i
PENGARUH BRIDGING EXERCISE TERHADAP KEKUATAN OTOT GLUTEUS MAXIMUS PADA PASIEN PASCA STROKE NON-
HEMORAGIK DI RUMAH SAKIT UMUM DAYA MAKASSAR TAHUN 2012
OLEH : A.NUR PRATIWI
C13109251
PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2012
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:
PENGARUH SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUES (SEFT) TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA PENDERITA
HIPERTENSI DI KLINIK PHYSIO SAKTI MAKASSAR
TAHUN 2011
Oleh :
MARGARETTA
C 13110608
Telah dipertahankan di hadapan tim penguji ujian skripsi
Makassar, 10 Januari 2012
Tim Penguji
1. Drs. Djohan Aras, S.Ft.Physio, M.Pd, M.Kes (...................................)
2. Suharto, S.Pd, M.Kes (...................................)
3. Yonathan Ramba, S.Ft,Physio,M.Si (...................................)
4. Siti Nurul Fajriyah, S.Ft,Physio,M.Kes (...................................)
Mengetahui
An. Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Pembantu Dekan I
Ketua Program Studi S1 Fisioterapi
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
dr. Budu, Ph.D, Sp.M, KV NIP : 19661231 199503 1 009
Drs. H. Djohan Aras, S.Ft.,Physio, M.Kes NIP : 19570411 199003 1 002
iii
ABSTRAK A.NUR PRATIWI, NIM. C13109251, Skripsi dengan judul “Pengaruh Bridging Exercise Terhadapa Kekuatan Otot Gluteus Maximus Pada Pasien Pasca Stroke Non-Hemoragik Di Rumah Sakit Umum Daya Tahun 2012”. Dibimbing oleh Yonathan Ramba dan Citra Rosydah. Stroke Non-Hemoragik (NHS) adalah stroke yang tersering didapatkan, sekitar 80% dari semua stroke. Hampir 85% stroke disebabkan oleh sumbatan oleh bekuan darah, penyempitan sebuah arteri atau beberapa arteri yang mengarah ke otak, atau embolus atau arteri ekstrakranial yang menyebabkan sumbatan di satu atau beberapa arteri intrakrani. Penderita NHS cendurung akan mengalami gangguan kekuatan otot khususnya kekuatan otot gluteus maximus yang menunjang manusia untuk melakukan kegiatan ambulasi. Salah satu latihan penguatan sekaligus stabilisasi yang baik pada glute adalah Bridging exercise. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bridging exercise terhadap kekuatan otot gluteus maximus pada pasien pasca NHS di Rumah Sakit Umum Daya Makassar. Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimental dengan desain One Group Pretest – Post Test yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh bridging exercise sebanyak 6 kali pemberian intervensi selama satu bulan yaitu dari tanggal 1 Oktober 2012 sampai 1 November 2012. Didapatkan 18 subjek penelitian tetapi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi serta teknik pengambilan sampel dengan metode purposive sampling hanya 13 orang yang menjadi sampel penelitian. Penilaian kekuatan otot gluteus maximus menggunakan skala kekuatan motorik dengan pengujian data menggunakan uji normalitas dan uji wilcoxon. Hasil uji normalitas didapatkan nilai p < 0,0001 sehingga data tidak mempunyai sebaran yang normal, maka digunakan uji non-paramterik yaitu uji wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan kekuatan otot gluteus maximus meningkat secara signifikan dari 3,46 dengan SD 0,519 meningkat menjadi 4,62 dengan SD 0,506. Dari uji wilcoxon yang dilakukan, didapatkan nilai signifikan 0,001 (nilai p < 0,05) yang berarti hipotesis kerja diterima bahwa ada perbedaan pengaruh yang bermakna antara pre test dan post test setelah diberikan intervensi bridging exercise terhadap kekuatan otot gluteus maximus pada pasien NHS. Dari uji wilcoxon juga dapat dilihat nilai ranks. Dari nilai ranks, terdapat angka 13 pada positif ranks yang berarti bahwa 13 orang atau semua sampel mengalami peningkatan kekuatan otot gluteus maximus. Pemberian intervensi bridging exercise secara bermakna, dapat berpengaruh terhadap perubahan peningkatan kekuatan otot gluteus maximus. Kata kunci : Bridging exercise, kekuatan otot gluteus maximus, Stroke non-Hemoragik
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala karunia dan hidayah-
Nya. Shalawat dan salam juga tak lupa di limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga dan para sahabatnya. Ucapan syukur yang tak terhingga bagi penulis karena
telah menyelesaikan proposal yang berjudul “Pengaruh Bridging Exercise
Terhadap Kekuatan Otot Gluteus Maximus Pada Pasien Pasca Stroke non-
Hemoragik di Rumah Sakit Umum Daya Makassar Tahun 2012.”
Atas terselesaikannya proposal ini, penulis ingin menghaturkan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ayahanda Drs.Kateng Lalo dan Ibunda Hj. Hanefiah, karena berkat doa dan
kerja kerasnya- lah penulis dapat mengenyam kuliah di universitas ini. Tak ada
kata yang pantas untuk mengungkapkan rasa terima kasih dan sayang kepada
beliau.
2. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin serta wakil dan
stafnya, atas izin penelitian dan kemudahan yang telah diberikan.
3. Bapak Drs.H.Djohan Aras,S.Ft,Physio,M.Pd,M.Kes.,selaku Ketua Program
Studi S1 Profesi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar, serta segenap dosen-dosen dan karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan dalam proses perkuliahan maupun dalam penyelesaian
proposal ini.
v
4. Bapak Yonathan Ramba, S.Ft., Physio, M.Si. selaku pembimbing I dan Ibu
dr.Citra Rosydah M.Kes selaku pembimbung II yang telah dengan sabar
memberikan bimbingan dan arahan selama penyelesaian proposal ini.
5. Ibu DR. dr. Jumraini T, Sp.S dan Bapak Immanuel Maulang, S.Ft, Physio,
M.Kes selaku penguji I dan penguji II yang telah memberikan masukan dan
saran dalam perbaikan proposal ini.
6. Bapak Asmar,S.Pd.selaku dosen mata kuliah Metode Penelitian dan Biostatistika
atas kesabarannya dalam membimbing kami.
7. Rekan-rekan mahasiswa Jurusan S1 Profesi Fisioterapi Universitas Hasanuddin
angkatan 2009 yang telah memberikan bantuan ide, semangat, dan doa untuk
penulis.
8. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga amal ibadahnya
diterima dan dibalas dengan pahala yang berlipatganda.
Akhir kata, penulis hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan,
dengan segala kerendahan hati penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan yang terdapat dalam proposal ini,
maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga proposal ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.Amin.
Makassar, November 2012
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ viiI
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
A. Otak .............................................................................................. 6
B. Stroke ........................................................................................... 15
C. Stroke Non-Hemoragik ................................................................. 17
D. Tinjauan Kekuatan Otot Gluteus Maximus .................................... 28
E. Bridging exercise .......................................................................... 30
F. Hubungan Bridging Exercise dengan Kekuatan Otot ..................... 32
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
vii
A. Kerangka Teori ............................................................................. 34
B. Kerangka Konsep .......................................................................... 35
C. Hipotesis ...................................................................................... 35
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Rencana Penelitian ........................................................................ 36
B. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 37
C. Populasi dan Sampel ..................................................................... 37
D. Variabel Penelitian ........................................................................ 38
E. Alur Penelitian .............................................................................. 40
F. Prosedur Penelitian ....................................................................... 41
G. Instrumen Penelitian ..................................................................... 41
H. Rencana Pengelolahan dan Analisis Data ...................................... 42
I. Masalah Etika ............................................................................... 42
BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .............................................................................. 43
B. Analisis Variabel Penelitian ........................................................... 45
C. Hasil Pengujian Hipotesis ............................................................... 47
D. Pembahasan ................................................................................... 48
E. Kelemahan Penelitian ..................................................................... 51
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 52
B. Saran .............................................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 54
viii
DAFTAR TABEL
TABEL 4.1Skala Kekuatan Motorik ............................................................. 39
TABEL 5.1Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian ....................................... 43
TABEL 5.2Distribusi Frekuensi dan Persentasi Pretest Kekuatan Otot Gluteus
Maximus ....................................................................................................... 45
TABEL 5.3Distribusi Frekuensi dan Persentasi Postest Kekuatan Otot Gluteus
Maximus ....................................................................................................... 46
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Area-area cortex serebri menurut Brodman ................................ 6
Gambar 2.2 Circulus Willisi .......................................................................... 9
Gambar 2.3 Perjalanan traktus pyramidalis ................................................... 13
Gambar 2.4 Perjalanan traktus ekstrapiramidalis ........................................... 14
Gambar 2.5 Posisi bridging exercise ............................................................. 31
Gambar 4.1 Design pre-eksperimental one group pretest-posttest .................. 36
Gambar 4.2 Blanko Penilaian ........................................................................ 40
Gambar 4.3 Alur Penelitian ........................................................................... 41
x
DAFTAR LAMPIRAN
Hasil Olah Data ............................................................................................ 56
Lembar Informed Concent ............................................................................ 59
Daftar Riwayat Hidup Penulis ....................................................................... 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut kriteria WHO stroke secara klinis didefinisikan sebagai gangguan
fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis
baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat
menimbulkan kematian disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak
(Kartika, 2004).
Stroke Non-Hemoragik (NHS) adalah jenis stroke yang disebabkan oleh
trombosis akibat plak aterosklerosis dari arteri otak atau yang memberi
vaskularisasi pada otak atau suatu embolus dari pembuluh darah di luar otak
yang tersangkut di arteri otak. Jenis stroke ini merupakan stroke yang tersering
didapatkan, sekitar 80% dari semua stroke (Darmojo dan Martono, 2010).
Hampir 85% stroke disebabkan oleh sumbatan oleh bekuan darah,
penyempitan sebuah arteri atau beberapa arteri yang mengarah ke otak, atau
embolus atau arteri ekstrakranial yang menyebabkan sumbatan di satu atau
beberapa arteri intrakrani. Pada orang berusia lanjut lebih dari 65 tahun,
penyumbatan atau penyempitan dapat disebabkan oleh aterosklerosis. Penyebab
lain seperti gangguan darah, peradangan dan infeksi merupakan penyebab
sekitar 5-10% kasus stroke iskemik dan menjadi penyebab tersering pada orang
berusia muda (Irfan, 2010).
Penderita NHS akan mengalami defisit neurologis yang akan menyebabkan
gangguan pada penderita terutama gangguan kekuatan otot. Hal ini akan
menyebabkan pasien NHS akan kesulitan melakukan kegiatan sehari-harinya
terutama ambulasi.
