PERBEDAAN PH SALIVA PADA PEROKOK PUTIH DAN PEROKOK KRETEK SESAAT SETELAH
MEROKOK
I Putu Krisna Parama Arta. NPM: 10.8.03.81.41.1.5.028
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
2014
iii
iv
PERBEDAAN PH SALIVA PADA PEROKOK PUTIH DAN PEROKOK KRETEK SESAAT SETELAH MEROKOK
Abstrak
pH saliva adalah derajat keasaman saliva. pH saliva dalam keadaan normal antara 5,6-7,0 dengan rata-rata pH 6,7. pH saliva dapat diukur dengan menggunakan pH meter ataupun pH paper. Rokok adalah salah satu bentuk olahan dari tembakau yang dibakar dan dihisap. Berdasarkan isinya, rokok dibedakan menjadi rokok putih dan rokok kretek. Rokok putih dan rokok kretek mempunyai kadar nikotin dan tar yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pH saliva antara perokok putih dan perokok kretek sesaat setelah merokok. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional, di mana subjek penelitian berjumlah 40 orang yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 20 orang kelompok rokok putih dan 20 orang kelompok rokok kretek. Pengukuran pH saliva dilakukan setelah subjek penelitian menghisap rokoknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan, yaitu nilai sig. sebesar 0.003 lebih kecil dari alpha 5% (p < 0.05). Kesimpulannya adalah bahwa menghisap rokok kretek dapat menyebabkan penurunan pH saliva yang lebih signifikan daripada rokok putih.
Kata kunci: pH saliva, rokok putih, rokok kretek
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“PERBEDAAN PH SALIVA PADA PEROKOK PUTIH DAN PEROKOK
KRETEK SESAAT SETELAH MEROKOK”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi (SKG) pada Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Mengingat keterbatasan penulis maka penulis sangat menyadari bahwa
penyusunan skripsi ini tidak mungkin berjalan lancar tanpa bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada yang terhormat:
1. Tuhanku Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Sanghyang Aji Dewi Saraswati
yang senantiasa menganugrahkan kesehatan dan bantuan kepada penulis
untuk menyelesaikan penelitian ini.
2. I Ketut Risjuniarta dan Ni Wayan Rustawati selaku orangtua dan Ni Made
Kristizia Paramitha selaku adik beserta keluarga yang senantiasa
memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga penelitian
ini dapat selesai tepat waktu.
3. drg. Yanuaris Widagdo, M.Kes, selaku pembimbing I atas segala waktu,
upaya dan bantuan beliau dalam membimbing dan mengarahkan penulis
dalam penulisan penelitian ini.
4. drg. Intan Kemala Dewi M.Biomed, selaku pembimbing II atas segala
bimbingan dan petunjuk yang diberikan hingga tersusunnya skripsi ini.
vi
5. - , selaku dosen penguji.
6. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
7. Rektor Universitas Mahasaraswati Denpasar.
8. Soma Indri Cahyantari yang selalu memberikan dukungan dan semangat
kepada penulis.
9. Riscapy, Dewik, Indah, Cynthia, Evie, Benjamin, semua sampel penelitian
dan teman-teman Cranter 2010 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca
dan semua pihak yang memerlukan.
Denpasar,……………….
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI DAN PENGESAHAN ............ iii
ABSTRAK .................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 2
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 2
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Saliva ..................................................................................... 4
1. Pengertian Saliva .............................................................. 4
2. Fungsi Saliva ................................................................... 4
3. Kelenjar Saliva ................................................................. 6
4. Komposisi Saliva.............................................................. 9
5. pH Saliva ......................................................................... 10
B. Rokok .................................................................................... 12
1. Deskripsi Rokok ............................................................... 12
2. Kandungan Rokok ........................................................... 13
3. Dampak Merokok ............................................................ 17
viii
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Peneltian ........................................................................ 20
B. Identifikasi Penelitian ............................................................. 20
C. Definisi Operasional ............................................................... 20
D. Subjek Penelitian .................................................................... 21
E. Alat dan Bahan ....................................................................... 21
F. Instrumen Penelitian ............................................................... 22
G. Lokasi dan Waktu .................................................................. 22
H. Jalannya Penelitian ................................................................. 22
I. Analisis Data .......................................................................... 23
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Sampel .............................................................. 24
B. Analisis Data Statistik ............................................................ 24
C. Uji Normalitas ....................................................................... 25
D. Uji Homogenitas ................................................................... 26
E. Uji T (T-Test)......................................................................... 26
BAB V. PEMBAHASAN
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ................................................................................ 33
B. Saran ...................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur ...... 24
Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif ............................................................ 25
Tabel 4.3 Uji normalitas pH saliva perokok putih dan perokok kretek sesaat setelah merokok dari Kolmogorov-smirnov test ............... 25
Tabel 4.4 Uji homogenitas pH saliva perokok putih dan perokok kretek sesaat setelah merokok dari Levene’s test .................................. 26
Tabel 4.5 Hasil uji T-Independent pH saliva perokok putih dan perokok kretek sesaat setelah merokok ..................................................... 27
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Statistik bulan Juni 2012 menyebutkan bahwa jumlah perokok di ASEAN
mencapai 127 juta orang dan Indonesia menyumbang perokok terbesar, yakni, 65
juta orang atau sekitar 51,11 % (Chan 2012).
Rokok dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Secara singkat,
berdasarkan bahan baku atau isinya rokok terdiri dari rokok putih, yaitu rokok
yang hanya berisikan daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek
rasa dan aroma tertentu dan biasanya berisikan filter penyaring pada bagian yang
akan dihisap dan rokok kretek yang berisikan daun tembakau dan cengkeh yang
diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. Rokok kretek inilah
yang kebanyakan tidak menggunakan filter pada bagian yang akan dihisap (Aula
2010).
Rokok putih dan kretek mempunyai kadar nikotin dan tar berbeda. Kadar
nikotin dalam asap rokok putih lebih besar daripada dalam asap rokok kretek
berfilter ataupun tanpa filter. Kadar nikotin dalam filter rokok yang dihisap alat
simulasi perokok aktif lebih besar daripada kadar nikotin dalam filter rokok yang
dihisap oleh sukarelawan dalam penelitian (Irda 2004).
Rokok mempunyai beberapa efek samping terhadap pH saliva. Terdapat
perbedaan pH saliva antara perokok dengan non perokok, di mana tingkat
keasaman saliva perokok lebih tinggi dibandingkan yang non perokok (Puspawati
2005).
2
Menurut Almeida (2008) air liur atau saliva adalah hasil sekresi kelenjar
eksokrin yang terdiri dari 99% air dan 1% komponen elektrolit. Komponen
tersebut berinteraksi terhadap berbagai fungsi dari saliva, yang mana menurut
Sherwood (2001), fungsi dari saliva diantaranya adalah mempermudah proses
menelan, efek pertahanan terhadap bakteri di rongga mulut, membantu proses
pembersihan rongga mulut, dan membantu proses bicara dengan mempermudah
pergerakan bibir dan lidah.
Saliva di dalam rongga mulut mempunyai pH atau derajat keasaman yang
dapat berubah setiap saat. Menurut Dikri dkk (2003), perubahan pH saliva
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain irama siang dan malam, diet,
perangsangan kecepatan sekresi, dan berubahnya polisakarida menjadi asam di
dalam rongga mulut.
Tarigan (1993), menuliskan bahwa pH normal saliva berkisar antara 6,2 -
7,4. pH saliva yang rendah dan mencapai angka kritis dapat menyebabkan
terjadinya karies atau lubang pada gigi, di mana penurunan pH yang berulang-
ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi.
