Download - PERAN AGROTEKNOLOGI.docx
PERAN AGROTEKNOLOGI
DALAM PENINGKATAN SWASEMBADA PANGAN
OLEH
RINY REZKIANANDA (G111 14 326)
REGINA EMMI (G111 14 327)
ALFIAN ANWAR (G111 14
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan makalah yang berjudul “Peran Agroteknologi dalam Peningkatan Swasembada Pangan” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Adapun makalah Dasar-Dasar Agronomi tentang swasembada pangan ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan makalah ini.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah hikmah, pengetahuan, pengalaman dan dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan ke arah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terima kasih.
Makassar, 25 Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..........................................................................................4
1.2 Rumusan masalah......................................................................................5
1.3 Tujuan penulisan.......................................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
2.1 Defenisi swasembada pangan.........................................................................6
2.2 Swasembada pangan di Indonesia..................................................................9
2.3 Peran agroteknologi dalam peningkatan swasembada pangan....................11
BAB III..................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan..............................................................................................14
3.2 Saran........................................................................................................14
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global,
terjadi krisis pangan dan energi dunia, harga pangan dan energi meningkat,
sehingga negara-negara yang semula menjadi pengekspor pangan cenderung
menahan produknya dijadikan stok pangan. Kondisi global tersebut juga terjadi di
Indonesia, sehingga diperlukan upaya-upaya guna mengamankan produksi dan
meningkatkan stok pangan nasional. Isu strategis nasional lainnya adalah
mengenai laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, tingginya laju konversi
lahan, terbatasnya infrastruktur pertanian serta pola pangan penduduk yang
bergantung pada beras. Pada tahun 2014 pertanian di Indonesia masih dihadapkan
pada tantangan berat antara lain: (1) dampak perubahan iklim pada sektor
pertanian berupa: meningkatnya serangan OPT dan penyakit hewan, menurunnya
produktivitas dan menurunnya kualitas hasil panen, (2) meningkatnya harga
pangan yang berkorelasi pada tingkat inflasi dan tingkat kemiskinan, (3)
ketersediaan produksi kedelai, gula dan daging dalam negeri dan internasional
terbatas, di sisi lain kebutuhan konsumsi domestik untuk ketiga komoditas
tersebut meningkat, (4) kenaikan impor bahan pangan dan pakan akan mengurangi
devisa negara, (5) terbatasnya pembiayaan pertanian yang mudah diakses
petani/peternak, (6) terbatasnya infrastruktur lahan dan air, (7) sistem penyuluhan
pertanian yang belum efektif, dan (8) belum optimalnya peran dan dukungan
pemerintah daerah. Dari sisi pembangunan ekonomi nasional, bukti empiris
menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki peran penting terhadap ekonomi
nasional, yang dapat dilihat dari kontribusi terhadap produk domestik bruto,
penyerap tenaga kerja, neraca perdagangan, penyedia bahan pangan, bahan energi,
pakan dan bahan baku industri, serta sumber pendapatan masyarakat di pedesaan.
Besarnya peran dalam perekonomian nasional tersebut ternyata belum dapat
dinikmati secara proporsional oleh para pelaku usaha pertanian secara memadai.
Tantangan berat yang dihadapi oleh petani saat ini, tentu bukanlah menjadi
tantangan bagi pemerintah saja, melainkan tantangan bagi seluruh masyarakat
Indonesia khususnya bagi mahasiswa-mahasiswi yang berada di sektor pertanian,
khususnya bidang agroteknologi. Ilmu-ilmu serta teknik-teknik yang didapatkan
pada masa studi seharusnya sudah cukup dalam peningkatan swasembada pangan
di Indonesia. Namun fakta yang didapatkan di lapangan menunjukkan bahwa
salah satu faktor penghambat peningkatan swasembada pangan di Indonesia ialah
teknologi yang digunakan petani Indonesia masih sangat tradisional dan belum
efektif jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini menyebabkan
produksi pangan di Indonesia dan negara-negara maju sangat jauh berbeda. Oleh
karena itu, peran agroteknologi dalam bidang ini sangatlah diperlukan dalam
peningkatan swasembada pangan.
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah dari latar belakang di atas yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan swasembada pangan?
2. Bagaimana kondisi swasembada pangan di Indonesia?
3. Bagaimana peran sektor pertanian khususnya di bidang agroteknologi dalam
peningkatan swasembada pangan di Indonesia?