2
Gardiner (1975) mengatakan kekuatan adalah kemampuan otot
menimbulkan tegangan. Menurut Pollack dan Willmore (1990) kekuatan adalah
kemampuan otot atau grup otot membangkitkan tenaga (Pujiatun, 2001).
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya tekanan gaya dari luar.
Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk
melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus
mempengaruhi posisi tubuh (Irfan, 2010).
Kemampuan otot untuk melakukan reaksi tegak dan stabil merupakan
bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik statis maupun
dinamis. Hal tersebut dapat dilakukan jika otot memiliki kekuatan (Irfan, 2010).
Otot gluteus maximus, yakni salah satu otot glutealis yang memungkinkan
manusia menjadi satu-satunya makhluk hidup yang bisa berdiri dan berjalan
tegak. Hal ini karena otot gluteus maximus merupakan otot yang menunjang
manusia untuk melakukan kegiatan ambulasi seperti berganti posisi dari tidur ke
duduk, duduk ke berdiri dan berjalan.
Otot gluteus maximus berorigo di posterior os ilium dan berinsersio di
tuberositas glutealis femoris (Kenyon, 2004). Melihat origo dan insersio dari
otot gluteus maximus yang berada dibagian atas, tidak tertutupi oleh otot lain,
memudahkan otot gluteus maximus untuk dinilai kekuatannya dengan palpasi
langsung pada otot ini.
Salah satu latihan untuk kekuatan otot adalah bridging exercise. Bridging
exercise biasa disebut pelvic bridging exercise adalah latihan, baik untuk latihan
penguatan-stabilisasi pada glutea, hip dan punggung bawah (Miller, 2012).
Bridging exercise adalah cara yang baik untuk mengisolasi dan memperkuat
(pantat) otot gluteus dan hamstring (belakang kaki bagian atas ). Jika melakukan
latihan ini dengan benar, bridging digunakan untuk stabilitas dan latihan
penguatan yang menargetkan otot perut serta otot-otot punggung bawah dan hip.
Akhirnya, bridging exercise dianggap sebagai latihan rehabilitasi dasar untuk
meningkatkan stabilitas/keseimbangan dan stabilisasi tulang belakang (Quinn,
2012).
3
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai bridging exercise khususnya
pengaruhnya terhadap kekuatan otot gluteus maximus. Oleh karena itu peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Bridging Exercise
Terhadap Kekuatan Otot Gluteus Maximus Pada Pasien Pasca Stroke Non-
Hemoragik di Rumah Sakit Umum Daya Makassar”.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh bridging exercise terhadap kekuatan otot gluteus
maximus pada pada pasien pasca NHS di Rumah Sakit Umum Daya Makassar?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bridging
exercise terhadap kekuatan otot gluteus maximus pada pasien pasca NHS
di Rumah Sakit Umum Daya Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kekuatan otot gluteus maximus pada pasien pasca
NHS di Rumah Sakit Umum Daya Makassar sebelum diberikan
bridging exercise.
b. Untuk mengetahui kekuatan otot gluteus maximus pada pasien pasca
NHS di Rumah Sakit Umum Daya Makassar setelah diberikan
bridging exercise.
4
c. Untuk mengetahui pengaruh bridging exercise terhadap kekuatan otot
gluteus maximus pada pasien pasca NHS di Rumah Sakit Umum Daya
Makassar.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:
1. Bagi Pendidikan
a. Sebagai salah satu sumber informasi bagi pembaca dalam rangka program
pencegahan dan penanganan masalah hemipelgia
b. Dapat menjadi bahan acuan atau minimal sebagai bahan pembanding bagi
mereka yang akan meneliti masalah yang sama.
2. Bagi Fisioterapis
Menjadi bahan pustaka yang untuk selanjutnya dapat digunakan dalam
melakukan intervensi pada pasien.
3. Bagi Peneliti
a. Menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalam
mengembangkan diri dan mengabdikan diri pada dunia kesehatan
khususnya di bidang fisioterapi di masa yang akan datang
b. Menjadi sebuah pengalaman berharga bagi peneliti dalam
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan praktis lapangan di
bidang kesehatan sesuai dengan kaidah ilmiah yang didapatkan dari materi
kuliah.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Otak
1. Anatomi Otak
Otak terdiri dari otak besar (cerebrum); batang otak (trunchus
enchepali) yang dibentuk oleh medulla oblongata, pons dan
mesencephalon dan otak kecil (cerebellum). Adapun beberapa daerah
yang penting penting pada korteks serebri antara lain adanya lobus
frontalis, lobus parietalis, lobus temporalis dan lobus accipitalis
(Snell,2007). Lihat Gambar 2.1
2. Vaskularisasi Otak
Otak merupakan organ terpenting dalam tubuh, yang membutuhkan
suplai darah yang memadai untuk nutrisi dan pembuangan sisa-sisa
metabolisme. Otak juga membutuhkan banyak oksigen. Menurut
penelitian kebutuhan vital jaringan otak akan oksigen dicerminkan dengan
melakukan percobaan dengan menggunakan kucing. Para peneliti
menemukan lesi permanen yang berat di dalam kortek kucing setelah
sirkulasi darah otaknya di hentikan selama 3 menit. Diperkirakan bahwa
metabolisme otak menggunakan kira-kira 18% oksigen dari total konsumsi
oksigen oleh tubuh (Hernawati dalam Chusid,2009).
6
Gambar 2.1 Area-area Cortex cerebri menurut Brodman (Hernawati dalam Chusid, 2009). Keterangan gambar 2.1
Area 1 : daerah sensoris postsentralis yang utama
Area 2 : daerah sensoris postsentralis yang utama
Area 3 : daerah sensoris postsentralis yang utama
Area 4 : daerah motorik yang utama
Area 5 : daerah asosiasi sensorik
Area 6 : bagian sirkuit traktus ekstrapiramidalis
Area 7 : daerah asosiasi sensorik
Area 8 : berhubungan dengan gerakan mata dan
pupil
Area 9 : daerah asosiasi frontalis
Area 10 : daerah asosiasi frontalis
Area 11 : daerah asosiasi frontalis
Area 12 : daerah asosiasi frontalis
Area 17 : korteks visual yang utama
Area 18 : asosiasi visual
Area 19 : asosiasi visual
Area 20 : daerah asosiasi (lobus temporalis)
Area 21 : daerah asosiasi (lobus temporalis)
Area 22 : daerah asosiasi (lobus temporalis)
Area 38 : daerah asosiasi (lobus temporalis)
Area 40 : daerah asosiasi (lobus temporalis)
Area 41 : daerah auditorius primer
Area 42 : daerah auditorius sekunder
7
Pengaliran darah ke otak dilakukan oleh dua pembuluh arteri utama
yaitu oleh sepasang arteri karotis interna dan sepasang arteria vertebralis.
Keempat arteria ini terletak didalam ruang subarakhnoid dan cabang-
cabangnya beranastomosis pada permukaan inferior otak untuk
membentuk circulus willisi. Arteri carotis interna, arteri basilaris, arteri
cerebri anterior, arteri communicans anterior, arteri cerebri posterior dan
arteri comminicans posterior dan arteria basilaris ikut membentuk sirkulus
ini (Snell, 2007).
Pokok anastomose pembuluh darah arteri yang penting didalam
jaringan otak adalah circulus willisi. Darah mencapai circulus willisi
interna dan arteri vertebralis. Sebagian anastomose terjadi diantara
cabang-cabang arteriole di circulus willisi pada substantia alba subscortex.
Arteria carotis interna berakhir pada arteri cerebri anterior dan arteri
cerebri media. Di dekat akhir arteri carotis interna dari pembuluh arteri
comunicans posterior yang bersatu kearah caudal dengan arteri cerebri
posterior. Arteri cerebri anterior saling berhubungan melalui arteri
comunicans anterior. Arteri basilaris dibentuk dari persambungan antara
arteri-arteri vertebralis. Pemberian darah ke certex terutama melalui
cabang-cabang kortikal dari arteri cerebri anterior, arteri cerebri media
dan arteri cerebri posterior, yang mencapai cortex di dalam piamater
(Hernawati dalam Chusid,2009). Lihat Gmbar 2.2
8
Gambar 2.2 Circulus Willisi (Hernawati dalam Chusid, 1993)
3. Traktus Piramidalis dan Ekstrapiramidalis
a. Traktus Piramidalis
Traktus piramidalis disebut juga sebagai traktus kortikospinalis,
serabut traktus piramidalis muncul sebagai sel-sel betz yang terletak
Keterangan Gambar 2.2:
1. Anterior communicating artery
2. Middle cerebral artery
3. Lenticulostriate artery
4. Posterior communicating artery
5. Basilar artery
6. Pontine artery
7. Internal auditory artery
8. Posterior inferior cerebellar artery
9. Verteral artery
10. Anterior spinal artery
11. Anterior inferior cerebellar artery
12. Superior cerebellar artery
13. posterior cerebellar artery
14. Anterior coroidal artery
9
dilapisan kelima kortek serebri (Snell, 2007). Sel – sel ini berukuran
60 mikro nm dan serabut sarafnya menghantar impuls dengan
kecepatan 70 m/det. Kebanyakan serabut – serabut ini mempunyai
diameter yang kecil dan hampir setengahnya tidak bermielin. Traktus
ini tidak saja mempengaruhi neuron skelemotor dan fusiform tetapi
juga interneuron yang mengontrol input sensoris medulla spinalis
(Siregar dan Yusuf, 1995). Sekitar sepertiga serabut ini berasal dari
kortek motorik primer (area 4), sepertiga dari kortek motorik sekunder
(area 6), dan sepertiga dari lobus parietalis (area 3, area 1, dan area 2)
(Snell, 2007).
Impuls motorik di transmisi secara langsung dari korteks motoris
ke medulla spinalis melalui traktus kortikospinalis atau traktus
piramidalis. Oleh karena traktus ini keluar dari sel-sel piramid yang
terdapat di korteks, dan secara tidak langsung melalui beberapa jalur
tambahan yang melibatkan ganglia basalis, serebelum, dan berbagai
nuklei di batang otak melalui traktus kortikobulber. Pada umumnya,
jalur yang langsung melalui traktus kortikospinalis berhubungan
dengan pergerakan terperinci terutama pada daerah distal pergelangan
tangan, yaitu tangan dan jari-jari (Siregar dan Yusuf, 1995).
Serabut piramidalis ini setelah meninggalkan korteks melalui
kapsul interna dan menuju ke batang otak membentuk piramid dari
medulla oblongata. Serabut piramidalis ini akan menyilang ke sisi
yang berlawanan pada traktus kortikospinalis lateralis, dan berakhir
10
pada medulla spinalis. Beberapa serabut tidak menyilang ke sisi yang
berlawanan, tetapi berjalan ipsilateral pada traktus kortikospinalis
ventralis. Serabut ini kemungkinan berhubungan dengan area motoris
suplementaris untuk pergerakan posisi tubuh yang bilateral (Siregar
dan Yusuf, 1995).