Karies gigi ini merupakan salah satu efek samping dari rokok, di mana seperti
yang telah dituliskan di atas bahwa rokok secara signifikan menurunkan pH saliva
sehingga menjadi lebih asam dan lebih berpotensi terjadi karies gigi.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu
apakah terdapat perbedaan pH saliva pada rongga mulut perokok putih dan
perokok kretek sesaat setelah merokok?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah apakah terdapat
perbedaan pH saliva pada rongga mulut perokok putih dan perokok kretek sesaat
setelah merokok.
.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh setelah penelitian ini selesai dilakukan
antara lain :
1. Memberikan informasi tentang pengaruh menghisap rokok kretek pada pH
saliva.
2. Memberikan informasi tentang perbandingan pH saliva pada perokok putih
dan perokok kretek sesaat setelah merokok.
3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian sejenis yang mungkin akan dilakukan
selanjutnya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Saliva
1. Pengertian Saliva
Saliva adalah cairan oral yang kompleks, terdiri dari campuran sekresi
yang berasal dari kelenjar ludah besar (mayor) dan kecil (minor) yang ada pada
mukosa oral (Kidd dan Bechal 1992). Menurut Amerongen (1988), pentingnya
saliva bagi kesehatan mulut terutama akan terlihat bila terjadi gangguan sekresi
saliva, yang akan menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan.
Pengeluaran saliva pada orang dewasa berkisar antara 0,3-0,4 ml/menit
sedangkan apabila distimulasi, banyaknya air ludah normal adalah 1-2 ml/menit.
Amerongen (1988) menyebutkan bahwa proses karies pada pasien dengan
fungsi kelenjar ludah yang sangat menurun tidak dapat ditahan, maka dari itu
disimpulkan bahwa saliva adalah faktor penting dalam pencegahan karies gigi,
kelainan periodontal dan gambaran penyakit mulut lainnya.
2. Fungsi Saliva
Sherwood (2001) mengatakan bahwa kurang lebih 80% bau mulut timbul
dari dalam rongga mulut. Saliva memegang peranan dalam masalah bau mulut,
gigi berlubang dan penyakit rongga mulut ataupenyakit tubuh secara keseluruhan
karena saliva melindungi gigi dan selaput lunak di rongga mulut dengan sistem
buffer sehingga makanan yang terlalu asam misalnya bisa dinetralkan kembali
keasamannya dan juga segala macam bakteri baik yang aerob (hidup dengan
adanya udara) maupun bakteri anaerob (hidup tanpa udara) dijaga
5
keseimbangannya. Di dalam saliva juga terdapat antigen dan antibodi yang
berfungsi melawan kuman dan virus yang masuk ke dalam tubuh sehingga tubuh
tidak akan mudah terserang penyakit. Namun, jika dalam keadaan normal tersebut
seseorang memakai obat kumur ataupun antiseptik yang berlebihan, yang terjadi
justru keseimbangan bakteri akan terganggu karena bakteri-bakteri penting
tersebut dapat mati dan bakteri-bakteri perusak menjadi berlipat ganda sehingga
timbul masalah dalam rongga mulut. Adanya bakteri perusak akan dapat membuat
sisa makanan di gigi atau selaput rongga mulut terfermentasi (seperti halnya ragi),
sehingga timbul racun bersifat asam yang akan membuat email menjadi rapuh
(mengalami demineralisasi), mula-mula secara mikro dan dengan berjalannya
waktu gigi akan berlubang secara kasat mata. Menurut Sherwood (2001), terdapat
beberapa fungsi saliva, yaitu:
a. Mempermudah proses menelan dan membasahi partikel-partikel makanan
sehingga saling menyatu dan menghasilkan pelumas yaitu mukus yang kental
dan licin.
b. Membantu proses berbicara dengan mempermudah gerakan bibir dan lidah.
c. Membantu menjaga kebersihan mulut dan gigi. Aliran saliva yang terus
menerus dapat membantu membilas sisa-sisa makanan dan melepaskan sel
epitel serta benda asing di rongga mulut.
d. Penyangga bikarbonat di saliva berfungsi untuk menetralkan asam makanan
serta asam yang dihasilkan oleh bakteri di mulut.
3. Kelenjar Saliva
Menurut Tenovuo (1997) dalam Puy (2006), saliva diproduksi oleh tiga
pasang kelenjar utama, yaitu kelenjar sublingual, submandibula, dan parotis yang
6
terletak di luar rongga mulut dan menyalurkan saliva melalui duktus-duktus
pendek ke dalam mulut. Kelenjar-kelenjar ini berada di tiap regio di mulut,
kecuali gusi dan bagian depan dari palatum durum. Kontribusi tiap-tiap kelenjar
pada saat tidak ada stimulasi ialah 20% berasal dari kelenjar parotis, 65-70% dari
kelenjar submandibularis, 7-8% dari kelenjar sublingualis, dan <10% berasal dari
kelenjar saliva minor (Almeida 2008). Selain itu, masih banyak sekali terdapat
kelenjar ludah kecil di dalam mukosa pipi (bukal), bibir (labial), lidah (lingual),
dan langit-langit (palatinal). Jumlah seluruhnya diperkirakan 450-750. Sifat
kelenjar ludah dan sekresinya ditentukan oleh tipe sel sekretori yaitu serus,
seromukus dan mukus. Saliva serus menunjukkan saliva yang encer dan ludah
mukus menunjukkan saliva yang pekat (Almeida 2008).
Menurut Amerongen (1988), sumbangan setiap jenis kelenjar saliva
kepada volume saliva sangat tergantung pada sifat rangsangan (stimulasi).
Kecepatan sekresi bervariasi dari hampir tidak dapat diukur pada waktu tidur
sampai 3-4 ml / menit pada stimulasi maksimal. Jumlah seluruh saliva tiap 24 jam
diperkirakan sebanyak 500-600 ml, sekitar separuhnya dihasilkan pada keadaan
istirahat (tidak distimulasi), dan separuh lainnya disekresi di bawah pengaruh
rangsangan. Pada malam hari, sekresi saliva hampir berhenti +- 10 ml / 8 jam.
Pada malam hari ini glandula parotis sama tidak menghasilkan saliva, glandula
submandibularis menghasilkan 70% saliva, dan glandula sublingualis serta
kelenjar saliva lain menghasilkan 30% saliva. Berikut penjelasan tentang kelenjar
utama saliva.
7
a. Kelenjar parotis
Kelenjar ini merupakan kelenjar ludah terbesar yang terletak antara prosessus
mastoideus dan ramus mandibula. Kelenjar parotis mengandung sejumlah
besar enzim antara lain amilase lisozim, fosfatase asam, aldolase serta
kolinesterase dan dibungkus oleh jaringan ikat padat yang masuk ke dalam
parenkim dan membagi organ menjadi beberapa lobus dan lobulus. Secara
morfologis, kelenjar parotis merupakan kelenjar tubuloasinus (tubulo-
alveolar) bercabang-cabang (compund tubulo alveolar gland). Duktus atau
saluran keluar kelenjar ini bermuara pada vestibulus oris pada lipatan antara
mukosa pipi dan gusi, di hadapan molar dua atas, di mana saluran keluar
utama (duktus interlobaris) disebut duktus stenson, yang terdiri dari epitel
berlapis semu. Ke arah dalam, duktus ini bercabang-cabang menjadi duktus
interlobularis dengan sel-sel epitel berlapis silindris. Pada jaringan dari kedua
duktus ini, terlihat banyak lemak yang berhubungan dengan kumpulan lemak
bichat atau fat depat of bichat dan terlihat cabang-cabang dari Nervus Facialis
dan pembuluh darah.
b. Kelenjar Submandibularis
Kelenjar ini merupakan kelenjar yang memproduksi air liur terbanyak, terletak
di sebelah dalam korpus mandibula dan mempunyai duktus ekskretoris
(duktus Wharton) yang bermuara pada dasar rongga mulut pada frenulum
lidah, di bawah gigi insisivus bawah. Percabangan maupun sel-sel duktus
kelenjar ini sama dengan kelenjar parotis. Secara morfologis, kelenjar ini
merupakan kelenjar tubuloalveolar atau tubuloacinus bercabang-cabang
(compound tubulo alveolar gland). Sama halnya dengan kelenjar parotis,
8
kelenjar ini diliputi kapsel yang terdiri dari jaringan ikat padat yang juga
masuk ke dalam organ dan membagi organ tersebut menjadi beberapa lobus
dan lobulus. Beberapa duktus pada kelenjar ini antara lain duktus Boll yang
mempunyai karakteristik pendek dan sempit, dan duktus Pfluger yang lebih
panjang dan bercabang daripada duktus Boll.
c. Kelenjar Sublingualis
Kelenjar ini merupakan kelenjar paling kecil di antara kelenjar ludah besar.