1.3 Tujuan penulisan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi swasembada pangan
di Indonesia dan peran apa saja yang dimiliki oleh bidang agroteknologi dalam
meningkatkan swasembada pangan tersebut.
BAB II
ISI
2.1 Defenisi swasembada pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak
asasi setiap rakyat Indonesia (UU No. 7/1996 tentang Pangan). Bobot pengeluaran
rumah tangga untuk pangan 43,37% dan khusus untuk rumah tangga petani
mencapai 74,07% (Bakri, 2009).Pangan adalah sektor penentu tingkat
kesejahteraan masyarakat di pedesaan dan konsumen/ masyarakat miskin di
perkotaan. Kebijakan Perberasan merupakan upaya meningkatkan Ketahanan
Pangan. Beras merupakan pangan pokok yang dihasilkan oleh banyak petani dan
dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Ketahanan pangan diartikan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu
untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat (FAO,
1996) kemudian dikembangkan dengan memasukkan komponen persyaratan
penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat (Dercon and
Krishnan, 1996; Bryceson and Jamal, 1997; Fabusoro et al, 2010). Sementara itu,
berdasar Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang pangan, mengartikan
swasembada pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemaknaan lain atas swasembada
pangan yaitu kemampuan untuk memenuhi pangan anggota rumah tangga dalam
jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup
sehat, dan atau kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan
anggotanya dari produksi sendiri, dan atau membeli dari waktu ke waktu agar
dapat hidup dan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan
anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat.
Pilar swasembada pangan meliputi aspek ketersediaan (availability),
keterjangkauan (accessibility) secara fisik dan ekonomi, dan Stabilitas (stability).
Adapun tujuan kebijakan pangan Indonesia adalah untuk, (1) meningkatkan
produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, (2) meningkatkan
pendapatan petani, (3) menjamin ketersediaan pasokan pangan setiap saat bagi
seluruh lapisan masyarakat dengan harga yang terjangkau, dan (4) meningkatkan
status gizi mayarakat. Ellis (1996); Feng (2008); Little et al (1999);dan Backman
et al (2009) dalam studi di negara berkembang bahwa swasembada pangan
didasarkan tiga pilar yaitu, ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan
pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan yaitu tersedianya pangan secara fisik
di suatu daerah yang diperoleh baik dari produk domestik, impor/perdagangan
maupun bantuan pangan. Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk
memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian,
barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi kelimanya.
Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua
rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun
keragaman pangan melalui mekanisme tersebut. Pemanfaatan pangan merujuk
pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk
menyerap serta memetabolisme zat gizi secara efisien.
Swasembada pangan yang berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri
kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi & konsistensi
kebijakan tersebut, antara lain dengan melakukan:
1. Pembuatan UU & PP yang berpihak pada petani & lahan pertanian.
2. Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi &
jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung,
gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tersebut.
3. Penyuluhan & pengembangan terus menerus untuk meningkatkan produksi,
baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun SDM petani.
4. Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan untuk
bertumpu pada satu makanan pokok saja (dalam hal ini padi/nasi), pilihan
diversifikasi di Indonesia yang paling mungkin adalah sagu, gandum dan
jagung (khususnya Indonesia timur).
Jadi diversifikasi adalah bagian dari program swasembada pangan yang
memiliki arti pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain
padi/nasi (sebab di Indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu
caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu non pad/nasi.
Pada level nasional pengertian swasembada pangan telah menjadi perdebatan
selama tahun 1970 sampai tahun 1980an. Ketahanan pangan nasional tidak
mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung
pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan mengekspor
komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri,
kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Sebaliknya, negara
yang melakukan swasembada produksi pangan pada level nasional, namun
dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada hambatan akses dan
distribusi pangan Stevens et al. (2000). Lassa (2006) dengan mengadopsi Stevens
et al. (2000), telah memberikan ilustrasi yang sangat baik mengenai negara-negara
yang melakukan swasembada pangan dengan kondisi ketahanan pangannya.
Keterbatasan konsep swasembada pangan ini terjadi di Afrika pada
pertengahan tahun 1980 dimana fokus peningkatan produksi untuk mencapai
swasembada justru menimbulkan adanya krisis pangan pada masyarakat.
Sehingga jelas bahwa ketersediaan pangan pada level nasional tidak secara
otomatis menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga.