Lintasan piramidal ini akan memberikan pengaruh berupa
eksitasi terhadap serabut ekstrafusal yang berfungsi dalam gerak
volunter. Sehingga bila terjadi gangguan pada lintasan piramidal ini
maka akan terjadi gangguan gerak volunter pada otot rangka bagian
kontralateral (Hernawati dalam Chusid, 2009). Lihat Gambar 2.3
b. Traktus Ekstrapiramidalis
Sebagian jalur dari batang otak yang menuju ke medulla spinalis
tidak melalui serabut piramidalis dan berhubungan dengan pengaturan
posisi tubuh, disebut sistem atau traktus ekstrapiramidalis. Traktus
ekstrapiramidalis berasal dari subkorteks dan korteks. Terdapat
banyak jalur polisinaptik dari traktus ekstrapiramidalis yang
berhubungan dengan korteks serebri, ganglia basalis, thalamus,
subthalamus, mesensephalon (otak tengah), pons, medulla, dan
serebellum. Traktus ekstrapiramidalis mengontrol refleks spinalis
secara bilateral melalui traktus – traktus vestibulospinalis,
rubrospinalis, dan tektospinalis (Siregar dan Yusuf, 1995).
Sistem ekstrapiramidalis tersusun atas corpus striatum, globus
pallidus, thalamus, substantia nigra, formatio lentikularis, cerebellum
11
dan cortex motorik. Traktus ekstrapiramidalis merupakan suatu
mekanisme yang tersusun dari jalur – jalur dari cortex motorik menuju
Anterior Horn Cell (AHC). Fungsi utama dari sistem
ekstrapiramidalis berhubungan dengan gerakan yang berkaitan,
pengaturan sikap tubuh, dan integrasi otonom. Lesi pada setiap tingkat
dalam sistem ekstrapiramidalis dapat mengaburkan atau
menghilangkan gerakan dibawah sadar dan menggantikannya dengan
gerakan diluar sadar ( involuntary movement ) (Hernawati dalam
Chusid, 2009).
Susunan ekstrapiramidalis terdiri dari corpus stratum, globus
palidus, inti-inti talamik, nucleus subthalamicus, substansia grisea,
formassio reticularis batang otak, serebellum dengan korteks motorik
area 4, 6, dan 8. Komponen tersebut dihubungkan antara satu dengan
yang lain dengan masing-masing akson dari komponen tersebut
sehingga terdapat lintasan yang melingkar yang disebut sirkuit
(Sidharta, 1999).
Lesi pada setiap tingkat dalam sistem ekstrapiramidalis dapat
mengaburkan atau mehilangkan gerakan dibawah sadar (voluntary)
dengan gerakan diluar sadar (involuntary movement) dan timbulnya
spastisitas dianggap menunjukkan gangguan pada lintasan
ekstrapiramidal (Hernawati dalam Chusid, 2009). Lihat Gambar 2.4
12
Gambar 2.3 Perjalanan traktus pyramidalis (Hernawati dalam Duus, 1996)
Keterangan gambar 2.3
1. Talamus
2. Traktus kortikopontis
10. Pyramida
11. Traktus kortikospinalis (pyramidalis)
13
3. Pedunkulus cerebral
4. Pons
5. Medulla oblongata
6. Traktus kortikospinalis lateral (menyilang)
7. Lempeng akhir motorik
8. Traktus kortikospinalis anterior (langsung)
9. Dekusasio pyramidalis
12. Traktus kortikonuklearis
13. Traktus kortikomesensefalitis
14. Kaput nukleus kaudatus
15. Kapsula interna
16. Nukleus lentikularis
17. Kauda nukleus kaudatus
Gambar 2.4 Perjalanan traktus extrapiramidalis (Hernawati dalam Duus, 2009) Keterangan gambar 2.4
1. Traktus frontopontin
2. Traktus kortikospinalis dengan serat
ekstrapyramidalis
3. Thalamus
12. Traktus tektospinalis
13. Traktus kortikospinalis anterior
14. Traktus kortikospinalis lateral
15. Traktus vestibulospinalis
14
4. Kaput nukleus kaudatus
5. Nukleus tegmental
6. Nuklei ruber
7. Substansia nigra
8. Traktus tegmentus sentralis
9. Oliva inferior
10. Pyramid
11. Traktus retikulospinalis
16. Traktus rubrospinalis
17. Nukleus lateral nervus vestibularis
18. Formasio retikularis
19. Dari cerebellum (nukleus fastigialis)
20. Nuklei pontis
21. Nukleus lentikularis
22. Traktus oksipitomesensefalik
23. Traktus parietotemporopontin
B. Stroke
1. Definisi
Stroke merupakan masalah medik yang sering dijumpai, adalah suatu
sindrom yang disebabkan putusnya aliran darah kesuatu area otak
disebabkan tersumbat atau pecahnya pembuluh darah arteri otak.
Terputusnya aliran darah tersebut menyebabkan area otak yang dialiri
arteri tersebut mengalami kekurangan O2 serta makanan yang
mengakibatkan sel-sel otak daerah tersebut mengalami kerusakan atau
kematian akibatnya sel-sel otak tidak dapt berfungsi sehingga mendadak
terjadi defisit neurologik berupa kelumpuhan separuh badan, gangguan
bicara, gangguan menelan, demensia, kornea atau meninggal (Kartika,
2004).
15
Menurut kriteria WHO stroke secara klinis didefinisikan sebagai
gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan
gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam
atau dapat menimbulkan kematian disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak (Kartika, 2004).
2. Epidemiologi
Stroke adalah penyebab kematian tersering ketiga pada orang dewasa
di Amerika Serikat. Angka kematian setiap tahun akibat stroke baru atau
rekuren adalah lebih dari 200.000. Insiden stroke secara nasional
diperkirakan adalah 750.000 per tahun, dengan 200.000 merupakan stroke
rekuren. Angka di antara orang Amerika keturunan Afrika adalah 60%
lebih tinggi daripada orang Kaukasian. Insiden lebih tinggi ini mungkin
berkaitan dengan peningkatan insiden (yang tidak diketahui sebabnya)
hipertensi pada orang Amerika keturunan Afrika. Walaupun orang mungkin
mengalami stroke pada usia berapapun, dua pertiga stroke terjadi pada
orang berusia lebih dari 65 tahun. Berdasarkan data dari seluruh dunia,
statistiknya bahkabn lebih mencolok: penyakit jantung koroner dan stroke
adalah penyebab kematian tersering pertama dan kedua dan menempati
urutan kelima dan keenanm sebagai penyebab kecacatan. Evaluasi data
base mortalitas World Health Organization (WHO) mengisyaratkan bahwa
faktor utama yang berkaitan dengan ‘epidemi’ penyakit kardiovaskular
adalah perubahan global dalam gizi dan merokok, ditambah urbanisasi dan
menuanya populasi (Price dan Wilson, 2006).
16
Di Indonesia, walaupun belum ada penelitian epidemiologis yang
sempurna, Survei Kesehatan Rumah Tangga melaporkan bahwa proporsi
stroke di rumah sakit- rumah sakit di 27 propinsi di Indonesia antara tahun
1984 sampai dengan tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita
pada tahun 1984, naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan
0,96 per 100 pendertia pada tahun 1986 (Nurwahyuni, 1999).
Dilaporkan pula bahwa prevalensi stroke adalah 35,6 per 100.000
penduduk pada tahun 1986. Prevalensi stroke ini pada kelompok umur 25-
34 tahun adalah 6,9 per 100.000 penduduk, pada kelompok umur 35-44
tahun adalah 20,4 per 100.000 penduduk dan pada kelompok umur 55
tahun dan lebih adalah 276,3 per 100.000 penduduk (Nurwahyuni, 1999).
3. Klasifikasi
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi
vaskular serebral, dapat dibagi dalam (Mardjono dan Sidharta, 2010):
a. “Transient Ischemic Attack” (T.I.A).
b. “Stroke-in-evolution” (S.I.E).
c. “Completed Stroke” yang bisa dibagi dalam:
1) “Completed stroke” yang hemoragik
2) “Completed stroke” yang non-hemoragik
Pembagian klinis lain sebagai variasi klasifikasi di atas ialah
(Mardjono dan Sidharta, 2010):
a. “ Stroke” non-hemoragik, yang mencakup:
1) T.I.A
17
2) S.I.A
3) Thrombotic Stroke
4) Embolic Stroke
5) Stroke akibat kompresi terhadap arteri oleh proses di luar arteri,
seperti tumor, abses, granuloma
b. Stroke Hemoragik.
C. Stroke Non-Hemoragik
1. Definisi
Stroke Non Hemoragik (NHS) adalah jenis stroke yang disebabkan
oleh trombosis akibat plak aterosklerosis dari arteri otak atau yang
memberi vaskularisasi pada otak atau suatu embolus dari pembuluh darah
di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Jenis stroke ini merupakan
stroke yang tersering didapatkan, sekitar 80% dari semua stroke (Darmojo
dan Martono, 2010).
2. Epidemiologi
Hampir 85% stroke disebabkan oleh sumbatan oleh bekuan darah,
penyempitan sebuah arteri atau beberapa arteri yang mengarah ke otak,
atau embolus atau arteri ekstrakranial yang menyebabkan sumbatan di satu
atau beberapa arteri intrakrani. Pada orang berusia lanjut lebih dari 65
tahun, penyumbatan atau penyempitan dapat disebabkan oleh
aterosklerosis. Penyebab lain seperti gangguan darah, peradangan dan
infeksi merpakan penyebab sekitar 5-10% kasus stroke iskemik dan
menjadi penyebab tersering pada orang berusia muda (Irfan, 2010).
18
3. Etiologi
a. Penyebab Umum NHS yaitu :
1) Trombus
Pada kasus NHS karena trombus terjadi karena didapati oklusi
di tempat arteri cerebral yang bertrombus (Sidharta, 2009).