Terletak pada dasar rongga mulut, di bawah mukosa dan mempunyai duktus
ekskretoris yang disebut duktus Rivinus. Duktus ini bermuara oada dasar
ronga mulut di belakang muara duktus Wharton pada frenulum lidah. Kelenjar
ini tidak memiliki kapsel yang jelas, dan secara morfologis merupakan
kelenjar bercabang-cabang (compound tubuloalveolar gland). Perbedaan yang
jelas terlihat antara kelenjar ini dengan kelenjar parotis adalah pada jaringan
ikat interlobularis tidak terdapat lemak sebagaimana halnya pada kelenjar
parotis.
Selain tiga kelenjar utama di atas, juga terdapat beberapa kelenjar saliva kecil
yang terletak di dalam mukosa atau submukosa yang diberi nama sesuai
dengan nama lokasi ataupun sesuai dengan nama pakar yang menemukannya.
Semua kelenjar ini mengeluarkan sekretnya ke dalam rongga mulut. Beberapa
kelenjar saliva kecil ini antara lain:
a. Kelenjar labial (glandula labialis) terletak di bibir atas dan bibir bawah dengan
asinus-asinus seromukus.
b. Kelenjar bukal (glandula bukalis), terletak di mukosa pipi, dengan asinus-
asinus seromukus.
9
c. Kelenjar Bladin-Nuhn (glandula lingualis anterior), terletak di bagian bawah
ujung lidah dengan asinus-asinus seromukus.
d. Kelenjar Von Ebner (gustatory gland), terletak di pangkal lidah, dengan
asinus-asinus murni serus.
Kelenjar saliva dapat dirangsang dengan menggunakan cara-cara seperti cara
mekanis, contohnya mengunyah permen karet, kimiawi yaitu rangsangan rasa,
contohnya asam, manis, sasin dan pahit, neuronal yaitu melalui sistem syaraf
autonom, psikis contohnya stres, dan rangsangan rasa sakit seperti gingivitis.
4. Komposisi Saliva
Ludah diproduksi secara berkala dan susunannya sangat tergantung pada
umur, jenis kelamin, makanan saat itu, intensitas dan lamanya rangsangan, kondisi
biologis, penyakit tertentu dan obat-obatan. Manusia memproduksi sebanyak
1000-1500 cc air ludah dalam 24 jam, yang umumnya terdiri dari 99,5% air dan
0,5 % lagi terdiri dari garam-garam. Amerongen (1988) berpendapat bahwa saliva
terdiri dari komponen bio organik dan komponen anorganik.
a. Komponen anorganik
Komponen ini terdiri dari kation-kation Na+ dan K+ yang merupakan
konsentrasi tertinggi, namun di samping itu juga terdapat Ca2+, Mg2+, Cl-,
HCO3-, dan fosfat. Ca2+ dan fosfat penting dalam remineralisasi email dan
berperan dalam pembentukan karang gigi dan plak bakteri, sedangkan Cl-
penting untuk akivitas enzimatik amilase.
b. Komponen bio organik
Komponen ini terdiri dari protein dan musin sebagai penyusun utama, namun
juga terdapat komponen lain seperti asam lemak, lipida, glukosa, asam amino,
10
ureum dan amoniak. Produk - produk ini selain berasal dari kelenjar saliva
juga berasal dari sisa makanan dan pertukaran zat bakterial. Protein yang
secara kuantitatif penting adalah amilase, protein kaya-prolin, musin, dan
imunoglobulin.
Sekresi saliva yang menurun dapat menyebabkan kesulitan berbicara,
mengunyah, dan menelan, serta meningkatnya kemungkinan terjadi karies
pada gigi-geligi (Amerongen 1988). Saliva mempunyai derajat keasaman,
yang dinyatakan dengan menggunakan pH.
5. pH Saliva
pH saliva adalah derajat keasaman dari saliva. pH saliva dalam keadaan
normal antara 5,6-7,0 dengan rata-rata pH 6,7. pH dapat diukur dengan
menggunakan pH meter ataupun pH strips. Apabila pH rongga mulut rendah atau
asam, kuman asidogenik seperti Streptococcus Mutans dan Lactobacillus akan
lebih mudah berkembang (Linder 1991).
Amerongen (1988) menuliskan bahwa terdapat beberapa proses fisiologis
yang dipengaruhi oleh pH saliva, seperti:
a. Aktivitas enzimatik. Struktur ruang suatu protein ditentukan oeh muatan
susunan asam amino, yang pada gilirannya tergantung dari pH. Struktur ruang
enzim antara lain penting bagi ikatan substrat pada enzim, atau bagi ikatan
protein pada permukaan. Banyak enzim intraselular hanya bekerja optimal
pada trayek-pH yang sangat terbatas, sehingga pH cairan badan betul-betul
menghasilkan sumbangan pada regulasi aktivitas enzim.
b. Proses demineralisasi dan remineralisasi jaringan keras. Pada penurunan pH,
demineralisasi elemen gigi-gigi akan cepat meningkat, sedangkan pada
11
kenaikan pH dapat terbentuk kristal-kristal yang menyimpang, juga
meningkatnya pembentukan karang gigi.
Di dalam serum dan plasma sel, pH dijaga agar tetap konstan, tetapi di dalam
cairan sekresi eksokrin seperti saliva, pH berbeda-beda dan tidak konstan.
Derajat keasaman pH dan kapasitas buffer saliva ditentukan oleh susunan
kuantitatif dan kualitatif elektrolit di dalam saliva, terutama ditentukan oleh
susunan bikarbonat, karena susunan bikarbonat sangat konstan dalam saliva
dan berasal dari kelenjar saliva. Amerongen (1988) menuliskan bahwa pH
saliva yang tidak dirangsang biasanya agak asam, bervariasi antara 6,4-6,9.
Konsentrasi bikarbonat pada saliva saat istirahat atau tidak ada rangsangan
rendah (sekitar 50%), sedangkan pada saliva yang dirangsang, konsentrasi
bikarbonatnya 85%.
Penurunan pH saliva saat istirahat paling jelas terlihat pada kelenjar parotis, di
mana pH dapat turun hingga 5,8. Sebaliknya, pH saliva mukus dalam keadaan
istirahat kurang lebih netral. Karena dalam keadaan istirahat sekresi saliva
kelenjar parotis turun (bahkan sama sekali tidak ada pada malam hari), maka
pada keadaan istirahat pH saliva total terutama ditentukan oleh pH saliva
mukus, misalnya oleh musin dan peptida kaya-histidin. Pada keadaan
patologis, pH saliva istirahat dapat cepat berubah. Pada pasien hemodialisis
misalnya, pH rata-rata saliva istirahat adalah 7,8 dan bahkan sampai 8,5. Ini
disebabkan oleh kenaikan cepat amoniak dan urea di dalam saliva, yang tidak
dapat dibuang dari serum oleh ginjal yang tidak berfungsi dengan baik.