(Borton and Shoham, 1991). Stevens et al . (2000, dalam Lassa, 2006)
memberikan ilustrasi yang membedakan secara tegas antara swasembada pangan
dengan ketahanan pangan Bostwana, sebagai misal, sebagai Negara dengan
pendapatan perkapita sedang tapi mengalami defisit pangan yang kronis karena
minimnya lahan pertanian. Strategi ketahanan pangan nasionalnya adalah
swasembada tetapi akhirnya lebih berorientasi pada self-reliance yang mana
secara formal mengesahkan kontribusi yang hakiki dari pangan import terhadap
ketahanan pangan nasional. Thompson dan Cowan (2000 dalam Lassa, 2006)
mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian formal ketahanan pangan dalam
kaitannya dengan globalisasi perdagangan yang terjadi di beberapa Negara.
Contohnya, Malaysia mendefinisikan ulang ketahahanan pangannya sebagai
swasembada 60% pangan nasional. Sisanya, 40% didapatkan dari import pangan.
Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh. Ini memberikan
ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang
berbeda. Amartya Sen berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian
yang kerap berargumentasi bahwa ketidak-ketahanan pangan dan kelaparan
adalah soal produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat
berbagai kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukan bahwa ketidak-
tahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas
pangan bahkan ketika produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung
padi”. Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu bukti (Lassa,
2006). Berdasarkan kenyataan tersebut peneliti dan akademisi menyadari bahwa
kerawanan pangan terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu
diakses rumah tangga karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki
(pendapatan, kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya). Hal ini konsisten
dengan pendapat Sen (1981) bahwa produksi pangan bukan determinan tunggal
ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.
Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang
memahami pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari
keadaan tersebut konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan
peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup.
Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan
pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih
mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi
untuk sehat dan produktif.
2.2 Swasembada pangan di Indonesia
Swasembada pangan bagi Indonesia belum mencukupi atau Indonesia belum
dapat memenuhi swasembada pangan untuk Indonesia sendiri. Karena
swasembada pangan apabila Negara tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan
pangan untuk seluruh masyarakatnya serta tidak tergantung terhadap impor
pangan dari Negara lain. Pemerintah telah mengupayakan Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan pangan untuk seluruh penduduk Indonesia tetapi pada
kenyataannya program yang telah dijalankan oleh pemerintah belum akurat dalam
membantu program swasembada pangan.
Tampaknya program swasembada pangan khususnya beras, tidak akan pernah
terwujud selama jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan lebih
mementingkan impor ketimbang memperluas lahan sawah dan membantu petani
meningkatkan produksi. Swasembada beras tinggal ilusi setelah pernah diraih
1984 dan 2004 silam.
Indonesia sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat
diandalkan untuk mendukung swasembada beras. Terlebih bila memperhitungkan
lahan pertanian padi yang masih potensial dan luas, di samping jumlah sumber
daya manusia (petani) banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem
irigasi yang sudah terbentuk sejak lama.
Namun pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pemda) serta seluruh
pihak terkait malah terkesan memandang sebelah mata sektor pertanian tanaman
pangan. Fakta paling gamblang tentang itu: lahan pesawahan – termasuk yang
beririgasi teknis – terus menyusut secara signifikan akibat tergusur aneka
kepentingan non pertanian, terutama permukiman dan industri.
Maka jangan sesali kalau produksi beras nasional cenderung menurun. Bahkan
kalaupun berbagai faktor amat menunjang – seperti iklim, pengendalian hama,
juga penyediaan berbagai input – produksi beras nasional sulit sekali ditingkatkan
lagi. Produksi beras nasional boleh dikatakan sudah stagnan di level 50-an juta ton
per tahun. Padahal konsumsi nasional, sebagai konsekuensi pertambahan
penduduk, terus meningkat pasti dan begitu signifikan.
Di lain pihak, negara-negara seperti Thailand dan Vietnam terus berupaya
keras meningkatkan produksi beras secara intensif. Upaya mereka sungguh tak
mengenal lelah, termasuk mengembangkan dan menerapkan inovasi pertanian.
Target mereka bukan lagi sekedar mencapai swasembada, melainkan tampil
menjadi negara produsen beras terbesar di dunia.
Dalam konteks seperti itu pula, Thailand dan Vietnam sering tampil menjadi
“penyelamat” bagi Indonesia ketika persediaan beras di dalam negeri menyusut.