2) Emboli
Pada kasus NHS karena emboli penyumbatan disebabkan oleh
suatu embolus yang dapat bersumber apada arteri cerebral,
karotis interna, vertebro-basilar, arkus aorta asendens ataupun
katup serta endokardium jantung (Sidharta, 2009).
b. Klasifikasi NHS (Mardjono dan Sidharta, 2010)
1) T.I.A
2) S.I.A
3) Thrombotic Stroke
4) Embolic Stroke
5) Stroke akibat kompresi terhadap arteri oleh proses di luar arteri,
seperti tumor, abses, granuloma.
c. Faktor-Faktor Penyebab NHS
1) Faktor Ekstrinsik
a) Tekanan Darah Sistemik (TDS)
Pada orang sehat fluktuasi TDS tidak menimbulkan
perubahan pada CBF (jumlah darahyang mengalir ke
dalam otak) karena sirkulasi serebral mempunyai
19
mekanisme dalam mengurus diri sendiri yang disebut
dengan autoregulasi cerebral. Pada CVD (cerebro vaskular
disease) autoregulasi ini terganggu sehingga penurunan
tekanan darah kurang dari 50 mmhg sudah mengecilkan
CBF sedangkan pada orang normal penurunan tekanan
darah sampai 50 mm/hg di bawah tekanan darah normal
belum menurunkan CBF. Gangguan autoregulasi dijumpai
pada orang dengan penyakit hipertensi kronik,
aterosklerosis, stenosis arteri-arteri serebral dan vertebro
basilaris (Mardjono dan Sidharta, 2010).
b) Kemampuan jantung untuk memompa darah ke sirkulasi
sistemik
Pada penyakit jantung kongestif, output menurun. Tetapi
CBF bisa tetap konstan berkat autoregulasi serebral.
Menunrunnya CBF pada penderita penyakit jantung
kongestif disebabkan secara primer oleh hilangnya
autoregulasi serebral seperti halnya pada orang yang sudah
lanjut umur. Tetapi walaupun autoregulasi serebral masih
berfungsi baik, jika output kurang sekali sehingga ambang
kritis tekanan darah dilewati maka manifestasi CVD akan
bangkit pula (Mardjono dan Sidharta, 2010).
c) Kualitas darah karotikovertebral
d) Kualitas darah yang menentukan viskositas
20
Jumlah darah yang disampaikan ke otak per menit
tergantung juga pada viskositasnya. Pada anemia CBF
bertambah oleh karena viskositas darah menurun. Pada
polisitemia, viskositas darah melonjak sehingga dapat
menurunkan CBF sampai 20 mL per 100 gr otak per
menit. Juga karena leukimia dan dehidrasi berat dapat
menurunkan CBF sehingga membangkitkan stroke
(Mardjono dan Sidharta, 2010).
2) Faktor intrinsik
a) Autoregulasi arteri serebral
Autoregulasi bersifat regional. Jika suatu daerah otak
iskemik maka tekanan intralumenal di wilayah itu lebih
rendah daripada di daerah sehat yang berdampingan,
sehingga darah akan mengalir dari wilayah tekanan
intralumenal tinggi ke wilayah intralumenal rendah.
Dengan demikian iskemia regional itu dapat
terkompensasi. Penurunan tekanan darah sistemik sampi
50 mm Hg masih dapat berlalu tanpa menimbulkan
gangguan sirkulasi serebral. Tetapi jika tekanan darah
sistemik turun sampai di bawah 50 mm Hg, autoregulasi
serebral itu tidak mampu lagi memelihara CBF yang
21
normal. Sebanding dengan autoregulasi terhadap tekanan
darah sistemik yang menurun, adalah autoregulasi
terhadap tekanan darah sistemik yang melonjak. Batas atas
yang masih dapat ditanggulangi autoregulasi ialah 200
mm Hg sistolik dan 110-120 mm Hg diastolik (Mardjono
dan Sidharta, 2010).
b) Faktor Biokimiawi
(1). Karbon dioksida (CO2)
Dalam lingkungan dengan CO2 tinggi arteri serebral
berdilatasi dan CBF bertambah, karena resistensi
vaskular menurun. Jika kadar CO2 menurun, misalnya
selama hiperventilasi, arteri serebral menyempit dan
CBF cepat menurun. Reaksi konstriksi dan dilatasi itu
terjadi dalam beberapa detik saja. Kemampuan untuk
berekasi terhadap naik turunnya tekanan CO2 arterial
itu semakin berkurang pada bertambahnya umur
(Mardjono dan Sidharta, 2010).
(2). Oksigen (O2)
Tekanan O2 menurun pada keadaan hipoksia atau
anoksia karena sebab apapun. Keadaan tersebut
menimbulkan vasodilatasi dan bertambahnya CBF.
Sebaliknya, tekanan O2 yang meningkat
22
mengakibatkan vasokontriksi dan turunnya CBF
(Mardjono dan Sidharta, 2010).
(3). Asam Laktat
Apabila suatu daerah otak menjadi iskemik atau
anoksik, dalam keadaan itu metabolisme anerobik
cepat mengambil alih tugas yang sebelumnya
dibebankan kepada metabolisme oksidatif.
Metabolisme anerobik ini banyak menghasilkan asam
laktat, yang merupakan zat yang melebarkan lumen
pembuluh darah (Mardjono dan Sidharta, 2010).
(4). Konsentrasi ion hidrogen
Apabila pH darah berubah pada binatang atau
manusia, akibat suntikan asam laktat misalnya, maka
CBF akan bertambah. Reaksi ini mungkin tidak
menyangkut efek peningkatan CO2 Asidemia
tampaknya berlalu secara bebas terhadap peningkatan
CBF. Sebaliknya alkalemia cenderung menurunkan
CBF (Mardjono dan Sidharta, 2010).
4. Tanda dan Gejala
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi infark
akibat trombosis atau embolus (Price dan Wilson, 2006):
23
a. Arteria karotis interna (sirkulasi anterior: gejala biasanya unilateral).
Lokasi tersering lesi adalah bifurkasio arteria karotis komunis ke
dalam arteria karotis interna dan eksterna. Cabang-cabang arteria
karotis interna adalah arteria oftalmika, arteria komunikantes
posterior, arteria koroidalis anterior, arteria serebri anterior dan arteria
serebri media. Dapat timbul berbagai sindrom. Pola bergantung pada
jumlah sirkulasi kolateral.
1) Dapat terjadi kebutaan satu mata (episodik dan disebut
“amaurosis fugaks”) di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteria retinalis.
2) Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena
insufisiensi arteria serebri media.
3) Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan
media atau arteria serebri media. Dan mungkin mengenai wajah.
Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif
karena keterlibatan daerah bicara-motorik Broca.
b. Arteria serebri media (tersering)
1). Hemiparesis atau monoparesis kontralateral (biasanya mengenai
lengan)
2). Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral.
3). Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan
semua fungsi yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi
4). Disfasia
24
c. Arteria serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
1) Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai: lengan
proksimal juga mungkin kena; gerakan volunter tungkai yang
bersangkutan terganggu.
2) Defisit sensorik kontralateral
3) Demensia, gerakan menggenggam, refleks patologik (disfungsi
lobus frontalis)
d. Sistem Vestibular (Sirkulasi posterior,: manifestasi biasanya bilateral)
1) Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas
2) Meningkatnya refleks tendon
3) Ataksia
4) Tanda Babinski bilateral
5) Gejala-gejala serebelum seperti tremor intention, vertigo
6) Disfagia
7) Disartria
8) Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingt, disorientasi
9) Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis satu
gerak mata, hemianopsia homonim)
10) Tinitus, gangguan pendengaran
11) Rasa baal di wajah, mulut atau lidah
e. Arteria serebri posterior (di lobus tengah atau talamus)
1) Koma
2) Hemiparesis kontralateral
25
3) Afasia visual atau buta kata
4) Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis
Secara umum, gejala tergantung dari besar dan letak lesi di otak, yang
menyebabkan gejala dan tanda dari organ yang dipersyarafi oleh bagian
tersebut. Jenis patologi (hemoragik atau non-hemoragik) secara umum tidak
menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala. Dengan pemeriksaan neurologi
sederhana dapat diketahui kira-kira letak lesi, seperti berikut (Darmojo dan
Martoni, 2000) :
a. Lesi di korteks
Gejala terlokalisasi, mengenai daerah lawan dari letak lesi, hilangnya
sensasi kortikal, kurang perhatian terhadap rangsang sensorik dan
bicara serta penglihatan mungkin terkena.
b. Lesi di kapsul
Lebih luas, mengenai daerah lawan letak lesi, sensasi primer
menghilang, dan bicara dan penglihatan mungkin terganggu.
c. Lesi di batang otak
Luas, bertentangan letak lesi, mengenai saraf kepala sesisi dengan
letak lesi
d. Lesi di medulla spinalis
Neuron motorik bawah di daerah lesi, neuron motorik atas di bawah
lesi, berlawanan letak lesi serta gangguan sensorik.
5. Patofisiolologi
26
Otak mendapat darah dari tiga arteri besar di leher yaitu 2 arteri
karotis interna kanan dan kiri disebelah anterior dan arteri basilaris di
sebelah posterior. Dari jumlah darah yang diperlukan otak, 80% dibawa
melalui arteri karotis interna sedangkan 20% sisanya dibawa oleh arteri
basilaris. Ketiganya bersam-sama membentuk sirkulus Willisi yang
merupakan sirkulasi kolateral (Kartika, 2004).
Bila terjadi sumbatan pembuluh darah maka daerah sentral yang
diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut akan mengalami iskemia berat
sampai infark. Sedangkan di daerah maginal dengan adanya sirkulasi
kolateral maka sel-selnya belum mati yang dikatakan sebagai daerah
penubra iskemik. Daerah tersebut bisa membaik dalam beberapa jam
secara spontan maupun dengan terapeutik (Kartika, 2004).
Dengan bertambahnya usia, diabetes melitus, hipertensi dan merokok
merupakan faktor terjadinya aterosklerosis. Pada saat aliran darah lambat
(saat tidur) maka dapat terjadi penyumbatan (trombosis). Pada pembuluh
darah kecil dan arteriol terjadi penumpukan lipohialinosis yang dapat
mengakibatkan mikroinfark (Kartika, 2004).
Emboli berasal dari trombus yang rapuh atau kristal kolesterol dalam
arteri karotis dan arteri vertebralis yang sklerotik, bila terlepas dan
mengikuti aliran darah akan menimbulkan emboli arteri intrakranium yang
akhirnya mengakibatkan iskemia otak. Adanya kelainan katup jantung
baik kongenital maupun infeksi, atrial fibrilasi merupakan faktor resiko
terjadinya embolisasi (Kartika, 2004).
27
6. Prognosis
Apabila pasien dapat mengatasi serangan stroke recovery, prognosis
untuk kehidupan baik, dengan rehabilitas yang aktif, banyak penderita
dapat berjalan lagi dan mengurus dirinya. Prognosis buruk, bagi penderita
yang disertai dengan aphasia sensorik (Hernawati dalam Chusid, 2009).
