 2 210 2 2 3 3
Blang Sapek
11 3 1 5 012 1 0 4 013 3 1 4 314 3 1 3 015 3 2 5 016 0 1 4 017 0 1 3 018 1 1 5 019 0 3 4 120 0 1 3 0
Suak Bilie
21 3 1 3 022 3 0 3 323 1 0 3 124 3 1 3 025 0 0 3 126 0 2 4 127 0 1 3 128 2 0 4 129 3 2 4 130 3 1 4 0
Sub Total 18 8 34 9Total 49 39 106 36
Rata-Rata 1,63 1,3 3,53 1,2
55
Lampiran 6
Foto Kegiatan Pengasapan
Rumah Pengasapan Bahan Perlakuan
Pembersihan Ikan Pembelahan Ikan
Perendaman Ikan Proses Pengasapan
56
Pendinginan Ikan Asap Ikan Asap Siap Pakai