Amerongen (1988) mengatakan bahwa pH saliva kelenjar parotis langsung
ditentukan oleh kecepatan sekresi dan tidak oleh sifat rangsangan, baik
12
mengunyah permen karet, maupun rangsangan rasa seperti asam, manis dan
lain-lain. Kecepatan sekresi saliva secara langsung mempengaruhi pH rongga
mulut, dan dapat mempengaruhi demineralisasi gigi-geligi. Ini antara lain
dapat dilihat pada beberapa penyakit dengan gangguan sekresi saliva. Keadaan
tertekan pada pasien dapat mengakibatkan penurunan kecepatan sekresi begitu
pula pH-nya.
Perubahan kecil pada pH saliva dapat mempengaruhi keadaan ionisasi enzim
dan dalam banyak kejadian mempengaruhi pH substrat. Aktivitas enzim
ternyata bergantung kepada pH. Kebanyakan enzim mempunyai aktivitas
optimal antara pH 5 dan 9, kecuali misalnya pH pepsin dengan pH optimum
antara 1-2 (Amerongen 1988).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pH saliva, contohnya irama
siang dan malam, diet, dan perangsangan kecepatan sekresi. Selain
mempengaruhi pH saliva, diet juga dapat mempengaruhi kapasitas bufer
saliva. Misalnya diet kaya karbohidrat, akan menurunkan kapasitas bufer
sedangkan diet sayur-sayuran seperti bayam, dan diet kaya protein mempunyai
efek menaikkan.
B. Rokok
1. Deskripsi
Rokok merupakan salah satu bentuk olahan dari tembakau yang
sediaannya berbentuk gulungan tembakau yang dibakar dan dihisap, contohnya
bidi, cigar, cigarette. Cigarette atau sigaret merupakan sediaan yang paling dikenal
dan paling banyak digunakan (Gondodiputro 2007). Berdasarkan bahan baku atau
13
isinya rokok terdiri dari rokok putih, yaitu rokok yang hanya berisikan daun
tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu dan
biasanya berisikan filter penyaring pada bagian yang akan dihisap dan rokok
kretek yang berisikan daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk
mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. Rokok kretek inilah yang kebanyakan
tidak menggunakan filter pada bagian yang akan dihisap (Aula 2010).
Rokok filter dan rokok kretek mempunyai kandungan yang berbeda. Pada
rokok filter, memang terdapat suatu penyaring yang berfungsi untuk menyaring
sebagian tar dari tembakau, namun masih banyak sisanya yang bisa tembus dan
masuk ke dalam darah. Perokok tidak akan terlindung dari bahaya rokok kecuali
seluruh kandungan tar dalam rokok dihilangkan (Husaini 2010). Rokok kretek
memiliki campuran tembakau dan bunga cengkeh kering dalam perbandingan
tertentu. Hasil analisis terhadap rokok kretek menemukan adanya lima zat kimia
yang tidak terdapat pada rokok putih non cengkeh. Bahan kimia tersebut adalah
eugenol, acetyl eugenol, B-caryophyllene, x-humulene serta caryophllene
epoksida. Bunga cengkih sendiri mengandung 15% minyak di mana 82-87% dari
kandungan minyak tersebut ialah eugenol. Rata-rata kandungan eugenol pada
sebatang rokok kretek sebanyak 13 mg dan ditaksir sekitar 7 mg akan tersedot
ketika rokok dihisap. Eugenol memberi kesan toksik kepada sistem saraf pusat
(Prihardianto 2006).
Pecandu rokok kretek di kalangan remaja dilaporkan mendapat kesan
khayal ringan apabila menghisap rokok kretek. Menyedot asap rokok kretek
dalam-dalam akan meningkatkan kepekatan asap dan ini ada hubungannya dengan
kadar tinggi eugenol yang diserap yang akan memberikan kesan khayal tersebut
14
(Prihardianto 2006). Selain itu, rokok kretek yang mengandung cengkeh ternyata
dapat memberikan pengaruh buruk kepada gigi. Cengkeh yang dicampurkan ke
dalam rokok kretek ternyata mengandung zat aktif eugenol dengan kadar tinggi
yang jika asapnya dihisap dapat masuk melalui lubang mikro ke bagian organik
dari email sehingga mencapai perbatasan email (lapisan paling luar dari gigi)
dengan dentin (lapisan di bawah email). Akibatnya, perokok dapat menderita
gangguan gigi berupa karies atau gigi berlubang. Karies yang terbentuk
bergantung pada frekuensi merokok dan jumlah rokok yang dihisap setiap hari.
Semakin lama seseorang menghisap rokok kretek, semakin besar peluang orang
tersebut menderita karies spesifik (Mangoenprasodjo 2004).
2. Kandungan Rokok
Tirtosastro dan Murdiyati (2009), menyebutkan kandungan kimia rokok
yang sudah terindentifikasi jumlahnya mencapai 2.500 komponen, sedangkan
dalam asap hasil pembakarannya terdapat 4.800 macam komponen. Dari
komponen kimia ini, yang telah diidentifikasi dapat membahayakan kesehatan
adalah tar, nikotin, CO, dan NO yang dihasilkan oleh tanaman tembakau, dan
beberapa bahan-bahan residu yang terbentuk pada saat penanaman, pengolahan
dan penyajian dalam perdagangan yaitu residu pupuk dan pestisida. Kadar nikotin
tembakau juga dapat dipengaruhi oleh varietas, budidaya, dan lingkungan. Berikut
penjelasan dari beberapa zat kimia pada rokok (Gondodiputro 2007):
a. Nikotin
Nikotin bukan merupakan komponen karsinogenik atau penyebab kanker,
namun hasil pembusukan panas dari nikotin seperti dibensakridin,
dibensokarbasol, dan nitrosamin lah yang besifat karsinogenik. Pada paru-
15
paru, nikotin dapat menghambat aktivitas silia. Nikotin memiliki efek aditif
dan psikoaktif, yang membuat perokok akan merasakan kenikmatan,
kecemasan berkurang, dan keterikatan fisik. Inilah sebabnya kebiasaan
merokok sulit untuk dihentikan. Selain itu, nikotin juga menyebabkan
perangsangan terhadap hormon katekolamin (adrenalin) yang bersifat memacu
jantung dan tekanan darah. Jantung tidak diberikan kesempatan untuk
beristirahat dan tekanan darah akan semakin tinggi, yang mengakibatkan
timbulnya hipertensi. Efek lain adalah merangsang berkelompoknya (agregasi)
trombosit. Trombosit akan menggumpal dan akan menyumbat pembuluh
darah yang sudah sempit akibat CO. Nikotin yang terkandung di dalam rokok
adalah sebesar 0,5-3 nanogram, dan semuanya diserap sehingga di dalam
cairan darah ada sekitar 40-5- nanogram nikotin setiap 1 ml-nya.
b. Tar
Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam. Tar
merupakan substansi hidrokarbon yang akan menempel pada paru-paru dan
bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker. Kadar tar dalam rokok
berkisar antara 0,5-35 mg/batang.Tar adalah zat karsinogen atau zat yang
dapat menyebabkan kanker, terutama pada saluran nafas dan paru-paru.
c. Karbon Monoksida (CO)
Gas CO dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat arang atau
karbon dan mempunyai kemampuan untuk mengikat hemoglobin yang
terdapat dalam sel darah merah lebih kuat dibandingkan dengan oksigen,
sehingga ketika seseorang menghirup asap rokok dalam kadar oksigen udara
yang rendah, menyebabkan sel darah merah kekurangan oksigen karena yang
16
diangkut adalah CO dan bukan oksigen. Sel tubuh yang kekurangan oksigen
akan mengalami spasme, yaitu menyempitnya diameter pembuluh darah. Jika
proses ini berlangsung terus-menerus, makan pembuluh darah akan mudah
rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis. Gas CO yang dihasilkan oleh
sebatang tembakau dapat mencapai 3%-6%
d. Kadmium
Adalah zat yang dapat merusak jaringan tubuh terutama ginjal.
e. Amoniak
Merupakan gas tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan hidrogen. Zat ini
berbau tajam dan sangat merangsang. Amoniak sangat beracun, sehigga jika
masuk secara langsung ke peredaran darah dapat menyebabkan seseorang
pingsan atau bahkan koma.
f. HCN (Asam Sianida)
Merupakan sejenis gas tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa.
Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah terbakar, dan sangat efisien
untuk menghalangi dan merusak saluran pernapasan.
g. Nitric Oxide
Merupakan gas yang tidak berwarna, bila terhisap dapat menyebabkan
hilangnya kesadaran dan rasa sakit. Zat ini pada awalnya digunakan sebagai
obat anestesi dalam pelaksanaan operasi.
h. Formaldehid
Merupakan sejenis gas yang berbau tajam, tergolong sebagai pengawet dan
pembasmi hama. Gas ini sangat beracun terhadap semua organisme hidup.
17
i. Fenol
Adalah campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi beberapa zat
organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar arang. Zat ini beracun
dan membahayakan karena fenol terikat pada protein sehingga menghalangi
aktivitas enzim.
j. Aseton
Adalah hasil pemanasan dari aldehid dan mudah menguap dengan alkohol.
k. H2S (Asam Sulfida)
Adalah sejenis gas yang beracun dan mudah terbakar dengan bau yang keras.
Zat ini menghalango oksidasi enzim.
l. Piridin
Adalah sejenis cairan tidak berwarna dengan bau tajam. Zat ini dapat
digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
m. Metil Klorida
Adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu dengan hidrokarbon sebagai
unsur utama. Zat ini adalah senyawa organik yang beracun.
n. Metanol
Adalah sejenis cairan ringan yang mudah menguap dan mudah terbakar,
Meminum metanol dapat mengakibatkan kebutaan dan bahkan kematian.
o. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH)
Senyawa ini merupakan senyawa reaktif yang cenderung membentuk epoksida
yang mtabolitnya bersifat genotoksik. Senyawa tersebut merupakan zat yang
bersifat karsinogeni.
18
3. Dampak Merokok terhadap Jaringan Rongga Mulut
Wardianto 2010 menyebutkan bahwa pengaruh merokok pada mukosa
mulut bervariasi, tergantung pada umur, jenis kelamin, etnis, gaya hidup, diet,
genetis, jenis, dan cara merokok, serta lamanya merokok. Perubahan tersebut
akibat iritan, toksin dan karsinogen. Salah satu bagian tubuh yang paling riskan
terpapar efek merugikan dari rokok adalah rongga mulut yang merupakan tempat
awal terjadinya penyerapan zat-zat hasil pembakaran rokok. Merokok dapat
menyebabkan kelainan-kelainan rongga mulut misalnya pada gusi, mukosa mulut,
gigi, langit-langit yang berupa stomatitis nikotina dan infeksi jamur serta pada
lidah yang berupa terjadinya perubahan sensitivitas indera pengecap. Asap panas
yang berhembus terus menerus ke dalam rongga mulut merangsang perubahan
aliran darah dan mengurangi sekresi saliva. Temperatur rokok pada bibir adalah
30o C, sedangkan ujung rokok yang terbakar dapat mencapai suhu 900o C. Hal ini
menyebabkan rongga mulut menjadi kering dan lebih anaerob sehingga
memberikan lingkungan yang sesuai untuk timbulnya bakteri anaerob dalam plak,
sehingga perokok lebih berisiko terinfeksi bakteri penyebab penyakit periodontal.
Dampak lain yang disebabkan oleh rokok antara lain:
a. Bau mulut
Bau mulut sejak dulu bukan hanya menjadi masalah kesehatan gigi dan mulut,
tetapi juga merupakan masalah sosial. Banyak hal yang bisa menjadi
penyebabnya, seperti makanan berbau menyengat, makanan berlemak, rokok
dan alkohol (Wardianto 2010).
19
b. Kalkulus (karang gigi)
Gigi geligi seorang perokok cenderung lebih banyak terdapat karang gigi
daripada yang bukan perokok. Karang gigi yang tidak dibersihkan dapat
menimbulkan berbagai keluhan, seperti gingivitis atau gusi berdarah. Selain
itu, hasil pembakaran rokok dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke
gusi sehingga mudah terjangkit penyakit (Wardianto 2010).
c. Meningkatkan risiko kanker mulut
Perokok mempunyai risiko 6 kali lebih banyak menderita kanker rongga mulut
dikarenakan bahan kimia yang terkandung dalam rokok bersifat karsinogenik.
kanker yang biasa dialami oleh perokok adalah kanker mulut, lidah, bibir, dan
tenggorokan (Wardianto 2010)
d. Memperlambat penyembuhan jaringan lunak rongga mulut
Hal ini terjadi karena rokok mengurangi pengiriman oksigen dan nutrisi ke
jaringan gusi. Salah satu contohnya adalah luka pasca pencabutan gigi yang
sembuhnya menjadi lebih lambat apabila setelah pencabutan pasien
menghisap rokok (Wardianto 2010)
e. Menyebabkan stain (pewarnaan) pada gigi
Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor ekstrinsik yang dapat
mengubah warna gigi. Stain adalah deposit berpigmen pada permukaan gigi
yang merupakan masalah estetik dan tidak menyebabkan peradangan pada
gingiva (Grossman 1995). Gigi dapat berubah warna menjadi lebih kuning
dari aslinya, bahkan jika kebiasaan merokok sudah termasuk parah dan
menahun, warna gigi dapat berubah menjadi cokelat yang akan mengganggu
seseorang secara estetik (Schuurs, 1992)
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian jenis deskriptif
observasional, dengan pendekatan cross sectional di mana pengumpulan data atau
variabel yang akan diteliti dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu
(Sastroasmoro, 2008).
B. Identifikasi Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan 2 variabel yaitu:
1. Variabel pengaruh : Penggunaan rokok putih dan rokok kretek.
2. Variabel terpengaruh : pH saliva.
C. Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan pada penelitian ini meliputi variabel
penelitian sebagai berikut:
1. Rokok adalah salah satu bentuk olahan dari tembakau yang sediaannya
berbentuk gulungan tembakau yang dibakar dan dihisap, terdiri dari rokok
putih dan rokok kretek.
2. pH saliva adalah derajat keasaman dari saliva. Derajat keasaman saliva dalam
keadaan normal antara 5,6-7,0 dengan rata-rata pH 6,7. Dalam penelitian ini,
pH diukur dengan menggunakan pH meter.
21
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar. Sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini
sebanyak 40 sampel. Dasar penentuannya adalah Central Limit Theorem yang
menyatakan bahwa jumlah minimum sampel untuk mencapai kurva normal
setidaknya adalah dengan mencapai nilai responden minimum 30 (Mendenhall
dan Beaver 1992 cit. Aziza dkk. 2006). Teknik pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling, di mana sampel yang dipilih telah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
1. Kriteria Inklusi :
a. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar yang bersedia mengikuti penelitian.
b. Berusia 19-21 tahun,
c. Merupakan perokok putih maupun perokok kretek sejak minimal 1 tahun
yang lalu.
d. Merokok minimal 10 batang per hari.
2. Kriteria Ekslusi :
a. Mahasiswa yang menderita penyakit sistemik.
b. Mahasiswa yang sedang menggunakan obat-obatan.
E. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: alat tulis, kertas
catatan, pH meter, gelas ukur, tisu, masker dan handscone. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu rokok putih merek Marlboro dan rokok kretek merek
Sampoerna.