Prognosis thrombosis serebri ditentukan oleh lokasi dan luasnya
infrak, juga keadaan umum pasien. Makin lambat penyembuhannya maka
akan semakin buruk prognosisnya, pada emboli serebri prognosis juga
ditentukan oleh adanya emboli dalam organ- oragan lain, disamping itu
penanganan yang tepat dan cepat serta kerjasama tim medis denagn
penderita mempengaruhi prognosis stroke. Oleh karena itu, stroke yang
ringan dengan penanganan yang tepat sedini mungkin dengan kerjasama
yang baik anatara tim medis dan penedrita akan menjadikan prognosis
yang baik, sedangkan pada kondisi sebaliknya prognosis akan menajdi
buruk karena dapat menimbulkan kecacatan yang permanen bahkan juga
kematian (Hernawati dalam Chusid,2009)
D. Tinjauan Kekuatan Otot Gluteus Maximus
1. Batasan-batasan Kekuatan Otot
Kekuatan otot umumnya diperlukan dalam melakukan aktivitas.
Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya peningkatan
tegangan otot sebagai respon motorik (Irfan, 2010).
28
Gardiner (1975) mengatakan kekuatan adalah kemampuan otot
menimbulkan tegangan (Pujiatun dalam Gardiner, 2001) . Menurut Pollack
dan Willmore (1990) kekuatan adalah kemampuan otot atau grup otot
membangkitkan tenaga (Pujiatun dalam Pollack, 2001). Jones dan Baker
mengutip definisi Kisner dan Cosby yang mengatakan kekuatan adalah
kemampuan dari sebuah otot atau grup otot untuk menimbulkan tegangan
dan menghasilkan tenaga pada satu kali usaha maksimal, baik secara
dinamik atau statik sesuai dengan keperluannya (Pujiatun dalam Jones,
2001). Moldover JR dan Borg-Stein menggambarkan kekuatan adalah
tenaga maksimal yang dapat ditimbulkan oleh otot (Pujiatun dalam Molder,
2001). Foss dan Keteyian (1997) dalam bukunya mengatakan kekuatan
sebagai tenaga atau tegangan sebuah otot atau grup otot menahan tekanan
pada satu usaha maksimum (Pujiatun dalam Foss, 2001).
2. Otot Gluteus Maximus
Otot gluteus maximus berorigo di posterior os ilium dan berinsersio di
tuberositas glutealis femoris (Kenyon, 2004). Otot gluteus maximus
merupakan salah satu otot postural yang berfungsi untuk menegakkan
tubuh. Otot gluteus maximus, yakni salah satu otot glutealis yang
memungkinkan manusia menjadi satu-satunya makhluk hidup yang bisa
berdiri dan berjalan tegak. Hal ini karena otot gluteus maximus merupakan
otot yang menunjang manusia untuk melakukan kegiatan ambulasi seperti
berganti posisi dari tidur ke duduk, duduk ke berdiri dan berjalan.
3. Cara Mengukur Kekuatan otot
29
Penilaian tenaga otot dalam derajat 0 sampai 5 (normal), secara praktis
mempunyai kepentingan dalam penilaian kemajuan/kemunduran orang
sakit dalam perawatan (Sidharta, 2009).
Penilaian kekuatan otot dilakukan adalah sebagai berikut
(Lumbantobing, 2008):
a. Pasien dalam posisi half-lying
b. Pasien diminta mengekstensikan hipnya
c. Nilai 0 jika tidak didapatkan sedikutpun kontraksi otot; lumpuh total
d. Nilai 1 jika terdapat sedikit kontraksi otot namun tidak ada gerakan
e. Nilai 2 jika gerakan ROM penuh tanpa melawan gravitasi
f. Nilai 3 jika gerakan ROM penuh dengan melawan gravitasi
g. Nilai 4 jika gerakan ROM penuh dengan melawan gravitasi dan dapat
pula mengatasi sedikit tahanan yang diberikan
h. Nilai 5 berarti tidak ada kelumpuhan (normal).
E. Bridging Exercise
1. Definisi
Bridging exercise biasa disebut pelvic bridging exercise adalah latihan,
baik untuk latihan penguatan-stabilisasi pada glutea, hip dan punggung
bawah (Miller, 2012). Bridging exercise adalah cara yang baik untuk
mengisolasi dan memperkuat (pantat) otot gluteus dan hamstring (belakang
kaki bagian atas ). Jika melakukan latihan ini dengan benar, bridging
digunakan untuk stabilitas dan latihan penguatan yang menargetkan otot
perut serta otot-otot punggung bawah dan hip. Akhirnya, bridging exercise
30
dianggap sebagai latihan rehabilitasi dasar untuk meningkatkan
stabilitas/keseimbangan dan stabilisasi tulang belakang (Quinn, 2012).
Bridging exercise merupakan latihan yang mudah untuk dilakukan,
sangat bermanfaat dalam mempertahankan kekuatan di punggung bawah
dan berguna dalam program pencegahan sakit punggung bawah. Bridging
exercise juga merupakan latihan yang bagus yang memperkuat otot-otot
paraspinal, otot-otot kuadrisep di bagian atas paha, otot-otot hamstring di
bagian belakang paha, otot perut dan otot otot glutealis (pantat) (Cooper,
2009). Lihat Gambar 2.5
Gambar 2.5 Bridging Exercise (Irfan, 2010)
2. Tujuan
Bridging exercise memiliki tujuan sebagai berikut :
a. Mengisolasi dan memperkuat otot gluteus dan hamstring (Quinn, 2012).
b. Untuk stabilitas dan latihan penguatan yang menargetkan otot perut
serta otot-otot punggung bawah dan hip (Quinn, 2012).
31
c. Sebagai latihan rehabilitasi dasar untuk meningkatkan stabilisasi tulang
belakang (Quinn, 2012).
3. Pelaksanaan
Cara melakukan bridging sebagai berikut (Cooper, 2009):
a. Berbaring di permukaan datar seperti lantai,karpet atau matras.
b. Tekuk lutut Anda dan menempatkan kaki Anda rata di lantai dengan
jarak antara kedua kaki enam sampai delapan inci.
c. Telapak tangan Anda harus rata di lantai di samping tubuh Anda.
d. Rilekskan tubuh bagian atas dan punggung saat Anda kontraksikan
perut dan kontraksikan otot dasar panggul Anda.
e. Keluarkan napas saat Anda menekan tangan dan lengan bawah ke lantai
dan perlahan-lahan mendorong panggul ke arah atas. Tahan dalam
posisi tersebut.
f. Tarik napas saat Anda perlahan-lahan menurunkan tubuh Anda kembali
ke posisi awal. Jaga kontraksi perut untuk menghindari kendur di
punggung bawah atau glutes. Lakukan dua hingga tiga set dengan 12-15
repetisi, lakukan 30-60 detik istirahat antara set
5. Syarat dilakukan bridging
Untuk menjaga bahu dan lutut berada dalam satu garis sejajar dan
menahan selama 20 sampai 30 detik. Bagi yang baru memulai melakukan
latihan ini, sebaiknya melakukan beberapa detik saja. Lebih baik melakukan
dengan posisi yang benar dengan jangka waktu yang lebih pendek daripada
jangka waktunya lama tetapi posisinya salah (Quinn, 2012).
32
F. Pengaruh Bridging Exercise Terhadap Kekuatan Otot Gluteus Maximus
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai bridging exercise,
khususnya meneliti manfaatnya terhadap kekuatan otot gluteus maximus.
Tetapi beberapa penelitian mengenai manfaat latihan dalam meningkatkan
kekuatan otot dapat menunjang penelitian ini.
Teori yang dikemukakan oleh American Colege of Sport Medicine, latihan
yang dapat meningkatkan kekuatan otot yang pada akhirnya akan
meningkatkan kerja otot. Bridging Exercise dapat menimbulkan adanya
kontraksi otot. Selanjutnya teori Guyton (1997) menjelaskan ketika otot sedang
berkontraksi, sintesa protein kontraktil otot berlangsung jauh lebih cepat
daripada kecepatan penghancurnya sehingga menghasilkan aktin dan miosin
yang bertambah banyak secara progersif di dalam miofibril. Kemudian
miofibril itu sendiri akan memecah di dalam setiap serat otot untuk membentuk
miofibril baru. Peningkatan jumlah miofibril tambahan yang menyebabkan
serat otot menjadi hipertropi. Dalam serat otot yang mengalami hipertropi
terjadi peningkatan komponen sistem metabolisme fostagen, termasuk ATP
dan fosfokreatin. Hal ini mengakibatkan peningkatan kemampuan sistem
metabolik aerob dan anaerob yang dapat meningkatkan energi dan kekuatan
otot. Peningkatan kekuatan otot inilah yang membuat pasien pasca NHS
semakin kuat dalam menopang tubuh dan melakukan gerakan (Kusnanto dkk,
2007).
Fisioterapi berpengaruh terhadap kekuatan otot ekstremitas pada penderita
stroke non hemoragik. Hasil ini sesuai dengan Rujito (2007) yang melaporkan
33
bahwa fisioterapi dapat merangsang tonus otot ke arah normal. Jowir (2009)
melaporkan bahwa memperkenalkan mobilisasi dini kepada pasien dengan
cara pengoptimalan sisi yang sehat untuk mengkompensasi sisi yang sakit,
sehingga sirkulasi darah perifer menjadi lancar yang dapat menyebabkan
kemampuan ekstremitas dapat dioptimalkan kembali (Wildani dkk, 2009).
34
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Teori
Kelemahan
otot
Tonus Refleks
Patologis
Refleks
Fisiolgis
Extremitas
bawah
Extremitas
Atas
Kekuatan
otot Gluteus
maximus
Perubahan
kekuatan
otot
Gangguan
Kesadaran
Gangguan
Keseimbangan
Gangguan FKL
Gangguan
Motorik
Gangguan
Sensorik
Gangguan
Saraf Otonom
NHS
35
B. Kerangka Konsep
Identifikasi Variabel
a. Variabel bebas : NHS
b. Variabel terikat : Perubahan Kekuatan otot gluteus Maximus
Keterangan : : Variabel independent : Variabel Dependent : Variabel antara : Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
C. Hipotesis
Ada pengaruh bridging exercise terhadap kekuatan otot gluteus maximus
pada pasien pasca NHS di Rumah Sakit Umum Daya Makassar.
NHS
Bridging Exercise
Perubahan
Kekuatan
Otot Gluteus
Mediaka Mentosa Bobath
PNF
36
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rencana Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimental dengan desain One
Group Pretest – Post Test untuk mengetahui perbedaan tingkat kekuatan otot
gluteus maximus sebelum dan sesudah pemberian bridging exercise pada pasien
pasca NHS di Rumah Sakit Umum Daya Makassar
Dikatakan penelitian pre-experimental dengan Desaign One Group pretest –
posttest merupakan suatu desain dari penelitian yang variabel terikat
(dependen) tidak hanya dipengaruhi oleh variabel bebas (independen) karena
tidak adanya variabel kontrol dan sampel tidak dipilih secara acak (random) dan
menggunakan satu kelompok uji dimana pasien atau responden akan dinilai
kemampuannya sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan.