Bagi Indonesia, Thailand dan Vietnam kini menjadi sumber andalan bagi impor
beras.
Tapi celakanya, impor beras kini terkesan bukan lagi sekedar alternatif
sementara. Impor beras seolah sudah menjadi andalan untuk mengamankan
kebutuhan nasional. Di tengah produksi beras di dalam negeri yang cenderung
stagnan atau bahkan terus menurun, sementara kebutuhan konsumsi mencatat
grafik yang kian menanjak, pemerintah tidak cukup terlecut untuk bertindak
habis-habisan menggerakkan upaya peningkatan produksi beras nasional.
Pemerintah terkesan lebih merasa aman dan nyaman mengandalkan impor.
Untuk mendukung salah satu program revitalisasi pertanian tersebut,
pemerintah seharusnya menyiapkan lebih banyak lagi bibit unggul untuk para
petani, sehingga produksi pertanian dari tahun ke tahun akan semakin membaik.
Untuk mewujudkan swasembada yang dimaksud, maka diperlukan peningkatan
produksi beras sebanyak 2 juta ton tahun 2007 dan peningkatan lima persen per
tahun hingga tahun 2009.
Kunci keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain optimalisasi sumber
daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi, dukungan sarana
produksi dan permodalan, jaminan harga gabah yang memberikan insentif
produksi serta dukungan penyuluhan pertanian dan pendampingan.
Sementara strategi yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan itu, yakni
dengan peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi,
dan pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usaha tani.
Sedangkan upaya peningkatan produktivitas padi antara lain melalui
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di 33 provinsi seluas 2,08 juta hektare,
penanaman padi hibrida di 14 provinsi seluas 181.000 hektare, dan perbaikan
intensifikasi non-PTT di 33 provinsi seluas 10,3 juta hektare.
2.3 Peran agroteknologi dalam peningkatan swasembada pangan
Pertanian merupakan faktor penting dan memainkan peranan penting dalam
pembangunan negara terkhusus pembangunan dalam bidang swasembada pangan.
Dalam mencapai swasembada pangan, harus ada peningkatan kualitas budidaya
pertanian dengan teknik yang lebih modern. Cara ini tentu sangat efektif dalam
mendongkrak hasil produksi pangan. Dalam satu hektar lahan pertanian tentu akan
mengalami peningkatan hasil produksi yang significant jika proses budidaya yang
dilakukan tepat. Dewasa ini ilmu pengetahuan dibidang budidaya pertanian telah
berkembang pesat dengan bertambahnya Profesor dalam bidang ini. Tentu,
sumbangsih penemuan-penemuan terbarukan mereka mampu menjadi
pendongkrak pengetahuan baru yang menjadi solusi ditengah krisisnya
pengetahuan di bidang pertanian modern yang dimiliki oleh para petani yang rata-
rata minus latar belakang pendidikannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan
sosialisasi-sosialisasi terhadap petani tentang teknik-teknik baru tersebut.
Selain itu, dengan menerapkan sistem budidaya pertanian yang Sustainable.
Sistem budidaya pertanian yang diterapkan pada era Revolusi Hijau dipandang
sebagai kebijakan salah dalam meningkatkan hasil produksi pertanian. Karena
peningkatan produksi pertanian ditekankan pada penggunaan bahan kimia besar-
besaran, dalam bentuk pupuk dan pestisida. Kebijakan ini dinilai telah
menimbulkan dampak buruk pada sistem budidaya pertanian, karena penggunaan
pupuk kimia dalam skala besar hanya akan mengurangi jangka waktu produktif
pada lahan pertanian. Dimana lahan pertanian yang mustinya mampu digunakan
untuk kurun waktu yang lebih lama akan berumur lebih rendah, sehingga harus
disiasati dengan memberikan kapur pertanian untuk menstabilkan pH tanah. Ini
diakibatkan karena penggunaan pupuk kimia dapat mempercepat pengasaman
tanah yang mengakibatkan matinya mikroba tanah yang menjadi agen
dekomposer dan penyubur tanah. Sedangkan penggunaan pestisida kimia untuk
mengatasi hama dan penyakit tanaman, hanya akan menjadikan petani
ketergantungan terhadap bahan-bahan tersebut. Karena penggunaan pestisida
untuk membunuh hama akan menyisakan beberapa hama yang tidak mati. Hama
yang tidak mati ini akan tumbuh menjadi hama yang lebih kebal terhadap dosis
pestisida yang digunakan sebelumnya, kemudian hama tersebut beranak-pinak dan
melahirkan koloni yang lebih resisten. Sehingga pada musim tanam selanjutnya
untuk membunuh hama tersebut petani harus menaikkan dosis pestisida lebih
tinggi lagi. Tetapi sekali lagi, masih akan ada hama yang tetap hidup dengan dosis
tersebut dan siklus ini akan kembali terulang sampai entah kapan dan harus berapa
dosis yang digunakan petani untuk menghalau hama tersebut dan selamanya
petani akan bergantung pada pestisida tersebut dan inilah yang diinginkan oleh
kapitalist.