22
F. Instrumen Penelitian
pH saliva diukur dengan menggunakan pH meter. Cara pengukurannya adalah
dengan mencelupkan ujung pH meter pada saliva yang telah terkumpul dalam
gelas. Layar pH meter akan menampilkan angka yang menunjukkan pH saliva
yang diukur. Angka tersebut cenderung akan berubah-ubah pada saat baru
dicelupkan ke dalam saliva, maka dari itu perlu didiamkan sesaat agar angka yang
ditampilkan stabil.
G. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di sekitar area kampus Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar pada tanggal 27 sampai 29 Januari 2014.
H. Jalannya Penelitian
Tahapan penelitian perbedaan pH saliva perokok putih dan perokok kretek
sesaat setelah merokok ini adalah sebagai berikut:
1. Peneliti menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam
penelitian.
2. Sampel diberi penjelasan secara singkat mengenai tujuan dilakukannya
penelitian ini.
3. Calon sampel sebanyak 40 orang yang terbagi dalam dua kelompok
(kelompok 1 dan kelompok 2) diminta untuk mengisi informed consent
yang menyatakan kesediaannya untuk menjadi sampel dalam penelitian
ini.
4. Seluruh sampel diminta untuk berkumur dengan menggunakan aquadest.
23
5. Sampel kelompok 1 diinstruksikan untuk menghisap rokok putih sebanyak
satu batang hingga habis.
6. Sampel kelompok 2 diinstruksikan untuk menghisap rokok kretek
sebanyak satu batang hingga habis.
7. Setelah rokok habis, kedua kelompok diminta untuk mengumpulkan
salivanya di gelas ukur yang telah disediakan.
8. Ukur pH saliva dengan menggunakan pH meter.
9. Masukan data yang telah diperoleh dari pengukuran tersebut ke dalam
tabel.
I. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dan diolah dengan menggunakan
SPSS versi 20:
1. Analisis Deskriptif merupakan salah satu jenis analisis dengan
memberikan gambaran (deskripsi) mengenai suatu data yang diperoleh.
2. Uji Normalitas dan Homogenitas
a. Uji Normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov Test.
b. Uji Homogenitas dengan menggunakan uji Levene’s Test.
3. Uji Efek Perlakuan
Uji efek perlakuan yang digunakan yaitu Independent T-Test untuk
mengetahui perbedaan antara dua kelompok (Riwidikdo 2009).
24
BAB IV
HASIL PENELITIAN
F. Karakteristik Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar dengan jumlah sampel
yang diambil sebanyak 40 orang dengan karakteristik sebagai berikut :
Tabel 4.1 Karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin dan umur
Karakteristik Jumlah (Orang)
Persentase (%)
Total (%)
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
40 0
100 0 100
Umur 19 Tahun 20 Tahun 21 Tahun
13 15 12
32.5 37.5 30
100
Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa seluruh sampel yang diteliti berjenis kelamin
laki-laki berjumlah 40 orang. Umur sampel berkisar antara 19 tahun sampai 21
tahun. Sampel dengan jumlah terbanyak terdapat pada sampel yang berumur 20
tahun dengan jumlah sampel 15 orang, pada sampel yang berumur 19 tahun
berjumlah 13 orang, dan sampel yang paling sedikit terdapat pada sampel yang
berumur 21 tahun dengan jumlah sampel 12 orang.
G. Analisis Data Statistik
Analisis Deskriptif menghasilkan data yang menunjukkan statistik dari
mean, dan standar deviasi adalah sebagai berikut:
25
Tabel 4.2 Hasil analisis deskriptif
Dari tabel 4.2 diatas terlihat nilai rata-rata (Mean) dari kedua variabel
penelitian. Mean dari kedua variabel tersebut yaitu pH saliva dari perokok putih
dan perokok kretek berada di bawah pH netral yaitu 6,7 atau pH asam. Rata-rata
pH saliva perokok kretek lebih rendah atau asam dibandingkan dengan pH saliva
perokok putih.
H. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang didapatkan
pada penelitian ini berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Kolmogorov-Smirnov test. Adapun hasil uji normalitas
dari sampel data pH saliva perokok putih dan pH saliva perokok kretek adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.3 Uji normalitas pH saliva perokok putih dan perokok kretek sesaat
setelah merokok dari Kolmogorov-smirnov test.
pH Saliva Perokok Putih
pH Saliva Perokok Kretek
Kolmogorov 0,644 0,929 Sig. 0,801 0,354
Dari hasil uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-smirnov test
didapatkan nilai signifikansi pH saliva perokok putih sebesar 0.801 dan pH saliva
pH Saliva Perokok Putih
pH Saliva Perokok Kretek
N 20 20
Mean 6.56 6.30 Std.Deviasi 0.252 0.260
26
perokok kretek sebesar 0.354 dengan nilai α > 0.05, maka dapat disimpulkan
bahwa data yang didapatkan berdistribusi normal karena nilai sig lebih besar
daripada 0.05.
I. Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk menguji apakah data penelitian berasal
dari varian yang sama. Uji homogenitas yang dipakai dalam penelitian ini adalah
Levene’s test. Adapun hasil uji homogenitas dari sampel data setelah sampel
menghisap rokok putih dan rokok kretek adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4 Uji homogenitas perbedaan pH saliva perokok putih dan perokok
kretek sesaat setelah merokok dari Levene’s test.
Levene Statistic
Sig.
0.035 0.852
Dari hasil uji homogenitas dengan menggunakan Levene’s Test, pada tabel
4.4 diatas menunjukkan nilai sig. α > 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa data
penelitian, yaitu data pH saliva perokok putih dan perokok kretek sesaat setelah
merokok berasal dari varian yang sama atau homogen sehingga pengujian T-Test
dapat dilanjutkan.
J. Uji T (T-Test)
Untuk menguji data penelitian yang sudah memenuhi normalitas dan
homogenitas, dilakukan Independent T-Test. Adapun hasil T-Test dapat disajikan
sebagai berikut.
27
1. Independent T-Test
Independent T-Test digunakan untuk menguji perbedaan rata-rata dari
kedua kelompok data penelitian yaitu kelompok data pH saliva perokok putih dan
pH saliva perokok kretek. Dari hasil analisis data dengan bantuan program SPSS
versi 20 , maka dapat disajikan sebagai berikut.
Tabel 4.6 Hasil uji T-Independent perbedaan pH saliva perokok putih dan
perokok kretek sesaat setelah merokok.
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the
Difference
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference Lower Upper
Saliva Equal variances assumed
.035 .852 3.145 38 .003 .25500 .08107 .09088 .41912
Equal variances not assumed
3.145 37.960 .003 .25500 .08107 .09088 .41912
Dari hasil uji T-Independent pH saliva perokok putih dan perokok kretek
didapatkan nilai sig sebesar 0,003 yang berarti (ρ < 0.05 ). Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pH saliva perokok putih dan pH
saliva perokok kretek.
28
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat dibuatkan suatu
bahasan tentang kondisi derajat keasaman (pH) saliva perokok putih dan perokok
kretek sesaat setelah merokok. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar dengan menggunakan 40
sampel yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok 1 yang terbiasa
menghisap rokok putih dan kelompok 2 yang terbiasa menghisap rokok kretek
sehingga masing-masing kelompok terdiri dari 20 sampel dan merupakan
penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional.
Setelah penelitian dilakukan dan data penelitian terkumpul, selanjutnya
dilakukan uji normalitas dan homogenitas data. Uji normalitas bertujuan untuk
menguji apakah data berdistribusi normal, sedangkan uji homogenitas bertujuan
untuk mengetahui apakah data tersebut homogen atau berasal dari varian
kelompok yang sama.