Gambar 4.1. desaign pre-
eksperimental one group pretest-posttest (Asmar, 2011).
Keterangan T1 : Nilai tes responden sebelum perlakuan X : perlakuan yang diberikan kepada responden T2 : Nilai tes responden setelah perlakuan
37
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daya Makassar, Jalan Perintis
Kemerdekaan.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan
bulan Oktober 2012
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien pasca NHS yang
dirawat inap maupun dirawat jalan dan mendapat pelayanan Fisioterapi di
Rumah Sakit Umum Daya Makassar.
2. Sampel
Sampel penelitian adalah pasien Pasca NHS yang mendapat perawatan
fisioterapi di Rumah Sakit Umum Daya Makassar berjumlah pada saat
penelitian berlangsung berjumlah 20 orang, dengan menggunakan teknik
purposive sampling yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi:
1) Merupakan pasien Pasca NHS yang menjalani perawatan
Fisioterapi di Rumah Sakit Umum Daya Makassar
2) Kooperatif
3) Bersedia mengikuti latihan dalam penelitian ini
38
4) Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani formulir
persetujuan
b. Kriteria eksklusi
1) Tidak kooperatif
2) Tidak bersedia mengikuti penelitian
3) Penderita Stroke berulang
4) Diberikan bridging exercise kurang dari 6 kali terapi
D. Variabel Penelitian
1. Identifikasi Variabel
c. Variabel bebas : Bridging exercise
d. Variabel terikat : Kekuatan otot
2. Definisi Operasional Kriteria Obyektif
a. Bridging exercise adalah suatu bentuk latihan yang berfungsi untuk
pengutaan otot pelvic yang dapat diberikan pada pasien pasca NHS
kerena mengalami gangguan kekuatan otot dan diterapi sebanyak 6 kali
yang diberikan 3 kali seminggu dengan dosis sehari yaitu 8 kali repitisi,
dan setiap gerakan dilakukan selama 8 kali hitungan kemudian istirahat
selama 2 detik.
b. Kekuatan otot gluteus maximus pada pasien pasca Stroke Non-
Hemoragik adalah tenaga, gaya atau ketegangan yang dapat dihasilkan
oleh otot gluteus maximus pada suatu kontraksi dengan pembebanan
yang dinilai menggunakan penilaian tenaga otot.
39
1) Kriteria objektif skala kekuatan motorik
Tabel 4.1 Skala Kekuatan Motorik
SKALA DESKRIPSI
0 Tidak didapatkan sedikutpun kontraksi otot; lumpuh total 1 Terdapat sedikit kontraksi otot, tidak ada gerakan 2 Gerakan ROM penuh tanpa melawan gravitasi 3 Gerakan ROM penuh dengan melawan gravitasi 4 Gerakan ROM penuh dengan melawan gravitasi dan dapat
pula mengatasi sedikit tahanan yang diberikan 5 Tidak ada kelumpuhan (normal)
Dikutip dari Kepustakaan lumbantobing, 2008
c. Otot gluteus maximus adalah salah satu otot glutealis yang mempunyai
fungsi untuk mengekstensikan hip.
d. Pasien NHS adalah pasien yang berdasarkan diagnosis medik yang
tercantum dalam rekam mediknya telah mengalami NHS dan mengalami
gangguan pada daerah pelvic sampai ekstremitas bawah sehingga
kesulitan untuk melakukan ambulasi.
40
sd
sd
E. Prosedur Penelitian
Penderita NHS diambil data tentang identitas penderita, riwayat stroke, obat
yang dikonsumsi dan riwayat penyakit terdahulu. Pemeriksaan rekam medik dan
rekam fisioterapi sepeutar pasien menyangkut stroke yang diderita.
Pengamatan selanjutnya dilakukan penilaian mengenai kekuatan otot
gluteus maximus dengan menggunakan skala kekuatan otot motorik pada
minggu pertama penelitian sebagai data pre-test.
Selanjutnya, penderita NHS diberikan Bridging Exercise sebanyak 6 kali
latihan. Setelah itu, dilakukan penilaian mengenai kekuatan otot gluteus
maximus sebagai data post-test.
F. Instrumen Penelitian
1. Rekam Medik
2. Blanko Penelitian (Lihat Gambar 4.3)
Nama : Umur : Jenis Kelamin :
Terapi Medikamentosa :
SKALA DESKRIPSI Hasil Pre-Test Post-Test D S D S
0 Tidak didapatkan sedikutpun kontraksi otot, lumpuh total
1 Terdapat sedikit kontraksi otot, tidak ada gerakan
2 Gerakan ROM penuh tanpa melawan gravitasi
3 Gerakan ROM penuh dengan melawan gravitasi
4 Gerakan ROM penuh dengan melawan gravitasi dan mampu menahan tahanan sedang
5 Gerakan ROM penuh dengan melawan gravitasi dan mampu menahan tahanan
maximum
41
Terapi Fisioterapi lainnya :
Jenis Stroke :
Gambar 4.2 Blanko Penilaian
G. Rencana Pengelolahan dan Analisa Data
Data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik setelah dilakukan editing,
koding dan tabulasi. Untuk mengetahui hubungan Bridging exercise dengan
kekuatan otot glteus maximus digunakan uji wilcoxon. Semua uji statistik
dilakukan dengan batuan komputer menggunakan soffware SPSS 16.
H. Masalah Etika
Penelitian yang akan dilakukan harus mendapat rekomendasi dari institusi
dan mengajukan permohonan izin kepada instansi penelitian.
Adapun etika penelitian yang perlu diperhatikan :
1. Informed concent
2. Anonymity (tanpa nama)
3. Confidentiality (kerahasiaan informasi).
42
I. Alur Penelitian
Gambar 4.3 Alur Penelitian
Studi Pendahuluan
Poli Fisioterapi
kriteria Pemilihan Sampel
Eksklusi Inklusi
Gangguan Kekuatan Otot
Gluteus Maximus
Program Latiahan Bridging exercise
Hasil Penelitian
Evaluasi akhir
Penilaian Kekuatan Otot Akhir
Evaluasi awal
Penilaian Kekuatan Otot Awal
43
BAB V
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RS Umum Daya, selama 4 minggu terhitung
tanggal 1 Oktober – 1 November 2012, didapatkan 18 subjek pasien NHS yang
mendapat pelayanan Fisioterapi. Dari jumlah subjek tersebut 5 pasien
dieksklusikan dengan alasan latihan briding exercise tidak mencapai 6 kali
terapi. Oleh karena itu, dalam penelitian ada 13 sampel penelitian sesuai
dengan kriteria inklusi yang dibuat peneliti dengan distribusi sampel penelitian
berdasarkan jenis kelamin, usia, lama stroke dan sisi kelumpuhan, ini dapat
dilihat pada tabel distribusi frekuensi dan persentase sampel penelitian berikut
ini.
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian
No Deskripsi Frekuensi Persentasi
1
2
Jenis Kelamin:
Pria
Wanita
Umur:
26-35
36-45
46-55
11
2
-
84,62 %
15,38 %
-
1
2
1
2
44
3
4
56-65
65- ke atas
Lama Stroke
< satu tahun
> satu tahun
Sisi Kelumpuhan
Kanan (dextra)
Kiri (Sinistra)
4
6
10
3
12
1
4
6
76,92 %
23,08 %
92,31 %
7,69 %
Total 13 100 %
Tabel nomor 1 menunjukkan bahwa sampel penelitian dengan jenis kelamin
pria lebih banyak yaitu 11 orang atau sekitar 84,62 % daripada perempuan yaitu
sebanyak 2 orang atau sekitar 15,38 %. Sampel dengan jenis kelamin pria lebih
banyak daripada wanita karena wanita mempunyai hormon estrogen yang
berfungsi memproteksi pembuluh darah sedangkan pria tidak memiliki hormon
estrogen sehingga resiko terkena stroke lebih tinggi pada pria.
Tabel nomor 2 menunjukkan kategori umur sampel penelitian menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009. Tabel ini menunjukkan
sampel penelitian dengan kelompok umur terbanyak terdapat pada kelompok
umur 65 tahun ke atas dengan jumlah sampel sebanyak 6 orang atau 46,15 %,
kemudian kelompok umur 56-65 dengan jumlah sampel sebanyak 4 orang atau
sekitar 34,77 %, sedangkan kelompok umur 46-55 tahun sebanyak 2 orang atau
sekitar 15,38 persen, dan kelompok umur yang paling sedikit adalah kelompok
usia 36-45 tahun yaitu hanya 1 sampel atau 7,69 %. Dari tabel ini kategori umur
65 tahun ke atas merupakan kategori umur terbanyak. Pada usia ini, manusia
mengalami kemunduran fisiologis tubuh, degenerasi jaringan dan hal ini
Sumber : Data Sekunder, 2012
45
menyebabkan terjadinya akumulasi plak artherosklerosis pada pembuluh darah,
hal ini menyebabkan menyempitkan lumen. Plak ini cenderung menyebabkan
komplikasi berupa trombus.
Tabel nomor 3 menunjukkan bahwa sampel penelitian dengan lama stroke <
satu tahun sebanyak 10 orang atau sekitar 76,92 %, sementara pasien yang lama
stroke lebih dari satu tahun hanya 3 orang atau sekitar 23,08%. Dari tabel ini
sampel penelitian dengan lama stroke ≤ 1 tahun lebih banyak parena pada lama
stroke ini pasien selaku sampel masih memiliki motivasi berlatih masih tinggi.
Semangat pasien untuk sembuh dan ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala
sebelum terkena stroke sehingga rajin melakukan pengobatan dibandingkan
dengan pasien yang telah lama mengalami stroke.
Tabel nomor 4 menunjukkan bahwa sampel penelitian dengan sisi
kelumpuhan sebelah kanan lebih banyak yaitu sebanyak 12 orang atau 92,31 %,
sedangkan sampel penelitian dengan sisi kelumpuhan sebelah kiri hanya 1 orang
atau 7,69%.
B. Analisis Variabel Penelitian
Data penelitian ini adalah nilai kekuatan otot gluteus maximus. Adapun hasil
analisis sampel penelitian dari dua pengamatan yang dilakukan, sebelum
diberikan bridging exercise, dan setelah 6 kali diberikan bridging exercise,
secara statistik diperlihatkan pada tabel berikut.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentasi Pretest Kekuatan Otot
Gluteus Maximus
Kategori Pretest
46
Frekuensi Persen
5 - -
4 6 46,15 %
3 7 53,85 %
2 - -
1 - -
0
Total 13 100 Sumber : Data Primer, 2012
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 13 sampel penderita NHS yang
dilakukan pretest terhadap kekuatan otot gluteus maximusnya, paling banyak
berada pada kategori kekuatan otot 3 yaitu 7 orang atau 53,85 % dan kategori
kekuatan otot 4 yaitu 6 orang atau 46,15 %.