Oleh karena itu, penerapan sistem budidaya pertanian
yang Sustainable menjadi solusi agar sistem pertanian bisa lebih efektif dan
efisien. Sistem pertanian ini mengacu pada sistem budidaya yang ramah
lingkungan, dimana kelangsungan budidaya pertanian menjadi pertimbangan
utama dengan memperhatikan kondisi lingkungan sekitar, mengingat aktivitas
budidaya pertanian juga menyumbang gas emisi yang mampu merusak lapisan
ozon. Karenanya, Penekanan penggunakan pupuk organik dan melepaskan
ketergantungan pada bahan-bahan kimia menjadi fokus utama dalam sistem
budidaya ini. Begitu pula dengan pengendalian hama yang lebih ditekankan
dengan memanfaatkan hewan-hewan predator dalam menghalau hama tersebut.
Dari beberapa solusi di atas, peran agroteknologi sangatlah nampak, karena
dalam membuat teknik budidaya pertanian yang berkualitas merupakan bagian
penting dari agroteknologi. sistem budidaya yang sustainable membutuhkan ilmu-
ilmu proteksi dari bidang studi agroteknologi, yaitu ilmu hama dan penyakit
tanaman. Dengan banyakanya mahasiswa-mahasiswi pertanian yang turut
membantu para petani dengan mengandalkan teknologi-teknologi terbarukan,
swasembada pangan akan dapat meningkat dengan pesatnya. Namun perlu
diperhatikan juga peran pemerintah dalam proses peningkatan swasembada
pangan ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan
pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan
yang sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimiliki
dan pengetahuan lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut
terutama di bidang kebutuhan pangan. Laju pertumbuhan penduduk yang setiap
tahun semakin tinggi, membuat Indonesia harus berpikir keras untuk
meningkatkan swasembada pangan agar kebutuhan pangan di Indonesia dapat
tercukupi. Oleh karena itu, peran agroteknologi sangatlah dibutuhkan dalam hal
ini. Dengan ilmu-ilmu pertanian di agroteknologi, untuk meningkatkan produksi
beras dengan teknik budidaya yang modern serta sistem pertanian yang
sustainable akan lebih mudah dilakukan.
3.2 Saran
Swasembada pangan dapat diwujudkan secara optimal asal pemerintah dan
seluruh komponen masyarakat bekerja sama mewujudkannya. Terkhususnya para
sarjana-sarjana pertanian harus terjun ke sektor pertanian sendiri demi
peningkatan swasembada pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Borthon, Rismayanti. 2015. “Langkah-Langkah Memperjuangkan Swasembada
Pangan”. 25 Februari 2015.
http://www.berdikarionline.com/opini/20150217/langkah-langkah-
memperjuangkan-swasembada-pangan.html
Darsono. 2012. Faktor Utama Swasembada Pangan Tingkat Rumah Tangga
Petani Lahan Kering di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Vol.9 No.
1. http://eprints.uns.ac.id/1228/1/Faktor-Utama-Swasembada-Pangan-Tingkat-
RumahTangga.pdf. Diakses tanggal 24 Februari 2015.
Ika, Sjahrir. 2014. “Kedaulatan Pangan dan Kecukupan Pangan.”
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2014_kajian_pprf_Kedaulatan
%20Pangan%20dan%20Kecukupan%20Pangan.pdf. Diakses tanggal 24
Februari 2015.
Rabbani, Latipah. “Kebijakan Swasembada Pangan”. 24 Februari 2015.
https://latipahrabbani3103.wordpress.com/2014/06/27/kebijakan-swasembada-
pangan/