Dari hasil pengolahan data diketahui bahwa nilai rata-rata (Mean) dari
kedua variabel penelitian yaitu pH saliva perokok putih dan perokok kretek
sesaaat setelah merokok mengalami penurunan atau berada di bawah batas pH
saliva normal yaitu 6,7. Nilai rata-rata pH saliva kelompok perokok putih yang
tercatat sesaat setelah selesai menghisap rokok adalah 6,56 sedangkan nilai rata-
rata pH saliva perokok kretek yang tercatat setelah selesai menghisap rokok
adalah 6,30. Hal ini menunjukkan bahwa menghisap rokok kretek menyebabkan
penurunan pH saliva yang lebih signifikan daripada rokok putih.
29
Setelah nilai Mean atau rata-rata pH saliva kedua kelompok diketahui,
untuk mengetahui perbedaan pH saliva perokok putih dan perokok kretek sesaat
setelah merokok digunakan Independent T-test. Hasil analisis data menunjukkan
adanya perbedaan pH saliva yang signifikan dari kedua kelompok atau kedua jenis
rokok. Dari hasil uji T-Independent pH saliva perokok putih dan perokok kretek
didapatkan nilai sig sebesar 0,003 yang berarti (ρ < 0.05 ). Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pH saliva perokok putih dan pH
saliva perokok kretek sesaat setelah merokok.
Rokok merupakan salah satu bentuk olahan dari tembakau yang
sediaannya berbentuk gulungan tembakau yang dibakar dan dihisap, contohnya
bidi, cigar, cigarette. Cigarette atau sigaret merupakan sediaan yang paling dikenal
dan paling banyak digunakan (Gondodiputro 2007). Berdasarkan bahan baku atau
isinya rokok terdiri dari rokok putih, yaitu rokok yang hanya berisikan daun
tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu dan
biasanya berisikan filter penyaring pada bagian yang akan dihisap dan rokok
kretek yang berisikan daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk
mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu. Rokok kretek inilah yang kebanyakan
tidak menggunakan filter pada bagian yang akan dihisap (Aula 2010).
Rokok putih dan rokok kretek mempunyai kandungan yang berbeda.
Perokok tidak akan terlindung dari bahaya rokok kecuali seluruh kandungan tar
dalam rokok dihilangkan (Husaini 2010). Rokok kretek memiliki campuran
tembakau dan bunga cengkeh kering dalam perbandingan tertentu. Hasil analisis
terhadap rokok kretek menemukan adanya lima zat kimia yang tidak terdapat pada
rokok putih non cengkeh. Bahan kimia tersebut adalah eugenol, acetyl eugenol, B-
30
caryophyllene, x-humulene serta caryophllene epoksida. Bunga cengkih sendiri
mengandung 15% minyak di mana 82-87% dari kandungan minyak tersebut ialah
eugenol. Rata-rata kandungan eugenol pada sebatang rokok kretek sebanyak 13
mg dan ditaksir sekitar 7 mg akan tersedot ketika rokok dihisap. Eugenol memberi
kesan toksik kepada sistem saraf pusat (Prihardianto 2006).
Pecandu rokok kretek di kalangan remaja dilaporkan mendapat kesan
khayal ringan apabila menghisap rokok kretek. Menyedot asap rokok kretek
dalam-dalam akan meningkatkan kepekatan asap dan ini ada hubungannya dengan
kadar tinggi eugenol yang diserap yang akan memberikan kesan khayal tersebut
(Prihardianto 2006). Selain itu, rokok kretek yang mengandung cengkeh ternyata
dapat memberikan pengaruh buruk kepada gigi. Cengkeh yang dicampurkan ke
dalam rokok kretek ternyata mengandung zat aktif eugenol dengan kadar tinggi
yang jika asapnya dihisap dapat masuk melalui lubang mikro ke bagian organik
dari email sehingga mencapai perbatasan email (lapisan paling luar dari gigi)
dengan dentin (lapisan di bawah email). Akibatnya, perokok dapat menderita
gangguan gigi berupa karies atau gigi berlubang. Karies yang terbentuk
bergantung pada frekuensi merokok dan jumlah rokok yang dihisap setiap hari.
Semakin lama seseorang menghisap rokok kretek, semakin besar peluang orang
tersebut menderita karies spesifik (Mangoenprasodjo 2004).
Saliva adalah cairan yang kompleks , diproduksi oleh kelenjar saliva, dan
memiliki fungsi terpenting untuk merawat kondisi normal dari rongga mulut.
Banyak fungsi penting dalam saliva untuk melindungi kesehatan rongga mulut
yaitu dengan cara memberikan fungsi proteksi, sistem buffer, pembentukan
pelikel, pemeliharaan dari integritas gigi, aksi antimikroba, perbaikan jaringan,
31
pencernaan dan pengecapan (Nanci 2003). Komponen saliva, yang dalam keadaan
larut disekresikan oleh kelenjar saliva, terdiri dari komponen anorganik dan bio
organik. Dalam melaksanakan fungsi pertahanan, dibutuhkan volume saliva yang
optimal. Dan ternyata hal ini sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan baik
yang berhubungan dengan isi maupun dengan viskositas, pH, susunan ion dan
protein dalam saliva (Amerongen 1988).
pH saliva merupakan sarana penting dalam menjaga integritas gigi dan
jaringan rongga mulut. Hal ini mempengaruhi proses demineralisasi dan
remineralisasi jaringan keras. Pada penurunan pH saliva, suasana asam akan
meningkatkan proses demineralisasi elemen gigi sehingga frekuensi karies juga
akan meningkat (Amerongen 1988). Bakteri yang berperan dalam terbentuknya
karies adalah bakteri Streptococcus Mutans (Helderman 1993). Bakteri-bakteri
tersebut akan memproduksi asam dari proses fermentasi gula yang terdapat dalam
makanan sehingga menurunkan pH pada permukaan gigi. Asam inilah yang akan
melarutkan kalsium serta fosfor dari enamel (Amerongen 1988).
Saliva memiliki sistem tersendiri untuk menetralisir pH dalam rongga
mulut, sistem ini disebut sebagai sistem buffer. Kontribusi komponen saliva yang
berperan dalam sistem buffer adalah protein saliva, fosfat, urea, dan amonia,
namun yang paling utama berperan adalah konsentrasi dari asam bikarbonat (Roth
1981). pH saliva dalam keadaan normal antara 5,6-7,0 dengan rata-rata pH 6,7
(Linder 1991). Sistem bikarbonat sangat efektif dalam menetralisir asam dan
berbanding lurus dengan kecepatan sekresi saliva. Hal ini memberi akibat bahwa
pada kenaikan kecepatan sekresi , konsentrasi bikarbonat menjadi lebih tinggi dan
pH pun menjadi lebih tinggi.
32
Kenaikan pH saliva yang membuat suasana rongga mulut menjadi basa
dapat membentuk kristal-kristal yang menyimpang sehingga terjadi pembentukan
karang gigi atau kalkulus (Amerongen 1988). Kalkulus adalah jenis kalsifikasi
patologis yang berhubungan dengan penyakit periodontal, merupakan jenis plak
yang terkalsifikasi dan deposit terkalsifikasinya dibedakan menurut hubungannya
dengan tepi gingiva, yaitu kalkulus supragingiva dan subgingiva. Mineral dari
kalkulus supragingiva berasal dari saliva sedangkan pada kalkulus supragingiva
berasal dari eksudat cairan gingiva (Manson & Elley 1993).
Peran lain dari saliva adalah fungsinya dalam pembentukan pelikel yang
kemudian akan berkembang menjadi plak gigi. Plak gigi adalah suatu lapisan
lunak yang terdiri dari kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak di atas
suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak
dibersihkan (Pintauli & Hamada 2010). Lapisan lunak plak terbentuk dari deposit
selapis tipis protein saliva yang terutama terdiri dari glikoprotein pada permukaan
gigi. Lapisan ini yang disebut pelikel dan hanya dapat dilepas dengan
pembersihan mekanis. Dalam waktu beberapa menit setelah terdepositnya pelikel,
pelikel akan terpopulasi dengan bakteri. Pembentukan plak supragingiva
dipelopori oleh bakteri yang memiliki kemampuan untuk membentuk polisakarida
ekstraselular. Koloni bakteri yang pertama adalah Streptococcus Mitior, S.