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentasi Postest Kekuatan Otot
Gluteus Maximus
Kategori Posttest
Frekuensi Persen
5 8 61,54 %
4 5 38,46 %
3 - -
2 - -
1 - -
0
Total 13 100 Sumber : Data Primer, 2012
47
Tabel 5.3 menunjukkan postest setelah diberikan intervensi bridging
exercise sebanyak 6 kali, dengan hasil kategori kekuatan otot 5 sebanyak 8 orang
atau 61,54% dan kategori kekuatan otot 4 sebanyak 5 orang atau 38,46 %.
Dari tabel 5.2 dan 5.3 menunjukkan terjadinya perbedaan antara pretest
dan posttest. Dari 13 orang pasien NHS sebanyak 7 orang berada dalam kategori
kekuatan otot 3. Setelah diberikan 6 kali intervensi bridging exercise terjadi
peningkatan kekuatan otot sebanyak 2 orang menjadi kategori kekuatan otot 5,
dan 5 orang menjadi kategori kekuatan otot 4. Sementara penderita yang berada
pada kategori kekuatan otot 4 sebanyak 6 orang berubah menjadi kategori
kekuatan otot 5.
Berdasarkan hasil-hasil di atas, terlihat jelas bahwa pemberian intervensi
bridging exercise terhadap kekuatan otot gluteus maximus pada pasien NHS,
secara nyata dapat meningkatkan kekuatan otot setelah 6 kali pemberian
intervensi bridging exercise.
C. Hasil Pengujian Hipotesis
Untuk menjelaskan kenormalan data digunakan uji normalitas. Dari
pengujian normalitas diperoleh data sebelum perlakuan dan setelah perlakuan
didapatkan p < 0,0001 yang menunjukkan bahwa data tidak mempunyai sebaran
yang normal. Maka pengujian selanjutnya menggunakan pengujian non
parametrik, selain karena data yang digunakan juga berupa data nominal.
Untuk mengetahui adanya perbedaan kekuatan otot gluteus maximus
sebelum diberikan intervensi bridginng exercise, dengan setelah 6 kali diberikan
intervensi bridging exercise, dilakukan Uji Wilcoxon.
48
Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan nilai Z sebesar 3,419 dan nilai signifikan
0,001 (nilai p < 0,05) berarti hipotesis kerja diterima bahwa ada perbedaan
pengaruh yang bermakna antara pre test dan post test setelah diberikan
intervensi bridging exercise terhadap kekuatan otot gluteus maximus pada
pasien NHS. Dari uji wilcoxon juga dapat dilihat nilai ranks. Dari nilai ranks,
terdapat angka 13 pada positif ranks yang berarti bahwa 13 orang atau semua
sampel mengalami peningkatan kekuatan otot gluteus maximus setelah
intervensi 6 kali intervensi bridging exercise.
D. Pembahasan
Berdasarkan populasi penderita NHS, sampel yang didapatkan yaitu
penderita NHS sebanyak 13 orang. Seluruh sampel memiliki usia yang beragam
dengan rentang usia 48 – 80 tahun. Berdasarkan data diperoleh kelompok usia
yang paling banyak didapatkan yaitu antara 61-70 tahun. Hal ini sesuai dengan
penelitian dari Tri Budiyono (2005) yang mendapatkan sampel dengan rerata
umur 58,57 ±12,80 tahun dimana yang terbanyak berumur 61-70 tahun (36,6%)
(Budiyono, 2005). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin didapatkan sampel
yang terbanyak adalah pria (84,62 %). Hal ini sesuai dengan penelitian dari I
Made Widagda yang mendapatkan sampel pria (62,9%) lebih banyak dari
wanita (37,1 %) (Widagda, 2002). Berdasarkan sisi kelumpuhan yang paling
banyak didapatkan pada kelumpuhan sisi kanan (92,31) hal ini sesuai dengan
penelitian I Made Widagda yang mendapatkan sampel dengan kelumpuhan sisi
kanan paling banyak yaitu 57,1 % dibandingkan sisi kiri sebanyak 42,9 %
(Widagda, 2002).
49
Berdasarkan data yang diperoleh, dari 13 sampel, semuanya memberikan
ranks positif yang berarti mengalami peningkatan kekuatan otot gluteus
maximus setelah diberikan intervensi bridging exercise sebanyak 6 kali terapi.
Oleh karena itu, pemberian Bridging exercise dapat menghasilkan peningkatan
nilai kekuatan otot gluteus maximus yang bermakna pada penderita NHS yang
mengalami gangguan kekuatan otot gluteus maximus.
Pemberian intervensi rehabilitasi pada pasien pasca Stroke sudah bisa
dberikan pada stroke fase akut (dua minggu pertama pasca serangan stroke)
(Wirawan, 2009). Pemberian Bridging exercise sudah dapat dilakukan pada fase
akut, agar dapat memberikan outcome yang lebih baik. Dengan pemberian
intervensi sedini mungkin, dapat meminimalkan gejala sisa yang timbul. Pasien
menjadi lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya di
masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Wirawan, 2009).
Pemberian Bridging Exercise dapat menghasilkan peningkatan nilai
kekuatan otot gluteus yang bermakna pada penderita NHS. Latihan Bridging
adalah cara yang baik untuk mengisolasi dan memperkuat (pantat) otot gluteus
dan hamstring (belakang kaki bagian atas). Latihan bridging dianggap sebagai
latihan rehabilitasi dasar untuk meningkatkan stabilitas/keseimbangan dan
stabilisasi tulang belakang (Quinn, 2012).
Bridging exercise merupakan latihan penguatan atau stabilitas, baik untuk
latihan penguatan-stabilitas pada glutea. Otot gluteus maximus adalah otot yang
melekat pada pelvic, dimana pelvic ini memegang peranan ketika akan
melakukan ambulasi dan mempertahankan posisi.
50
Pada pasien NHS terjadi penurunan kekuatan otot. Hal ini akan
menyebabkan pasien tidak dapat menggunakan ototnya secara maximal sehingga
pasien cenderung untuk tidak menggunakannya. Ketika otot tidak digunakan,
maka akan terjadi penurunan kekuatan otot sekitar 5% dalam setiap harinya atau
setelah 2 minggu dapat menurun sekitar 50 %. Keadaan seperti ini akan
memperberat kondisi pasien dan akan semakin mengganggu pasien dalam
melakukan ambulasi apa lagi melakukan aktivitas sehari-hari. (Prasetyo,2010)
Maka diperlukan program latihan khusus yang berfungsi untuk mempertahankan
kekuatan otot atau memperkuat bagian otot yang lemah tersebut, misalnya
dengan bridging exercise.
Bridging exercise adalah salah satu latihan isometrik. Pada saat dilakukan
bridging exercise, otot gluteus maximus akan berkontraksi dan bekerja melawan
tahan berupa berat badan pasien sendiri dengan posisi statik.
Bridging exercise merupakan suatu latihan penguatan yang dapat
meningkatkan kekuatan otot khususnya otot gluteus maximus. Teori yang
dikemukakan oleh American Colege of Sport Medicine, latihan yang dapat
meningkatkan kekuatan otot yang pada akhirnya akan meningkatkan kerja otot.
Peningkatan kekuatan otot ini disebabkan oleh rangsangan kontraksi otot,
yaitu menjelaskan ketika otot sedang berkontraksi, sintesa protein kontraktil
otot berlangsung jauh lebih cepat daripada kecepatan penghancurnya sehingga
menghasilkan aktin dan miosin yang bertambah banyak secara progersif di
dalam miofibril. Kemudian miofibril itu sendiri akan memecah di dalam setiap
serat otot untuk membentuk miofibril baru. Peningkatan jumlah miofibril
51
tambahan yang menyebabkan serat otot menjadi hipertropi. Dalam serat otot
yang mengalami hipertropi terjadi peningkatan komponen sistem metabolisme
fostagen, termasuk ATP dan fosfokreatin. Hal ini mengakibatkan peningkatan
kemampuan sistem metabolik aerob dan anaerob yang dapat meningkatkan
energi dan kekuatan otot. Peningkatan kekuatan otot inilah yang membuat
pasien pasca NHS semakin kuat dalam menopang tubuh dan melakukan
gerakan (Kusnanto dkk, 2007).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian intervensi bridging
exercise secara bermakna setelah 6 kali terapi dapat memberikan perbedaan
pengaruh terhadap kekuatan otot gluteus maximus pada pasien NHS.
Hal ini pun didukung dengan teori bahwa yang dapat meningkatkan
kekuatan otot yang pada akhirnya akan meningkatkan kerja otot (Kusnanto dkk,
2007). Keuntungan dari latihan penguatan otot meliputi memberikan kekuatan
otot yang lebih baik, meningkatkan tonus otot, menambah daya tahan dan
kepadatan tulang (Margaretta, 2012). Latihan penguatan otot gluteus maximus
merupakan bagian atau tahapan yang penting dalam penatalaksanaan pasien
dengan gangguan kekuatan otot akibat NHS yang mempengaruh ambulasi
pasien.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Pujiatun (2001) menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan kekuatan otot kuadriseps femoris sebelum dan setelah
melakukan latihan isometrik. Penelitian yang dilakukan oleh Paasuke
memperoleh hasil bahwa dengan latihan isometrik dapat meningkatkan kontraksi
maksimum atlet sehingga dapat meningkatkan kinerja atlet tersebut. Dari
52
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa semua metode latihan penguatan dapat
meningkatkan kekuatan otot. (Pujiatun, 2001).
Tetapi ada beberapa faktor yang menjadi kelemahan dalam pemberian
bridging exercise yaitu umur, berat badan dan penyakit penyerta pasien. Selain
itu, kontra indikasi pemberian bridging exercise seperti maligna dan
osteoporosis.
E. Kelemahan Penelitian
Selama proses penelitian, peneliti menemukan beberapa kendala yang tidak
diharapkan sehingga masih banyak variabel yang tidak dikontrol yang
mempengaruhi hasil penelitian. Beberapa kendala yang ditemukan dalam
penelitian ini adalah banyaknya variabel intervening berupa intervensi fisioterapi
lain seperti infrared, PNF, Bobath, Walking exercise, budyet, dan home program
yang diberikan pada sampel penelitian. Selain itu, sample juga mendapat terapi
medikamentosa berupa aspilet, Vitamin B1B6B12, pirasetan, amlodipin, dan
ranikidin.
53
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Distribusi sampel pasien NHS yang mengalami gangguan kekuatan otot
sebelum diberikan bridging exercise menunjukkan bahwa, paling banyak
sampel berada pada kategori kekuatan otot 3 sebanyak 7 orang dan kategori
kekuatan otot 4 sebanyak 6 orang.
2. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kekuatan otot gluteus
maximus pada semua sampel tanpa kecuali. Dari 13 orang pasien NHS
sebanyak 7 orang berada dalam kategori kekuatan otot 3. Setelah diberikan
6 kali intervensi bridging exercise terjadi peningkatan kekuatan otot
sebanyak 2 orang menjadi kategori kekuatan otot 5, dan 5 orang menjadi
kategori kekuatan otot 4. Sementara penderita yang berada pada kategori
kekuatan otot 4 sebanyak 6 orang berubah menjadi kategori kekuatan otot 5.
3. Pemberian intervensi bridging exercise secara bermakna, sebanyak 6 kali
pemberian intervensi bridging exercise, dapat berpengaruh terhadap
perubahan peningkatan kekuatan otot gluteus maximus.
B. SARAN
1. Disarankan kepada peneliti lanjutan untuk meneliti pengaruh bridging
exercise terhadap peningkatan kekuatan otot gluteus maximuspada penerita
54
NHS sebanyak enam kali dengan sampel homogen dan jumlah sampel yang
lebih banyak.
2. Kepada instansi pelayanan seperti rumah sakit agar dapat memfasilitasi
fisioterapis untuk menggunakan intervensi fisioterapi pada pelayanan
fisioterapi di rumah sakit
3. Bagi institusi pendidikan (jurusan fisioterapi) disarankan agar teknik
tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu materi pembelajaran untuk
peserta didik.
55
DAFTAR PUSTAKA
Budiono, Tri. 2005. Hubungan derajat Berat Stroke Non Hemoragik Pada Saat Masuk Rumah Sakit Dengan Waktu Pencapaian Maksimal Aktivitas Kehidupan Sehari-hari. Tesis: Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Cooper, D. 2009. Pelvic Bridging Exercise. Dalam Upper Body Exercise
(http://www.liverstrong.com/article/29582-pelvic-bridging-exercise/, diakses 11 Mei 2012)
Darmojo, B dan Hadi Martono. 2010. Geriatri, Edisi IV.Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Hernawati, IY. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Pasien Paca Stroke
Hemorage Dextra Stadium Recovery. Dalam Feigin, V. 2006. Stroke . Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Hernawati, IY. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Pasien Paca Stroke
Hemorage Dextra Stadium Recovery. Dalam Peter Duus.1996. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala, cetakan pertama. Jakarta: EGC.
Hernawati, IY. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Pasien Paca Stroke
Hemorage Dextra Stadium Recovery. Dalam JG Chusid. 1993. Neuroanatomi Korelatif Dan Neurologi Fungsional cetakan ke empat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Irfan, Muhammad. 2010. Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Edisi pertama cetakan
pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kartika, Ita. 2004. Hubungan Uji Menggambar Jam Dengan Indeks Barthel Pada
Penderita Stroke Hemisfer Kanan. Tesis: Program Pendidikan Dokter Spesialis I Program Studi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
Kenyon, Jonathan dan Karen Kenyon. 2004. The Physiotherapist’s Pocket Book.
London: Elsevier Kusnanto; Retni Indarwati; dan Nisfil Mufidah. 2007. Peningkatan Stabilitas
Postural Pada Lansia Melalui Balanced Exercise. Jurnal media Ners, Volume 1 nomor 2, hal.49.
56
Lumbantobing. 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Mardjono, Mahar dan Priguna Sidharta. 2010. Neurologi Klinis Dasar cetakan ke
limabelas. Jakarta: Dian Rakyat. Miller, Sarka-Jonae. 2012. Pelvic Bridging Exercise, (online).
(http://www.ehow.com/way_5385407_pelvic-bridging-exercise.html, diakses 30 Mei 2012).
Nurwahyuni, titik. 1999. Kualitas hidup Pasien Pasca Stroke Berkaitan Dengan
Jenis Stroke dan Letak Lesi. Tesis: Program Pendidikan Dokter Spesialis I ilmu penyakit saraf, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Prasetyo, Yudik. 2010. Latihan Pada keadaan Immobilisasi Yang Lama. Price, S.A dan Wilson L. M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 2 . ed. 6. Jakarta: EGC Pujiatun. 2001. Perbandingan Latihan Isotonik dan Latihan Isometrik Terhadap
Kekuatan Otot Kuadriseps Femoris. Dalam Foss ML. Keteyian SJ. 1998. Fox’s Physiological Basis for Exercise and Sport.
Pujiatun. 2001. Perbandingan Latihan Isotonik dan Latihan Isometrik Terhadap
Kekuatan Otot Kuadriseps Femoris. Dalam Gardiner. 1975. An Introduction To Movement.
Pujiatun. 2001. Perbandingan Latihan Isotonik dan Latihan Isometrik Terhadap
Kekuatan Otot Kuadriseps Femoris. Dalam Jones K, Barker K. 1996. Human Movement Explained Butterworth Heinemann.
Pujiatun. 2001. Perbandingan Latihan Isotonik dan Latihan Isometrik Terhadap
Kekuatan Otot Kuadriseps Femoris. Dalam Molder JR, Burg-Stein J. 1994. Exercise dan Fatigue.
Pujiatun. 2001. Perbandingan Latihan Isotonik dan Latihan Isometrik Terhadap
Kekuatan Otot Kuadriseps Femoris. Dalam Pollock. 1990. Musculoskleletal Function.
Quinn, Elizabeth. 2012. Bridge Exercise, Online).
(http://sportsmedicine.about.com/od/strengthtraining/qt/bridge-exercise.htm, diakses 30 Mei 2012).
Sidharta, Priguna. 2009. Neurologis Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian
Rakyat
57
Sidharta, Priguna. 1995. Tata pelaksanaan Klinis dalam neurologi. cetakan ketiga.
Jakarta: Dian Rakyat Siregar. H dan Yusuf. I. 1995. Neurofisiologi, Edisi III. Ujung Pandang: Bagian
Ilmu Faal Fakultas Kedoteran Universitas Hasanuddin. Snell, Richard. 2007. Neuroanatomi Klinik edisi kelima. Jakarta: EGC
Widagda, I Made. 2002. Penilaian Tingkat Ambulasi Penderita Hemiparesis Pasca Stroke Dengan Functional Ambulatian Category (FAC) Bagi Yang Mendapat Program Rehabilitasi Medik di RS Dr Kariadi Semarang. Tesis: Program Studi Rehabilitasi Medik, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Wildani, Muhammad Hayyi; Ika Rosdiana; dan Ken Wirastuti. 2009. Pengaruh
Fisioterapi Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Penderita Stroke Non Hemoragik. Jurnal Pengaruh Fisioterapi dan Kekuatan Otot, Volume 2 nomor 2.
Wirawan, Rosiana Pradanasari. 2009. Rehabilitasi Stroke Pada Pelayanan
Kesehatan Primer, Volume 59 nomor 2.
58
Lampiran 1
HASIL OLAH DATA
1. Uji Normalitas
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Pretest Kekuatan Otot
Gluteus Maximus
13 100.0% 0 .0% 13 100.0%
Postest Kekuatan Otot
Gluteus Maximus
13 100.0% 0 .0% 13 100.0%
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pretest Kekuatan Otot
Gluteus Maximus
.352 13 .000 .646 13 .000
Postest Kekuatan Otot
Gluteus Maximus
.392 13 .000 .628 13 .000
a. Lilliefors Significance Correction
59
2. Analisis Descriptives
Descriptives
Statistic Std. Error
Pretest Kekuatan Otot
Gluteus Maximus
Mean 3.46 .144
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 3.15
Upper Bound 3.78
5% Trimmed Mean 3.46
Median 3.00
Variance .269
Std. Deviation .519
Minimum 3
Maximum 4
Range 1
Interquartile Range 1
Skewness .175 .616
Kurtosis -2.364 1.191
Postest Kekuatan Otot
Gluteus Maximus
Mean 4.62 .140
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 4.31
Upper Bound 4.92
5% Trimmed Mean 4.63
Median 5.00
Variance .256
Std. Deviation .506
Minimum 4
Maximum 5
Range 1
Interquartile Range 1
Skewness -.539 .616
Kurtosis -2.056 1.191
60
3. Uji Wilcoxon
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Postest Kekuatan Otot Gluteus
Maximus - Pretest Kekuatan
Otot Gluteus Maximus
Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 13b 7.00 91.00
Ties 0c
Total 13
a. Postest Kekuatan Otot Gluteus Maximus < Pretest Kekuatan Otot Gluteus Maximus
b. Postest Kekuatan Otot Gluteus Maximus > Pretest Kekuatan Otot Gluteus Maximus
c. Postest Kekuatan Otot Gluteus Maximus = Pretest Kekuatan Otot Gluteus Maximus
Test Statisticsb
Postest Kekuatan
Otot Gluteus
Maximus - Pretest
Kekuatan Otot
Gluteus Maximus
Z -3.419a
Asymp. Sig. (2-tailed) .001
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
61
Lampiran 2
SKALA PENGUKURAN
SKALA DESKRIPSI
0 Tidak didapatkan sedikutpun kontraksi otot; lumpuh total 1 Terdapat sedikit kontraksi otot, tidak ada gerakan 2 Gerakan ROM penuh tanpa melawan gravitasi 3 Gerakan ROM penuh dengan melawan gravitasi 4 Gerakan ROM penuh dengan melawan gravitasi dan dapat
pula mengatasi sedikit tahanan yang diberikan 5 Tidak ada kelumpuhan (normal)
62
Lampiran 3
LEMBAR INFORMED CONCENT
SURAT PERNYATAAN
KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Menyatakan bahwa saya bersedia sebagai responden dalam penelitian yang
dilakukan oleh A.Nur Pratiwi, tentang “Pengaruh Bridging Exercise Terhadap
Kekuatan Otot Gluteus Maximus Pada Pasien Pasca Stroke non-Hemoragik di
Rumah Sakit Umum Daya Makassar Tahun 2012”.
Demikian surat pernyataan kesediaan saya buat dengan penuh rasa kesadaran
dan sukarela.
Makassar, …………………. 2012
Yang membuat pernyataan
63
Lampiran 4
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama Lengkap : A.Nur Pratiwi
Tempat dan Tanggal Lahir : ujung Pandang, 28 Maret 1991
Agama : Islam
Alamat Rumah : Perumahan Bumi Pallangga Mas I C3/3 kab. Gowa
Pendidikan Formal :
a. SDN 1 Sungguminasa, Gowa
b. SMP 1 Sungguminasa, Gowa
c. SMA 1 Sinjai Timur, Sinjai
Nama Orang Tua :
a. Ayah : Drs. Kateng Lalo
b. Ibu : Hj. Hanefiah
Pekerjaan Orang Tua :
a. Ayah : Pensiunan
b. Ibu : PNS
Jumlah Saudara : 3 orang
Anak ke : 3
i