Sanguis, Actinomyces Viscocus dan A. Naeslundii. Bila bakteri ini dibiarkan
tumbuh beberapa hari, akan menyebabkan inflamasi gingiva (Manson & Elley
1993)
33
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh dan pembahasan yang
telah dipaparkan pada beberapa bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
menghisap rokok kretek menyebabkan penurunan pH saliva yang lebih signifikan
daripada rokok putih.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian tersebut
antara lain:
1. Masyarakat harus bisa mengurangi bahkan menghentikan konsumsi rokok,
mengingat efek buruknya kepada kesehatan tubuh secara umum, dan
kesehatan gigi dan mulut secara khusus.
2. Agar dilaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan efek rokok
terhadap pH saliva dan rongga mulut, dan dilakukan dengan metode yang
berbeda serta jumlah sampel yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Addy M, Moran J. Mechanisms of stain formation on teeth, in particular associated with metal ions and antiseptics. Adv Dent Res 1995; 9(4): 450-456
Amerongen, A. van Nieuw. 1988, Ludah dan Kelenjar Ludah, Ed. ke-2, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Arey Leslie Brainerd, Ph.D.,LL.D., Human Histology a textbook in outline from W.B. Saunders Company, Third edition Philadelphia. London, Toronto 1968Dayan, D., Begleiter, A., dan Buchner, A., 1982, Halitosis dan Fetor Oris. Quintessence Int. 8; 903-5.
Aula LE. 2010. Stop Merokok. Garailmu. Yogyakarta. de Almeida, P.D.V., Grégio, A.M.T., Machado, M.Â.N., de Lima, A.A.S.,
Azevedo, L.R., 2008. Saliva Composition and Functions: AComprehensive Review. J Contemp Dent Pract:072-080.
Dikri, I., Soetanto, S., Widjiastuti, I. 2003. Kelarutan Kalsium Pada Enamel Setelah Direndam Saliva Buatan pH 5,5 dan Ph 6,5. Dental Jurnal.Vol. 36.
No.1. Hal.7. Gondodiputro, S., 2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-bentuk Tembakau.
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung:1-2.
Haskell R and Gayford J.J , Penyakit Mulut. Jakarta:1991 Helderman, W.H.V.P., Veld J.H.J.H., Dirks O.B. 1993, Plak Gigi. In:
IlmuKedokteran Gigi Pencegahan, C.V EGC, Jakarta Husaini, A., 2010, Berhenti Merokok, www.books.google.co.id Irda, F., 2004, Analisis Nikotin Dalam Asap dan Filter Rokok, Acta
Pharmaceutica Indonesia, Bandung Kidd E A M, Bechal S J. 1992. Dasar – Dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya (Alih bahasa : Narlan Sumawinata dan Saffida
Faruk). Jakarta : EGC. p . 2 – 4 : 76. Linder MC. Nutritional biochemistry and metabolism. 2nd ed. Connectitut.
Appleton and Lange; 1991. p. 35–40. Mangoenprasodjo & Hidayati. (2005). Hidup Sehat Tanpa Rokok. Yogyakarta: Pradipta Publishing.
Manson, J.D., B.M. Elley 1993. Buku Ajar Periodonti (Outline Of Periodontics),
Hipokrates, Jakarta Nolte WA. Oral microbiology with basic microbiology and immunology. 4th ed.
Saint Louis: Mosby; 1982. p. 287–9, 304–5,309–10, 336–8. Nanci, Antonio 2003, Ten Cate's Oral Histology: Development, Structure, and
Function, Ed. ke-6, Mosby Co., Missouri Pintauli, S., Hamada, T., 2010, Menuju Gigi dan Mulut: Pencegahan dan Pemeliharaan, USU Press, Medan. Puspawati, A.E. 2005. “Perbedaan pH Saliva Perokok dan Tidak Perokok”. (Skripsi). Denpasar. Universitas Mahasaraswati.Hal.13.
Riwidikdo, Handoko, 2008. Statistik Kesehatan. Mita Cendikia Press.Yogyakarta
Roth Gerald I and Camles Robert, Oral Biology.The C. V. Mosby Company. Chapter 8:196-213 , 1981.
Sastroasmoro, S., 2008. Pemilihan Subyek Penelitian. Dalam: Sastroasmoro, S., Ismael, S., ed. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV. Sagung Seto, 313.
Schuurs, A.H.B, 1992. Patologi Gigi-Geligi Kelainan-Kelainan Jaringan Keras Gigi. Alih Bahasa Sutatmi Suryo, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit. Ed-2. EGC. Jakarta. Hal.545-548. Tarigan, R, 1995. Kesehatan Gigi dan Mulut. Cetakan Ke Empat, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Tirtosastro, S. dan Murdiyati, A.S.2010, Kandungan Kimia Tembakau dan Rokok,
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri. Vol 2 (1).
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Hasil Penelitian
No pH Saliva Perokok Putih No pH Saliva Perokok Kretek
1
6,2 1 6,8 2
6,5 2 6,7
3
6,6 3 6,0 4
6,5 4 6,3
5
6,4 5 6,8 6
6,2 6 6,2
7
6,3 7 6,5 8
7,0 8 6,6
9
6,6 9 6,4 10
6,5 10 6,3
11
6,8 11 6,0 12
6,7 12 6,2
13
6,5 13 5,9 14
7 14 6,1
15
6,8 15 6,3 16
6,4 16 6,1
17
6,9 17 6,3 18
6,2 18 6,2
19
6,4 19 6,3 20
6,7 20 6,1
Lampiran 2. Perjanjian Kesepakatan
PERJANJIAN KESEPAKATAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama :
Umur :
Alamat :
Menyatakan bersedia menjadi sampel dalam penelitian skripsi yang
berjudul " Perbedaan pH Saliva Perokok Putih dan Perokok Kretek Sesaat Setelah
Merokok", yang mana skripsi ini merupakan salah satu untuk mendapatkan gelar
sarjana dalam bidang kedokteran gigi. Selama penelitian berlangsung, saya akan
bertindak kooperatif dan mengikuti instruksi yang diberikan oleh peneliti.
Denpasar, Januari 2013
( )
Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
pH Saliva Perokok Putih
pH Saliva Perokok Kretek
N 20 20 Normal Parametersa,,b Mean 6.5600 6.3050
Std. Deviation .25215 .26052 Most Extreme Differences Absolute .144 .208
Positive .144 .208 Negative -.079 -.085
Kolmogorov-Smirnov Z .644 .929 Asymp. Sig. (2-tailed) .801 .354
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Lampiran 4. Hasil Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances Saliva
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.035 1 38 .852
Lampiran 5. Hasil Uji Independent T-Test
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Saliva pH Saliva Perokok Putih 20 6.5600 .25215 .05638
pH Saliva Perokok Kretek 20 6.3050 .26052 .05825
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the
Difference
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference Lower Upper
Saliva Equal variances assumed
.035 .852 3.145 38 .003 .25500 .08107 .09088 .41912
Equal variances not assumed
3.145 37.960 .003 .25500 .08107 .09088 .41912
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian
Alat - Alat
Gelas ukur, pH meter, tisu, masker, handscone, alat tulis, kertas pencatatan.
Bahan
Rokok kretek (kiri) dan rokok putih (kanan).
Sampel mengisi informed consent.
Sampel diinstruksikan untuk merokok sesuai dengan jenis rokok yang biasa
dihisap.
Sampel mengumpulkan pH saliva ke dalam gelas ukur.
Saliva yang telah dikumpulkan diukur dengan menggunakan pH meter.
Peneliti mencatat nominal pH saliva sampel ke dalam tabel penelitian.